BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan tentang materi-materi yang ada hubungannya dengan kecerdasan emosional dan konsep caring perawat. 2.1
Kecerdasan Emosional
2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional terdiri dari dua kata yaitu kecerdasan dan emosional. Kecerdasan memiliki makna kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu (Gardner dalam Efendi, 2005). Sedangkan emosi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Martin, 2003) emosi di definisikan sebagai (1) luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu yang singkat (2) keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis. Menurut Goleman (2009) kecerdasan emosional merupakan kemampuan emosi yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan diri, daya tahan untuk menghadapi suatu masalah, mampu mengendalikan impuls, memotivasi diri, mampu mengatur suasana hati, kemampuan berempati dan membina hubungan dengan orang lain. Pendapat ini didukung oleh Bar-on dalam Armiyanti (2008) yang menyebutkan kecerdasan emosional sebagai suatu kecerdasan emosisosial dimana seseorang memahami dan mengekspresikan dirinya sendiri, memahami orang lain dan berhubungan dengan orang lain tersebut, serta mampu mengatasi kebutuhan, tantangan dan tekanan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu Mayer & Salovey (Mubayidh, 2006) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu kecerdasan sosial yang berkaitan dengan kemampuan individu dalam memantau 7
baik emosi dirinya maupun emosi orang lain, dan juga dalam membedakan emosi dirinya dengan emosi orang lain, dimana kemampuan ini digunakan untuk mengarahkan pola pikir dan perilakunya. Berdasarkan pendapat diatas dapat di tarik kesimpulan, kecedasan emosional merupakan kemampuan individu untuk dapat memahami emosi diri sendiri dan orang lain untuk dapat menghadapi masalah, tantangan dan tekanan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. 2.1.2 Komponen-Komponen Kecerdasan Emosional Goleman (2009) menjabarkan komponen-komponen dari kecerdasan emosional sebagai berikut: 1. Mengenali emosi diri, yaitu kemampuan individu untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu, untuk mencermati perasaan yang muncul. Ketidakmampuan menguasai keadaan yang ada menandakan seseorang dalam kekuasaan emosi. Kemampuan mengenali emosi diri meliputi kesadaran diri. 2. Mengelola emosi, merupakan kemampuan untuk memnghibur diri sendiri, melepaskan diri dari tekanan, ketersinggungan, dan kecemasan akibat yang timbul dari kegagalan keterampilan emosi dasar. Orang yang kurang mampu mengelola emosi cenderung bernaung dalam tekanan, namun orang yang baik dalam mengelola emosi akan dapat melepaskan diri dari tekanan yang ada. Kemampuan mengelola emosi meliputi kemampuan penguasaan diri dan menenangkan diri. 3. Memotivasi diri sendiri, yaitu kemampuan unruk mengatur emosi merupakan suatu senjata yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dan merupakan hal yang penring dalam memotivasi dan menguasai diri. Individu yang memiliki kemampuan ini dengan baik cenderung akan mampu lebih produktif dan efektif
dalam segala upaya yang
dilaksanakannya. Kemampuan ini didasari oleh kemampuan mengendalikan emosi, yaitu
mengendalikan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati. Kemampuan ini meliputi: pengendalian dorongan hati, kekuatan berpikir positif dan optimis. 4. Membina hubungan, yaitu keterampilan individu dalam mengelola emosi orang lain, meliputi kemampuan sosial yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan hubungan antar pribadi. 5. Mengenal emosi orang lain, kemampuan ini disebut empati, kemampuan ini merupakan kemampuan dasar dalam bersosial. Orang yang berempati cenderung mampu merasakan dan menangkap sinyal-sinyalsosial tersembunyi yang menandakan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Pendapat lain tentang komponen kecerdasan emosional juga di sampaikan oleh Tridhonanto (2009), menurut
Tridhonanto aspek kecerdasan emosional terdiri dari empat
komponen yaitu: 1. Kecakapan pribadi, yakni kemampuan mengelola diri sendiri. 2. Kecakapan sosial, kemampuan menangani sosial. 3. Keterampilan sosial, merupakan kemampuan menggugah pendapat yang diinginkan orang lain Dari uraian tentang komponen-komponen kecerdasan emosional diatas, peneliti lebih memilih menggunakan teori dari Goleman yaitu: mengenal emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, membina hubungan dan mengenal emosi orang lain, karena mencakup keseluruhan dan lebih terperinci 2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan yang dimiliki setiap individu tidak dimiliki sejak lahir, melainkan terbentuk melalui proses pembelajaran. Goleman (2009) menyebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional setiap individu antara lain: 1. Lingkungan keluarga Peristiwa emosi pada saat anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen sampai dewasa. Orang tua memegang peranan penting sebagai subyek yang perilakunya diidentifikasi, diinternalisai dan akhirnya menjadi bagian dari kepribadian seorang anak. Kehidupan emosianal yang dipupuk baik dalam keluarga akan mempengaruhi bagaimana perilaku anak dikemudian hari, sebagai contoh : melatih disiplin, rasa tanggung jawab, kemampuan berempati, kepedulian dan sebagainya. Hal ini memudahkan anak dalam menangani dan menghadapi masalah yang dihadapinya kelak, dan menjauhkan anak dari perilaku kasar dan negatif. 2. Lingkungan non keluarga Dalam hal ini adalah lingkungan diluar keluarga seperti lingkungan penduduk, lingkungan masyarakat, teman sekolah, lingkungan tempat kerja dan sebagainya. Kecerdasan emosional cenderung berjalan sejalan dengan perkembangan fisik anak, pembelajaran biasanya muncul melelui aktivitas bermain pada anak seperti bermain peran. Anak mulai berperan sebagai orang lain disertai emosi yang mengikutinya, disinilah anak belajar memahami keadaan orang lain. Pelatihan mengenai kecerdasan emosi dapat dilakukan melalui pelatihan asertivitas, pengembangan empati dan pelatihan yang kecerdasan emosional yang lain. 2.1.4 Ciri-ciri Individu Yang Memiliki Kecerdasan Emosional Tinggi Kecerdasan emosional dapat dikategorikan seperti halnya kecerdasan intelektual. Namun untuk mengetahui kategori kecerdasan emosional seseorang hanya dapat diketahui setelah
melakukan tes kecerdasan emosional. Goleman (2009) mengemukakan ciri-ciri individu yang memiliki kecerdasan emosional tinggi adalah : 1. Memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan dapat bertahan dalam menghadapi frustasi. 2. Dapat mengendalikan dorongan-dorongan hati, sehingga tidak berlebihan dalam menghadapi suatu kesenangan. 3. Mampu mengatur suasana hati dan dapat menjaganya agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir seseorang. 4. Mampu berempati terhadap orang lain dan tidak lupa berdoa. Kecerdasan emosi mempengaruhi semua aspek yang berhubungan dengan pelayanan. Aapek-aspek kecerdasan emosional secara praktis disajikan dalam perilaku yang meliputi : kerajinan, kedisiplinan, tanggungjawab, perasaan percaya diri, kesadaran diri, optimis, pengendalian diri, tidak menunda pekerjaan, kerendahan hati, berani menerima kenyataan, kerja sama, komunikasi, dan seterusnya yang sangat berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupannya (Mulyadi, 2005)
2.1.5 Kecerdasan Emosional Perawat di Tempat Kerja Kecerdasan emosional memegang peranan penting dalam bertanggung jawab atas keberhasilan dalam hidup dan psikologis yang memainkan peran penting dalam terbentuknya interaksi antar individu dalam lingkungan kerja (Oginska-Bulik, 2005). Penelitian tentang kecerdasan emosional perawat dilakukan oleh Kusmawati (2009) mengenai hubungan
kecerdasan emosional dengan stress kerja perawat di Instalasi Rawat Darurat (IRD). Hasil dari penelitian tersebut menunjukan ada hubungan negatif yang bermakna antara kecerdasan emosional dengan stress kerja perawat di IRD RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Kemampuan untuk mengenal emosi orang lain dan kemampuan untuk mengatur emosi diri sendiri sangat penting dalam pekerjaan pelayanan kesehatan (Salovey & Mayer, 1990). Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien, dalam hal ini manusia, cenderung melibatkan emosi didalamnya, salah satu perwujudan pentingnya kecerdasan emosi dalam pelayanan kesehatan adalah bagaimana kemampuan kita dalam mengekspresikan perasaan positif maupun negatif terhadap emosi pasien maupun keluarga pasien. 2.2
Perilaku Caring
2.2.1 Pengertian Caring Caring merupakan suatu kemampuan untuk berdedikasi bagi orang lain, pengawasan dengan waspada, menunjukan perhatian, perasaan empati dengan orang lain, dan perasaan cinta atau menyayangi yang merupakan kehendak keperawatan
(Potter &
Perry, 2005). Dalam keperawatan caring merupakan suatu hal yang sentral karena caring merupakan suatu cara pendekatan yang dinamis, dimana perawat bekerja untuk lebih meningkatkan kepedulian dengan klien (Sartika & Nanda, 2011) Menurut Swanson caring merupakan suatu
cara
bagi
perawat
untuk
memelihara
hubungan yang bernilai dengan pasien agar mereka merasakan komitmen dan tanggung jawab terhadap diri mereka sendiri. Hal ini dapat dilakukan melalui lima komponen proses caring diantaranya mengetahui (knowing), kehadiran (being with), melakukan (doing for), memampukan (enabling), dan mempertahankan kepercayaan (maintaining belief) (Swanson, 1991 dalam Watson, 2005)
Berdasarkan pendapat yang diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa caring merupakan tindakan atau upaya yang dilakukan untuk mendekatkan diri, mendekatkan diri dan memberi perhatian kepada orang lain dengan tujuan menolong, berempati dan menunjukan rasa kepedulian kita dalam setiap pemberian pelayanan keperawatan.
2.2.2 Komponen Caring Menurut Watson Menurut Watson (2007), fokus utama daripada keperawatan adalah faktor karatif yang bersumber dari perspektif humanistik yang digabungkan dengan dasar pengetahuan ilmiah dan diuraikan menjadi 10 (sepuluh) faktor karatif. Kesepuluh faktor ini dapat memberikan kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan tertentu pada manusia. Maka dari itu, Watson sangat menekankan agar kesepuluh faktor tersebut harus terwujud dalam pemberian asuhan keperawatan. Kesepuluh faktor tersebut antara lain: 1. Pendeketan humanistik dan altruistik Pendekatan ini dipelajari dari awal kehidupan, akan tetapi sangat dipengaruhi oleh pendidikan keperawatan. Faktor ini dapat didefinisaikan sebagai kepuasan melalui pemberian dan perpanjangan dari kesadaran diri. Perilaku caring perawat pelaksana yang menggambarkan sistem humanistik adalah dengan menghormati pasien sebagai individu (manusia). Perilaku yang menggambarkan pemberian sistem altruistik adalah dengan mendahulukan kebutuhan pasien daripada kebutuhan pribadi (Watson, 1979 dalam Tomey & Alligod 2006) 2. Menanamkan kepercayaan dan harapan Faktor ini menanamkan nilai-nilai humanistik dan altruistik, memfasilitasi pemberian pelayanan keperawatan yang holistik dan kesehatan yang positif kepada klien
(pasien). Perawat berperan penting dalam membengun hubungan yang efektif antara perawat-pasien dan pencapaian kesejahteraan dengan membantu pasien meningkatkan perilaku mencari pertolongan kesehatan, membantu memahami terapi yang diberikan dan memberi keyakinan adanya kekuatan penyembuhan. Perawat perlu mendorong pasien agar memiliki harapan untuk dapat kembali seperti normal (sehat) kembali (Pinto dan Spiri, 2008). 3. Mengembangkan kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain Merupakan suatu kemampuan untuk mengakui perasaan untuk aktualisasi diri melalui penerimaan diri baik pasien maupun perawat. Seorang perawat yang memiliki kepekaan dalam dirinya maka dia akan lebih mampu ikhlas, apa adanya dan peka terhadap kebutuhan orang lain. Beberapa pasien menyatakan perawat yang ingin menyatu dengan pasien diwujudkan dengan cara menunjukan rasa tertarik dengan apa yang dirasakan pasien (Wysong & Driver, 2009).
4. Mengembangkan hubungan saling percaya dan saling membantu Mengembangkan hubungan saling percaya dan saling membantu antara pasien dan perawat merupakan hal yang paling utama dalam transpersonal caring. Hubungan saling percaya digambarkan sebagai suatu hubungan yang memfasilitasi untuk penerimaan perasaan positif dan negatif diantaranya kejujuran, empati, kehangatan dan komunikasi efektif. 5. Mendukung dan menerima ungkapan perasaan positif dan negatif
Perawat perlu memiliki kemampuan untuk menggunakan pemahaman intelektual maupun emosional pada keadaan yang berbeda baik positif maupun negatif. Tujuan sikap ini adalah untuk menciptakan hubungan yang terbuka, menghargai perasaan dan pengalaman antar perawat-pasien. 6. Menggunakan metode sistematis dalam pemecahan masalah Perawat menggunakan proses keperawata untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan masalah keperawatan, dan mengambil keputusan secara sistematis. Proses keperawatan merupakan pendekatan yang digunakan memecahkan masalah secara sistematis dan terorganisir, sehingga dapat menghilagkan pandangan lama bahwa perawat adalah asisten dokter. 7. Meningkatkan pembelajaran dan pengajaran dalam hubungan interpersonal Konsep ini merupakan konsep terpenting dalam keperawatan yang membedakan caring dengan curing. Dengan pembelajaran dan pengajaran memungkinkan pasien memperoleh pengetahuan dan bertanggungjawab terhadap kodisi sehat-sakitnya. Melalui proses pembelajaran diharapkan pasien mampu melakukan perawatan mandiri, menentukan kebutuhan diri dan mendorongpertumbuhan diri pasien. 8. Menciptakan lingkungan yang suportif, protektif, perbaikan mental, fisik, sosial budaya dan spiritual Perawat perlu mengetahui pengaruh lingkungan internal dan eksternal pasien terhadap kondisi sehat-sakit pasien. Pengaruh lingkungan internal pasien antara lain kesehatan mentalspiritual dan dan kepercayaan sosiokultural individu, sedangkan lingkungan eksternal meliputi kenyamanan, privasi, keamanan dan keindahan lingkungan.
9. Membantu memberi bimbingan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan pasien Perawat perlu mengenali kebutuhan biofisikal, psikofisikal, psikososial, dan interpersonal diri perawat dan pasien. Pasien harus puas dengan kebutuhan terendah sebelum tercapai kebutuhan lebih tinggi. 10. Menghargai kekuatan eksistensial-phenomenologikal Perawat perlu menghargai kekuatan eksistensial dan phenomenologikal yang diyakini pasien dengan tujuan memfasilitasi pencapaian pertumbuhan diri dan kematangan jiwa pasien 2.2.3 Bentuk Pelaksanaan Caring Menurut (Caruth et all, 1999) dalam memberikan asuhan keperawatan, caring dapat terdiri dari beberapa bentuk antara lain:
1. Kehadiran Kehadiran dimaksudkan bagaiman perawat selalu berada di dekat pasien secara fisik menunjukkan pemahaman akan kehadiran berada bersama pasien untuk sharing. 2. Sentuhan Sentuhan dimaksudkan dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat hendaknya melakukan sentuhan skin to skin, menjaga kontak mata, senyuman serta protektif dalam artian mencegah cidera. 3. Mendengarkan
Perawat hendaknya selalu mendengarkan dengan sabar tanpa menyela/memotong pembicaraan pasien (keluhan pasien), mendapatkan informasi dari pasien dan mengiterpretasikan informasi yang didapatkan dari pasien. 4. Mengetahui Mengetahui dalam artian memahami pasien dengan segala permasalahan yang menyangkut keperawatan atau penyakitnya, memahami intervensi yang direncanakan, namun mengurangi membuat asumsi dan fokus pada pasien. 2.2.4 Tujuan Caring Dalam Keperawatan Pada dasarnya tujuan caring adalah agar perilaku perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan terdiri dari upaya melindungi, meningkatkan dan menjaga/mengabdikan rasa kemanusiaan dengan membantu orang lain dalam proses penyembuhan penyakit, penderitaan dan keberadaannya membantu orang lain untuk meningkatkan pengetahuan dan pengendalian diri dengan sentuhan kemanusiaan (Watson,1979). Menurut Blais (2007) caring merupakan fokus pemersatu praktek keperawatan. Perilaku caring juga sangat penting untuk tumbuh kembang, memperbaiki dan meningkatkan kondisi atau cara hidup. 2.2.5 Perilaku Caring Dalam Praktik Keperawatan Caring dapat diartikan sebagai suatu kemampuan yang dapat digunakan untuk berdedikasi terhadap orang lain, pengawasan dengan waspada, perasaan empati dengan orang lain dan perasaan cinta atau menyayangi. Caring merupakan sentral dalam praktik keperawatan, karena caring merupakan suatu cara pendekatan yang dinamis, dimana perawat bekerja untuk lebih meningkatkan kepedulian kepada klien, sehingga caring merupakan bagian inti terpenting dalam praktik keperawatan (Sartika,2010)
Caring dalam praktik keperawatan dapat dilakukan dengan mengembangkan hubungan saling percaya antara perawat dengan klien. Pengembangan hubungan saling percaya menerapkan bentuk komunikasi untuk menjalin hubungan dalam keperawatan. Perawat bertindak dengan cara yang terbuka dan jujur. Empati berarti perawat memahami apa yang dirasakan klien. Ramah berarti penerimaan positif terhadap orang lain yang sering diekspresikan melalui bahasa tubuh, ucapan tekanan suara, sikap terbuka, ekspresi wajah, dan lain-lain (Kozier & Erb,1985 dalam Nurachman,2001) Perilaku caring sangat penting dalam layanan keperawatan karena akan memberikan kepuasan kepada pasien dan keperawatan akan lebih memahami konsep caring, khususnya perilaku caring dan mengaplikasikan dalam pelayanan keperawatan. Seorang perawat memerlukan kemampuan untuk memperhatikan orang lain, keterampilan intelektual, teknikal dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku caring (Dwiyanti, 2007).
2.3
Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Caring Perawat Perilaku caring yang yang didasari kecerdasan emosional yang baik akan mendukung
terciptanya pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan pasien. Kerfoot (1996, dalam Rego, Godinho & Mc Queen, 2008 ) menyampaikan bahwa pasien menerima pelayanan tenaga kesehatan dengan keterampilan sempurna, namun bila tidak disertai dengan sikap emosi yang baik dalam pelayanan, maka pelayanan tersebut dinilai pasien sebagai pelayanan yang tidak adekuat. Selain itu, Kerbach dan Schutte (2005) menyebutkan bahwa kecerdasan emosional yang baik, yang ditunjukan pemberi pelayanan kesehatan, mampu meningkatkan laporan tentang tingkat kepuasan pasien dalam berhubungan dengan petugas kesehatan. Maka daripada itu perawat perlu mengiternalisasikan kecerdasan emosional yang baik dalam setiap pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada pasien. Hal ini seseuai dengan pendapat Mc. Queen (2004) bahwa perawat perlu memiliki kemampuan kecerdasan emosional untuk memenuhi kebutuhan perawatan pasien dan untuk melakukan negoisasi kooperatif dengan tim kesehatan lain.