4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan 2.1.1
Pengertian, klasifikasi dan fungsi pelabuhan perikanan Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.16/MEN/2006 pasal 1, pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan perikanan. Pelabuhan perikanan adalah pusat pengembangan ekonomi perikanan ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan pemasaran, baik berskala lokal, nasional maupun internasional. Aspek-aspek pelabuhan perikanan secara terperinci menurut Direktorat Jenderal perikanan 1994 adalah (Lubis, 2006): 1) Produksi
:
Pelabuhan perikanan sebagai tempat para nelayan untuk melakukan
kegiatan-kegiatan
produksinya,
mulai
dari
memenuhi kebutuhan perbekalan untuk menangkap ikan di laut sampai membongkar hasil tangkapannya. 2) Pengolahan:
Pelabuhan
perikanan
menyediakan
sarana-sarana
yang
dibutuhkan untuk mengolah hasil tangkapannya. 3) Pemasaran :
Pelabuhan perikanan merupakan pusat pengumpulan dan tempat awal pemasaran hasil tangkapannya.
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan BAB VII pasal 16, pelabuhan perikanan diklasifikasikan kedalam 4 (empat) kelas, yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Pelabuhan perikanan diklasifikasikan menjadi empat kategori utama yaitu: 1) Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) adalah pelabuhan perikanan tipe A yang biasa disebut sebagai pelabuhan perikanan kelas 1. Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) memiliki kemampuan beroperasi di samudera dan lepas pantai
5
yang sifatnya nasional dan internasional. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan BAB VII pasal 17- pasal 20 tentang pelabuhan perikanan, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) memiliki kriteria sebagai berikut: (1) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di laut teritorial, Zona Ekonomi Esklusif Indonesia dan laut lepas; (2) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya minus 60 GT; (3) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 300 m, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 3 m; (4) Mampu menampung sekurang-kurangnya 100 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 6.000 GT kapal perikanan sekaligus; (5) Ikan yang didaratkan sebagian untuk tujuan ekspor; dan (6) Terdapat industri perikanan. 2) Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) adalah pelabuhan perikanan tipe B yang biasa disebut sebagai pelabuhan perikanan kelas II. Pelabuhan perikanan ini memiliki kemampuan beroperasi di lepas pantai yang sifatnya regional dan nasional. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan BAB VII pasal 17-20 tentang pelabuhan perikanan, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) memiliki kriteria sebagai berikut: (1) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di laut teritorial dan Zona Ekonomi Esklusif Indonesia; (2) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 30 GT; (3) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 150 m, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 3 m; (4) Mampu menampung sekurang-kurangnya 75 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 2.250 GT kapal perikanan sekaligus; dan (5) Terdapat industri perikanan.
6
3) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) adalah pelabuhan perikanan tipe C. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) ini memiliki kemampuan beroperasi di pantai yang sifatnya regional. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan BAB VII pasal 17-20 tentang pelabuhan perikanan, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) memiliki kriteria sebagai berikut: (1) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial; (2) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 10 GT; (3) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 100 m, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya 2 m; dan (4) Mampu menampung sekurang-kurangnya 30 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 300 GT kapal perikanan sekaligus. 4) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) adalah pelabuhan perikanan tipe D. Pelabuhan ini dikelola oleh daerah untuk mendukung kegiatan penangkapan ikan di daerah pantai. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan BAB VII pasal 17-20 tentang pelabuhan perikanan, Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) memiliki kriteria sebagai berikut: (1) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan pedalaman dan perairan kepulauan; (2) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 3 GT; (3) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 50 m, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya 2 m; dan (4) Mampu menampung sekurang-kurangnya 20 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 60 GT kapal perikanan sekaligus.
7
Lubis (2010) menyatakan bahwa fungsi pelabuhan perikanan berdasarkan pendekatan kepentingan terbagi menjadi 3 fungsi, diantaranya: 1) Fungsi maritim; 2) Fungsi komersial; dan 3) Fungsi jasa. Selain fungsi pelabuhan berdasarkan kepentingannya, terdapat juga fungsi pelabuhan ditinjau dari segi aktivitasnya yaitu sebagai pusat kegiatan ekonomi perikanan baik ditinjau dari aspek produksi, pengolahan, pemasaran. Aspek-aspek tersebut dapat dirinci sebagai berikut (Lubis, 2010): 1) Aspek produksi; 2) Aspek pengolahan; dan 3) Aspek pemasaran. 2.1.2 Fasilitas pelabuhan perikanan Menurut Lubis (2006) dalam pelaksanaan fungsi dan peranannya, pelabuhan perikanan dilengkapi berbagai fasilitas. Kapasitas dan jenis fasilitas yang terdapat di suatu pelabuhan perikanan umumnya akan menentukan skala atau tipe dari suatu pelabuhan dan akan berkaitan pula dengan skala perikanannya. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan menyatakan bahwa fasilitas pelabuhan perikanan merupakan sarana dan prasarana yang tersedia di pelabuhan perikanan untuk mendukung operasional pelabuhan. Fasilitas-fasilitas tersebut berupa fasilitas pokok, fungsional, dan fasilitas penunjang. 1) Fasilitas pokok Fasilitas pokok merupakan fasilitas dasar yang diperlukan oleh suatu pelabuhan perikanan guna menjamin keamanan dan kelancaran kapal baik sewaktu berlayar keluar masuk pelabuhan maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas pokok ini disebut juga dengan fasilitas infrastruktur suatu pelabuhan perikanan. Fasilitas-fasiltas tersebut antara lain: (1) Fasilitas pelindung seperti breakwater, revertment, dan groin; (2) Fasilitas tambat seperti dermaga dan jetty; (3) Fasilitas perairan seperti kolam dan alur pelayaran; (4) Fasilitas penghubung seperti jalan, drainase, dan jembatan; dan
8
(5) Fasilitas lahan pelabuhan perikanan. 2) Fasilitas fungsional Fasilitas fungsional dapat disebut juga suprastruktur yaitu fasilitas yang berfungsi meningkatkan nilai guna dari fasilitas pokok dengan cara memberikan pelayanan yang dapat menunjang kegiatan yang ada di pelabuhan perikanan. Fasilitas ini tidak harus ada pada suatu pelabuhan perikanan, disediakan sesuai dengan kebutuhan operasional perikanan tersebut. Fasilitas fungsional tersebut antara lain: (1) Fasilitas pemasaran hasil perikanan seperti tempat pelelangan ikan (TPI); (2) Fasilitas navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-rambu, lampu suar, dan menara pengawas; (3) Fasilitas suplai air bersih, es dan listrik; (4) Fasilitas pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dock/slipway, bengkel dan tempat perbaikan jaring; (5) Fasilitas penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan laboratorium pembinaan mutu; (6) Fasilitas perkantoran seperti kantor administrasi pelabuhan; (7) Fasilitas transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan es; dan (8) Fasilitas pengolahan limbah seperti PAL. 3) Fasilitas penunjang Fasilitas penunjang adalah fasilitas yang secara tidak langsung meningkatkan peranan pelabuhan, fasilitas penunjang diantaranya adalah: (1) Fasilitas pembinaan nelayan seperti balai pertemuan nelayan; (2) Fasilitas pengelola pelabuhan seperti mess operator, pos jaga, dan pos pelayanan terpadu; (3) Fasilitas sosial dan umum seperti tempat peribadatan dan MCK; (4) Fasilitas kios IPTEK; dan (5) Fasilitas penyelenggaran fungsi pemerintah. 2.1.3
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke merupakan pelabuhan
perikanan tipe D. Pelabuhan ini dikelola oleh daerah untuk mendukung kegiatan
9
penangkapan ikan di daerah pantai. PPI Muara Angke terletak di delta Muara Angke disebelah barat dan selatan berbatasan dengan kali Angke, disebelah selatan berbatasan dengan Jalan Pluit dan disebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 598 tentang Pangkalan Pendaratan Ikan Daerah dan Pusat Pembinaan Kegiatan Perikanan DKI Jakarta, Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke seluruhnya seluas ±649.784 m2, sedangkan berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1263 tentang Panduan Rancang Kota Kawasan Pembangunan Terpadu Muara Angke memiliki rencana reklamasi Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke seluruhnya menjadi seluas ±71,72 ha. Kondisi saat ini kawasan Muara Angke secara eksisting telah dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan nelayan yang secara garis besarnya terbagi kedalam empat kawasan, yaitu: 1) Perumahan nelayan; 2) Pengolahan hasil perikanan tradisional (PHPT); 3) Tambak uji coba air payau; dan 4) Pangkalan Pendaratan Ikan. PPI Muara Angke memiliki fasilitas yang menunjang kegiatannya. Fasilitas-fasilitas tersebut berupa: 1) Tempat pelelangan ikan (TPI); 2) Pasar grosir; 3) Pasar pengecer; 4) Pabrik es; 5) Cold storage; 6) SPBU/SPBB; 7) Tempat pengepakan ikan; 8) Pusat jajanan serba ikan; dan 9) Instansi lain, Fasos dan Fasum. 2.2 Tempat Pelelangan Ikan 2.2.1
Pengertian dan fungsi TPI Berdasarkan Keputusan Bersama 3 Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri,
Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor:
10
139
Tahun
1997;902/Kpts/PL.420/9/97;03/SKB/M/IX/1997
tertanggal
12
September 1997 tentang Penyelengaraan Tempat Pelelangan Ikan, bahwa yang disebut dengan tempat pelelangan ikan adalah tempat para penjual dan pembeli melakukan transaksi jual beli ikan melalui pelelangan dimana proses penjualan ikan dilakukan di hadapan umum dengan cara penawaran bertingkat. Ikan hasil tangkapan para nelayan harus dijual di TPI kecuali: 1) ikan yang digunakan untuk keperluan lauk keluarga; 2) Ikan jenis tertentu yang diekspor dan ikan hasil tangkapan pola kemitraan dengan pertimbangan dan atas dasar persetujuan dari Kepala Daerah. Fungsi tempat pelelangan ikan adalah untuk melelang ikan, dimana terjadi pertemuan antara penjual (nelayan atau pemilik kapal) dengan pembeli (pedagang atau agen perusahaan perikanan), sedangkan menurut Mogohito vide Priyaza (2008), fungsi tempat pelelangan ikan adalah sebagai pusat pendaratan ikan, pusat pembinaan mutu hasil perikanan, pusat pengumpulan data, pusat kegiatan para nelayan dibidang pemasaran. Menurut Hardani (2008), pelelangan ikan merupakan suatu kegiatan dimana penjual dan pembeli bertemu dalam satu tempat (gedung TPI), di dalamnya terdapat proses tawar menawar harga ikan sehingga diperoleh harga yang mereka sepakati bersama. Pelelangan ikan merupakan mata rantai pemasaran nelayan sebagai produsen dengan pembeli dan konsumen lainnya atau disebut juga mata rantai tata niaga ikan. Kegiatan pelelangan berperan dalam menentukan harga hasil tangkapan yang dilelang (Bustami, 2007). 2.2.2
Pengelolaan aktivitas di tempat pelelangan ikan Aktivitas pelelangan ikan di TPI merupakan salah satu aktivitas di suatu
pelabuhan perikanan yang termasuk dalam kelompok aktivitas yang berhubungan dengan pendaratan dan pemasaran ikan. Pelelangan ikan memiliki peran yang cukup penting untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam pemasaran ikan. Pelelangan ikan adalah suatu kegiatan di tempat pelelangan ikan guna mempertemukan penjual dan pembeli sehingga terjadi tawar-menawar harga ikan yang disepakati bersama (Dwiyanti, 2010). Menurut Lubis (2010), tipe pengelolaan tempat pelelangan ikan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) termasuk kepada tipe pengelolaan oleh Pemerintah Daerah. Pengelolaan tempat pelelangan ikan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah TK
11
I/Propinsi c/q Dinas Perikanan dan Kelautan setempat atau adanya otonomi daerah, Pemerintah Daerah Propinsi menyerahkan lagi pengelolaan lelang ikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten melalui Dinas Perikanan dan Kelautan setempat dan beberapa Pemda Propinsi atau Kabupaten menyerahkan lagi ke KUD. Kemudian hasil retribusi yang dikenakan kepada nelayan dan pembeli diserahkan ke kas Pemerintah Daerah. Menurut UPT PPI Muara Angke (2007) vide Faubiany (2008), prosedur pelelangan ikan di PPI Muara Angke adalah sebagai berikut: 1) Kapal melaporkan kedatangannya ke pengawas perikanan (WASKI), dicatat dokumen dan mendapatkan nomor urut lelang; 2) Proses pembongkaran ikan dengan menyortir ikan berdasarkan jenis dan mutu lalu ditempatkan di dalam keranjang (trays); 3) Penimbangan hasil tangkapan di dermaga dan diawasi oleh juru timbang dari koperasi Mina Jaya kemudian diberi label volume ikan dan nama kapal; 4) Ikan disusun di lantai TPI berdasarkan nomor urut lelang yang didapatkan oleh setiap kapal; 5) Juru lelang mengumumkan dan memanggil peserta lelang untuk memulai proses pelelangan; 6) Ikan dilelang oleh juru lelang dimana jumlah peserta lelang kurang lebih 70 orang dan harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Penawaran yang dilakukan bersifat meningkat sampai tercapai harga penawaran tertinggi; 7) Seluruh hasil transaksi dicatat oleh juru bakul. Pencatatan hasil transaksi lelang meliputi: jenis, ukuran, berat dan harga ikan, nama nelayan dan nama pemenang lelang. Setelah proses pelelangan selesai, maka data diserahkan kepada petugas operator pelelangan; 8) Peserta pemenang lelang umumnya melakukan pencatatan hasil transaksi pemenang lelang yang biasanya langsung mengemasi ikannya. Setelah mencatat hasil transaksi ikan, pemilik kapal menerima uang dari petugas kasir; dan 9) Pembayaran oleh pemenang lelang dan penerimaan hasil penjualan.
12
2.2.3
Tipe pelelangan ikan Aktivitas pelelangan ikan di Indonesia umumnya masih dilakukan dengan
cara-cara sederhana. Hal ini dikarenakan pihak pengelola pelelangan belum mampu berkoordinasi secara optimal dengan pengelola pelabuhan maupun Dinas Perikanan untuk menyediakan sarana dan prasarana yang memadai serta upaya untuk menarik minat masyarakat agar ikut serta dalam proses pelelangan ikan. Klemperer (1999) vide DKP (2006) menerangkan bahwa terdapat empat tipe pelelangan ikan (fish action) yang umum dikenal. Keempat tipe pelelangan tersebut, masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Keempat tipe pelelangan tersebut adalah: 1) Tipe Inggris (english type auction); 2) Tipe Belanda (dutch type auction); 3) Tipe lelang tertutup (first-price sealed bid auction); dan 4) Tipe Vickrey (vickrey type auction) atau yang lebih umum dikenal adalah second-price sealed bid auction. Tipe Inggris (English type auction) memiliki karateristik harga lelang ditentukan secara meningkat (ascending-bid auction). Harga lelang mengalami kenaikkan hingga menyisakan seorang pelelang yang menentukan harga tertinggi. Pemenang lelang inilah yang kemudian mendapatkan barang yang dilelang. Lelang dilakukan secara terbuka dengan cara mengucapkan langsung harga lelang (call out). Mekanisme lelang ini, biasanya melalui sistem elektronik dimana peserta lelang menekan tombol elektronik berdasarkan harga yang ditawarkan. Tipe pelelangan kedua yaitu tipe Belanda, pada tipe pelelangan dilakukan dengan sistem penurunan harga (descending-bid auction). Harga ditentukan pada level yang sangat tinggi kemudian menurun secara kontinyu sampai ada peserta lelang yang menerima harga tersebut pertama kali. Peserta lelang ini kemudian ditentukan sebagai pemenang lelang (Klemperer, 2000 vide DKP, 2006) Tipe pelelangan ketiga termasuk tipe pelelangan tertutup, lelang dilakukan secara tertutup oleh peserta lelang secara independen peserta lelang tidak mengetahui harga lelang yang ditawarkan satu sama lain. Harga lelang diputuskan dari harga tertinggi (first price) yang ditawarkan peserta lelang. Tipe keempat yaitu vickrey type action memiliki karateristik yang hampir sama dengan tipe
13
lelang tertutup, namun perbedaannya terletak pada penentuan harga lelang, dimana harga lelang ditetapkan berdasarkan harga kedua (second highest price) bukan berdasarkan harga tertinggi. Tipe pelelangan keempat sangat jarang dilakukan bila dibandingkan dengan ketiga tipe lelang yang lain (Klemperer, 2000 vide DKP, 2006). Sistem lelang yang digunakan di tempat pelelangan ikan pelabuhan perikanan Indonesia pada umumnya adalah tipe Inggris (English type auction), dimana harga ditetapkan secara meningkat, disampaikan secara terbuka dan peserta lelang dengan penawaran tertinggi ditetapkan sebagai pemenang (Klemperer, 2000 vide DKP, 2006). 2.2.4 Landasan hukum penyelenggaraan lelang ikan di Indonesia Pelelangan di Indonesia memiliki aturan dan landasan hukum dalam pengaturan kegiatan maupun cara pelelangan. Landasan hukum penyelenggaraan pelelangan ikan di Indonesia diatur oleh beberapa ketentuan yang berlaku, yaitu: 1) PP No 64 Tahun 1957 pasal 7, tentang Penyerahan Sebagian dari Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan laut, Kehutanan dan Karet Rakyat kepada Daerah-Daerah Swantantra Tingkat 1; 2) PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; 3) Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi
dan
Pembinaan
Pengusaha Kecil
Nomor:
139
Tahun
1997/902/Kpts/PL.420/9/97/03/SKB/M/IX/1997 tentang Penyelenggaraan Pelelangan Ikan; dan 4)
SK Gubernur Nomor 2074/2000 tanggal 10 Agustus 2000 Tentang Penetapan Presentase Pengenaan Retribusi Pemakaian Tempat Pelelangan Ikan dan Biaya Penyelenggaraan Pelelangan Ikan oleh Koperasi Perikanan Mina Jaya yang dipungut dari nelayan sebesar 3% dan bakul sebesar 2%, sedangkan bagian Koperasi Perikanan Mina Jaya sebesar 2% dari 5% retribusi yang diterima.
14
2.2.5 Sarana dan prasarana tempat pelelangan ikan Tempat pelelangan ikan dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana yang menunjang untuk dilakukannya pelelangan. Sarana yang terdapat di tempat pelelangan dapat berupa keranjang (trays), timbangan, alat hitung dan alat pengangkut ikan, sedangkan prasarana tempat pelelangan ikan (TPI) dapat berupa gedung tempat pelelangan ikan (TPI). Menurut Lubis (2006) ruangan yang terdapat pada gedung pelelangan adalah: 1) Ruang sortir, yaitu tempat membersihkan, menyortir dan memasukkan ikan ke dalam peti atau keranjang; 2) Ruang pelelangan, yaitu tempat menimbang, memperagakan dan melelang ikan; 3) Ruang pengepakan, yaitu tempat memindahkan ikan ke dalam peti lain dengan diberi es, garam, dan lain-lain selanjutnya siap dikirim; dan 4) Ruang administrasi pelelangan, terdiri dari loket-loket, gudang peralatan lelang, ruang duduk untuk peserta lelang, toilet dan ruang cuci umum. Luas gedung pelelangan ikan ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Jumlah produksi yang harus ditampung oleh gedung pelelangan; 2) Jenis ikan yang ditangkap; dan 3) Cara penempatan ikan untuk diperagakan. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per. 04/Men/2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per. 01/Men/2007 Tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Menteri Kelautan Tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi, bahwa persyaratan tempat pelelangan ikan (TPI) adalah: 1) Terlindung dan mempunyai dinding yang mudah untuk dibersihkan; 2) Mempunyai lantai yang kedap air yang mudah dibersihkan dan disanitasi, dilengkapi dengan saluran pembuangan air dan mempunyai sistem pembuangan limbah cair yang higienis; 3) Dilengkapi dengan fasilitas sanitasi seperti tempat cuci tangan dan toilet dalam jumlah yang mencukupi. Tempat cuci tangan harus dilengkapi dengan bahan pencuci tangan dan penyaring sekali pakai;
15
4) Mempunyai penerangan yang cukup untuk memudahkan pengawasan hasil perikanan; 5) Kendaraan yang mengeluarkan asap dan binatang yang dapat mempengaruhi mutu hasil perikanan tidak diperbolehkan berada dalam TPI; 6) Dibersihkan secara teratur minimal setiap selesai penjualan, wadah harus dibersihkan dan dibilas dengan air bersih atau air laut bersih; 7) Dilengkapi dengan tanda peringatan dilarang merokok, meludah, makan dan minum dan diletakkan di tempat yang mudah dilihat dengan jelas; 8) Mempunyai pasokan air bersih dan air laut bersih yang cukup; dan 9) Mempunyai wadah khusus yang tahan karat dan kedap air untuk menampung hasil perikanan yang tidak layak untuk dimakan. Satu hal yang perlu diperhatikan yaitu lantai tempat pelelangan harus miring kearah saluran pembuangan sekitar 2o. Hal ini dimaksudkan agar air dari penyemprotan kotoran sisa-sisa ikan setelah selesai aktivitas pelelangan dapat mengalir ke saluran pembuangan dengan mudah sehingga kebersihan tempat pelelangan senantiasa terpelihara (Lubis, 2006). 2.3 Kinerja dan Pengukurannya 2.3.1
Kinerja dan penilaian kinerja Menurut Bernadin dan Russel (1993) vide Gigentika (2010), kinerja adalah
catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. Pencapaian kinerja yang tinggi merupakan suatu prestasi bagi setiap organisasi dan bagian (unit) organisasi yang oleh karenanya setiap organisasi dituntut untuk dapat selalu meningkatkan kinerjanya. Semakin tinggi kinerja organisasi, maka semakin tinggi pencapaian tujuan organisasi. Kinerja merupakan suatu konstruksi multidimensional yang mencakup banyak faktor yang mempengaruhinya. Menurut Mahmudi (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah: 1) Faktor personal/individual, meliputi: pengetahuan, keterampilan (skill), kemampuan, kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu;
16
2) Faktor kepemimpinan, meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan, dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader; 3) Faktor tim, meliputi: kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakkan dan keeratan anggota tim; 4) Faktor sistem, meliputi: sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan oleh organisasi, proses organisasi, dan kultur kinerja dalam organisasi; dan 5) Faktor
konstekstual
(situasional),
meliputi:
tekanan
dan
perubahan
lingkungan eksternal dan internal. Pada sistem penilaian kinerja tradisional, kinerja hanya dikaitkan dengan faktor personal, namun dalam kenyataannya, kinerja sering diakibatkan oleh faktor-faktor lain di luar faktor personal, seperti sistem, situasi, kepemimpinan, atau tim. Proses penilaian kinerja individual tersebut harus diperluas dengan penilaian kinerja tim dan efektivitas manajernya. Hal itu karena yang dilakukan individu merupakan refleksi perilaku anggota grup dan pimpinan (Mahmudi, 2010). Sistem penilaian kinerja dilakukan dalam sebuah proses manajemen dimana harus terjadi dan dimulai dengan menetapkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, kemudian tahap pembuatan rencana, pengoperasian, penggerakan atau pengarahan dan akhirnya evaluasi atas hasilnya. Secara teknis penilaian kinerja harus dimulai dengan menetapkan tujuan dan sasaran yaitu kinerja dalam bentuk apa dan bagaimana yang ingin dicapai dalam hal ini yang menjadi objek adalah kinerja operasional (Widiastuti, 2010). 2.3.2 Pengertian dan fungsi indikator kinerja Indikator kinerja merupakan sarana atau alat (means) untuk mengukur hasil suatu aktivitas, kegiatan, atau proses, dan bukan hasil atau tujuan itu sendiri (ends). Peran indikator kinerja bagi organisasi sektor publik adalah memberikan tanda atau rambu-rambu bagi manajer dan pihak luar untuk menilai kinerja organisasi. Indikator kinerja akan bermanfaat apabila digunakan untuk mengukur
17
sesuatu. Dengan demikian peran utama indikator kinerja adalah alat sebagai pengukur kinerja (Mahmudi, 2010). Menurut Widiastuti (2010) secara umum, indikator kinerja memiliki beberapa fungsi sebagai berikut: 1) Memperjelas tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan; 2) Menciptakan consensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kebijakan/program dan dalam menilai kinerjanya termasuk kinerja satuan organisasi/kerja yang melaksanakannya; dan 3) Membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja satuan organisasi/kerja. 2.3.3 Konsep dasar dan pengukuran value for money Menurut Mahmudi (2010) value for money (VFM) merupakan konsep penting dalam organisasi sektor publik. Value for money memiliki pengertian penghargaan terhadap nilai uang. Hal ini berarti bahwa setiap rupiah harus dihargai secara layak dan digunakan sebaik-baiknya. Konsep value for money terdiri dari: 1) Ekonomi, memiliki pengertian bahwa sumber daya input hendaknya diperoleh dengan harga lebih rendah (spending less), yaitu harga yang mendekati harga pasar. Secara matematis, ekonomi merupakan perbandingan antara input dengan nilai rupiah untuk memperoleh input tersebut; dan 2) Efisiensi, terkait dengan hubungan antara output berupa barang atau pelayanan yang dihasilkan dengan sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut. Secara matematis, efisiensi merupakan perbandingan antara output dengan input atau dengan istilah lain output per unit input. Suatu organisasi, program, atau kegiatan dikatakan efisien apabila mampu menghasilkan output tertentu dengan input serendah-rendahnya, atau dengan input tertentu mampu menghasilkan output sebesar-besarnya (spending well). Pembuatan indikator input dan output memerlukan pemahaman mengenai konsep dasar input dan output sebagai komponen dasar kedua dari sistem
18
pengukuran kinerja, untuk itu dapat diketahui mengenai deskripsi dari ketiga unsur tersebut, yaitu: 1) Input Input adalah semua jenis sumber daya masukan yang digunakan dalam suatu proses tertentu untuk menghasilkan output. Input tersebut dapat berupa bahan baku untuk proses, orang (tenaga, ketrampilan dan keahlian), infrastruktur seperti gedung dan peralatan, teknologi (hardware dan software). Pengukuran input adalah pengukuran sumber daya yang dikonsumsi oleh suatu proses dalam rangka menghasilkan output. Proses tersebut dapat berbentuk program atau aktivitas. Ukuran input mengindikasikan jumlah sumber daya yang dikonsumsi untuk suatu program, aktivitas dan organisasi. Pengukuran input dilakukan dengan cara membandingkan input sekunder dengan input primer. Dengan kata lain, pengukuran input adalah untuk mengetahui harga per unit input. 2) Output Output adalah hasil langsung dari suatu proses. Pengukuran output merupakan pengukuran keluaran langsung dari suatu proses. Ukuran output menunjukkan hasil implementasi program atau aktivitas. Pengukuran output ini berbentuk kuantitatif dan keuangan atau kuantitatif nonkeuangan. Setelah penentuan indikator input dan output selesai dilakukan tahap berikutnya, yaitu mendesain pengukuran ekonomi dan efisiensinya. Ukuran ekonomi mengindikasikan alokasi biaya, yaitu mengukur biaya input (cost of input). Ukuran ekonomi berupa beberapa anggaran yang dialokasikan. Pemanfaatan sumber daya di bawah anggaran menunjukkan adanya penghematan, sedangkan melebihi anggaran menunjukkan adanya pemborosan. Ukuran efisiensi mengukur biaya output (cost of output). Ukuran efisiensi didasarkan pada dua ukuran, yaitu input dan output. Ukuran efisiensi dapat dinyatakan dalam bentuk biaya per unit output (Mahmudi, 2010). 2.4 Kepuasan Pelanggan 2.4.1 Definisi kepuasan pelanggan Menurut Rangkuti (2002) vide Nurhayati (2007), kepuasan konsumen sebagai respon konsumen terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja aktual yang dirasakannya setelah pemakaian. Apabila
19
persepsi terhadap kinerja tidak dapat memenuhi harapan konsumen, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan konsumen. Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purnabeli, dimana persepsi terhadap kinerja produk atau jasa yang dipilih sekurang-kurangnya memenuhi atau bahkan melebihi harapan prapembelian. Jika persepsi terhadap kinerja tidak sesuai dengan harapan, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan (Tjiptono, 2000 vide Shanticka, 2008). Kepuasan pelanggan memiliki lima driver (Irawan, 2003 vide Panggabean, 2008) antara lain: 1) Kualitas produk; 2) Harga; 3) Kualitas pelayanan; 4) Emotional factor; dan 5) Biaya dan kemudahan mendapat produk dan jasa. 2.4.2
Tingkat kepentingan pelanggan Menurut Panggabean (2008), tingkat kepentingan pelanggan merupakan
keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli produk atau jasa yang akan dijadikannya standar acuan dalam menilai kinerja produk jasa tersebut. Terdapat dua tingkat kepentingan pelanggan yaitu: 1) Adequate service adalah tingkat kinerja jasa minimal yang masih dapat diterima berdasarkan perkiraan jasa yang mungkin akan diterima dan tergantung pada alternatif yang tersedia. 2) Desired service adalah tingkat kinerja jasa yang diharapkan pelanggan akan diterimanya yang merupakan gabungan dari kepercayaan pelanggan mengenai apa yang dapat dan harus diterimanya. Desired service dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga pelanggan yang mendapatkan jasa merasa puas yaitu: (1) Keinginan untuk dilayani dengan baik dan benar; (2) Kebutuhan perorangan; (3) Janji secara langsung; (4) Janji secara tidak langsung; (5) Komunikasi mulut ke mulut; (6) Pengalaman masa lalu; dan
20
(7) Keadaan darurat; Sedangkan adequate service dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: (1) Keadaan darurat; (2) Ketersediaan alternatif; (3) Derajat keterlibatan pelanggan; (4) Faktor-faktor yang tergantung situasi; dan (5) Pelayanan yang diperkirakan. 2.4.3
Pengukuran kepuasan pelanggan Menurut Rangkuti (2006) vide Panggabean (2008), kepuasan pelanggan
dapat diukur dengan cara berikut: 1) Traditional approach, yaitu dengan meminta konsumen memberikan penilaian atas masing-masing indikator produk atau jasa yang mereka nikmati dengan cara memberikan rating dari sangat tidak puas sampai sangat puas sekali, kemudian konsumen juga diminta memberikan penilaian atas produk atau jasa tersebut secara keseluruhan. 2) Analisis secara deskriptif. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan analisis statistik secara deskriptif. 3) Structured approach. Semantic differential merupakan salah satu teknik yang popular dengan menggunakan prosedur scaling. Caranya dengan meminta responden untuk memberikan penilaiannya terhadap suatu produk atau fasilitas. 4) Analisis importance dan performance matrix, yaitu pendekatan dimana tingkat kepentingan pelanggan (customer expectation atau importance) diukur dalam kaitannya dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan agar menghasilkan produk yang berkualitas baik. Pengukuran kepuasan pelanggan dapat dilakukan dengan enam konsep, yaitu (Umar, 2003 vide Panggabean, 2008): 1) Kepuasan pelanggan secara keseluruhan. Caranya yaitu dengan menanyakan pelanggan mengenai tingkat kepuasan atas jasa yang bersangkutan serta menilai dan membandingkan dengan kepuasan pelanggan secara kesuluruhan terhadap jasa yang mereka terima dari pesaing;
21
2) Dimensi kepuasan pelanggan. Dilakukan dengan empat proses yaitu pertama terlebih dahulu mengidentifikasi dimensi-dimensi kunci kepuasan pelanggan. Kedua, dengan meminta pelanggan menilai jasa perusahaan berdasarkan beberapa faktor seperti kecepatan dalam proses pelayanan atau keramahan pelayanan jasa yang diberikan terhadap pelanggan. Ketiga, meminta pelanggan menilai jasa pesaing berdasarkan faktor-faktor yang sama. Keempat, meminta pelanggan menentukan dimensi-dimensi yang menurut mereka ada di kelompok penting dalam menilai kepuasan pelanggan keseluruhan; 3) Konfirmasi harapan. Kepuasan pelanggan tidak diukur secara langsung, tetapi berdasarkan kesesuaian dan ketidaksesuaian antara harapan pelanggan dengan kinerja aktual jasa yang dijual perusahaan; 4) Minat pembelian ulang. Kepuasan pelanggan diukur berdasarkan apakah mereka akan mengadakan pembelian ulang atas jasa yang sama yang dia konsumsi; 5) Kesediaan untuk merekomendasi. Hal ini merupakan suatu cara yang memiliki ukuran penting, apalagi bagi jasa yang pembelian uangnya relatif lama, seperti jasa pendidikan tinggi; dan 6) Ketidakpuasan pelanggan. Cara mengetahui ketidakpuasan ini dapat dilakukan dengan hal komplain pelanggan, biaya garansi serta kerusakan barang.