2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Perikanan dan Perikanan Tangkap Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan jo. UU no. 45 tahun 2009,
pengelolaan perikanan adalah
semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuat keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakkan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan perikanan menyangkut berbagai tugas yang kompleks yang bertujuan untuk menjamin adanya hasil dari sumber daya alam yang optimal bagi masyarakat setempat, daerah dan negara yang diperoleh dari memanfaatkan sumber daya ikan secara berkelanjutan. Berdasarkan definisi diatas, terdapat kata-kata kunci seperti proses, elemen-elemen, keterkaitan/ketergantungan, dan tujuan. Bila dianalogikan dalam penangkapan ikan, maka pengelolaan penangkapan ikan mengandung pengertian suatu proses dalam usaha penangkapan ikan yang terdiri dari elemen-elemen yang saling terkait yang diarahkan untuk mencapai tujuan dari penangkapan ikan. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan atau berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Komponen-komponen perikanan tangkap, yakni : (1) sumberdaya manusia; (2) sarana produksi; (3) usaha penangkapan; (4) prasarana pelabuhan; (5) unit pengolahan; (6) unit pemasaran (Monintja 2001) : (1) Sumberdaya Manusia Dalam membangun dan mengembangkan usaha perikanan tangkap sangat dibutuhkan sumberdaya manusia yang
tangguh, handal dan profesional.
Untuk menghasilkan sumberdaya manusia tangguh, handal dan profesional terutama dalam penguasaan teknologi perikanan tangkap perlu pembinaan dan pelatihan yang merupakan langkah awal yang perlu diperhatikan agar
13
dalam pelaksanaan kegiatan operasi penangkapan ikan dapat berjalan optimal. (2) Sarana Produksi Indikator utama dan merupakan penunjang kearah berkembangnya usaha perikanan tangkap sangat bergantung pada fungsi sarana produksi yang tersedia. Sarana produksi tersebut antara lain penyediaan alat tangkap, pabrik es, galangan kapal, instalasi air tawar dan listrik serta pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (Dahuri 2003). (3) Usaha Penangkapan/Proses Produksi Usaha penangkapan terdiri dari kapal, alat dan nelayan, aspek legal yang meliputi sistem informasi dan unit sumberdaya terdiri dari spesies, habitat dan lingkungan fisik. (4) Prasarana Pelabuhan Menurut Peraturan Menteri Kelautan Perikanan nomor PER.16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan, yang dimaksud dengan pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. Pelabuhan perikanan selain berfungsi sebagai tempat berlabuh kapal perikanan dan tempat pendaratan ikan hasil perikanan, juga berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data. (5) Unit Pengolahan Unit pengolahan terdiri dari handling atau penanganan, processing dan packaging. Bertujuan untuk mempertahankan kualitas hasil tangkapan dengan melakukan penanganan yang tepat dan mengutamakan produksi selalu dalam keadaan higienis dan terhindar dari sanitasi buruk. Pengolahan tersebut dapat
14
dilakukan secara tradisional misalnya penggaraman, pengeringan dan pengasapan ataupun dengan cara modern/menggunakan es, atau alat pendingin lainnya (Moeljanto 1996). (6) Unit Pemasaran Hanafiah dan Saefuddin (1986) menyebutkan bahwa pemasaran merupakan arus pergerakan barang-barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. Pengelolaan perikanan menjadi semakin penting oleh sebab perubahanperubahan dalam hal ekonomi, teknologi, dan lingkungan, termasuk penggunaan cara-cara tradisional dalam penanganan sumberdaya perikanan. Contoh pengaruh perubahan-perubahan tersebut adalah peningkatan pendapatan nelayan semakin penting sejalan dengan meningkatnya pengeluaran untuk konsumsi dan barang. Semakin efisien alat penangkapan berarti semakin banyak ikan yang dapat ditangkap per satuan waktu; juga dengan adanya kemampuan sarana penyimpan seperti freezer, maka lebih banyak ikan yang dapat disimpan.
Semua itu
menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan meliputi berbagai aspek dan sifatnya dinamis sesuai perkembangan lingkungan. Keberlanjutan
perikanan
menurut
Charles
(2001),
diperlukan
keberlanjutan pada aspek ekologi, sosio-ekonomi, komunitas dan institusi, seperti digambarkan pada Gambar 3 berikut ini.
15
Ecological Sustainability
INSTITUTIONAL SUSTAINABILITY
Socio-economic
Community
Sustainability
Sustainability
Gambar 3 Segitiga keberlanjutan perikanan (Charles 2001). Pengelolaan perikanan menurut pasal 3 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo. UU No. 45 Tahun 2009, dilaksanakan dengan tujuan : (1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil; (2) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara; (3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja; (4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan; (5) Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan; (6) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; (7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; (8) Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal; dan (9) Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.
16
Menurut Cochrane (2002)
tujuan (goal) umum dalam pengelolaan
perikanan meliputi 4 (empat) aspek yaitu biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial. Tujuan sosial meliputi tujuan-tujuan politis dan budaya. Contoh masing-masing tujuan tersebut yaitu : (1) Untuk menjaga sumberdaya ikan pada kondisi atau diatas tingkat yang diperlukan bagi keberlanjutan produktivitas (tujuan biologi); (2) Untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan bagi lingkungan fisik serta sumberdaya non-target (by-catch), serta sumberdaya lainnya yang terkait (tujuan ekologi); (3) Untuk memaksimalkan pendapatan nelayan (tujuan ekonomi); (4) Untuk memaksimalkan peluang kerja/mata pencaharian nelayan atau masyarakat yang terlibat (tujuan sosial). Menurut Murdiyanto (2004) tujuan umum pengelolaan sumberdaya ikan yaitu : (1) Mempertahankan kelestarian sumber daya ikan dan kelanjutan kegiatan produksi ikan melalui pemanfaatan sumber daya perikanan sebagai mata pencaharian masyarakat bersangkutan. Tanpa sumber daya ikan maka tidak diperlukan adanya pengelolaan, karena tersedianya sumber daya ikan merupakan alasan utama suatu negara untuk membangun perikanannya (resource based development). (2) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial nelayan. (3) Memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri terhadap sumber makanan dari sektor perikanan (laut). Dalam praktek pelaksanaan pengelolaan, pihak pengelola harus dapat menentukan pilihan terbaik mengenai : tingkat perkembangan perikanan; tingkat pemanfaatan yang diijinkan, ukuran ikan yang boleh ditangkap; lokasi penangkapan yang dapat dimanfaatkan; pengaturan alokasi keuangan untuk menyusun aturan atau regulasi pengelolaan, penegakan hukum (law enforcement), serta pengembangan produksi.
17
Menurut Mann dan Lazier (1991), tujuan pengelolaan potensi kelautan dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu yang berorientasi pada aspek biologi, aspek ekonomi, aspek rekreasi; dan aspek sosial. Dari beberapa tujuan pengelolaan, mungkin ada satu atau dua yang tidak dapat direalisasikan dengan segera karena keterbatasan sumberdaya yang ada atau karena kondisi perairan yang belum memungkinkan.
2.2 Alat Penangkapan Ikan Secara umum perkembangan metode penangkapan ikan yang didasarkan kepada sifat atau tingkah laku ikan antara lain (Brandt 1984) : (1) Menggunakan tangan (2) Menggunakan bantuan hewan yang terlatih (3) Menjepit atau melukai obyek misal alat penjepit tombak, dan harpoon (4) Membuat mabuk atau membius ikan, misalnya pembiusan secara mekanik, kimiawi, dan elektrik (5) Memikat ikan dengan mangsanya, misalnya golongan pancing (lines) (6) Memikat ikan agar masuk ke dalam alat, setelah itu ikan sukar keluar ataupun tidak dapat lagi keluar, misalnya penghalang, perangkap, dan set net (7) Memerangkap ikan yang bergerak loncat ke permukaan, beberapa jenisjenis ikan mempunyai kemampuan untuk loncat melewati permukaan air misalnya untuk menangkap serangga, atau mengatasi rintangan maupun usaha mereka dalam menghindari predator, misalnya aerial trap (8) Menyaring kolom air dimana ikan berada dengan menggunakan alat berkerangka, misalnya seser, stow net, dll. (9) Melingkupi gerombolan ikan (schooling) dengan kantong, contohnya payang dan pukat pantai (diseret ke arah pantai), dan trawl (diseret sepanjang kapal bergerak) (10) Melingkari gerombolan ikan dan mengurungnya tidak hanya dari arah tepi, tetapi juga dari bagian bawah, misalnya jaring lingkar (purse-seine) dan lampara
18
(11) Menggiring ikan ke arah jaring, misalnya muro-ami (12) Mengkondisikan ikan dengan cahaya atau umpan di atas cakupan jaring untuk selanjutnya diangkat, contohnya bagan perahu dan bagan tancap (13) Menebar jaring di atas ikan, misalnya jala (14) Menghadang ikan dengan jaring sehingga terjerat atau terpuntal, misalnya jaring insang (gillnet) dan jaring puntal (15) Mengeluarkan ikan atau biota air lainnya dari suatu perairan dan memindahkannya ke atas kapal, misalnya fish pump Statistik perikanan tangkap Indonesia mengelompokkan alat penangkap ikan menjadi sembilan kelompok sebagaimana diuraikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi alat penangkapan ikan berdasarkan Statistik Perikanan No. 1
Kelompok Pukat tarik (trawl)
2
Pukat kantong (seine net)
3
Pukat cincin (purse seine)
4
Jaring insang (gillnet)
5
Jaring angkat (lift net)
6
Pancing (line)
Jenis 1. Pukat udang (shrimp trawl) 2. Pukat ikan (fish net) 3. Pukat tarik lainnya (other trawl) 1. Payang ( pelagic danish seine) 2. Dogol (demersal danish seine) 3. Pukat pantai (beach seine) 1. Pukat cincin (purse seine) 1. Jaring insang hanyut (drift gillnet), 2. Jaring insang lingkar (encircling gillnet) 3. Jaring klitik (shrimp entangling gillnet) 4. Jaring insang tetap (set gillnet) 5. Jaring tiga lapis (trammel net) 1. Bagan perahu/rakit (boat lift/raft net) 2. Bagan tancap (stationary lift net) 3. Serok dan songko (scoop net) 4. Jaring angkat lainnya (other lift nets) 1. Rawai tuna (tuna long line/ drift long line) 2. Rawai dasar/tetap (set bottom long line) 3. Huhate (pole and line) 4. Pancing tonda (troll line) 5. Pancing ulur (handline) 6. Pancing cumi (squid jigging)
19
Tabel 1 (lanjutan) No
Kelompok
7
Perangkap (traps)
8
Pengumpul dan penangkap (collectors and gears)
9
Alat tangkap lainnya
Jenis 1. Sero (guiding barrier) 2. Jermal (stow net) 3. Bubu (portable trap) 4. Perangkap lainnya (other traps) 1. Alat penangkap kerang (shell fish gears) 2. Alat pengumpul rumput laut (seaweed collectors) 3. Alat penangkap teripang (sea cucumber gears) 4. Alat penangkap kepiting (crab gears) 1. Muroami (muro ami) 2. Jala lempar/tebar (cast net) 3. Garpu dan tombak (harpoon)
Sumber : DJPT-DKP (2008) Dalam pemilihan alat penangkap ikan harus disesuaikan dengan kondisi daerah penangkapan ikan serta memenuhi kesesuaian dengan aspek : -
Technology : mudah dalam proses transfer teknologi
-
Biologi : tidak merusak lingkungan dan sumberdaya hayati laut
-
Sosial : tidak menimbulkan friksi sosial
-
Economy : menghasilkan ikan bernilai ekonomis tinggi
-
Culture : menjunjung kearifan lokal
Alat tangkap potensial serta mampu mempertahankan keberlanjutan perikanan tangkap adalah alat tangkap yang memenuhi kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan (TPIRL), jumlah hasil tangkapannya tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan, menguntungkan bagi nelayan, investasi rendah, penggunaan bahan bakar minyak rendah serta memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku (Monintja 2009). Alat tangkap yang digunakan di perairan Jakarta antara lain adalah payang, pukat cincin, jaring insang hanyut, bagan perahu, rawai, muroami dan bubu.
20
2.2.1 Pukat cincin Pukat cincin atau purse seine adalah alat penangkap ikan dari jaring yang dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan hingga alat berbentuk seperti mangkuk pada akhir proses penangkapan ikan. Operasi melingkar ini dilakukan dengan cepat, kemudian secepatnya menarik purse line diantara cincincincin yang ada, sehingga jaring akan membentuk seperti mangkuk. Kecepatan tinggi diperlukan dalam hal ini agar ikan tidak dapat meloloskan diri. Setelah ikan berada di dalam mangkuk jaring, lalu dilakukan pengambilan hasil tangkapan menggunakan alat bantu serok atau scoop net. Alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang bergerombol.
Operasi pukat cincin dapat dilakukan pada siang hari maupun
malam hari. Pengoperasian pukat cincin pada siang hari sering menggunakan rumpon atau payaos sebagai alat bantu pengumpul ikan. Alat bantu pengumpul ikan yang sering digunakan dalam pengoperasian pukat cincin di malam hari adalah lampu. Jaring payang dan dogol termasuk dalam kelompok pukat cincin. 2.2.2 Jaring insang Jaring insang adalah alat penangkap ikan dari jaring, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata jaring yang sama. Berdasarkan kontruksinya, jaring insang dikelompokkan menjari jaring insang satu lapis, jaring insang dua lapis, jaring insang tiga lapis atau trammel net. Berdasarkan cara pengoperasian di perairan, jaring insang dikelompokkan menjadi jaring insang hanyut (drift gillnet), jaring insang tetap (set gillnet), jaring insang lingkar (encyrcling gillnet) dan jaring klitik (entangled gillnet). Berdasarkan lokasi pengoperasiannya, jaring insang dikelompokkan menjadi jaring insang permukaan (surface gillnet), jaring insang pertengahan (midwater gillnet) dan jaring insang dasar (bottom gillnet). Jaring insang hanyut (drift gillnet) lebih terinci dijelaskan, dioperasikan dengan cara dihanyutkan searah pergerakan arus atau pengoperasian alat tangkap ini dengan cara jaring dibiarkan hanyut di bagian permukaan perairan. Alat tangkap ini berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung, pemberat serta tali ris atas bawah. Jaring insang hanyut cukup selektif karena memiliki mesh size 5 cm (2 inci). Berdasarkan waktu pengoperasiannya jaring ini
21
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu jaring insang hanyut siang dan jaring insang hanyut malam. Pengoperasian alat tangkap ini dilakukan dengan menggunakan kapal motor, dengan lama trip sekitar 3-7 hari. Setting dilakukan 3-5 kali dalam sehari semalam dan waktu yang dibutuhkan dari setting sampai hauling sekitar 23 jam. Pengoperasian jaring insang biasanya dilakukan secara pasif. Setelah diturunkan ke perairan, kapal dan alat dibiarkan drifting, umumnya berlangsung selama 2-3 jam. Selanjutnya dilakukan pengangkatan jaring sambil melepaskan ikan hasil tangkapan ke palka. 2.2.3 Alat penangkap ikan dengan penggiring Prinsip pengoperasian alat penangkap ikan kelompok ini adalah menggiring ikan agar masuk ke dalam alat tangkap yang telah dipasang. Alat tangkap ini dapat dipasang secara menetap atau alat tangkap digerakkan atau digeser ke arah perairan yang lebih dangkal. Dalam pengoperasiannya, kelompok alat tangkap ini dibantu menggunakan alat penggiring yang disebut drive-in-tools atau scareline. Alat penggiring digunakan unuk menggiring ikan yang sedang bersembunyi agar keluar dan bergerak ke arah dan masuk ke dalam alat tangkap. Salah satu jenis alat penangkap ikan yang termasuk kelompok ini adalah muroami berasal dari Okinawa yang banyak dioperasikan di Kepulauan Seribu. 2.2.4 Perangkap Pada prinsipnya pengoperasian kelompok alat ini adalah mengusahakan sedemikian rupa agar ikan tertarik untuk masuk ke dalam alat tangkap atau ke dalam areal penangkapan dengan sukarela, namun setelah berada di dalamnya ikan tidak dapat keluar lagi.
Salah satu jenis alat tangkap yang termasuk
kelompok ini adalah bubu (fish pots). 2.3 Usaha Perikanan Tangkap
Menurut DKP (2003), potensi dan peluang pengembangan sektor kelautan dan perikanan meliputi perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan dan perikanan, pengembangan pulau-pulau kecil, pemanfaatan benda berharga asal muatan kapal
22
tenggelam, deep sea water, industri garam rakyat, pengelolaan pasir laut, industri penunjang,
pengembangan
keanekaragaman hayati laut.
kawasan
industri
perikanan
terpadu,
dan
Pemanfaatan potensi tersebut perlu dilakukan
melalui upaya-upaya yang bertanggung jawab dengan mengedepankan prinsipprinsip yang berkelanjutan. Salah satu upaya penting yang dilakukan selama ini adalah dengan mengembangkan usaha perikanan tangkap terpadu, mulai dari skala kecil (tradisional) hingga skala besar (industri). Usaha perikanan tangkap baik yang dilakukan secara tradisional maupun secara modern sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dan hal ini sedikit berbeda usaha produksi pada bidang-bidang lainnya. Usaha perikanan tangkap di laut relatif lebih sulit diprediksi keberhasilannya karena sangat peka terhadap faktor eksternal (musim dan iklim) serta faktor internal (teknologi, sarana dan prasarana penangkapan ikan dan modal). Kerentanan dalam proses produksi akan mengakibatkan adanya fluktuasi dalam perolehan hasil tangkapannya (Nomura dan Yamazaki 1975). Usaha perikanan tangkap di Indonesia memang terlalu banyak dihadapkan dengan masalah baik yang berasal dari faktor alam, pendanaan, maupun karakter nelayan. Secara umum dapat diangkat 4 (empat) faktor yang sangat dominan mempengaruhi keberhasilan upaya pengembangan usaha perikanan tangkap khususnya skala kecil (tradisional), yaitu: pemasaran, produksi, organisasi, keuangan dan permodalan. Produk perikanan mudah rusak dan tidak tahan lama (high perishable), sehingga pelaku usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah selalu berada pada posisi sulit untuk berkembang akibat harga jual produk yang diterima sangat rendah dan cenderung tidak sebanding dengan resiko maupun biaya yang telah dikeluarkannya (Dahuri 2003). Dalam kaitan dengan kelembagaan usaha perikanan, selama ini kelembagaan tersebut baik pada usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah masih berada dalam taraf mencari bentuk kelembagaan yang tepat di dalam mengelola sumberdaya, baik ditinjau dari aspek aturan main (property rights) maupun organisasi (Nikijuluw 2002). Hal ini tentu memberikan dampak pada lemahnya posisi usaha skala kecil ini dalam melakukan negosiasi kepada
23
pihak lain. Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam rangka menguatkan aspek organisasi, sehingga timbul adanya pola-pola kemitraan antara pelaku usaha skala kecil dengan mitranya. Namun kebanyakan program pengembangan tersebut berjalan relatif tidak lancar (terseok-seok) (Roger 1990). Pada masyarakat pedesaan dan pesisir yang tingkat perkembangan ekonominya masih belum maju dan didominasi oleh sektor perikanan atau pertanian, transformasi kelompok nelayan sekaligus dapat dipandang sebagai cerminan dari transformasi masyarakat pedesaannya (Dumont 1971). Dalam pengertian yang lebih luas, dikaitkan dengan pembinaan sebagai basis kegiatan ekonomi
kelompok nelayan
di wilayah pesisir, transformasi kelompok
nelayan dapat dipandang sebagai proses modernisasi atau pembangunan wilayah pesisir. Dalam konteks pembangunan ini, kelompok nelayan sebagai wadah dari pelaku bisnis di wilayah pesisir dapat dipandang sebagai penggeraknya.
Proses
transformasi budaya ekonomi tradisional menuju ekonomi pasar yang terjadi di Indonesia disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Transformasi budaya tradisional dan modern No
Penciri (indikator)
1 2
Orientasi ekonomi Penggerak ekonomi
3 4 5 6
Sumber kapital Teknologi Sumberdaya manusia Manajemen
7
Spirit usaha
8
Ciri produk
9
Pola hubungan sosial
10
Solidaritas sosial
Tradisional Subsisten Padat tenaga kerja (labour intensive) Tengkulak/rentenir Sederhana Unskilled labour Keluarga Risiko minimum, keamanan usaha Mutu tidak baku, bersifat musiman Kontak langsung (personal communal) Mekanik ditanggung bersama (collective action)
24
Modern Komersial (profit) Padat modal (capital intensive) Kredit formal Bank Tinggi (mutahir) Terampil (skilled) Profesional (achievement) Motivasi prestasi, mandiri, berani Mutu baku, terus menerus Tidak langsung (impersonal contact) Organik (individual action) ditanggung individu
Tabel 2 (lanjutan) No
Penciri (indikator)
Tradisional
11
Cara mengambil Feodalistik keputusan 12 Interdependensi antar Ekstrim pelaku ekonomi 13 Kemampuan kompetisi Lemah 14 Ketegangan sosial Rendah Sumber : Puslitbangkan Deptan (1997)
Modern Demokratik Moderat Kuat Tinggi
Dampak positif dari adanya transformasi dalam kegiatan usaha perikanan tangkap tersebut adalah terjadinya pemberdayaan kelompok nelayan yang kemudian dapat menjadikan karakteristik usaha menjadi lebih kuat, produk perikanan dan peranannya dalam perekonomian wilayah pesisir semakin nyata, serta masyarakat nelayan lebih sejahtera. Perubahan karakteristik usaha menyangkut karakteristik : sumberdaya manusia (nelayan), organisasi (kelompok) usaha produktif setempat, kegiatan usaha yang berkaitan dengan pemberdayaan kelompok nelayan yang menggambarkan penguasaan dan penggunaan teknologi, penguasaan modal, aset strategis, mutu dan organisasi pengelolaan tenaga kerja keluarga (secara organik) juga sumber pendapatan keluarga. Untuk perubahan yang berkaitan dengan produk perikanan akan menggambarkan posisi produk utama perikanan diantara produk perikanan yang diperdagangkan dan persaingan usaha sejenis, kemampuan mengelola modal dan perkembangan usaha. Untuk perubahan yang berhubungan dengan industri pengolahan perikanan yaitu kemampuan penyerapan modal, penerapan teknologi pasca panen, manajemen usaha, sumberdaya manusia dan pengembangan (kelembagaan) kerjasama usaha. Dampak positif dari adanya transformasi tersebut dapat mempercepat perubahan kebidupan nelayan dan masyarakat pesisir menjadi lebih baik. 2.4 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Permintaan pasar dunia untuk konsumsi ikan akan terus menguat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan manfaat positif dari produk perikanan. Beberapa negara maju diperkirakan menjadi importir bersih produk perikanan pada tahun 2030 dengan volume impor mencapai 21 juta ton. Pasar
25
ekspor China juga dinilai potensial dengan konsumsi diprediksi naik dari 33 juta ton pada tahun 1997 menjadi 53 juta ton pada tahun 2020. Untuk mengimbangi peningkatan permintaan tersebut, pemerintah berupaya meningkatkan produksi perikanannya. Kenaikan rata-rata total produksi perikanan tangkap dari tahun 2005 – 2009 sebesar 2,95 persen, berturut-turut total produksi perikanan tangkap dari tahun 2005 – 2009 (tahun 2009 angka sementara) adalah sebagai berikut; 4,705 juta ton, 4,806 juta ton, 5,044 juta ton, 5,196 juta ton dan 5,285 juta ton (KKP 2010). Peningkatan yang cukup rendah pada produksi perikanan tangkap di laut pada kurun waktu tersebut terjadi karena beberapa upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah seiring dengan jumlah produksi yang sudah mendekati jumlah tangkap yang diperbolehkan (JTB) yaitu sebesar 80 persen dari nilai potensi lestari sumber daya ikan atau sebesar 5,12 juta ton/tahun (MMAF 2009a). Pembatas
terbesar
pada
peningkatan
produksi
adalah
kurangnya
peningkatan teknologi, perluasan pasar dan biaya operasional yang tinggi, terutama bahan bakar yang mencapai 60% biaya produksi. Untuk itu diperlukan bantuan dari berbagai pihak untuk menyediakan modal usaha atau modal operasional yang meringankan nelayan dalam penggunaan bahan bakar sebelum dan setelah produksi. Mengingat masih banyak lembaga keuangan yang membatasi kredit atau penyaluran modal bagi usaha bidang perikanan, terutama perikanan tangkap (Sparre dan Venema 1999). Salah satu komponen pokok yang sensitif dan selalu menjadi ciri khas pada usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah adalah permasalahan permodalan. Permasalahan modal bukan disebabkan oleh tidak adanya lembaga keuangan dan kurangnya uang beredar, namun disebabkan sebagian besar lembaga keuangan di Indonesia kurang berminat pada kegiatan usaha perikanan, karena dianggap beresiko tinggi (high risk) mengingat hasil tangkapan nelayan tidak pasti.
Dalam menyalurkan dana pinjamannya, lembaga keuangan pada
umumnya menetapkan syarat agunan (collateral) yang sulit untuk dapat dipenuhi oleh para pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil. Dalam proses produksi di bidang perikanan, berbagai hal perlu dilaksanakan secara sinergi sehingga kegiatan produksi berhasil maksimal.
26
Terkait dengan ini ada beberapa aspek yang perlu dianalisis dan dipertimbangkan terkait kegiatan produksi dalam bidang perikanan ini, yaitu : (1) Analisis aspek pemasaran yang mencakup : 1) Demand masa kini dan lampau (kecenderungan dalam volume penjualan, harga dan perilaku pembeli) 2) Permintaan dan harga dimasa datang (perubahan konsumsi masyarakat, perkembangan populasi penduduk, pertumbuhan pendapatan, elastisitas pendapatan, dan perilaku substitusi) 3) Persaingan pasar baik di tingkat lokal, nasional dan internasional 4) Perencanaan kebijakan pemasaran oleh pelaku usaha. (2) Analisis sumberdaya ikan yang mencakup : 1) Deskripsi daerah penangkapan ikan (fishing ground) 2) Estimasi potensi lestari (MSY) 3) Hasil tangkapan spesies terkait dalam 10 tahun terakhir 4) Kecenderungan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) 5) Distribusi (sebaran) ikan menurut daerah penangkapan dan musim 6) Proyeksi hasil tangkapan selama berlangsung proyek 7) Mobilitas ikan untuk ruaya dan migrasi 8) Karakteristik komersial dari ikan meliputi ukuran dan kualitas fisik 9) Peluang pengembangan produksi ke depan (3) Analisis aspek teknis menyangkut operasi penangkapan ikan yang mencakup: 1) Kapal perikanan 2) Alat tangkap 3) Anak buah kapal (ABK) 4) Bahan perbekalan 5) Kondisi lingkungan fisik daerah penangkapan ikan 6) Pola operasi (lama berlangsung satu trip, hari navigasi, hari operasi, hari darat ikan, hari doking, jumlah trip per tahun, perubahan musim, dan alternatif daerah penangkapan ikan) 7) Hasil tangkapan (komponen spesies, ukuran, kualitas, dan hasil tangkapan per periode waktu tertentu) 8) Penanganan hasil tangkapan di kapal
27
9) Pengangkutan hasil tangkapan ke pelabuhan 10) Fasilitas pelabuhan yang menjadi tempat pendaratan ikan (4) Aspek organisasi dan manajemen yang meliputi : 1) Aspek legal perusahaan 2) Aspek legal proyek 3) Struktur organisasi yang ada 4) Struktur manajemen per komponen 5) Uraian tanggung jawab dan kewenangan 6) Uraian tugas setiap personel 7) Rencana struktur organisasi proyek 8) Kaitan dengan perusahaan, instansi dan lembaga lain 9) Kualifikasi dan pengalaman karyawan yang ada 10) Kualifikasi dan sumber personel yang akan direkrut. 11) Pendapatan dan insentif karyawan dan ABK armada penangkapan ikan 12) Fasilitas bagi karyawan dan ABK (5) Analisis kepekaan yang mencakup : 1) Penurunan produksi (5 – 25 %) tergantung lama musim pacekelik, kondisi fisik daerah penangkapan yang tidak mendukung. 2) Peningkatan produksi tergantung lama musim puncak dan peningkatan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE). 2.5 Landasan Hukum Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di dalam Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF), perairan laut merupakan sumberdaya yang bersifat common property atau milik bersama, artinya siapa pun dapat memanfaatkan sumberdaya hayati yang terkandung di dalam suatu perairan laut. Oleh karena itu, agar tidak terjadi konflik di antara pemanfaat laut, maka dibuat undang-undang dan atau peraturan-peraturan perikanan, baik yang berlaku secara lokal, nasional, regional maupun internasional, sekaligus menjadi perangkat hukum pengendali pemanfaatan. Masyarakat pengguna laut harus mematuhi aturan main yang berlaku.
28
Di
Indonesia, perangkat hukum tersebut dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, surat keputusan menteri, dan peraturan daerah. Beberapa perangkat hukum terkait dengan pemanfaatan sumberdaya ikan di Indonesia diantaranya adalah : (1) Undang-Undang Dasar 1945, pasal 25A dan pasal 33 (2) Undang-Undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) (3) Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan jo. UU No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan (4) Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di ZEEI (5) Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan (6) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 39 Tahun 1980 tentang Pelarangan Penggunaan Pukat Harimau (Trawl) (7) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 85 Tahun 1982 tentang Penggunaan Pukat Udang (8) Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 607/Kpts/UM/9/1976 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan jo. SK Mentan No. 392 tahun 1999 (9) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap (10)Peraturan lain yang telah diterbitkan oleh pemerintah daerah setempat 2.6 Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Perikanan Ruang wilayah pesisir dan laut umumnya selalu berubah-berubah seriring terjadi pasang surut di wilayah pantai. Hal ini terkadang menyulitkan terutama untuk justifikasi batas wilayah administrasi daerah. Untuk kepentingan pengelolaan, batas wilayah pesisir dibagi dua macam, yaitu batas wilayah perencanaan (planning zone) dan batas wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-today management). Wilayah perencanaan dapat meliputi seluruh daratan apabila terdapat aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh
29
manusia yang secara nyata dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir serta masih memungkinkan untuk dikembangkan.
Untuk
wilayah keseharian, pemerintah mempunyai kewenangan yang dapat menetapkan beberapa peraturan terkait dengan aktivitas ekonomi atau pembangunan yang dilakukan oleh manusia. Menurut Dahuri (2001), wilayah pesisir merupakan ruang dimana terjadi pertemuan antara daratan dan lautan. Ruang ke arah daratan meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan ruang ke arah lautan terdiri dari bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti aliran air tawar dan sedimentasi. Ruang ke arah laut ini didiami oleh berbagai jenis ikan, terumbu karang, rumput laut, dan biota laut lainnya. Karakterisktik wilayah pesisir dan laut terutama yang kaya dengan sumberdaya alamnya tentu membutuhkan perhatian khusus dari pihak-pihak terkait. Beberapa alasan perlunya pengelolaan wilayah pesisir dan laut dengan perhatian khusus adalah : (1)
Pemanfaatan ruang pesisir secara monokultur sangat rentan terhadap perubahan baik yang bersifat internal maupun eksternal, sehingga menjurus pada kegagalan bila diusahakan. Hal ini karena selain karena pemanfaatan secara monokultur dapat mengeksploitasi komponen tanah atau air, juga karena struktural tanah maupun aliran air di wilayah pesisir yang secara alami lembek atau tidak kuat.
(2)
Di wilayah pesisir dan laut yang padat, biasanya kegiatan ekonomi berkembang dengan pesat baik yang mengarah ke daratan maupun mengarah ke lautan, seperti transportasi, pasar produk, pariwisata, pertambakan, budidaya rumput laut, penangkapan ikan dan lainnya. Akibatnya, tekanan terhadap wilayah pesisir dan laut tersebut semakin meningkat, apalagi semua limbah kegiatan bermuara ke wilayah sekitar.
(3)
Di wilayah pesisir dan laut hidup berbagai jenis biota baik dari jenis tumbuhan maupun hewan darat dan laut.
30
Biota tersebut mempunyai
manfaat banyak bagi kehidupan seperti pelindung terhadap abrasi, bahan obat-obatan, pengontrol suhu perairan dan daratan sekitar, serta manfaat lainnya. (4)
Wilayah pesisir dan laut merupakan sumberdaya yang menjadi milik bersama (common property resources), sehingga banyak yang bergantung kepada wilayah tersebut. Dengan demikian, kerusakan terhadap wilayah ini akan memberi dampak luas pada kehidupan masyarakat. Wilayah pesisir dan laut selama ini banyak dipergunakan untuk berbagai
kegiatan masyarakat seperti untuk kegiatan industri, perdagangan, perkantoran, pemukiman, pengembangan kegiatan perikanan, rekreasi, sumber energi, kegiatan militer, perlindungan alam bahkan pembuangan limbah dari aktivitas manusia. Kondisi ini memang cukup dilematis, dimana aktivitas yang bertolakbelakangpun dampaknya dapat terjadi di wilayah ini. Hal ini dapat dipahami karena wilayah pesisir dan laut ini merupakan penghubung aktivitas di darat dan laut, aktivitas antar pulau, dan secara geografis berada di wilayah ruang yang rendah sehingga menyebabkan beberapa aliran sungai bermuara di ruang/wilayah pesisir dan laut tersebut termasuk yang membawa berbagai jenis limbah di daratan.
Terkait
dengan ini, maka pemanfaatan wilayah pesisir dan laut terutama untuk kegiatan perikanan harus diatur dengan baik. Kegiatan perikanan merupakan kegiatan produksi yang menghasilkan bahan pangan bagi kehidupan manusia, sehingga perlu diberi ruang aktivitas yang tepat untuk dihasilkannya produk perikanan yang aman bagi kehidupan manusia. 2.7 Analisis SWOT Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats) merupakan salah satu metode untuk menggambarkan kondisi dan mengevaluasi suatu masalah, proyek atau konsep bisnis yang berdasarkan faktor internal (dalam) dan faktor eksternal (luar). Metode ini sering digunakan dalam mengevaluasi suatu bisnis untuk merumuskan strategi dan kebijakan yang tepat. Analisis SWOT akan menggambarkan situasi yang sebenarnya, tekniknya
31
sederhana, fleksibel karena dapat disesuaikan dengan tujuan analisis serta mudah dipahami. Analisis SWOT juga telah menjadi salah satu alat yang berguna dalam bidang industri. Namun demikian tidak menutup kemungkinan untuk digunakan pada bidang-bidang yang lain karena sifatnya yang fleksibel sebagai aplikasi alat bantu pembuatan keputusan. Proses penggunaan analisis SWOT diperlukan suatu survei internal tentang strengths (kekuatan) dan weaknesses (kelemahan) program, serta survei eksternal tentang opportunities (peluang) dan threats (ancaman). 1) Kekuatan Merupakan kondisi kekuatan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kekuatan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. 2) Kelemahan Merupakan kondisi kelemahan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kelemahan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. 3) Peluang Merupakan kondisi peluang berkembang di masa datang yang akan terjadi. Kondisi yang terjadi merupakan peluang dari luar organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri, misalnya kompetitor, kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar. 4) Ancaman Merupakan kondisi yang mengancam dari luar. Ancaman ini dapat mengganggu organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. Analisis SWOT dimulai dengan membuat tabel matriks yang berfungsi sebagai tabel informasi SWOT. Kemudian dilakukan pembandingan antara faktor internal yang meliputi kekuatan dan kelemahan dengan faktor eksternal yang meliputi peluang dan ancaman. Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan (Rangkuti 2008). Strategi yang dipilih merupakan strategi yang paling menguntungkan dengan resiko dan ancaman yang paling kecil.
32
Selain untuk pemilihan strategi dan kebijakan alternatif, analisis SWOT dapat digunakan untuk melakukan perbaikan dan improvisasi strategi dan kebijakan. Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan dalam kondisi saat ini, analisis SWOT dapat menghasilkan strategi untuk melakukan perbaikan diri, antara lain strateginya dengan meningkatkan kekuatan dan peluang atau melakukan strategi lain yaitu mengurangi kelemahan dan ancaman. 2.8 Linear Goal Programming (LGP) Menurut Stevenson (1989) bahwa goal programming merupakan variasi dari model linear programming yang dapat digunakan untuk menangani masalah yang mempunyai banyak sasaran, untuk menyelesaikan persoalan pengalokasian sumber-sumber yang terbatas seperti tenaga kerja, bahan baku, jam kerja mesin dan sebagainya, dengan cara terbaik yang mungkin dilakukan. Menggunakan metode ini akan diperoleh maksimasi, dapat berupa maksimasi keuntungan atau maksimasi berupa minimisasi biaya. Cara terbaik yang dimaksud diatas adalah keputusan yang diambil berdasarkan pilihan dari berbagai alternatif. Metode Goal Programming telah banyak diterapkan dalam penelitianpenelitian terdahulu sebagai solusi pemecahan masalah dalam pengambilan masalah multi sasaran; merupakan metode yang tepat digunakan dalam pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan-tujuan yang bertentangan di dalam batasan-batasan yang kompleks dalam perencanaan produksi.
Metode Goal
Programming juga efektif bila digunakan untuk menentukan kombinasi produk yang optimal dan sekaligus mencapai sasaran yang diinginkan. 2.9 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG merupakan salah satu sistem informasi yang menekankan pada informasi geografis, yang merupakan bagian dari keruangan (spatial). Penggunaan kata “geografis” mengandung pengertian suatu persoalan mengenai bumi secara tiga dimensi yaitu tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, informasi mengenai posisi dimana suatu obyek terletak dan informasi mengenai
33
keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat dipermukaan bumi dimana posisinya diketahui (Prahasta 2001). SIG pada dasarnya adalah suatu sistem informasi yang bereferensi dan berbasis komputer, yang mampu menampung, menyimpan, mengolah dan mensimulasi data spasial, sehingga menghasilkan output sesuai tujuan. SIG bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karakteristik potensi suatu
wilayah
dapat
digambarkan
dengan
baik,
karena
SIG
mampu
mengintegrasikan beberapa data/peta dan mempunyai kemampuan sebagai pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikian rupa, sehingga data tersebut dapat dipilih dan dipergunakan
bagi berbagai
kepentingan dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan. Dalam SIG data disimpan dalam dua bentuk, yaitu data spasial dan data atribut. Untuk keperluan analisis data spasial, data atribut disimpan secara terpisah yang selanjutnya diintegrasikan (Maguire et al. 1991, diacu dalam Soebagio 2004). Dengan menggunakan data yang diperoleh dari fasilitas citra satelit dan foto udara yang dapat dihubungkan secara langsung, maka data diperoleh dari periode tertentu pada area yang sama, dipakai untuk mengetahui perubahan yang terjadi di rona muka bumi. SIG berperan dalam penyusunan data dasar dan model analisis spasial sehingga akan didapatkan model dasar. Model dasar dan data dasar yang dibuat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menyusun skenario perencanaan dan identifikasi kegiatan-kegiatan pembangunan dengan menentukan kriteria-kriteria setiap kegiatan.
Selanjutnya dengan SIG dapat diperoleh suatu kesesuaian
pemanfaatan ruang yang terkoordinasi yang melibatkan sejumlah data dan informasi yang bervariasi. 2.10 Analisis Location Quotient (LQ) Menurut Hood (1998), Location Quotient adalah suatu alat pengembangan ekonomi yang lebih sederhana dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model
34
ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemicu pertumbuhan. Menurut Moineddin et al. (2002), analisis Location Quotient (LQ) banyak digunakan sebagai metode utama dalam menganalisis ekonomi basis suatu wilayah (Isserman 1977 diacu dalam Moineddin et al. 2002). Dalam penelitian ini analisis LQ digunakan untuk menentukan wilayah yang dapat dijadikan basis pengembangan alat tangkap potensial di perairan Jakarta sehingga dapat memacu ekonomi wilayah tersebut dalam skala kecamatan. 2.11 Analytical Hierarchy Process (AHP) Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan dalam proses pengambilan keputusan atau pemilihan alternatif kebijakan dalam suatu proses pengembangan. AHP merupakan suatu teori umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menentukan skala ratio baik pembandingan pasangan yang diskrit maupun kontinyu (Mulyono 1991). AHP merupakan suatu metode yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas dalam rancangannya terhadap suatu masalah (Saaty 1991). Metode menstruktur masalah dalam bentuk hierarki dan memasukkan pertimbangan-pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif. AHP dapat berfungsi dengan baik selama pemakai memiliki pemahaman yang baik mengenai masalah yang dihadapi. Selanjutnya dinyatakan bahwa, kekuatan AHP terletak pada struktur hierarki yang memungkinkan dimasukkannya semua faktor penting dan mengaturnya sampai ketingkat alternatif. Setiap masalah dapat dirumuskan sebagai keputusan berbentuk hierarki, kadang-kadang dengan ketergantungan untuk menunjukkan bahwa beberapa elemen bergantung pada yang lain dan pada saat yang sama elemen yang lain tergantung padanya. Elemen pada setiap tingkat digunakan sebagai sifat bersama untuk membandingkan elemen-elemen yang berada setingkat dibawahnya. AHP memberikan kerangka yang memungkinkan untuk mengambil keputusan yang efektif untuk persoalan yang kompleks dengan jalan
35
menyederhanakan dan mempercepat pengambilan keputusan. Pada dasarnya metode AHP memecah suatu situasi yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam bagian komponennya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki, memberi pertimbangan numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel dan mensintesa berbagai pertimbangan untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas relatif yang lebih tinggi (Saaty 1991). Penetapan prioritas berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya (Mulyono
1991).
Langkah
pertama
untuk
menyusun
prioritas
adalah
membandingkan kepentingan relatif dari masing-masing unsur dan menduga prioritas untuk sub faktornya. Sintesis prioritas dilakukan untuk mendapatkan prioritas menyeluruh subsektor dan langkah berikutnya. 2.12 Penelitian Terdahulu di Perairan Jakarta Telah banyak penelitian terdahulu di bidang perikanan yang menjadikan perairan Jakarta sebagai obyek maupun wilayah studi, sebagai gambaran penelitian terdahulu, dalam Tabel 3 dapat dilihat masing-masing tujuan dari setiap penelitian serta gasir besar hasil penelitian.
36
Tabel 3 Matriks penelitian terdahulu di perairan Jakarta Peneliti/Tahun/Judul Anna. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan– Pencemaran
Tujuan Penelitian Membangun model embedded dinamik ekonomi interaksi perikananpencemaran
Hasil Penelitian Model paling fit untuk interaksi perikananpencemaran adalah model Gompertz
Menghitung pengaruh aktivitas produksi terhadap nilai biomass, produksi dan rente sumberdaya perikanan pada kondisi aktual, lestari dan optimum.
Perairan Teluk Jakarta mengalami overfishing untuk perikanan demersal baik secara biologi maupun ekonomi
Telah terjadi depresiasi SDI di perairan Teluk Jakarta yang cukup signifikan, yaitu dengan nilai Rp 1,903 milyar per tahun untuk kondisi baseline dan Rp 4,605 milyar per tahun untuk kondisi pencemaran Menghitung besar dampak Kondisi pencemaran kegiatan non-produksi menyebabkan penurunan total (pencemaran) terhadap total benefit sekitar Rp 691,46 juta per tahun benefit (kesejahteraan) yang dirasakan masyarakat. Menghitung depresiasi sumberdaya ikan (SDI) akibat kegiatan produksi dan non-produksi (pencemaran).
Menghitung laju degradasi / Terjadi degradasi ikan depresiasi sumberdaya ikan. demersal sebesar 18 % per tahun untuk kondisi baseline dan 21 % per tahun untuk kondisi pencemaran Potensi perbaikan dari Menganalisis efisiensi dari efisiensi Decision Making perbaikan kerusakan Unit menunjukkan tidak ada sumberdaya ikan terhadap ruang untuk peningkatan peningkatan upaya (effort) effort dari tahun ke tahun pemanfaatan dari tahun ke tahun Menganalisis implikasi Diperlukan kebijakan kebijakan pengelolaan lingkungan terpadu dengan sumberdaya perikanan yang perikanan (envo-fishery) yang ditunjang oleh institutional optimal berkaitan dengan policy dan green fishery tangkap lebih dan pencemaran policy. perairan.
37
Tabel 3 (lanjutan) Peneliti/Tahun/Judul Rudianto. 2004. Analisis Konflik Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir (studi Kasus Pantai Utara Jakarta)
Tujuan Penelitian Mengkaji konflik pemanfaatan lahan antara squatter (pemukim liar) dan pemilik lahan berdasarkan pendekatan lokasi pemukiman squatter
Mengkaji tipologi konflik pemanfaatan lahan antara squatter dan pemilik lahan secara sosial ekonomi
Memformulasikan resolusi konflik pemanfaatan lahan berdasarkan optimasi lahan
38
Hasil Penelitian Konflik pemanfaatan lahan yang ada mencakup penyerobotan lahan secara illegal dengan cara (a) pembayar preman, (b) membayar kepada pemilik lama, (c) mendirikan bangunan tanpa ijin. Berdasarkan tempatnya, konflik terjadi dalam bentuk pemanfaatan lahan di sungai, rawa, pemanfaatan yang belum termanfaatkan, pemanfataan lahan reklamasi, lahan konservasi, pemanfaatan lahan sepanjang jalan kereta api, dan lahn sepanjang jetty. Hasil kajian secara sosial ekonomi menunjukkan bahwa ada konflik yang menyebabkan lahan harus dipertahankan, harus dikurangi, dan perlu ditambah squatternya. Lahan yang perlu dikurangi squatternya mencakup Kapuk Muara, Penjaringan, Pluit I, Ancol, Tanjung Priok, dan Tugu Selatan. Lahan yang perlu ditambah squatternya mencakup Pluit II, Kalibaru, Marunda, Kamal Muara, dan Cilincing. Formula/program resolusi yang diperoleh mencakup program pulang kampung, program pemberdayaan squatter, program konsolidasi lahan, dan program pembangunan rumah susun
Tabel 3 (lanjutan) Peneliti/Tahun/Judul Saksono. 2008. Kajian Pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Berbasis Industri Perikanan.
Tujuan Penelitian Menguji dan menganalisis interaksi antarfaktor pembangunan perikanan dalam pembangunan kabupaten dan/atau kota yang berbasis industri perikanan
Hasil Penelitian Beberapa komponen utama yang saling berinteraksi dan berkorelasi secara signifikan positif dalam pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, yaitu: antara implementasi kewenangan bagi Pemerintah (KBP) dan kewenangan bagi Pemerintah Daerah Otonom (KBO) dengan lingkup usaha perikanan (LUP) maupun terhadap kegiatan usaha perikanan yang berkembang berupa kegiatan perikanan tangkap (TKP), perikanan budidaya (BDY), dan pengolahan hasil perikanan (PROS). Keadaan ini memberikan efek ganda terhadap tujuan pembangunan perikanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Merancang suatu model Secara umum, model pembangunan bagi Kabupaten pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Administrasi Kepulauan Seribu mencakup dua aksi berbasis industri perikanan. penting, yaitu (1) Perlu segera mengkaji kembali berbagai kebijakan pembangunannya agar lebih berorientasi pada pemanfaatan potensi laut yang berbasis industri perikanan, terutama pada wilayah yang juga berfungsi sebagai kawasan konservasi, sehingga terwujud sinkronisasi dan harmoninasi antara kegiatan pembangunan wilayah dengan terjaminnya kelestarian fungsi lindung wilayah.
39
Tabel 3 (lanjutan) Peneliti/Tahun/Judul
Tujuan Penelitian
Hasil Penelitian (2) Pelaku bisnis perikanan dalam pengembangan kegiatan industri perikanan perlu mengembangkan rencana bisnisnya yang bertanggung jawab baik dalam penerapan fungsi lindung dan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatannya. Hal ini penting supaya pengelolaan wilayah pesisir dan lautan dapat bermanfaat secara optimal dan berkelanjutan, demi peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan dan terjaminnya kelangsungan hidup generasi yang akan datang.
Sumber : Anna (2003), Rudianto (2004) dan Saksono (2008) Bila hasil penelitian-penelitian tersebut dibandingkan dengan apa yang diteliti dalam disertasi ini, maka aspek yang diteliti dalam disertasi ini merupakan hal baru dan belum pernah diteliti pada kegiatan penelitian terdahulu di perairan Jakarta, yang mencakup Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Secara umum, penelitian dalam disertasi ini bertujuan untuk menyusun strategi
kebijakan
pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di perairan Jakarta, Provinsi DKI Jakarta.
Tujuan umum ini sangat bersesuaian dan mendukung penelitian
sebelumnya yang pernah ada terutama penelitian Anna (2003) dalam pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan menganggap perlunya kebijakan envo-fishery yaitu kebijakan yang memadukan lingkungan dan perikanan, yang salah satu penunjangnya adalah green fishery policy yaitu kebijakan yang mengarah kepada pengendalian output dengan pengendalian eksternalitas antara lain pencemaran perairan. Tujuan khusus penelitian dalam disertasi ini adalah (1) mengevaluasi tingkat keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta, (2) menentukan alokasi optimum dari berbagai jenis alat tangkap potensial di perairan Jakarta dan wilayah basis pengembangannya, (3) Menganalisis kesesuaian ruang
40
untuk aktivitas perikanan di perairan Jakarta berdasarkan rencana tata ruang wilayah, dan (4) menganalisis faktor internal dan eksternal dalam rangka menyusun strategi pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di perairan Jakarta. Keempat tujuan secara khusus tersebut diatas belum pernah dilakukan sebelumnya. Tujuan pertama dan kedua dari penelitian ini dapat melengkapi penelitian tentang tangkap lebih (overfishing) dan efisiensi dari perbaikan kerusakan sumberdaya ikan terhadap peningkatan upaya pemanfaatan potensi perikanan yang dilakukan Anna (2003). Tujuan ketiga dari penelitian ini
membantu mempertegas upaya
pemecahan konflik pemanfaatan lahan/wilayah dalam penelitian Rudianto (2004) dan potensi perikanan yang mengundang ketertarikan masyarakat termasuk squatter yang terlibat pada kegiatan perikanan. Tujuan ketiga ini pula menyempurnakan penelitian Saksono
(2008) tentang pembangunan daerah
Kepulauan Seribu yang berbasis industri perikanan, yaitu sebagai tambahan rujukan pengembangan daerah berdasarkan kesesuaian ruang dan penentuan wilayah basis alat tangkap potensial. Tujuan keempat penelitian ini merumuskan lebih aplikatif tentang strategi pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di perairan Jakarta dan sebelumnya belum pernah dilakukan di lokasi. Namun tujuan keempat ini dapat menjadi rujukan implementatif bagi model pembangunan berbasis industri perikanan yang dilakukan Saksono (2008).
41