BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prokrastinasi Akademik 2.1.1. Definisi Prokrastinasi Akademik Prokrastinasi adalah penundaan yang sia-sia/ tidak berguna (Knaus, 2010). Tuckman (dalam Utomo, 2010) mendefinisikan prokrastinasi
sebagai
ketidakmampuan
pengaturan
diri
yang
mengakibatkan dilakukannya penundaan pekerjaan yang seharusnya dapat di bawah kontrol orang yang bersangkutan. Sedangkan, menurut Wolter (dalam Nugrasanti, 2006) prokrastinasi akademik adalah kegagalan dalam mengerjakan tugas dalam kerangka waktu yang diinginkan atau menunda pengerjaan tugas sampai saat-saat terakhir. Prokrastinasi akademik merupakan jenis penundaan yang dilakukan pada jenis tugas formal yang berhubungan dengan tugas akademik (Ferrari dkk, dalam Nugrasanti, 2006). Prokrastinasi dapat dipandang dari berbagai batasan tertentu (Ferrari, Johnson, & McCown, 1995), yaitu: a.
Prokrastinasi hanya sebagai perilaku penundaan, bahwa setiap perbuatan untuk menunda dalam mengerjakan suatu tugas disebut sebagai prokrastinasi, tanpa mempermasalahkan tujuan serta alasan penundaan yang dilakukan.
b.
Prokrastinasi sebagai suatu kebiasaan atau pola perilaku yang dimiliki individu, yang mengarah kepada trait, penundaan yang
9
10
c.
dilakukan sudah merupakan respon tetap yang selalu dilakukan seseorang dalam menghadapi tugas, biasanya disertai oleh adanya keyakinan-keyakinan yang irasional.
d. Prokrastinasi sebagai suatu trait kepribadian, dalam pengertian ini prokrastinasi tidak hanya perilaku penundaan saja, akan tetapi prokrastinasi merupakan suatu trait yang melibatkan komponenkomponen perilaku maupun struktur mental lain yang saling terkait yang dapat diketahui secara langsung maupun tidak langsung. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, prokrastinasi akademik adalah perilaku menunda pengerjaan tugas-tugas akademik tanpa mempedulikan alasan apapun. Alasannya adalah seorang prokrastinator akademik memiliki keyakinan irasional akan apa yang harus dia capai dengan tugasnya, sehingga saat mereka tidak mampu menyelesaikan tugas sesuai dengan waktu atau dikerjakan tidak maksimal maka mereka akan memberikan alasan-alasan yang membuat mereka terlihat wajar untuk tidak mencapainya. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ferrari, Keane, Wolfe, & Beck (1998) menyatakan bahwa lebih darti 70% mahasiswa memberikan alasan penundaan mereka yang sebenarnya adalah kebohongan. Tugas-tugas akademik ini antara lain, tugas menulis, membaca, belajar menghadapi ujian, menghadiri perkuliahan, tugas administratif, dan kinerja akademik secara keseluruhan (Nugrasanti, 2006). 2.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Prokrastinasi Knaus
(2010)
menyatakan
bahwa
beberapa
penyebab
prokrastinasi berhubungan dengan masalah sosial, beberapa juga terkait
11
dengan proses otak serta kepercayaan yang tidak rasional. Menurutnya, prokrastinasi juga dapat dikaitkan dengan kecemasan (ketidaknyamanan) untuk di-judge dan dievaluasi. Knaus menambahkan bahwa perilaku prokrastinasi akademik ini dilakukan untuk menjadi defense (pertahanan) terhadap ketakutannya. Ada 3 macam ketakutan yang dikemukakan Knaus (2010), antara lain fear of failure (takut gagal), failure anxiety (cemas akan kegagalan), dan fear of blame (takut salah). Pada saat individu percaya bahwa dia tidak dapat menyelesaikan tugas yang diberikan, maka individu akan cenderung untuk melakukan perilaku prokrastinasi akademik. Selain itu, jika individu terlalu berfokus pada kegagalan, maka ia akan sulit melihat kemungkinankemungkinan yang ada untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik (Knaus, 2010). Sedangkan, fear of success yang merupakan bentuk dari failure anxiety menyatakan bahwa individu merasa cemas dalam mengontrol dirinya saat sukses dan mendapat tekanan yang lebih besar dari saat ini. Bernard (1991, Nathally, 2011) mengemukakan 10 faktor yang mempengaruhi prokrastinasi akademik, antara lain: a.
Anxiety Kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan, seperti kekhawatiran dan rasa takut yang berinteraksi dengan tugas-tugas yang harus dikerjakan. Interaksi yang berlawanan ini menyebabkan tugas-tugas tesebut ditunda.
b.
Self-depreciation
12
Individu memiliki penghargaan diri yang rendah terhadap dirinya dan cenderung menyalahkan dirinya saat terjadi masalah. Individu ini juga kurang percaya diri untuk memiliki masa depan yang cerah. c.
Low discomfort tolerance Individu memiliki toleransi yang rendah akan ketidaknyamanan sehingga saat dihadapkan pada tugas yang sulit, individu cenderung beralih
kepada
tugas-tugas
yang
akan
mengurangi
ketidaknyamanan pada diri mereka. d.
Pleasure-seeking Individu senang mencari kenyamanan. Pada saat mereka telah mendapatkan kenyamanan, mereka cenderung tidak ingin keluar dari zona tersebut. Ini membuat mereka menunda tugas mereka untuk menyenangkan diri mereka terlebih dahulu.
e.
Time disorganization Individu diharapkan dapat mengatur waktu mereka dalam mengerjakan tugas dan memberi prioritas atas tugas-tugas yang akan dikerjakan tersebut. Namun, individu tidak dapat mengatur waktu mereka dan tidak dapat memberi prioritas atas tugas-tugas yang harus dikerjakan, maka mereka akan mengalami kesulitan dalam menentukan apa yang harus dikerjakan terlebih dahulu.
f.
Environmental disorganization Ketidakteraturan lingkungan merupakan salah satu pendukung prokrastinasi. Lingkungan yang tidak teratur akan menjadi
13
gangguan bagi individu untuk berkonsentrasi dalam menyelesaikan tuganya tepat waktu. g.
Poor task approach Individu
tidak
mengetahui
kapan
harus
memulai
dan
menyelesaikan suatu tugas. h.
Lack of assertion Individu kurang memiliki perilaku asertif sehingga sulit baginya untuk menolak tugas-tugas yang diberikan padanya. Pada akhirnya tugas-tugasnya overload dan membuatnya kuranng memiliki komitmen dan tanggungjawab atas tugas-tugas tersebut.
i.
Hostility with others Dapat
diartikan
sebagai
permusuhan
terhadap
orang
lain.
Kemarahan yang terus-menerus dapat menyebabkan individu menolak atau menetang apapun yang dikatakan oleh subjek kemarahannya. j.
Stress and fatigue Stres adalah hasil dari sejumlah tuntutan negatif dalam kehidupan yang digabung dengan gaya hidup dan kemampuan mengatasi masalah pada diri individu. Semakin banyaknya tuntutan dan semakin lemahnya sikap seseorang dalam mengatasi masalah, serta gaya hidup yang kurang baik akan meningkatkan stres seseorang.
Berdasarkan berbagai kajian literatur dapat disimpulkan bahwa ada 2 faktor utama yang mempengaruhi prokrastinasi akademik, yaitu:
14
a.
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari individu yang turut membentuk perilaku prokrastinasi yang meliputi faktor fisik dan psikologis. Menurut Ervinawati (1999), faktor internal memang memiliki potensi yang lebih besar untuk memunculkan prokrastinasi, namun jika terjadi interaksi antara faktor internal dan eksternal maka prokrastinasi yang terjadi akan semakin buruk (dalam Rumiani,2006).
b.
Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar individu dapat berupa tugas yang banyak (overloaded tasks) yang menuntut penyelesaian yang hampir bersamaan. Menurut Rizki, dkk. (1997) hal ini akan diperparah apabila lingkungan kondusif dalam membentuk prokrastinasi (dalam Rumiani, 2006).
2.1.3. Karakteristik Prokrastinator (pelaku prokrastinasi) Menurut Ferrari, Johnson, & McCown (1995), karakteristik mahasiwa yang melakukan prokrastinasi akademik adalah suka menunda-nunda pengerjaan tugas sampai batas waktu pengumpulan, sering tidak menepati janji untuk segera mengumpulkan tugas dengan memberi alasan untuk memperoleh tambahan waktu, dan memilih untuk melakukan kegiatan lain yang lebih menyenangkan seperti menonton televisi, jalan-jalan dan sebagainya. Sedangkan menurut Ellis & Knaus (dalam
Rumiani,
2006),
karakteristik
orang
yang
melakukan
prokrastinasi adalah orang yang takut gagal, impulsif, perfeksionis, pasif, dan menunda-nunda sampai melewati batas waktu.
15
2.1.4. Indikator Prokrastinasi Akademik Ferrari, Johnson, & McCown (1995) menyatakan bahwa prokrastinasi akademik dapat termanifestasi dalam indikator tertentu yang dapat diukur dan diamati. Berikut ini adalah indikator pelaku prokrastinasi akademik: a.
Penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada tugas yang dihadapi. Indikator ini menunjukkan bahwa seseorang yang melakukan prokrastinasi sadar bahwa tugasnya bermanfaat dan harus segera diselesaikan.
Namun,
mengerjakannya
atau
dia
menunda-nunda
menunda-nunda
untuk
untuk
mulai langsung
menyelesaikan saat dia mulai mengerjakannya. b.
Kelambanan dalam mengerjakan tugas. Indikator ini menunjukkan bahwa individu yang melakukan prokrastinasi cenderung lamban dalam mengerjakan tugas-tugasnya dikarenakan mereka menghabiskan waktu untuk mempersiapkan diri secara berlebihan sebelum mengerjakan. Persiapan ini membuat mereka menunda niat mereka dalam mengerjakan tugas yang ada. Ini membuat individu memerlukan waktu yang lebih lama dari seharusnya dan kurang mengalami kemajuan dalam pengerjaan tugasnya sehingga tugas tersebut mungkin diselesaikan dengan energi lebih pada penghujung deadline. Perilaku ini dilakukan tanpa memperhitungkan keterbatasan waktu membuat individu mengerjakannya di penghujung deadline atau bahkan tidak berhasil menyelesaikan tugasnya secara memadai.
16
c.
Adanya kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual dalam mengerjakan tugas. Indikator ini menunjukkan bahwa seorang prokrastinator memiliki kesulitan dalam melakukan sesuatu sesuai dengan rencana yang sudah dibuat. Seorang prokrastinator cenderung tidak melaksanakan rencananya dalam mengerjakan tugas sehingga sering mengalami keterlambatan dalam memenuhi deadline yang telah ditentukan. Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan dalam memulai
mengerjakan
tugas
maupun
kegagalan
untuk
menyelesaikan tugas. d. Adanya kecenderungan untuk melakukan aktivitas lain yang dipandang lebih mendatangkan hiburan dan kesenangan. Indikator ini menunjukkan bahwa prokrastinator dengan sadar menghindari dan tidak mengerjakan tugasnya dengan segera. Seseorang yang melakukan prokrastinasi akademik lebih memilih menggunakan waktu yang dimilikinya untuk melaksanakan aktivitas lain yang lebih menyenangkan, seperti membaca (majalah, novel), bermain games, menonton, mendengarkan music, shopping, dan lain sebagainya daripada mengerjakan tugas akademik. Prokrastinator
akademik
jika
dibandingkan
dengan
nonprokrastinator mungkin memiliki nilai dan evaluasi yang rendah, karena (Ferrari, 2010): a. Mereka
membutuhkan
waktu
yang
lebih
mengumpulkan tugas kuliah, laporan, dan tugas akhir
lama
untuk
17
b. Mereka mengeluarkan waktu lebih untuk bekerja dalam suatu tugas dan belajar c. Mereka sering terlibat dengan kecurangan d. Walaupun
mereka
memulai
pekerjaan
mereka,
mereka
membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya e. Mereka memiliki banyak tugas yang belum selesai. 2.2.
Kebutuhan Berprestasi 2.2.1. Definisi Kebutuhan Motivasi merupakan bagian dari kognisi yang tidak dapat diamati secara langsung, namun efeknya terhadap perilaku dapat diamati dan diukur (Blanchard & Thacker, 2010). Selanjutnya, mereka mendefinisikan motivasi sebagai arahan, ketekunan, usaha yang dikeluarkan untuk mencapai suatu target. Motivasi adalah suatu kondisi internal yang membangkitkan, mengarahkan, dan menjaga perilaku (Woolfolk, dalam Rumiani, 2006). Berikut ini adalah faktor-faktor yang merefleksikan motivasi seseorang (Blanchard & Thacker, 2010): a.
Kebutuhan apa yang ingin dipuaskan oleh individu
b.
Aktivitas apa yang dilakukan untuk memuaskan kebutuhan
c.
Berapa lama individu terlibat dalam aktivitas tersebut
d. Seberapa keras usaha yang diberikan individu tersebut dalam aktivitas Kebutuhan merupakan dasar dari motivasi dan alasan dari semua kegiatan individu. Murray (1938) beranggapan bahwa perilaku didorong oleh kondisi internal yang tidak seimbang, sehingga kita
18
mencari sesuatu yang kita inginkan untuk menyeimbangkannya. Murray mendefinisikan kebutuhan sebagai kesiapan untuk merespon dengan cara tertentu pada situasi tertentu. Selain itu, Murray juga percaya bahwa kebutuhan merupakan suatu konstruk yang mewakili daya di area otak yang mengatur persepsi, apersepsi, intelektual, konasi, dan tindakan untuk memenuhi atau menghadapi situasi yang tidak memuaskan. 2.2.2. Jenis-jenis Kebutuhan Murray (1938) mengklasifikasikan kebutuhan ke dalam 2 golongan, yaitu: a.
Primary needs Kebutuhan jenis ini didasari oleh fungsi biologis atau dapat juga dikatakan sebagai kebutuhan biologis.
b.
Secondary needs Kebutuhan ini didasari oleh psikologi atau sering disebut sebagai psychogenic needs. Psychogenic needs dikelompokkan menjadi 5 bagian yaitu: 1.
Ambition needs -
Achievement: mencapai target, menghadapi kesulitan, mencapai kesuksesan (akan dijelaskan lebih lanjut pada sub bab berikutnya).
-
Exhibition: membuat orang lain terkesan dengan perilaku dan kata-kata.
-
Recognition: menunjukkan prestasi yang di dapat dan mendapatkan pengakuan dari orang lain.
19
2.
Materialistic needs -
Acquisition: kebutuhan untuk mendapatkan sesuatu.
-
Retention: kebutuhan untuk menjaga/ mempertahankan sesuatu yang telah didapat.
-
Order: kebutuhan untuk mengatur sesuatu secara teratur, rapi, dan bersih
-
Construction: kebutuhan untuk membuat dan membangun sesuatu.
c. Power needs -
Abasement: kebutuhan untuk mengalah dan menerima kesalahan dan hukuman.
-
Aggression: kebutuhan untuk melampaui orang lain, mengontrol, dan menghukum mereka.
-
Autonomy: kebutuhan untuk tidak terikat dan mandiri.
-
Blame avoidance: kebutuhan untuk tidak disalahkan atas apa yang telah terjadi.
-
Contrariance: kebutuhan untuk dapat melawan persuasi dari orang lain.
-
Deference: kebutuhan untuk mengikuti aturan dan bekerja sama dengan orang lain
-
Dominance: kebutuhan orang lain melalui perintah atau persuasi.
-
Harm avoidance: kebutuhan untuk menghindari rasa sakit.
-
Infavoidance: kebutuhan untuk menghindari hal yang memalukan.
20
d. Affection needs -
Affiliation: kebutuhan untuk dekat dan loyal dengan orang lain, menyenangkan mereka dan mendapat perhatian mereka.
-
Nurturance: kebutuhan untuk membantu orang lain yang memerlukan.
-
Play: kebutuhan untuk bersenang-senang, relaks, dan menikmati kehidupan.
-
Rejection: kebutuhan untuk menolak orang lain/ objek yang dianggap negatif.
-
Sex:
kebutuhan
untuk
membentuk
hubungan
yang
mengarah pada sexual intercourse. -
Succorance: kebutuhan untuk diperhatikan, ditolong dan dilindungi.
e. Information needs -
Cognizance: mencari pengetahuan dan bertanya untuk mengerti dan memahami sesuatu.
-
Exposition: menyediakan informasi untuk mendidik orang lain.
2.2.3. Definisi Kebutuhan Berprestasi Kebutuhan
berprestasi
merupakan
salah
satu
kebutuhan
psikologis yang termasuk ke dalam ambition need. Kebutuhan berprestasi didefinisikan sebagai suatu dorongan yang kuat untuk mencapai sesuatu dan diakui secara umum untuk hal yang dicapai tersebut (Wart, 2008). Selain itu, Keith & Nastron (1989, dalam
21
Rumiani,
2006)
mendefinisikan
kebutuhan
berprestasi
sebagai
dorongan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengatasi hambatan dalam mencapai tujuan, sehingga individu yang memiliki kebutuhan berprestasi tinggi menunjukkan usaha yang lebih besar dan ulet. Kebutuhan berprestasi adalah suatu kecenderungan untuk melakukan segala sesuatu dengan cepat dan semaksimal mungkin untuk mencapai target yang diinginkan (Murray, 1938). Kebutuhan berprestasi dapat dikatakan sebagai salah satu motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik (Santrock, 2009) diartikan sebagai motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi tujuan itu sendiri bukan demi sesuatu yang akan didapatkan nantinya. Jika dihubungkan dengan kebutuhan berprestasi, maka dapat dikatakan bahwa mahasiswa melakukan usaha keras untuk menyelesaikan tugas-tugasnya dengan maksimal karena itu merupakan kebutuhan mereka dalam berprestasi. Kebutuhan berprestasi dapat disimpulkan sebagai suatu usaha yang maksimal dan sistematis untuk mencapai kesuksesan/ target dan menjadi lebih baik dibanding orang lain serta mampu mengatasi hambatan dalam proses mencapai tujuan tersebut. 2.2.4. Karakteristik Individu dengan Kebutuhan Berprestasi Kebutuhan berprestasi merupakan keinginan untuk melakukan sesuatu secepat dan sebaik mungkin. Orang dengan kebutuhan berprestasi tinggi sering diasosiasikan dengan orang yang ambisius dan kompetitif. Kata ambisius (www.kamusbahasaindonesia.org) berarti keinginanan keras mencapai sesuatu (harapan, cita-cita), sedangkan
22
kompetitif berarti daya saing. Kedua hal tersebut merupakan aspek dari kebutuhan berprestasi yang mendukungnya dalam pencapaian target dengan daya saing yang tinggi. Karakteristik individu dengan kebutuhan berprestasi antara lain (Murray, 1938): a.
ingin mencapai suatu target/ goal walaupun melalui proses yang sulit,
b. ingin menguasai/ mengorganisasi objek fisik,, manusia, atau gagasan, c.
ingin mengerjakan tugas-tugasnya secepat dan semandiri mungkin,
d.
berusaha menghadapi masalah-masalah yang muncul,
e.
ingin menjadi lebih baik dari diri sendiri dan orang lain, dan
f.
ingin memiliki dan meningkatkan kebanggaan atas diri mereka sendiri. Jenis-jenis pencapaian yang biasa ingin dicapai adalah dalam
hal olahraga, social prestige, dan intelektual. 2.2.5. Kebutuhan Berprestasi dengan Prokrastinasi Akademik Prokrastinasi
akademik
adalah
perilaku
yang
cenderung
menunda-nunda tugas secara sadar untuk melakukan hal lain yang tidak berhubungan dengan tugas yang ada, Sedangkan kebutuhan berprestasi adalah keinginan/ kebutuhan untuk melakukan sesuatu dengan cepat, sistematis, dan semaksimal mungkin. Cara pengerjaan tugas pada kedua hal tersebut saling bertentangan.
23
Berdasarkan penelitian Rumiani (2006) tentang ‘Prokrastinasi Akademik Ditinjau dari Motivasi Berprestasi dan Stres Mahasiswa’ dan penelitian Delta (2010) tentang ‘Hubungan antara prokrastinasi akademis dengan motivasi berprestasi pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia’ ditemukan bahwa adanya korelasi negatif antara motivasi berprestasi dan prokrastinasi akademik. Hal ini didukung lagi oleh beberapa penelitian yang menunjukkan hal yang sama
yaitu
individu
yang
melakukan
prokrastinasi
akademik
menunjukkan motivasi berprestasi yang rendah (Rumiani, 2006). 2.3. Positive Reinforcement 2.3.1. Definisi Reinforcement Reinforcement adalah suatu stimulus yang memperkuat perilaku sebelumnya, baik itu menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Selain itu, reinforcement juga menyatakan bahwa stimuli digunakan untuk membentuk perilaku (Redmond, 2012). Teori penguatan ini berasal dari hukum efek dari Thorndike (Blanchard & Thacker, 2010) yang menyatakan bahwa perilaku yang diikuti dengan hal yang menyenangkan akan berulang dan perilaku yang diikuti dengan hal yang tidak menyenangkan akan dihindari. Namun, jika stimulus ini tidak meningkatkan kemungkinan munculnya respon maka hal ini tidak dapat disebut sebagai reinforcement. Teori reinforcement ini merupakan bentuk dari operant conditioning yang akan dibahas pada bagian 2.3.2.
24
2.3.2. Operant Conditioning Operant conditioning merupakan model pembelajaran dengan teori reinforcement yang dikembangkan oleh B. F. Skinner. Komponen dasar pembelajaran pada operant conditioning adalah stimulus, respon, dan konsekuensi (Blanchard & Thacker, 2010). Stimulus merupakan situasi atau kejadian yang dihadapi oleh individu. Respon merupakan perilaku yang muncul/ dimunculkan saat individu dihadapkan pada stimulus. Sedangkan, konsekuensi adalah hasil yang diterima oleh individu setelah memberi respon. Konsekuensi dapat berupa hal yang positif atau negatif bagi individu tersebut. Misalnya, mahasiswa mendapatkan tugas yang harus dikumpulkan minggu depan (stimulus). Dia selalu menunda-nunda pengerjaan tugas tersebut dan menghabiskan waktunya dengan hal yang lebih menyenangkan (jalan-jalan, menonton) sehingga pada akhirnya tugas dikerjakan pada saat-saat terakhir (respon). Hasil yang didapat dari tugas yang dikerjakan pada saat-saat terakhir itupun
cukup memuaskan (konsekuensi positif) sehingga dia
akan cenderung mengulang kembali perilakunya. Namun, jika hasil yang ia dapat tidak memuaskan, dia akan cenderung mengurangi respon yang sama di masa yang akan datang. Ada 4 tipe konsekuensi yang mengikuti perilaku seseorang (Blanchard & Thacker, 2010), antara lain: a. Positive reinforcement adalah prosedur memperkuat perilaku di mana respon diikuti dengan penyajian atau peningkatan intensitas stimulus yang memperkuat perilaku, sebagai hasilnya respon ini semakin kuat dan semakin mungkin terjadi (Wade & Travis, 2008). Positive reinforcement
terjadi
saat perilaku yang dimunculkan
25
b.
diikuti dengan hal yang menyenangkan, baik tangible (mendapat penghargaan berupa objek), psikologis (kepuasan, rasa senang), ataupun kombinasi dari kedua hal tesebut (Blanchard & Thacker, 2010). Dengan demikian, positive reinforcement dapat disimpulkan sebagai stimulus yang diberikan dengan tujuan untuk memperkuat dan meningkatkan kemungkinan perilaku yang diharapkan muncul. Untuk
beberapa
memberitahukan
situasi,
stimulus
yang
diberikan
sudah
konsekuensi positif yang akan didapatkan jika
melakukan perilaku tertentu. Positive reinforcement akan dibahas lebih lanjut pada bagian 2.3.3. c. Negative reinforcement adalah prosedur memperkuat perilaku di mana respon yang diharapkan diikuti dengan penghilangan, penundaan, atau pengurangan intensitas sebuah stimulus yang tidak menyenangkan, dan sebagai hasilnya respon menjadi semakin kuat dan semakin sering terjadi (Wade & Tavris, 2008). Negative reinforcement terjadi saat perilaku yang dimunculkan dapat menghilangkan hal yang tidak menyenangkan. d. Punishment Punishment terjadi saat individu mendapatkan konsekuensi negatif (hukuman) atas perilaku yang ditunjukkan sehingga respon/ perilaku yang sama akan berkurang di masa mendatang (Blanchard & Thacker, 2010). Namun, jika perilaku yang tidak diinginkan dihukum, maka ada kecenderungan untuk menyembunyikan/ tidak memunculkan perilaku tersebut pada situasi-situasi tertentu yang akan membuatnya mendapat hukuman.
26
e. Extinction Extinction merupakan bentuk lain dari punishment yang muncul saat kehilangan
hal
yang
menyenangkan.
Perilaku
yang
biasa
ditunjukkan menghilang saat diikuti dengan hal yang tidak menyenangkan. Tabel 2.1. Tipe-tipe Konsekuensi yang Mengikuti Perilaku Desirable Undesireable Consequences Consequence Behavior Positively Trainee Receives Behavior Punished Reinforced Behavior Punished Behavior Negatively Trainee Loses (Extinction) Reinforced *Sumber: Blanchard & Thacker (2010, hal. 68) 2.3.3. Positive Reinforcement Positive
reinforcement
adalah
pemberian
stimulus
yang
menawarkan efek/ konsekuensi yang diinginkan dengan harapan dapat meningkatkan munculnya perilaku yang diharapkan di masa mendatang (Redmond, 2012). Positive reinforcement menggunakan sistem hadiah (reward system) yang merupakan sekumpulan struktur di dalam otak yang
meregulasi
dan
mengontrol
perilaku
yang
memberikan
konsekuensi yang menyenangkan. Reward dalam dunia kerja dapat berupa bonus, promosi, penghargaan, cuti dan lainnya. Sedangkan dalam dunia pendidikan dapat berupa makanan, pujian verbal ataupun nonverbal, atau objek yang disenangi. Positive reinforcement tidak hanya dapat meningkatkan munculnya perilaku yang diharapkan, tetapi juga yang tidak diharapkan jika reward tidak diberikan dengan tepat.
27
Ada berbagai macam reward/ reinforcers yang dapat diberikan (Spiegler & Guevremont, 2010), antara lain: a.
Activity reinforcers Reinforcement jenis ini didapatkan secara natural saat malakukan aktivitas
tertentu
menentukan
dan
beberapa
mendapat hal.
sedikit
Kebebasan
kebebasan
yang
dalam
diberikan
ini
diharapkan dapat membuat individu lebih aktif dalam aktivitas tersebut. Misalnya, saat melakukan diskusi kelompok, mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih anggota kelompoknya dan berhasil memberikan hasil diskusi yang baik dan nantinya jika mereka diberikan kebebasan yang sama, mereka akan lebih berusaha menjadi lebih baik lagi. Pada penguat jenis ini, ada kemungkinan untuk mendapat social reinforcers, dimana dalam suatu aktivitas, individu mungkin akan mendapat pengakuan dan pujian dari teman kelompoknya. b.
Social reinforcers Penguat jenis ini diberikan secara social oleh guru, dosen, orang tua, atau orang dewasa lainnya dan peers yang menunjukkan penerimaan dan pujian atas suatu perilaku tertentu.
c.
Tangible reinforcers Hadiah berupa objek atau item yang disukai oleh suatu kalangan diberikan untuk memunculkan perilaku tertentu. Contohnya berupa mainan, makanan, penghargaan (sertifikat).
d.
Token reinforcement
28
Reinforcement jenis ini melibatkan pemberian poin atau sesuatu yang dianggap bernilai oleh kalangan tertentu dalam keadaan tertentu.
2.3.4. Tujuan Positive Reinforcement Pemberian positive reinforcement memiliki tujuan sebagai berikut (Djamarah, 2010): a. Meningkatkan
perhatian
dan
membantu
pembelajaran
apabila pemberian penguatan diberikan secara selektif. b. Memberikan motivasi dalam proses pembelajaran. c. Mengontrol atau mengubah perilaku yang mengganggu atau yang kurang diharapkan serta meningkatkan cara belajar yang produktif. d. Mengembangkan kepercayaan diri dalam mengatur diri sendiri. e. Mengarahkan
terhadap
pengembangan
berpikir
yang
divergen dalam pengambilan inisiatif bebas. Berdasarkan hal yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa dosen memberikan positive reinforcement bertujuan untuk meningkatkan perhatian mahasiswa terhadap mata kuliah yang diajarkan, mengembangkan rasa percaya diri dan memotivasi mahasiswa untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas akademik yang diberikan dengan baik. Ini dikarenakan mahasiswa merasa diperhatikan dan dihargai oleh dosen dalam proses pembelajaran. Pemberian positive
29
reinforcement juga diharapkan dapat mengubah perilaku mahasiswa yang mengganggu menjadi lebih baik dan semakin meningkatkan perilaku yang sudah baik.
2.3.5. Positive reinforcement dengan Prokrastinasi Akademik Positive reinforcement adalah usaha memperkuat perilaku dengan memberikan konsekuensi positif jika perilaku yang diharapkan muncul. Dalam penelitian ini, perilaku yang diharapkan adalah berkurangnya
perilaku
prokrastinasi
(perilaku
menunda-nunda
pekerjaan). Perilaku prokrastinasi diharapkan tidak muncul/ berkurang frekuensinya saat individu mendapatkan konsekuensi positif atas perilaku yang ia tunjukkan, seperti pemberian poin setiap kali mahasiswa mengumpulkan lebih cepat dari tenggat waktu yang telah ditentukan, mendapat poin saat masuk ke kelas tepat waktu dan lain sebagainya. Penelitian ini menggunakan positive reinforcement, seperti pemberian poin jika melakukan perilaku yang diharapkan karena reinforcement merupakan cara yang lebih baik dalam memotivasi dibandingkan dengan punishment (Blanchard & Thacker, 2010). 2.4. Kerangka Berpikir Penelitian ini akan mengukur tingkat prokrastinasi akademik jika dipengaruhi
oleh
kebutuhan
berprestasi
dan
positive
reinforcement.
prokrastinasi akademik merupakan kecenderungan individu untuk menunda pekerjaan mereka sampai saat-saat terakhir dan dilakukan secara sadar. Banyak
30
faktor yang memicu seseorang dalam melakukan prokrastinasi diantaranya adalah kurangnya motivasi diri, menentukan prioritas tugas yang ada, dan banyaknya tugas yang diberikan dalam satu waktu (Nathally, 2011). Ferrari (2010) menyebutkan bahwa prokrastinasi dipengaruhi oleh faktor psikologis seseorang yang mencakup motivasi, self-esteem, self-control, tingkat kecemasan dan efikasi diri. Selain itu, prokrastinasi (Warner, 2009) lebih dikatakan sebagai masalah motivasi daripada masalah manajemen waktu. Dia juga menyebutkan bahwa jika individu memiliki motivasi baik internal ataupun eksternal, maka individu tersebut akan kurang melakukan prokrastinasi akademik. Pendapat-pendapat tersebut membuat peneliti ingin menambahkan motivasi internal dan eksternal ke dalam penelitian untuk melihat pengaruhnya terhadap prokrastinasi akademik. Pertama, kebutuhan berprestasi yang merupakan suatu usaha yang sistematis, cepat dan semaksimal mungkin dalam mengerjakan sesuatu tugas (Murray, 1938). Dari segi definisi dan cara pengerjaan tugas, kebutuhan berprestasi bertolak belakang dengan prokrastinasi akademik. Ditambah lagi dengan adanya 2 penelitian yang menemukan bahwa adanya korelasi negatif antara motivasi berprestasi dengan prokrastinasi akademik (Rumiani, 2006; Delta, 2010). Hal ini didukung lagi oleh beberapa penelitian yang menunjukkan hal yang sama yaitu individu yang melakukan prokrastinasi akademik menunjukkan motivasi berprestasi yang rendah (Rumiani, 2006). Kedua, positive reinforcement, dimana menurut teori reinforcement, reinforcement lebih baik dibandingkan dengan pemberian hukuman bagi para prokrastinator (Blanchard & Thacker, 2010). Selain itu,
31
ditambah dengan pernyataan Ferrari (2010)
yang menyebutkan bahwa
prokrastinasi merupakan hasil dari perilaku yang diperkuat. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti ingin mengetahui seberapa besar
pengaruh
variabel
bebas
(kebutuhan
berprestasi
dan
positive
reinforcement) terhadap prokrastinasi akademik.
Motivasi Internal (X1): Kebutuhan Berprestasi Cara kerja yang bertolak belakang, penelitian sebelumnya yang menemukan adanya Mahasiswa melakukan perilaku
Warner (2009):
hubungan antara motivasi berprestasi dengan prokrastinasi
Prokrastinasi akademik
Y
akademik
menunda tugas
Prokrastinasi
dipengaruhi oleh sampai detikmotivasi internal
Motivasi eksternal (X2):
detik terakhir dan eksternal Positive reinforcement Pemberian reinforcement lebih baik dibanding dengan hukuman (Blanchard & Thacker, 2010), prokrastinasi akademik merupakan hasil dari perilaku yang telah diperkuat Gambar 2.1. Kerangka Berpikir
Akademik