TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI KONSEP
Lembaga Keuangan Mikro Menurut Robinson (2001 : 9), “microfinance refers to small scale of financial services – primarily credit and savings – to provide those people who farm or fish or herd; those who operate small enterprises or microenterprises where goods are produce, recycled, repaired, or sold; those who provide services; those who work for wages or commisions; those who gain income from renting out small amount of land, vehicles, draft animal, or machinery and tools”. Sedangkan menurut Guy Vincent (2004 : 1), “..a means to empower the poor, and provides a valuable tool to assist the economic development process.” Schreiner (2000 : 2), “formal schemes designed to improve the well-being of the poor through better access to saving services and loans.” Arsyad (2008 : 23), Lembaga Keuangan Mikro adalah lembaga yang memberikan jasa keuangan bagi pengusaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah, baik formal, semiformal, dan informal yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan formal dan telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis. Dapat disimpulkan bahwa Lembaga Keuangan Mikro adalah suatu jalan, atau pilihan yang bisa digunakan oleh masyarakat – baik yang miskin hingga kaya – untuk memperoleh pinjaman selain dari bank yang kemudian bisa digunakan untuk mendanai usaha yang akan dirintis ataupun usaha yang telah dijalankan. Di penelitian ini, yang akan digunakan dari definisi-definisi tersebut adalah definisi menurut Robinson (2001 : 9), yaitu lembaga keuangan mikro yang mengacu pada jasa penyediaan modal skala kecil untuk masyarakat yang membutuhkan dalam membantu menjalankan usahanya. Lembaga Keuangan Mikro berguna sebagai alat untuk mengatasi kemiskinan, yang tentu saja bukan untuk masyarakat yang benar-benar miskin (extremely poor) tetapi untuk masyarakat yang aktif dalam hal perekonomiannya (economically active poor) (Robinson, 2001).
Lembaga Keuangan Informal
Menurut Mark Schreiner (2000 : 2), „Informal finance is defined as contracts or agreements conducted without reference or recourse to the legal system to exchange cash in the present for promises of cash in the future.‟
Robinson (2000 : 15), „Informal commercial moneylenders provide important financial services to the poor, they typically charge very high interest rates to low-income borrowers.‟ Sehingga lembaga keuangan informal adalah individu atau kelompok yang menyediakan jasa modal atau keuangan kepada orang-orang yang membutuhkan tanpa berlandaskan hukum.
Kredit Mikro (Micro-credit) Menurut Chowdhury (2002) :“Micro-credit is essentially the dispersion of small collateralfree loans to jointly liable borrowers in groups in order to foster income generation and poverty reduction through enhancing selfemployment”. Sinha (1998, p.2) : “microcredit refers to small loans..” Sedangkan menurut Bank Indonesia, kredit mikro adalah kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak Rp 100 juta per tahun. Sehingga kredit mikro adalah kredit dalam jumlah yang kecil kepada peminjam yang produktif maupun yang memiliki prospek dalam usahanya. Moneylenders kebanyakan meminjamkan kredit mikro, walaupun ada yang memberikan kredit dalam jumlah besar.
Lembaga Keuangan Mikro dan Kredit Mikro Peran kredit mikro dalam lembaga keuangan mikro di sini adalah penting adanya karena dengan adanya kredit mikro, masyarakat dapat mendapatkan pinjaman dengan jumlah yang tidak terlalu banyak. Fokus kredit mikro adalah pada pengembalian dana yang telah dipinjam, menuntut bunga yang nantinya akan menutup biaya pada lembaga pemberi pinjaman serta lebih fokus kepada pelanggan yang bergantung kepada sektor informal untuk meminjam modal (kredit).
Analisis Kredit 5C
Analisis kredit, 5C kredit (Kuncoro, 2002) mencakup watak, analisis kemampuan, analisis model, analisis kondisi/prospek usaha, dan analisis agunan kredit, yang dijelaskan sebagai berikut : 1. Analisis watak (character) yang bertujuan untuk melihat gambaran, serta perilaku pemohon kredit 2. Analisis kemampuan (capacity) analisis yang mengukur kemampuan mengembalikan kredit dari usaha yang dibiayai.
3. Analisis modal (capital) yang mengukur kemampuan pemohon kredit dalam menyediakan modal sendiri. 4. Analisis kondisi / prospek usaha (condition) untuk mengetahui prospektif atau tidaknya usaha yang akan dibiayai. 5. Analisis agunan (collateral) yang bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai agunan yang dapat digunakan untuk jaminan. Dengan analisa 5C ini, calon peminjam nantinya akan dilihat apakah layak dan memiliki watak serta kemauan untuk bisa mendapatkan kredit atau tidak. Analisa 5C ini sangat berguna untuk menilai calon peminjam supaya resiko bisa diminimalisir.
Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan moneylenders telah banyak dilakukan seperti penelitian Seibel, Hans Dieter. “Does History Matter? The Old and the New World of Microfinance in Europe and Asia”, penelitian ini menggambarkan tentang perkembangan microfinance di negara-negara Eropa, dan India. Ditemukan bahwa kemampuan untuk berdiri sendiri, peraturan dan pengawasan dapat membuat sistem microfinance yang bagus. Ada 2 jaringan yang membuat microfinance bisa berhasil, yaitu dana tabungan masyarakat, dan asosiasi yang dimiliki oleh anggota secara koperatif. Moneylenders di Jerman bisa dikurangi aktivitas dan jumlahnya karena adanya kemampuan dan kemandirian, hubungan perbankanrumahan yang awet, serta adanya susunan peraturan legal dan pembentukan institusi formal berikut dengan perwakilan pengawasan dalam mendukung microfinance. Lain halnya di India, moneylenders merupakan suatu kelompok orang yang telah ada dalam perekonomian sejak lama, dan mereka memberikan peran yang besar di perekonomian, khususnya di daerah pedesaan. Moneylenders di India dapat ditemukan jika ada permintaan untuk dana. Banyak moneylenders baik formal ataupun informal, pada akhirnya membentuk/bergabung dalam suatu grup atau organisasi yang formal seperti menjadi bankir, atau organisasi masyarakat seperti arisan. Kelangkaan kredit yang seharusnya disediakan oleh bank-bank swasta di daerah pedesaan serta institusi keuangan, membuat moneylenders sebagai lender of the last resort. „Microfinance and Moneylenders : Long-run Effects of MFIs on Informal Credit Market in Bangladesh‟, oleh Claudia Berg, Emran, M.Shahe, Forhad Shilpi. Penelitian mereka memberikan bukti dan hasil temuan tentang efek dari kompetisi antara microfinance dan moneylenders dalam suku bunga yang dikenakan dan ketergantungan dengan kredit informal. Dengan menggunakan pendekatan ekonometrik baru, ditemukan bahwa kompetisi microfinance tidak mengurangi suku bunga moneylenders. Efeknya sendiri adalah heterogen, tidak ada hasil atau efek yang jelas dalam tingkat cakupan microfinance yang rendah, tetapi jika cakupan microfinance-nya cukup tinggi, maka suku bunga yang dikenakan oleh moneylenders akan naik secara signifikan.
Ketergantungan rumah tangga terhadap kredit informal cenderung untuk turun setelah menjadi anggota dari microfinance formal. Bukti ini konsisten dengan model di mana microfinance dapat menarik peminjam yang lebih baik dari moneylenders, serta fixed cost adalah suatu hal yang penting di dalam pemberian pinjaman informal. Perhatian tentang eksploitasi moneylenders dan tingkat bunga yang sangat tinggi telah memotivasi banyak pemerintah untuk ikut campur tangan di pasar kredit pedesaaan di banyak negara. „A moneylenders in Venice : Costantino Bagdano „da Patrasso‟, c. 1800-44‟. Penelitian ini meneliti tentang operasi bisnis Constantino Bagdano, moneylenders Yunani yang aktif di Venice. Constantino Bagdano menawarkan kredit dengan suku bunga yang „adil‟, dan dengan syarat yang kompetitif, serta menggabungkan profit dengan kepentingan pribadi secara jelas. Suku bunga yang dikenakan adalah 4% - 6%, sementara pada saat itu suku bunga lembaga formal bisa mencapai 6%. Jaminan yang diminta berupa tanah dan perhiasan, dia juga bergantung pada jaminan implisit dari anggota keluarga yang berhubungan antara satu sama lainnya dengan ikatan kepercayaan (trust). Constantino Bogdano bertindak sebagai fasilitator yang menyediakan kas di lingkungan yang kekurangan dana atau modal, dan menigkatkan sirkulasi jumlah kredit di lingkungannya. Beberapa nasabahnya mendapatkan kredit dari Constantino Bogdano yang digunakan untuk transaksi bisnis, yang lain untuk mempertahankan standar gaya hidup mereka atau bahkan untuk mencapai tingkat konsumsi yang lebih tinggi atau untuk membeli properti baru. Bukti menunjukkan bahwa mereka dapat meningkatkan posisi sosial mereka dalam jangka panjang dengan memutar dana dengan cara meminta suntikan dana sementara dari Constantino Bogdano. Constantino Bogdano mempertahankan spesialisasi bisnis tradisional komersil jangka pendek dengan kredit perumahan bunga riil. Ia menyimpan bukti-bukti transaksinya, berinvestasi dalam produk baru – seperti saham perusahaan – dan berpartisipasi dalam kemitraan formal. Dia tidak menuntut klien atau nasabah-nasabah yang tudak dapat membayar atau beresiko. Inti dari operasinya terletak pada hubungan kepercayaan. Dia percaya pada jaringan kolaborasi bisnis dan kliennya, serta sebaliknya mereka juga mempercayainya. Afghanistan Public Policy Research Organization, “A Critical Assessment of Microfinance” meneliti tentang microfinance di Afghanistan. Khususnya tentang microfinance informal yang bisa bertumbuh pesat dan dapat bersaing dengan microfinance formal. Jasa keuangan informal yang banyak ditemukan dan menyita perhatian adalah sistem „hawala‟ yang dapat ditemui di komunitas-komunitas di Afghanistan. Pedagang-pedagang ini, yang biasa disebut „hawaladars‟ yang menyediakan jasa finansial pada masyarakat serta transfer dana, yang membuat mereka banyak diminati. Mereka juga menyediakan jasa fasilitas pengambilan dana, untuk mereka yang menginginkan untuk menabung, lembaga keuangan mikro untuk wirausaha informal, perdagangan barter dan jasa keuangan untuk pengecer atau grosir, bahkan hingga jasa penukaran mata uang asing untuk bisnis internasional dan transaksi pribadi. Banyak hawaladars yang tidak mengenakan biaya untuk pinjaman atau suku bunga karena mereka menganut ajaran Islam yang melarang untuk mengenakan bunga.
Hasil penelitiannya adalah bahwa microfinance di Afghanistan yang terus berkembang dan microfinance informal dapat dijadikan contoh bagi microfinance formal, sehingga masyarakat dapat mendapatkan keuntungan dari kredit yang ditawarkan serta jasa-jasa lainnya. „Informal Finance & The Design of Microfinance‟ oleh Mark Schreiner, menemukan adanya 6 kebijakan dasar yang dapat dijadikan contoh oleh lembaga keuangan formal dari lembaga keuangan informal – Asosiasi perputaran tabungan dan kredit, money-guard, toko persewaan dan pembelian, moneylenders, pegadaian, trade finance, check-cashing outlet, dan pinjaman dari teman dan keluarga – antara lain : a. b. c. d. e.
Pemangkasan biaya transaksi, Penyediaan tidak hanya pinjaman, tetapi juga tabungan dan asuransi implisit, Layanan yang sensitif terhadap kendala yang dihadapu oleh perempuan, Penggantian agunan fisik dengan kepercayaan, dan Penerapan kontrak sosial dan/atau kontrak yang sifatnya dapat dijalankan sendiri.
Hal-hal tersebut dapat memberikan beberapa ide untuk pemerintah tentang lembaga keuangan informal, sehingga mereka seharusnya tidak membatasi suku bunga, tidak melarang adanya lembaga keuangan informal, mengizinkan masyarakat untuk membentuk kelompokkelompok kerjasamanya (joint-liability grooups), membiarkan petugas kredit menilai resiko calon nasabah atau nasabah, menggunakan agunan yang mudah untuk ditarik kembali, langsung pergi ke tempat-tempat orang yang membutuhkan supaya dapat mengerti kenyataan di lapangan, dan menyediakan layanan deposito. Saran kebijakan pada pemerintah atau pembuat kebijakan tidak hanya harus menginstruksikan organisasi keuangan mikro untuk meniru keuangan formal, tetapi juga tidak harus untuk tidak melakukannya. „Business Logistics of Informal Lending‟, oleh Antoinette dan Rohit Mukkawar. Penelitian yang dilakukan di India ini mencari tahu tentang moneylenders, bagaimana organisasi mereka, bagaimana mereka melakukan bisnisnya, dan efek dari perubahan peraturan di lingkungan sekitar mereka. Ditemukan bahwa moneylenders sendiri mengalamu kesulitankesulitan khususnya untuk mengembangkan usaha mereka. Mereka meminta nasabah atau calon nasabah untuk menggunakan aset yang lebih likuid seperti perhiasan emas atau perak daripada tanah atau rumah sebagai jaminan. Ini mengakibatkan ketersediaan kredit membatasi peminjam-peminjam miskin atau petani. Keputusan-keputusan penting yang diambil mengenai usaha mereka pun diambil oleh pemimpin dari moneylenders yang memiliki pekerja-pekerja dibawah mereka karena pekerja itu hanya berperan pendukung usaha mereka. Ada batasan-batasan di dalam transaksi yang dapat ditangani oleh moneylenders. Terlebih lagi, moneylenders menemui masalah dalam tingginya biaya modal, karena alasan-alasan seperti saat mereka menggunakan uang mereka sendiri untuk meminjami nasabah, kadangkala mereka meminjam dari teman atau keluarga. Moneylenders tidak menggunakan alat-alat tertentu untuk promosi untuk mendapatkan nasabah-nasabah baru dan untuk memperluas usaha mereka. Nasabah baru biasanya berasal dari mulut ke mulut. Dan tidak semua moneylenders bisa sukses. Ini dikarenakan adanya kemungkinan kegagalan yang tinggi dan ketidakmampuan untuk memastikan bahwa cicilan
dapat dibayar. Banyak moneylenders yang beralih menjadi moneylenders yang terdaftar secara legal atau mereka menghindari nasabah-nasabah beresiko. Birgitta Dian Saraswati dengan judul “Sumber Pembiayaan Pedagang Di Salatiga” mencoba untuk mencari tahu tentang sumber pembiayaan para pedagang, khususnya pedagang kecil yang ada di Salatiga.Hasil temuannya adalah bahwa para pedagang di pasar di Salatiga mayoritas meminjam dari rentenir, karena kemudahan dalam meminjam dibandingkan jika meminjam ke lembaga keuangan formal. Sehingga, dari penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa microfinance, khususnya kredit mikro adalah cara bagi pedagang dan pengusaha kecil supaya dapat menopang dan menopang usaha sehingga dapat membantu perekonomian mereka. Peranannya juga tidak bisa lepas dari perekonomian, baik dari dulu hingga sekarang. Lembaga keuangan formal seharusnya dapat mencontoh mereka dalam penyediaan modalnya sendiri serta dari cara dan syarat penyediaan modal kepada nasabah ataupun calon nasabah. Dari penelitian tersebut, moneylenders di Jerman dapat dikurangi jumlahnya karena adanya hubungan perbankan-rumahan yang awet, peraturan legal, dan dukungan untuk microfinance. Sedangkan di India, moneylenders dapat bertahan karena mereka dibutuhkan dan karena kelangkaan kredit di India, serta moneylenders yang sebagian membentuk grup atau organisasi. Sedangkan moneylenders di Afghanistan yang dapat bertumbuh dan lebih diminati oleh masyarakat Afghanistan karena jasa-jasa yang mereka berikan, yang kadang kala tidak memerlukan biaya tambahan. Ini membuktikan bahwa moneylenders ada atau dapat bertahan karena adanya kesempatan karena sulitnya masyarakat mendapatkan kredit, serta ketiadaan peraturan legal yang mengatur tentang penyedia jasa modal informal serta peraturan yang belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat. Moneylenders di Jerman tidak dapat bertahan dengan baik karena adanya dukungan dari pemerintah dalam mendukung microfinance di Jerman. Dengan bertambahnya moneylenders, maka tentunya ketersediaan kredit di masyarakat bisa bertambah. Namun, penghasilan masyarakat untuk konsumsi akan berkurang, sebaliknya jika moneylenders berkurang maka masyarakat akan beralih ke LKM formal, atau ke LKM lain yang menyediakan kredit mikro dengan persyaratan yang tidak rumit dan mudah seperti yang digunakan oleh moneylenders.