MEMFUNGSIKAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN SPIRITUAL KEPEMIMPINAN DOSEN DALAM PROSES PEMBELAJARAN Oleh : Ahmad Fauzan
ABSTRAK
Dosen dituntut dalam tugasnya agar lebih baik, maka dia tidak hanya cukup memiliki kecerdasan intelektual dan kualifikasi akademik yang tinggi, tetapi perlu ditunjang oleh kecedrasan emosional dan diarahkan oleh kecerdasan spiritual.
Kecerdasan
intelektual
berkaitan
dengan
penguasaan
materi
pembelajaran yang akan disampaikan. Kecerdasan emosional berperan dalam membangun hubungan yang positif dengan
teman sejawat dan mahasiswa.
Sedangkan kecerdasan spiritual berperan dalam menumbuhkan nilai-nilai kejujuran, semangat, inisiatif, kebijaksanaan, dan keberanian membuat keputusan
A. PENDAHULUAN Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa berinteraksi dengan manusia lain di dalam kehidupan sehari-hari. Dalam interaksi ini akan terjadi proses saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Dalam proses saling mempengaruhi tersebut akan ditemukan individu-individu yang memberikan pengaruh yang lebih besar dari pada yang lainnya. Individu-individu yang mampu memberikan pengaruh yang lebih besar tersebut dapat dikatakan memiliki sifat kepemimpinan yang lebih tinggi dan kuat. Setiap individu adalah pemimpin, apapun profesi dan pekerjaannya sesuai dengan fitrahnya. Hal ini sejalan dengan
1
Hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya” (HR. Bukhari dan Muslim). Dari penjelasan hadits di atas dosen termasuk salah satunya yang akan dimintai pertanggungjawaban. Dosen adalah pemimpin yang harus memiliki sifat kepemimpinan. Seorang dosen yang baik harus memiliki kemampuan untuk memimpin mahasiswanya. Seorang dosen yang baik adalah dosen yang mampu merobah perilaku mahasiswa, baik perilaku dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Untuk memberikan pengaruh tersebut seorang dosen memerlukan kepemimpinan. Dosen yang baik harus mampu menjadi teladan, mampu memotivasi, tegas, jujur, empati, dan sebagainya. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan sifat-sifat kepemimpinan yang bersifat universal. Kualitas kepemimpinan dosen merupakan determinan kualitas proses pembelajaran. Kualitas proses pembelajaran yang rendah merupakan salah satu cerminan
kualitas
kepemimpinan
dosen.
Dosen
yang
tidak
memiliki
kepemimpinan yang kuat sulit diharapkan untuk menghasilkan proses pembelajaran yang baik. Proses pembelajaran yang baik memubutuhkan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang diperbaiki secara terus menerus. Proses pembelajaran yang baik membutuhkan hubungan yang baik antara Dosen dengan mahasiswa. Proses pembelajaran yang baik mebutuhkan motivasi mahasiswa yang tinggi, dan kemampuan untuk memotivasi mahasiswa merupakan salah satu esensi sifat kepemimpinan. Kecerdasan emosional dan spiritual merupakan elemen esensial bagi seorang pemimpin.
Kecerdasan
emosional
merupakan
kecerdasan
yang
memungkinkan seorang pemimpin untuk membangun hubungan yang positif dengan orang yang dipimpinnya. Kecerdasan spiritual akan mengarahkan seseorang untuk senantiasa menjalankan kecerdasan intelektual dan spiritualnya pada kebaikan. Kecerdasan intelektual dan emosional yang tidak didasari oleh kecerdasan spiritual berpotensi untuk menggunakan kecerdasannya tersebut pada
2
jalan yang salah. Dengan demikian pemimpin yang baik memerlukan ketiga jenis kecerdasan tersebut (IQ,EQ dan SQ) secara seimbang.
B. TINJUAUAN TEORITIS 1.
Definisi Kepemimpinan Apakah
definisi
kepemimpinan
itu?
Menurut
sejarah,
masa
“kepemimpinan” muncul pada abad 18. Ada beberapa difinisi kepemimpinan, antara lain: 1. Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan (Jacobs & Jacques, 1990, 281). 2. Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7). 3. Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama (Rauch & Behling, 1984, 46). 4. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24). 5. Kepemimpinan adalah kemampuan seni atau tehnik untuk membuat sebuah kelompok atau orang mengikuti dan menaati segala keinginannya.
Banyak definisi kepemimpinan yang menggambarkan asumsi bahwa kepemimpinan dihubungkan dengan proses mempengaruhi orang baik individu maupun masyarakat. Dalam kasus ini, dengan sengaja mempengaruhi dari orang ke orang lain dalam susunan aktivitasnya dan hubungan dalam kelompok atau organisasi. John C. Maxwell mengatakan bahwa inti kepemimpinan adalah mempengaruhi atau mendapatkan pengikut. 3
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu membawa membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Pemimpin seperti ini diistilahkan oleh Danim (2003) yang mengutip pendapat
Leithwood (1999)
sebagai kepemimpinan
transformasional (transformational leadership), yaitu kepemimpinan yang menggiring sumber daya manusia yang dipimpin ke arah tumbuhnya sensitivitas, pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangan visi secara bersama, pendistribusian kewenangan kepemimpinan, dan membangun kultur organisasi sekolah yang menjadi keharusan dalam skema restrukturisasi sekolah tersebut. 2.
Gaya-Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan adalah pola tindakan pemimpin secara keseluruhan
seperti yang dipersepsikan orang-orang yang dipimpinnya (Davis & Newstorm, 1995). Hal ini sejalan dengan pendapat Hersey & Blanchard (1982:95) yang menyatakan bahwa: Gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang ditampilkan ketika mencoba mempengaruhi tingkah laku orang lain seperti yang dipersepsikan oleh orang yang akan kita pengaruhi tersebut. Menurut Hersey & Blanchard (1982) pada dasarnya gaya kepemimpinan seseorang terbagi pada dua kecenderungan, yaitu berorientasi pada tugas ( task behavior) dan berorientasi pada hubungan ( relationship behavior). Gaya yang pertama ditandai dengan adanya beberapa hal seperti : pemimpin memberikan petunjuk-petunjuk kepada bawahan, selalu mengadakan pengawasan secara ketat, meyakinkan kepada bawahan bahwa tugas-tugas harus dapat dilaksanakan sesuai dengan keinginanan pemimpin dan pemimpin lebih menekankan kepada pelaksanaan tugas daripada pembinaan dan pengembangan bawahan. Sedangkan gaya kepemimpinan yang kedua, sebaliknya ditandai dengan beberapa gejala sebagai berikut : pemimpin lebih memberikan motivasi daripada memberikan pengawasan
terhadap
bawahan,
pemimpin
melibatkan
bawahan
dalam
pengambilan keputusan, pemimpin lebih bersikap penuh kekeluargaan, percaya, hubungan kerjasama yang saling hormat menghormati diantara sesama anggota kelompok.
4
Selanjutnya
Hersey
dan
Blanchard
(1982)
membedakan
dua
kecenderungan tersebut ke dalam empat gaya kepemimpinan, yaitu : Telling, Selling, Participating dan Delegating. Gaya Kepemimpinan Telling, ditandai dengan ciri-ciri : tinggi tugas dan rendah hubungan, pemimpin memberikan perintah khusus, pengawasan dilakukan secara ketat, pemimpin menerangkan kepada bawahan apa yang harus dikerjakan, bagaimana mengerjakan, kapan harus dilaksanakan pekerjaan itu, dan di mana pekerjaan itu harus dilakukan. Gaya kepemimpinan Telling disebut pula dengan gaya 1 atau G.1. Gaya Kepemimpinan Selling, ditandai dengan ciri-ciri : tinggi tugas dan tinggi hubungan, pemimpin menerangkan keputusan, pemimpin memberikan kesempa tan untuk penjelasan, pemimpin masih banyak melakukan banyak pengarahan, pemimpin melakukan komunikasi dua arah. Gaya kepemimpinan ” selling” disebut pula dengan gaya 2 atau G.2. Gaya kepemimpinan Participating ditandai dengan ciri-ciri tinggi hubungan dan rendah tugas, di mana pemimpin dan bawahan saling memberikan gagasan dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan participating ini disebut pula gaya 3 atau G3. Gaya kepemimpinan Delegating merupakan gaya kepemimpinan yang ditandai dengan ciri-ciri : hubungan dan tugas rendah, pemimpin melimpahkan pembuatan keputusan dan pelaksanaan kepada bawahan. Gaya kepemimpinan delegating disebut pula gaya 4 atau G4. A.K. Korman (dalam Hersey & Blanchard, 1982) berpendapat bahwa antara perilaku tugas dan hubungan ditunjukkan dengan kurve, yang digambar pada jaringan dengan garis mendatar menunjukkan perilaku tugas dan garis menegak menunjukkan perilaku hubungan, sehingga tersusun empat macam gaya kepemimpinan seperti terlihat pada gambar 1.
5
Gambar 1. Model Gaya Kepemimpinan Hersey & Blanchard
Pada gambar tersebut nampak bahwa semakin ke kanan maka gaya kepemimpinan yang digunakan adalah semakin berorientasi pada tugas, yaitu gaya kepemimpinan Telling dan Selling. Sedangkan semakin ke atas maka gaya kepemimpinan yang digunakan adalah semakin berorientasi pada hubungan, yaitu gaya kepemimpinan Participating dan Selling. Gaya kepemimpinan Delegating rendah tugas dan hubungan. 3. Pentingnya Kepemimpinan Bagi Dosen Dosen yang baik membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Menurut Madhi (2001) salah satu kepemimpinan yang paling spesifik adalah kepemimpinan pendidikan (Qiyadah tarbiyyah atau Educative Leadership). Kesuksesan mendidik generasi, membina umat dan berusaha membangkitkannya terkait erat dengan terpenuhinya kepemimpinan pendidikan yang benar. Krisis yang mengepung umat kita saat ini tidak lain karena hilangnya murabbi (pendidik) yang teladan atau pemimpin tarbawi.
Imam Al-Ghazali mengatakan: „Seorang pelajar harus
memiliki seorang guru pembimbing (mursyid) yang dapat mengeluarkan akhlak yang buruk dari dirinya dan menggantikannya dengan akhlak yang baik. Ia juga
6
harus memiliki seorang syaikh yang dapat mendidik dan menunjukkannya ke jalan Allah Ta‟ala‟. 1.
Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional dalam pengertian Reuven Baron (dalam Coleman,
2000) adalah serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi seseorang untuk berhasil dalam mengatasi hambatan dan tekanan lingkungan. Shapiro (1999) kecerdasan emosional sangat berhubungan dengan berbagai hal yaitu perilaku moral, cara berfikir yang realistik, pemecahan masalah, interaksi sosial, emosi diri, dan keberhasilan baik secara akademik maupun pekerjaan. Secapramana (1999) mengemukakan kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali, mengolah dan mengontrol emosi agar seseorang mampu berespon secara positif terhadap setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi tersebut. Sedangkan Goleman tampaknya lebih ditujukan pada upaya mengenali, memahami dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat. Hal lain yang juga penting dalam kecerdasan emosional ini adalah upaya untuk mengelola emosi agar terkendali dan dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan terutama yang terkait dengan hubungan antar manusia (Rostiana, 1997). Kesimpulannya bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengenali, mengelola dan mengendalikan emosi pada diri sendiri, memahami perasaan orang lain, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, untuk pemecahan masalah, serta berpikir realistis sehingga mampu merespon secara positif terhadap setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi tersebut. Kecerdasan emosional merupakan suatu konsep baru yang sampai saat ini belum ada definisi yang baku yang menerangkan. Telaah mengenai arti kecerdasan emosional biasanya terkait dengan kemampuan seseorang dalam
7
menggunakan aspek pikiran dan emosi untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan (Seca Pramana, 1999). Coleman (2000) mengartikan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Menurut Shapiro (1999) kecerdasan emosional sangat berhubungan dengan berbagai hal yaitu perilaku moral, cara berpikir yang realistik, pemecahan masalah, interaksi sosial, emosi diri dan keberhasilan, baik secara akademik maupun pekerjaan. Salovey dan Mayer tahun 1990 menerangkan bahwa kualitas-kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan, di antaranya adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, pengendalian amarah, kemandirian, kemampuan
memecahkan
masalah
pribadi,
ketekunan,
kesetiakawanan,
keramahan dan sikap hormat (Shapiro, 1999).
Aspek-aspek Kecerdasan Emosional Menurut Salavey dan Mayer, ada lima aspek dalam kecerdasan emosional (dalam Coleman, 2000) yaitu : a. Mengenali emosi diri yaitu kemampuan untuk menguasai perasaannya sendiri agar perasaan tersebut dapat diungkap dengan tepat. Orang tidak mampu mengelola emosinya akan terus menyesali kegagalannya sedangkan mereka mampu mengelola emosinya akan segera bangkit dari kegagalan yang menimpanya. b. Mengenali emosi diri, merupakan inti dan dasar dari kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu bagi pemahaman diri dan kemampuan mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
8
c. Memotivasi diri sendiri yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dan menahan diri terhadap kepuasan sesaat untuk tujuan yang lebih besar, lebih agung dan lebih menguntungkan. d. Mengenali emosi orang lain, yaitu kemampuan menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi, yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain. e. Membina hubungan dengan orang lain yaitu kemampuan seseorang untuk membentuk
hubungan,
membina
kedekatan
hubungan,
meyakinkan,
mempengaruhi dan membuat orang lain nyaman, serta dapat terjadi pendengar yang baik. Menurut Goleman (2000) mengemukakan bahwa ada aspek kecerdasan emosional yaitu: a. Pengaturan diri yaitu kemampuan seseorang menangani emosinya sendiri sehingga berdapak positif terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi. b. Kesadaran diri, yaitu kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang ia rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu dalam pengambilan keptusan bagi diri sendiri. c. Motivasi diri, kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif serta mampu bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi. d. Empati yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe orang. e. Keterampilan sosial yaitu kemampuan untuk mengendalikan emosi dengan baik ketika berhubungan sosial dengan cermat dapat berinteraksi dengan lancar, 9
menggunakan ketrampilan ini untuk mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan permasalahan dan bekerja sama dengan tim. Kecerdasan emosi (EQ) sangat dibutuhkan untuk melengkapi kecerdasan intelektual (IQ). Banyak contoh empiris yang menunjukkan betapa IQ yang tinggi tidak mampu membawa kesuksesan bagi seseorang. Banyak orang yang memiliki IQ tinggi tapi tidak berhasil dalam pekerjaannya hanya karena tidak memiliki kecerdasan emosional yang cukup. 2.
Kecerdasan Spiritual (SQ) Menurut Zohar dan Marshall (2001) Spiritual Quotion (SQ) atau
Kecedasan Spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya; menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Selanjutnya berlandaskan pada beberapa ahli psikologi (Sigmund Freud, C.G. Jung), neurolog (Persinger, Ramachandran) dan filosof (Daniel Dennett, Rene Descartes), Zohar dan Marshall membahas lebih dalam mengenai “Kecerdasan Spiritual”. “Kecerdasan Spiritual” disimbolkan sebagai Teratai Diri yang menggabungkan tiga kecerdasan dasar manusia (rasional, emosional, dan spiritual), tiga pemikiran (seri, asosiatif, dan penyatu), tiga jalan dasar pengetahuan (primer, sekunder, dan tersier) dan tiga tingkatan diri (pusat transpersonal, tengah-asosiatif & interpersonal, dan pinggiran-ego personal). Dengan demikian SQ berkaitan dengan unsur pusat dari bagian diri manusia yang paling dalam menjadi pemersatu seluruh bagian diri manusia lain. Selanjutnya menurut Zohar dan Marshall, SQ adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri manusia yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar. SQ menjadikan manusia yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. SQ adalah kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh. Namun, pada zaman sekarang ini terjadi krisis spiritual karena kebutuhan makna tidak terpenuhi sehingga hidup manusia terasa dangkal 10
dan hampa. Ada tiga sebab yang membuat seseorang dapat terhambat secara spiritual, yaitu tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sendiri sama sekali, telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak proporsional, dan bertentangannya / buruknya hubungan antara bagian-bagian. Lebih Jauh Zohar dan Marshall menambahkan bahwa bila SQ seseorang telah berkembang dengan baik, maka tanda-tanda yang akan terlihat pada diri seseorang adalah: (1) kemampuan bersikap fleksibel, (2) tingkat kesadaran diri tinggi, (3) kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, (4) kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit, (5) kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, (6) keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu, (7) kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik), (8) kecenderungan nyata untuk bertanya “Mengapa?” atau “Bagaimana jika?” untuk mencari jawaban yang mendasar, (9) memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi. Kepemimpinan yang baik memerlukan dukungan SQ yang memadai. Menurut Zohar (2005) unsur spiritual dalam diri manusia membuat kita bertanya mengapa kita mengerjakan sesuau dan membuat kita mencari-cari yang secara fundamental lebih baik untuk melakukannya. Unsur spiritual itu membuat manusia ingin agar hidup dan upaya yang dilakukan memiliki makna. Unsur spiritual dalam diri mampu membangkitkan potensi diri secara optimal untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik. Unsur spiritual membangkitkan motivasi untuk melkukan sesuatu dengan baik. 11
Agustian (2003), mengutip hasil diskusi yang dilakukan di Harvard Business School untuk membahas bagaimana nilai-nilai spiritual yang mampu membawa seseorang menjadi powerful leader. Pada akhir diskusi mereka sepakat bahwa paham spiritualisme mampu menghasilkan lima hal, yaitu: a. Integritas atau kejujuran b. Energi atau semangat c. Inspirasi atau ide dan inisiatif d. Wisdom atau bijaksana e. Keberanian dalam mengambil keputusan. 3.
Gambaran Pemimpin Yang Ideal Pemimpin yang ideal merupakan dambaan semua orang. Setiap manusia
mungkin memiliki criteria pemimpin ideal yang berbeda. Namun demikian dari survai yang dilakukan menunjukkan variasi criteria pemimpin yang ideal tersebut tidak terlalu banyak. Agustian (2003) mengutip hasil survai yang dilakukan oleh Sebuah lembaga leadership internasional bernama “The Leadership Challenge” yang melakukan survai di seluruh benua untuk menilai dan memilih 7 karakeristik CEO ideal. Karakter CEO ideal yang diinginkan oleh responden berdasarkan persentase tertinggi adalah sebagai berikut: a.
Honest (Jujur)
b.
Forward looking (berpikiran maju)
c.
Competent (kompeten)
d.
Inspiring (Dapat memberi inspirasi)
e.
Intelligent (cerdas)
f.
Fair-minded (adil)
g.
Broad-minded (berpandangan luas)
h.
Straight forward (terus terang/jujur)
i.
Supportivge (mendukung)
j.
Dependable (bisa diandalkan)
k.
Cooperative (bekerja sama)
12
l.
Determined (tegas)
m.
Imaginative (berdaya imajinasi)
n.
Ambitious (berambisi)
o.
Courrageous (berani)
p.
Caring (perhatian)
q.
Mature (Matang)
r.
Loyal (setia)
s.
Self-controlled (penguasaan diri)
t.
Independen (mandiri)
C. PEMBAHASAN 1.
Pentingnya kecerdasan emosional dalam kepemimpinan dosen Orang yang memiliki sifat kepemimpinan yang yang tinggi dapat dilihat
dari kemampuannya untuk mempengaruhi orang lain. Sifat kepemimpinan identik dengan kemampuan untuk memberikan pengaruhi melalui ucapan dan perbuatan yang diucapkan dan dilakukannya. Orang yang dapat memberikan pengaruh kepada orang lain perlu membangun hubungan yang baik dengan orang yang akan dipengaruhinya, dan prasyarat untuk itu diperlukan kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional merupakan kecerdasan yang dibutuhkan untuk membangun hubungan yang baik dengan sesame manusia. Dalam proses pembelajaran kecerdasan emosionla sangat dibutuhkan oleh dosen untuk membangun hubungan yang positip dengan mahasiswa. Dosen yang memiliki kecerdasan yang baik dapat memilih kalimat dan kata yang tepat dalam berkomunikasi dengan mahasiswanya. Dosen dengan kecerdasan emosional yang baik juga dapat memberikan respon yang tepat terhadap berbagai ucapan dan tindakan yang diucapkan dan diperbuat oleh mahasiswa. Dengan keadaan demikian hubungan antara dosen dengan mahasiswa akan senantiasa berjalan dengan baik.
13
Hubungan positip dapat meningkatkan motivasi belajar mahasiswa. Hubungan positip antara dosen dengan mahasiswa dapat meningkatkan kepercayaan, simpati dan hormat mahasiswa terhadap dosennya. Dengan adanya ketiga hal tersebut akan lebih memudahkan bagi dosen untuk membuat kontrak perkuliahan dan melaksanakan kontrak tersebut tanpa adanya perasaan terpaksa dari mahasiswa. Dengan adanya kontrak yang disepakati tersebut mahasiswa akan lebih termotivasi untuk belajar. Motivasi belajar merupakan salah satu prasyarat untuk terjadinya proses pembelajaran yang efektif. Motivasi akan mendorong mahasiswa untuk menggali lebih banyak tentang materi yang diberikan oleh dosennya di kelas. Motivasi akan mendorong mahasiswa untuk menyelesaikan tugas-tugas tepat pada waktunya dengan kualitas yang baik. Mahasiswa yang termotivasi juga akan berpengaruh terhadap motivasi dosennya. Dengan terbangunnya motivasi yang tinggi pada dosen dan mahasiswa maka proses pebelajaran akan dapat berjalan dengan efektif. 2.
Urgensi kecerdasan spiritual dalam kepemimpinan dosen Spiritualisme akan mendorong lahirnya sifat-sifat positip bagi seseorang
dalam menjalankan tugasnya, termasuk bagi seorang dosen. a. Spiritual menorong tumbuhnya Integritas atau kejujuran Integritas atau kejujuran merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang dosen. Dari penelitian tentang sifat-sifat pemimpin yang paling didambakan oleh masyarakat di enam benua ditemukan bahwa kejujuran merupakan sifat yang selalu menempati urutan pertama. Dosen yang jujur akan menjadi teladan yang baik masyarakat dan lingkungannya. Dengan keteladanan tersebut secara tidak disadarai dosen tersebut telah menjadi seorang pendidik bagi mahasiswa dan masyarakat di sekitarnya. Kejujuran dosen akan menghindari terjadinya “kecelakaan” dalam pendidikan. Kecelakaan dalam pendidikan antara lain terjadi karena adanya ketidakjujuran dalam pelaksanaan pendidikan, antara lain ketidakjujuran dalam penilaian, ketidakjujuran pemberian sanksi, ketidakjujuran dalam perencanaan. 14
Ketidakjujuran merupakan kecelakaan dalam dunia pendidikan yang dapat menyebabkan dampak negatip begitu luas dalam dunia pendidikan kita dewasa ini. Ketidakjujuran antara lain dapat terjadinya karena kurangnya kecerdasan spiritual pada beebagai pelaku dalam dunia pendidikan, antara lain pada pengambil kebijakan, dosen, mahasiswa dan masyarakat sendiri. b. Spiritualitas menimbulkan energi atau semangat Dosen yang memiliki kecerdasan spiritual akan senantiasa mendapatkan energi dan semangat dalam menjalankan tugasnya. Energi tersebut dapat timbul karena dosen yang demikian mandapatkan kebahagiaan dari apa yang diberikannya pada mahasiswanya. Kebahagiaan yang dirasakan tersebut merupakan kebahagiaan spiritual,
yakni kebahagiaan tatkala potensi yang
dimilikinya dapat memberikan manfaat bagi orang lain dalam hal ini adalah mahasiswanya. Dengan demikian dosen yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi akan memberikan potensinya secara optimal pada tugasnya tanpa tuntutan yang berlebihan terhadap imbalan, karena kebahagiaanya bukan terletak pada imbalan yang diterimanya tetapi justru ketika dia dapat mengeluarkan potensinya untuk maslahatan orang lain. Dosen dengan kecerdasan spiritual yang tinggi merupakan sosok manusia yang ideal. Sosok manusia yang demikian pada zaman ini dianggap sebagai manusia yang sangat langka. Hal terjadi karena secara tidak sadar kita telah menjadi pengikut paham materialisme. Paham materialisme cenderung menjadikan materi sebagai ukuran kebehagiaan. Dengan demikian kebehagiaan dipersepsikan sebagai keberhasilan dalam memperoleh atau menerima materi yang sebanyak-banyaknya. Paham demikian tidak akan pernah membawa manusia pada kebahagiaan sesungguhnya karena keinginan manusia tanpa batas sedangkan materi itu sendiri terbatas. Peningkatan kecerdasan spiritual dosen merupakan bagian integral dalam peningkatan profesionalisme dosen. Kualifikasi akademik dosen dewasa ini secara umum sudah semakin meningkat di satu sisi. Disisi yang lain dosen yang
15
benar-benar mendedikasikan diri pada profesinya semakin langka, dengan alas an klasik bahwa gaji yang diterima tidak mencukupi. Alasan itu tidak seluruhnya salah, tetapi juga tidak seluruhnya benar. Secara umum gaji yang diterima oleh seorang dosen di Indosensia saat ini memang belum memungkinkan untuk hidup mewah secara materi, akan tetapi dibandingkan dengan profesi lain, maka apa yang diterima oleh dosen sesungguhnya sudah jauh lebih tinggi. Dengan demikian supaya dosen dapat menikmati kebahagiaan dengan materi yang terbatas maka perlu dicari sumber kebahagian yang lain yang lebih mungkin dicapai, yaitu kebahagiaan spiritual, yakni kebahagiaan ketika kita dapat mengeluarkan potensi yang dimiliki untuk orang lain. c. Spiritualitas melahirkan inspirasi atau ide dan inisiatif Dosen yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi senantiasa memperoleh inspirasi dan inisiatif dalam menjalankan tugasnya. Inspirasi dan inisiatif tersebut dapat lahir karena dosen dengan spiritualitas yang tinggi akan mampu meminimalkan kepentingan-kepentingan pribadi yang dangkal atau dengan kata lain dosen tersebut dapat men “zero” kan dirinya, yaitu dapat menfokuskan pemikirannya pada pelaksanaan tugasnya tanpa terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan dangkal yang bersifat materialis. d. Spiritualitas menuntun untuk menjadi wisdom atau bijaksana Dosen yang bijaksana mampu menyelesaikan konflik dan persoalan dengan sebaik-baiknya. Seperti diketahui bahwa konflik dalam sebuah organisasi merupakan suatu keniscayaan. Setiap interaksi dua orang atau lebih sewaktuwaktu dapat menimbulkan konflik. Dalam dunia pendidikan konflik dapat terjadi antara dosen dengan mahasiswa, antara sesama mahasiswa, antara mahsiswa dengan keluarganya atau konflik yang terjadi dalam diri individu-individu tersebut. Penyelesaian konflik yang baik menuntut sikap yang bijaksana. Penyelesaian konflik yang bijaksana akan melahirkan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian konflik itu sendiri dapat memiliki segi fungsional bila dikelola dengan baik.
16
e. Spiritualitas mendorong keberanian dalam mengambil keputusan. Kecerdasan spiritual akan melahirkan keberanian dalam mengambil keputusan. Dosen yang melaksanakan tidak kan terbebani dengan rasa takut terhadap konsekuensi hasil keputusannya Karena keputusannya telah melalui pertimbangan yang matang dan objektif. Keputusan yang diambil dengan pertimbangan matang dan objektif akan dapat diterima oleh pihak yang terkena akibat keputusan tersebut. Keberanian membuat keputusan yang tepat saat ini merupakan salah satu kelemahan yang dimiliki oleh para pendidik, termasuk dosen. Hilangnya keberanian tersebut karena dalam melaksanakan tugasnya terbelenggu oleh berbagai kepentingan dan kecemasan. Dosen yang berani membuat keputusan yang tegas sering dianggap aneh, “killer”, feodal dan sebagainya. Dosen dengan kecerdasan spiritual yang rendah biasanya cenderung tidak siap untuk menerima anggapan tersebut dan berusaha untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian meskipun harus mengorbankan kejujuran dan integritas atau sifat-sifat ideal kepemimpinan yang lain. Dosen yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi tidak takut dengan anggapan tersebut, karena keputusan yang dibuatnya telah melalui proses yang benar dan objektivitas yang tinggi.
D. Kesimpulan Dari pembahasan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa untuk menjalankan tugasnya sebagai dosen dengan baik, maka seorang tidak hanya cukup memiliki kecerdasan intelektual dan kualifikasi akademik yang tinggi, tetapi perlu ditunjang oleh kecedrasan emosional dan dirahkan oleh kecerdasan spiritual.
Kecerdasan
intelektual
berkaitan
dengan
penguasaan
materi
pembelejaran yang akan disampaikan. Kecerdasan emosional berperan dalam membangun hubungan yang positip dengan mahasiswa. Sementara kecerdasan spiritual berperan dalam menumbuhkan nilai-nilai kejujuran, semangat, inisiatif, kebijaksanaan, dan keberanian membuat keputusan
17
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Hersey, Paul & Blanchard, Kenneth H.(1982). Management of organizational behavior: Utilizing human resources, 4th Ed. New Jersey : Prentice Hall, Inc.,Engelwood Cliffs. Jung, Dong I.(2001). Transformational and transactional leadership and their effectson creativity in groups. Creativity Reseacrh Journal, 2000-2001, vol. 13 No. 2, 185–195. Madhi, Jamal. 2001. Menjadi Pemimpin yang Efektif & Berpengaruh, tinjauan Manajem Kepemimpinan Islam. Bandung. PT. Syaamil Cipta Media. Republik Indonesia.2005. Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Robbins S., 1996 Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi, San Diego State University, diterbitkan oleh PT Prenhalinddo, Jakarta. Segal, Jeanne. 1997. Meningkatkan Kecerdasan Emosional. Jakarta. Vitra Aksara. Terry, George R. 1993. Prinsip-prinsip Manajemen (terjemahan oleh J.Smith DFM). Jakarta. Bumi Aksara Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2001. SQ: Memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam berpikir integralistik dan holistik untuk memaknai kehidupan. Bandung : Mizan. Zohar, Danah. 2005.Spiritual Capital (terjemahan Helmi Mustofa). Bandung. Mizan. http://www.masbow.com/2009/08/kecerdasan-emosional.html
18