BAB I PENDAHULUAN Kejadian traumatik merupakan peristiwa kehidupan yang dapat mengenai setiap orang. Dalam setiap kejadian traumatik yang terjadi, selalu ada implikasi kesehatan jiwa ,baik dalam kasus akibat bencana alam, misalnya gempa bumi, tsunami, angin ribut, atau pada bencana yang diakibatkan oleh manusia, misalnya perang, serangan teroris, kekerasan interpersonal. Dampak dari kejadian traumatik yang dialami oleh setiap orang tidaklah sama. Anak-anak lebih rentan dan sensitif terhadap dampak dari kejadian trauma yang dialaminya. 1 Kejadian traumatik yang dialami bila tidak dapat diatasi dengan baik dapat menimbulkan suatu kumpulan gejala yang berkaitan dengan kecemasan, kompleksitas gangguan kecemasan ini dikenal sebagai gangguan stres pasca trauma (Posttraumatic Stress Disorder/ PTSD)2 Menurut National Center for PTSD, lima juta anak di Amerika Serikat terpapar dengan kejadian
traumatik setiap tahunnya dan 36% di antaranya
mengalami gangguan stress pasca trauma. Menurut Stephen, et al. (2005), semakin
muda usia anak yang mengalami trauma semakin besar kemungkinan
berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma. Di Amerika Serikat sebanyak 39% periode anak awal yang mengalami trauma berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma, 33% pada periode anak akhir, dan 27% pada periode remaja.3 Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Menurut data dari klinik psikiatri RSCM/FKUI yang difungsikan sebagai Pusat Rujukan nasional untuk pengobatan psikis bagi korban bencana melihat makin tingginya angka kejadian bencana yang terjadi di Tanah Air belakangan ini. Kondisi itu membuat prevalensi penderita gangguan stres pasca trauma
meningkat.4 Salah
satu
bencana alam yang terbesar yakni, tsunami di Aceh yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dan mengakibatkan sekitar 165.708 korban jiwa meninggal. 5 Kejadian ini menyisakan duka yang mendalam akibat ditinggalkan keluarga yang dicintainya terutama pada anak-anak, mereka masih sangat membutuhkan orang tuanya dalam menjalani kehidupan dan hal ini dapat menyebabkan gangguan
1
kejiwaannya dalam massa perkembangannya. Berdasarkan
survei dari
Universitas Indonesia (UI) yang dibiayai WHO terhadap anak-anak di Aceh pasca tsunami menunjukkan bahwa sebanyak 20%-25% di antaranya mengalami ganguan stress pasca trauma dan membutuhkan pertolongan dari tenaga ahli (psikolog).6 Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya. Jumlah kasus pada 2008 mencapai angka 1.726 atau lebih dari empat kasus setiap harinya. Tahun berikutnya meningkat hingga 1.998, perharinya mencapai lima kasus lebih. Peningkatan mencapai 272 kasus. 7 Hal ini tentunya juga berdampak terhadap peningkatan angka kejadian gangguan stress pasca trauma pada anak Indonesia. Oleh karena semakin meningkatnya angka kejadian gangguan stress pasca trauma pada anak di Indonesia tiap tahunnya, baik yang disebabkan oleh bencana alam maupun bencana yang diakibatkan oleh manusia, misalnya kekerasan terhadap anak maka gangguan stres pasca trauma merupakan suatu topik permasalahan yang harus diperhatikan. Identifikasi pada anak yang mengalami trauma dan berisiko menjadi gangguan stress pasca trauma merupakan komponen yang penting dalam mencegah terjadinya gangguan mental ini. Pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, tanda dan gejala, diagnosis, terapi , serta pencegahan gangguan stress pasca trauma pada anak. Diharapkan dengan pembahasan ini dapat mengembangkan pemahaman tentang pentingnya mengenali secara dini dan memberikan terapi yang tepat pada anak yang mengalami trauma agar tidak mengalami gangguan stress pasca trauma yang berkepanjangan.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi
Gangguan stress pasca trauma merupakan sindrom kecemasan, labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah stres fisik maupun emosi ynag melampaui batas ketahanan orang biasa.8 Selain itu, gangguan stress pascatrauma (PTSD) dapat pula didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya.9 National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan gangguan stress pasca trauma (PTSD) sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan ataupun perang.10 Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, (DSM-IV-TR), PTSD didefinisikan sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian trauma yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, atau cidera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan ynag ekstrem, horror, atau rasa tidak berdaya.11 Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) gangguan stress pasca trauma merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar biasa akibat dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar biasa, jauh dari pengalaman yang normal bagi seseorang.12 Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan, gangguan stress pasca trauma merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, kematian, cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya hingga berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak
3
ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian. 2.2
Epidemiologi
Secara umum, prevalensi seumur hidup gangguan stress pasca trauma di Amerika Serikat sekitar 8%. Dari data statistik di Amerika Serikat diperkirakan setidaknya terdapat lebih dari 40% anak dan remaja pernah mengalami kejadian trauma dan berkembang menjadi PTSD sebesar 15% pada anak perempuan dan 6% pada anak laki-laki. Dari 3%-6% remaja yang selamat dari kejadian trauma bencana alam di Amerika Serikat, 30%-60% diantaranya mengalami PTSD. Pada anak yang melihat orang tuanya dibunuh serta yang mengalami kekerasan fisik maupun seksual hampir 100% cenderung mengalami PTSD.13 Di Indonesia meskipun belum terdapat data yang pasti berapa jumlah anak yang mengalami PTSD akibat kejadian trauma bencana alam akan tetapi dapat dikatakan jumlah anak yang mengalami PTSD meningkat seiring dengan angka kejadian bencana alam yang makin tinggi belakangan ini. 4 Di Indonesia sendiri, angka-angka kekerasan terhadap anak tidak pernah menunjukkan angka menurun, kecenderungannya selalu meningkat, World Vision yang melakukan pendataan ke berbagai daerah menemukan angka 1.891 kasus kekerasan selama tahun 2009, pada tahun 2008 hanya ada 1600 kasus . Sementara pengaduan langsung ke KPAI tahun 2008 ada 580 kasus dan tahun 2009 ada 595 kasus. Angka pastinya sulit diperoleh karena banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan. Akan tetapi, jelas bahwa angka kekerasan anak di Indonesia terus mengalami peningkatan dan hal ini berdampak terhadap peningkatan prevalensi PTSD pada anak Indonesia. 2.3
Etiologi
Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam perkembangan gangguan stres pasca trauma. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang maka
4
tubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan efek stress dari adrenalin. Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan fisik.3 Stresor dapat berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia, ataupun akibat kecelakaan. Stresor akibat bencana alam antara lain: menjadi korban yang selamat dari tsunami, gempa bumi, badai. Kejadian trauma akibat ulah manusia antara lain: menjadi korban banjir, penculikan, perkosaan, kekerasan fisik, melihat pembunuhan, perang, dan kejahatan kriminal lainnya di mana ia tinggal. Kejadian trauma juga dapat terjadi akibat kecelakaan baik, yang menyebabkan cidera fisik maupun yang tidak. Pada pasien yang menerima hasil diagnosis penyakit yang mematikan baik terhadap dirinya ataupun orang terdekatnya dapat menjadi stresor.13,17 Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stres pasca trauma setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stresor diperlukan, namun stresor tidaklah cukup untuk menyebabkan gangguan. Terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan antara lain:9,15
Faktor biologis
Pada anak yang sebelumnya memiliki gangguan cemas memiliki risiko lebih tinggi berkembang menjadi PTSD setelah mengalami trauma. Hal ini berhubungan dengan faktor predisposisi genetik di mana, seseorang yang memiliki riwayat gangguan depresi dan gangguan cemas di keluarganya menjadi faktor predisposisi PTSD setelah anak tersebut terpapar dengan kejadian traumatik. Pada anak yang mengalami PTSD ditemukan beberapa abnormalitas psikobiologikal antara lain: perubahan kompleks dalam fungsi aksis hipotalamuspituitari-adrenal, terjadinya peningkatan ekskresi metabolit adrenergik dan
5
dopaminergik, volume intrakranial dan area korpus kolusum yang lebih kecil, defisit memori, dan IQ yang rendah. Faktor psikologi
Classical
dan
operant
perkembangan terjadinya PTSD.
conditioning Stresor
dapat
yang
diimplikasikan
ekstrem
secara
pada tipikal
menimbulkan emosi yang negatif ( sedih, marah, takut) sebagai bagian dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis (fight or flight response). Classical conditioning terjadi pada saat seseorang yang mengalami peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya trauma maka akan timbul reaksi psikologi yang tidak disadari dan merupakan respon refleks yang spesifik. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil yang serius akan timbul respon berupa ketakutan, berkeringat, takkardi setiap kali dia melewati tempat kejadian tersebut. Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman kejadian trauma yang dialaminya sehingga didapatkan tingkah laku yang tidak disukai dan tidak akan diulangi. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil maka ia akan berusaha untuk menghindari berada di dalam mobil. Modelling merupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut berperan dalam perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orang tua terhadap pengalaman traumatik anak merupakan prediksi terhadap keparahan gejala PTSD anak. Faktor sosial
Dukungan sosial yang
tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan
meningkatkan risiko perkembangan PTSD setelah anak mengalami kejadian traumatik. 2.4
Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko seseorang mengalami gangguan stres pasca trauma, antara lain:3,13,15,16
Seberapa berat dan dekatnya trauma yang dialaminya. Semakin
berat trauma yang dialami dan semakin dekat ia berada saat kejadian semakin meningkatkan risiko PTSD
6
Durasi trauma yang dialamiya. Semakin lama/kronik seseorang
mengalami kejadian trauma semakin berisiko berkembang menjadi PTSD ( misalnya: kekerasan pada anak di rumah)
Banyaknya trauma yang dialami. Trauma yang multipel lebih
berisiko menjadi PTSD
Pelaku kejadian trauma. Semakin dekat hubungan antara pelaku
dan korban (misalnya: kekerasan anak yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri) semakin berisiko menjadi PTSD
Kejadian trauma yang sangat interpersonal seperti, perkosaan
Jenis kelamin: anak dan remaja perempuan lebih berisiko
dibandingkan laki-laki
Kondisi sosialekonomi
yang rendah (kaum minoritas) berisiko
lebih tinggi akibat dari tingginya angka kekerasan di daerah tempat ia tinggal.
Usia : PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anak-
anak dan usia tua (>60 tahun) merupakan kelompok usia yang lebih rentan mengalami PTSD. Anak-anak memiliki kebutuhan dan kerentanan khusus jika dibandingkan dengan orang dewasa, teruama karena masih ketergantungan dengan orang lain, kemampuan fisik dan intelektual yang sedang berkembang, serta kurangnya pengalaman hidup dalam memecahkan berbagai persoalan sehingga dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak.
Seseorang yang memiliki gangguan psikiatri lainnya seperti:
depresi, fobia sosial, gangguan kecemasan.
Memiliki penyakit organik yang berat dan kronis seperti, kanker
Pasien yang berada di bawah pengaruh anestesi akan tetapi
memperoleh kembali kesadarannya saat dilakukannya operasi
Seseorang yang tidak berpengalaman dan tidak memperoleh
pelatihan dalam menghadapi bencana lebih berisiko dibandingkan mereka yang mendapatkannya
(seperti:
polisi,
petugas
pemadam
kebakaran,
petugas
paramedik)
7
Hidup di tempat pengungsian ( misalnya: sedang ada peperangan/
konflik di daerahnya)
Kurangnya dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan
2.5
Tanda dan Gejala Gejala-gejala PTSD dikelompokkan dalam tiga kategori utama.
Diagnosis dapat ditegakkan bila gejala-gejala dalam kategori berlangsung selama lebih dari satu bulan. Tiga kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD adalah pertama, mengalami kembali kejadian traumatik. Seseorang kerap teringat akan kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Gejala flashback (merasa seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan. Kedua, penghindaran stimulus yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpkir tentang trauma atau menghadapi stimulus yang akan mengingatkan akan kejadian tersebut, dapat terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah menurunnyaa ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan dan ketidak mampuan untuk merasakan berbagai emosi positif. Gejala ini menunjukkan adanya menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu, juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal. Ketiga, gejala ketegangan. Gejala ini meliputi sulit tidur atau mempertahankannya, sulit berkonsentrasi, wasapada berlebihan, respon terkejut yang berlebihan, termasuk meningkatnya reaktivitas fisiologis.13 Perkembangan kemampuan anak di setiap tahapan usia berbeda dalam cara berpikir, kematangan emosional, dan kemampuan berhubungan sosial. Ketiga hal itu akan mempengaruhi cara anak bereaksi terhadap pengalaman yang tidak menyenangkan, menyakitkan, menyedihkan yang terjadi akibat peristiwa traumatk tersebut.
8
Oleh karena itu, tanda dan gejala PTSD pada anak dapat dibedakan berdasarkan penggolongan umur:3
Young children ( usia 1-6 tahun)
oPasif, kurang responsif oTakut terhadap banyak hal (tidak spesifik) oArousal yang tinggi oMerasa kebingungan oSulit berbicara terhadap suatu peristiwa oSulit mengenali perasaan baik terhadap dirinya maupun orang lain oMengalami gangguan tidur, mimpi buruk oMelekat terus pada pengasuhnya (takut terpisah/ sendirian) oTimbul gejala regresif
(mengalami kemunduran perkembangan yang
sudah dikuasai anak misalnya, menjadi tidak mau bicara, mengompol) oTidak mampu memahami dan cemas akan kematian oTimbul gejala somatik (sakit perut, sakit kepala) oTidak mau bergerak (freezing) oRewel melebihi anak normal (menangis tanpa sebab)
School age children ( usia 6-11 tahun):
oMerasa bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian traumatik yang dialaminya oGangguan tidur, mimpi buruk oDisorientasi urutan terjadinya peristiwa traumatik oTingkah laku yang agresif, mudah marah dan meledak-ledak oPosttraumatic play (secara kompulsif melakukan berbagai jenis permainan yang berkaitan dengan peristiwa ttraumatik) oWaspada berlebihan, gelisah oPerasaan ketakutan oMenghindari sekolah oTerlalu mencemaskan orang lain
9
oTerjadi perubahan tingkah laku, mood, kepribadian oGejala somatik ( mengeluhkan badannya terasa sakit) oMudah cemas oMengalami kemunduran dalam berhubungan dengan orang lain oTakut terpisah (tidak berani sendirian) oKehilangan minat dalam melakukan aktivitaas oSulit konsentrasi di sekolah sehingga terjadi penurunan prestasi di sekolah oMemberikan penjelasan yang berkaitan dengan hal gaib
Preadolescents dan adolescents ( uisa 12-18 tahun):
oMemiliki sifat memberontak baik di rumah maupun sekolah oMenolak bersekolah oKebingungan, seringkali menjadi iritabel oBerlaku kasar dan tidak sopan dalam berhubungan dengan orang lain oMelakukan berbagai tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri oDepresi, menarik diri dari pergaulan sosial oMengalami kemunduran prestasi di sekolah oGangguan makan dan tidur oHanya berfokus terhadap dirinya sendiri tanpa memperdulikan sekitarnya oMemiliki hasrat untuk balas dendam atas peristiwa yang dialaminya oSikap yang kaku, canggung dalam pergaulan oMelakukan aktivitas yang berlebihan sendirian 2.6
Diagnosis
Kriteria diagnosis PTSD menurut Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder IV Text Revision (DSM IV TR) yaitu:18 A. 1.
Kejadian traumatik Satu atau banyak pristiwa yang membuat seseorang mengalami,
menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian yang berupa ancaman kematian, cidera yang serius atau ancaman terhadap integritas fisik dirinya sendiri
10
atau orang lain. 2.
Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan ketakutan,
kengerian, tau ketidakberdayaan yang sangat kuat. B. Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini: 1.
Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya
dan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi) 2.
Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya
(yang mencemaskan) 3.
Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang
dialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi, 4.
haluinasinya)
Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yang
mengingatkan terhadap kejadian trauma (kenangan akan peristiwa trauma) C.
Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma
dan mematikan perasaan/ tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma masih berespon). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini: 1.
Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang
berhubungan dengan kejadian trauma 2.
Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang
dapat
membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya 3.
Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yang
dialaminya 4.
Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting
berkurang 5.
Merasa terasing dari orang di sekitarnya
6.
Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapa merasakan cinta)
7.
Perasaan bahwa masa depannya suram
D.
Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau
lebih gejala di bawah ini: 1.
Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempeertahankannya
2.
Sulit berkonsentrasi
3.
Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya
11
4.
Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan)
5.
Reaksi kaget yang berlebihan
E.
Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan
F.
Gangguan/ gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan
fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya Selain itu, secara spesifikasi diagnosis PTSD dapat diidentifikasi sebagai: (1) akut, bila gejala berlangsung satu sampai tiga bulan (2) kronis, bila gejala berlangsung lebih dari tiga buan (3) Awal gejala / onset yang tertunda bila gejala dimula sedikitnya enam bulan setelah kejadian traumatik/stresor Selanjutnya, menurut International Classification of Diseases 10 (ICD-10) kriteria diagnosis PTSD sebagai berikut:19 A.
Pasien harus pernah terpapar pada suatu peristiwa atau situasi yang
menimbulkan stress (sebentar/lama) yang sifatnya malapetaka atau sangat mengancam sehingga mungkin akan menyebabkan stres pada hampir semua orang B.
Terus menerus mengingat atau menghayati lagi penyebab stress dalam
bentuk kilas balik yang mengganggu, kenangan yang jelas sekali atau mimpi yang berulang, atau mengalami keemasan ketika menghadapi keadaan yang mirip atau berkaitan dengan penyebab stres C.
Pasien harus memperlihatkan suatu penghindaran nyata dari keadaan
yang mirip atau berhubugan dengan penyebab stress yang tidak ada sebelumnya D. a.
Salah satu dari hal berikut harus terjadi: tidak mampu mengingat sebagian atau seluruhnya dari beberapa
aspek penting selama masa terpapar pada penyebab stres b.
gejala yang terus menerus dari adanya peningkatan kepekaaan
psikologis dan sensasi (tidak ada sebelum terpapar dengan penyebab stres), ditunjukkan oleh dua dari berikut ini: (1) sulit untuk memulai tidur dan mempertahankannya, (2) mudah marah atau amarah yang meledak-ledak, (3) sulit berkonsentrasi, (4) kewaspadaan yang sangat tinggi, dan (5) reaksi kaget yag berlebihan E.
Kriteria B, C, dan D semuanya terjadi dalam kurun waktu enam bulan
setelah peristiwa traumatik terjadi
12
Pedoman diagnostik gangguan stress pasca trauma menurut PPDGJ III (F 43.1) yaitu:20 Diagnosis baru ditegakkan bilamana gannguan ini timbul dalam
kurun waktu enam bulan setelah kejadiian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui enam bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu enam bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori ganngguan lainnya.
Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-
bayang
atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-
ulang kembali (flashbacks)
Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku
semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas
Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stress yang
luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa). Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya semua kriteria di atas dapat dipergunakan bagi anak-anak. Anak-anak memilki keterbatasan dalam kemampuan verbalnya dan memiliki cara yang berbeda dalam bereaksi terhadap stress. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak mungkin tidak memenuhi kriteria DSM-IV-TR
secara penuh meskipun secara jelas
anak
tersebut memilki gangguan psikiatri yang analog dengan PTSD pada dewasa. Biasanaya anak seringkali tidak memilki tiga tanda dari numbing (mematikan perasaannya) dan withdrawl (menarik diri) seperti pada orang dewasa karena kemampuan verbal untuk mengekspresikan perasaannya masih kurang. Anakanak mungkin mungkin mengalami perubahan anatara hiperarousal dan numbing/ withdrawl.
13
Scheeringa et al (1995) merekomendasikan perubahan kriteria PTSD bagi young children. Perubahan kriteria ini tidak mengharuskan anak dapat melaporkan ketakutannya sebagai respon terhadap trauma. Kriteria diagnosis yang digunakan bagi young child yaitu: a)
Anak tersebut setidaknya harus mengalami kembali salah satu tipe
pengulangan ingatan kejadian traumatik di bawah ini: Menunjukkan perilaku yang mencontoh trauma yang terjadi seperti, bermain tembak-tembakan atau mengulang adegan kekerasan sendiri atau bersama teman. Perilaku ini diulang-ulang tanpa variasi yang berarti Teringat kembali akan peristiwa trauma ( bisa secara tiba-tiba) Mengalami mimpi buruk/ mengerikan tanpa dapat mendeskripsikan isi mimpi tersebut Mengalami stres saat terpapar dengan kejadian yang mengingatkan akan trauma yang dialami b)
Perubahan kriteria ini juga hanya memerlukan satu dari gejala mati
rasa secara emosional dan perilaku menghindar di bawah ini (dewasa perlu tiga): Menarik diri dari pergaulan sosial Jarang mau bermain Mengalami kemunduran perkembangan terutama perkembangan bahasa dan toilet training Rentang afek yang terbatas (perasaan dan pikiran jadi datar, tumpul) c)
Memerlukan satu dari gejala hiperarousal di bawah ini:
Sulit memulai tidur (tidak berhubungan dengan takut mimpi buruk ataupun kegelapan) Terbangun waktu tidur malam hari (bukan karena mimpi buruk) Penurunan konsentrasi Respon terkejut yang berlebihan Sangat sensitif dan memiliki reaksi intens terhadap rangsangan yang mengingatkannya pada peristiwa traumatik
14
d) Ditandai oleh salah satu dari gejala ketakutan dan sikap bermusuhan di bawah ini: Takut gelap Takut pergi ke toilet sendirian Takut terhadap suatu hal baru yang tidak secara jelas berkaitan dengan trauma Takut terpisah dan takut ditinggal sendirian 2.7
Terapi
Sebelum menjalani terapi atau program-program apapun, ada baik nya dilakukan evaluasi psikologis pada anak terlebih dahulu. Tindakan ini untuk memahami kepribadian anak, trauma yang dialami, dan dampak dari trauma tersebut pada dirinya. Evaluasi juga dapat membantu terapis untuk memahami berbagai risiko tambahan dan menemukan kekuatan dari klien. Jika terapi diisyaratkan sebagai proses yang harus dijalani oleh anak, maka perlu konsultasi dengan terapis yang benar-benar berpengalaman dengan kasus anak-anak (bukan dewasa). Hal ini harus sangat diperhatikan karena proses evaluasi dapat dialami sebagai proses yang sangat berat dan dapat menimbulkan trauma sekunder. Setelah dilakukan evaluasi ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan menggunakan psikoterapi dan farmakoterapi. Hasil pengobatan akan lebih efektif jika kedua terapi ini dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang holistik dan komprehensif21
Psikoterapi22,23
Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Menurut penelitian Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan pendekatan yang paling efektif dalam mengobati anak dengan PTSD. Dalam Cognitive Behavioral Therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan menganggu kegiatan-kegiatan penderita PTSD misalnya, pada seorang anak korban kejahatan mungkin akan menyalahkan diri sendiri karena ketidakhati-hatiannya. Prinsip-prinsip behavioral
15
therapy digunakan untuk modifikasi perilaku dan proses re-learning. Tujuan terapi
ini
adalah
mengidentifikasi
pikiran-pikiran
yang
tidak
rasional,
mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.
EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing)
EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagai landasan yang mendasari patologi sekaligus kesehatan mental, karena jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilaku kita.Untuk memproses kembali informasi di dalam otak/jaringan memori yang telah ada, EMDR dijalankan dengan melakukan kegiatan fisik yang merangsang aktivasi pemrosesan informasi di dalam otak (dalam konteks EMDR disebut sebagai stimulasi bilateral) melalui indra pengelihatan/pendengaran/perabaan
Playtherapy
Playtherapy merupakan cara yang dapat digunakan untuk mengobati PTSD pada anak periode awal / young children. Pada terapi ini bertujuan untuk memahami trauma anak dan memberikan medium untuk berekspresi dalam mengurangi tekanan emosional ynag dialami. Bermain peran, menggambar, bermain dengan boneka atau benda-benda figural dapat dijadikan cara untuk menyesuaikan diri dan memberi kesempatan pada terapis untuk melakukan reexposure yaitu, membahas peristiwa traumatiknya dalam situasi yang mendukung. Para ahli juga menyarankan perlunya psikoedukasi pada anak dan keluarganya. Psikoedukasi dimaksudkan memberi pendidikan mengenai gejalagejala yang ditunjukkan anak dan cara- cara untuk mengatasinya terutama untuk membantu anak mengatasi kecemasannya. Psikoedukasi untuk anggota keluarga terutama orangtua dan pengasuh (termasuk guru) penting karena mereka yang setiap saat berada di dekat anak tersebut. Pengetahuan mereka mengenai reaksi psikotraumatik dan gejala-gejala perilakunya akan mebantu mereka untuk
16
berfungsi efektif dalam menghadapi anak yang sedang bermasalah tanpa memperparah kondisi anak tersebut.
Farmakoterapi
Farmakoterapi merupakan terapi dengan menggunakan obat-obatan. Terapi ini diperlukan untuk menstabilkan zat-zat di otak yang menyebabkan kecemasan, kekhawatiran, dan depresi atau dengan kata lain merupakan terapi simptomatik pada PTSD. Terapi obat ini bukanlah lini pertama dalam penanganan PTSD tetapi dapat dijadikan sebagai pendukung (adjuvan) psikoterapi agar tercapai hasil yang optimal dalam menangani kasus PTSD. 16
Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs)
SSRIs merupakan obat lini pertama dalam mengatasi gejala cemas, depresi, perilaku menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu). Obat ini meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptake serotonin diotak. Obat golongan SSRIs yang disetujui oleh FDA dalam mengatasi gejala depresi pada anak PTSD yakni, Fluoxetine (Prozac). Obat ini digunakan untuk anak usia lebih dari 8 tahun dengan dosis awal 10 mg/ hari selama satu minggu kemudian dapat ditingkatkan sampai 20 mg/hari dan diberikan secara peroral.
Beta adrenergic blocking agents
Obat yang digunakan golongan ini yakni, Propanolol (Inderal). Obat i ni dapat mengatasi gejala hiperarousal. Dosis untuk anak-anak: 2,5 mg/kg BB/hari
Mood stabiizers
Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang meninggi dan gejala impulsif. Dosis Carbamazepine (Tegretol): 6-12 tahun: 100mg/hari peroral untuk initial lalu dapat dinaikkan hingga 100mg/hari, untuk dosis maintenance; 20-30 mg/kg/hari >12 tahun: samapai kadar di plasma 8-12mcg/ml Dosis valporic acid (Depakene, depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk dosis initial dan kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari
17
2.8
Pencegahan Intervensi sedini mungkin akan menghasilkan terapi yang lebih
memuaskan dan akan mencegah berkembangnya stres pasca trauma menjadi gangguan stres pasca trauma Sehingga intervensi sejak dini untuk mengatasinya sangat penting, terutama bagi perkembangan emosional anak. Intervensi tersebut dapat berupa dukungan dari orangtua, guru, teman sekolah dan lingkungan sekitarnya yang dapat menimbulkan perasaan aman dan terlindungi bagi anak2.
BAB III KESIMPULAN Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, kematian, cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya hingga berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian. Identifikasi pada anak yang mengalami trauma dan berisiko menjadi gangguan stress pasca trauma merupakan komponen yang penting dalam mengatasi gangguan ini. PTSD terjadi akibat adanya kejadian traumatik dan perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang berperan antara lain: faktor biologis, faktor psikologis, faktor sosial, dan faktor lainnya yang dapat meningkatkan risiko terjadi gangguan ini. Tanda dan gejala penderita PTSD secara umum dapat dibagi menjadi tiga yakni: mengalami kembali kejadian trauma, menghindari stimulus, dan gejala hiperarousal. Pada anak dan remaja gejala dan tanda ini dapat dibagi lagi menurut kelompok umur. Pada anak yang mengalami gangguan stress pasca trauma sebaiknya dilakukan evaluasi psikoogis terlebih dahulu.Setelah dilakukan evaluasi ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan menggunakan psikoterapi
18
dan farmakoterapi.Hasil pengobatan akan lebih efektif jika kedua terapi ini dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang holistik dan komprehensif
DAFTAR PUSTAKA 1.
Reich JW, et al. Handbook of Adult Resilience. The Guilford Press.
USA:2010. page 265. 2. Post Traumatic Stress Disorder Research Fact Sheet.
2007.
Diambil dari http://www.nimh.nih.gov/health/publications/post-traumatic-stressdisorder-research-fact-sheet/index.shtml 3. Paige SR. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). 2005. Diambil dari http://www.emedicinehealth.com/posttraumatic_stress_disorder_ptsd/article_em.h tm 4.
Trauma
Bencana.
2
Februari
2008.
Diambil
dari
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=191913 5. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014. Diambil dari http://bnpb.go.id/website/documents/publikasi/Renas_PB_2010_2014.pdf 6. Aceh Jadi " Pilot Proyek” Layanan Kesehatan Mental. 11 Mei 2005.
Diambil
dari
http://www.acehrecoveryforum.org/id/index.php?
action=PSCM&no=39 7. Angka Kekerasan terhadap Anak Makin Meningkat. 09 Juni 2010. Diambil dari http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/nasional/10/06/09/119081-angka-kekerasan-terhadap-anak-makinmeningkat 8.
Kaplan dan Saddock. 2002. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan
Prilaku Psikiatri Klinis. Binarupa Aksara. Jakarta.
19
9.
Saddock BJ, Saddock VA. Behavior Therapy. Kaplan & Sadock’s
Synopsis of Psikiatry Behavoioral Science/Clinical Psychiatry. 10 th ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. Philadelphia : 2007. 50(2): 1275-1277. 10. Post traumatic Stress Disorder (PTSD). 2010. Diambil dari http://www.nimh.nih.gov/health/topics/post-traumatic-stress-disorder ptsd/index.shtml 11. Posttraumatic
Stress
Disorder.
2002.
Diambil
dari
http://www.ncvc.org/ncvc/main.aspx? dbName=DocumentViewer&DocumentID=32364 12. http://www.depkes.go.id/downloads/Psikososial.PDF 13. Roxanne. 2007. Posttraumatic Stress Disorder. Diambil dari http://www.medicinenet.com/posttraumatic_stress_disorder/article.htm 14. Kekerasan Terhadap Anak. 2009. Diambil dari http://kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/83-kekerasan-terhadapanak-mengapa.html 15. Saddock BJ, Saddock VA. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th ed. LippincottWilliams & Wilkins. Philadelphia: 2005. 46(2) :3287-3291 16. Roy HL. Posttraumatic Stress Disorder in Children. 2008. Diambil dari http://emedicine.medscape.com/article/918844-overview 17. Volkman MK. Children and Traumatic Incident Reduction: Creative and Cognitive Approaches. 1th ed. Loving Healing Press: USA. 2007. 15:169-174. 18.
Posttraumatic Stress Disorder DSM-IVTM Diagnosis and Criteria..
Diambil dari http://www.mental-health-today.com/ptsd/dsm.htm 19. http://www.who.int/classifications/icd/en/GRNBOOK.pdfGeneva 93 20.
Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa , Rujukan
Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: PT.Nuh Jaya 21. Schnurr, Paula. Treatment for PTSD: Understanding the Evidence. 2008. Diambil dari http://www.ptsd.va.gov/professional/newsletters/researchquarterly/V19N3.pdf 22. Kathleen KT. Clinical Management of Posttraumatic Stress Disorder. 2003. Diambil dari http://www.granitescientific.com/granitescientific %20home%20page_files/ClinicalTreatmentofPTSD.pdf
20
23.
Kaminer D, Seedat S. World Psychiatric Association Post-
traumatic stress disorder in children World Psychiatry. 2005 June; 4(2): 121–125.
21