21
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sistem Usaha Perikanan Tangkap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mnyatakan
bahwa Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan. Sistem bisnis perikanan terdiri atas sub-sub sistem yang saling terkait untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Usaha perikanan tangkap adalah semua usaha yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum untuk menangkap ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersil (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005). Kebijakan
pembangunan
perikanan
tangkap
diarahkan
untuk:
(1)
menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan
industri
perikanan
dalam
negeri;
(2)
merasionalisasi,
nasionalisasi dan modernisasi armada penangkapan secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan kepada perusahaan dalam negeri dan nelayan lokal; dan (3) menerapkan pengelolaan perikanan secara bertahap berorientasi kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005). Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan di satu sisi dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan di sisi lain merupakan sebuah dilema yang perlu dikaji, mengingat sifat sumberdaya ikan yang unik. Dibutuhkan upaya efektif dari pemegang otoritas sumberdaya ikan dalam pemantauan dan pengendalian dalam pemanfaatannya. Untuk itu, dibutuhkan upaya rasionalisasi kapal dan alat tangkap secara optimal dalam rangka pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Pemanfaatan SDI oleh usaha perikanan tangkap membutuhkan suatu perencanaan industri perikanan tangkap yang mengacu pada hubungan komponen dalam kompleksiitas penangkapan ikan. Artinya, perikanan
22
tangkap terdiri atas berbagai komponen yang saling berhubungan dan mempengarui satu dengan lainnya, seperti dapat terlihat pada Gambar 2. MASYARAKAT KONSUMEN MODAL TEKNOLOGI PEMBINAAN
MEMBANGUN MEMBUAT MENYELENGGARAKAN
DEVISA
EKSPOR
SARANA PRODUKSI
DOMESTIK
GALANGAN KAPAL PABRIK ALAT DIKLAT TK
DIJUAL MEMBAYAR UNIT PEMASARAN
MEMASOK
DISTRIBUSI PENJUALAN SEGMEN PASAR
PROSES PRODUKSI UNIT PENANGKAPAN KAPAL ALAT NELAYAN
PRODUK, DIJUAL OLEH
PRASARANA PELABUHAN DIOLAH
ASPEK LEGAL
MENANGKAP
SISTEM INFORMASI
UNIT SUMBERDAYA SPESIES HABITAT MUSIM/LINGKUNGAN FISIK
Gambar 2
UNIT PENGOLAHAN HANDLING PROCESSING PACKAGING
HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN
Keterkaitan komponen dalam kompleksitas penangkapan ikan (Kesteven 1973, dimodifikasi oleh Monintja 2006).
Komponen-komponen tersebut dikemukakan oleh Kesteven (1973) dan dimodifikasi oleh Monintja (2006), yaitu : 1) Sub sistem penyediaan sarana dan prasarana produksi, teknologi dan pengembangan sumberdaya. 2) Sub sistem produksi (proses produksi). 3) Sub sistem prasarana (pelabuhan). 4) Sub sistem pengolahan.
23
5) Sub sistem pemasaran. 6) Sub sistem pembinaan (kelembagaan). Menurut Ditjen Perikanan Tangkap DKP (2005), sub sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi mencakup kegiatan perencanaan, pengelolaan ataupun pengadaan sarana produksi teknologi dan sumberdaya perikanan. Kebijaksanaan yang mengupayakan agar sarana produksi dapat tersedia dengan tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, tepat kualitas dan sesuai dengan daya beli pembudidaya ikan, disertai dengan pengembangan dan penerapan paket ilmu pengetahuan dan teknologi continue merupakan kebijaksanaan utama yang menjadi ciri keberadaan sub sistem ini. Sub sistem produksi mencakup kegiatan pembinaan dan pengembangan usaha perikanan dalam rangka peningkatan produksi primer perikanan. Ruang lingkup kegiatan sub sistem ini diantaranya perencanaan pemilihan lokasi, komoditas, teknologi dan pola usaha perikanan dalam rangka meningkatkan produksi perikanan. 2.2
Potensi Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan bersifat common property resources atau sumberdaya
milik bersama dan bersifat open access atau terbuka. Karakteristik tersebut dapat menimbulkan suatu anggapan “ siapa cepat dia dapat” atau kompetisi dalam proses penangkapan ikan. Umumnya, kondisi open access akan menimbukan lebih tangkap (overfishing). Sebagai dampaknya, beberapa perairan Indonesia seperti pantai Timur Sumatera, Utara Jawa dan Bali, telah melampaui batas maksimum penangkapan ikan sehingga mengancam kapasitas keberlanjutan usaha perikanan (Nikujuluw 2002). Kabupaten Halmahera Utara hampir seluruh wilayahnya dikelilingi oleh perairan laut yakni Samudera Pasifik di sebelah utara dan barat laut, Teluk Kao di sebelah barat, dan Laut Maluku disebelah timur. Dengan fakta geografis ini, jelas bahwa wilayah Halmahera Utara memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang masih terjaga kelestariannya sehingga dapat diandalkan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi wilayahnya. Hal ini ditunjukkan dengan (1) masih sering terlihatnya, kawanan ikan pelagis yang berenang dan berlompatan di sekitar
24
perairan pantai, (2) ukuran ikan yang tertangkap masih relatif besar, dan (3) banyaknya armada asing yang datang melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan ini secara illegal. Potensi sumberdaya ikan laut di perairan ini diperkirakan sebesar 148.473,8 ton/tahun, yang berarti memiliki potensi lestari (MSY) sebesar 86.660,6 ton/tahun, terdiri dari kelompok ikan pelagis sebanyak 48.946,4 ton/tahun dan kelompok ikan demersal sebanyak 32.664,2 ton/tahun. Pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut masih rendah, tercatat pada tahun 2007 baru dimanfaatkan sebersar 14% atau setara dengan 11.798,83 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan Halmahera Utara, 2008). Rendahnya pemanfaatan sumberdaya ikan ini diduga disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah teknologi penangkapan ikan yang relatif sederhana yang sangat tergantung dengan kondisi alam/cuaca, tidak adanya akses ke pasar ikan sehingga ikan sulit untuk dijual, dan maraknya penangkapan ikan illegal oleh nelayan Phillipina. 2.3
Pengembangan Penangkapan Ikan Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia
untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penerapan teknologi alat penangkapan ikan yang yang baik (Bahari 1989). Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan melalui pengkajian pada aspek “bio-technico-socio-economiapproach” oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang dikembangkan, yaitu (1) jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumber daya, (2) secara teknis efektif digunakan, (3) secara sosial dapat diterima masyarakat nelayan dan (4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Aspek teknologi dilakukan untuk melihat hubungan faktor-faktor teknik yang mempengaruhi produksi, yaitu desain dan konstruksi, teknik pengoperasian dan alat bantu penangkapan serta CPUE dalam usaha penangkapan ikan tenggiri. Menururt Sppare dan Venema (1999) penilaian aspek teknik dilakukan terhadap: (1) Hasil tangkapan per tahun (kg); (2) Upaya penangkapan per tahun (unit); (3) Produksi per alat tangkap.
25
Menurut Friedman (1988), merancang alat tangkap adalah proses mempersiapkan uraian teknik dan menggambar alat tangkap agar memenuhi syarat-syarat penanganan alat, teknik, operasional, ekonomis dan sosial. Analisis teknis lain yang dilakukan yaitu perhitungan nilai produktivitas, baik produktivitas terhadap alat tangkap ikan, produktivitas terhadap trip, maupun produktivitas terhadap nelayan. Produktivitas merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumberdaya yang dipergunakan. Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan. Ada lima syarat untuk pengembangan teknologi penangkapan ikan menurut Martasuganda et al. (2002), yaitu: (1) menyediakan kesempatan kerja yang banyak; (2) menjamin pendapatan yang memadai bagi tenaga kerja atau nelayan; (3) menjamin jumla produksi yang tinggi untuk menyediakan protein; (4) menempatkan jenis ikan komoditas ekspor atau jenis yang bisa di ekspor; dan (5) tidak merusak kelestarian sumberdaya perikanan. Apabila pengembangan usaha perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada kapuasan tenaga kerja, maka menurut Moninja (1987), teknologi yang perlu dikembangkan adalah unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja yang banyak dengan pendapatan nelayan yang memadai. Selain itu juga unit yang dipilih adalah unit penangkapan yang mempunyai produktivitas tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan aspek biologis dan ekonomisnya. Intensifikasi untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan, pada dasarnya adalah penerapan teknologi modern pada sarana dan teknik-teknik yang digunakan, termasuk alat penangkapan ikan, perahu atau kapal serta alat bantu yang digunakan dalam penangkapan ikan. Namun tidak semua modernisasi dapat meningkatkan produksi dan bila tercapai peningkatan produksi belum tentu dapat meningkatkan pendapatan bersih (net income) nelayan. Oleh karena itu, introduksi teknik-teknik penangkapan ikan harus didahului dengan penelitian secara intensif dengan hasil yang meyakinkan agar implementasi unit penangkapan ikan modern dapat berfungsi dengan efektif dan efisien serta diterima oleh masyarakat nelayan (Wisodo et al. 1994).
26
Untuk pengembangan produksi atau pemanfaatan sumberdaya perikanan di masa mendatang, langkah-langkah yang harus dikaji dan kemudian diusahakan pelaksanaannya
adalah
(1)
pengembangan
agroindustri;
pengembangan (3)
prasarana
pengembangan
perikanan;
kelembagaan
(2) dan
penyelenggaraan penyuluhan perikanan, dan (4) pengembangan sistem informasi manajemen perikanan (Ditjen Perikanan 1990). Pengembangan perikanan juga tidak dapat dipacu terus menerus tanpa melihat batas kemampuan sumberdaya yang ada ataupun daya dukungnya. Pada perikanan yang berkembang pesat, pengendalian sangat diperlukan. Kalau hal ini dilaksanakan, berarti telah menerapkan pembangunan perikanan berkelanjutan, sehingga kelestarian sumberdaya dan kegiatan perikanan dapat dijamin keberdaaanya pada saat ini dan di masa akan datang (Naamin 1987). Berdasarkan hasil pendataan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Halmahera Utara (2008), menyatakan teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan adalah pancing ulur, rawai, mini purse seine (pajeko), jaring insang hanyut, jaring insang tetap, jaring lingkar (giob), huhate, bagan, dan bubu.
Umumnya tingkat teknologi penangkapan yang dipergunakan tersebut
masih relatif sederhana dan ukuran armadanya tidak berskala besar. Adapun perahu/kapal yang digunakan sebagian besar masih menggunakan perahu layar/tanpa motor dan sebagian kecil menggunakan motor tempel. Kondisi terbatasnya
teknologi
dan
permodalan
usaha
perikanan
tangkap
telah
menyebabkan tingkat produktivitas nelayan setempat menjadi rendah. 2.4
Karakteristik Masyarakat Nelayan Undang-Undang RI No. 31 tahun 2004 jo UU No.45 tahun 2009,
tentang Perikanan menayatakan bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan diklasifikasikan berdasarkan waktu yang digunakannya untuk melakukan operasi penangkapan ikan, yaitu sebagai berikut: 1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
27
2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang/tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan penangkapan nelayan kategori ini dapat mempunyai pekerjaan lain. 3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Disamping pembagian diatas, pembagian dapat didasarkan daya jangkau armada perikanan dan lokasi penangkapan, yaitu: (1) nelayan pantai atau perikanan pantai untuk perikanan skala kecil armada yang didominasi oleh perahu tanpa motor atau kapal motor tempel; (2) perikanan lepas pantai untuk perikanan dengan kapasitas kapal rata-rata 30 GT; (3) perikanan samudera untuk kapal-kapal ukuran besarnya 100 GT dengan target perikanan tunggal seperti tuna (Widodo dan Suadi 2006). Perikanan tangkap di Indonesia masih dicirikan oleh perikanan skala kecil seperti terlihat pada komposisi armada penangkapan nasional yang masih didominasi sekitar 85% nelayan skala kecil dan beroperasi di sekitar perairan pantai (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005). Begitu pula usaha perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Utara, sebagian besar usaha perikanan tangkap tergolong skala kecil dengan ukuran perahu/kapal kurang dari 5 GT dan beroperasi di perairan pantai (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Halmahera Utara 2008). Menurut Smith (1983), karakteristik perikanan skala kecil (tradisional) adalah sebagai berikut: 1) Kegiatan dilakukan dengan unit penangkapan skala kecil, kadang-kadang menggunakan perahu bermesin atau tidak sama sekali. 2) Aktivitas penangkapan merupakan paruh waktu, dan pendapatan keluarga adakalanya ditambah dari pendapatan lain dari kegiatan diluar penangkapan. 3) Kapal dan alat tangkap biasanya dioperasikan sendiri. 4) Alat tangkap dibuat sendiri dan dioperasikan tanpa bantuan mesin. 5) Investasi rendah dengan modal; pinjaman dari penampung hasil tangkapan. 6) Hasil tangkapan per unit usaha dan produktivitas pada tingkat sedang sampai sangat rendah.
28
7) Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang terorganisasi dengan baik tapi diedarkan di tempat-tempat pendaratan atau di jual di laut. 8) Sebagian atau keseluruhan hasil tangkapan dikomsumsi sendiri bersama keluarganya. Dengan mendominasi 85% armada perikanan tangkap di indonesia, kontribusi nelayan skala kecil sangat besar dalam produksi perikanan tangkap tetapi nelayan skala kecil masih diidentikan dengan kemiskinan. Banyak faktor yang menyebabkan nelayan kecil terbelenggu kemiskinan, selain faktor utama keterbatasan permodalan dan teknologi ada faktor penghambat lain yang cukup penting yaitu terbatasnya informasi mengenai harga ikan. Informasi pasar hanya dikuasai segelintir orang dengan hubungan patron-client, yakni nelayan/buruh nelayan memiliki posisi tawar rendah dan cenderung dikendalikan juragan pemilik modal atau pedangang pengumpul (Dwihendrosono 2009). Sistem sosial budaya ini sudah melembaga pada masyarkat nelayan (Kusumastanto 1997). Masyarakat nelayan Kabupaten Halmahera Utara masih terjerat dalam persoalan sosial hubungan patron-client. Dibo-dibo dikenal sebagai pedagang pengumpul hasil tankapan ikan nelayan. Dibo-dibo memberikan keperluan nelayan melaut (biaya perbekalan). Konsekuensinya, nelayan jadi terikat kepada dibo-dibo sehingga menyebabkan posisi tawar nelayan menjadi lemah. Pada umumnya dibo-dibo memiliki perekonomian yang lebih baik dikalangan masyarakat pesisir, sedangkan nelayan pada posisi yang lemah hanya menerima pinjaman modal dan tidak bisa menguasai akses pasar. 2.5
Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Masyarakat pesisir khususnya nelayan skala kecil masih terbelenggu
kemiskinan. Kondisi ini lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi
yang
terkait karakteristik sumberdaya
serta
teknologi
digunakan (Nikijuluw 2002). Menurut Smith (1979) menyatakan
yang bahwa
kekakuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) merupakan alasan utama
kenapa
nelayan
tetap
bergelut
dengan kemiskinan
dan
sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang sulit untuk dilikuidasi
29
atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Karena itu, meskipun
rendah
produktivitas,
nelayan
tetap
melakukan
operasi
penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis. Subade dan Abdullah (1993) menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan bukan
sebagai
pelaku
yang
semata-mata
beorientasi
dan
pada peningkatan
pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya tidak dianggap sebagai masalah bagi meraka. Way of life sangat sukar dirubah, maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam strategi kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu. Menurut Nikijuluw (2002), faktor-faktor utama penyebab kemiskinan nelayan adalah (1) keterbatasan modal untuk mengembangkan usaha, keterbatasan permodalan dikarenakan tidak dimiliki akses ke pelayanan kredit, selain kurangnya informasi mengenai perkreditan juga ketidakmampuan nelayan dalam memenuhi persyaratan dan ketentuan yang diajukan oleh pihak pemberi kredit; (2) Tingkat pendidikan rendah, sumberdaya manusia yang rendah merupakan salah satu permasalahan yang menyebabkan nilai tambah mengapa nelayan miskin karena nelayan merasa tidak memerlukan pendidikan formal karena sebagian besar waktunya lebih banyak dihabiskan di laut; (3) pendapatan yang rendah, karena nilai tukar nelayan yang rendah yang disebabkan komoditas yang mereka hasilkan dibayar murah. Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan nelayan, pemerintah telah melakukan berbagai program yang salah satunya motorisasi armada nelayan skala kecil. Program ini dikembangkan pada awal tahun 1980-an untuk meningkatkan produktivitas. Program motorisasi dilaksanakan di daerah padat nelayan, juga sebagai respons atas dikeluarkannya Keppres No. 39 tahun 1980 tentang penghapusan pukau harimau (trawl). Program ini semacam kompensasi untuk meningkatkan produksi udang nasional. Intervensi program pemerintah tersebut telah memberikan pengaruh peningkatan hasil produksi ikan
30
nelayan
tradisional,
namun
peningkatan
produksi
tidak
semata-mata
meningkatkan pendapatan nelayan. Hal ini disebabkan pola hubungan kerja antar juragan dan buruh yang dibangun berdasarkan patron client masih melekat di sosial masyarakat nelayan. Para juragan masih menguasai akses pasar sehingga posisi tawar nelayan menjadi lemah. Disadari atau tidak, program bantuan unit penangkapan ikan ternyata telah menguntungkan sekelompok orang saja sedangkan kehidupan nelayan kecil masih terbelenggu kemiskinan. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan lembaga ekonomi lokal dan pendidikan diantara kalangan nelayan kecil (Dwihendrosono 2009). Pada saat ini bila ada program pemerintah untuk mengadakan armada kapal/perahu penangkapan ikan, atau bila ada rencana investasi oleh nelayan, harus atas asprasi atau permintaan nelayan (Nikijuluw 2002). Hal ini sejalan yang dinyatakan Pomeroy and Williams (1999), bahwa keberhasilan manajemen sumberdaya perikanan lebih bergantung pada keterlibatan atau partisipasi pemegang kepentingan (stakeholder). Jika nelayan adalah salah satu pemegang kepentingan tersebut, biarkanlah nelayan memutuskan sendiri keinginan dan tujuannya. Jika keinginannya untuk meningkatkan pendapatan, hal tersebut harus ditempatkan sebagai salah satu tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan. Menurut Nikijuluw (2002), ada lima pendekatan pemberdayaan masyarakat nelayan yaitu: (1) penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi keluarga; (2) mendekatkan masyarakat dengan sumber modal dengan penekanan pada penciptaan mekanisme mendanai diri sendiri (self
financing
mechanism);
(3) mendekatkan masyarakat dengan
sumber
teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya guna; (4) mendekatkan masyarakat dengan pasar; serta (5) membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat. Kelima pendekatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh aspirasi, keinginan, kebutuhan, pendapatan, dan potensi sumberdaya yang dimiliki masyarakat nelayan.