2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Efisiensi Arti efisiensi menurut Antoni K. Muda (2003), efisiensi adalah biayabiaya input untuk satu unit output yang dihasilkan. Menurut Taswa dan Ahmadi 2007), efisiensi dengan lambang ή adalah suatu ukuran yang digunakan pada proses transfer energi. Efisiensi adalah perbandingan antara energi yang berguna dengan energi yang masuk ke dalam sistem atau mesin. Dengan kata lain efisiensi adalah sama dengan daya keluaran yang berguna dibagi dengan daya yang masuk. 2.2 Bahan Insulasi Sifat-sifat yang diperlukan oleh insulasi agar berfungsi dengan baik dan aman, dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1 Beberapa sifat yang diinginkan dimiliki oleh insulasi (Ilyas 1992) Sifat a. Konduktivitas termal b. Penyerapan uap air, permeabilitas terhadap air c. Pemindahan uap air d. Ketahanan terhadap api e. Nilai keselamatan f. Sifat-sifat mekanik g. Ketahanan terhadap penyebab kebusukan, kerusakan, lapuk dan kapang. h. Densitas, kg/m3 i. Ketahanan terhadap bahan kimia j. Harga awal dan biaya pemasangan k. Kekuatan patah melintang (KN/m/mm) l. Batas suhu (tinggi-rendah) m.Sifat-sifat higienik, dan lain-lain
Kualitas Rendah Rendah Rendah, awet biarpun basah Tahan api Tinggi Baik
Rendah Tinggi Murah Tinggi Deretnya luas Tidak membahayakan kesehatan, tidak berbau mudah ditangani
Sifat-sifat yang diinginkan itu umumnya dimiliki oleh polyurethane dan polystyrene; dengan tambahan catatan bahwa polyurethane tahan akan bahan kimia, pelumas dan pelarut; lazimnya dapat terbakar, tetapi dapat dibuat tahan api; dapat dipasok
dalam bentuk panel, dibentuk di tempat atau disemprotkan.
Sedangkan Polystyrene tahan asam encer dan alkali pekat tetapi tidak tahan terhadap pelumas, bensin, hidrokarbon diklorinasi dan alifatik, aromatik, terbakar dengan lambat, bersih mudah dikeringkan, tahan lama. Dengan memperhatikan sifat dan ciri di atas, perlu pula dipertimbangkan beberapa faktor dalam memilih
13
bahan insulasi, antara lain : (1) Ketepatan dan kecocokan sesuai dengan fungsi insulasi pada ruangan yang direfrigrasi, untuk lantai, dinding atau loteng dan lainlain ; untuk refrigasi di kapal atau untuk fasilitas di darat, (2) Harga awal dan biaya pemasangan, (3) Biaya pengoperasian refrigrasi, pemeliharaan, perbaikan, dan penyusutan, (5) Keadaan iklim, cuaca, suhu dan kelembaban, (4) Daya awet yang diinginkan, untuk bangunan permanen atau sementara, dan (6) Suhu dalam kamar yang direfrigasi (Ilyas 1992). Busa kaku Polyurethane (PUR) adalah rangkaian silang polymer yang cukup padat dengan susunan sel tertutup berupa gelembung dalam material, dengan dinding tidak terputus, sehingga ada gas terkurung di dalamnya. Gas tersebut adalah Clorofluoromethane di mana gas tersebut
memiliki sifat
konduktifitas termal lebih rendah dari udara. Dengan demikian bentuk sel tertutup akan mempunyai nilai konduktivitas termal lebih rendah secara signifikan dari pada busa dengan sel terbuka. Bagaimanapun juga, untuk mempertahankan konduktivitas termal yang rendah, gas dalam sel harus tidak mudah bocor, sebagai konsekuensinya insulasi busa yang kaku memiliki tidak kurang dari 90 % sel tertutup dan densitas di atas 30 kg/m3. Busa kaku adalah kombinasi dari polyol dan cairan pengembang ditambah katalis dan Polyisocyanurate (PIR) (Dellino 1997). Shawyer dan Pizzali (2003), menjelaskan bahwa standar busa kaku polyurethane untuk keperluan ruang pendingin adalah 30 – 40 kg/m3. Pendapat relatif diberikan oleh Prager (1985), nilai medium densitas insulasi polyurethane hasil test adalah 1,7 pounds per cubic foot atau berada pada kisaran 1,5 – 2 PCF untuk busa kaku polyurethane yang dibentuk di tempat. Polyurethane adalah jenis polimer yang dapat digolongkan ke dalam polimer kondensasi sintetik. Cowd (1991), menjelaskan tentang pembentukan ikatan polyurethane, sebagai berikut : Gugus isosianat, -NCO, merupakan gugus yang sangat reaktif dan dapat membentuk urethane dengan alkohol : R.NCO+R’OH → R’NH.COO.R’ Jika diisosianat atau poliisosianat bereaksi dengan diol atau poliol (senyawa polihidrat), akan terjadi polyurethane :
14
OCN – R – NCO + HO – R’ – OH → OCN – R – NH – CO – O – R’ – OH ↓ reaksi dengan monomer-monomer berikutnya (- CO – NH – R – NH – CO – O – R’ – O - ) Karbondioksida ( dihasilkan dari reaksi diisosianat – air) dapat digunakan untuk membuat busa kaku, tetapi biasanya digunakan alkana berhalogen yang lembam dan bertitik didih rendah seperti CCIF. Cairan ini tidak terlibat dalam rekasi kimia, tetapi mudah menguap oleh panas polimerisasi, dan kemudian mengembangkan busa. 2.3 Beban Penerimaan Panas Menurut Ilyas (1988), pada pengesan seperti ikan, beban penerimaan panas total di dalam peti, paling sedikit berasal dari 3 sumber pengaliran panas, yakni dari : (1) beban penerimaan panas melalui sisi, tutup dan alas peti, (2) beban panas oleh pergantian udara dan (3) beban panas dari muatan dalam peti. Sedangkan pada kamar dingin dan palka besar ikan yang didinginkan dengan es, mungkin ada sumber panas ke empat yakni (4) beban panas lainnya. Beban panas total diperoleh dengan menjumlahkan ke tiga sumber panas tersebut. Secara konvensional, beban panas total itu masih ditambah sebesar 10 % sebagai faktor pengamanan. Beban penerimaan panas melalui seluruh sisi, tutup dan alas peti tergantung pada faktor-faktor yang tertera dalam rumus 1. Faktor jenis material dan susunan atau struktur lapisannya, perlu diperhitungkan agak teliti, teristimewa pada kamar dingin dan palka ikan. Pada peti ikan yang bervolume relatif kecil, maka jika struktur dinding terdiri dari beberapa lapis material yang berlainan jenisnya (jadi juga berlainan pula konduktifitas thermalnya, k), yang diperhitungkan cukup lapisan insulatornya saja (dapat berupa polystyrene, glass woll atau lainnya); lapisan lainnya boleh diabaikan, sebagai faktor keamanan (safety) tambahan (Ilyas 1988).
q=
kA(T1 − T2 ) x
15
di mana : q = laju pengaliran panas ke dalam peti (dingin) dalam kkal/jam, k = konduktivitas termal bahan, dalam kkal m/m2 jam derajat C, A = Luas permukaan sisi/tutup peti (pada ukuran luarnya) dalam m2. T 1 = suhu pada sisi panas (suhu udara luar), dalam oC, T 2 = suhu pada sisi dingin (suhu udara dalam peti), dalam oC, x = tebal , material yang menyelubungi wilayah dingin, dalam m. 2.4 Jumlah Kebutuhan Es Murniyati dan Sunarman, (2000), menjelaskan, bahwa hukum kekekalan energi berlaku dalam menghitung jumlah es yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah es yang dibutuhkan untuk mendinginkan ikan. Seandainya tidak ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi, maka panas yang perlu diambil dari ikan setara dengan panas yang diserap oleh es untuk meleleh. Jumlah panas yang terlibat di dalam proses pemanasan dan pendinginan dihitung dengan rumus sebagai berikut : Q = B x PJ x ∆t,
untuk proses yang melibatkan perubahan suhu.
Q = B x L, untuk proses pada suhu tetap (pelelehan, pembekuan. Di mana : Q = jumlah panas yang ditambahkan atau diambil (kkal) B = berat benda yang dipanaskan atau didinginkan (kg) PJ = panas jenis (kkal/kg/oC) • PJ ikan berkisar 0,6 – 0,8 kkal/kg/oC sesuai dengan kandungan airnya • Jika kandungan air tidak diketahui, sebaiknya diambil nilai tertinggi 0,8. ∆t = selisih antara suhu awal dan suhu akhir (oC). L = panas laten, yang diperlukan untuk membekukan/melelehkan (kkal/kg). * Panas laten pada pembekuan air atau pelelehan es 80 kkal/kg. 2.5 Panas Laten Es Panas laten atau panas tersembunyi adalah sejumlah panas yang diperlukan untuk mengubah keadaan padat menjadi cair. Panas laten fusi air = 80 kkal/kg, panas laten pelelehan es = 80 kkal/kg, 1 kg es bersuhu 0oC memerlukan 80 kkal untuk mengubah menjadi air bersuhu 0o C. Fakta ini menunjukkan bahwa besar sekali jumlah panas yang diperlukan untuk melelehkan es menjadi air. Inilah sebab utama mengapa es dipakai secara luas dalam usaha perikanan (Ilyas 1988). 2.6 Hubungan Densitas dengan Ketebalan Massa suatu benda adalah perkalian antara massa jenis benda (kg/m3, ton/m3) dengan volumenya (m3). Ketebalan dinding ruang untuk insulasi dengan
16
luasan tertentu akan menghasilkan volume dinding dengan besar tertentu. Berapa besar jumlah larutan bahan insulasi yang dituang ke dalamnya akan menentukan besar densitas atau kerapatan bahan insulasinya. Ukuran dinding dengan ketebalan yang sama, dinding dengan densitas yang lebih besar akan menghasilkan sifat isolator yang lebih baik. Hal ini berlaku sebaliknya. Dengan kata lain, untuk tujuan yang sama dinding insulasi dapat dibuat lebih tipis dengan meningkatkan nilai densitasnya. 2.6.1 Densitas insulasi polyurethane Terdapat beberapa bentuk insulasi polyurethane dengan variasi nilai densitas dan nilai konduktivitas termalnya. Spesifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai densitas dan konduktivitas termal insulasi polyurethane pada suhu 20 – 25 oC (Shawyer & Pizzali 2003) Type
Densitas (kg/m3)
Busa Lembaran kaku Lembaran kaku Lembaran Kaku Busa terbentuk di tempat
30 30 40 80 24 -40
konduktivitas termal (W m-1 oC) / (kcal h-1 m-1 o C-1) 0,026 / 0,0224 0,02 – 0,025 / 0,0172 – 0,0215 Rata-rata : 0,0225 / 0,0193 0,023 / 0,02 0,04 / 0,34 0,023 -0,026 / 0,0198 – 0,0224 Rata-rata : 0,0245 / 0,0211
Sumber : FAO, 1989 2.6.2 Ketebalan insulasi optimum Penentuan tebal maksimum insulasi dari palka ikan akan tergantung pada beberapa faktor, antara lain biaya insulasi (biaya bahan dan pemasangannya), biaya es (biaya tenaga dan peralatan sesuai persyaratan refrigerasi), biaya tahunan dari refrigerasi tergantung dari efisiensi insulasi, dan kondisi lokal (cara operasi kapal, jenis tangkapan, harga ikan, bunga pinjaman) (Shawyer & Pizzali 2003). Ketika kondisi lingkungan tempat beroperasi kapal yang jadi pertimbangan utama, maka ketebalan minimum harus ditentukan. Dalam praktek, harus diusahakan untuk mencapai nilai optimum antara faktor ketebalan ekonomis dengan biaya penggunaan es atau refrigerasi. Menurut Beverly (1996), tebal minimum dinding insulasi palka ikan berbahan busa polyurethane adalah 13 cm. Pada Gambar 5.
17
ditunjukkan nilai perbandingan ketebalan dari beberapa tipe insulasi untuk gudang dingin dan gudang beku yang beroperasi dilingkungan temperatur udara rata-rata 20 oC, 30 oC dan 40 oC.
Gambar 5 Hubungan anatara tipe insulasi untuk gudang dingin dan gudang beku terhadap ketebalan insulasi (Shawyer & Pizzali 2003) 2.7 Telaah Hasil Penelitian 2.7.1 Ukuran palka ikan dan jumlah larutan PUR Ukuran palka ikan pada kapal-kapal nelayan tradisional pada umumnya didasarkan pada pembagian ruang-ruang palka dalam jumlah tertentu. Pembagian tersebut tidak terikat pada suatu standart tertentu. Berdasarkan hasil study tentang pembuatan palka ikan berinsulasi Polyurethane di Kabupaten Batang (Setiyanto 2004), diperoleh data hasil pengukuran palka ikan (Tabel 3), sebagai berikut : Tabel 3 Data Hasil Pengukuran Palka Ikan Palka Ikan Ukuran Palka Panjang (m) Lebar (m) Tinggi (m) Tebal (m) Palka 1 2,75 1,47 1,98 0,2 Palka 2 2,78 1,50 1,98 0,22 Palka 3 2,77 1,49 1,95 0,23 Palka 4 2,72 1,50 1,90 0,2 Palka 5 2,35 1,58 1,75 0,2 Palka 6 2,75 1,47 1,98 0,2 Palka 7 2,78 1,50 1,98 0,2 Palka 8 2,77 1,49 1,95 0,23 Palka 9 2,72 1,50 1,90 0,2 Palka 10 2,35 1,58 1,75 0,2 Proses pembuatan insulasi polyurethane untuk tiap ruang palka membutuhkan larutan polyurethane sebanyak 21 liter tiap dindingnya. Apabila
18
berat jenis larutan polyurethane adalah 1,1 ton / m3, maka perbandingan rata-rata antara bahan polyurethane dengan volume ruang dinding palka yang dicor adalah 23,1 kg / 0,82 m3 atau 28,2 kg / m3. Nilai perbandingan ini berada di bawah nilai standar minimal ketentuan yang telah ditetapkan yaitu 30 kg / m3 (Dellino 1997). 2.7.2 Konduktivitas termal busa polyurethane Konduktifitas termal busa polyurethane (PU) pada tekanan gas antara 760 torr hingga 0,014 torr diteliti secara teoritis dan experimental. Enam ukuran sel yang berbeda mulai dari 150 hingga 350 µm dari insulasi polyurethane, digunakan sebagai sampel. Pendekatan difusi digunakan untuk memperkirakan radiasi konduktivitas termal. Hasil penelitian juga diperoleh untuk spectral extinction coefficient dengan menggunakan sebuah Fourier transform infrared spectrometer. Konduktivitas termal dari busa polyurethane
untuk ukuran sel berbeda pada
tekanan gas 760 torr, bervariasi antara 33,3 hingga 34,5 mW/m K dan penurunan bervariasi antara 6,82 – 9,15 mW/m K pada tekanan gas 0,014 torr ; konduktivitas termal efektif, berkurang dengan ukuran sel yang lebih kecil. Pada tekanan gas 0,014 torr, radiasi perpindahan panas tercatat mendekati 20 % dari total perpindahan panas yang melewati busa polyurethane, sementara konduksi pada zat padat tercatat sebagai sisanya, kurang lebih 80 %. Tabel 4 menunjukkan rangkuman data eksperimen untuk ke enam sampel pada temperatur rata-rata 286 K. Tabel 4 Rangkuman data-data eksperimen untuk ke enam sample pada temperature 286 K. Parameter /sampel
760 torr
0,014 torr
fx Ukuran sel (μm) σ e (l/m) k r (mW/mK) k e (mW/mK) k eff (k r + k e) k eff (pengukuran, mW/mK) k r (mW/mK) k e (mW/mK) k eff (k r + k e) k eff (pengukuran, mW/mK)
A
B
C
0,037 330 3703 1,91 32,4 34,3 34 1,91 7,04 8,95 8,7
0,041 341 3335 2,12 32,4 34,5 34,2 2,12 7,03 9,15 9,0
0,043 212 6992 1,01 32,5 33,5 33,4 1,01 6,33 7,35 7,2
19
Lanjutan Tabel 4 Parameter/ sampel fx Ukuran sel (μm) σ e (l/m) 760 torr k r (mW/mK) k e (mW/mK) k eff (k r + k e) k eff (pengukuran, mW/mK) k r (mW/mK) 0,014 torr k e (mW/mK) k eff (k r + k e) k eff (pengukuran, mW/mK)
D 0,042 147 8674 0,82 32,7 34,5 33,4 0,82 6,40 7,22 7,1
E 0,038 214 5828 1,22 32,9 34,1 33,9 1,22 6,76 7,97 7,8
F 0,029 157 8636 0,82 32,5 33,3 33,2 0,82 5,99 6,82 6,7
Sumber : Jhy-Wen Wu, Wen-Fa Sung, Hsin-Sen Chu 1998 2.7.3 Optimasi ketebalan insulasi (polystyrene) Di Negara Turki kehilangan panas pada bangunan/gedung merupakan salah satu sumber utama kehilangan energi di mana bangunan yang ada maupun gedung-gedung baru tidak atau sedikit sekali menggunakan insulasi. Oleh karena itu, penghematan energi dapat diperoleh dengan menggunakan insulasi dengan ketebalan tertentu pada bangunan. Ditetapkan variasi iklim secara signifikan pada tempat berbeda di Turki, 16 kota dari Zona empat iklim di Turki dipilih untuk analisis dan ketebalan insulasi optimum, penghematan energi dan perhitungan payback periods. Kebutuhan panas tahunan dari banguanan untuk zona iklim yang berbeda dapat diperoleh melalui rata-rata dari konsep heating degree-days. Optimasi didasarkan atas life-cycle cost analysis. Lima bahan bakar yang berbeda ; batu bara, gas alam, minyak, LPG dan listrik, serta penggunaan material insulasi polystyrene, dipertimbangkan. Hasil menunjukkan bahwa ketebalan optimum insulasi bervariasi antara 2 cm hingga 17 cm, penghematan energi antara 22% hingga 79% dan payback periods antara 1,3 hingga 4,5 tahun tergantung pada kota dan jenis bahan bakar (Bolattǜrk 2005). Dalam makalah ini ketebalan optimum dari insulasi jenis polystyrene dihitung berdasarkan rumus (Bolattǜrk 2005), berikut : xop
DD.C f .k .PW = 293,94 LHV .C1 .η s
1/ 2
− k .Rtw
di mana : x op = Ketebalan insulasi optimum (cm) DD = degree-days (oC-days)
20
= biaya bahan bakar ($/kg, $/m3,atau $/kWh, tergantung jenis bahan bakar) k = konduktivitas termal bahan (Wm-1K-1) PW = present worth LHV = lower heating value (J kg-1, J m-3, J kWh-1) C 1 = biaya material insulasi ($/m3) ηs = efisiensi dari sistem pemanasan R tw = total hambatan termal dari dinding (m2 K/W) Cf
Rumus di atas menjelaskan bahwa ketebalan insulasi optimum tergantung pada degree days, biaya bahan bakar, nilai present worth, bahan bakar, dan property berupa dinding dengan material insulasinya.
21