2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kapal Perikanan Kapal perikanan menurut Undang-Undang RI No. 31 tahun 2004 tentang perikanan adalah kapal, perahu atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Sedangkan yang dimaksud dengan kapal ikan menurut Nomura dan Yamazaki (1977) adalah kapal yang digunakan dalam kegiatan perikanan yang mencakup penggunaan atau aktivitas penangkapan atau mengumpulkan sumberdaya perairan, pengelolaan usaha budidaya sumberdaya perairan, serta penggunaan dalam beberapa aktivitas seperti riset, training dan inspeksi sumberdaya perairan. Boxton (1987) juga mendefenisikannya sebagai kapal yang digunakan untuk usaha-usaha menangkap ikan dan mengumpul sumberdaya perairan atau kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penelitian, kontrol, survey dan lain sebagainya. Nomura dan Yamazaki (1977) secara garis besar mengelompokkan kapal ikan ke dalam empat jenis yaitu: (1) Kapal penangkap ikan yang khusus digunakan dalam operasi penangkapan ikan atau mengumpulkan sumberdaya hayati perairan, antara lain kapal pukat udang, perahu pukat cincin, perahu jaring insang, perahu payang, perahu pancing tonda, kapal rawai, kapal huhate, dan sampan yang dipakai dalam mengumpul rumput laut, memancing dan lain lain. (2) Kapal induk adalah kapal yang dipakai sebagai tempat mengumpulkan ikan hasil tangkapan kapal penangkap ikan dan mengolahnya. Kapal induk juga berfungsi sebagai kapal pengangkut ikan. Hal ini berkaitan dengan pertimbangan efisiensi dan permodalan. (3) Kapal pengangkut ikan adalah kapal yang digunakan untuk mengangkut hasil perikanan dari kapal induk atau kapal penangkap ikan dari daerah penangkapan ke pelabuhan yang dikategorikan kapal pengangkut. (4) Kapal penelitian, pendidikan dan latihan adalah kapal ikan yang digunakan untuk keperluan penelitian, pendidikan dan latihan penangkapan, pada umumnya adalah kapal-kapal milik instansi atau dinas.
12
2.2
Klasifikasi Kapal Perikanan Bentuk dan jenis kapal ikan berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh perbedaan
tujuan usaha penangkapan, spesies target dalam usaha penangkapan dan kondisi perairan. Oleh karena itu, klasifikasi kapal ikan juga berbeda-beda baik menurut alat penggerak kapal, ukuran kapal, fungsi kapal, kelompok tipe penggunaan alat tangkap, maupun menurut besarnya skala usaha perikanan. DJPT (2004) mengklasifikasifikasikan perahu atau kapal penangkap ikan di Indonesia secara umum adalah sebagai berikut: (1) Perahu tidak bermotor ¾ Jukung ¾ Perahu papan - Kecil (panjangnya kurang dari 7 m) - Sedang (panjangnya 7 sampai 10 m) - Besar (panjangnya lebih dari 10 m) (2) Perahu motor tempel (3) Kapal motor * Kurang dari 5 GT
* 30 –
*
50 GT
5 –
10 GT
* 50 – 100 GT
* 10 –
20 GT
* 100 – 200 GT
* 20 –
30 GT
* Lebih dari 200 GT
Soekarsono (1995) mengklasifikasikan kapal perikanan menurut fungsinya yaitu terdiri dari kapal tonda (troller), kapal rawai dasar (bottom long liner), kapal rawai tuna (tuna long liner), kapal pukat cincin (purse seiner), kapal jaring insang (gillnetter), kapal bubu (pot fishing vessel), kapal pukat udang (shrimp trawler), kapal setnet, kapal pengangkut ikan dan sebagainya. Andarto dan Sutedjo (1993) membagi tipe kapal ikan secara umum menjadi dua kelompok yakni, kelompok tipe kapal ikan yang menggunakan alat penangkap pancing dan kelompok tipe kapal ikan yang menggunakan alat tangkap jaring. FAO (1996) mengklasifikasikan perikanan yang selektif bagi beberapa negara, menggolongkan perikanan di Indonesia pada dua kategori yaitu: (1) perikanan skala kecil; menggunakan mesin luar < 10 HP atau < 5 GT dengan daerah operasi jalur 1 (4 mil) dari garis pantai, dan yang menggunakan mesin luar < 50 HP
13
atau < 25 GT dengan daerah operasi jalur 2 (4 mil – 8 mil), dan (2) perikanan skala besar yang merupakan perikanan industri; menggunakan mesin dalam < 200 HP atau 100 GT dengan daerah operasi jalur 3 dan 4 (8 mil – 12 mil dan atau > 12 mil). 2.3 Karakteristik Kapal Perikanan Kapal ikan sebagai suatu bangunan yang dimanfaatkan dalam hubungannya dengan aktivitas penangkapan ikan di laut (perikanan) dan memiliki desain konstruksi yang berbeda dengan kapal lainnya (kapasitas muat, ukuran, model dek, akomodasi, mesin dan komponen lain) disesuaikan dengan fungsi pengoperasian (Fyson, 1985). Pengertian kapal yang disebutkan Iskandar dan Novita (1997) yang diacu oleh Nanda (2004) adalah suatu bentuk bangunan yang dapat terapung dan berfungsi sebagai wadah atau tempat untuk melakukan aktivitas dan merupakan sarana transportasi. Aktivitas yang dilakukan oleh sebuah kapal ikan akan sangat berbeda dengan kapal-kapal lainnya. Fungsi atau peruntukan sebuah kapal ikan akan menunjukkan perbedaan dalam mendesain konstruksi kapal tersebut. Komponen pelengkap suatu kapal ikan juga akan berbeda. Sebuah kapal ikan dirancang dengan melihat jangkauan daerah operasinya, jenis ikan yang akan ditangkap dan tingkah laku ikan target serta ukuran alat tangkap yang digunakan. Ayodhyoa (1972) mengemukakan bahwa pada kapal ikan dilakukan kerja menangkap, menyimpan dan mengangkut ikan. Dengan demikian ada keistimewaan kapal ikan antara lain; kecepatan, manouverability, seaworthiness, navigable area, mesin penggerak, fasilitas penyimpanan dan alat penangkap ikan. Selanjutnya, Nomura dan Yamazaki (1975) dan Fyson (1985) menegaskan bahwa sebuah kapal ikan harus memiliki kapasitas muat yang memadai dan kapasitas yang cukup diantaranya fasilitas penyimpanan (palka), ruangan pendingin, pembekuan dan penyimpan es. Komponen inilah yang membedakan kapal ikan dengan kapal lainnya dan komponen ini pula yang akan menentukan dan berpengaruh terhadap suatu desain konstruksi kapal ikan. Semua kapal yang beroperasi di perairan Indonesia harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh Departemen Perhubungan Laut, baik itu kapal barang, kapal ikan, kapal penumpang, dan lain-lain. Persyaratan yang telah ditetapkan bagi setiap kapal yang beroperasi sesuai dengan kegiatannya masing-masing digambarkan
14
dengan model/desain kapal sesuai kebutuhan. Ada beberapa persyaratan yang harus ditaati oleh kapal ikan yang walaupun penggunaannya tidak sama dengan kapal lainnya, seperti; kemampuan berlayar yang cukup aman dalam kondisi apapun, memiliki bentuk yang memberikan gambaran kestabilan dan daya apung yang cukup efisien, hal ini dapat dilihat dari ukuran, tenaga, biaya, produk dan tujuan penggunaan. Persyaratan ini semuanya harus dipenuhi sebelum desain dasar ditentukan, guna perencanaan kapal yang layak untuk melaut (Brown, 1957). Nomura dan Yamazaki (1977) mengemukakan beberapa persyaratan minimal yang harus dimiliki kapal ikan untuk melakukan aktivitas penangkapan, yaitu: kekuatan struktur badan kapal, menunjang keberhasilan operasi penangkapan, stabilitas yang tinggi, serta fasilitas penyimpanan hasil tangkapan. Selanjutnya dikatakan pula bahwa kapal ikan memiliki beberapa keistimewaan tersendiri yang berbeda dengan jenis kapal lainnya, yakni: (1) Kemampuan olah gerak kapal Kemampuan olah gerak kapal ini sangat dibutuhkan bagi kapal ikan pada saat pengopera sian alat tangkap sangat diperlukan kemampuan steerability yang baik, daya dorong mesin (propulsion engine) guna mempermudah gerak maju mundurnya kapal dan radius putaran (turning circle) yang kecil. (2) Kelaiklautan Laik (layak) sangat diperlukan bagi setiap kapal ikan untuk beroperasi dalam menahan dan melawan kondisi yang tidak diharapkan terjadi, seperti kekuatan gelombang dan angin yang kadang-kadang datang secara tiba-tiba dengan tujuan dapat menjamin keselamatan dan kenyamanan, hal ini dibutuhkan stabilitas yang laik dan daya apung yang cukup. (3) Kecepatan kapal Dibutuhkan dalam kegiatan pengoperasian yakni dalam melakukan pengejaran terhadap gerombolan ikan dan juga pada saat kembali dengan membawa hasil tangkapan agar hasil tangkapan selalu tetap berada dalam kondisi segar (kecepatan waktu), waktu penangkapan dan waktu penanganan. (4) Konstruksi kaso atau badan kapal yang kuat
15
Konstruksi yang baik dan kuat diperlukan dan merupakan hal yang sangat sensitif dalam menghadapi kondisi alam yang selalu berubah-ubah tanpa kompromi, dan terhadap getaran mesin yang bekerja selama beroperasi. (5) Lingkup area pelayaran Luas area kapal ikan sangat ditentukan oleh jarak daerah penangkapan yang akan dijelajah. Jangkauan daerah penangkapan ini ditentukan oleh migrasi ikan berdasarkan musim dan habitatnya (sesuai tingkah laku ikan) dari setiap kelompok spesies ikan. (6) Fasilitas penyimpanan dan pengolahan ikan Sarana ini sangat diperlukan dalam menyimpan dan mengolah ikan, bagi kapal yang melakukan processing secara langsung di laut, baik ruang pendingin, ruang pembekuan, ruangan pembuat dan penyimpan es bahkan ruangan pengepakan, hal ini dibutuhkan untuk menghindari terjadinya ketidakhigienisnya produk dan menjaga sanitasi terhadap produk dari bakteri (terkontaminasi oleh bahan-bahan luar yang mengakibatkan rendahnya kualitas produk). (7) Daya dorong mesin Kemampuan daya dorong mesin akan ditentukan sesuai dengan ukuran kapal yang digunakan dan jangkauan operasi serta alat tangkap yang digunakan. Sebab kemampuan daya dorong mesin dengan volume mesin serta getaran yang dibutuhkan harus seimbang, seperti daya dorong yang besar maka volume mesin dan getarannya harus sekecil mungkin. Mesin yang dibutuhkan harus dilengkapi dengan alat bantu penangkapan demi kelancaran operasi penangkapan. (8) Mesin-mesin bantu penangkapan Umumnya kapal ikan dilengkapi dengan mesin-mesin bantu penangkapan seperti: winch, power block, line hauler, dan sebagainya. Untuk ukuran kapal ikan tertentu harus didesain dengan konstruksi yang dapat menyediakan tempat yang sesuai untuk mesin-mesin tersebut. Fyson (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi desain kapal ikan adalah tujuan penangkapan ikan, alat dan metode penangkapan, kelaik lautan dan keselamatan awak kapal, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan desain kapal, pemilihan material yang tepat untuk konstruksi, penanganan dan penyimpanan hasil tangkapan, dan faktor-faktor ekonomis. Selanjutnya dikatakan
16
bahwa kelengkapan dari perencanaan, desain dan konstruksi dalam pembangunan kapal ikan yaitu dengan adanya gambar-gambar rencana garis (lines plan), tabel offset, gambar rencana umum pengaturan ruang kapal serta instalasinya (general arrangement) dan gambar rencana konstruksi beserta spesifikasinya (construction profile and plane). Rencana garis merupakan gambar rencana garis kapal pada setiap garis air dan ordinat yang tertuang dalam tiga buah gambar, yaitu gambar irisan melintang kapal tampak samping (profile plan), tampak atas (half breadth plan) dan tampak depan (body plan). Rancangan umum kapal biasanya dipertimbangkan dari suatu perencanaan yang terdiri dari tujuan, proses penangkapan dan penyimpanan hasil tangkapan. Gambar rancangan umum merupakan suatu gambar teknik yang menyajikan secara umum kelengkapan ruang kapal dari sudut pandang atas dan samping (Gillmer and Johnson 1982). Rencana garis (lines plan) diperlukan untuk menentukan bentuk badan kapal yang akan memberikan kinerja (performance) maupun stabilitas kapal. Bentuk badan kapal bergantung pada beberapa parameter bentuk yang terdiri dari ukuran utama, perbandingan ukuran utama, dan koefisien bentuk kapal, sebagaimana ditetapkan FAO (1996). Ukuran utama kapal terdiri dari panjang kapal (L), lebar kapal (B), tinggi/dalam kapal (D), dan sarat air kapal (d). Kesesuaian ratio ukuran utama sangat menentukan kemampuan suatu kapal ikan. Menurut Fyson (1985) bahwa rasio antara panjang dan lebar (L/B) berpengaruh terhadap resistensi kapal, rasio antara panjang dan dalam (L/D) berpengaruh terhadap kekuatan memanjang kapal, dan rasio antara lebar dan dalam (B/D) berpengaruh terhadap stabilitas kapal. Berikut ini, FAO (1996) memberikan beberapa parameter bentuk dengan nilai-nilai rasio yang ideal untuk jenis kapal penangkap ikan, antara lain : (1) Rasio perbandingan antara panjang dan lebar (L/B)
3,10 - 4,30
(2) Rasio perbandingan antara lebar dengan sarat air (B/T)
2,00 - 3,20
(3) Koefisien Midship (CM)
0,50 - 0,80
(4) Koefisien Prismatic (CP)
0,55 - 0,65
(5) Letak titik tekan (LCB%)
- 6,00 - 1,00
(6) Half angle of entrance of load water line (½ α) (7) Trim.
15,0 - 34,0 - 0,04 - 0,13
17
Secara umum perancang (designer) kapal penangkap ikan dapat menentukan atau memilih nilai rasio dari parameter bentuk yang sesuai dengan jenis kapal yang direncanakan. Menurut Ayodhyoa (1972) bahwa jika nilai L/B mengecil maka akan berpengaruh negatif terhadap kecepatan kapal; nilai L/D membesar maka akan berpengaruh negatif terhadap kekuatan memanjang kapal; dan jika B/D membesar maka akan berpengaruh negatif terhadap propulsive ability kapal tetapi berpengaruh positif terhadap stabilitas kapal. 2. 4 Material Kapal Sifat pengoperasian kapal yang selalu berpindah-pindah dari suatu daerah penangkapan ke daerah penangkapan lainnya menyebabkan kapal ikan harus didesain dengan konstruksi yang kuat karena di samping kondisi laut, getaran mesin juga mempengaruhi kekuatan konstruksi kapal (Nomura dan Yamazaki 1977). Salah satu faktor yang mempengaruhi desain dan konstruksi kapal ikan adalah pemilihan material yang tepat (Fyson 1985). Pemilihan material kapal ikan sangat dipengaruhi oleh keahlian galangan kapal termasuk kemampuan sumberdaya manusia dan ketersediaan alat, kemudahan dalam memperoleh bahan, keuntungan teknis dari tiap material, dan biaya pembelian bahan material. Bahan material kapal yang digunakan pada kapal-kapal perikanan diantaranya terbuat dari FRP (fiber reinforced plastic) atau yang lebih dikenal dengan fiberglass, baja, ferrocement, aluminium dan kayu. Hampir 90% bahan material yang digunakan untuk kapal perikanan terbuat dari kayu. Kelemahan kayu sebagai material kapal antara lain kurangnya kekuatan kapal dan konstruksinya berat. Semakin tinggi tingkat kekuatan kayu maka umur pakai kapal ikan tersebut akan lebih lama dan sebaliknya. Kurangnya kekuatan tersebut dapat juga disebabkan oleh banyaknya sambungan pada konstruksi kapal. Selain itu, pemakaian material kayu sering tidak bertahan lama atau sering mengalami pergantian, mengingat sifat keawetan, kekuatan, susut muai, pelapukan atau pembusukan dan retak-retak dari bahan kayu yang sering mengakibatkan kerusakan lambung kapal terutama yang berada di bawah permukaan laut. Faktor lain yang dapat menyebabkan penurunan kekuatan kayu adalah aktifitas organisme laut atau lebih dikenal dengan marine bor. Bentuk aktifitas dari organisme ini yaitu melakukan pengeboran pada lambung kapal khususnya pada bagian yang
18
basah sehingga kayu menjadi rapuh
dan rusak. Untuk mengurangi penurunan
kekuatan tersebut tentunya memerlukan perawatan yang lebih intensif yaitu dengan melakukan doking periodik. Oleh karena itu dalam pemilihan satu jenis kayu sebagai material kapal, selain memerlukan pertimbangan kualitas, jumlah dan ukuran yang dibutuhkan, juga tentang kekuatan kayu dan ketahanan terhadap pembusukan (Fyson1985). Menurut Pasaribu (1987), aspek teknis yang perlu diperhatikan untuk memperoleh umur pakai yang lama dari kapal kayu adalah: (1) sifat fisik dan mekanis dari jenis kayu yang digunakan, (2) kelayakan desain dan metode konstruksi kapal, dan (3) pengolahan dan perawatan kapal. Haygreen dan Bowyer (1982) mengatakan bahwa sifat mekanik yang dapat dipakai untuk menilai kekuatan bahan material kapal adalah kekuatan lengkung, sifat elastik, kekuatan tekan sejajar serat, tekanan tegak lurus serat, kekuatan tarik sejajar serat, dan kekuatan geser sejajar serat. Dengan bertambahnya usia kapal, aspek biaya perawatan kapal tidaklah tetap tetapi cenderung bertambah besar, hal ini terjadi antara lain karena ada bagian tertentu dari konstruksi bangunan kapal yang frekwensi penggantiannya menjadi lebih sering dan lebih banyak atau dengan kata lain, bertambahnya usia kapal maka semakin banyak bagian-bagian yang harus diganti. Hal ini berarti semakin tinggi biaya eksploitasi dan biaya perawatan kapal. Dengan demikian pemeliharaan atau perawatan kapal ikan dari bahan kayu merupakan salah satu permasalahan yang sering kali dialami dalam rangka kegiatan nelayan tradisional. Perawatan badan kapal kayu dilakukan setiap 6 bulan sekali, lebih sering dilakukan dibanding kapal fiberglass yakni 1,5 tahun sekali. Walaupun biayanya sedikit mahal, perawatan kapal fiberglass hasilnya lebih baik dan dapat mengurangi frekwensi perawatan. Berkurangnya frekwensi perawatan ini dapat mengakibatkan biaya awal yang dikeluarkan dalam jangka panjang menjadi lebih murah. Pemakaian fiberglass sebagai material bangunan kapal mempunyai beberapa keuntungan yaitu: (1) tidak berkarat dan daya serap air kecil, (2) pemeliharaan dan reparasinya sangat mudah dengan waktu yang relatif singkat, (3) tidak memerlukan pengecatan karena adanya piqmen yang dicampurkan pada bahan gelcoat dalam proses laminasi, dan (4) untuk displacement yang sama, fiberglass konstruksinya lebih ringan. Kelebihan lain dari material kapal fiberglass adalah (1) mempunyai pori-
19
pori yang kecil sehingga kekedapan lambung dapat menjamin binatang dan tumbuhan laut tidak begitu banyak menempel pada lambung kapal, (2) mengurangi pelapukan atau pembusukan dari media air laut, (3) frekuensi pengedokan kapal dapat lebih lama dan akan memperkecil biaya pemeliharaan, dan (4) umur pakai kapal akan lebih lama. Keuntungan atau kelebihan tersebut dikarenakan material fiberglass memiliki sifat-sifat antara lain, tensile strength yang tinggi; penyerapan air rendah; tahan suhu tinggi; kestabilan ukuran baik; tidak mudah terbakar; sifat-sifat aliran listrik yang baik; tidak membusuk, menjamur, dan berkurang kualitetnya; tahan minyak, asam dan hama yang merusak; dan memiliki elongation yang tinggi pada elastic limit yield point dan break point yang sama. Kelemahan dari material fiberglass antara lain adalah bahannya sulit diperoleh di daerah yang jauh dari kota besar, dan harganya relatif mahal. Dalam rangka membantu kegiatan modernisasi nelayan tradisional dengan menambah pengetahuan dan ketrampilan nelayan dalam penggunaan fiberglass sebagai bahan utama konstruksi kapal, akan dapat memperpanjang pemakaian kapal dalam usaha meningkatkan produktivitas perikanan dan taraf hidup nelayan. Material fiberglass yang digunakan membangun kapal terdiri dari resin, serat penguat, bahan pendukung, dan lapisan inti. Resin merupakan material cair sebagai pengikat serat penguat yang mempunyai kekuatan tarik serta kekakuan lebih rendah dibandingkan serat penguatnya. Ada beberapa jenis resin yang beredar dipasaran, namun jenis yang umum dipakai dan cocok untuk material bangunan kapal adalah tipe orthophthalic poliester resin. Keunggulan resin tipe ini selain harganya lebih murah dibanding tipe lainnya, ketahanan terhadap proses korosi yang disebabkan oleh air laut, juga memiliki viskositas yang rendah sehingga memudahkan proses pembasahan serat penguat. Serat penguat (fiberglass reinforcement) merupakan serat gelas yang memiliki kekakuan dan kekuatan tarik yang tinggi serta modulus elastisitas yang cukup tinggi. Fungsi dari serat penguat ini adalah untuk meningkatkan kekakuan tarik dan kekakuan lengkung; mempertinggi kekuatan tumbuk; meningkatkan rasio kekuatan terhadap berat; dan menjaga atau mempertahankan kestabilan bentuk kapal. Serat penguat yang sering dipakai untuk bangunan kapal adalah jenis electrical glass seperti, chopped strand mat, woven roving, ataupun triaxial. Bahan pendukung biasanya dipakai dalam proses pembuatan laminasi. Bahan ini terdiri dari: catalyst, accelerator, sterin, gel
20
coat, piqmen, parafin, mold release, dan talk. Masing-masing bahan pendukung tersebut mempunyai fungsi tersendiri yang sangat berpengaruh terhadap karakteristik laminasi. Lapisan inti merupakan bahan-bahan yang digunakan untuk membentuk konstruksi fiberglass menjadi rigid. Beberapa lapisan inti yang dapat digunakan selain kayu/plywood, pelat baja dan pelat fiberglass antara lain, firet coremat, foamed plastic, dan honeycomb cell paper. 2. 5 Stabilitas Kapal Stabilitas kapal adalah kemampuan sebuah kapal untuk kembali ke posisi semula setelah mengalami keolengan, bergantung pada beberapa faktor antara lain dimensi kapal, bentuk badan kapal yang berada di dalam air, distribusi benda-benda di atas kapal dan sudut kemiringan kapal terhadap bidang horizontal. Sudiyono dan Antoko (2008) menyetakan bahwa, stabilitas kapal (ship’s stability) diperlukan untuk memperoleh keselamatan dan keutuhan kapal dengan muatannya (barang dan penumpang), yaitu dengan mengusahakan agar selalu dicapai stabilitas dan keseimbangan kapal. Menurut Fyson (1985), stabilitas kapal dapat diartikan sebagai kemampuan sebuah kapal untuk dapat kembali ke posisi semula (tegak) setelah menjadi miring akibat bekerjanya gaya dari luar maupun dari dalam kapal tersebut atau setelah mengalami momen temporal. Kok et al. (1983) mengemukakan bahwa selama berada di laut, kapal akan mendapat sejumlah gaya yang terdiri dari: 1) berat kapal dan muatan; 2) gaya tekan air ke atas; 3) pengaruh gelombang dan tekanan air; 4) gaya-gaya dari massa yang bekerja pada kapal; 5) pembagian muatan asimetris; 6) gaya-gaya torsi
yang
disebabkan oleh tidak samanya waktu oleng bagian depan dan bagian belakang; dan 7) gaya-gaya penggerak beban kemudi. Taylor (1977) dan Hind (1982) menyebutkan bahwa stabilitas pada sebuah kapal dipengaruhi oleh letak titik-titik konsentrasi gaya yang bekerja pada kapal tersebut. Ketiga titik tersebut adalah titik B (centre of bouyancy) yakni titik khayal yang merupakan pusat seluruh gaya apung pada kapal yang bekerja vertikal ke atas. Titik kedua adalah titik G (centre of gravity) yakni titik khayal yang merupakan pusat keseluruhan gaya berat pada kapal yang bekerja vertikal ke
21
bawah. Titik ketiga adalah M (metacentre) yakni titik khayal yang merupakan titik potong dari garis khayal yang melalui titik B dan titik G saat kapal berada pada posisi miring akibat bekerjanya gaya-gaya pada kapal. Titik M ini juga merupakan tinggi maksimum bagi titik G. Selanjutnya Hind (1982) menyatakan bahwa posisi titik G sangat tergantung dari distribusi muatan di kapal dan posisi titik B sangat tergantung dari bentuk badan kapal yang terendam di dalam air. Untuk lebih memahami permasalahan stabilitas maka teori mekanika tentang keseimbangan (equilibrium) suatu benda perlu dipelajari. Taylor (1977) menerangkan bahwa equilibrium adalah kondisi keseimbangan yang terjadi akibat bekerjanya gaya yang berlawanan. Demikian halnya pada kapal, gaya yang berlawanan adalah gaya apung (arah vertikal ke atas) dan gaya berat (arah vertikal ke bawah). Interaksi kedua gaya yang berlawanan tersebut akan mempengaruhi stabilitas kapal. Pada dasarnya terdapat tiga jenis equilibrium yakni stable equilibrium, unstable equilibrium dan neutral equilibrium (Taylor 1977; Gillmer & Johnson 1982; Hind 1982; Derret 1991). Stable equilibrium adalah suatu kondisi dimana kapal dapat kembali ke posisi tegak semulanya (initial stability/equilibrium) setelah gaya yang bekerja pada kapal menyebabkan kapal menjadi miring (heel).
Unstable
equilibrium adalah kondisi dimana kapal menjadi miring (heel) akibat gaya yang bekerja pada kapal dan tidak kembali ke posisi awalnya melainkan terus ke arah kemiringan tersebut.
Neutral equilibrium adalah kondisi dimana kapal menjadi
miring (heel) akibat gaya yang bekerja pada kapal dan kondisi ini tetap demikian (permanent heel). Ketiga kondisi ini disajikan pada Gambar 2. Stabilitas kapal terdiri dari stabilitas statis dan stabilitas dinamis. Stabilitas statis adalah stabilitas kapal yang diukur pada kondisi air tenang dengan beberapa sudut keolengan pada nilai ton displacement yang berbeda. Nilai stabilitas statis kapal ditunjukkan oleh nilai lengan penegak (GZ). Kapal yang memiliki kualitas stabilitas yang baik apabila lengan penegak (righting arm) yang terbentuk dapat mengembalikan kapal ke posisi semula setelah terjadi keolengan. Kapal dengan bentuk round sharp memiliki kriteria stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan bentuk yang lain. International Maritime Organization (IMO) (1995) mengeluarkan standar kriteria stabilitas kapal melalui kurva GZ seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 3 yaitu:
22
1) Luas area di bawah kurva GZ tidak boleh kurang dari 0.055 m.rad hingga sudut oleng 30o (A) dan tidak kurang dari 0.090 m.rad sampai sudut oleng 40o (B) atau sudut flooding θſ jika sudutnya kurang dari 40o. Area di bawah kurva GZ antara sudut oleng 30o dan 40o atau antara 30o dan θſ jika sudut ini kurang dari 40o tidak boleh kurang dari 0.030 m.rad (C). 2) Lengan penegak (righting lever) GZ minimum 200 mm pada sudut oleng sama atau lebih besar dari 30o (E). Lengan penegak maksimum, GZ o
max
sebaiknya
o
dicapai pada sudut oleng 30 tetapi tidak kurang dari 25 . 3) Tinggi metacentre (GM) awal tidak boleh kurang dari 350 mm untuk kapal dengan dek tunggal. Pada kapal dengan superstructure yang lengkap atau kapal dengan panjang > 70 m, GM dapat dikurangi untuk kelayakan administrasi tetapi tidak boleh kurang dari 150 mm (F). W
W W1 M W
L
G
M g
W1
G
Z
0 B
G
L1 g1
B
L1
K
K
W Posisi equilibrium
Stable equilibrium W
W W
W Z W1
G
B
G L1
M W
W1
L
B
B1
M
B1
L1 L
K
K
W Unstable equilibrium
Neutral equilibrium
Keterangan: B G M GZ
: Centre of Bouyancy : Centre of Gravity : Metacentre : Righting Arm
Sumber : Taylor (1977)
Gambar 2 Posisi equilibrium
K WL w Ө
: Keel : Water Line : Gaya yang bekerja : Sudut Oleng
23
Diskusi tentang karakteristik stabilitas, tinggi metacentre (GM) menjadi nilai yang penting dalam penentuan kelayakan stabilitas kapal. Hasil penelitian yang dikemukakan oleh Gillmer & Johnson (1982) bahwa kapal dengan nilai GM yang besar menjadi tidak nyaman dibandingkan kapal dengan GM kecil. IMO (1995) memberikan kriteria umum untuk nilai GM awal dan GM minimal kapal ikan. Untuk kapal ikan dengan single deck, GM awal (GM0) tidak boleh kurang dari 0.35 m. Kapal dengan superstructure yang lengkap atau kapal dengan panjang lebih dari 70 m, nilai GM dapat dikurangi sesuai aturan administrasi kapal tetapi tidak boleh kurang dari 0.15 m. Stabilitas kapal terkait erat dengan distribusi muatan dan perhitungan nilai lengan penegak (GZ).
Perbedaan distribusi muatan yang terjadi pada setiap
kondisi pemuatan akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada nilai KG, yaitu jarak vertikal antara titik K (keel) dan titik G (centre of gravity) yang selanjutnya akan mempengaruhi nilai lengan penegak (GZ) yang terbentuk.
F Static GZ (m)
E D
deg 57.3
Dynamic GZ Area (m-rad)
B
C A
deg
30 40
Sumber: IMO (1995)
Gambar 3 Kurva stabilitas statis (kurva GZ) Efektivitas pengoperasian kapal di laut pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kelaiklautan (seaworthiness) dan seakindliness dari kapal itu sendiri. Seaworthiness dan seakindliness merupakan kriteria utama yang harus dipenuhi oleh sebuah kapal. Seaworthiness sebagai indikasi keselamatan pada kondisi ekstrim, menunjukkan kemampuan kapal untuk tetap survive dalam segala bahaya di laut seperti tubrukan, kandas dan efek lain yang berkaitan dengan cuaca buruk,
24
sedangkan seakindliness lebih memberikan indikasi mengenai karakteristik respon kapal terhadap kondisi lingkungan laut. Kedua hal ini dapat dipenuhi dengan mempertimbangkan kualitas unjuk kerja kapal yang selanjutnya disebut dengan istilah seakeeping. Kajian stabilitas dinamis kapal dilakukan melalui analisis kurva GZ dan periode oleng kapal. Stabilitas dinamis adalah stabilitas kapal yang diukur dengan jalan memberikan suatu “usaha” pada kapal sehingga membentuk sudut keolengan tertentu. Stabilitas dinamis kapal yang baik biasanya memiliki nilai standar minimum memenuhi yang disyaratkan oleh International Maritime Organization (IMO) sedangkan nilai periode oleng kapal berada pada kisaran 4.5 – 7.0 dt. Dinamika kapal di laut secara umum dapat dilihat dari kualitas seakeeping kapal tersebut di atas gelombang laut. Seakeeping merupakan suatu istilah yang mencakup studi tentang keragaan dan reaksi kapal di laut atau suatu istilah yang menyatakan kemampuan kapal untuk tetap menjalankan fungsinya secara normal di laut (Gillmer and Johnson 1982). Seakeeping sebagai indikasi teknis pengoperasian meliputi gerakan kapal (amplitudo, percepatan, phase), kebasahan geladak (deck wetness), hempasan gelombang (slamming), beban-beban hidrodinamis (tahanan, gaya, momen), beban-beban transient dan sebagainya (Lloyd 1989). Ada enam macam gerakan bebas kapal di laut yang terdiri dari tiga gerakan translasi dan tiga gerakan rotasi berdasarkan sumbu ordinat (Bhattacharya 1978; Gillmer dan Johnson 1982; Rawson dan Tupper 1984; Lloyd 1989), seperti yang terlihat pada Gambar 4. Gerakan translasi terdiri dari: 1) surging, gerakan maju dan mundur kapal searah pergerakannya; 2) swaying, gerakan kapal ke kanan dan ke kiri pada arah melintang; 3) heaving, gerakan naik dan turun kapal secara vertikal. Gerakan rotasi terdiri dari: 1) rolling, gerakan angular kapal yang memutar ke kiri dan ke kanan terhadap sumbu longitudinal kapal, sepanjang sumbu X; 2) pitching, gerakan angular yang memutar ke depan dan ke belakang terhadap sumbu transversal kapal, sepanjang sumbu Y; 3) yawing, gerakan angular yang memutar ke kanan dan ke kiri terhadap sumbu vertikal (sumbu Z). Elemen-elemen yang menyebabkan sebuah kapal mengalami olengan di laut terutama karena ketidakseimbangan momen-momen yang dihasilkan dari perubahan pusat gaya apung. Jika kapal mendapat pengaruh gelombang, waterplane kapal dapat
25
tetap atau cenderung bergerak bergantung pada frekuensi, panjang dan amplitudo gelombang (Gillmer dan Johnson 1982). Pusat gaya apung, yang posisinya bergantung pada kemiringan waterplan pada tiap draft, akan meninggalkan vertical line melewati pusat gaya berat jika waterline cenderung naik. Bhattacharya (1978) memberikan acuan periode oleng untuk berbagai jenis kapal laut dimana untuk kapal perikanan ditentukan antara 5,5 – 7,0 detik. Selanjutnya dikatakan bahwa daerah pengoperasian dianggap aman jika periode oleng kapal lebih cepat dibandingkan periode gelombang, dan dianggap berbahaya jika periode oleng kapal lebih lambat dibandingkan periode gelombang.
Heaving z
Rolling
Pitching
Surging
Swaying y x Yawing
Sumber: Lioyd (1989)
Gambar 4 Enam gerakan bebas kapal di laut 2.6 Kecepatan Kapal Kecepatan kapal selain dipengaruhi oleh bentuk badan kapal juga dipengaruhi oleh tenaga penggerak yang digunakan (Fyson 1985). Ukuran utama, koefisien kemontokan, trim, jenis mesin dan sebagainya merupakan faktor yang menentukan kecepatan kapal (Nomura 1975). Kecepatan kapal biasanya dinyatakan dengan satuan knot atau mil laut per jam (1 knot = 1 mil laut per jam, 1 mil laut = 1.852 m). Pemakaian tenaga penggerak tergantung GT kapal dan jenis alat tangkap yang digunakan. Besarnya tenaga penggerak dari mesin yang dipakai menentukan kecepatan kapal, sehingga tenaga penggerak perlu diperhitungkan sesuai dengan keadaan dan fungsi kapal. Satuan tenaga penggerak adalah tenaga kuda (horse
26
power, HP), satu HP sama dengan 75 Kg-m per detik atau sama dengan 632 K kal per jam, sedangkan besar HP suatu mesin dapat ditentukan dengan rumus: HP = C.D2.N Keterangan : D = diameter silinder mesin (cm) N = jumlah silinder mesin C = konstanta (lihat Tabel 1). Tabel 1 Hubungan diameter silinder (D) dan konstanta (C) No
Jenis mesin
1
Semi diesel engine
2
Diesel engine
Electric ignition engine: 3 - 2 cycle - 4 cycle Sumber: Ayodhyoa (1972).
Diameter silinder, D (cm) D < 20 20 < D < 35 D > 35 D < 22 22 < D < 26 D > 26
Konstanta, C 0.037 0.042 0.045 0.062 0.066 0.070
-
0.038 0.044
Hubungan antara tenaga mesin (HP) dan kecepatan kapal (knot) dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: 3
V = √ (IHP x C)/Δ2/3 Keterangan :
V
= Kecepatan kapal (knot)
Δ
= Displacement
C
= Admiralty coefficient
IHP = Indicated horse power (besarnya = 1,25 HP) Berdasarkan rumus di atas ternyata kecepatan kapal dipengaruhi langsung oleh besarnya kekuatan mesin kapal yang dipakai. Pemakaian mesin yang sesuai sangat penting untuk efisiensi eksploitasi kapal ikan. Mesin yang terlalu besar memerlukan biaya yang lebih besar, pemakaian bahan bakar yang banyak serta pemeliharaan yang lebih besar. Sebaliknya, mesin yang terlalu kecil akan dapat menghasilkan pekerjaan yang mengecewakan. Oleh karena itu, kekuatan suatu tipe mesin haruslah seimbang dengan ukuran, bentuk dan jenis kapal. Mesin yang
27
sesuai dengan kapal jika digunakan dan dipelihara dengan baik akan menghasilkan pekerjaan yang efisien dan tidak banyak mengalami kesulitan. Hubungan kecepatan kapal dan panjang kapal dapat ditentukan dengan nilai speed length ratio (SLR), yaitu : V SLR = --------L Keterangan : V = kecepatan kapal (knot) L = panjang kapal (feet), 1 feet = 0.3048 meter. Dengan demikian didapatkan nilai SLR untuk kecepatan rendah, normal (economical speed) dan kecepatan tinggi masing-masing 0.80, 1.00, dan 1.20 (Nomura 1975). Besarnya tenaga mesin yang menggerakkan kapal pada kecepatan normal menurut Nomura (1975) dapat dihitung dengan mengaplikasikan admiralty coefficient (C), yaitu : Δ2/3 V3 Δ2/3 V3 C = ----------, ----------> IHP = ---------IHP C Keterangan :
C = admiralty coefficient (60 - 100) Δ = displacement V = kecepatan kapal (knot)
Dalam penentuan HP dikenal beberapa istilah, yaitu: indicated horse power (IHP), tenaga pertama yang dihasilkan untuk menggerakkan silinder; brake horse power (BHP), tenaga yang digunakan untuk memutar poros baling-baling; shaft horse power (SHP), tenaga yang digunakan untuk memutar baling-baling; dan effective horse power (EHP), tenaga yang menggerakkan kapal. Hubungan antara horse power ini adalah: BHP = 0.80 IHP, SHP = 0.94 BHP, EHP = 0.23 SHP dan EHP = 0.173 IHP. Nilai perbandingan BHP dan IHP dikenal sebagai rendemen mekanis yang besarnya untuk marine diesel engine adalah 79% - 83%. Berkurangnya nilai HP mesin antara lain disebabkan oleh hilangnya tenaga untuk peralatan mesin sebesar 2%, pada poros balingbaling 4%, akibat melawan arus sebesar 2,5% (Handriyanto 1982).
28
2.7 Pemakaian Bahan Bakar Minyak Pemakaian bahan bakar minyak ditentukan berdasarkan nilai konsumsi spesifik menurut tipe mesin yang digunakan. Tabel 12 berikut menyajikan nilai konsumsi untuk beberapa jenis mesin sesuai dengan densitas bahan bakar minyak tersebut. Tabel 2 Konsumsi spesifik bahan bakar menurut jenis mesin No. 1. 2. 3. 4. 5.
Mesin Bensin 2 tak Bensin 2 tak Bensin 2 tak Diesel Diesel (turbo)
Densitas BBM 0.72 0.72 0.72 0.84 0.84
Konsumsi (gr/HP/jam) 400 – 500 300 – 400 220 – 270 170 – 200 155 – 180
Dengan demikian pemakaian bahan bakar selama kapal beroperasi dapat dihitung sebagai berikut: C = 0,75 x P (max) x (S/d) x t x 0.001 Keterangan : C 0,75
= konsumsi bahan bakar (dalam liter) = koefisien rata-rata: - sewaktu kapal jalan antara 0,7 – 0,8 - sewaktu operasi penangkapan 0,5 – 0,8
P (max) = daya maksimum mesin (dalam HP) S
= nilai spesifik konsumsi BBM (dalam gr/HP/jam)
d
= densitas BBM
t
= waktu selama pemakaian mesin (dalam jam) - waktu dapat diganti dengan: Jarak tempuh (dalam mil) Kecepatan (dalam knot)