TINJAUAN PUSTAKA Kecerdasan Emosional Definisi Kecerdasan Emosional Istilah kecerdasan emosi diciptakan oleh Peter Salovey dan John Mayer 1990. Kecerdasan emosional amat penting peranannya bagi seseorang karena manusia merupakan makhluk emosi. Sering kali seseorang membuat keputusan seharian dengan tidak berlandaskan logika tetapi karena terbawa oleh perasaan atau emosi diri. Orang yang memiliki kecerdasan emosional rendah akan terombang-ambing dengan perasaan yang tidak menentu, sehingga sukar dalam membuat keputusan yang cepat (Segal 2000, diacu dalam Tanmella 2002). Kecerdasan emosional merupakan kecerdasan emosi dan keterampilanketerampilan dalam mengatur emosi yang menyediakan kemampuan untuk menyeimbangkan emosi sehingga dapat memaksimalkan kebahagiaan hidup jangka panjang. Kehidupan emosi memang merupakan wilayah yang dapat ditangani dengan keterampilan-keterampilan yang lebih tinggi atau lebih rendah, dan membutuhkan keahlian tersendiri (Goleman 1999). Emosi atau perasaan merupakan suasana psikis atau suasana batin yang dihayati seseorang pada suatu saat. Dalam kehidupan sehari-hari keduanya sering diartikan sama. Namun, sesungguhnya perasaan menunjukkan suasana batin yang lebih tenang, sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang lebih dinamis, bergejolak, terbuka, dan menyangkut ekspresi-ekspresi jasmaniah. Emosi seperti halnya perasaan juga membentuk suatu kontinum, bergerak dari emosi positif sampai yang bersifat negatif (Sukmadinata 2003). Minimal ada empat ciri emosi, yaitu adanya pengalaman emosional bersifat subjektif/pribadi, adanya perubahan aspek jasmaniah, adanya ekspresi dari emosi dalam bentuk perilaku, dan emosi sebagai motif yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan (Sukmadinata 2003). Emosi memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia karena merupakan aspek dari kemampuan pengembangan pola tingkah laku seseorang. Emosi dikatakan penting karena orang yang matang adalah orang yang telah memiliki pengendalian dan kemandirian dalam tingkah lakunya, karena sangat penting bagi cara pengambilan keputusan yang rasionalitas (Goleman 1999). Goleman (1995) menyatakan bahwa kecerdasan emosional memegang peranan dalam keberhasilan seseorang dibandingkan dengan IQ, yang sudah
39
lama dipercaya orang dapat meramalkan keberhasilan. IQ tidak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa kecerdasan emosional. IQ tidak menawarkan persiapan menghadapi gejolak dan kesempatan-kesempatan atau kesulitankesulitan yang ada dalam kehidupan, sedangkan orang yang secara emosional terampil memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan. Dengan
memiliki
kecerdasan
emosi
yang
tinggi,
individu
dapat
menghadapi berbagai macam kejadian yang tidak terduga dalam kehidupannya. Hal ini sangat menolong dalam melakukan penyelesaian dengan lingkungan dan orang lain (Goleman 1995). Goleman (1995) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan-kemampuan seperti mampu untuk memotivasi diri sendiri dan bertindak
gigih/bertahan
mengendalikan
dorongan
menghadapi
keadaan-keadaan
hati/rangsangan
dan
tidak
yang
frustasi;
melebih-lebihkan
kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Layaknya
kecerdasan
kognitif,
kecerdasan
emosional
anak-anak
ditentukan oleh kepribadian yang dibawa sewaktu anak lahir (genetik) dan dibentuk juga oleh interaksi-interaksi dengan orangtua dan lingkungannya (Gottman & DeClaire 1998). Oleh karena itu, orangtua dan lingkungan sekolah sebenarnya memiliki peluang besar untuk mempengaruhi kecerdasan emosional anak-anak dengan menolong anak mempelajari suatu emosi yang cerdas. Menurut Sarwono (1976) pertumbuhan dan perkembangan emosi ditentukan oleh proses pematangan dan proses belajar. Kecerdasan emosi menurut Goleman (1995) meliputi mengenali emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan seni membina hubungan. Mengenali emosi diri. Adanya kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu terjadi dibutuhkan dalam mengenali emosi diri. Kesadaran diri (self awarness) menurut Goleman (1995) berarti waspada baik terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati. Penggolongan emosi menurut Goleman (1997) yaitu amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan (bahagia), cinta, terkejut, jengkel, dan malu. Mengelola emosi.
Pengendalian emosi dilakukan bukan dengan
menekan emosi melainkan mampu menyalurkan emosi dan mengalihkan suasana hati melalui kegiatan positif seperti nonton, membaca buku, aerobik,
40
mandi air panas, makan makanan kegemaran, pergi berbelanja, mencoba untuk melihat permasalahan dari sudut pandang baru, dan menolong orang lain (Goleman 1999). Emosi yang terlalu ditekan akan tercipta kebosanan dan kesenjangan. Emosi yang tidak dapat dikendalikan dapat menyebabkan gangguan emosi. Bila emosi berlangsung dengan intensitas tinggi dan melampaui titik wajar, emosi akan beralih menjadi hal-hal ekstrim yang menekan seperti kecemasan kronis, amarah yang tidak terkendali, bahkan depresi. Tujuan pengelolaan emosi adalah tercapainya emosi yang wajar, yang merupakan keselarasan antara perasaan dan lingkungan. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci kesejahteraan emosi (Goleman 1995). Bila emosi mengalahkan konsentrasi, yang dilumpuhkan adalah kemampuan mental yang sering disebut dengan ingatan kerja, yakni kemampuan untuk menyimpan dalam benak semua informasi yang berkaitan dengan tugas yang sedang dihadapi (Goleman 1995). Memotivasi diri. Memotivasi merupakan salah satu dasar kecerdasan emosional yang akan meningkatkan keberhasilan dalam segala bidang suatu kumpulan perasaan antusiasme, gairah, dan keyakinan diri dalam mencapai prestasi. Banyak orang mencapai prestasi tinggi karena mempunyai tingkat ketahanan dan ketekunan yang bergantung pada sifat emosional antusiasme serta kegigihan menghadapi tantangan (Goleman 1995). Orang dapat menjadi tahan dan tekun dalam mengerjakan sesuatu jika menunda kepuasan sementara. Emosi-emosi seperti kepuasan pada hasil kerja dapat mendorong untuk berprestasi. Kecerdasan emosional mempunyai kemampuan yang mendalam untuk mempengaruhi semua kemampuan lain, baik memperlancar maupun menghambat kemampuan-kemampuan lain (Goleman 1995). Mengenali emosi orang lain. Empati adalah kemampuan untuk mengetahui perasaan orang lain. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri. Semakin terbuka seseorang terhadap emosinya sendiri, semakin terampil membaca perasaan. Kegagalan untuk mengetahui perasaan orang lain merupakan kekurangan utama dalam kecerdasan emosional. Cara untuk menunjukan empati adalah mengidentifikasikan perasaan orang lain, yaitu dengan menempatkan diri secara emosional pada posisi orang lain (Goleman 1995). Seni membina hubungan. Mampu memahami emosi orang lain merupakan inti membina hubungan yang merupakan salah satu aspek dari
41
kecerdasan emosi. Untuk dapat menangani emosi orang lain dibutuhkan keterampilan emosional yang lain yaitu manajemen diri dan empati. Dengan landasan itu, keterampilan berhubungan dengan orang lain akan menjadi matang. Kemampuan sosial seperti ini memungkinkan seseorang membentuk hubungan, untuk menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan, mempengaruhi, dan membuat orang lain merasa nyaman (Goleman 1995). Berangkat dari dua keterampilan emosi dasar dalam menangani emosi orang lain, maka kunci kecakapan sosial adalah seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan perasaan diri sendiri. Semakin terampil seseorang secara sosial, semakin baik mengendalikan emosi (Goleman 1995). Kecerdasan Emosional dan Proses Belajar Perkembangan intelektual anak sangat terkait erat dengan keadaan emosionalnya. Perasaan anak terhadap diri dan kemampuan dapat berpengaruh besar terhadap keberhasilan di sekolah. Anak yang mengalami gangguan emosi dan sosial dapat mempengaruhi prestasi belajar dan anak butuh waktu untuk mengejar ketertinggalan. Pendapat ini diperkuat oleh Freeman dan Munandar (2002) bahwa masalah emosional bisa mengganggu kegiatan belajar. Menurut Schaefer dan DiGeronimo ada anak-anak yang tidak cukup dewasa dalam perkembangannya untuk bisa mengikuti pelajaran dengan baik, mungkin anak sebenarnya cukup pintar, hanya karena ketertinggalan perkembangan emosional dan sosial membuat anak bisa tinggal kelas (Nakita 2001). Hasil riset menunjukkan bahwa anak-anak cerdas bisa menyesuaikan diri secara emosional, lebih baik daripada anak-anak biasa. Anak lebih sedikit mempunyai masalah-masalah emosional dan lebih mampu mengatasi masalah yang dihadapinya. Secara emosional anak yang cerdas lebih stabil dan lebih matang dibanding teman-teman seusianya, anak cerdas lebih bergembira,dan lebih antusias terhadap hidup (Beck 1998). Goleman
(1995)
menjelaskan
bahwa
EQ
lebih
utama
daripada
kemampuan kognitif. Ketika seseorang terganggu emosi sulit baginya untuk berpikir jernih, mengingat, konsentrasi belajar dan kapasitas intelektualnya terganggu. Hasil penelitian Terman, anak yang EQ nya tinggi punya prestasi yang baik, yaitu lebih original, lebih ulet, lebih bermotivasi untuk dapat berprestasi yang paling baik. Selain itu juga lebih baik dalam penyesuaian sosial,
42
sehingga dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik (Monk, Knoers, Haditono 1987) Sukiat (1986) menyatakan bahwa anak-anak yang berhasil dan dapat berprestasi secara optimal, memiliki ciri–ciri antara lain punya tanggung jawab pribadi yang lebih besar dan bersikap positif dalam hubungan dengan orang lain, kurang punya hambatan emosional, serta mampu mengatasi hambatanhambatan yang berhubungan dengan taraf perkembangan fisik. Anak-anak cerdas ada yang memiliki sifat lincah, bisa bergaul dengan siapapun, sangat bersahabat, tetapi ada juga yang pemalu dan suka menyendiri (Freeman & Munandar 2000). Hari pertama anak masuk sekolah, anak-anak cerdas lebih mandiri dan cukup dalam pelajaran-pelajaran. Umumnya sangat peka terhadap orang lain, terlebih pada kedua orang tua. Pengaruh teman sangat penting bagi perkembangan emosi dan intelektual anak (Freeman & Munandar 2000). Anak-anak yang tidak memiliki teman lebih suka tumbuh menjadi orang dewasa yang stabil dan seimbang. Selain itu, anak-anak yang cerdas menerima banyak simpati dan kasih sayang serta memiliki kemampuan beradaptasi, dan suka berteman. Anak-anak yang memiliki bakat untuk bergaul memiliki banyak teman dan mudah mengerti perasaan anak-anak lain, meskipun tidak berarti lebih cerdas daripada temanteman yang lain. Puspitawati
(2006)
menyatakan
bahwa
faktor
pendukung
yang
berkontribusi signifikan secara langsung dalam mempengaruhi kenakalan pelajar adalah tingkat hubungan dengan teman-temannya. Pelajar bersama-sama dengan teman seusianya merasa memiliki keterkaitan dan hubungan atau emotional bonding dengan peer grupnya, sehingga tercipta suatu perasaan ikatan kesamaan baik tujuan, nasib, pengalaman, maupun motivasi hidup. Ikatan perasaan inilah kemudian melahirkan adanya komitmen bersama dalam melakukan tindakan. Interaksi Anak Dalam Keluarga Orangtua berperan besar dalam perkembangan kepribadian anak. Orangtua menjadi faktor dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran seseorang setelah dewasa. Jadi gambaran kepribadian yang terlihat dan diperlihatkan seorang remaja banyak ditentukan oleh keadaan dan proses yang ada dan yang terjadi sebelumnya (Gunarsa & Gunarsa 1990).
43
Sikap orangtua mempengaruhi cara orangtua memperlakukan anak dan perlakuan orangtua terhadap anak sebaliknya mempengaruhi sikap dan perilaku anak terhadap orangtua. Pada dasarnya hubungan orangtua-anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua sangat menentukan hubungan keluarga. Sekali hubungan terbentuk, maka cenderung bertahan. Orangtua yang mempunyai kemampuan yang baik tentu akan mempunyai cara, sikap, dan waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan anak. Tingkah laku orangtua dapat mempengaruhi dalam pembinaan anak-anak. Hubungan yang baik dalam keluarga antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping anggota keluarga akan dapat terjalin dengan baik apabila komunikasi berjalan dengan baik dalam lingkungan keluarga (Effendi et al 1995, diacu dalam Kunarti 2004). Interaksi sosial yang pertama kali dialami oleh anak adalah hubungan anak dengan ibunya, kemudian meluas dengan ayah dan anggota keluarga yang lain. Dalam pemberian stimulasi mental pada anak maka peran seorang ibu untuk pengasuhan anak sangat besar. Interaksi ibu-anak sebagai suatu pola perilaku yang mengikat ibu dan anak secara timbal balik yang mencakup berbagai upaya keluarga secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Puspitawati (2006) dalam penelitiannya mengindikasikan orangtua yang berkompeten adalah yang melakukan pengasuhan dengan hangat dan mendukung, menghargai anaknya, mencintai anaknya, melakukan kegiatan bersama, menanyakan pendapat, dan membantu memecahkan masalah bersama. Gaya pengasuhan yang dilakukan baik oleh ibu maupun ayah merupakan variabel mediator antara keadaan sosial-ekonomi keluarga dan outcome pelajar di SMK TI dan SMU (tingkat penghargaan diri, tingkat kecerdasan emosional, dan perilaku kenakalan pelajar). Ilmu sosiologi menggunakan pendekatan bahwa hubungan antar manusia harus didahului oleh kontak dan komunikasi. Hubungan antar manusia saling mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya melalui pengertian yang diungkapkan, informasi yang dibagi, dan semangat yang disumbangkan. Model interaksi dari proses komunikasi juga menunjukkan perkembangan peran (role development), pengambilan peran (role-taking) dan pengembangan diri sendiri (development of self) karena manusia berkembang melalui interaksi sosialnya. Komunikasi manusia juga terjadi dalam konteks budaya tertentu, mempunyai batas-batas tertentu. Keluarga mempunyai interaksi yang memberikan ikatan
44
bonding
(hubungan
biologis
dan
hubungan
intergenerasi
serta
ikatan
kekerabatan) yang jauh lebih lama dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya. Interaksi dalam keluarga ini lebih dipandang sebagai suatu interaksi umum antar anggota keluarga, suatu seri interaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak (dyadic), sejumlah interaksi antara sub-kelompok keluarga: dyadic, triadic, tetradic, dan sistem hubungan internal keluarga sebagai reaksi terhadap sistem sosial yang lebih luas ( Klein dan White 1996, diacu dalam Puspitawati 2006). Hubungan diadik antara orangtua dan anak dibagi menjadi dimensi kehangatan dan kekasaran. Hubungan diadik adalah hubungan dua arah antara dua individu yang mengindikasikan aspek pengaruh individu yang diakibatkan karena kontak hubungan. Penelitian Puspitawati (2006) menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat jumlah contoh dari sekolah negeri maupun sekolah swasta melaporkan adanya hubungan yang hangat dan mendukung dari pihak ayah maupun ibu terhadap anaknya. Sikap tersebut tercermin dari perilaku ayah dan ibu dalam hal menanyakan pendapat, mendengarkan pendapat, menghargai pendapat, memberikan kepedulian, mencintai dengan hangat, membantu pekerjaan, tertawa bersama, bertindak sportif dan pengertian, dan menyatakan cinta kepada anaknya. Hubungan diadik antara orangtua dan anak adalah hubungan timbal balik dua arah yang didasari oleh perasaan dan perilaku saling menyayangi, menolong atau membenci antara satu dengan yang lainnya. Merujuk pada Rohner (1986) bahwa perilaku kekasaran orangtua mengarah pada tindakan penolakan, kasar, dan keras dari orangtua terhadap anaknya. Pada penelitian Puspitawati (2006) ditemukan bahwa kurang dari setengah jumlah contoh dari sekolah negeri maupun swasta mendapatkan perlakuan dan hubungan yang keras dan kasar dari orangtuanya. Hal tersebut tercermin dari perlaku orangtua yang mengancam, membuat perasaan bersalah, memukul, menarik rambut, bertengkar, menangis, tersedu-sedu apabila tidak puas dengan perbuatan anaknya, menyindir atau sumpah serapah, berbicara dengan kasar, dan memanggil dengan panggilan yang jelek terhadap anaknya. Permasalahan keluarga yang semakin rentan akhir-akhir ini dikarenakan semakin melemahnya kualitas komunikasi antara anggota keluarga sehingga memudarnya fungsi keluarga dalam melindungi anggotanya dari pengaruh pihak luar. Pengaruh luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan
45
teknologi komunikasi di era informasi globalisasi (Susanto-Sunario 1995, diacu dalam Puspitawati 2006). Komunikasi dan interaksi dalam keluarga adalah bagian dari proses sosialisasi anak yang dilakukan oleh orangtua. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam proses sosialisasi, yaitu: pola perilaku yang disosialisasikan, agen yang berpartisipasi dalam proses sosialisasi (termasuk orangtua, anak, teman, guru), dan teknik pelaksananan dari proses sosialisasi (Kalish dan Collier 1981, diacu dalam Puspitawati 2006). Kreppner dan Lerner (Zeitlin 1995) mengemukakan pendapat bahwa keluarga merupakan suatu sistem yang menekankan pada dimensi interaksi keluarga, suatu seri dari interaksi timbal balik dua arah, dan gabungan dari interaksi dari semua sub kelompok keluarga, dan suatu sistem hubungan internal yang menyangkut dukungan sosial, dan hubungan intergenerasi. Suatu sikap yang sering terlihat pada orangtua yang lupa bahwa anaknya yang mulai menginjak remaja, justru membutuhkan lebih banyak waktu dan perhatian untuk menciptakan hubungan timbal balik, hubungan komunikatif dan dialogis,
agar
memperoleh
permasalahan-permasalahan
bantuan,
dorongan,
dan
yang
dukungan
dihadapi dari
oleh
orangtua
remaja untuk
mengatasinya (Gunarsa & Gunarsa 2004). Orangtua diharapkan memiliki kesadaran penuh dalam membimbing remaja dalam memperoleh nilai-nilai sebagai pegangan hidup. Hal ini bisa dicapai dengan pemeliharaan hubungan baik antara orangtua dan remaja, dan kesempatan yang cukup banyak untuk berbicara antara orangtua dan remaja. Anak yang menghadapi masalah, baik kecil maupun besar mengidamkan orangtua sebagai tempat bernaung yang dapat diperoleh melalui komunikasi. Komunikasi akan terbentuk bila hubungan timbal balik selalu terjalin antara ayah, ibu, dan remaja. Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama untuk menciptakan komunikasi antara orangtua dan anak, sebab dengan adanya waktu bersama, barulah keintiman dan keakraban dapat diciptakan diantara anggota keluarga(Gunarsa & Gunarsa 2004). Kualitas Hubungan Antar Anggota Keluarga Hubungan antar pribadi dalam keluarga yang meliputi hubungan antara anak dengan tokoh yang dekat dalam kehidupannya berpengaruh besar terhadap perkembangan kepribadian anak yang dalam hal-hal tertentu bisa menjadi sumber permasalahan perilaku anak. Hubungan kasih sayang antara
46
orangtua dan anak akan mendekatkan anak dengan orangtuanya, memudahkan orangtua memberikan hadiah dan hukuman yang sepadan jika anak berbuat tidak baik. Anak juga akan lebih mudah menerima nilai-nilai orangtua dan menirunya (Gunarsa & Gunarsa 2004). Eratnya keterikatan antara anak dengan orang dewasa yang ada dalam rumah tangga bisa berbeda-beda, sesuai dengan intensitas jalinan hubungan antara orangtua dan anak. Rasa cemas yang sering dialami anak dapat meningkatkan intensitas keterikatan, karena anak dapat memperoleh perasaan aman kedekatan dengan ibu atau pengasuhnya. Akan tetapi hubungan antara orangtua dan anak yang terlalu dekat dapat menyebabkan anak tidak mau lepas dan anak akan menjadi sangat bergantung pada orangtuanya. Sebaliknya jika hubungan antara keduanya renggang atau orangtua bersikap acuh tak acuh terhadap anaknya menyebabkan dalam diri anak timbul reaksi frustasi, begitu juga jika orangtua terlalu keras terhadap anaknya dapat menyebabkan hubungan menjadi jauh(Gunarsa & Gunarsa 2004). Pengasuhan Berbicara mengenai pengasuhan, ditemukan adanya korelasi antara pengasuhan dengan kemampuan kontrol diri anak. Perilaku anak dipengaruhi oleh perlakuan orang tua terhadap dirinya. Orangtua yang menerapkan pengasuhan dengan gaya permisif akan menyebabkan kurangnya kemampuan kontrol diri pada diri anak-anaknya, dan sebaliknya. Adapun pengasuhan anak dan kurangnya kontrol diri pada anak-anak dapat disebabkan oleh faktor-faktor lainnya seperti kecenderungan genetik, kemiskinan atau lingkungan sosial dan sejarah keluarga (Santrock dan Yussen 1989). Schaefer (Hughes dan Noppe 1985) menyoroti dimensi pengasuhan dari perpaduan baik sisi tingkatan afeksi maupun sisi kekuasaan (power) yang dijabarkan ke dalam dua dimensi yang kontinyu yaitu cinta (hangat, diterima, dan diakui) versus kekerasan (dingin, ditolak, dan tidak diakui), dan otonomi (bebas dan fleksibel) versus kontrol (posesif dan rigid). Hampir sama dengan Schaefer, Rohner (1986) menyebutkan pola pengasuhan yang terdiri atas: kehangatan kasih sayang orangtua (parental acceptance) yang meliputi dua ekspresi yaitu secara fisik (seperti memeluk, mencium, membelai, dan tersenyum) dan secara verbal (memuji, dan mengatakan hal-hal yang menyenangkan), dan penolakan orangtua (parental rejection) yang meliputi sikap: (a) kekerasan dan agresi (hostility dan agression) dengan ciri memukul, menendang, mendorong,
47
meremehkan, dan memberi kata-kata kasar, (2) sikap tidak peduli dan melalaikan (indifference dan neglect) dengan ciri ketidakmampuan orangtua secara fisik dan psikologi dalam memenuhi kebutuhan anak, dan mengabaikan, serta (c) penolakan (unindifference rejection) dengan ciri tidak dicintai, tidak diinginkan dari penolakan orangtua tanpa adanya indikator yang secara jelas verbal maupun fisik. Pendekatan Teori Pendekatan
struktural-fungsional
menekankan
pada
keseimbangan
sistem yang stabil dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Eshleman (1991, Gelles (1995) dan Newman dan Grauerholz (2002) menyatakan bahwa pendekatan teori struktural fungsional dapat digunakan dalam menganalisis peran keluarga agar dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat. Adapun Farington dan Chertok (Boss et al 1993) menyatakan bahwa konsep keseimbangan mengarah kepada konsep homeostatis suatu organisme yaitu suatu kemampuan untuk memelihara kestabilan agar kelangsungan suatu sistem tetap terjaga dengan baik meskipun didalamnya mengakomodasi adanya adaptasi dengan lingkungan. Penerapan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari struktur dan peraturan yang diterapkan. Chapman (2000) menyatakan bahwa keluarga adalah unit universal yang memiliki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri. Tanpa aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga maka unit keluarga tersebut tidak memiliki arti yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Bahkan dengan tidak adanya peraturan maka akan tumbuh atau terbentuk suatu generasi penerus yang tidak mempunyai daya kreasi yang lebih baik dan akan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arah. Prasyarat dalam teori struktural fungsional menjadikan suatu keharusan yang harus ada agar keseimbangan sistem tercapai, baik pada tingkat masyarakat maupun tingkat keluarga. Levy (Megawangi 1999) menyatakan bahwa persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi, yaitu meliputi : (1) diferensisasi peran yaitu alokasi peran/tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antara anggota keluarga, (3) alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, (4) alokasi politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam
48
keluarga, dan (5) alokasi integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/teknik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku. Saxton (1990) menyatakan bahwa keluarga berperan dalam menciptakan stabilitas, pemeliharaan, kesetiaan dan dukungan bagi anggotanya. Namun apabila fungsi keluarga tersebut tidak dapat dilakukan dengan optimal, maka akan timbul berbagai hal negatif baik bagi anggota keluarga itu sendiri maupun bagi masyarakat. Teori sistem mempunyai pengertian dan konsep yang sama dengan teori struktural-fungsional, namun teori sistem lebih menekankan pada beroperasinya hubungan antara satu set dengan set yang lainnya, sedangkan teori strukturalfungsional lebih menekankan pada mekanisme struktur dan fungsi dalam mempertahankan keseimbangan struktur, Kedua teori tersebut terkadang dipandang sebagai teori yang sama, dan keduanya diterapkan pada analisis kehiduoan keluarga. Pendekatan teori sistem sosial diperkenalkan oleh seorang ahli ekonomi Adam Smith yang menyangkut adanya konsep kesatuan dan saling ketergantungan antar individu dan masyarakat (Campbell 1981). Pendekatan ini digunakan dalam menganalisis keluarga dengan menerapkan konsep keluarga sebagai ekosistem dan keluarga sebagai suatu sistem sosial. Keluarga sebagai suatu sistem terdiri dari suatu set bagian berbeda, namun berhubungan dan saling tergantung satu dengan yang lainnya.. Keluarga juga menerapkan praktek komunikasi antar organisasi yang menyangkut kemampuan manusia dan perilakunya dalam menggunakan bahasa dan penafsiran simbol-simbol yang berkaitan dengan sistem sosial di sekelilingnya (Ruben 1988; Nisjar dan Winardi 1997). Bronfenbrenner (1981) menyajikan model pandangan dari segi ekologi dalam mengerti sosialisasi anak-anak. Model tersebut menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat didalam model yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada disekitarnya, yaitu lingkungan mikrosistem yang merupakan lingkungan terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem yang berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan mikrosistem yang lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga dengan sekolahnya, dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman sebayanya. Lingkungan yang lebih luas disebut
49
lingkungan exosistem yang merupakan lingkungan anak tidak secara langsung mempunyai peran secara aktif , misalnya lingkungan keluarga besar atau lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas adalah lingkungan makrosistem yang merupakan tingkatan paling luas yang meliputi struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum. Masa Remaja Steinberg (2001) menyatakan bahwa masa remaja merupakan suatu masa yang menyenangkan dalam rentang kehidupan manusia, remaja menjadi individu yang telah dapat membuat keputusan-keputusan yang baik bagi dirinya sendiri dan dipandang telah mampu untuk bekerja serta mempersiapkan perkawinan. Santrock (1998) mengemukakan bahwa bersamaan dengan berkembangnya aspek kognitif, sering muncul perbedaan pendapat dengan orang tua atau orang dewasa lainnya. Remaja tidak lagi memandang orang tua sebagai sosok manusia yang mengetahui segalanya, sehingga banyak orang berpikir bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh dengan pertentangan dan menolak nilai-nilai yang digariskan oleh orang tuanya. Bila dilihat dari keseluruhan perjalanan dan perkembangan hidup manusia, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa masa remaja adalah masa yang paling menarik dan paling banyak mendapat perhatian, karena sifatnya yang khas dan perannya yang cukup menentukan dalam kehidupan individu dan dalam masyarakat (Sarwono S W 2003). Sebagian masyarakat ada yang memandang bahwa remaja merupakan kelompok yang biasa-biasa saja tidak berbeda dengan kelompok orang-orang lainnya. Ada juga orang yang memandang bahwa remaja merupakan kelompok yang sering membuat masalah dalam masyarakat. Ada juga yang berpendapat bahwa remaja merupakan generasi penerus bangsa sehingga potensinya perlu dimanfaatkan (Monks 1987). Para ahli psikologi pada umumnya membagi masa remaja menjadi beberapa fase seperti diungkapkan oleh Monks (1987) yaitu fase remaja awal usia antara 12-15 tahun, fase remaja pertengahan berusia antara 15-18 tahun dan fase remaja akhir berusia antara 18-21 tahun. Pada remaja awal biasanya ditandai oleh adanya pertumbuhan fisik yang cukup. Pada remaja pertengahan biasanya sudah mulai mengembangkan cara berpikir yang lebih baik, sudah mulai melakukan peran-peran orang dewasa dan berpandangan realistik, sedangkan individu yang berada pada masa remaja akhir biasanya ditandai oleh
50
telah selesainya persiapan-persiapan menjadi orang dewasa dan masa ini dipandang sebagai masa konsolidasi. Masa remaja merupakan masa yang paling potensial dalam kehidupan manusia karena memasuki umur dengan penuh vitalitas dalam melakukan berbagai aktivitas. Ada lima aspek menurut Gymnastiar yang harus diperhatikan dalam mempelajari remaja, yaitu kondisi fisik, kebebasan emosi, interaksi sosial, dan pengetahuan tentang kemampuan diri, dan penguasaan diri terhadap nilainilai moral dan agama (MQS 2004). Tujuan Hidup dan Cita-Cita Remaja biasanya memiliki minat tertentu dalam kehidupannya. Minat yang paling penting dan paling universal pada remaja salah satunya adalah minat terhadap pendidikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap remaja terhadap pendidikan yaitu sikap teman sebaya, sikap orangtua, nilai-nilai, relevansi atau nilai praktis dari berbagai mata pelajaran, sikap terhadap guru, keberhasilan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler, derajat dukungan sosial di antara teman-teman sekolah. Prestasi yang baik dapat memberikan kepuasan pribadi dan ketenaran. Hal ini menyebabkan prestasi baik dalam olahraga, akademik ataupun prestasi lainnya menjadi minat yang kuat sepanjang masa remaja (Hurlock 1980). Minat remaja pada pekerjaan sangat mempengaruhi besarnya minat mereka terhadap pendidikan. Pendidikan tinggi dianggap sebagai batu loncatan untuk meraih pekerjaan. Pada umumnya remaja lebih menaruh minat pada pelajaran-pelajaran yang nantinya dapat bermanfaat dalam bidang pekerjaan yang dipilihnya. Remaja terutama anak sekolah menengah atas, mulai memikirkan masa depan dengan bersungguh-sungguh. Anak laki-laki lebih bersungguh-sungguh dalam hal pekerjaan dibandingkan anak perempuan yang memandang pekerjaan sebagai pengisi waktu luang sebelum pernikahan (AlMighwar 2006). Cita-cita merupakan perwujudan dari minat, yang berkaitan dengan masa depan yang direncanakan seseorang dalam menentukan pilihannya, baik yang berkaitan dengan masalah teman hidup, pekerjaan, jenjang pendidikan, atau hal lain yang berkaitan dengan dirinya kelak. Selama masa remaja, minat dan citacita terus berkembang. Minat atau cita-cita remaja awal terhadap sekolah dan jabatan banyak dipengaruhi oleh minat orangtua dan kelompoknya. Remaja awal akan berminat pada sekolah yang menghantarkannya ke perguruan tinggi dan
51
menuju cita-cita jabatannya jika orangtua dan kelompoknya berorientasi ke sana. Ane Roe dalam Al-Mighwar (2006) menyatakan bahwa pola pendidikan orangtua mempunyai pengaruh yang besar terhadap pilihan jabatan. Pada masa remaja akhir, minat dan cita-cita pendidikan atau jabatan telah mantap. Sehingga faktor yang mempengaruhi pemilihan cita-cita yaitu minat dan aspirasi sendiri, minat dan aspirasi orangtua, kesan-kesan teman sebaya. Karakteristik Keluarga Keluarga adalah tempat yang paling penting bagi anak dalam memperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya agar menjadi orang yang berhasil. Keluarga khususnya orang tua bertanggung jawab dalam menjaga, menumbuhkan, dan mengembangkan anggota-anggotanya. Herni (2000) dan Wade (2004) menyatakan bahwa pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan orang tua sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar anak. Keluarga merupakan lingkungan pertama kali dikenal oleh anak dan tempat anak dididik. Segala nilainilai dan norma-norma dalam keluarga akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
anak.
Karakteristik
keluarga
diantaranya
meliputi
tingkat
pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan, dan besar keluarga. Tingkat Pendidikan Orangtua Setiap orang memiliki tIngkat pendidikan yang berbeda-beda, baik dari segi jenis maupun kualitas. Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyatakan tingkat pendidikan orangtua baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi komunikasi antara orangtua dan anak dalam lingkungan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki pendidikan formal yang rendah dan tidak bekerja memiliki partisipasi yang sedikit pada segala
sesuatu
yang
berhubungan
dengan
aktivitas
sekolah
anaknya
dibandingkan dengan orangtua yang berpendidikan tinggi. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada prestasi belajar anak karena orangtua berperan sebagai pengetahuan/disiplin, pengembangan karir, memberikan fasilitas belajar , dan pembentukan karakter anak. Pendapatan Keluarga Salah satu faktor yang penting pada kehidupan keluarga adalah keadaan sosial ekonomi, yang berpengaruh pada kehidupan mental dan fisik individu yang berada dalam keluarga. Ekonomi keluarga akan digunakan sebagai salah satunya pemeliharaan anak dalam keluarga. Adanya kondisi keluarga yang memiliki tingkat pendapatan rendah menyebabkan orangtua memperlakukan
52
anak dengan kurang perhatian, penghargaan, pujian untuk berbuat baik yang mengikuti peraturan, kurangnya latihan dari penanaman nilai moral (Gunarsa & Gunarsa 2000) Jenis Pekerjaan Peranan orangtua terhadap pengasuhan anak sangat dibutuhkan, seorang ayah sebaiknya tidak menyerahkan tugas membimbing anak hanya kepada ibunya saja. Ibu masa kini disamping mengurus rumah tangga, juga sibuk bekerja diluar rumah, baik di organisasi maupun bekerja untuk menambah pendapatan keluarga (Santoso & Karyadi 1986, diacu dalam Tanmella 2002). Besar Keluarga Semakin banyak anggota keluarga maka jumlah interaksi interpersonal yang terjadi akan semakin banyak dan kompleks (Guhardja, Puspitawati, Hartoyo &Hastuti 1992). Adanya kepadatan dalam keluarga akan mengganggu pola dan corak hubungan antar anggota keluarga sehingga jaringan komunikasi antara anggota keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya (Gunarsa & Gunarsa 2000).
53