Kecerdasan Emosional dalam Pembelajaran Diskusi Syaiful Abid Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP PGRI) Kota Lubuk Linggau
[email protected]
Abstrak Diskusi pada dasarnya merupakan suatu bentuk tukar pikiran yang teratur dan terarah, baik dalam kelmpok kecil atau besar, dengan tujuan untuk mendapatkan suatu pengertian, kesepakatan, dan keputusan bersama mengenai suatu masalah. Pembelajaran diskusi penting dilakukan untuk membentuk para siswa agar terampil berbahasa. Namun ternyata pembelajaran diskusi belum banyak diterapkan pada jenjang pendidikan, baik jenjang dasar maupun yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan banyak guru merasa kegiatan diskusi belum efektif, hanya membuat kegaduhan di dalam kelas. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Adapun pembahasan dalam penelitian ini yaitu dimensi- dimensi kecerdasan emosional (EQ), implementasi EQ dalam kegiatan diskusi, dan kiat pendidik dalam mengembangkan kecerdasan emosional siswa. Kata kunci: diskusi, dan kecerdasan emosional A. Pendahuluan Pembelajaran diskusi merupakan kegiatan yang perlu diajarkan pada semua jenjang pendidikan. Pembelajaran ini penting dilakukan untuk membentuk para siswa agar terampil berbahasa. Dalam pelajaran kemampuan berbahasa, hendaknya suasana kelas dapat diubah menjadi tempat latihan kegiatan berbicara. Mengingat pada umumnya sebuah kelas mempunyai siswa yang cukup besar jumlahnya, maka untuk dapat melibatkan semua siswa dalam kegiatan berbicara, sebaiknya diterapkan diskusi. Selain untuk mencapai keterampilan berbicara, diskusi juga dapat menghilangkan kelesuan yang diakibatkan oleh suasana yang terus-menerus sama dalam kegiatan pelajaran lain, sehingga hal ini secara tidak langsung dapat menumbuhkan motivasi. Menurut Arsjad (1988: 40), keunggulan diskusi adalah (1) lebih banyak melatih siswa berfikir secara logis, karena dalam diskusi ada proses adu argumentasi, (2) dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa dalam memecahkan suatau masalah, (3) siswa yang pasif dapat dirangsang supaya aktif berbicara, (4) umpan balik dapat diterima secara langsung, sehingga dapat memperbaiki cara berbicara si pembicara, baik yang menyangkut factor kebahasaan maupun non kebahasaan. Kegiatan diskusi juga memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan perasaan dan sikap yang mungkin akan bertentangan dengan peraturan atas norma-norma sekolah. Hal ini tentunya akan dapat mengembangkan kemampuan berbicara siswa. Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan (Arsjad, 1988: 17). Dari beberapa uraian tersebut, dapatlah kita perkirakan dan pahami wajar jika kurikulum tingkat satuan pembelajaran (KTSP) pada saat
ini juga lebih menekankan menggunakan metode diskusi dalam pengajaran. Hal ini salah satunya karena diskusi bisa melibatkan semua siswa aktif dalam proses belajar mengajar, sehingga suasana kelas tidak hanya diwarnai dengan suara guru yang mengajar saja. Namun kesenjangan yang ada pembelajaran diskusi belum banyak diterapkan pada jenjang pendidikan, baik jenjang dasar maupun yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan banyak guru merasa kegiatan diskusi belum efektif, hanya membuat kegaduhan di dalam kelas. Berdasarkan alasan ini, maka penulis tertarik untuk menulis karya ilmiah dengan judul “Kecerdasan Emosional dalam Pembelajaran Diskusi” agar desas-desus informasi yang ada mendapatkan suatu gambaran yang sebenarnya. B. Teori Diskusi 1. Pengertian Diskusi Diskusi berasal dari bahasa Latin yaitu discutio atau discusium yang artinya bertukar pikiran. Akan tetapi belum tentu setiap kegiatan bertukar pikiran dapat dikatakan berdiskusi (Arsjad, 1988: 37). Diskusi pada dasarnya merupakan suatu bentuk tukar pikiran yang teratur dan terarah, baik dalam kelmpok kecil atau besar, dengan tujuan untuk mendapatkan suatu pengertian, kesepakatan, dan keputusan bersama mengenai suatu masalah. Menurut Arsjad (1988: 37), bertukar pikiran baru dapat dikatakan berdiskusi apabila: a. b. c. d. e.
Ada masalah yang dibicarakan Ada seseorang yang bertindak sebagai pemimpin berdiskusi Ada peserta sebagai anggta diskusi Setiap anggota mengemukakan pendapatnya dengan teratur Kalau ada kesimpulan atau keputusan hal itu disetujui semua anggota
2. Unsur-Unsur dalam Diskusi Unsur-unsur dalam diskusi terdiri atas tiga Unsur (Parera, 1987: 130), yaitu: (a) Unsur Manusia : 1. pimpinan/moderator, regulator, coordinator 2. peserta/pengambil bagian/pembicara pemrasaran 3. pendengar/publik/umum/audiens (b) Unsur Materi : harus ada masalah, topic atau tema pembicaraan (c) Unsur Fasilitas : ruangan, meja, kursi, alat radio/visual, papan tulis, kertas dan lain-lain. Yang terpenting ialah penciptaan suasana diskusi. 3. Jenis, Manfaat, Keunggulan dan Kekurangan Diskusi a. Jenis Diskusi Menurut Nasution (1995: 153), jenis-jenis diskusi adalah sebagai berikut: 1. Diskusi tak Formal: anak-anak berhadapan satu dengan yang lain dalam situasi “faceto-face-Relationship”. Bentuk diskusi ini hanya mungkin dilaksanakan dalam kelompok yang kecil. Keuntungannya ialah sangat mengaktifkan anak.
2. Diskusi Panel atau Round Table Discussion. Pokok diskusi ditinjau dari berbagai segi: Pendidikan, sosiologi, Ekonomi, Psikilogi, dan sebagainya. Pengikut-pengikut diskusi hendaknya terdiri atas orang-orang yang berlainan pandangannya. Panel diskusi dapat juga dilakukan melalui Radio, Televisi. 3. Diskusi Formal: untuk diskusi ini perlu seorang ketua, penulis, dan pembicara harus minta izin dulu kepada ketua rapat. Contoh seperti pada DPR. 4. Diskusi dalam bentuk Simposium. Simposium dilakukan bila dihadapi suatu masalah yang mengandung kontroversi atau pertentangan pendapat. Tokoh-tokoh yang berlainan pendapatnya memberikan keterangan dari bermacam-macam segi atas masalah tersebut. Kemudian diadakan diskusi antara pendengar dengan pembicara. Dalam hal ini tidak dicari kebenaran tertentu. Tetapi mendapatkan berbagi pandangan. Contoh: masa perkenalan dan perpeloncoa, masalah perkawinan di kalangan mahasiswa, symposium sastra, teknik menerjemahkan, dan sebagainya. 5. Diskusi Ceramah atau Lecture Discussion Seorang pembicara member uraian tentang suatu masalah lalu berdiskusi dengan para pendengar. Di sini hanya satu pendengar. Pembicara berfungsi sebagai pemimpin. b. Manfaat Diskusi Menurut Tarigan (1981: 47), salah satu manfaat diskusi yang paling besar adalah kemampuannya memberikan sumber yang lebih banyak bagi pemecahan masalah (Problem Solving) yang tersedia atau yang mungkin diperoleh apabila pribadi sedang membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi/ merusak suatu kelompok. Sedangkan menurut Marhijanto (1990: 70), manfaat diskusi mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1.
2. 3. 4. 5.
6. 7.
Pertemuan dalam diskusi akan membawa peserta cenderung ikut serta berusaha memecahkan atau mencari jalan keluar terhadap yang rumit, yang dianggap tak akan mampu jika dipecahkan secara individual. Terlatih untuk mengambil suatu keputusan Dalam diskusi kita akan menerima sesuatu yang tidak akan diperoleh dari membaca atau mendengarkan masalah Dalam diskusi peserta dapat melihat dengan jelas gagasan atau rencana mana yang terbaik dimiliki oleh kelompok bersama Dalam diskusi, peserta yang kurang pengalaman akan dapat belajar mengungkapkan pendapat secara langsung dan dapat belajar menanggapi gagasan orang lain secara langsung Kedudukan ketua dan peserta diskusi hamper sama Apabila diskusi dilaksanakan itu sebagai masalah atau metode belajar, maka banyak mempunyai keunggulan dibandingkan belajar secara pribadi.
c. Keunggulan dan Kekurangan Diskusi Untuk latihan permulaan yang bertujuan untuk melibatkan setiap individu, diskusi lebih cepat. Selain untuk mencapaia efektivitas berbicara, diskusi juga dapat menghilangkan kejenuhan yang diakibatkan oleh suasana yang terus-menerus sama dalam mata pelajaran lain, sehinggabentuk ini dapat menumbuhkan motivasi. Diskusi dapat pula memancing kreativitas berfikir siswa-siswa. Siswa melaksanakan aktivitas yang berbeda sehingga lebih bergairah dan tidak bosan. Hal ini memungkinkan mereka mempelajari materi yang diberikan dengan sungguh-sungguh. Melalui diskusi mereka dapat menganalisis dan mengaplikasikan materi yang sedang diajarkan. Berbicara dalam kelompokjauh lebih ringan dibandingkan berbicara secara individual. Waktu berbicara jauh lebih singkat dan perhatian pendengar tidak hanya tertuju kepada satu individu, tetapi terbagi kepada semua anggota. Anggota yang pasif pun dapat dirangsang oleh moderator sehingga tidak terjadi kekosongan. Dengan diskusi dapat pula diciptakan iklim yang memudahkan penerimaan bahan pelajaran serta dapat meningkatkan taraf berfikir siswa. Diskusi juga lebih memungkinkan siswa memiliki pengalaman yang lebih memungkinkan siswa memilki pengalaman yang lebih luas dan beraneka ragam, karena pengetahuan yang diperoleh dari diskusi belum tentu didapat dari membaca atau mendebgarkan guru. Melalui diskusi kita pun dapat belajar, cara orang lain berfikir dan memecahkan masalah bersama. Dengan demikian diskusi merupakan wadah keunggulan bersama. 4. Tujuan Diskusi Menurut parera (1987: 165), tujuan diskusi dapat dikelompokkan menjadi tiga hal yaitu: (a) Tujuan dan Kebutuhan Logis Diskusi menjadi tempat konsultasi untuk menambah pengetahuan, mendapat informasi, meluaskan pengalaman dan membuka pandangan. Di samping itu, ia menjadi tempat koordinasi karena adanya kontak dan komunikasi. (b) Tujuan dan Kebutuhan Manusiawi Diskusi menjadi tempat untuk pengakuan/ penghargaan, menampilkan kelompok atau individu, menyatakan partisipasi, memberikan dan mendapat informasi serta menunjukkan interaksi. (c) Tujuan dan Kebutuhan Diskusi itu Sendiri Diskusi menjadi tempat tukar- menukar informasi, tempat mempertajam pengertian dan pendapat, ia menjadi tempat konsultasi dan penggugah pendapat, ia menjadi tempat menyiasati, menganalisis, menyelesaikan masalah, memberikan motivasi dan keyakinan/ penyesuaian, mengembangkan kerjasama dan meramalkan partisipasi. 5. Faktor- factor pendukung kemampuan berbicara (diskusi)
Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi- bunyi artikulasi atau mengucapkan kata- kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyatakan pikiran, gagasan, dan perasaan (Arsjad, 1988:17). Dalam hal ini dikatakan Arsjad ada dua factor yang harus diperhatikan untuk keefektifan berbicara, yaitu factor kebahasaan dan factor nonkebahasaan. a. Factor kebahasaan 1. Ketepatan ucapan 2. Penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai 3. Pilihan kata (Diksi) 4. Ketepatan sasaran pembicara b. Factor non kebahasaan 1. Sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku. 2. Pandangan 3. Kesediaan menghargai pendapat orang lain. 4. Gerak- gerik dan mimic yang tepat. 5. Kenyarigan suara juga sangat menentukan. 6. Kelancaran. 7. Relevansi/ Penalaran. 8. Penguasaan Topik. C. Teori Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence) 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Menurut Mayer & Salovey (1997), emotional intelligence atau yang biasa dikenal dengan kecerdasan emosi adalah the ability to perceive accurately, appraise, and express emotion; the ability to access and/or generate feelings when they facilitate thought; the ability to understand emotion and emotional knowledge; and the ability to regulate emotions to promote emotional and intellectual growth, yang artinya adalah kemampuan individu untuk mengenali, menggunakan dan mengekspresikan emosi; kemampuan individu untuk mengikutsertakan emosi sehingga memudahkan ia dalam melakukan proses berpikir; kemampuan individu untuk memahami emosi dan pengetahuan mengenai emosi; serta kemampuan individu dalam meregulasi emosi untuk mengembangkan emosi dan menampilkan tingkah laku yang sesuai dengan tuntutan lingkungan. 2. Dimensi Kecerdasan Emosional Berdasarkan definisi di atas, Mayer & Salovey (1997) membagi emotional intelligence kedalam 4 (empat) cabang, yaitu : a. Persepsi Emosi (Emotional Perception) b. Integrasi Emosi (Emotional Integration)
c. Pemahaman Emosi (Emotional Understanding) d. Pengaturan Emosi (Emotional Management) D. Metode Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, yaitu menggambarkan hal- hal yang berhubungan dengan keadaan atas status fenomena yang berupa kata- kata tertulis atau lisan dari orang- orang dan prilaku yang diamati (Moleong, 1994: 3). Metode kualitatif di sini mengggambarkan keadaan prilaku siswa yang didominasi kecerdasan emosional dalam diskusi. E. Pembahasan 1. Dimensi Kecerdasan Emosional Dimensi emotional intelligence menurut Mayer & Salovey (1997) lebih dikenal dengan sebutan four branch model of emotional intelligence. Keempat cabang tersebut disusun mulai dari kemampuan yang menggunakan proses psikologi paling dasar hingga yang kompleks (yang membutuhkan penggabungan dari beberapa proses psikologi). Dibawah ini akan dipaparkan penjelasan mengenai keempat cabang tersebut dalam implementasinya terhadap pembelajaran diskusi, yaitu : a. Persepsi Emosi (Emotional Perception) Cabang pertama dari emotional intelligence dititikberatkan pada persepsi emosi, yaitu kemampuan individu untuk mengidentifikasi emosi secara akurat. Perasaan dapat dikenali tidak hanya didalam diri sendiri, melainkan juga pada orang lain atau objek lain. Pada perkembangannya, siswa mulai memberikan atribut mengenai perasaan pada benda hidup maupun benda mati. Imajinasi ini akan membantu anak untuk menggeneralisasi perasaan yang dirasakan oleh diri sendiri pada orang lain. Ia akan menggunakan pengalamannya pada saat merasakan sensasi tertentu dalam mengenali sensasi yang dirasakan oleh orang lain. Lebih lanjut, kemampuan individu dalam memahami emosi yang dirasakan akan sampai pada tahap dimana ia mampu mengekspresikan perasaan secara akurat dan mengekspresikan kebutuhan yang mengitari perasaan-perasaan tersebut. Ia juga sensitif terhadap ekspresi emosi yang tidak sesuai atau yang dimanipulasi, karena individu dengan emotional intelligence yang baik memahami ekspresi dan manifestasi dari emosi. b. Integrasi Emosi (Emotional Integration). Cabang kedua dari emotional intelligence adalah integrasi emosi yang menitikberatkan peran emosi dalam menghadapi masalah yang berkenaan dengan sistem kognisi. Emosi bertindak sebagai suatu sistem yang memberikan tanda atau sinyal-sinyal tertentu sejak lahir. Semakin matang, sinyal-sinyal tersebut mulai dapat dimanfaatkan dalam aktivitas kognisi yaitu dengan cara mengarahkan perhatian individu pada hal-hal yang penting. Kontribusi emosi yang kedua dalam
melakukan aktivitas kognisi adalah dengan “menempatkan” emosi pada suatu hal sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami. Individu akan mencoba untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain yang merasakan sensasi emosi tertentu dan mencoba untuk merasakan emosi tersebut pada dirinya sendiri ketika dimintai pendapat mengenai emosi yang dirasakan oleh suatu karakter pada sebuah cerita atau pada saat diminta untuk menentukan emosi yang dirasakan oleh orang lain. Dalam perkembangannya, kemampuan untuk memanfaatkan sensasi emosi yang dirasakan akan disertai dengan perencanaan. c. Pemahaman Emosi (Emotional Understanding) Cabang ketiga dari emotional intelligence adalah pemahaman emosi yang menitikberatkan pada kemampuan individu untuk memahami emosi yang dirasakan serta bagaimana penerapannya didalam kehidupan sehari-hari. Setelah individu menyadari emosi yang dirasakan, ia mulai untuk memberi nama dan menyadari hubungan yang terjadi diantara emosi-emosi yang telah ia beri nama. Kemampuan yang paling mendasar dari cabang ini adalah individu mampu untuk memberi nama pada emosi yang sedang ia rasakan serta menyadari persamaan serta perbedaan yang mendasari terjadinya emosi tersebut. Ia mulai memahami perbedaan dan persamaan antara suka dan cinta, antara gangguan (annoyance) dan marah, dan lain sebagainya. Secara bersamaan, individu juga belajar untuk memahami emosi yang dirasakan pada saat berinteraksi dengan orang lain. Orang tua mengajarkan anak mengenai hubungan antara emosi dengan suatu situasi tertentu. Misalnya pendidik mengajarkan hubungan antara rasa sedih dan kehilangan dengan cara membantu anak untuk menyadari bahwa ia merasa sedih karena teman dekatnya tidak mau berteman dengannya lagi. Pengetahuan mengenai emosi yang dirasakan dimulai sejak masa kanak-kanak dan akan berkembang seiring dengan berjalannya waktu, dimana individu akan semakin memahami arti dari emosi-emosi tersebut. Pemikiran atau pertimbangan mengenai urutan emosi atau perasaan yang akan ditampilkan dalam hubungan interpersonal merupakan inti dari emotional intelligence. d. Pengaturan Emosi (Emotional Management) Cabang keempat dari emotional intelligence adalah pengaturan emosi yang menitikberatkan pada kemampuan individu dalam meregulasi emosi yang dirasakan. Individu diharapkan terbuka dan memiliki toleransi pada reaksi emosi yang timbul, baik reaksi emosi yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Hal ini dapat menjadi pembelajaran untuk dapat melakukan regulasi emosi ketika merasakan sensasi emosi yang sama dalam suatu situasi tertentu. Dalam pertumbuhannya, pendidik mengajarkan siswa untuk tidak mengekspresikan perasaan tertentu, misalnya mengajarkan anak untuk tetap dapat tersenyum di depan umum ketika ia merasa sedih. Anak akan menginternalisasikan pembagian antara perasaan dan tindakan. Anak mulai
belajar bahwa emosi dapat dipisahkan dari tingkah laku. Dengan demikian, pengaturan emosi individu dikatakan optimal bila ia mampu untuk mengatur dan memahami emosi yang dirasakan tanpa perlu membesar-besarkan atau meminimalisir kepentingannya. 2.
Implementasi kecerdasan emosional dalam pembelajaran diskusi Berbicara mengenai implementasi kecerdasan emosional dalam pembelajaran diskusi, kecerdasan emosional (EQ) banyak mempengaruhi kegiatan diskusi berkaitan dengan factor nonkebahasaan, Sedangkan factor kebahasaan lebih dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual (IQ). Berikut ini akan dipaparkan factor nonkebahasaan yang dipengaruhi oleh EQ, yaitu: a. Sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku. Pembicara yang tidak tenang, lesu, dan kaku tentulah akan memberikan kesan pertama yang kurang menarik. Padahal kesan pertama ini sangat penting untuk menjamin adanya kesinambungan perhatian pihak pendengar. b. Pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara, supaya pendengar dan pembicara betul- betul terlibat dalam kegiatan berbicara, pandangan pembicara sangat membantu. Hal ini sering diabaikan oleh pembicara. Pandangan yang hanya tertuju satu arah, akan menyebabkan pendengar merasa kurang diperhatikan. c. Kesediaan menghargai pendapat orang lain. Dalam menyampaikan isi pembicaraan, seorang pembicara hendaknya memiliki sikap terbuka dalam arti dapat menerima pendapat pihak lain, bersedia menerima kritik, bersedia mengubah pendapatnya kalau ternyata memang keliru. d. Gerak- gerik dan mimic yang tepat. Gerak- gerik dan mimic yang tepat dapat pula menunjang kefektifan berbicara. Hal- hal yang penting selain mendapat tekanan, biasanya juga dibantu dengan gerak tangan atau mimic. Hal ini dapat menghidupkan komunikasi, artinya tidak kaku. Tetapi gerak- gerik yang berlebihan akan mengganggu keefektifan berbicara. e. Kenyarigan suara juga sangat menentukan. Tingkat kenyaringan ini tentu disesuaikan dengan situasi, tempat, jumlah pendengar, dan akustik. Tetapi perlu diperhatikan jangan berteriak. Aturlah kenyaringan suara supaya dapat didengar oleh semua pendengar dengan jelas, dengan juga mengingat gangguan dari luar. f.
3.
Kelancaran. Seorang pembicara yang lancar berbicara akan memudahkan pendengar menangkap isi pembicaranya. Namun pembicara yang terlalu cepat berbicara juga akan menyulitkan pendengar menangkap pokok pembicaraannya. Kiat pendidik dalam mengembangkan kecerdasan emosional siswa: Guru dapat menstimulasi siswa dengan berbagai macam hal dalam berbagai kesempatan. Stimulasi yang melimpah bagi anak akan membantunya untuk belajar
lebih banyak akan dirinya. Secara umum ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mengembnagkan kecerdasan emosional pada anak dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: Kecerdasan emosional dan sosial dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain: a. Berdiskusi dengan siswa menyadari persamaan dan perbedaan yang mendasari terjadinya emosi tersebut. Misalnya, memahami perbedaan dan persamaan antara suka dan cinta, merasa terganggu dan merasa marah, dan lain sebagainya. b. Diskusi bersama siswa tentang pengalamannya ketika merasa senang, marah, sedih, terkejut, kecewa, dll. c. Diskusi bersama siswa tentang pengalamannya mengamati orang lain yang mengalami perasaan senang, marah, sedih, terkejut, kecewa, dll. d. Bermain drama atau peran, membacakan dongeng, menonton klip atau film dan meminta anak menentukan keadaan emosi tokoh. e. Membantu siswa dalam membuat perencanaan. Anak dapat membuat antisipasi terhadap peristiwa-peristiwa yang akan dihadapinya. Cth: masuk sekolah. f. Bermain dengan siswa agar ia mampu untuk memberi nama pada emosi yang sedang ia rasakan g. Membantu siswa memahami mengenai hubungan antara emosi dengan situasi tertentu. Misalnya, hubungan antara rasa sedih dan kehilangan mainan yang disukai h. Siswa belajar bahwa emosi dapat dipisahkan dari tingkah laku. Misal tersenyum di depan umum walaupun sedang merasa sedih. i. Memilih teman yang dapat membantu siswa mempertahankan pandangan positif tentang dirinya sendiri j. Memotivasi diri untuk memelihara emosi yang menyenangkan dengan cara mengingat pengalaman yang menyenangkan serta melakukan kegiatan yang menyenangkan (Cth: membaca buku, menyanyi, menari) F. Kesimpulan Kecerdasan emosional mencakup kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri. Keterampilan yang berkaitan dengan kecerdasan emosi antara lain misalnya kemapuan menghargai orang lain, kepemimpinan, kemampuan membina hubungan dengan orang lain, kemampuan berkomunikasi, kerjasama kelompok, membentuk citra diri positif, dan member inspirasi. Dalam makalah ini ditemukan bahwa kecerdasan emosional dapat mempengaruhi pembelajaran diskusi ditinjau dari nonkebahasaan, dan hal lainnya berupa kiat para pendidik. Kecerdasan emosional dalam pembelajaran diskusi terdiri atas, (1) Sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku. (2) pandangan, (3) Kesediaan menghargai pendapat orang
lain. (4) Gerak- gerik dan mimic yang tepat, dan (5) suara. Sedangkan kiat yang dapat dilakukan oleh para pendidik dalam mengembangkan kecerdasan emosional siswa yaitu terdiri atas 10 kiat, diantaranya adalah diskusi bersama anak tentang pengalamannya mengamati orang lain yang mengalami perasaan senang, marah, sedih, terkejut, kecewa, dan lain- lain. G. Daftar pustaka Atkinson. 1998. Pengantar Psikologi. Batam : Interaksara. Arsjad, Maidar G. 1988. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Eksa Marhijanto, B. 1990. Diskusi dan Seminar. Gresik: Bintang Pelajar. Moleong, Lexy. 1994. Metode penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Parera, Jos Daniel. 1987. Belajar Mengemukakan pendapat. Jakarta: Erlangga. Salovey, P. Brackett & Mayer, M.A. 2004. Emotional Intelligence. New York: National Professional Resources, Inc. Tarigan, HG. 1981. Berbicara sebagai suatu keterampilan. Bandung: Angkasa.