5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Kapal Perikanan Pada hakekatnya fungsi sebuah kapal ialah sebagai alat pengangkut di air dari suatu tempat ke tempat lain, baik pengangkutan barang, penumpang maupun hewan. Selain sebagai alat angkut, kapal juga dapat di gunakan untuk rekreasi, sebagai alat pertahanan dan keamanan, alat-alat survey atau laboratorium maupun sebagai kapal kerja (Mudjiono 1986). Ayodhyoa (1987) mengemukakan bahwa kapal ikan di Indonesia terdiri dari ukuran yang terkecil berupa sampan dan perahu nelayan dari kayu yang memakai dayung dan layar hingga kepada kapal-kapal ikan yang terbuat dari besi baja dengan ukuran lebih besar dari 100 GT dengan memakai tenaga penggerak mesin diesel. Karena itu dapat digambarkan betapa banyak jenis dan bentuk kapal ikan dalam lingkup mulai dari sampan, perahu layar hingga kapal-kapal besi baja. Selanjutnya Nomura dan Yamazaki (1977) mengemukakan bahwa persyaratan minimal untuk kapal ikan ketika melakukan operasi penangkapan: (1) Mempunyai struktur badan kapal; (2) Memiliki stabilitas yang tinggi; dan (3) Memiliki fasilitas untuk penyimpanan. Dengan demikian kapal ikan mempunyai keistimewaan pokok yang berbeda dengan jenis kapal lainnya (Nomura dan Yamazaki 1977) seperti: 1) Kecepatan kapal: Untuk mengejar dan menghadang gerombolan ikan yang sedang berruaya dibutuhkan kecepatan yang tinggi dari kapal ikan, agar kapal tidak tertinggal pada saat operasi penangkapan dan daerah yang dilalui oleh kapal lebih luas untuk mencari gerombolan ikan serta untuk membawa hasil tangkapan yang segar dalam waktu yang pendek ke pelabuhan perikanan. 2) Kemampuan olah gerak kapal: Kemampuan olah gerak yang baik pada saat pengoperasian alat tangkap, seperti kemampuan steerability, radius putaran (turning circle) yang kecil dan daya dorong mesin (propulsion engine) yang dapat dengan mudah untuk bergerak maju dan mundur.
6
3) Kelaiklautan: Laik berlayar dalam operasi penangkapan ikan dan cukup tahan untuk menerima terpaan angin, gelombang, memiliki stabilitas yang baik dan daya apung yang cukup, beberapa kriteria tersebut diperlukan untuk menjamin keselamatan dalam pelayaran pada kondisi palka kosong bahan bakar penuh dan palka penuh ikan dan bahan bakar yang relatif sedikit. 4) Luas area pelayaran: Sifat ikan yang dinamis mengakibatkan daerah pelayaran kapal ikan menjadi tidak dapat dipastikan, pergerakan ikan yang dipengaruhi faktor-faktor lingkungan mengakibatkan area pelayaran kapal ikan menjadi luas dan hingga saat ini belum dapat di prediksi dengan pasti keberadaan jenis ikan tertentu pada daerah tertentu. 5) Konstruksi kasko: Konstruksi kasko kapal harus kuat, karena dalam operasi penangkapan akan menghadapi kondisi alam yang berubah ubah, konstruksi kapal harus disiapkan untuk kondisi cuaca yang ekstrim dan tahan terhadap getaran yang disebabkan oleh kerja mesin. 6) Daya dorong mesin: Kemampuan daya dorong mesin yang cukup besar, dengan volume mesin yang relatif kecil, getaran mesin yang kecil untuk menjaga konstruksi agar tidak cepat rusak, dibutuhkan untuk mendukung kecepatan kapal yang efektif pada operasi penangkapan. 7) Fasilitas penyimpanan dan pengolahan ikan: Penyimpanan hasil tangkapan dalam ruang tertentu dengan pasilitas ruang pendingin, ruang pembekuan atau dengan es untuk menghindari kontaminasi dari luar, yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas/mutu ikan. Pengolahan ikan membutuhkan mesin–mesin untuk pengolahan (pengalengan, pengolahan tepung ikan). 8) Mesin–mesin penangkapan: Kapal-kapal ikan umumnya dilengkapi dengan mesin-mesin yang digunakan sebagai alat bantu penangkapan untuk kelancaran operasi penangkapan.
7
2.2
Kapal Purse Seine Barani (2005) mengemukakan bahwa hasil penelitian terhadap 13 jenis alat
tangkap menunjukkan bahwa tidak seluruh jenis alat tangkap memberikan kontribusi keuntungan secara merata. Pukat cincin adalah unit penangkapan yang memberikan keuntungan paling tinggi bagi nelayan di Sulawesi Selatan bagian selatan yang cenderung memiliki kesamaan demografis. Ayodhyoa dan Sondita (1996) menjelaskan bahwa kapal purse seine menangkap ikan-ikan pelagis yang bergerombol (schooling), perenang cepat (high speed) dan beruaya jauh (high migration), sehubungan dengan sifat ikan sasaran tangkap dan alat tangkap yang digunakan, maka dimensi utama kapal akan berpengaruh pada beberapa kebutuhan kapal purse seine, seperti: 1) Nilai B/D membesar mengakibatkan stabilitas kapal membaik, kondisi ini dibutuhkan karena gerakan kapal saat melingkari gerombolan ikan dan pengaruh terpusatnya beban, yaitu berat dan gaya-gaya yang bekerja dan berat seluruh ABK di salah satu sisi pada saat pengangkatan jaring. 2) Nilai L/B berpengaruh terhadap tahanan penggerak kapal, mengecilnya nilai ini akan berpengaruh buruk pada kecepatan kapal (speed). Kecepatan kapal yang tinggi sangat diperlukan pada kapal purse seine terutama saat kapal mengejar dan melingkari kelompok ikan. 3) Nilai L/D berpengaruh terhadap kekuatan memanjang kapal, membesarnya nilai ini akan mengakibatkan kekuatan memanjang kapal melemah. Fyson (1985) mengemukakan bahwa kapal purse seine diperuntukkan menangkap jenis kelompok ikan yang berenang bebas, hasil tangkapan umumnya dalam jumlah banyak, untuk itu kapal dirancang memilki kapasitas muat per unit panjang lebih tinggi dari kapal trawl dasar dan memiliki stabilitas lebih baik. Sistem pengoperasian alat tangkap purse seine adalah dengan menghadang gerombolan ikan yang sedang beruaya, selanjutnya melingkarkan alat tangkap terhadap gerombolan ikan sasaran tangkap, sehubungan dengan sifat operasi penangkapannya, perhitungan tenaga penggerak utama (main engine) diharapkan mampu untuk mencapai kecepatan melingkar (maneuverability) serta memiliki bentuk lambung yang dirancang khusus, agar kapal memiliki kecepatan yang
8
diharapkan dan penarikan alat tangkap lebih mudah dilakukan (lambung rendah) dan agar memiliki kemampuan olah gerak dan berputar yang baik (Fyson 1985).
Ö Ö Ö Ö Ö Ö Ö Ö Ö Gambar 2 Ilustrasi kemungkinan ikan yang meloloskan diri pada saat pelingkaran alat tangkap pukat cincin (Sumber : DKP Kabupaten Maluku, 2006)
Ö Ö Ö ÖÖ Ö ÖÖÖ Ö
Gambar 3 Ilustrasi kemungkinan ikan yang meloloskan diri pada saat penarikan tali kolor pada alat tangkap pukat cincin (Sumber : DKP Kabupaten Maluku, 2006)
Gambar 4 Posisi kapal dan bentuk purse seine pada saat akan hauling (Sumber : DKP Kabupaten Maluku, 2006)
9
Ayodhyoa dan Sondita (1996) mengemukakan bahwa kapal purse seine diharapkan memiliki lebar yang cukup besar dan freeboard yang kecil. Lebar kapal yang besar diperlukan untuk memberikan daerah kerja yang cukup luas di atas deck. Daerah kerja yang luas dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan saat penanganan hasil tangkapan dan penempatan alat tangkap di atas deck. Freeboard rendah diperlukan untuk mempermudah saat pengangkatan jaring dan hasil tangkapan, selain itu juga memperkecil kemungkinan terbaliknya kapal disebabkan terpusatnya gaya berat pada salah satu sisi kapal. Schmid (1960) mengemukakan bahwa untuk mendesain kapal purse seine haruslah mempertemukan kebutuhan – kebutuhan umum seperti : 1) Kapal dirancang dengan menggunakan tenaga kerja yang efisien sesuai dengan sistim operasi penangkapannya. 2) Kapal purse seine dirancang untuk penangkapan pada cuaca buruk maupun tenang siang dan malam. 3) Kapal dirancang dengan memperhatikan keamanan bagi nelayan yang melakukan penangkapan. 4) Setting dan hauling dapat dilakukan dengan waktu yang singkat dan dengan memperhatikan patahan alat tangkap. 5) Kapal purse seine harus efektif pada pengoperasian siang dan malam hari. 2.3
Hubungan Tingkah Laku Ikan dengan Alat Tangkap Purse Seine Baskoro dan Effendy (2005) mengemukakan bahwa jenis ikan yang
menjadi tujuan penangkapan dengan purse seine adalah ikan yang mempunyai tingkah laku hidup bergerombol di permukaan air, baik bergerombol dalam jenis dan ukuran yang sama ataupun bergerombol dalam jenis berbeda ukuran. Jenisjenis ikan yang hidup pada lapisan permukaan, yang mana pada lapisan permukaan itu adalah merupakan, merupakan lapisan perairan yang banyak menerima cahaya matahari, maka ikan-ikan yang biasa pada lapisan ini mempunyai daya, kemampuan dan kekuatan penglihatan yang sangat baik serta mempunyai indera pendengaran, indera penciuman dan peranan gurat sisi yang lebih sempurna. Penglihatan yang baik pada jenis ikan ini dikarenakan susunan anatomi matanya yang cukup sempurna yang pada retina matanya dilengkapi dengan sel
10
con, rod, tapeta lucida dan pigmen melamin serta mampu melangsungkan terjadinya retina movement. Adanya con menjamin bahwa radopsin yang ada disitu mampu membedakan warna-warna, sedangkan adanya ujung-ujung syaraf berbentuk rod, memungkinkan ikan-ikan pelagis mampu membedakan dan beradaptasi pada keadaan gelap dan terang dengan baik, dan juga dengan adanya tapeta lucida, yang biasa berperan sebagai reflektor serta adanya pigmen melamin yang membantu dan berperan melindungi mata dari terpaan cahaya yang terlalu kuat, sehingga ketajaman penglihatan akan dapat terus diusahakan dan diupayakan dengan maksimal. Retina movement atau pergerakan retina adalah pengaturan pada retina dengan pengertian bahwa apakah con yang ditonjolkan berperan atau rod yang harus lebih ditampilkan peranannya. Dengan demikian maka ikan-ikan permukaan selain mampu memperjelas pandangan yang ada disekitarnya, juga mampu mendeteksi hadirnya predator dan adanya mangsa yang mereka buru. Pada ikan permukaan gurat sisi berkembang dengan baik, hal ini menjadikan ikan permukaan mampu mempertahankan posisinya terhadap ikan-ikan lain pada kelompoknya yang ada disekitarnya, dan bersama-sama dengan indera pendengaran mampu mendeteksi adanya gelombang, getaran maupun tekanan yang berbeda dari biasanya dengan cepat, dengan demikian ikan permukaan dapat dengan segera bisa mendeteksi kehadiran predator maupun benda-benda asing lannya, termasuk alat tangkap yang berada dekat ataupun datang menghampiri. Pada
ikan
permukaan umumnya
mempunyai
tingkah
laku
untuk
berkelompok, hal ini karena adanya dorongan untuk dapat memperoleh kemudahan dalam melakukan ruaya ataupun pergerakan, kemudahan dalam menghindar atau menyelamatkan diri dari predator, kemudahan untuk mencari dan memperoleh makanan serta kemudahan dalam mencari habitat ataupun keadaan lingkungan yang lebih ideal. Pada umumnya ikan permukaan mempunyai kecepatan renang yang tinggi. Kemampuan tersebut diperlukan untuk bisa memburu mangsa, menghindar dan menyelamatkan diri dari predator, mencari lingkungan yang lainnya, serta diperlukan untuk melaukukan ruaya sehubungan dengan masa pemijahannya.
11
Pada umumnya ikan-ikan permukaan dalam membentuk gerombolan selalu berada pada formasi yang teratur dengan arah dan kecepatan renang yang seragam. Kecepatan renang ikan pada saat harus menyalamatkan diri, terkejut, takut, atau panik, umumnya ikan-ikan melakukan aktifitas ekstra luar biasa yang dikenal dengan lompatan renang atau burst speed. Lompatan renang demikian umumnya bertahan sepuluh kali panjang tubuhnya perdetik. Disamping mempunyai kecepatan renang secara mendatar atau horisontal, jenis-jenis ikan permukaan juga mempunyai kemampuan renang ke arah vertikal. Biasanya ikan permukaan jika terkurung seperti halnya dalam operasi penangkapan dengan purse seine maka cenderung akan meloloskan diri kearah yang lebih dalam. Jenis-jenis ikan yang termasuk ke dalam pelagic schooling antara lain adalah tuna, cakalang, tenggiri, tongkol, mackerel, herring, selengseng, sardin, tembang, lemuru, layang, selar, dan jenis ikan lain yang sejenis. Tingkah laku berkelompok atau bergerombol pada ikan-ikan tersebut diatas yang menjadi tujuan penangkapan dengan purse seine dapat memberikan manfaat yang baik, karena dengan begitu memungkinkan dapat menangkap dalam jumlah yang banyak. Akan tetapi juga akan menjadi suatu persoalan tersendiri, karena ikan yang bergerombol semacam itu jika salah satu ikan meloloskan diri, walaupun sebelumnya sudah terkurung dan kecil kemungkinannya untuk meloloskan diri, hal ini menjadikan kegagalan dalam operasi penangkapan dengan purse seine. Tingkah laku ikan dalam gerombolan yang sudah dikurung dengan alat tangkap purse seine, akan selalu meloloskan diri, baik kearah horisontal maupun kearah vertikal. Jika satu ekor saja meloloskan diri dari jaring maka semua anggota kelompok dapat meloloskan diri. Jika jumlah gerombolan itu cukup besar maka akan terpecah-pecah dalam sub-sub kelompok, dengan demikian jika sebagian sub kelompok tersebut dapat meloloskan diri, maka sebagian sub kelompok yang lain mungkin saja akan tetap terkurung oleh alat tangkap purse seine yang mengurungnya dan apabila peluang untuk melarikan diri ternyata sudah tertutup sama sekali, maka ikan tersebut akan terperangkap.
12
2.4
Dimensi Utama Kapal Menurut Dohri dan Soedjana (1983) dimensi utama kapal terdiri dari :
1) Panjang kapal (Length/L) Panjang kapal dapat dibedakan dalam 3 kategori yaitu LOA, LPP dan LWL. Panjang total atau LOA (Length Over All) adalah jarak horizontal kapal yang diukur mulai dari titik terdepan dari linggi haluan sampai dengan titik terbelakang dari buritan. Panjang total ini merupakan panjang yang terbesar dari sebuah kapal dan diukur sejajar dengan lunas kapal seperti ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5 Ukuran panjang total kapal (LOA) (Sumber : Dohri dan Soedjana, 1983 digambar ulang)
Jarak sepanjang garis tegak atau LPP/LBP (Length Perpendicular/Length Between Perpendicular) adalah jarak horizontal yang dihitung dari garis tegak haluan sampai dengan garis tegak buritan. Garis tegak haluan atau FP (Fore Perpendicular) ialah garis khayal yang terletak tegak lurus pada perpotongan antara Lwl dan badan kapal pada bagian haluan. Sedangkan yang dimaksud dengan garis tegak buritan atau AP (After Perpendicular) ialah sebuah garis khayal yang terletak pada badan kapal bagian buritan atau berada di belakang poros kemudi (bagi kapal yang memiliki poros kemudi) (Gambar 6).
13
Gambar 6 Ukuran panjang garis tegak (LBP) (Sumber : Dohri dan Soedjana, 1983 digambar ulang)
Panjang garis air atau LWL (Length of Water Line) adalah jarak horizontal pada kapal yang dihitung dari titik perpotongan antara garis air (water line) dengan linggi haluan sampai dengan titik perpotongan antara garis air dengan linggi buritan (Gambar 7).
Gambar 7 Panjang garis air (LWL) (Sumber : Dohri dan Soedjana, 1983 digambar ulang)
2) Lebar kapal (Breadth/B) Lebar kapal pada umumnya dibedakan menjadi 2 macam yaitu :
Lebar terbesar atau Bmax (Breadth maximum), adalah jarak horizontal pada lebar kapal yang terbesar, dihitung dari salah satu sisi terluar (sheer) yang satu ke sisi (sheer) lainnya yang berhadapan (Gambar 8).
Lebar dalam atau Bmoulded (Breadth moulded), adalah jarak horizontal pada lebar kapal yang terbesar, diukur dari bagian dalam kulit kapal yang satu ke bagian dalam kulit kapal lainnya yang berhadapan (Gambar 8).
14
Gambar 8 Lebar kapal (Sumber : Dohri dan Soedjana, 1983 digambar ulang)
3) Dalam kapal (Depth) Dalam suatu kapal dibedakan atas :
Dalam atau D (Depth), adalah jarak vertikal yang diukur dari dek terendah kapal sampai titik terendah badan kapal (Gambar 9).
Sarat kapal atau d (draft), adalah jarak vertikal yang diukur dari garis air (water line) tertinggi sampai dengan titik terendah badan kapal (Gambar 6).
Lambung bebas (freeboard), adalah jarak vertikal/tegak yang diukur dari garis air (water line) tertinggi sampai dengan sheer (Gambar 9).
Gambar 9 Dalam kapal (Sumber : Dohri dan Soedjana, 1983 digambar ulang)
Menurut Fyson (1985), dalam desain sebuah kapal karakteristik perbandingan dimensi-dimensi utama (L, B, D) merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Perbandingan tersebut meliputi :
15
1)
Perbandingan antara panjang dan lebar (L/B), merupakan faktor yang berpengaruh terhadap tahanan gerak dan kecepatan kapal;
2)
Perbandingan antara lebar dan dalam (B/D), merupakan faktor yang berpengaruh terhadap stabilitas; dan
3)
Perbandingan antara panjang dan dalam (L/D), merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kekuatan memanjang kapal. Nilai rasio dimensi sangat penting untuk menentukan penampilan dari
suatu kapal ikan. Menurut Iskandar (2007), dikatakan jika nilai L/B mengecil akan berpengaruh buruk terhadap kecepatan kapal, nilai L/D membesar akan mengakibatkan kekuatan memanjang kapal melemah, sedangkan nilai B/D membesar akan mengakibatkan stabilitas kapal meningkat akan tetapi propulsive ability akan memburuk. Iskandar dan Novita (2000) menyatakan, perbandingan beberapa nilai parameter badan kapal ikan Indonesia dengan kapal ikan Jepang, menunjukkan bahwa sebagian besar parameter kapal ikan Indonesia berada di luar nilai kisaran yang dimiliki kapal ikan Jepang. 2.5 Koefisien Balok (Coeffisien of block) Koefisien bentuk suatu kapal erat hubungannya dengan stabilitas kapal, menurut Fyson (1985), stabilitas kapal ikan didefinisikan sebagai kemampuan kapal tersebut untuk kembali ke posisi semula setelah mengalami momen temporal. Momen ini dapat disebabkan oleh angin, gelombang, sebaran muatan di kapal, air di dek dan lain-lain. Muckel (1975) menyatakan bahwa stabilitas kapal tergantung pada beberapa faktor antara lain dimensi kapal, bentuk kapal badan kapal yang ada di dalam air, distribusi benda-benda yang ada diatas kapal dan sudut kemiringan kapal terhadap bidang horizontal. Fyson (1985) mengemukakan bahwa coefficient of fineness akan menunjukkan bentuk badan kapal berdasarkan hubungan antara luas area badan kapal yang berbeda dan volume badan kapal terhadap masing-masing dimensi utama kapal, coefficient of fineness untuk kapal yang tidak bergerak (V = 0 m/det), terdiri atas: 1). Coefficient of block (Cb), menunjukkan perbandingan antara nilai volume displacement kapal dengan volume bidang balok yang mengelilingi badan
16
kapal. Cb juga dikenal sebagai koefisien kegemukan badan kapal (Gambar 10).
Gambar 10 Coefficient of Block (Cb) (Sumber : Iskandar dan Novita, 1997 digambar ulang)
2)
Coefficient of prismatic (Cp), menunjukkan perbandingan antara volume displacement kapal dengan volume yang dibentuk oleh luas area penampang melintang tengah kapal (A⊗) dan panjang kapal pada garis air tertentu (Lwl). Cp juga dikenal sebagai koefisien yang menunjukkan bentuk badan kapal secara horizontal (Gambar 11).
3)
Coefficient vertical prismatic (Cvp), menunjukkan perbandingan antara volume displacement kapal dengan volume yang dibentuk oleh luas area kapal pada WL tertentu secara horizontal-longitudinal (Aw) dan draft kapal. Cvp juga dikenal sebagai koefisien yang menunjukkan bentuk badan kapal secara vertikal (Gambar 11).
17
Gambar 11 Coefficient of Prismatic (Cp) dan Coefficient vertical prismatic (Cvp) (Sumber : Iskandar dan Novita, 1997 digambar ulang)
4)
Coefficient of waterplan (Cw), menunjukkan besarnya luas area penampang membujur tengah kapal dibandingkan dengan bidang empat persegi panjang yang mengelilingi luas area tersebut. Cw menunjukkan bentuk badan kapal pada bagian waterplan area (Gambar 12).
Gambar 12 Coefficient of waterplane (Cw) (Sumber : Iskandar dan Novita, 1997 digambar ulang)
5)
Coefficient of midship (C⊗), menunjukkan perbandingan antara luas penampang melintang tengah kapal secara vertikal dengan bidang empat persegi panjang yang mengelilingi luas area tersebut. C⊗ mengambarkan bentuk badan kapal pada bagian tengah kapal/midship (Gambar 13).
18
Gambar 13 Coefficient of midship (C⊗) (Sumber : Iskandar dan Novita, 1997 digambar ulang)
Koefisien kapal akan sangat erat hubungannya dengan bentuk dan bobot kapal tersebut. Nilai koefisien bentuk kapal berbeda-beda tergantung dari jenis kapalnya. Nilai tersebut menunjukkan kelangsingan bentuk kapal dan erat hubungannya dengan stabilitas. Koefisien bentuk kapal juga dipengaruhi oleh luas bagian lambung kapal yang terbenam dalam air, bentuk lambung kapal yang terbenam di air berbeda-beda sesuai dengan jenis kapal, dimana kapal yang memerlukan kecepatan tinggi maka bentuk lambungnya lebih langsing dibandingkan dengan jenis kapal yang kurang memerlukan kecepatan tinggi. Bentuk lambung kapal ini berhubungan dengan koefisien bentuk. Dibawah ini disajikan nilai koefisien bentuk yang dikemukakan oleh Nomura dan Yamazaki (1977), pada Tabel 1. Tabel 1 Koefisien bentuk untuk masing-masing jenis kapal berdasarkan alat tangkap yang dioperasikan Kisaran nilai
Kelompok kapal Cb
Cp
C⊗
Cw
Alat tangkap yang ditarik
0,58-0,67
0,66-0,72
0,88-0,93
-
Alat tangkap pasif
0,63-0,72
0,83-0,90
0,65-0,75
0,91-0,97
Alat tangkap yang dilingkarkan
0,57-0,68
0,76-0,94
0,67-0,78
0,91-0,95
2.6
Gross Tonage (GT) Sebelum ditetapkannya cara pengukuran kapal yang saat ini diberlakukan di
banyak negara termasuk Indonesia, masing-masing negara menerapkan cara pengukuran yang berbeda-beda. Cara pengukuran kapal yang berbeda-beda ini
19
kemudian menimbulkan permasalahan bagi kapal-kapal dengan rute pelayaran internasional. Sesuai petunjuk Keputusan Menteri Perhubungan tersebut, maka Direktur Jenderal Perhubungan Laut kemudian menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. PY.67/1/13-90 yang berisi tentang petunjuk pelaksanaan pengukuran kapal-kapal Indonesia. Kemudian dalam keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. PY.67/1/13-90 ini menyebutkan bahwa terdapat tiga cara pengukuran kapal-kapal di Indonesia, yaitu : 1) Pengukuran untuk kapal berukuran panjang 24 (dua puluh empat) meter atau lebih dengan cara pengukuran internasional, dengan rumus GT=K1xV; 2) Pengukuran untuk kapal berukuan panjang kurang dari 24 (dua puluh empat) meter dengan cara pengukuran dalam negeri, dengan rumus GT=0,353x V; 3) Pengukuran untuk kapal berukuran panjang kurang dari 24 meter yang dilakukan
atas
permintaan
pemilik
kapal
dengan
cara
pengukuran
internasional, dengan rumus GT=0,25x V; Tanggal 17 Mei 2002 DIRJEN PERLA menetapkan keputusan Dirjen Perhubungan Laut Nomor PY.67/1/16-02 tentang perubahan atas keputusan Dirjen Perhubungan Laut Nomor PY.67/1/13-90. Keputusan Dirjen Perhubungan Laut Nomor PY.67/1/16-02 ini mengubah dan pengganti rumusan cara pengukuran dalam negeri yang tercantum dalam pasal 26 ayat (1) Keputusan Dirjen Perhubungan Laut Nomor PY.67/1/13-90 sehingga selengkapnya menjadi berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 ayat (1) : Isi kotor kapal dapat diperoleh dan ditentukan sesuai dengan rumus sebagai berikut : GT = 0,25 x V;
Keterangan : V adalah jumlah isi dari ruangan dibawah geladak utama ditambah dengan ruangan-ruangan diatas geladak atas yang tertutup sempurna yang berukuran tidak kurang dari 1 m3.
20
2.7
Mesin Kapal Menurut Arismunandar (1977) mesin yang banyak digunakan sekarang
adalah mesin kalor, yaitu mesin yang menggunakan energi termal untuk melakukan kerja mekanik atau yang mengubah energi termal menjadi energi mekanik. Energi itu sendiri dapat diperoleh dengan proses pembakaran, proses fusi bahan bakar nuklir atau proses lain-lain. Ditinjau dari segi cara memperoleh energi mesin kalor dibagi menjadi dua golongan, yaitu mesin pembakaran luar dan mesin pembakaran dalam. Mesin pembakaran luar proses pembakaran terjadi di luar mesin, dimana energi termal dari gas hasil pembakaran dipindahkan ke fluida kerja mesin, melalui beberapa dinding pemisah. Pada umumnya mesin pembakaran dalam dikenal dengan motor bakar. Proses pembakaran berlangsung di dalam motor bakar itu sendiri sehingga gas pembakaran yang terjadi sekaligus berfungsi sebagai fluida kerja. Mesin kapal harus dipasang sedemikian rupa sehingga poros engkol yang dihubungkan dengan poros propeller agak menurun sedikit di buritan. Akan sangat baik kalau kemiringannya kecil yaitu tidak lebih dari 80. Kalau kemiringannya lebih besar akan mengurangi daya yang dikeluarkan sehingga kecepatan pun berkurang. Dudukan mesin harus satu sumbu dengan bantalan poros propeller dan dipasang secara tetap dan menetap kuat pada kapal (Soenarta dan Furuhama, 1995). Persyaratan mesin layak pakai yaitu
harus memenuhi syarat BKI,
mempunyai bobot yang relatif ringan dan volume yang relatif kecil, pada kapal kekiri atau kekanan (oleng) yang terus menerus dengan sudut kemiringan 22,50 motor tetap dapat berfungsi, pada keadaan oleng arah membujur (trim) yang terus menerus dengan sudut kemiringan 100 motor dapat befungsi, efisien dalam pemakaian bahan bakar, tidak menimbulkan getaran yang merugikan, mudah untuk diperbaiki (dibongkar pasang setiap saat) mengingat kemungkinan terjadinya kerusakan pada saat pelayaran, tahan terhadap air laut, tidak menggunakan bahan bakar yang mudah terbakar, tahan untuk pengoperasian yang sifatnya terus-menerus dan mudah untuk dioperasikan (Ayodhyoa, 1972).
21
2.8
Tahanan, Kecepatan dan Daya Penggerak Kapal Penggunaan mesin dalam suatu usaha penangkapan merupakan suatu usaha
modernisasi dalam bidang perikanan yang ditujukan untuk meningkatkan hasil tangkapan. Perbedaan tenaga penggerak dari berbagai armada penangkapan akan memberikan perbedaan terhadap hasil tangkapan pada suatu daerah penangkapan (fishing ground) yang sama, (Jakobsson, 1964). Seorang pemilik kapal apabila kapalnya telah selesai dibuat maka ia harus memikirkan mesin apa yang cocok dengan ukuran kapal yang telah ia buat agar sesuai dan efisien. Dussardier (1960) menyarankan agar mesin yang digunakan pada kapal sebaiknya mempunyai tenaga sekitar 3,0-3,5 dari gross tonage (GT) kapal tersebut. Trianto (1985) mengemukakan bahwa pemakaian mesin yang sesuai berguna untuk efisiensi eksploitasi kapal perikanan, mesin harus dipilih dengan mempertimbangkan hasil kerja sesuai dengan tenaga dan kecepatan yang diinginkan. Untuk itu dalam pemilihan mesin haruslah disesuaikan dengan kapal yang kita miliki. Dimensi kapal mempegaruhi pemakaian daya dan besarnya kecepatan kapal yang direncanakan. Satuan kecepatan kapal dinyatakan dalam knots yang nilainya sama dengan satu mil laut per jam. Satuan untuk kekuatan mesin, dinyatakan dengan horse power (HP) yang besarnya sama dengan 75 kg m/detik atau sama dengan 4500 kg m/menit (Fyson, 1995). Kecepatan ekonomis kapal akan berpengaruh jika perbandingan antara kecepatan kapal = (V/ L , V: kecepatan kapal dalam knots dan L: panjang kapal dalam meter) mendekati 1,0 untuk kapal-kapal cepat perbandingannya lebih dari 1,2 dan untuk kapal-kapal lambat nilai ini kurang dari 0,8 (Nomura dan Yamazaki, 1977). Adapun Munro dan Smith (1975) menyatakan 3 faktor yang mempengaruhi efisiensi sistem propulsi dan kecepatan kapal yaitu letak mesin, konstruksi kasko serta efisiensi baling-baling. Fyson (1995) menyatakan tahanan kapal pada kecepatan yang diberikan merupakan daya yang dikehendaki untuk melaju pada perairan tenang, diasumsikan tidak terdapat gangguan dari mesin penggerak kapal. Bila kapal tidak mengalami penambahan beban, disebut tahanan badan kapal pada saat kosong.
22
Daya yang dibutuhkan untuk mengatasi tahanan tersebut disebut effective horse power (EHP), dalam penentuan HP dikenal beberapa istilah, yaitu : 1) Indicated horse power (IHP), tenaga yang dihasilkan untuk menggerakkan torak; 2) Brake horse power (BHP), tenaga yang digunakan untuk memutar roda gila; 3) Shaft horse power (SHP), tenaga yang digunakan untuk memutar poros baling-baling; dan 4) Effective horse power (EHP), tenaga yang efektif yang digunakan untuk menggerakkan kapal.