TINJAUAN PUSTAKA Definisi Mikoriza Sesuai dengan akar katanya yaitu myces dan rhiza, Frank (1885) untuk pertamakalinya mengajukan definisi yang bersifat kebendaan yaitu mikoriza sebagai fungi-akar. Frank pada saat itu meyakini mikoriza diperlukan untuk urusan keharaan bagi kedua mitra simbiosis. Istilah simbiosis (symbiotismus) dalam definisi mikoriza mengacu kepada konsep yang dikemukakan pertamakalinya oleh Frank pada tahun 1877 dan kemudian dikembangkan oleh de Bary pada tahun 1887 sebagai hubungan antara dua jasad hidup terlepas hasilnya apakah negatif (parasitime, sering disinonimkan dengan patogenisme) atau positif (mutualisme) (Smith & Read 2008). Oleh karena itu kemaujudan mikoriza kemudian ditelaah berdasarkan aspek fungsional dalam penyerapan berbagai substansi dari dalam tanah (Harley & Smith 1983) sehingga meningkatkan kebugaran salah satu atau kedua mitra yang bersimbiosis (Read 1999) karena terbentuknya antar-muka spesifik untuk keperluan pertukaran bahan dan energi (Pfeffer et al. 2001). Brundrett (2004) mendefinisikan asosiasi mikoriza sebagai simbiosis yang tidak selalu bersifat mutualis namun dapat setimbang ataupun eksploitatif, yang ditunjukkan dengan esensialitasnya untuk salah satu atau kedua mitra yang bersimbiosis, dapat terbentuk pada akar dan atau organ lain yang bersentuhan dengan substrat, fungsinya bekerja serentak dengan perkembangan tanaman-fungi. Hubungan kemitraan dalam asosiasi mikoriza merentang lebar dari yang negatif (parasit) (Bever 2002), netral (Aquino & Cassiolato 2002) atau positif (Hart & Reader 2002) bergantung pada berbagai faktor yang terlibat dalam asosiasi mikoriza (Johnson et al. 1997). Smith dan Read (2008) menegaskan adanya ciri khas dari simbiosis mikoriza, yaitu (i) terbentuk antara fungi, tanaman tingkat tinggi dan tingkat rendah, serta bakteri, (ii) memiliki struktur spesifik yang tidak dijumpai pada simbiosis jasad hidup-tanaman lainnya, misalnya arbuskula, vesikel, hifa, dan sebagainya, dan (iii) perkembangan, keberadaan, dan fungsinya ditentukan oleh kerjasama antar jasad yang bersimbiosis dan kondisi lingkungan. Dari berbagai definisi yang tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa asosiasi mikoriza terbentuk pada akar dan organ lain yang bersentuhan dengan medium
12
tumbuh, dibentuk oleh fungi dengan tanaman dan jasad renik rizosfir, fungsinya ditentukan oleh interaksi jasad hidup yang bersimbiosis dan faktor lingkungan, sifatnya mulai dari mutualis sampai parasit, tugas utamanya ialah mempertukarkan energi dan bahan, dan berkembang serentak dengan perkembangan mitra simbiosisnya. Mikoriza Arbuskula Mikoriza merupakan asosiasi bersisi ganda yang terdiri atas beraneka kategori morfologi, fungsi dan evolusi (Brundrett 2002, 2004) dan dikelompokkan menjadi tiga yaitu (i) mikoriza arbuskula, (ii) ektomikoriza, dan (iii) mikoriza orchid, ericoid, dan mikoheterotrof (Brundrett 2004; Smith & Read 2008). Diantara ketiga mikoriza tersebut, asosiasi mikoriza arbuskula (MA) yang paling sering dijumpai keberadaan dan interaksinya di alam, ditelaah, dan dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas tanaman dan pembenahan lingkungan. Asosiasi MA dibentuk oleh fungi obligat dengan sekitar 80 – 90% tanaman darat (Wang & Qui 2006) atau sekitar 73% bangsa tanaman berbunga (Brundrett 2009), baik yang memiliki akar maupun tidak (Read et al. 2000; Pressel et al. 2010). Asosiasi MA ditengarai telah ada semenjak 600 juta tahun lalu, atau mungkin lebih tua lagi sekitar 1 milyar tahun, yaitu dengan ditemukannya struktur mikroskopis serupa arbuskula dalam akar fosil tanaman purba Rhynia gwynnevaughanii) dan gametofit (Aglaophyton major) tingkat rendah tidak berakar dan tidak berdaun (Taylor et al. 2009) dari jaman Ordovician (Pirozynski & Malloch 1975; Pirozynski & Dalpe 1989; Simon et al 1993; Remy et al. 1994) sampai Carboniferous (Strullu-Derrien & Strullu 2007; Strullu-Derrien et al. 2009). Hasil penelitian palaeobotani tersebut juga didukung oleh hasil analisis molekuler (Redecker et al. 2000; Heckman et al. 2001). Struktur fungi MA (FMA) yang mengolonisasi tanaman vaskuler modern hampir semuanya terdapat dalam akar, namun lokasinya pada fosil tanaman purba ternyata berbeda-beda (Strullu-Derrien & Strullu 2007; Bonfante & Genre 2008; Strullu-Derrien et al. 2009). Baru-baru ini telah ditemukan fosil fungi serupa MA pada organ bagian bawah tanaman Lycopsidae dari jaman Carboniferous yang
13
merupakan hasil modifikasi daun (Krings et al. 2011). Kolonisasi FMA tersebut tetap teramati pada tanaman Lycopsidae modern (Winther & Friedman 2008; Sudová et al. 2011). Berdasarkan keyakinan hubungan kemitraan FMA dengan tanaman modern (Parniske 2008; Smith & Read 2008) maka dapat diduga bahwa hubungan kemitraan demikian berlaku pada tanaman Lycopsidae pada jaman Carboniferous tersebut (Wagner & Taylor 1981). Hasil penelitian Taber & Trappe (1982) menunjukkan FMA ditemukan mengolonisasi daun tanaman jahe modern, namun tidak membentuk arbuskula dan belum terbukti adanya kemitraan yang saling menguntungkan. Temuan demikian memperkuat konsep yang dikemukakan sebelumnya (Brundrett 2004; Smith & Read 2008) bahwa bukan jenis organ tanaman yang menentukan asosiasi MA namun fungsi lingkungan yang dihasilkan oleh organ tanaman yang bersangkutan. Mengacu pada perannya dalam pertukaran hara maka FMA diyakini merupakan fasilitator serapan hara tanaman purba ketika untuk pertamakalinya mengolonisasi daratan (Simon et al. 1993; Remy et al. 1994; Taylor et al. 1995). Pada jaman itu tanaman darat berasal dari tanaman air yang mendarat di muka bumi yang masih gersang. Tanaman itu tidak memiliki akar dan oleh karena itu memerlukan bantuan fungi mikoriza untuk mendapatkan hara dan air. Tanaman bermikoriza kemudian berevolusi membentuk struktur, organisasi internal, cara reproduksi, dan tumbuh pada habitat yang spesifik, sebagian diantaranya tetap bersimbiosis dengan MA dan sebagian lainnya tidak (Helgason & Fitter 2009). Sebaliknya, struktur FMA tidak mengalami perubahan struktur dan fungisnya. Jadi, berdasarkan sejarah evolusinya dapat disimpulkan tanaman memerlukan FMA agar mampu tumbuh baik dan produktif pada suatu lingkungan tumbuh tertentu. Fungi MA merupakan simbion yang paling luas penyebarannya. Asosiasi MA ditemukan pada jenis tanaman briofita yang tidak berakar sampai yang berakar (Read et al. 2000; Smith & Read 2008; Brundrett 2009; Pressel et al. 2010); pada jenis tanah pasiran di pesisir (Delvian 2003) dan gambut (Ervayenri 1998; Sasli 2008) tropik sampai di pegunungan Himalaya (Chaurasia et al. 2005), pada lingkungan yang panas dan kering bervegetasi sabana (Li & Zhao 2005) sampai di
14
kawasan dekat kutub (Frenot et al. 2005). Namun demikian, baru sekitar 300 jenis FMA yang berhasil diiidentifikasi karakternya, padahal menurut Morton et al. (1994) jumlah jenis FMA dapat mencapai 2700. Beragamnya hasil akhir simbiosis MA, negatif sampai positif, disebabkan ada spesifitas fungsional antara FMA dan tanaman inang (Bressan 2002a,b; Hart & Reader 2002, 2005; Klironomos 2003; Leake et al. 2004; Feddermann et al. 2010) dan karakteristik lingkungan simbiosis (Gamage et al. 2004; Hamel 2007; Helgason & Fitter 2009). Interaksi demikian pada akhirnya berpengaruh pada struktur komunitas tanaman di alam (Klironomos et al. 2000; van der Heijden & Sanders 2002) dan karakter lingkungan simbiosis (Gianinazzi et al. 2010). Keragaman jenis dan pengaruh demikian perlu dijadikan bahan pertimbangan sebelum jasa baik simbiosis dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas tanaman dan lingkungan. Simbiosis MA diawali dari pergerakan hifa ekstraradikal (HE), berasal dari perkecambahan spora dalam tanah dan atau dari akar terkolonisasi, karena tanaman mengeksudasikan senyawa flavonoid (Akiyama et al. 2005; Besserer et al. 2006). Hifa kemudian menyentuh permukaan akar, membentuk appresoria, dan menembus dinding sel akar untuk membentuk hifa intraradikal (Smith & Read 2008). Hifa intraradikal (HI) tumbuh menjalar di antara sel atau menembus sel epidermis dan akhirnya mengolonisasi ruang intra- dan interseluler kortek akar. Selanjutnya HI berdiferensiasi membentuk antarmuka spesifik berupa arbuskula, vesikel, sel auksilari, ataupun spora intraradikal. Arbuskula, struktur bercabang-cabang seperti pohon, diyakini merupakan organ pelaksana pertukaran energi (karbohidrat) dari tanaman dan bahan (hara, air, atau faktor tumbuh lainnya) dari FMA. Vesikel merupakan organ penyimpan cadangan makanan dan berfungsi sebagai propagul. Keberadaan arbuskula dan vesikel dapat digunakan sebagai pembeda morfotipe karena sebagian FMA membentuk arbuskula dan vesikel dan sebagian lainnya hanya membentuk arbuskula. Keberadaan antarmuka spesifik tersebut juga menjadi pembeda antara asosiasi MA dengan asosiasi lainnya (Brundrett 2004).
15
Jaringan HE di dalam tanah segera terbentuk setelah terjadinya kolonisasi akar. Hifa ekstraradikal berfungsi ganda yaitu untuk angkutan hara dan air, produksi spora, agregasi tanah, dan perlindungan tanaman inang dari serangan patogen. Peran HE dalam angkutan hara, khususnya P anorganik, penting artinya karena HE mampu menjangkau sampai di luar mintakat pengurasan (depletion zone) yang tidak dapat dijangkau oleh atau tidak tersedia untuk akar tanaman (Zhu et al. 2001). Hifa ekstraradikal, karena garis tengahnya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan garis tengah akar, mampu menembus pori mikro untuk mendapatkan air yang tidak dapat dijangkau oleh akar sehingga tanaman bermikoriza menjadi lebih adaptif menghadapi cekaman kekeringan. Sumbangan MA terhadap serapan P anorganik dan air dipengaruhi oleh jenis FMA, tanaman, dan lingkungan yang mengindikasikan kesesuaian fungsional di antara FMA dan tanaman tidak selalu berkaitan dengan kolonisasinya (Pearson & Jakobsen 1993; Burleigh et al. 2002). Berdasarkan analisis genetika molekuler diketahui hanya ada satu fungi obligat yang membentuk asosiasi MA, yaitu Glomeromikota, yang berbeda asal usul dan karakternya dengan fungi lainnya (Askomikota dan Basidiomikota) (Schüßler et al. 2001). Glomeromikota memiliki empat bangsa (ordo) (Glomerales, Diversisporales, Paraglomerales, dan Archaeosporales), 11 suku (famili) dan 18 marga (genus) (Schüßler & Walker 2010). Pengetahuan tentang tatanama Glomeromycota terus mengalami penyempurnaan sejak tahun 2001, sebagai contoh bangsa Glomerales tadinya hanya beranggotakan suku Glomeraceae kemudian berubah menjadi dua suku yaitu Glomeraceae dan Claroideoglomeraceae (Schüßler & Walker 2010). Berdasarkan tatanama tersebut G. etunicatum berubah menjadi Claroideoglomus etunicatum. Informasi selengkapnya mengenai tatanama Glomeromycota tersedia pada www.amf-phylogeny.com. Fungi G. etunicatum syn. C. etunicatum dikenal sebagai salah satu FMA yang cepat berkembang membentuk jaringan bawah tanah yang menghubungkan rizosfer satu tanaman dengan tanaman lain sehingga terjadi translokasi bahan dan energi di antara tanaman yang bertetangga (Ingleby et al. 2007). Pengaruh positif G. etunicatum dapat bersifat keharaan, misalnya meningkatkan serapan hara
16
makro (Govindarajulu et al. 2005; Li et al. 2006) dan mikro (Purakayastha et al. 2001; Nogueira & Cardoso 2002; Andrade et al. 2010), dan yang bersifat nir-hara misalnya produksi metabolit sekunder (Yao et al. 2003; Fester & Hause 2007). Fungi MA telah dilaporkan terlibat dalam proses rizodeposisi yang memperkaya tanah dengan substrat karbon sehingga meningkatkan aktivitas hayati tanah (Rillig et al. 2001) dan agregasi tanah (Rillig et al. 2002; Rillig & Mummey 2006). Sekalipun belum dilaporkan secara spesifik, seperti halnya FMA lainnya, patut diduga G. etunicatum terlibat dalam proses demikian. Pengaruh positif simbiosis G. etunicatum menjadikan tanaman lebih tahan terhadap cekaman hayati, misalnya serangan patogen (Yao et al. 2003; Hao et al. 2005; Watanarojanaporn et al. 2011) dan hama (Wooley & Paine 2007); dan cekaman nirhayati, misalnya lebih tahan terhadap toksisitas logam berat (Wu et al. 2010) dan senyawa hidrokarbon (Gao et al. 2010), kekeringan (Wu et al. 2007), kegaraman (Ghorbanli et al. 2004), dan kepadatan tanah (Miransari et al. 2007). Simbiosis G. etunicatum juga berdampak terhadap morfologi akar tanaman (Bressan & Vasconcellos 2002) sehingga mempercepat pertumbuhan awal bibit tanaman berkayu yang ditumbuhkan pada tanah pasca penambangan (FloresAylas et al. 2003; Santos et al. 2008) atau memfasilitasi tanaman legum bersimbiosis dengan rizobia (Shrihari et al. 2000; Siviero et al. 2008). Produksi Inokulum FMA Fungi MA hidup bersama dengan komunitas jasad hidup lainnya yang ada di rizosfer. Agar mampu hidup di rizosfer, sebuah habitat yang kompetitif dan dinamis, FMA harus mampu memproduksi banyak propagul atau inokulum dalam bentuk HE dan spora dalam akar terkolonisasi dan tanah. Propagul FMA dapat punah jika manusia gagal menjaga keswalanjutan (sustainability) ekosistem (Barrios 2007; Douds & Johnson 2007, Gianinazzi et al. 2010). Oleh sebab itu penting artinya menjaga kelestarian propagul FMA di lingkungan yang belum terdegradasi dan mengembalikan propagul FMA ke lingkungan terdegradasi. Jumlah propagul dalam tanah yang terlalu sedikit dapat ditingkatkan melalui
17
stimulasi aktivitas FMA pribumi (indigenous) efektif mengggunakan praktek budidaya yang tepat, inokulasi FMA, atau penanaman langsung bibit bermikoriza (Douds & Johnson 2007). Inokulasi mikoriza pada tanaman yang ditumbuhkan pada tanah terdegradasi terbukti berhasil memulihkan kesuburan tanah dan komunitas jasad hidup pada suatu ekosistem (Herrera et al. 1993; Jeffries et al. 2003; Gianinazzi et al. 2010). Untuk itu, penting artinya menguasai pengetahuan tentang produksi propagul atau inokulum dan tehnik inokulasi FMA serta faktorfaktor yang berpengaruh terhadap produksi propagul. Inokulan FMA telah dipasarkan dengan berbagai nama, bentuk, dan formulasi untuk digunakan dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman dan perbaikan ekosistem. Inokulan FMA dapat diproduksi menggunakan berbagai teknik yang masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan dalam hal rancangan, komersialisasi, dan ranah aplikasinya. Pada dasarnya terdapat tiga tehnik produksi inokulum yang umum digunakan yaitu teknik berbasis substrat, nir-substrat, dan in vitro (IJdo et al. 2011; Siddiqui & Kataoka 2011). Teknik berbasis substrat merupakan teknik produksi klasik yang telah digunakan di banyak negara dan merupakan tehnik yang murah namun efektif untuk memproduksi inokulum secara massal. Teknik nir-substrat (hidroponik dan aeroponik) (Jarstfer & Sylvia 1999; Singh & Tilak 2001) dan teknik in-vitro (Karandashov et al. 1999; Pawloswska et al. 1999; Fortin et al. 2002) dikembangkan dengan tujuan untuk memproduksi inokulan FMA yang bersih atau bebas kontaminan. Produksi inokulum in-vitro dapat dilaksanakan pada cawan Petri berisi media tertentu misalnya gel diperkaya glukosa (Douds 2002). Penambahan bahan lain, misalnya eksudat akar, dilaporkan dapat meningkatkan produksi spora dalam kultur cawan Petri (Selvaraj & Kim 2004). Pemberian unsur hara bentuk film hara dilaporkan berhasil memproduksi 130 mg hifa fungi G. mosseae per cawan kultur berisi 3 tanaman slada (Lactuca sativa var capitata), selain itu juga diperoleh inokulum campuran spora, akar terkolonisasi dan hifa fungi (Lee & George 2005). Selain itu, ditemukan pula sistem kultur autotrof untuk mengembangkan FMA secara in vitro menggunakan bibit
18
kentang hasil propagasi mikro (Voets et al. 2005). Produksi inokulum dapat dipacu dengan penambahan bakteri rizosfer perangsang pertumbuhan (Azospirillum sp., Azotobacter chroococcum, Pseudomonas fluorescens, P. Striata) atau khamir (Saccharomyces cerevisiae) (Bhowmik & Singh 2004). Teknik in vitro belum umum digunakan di Indonesia mengingat komponen teknologinya memerlukan biaya yang tinggi dan operator yang terampil. Oleh sebab itu perlu dicari alternatif teknologi yang berbiaya murah namun mampu memproduksi spora dan inokulum FMA dalam jumlah yang banyak. Teknik berbasis substrat, khususnya substrat tanah, merupakan teknik klasik yang telah lama digunakan untuk memproduksi inokulum berbagai jenis FMA mengingat biayanya yang murah dan kemudahan pelaksanaannya. Substrat yang digunakan pada umumnya berupa (1) tanah (Sylvia & Schenck 1983; Douds & Schenck 1990a,b; Sieverding 1991) atau lempung (clay) (Plenchette et al. 1982; Feldmann & Idczak 1992), (2) bahan mineral misalnya pasir (Millner & Kitt 1992; Lee & George 2005; Neumann & George 2005), inolite dan zeolit (Setiadi 2002) dan vermiculite (Douds et al. 2006), perlite (Lee & George 2005), (3) bahan organik misalnya kompos (Douds et al. 2005, 2006) atau gambut (Ma et al. 2007), atau campuran tanah dengan salah satu atau kedua bahan tersebut. Tehnik berbasis tanah kemudian diadaptasi untuk meningkatkan jumlah propagul di lapangan atau lahan pertanian (on-farm) (Douds et al. 2005, 2010). Prosedur produksi inokulum FMA pada dasarnya terdiri atas empat tahap yaitu (1) isolasi strain FMA untuk menghasilkan kultur murni atau kultur tunggal, (2) pemilihan tanaman inang, (3) inokulasi propagul, dan (4) optimasi kondisi pembentukan simbiosis MA. Isolasi FMA dilakukan dengan mengambil contoh akar dan tanah terkolonisasi dari lapangan yang diikuti dengan peningkatan potensi propagul melalui kultur penangkaran (traping culture) (Feldmann & Idczak 1992; Setiadi 2002). Propagul dari lapangan diperbanyak dengan menumbuhkan tanaman inang pada medium tumbuh yang telah dicampur dengan akar terkolonisasi FMA atau tanah dari lapangan (Brundrett et al. 1996). Medium tumbuh diletakkan dalam pot atau wadah lain yang sesuai (Sylvia & Schenck
19
1983, Millner & Kitt 1992). Spora hasil kultur penangkaran kemudian dikelompokkan berdasarkan karakter morfologi dan masing-masing diperbanyak dengan kultur tunggal. Inokulasi FMA dapat dilakukan dengan menempelkan spora tunggal ke permukaan akar muda atau meletakkan propagul di permukaan medium tumbuh pada bagian perakaran bibit. Tanaman yang dapat digunakan untuk memproduksi inokulum FMA ialah Allium cepa, Chloris guyana, Cenchrus ciliaris, Panicum maximum, Paspalum notatum, Pueraria phaseoloides, Sorghum halepense, Trifolium subterraneum, atau Zea mays (Chellappan et al. 2001; Setiadi 2002). Tanaman tersebut sering digunakan karena memiliki beberapa kelebihan, misalnya berumur pendek, memiliki system perakaran yang luas, dapat dikolonisasi sampai batas yang tinggi oleh berbagai jenis FMA, dan toleran terhadap kadar fosfor (P) rendah (IJdo et al. 2011). Kelebihan lainnya ialah resisten terhadap patogen, akar yang terkolonisasi umumnya berubah menjadi kuning dari putih (khususnya pada bawang perai dan jagung), dan toleran terhadap lonjakan suhu (Millner & Kitt 1992). Perbanyakan dilakukan rumah kaca, ruang berpendingin, pot yang diletakkan di lapangan atau yang lebih besar lagi pada bedengan persemaian (Gaur & Adholeya 2002, Douds et al. 2005, 2006). Optimasi kondisi pertumbuhan diperlukan mengingat pembentukan dan perkembangan FMA serta simbosisnya dengan tanaman inang ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu jenis FMA, jenis tanaman, dan lingkungan simbiosis (Smith & Read 2008). Berbagai faktor diketahui berpengaruh terhadap produksi propagul FMA atau simbiosis MA. Intensitas cahaya, karena berpengaruh terhadap fotosintesis tanaman dan translokasi karbon ke akar, berpengaruh tidak langsung terhadap kolonisasi dan produksi spora FMA (Nagahashi et al. 2000; Gamage et al. 2004). Karakteristik substrat, misalnya pH, kapasitas tukar kation, suhu (Smith & Read 2008), kadar air (Karasawa et al. 1999; Lovato & Gianinazzi 1996), jasad renik (Bhowmik & Singh 2004; Hameeda et al. 2007), jenis dan kadar hara (Douds & Schenck 1990a,b; Millner & Kitt 1992; Douds 1994; Douds et al. 2006) juga berpengaruh terhadap simbiosis MA. Faktor lain yang ikut berpengaruh ialah
20
keberadaan senyawa kimia tertentu, misalnya pupuk (Onguene & Habte 1995), pestisida (Sukarno et al. 2000), dan hasil metabolisme tanaman inang yang dieksudasikan ke rizosfer misalnya khitin (Gryndler et al. 2003) atau strigolakton, 5-deoxy-strigol (Akiyama et al. 2005). Keberadaan bahan-bahan amandemen anorganik (zeolit, liat, perlit dan sebagainya) dan organik juga ikut menentukan laju produksi spora dan kolonisasi FMA ke akar tanaman (Saito 1990; Nishio & Okano 1991; Ezawa et al. 2002). Unsur hara, khususnya P, berpengaruh langsung dan berpengaruh tidak langsung terhadap FMA melalui respon tanaman terhadap ketersediaan hara, misalnya dengan mengubah pertumbuhan akar atau fotosintesis. Kadar, bentuk, dan kelarutan sumber hara P merupakan faktor penting bagi pembentukan dan perkembangan MA yang paling sering dibahas. Kadar hara P dilaporkan berkorelasi negatif (Amijee et al. 1989; Koide & Li 1990), tidak berkorelasi (Tawaraya et al. 1996), atau berkorelasi positif (Carrenho et al. 2001) terhadap mikorizasi bergantung pada jenis FMA, jenis tanaman, bentuk dan kelarutan sumber P-nya (Cardoso 1996; Tawaraya et al. 1996; Nikolaou et al. 2002; Bhadalung et al. 2005). Pembentukan simbiosis mikoriza mencapai maksimum jika kadar P dalam tanah tidak > 50 mg kg-1 (50 ppm) (Ishii 2004) dan kadar hara P sebesar 20 μM optimal untuk produksi inokulum Glomus etunicatum pada sistem berbasis pasir menggunakan tanaman inang jagung (Millner & Kitt 1992). Perkembangan hifa marga Glomus berkorelasi negatif dengan kadar P namun sporulasi hifa tidak berkorelasi dengan kadar P (Tawaraya et al. 1996). Produksi propagul Glomus intraradices pada rizosfer jagung meningkat tajam pada kondisi tanpa pasokan P dan sebaliknya jika dipasok unsur P (Gaur & Adholeya 2000). Sporulasi G. etunicatum, dilaporkan berkorelasi positif dengan kadar hara P (Carrenho et al. 2001). Spora G. etunicatum dilaporkan tetap melimpah sekalipun tanah mineral asam Lampung Timur diberi pupuk P takaran tinggi (200 kg ha1
SP36) (Yusnaini et al. 2004). Bentuk P yang digunakan, anorganik maupun organik, juga berdampak
terhadap produksi inokulum FMA. Pemupukan P dengan takaran dan kelarutan
21
tinggi dilaporkan mengubah produksi keme-limpahan, daya mengolonisasi, dan efektivitas propagul FMA (Johnson 1993; Bhadalung et al. 2005). Penggunaan fosfat berkelarutan rendah, misalnya batuan fosfat dan tepung tulang, sekalipun diberikan dengan takaran yang tinggi ternyata efektif untuk memelihara FMA dan meningkatkan pertumbuhan tanaman (Cardoso 1996; Nikolaou et al. 2002). Sylvia & Schenck (1983) melaporkan G. etunicatum merespon negatif terhadap superfosfat namun merespon positif terhadap P organik. Nisbah N/P substrat, jaringan tanaman, atau sumber P juga dilaporkan berpengaruh terhadap aras kolonisasi dan sporulasi FMA (Douds & Schenck 1990a,b; Blanke et al. 2005). Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara hara P dengan berbagai jenis mikoriza arbuskula di alam. Bahan organik merupakan salah satu sumber P yang jumlahnya melimpah di alam dan dilaporkan berpengaruh terhadap kehidupan FMA. Namun demikian, bahan organik dilaporkan menghasilkan pengaruh yang berbeda-beda, bahkan dapat berlawanan, terhadap FMA. Bahan organik dilaporkan berkorelasi positif (Harinikumar et al. 1990; Scott et al. 1996), netral (Sainz & Taboada 1996), atau negatif (Lambert & Weidensaul 1985) terhadap kolonisasi akar, jumlah spora, dan ragam jenis FMA. Perkembangan hifa dan sporulasi Acaulospora longula dan G. claroideum dilaporkan berkorelasi negatif sedangkan G. etunicatum berkorelasi positif dengan kadar bahan organik tanah (Carrenho et al. 2001). Sebaliknya, jumlah spora G. etunicatum dilaporkan berkorelasi positif dengan kadar C organik
tanah hutan dan dan perkebunan kopi di Lampung Barat
(Yusnaini et al. 2001) atau di lahan pertanian yang diberi kompos sisa tanaman berkadar P tinggi (Douds et al. 1997) namun tidak berkorelasi dengan kadar P tersedia tanah. G. mosseae dilaporkan tetap mengolonisasi akar tanaman sekalipun mediumnya diperkaya dengan limbah pengolahan olive (Martin et al. 2002). Pemberian vermikompos dengan takaran rendah (5%) meningkatkan kolonisasi FMA dan pertumbuhan tanaman namun pada takaran tinggi (20%) justru berpengaruh negatif (Cavender et al. 2003). Berapapun takaran limbah kota, jika belum terkomposkan dan banyak mengandung senyawa toksik, berpengaruh
22
negatif terhadap FMA (Roldan & Albaladejo 1993). Pengaruh pupuk kandang berkadar hara P tinggi terhadap kerapatan hifa lebih ditentukan oleh tekstur tanahnya, pengaruhnya lebih tinggi pada tanah bertekstur lempung daripada tanah geluh berpasir (Kabir et al. 1997). Hasil penelitian menunjukkan FMA mampu menyerap P organik dari senyawa fitat dalam medium tumbuh (Widiastuti 2004). Berbagai laporan tersebut menunjukkan bahan organik berpotensi meningkatkan kemelimpahan dan sporulasi FMA dalam tanah namun demikian hasil akhirnya ditentukan oleh jenis FMA, jenis tanaman inang, jenis bahan organik, derajat dekomposisi, kadar hara bahan organik khususnya fosfat, dan karakteristik tanah. Perlakuan terhadap substrat atau pupuk, misalnya sterilisasi, juga dapat berpengaruh terhadap perkembangan FMA. Sterilisasi merupakan tindakan yang dilakukan untuk meniadakan jasad renik pengganggu. Sterilisasi pada produksi inokulum FMA pada dasarnya hanya dilakukan untuk meniadakan isolat FMA lain yang tidak diproduksi dan tidak bertujuan untuk meniadakan sama sekali jasad renik lain yang ada dalam sistem produksi inokulum. Sterilisasi dilaporkan berpengaruh tidak nyata terhadap kolonisasi mikoriza pada tanaman sorgum (Cavender et al. 2003) namun menurunkan kolonisasi dan kerapatan spora FMA pada rizosfir tanaman tomat (Manian et al. 1995). Namun demikian belum ada informasi perlu tidaknya dilakukan sterilisasi untuk sumber hara P lainnya, misal tepung tulang. Setiap tanaman memiliki kompatibilitas fungsional yang berbeda-beda terhadap inokulan FMA karena adanya preferensi tanaman terhadap jenis FMA tertentu. Kompatibilitas fungsional dapat diketahui dari indikator respon tanaman terhadap inokulasi FMA misalnya kolonisasi akar, ketergantungan relatif mikoriza, dan kadar atau serapan P bagian atas tanaman. Garis tengah rambut akar, panjang dan kemelimpahan akar merupakan karakteristik morfologi akar yang berkaitan dengan serapan P. Sistem perakaran tanaman pertanian yang sedikit dan rambut akarnya pendek merupakan indikasi tingginya ketergantungan relatif terhadap fungi mikoriza (KRM) (Khalil et al. 1994). Namun pada jenis pohon atau tanaman hutan ternyata semakin tinggi kerapatan dan panjang akarnya maka
23
semakin tinggi nilai KRM (Guissou et al. 1998; Ba et al. 2000). Tanaman yang bersimbiosis dengan FMA pada umumnya memiliki nilai NTA yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak bermikoriza (Piccini et al. 1988; Khalil et al. 1994). Nisbah tajuk akar tajuk (NTA) merupakan gambaran translokasi karbon dari bagian atas tanaman ke akar. Nilai NTA yang mengecil akibat perubahan dinamika rizosfir mencerminkan meningkatnya translokasi karbon ke akar dan merupakan salah satu mekanisme tanaman untuk mendapatkan hara yang menjadi pembatas. Translokasi karbon ke akar diwujudkan dalam bentuk peningkatan biomassa akar sehingga meningkatkan permukaan yang dapat dikolonisasi FMA. Uraian di atas mengindikasikan adanya potensi berbagai sumber P anorganik berkelarutan rendah dan P organik dengan derajat dekomposisi tertentu untuk digunakan dalam menyusun formulasi inokulan FMA. Namun demikian, perlu disadari bahwa banyak faktor yang terlibat dalam interaksi antara berbagai jenis sumber P dengan pembentukan dan perkembangan simbiosis MA dengan tanaman pada suatu lingkungan tertentu. Para peneliti mikoriza di Indonesia jarang sekali melakukan pengujian keterkaitan antara faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dengan aktivitas FMA. Keberhasilan inokulasi FMA umumnya hanya dinilai berdasarkan indikator tanaman, misalnya kenaikan bobot kering tanaman dan bobot kering hasil, serapan hara – khususnya fosfor (Rossiana & Supriatun 2003; Simarmata & Herdiani 2003), dan beberapa diantaranya terhadap perubahan sifat-sifat tanah (Bertham 2006). Masih jarang yang melakukan studi korelatif antara indikator tanaman, FMA (kolonisasi dan jumlah spora) dan karakteristik tanah. Interaksi Bibit Jati- Bahan Organik-Fungi Mikoriza Arbuskula Jati (Tectona grandis Linn. F.) merupakan pohon penghasil kayu utama di dunia, kayunya berwarna kecoklatan, teksturnya halus, dan daya tahannya yang tinggi (Pandey & Brown 2000). Daya tahan kayu jati yang tinggi menjadikan kayu jati cocok digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk pembuatan perahu, lantai, perabot rumah tangga, dan komponen dekorasi bangunan yang umumnya bernilai jual tinggi. Permintaan akan kayu jati terus meningkat, namun produksi,
24
sekalipun dari hutan tanaman yang dikelola secara intensif, tetap tidak dapat memenuhi permintaan dari konsumen. Kondisi demikian, ditambah kemudahan penguasaan silvikultur jati, telah menarik minat masyarakat luas untuk ikut menanam dan memperdagangkan jati. Jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu pohon penghasil kayu utama dunia. Hutan alam jati pada umumnya banyak terdapat di India, Myanmar, Thailand, dan Laos dengan luasan sekitar 23 juta ha. Jati juga tumbuh pada hutan tanaman pada sedikitnya 36 negara di kawasan tropik dengan luasan sekitar 5.7 juta ha (Bhat & Ma 2004). Hutan tanaman jati mencakup 75% dari hutan tanaman berkayu utama dunia (FAO 2001), dengan penyebaran 43% di India, 31% di Indonesia, 7% di Thailand, 6% di Myanmar, dan 5% di Afrika tropik.
Jati
diyakini sudah tumbuh di Jawa selama beberapa abad dan telah beradaptasi dengan lingkungan setempat dan kemudian secara alami menghasilkan keturunan yang ada sekarang ini (White 1991; Ball 1999; Pandey & Brown 2000). Pada awalnya jati di Indonesia diyakini berasal dari India, namun hasil analisis molekuler menunjukkan jati yang tumbuh di P. Jawa sesungguhnya berasal dari Thailand utara (Verhaegen et al. 2010). Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, jati umumnya tumbuh pada elevasi 100 – 700 m dari permukaan laut. Tinggi pohon dapat mencapai 39 – 45 m pada kondisi yang sesuai dan kayunya dapat dipanen pada umur 60 tahun. Dari Pulau Jawa sendiri setiap tahun berhasil dipanen sekitar 820.000 m3, angka tersebut merupakan 44% dari total volume kayu yang diproduksi di P. Jawa namun merupakan 80% total pendapatan dari produksi kayu nasional (Bailey & Haryanto 2005). Jati dikenal sebagai pohon yang memiliki karakteristik pertumbuhan lambat karena baru dapat dipanen pada umur ± 60 tahun dengan ragam genetik yang tinggi jika bahan tanam yang digunakan berasal dari perbanyakan generatif. Jati juga tidak banyak membentuk biji dan perkecambahan bijinya lambat dan tidak seragam serta menghasilkan bibit yang tidak seragam pertumbuhannya (Palupi & Owens 1997, 1998). Oleh sebab itu perbanyakan vegetatif merupakan cara yang paling umum digunakan untuk menghasilkan bibit jati yang memiliki karakteristik
25
genetik sama dengan induknya. Penggunaan bahan tanam yang berasal dari perbanyakan vegetatif, konvensional ataupun modern, dapat mengurangi daur produksi jati dan menghasilkan pohon yang mewarisi sifat unggul tetuanya. Perbanyakan vegetatif pada dasarnya ialah upaya memperbanyak bahan tanaman atau bibit dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman seperti batang, akar, dan daun atau tajuk (Hartmann et al. 1997). Perbanyakan vegetatif bibit jati dapat dilakukan secara konvensional misalnya stek, penempelan (okulasi), dan penyambungan (Mahfudz et al. 2003) atau teknologi modern menggunakan kultur jaringan (Herawan 2003). Sekalipun teknik kultur jaringan mampu menghasilkan bibit dalam waktu yang lebih singkat dan keseragaman yang lebih tinggi namun harga jual bibit lebih mahal dibandingkan teknik konvensional (Herawan 2003). Bibit jati, hasil perbanyakan generatif atau vegetatif, umumnya dipelihara dalam wadah yang berisi media tumbuh tertentu di persemaian. Persemaian jati, atau tanaman hutan lainnya, berskala kecil sampai menengah, baik yang dikelola secara individual ataupun oleh sekelompok masyarakat, telah berkembang sebagai aktivitas ekonomi yang penting artinya di Indonesia. Namun demikian, produksi bibit jati atau tanaman hutan lainnya pada skala demikian seringkali menghasilkan bibit yang bermutu rendah karena kurangnya kemampuan mendapatkan sumber daya genetik yang bermutu tinggi, pemahaman mengenai praktek budidaya tanaman yang tepat, tenaga ahli untuk memelihara dan menilai mutu bibit (Harrison et al. 2008). Sumber benih yang tidak jelas, komposisi media yang keliru, pemberian pupuk yang tidak tepat jenis dan jumlah, dan faktor lingkungan tumbuh merupakan faktor utama yang menjadi penyebab rendahnya mutu bibit yang dihasilkan oleh produsen bibit berskala kecil sampai menengah (Harrison et al. 2008). Produksi bibit jati menggunakan polybag memiliki kelemahan. Penggunaan medium tumbuh berupa tanah mengharuskan pengambilan tanah dari tempat lain sehingga berpotensi merusak lingkungan. Penggunaan polybag berpotensi mencemari lingkungan karena sifat polybag yang sulit terdegradasi dalam waktu singkat. Selain itu, produksi bibit dalam wadah seringkali menghasilkan bibit yang akarnya menggulung, terkumpul pada bagian bawah wadah, kusut, atau
26
bengkok karena pertumbuhannya dibatasi oleh volume wadah (Arnold 1992). Akar demikian cenderung tetap tumbuh melingkar dan hanya sebagian kecil yang tumbuh radial ketika ditanam di lapangan sehingga menurunkan vigor dan kekokohan mekanis serta meningkatkan kematian bibit di lapangan (Arnold & Young 1991; Beeson & Newton 1992; Woodall & Ward 2002; Tsakaldimi & Ganatsas 2006). Modifikasi wadah, misalnya berbentuk segi empat atau berlubang di bagian bawahnya atau dari bahan yang mudah ditembus akar ternyata tidak selalu memuaskan hasilnya. Pertumbuhan akar yang lebih baik hanya terdapat pada bagian samping wadah akan tetapi deformasi akar tetap terjadi pada bagian bawah wadah (Warren & Blazich 1991; Beeson & Newton 1992). Pemangkasan akar merupakan salah satu cara untuk mengoreksi buruknya pertumbuhan akar pada bibit dalam wadah. Pemangkasan akar mengganggu serapan hara dan air dan meningkatkan infeksi patogen sehingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Tanaman kemudian meresponnya dengan cara meningkatkan pertumbuhan akar lateral dan menurunkan pertumbuhan tajuk atau menurunkan nisbah tajuk akar (Geisler & Ferree 1984). Sistem perakaran yang tumbuh dengan struktur yang bagus, yaitu dengan jumlah akar lateral fibrous yang tinggi, merupakan salah satu indikator dari bibit yang bermutu tinggi. Hasil penelitian menunjukkan pemangkasan akar berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tajuk dan tinggi bibit namun tidak mempengaruhi garis tengah batang, dengan kata lain meningkatkan kekokohan bibit yang merupakan salah satu indikator mutu bibit (Awang & De Chavez 1993). Laju pemulihan diri melalui peningkatan pertumbuhan akar lateral tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman, lingkungan pertumbuhan, dan budidaya tanaman (Hartmann et al. 1997; Ludwig-Müller et al. 2005; Husen & Pal 2007). Produksi bibit dengan sistem akar telanjang dilakukan dengan cara menanam langsung benih atau bibit di persemaian, tanpa menggunakan wadah, seperti halnya persemaian tanaman pertanian. Pertumbuhan bibit di persemaian akar telanjang dikendalikan dengan pemangkasan akar. Bibit yang diproduksi dengan sistem akar telanjang memiliki beberapa kelemahan, misalnya mudah
27
terkena cekaman lengas, mudah terganggu oleh penanganan yang tidak sempurna selama pengangkutan dan penanaman di lapangan, dan peka terhadap persaingan dengan akar gulma (Fujimori 2001). Oleh sebab itu bibit akar telanjang lebih cocok untuk tanaman yang bersifat tumbuh lambat pasca perkecambahan (Fujimori 2001). Agar tumbuh lebih baik di lapangan sebaiknya bibit akar telanjang diberi perlakuan tambahan selama di persemaian, misalnya dengan pemupukan atau diinokulasi dengan FMA.. Penggunaan pupuk buatan untuk meningkatkan pertumbuhan bibit merupakan hal yang sudah biasa dilakukan oleh produsen bibit. Suhartati dan Nursyamsi (2006) melaporkan pemberian 50 g pupuk NPK per tanaman meningkatkan tinggi dan garis tengah batang bibit jati masing-masing sebesar 30% dan 9%. Penggunaan pupuk buatan bukan merupakan pilihan tunggal mengingat harganya yang cenderung semakin meningkat dan seringkali menghilang ketika diperlukan petani, memerlukan air untuk melarutkannya, dan karakteristik kimianya yang dapat berubah jika diberikan pada tanah-tanah bermasalah. Oleh karena itu perlu dicarikan alternatif penggantinya, yaitu dalam bentuk bahan alami yang dapat diproduksi sendiri misalnya kompos dan vermikompos atau yang banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari misalnya tepung tulang. Pupuk organik, misalnya vermikompos, memiliki beberapa kebaikan yaitu memiliki luas permukaan yang lebih besar untuk menahan unsur hara dan air, menyediakan bentuk-bentuk hara yang dapat segera diserap tanaman, mengandung substansi biologis aktif misalnya hormon pengatur tumbuh tanaman, dan mendorong agregasi tanah (Jhonson 2009). Bahan organik, melalui pengaruhnya terhadap jasad hidup tanah, juga secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Brown & Doube 2004; Kaushik & Garg 2004). Bahan organik, dalam bentuk vermikompos, dilaporkan berpengaruh nyata meningkatkan tinggi dan garis tengah batang bibit jati serta aktivitas biologi tanah, misalnya respirasi, karbon biomassa jasad renik dan aktivitas enzim dehidrogenase dibandingkan dengan kontrol (Manna et al 2003). Penggunaan pupuk organik berpelepasan lambat dengan takaran 0.2 – 0.4 g per bibit dapat meningkatkan tinggi dan garis tengah
28
batang bibit jati asal Cepu masing-masing sebesar 50 – 69% dan 28 – 41% (Irianto et al. 2003). Sifat baik dari bahan organik demikian bukan bermakna bahwa bahan organik dapat sepenuhnya menggantikan tanah yang digunakan sebagai medium tumbuh selama ini. Penggunaan bahan organik yang tidak terkontrol mutunya dapat menimbulkan immobilisasi atau ketidak seimbangan hara, keracunan logam berat atau senyawa organik beracun, sehingga berakibat buruk terhadap pertumbuhan bibit. Sifat ragawinya yang sarang menyebabkan bibit mudah roboh dan menderita kekurangan air atau hara. Penggunaan FMA merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan penggunaan pupuk buatan. Fungi MA telah diketahui menghasilkan beraneka manfaat sehingga tanaman mampu mengatasi cekaman hayati dan nirhayati (Smith & Read 2008; Gianinazzi et al. 2010; Smith et al. 2010). Manfaat nyata inokulasi FMA dalam produksi bibit ialah meningkatkan daya tumbuh bibit ketika ditanam di lapangan. Bibit tidak bermikoriza ketika dipindah ke lapangan dari pesemaian seringkali tumbuh kerdil dan daunnya lebih banyak yang nekrosis dibandingkan dengan bibit bermikoriza (Landis & Amaranthus 2009). Jati dikenal sebagai tanaman yang berasal dari habitat beriklim kering. Unsur hara yang bersifat goyah, misalnya P dan Zn, bergerak mendekati akar melalui proses difusi yang memerlukan bantuan air. Kondisi air yang rendah pada daerah beriklim kering membatasi difusi P dari kompleks pertukaran ke permukaan akar. Hifa FMA membantu tanaman jati untuk menjangkau dan menyerap P yang jauh dari akar dan yang tidak dapat berdifusi ke permukaan akar akibat kadar air yang rendah. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan rizosfer jati dihuni oleh beraneka jenis FMA (Maryadi 2001; Husna et al. 2006; Corryanti et al. 2007). Ditinjau dari peubah pertumbuhan bibit jati, Rajan et al. (2000) melaporkan G. leptotichum merupakan FMA terbaik untuk bibit jati di India dibandingkan dengan jenis lain. Turjaman et al. (2003) melaporkan G. manihotis merupakan jenis FMA terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan bibit jati asal Jatirogo, Jawa Tengah. Corryanti et al. (2007) melaporkan Gigaspora sp. lebih unggul meningkatkan pertumbuhan bibit jati asal Cepu dibandingkan Glomus sp. Irianto et al. (2003)
29
melaporkan terdapat interaksi nyata antara jenis FMA, pupuk, dan medium tumbuh terhadap pertumbuhan bibit jati asal Cepu. Sangaji (2004) melaporkan inokulan FMA diperkaya dengan tepung tulang berpengaruh nyata meningkatkan pertumbuhan bibit jati namun berpengaruh tidak nyata terhadap kolonisasi FMA dan jumlah spora dalam media tumbuh. Suwandi et al. (2006) melaporkan pemberian 1.5 – 3 g inokulan FMA (tidak disebutkan jenisnya) dikombinasikan dengan pemberian 2 – 4 g pupuk NPK nyata meningkatkan tinggi, garis tengah batang, dan panjang akar bibit jati yang ditumbuhkan dalam polybag yang di Kampar, Riau. Arif et al. (2009) melaporkan inokulum G. etunicatum dan Glomus sp. yang diperkaya dengan vermikompos sampai 40% meningkatkan bobot kering bibit jati muna masing-masing sebesar 529 dan 500% dibandingkan kontrol. Informasi demikian menunjukkan adanya kombinasi spesifik antara provenan bibit jati, jenis FMA, dan pupuk organik atau bahan alami sebagaimana telah dilaporkan pada tanaman lain. Namun demikian, sejauh ini belum pernah diteliti interaksi demikian pada bibit jati provenan lain, misalnya provenan Solomon yang belakangan ini banyak diperdagangkan masyarakat. Jumlah bibit bermutu tinggi dalam jumlah yang banyak merupakan harapan produsen bibit tanaman pada umumnya. Bibit bermutu tinggi, yang diperoleh dari hasil seleksi genetik, praktek budidaya di persemaian, metode penanaman, dan pemeliharaan yang tepat menentukan keberhasilan pertumbuhan bibit di lapangan (van den Driessche 1994; South 2000; Carneiro et al. 2007). Bibit dikatakan bermutu tinggi jika mampu memenuhi persyaratan dan tujuan pengelolaan bahan tanaman (Ritchie 1984) yang ditunjukkan oleh pertumbuhan yang baik dan kokoh pada kondisi lapangan yang kurang mendukung dan memiliki laju pertumbuhan atau riap yang tinggi pasca penanaman dan resisten terhadap penyakit (Duryea 1985; Johnson & Cline 1991; Mason 2004). Mutu bibit dapat dinilai berdasarkan mutu genetik dan morfofisiologi. Mutu genetik dinilai berdasarkan asal-usul bahan tanaman yang digunakan selama perbanyakan tanaman, umumnya semakin tinggi tingkat pemuliaan bahan tanaman semakin tinggi mutu genetik bibit. Nilai mutu genetik bibit semakin meningkat berdasarkan urutan asal-usul bahan tanaman
30
sebagai berikut (a) pohon induk asalan, (b) pohon plus dari hutan alam atau hutan tanaman, (c) tegakan benih teridentifikasi, (d) tegakan benih terseleksi, (e) areal produksi benih, (f) tegakan benih provenan, (g) persemaian generasi pertama, (h) persemaian klon generasi pertama (Hendromono 2003). Karakteristik morfologi yang umum digunakan untuk menilai mutu bibit ialah tinggi, garis tengah batang, nisbah kekokohan bibit (NKB), nisbah tajuk akar (NTA), morfologi dan massa akar (Duryea 1985; van den Driessche 1994; Claussen 1996; Mohamed et al. 1998; South 2000) dan potensi regenerasi akar (jumlah, panjang, jumlah tajuk akar, luas permukaan dan volume) (Tinus 1996), dan indeks mutu bibit (IMB) (Dickson et al. 1960). Tinggi dan garis tengah batang bibit merupakan indikator mutu bibit yang paling mudah diukur sekalipun keduanya tidak selalu tepat menggambarkan kemampuan bibit tumbuh baik di lapangan. Tinggi bibit dipandang merupakan gambaran kecepatan tumbuh bibit pada suatu lingkungan pertumbuhan tertentu. Mantovan (2002) melaporkan tinggi bibit umur 20 hari berkorelasi positif dengan pertumbuhan tanaman Prosopis flexuosa umur 3 dan 7 tahun. Loha et al. (2006) melaporkan rerata tinggi bibit di persemaian berkorelasi positif dengan pertumbuhan tanaman Cordia africana Lam. umur 4 dan 8 bulan. Zheng et al. (2009) melaporkan tinggi bibit berkorelasi positif dengan garis tengah batang tanaman Trigonobalanus doichangensis umur 4 tahun. Namun demikian, penampilan bibit di persemaian tidak selalu menggambarkan pertumbuhan sesungguhnya di lapangan (Mantovan 2002). Bibit yang bergaris tengah batang besar lebih tahan terhadap pembengkokan dan kerusakan mekanis selama pengangkutan atau penamaman, daya hidup dan volume kayu yang lebih tinggi (Johnson & Cline 1991). Ukuran garis tengah batang seringkali berkaitan erat dengan ukuran akar. Bibit dengan garis tengah batang yang lebih besar umumnya memiliki sistem perakaran yang lebih besar pula (Fujimori 2001). Garis tengah batang merupakan penduga ukuran sistem perakaran yang lebih baik dibandingkan tinggi tanaman. Perbandingan tinggi dan garis tengah batang, atau nisbah kekokohan bibit (NKB), merupakan indikator mutu bibit yang dipandang lebih tepat dibandingkan
31
tinggi atau garis tengah batang saja untuk menilai keberhasilan tumbuh bibit di lapangan disesuaikan dengan silvoklimatnya (Hendromono 2003). Bibit dengan tinggi yang sama namun memiliki garis tengah batang lebih besar menunjukkan bibit lebih kokoh ketika tumbuh di lapangan. Bibit yang baik memiliki NKB yang lebih rendah (Fujimori 2001). Bibit yang akan ditanam di dataran rendah sebaiknya memiliki nilai NKB yang lebih besar dibandingkan jika akan ditanam di dataran tinggi, tanah bertekstur berat, dan iklim kurang mendukung (Hendromono 2003). Bibit yang setimbang memiliki tajuk (shoot) yang rendah sampai sedang namun dengan sistem perakaran yang besar. Semakin besar ukuran tajuk bibit berarti semakin besar peluang terjadinya kehilangan air akibat transpirasi dan kehilangan air tersebut harus dikompensasi oleh akar yang menyerap air dari dalam medium tumbuh. Bibit yang tidak setimbang ialah bibit yang memiliki banyak daun namun dengan perakaran yang sedikit. Setimbang merujuk kepada bobot kering tajuk dan akar bukan kepada tinggi bibit. Nisbah tajuk akar merupakan nisbah luas permukaan transpiratif dengan luas permukaan absorptif yang masing-masing dapat diwakili oleh bobot kering tajuk dan bobot kering akar. Semakin tinggi nisbah tajuk akar (NTA) berarti bibit akar telanjang atau bibit dalam wadah semakin peka terhadap cekaman lengas (Fujimori 2001). Namun demikian, NTA yang terlalu kecil menunjukkan bibit peka terhadap persaingan mendapatkan cahaya matahari. Karakteristik morfologi tidak selalu menggambarkan mutu fisiologi bibit. Bibit dari persemaian yang berbeda mungkin saja memiliki karakteristik morfologi yang sama namun fisiologinya berbeda tajam. Sebagai contoh, nisbah tajuk akar selama ini dipandang sebagai kesetimbangan relatif antara tajuk dan akar, semakin setimbang atau mendekati nilai satu berarti semakin tinggi mutu bibit. Namun demikian bobot kering akar tersusun oleh bobot kering akar tunggang dan akar lateral. Bibit yang sebagian besar massa akarnya ada pada akar tunggang dapat diduga memiliki mutu fisiologi yang lebih rendah dibandingkan dengan yang massa akarnya ada pada akar sekunder dan lateral (Fujimori 2001).
32
Mutu fisiologi bibit dapat dinilai berdasarkan kandungan karbohidrat atau biomassa, unsur hara, dan ketahanan bibit terhadap cekaman selama tumbuh di lapangan (Hendromono 2003). Biomassa tanaman yang terukur dalam bentuk bobot kering tanaman merupakan gambaran akumulasi karbohidrat yang terbentuk melalui fotosintesis setelah dikurangi karbohidrat yang hilang akibat respirasi (Okalebo et al. 1993) dan rizodeposisi yang diperlukan untuk kehidupan jasad renik rizosfer termasuk untuk pembentukan simbiosis MA (Smith et al. 2009, 2010). Kehidupan jasad renik rizosfer berpengaruh besar terhadap ketersediaan, serapan, dan efisiensi penggunaan hara oleh tanaman yang kesemuanya merupakan faktor pengendali produksi biomassa tanaman (Koide et al. 2000; Muthukumar et al. 2001; Muthukumar & Udaiyan 2006) dan seterusnya menentukan mutu bibit (Verma et al. 2001; Muthukumar & Udaiyan 2010). Faktor bobot kering tanaman atau biomassa tanaman seringkali tidak dijadikan pertimbangan untuk menilai mutu bibit sehingga Dickson et al. (1960) kemudian merumuskan indeks mutu bibit berdasarkan karakter morfofisiologi. Indeks mutu bibit (IMB) dinilai berdasarkan nisbah bobot kering total dengan jumlah nisbah kekokohan bibit dan nisbah tajuk akar. Semakin tinggi nilai indeks mutu maka semakin baik pula mutu bibit (Lackey & Alm 1982; Hendromono 1995, 1998; Hendalastuti & Henti 2005).