III.
A.
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI MUTU
Dunia manufaktur telah mengalami perubahan dramatis dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Tantangan bagi perusahaan untuk menjadi dan tetap kompetitif belum pernah sekeras sekarang. Landasan persaingan bukan berpusat pada biaya saja, tetapi pada sejumlah faktor kesuksesan lain seperti mutu, pelayanan, dan inovasi. Perusahaan dengan mutu bagus dapat mengendalikan harga yang lebih tinggi dan akan selalu diingat konsumen. Mutu merupakan istilah yang mempunyai makna berbeda bagi setiap orang. Memahami dimensi mutu produk perusahaan merupakan langkah awal dalam mengembangkan dan memelihara keunggulan produk dalam persaingan bisnis. Disukai atau tidak, konsumen merupakan pihak yang paling berkepentingan dalam menilai mutu produk yang dikonsumsinya. Nasution (2005) mengatakan ada hubungan yang erat antara mutu produk (barang dan jasa), kepuasan pelanggan, dan laba perusahaan. Semakin tinggi mutu, semakin tinggi kepuasan pelanggan dan pada waktu yang bersamaan mendukung harga jual yang tinggi dan seringkali biaya produksi menjadi rendah. Oleh karena itu program perbaikan mutu umumnya meningkatkan laba. Dalam pemilihan setiap produk yang akan dikonsumsi, konsumen seringkali mempertimbangkan mutu dari produk tersebut. Sama halnya dengan perusahaan dalam memproduksi dan menyalurkan suatu produk selalu mengaitkan dengan mutu produk tersebut. Jelas dapat kita lihat bahwa mutu memegang peranan yang penting baik bagi pihak konsumen maupun produsen. Beberapa pakar mutu mendefinisikan mutu dalam pengertian yang berbeda. Berikut merupakan definisi mutu yang dikemukakan oleh para ahli: -
Joseph M. Juran Juran berpendapat bahwa mutu berarti kesesuaian dengan penggunaan (fitness for use). Juran menjelaskan arti fitness for use sebagai: (1) quality of design (mutu rancangan) atau sering disebut sebagai mutu absolut artinya mutu yang dirancang dan direncanakan dan (2) quality of conformance (mutu kesesuaian), yaitu tingkat kesesuaian produk atau jasa terhadap rancangan yang sudah dibuat. Produk dan jasa dapat mempunyai rancangan yang baik tetapi dalam pembuatannya memiliki kemungkinan terjadinya ketidaksesuaian (kekurangan). Hal ini dapat mengakibatkan scrap (waste), pekerjaan ulang, penurunan mutu, dan jika lolos ke pasar tidak laku atau malah akan menimbulkan citra negatif (Muhandri dan Kadarisman, 2008).
-
Philips B. Crosby Didefinisikan bahwa mutu sebagai conformace to requirement. Dengan definisi ini Crosby menitikberatkan kegiatan mutu perusahaan untuk mencoba mengerti harapan-harapan konsumen, memenuhi harapan-harapan konsumen tersebut, sehingga perlu pandangan eksternal mengenai mutu agar penyusunan sasaran mutu lebih realistis dan sesuai dengan permintaan dan keinginan (Tenner, 1992).
-
Feigenbaum Feigenbaum mengemukakan bahwa mutu sebagai total composite product and service characteristics of marketing, engineering, manufacture, and maintenance through which the
19
product and service in use will meet the expectation of the customer. Memiliki pengertian bahwa mutu merupakan keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembikinan, dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa yang digunakan memenuhi harapan-harapan pelanggan (Feigenbaum, 1996). -
ISO 9000 ISO 9000 mendefinisikan mutu sebagai derajat dari serangkaian karakteristik produk dan jasa yang memenuhi kebutuhan atau harapan yang dinyatakan (Suardi, 2001).
Muhandri dan Kadarisman (2008) menyimpulkan bahwa mutu adalah kesesuaian serangkaian produk atau jasa dengan standar yang ditetapkan perusahaan berdasarkan syarat, kebutuhan dan keinginan konsumen. Pemahaman mengenai mutu dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Pemahaman mengenai mutu (Feigenbaum, 1996).
Dari berbagai definisi mutu yang ada Manik (2004) juga menjelaskan bahwa semuanya mengacu pada suatu konsep mutu, yakni total customer satisfaction yang dijelaskan pada Gambar 2.
Permintaan konsumen terus berkembang Ð Persyaratan mutu juga berkembang Ð Diperlukan pengembangan metode atau pendekatan (tools) untuk menghasilkan mutu yang baik Ð Karena mutu memiliki berbagai karakteristik maka perlu didefinisikan dengan tepat Ð Tanpa definisi yang jelas maka mutu sulit untuk dibangun, diukur, dikendalikan, dan dikembangkan Gambar 2. Konsep mutu (Manik, 2004).
Menurut Hubeis (1999), konsep mutu pada bidang pangan erat kaitannya dengan era mutu, dimulai dengan inspeksi atau pengawasan pada tahun 1920-an yang menekankan pada pengukuran.
20
Pada tahun 1960 mengarah ke pengendalian mutu dengan pendekatan teknik statistika berupa grafik, histogram, tabel, diagram pencar, dan perancangan percobaan. Sedangkan tahun 1980-an berorientasi pada jaminan mutu (quality assurance) dan tahun 1990-an terfokus pada manajemen mutu total (Total Quality Management atau TQM) Penerapan kosep mutu di bidang pangan dalam arti luas menggunakan penafsiran yang beragam. Kramer dan Twigg (1983) menyatakan bahwa mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik (warna, tekstur, rasa, dan bau). Hal ini digunakan konsumen untuk memilih produk secara total. Gatchallan (1989) dalam Hubeis dan Kadarisman (2007) berpendapat bahwa mutu dianggap sebagai derajat penerimaan konsumen terhadap produk yang dikonsumsi berulang (seragam atau konsisten dalam standar dan spesifikasi), terutama sifat organoleptiknya. Kramer dan Twigg (1983) mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan menjadi dua kelompok, yaitu : Pertama, karakteristik fisik/tampak, meliputu: penampilan (warna, ukuran, bentuk, cacat fisik); kinestika (tekstur, kekentalan, dan konsistensi); flavor (sensasi dari kombinasi bau dan cicip). Kedua, karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis. Berdasarkan karakteristik tersebut, profil produk pangan umumnya ditentukan oleh ciri organoleptik kritis, misalnya kerenyahan pada keripik. Namun, ciri organoleptik lainnya seperti bau, aroma, rasa, dan warna juga ikut menentukan. Pada produk pangan, pemenuhan spesifikasi dan fungsi produk yang bersangkutan dilakukan menurut standar estetika (warna, rasa, bau, dan kejernihan); kimiawi (mineral, logam–logam berat dan bahan kimia yang ada dalam bahan pangan); dan mikrobiologi (tidak mengandung bakteri Eschericia coli dan patogen).
1.
Alasan Memproduksi Barang Bermutu Produk bermutu prima memang akan lebih atraktif bagi konsumen, bahkan akhirnya dapat meningkatkan volume penjualan. Tetapi, produk bermutu mempunyai aspek penting lain, yakni (Prawirosentono, 2004): Pertama, konsumen yang membeli produk berdasarkan mutu, umumnya dia mempunyai loyalitas produk yang besar dibandingkan dengan konsumen yang membeli berdasarkan orientasi harga. Kedua, Bersifat kontradiktif dengan cara pikir bisnis tradisional. Ternyata memproduksi barang bermutu tidak secara otomatis lebih mahal dibandingkan dengan memproduksi produk bermutu rendah. Ketiga, menjual barang tidak bermutu, kemungkinan akan banyak menerima keluhan dan pengambilan barang dari konsumen. Atau biaya untuk memperbaikinya (after sales services) menjadi sangat besar, selain memperoleh citra tidak baik. Belum lagi kecelakaan yang diderita konsumen akibat pemakaian produk yang bermutu rendah. Konsumen tersebut mungkin akan menuntut ganti rugi melalui pengadilan. Jadi, berdasarkan ketiga hal atau alasan di atas, memproduksi produk bermutu tinggi lebih banyak akan memberi keuntungan bagi produsen, bila dibandingkan dengan produsen yang menghasilkan produk bermutu rendah (Prawirosentono, 2004).
2.
Fungsi Mutu Produk Menurut Shigeru Mizuno (1994), pada dasarnya terdapat tiga fungsi utama mutu suatu produk, yaitu:
21
a. Pemeriksaan mutu (Quality inspection) Dengan adanya mutu suatu produk maka dapat dilakukan pemeriksaan mutu, yaitu tindakan untuk mengetahui produk sesuai dengan yang dimaksud atau tidak. b. Pengendalian mutu (Quality control) Bila suatu produk telah melalui tahap pemeriksaan mutu, ternyata diketahui bahwa produk tersebut tidak sesuai dengan persyaratan, maka dilakukan tindakan pengendalian terhadap kondisi tadi, dengan membawa produk tersebut kedalam kondisi sesuai dengan yang dimaksud. c. Pemastian mutu (Quality assurance) Mutu tidak dijamin melalui pemeriksaan saja. Mutu memerlukan desain yang rasional, pelaksanaan operasi, dan prosedur pengendalian mutu yang benar. Mutu dapat dipastikan sedemikian rupa sehingga konsumen yang membeli bebas dari rasa cemas, dalam jangka panjang tanpa kesulitan.
3.
Mempertahankan Mutu Produk Menurut Suardi (2001), untuk mempertahankan mutu produk pangan sesuai dengan yang diharapkan konsumen dan mampu bersaing secara global dapat ditempuh upaya-upaya berikut, khususnya yang menyangkut hubungan antar penjamin mutu, yaitu: a. Pengadaan bahan baku Baik bahan utama maupun bahan tambahan industri harus direncanakan dan dikendalikan dengan baik. Baik atau buruknya bahan baku yang digunakan akan berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan sehingga dapat menjadi evaluasi untuk quality control. Walaupun demikian hasil yang didapatkan harus menjadi perhatian untuk quality assurance yang bertugas menjamin mutu ditingkat yang lebih luas. b. Pengendalian produksi Pengendalian produksi dilakukan secara terus. Pengendalian produksi menjadi tanggung jawab dibagian quality control untuk menjamin proses produksi berjalan dengan baik. Proses yang baik akan menghasilkan produk yang baik yang sesuai standar perusahaan. c. Pengemasan Pengemasan dilakukan dengan benar dan memenuhi persyaratan teknis untuk kepentingan distribusi dan promosi. Dalam industri pangan, pengemasan merupakan tahap terakhir produksi sebelum didistribusikan. d. Penyimpanan dan penanganan produk jadi Penyimpanan dan penanganan produk jadi bertujuan untuk mencegah kerusakan akibat vibrasi, shok, abrasi, korosi, pengaruh suhu, Rh, sinar, dan sebagainya selama penanganan, pengangkutan, dan penyimpanan. e. Pemeriksaan dan pengujian selama proses dan produk akhir Tujuan utama adalah untuk mengetahui apakah item atau lot yang dihasilkan memenuhi persyarakatan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Quality control memegang peran pada tahap ini, karena pengujian produk akhir akan menjadi penentu keputusan produk jadi. f. Keamananan dan tanggung jawab produk Karakteristik mutu keamanan dalam industri pangan semakin hari semakin penting karena banyak kasus yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu perlu dikembangkan metode atau peraturan tentang praktek pengolahan pangan yang baik.
22
Produk yang dihasilkan bukan hanya menjadi tanggung jawab bagian produksi, namun juga semua pihak yang terkait produksi. Kadarisman (1996) berpendapat bahwa mutu harus dirancang dan dibentuk ke dalam produk. Kesadaran mutu harus dimulai pada tahap sangat awal, yaitu gagasan konsep produk, setelah persyaratan–persyaratan konsumen diidentifikasi. Kesadaran upaya membangun mutu ini harus dilanjutkan melalui berbagai tahap pengembangan dan produksi, bahkan setelah pengiriman produk kepada konsumen untuk memperoleh umpan balik. Hal ini karena upaya– upaya perusahaan terhadap peningkatan mutu produk lebih sering mengarah kepada kegiatan– kegiatan inspeksi serta memperbaiki cacat dan kegagalan selama proses produksi.
B.
SISTEM MUTU
Feigenbaum (1996) mendefinisikan suatu sistem adalah sesuatu yang disetujui bersama, struktur kerja operasi keseluruhan perusahaan dan pabrik terdokumentasi dalam prosedur-prosedur manajerial dan teknik terpadu yang efektif, untuk membimbing tindakan-tindakan terkoordinasi dari orang, mesin, dan informasi di perusahaan dan pabrik tersebut melalui cara yang baik dan paling paktis untuk menjamin kepuasan pelanggan akan mutu dan biaya mutu yang ekonomis. Sistem mutu yang tangguh menyediakan suatu landasan manajemen dan kerekayasaan untuk kendali yang beroriensati pada pencegahan efektif yang menangani secara ekonomis dan serasi tingkat kerumitan masa kini dari manusia, mesin, dan informasi yang merupakan karakteristik operasi pabrik dan perusahaan masa kini. Sedangkan sistem mutu menurut ISO 9000 dalam Kadarisman (1994) mencakup mutu (karakteristik menyeluruh produk atau jasa), kebijakan mutu (keseluruhan maksud dan tujuan organisasi), manajemen mutu (seluruh aspek fungsi manajemen yang menetapkan dan melaksanakan kebijakan mutu), pengendalian mutu (teknik dan kegiatan operasional untuk memenuhi persyaratan mutu), dan jaminan mutu (perencanaan dan kegiatan sistematis yang diperlukan untuk memberikan keyakinan). Sistem mutu dimaksudkan untuk mengidentifikasi seluruh tugas yang berkaitan dengan mutu, mengalokasikan tanggung jawab dan membangun hubungan kerjasama dalam perusahaan. Sistem mutu juga dimaksudkan untuk membangun mekanisme dalam rangka memadukan semua fungsi menjadi suatu sistem yang menyeluruh.
1.
Kebijakan Mutu ISO 9001 menyatakan kebijakan mutu merupakan dokumen yang dibuat oleh lembaga/institusi yang berisi tentang ikrar top manajemen yang memastikan bahwa kebijakan mutu harus sesuai dengan tujuan organisasi, mencakup ikrar pelibatan untuk memenuhi persyaratan dan terus menerus memperbaiki sistem manajemen mutu, sebagai kerangka kerja untuk menetapkan dan meninjau sasaran mutu, dikokunikasikan dan dipahami dalam organisasi dan harus ditinjau secara terus menerus kesesuaiannya (Age, 2011).
2.
Manajemen Mutu Menurut Kadarisman (1994) manajemen mutu adalah seluruh tingkatan manajemen dalam perusahaan yang dalam kegiatannya berorientasi pada penciptaan mutu produk yang tinggi sebagai upaya penerapan sistem jaminan mutu. Sistem manajemen pada suatu perusahaan merujuk pada perencanaan dan rekayasa mutu yang baik serta pengendalian mutu
23
pangan. Sedangkan menurut ISO 9000:2000 manajemen mutu adalah kegiatan-kegiatan terorganisir untuk mengarahkan dan mengendalikan suatu perusahaan (Suandi, 2003). Manajemen mutu adalah aspek dari seluruh fungsi manajemen yang menetapkan dan melaksanakan kebijakan mutu. Pencapaian mutu yang diinginkan memerlukan kesepakatan dan partisipasi seluruh anggota organisasi, sedangkan tanggung jawab manajemen mutu ada pada pimpinan puncak. Untuk melaksanakan manajemen mutu dengan baik dan menuju keberhasilan, diperlukan prinsip-prinsip dasar yang kuat. Prinsip dasar manajemen mutu terdiri dari delapan butir, sebagai berikut (Nasution, 2005): a. Setiap orang memiliki pelanggan b. Setiap orang bekerja dalam sebuah sistem c. Semua sistem menunjukkan variasi d. Mutu bukan pengeluaran biaya tetapi investasi e. Peningkatan mutu harus dilakukan sesuai perencanaan f. Peningkatan mutu harus menjadi pandangan hidup g. Manajemen berdasarkan fakta dan data h. Fokus pengendalian (control) pada proses, bukan hanya pada hasil out put.
3.
Kendali Mutu Kendali dalam istilah industri dapat didefinisikan sebagai suatu proses untuk mendelegasikan tanggung jawab dan wewenang untuk kegiatan-kegiatan manajemen sambil tetap menggunakan cara-cara untuk menjamin hasil yang memuaskan. Pada umumnya ada empat langkah dalam kendali mutu, yakni (Feigenbaum, 1996): a. Menetapkan standar. Menentukan standar mutu-biaya, menentukan standar mutu-prestasi kerja, standar mutu-keamanan, dan standar mutu-keterandalan yang diperlukan untuk produk tersebut. b. Menilai kesesuaian. Membandingkan kesesuaian dari produk yang dibikin, atau jasa yang ditawarkan terhadap standar-standar ini. c. Bertindak bila perlu. Mengoreksi masalah dan penyebab melalui faktor-faktor yang mencakup pemasaran, perancangan, rekayasa, produksi, dan pemeliharaan yang mempengaruhi kepuasan pemakai. d. Merencanakan perbaikan. Mengembangkan suatu upaya yang kontinyu untuk memperbaiki standar-standar biaya, prestasi, keamanan, dan keterandalan. Pekerjaan kendali mutu bersesuaian langsung dengan proses produksi yang berlangsung. Ada empat klasifikasi pekerjaan kendali mutu yang dilakukan pada suatu perusahaan, yakni (Feigenbaum, 1996): a. Pengendalian rancangan-baru. Rancangaan-rancangan produk dan proses ditinjau untuk menghapus kemungkinan munculnya sumber gangguan mutu sebelum dimulainya produksi sebenarnya guna meningkatkan kemudahan pemeliharaan dan meniadakan ancaman bagi keterandalan mutu. b. Mengendalikan bahan yang masuk. Termasuk di sini adalah prosedur-prosedur untuk penerimaan aktual bahan, suku cadang, dan komponen yang dibeli dari perusahaanperusahaan lain atau, barangkali, dari unit-unit operasi lain dari perusahaan yang sama. c. Pengendalian produk. Pengendalian produk menyertakan pengendalian atas produkproduk pada sumber produksi sehingga penyimpanan dari spesifikasi mutu dapat dikoreksi
24
sebelum produk yang cacat dan tak sesuai dibuat. Pengendalian mutu juga dilakukan pada proses yang berkontribusi terhadap karakteristik mutu selama operasi pembikinan. d. Kajian proses khusus. Kegiatan yang berkenaan dengan penyelidikan dan pengujian untuk mencari penyebab produk yang cacat dan yang tak sesuai dan melakukan tindakan korektif yang permanen. Kerja proses khusus ini diselaraskan menuju perbaikan produk dan proses, bukan hanya untuk memperbaiki karakteristik mutu tetapi juga untuk menurunkan biaya.
Gambar 3. Keselarasan pekerjaan kendali mutu dengan proses produksi (Feigenbaum, 1996).
Pengendalian mutu produk pangan menurut Hubeis (1999), erat kaitannya dengan sistem pengolahan yang melibatkan bahan baku, proses pengolahan, penyimpangan yang terjadi dan hasil akhir. Sebagai ilustrasi, secara internal (citra mutu pangan) dapat dinilai atas ciri fisik, yakni: penampilan (warna, ukuran, bentuk, dan cacat); kinestika (tekstur, kekentalan dan konsistensi); citarasa (sensasi, kombinasi bau, dan cicip); dan atribut tersembunyi (nilai gizi dan keamanan mikroba). Sedangkan secara eksternal (citra perusahaan) ditunjukkan oleh kemampuan untuk mencapai kekonsistenan mutu (syarat dan standar) yang ditentukan oleh pembeli, baik di dalam maupun di luar negeri. Pengendalian mutu pangan juga bisa memberikan makna upaya pengembangan mutu produk pangan yang dihasilkan oleh perusahaan atau produsen untuk memenuhi kesesuaian mutu yang dibutuhkan konsumen. Untuk ilustrasi sederhana, suatu kegiatan pengendalian mutu yang dilakukan suatu pasar swalayan, yaitu melakukan sortasi berulang-ulang terhadap sayur dan buah-buahan yang diperoleh dari pemasok sebelum siap dijual. Misalnya penerimaan sayur diidentifikasikan oleh kondisi daun hijau segar dan tidak kekuningan atau coklat, daun tidak berlubang, batang/tangkai daun tidak lecet/luka atau patah, tidak berbau yang tidak enak, warna cerah dan mengkilap, tidak layu dan tidak berserangga/berulat. Sedangkan untuk buahbuahan dicirikan oleh tingkat kematangan optimum, ukuran dan bentuk relatif seragam, tidak berlubang, tidak cacat fisik, dan permukaan menarik (Hubeis, 1999).
4.
Jaminan Mutu Pengawasan mutu mencakup pengertian yang sangat luas, meliputi aspek kebijaksanaan, standardisasi, pengendalian, jaminan mutu, pembinaan mutu, dan perundangundangan (Soekarto, 1990). Juran menyatakan bahwa jaminan mutu merupakan kegiatan yang terus-menerus dilakukan agar fungsi mutu dapat dilakukan dengan baik untuk membangun kepercayaan konsumen. Sedangkan Ishikawa berpendapat bahwa jaminan mutu merupakan
25
suatu jaminan bahwa produk akan dibeli konsumen dengan penuh kepercayaan dan digunakan terus-menerus dalam jangka waktu yang lama dengan penuh keyakinan dan kepuasan (Muhandri dan Kadarisman, 2008). Menurut Hubeis (1994), jaminan mutu merupakan sikap pencegahan terhadap terjadinya kesalahan dengan bertindak tepat sedini mungkin oleh setiap orang yang berada di dalam maupun di luar bidang produksi. Jaminan mutu didasarkan pada aspek tangibles (hal-hal yang dapat dirasakan dan diukur), reliability (keandalan), responsiveness (tanggap), assurancy (rasa aman dan percaya diri), dan empathy (keramahtamahan). Dalam konteks pangan, jaminan mutu merupakan suatu kegiatan menyeluruh yang meliputi semua aspek mengenai produk dan kondisi penanganan, pengolahan, pengemasan, distribusi, dan penyimpanan produk untuk menghasilkan produk dengan mutu terbaik dan menjamin produksi makanan secara aman dengan produksi yang baik. Sehingga jaminan mutu secara keseluruhan mencakup perencanaan sampai diperoleh produk akhir. Pada sistem standar, jaminan mutu mempersyaratkan manajemen secara formal, mendokumentasikan kebijakan mutunya, memastikan kebijakan tersebut dimengerti oleh semua jajaran, dan melakukan langkah-langkah tepat untuk memperlihatkan kebijakan tersebut dilaksanakan secara penuh. Manajemen yang baik dan teratur dalam membuat kebijakan, yaitu dengan memperhatikan dan mempertimbangkan peran disetiap bagian diharapkan dihasilkan kebijakan dan peraturan sehingga dapat memastikan sistem mutu yang diterapkan. Sistem tersebut terutama dilakukan pada bagian yang bertanggung jawab penuh terhadap jaminan mutu, yaitu quality control, quality assurance, quality manajement (Tjiptono dan Diana, 1995). ISO-9000 versi 1994 menyebutkan bahwa jaminan mutu merupakan seluruh perencanaan dan kegiatan sistematis yang diperlukan untuk memberikan keyakinan bahwa suatu produk atau jasa akan memenuhi persyaratan mutu. Contoh perencanaan dan kegiatan sistematis (Muhandri dan Kadarisman, 2008): x Perancangan spesifikasi bahan mentah, proses, dan produk. x Penyusunan pedoman mutu. x Pengendalian proses. x Pelaksanaan audit.
C.
AUDIT
Menurut Juran (1988) di dalam Muhandri dan Kadarisman (2008), sesuai dengan definisi mutu yaitu kegiatan dalam rangka memberikan bukti diperlukan untuk membangun keyakinan bahwa penyelenggaraan fungsi mutu efektif, jaminan mutu tidak akan terwujud jika pelaksanaan berbagai fungsi mutu dalam perusahaan tidak berjalan dengan baik. Bukti bahwa fungsi mutu telah berjalan dengan baik dapat diketahui dengan melaksanakan audit. Pengauditan dan penilaian prosedur sistem mutu akan mengidentifikasi penyimpangan keefektifan sistem sebelum penyimpangan-penyimpangan ini dapat berkembang menjadi masalah mutu yang besar. Data tersebut akan menentukan apakah rencana mutu yang cukup terus dikembangkan dan mutakhir; apakah tanggung jawab mutu dan prosedur yang dibuat berdasarkan rencana mutu terpenuhi secara memuaskan; dan menunjukkan bidang-bidang sasaran yang memerlukan perbaikan (Feigenbaum, 1996). Pada umumnya, tindak lanjut dari audit adalah review manajemen yang hasilnya digunakan sebagai masukan untuk perbaikan mutu. Adanya kegiatan audit dan review manajemen yang
26
dilakukan secara teratur inilah yang menjamin terjadinya proses perbaikan mutu berkesinambungan (continual improvement). Prioritas audit yang dilakukan hendaklah dititikberatkan pada kegiatankegiatan yang memberi dampak terhadap kelayakan penggunaan (fitness for use) produk dan kegiatankegiatan yang mempengaruhi biaya mutu (Muhandri dan Kadarisman, 2008). Pengertian mengenai audit mutu itu sendiri dapat dijumpai dalam Panduan Audit Sistem Manajemen Mutu SNI. Dalam panduan tersebut, audit mutu didefinisikan sebagai proses sistematik, independen, dan terdokumentasi untuk memperoleh bukti audit dan mengevaluasi secara objektif untuk menentukan sampai sejauh mana kinerja audit dipenuhi (BSN, 2002). Menurut pendapat para ahli mutu, seperti Ishikawa (1992), audit mutu berarti mempelajari mutu suatu produk tertentu dengan dengan mengambil contohnya sekali-sekali, dari dalam perusahaan atau dari pasar. Audit mutu memeriksa mutu produk untuk mengetahui apakah tuntutan konsumen dipenuhi. Ia memperbaiki cacat jika ada yang ditemukan, dan meningkatkan mutu produk (nilai jual) yang menarik perhatian. Sedangkan Hadiwiarjo dan Wibisono (1996) mendifinisikan audit mutu sebagai suatu kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis dan dilakukan oleh bagian yang independen (bukan dari bagian yang diaudit), untuk mengetahui apakah semua kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana dan apakah peraturannya diterapkan secara benar dan mampu mencapai tujuan yang telah diterapkan. Untuk memastikan sistem manajemen mutu yang dipakai telah diterapkan dengan efektif, penilaian secara objektif dan berkala perlu dilakukan. Audit yang objektif akan memberikan jaminan bahwa sistem manajemen mutu yang diterapkan dan dipelihara sesuai dengan kebijakan, sasaran, dan rencana yang ditetapkan. Hasil audit ini akan dijadikan sebagai alat atau bahan dalam melakukan tindakan koreksi atau tindakan pencegahan yang mengarah pada peningkatan. Oleh karena itu, standar internasional menekankan pentingnya audit sebagai alat bantu pemantau dan verifikasi. Audit juga berperan sebagai aktivitas yang esensial, seperti sertifikasi eksternal dan evaluasi pemasok (Suardi, 2003). Dari berbagai pengertian audit mutu yang diuraikan di atas, bahwa tujuan audit mutu adalah untuk mendapatkan data dan informasi faktual dan signifikan sebagai dasar pengambilan keputusan, pengendalian manajemen, perbaikan dan/atau perubahan. Hasil temuan auditor tersebut akan digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, pengendalian manajemen, perbaikan dan/atau perubahan. Di dalam ISO 10011 dikemukakan bahwa tujuan audit mutu adalah: 1. Menentukan ketidaksesuaian. 2. Menentukan efektivitas sistem mutu. 3. Memberikan peluang untuk perbaikan sistem. 4. Memenuhi persyaratan peraturan. 5. Memudahkan registrasi / pendaftaran atas sistem mutu. 6. Menilai pemasok dan memverifikasi sistem mutu pemasok. 7. Menilai dan memverifikasi sistem mutu perusahaan sendiri. Jenis-jenis pembagian audit mutu berdasarkan pihak yang melaksanakan adalah: audit pihak pertama, audit pihak kedua, dan audit pihak ketiga. Adapun teknik audit dapat dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu: mengidentifikasi proses, mengaudit sistem manajemen mutu, mengumpulkan dan memverifikasi informasi, temuan audit, pertemuan tim audit, rapat penutupan, pelaporan audit, mendokumentasikan ketidaksesuaian dan tindakan perbaikan (Suardi, 2003). Muhandri dan Kadarisman (2008) menjelaskan bahwa ada tiga bentuk audit yang dilakukan oleh perusahaan dalam rangka melaksanakan program jaminan mutu, yaitu: audit mutu (quality audit), survei mutu (quality survey), dan audit produk (product audit).
27
1.
Audit Mutu Audit mutu merupakan suatu tinjauan independen untuk membandingkan beberapa aspek kinerja mutu dengan suatu standar mutu. Menurut Muhandri dan Kadarisman (2008) audit mutu biasanya berguna untuk memberikan jaminan: x Mutu akan menjadi kenyataan jika rencana-rencana mutu dilaksanakan. x Produk yang dihasilkan layak digunakan dan aman bagi konsumen. x Undang-undang atau peraturan telah diikuti. x Prosedur-prosedur telah memadai dan dilaksanakan. x Adanya kesesuaian dengan spesifikasi. x Sistem data telah memberikan informasi yang cukup dan akurat bagi masalah-masalah mutu. x Kekurangan produk telah diidentifikasi dan tindakan koreksi telah diambil. x Kemungkinan perbaikan telah diidentifikasi dan karyawan yang tepat diberdayakan secara optimal. Menurut Muhandri dan Kadarisman (2008) secara garis besar audit mutu dapat dikelompokkan menjadi: a. Audit terhadap kebijakan dan sasaran-sasaran Audit terhadap kebijakan mencakup audit kebijakan manajemen, kebijakan mutu, dan kebijakan pengendalian mutu. Metode yang digunakan untu menentukan kebijakan juga perlu diaudit karena metode yang tidak tepat dapat menghasilkan kebijakan dan sasaran-sasaran yang tidak tepat pula. Suatu hal yang penting untuk diaudit adalah sejauh mana seluruh karyawan telah memperoleh informasi mengenai sasaran-sasaran perusahaan dan sejauh mana dapat menyerap informasi tersebut. Kadang-kadang sasaran mutu perusahaan tidak layak (misalnya terlalu tinggi) atau kadang sasaran yang satu dengan sasaran yang lain tidak konsisten. Kondisi seperti ini harus segera diketahui untuk kemudian diperbaiki kembali. b. Audit terhadap rencana, sistem dan prosedur Tinjauan terhadap rencana, sistem dan prosedur bertujuan untuk mengetahui kecukupannya dalam mengikuti kebijakan dan sasaran-sasaran perusahaan. Ruang lingkup audit dalam butir ini adalah semua fungsi yang mempengaruhi mutu. Fungsi tersebut dapat berupa suatu fungsi tunggal seperti pengembangan produk, dapat juga berdimendsi luas seperti cara penanganan pengaduan konsumen, atau kegiatan sederhana seperti kalibrasi alat ukur. c. Audit pelaksanaan Audit pelaksanaan dilakukan untuk mengetahui apakah pelaksanaan program mutu telah sesuai dengan rencana, sistem dan prosedur yang dibuat. Audit ini sering disebut juga “audit sistem mutu” untuk membedakan dengan istilah “audit produk”. Audit pelaksanaan akan mengungkapkan berbagai kegiatan yang kurang baik dalam pelaksanaannya, meliputi: Ketidakcukupan umpan balik data pemeriksaan kepada karyawan-karyawan lini produksi. Dokumen yang sudah usang (tidak terpakai) digunakan selama proses produksi. Persyaratan-persyaratan mutu yang tidak sesuai tercantum dalam spesifikasi pemasok. Peralatan ukur yang telah habis masa kalibrasinya masih digunakan. Pedoman proses atau pedoman pemeriksaa secara rinci belum memadai atau bahkan tidak ada sama sekali.
28
Karyawan yang menangani proses operasi penting tidak mempunyai sertifikat untuk jenis operasi tersebut. Dan sebagainya. Feigenbaum (1996) mengemukakan audit sistem mutu menilai keefektifan implementasi sistem mutu dan menentukan derajat pencapaian tujuan sistem. Audit ini berorientasi pada sistem bukan berorientasi pada produk. Audit sistem mutu biasanya dilakukan untuk menentukan tingkat kesesuaian aktivitas perusahaan terhadap sistem manajemen mutu yang telah ditentukan serta efektifitas pada penerapan tersebut.
2.
Survei Mutu Audit yang dibahas di atas tidak cukup memberikan jaminan penuh kepada manajer madya bahwa semua hal yang berkaitan dengan mutu telah berjalan dengan baik, karena umumnya audit di atas tidak memeperhatikan hal berikut: x Pengertian konsumen terhadap mutu. x Analisis kondisi konsumen berkaitan dengan harga dan kepuasan. x Tantangan terhadap pengembangan produk dan rekayasa proses. x Persepsi karyawan terhadap mutu. Untuk melengkapi unsur-unsur yang tidak tercakup dalam perusahaan, dibutuhkan tinjauan yang lebih luas daripada sekedar audit struktur. Tinjauan ini sering disebut “survei mutu” atau “company wide audit” (Muhandri dan Kadarisman, 2008).
3.
Audit Produk Audit produk adalah evaluasi yang independen terhadap mutu produk untuk menentukan kelayakan penggunaan dan kesesuaian dengan spesifikasi. Audit produk dilakukan setelah proses pemeriksaan selesai. Manfaat dari audit mencakup: x Perkiraan tingkat mutu yang akan dijual ke konsumen. x Penilaian terhadap efektivitas keputusan pemeriksaan untuk menentukan kesesuaian dengan spesifikasi. x Memberikan masukan informasi yang berguna untuk memperbaiki tingkat mutu produk dan efektivitas pemeriksaan. x Memberikan jaminan tambahan di luar kegiatan-kegiatan pemeriksaan mutu rutin. Audit produk yang ideal dilakukan di tingkat konsumen karena dengan audit yang seperti ini akan mampu membandingkan antara pelayanan produk rill dengan pelayanan yang dibutuhkan oleh konsumen. Namun audit di tingkat konsumen memerlukan biaya yang cukup mahal, dan pelaksanaannya yang cukup rumit (Muhandri dan Kadarisman, 2008).
D.
PROSES DAN PERBAIKAN PROSES
Suatu proses didefinisikan sebagai integrasi sekuensial (berurutan) dari orang, material, metode, dan mesin atau peralatan dalam suatu lingkungan guna menghasilkan nilai tambah output untuk pelanggan. Suatu proses mengkonversi input terukur ke dalam output terukur melalui sejumlah langkah sekuensial yang terorganisir (Nasution, 2005).
29
Konsep manajemen proses berkaitan dengan perbaikan mutu. Pall (1987) dalam Gasperz (1997) mendefinisikan enam komponen yang penting untuk manajemen proses, yaitu: 1. Kepemilikan, menugaskan tanggung jawab untuk desain, operasi, dan perbaikan proses. 2. Perencanaan, menetapkan suatu pendekatan terstruktur dan disiplin untuk mengerti, mendefinisikan, dan mendokumentasi semua komponen utama dalam proses dan hubungan antar komponen utama. 3. Pengendalian dan menjamin efektivitas, di mana semua output dapat diperkirakan dan konsistensi dengan harapan pelanggan. 4. Pengukuran, menetapkan performansi atribut terhadap kebutuhan pelanggan dan menetapan kriteria untuk akurasi, presisi, dan frekuensi perolehan data. 5. Perbaikan atau peningkatan, meningkatkan efektivitas dari proses melalui perbaikan-perbaikan yang diidentifikasi secara tetap. Proses produksi yang berjalan kemungkinan dapat memberikan variasi terhadap hasil produk. Deming, seorang pakar mutu berkebangsaan Amerika Serikat menyatakan bahwa semua variasi adalah penyebab dan bahwa penyebab dapat diklasifikasikan ke dalam penyebab umum dan penyebab khusus. Pada dasarnya, variasi adalah ketidakseragaman dalam sistem sehingga menimbulkan perbedaan dalam mutu pada produk yang sama. Terdapat dua sumber atau penyebab timbulnya variasi, yaitu sebagai berikut (Nasution, 2005): 1. Penyebab utama dalah faktor-faktor di dalam sistem atau yang melekat pada proses operasi yang menyebabkan timbulnya variasi dalam sistem serta hasil-hasilnya. Penyebab umum menimbulkan variasi acak dalam batas-batas yang dapat diperkirakan dan disebut juga sebagai penyebab acak atau penyebab sistem. 2. Penyebab khusus adalah kejadian-kejadian di luar sistem yang mempengaruhi variasi dalam sistem. Penyebab khusus dapat bersumber dari faktor, seperti manusia, peralatan, material, lingkungan, metode kerja, dan lain-lain. Penyebab khusus ini dapat ditentukan/ditemukan, sebab mereka tidak selalu aktif dalam proses, tetapi memiliki pengaruh yang lebih pada proses sehingga menimbulkan variasi. Variasi yang terjadi pada produk dalam suatu sistem proses produksi dapat dikurangi atau dihindari dengan melakukan perencanaan perbaikan terhadap sistem proses produksi tersebut. Perencanaan perbaikan mutu melalui suatu sistem mutu adalah seperti merencanakan pemeliharaan dan perbaikan sistem kelistrikan sebuah kota dengan pola jaringan distribusi yang lengkap sesuai dengan situasi yang ada; perbaikan tanpa adanya kerangka kerja adalah seperti mencoba melaksanakan perencanaan sistem kelistrikan tersebut tanpa adanya diagram jaringan yang dapat disetujui oleh setiap orang (Feigenbaum, 1996). Gasperz (1997) mengembangkan model perbaikan mutu berdasarkan proses yang memiliki sembilan langkah model manajemen terstruktur, yaitu sebagai berikut: 1. Identifikasi proses. Koordinator mengatur pertemuan dengan sponsor, yang merupakan stakeholder utama dan pemilik proses untuk membahas topik permasalahan. 2. Pemilihan tim. Setelah pelaksanaan proses perbaikan mendapat persetujuan, selanjutnya dipilih peserta dan pertemuan-pertemuan dijadwalkan. Dalam langkah ini koordinator melakukan diskusi dengan pemilik proses, dengan tujuan untuk mempelajari proses yang ada agar menjadi akrab dengan pemilik proses yang akan bertanggung jawab atas prosesnya. 3. Penentuan ruang lingkup dan tujuan. Pada suatu pertemuan, dilakukan peninjauan ulang dan penetapan ruang lingkup yang diajukan pada tahap satu, termasuk batas-batas proses beserta tujuan dan hasil yang diinginkan.
30
4.
5.
6.
7. 8.
9.
E.
Identifikasi kelemahan proses. Tim, pemilik proses, dan koordinator bertemu untuk meninjau ulang aliran proses agar menjadi benar dan menjamin bahwa telah terciptanya pemahaman yang lengkap tentang proses tersebut serta dilakukan diskusi mengenai kelemahan-kelemahan dari proses. Pengembangan rekomendasi untuk perbaikan proses. Seluruh peserta tim mengembangkan rekomendasi dengan memperhatikan biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang akan diperoleh. Berbagai alat untuk terus-menerus dapat digunakan, misalnya Diagram Pareto untuk memprioritaskan tugas-tugas yang akan dilakukan, analisis sebab-akibat untuk menentukan akar penyebab suatu masalah. Memperoleh persetujuan. Diselenggarakan pertemuan dengan seluruh peserta perbaikan proses untuk mendiskusikan rekomendasi dan memperoleh persetujuan untuk mengimplementasikannya. Pengembangan rencana mutu. Pada langkah ini, tim mengembangkan rencana-rencana tindakan untuk melaksanakan rekomendasi yang telah disetujui bersama. Presentasi rencana mutu. Rencana mutu dipresentasikan kepada semua peserta agar diketahui bersama. Langkah ini merupakan akhir dari keterlibatan tim secara formal, karena langkah selanjutnya adalah implementasi semua rencana mutu yang telah disepakati bersama itu. Implementasi dan pemantauan kemajuan perbaikan proses. Rencana mutu diimplementasikan dan dibuat laporan terhadap kemajuan perbaikan proses secara teratur. Laporan tersebut dapat dijadikan umpan balik untuk perbaikan proses selanjutnya.
ALAT BANTU (TOOLS) PENINGKATAN MUTU
Menurut Hubeis dan Kadarisman (2007), teknik-teknik peningkatan mutu erat kaitannya dengan upaya mencapai tingkat kerusakan nol (zero defect), mengurangi keragaman, dan merangsang inovasi di tingkat produsen. Program pengendalian dan peningkatan mutu di perusahaan tidak dapat dilaksanakan dengan baik jika tidak didasarkan pada data kondisi kineja nyata perusahaan tersebut. Untuk memperoleh data yang akurat dan sekaligus untuk analisis yang valid, terdapat tujuh alat bantu yang dikenal dengan istilah seven tools, yakni: lembar pemeriksaan (check sheet), stratifikasi, grafik dan bagan kendali, Diagram Pareto, Diagram Ishikawa (sebab-akibat), diagram pencar, dan histogram. Pemilihan jenis tools yang digunakan harus disesuaikan dengan kondisi tim perbaikan mutu dan permasalahan yang akan dipecahkan (Muhandri dan Kadarisman, 2008). Maka dari itu pada penelitian ini hanya digunakan empat dari tujuh tools yang ada, yakni: lembar pemeriksaan (check sheet), stratifikasi, Diagram Pareto, dan Diagram Ishikawa (sebab-akibat).
1.
Lembar Pemeriksaan (Check Sheet) Check sheet adalah alat bantu manajemen mutu sederhana yang bentuknya menyerupai tabel dan digunakan untuk mengoleksi data. Check sheet dalam pengertian yang sebenarnya tak lain adalah tempat menuliskan catatan tentang jumlah sesuatu, di mana jumlah tersebut diisikan satu demi satu, sehingga pada akhirnya dapat dijumlahkan nilai totalnya. Lembar pemeriksaan memiliki banyak tujuan, tetapi yang utama adalah untuk memudahkan pengumpulan data dalam bentuk yang dapat dengan mudah digunakan, dan dianalisis secara otomatis. Lembar pemeriksaan yang biasanya digunakan pada suatu pabrik mempunyai fungsi pemeriksaan distribusi proses produksi, pemeriksaan item cacat, pemeriksaan lokasi cacat, pemeriksaan penyebab cacat, pemeriksaan konfirmasi pemeriksaan, dan lain-lain. Salah satu fungsi yang disebutkan adalah pemeriksaan item cacat, untuk mengurangi jumlah cacat yang terjadi dalam
31
suatu proses perlu diketahui macam kerusakan dan persentasenya. Karena setiap kerusakan mempunyai penyebab yang berlainan, maka tidak tepat kalau hanya mencatat jumlah total kerusakan (Ishikawa, 1989). Check sheet dapat dibuat kapan saja dibutuhkan adanya pencatatan data, meski demikian dalam penerapannya untuk tujuan manajemen mutu, perlu dilakukan analisa terlebih dahulu terhadap jenis kategorinya. Oleh karena itu dalam penyusunan check sheet perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini (Alli, 2004): a. Tentukan tujuan pengumpulan data. b. Lakukan terlebih dahulu brainstorming untuk menentukan jenis-jenis kategori yang perlu diamati. c. Defenisikan tiap-tiap kategori dengan baik agar pengumpulan data dilakukan dengan konsisten. d. Tentukan keadaan atau keterangan lain mengenai darimana data tersebut akan diperoleh, misalnya pada hari apa, shift berapa, dan di mesin yang mana. e. Tentukan siapa yang bertanggung jawab terhadap pengumpulan data. f. Buatlah petunjuk singkat tentang tata cara pengumpulan data dan sampaikan kepada penanggung jawab pengumpulan data beserta anggotanya yang terlibat. g. Buatlah tabel check sheet berdasarkan jenis kategori yang telah ditentukan. h. Lakukan uji coba pengumpulan data untuk memastikan bahwa semua data telah dimasukkan ke kategori yang sesuai.
2.
Stratifikasi Menurut Muhandri dan Kadarisman (2008), stratifikasi merupakan kegiatan yang ditujukan untuk mengurai/mengklasifikasikan data dan masalah menjadi kelompok/golongan sejenis yang lebih kecil atau menjadi unsur-unsur tunggal dari data/masalah sehingga menjadi lebih jelas. Misalnya mengurai menurut: a. Jenis kesalahan/kerusakan. b. Penyebab dari kesalahan/kerusakan. c. Lokasi kesalahan/kerusakan. d. Material, hari pembuat, unit kerja, orang yang mengerjakan, penyalur, waktu, lot, dan lain-lain. Data hasil pengumpulan menggunakan lembar pemeriksaan sulit untuk dianalisa jika bentuk tabulasinya hanya berdasarkan jenis cacat saja. Dengan teknik stratifikasi, data menjadi tersebar secara lebih rinci dan lebih mudah untuk dipahami serta dianalisa (Muhandri dan Kadarisman, 2008).
3.
Diagram Pareto Nama Diagram Pareto diambil dari nama seorang ahli eknonomi berkebangsaan Italia, Vilfredo Pareto, yang hidup disekitar awal abad ke-20. Diagram Pareto didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar dari masalah yang timbul berakar pada sebagian kecil masalah utama. Diagram ini pada awalnya menampilkan distribusi frekuensi tentang kesejahteraan beberapa negara, yang kemudian ternyata sesuai untuk diterapkan pada manajemen mutu. Diagram Pareto menunjukkan bahwa sekitar 80 % dari kekayaan atau kesejahteraan negara-negara dikuasai oleh sekelompok kecil negara. Jika diterapkan pada manajemen mutu, Diagram Pareto
32
umumnya mengatakan bahwa 80% dari problem dapat diselesaikan jika penyebab utamanya, yang umumnya ditimbulkan oleh sekelompok kecil penyebab utama (20%), dapat diselesaikan (Hoyle, 1994). Diagram Pareto merupakan diagram yang terdiri atas grafik balok dan grafik baris yang menggambarkan perbandingan masing-masing jenis data terhadap keseluruhan (Muhandri dan Kadarisman, 2008). Sebuah Diagram Pareto seperti ini, menunjukkan masalah apa yang pertama harus kita pecahkan untuk menghilangkan kerusakan dan memperbaiki operasi. Walaupun ini terlihat sangat sederhana, grafik balok ini sangat berguna dalam pengendalian mutu pabrik (Ishikawa, 1989). Secara rinci, Diagram Pareto berguna untuk hal-hal berikut (Muhandri dan Kadarisman, 2008): a. Menunjukkan masalah utama. b. Menyatakan perbandingan masing-masing masalah terhadap keseluruhan. c. Menunjukkan tingkat perbandingan setelah dilakukan tindakan pada masalah terpilih. d. Menunjukkan perbandingan masing-masing masalah sebelum dan sesudah perbaikan.
b. c. d.
e.
f.
4.
Langkah-langkah pembuatan Diagram Pareto (Muhandri dan Kadarisman, 2008): Stratifikasi masalah dan nyatakan dengan angka. Tentukan jangka waktu pengumpulan data. Atur masing-masing penyebab (dari hasil stratifikasi dibuat berurutan sesuai dengan besarnya nilai dan gambarkan grafik kolom (balok). Penyebab terbesar ada di sebelah paling kiri. Gambar grafik baris yang menunjukkan jumlah persentase pada bagian atas grafik kolom, dimulai dari yang terbesar. Di bagian bawah masing- masing kolom ditulis nama atau keterangan kolom. Pada bagian atas atau sampingdiberikan keterangan atau nama diagram dan jumlah unit seluruhnya.
Diagram Ishikawa (Sebab-Akibat) Diagram tulang ikan (fish bond diagram) atau Diagram Ishikawa pertama kali diperkenalkan oleh ahli management berkebangsaan Jepang yang bekerja di perusahaan Kawasaki bernama Kaoru Ishikawa pada sekitar awal tahun 1960. Oleh karena diagram ini berbentuk seperti tulang ikan, maka sering disebut juga Diagram Tulang Ikan. Selain itu, karena penggunaannya untuk mengungkapkan semua kemungkinan faktor yang menjadi menyebab suatu masalah, maka dinamakan diagram sebab-akibat. Diagram ini dapat dikategorikan atas jenis klasifikasi proses, dengan identifikasi proses dibuat terpisah atas dua bagian, dan jenis analisis keragaman yang didasarkan pada faktor sebab utama dan lainnya (faktor pendukung) atau hubungan sekuensial (Hubeis dan Kadarisman, 2007). Penyusunan Diagram Ishikawa bertujuan untuk mencari dan menemukan beberapa sumber masalah yang menjadi kunci penyebab suatu masalah. Sumber-sumber masalah yang teridentifikasi kemudian dijadikan target perbaikan. Diagram ini juga mengungkapkan hubungan hirarki antar faktor penyebab masalah menuju akibat yang ditimbulkannya. Mutu yang ingin kita perbaiki dan kendalikan secara jelas disajikan dengan angka-angka yang menunjukkan panjang, kekerasan, persentase cacat, dan sebagainya. Mereka disebut dengan “karakteristik mutu”. Komposisi kimia, ukuran, dan seterusnya yang dapat menyebabkan penyebaran, disebut faktor. Untuk mengilustrasikan pada sebuah diagram hubungan antara
33
sebab dan akibat, kita ingin mengetahui sebab dan akibat dalam bentuk yang nyat. Oleh karenanya, akibat adalah karakteristik mutu dan sebab adalah faktor (Ishikawa, 1989). Menurut Muhandri dan Kadarisman (2008), secara umum terdapat lima faktor utama yang berpengaruh terhadap suatu masalah, yaitu: lingkungan, manusia, metode, bahan, dan mesin peralatan. Faktor penyebab akan digolongkan ke dalam beberapa faktor utama tersebut yang diyakini sebagai sumber penyebab dari masalah. Penyebab turunannya kemudian disusun berdasarkan hirarki kepentingannya atau menurut detilnya, sehingga mampu mengungkap dan menggambarkan hubungan sebab-akibat yang terjadi antar golongan penyebab itu. Dengan demikian, diagram ini akan sangat bermanfaat untuk menelusuri akar permasalahan, mengidentifikasi daerah-daerah di mana dapat timbul masalah serius serta berguna dalam membandingkan kepentingan relatif berbagai penyebab masalah tersebut. Bentuk umum Diagram Ishikawa adalah bentuk tulang ikan yang disertai berbagai tulang-tulang cabang dan ranting tergambarkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Bentuk Diagram Ishikawa.
Perlu diingat bahwa diagram diatas hanya merupakan alat untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpeluang menjadi penyebab masalah, bukan mengidentifikasi penyebab masalah. langkah selanjutnya adalah melakukan verifikasi di industri untuk menjawab pertanyaan “apakah setiap faktor sudah sesuai dengan SOP atau aturan baku?”. Dari kegiatan verifikasi ini akan diperoleh faktor-faktor yang diduga kuat menjadi penyebab masalah, perbaikan mutu dapat difokuskan pada faktor-faktor ini (Muhandri dan Kadarisman, 2008).
34