II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi ergonomi Kata ergonomi berasal dari bahasa Yunani: ergo (kerja) dan nomos (peraturan, hukum). Jadi ergonomi adalah penerapan ilmu-ilmu biologis tentang manusia bersama-sama dengan ilmu teknik dan teknologi untuk mencapai penyesuaian satu sama lain secara optimal antara manusia dengan lingkungan kerjanya, yang manfaatnya diukur dengan efisiensi dan kesejahteraan kerja (Zander, 1972). Secara umum, terdapat beberapa pengertian ergonomi, antara lain: 1. Ergonomi adalah aplikasi dari informasi ilmiah yang menitikberatkan pada hubungan manusia terhadap disain suatu alat, sistem, dan lingkungan untuk digunakan oleh manusia. Ergonomi adalah ilmu yang menyesuaikan antara pekerjaan dengan pekerja dan produk dengan penggunanya (Pheasant, 1991). 2. Ergonomi adalah cara memandang dunia, berpikir tentang manusia, dan bagaimana interaksinya dengan seluruh aspek dalam lingkungannya, perelengkapannya dan situasi kerjanya (Oborne, 1995). 3. American Industrial Hygiene Association mendefinisikan ergonomi sebagai multidisiplin ilmu yang mengaplikasikan prinsip-prinsip fisika dan psikologi terhadap kapabilitas manusia untuk menciptakan atau memodifikasi pekerjaan, peralatan, produk, dan tempat kerja (Di Nardi, 1997). 4. Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari interaksi manusia, mesin, dan lingkungan yang bertujuan untuk menyesuaikan pekerjaan dengan manusia (Bridger, 1995). Pada berbagai negara digunakan istilah yang berbeda-beda, seperti Human Engineering, Human Factor Engineering di Amerika, Arbeitswissenchaft di Jerman dan Bioteknologi di negara-negara Skandinavia. Menurut Bridger (1995) terdapat perbedaan mendasar antara ergonomi dan human factor, yaitu ergonomi lebih menekankan kepada faktor manusia sebagai sistem biologis, sedangkan human factor lebih menekankan kepada aspek psikologis (psikologi eksperimental terapan, dan psikologi teknik) dan menekankan kepada integrasi pertimbangan
3
faktor manusia di dalam total proses disain. Walaupun demikian, human factor dan ergonomi mempunyai banyak persamaan dan tetap diasumsikan sama. Kerja manusia merupakan sebagian dari aktivitas dalam kehidupannya. Moens (1978) membagi kapasitas kerja manusia sebagai berikut: 1. Kapasitas perseptif, yaitu kemampuan manusia untuk mengumpulkan informasi 2. Kapasitas mental, yaitu kemampuan manusia untuk mengolah informasi menjadi keputusan 3. Kapasitas fisik, yaitu tenaga dan ketahanan fisik manusia dalam melakukan tugas-tugas fisik. Dalam suatu kerja fisik, selain koordinasi yang baik dari organ-organ penting dalam tubuh, faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas kerja tersebut dapat dijelaskan dalam Gambar 1. Yang perlu diperhatikan dalam rangka mencapai kondisi yang optimal, dan efisiensi serta kesejahteraan yang tinggi dinyatakan sebagai norma-norma kerja (Raharjani, 1978), dimana beberapa diantaranya mencakup : 1. Beban kerja fisik yang diperkenankan 2. Sikap tubuh dalam bekerja 3. Macam kegiatan fisik serta masalah umum lainya. Sedangkan menurut Suma’mur (1980), agar seorang tenaga kerja dalam keserasian sebaik-baiknya, yang berarti dapat terjamin keadaan kesehatan dan produktivitas kerjanya setinggi-tingginya, maka perlu ada keseimbangan yang menguntungkan dari beban kerja, beban tambahan akibat dari lingkungan kerja, dan kapasitas kerja.
4
Faktor Somatik Jenis kelamin
Latihan
Faktor psikis
adaptasi
Sikap
dimensi tubuh
motivasi
umur kesehatan Fungsi metabolisme 1. Bahan bakar a. Pemasukan Cara kerja Intensitas lama kerja ritme
b. Penyimpanan 2. Konsumsi oksigen a. Saluran pernapasan
teknik
b. Pengeluaran dari
posisi
Lingkungan ketinggian kemiringan kelembaban kebisingan
jantung (volume
polusi
denyutan dan
kondisi tanah
denyut jantung) c. Kadar oksigen
Pembentukan energi yang dibutuhkan
Kapasitas fisik
Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas kerja otot (Astand dan Rodahl, 1970).
5
B. Ruang Lingkup Ergonomi Ergonomi merupakan multidisiplin ilmu yang ruang lingkupnya meliputi fisiologi, psikologi, anatomi, engineering, disain, dan manajemen. Selain itu, ergonomi juga merupakan perpaduan beberapa bidang ilmu, yaitu: 1. Ilmu faal, anatomi, dan kedokteran Ilmu faal dan anatomi memberikan gambaran bentuk tubuh manusia, kemampuan tubuh/anggota gerak untuk mengangkat atau ketahanan terhadap suatu gaya yang diterimanya, satuan ukuran besaran dan panjangnya suatu anggota tubuh. 2. Psikologi faali Psikologi faali memberikan gambaran terhadap fungsi otak dan sistem persyarafan. Sedangkan psikologi eksperimental mencoba untuk memahami cara bagaimana mengambil sikap, memahami, mempelajari, mengingat serta mengendalikan proses motorik. 3. Ilmu fisika dan teknik Ilmu fisika dan teknik memberikan informasi yang sama untuk mesin dan lingkungan dimana pekerja terlibat. Sehingga seorang ahli ergonomi mendapatkan
informasi
yang
terintegrasi
untuk
memaksimalkan
keselamatan pekerja, efisiensi, dan reliabilitas. Kemampuan untuk membuat tugas lebih mudah dipelajari, dilakukan dan dapat
meningkatkan
kenyamanan dan kepuasan (Oborne, 1995). C. Tujuan Penerapan dan Sasaran Ergonomi Ditinjau dari segi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), maka dengan diterapkannya ergonomi diharapkan risiko terjadinya kecelakaan kerja dapat berkurang dan insiden berbagai penyakit akibat kerja menurun. Selain itu, diharapkan juga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari suatu pekerjaan seperti peningkatan kemudahan penggunaan sistem, penurunan kesalahan dan peningkatan produktivitas. Dari segi reliabilitas dan kualitas produksi, maka penerapan ergonomi diharapkan dapat mempertahankan kualitas produk. Sedangkan dari segi psikologi, ergonomi diharapkan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan
6
pengembangan pribadi. Lebih konkritnya, ergonomi dapat meningkatkan kenyamanan, peningkatan keamanan, penurunan kelelahan dan stres kerja, serta kesempatan untuk pengembangan diri (Sulistomo, 2002). D. Mekanisme Kerja Otot Semua perilaku manusia dimediasi oleh aktivitas otot. Otot rangka menyusun sebesar 40-50% berat tubuh laki-laki dewasa dan 25-35% pada wanita dewasa. Otot bereaksi secara aktif (kontraksi) dan pasif (istirahat). Otot yang berkontraksi ditandai dengan pnegerutan otot hingga membuat panjang otot menjadi setengahnya dari keadaan semula (Suma’mur, 1989). Saat kontraksi, otot mendapatkan tenaga dari proses kimiawi yang terjadi di dalam otot. Tenaga yang dibebaskan dari reaksi kimia mengubah sifat-sifat molekul protein serat-serat otot sebagai tenaga yang tepat adalah persenyawaan fosfat yang dengan proses kimiawi diubah dari keadaan berenergi tinggi menjadi keadaan energi rendah, yaitu dengan ATP (Adenosin Tri Phosphat) menjadi ADP (Adenosin Di Phosphat) dengan fosfokreatin menjadi asam fosfat dan kreatin (Suma’mur, 1989). Proses kimiawi yang membutuhkan tenaga itu mengubah glukosa menjadi asam laktat melalui berbagai tahap peristiwa, selanjutnya 80% asam laktat diubah menjadi air dan karbon dioksida. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa oksigen diperlukan bagi peruntukkan dan pembentukan persenyawaan foafat energi tinggi. Kerja otot dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Kerja otot statis Kerja otot ini terjadi di mana otot akan tetap terus mengencang untuk beberapa lama, sehingga aliran darah terdesak karena naiknya tekanan di dalam otak, sehingga jumlah darah yang mengalir ke daerah tersebut menjadi berkurang. Selain itu, terjadi penumpukan asam laktat (produk sisa) di otot, sehingga lama kelamaan akan menimbulkan rasa sakit, lelah, dan nyeri pada otot. Bekerja dengan otot statis tidak menguntungkan, karena akan mempercepat timbulnya lelah dan nyeri. Contoh kerja otot statis adalah sikap tangan yang menjinjing beban.
7
2. Kerja otot dinamis Kerja otot dinamis adalah kerja yang melibatkan otot dan terjadi kerutan dan pengenduran otot secara silih berganti. Pada saat kerja dinamis, otot akan menggunakan glukosa sebagai sumber energi yang kemudian terbentuk asam laktat, dan selanjutnya terjadi pengenduran otot dengan asam laktat yang bereaksi dengan oksigen membentuk glukosa kembali. Kemudian darah menghilangkan metabolit yang ada sehingga tidak terjadi penumpukan asam laktat pada otot dan tidak cepat tejadi lelah dan nyeri. E. Postur Kerja Postur tubuh adalah posisi relatif bagian tubuh tertentu. Postur yang dilakukan oleh seseorang merupakan adaptasi dimensi tubuh orang tersebut dan dimensi ukuran peralatan. Lamanya seseorang mempertahankan postur tertentu tergantung dari jumlah dan sifat alami kekuatan antara orang dan lingkungan kerja (Pheasant, 1986). Dalam melakukan pekerjaan, seseorang harus menjaga sikap yang ergonomis, yaitu sikap yang seimbang, sehingga dapat dicapai suatu efisiensi dan produktivitas kerja yang optimal dengan tetap memperhatikan rasa nyaman dalam bekerja. Dalam bekerja perlu diperhatikan stabilitas yang bergantung pada luas dasar penyangga lantai, dan tinggi dari titik gaya berat. Terdapat dua jenis keseimbangan yang mempengaruhi posisi tubuh dalam bekerja, yaitu keseimbangan statis dan keseimbangan dinamik. Keseimbangan statis adalah keseimbangan yang dilakukan pada kondisi postur stabil. Sedangkan Keseimbangan dinamik adalah keseimbangan yang dilakukan pada kondisi postur tidak stabil. Misalnya berpijak pada dasar yang sempit, sehingga diperlukan koreksi secara terus menerus. Hal-hal yang mempengaruhi postur tubuh antara lain adalah keterbatasan kemampuan
manusia
(human
diversity),
kelainan-kelainan
pada
sistem
musculoskeletal seperti peradangan sendi dan ketegangan otot, disain, dan posisi yang kaku atau salah.
8
Postur normal atau biasa disebut postur netral adalah postur dalam proses kerja yang sesuai dengan anatomi tubuh sehingga tidak terjadi pergeseran atau penekanan pada bagian tubuh seperti organ tubuh, syaraf, tendon otot, dan tulang. Dengan postur ini maka keadaan akan menjadi rileks dan tidak menyebabkan keluhan sistem muskuloskeletal atau sistem tubuh lainnya (Satrya, 2002). Postur
punggung
yang
merupakan
faktor
risiko
MSD
(Musculoskeletaldisorder) adalah membungkukkan badan, sehingga membentuk sudut 20 terhadap vertikal dan berputar dengan beban objek 9 kg atau lebih, durasi lebih dari 10 detik dan frekuensi lebih dari 2 kali per menit atau total lebih dari 4 jam sehari (Humantech, 1995). Postur bahu yang merupakan faktor risiko MSD adalah melakukan pekerjaan dengan lengan di atas bahu lebih dari 4 jam sehari (Departement of Labour and Industries, 2001), atau lengan atas membentuk sudut 45 ke arah samping/ke arah depan terhadap badan selama lebih dari 10 detik dengan frekuensi lebih dari 2 kali/menit dan beban lebih dari 4,5 kg (Humantech, 1995). Postur kerja yang baik menjamin kerja otot statis seminimum mungkin, sehingga memungkinkan seseorang melakukan pekerjaan dengan tangan seefektif mungkin tanpa memerlukan kerja otot tambahan (Satrya, 2002). Untuk mempertahankan postur tubuh tertentu, maka seseorang harus melakukan usaha melawan gaya yang berasal dari luar tubuh, yaitu dengan mengkontraksikan otot. Gaya tersebut dapat berupa gaya gravitasi bumi atau beban yang dipikul. Dalam hal ini terjadi interaksi antara gaya beban dan gaya yang berasal dari otot sehingga dicapai keadaan yang seimbang. Dalam ergonomi, sistem tubuh yang paling sering diperhitungkan dengan postur tubuh adalah sistem muskuloskeletal. Sesuai dengan tingkat keseringan timbulnya gangguan bagian tubuh yang sering menderita MSD, berturut-turut adalah bagian lumbal, leher, bahu, dan lengan bawah. Postur yang tidak seimbang dan berlangsung dalam waktu yang agak lama, maka dapat mengakibatkan ”stres” pada bagian tubuh tertentu, dan biasa disebut dengan postural stress. Hal ini dapat disebabkan akibat keterbatasan tubuh manusia untuk melawan beban dalam jangka waktu yang lama, di mana dapat terjadi berbagai akibat yang merugikan tubuh, seperti timbulnya fatigue otot
9
(kelelahan otot), tidak tenang, gelisah dan nyeri. Efek-efek yang timbul di atas biasanya dapat dihilangkan dengan beristirahat, yang bertujuan agar tercapai pemulihan (Satrya, 2002). F. MSD (Musculoskeletal Disorders) Istilah
MSD
(Musculoskeletal
Disorders)
pada
beberapa
negara
mempunyai sebutan yang berbeda, misalnya di Amerika Serikat istilah ini dikenal dengan nama CTD (Cumulative Trauma Disorder), di Inggris dan Australia disebut dengan nama RSI (Repetitive Strain Injury), sedangkan di Jepang dan Skandinavia lebih dikenal dengan sebutan OCD (Occupational Cervicobrachial Disorders). Istilah lain yang berbeda adalah Overuse Syndrome (Pheasant, 1991). MSD merupakan salah satu penyakit yang berkaitan dengan jaringan otot tendon, ligamen, kartilago, persendian, sistem syaraf, struktur tulang, dan pembuluh darah. Bagian tubuh yang menjadi fokus perhatian MSD adalah leher, bahu, lengan bawah, lengan, pergelangan tangan dan kaki. MSD pada awalnya menyebabkan sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar, gangguan tidur, dan rasa terbakar (Humantech, 1995). Pada akhirnya mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pergerakan dan koordinasi gerakan anggota tubuh atau ekstremitas. Sehingga dapat dilihat bahwa MSD akan mengakibatkan efisiensi kerja dan produktivitas kerja menurun. MSD bukanlah diagnosis klinis, akan tetapi merupakan label untuk persepsi penyakit kronis yang terjadi akibat akumulasi faktor-faktor risiko karena MSD adalah salah satu penyakit multifaktorial. Faktor penyebab terjadinya MSD antara lain adalah: 1. Faktor pekerjaan Faktor pekerjaan antara lain adalah gerakan repetitif, postur kerja janggal, statis dan penggunaan tenaga yang besar (Bernard, 1997; Pheasant, 1991; Di Nardi, 1997; Riihmaki, 1998). Menurut Bernard (1997), postur menunjukkan bukti yang kuat sebagai faktor yang berkontribusi terhadap MSD dan menimbulkan terjadinya gangguan pada leher, punggung dan bahu. Gerakan pengulangan (repetitif) menjadi faktor risiko MSD karena pergerakan pengulangan dapat meningkatkan fase kontraksi dan sedikit
10
relaksasi. Tubuh yang mengalami gerakan pengulangan berarti terjadi akumulasi trauma mekanik yang akan mengakibatkan meningkatnya risiko MSD. Gerakan pengulangan tidak dapat dibedakan dengan kerja statis dalam hal pembentukan dan pertahanan postur tubuh dalam jangka waktu tertentu. Perubahan patologis yang terjadi pada gerakan pengulangan juga terjadi pada kerja statis. Penggunaan tenaga yang besar dan terus-menerus juga menjadi faktor risiko MSD. 2. Faktor perorangan/personal Faktor perorangan antara lain adalah umur, jenis kelamin, kekuatan otot, dll. (Pheasant, 1991). Umur berkaitan dengan perubahan degeneratif fungsi fisiologi tubuh. Pertambahan umur berarti terjadi perubahan pada jaringan tubuh dan tubuh menjadi semakin rentan, sehingga seiring dengan bertambahnya umur, maka akan meningkatkan risiko MSD (Riihmaki, 1998). Akan tetapi, menurut Guo (2004) hubungan antara umur dengan risiko MSD tidak selalu linear. 3. Faktor lingkungan Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian MSD yaitu suhu dingin, vibrasi (Riihmaki, 1998), dan tingkat luminasi (Bridger, 1995). 4. Faktor psikososial Faktor psikososial yaitu kepuasan kerja, stres mental, dan organisasi kerja (shift kerja, waktu istirahat, dll (Di Nardi, 1997). G. Keluhan MSD (Symptom) Gejala MSD biasanya disertai dengan keluhan yang sifatnya subjektif sehingga sulit untuk menentukan derajat keparahan penyakit tersebut. Menurut Humantech (1995), terdapat beberapa tanda awal yang menunjukkan terjadinya masalah terhadap muskuloskeletal, yaitu bengkak (swelling), gemetar (numbness), kesemutan (tingling), rasa tidak nyaman (discomfort), rasa terbakar (burning sensation), iritasi, insomnia dan rasa kaku. Walaupun derajat keparahan sulit untuk ditentukan, menurut Kroemer seperti yang disadur oleh Oborne (1995) mengungkapkan
bahwa
symptom/keluhan
yang
menggambarkan
tingkat
keparahan penyakit MSD tersebut, yaitu:
11
1. Tahap pertama Nyeri dan kelelahan pada saat bekerja, tetapi setelah beristirahat yang cukup tubuh akan pulih kembali. Tidak mengganggu kapasitas kerja. 2. Tahap ke-2 Symptom rasa nyeri tetap adas etelah lewat waktu semalam/istirahat, timbul gangguan tidur dan sedikit mengurangi performansi kerja. 3. Tahap ke-3 Rasa nyeri tetap ada walaupun telah beristirahat, nyeri dirasakan saat bekerja, saat melakukan gerakan berulang, tidur menjadi terganggu dan kesulitan dalam menjalankan pekerjaan yang akhirnya mengakibatkan terjadinya inkapasitas. H. Dampak MSD Pheasant (1991) menyatakan bahwa terjadi peningkatan turn over pada para pekerja, yaitu sebesar 25% pada pekerja produksi, 30% pada pekerja bagian assembly. Dampak yang diakibatkan oleh MSD pada aspek ekonomi perusahaan, yaitu : 1. Pada aspek produksi, yaitu berkurangnya output, kerusakan materi, produk yang akhirnya menyebabkan tidak terpenuhinya deadline produksi, pelayanan yang tidak memuaskan, dll. 2. Biaya yang timbul akibat absensi pekerja yang akan menyebabkan penurunan keuntungan, biaya untuk melatih karyawan yang menggantikan karyawan yang sakit, biaya untuk menyewa jasa konsultasi/agensi. 3. Biaya penggantian karyawan (turn over) untuk rekruitmen dan pelatihan. 4. Biaya asuransi. 5. Biaya lainnya (opportunity cost).
12
I. K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) Kesehatan kerja merupakan suatu kondisi yang bebas dari gangguan secara fisik dan psikis yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Risiko kesehatan dapat terjadi karena adanya faktor-faktor dalam lingkungan kerja yang melebihi periode waktu yang ditentukan dan lingkungan yang menimbulkan stres atau gangguan fisik. Sedangkan keselamatan kerja merupakan kondisi yang aman atau selamat dari penderitaan dan kerusakan atau kerugian di tempat kerja berupa penggunaan mesin, peralatan, bahan-bahan dan proses pengolahan, lantai tempat bekerja dan lingkungan kerja, serta metode kerja. Risiko keselamatan dapat terjadi karena aspek-aspek dari lingkungan kerja yang dapat menyebabkan kebakaran, sengatan aliran listrik, terpotong, luka, memar, keseleo, patah tulang, serta kerusakan anggota tubuh, penglihatan dan pendengaran (Megginson dalam Mangkunegara, 2000). Penerapan program kesehatan dan keselamatan kerja bertujuan untuk mengendalikan risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja untuk mengendalikan risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja untuk menciptakan kerja yang aman, efisien dan efektif. Selain itu juga untuk mengendalikan risiko kerugian baik korban manusia, kerusakan aset, terhentinya produksi dan rusaknya lingkungan alam. Apabila risiko-risiko yang menghambat proses produksi, termasuk kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dikendalikan, maka akan dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan seluruh sistem dalam mencapai kesuksesan secara menyeluruh baik dari segi kebijakan, prosedur, proses dan peraturan-peraturan (Silalahi dan Silalahi, 1995). Ergonomi dan Keselamatan Kerja merupakan dua kajian yang tidak dapat dipisahkan, bahkan mengarah kepada tujuan yang sama, yakni untuk mendapatkan sistem kerja yang ENASE (Efektif, Nyaman, Aman, Sehat dan Efisien). Dalam berbagai terminologi, K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) hanya dapat diselenggarakan dengan memperhatikan dan membereskan aspek-aspek ergonomi dari pekerjaan. Mc. Cormick & Sanders (1992) menuliskan kajian tentang human error, kcelakaandan keselamatan kerja sebagai bagian dari aplikasi keilmuan human factor. Kajian ergonomi yang membahas manusia dalam bekerja, salah satunya adalah untuk mendapatkan suatu rancangan yang efisien (Bridger, 1995).
13
Dalam kajian kecelakaan kerja, faktor manusia merupakan salah satu faktor yang berkontribusi mengakibatkan kecelakaan kerja secara langsung atau tidak langsung. Permasalahan yang berkaitan dengan antrophometri, psikologi, fisiologi, biomekanika atau bahkan postur kerja sangat berkaitan dengan kecelakaan kerja (ILO-Encyclopedia of OH&S, 1998).
14