TINJAUAN PUSTAKA Nelayan dan Kemiskinannya Umumnya masyarakat pesisir-nelayan merupakan kelompok masyarakat yang relatif tertinggal secara ekonomi, sosial dan budaya dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya (Dahuri, 2003). Demikian juga kebijakan pemerintah/negara dalam upaya mengentaskan nasib masyarakat-nelayan ternyata gagal sampai sekarang. Persepsi ini didasarkan pada hasil pengamatan langsung terhadap realitas kehidupan masyarakat nelayan atau dari hasil-hasil kajian akademis, seperti hasil temuan Karim (IPB) kurun waktu tahun 2002-2004 mengenai pemberdayaan nelayan di Deli Serdang, Asahan, Karawang, dan Sukabumi menunjukkan bahwa strategi neoliberalisme ini banyak diaplikasikan sehingga mengalami kegagalan pada tingkat implementasi (Riyono, 2010). Sebagai negara maritim terbesar di dunia, menurut Purwanto (2007), mestinya keterbelakangan nelayan itu tidak harus terjadi, jika saja pilihan strategi kebijakan pembangunan tidak salah. Berdasarkan usaha dan aktivitas ekonominya, nelayan dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang yang tinggal di wilayah pesisir yang secara langsung memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dan laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, pemasok faktor sarana produksi perikanan, dan lain-lain untuk menyokong kehidupan kesehariannya (Nikijuluw, 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa kelompok nelayan ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai dan di pulau-pulau besar dan kecil. Sebagian besarnya adalah pengusaha skala kecil dan menengah, subsisten, serta memenuhi kebutuhan keluarga dalam jangka waktu yang pendek. Bantuan berupa alat tangkap untuk nelayan lebih sering gagal akibat tidak melihat faktor struktural tersebut. Meskipun diberikan sampan dan peralatan tangkap tetapi dana cadangan untuk pemeliharaan (maintenance) alat tangkap tidak tersedia, akan kembali mengandalkan tokeh sebagai tempat meminjam. Sampan dan alat
8
tangkap bisa-bisa "tergadai", karena untuk membayar hutang. Berbagai hasil kajian penelitian, selama ini mengungkapkan bahwa kehidupan sosial ekonomi kaum nelayan sebagian besar dari mereka, khususnya yang tergolong nelayan buruh atau nelayannelayan kecil, hidup dalam kemiskinan. Kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal kehidupan sehari-hari sangat terbatas. Bagi kaum nelayan, di antara beberapa jenis kebutuhan pokok kehidupan, kebutuhan yang paling penting adalah pangan. Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan pangan setiap hari sangat berperan besar untuk menjaga kelangsungan hidup mereka (Kusnadi, 2003). Terdapat beberapa definisi dan kriteria kemiskinan menurut garis kemiskinan. Tetapi secara umum para pakar ekonomi, sosial dan budaya mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan atau kondisi yang dialami oleh seseorang atau sekolompok orang yang tidak berdaya menyelenggarakan hidupnya sampai pada suatu titik yang dianggap manusiawi (Jamasy, 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa faktor utamanya terkait dengan pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat yang berakibat kepada sempitnya lapangan kerja, upah kerja rendah, produtivitas kerja menurun, aset menurun, diskriminasi, tekanan harga, dan sampai pada suatu keadaan dimana setiap orang semakin mudah untuk mengorbankan harta benda, termasuk harga diri miliknya untuk dijual. Menurut Chambers (1987), inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut deprivation trap atau lebih populer disebut dengan istilah perangkap kemiskinan. Deprivation trap dicirikan atas lima unsur yaitu: kemiskinan itu sendiri, kelemahan
fisik, keterasingan atau kadar isolasi, kerentanan atau
ketidakberdayaan. Kelima unsur tersebut seringkali terkait satu sama lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin. Kemiskinan yang merupakan indikator ketertinggalan kaum nelayan, menurut Nikijuluw (2001), paling tidak disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu: (1) kemiskinan struktural, (2) kemiskinan super-struktural, dan (3) kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal di luar individu. Variabel-variabel tersebut adalah struktur sosial ekonomi
9
masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabel-variabel super-struktur tersebut di antaranya adanya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam proyek dan program pembangunan. Sedangkan kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu. Variabel-variabel penyebab kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu, serta ketaatan pada panutan. Menurut Kusnadi (2003), ada dua sebab yang melatarbelakangi ketidakberdayaan nelayan, yaitu faktor internal dan eksternal. Sebab yang pertama adalah persoalan internal kehidupan nelayan itu sendiri, yakni: (1) keterbatasan kualitas SDM nelayan; (2) keterbatasan kemampuan modal usaha, dan teknologi penangkapan;
(3)
hubungan
kerja
dalam
organisasi
penangkapan
tidak
menguntungkan nelayan buruh; (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha; (5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut; (6) pendapatan nelayan bersifat harian dan jumlahnya sulit ditentukan; (7) ketergantungan yang besar terhadap pedagang; (8) kebiasaan nelayan yang tidak mengikutsertakan perempuan dan anakanak; serta (9) gaya hidup yang dipandang boros sehingga kurang berorientasi ke masa depan. Sedangkan sebab yang bersifat eksternal yakni berkaitan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas nelayan itu sendiri, yakni: (1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produtivitas pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial; (2) sistem pemasaran hasil perikanan lebih menguntungkan pedagang perantara; (3) kerusakan ekosistem wilayah pesisir dan laut; (4) penggunaan alat tangkap yang tidak efektif; (5) penegakan hukum yang lemah; (6) terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkapan pasca-panen; (7) terbatasnya peluang-peluang kerja di
10
sektor non perikanan yang tersedia di desa-desa nelayan; (8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan (9) rentang geografis desa nelayan yang tidak memungkinkan, menghambat atau mengganggu mobilitas barang, jasa dan manusia, termasuk tidak tersedianya akses pasar yang jauh dari wilayah tangkap mereka. Rekonstruksi kemiskinan nelayan dan cara mengatasinya adalah penting mengingat program kompensasi atas kenaikan BBM sebelumnya sudah ada secara khusus yakni Program PEMP
yang dimulai sejak tahun 2001, namun faktanya,
kemiskinan masih belum beranjak, malah sebaliknya semakin bertambah (Marbun, 2008). Dalam konteks ini, Menurut Ismawan (1996), penetapan kemiskinan seseorang, bukannya mereka tidak mempunyai apa-apa sama sekali (the have not), melainkan mereka mempunyai sesuatu walaupun sedikit (the have little). Bila potensi mereka yang serba sedikit digalang dan dihimpun dalam satu wadah kebersamaan yang mereka percaya dan hormati, maka mereka akan mampu mengatasi masalah-masalah dengan kekuatan sendiri. Sejalan dengan itu, Haeruman (P2KP: 1999) mengungkapkan bahwa faktor pemberdayaan kelembagaan menjadi penting untuk tidak diabaikan. Pemberdayaan masyarakat pesisir-nelayan dan institusi lokal sebagai strategi dalam pelaksanaan pemberdayaan mengandung dua unsur, yakni kemandirian dan partisipasi. Kaitannya dengan menumbuhkan partisipasi, diperlukan agen penggerak atau agen pembangunan, yakni: (1) sebagai fasilitator dan motivator yang mampu mengarahkan dan menggerakkkan masyarakat yang diberdayakan agar mau dan mampu melakukan perubahan, (2) sebagai tempat berkonsultasi pemberi pemecahan masalah, (3) sebagai pembantu penyebaran inovasi serta member petunjuk mengenali dan merumuskan kebutuhan, mendiagnosa permasalahan dan menentukan tujuan pendapatan sumber-sumber yang relevan, memilih dan mengevaluasi, dan (4) sebagai penghubung dengan sumber-sumber yang diperlukan. Dalam konteks ini, tentu bukan kapital atau uang sebagai sumber utama untuk mobilisasi nelayan, tetapi titikberat dan yang jauh lebih penting bagi nelayan dan komunitasnya adalah kemandirian, yang tentu dengan berbagai konotasi dan stigma yang melekat pada mereka (komunitas
11
pesisir-nelayan) membutuhkan pendampingan yang baik untuk membangun harapan dan hari esok yang lebih baik. Konsep Pembangunan Pada dasawarsa 1950-an istilah “pembangunan” dianggap sebagai suatu “obat” terhadap berbagai macam masalah yang muncul di masyarakat, terutama pada negaranegara berkembang. Suatu era dimana teori “pembangunan” dikemukakan. “Teori pembangunan” dilatari oleh suatu konsep yang disebut dengan ”pertumbuhan.” Pemikiran mengenai teori pertumbuhan berasal dari suatu pandangan yang melihat ”pembangunan” sebagai ”pertumbuhan” ekonomi yang diasumsikan oleh kaum ekonom ortodoks sebagai peningkatan standar kehidupan. Dengan Gross National Product (GNP) atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebagai indikator keberhasilannya (Adi, 2003). Kleinjans (Dilla, 2007) menyatakan bahwa pembangunan pada ahirnya bukan soal teknologi atau GNP, melainkan pencapaian pengetahuan dan keterampilan baru, tumbuhnya suatu kesadaran baru, perluasan wawasan manusia, meningkatnya semangat kemanusiaan, dan suntikan kepercayaan diri. Rogers dan Shoemaker (1986) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu jenis perubahan sosial, yakni ide-ide baru diperkenalkan pada suatu sistem sosial untuk menghasilkan suatu pendapatan per kapita dan tingkat pendapatan yang lebih tinggi melalui metode produksi yang lebih modern dan organisasi sosial yang lebih baik. Pembangunan adalah moderninasi pada tingkat sistem sosial. Lebih jauh, Rogers (1986) menyatakan bahwa pembangunan sebagai suatu proses perubahan sosial dengan partisipatori yang lebih luas dalam suatu masyarakat untuk kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan, dan kualitas lainnya yang dihargai) bagi mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar dari lingkungan mereka. Inayatullah (1976) mendifinisikan pembangunan sebagai perubahan menuju pola-pola masyarakat yang lebih baik dengan nilai-nilai kemanusiaan yang memungkinkan suatu masyarakat mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap lingkungan dan tujuan politiknya, juga memungkinkan warganya memperoleh kontrol yang lebih terhadap diri mereka sendiri. Secara lebih rinci, Sandersen (Suharyanto dan
12
Dilla, 2007) memandang pembangunan sebagai: (1) proses, (2) program (3) aksi/gerakan dan (4) metode. Hadad (1980) mengungkapkan bahwa dari sudut pandang historis, istilah ”pembangunan” tidak berbeda dengan istilah ”perubahan.” Masing-masing memiliki sisi positif dan negatif, tergantung kepada “apa” dan “siapa” yang mau diubah, dan “bagaimana” proses perubahan itu dilakukan. Sebagai hasilnya, ada beberapa pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan ”utama” dalam teori pembangunan. Beberapa pendekatan itu antara lain: pendekatan pertumbuhan, pendekatan pemerataan,
paradigma
ketergantungan,
pendekatan kebutuhan
pokok,
dan
pendekatan kemandirian. Pendekatan pertumbuhan (growth aproach) melihat pertumbuhan material sebagai syarat mutlak untuk suatu pembangunan yang berhasil. Penekanannya pada strategi industrialisasi dan investasi (pemilik modal besar) sebagai indikator utama dengan ukuran pendekatan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) atau laju pertumbuhan ekonomi. Rasionalitas pendekatan ini menurut
Rostow, jika
pertumbuhan ekonomi tinggi akan terjadi yang disebutnya sebagai ”trickle down effect” tetesan rezeki ke bawah sampai pada akar rumput (grassroots). Pendekatan pemerataan (redistribution aproach) mengukur keberhasilan pembangunan berdasarkan tiga indikator utama yaitu: indikator sosial budaya, indikator politik, dan indikator ekonomi. Kesimpulan dari ketiga indikator ini ialah bahwa pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan partisipasi politik dan distribusi pendapatan dalam kaitannya dengan strategi pembangunan. Kemiskinan terkait dengan masalah-masalah pendistribusian, sedangkan kesenjangan sosial mempunyai akar yang lebih mendalam pada masyarakatnya. Kesenjangan sosial sangat terkait dengan struktur dan pola-pola masyarakat dalam mengolahh kekayaan, mengolahh pengetahuan, dan kemampuan dari institusi tertentu dalam masyarakat tersebut dalam proses pengambilan keputusan. Paradigma ketergantungan (dependence paradigm) melihat bahwa munculnya sifat
ketergantungan
”keterbelakangan”
masyarakat
masyarakat.
merupakan Untuk
penyebab
membebaskan
utama
terjadinya
masyarakat
dari
13
keterbelakangan tersebut diperlukan adanya upaya ”pembebasan” (liberation) dari belenggu yang merantai mereka. Paradigma ini juga menggambarkan bahwa struktur kerjasama yang bersifat eksploitatif dapat menyebabkan terjadinya stagnasi pembangunan. Pendekatan kebutuhan pokok (the basic needs aproach) melihat bahwa kebutuhan pokok masyarakat tidak akan dipenuhi jika mereka masih berada di bawah garis kemiskinan serta tidak mempunyai pekerjaan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Untuk itu harus ada lapangan pekerjaan bagi masyarakat, meningkat pertumbahan ekonomi, dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakatnya. Pendekatan ini harus diterapkan secara komprehensif dan melibatkan masyarakat di pedesaan dan sektor informal dengan mengembangkan potensi dan kemampuan masyarakat itu sendiri untuk mengorganisir diri, serta membangun sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Menurut Hadad, bahwa pada titik tertentu, juga menjembatani pendekatan kebutuhan pokok dengan pendekatan kemandirian (self-reliance aproach) kelompok masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Pendekatan kemandirian (self-reliance aproach) adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk mengukur sejauh mana masyarakat melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap institusi/lembaga di luar dirinya. Konsep kemandirian menyajikan dua perspektif, yang pertama adalah penekanan yang lebih diutamakan pada hubungan timbal balik dan saling menguntungkan dalam perdagangan dan kerjasama pembangunan, sedangkan yang kedua adalah lebih mengandalkan pada kemampuan sumberdaya sendiri. Cara terbaik untuk mengatasi masalah pembangunan adalah dengan membiarkan semangat wiraswasta tumbuh dalam kehidupan masyarakat-berani mengambil resiko, berani bersaing, menumbuhkan semangat positif untuk bersaing secara positif dan menemukan hal-hal baru (inovasi) melalui partisipasi aktif masyarakat. Strategi pembangunan meletakan partisipasi masyarakat sebagai fokus isu utama pembangunan, sedangkan strategi pemberdayaan meletakkan partisipasi aktif masyarakat ke dalam efektivitas, efisiensi, dan sikap kemandirian (Hikmat, 2001).
14
Pembaharuan
dalam
strategi
pembangunan
daerah
yang
memadukan
pertumbuhan dan pemerataan pada dasarnya mempunyai tiga arah: pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan di daerah. Ketiga, modernisasi melalui penajaman dan pemantapan arah dari perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa perhatian khusus diwujudkan dalam langkah-langkah strategis yang diarahkan secara langsung pada perluasan akses kepada sumberdaya pembangunan. Di samping itu, disertai penciptaan peluang yang seluasluasnya bagi masyarakat di lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dengan perluasan seperti itu peranserta masyarakat menjadi penentu keberhasilan pembangunan daerah. Masyarakat akan makin terbuka, makin berpendidikan, dan makin tinggi kesadarannya (Soemadiningrat, 1997). Supaya pembangunan masyarakat berlangsung dengan tepat maka pemerintah hanya mempersiapkan dan memfasilitasi lingkungan yang sehat bagi peningkatan, perluasan, serta pendalaman kegiatan-kegiatan yang telah dimiliki oleh masyarakat sendiri. Hal ini merupakan makna pemberdayaan yaitu mengembangkan hal-hal yang telah ada pada masyarakat menjadi lebih besar skalanya, lebih ekonomis, dan lebih berdayaguna dan berhasilguna (Nikijuluw, 2001). Salah satu perbedaan penting antara pembangunan yang memihak rakyat dan pembangunan yang mementingkan produksi ialah bahwa yang kedua itu secara terus menerus menundukkan kebutuhan rakyat dibawah kebutuhan sistem agar sistem produksi tunduk kepada kebutuhan rakyat (Korten, 1984). Perbedaan paradigma pembangunan yang mementingkan produksi yang dewasa ini unggul dan pembangunan yang lebih berpihak kepada rakyat sebagai tandingannya, mengandung arti penting bagi penciptaan masa depan yang lebih manusiawi. Khususnya pemahaman akan perbedaan itu penting artinya bagi pemilihan teknik sosial termasuk cara pemberdayaan masyarakat dilakukan secara tepat untuk mencapai tujuan-tujuan yang mementingkan rakyat. Penyadaran diri (conscienzacione), satu di antara argumen-argumen yang paling telak dan tajam diajukan oleh Paulo Freire (1984) adalah inti dari usaha mengangkat rakyat dari kelemahannya selama ini. Kesempitan
15
pandangan dan cakrawala rakyat yang tersekap dalam kemiskinan dan sering menghayati kehidupan mereka dalam keterpencilan (isolasi) dan kekumuhan, harus diubah ke arah suatu keinsyafan, perasaan, pemikiran, gagasan, bahwa hal-ihwal dapat menjadi lain, dan tersedia alternatif-alternatif (sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat). Konsep Pemberdayaan Masyarakat Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Prinsipnya diletakkan pada kekuatan individu dan sosial (Hikmat, 2001). Konsep atau istilah pemberdayaan dalam banyak kegiatan dan program aksi diarahkan kepada muara yang relatif sama, yakni membuat sasaran atau masyarakat memiliki kemampuan “daya” agar masyarakat sasaran terangkat dari keterpurukannya. Dalam konsep aslinya, pemberdayaan masyarakat lebih difokuskan kepada nuansa agar masyarakat sasaran dapat diposisikan terlibat aktif dalam proses pembangunan. Pemberdayaan ekonomi kerakyatan (dalam penerapan untuk nelayan kecil) berarti menuju kepada terbentuknya kemandirian nelayan itu, yaitu berperilaku efisien, modern dan berdaya saing tinggi. Perilaku efisien artinya berpikir dan bertindak serta menggunakan sarana produksi secara tepatguna atau berdayaguna. Berperilaku modern artinya mengikuti dan terbuka terhadap perkembangan dan inovasi serta perubahan yang ada (Sasono, 1999), sedangkan berdaya saing tinggi yaitu mampu berpikir dan bertindak serta menggunakan sarana produksi atas dasar memperhatikan mutu hasil kerjanya dan kepuasan konsumen yang dilayaninya (Sumardjo, 1999). Gagasan pemberdayaan ekonomi kerakyatan menurut Mahmudi (1999) adalah upaya mendorong dan melindungi tumbuh dan berkembangnya kekuatan ekonomi lokal dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) oleh masyarakat yang berbasiskan pada kekuatan rakyat. Muatan gagasan ini tidak saja dituntut untuk dapat mendayagunakan dan menghasilgunakan potensi sumberdaya lokal untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, tetapi juga terlindunginya hak-hak rakyat dalam pengelolaan sumberdaya lokal sesuai dengan kepentingan ekonomi dan sosialnya.
16
Kartasasmita (1997) menyatakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat dapat di lihat dari tiga sisi: Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah bahwa
setiap
manusia,
setiap
masyarakat,
memiliki
potensi
yang
dapat
dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena, kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk pembangunan daya itu, dengan mendorong, memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi harus di lihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, dan eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus mampu mengembangkan teknikteknik pendidikan tertentu yang imajinatif untuk menggugah kesadaran masyarakat. Menurut Sikhondze (Karsidi, 2001), orientasi pemberdayaan haruslah membantu sasaran (nelayan) agar mampu mengembangkan diri atas dasar inovasi-inovasi yang ada, ditetapkan secara partisipatoris, yang pendekatan metodenya berorientasi pada kebutuhan masyarakat sasaran dan hal-hal yang bersifat praktis, baik dalam bentuk layanan individu maupun kelompok, sedangkan peran petugas pemberdayaan masyarakat (pendamping) sebagai outsider people adalah sebagai konsultan, peran pembimbingan dan peran penyampai informasi. Dengan demikian peranserta kelompok sasaran (masyarakat itu sendiri) menjadi sangat dominan. Belajar dari pengalaman menunjukkan bahwa ketika peran penguasa sangat dominan dan
17
peranserta masyarakat dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru terpinggirkan dari proses pembangunan. Sebagai suatu proses belajar, konsep pemberdayaan berkonotasi aktif, positif dan dinamis. Umumnya dilakukan dari dan oleh orang-orang di luar sistem sosial masyarakat (pendidikan non-formal), sebagai pengantar perubahan (outsider change agents), bekerja sama dengan orang-orang dari dalam sistem sosial masyarakat sebagai pengantar perubahan (insider change agents) yang bertujuan agar di dalam sistem sosial masyarakat itu cepat atau lambat akan terjadi perubahan yang lebih positif dalam daya-daya yang tergolong masih rendah dan perlu ada peningkatan. Antara outsider maupun insider, change agents umumnya adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dan obsesi yang tinggi serta terpanggil untuk secara ikhlas membantu membebaskan masyarakat dari keterpurukannya. Menurut Slamet (2003), pemberdayaan adalah suatu proses belajar yang ditawarkan kepada masyarakat sasaran, agar dengan berbagai potensi (daya) yang mereka miliki dapat belajar menolong dirinya sendiri sehingga pada gilirannya akan tercapai kondisi baru yang lebih baik sesuai harapan yang dicita-citakan. Memberdayakan berarti memberi daya kepada yang tidak berdaya dan atau mengembangkan daya yang sudah dimiliki menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi masyarakat yang bersangkutan. Sebagai suatu proses ke arah perubahan, maka pemberdayaan masyarakat mengandung makna: masyarakat membangun dirinya, mereka menjadi tahu, mengerti, paham, bermotivasi, berkesempatan, mampu melihat dan memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu adanya berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu menyerap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi dan daya/potensi yang mereka miliki dengan tetap teguh kepada nilai-nilai luhur yang bermartabat. Pemberdayaan masyarakat akan menghasilkan masyarakat yang dimanis, kritis, dan progresif secara berkelanjutan sesuai dengan motivasi intristik dan sekaligus ekstrinstik. Sebagai suatu proses belajar, antara agen pembaharuan/pendamping/penyuluh dan masyarakat yang menjadi sasaran pemberdayaan atau yang diberdayakan harus terjalin kerjasama dalam proses tersebut. Suasana yang demokratis merupakan sarana
18
yang kondusif terjadinya interaksi dan komunikasi antar keduanya. Pemberdayaan juga merupakan kegiatan mendidik, karena itu prosesnya haruslah mendidik dan bukan “dipaksa-terpaksa-terbiasa.” Bagaimana pun sulitnya secara ideal harus selalu dengan proses mendidik. Kesabaran menunggu perkembangan individu/kelompok yang diberdayakan sampai benar-benar berdaya dan mandiri adalah kunci pemberdayaan (Asngari, 2008). Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan (capacity strenghtening) masyarakat, agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam keseluruhan proses pembangunan, terutama pembangunan yang ditawarkan oleh penguasa/pemerintah dan atau pihak luar (pendampingan, LSM, dll). Dengan demikian, memberdayakan masyarakat berarti menciptakan peluang bagi masyarakat untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri (Syarief, 2001). Menurut Weissglass dan Bustang (2008), pemberdayaan (empowement) adalah suatu proses yang mendukung orang-orang untuk membangun suatu pengertian dan tindakan yang baru mengenai kebebasan yang mereka pilih (a process of supporting people to construct meaning and exercise their freedom to choise), sedangkan Cristensen dan Robinson (1984) mengungkapkan pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial. Memberdayakan mengandung makna pembebasan kemampuan pribadi, kompetisi, kreativitas, dan kebebasan bertindak, sedangkan diberdayakan mengandung makna memberikan suatu gelombang kekuatan dari seseorang kepada yang lainnya dan juga berasal dari dalam, khususnya kekuatan untuk bertindak dan berkembang untuk menjadi sesuatu yang disebut oleh Paolo Freire “lebih memanusiakan manusia.” Pemberdayaan masyarakat adalah menciptakan suasana atau iklim untuk mewujudkan pengembangan potensi masyarakat dengan mendorong, memotivasi,
menyadarkan
potensi
yang
dimilikinya
untuk
berkembang.
Memberdayakan masyarakat dalam bentuk tindakan nyata berupa penyediaan dan berbagai informasi serta peluang pengembangan dan pemanfaatan iptek. Memelihara
19
keberlanjutan suasana/iklim interaksi timbal balik yang beretika antar elemen masyarakat (Sumodiningrat, 1997). Lebih lanjut dikatakan oleh Sumodiningrat bahwa upaya memberdayakan masyarakat dapat dilakukan melalui tiga jalur. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran agar potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam kerangka ini diperlukan langkah-langkah yang positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input, serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat
menjadi makin dalam memanfaatkan setiap peluang). Ketiga,
memberdayakan berarti juga melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah. Sebagai bentuk implementasi dari pemberian kekuatan (power) kepada masyarakat, maka pada umumnya pemberdayaan dilakukan kepada sekelompok orang yang dianggap belum memiliki kekuatan yang diperlukan untuk kemajuan masyarakat pesisir-nelayan. Dimensi pemberdayaan masyarakat pesisir-nelayan mestinya mengacu pada konsep keberlanjutan (Charles dan Satria, 2009). Pertama, keberlanjutan ekologis terwujud dari praktek perikanan yang tidak merusak lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak melebihi daya dukung lingkungan. Kedua, keberlanjutan sosial ekonomi mengacu pada tercapainya kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Ketiga, keberlanjutan komunitas mengacu pada stabilitas sistem sosial, terjaminnya peran masyarakat dalam pembangunan, dan akses masyarakat pada sumberdaya baik untuk kepentingan pemanfaatan maupun pengelolaan. Empat, keberlanjutan institusi merupakan prasyarat bagi tercapainya tiga dimensi sebelumnya, yaitu keberlanjutan yang mencakup institusi politik (kapabilitas birokrasi desa), institusi sosial-ekonomi (keuangan desa dan pasar), dan institusi sumberdaya (pengelolaan sumberdaya).
20
Kerangka berpikir dalam proses pemberdayaan setidaknya mengandung tiga tujuan penting, yaitu: (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat atau kelompok yang akan diberdayakan melalui peningkatan taraf pendidikan dan akses terhadap sumber-sumber kemajuan, dan (3) upaya melindungi (protect) terjadinya persaingan yang tidak seimbang, menciptakan keadilan serta menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dengan yang belum berkembang. Pemberdayaan dengan menekankan kepada ketiga ketentuan tersebut diyakini merupakan strategi jitu dalam menekan angka kemiskinan (Jamasy, 2004). Untuk menekan kemiskinan masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan menurut analisis kritis Nugroho (Jamasy, 2004), ada enam syarat penting yang harus dipenuhi, yaitu: (1) menekan perasaan ketidakberdayaan (impotensi) masyarakat miskin bila berhadapan dengan struktur sosial politik. Langkah konkritnya adalah meningkatkan kesadaran kritis atas posisinya; (2) memutus hubungan-hubungan yang bersifat eksploitatif terhadap lapisan orang perlu dilakukan; (3) menanamkan rasa persamaan (egaliter) dengan memberikan gambaran bahwa kemiskinan bukanlah persoalan takdir tetapi sebagai penjelmaan dari persoalan konstruksi sosial; (4) merealisasikan perumusan pembangunan dengan melibatkan masyarakat miskin secara penuh (ini bisa tercapai jika komunikasi politik antara pemegang kekuasaan dengan kelompok strategis dan masyarakat miskin tidak mengalami distorsi; (5) perlunya pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat miskin (seperti perencanaan hidup, peningkatan produtivitas kerja dan kualitas kerja; dan (6) distribusi infrastruktur pembangunan yang lebih merata. Strategi pemberdayaan masyarakat pesisir meliputi: bentuk dukungan, peningkatan kapasitas manusia, penguatan
kapasitas
kelembagaan,
dan
peningkatan
kemandirian
berbasis
sumberdaya alam lokal. Menurut Bustang, (2008), bahwa pemberdayaan pada hakekatnya adalah upaya pemberian kesempatan, kewenangan dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan di seluruh bidang, sesuai dengan profesi, peranan dan fungsinya. Dengan demikian pemberdayaan adalah pemberian accessibility, meliputi
21
pemahaman
masalah
kebutuhan,
penguasaan
dan
kemampuan
untuk
mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki terarah untuk perbaikan nasib, sedangkan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi (Slamet, 2004). Ciri-ciri masyarakat berdaya menurut Sumarjo, Pardosi dan Bustang, (2008), yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya, (2) mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (3) mampu mengarahkan dirinya sendiri, (4) memiliki kekuatan untuk berunding, (5) memiliki posisi tawar yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, serta (6) mampu bertanggungjawab
atas
tindakannya.
Selanjutnya
Kartasasmita
(1996)
mengemukakan bahwa kemandirian adalah hakekat dari kemerdekaan. Kemandirian adalah aspek penting dalam falsafah pemabangunan. Kemandirian juga dapat diartikan sebagai perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan perilaku yang terbaik, sedang Ismawan (1994) mengartikan kemandirian sebagai kemampuan untuk memilih berbagai alternatif yang tersedia agar dapat digunakan untuk melangsungkan kehidupan yang serasi dan berkelanjutan. Berdasarkan kensep-konsep tersebut maka kemandirian kelompok dapat terjadi apabila kondisi kelompok tersebut menunjukan kedamisan yang ditandai dengan adanya partisipasi aktif yang terus menerus dari anggota kelompok. Pemberdayaan sebagai Suatu Upaya Perubahan Perilaku Permasalahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat bukannya hanya disebabkan oleh adanya penyimpangan perilaku atau masalah kepribadian, melainkan juga akibat dari masalah struktural, kebijakan yang keliru, implementasi kebijakan yang tidak konsisten dan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Hikmat, 2001).
22
Psikolog behavioris, memandang perilaku sebagai hasil interaksi seseorang dengan lingkungannya. Bagi behavioris, semua perilaku dipelajari dan dalam mewujudkan perubahan organisasi dengan cara mengubah stimuli eksternal yang mampu mempengaruhi individu. Gestalt-Field menyatakan bahwa perilaku seseorang merupakan produk lingkungan dan penalaran, sedangkan pembelajaran merupakan suatu proses perolehan atau perubahan wawasan, pandangan, ekpektasi atau pola pemikiran. Belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang dihasilkan dari praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Perilaku bukan sekedar produk stimuli eksternal, namun lebih bisa dijelaskan dari cara individu memakai penalarannya untuk menginterprestasikan stimuli (Sarwono, 2002). Salah satu faktor yang signifikan mendorong perilaku adalah motivasi. Motivasi diartikan sebagai suatu dorongan untuk bertindak dalam rangka mencapai suatu tujuan, juga dapat terwujud dalam bentuk perilaku, yang ada pada diri seseorang yang dapat mendorong, mengaktifkan, menggerakkan dan mengarahkan perilaku seseorang (Hasibuan, 1999). Dengan kata lain motivasi itu ada dalam diri seseorang dalam wujud niat, harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai. Maslow (Zainun, 1987) berpendapat bahwa manusia memiliki satu kesatuan jiwa dan raga yang bernilai baik, dan memiliki potensi-potensi (daya). Yang dimaksud baik itu adalah yang mengakibatkan perkembangan ke arah aktualisasi diri. Untuk dapat sampai pada tingkat aktualisasi diri semua kebutuhan-kebutuhan pokok manusia pada tingkat sebelumnya harus terpenuhi. Selain kebutuhan pokok tersebut yang disebut basic needs manusia juga memiliki metaneeds sebagai kebutuhan pertumbuhan seperti keadilan, keindahan, keteraturan, dan kesatuan. Para ahli konstruktivis menyatakan bahwa belajar melibatkan konstruksi pengetahuan saat pengalaman baru diberi makna oleh pengetahuan terdahulu. Menurut teori ini, persepsi yang dimiliki oleh klien mempengaruhi pembentukan persepsi baru. Klien menginterprestasi pengalaman baru dan memperoleh pengetahuan baru berdasar realitas yang telah terbentuk di dalam pikiran klien. Konstruktive yang berakar pada psikologi kognitif, menjelaskan bahwa klien belajar sebagai hasil dari pembentukan makna dari pengalaman. Peran utama pendampingan
23
adalah membantu klien membentuk hubungan antara hal-hal yang dipelajari dan halhal yang sudah diketahui klien (Makmun, 2005). Bila prinsip-prinsip konstruktive benar-benar digunakan dalam proses belajar mengajar dalam kegiatan pendampingan, maka seoarang pendamping harus mengetahui apa yang telah diketahui dan diyakini pribadi-pribadi klien sebelum memulai unit pelajaran baru. Lebih lanjut Makmun (2005) menyatakan terdapat setidaknya ada tiga asumsi yang menggambarkan konstruktivisme yang menjadi prinsip kerja konstruktive yaitu: (1) seseorang akan belajar paling baik jika secara pribadi terlibat dalam pengalaman belajar itu, (2) bahwa pengetahuan harus ditemukan oleh tiap-tiap individu apabila pengetahuan itu hendak dijadikan pengetahuan yang bermakna, dan (3) bahwa komitmen terhadap belajar paling tinggi apabila tiap-tiap individu klien bebas menetapkan tujuan pembelajaran dan secara aktif mempelajari untuk mencapai tujuan itu dalam suatu kerangka tertentu. Menurut Mardikanto (1993), bahwa pendampingan dalam pemberdayaan” tidak sekedar memberitahu atau ”menerangkan,” akan tetapi tujuan yang sebenarnya adalah proses aktif yang memerlukan interaksi antara pendamping dan yang disuluh (klien) agar terbangun proses perubahan “perilaku” (behaviour) yang merupakan perwujudan dari: pengetahuan, sikap, dan keterampilan seseorang yang dapat diamati oleh orang/pihak lain, baik secara langsung (berupa: ucapan, tindakan, bahasa-tubuh, dll) maupun tidak langsung (melalui kinerja dan atau hasil kerjanya). Hal-hal terjadinya perubahan perilaku (adopsi) dari suatu program (teknologi) yang ditawarkan (inovasi baru), yang oleh Rogers dan Soemaker (1986) dapat diamati melalui: (1) tahap kesadaran klien, (2) tahapan minat, (3) penilaian, (4) tahap percobaan, dan (5) tahap penerimaan. Peran Pendamping dalam Proses Pemberdayaan Menurut Soekanto (2002), “peranan merupakan aspek yang dinamis dalam kedudukan (status).” Seseorang yang dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya menunjukkan dia telah menjalankan perannya. Hak dan kewajiban baginya harus dalam keseimbangan. Hak dan kewajiban itu merupakan
24
dua hal yang saling berkaitan. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam kehidupan seharihari, seseorang menduduki suatu posisi tertentu dalam struktur sistem sosial. Ini disebut posisi peran (role position). Rangkaian tingkah laku dilakukan karena adanya peranan tersebut. Pemerintah sebagai suatu organisasi negara baik dari tingkat tertinggi (pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota) sampai pada tingkat yang paling terendah (pemerintah desa) dibentuk dalam rangka untuk melaksanakan tugas-tugas dan peran negara. Menurut Labolo (2006), “pemerintah adalah segenap alat pelengkapan negara atau lembaga-lembaga kenegaraan yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan negara.” Untuk melaksanakan tugas dan perannya sebagai alat negara, pemerintah memiliki dua fungsi yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder (Ndraha, 2000). Menurut Rasid (2001), fungsi-fungsi pemerintah adalah fungsi pengaturan, pelayanan, pemberdayaan, dan fungsi pembangunan. Fungsi pengaturan yang lebih dikenal dengan regulasi, fungsi pelayan akan memberikan pelayanan dengan dasar keadilan, fungsi pemberdayaan untuk mendorong kemandirian dan fungsi pembangunan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat dan negara (Bustang, 2008). Mengacu pada tugas dan peran penting pemerintah sebagaimana dinyatakan di atas, maka penanggulangan kemiskinan di Indonesia merupakan kewajiban penting dari tujuan negara/pemerintah yang harus dipenuhi dan merupakan tujuan nasional yang harus dicapai. Menurut kelompok agrarian popularism, kemiskinan itu pada hakekatnya adalah masalah campur tangan negara yang terlampau luas dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat dengan basis kehidupan di pedesaan. Masyarakat miskin dipandangnya sebagai orang atau kelompok yang mampu membangun dirinya sendiri apabila pemerintah mau memberikan kebebasan bagi kelompok itu untuk membangun dirinya. Jalan keluar yang diusulkan adalah “empowerment.” Untuk itu, menurut Sumodiningrat (Jamasy, 2004), langkah awal dalam usaha menanggulangi kemiskinan dan pemerataan pembangunan adalah mengenali pokok-pokok permasalahan yang dihadapi, tantangan dan kendala yang ada, serta peluang yang tersedia. Lebih lanjut dikatakan
25
bahwa kerja sama seluruh unsur stakeholder sangat diisyaratkan (antara pemerintah dengan LSM atau praktisi, bahkan dengan masyarakat miskin itu sendiri). Kerja sama ini diperlukan karena pemerintah memiliki potensi yang terbatas, demikian juga pihak LSM dan pihak masyarakat. Kekuatan ini hanya akan tercipta manakala seluruh unsur stakeholder mengintegrasikan dirinya. Menurut Hadad (1983), LSM merupakan kelompok primer, yaitu mereka yang bekerja sama karena mempunyai kesamaan aspirasi dan kegiatan bersama, dimana hubungan di antaranya akrab dan mampu berkomunikasi dengan masyarakat lapisan bawah. Untuk mencapai tujuan bersama, mereka bekerja berdasarkan prinsip saling membantu berdasarkan kepentingan bersama yang biasanya adalah mengatasi persoalan kebutuhan dasar. Menurut Karton (1988), cara LSM menjadi fasilitator adalah
dengan
membantu
kelompok
masyarakat
mengorganisasikan
diri,
mengidentifikasi kebutuhan lokal, dan memobilasasi sumberdaya yang ada pada mereka. Selain itu, LSM juga membantu mendapatkan sumberdaya dari luar sebagai tambahan sumberdaya lokal jika yang tersedia tidak memadai guna memenuhi suatu kebutuhan tertentu (Prijono dan Pranarka, 1988). Tugas awalnya adalah menentukan motivasi dan kesiapan sistem klien untuk berubah. Baik sumber-sumber resistensi maupun sumberdaya untuk perubahan harus dinilai. Baik sistem klien maupun fasilitator penting mengetahui dengan jelas tentang harapan-harapan, perspektif, dan relasi secara timbal balik. Setelah rencana dilaksanakan, adalah penting untuk menstabilisasi perubahan-perubahan yang telah dicapai melalui pemberian dukungan, dorongan, penguatan dan konfirmasi. Kartasasmita (1997) menyatakan bahwa pentingnya tenaga pendamping adalah karena
penduduk
miskin pada
umumnya
mempunyai
keterbatasan
dalam
mengembangkan diri. Oleh karena itu diperlukan pendamping untuk membimbing mereka dalam upaya memperbaiki kesejahteraannya. Pendampingan ini dalam konsep pemberdayaan sangat esensial, dan fungsinya menyertai proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat sebagai fasilitator, komunikator, ataupun dinamisator serta membantu mencari cara pemecahan masalah yang tidak dapat dilakukan olen masayarakat sendiri.
26
Tenaga pendamping menurut Tilden (Jamasy, 2004), setidaknya harus mempunyai empat sifat, yakni: (1) harus trampil dalam menyesaikan masalah (problem solving), (2) harus peduli dan punya keberpihakan kepada masyarakat yang diberdayakan (sence of community), (3) harus mempunyai visi (sense of mission), dan (4) harus jujur kepada diri sendiri dan kepada orang lain (honesty with others and with self). Wrenn (Buwaethy, 2008) mengemukakan bahwa ada berapa aspek yang harus diperhatikan seorang pendamping dalam melaksanakan tugasnya yaitu: (1) pelaksanaan pendampingan agar didasarkan pada anggapan bahwa sasaran tugas adalah pribadi-pribadi yang berbeda dalam segala hal, (2) pendampingan hendaknya memandang dan beranggapan bahwa klien adalah sebagai pribadi utuh yang dalam pembentukannya lebih banyak terpengaruh oleh lingkungan masyarakatnya, (3) dalam pelaksanaan tugasnya pendampingan hendaknya berpandangan bahwa klien harus dilayani dengan sikap menghargai kenyataan pribadinya, (4) pendampingan hendaknya menerima klien sesuai kenyataannya tanpa menuntut mereka agar harus mempunyai pandangan yang sama dengan pendampingan itu sendiri, dan (5) pendampingan hendaknya dapat membawa klien kepada sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan masa sekarang dan yang akan datang. Karsidi (2002) mengungkapkan bahwa dalam pemberdayaan, seorang pendamping harus mampu belajar dari masyarakat; pendamping adalah fasilitator, bukan guru dan tidak menggurui; saling belajar, saling berbagi pengalaman mengandung makna pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat (adanya pengakuan). Menurut Sumardi (1987), dalam
pelaksanaan
proses pendampingan, prinsipnya adalah: (1) klien tidak merasa digurui-menggurui, (2) ketika ditanya dan menjawab, seorang pendampingan tidak harus bersikap sebagai ahli, dalam artian tidak menjadi ”ahli,” (3) tidak memutus pembicaraan ketika klien bertanya, (4) libatkan semua peserta klien dalam diskusi (tidak berdebat hanya satu arah), dan (5) tidak diskriminatif. Menurut Asngari (2001), pendamping “sebagai agen pembaharuan dapat berperan sebagai juru penerang (pemberi informasi), guru, penasihat, pembimbing,
27
konsultan dan pengarah dalam kaitan dengan bisnis klien baik bisnis on farm maupun bisnis off farm serta wawasan pembaharuan dan modernisasi. Lebih lanjut tentang falsafah pentingnya
individu,
Asngari
menjelaskan
bahwa
sebagai
“agen
pembaharuan, seorang pendamping harus menempatkan SDM-klien sebagai pemain atau aktor/aktris yang aktif bagi pengembangan dan perkembangan dirinya sendiri. Demikian juga dalam falsafah kerjasama. Antara agen pembaharuan/pendampingan dan sumberdaya klien harus terjalin kerjasama dalam kegiatan pendampingan.” Ada kekhawatiran kegagalan penanggulangan kemiskinan bukan hanya karena banyaknya faktor yang mempengaruhi, melainkan sangat erat kaitannya dengan belum terciptanya keadilan proses pemberdayaan. Menurut Jamasy (2004), dugaan keras semakin melembaga terhadap peran “para pelaku utama pemberdayaan” itu sendiri, yang belum siap atau belum mampu melakukan proses pemberdayaan secara utuh. Mereka juga belum menerapkan fungsi keadilan pada proses pemberdayaan. Pelaku pemberdayaan juga masih memiliki banyak keterbatasan, misalnya keterbatasan kemampuan intelektual, keterbatasan memahani filosofi pemberdayaan, keterbatasan kemampuan material, dan keterbatasan pada aspek sikap dan perilaku/mental. Lebih lanjut dikatakan oleh Jamasy (2004), apabila kondisi tersebut terus dibiarkan/berlangsung, maka program pemberdayaan sudah dapat dipastikan akan mengalami kegagalan, karena pemberdayaan secara utuh harus dimulai dari para pelaku utamanya, dan tidak hanya terarah kepada mereka yang diberdayakan saja. Nelayan sebagai Kelompok Sosial Pemanfaat Program Menurut Johnson dan Johnson (Silviana, 2007), kelompok didefinisikan sebagai sejumlah orang atau benda yang dianggap membentuk suatu unit berdasarkan jenis hubungan umum atau mutual, atau yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat kemiripan (degree of similarity). Setiap unit sosial yang sifatnya kontinyu, memiliki identitas tersendiri dan bisa dibedakan dengan unit sosial lainnya bisa dipandang sebagai sebuah sistem sosial. Menurut Homans (Sanders, 1958), sebuah kelompok memiliki batas yang berhubungan dengan lingkungan sekitar kelompok (secara fisik, teknis, dan sosial), yang berproses secara eksternal dan secara internal (interksi dalam
28
kelompok), sehingga sebuah kelompok dikatakan sebagai kelompok sosial jika dicirikan oleh sistem eksternal dan internal tersebut. Menurut Homans, ada tiga elemen perilaku yang perlu digambarkan untuk menjelaskan kerja sebuah kelompok yakni, sentimen (rasa), kegiatan dan interaksi. Sentimen mengacu kepada kondisi internal individu, biasanya berhubungan dengan psikologi individu, misalnya tentang suka dan tidak suka atau setuju atau tidak setuju akan rencana yang akan mereka lakukan. Kegiatan atau aktivitas adalah apa yang akan mereka lakukan. Interaksi terjadi ketika ada reaksi antar individu dan reaksi yang berasal dari luar organisasi. Sentimen biasanya menjadi pemula sebagai satu kekuatan motivasi untuk menghasilkan jenis kegiatan tertentu, kemudian terjadi interaksi secara internal dan eksternal. Interkasi akan menghadirkan sebuah skema komunikasi dalam kelompok dengan adanya seorang pemimpin dan anggotanya. Pada akhirnya, sistem eksternal kelompok akan mengkomunikasikan apa yang mereka hasilkan terhadap dunia luar (Sanders, 1958) Menurut Sherif (Mardikanto, 1993), kelompok sebagai suatu kesatuan sosial yang terdiri atas dua atau lebih orang-orang yang mengadakan interaksi secara intensif dan teratur, sehingga diantara individu sudah terdapat pembagian tugas, struktur dan norma-norma tertentu yang khas bagi kesatuan tersebut, bentuk dan corak interaksi ini disebut dengan kelompok sosial. Lebih lanjut, Zanden (1979) membedakan kelompok-kelompok berdasarkan tiga kriteria dari Robert Biersted (1948), yaitu: (1) kesadaran akan jenis yang sama (conciousness of
kind) -
kecenderungan orang untuk mengakui orang lain seperti dirinya, (2) adanya hubungan sosial antar individu (sosial relationship between individuals) - hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi dalam hal perasaan, sikap, dan tindakan, serta (3) orientasi tujuan yang sudah ditentukan (goal-oriented associations) – sebuah unit sosial yang secara sengaja dibuat untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Tomosoa (Mardikanto, 1993), salah satu ciri terpenting dalam kelompok adalah suatu kesatuan sosial yang memiliki kepentingan bersama dan tujuan bersama. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui pola interaksi yang mantap dan masing-masing (individu yang menjadi anggotanya) memilki perannya sendiri-
29
sendiri. Ciri umum kelompok menurut Mardikanto, adalah: (1) memiliki ikatan yang nyata, (2) memiliki interaksi dan interelasi sesama anggotanya, (3) memiliki struktur dan pembagian tugas yang jelas, (4) memiliki kaidah-kaidah dan norma tertentu yang disepakati bersama; dan (5) memiliki keinginan dan tujuan bersama. Kelompok nelayan sebagai bagian dari kelompok sosial yang lebih luas (masyarakat) memiliki pengertian sebagai kumpulan orang-orang atau individuindividu yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan kegiatan usaha anggota. Pengertian ini memberikan cirri-ciri yang ada pada sebuah kelompok usaha, yaitu: (1) saling mengenal, akrab dan saling percaya diantara sesama anggota, (2) mempunyai pandangan dan kepentingan yang sama dalam berusaha, (3) memiliki kesamaan dan tradisi dan atau pemukiman, hamparan usaha, jenis usaha, status ekonomi maupun sosial, bahasa, pendidikan dan ekologi, serta (4) ada pembagian tugas dan tanggungjawab sesama anggota berdasarkan kesepakatan bersama. Ada tiga fungsi yang harus diemban oleh kelompok nelayan, yaitu : (1) kelompok sebagai unit belajar atau media komunikasi dan pergaulan sosial, (2) kelompok sebagai unit produksi usaha nelayan, dan (3) kelompok sebagai wahana kerjasama, baik antar anggota dalam kelompok mapun dengan pihak lain (Departemen Pertanian, 2007). Mengacu kepada rumusan tentang kelompok (Soedijanto 1981), terdapat enam karakterisitik dasar dalam kelompok tani/nelayan, yaitu: (1) kelompok tani/nelayan terdiri dari individu petani/nelayan, yaitu orang yang matapencaharian (curahan waktu
kerjanya)
sebagian
besar
atau
seluruhnya
diperoleh
dari
usahatani/pembudidayaan/beternak dan/atau nelayan (menangkap ikan), baik sebagai pemilik pengusaha/pengelola maupun penggarap. Individu-individu dalam kelompok tersebut dapat beragam, tetapi di dalam keragaman tersebut mereka memiliki kesamaan-kesamaan tertentu, misalnya kesamaan kebutuhan, tujuan, minat jenis usaha, tempat usaha, tempat tinggal (domisili), bahasa dan lain-lain, (2) setiap individu anggota kelompok petani/nelayan melakukan interaksi satu sama lain dengan struktur (pengorganisasian peranan, norma dan kedudukan) tertentu dan antar mereka
30
memiliki saling ketergantungan, (3) di dalam kelompok anggota berpartisipasi terus menerus secara interaktif, misalnya berpartisipasi untuk mempertahankan kehidupan dan keberlanjutan kelompok, (4) kelompok harus mandiri dalam pengambilan keputusan untuk dapat mengatur dan mengarahkan diri sendiri dalam upaya memenuhi kebutuhan anggota maupun mencapai tujuan bersama kelompok. Jadi kelompok tani/nelayan seharusnya tidak menjadi subordinat dari kepentingan organisasi lain, (5) setiap kelompok memiliki selektivitas (bersifat selektif), artinya ada kesadaran pada anggota kelompok dalam menyeleksi keanggotaan kelompoknya, tujuan atau kegiatannya, dan (6) setiap kelompok memiliki karakteristik keragaman yang terbatas. Karsidi (2002) menyatakan bahwa pendekatan kelompok dalam pemberdayaan kaum nelayan adalah suatu keharusan, karena secara sendiri-sendiri warga masyarakat yang kurang berdaya sulit untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dan karena organisasi/kelompok adalah suatu power yang penting, maka untuk empowerment pengorganisasian masyarakat ini menjadi penting sekali. Selain itu dengan pendekatan kelompok juga paling efektif, dan di lihat dari penggunaan sumberdaya juga lebih efisien. Pernyataan Karsidi tersebut didukung oleh Helmi dan Tunner (1990) yang menyatakan bahwa pemberdayaan tidak sekedar hanya bersifat individual tetapi lebih dari itu harus bermakna kolektif atau kelompok. Orang-orang
yang
telah
mencapai
tujuan
kolektif
diberdayakan
melalui
kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri, dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari luar. Hal yang sama juga disampaikan oleh Jamasy (2004), salah satu pola pendekatan pemberdayaan yang dianggap mampu mengangkat derajat ketidakberdayaan masyarakat pesisir adalah dengan pendekatan kelompok. Melalui media kelompok, kreativitas masing-masing anggota kelompok akan mewarnai kehidupan kelompoknya masing-masing sekaligus menjadi media tukar menukar informasi, pengatahuan dan sikap. Pembentukan kelompok didasarkan atas kesamaan usaha, aktivitas ekonomi, kebutuhan, aspirasi dan tujuannya. Seperti, kelompok nelayan
31
penangkapan, kelompok nelayan buruh, kelompok nelayan pengolah, kelompok pembudidaya ikan, kelompok nelayan pedagang, kelompok jasa perikanan, kelompok pengolah parawisata, dan lain sebagainya. Beragam defenisi pemberdayaan menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagi tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses (Suharto dkk, 2004). Lebih lanjut dikatakan oleh Jamasy (2004), cara dan proses tersebut kelihatan merupakan gambaran mulus dari proses pemberdayaan melalui pendekatan kelompok, namun ada pula ditemui beberapa gambaran yang tidak mulus, kendatipun dengan pendekatan kelompok. Kasus ini terjadi manakala pendamping atau fasilitator telah memandang mereka secara keliru, dimana mereka dipandang sebagai pihak yang lemah, pasif dan tidak mempunyai pengetahuan apa-apa. Apabila situasi ini masih terjadi maka kekuatan kelompok dan individu akan sulit berkembang, transformasi pengatahuan dan keterampilan pun tidak lagi menjadi kekuatan bersama. Jelas bukan kemandirian dan dinamika kelompok yang dihasilkan, melainkan pengerdilan dan ketergantunganlah yang terjadi. Ketika ketergantungan terus berlangsung, maka proses pemandirian menjadi mentah dan tidak akan berhasil. Dari aspek pengetahuan bisa saja mereka yang berada dalam kelompok berhasil, tetapi dari sisi kepercayaan diri untuk tumbuh dan berkembang mandiri menjadi tidak mulus dan sulit berhasil.
32
Partisipasi dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Sejak Tahun Anggaran (TA) 2000, peningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara terencana dan terstruktur dilaksanakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan melalui program yang langsung menyentuh masyarakat di kawasan pesisir, yaitu Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Program PEMP bertujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
pesisir
melalui
pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan. Sasaran PEMP adalah dikhususkan
kepada
masyarakat
pesisir,
yang
berusaha
sebagai
nelayan,
pembudidaya ikan, pedagang hasil perikanan, pengolah ikan, pengusaha jasa perikanan, dan pengelola pariwisata bahari serta usaha kegiatan lainnya yang terkait dengan kelautan dan perikanan seperti pengadaan bahan dan alat perikanan serta BBM yang tergolong skala usaha mikro dan kecil. Secara spesifik berdasarkan konsep pembangunan masyarakat, maka sasaran pemberdayaan masyarakat pesisir lebih ditekankan/diarahkan kepada: (1) tersedia dan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia; (2) tersedianya sarana dan prasarana produksi secara lokal yang memungkinkan masyarakat dapat dengan mudah memperoleh dengan harga yang murah dan kualitas yang baik; (3) meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan individu; dan (4) terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah yang memiliki ciri-ciri berbasis sumberdaya lokal (resource based), memiliki pasar yang jelas (market based), dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhatikan kapasitas sumberdaya (environmental based); (5) terciptanya hubungan transportasi dan komunikasi sebagai basis atau dasar hubungan ekonomi antar kawasan pesisir serta antara pesisir dan pedalaman; serta (6) terwujudnya struktur ekonomi Indonesia yang berbasis pada kegiatan ekonomi di wilayah pesisir dan laut sebagai wujud pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya alam laut. Tahapan implementasi yang hendak dicapai dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir tersebut digunakan paling tidak ada lima pendekatan. Kelima
33
pendekatan tersebut adalah: (1) penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi keluarga, (2) mendekatkan masyarakat dengan sumber modal dengan penekanan pada penciptaan mekanisme mendanai diri sendiri (self financing mechanism), (3) mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya guna, (4) mendekatkan masyarakat dengan pasar, serta (5) membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat. Kelima pendekatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh aspirasi, keinginan, kebutuhan, pendapatan, dan potensi sumberdaya yang dimiliki masyarakat. Ciri khas dan/atau tipikal dari Program PEMP sebagai salah satu program unggulan tampak dari acuan utama proses sosial selama program berlangsung. Prinsip daripada pelaksanaan program ini tidak lagi berorientasi pada hasil seperti program berciri top down sebagaimana yang pernah dilakukan selama ini. Program ini berciri partisipatif dengan melibatkan peranserta seluruh stakeholder (penyandang dana, perencana di tingkat pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda), birokrasi, pengusaha lokal, perguruan tinggi (PT), LSM/tenaga pendamping, dan kelompok masyarakat pemanfaat program itu sendiri). Orientasinya adalah membantu masyarakat pesisir - nelayan (sasaran) agar mampu mengembangkan diri atas dasar inovasi-inovasi yang ada, ditetapkan secara partisipatoris, dengan pendekatan metode berorientasi pada kebutuhan masyarakat sasaran dan hal-hal yang bersifat praktis dalam bentuk layanan individu yang tergabung dalam kelompok pemanfaat program. Upaya mencapai tujuan dan sasaran pemberdayaan dan pembangunan masyarakat
pesisir
tersebut
membutuhkan
keterlibatan
seluruh
komponen
sumberdaya (stakeholder). Tidak semata-mata menjadi tanggungjawab pemerintah, dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan, tetapi juga pihak-pihak nonpemerintah yaitu masyarakat sendiri, pengusaha swasta, badan usaha milik negara, dan lembaga swadaya masyarakat lainnya. Hal ini berarti bahwa pemerintah tidak harus berupaya sendiri karena hasilnya tidak akan optimal. Kemampuan pemerintah sangat terbatas, karena itu kemampuan yang dimiliki pemerintah harus dipadukan dengan apa yang dimiliki oleh non-pemerintah. Hal ini menuntut adanya sinergitas dan koordinasi yang benar-benar terjalin antara berbagai instansi pemerintah. Karena
34
keberhasilan pembangunan atau pemberdayaan masyarakat apapun bentuknya adalah resultant dari semua upaya pembangunan yang dilaksanakan atau diprogramkan oleh setiap instansi. Bila ini bisa diwujudkan maka pembangunan atau pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilaksanakan secara lebih komprehensif, terpadu, menyangkut berbagai aspek pembangunan, bukan saja teknis tetapi juga sosial budaya (Nikijuluw, 2001). Dalam konteks pembangunan, partisipasi berarti ikut ambil bagian dalam satu tahap atau lebih dalam suatu proses pembangunan. Menurut Kahiruddin (1992), terdapat minimal tiga hal pokok dari pengertian partisipasi, yaitu: (1) partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosi, (2) partisipasi menghendaki adanya kontribusi terhadap kepentingan atau tujuan kelompok, dan (3) partisipasi merupakan tanggungjawab terhadap kelompok, sedangkan menurut Davis (1976), partisipasi diartikannya sebagai keterlibatan mental dan pikiran dan perasaan seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok tersebut dalam usaha mencapai tujuan bersama dan ikut bertanggungjawab terhadap usaha yang dilakukannya. Oleh karena itu, Dalam konsep pembangunan menurut Cleaver (Cooke dan Kothari, 2002), pendekatan partisipasi (peranserta) dimaknai; (1) sebagai kontribusi masyarakat untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan dalam mempromosikan proses-proses demokratisasi dan pemberdayaan. (2)
pendekatan ini juga dikenal
sebagai partisipasi dalam dikotomi instrumen (means) dan tujuan (ends), serta (2) konsep partisipasi adalah elite capture yang dimaknai sebagai sebuah situasi dimana pejabat lokal, tokoh masyarakat, LSM, birokrasi dan aktor-aktor lain yang terlibat langsung dengan program-program partisipatif, melakukan praktek-praktek yang jauh dari prinsip partisipasi. Dalam argumen efisiensi, partisipasi adalah sebuah instrumen atau alat untuk mencapai hasil dan dampak program/kebijakan yang lebih baik, sedangkan dalam argumen demokratisasi dan pemberdayaan, partisipasi adalah sebuah
proses
untuk
meningkatkan
kapasitas
individu-individu,
menghasilkan sebuah perubahan yang positif bagi kehidupan mereka.
sehingga
35
Lahirnya pemikiran pembangunan partisipatif dilatarbelakangi oleh program, proyek dan kegiatan pembangunan masyarakat yang datang dari atas atau datang luar komunitas. Faktanya, konsep pembangunan ini sering gagal dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Para praktisi pembangunan juga sering mengalami frustrasi terhadap kegagalan program tersebut. Untuk itu, reorientasi terhadap strategi pembangunan masyarakat adalah keniscayaan. Kemunculannya mengedepankan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat sebagai strateginya (Hikmat, 2001). Cohen dan Uphoff (1977) mengungkapkan bahwa partisipasi merupakan bentuk perilaku yang didukung oleh dua hal: (1) ada unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu pada diri seseorang (person inner determinant), dan (2) terdapat iklim atau lingkungan (enviromental factors) yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu. Dalam proses partisipasi dikenal pula tahapan-tahapan, yang tidak semua individu atau kelompok mengikuti semua tahapan. Tahapan partisipasi itu adalah sebagai berikut: (1) partisipasi tahap perencanaan, (2) partisipasi pada tahap pelaksanaan, (3) partisipasi pada tahap pemanfaatan, dan (4) partisipasi pada tahap penilaian. Partisipasi dalam pembuatan keputusan adalah dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan aspirasinya dalam menilai suatu rencana yang akan ditetapkan. Partisipasi dalam pembuatan keputusan yaitu prioritas-prioritas rencana yang dipilih dituangkan dan diruangkan dalam program pembangunan masyarakat itu sendiri. Partisipasi dalam pelaksanaan program pembangunan adalah partisipasi dengan mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana yang telah disepakati bersama. Dalam hal ini partisipasi dapat di lihat dari : (1) jumlah anggota masyarakat yang berpartisipasi, (2) bentuk barang atau jasa yang dipartisipasikan, (3) pelaksanaannya langsung atau tidak langsung, dan (4) semangat untuk berpartisipasi. Ekspektasi dari partisipasi dalam program pembangunan haruslah memberikan manfaat/keuntungan. Oleh karena itu, menurut Cernea (1991), ada lima cara untuk menjamin keuntungan dalam berpartisipasi, baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan suatu program pembangunan, yaitu: (1) tingkat partisipasi yang
36
diinginkan harus dibuat jelas dari awal dan dapat diterima semua orang, (2) memiliki sasaran yang realistis untuk berpartisipasi dan harus dibuat berdasarkan fakta yang ada pada setiap perencanaan, (3) pada umumnya memperkenalkan dan mendukung partisipasi perlu dilakukan walaupun hal itu sesuai dengan pola organisasi atau kelompok sosial ditingkat local, (4) harus ada komitmen pendanaan bagi parisipasi masyarakat, dan (5) harus ada perencanaan terhadap pembagian tanggungjawab dalam setiap tahapan kegiatan proyek/program, keuntungan lebih ditunjukkan pada kegiatan proyek/program daripada membagi-bagikan asset kepada masyarakat tanpa kontribusi yang berarti. Hal tersebut di atas menjadi penting karena kebijakan negara dalam upaya mengentaskan kemiskinan di Indonesia, terutama bagi masyarakat pesisir-nelayan melalui serangkaian program pembangunan ternyata sebagaian besar masih menuai kegagalan sampai saat ini. Bahkan jumlah nelayan miskin terus bertambah. Kegagalan-kegalan ini, dari berbagai hasil kajian menunjukkan bahwa lebih disebabkan oleh rendahnya partisipasi nelayan dalam pelaksanaan kegiatan, keengganan mereka terlibat dalam program pemerintah dikarenakan programnya kadang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan. Sebagai contoh program pemerintah untuk peningkatan kesejahteraan nelayan seperti Program Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN)/Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Untuk Nelayan (SPBN), Pembangunan Kedai Pesisir, dan Program Penguatan Modal bagi masyarakat pesisir yang bekerjasama dengan lembaga keuangan tidak menunjukkan hasil yang signifikan meningkatnya kesejahteraan nelayan kecil/tradisional pada umumnya. Menurut data KKP sampai dengan Mei Tahun 2008 telah terbangun 225 SPDN. Berapa milyar rupiah uang terbuang karena minimnya keterlibatan nelayan dalam penyusunan program yang benar-benar mereka butuhkan (Riyono, 2010). Hasil telaah United Nation Environment Programme dalam “ The Public and Enviroment” (Salim, 1995) mengungkapkan lima pokok yang diperlukan untuk mengefektifkan
peranserta
masyarakat
dalam
pembangunan,
yaitu:
(1)
mengidentifikasi kelompok masyarakat yang tertarik atau bakal dipengaruhi oleh suatu kegiatan, (2) menggapai kelompok masyarakat dengan memberikannya
37
informasi tentang permasalahan, alternatif dan keputusan yang perlu, (3) mengembangkan dialog dalam bentuk pertemuan, lokakarya, dengar pendapat, kontak perorangan, surat menyurat, pembentukan tim kerja dan lain-lain, (4) mengeleminasi berbagai pendapat ini dalam suatu kesimpulan, dan (5) memberi umpan balik terhadap peran serta tadi. Penguatan peranserta masyarakat haruslah menjadi bagian dari agenda demokratisasi lebih-lebih dalam era globalisasi. Peranserta masyarakat harus lebih dimaknai, sebagai hak katimbang kewajiban. Kontrol rakyat terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan atas program-program pembangunan yang ditujuan kepadanya adalah hak masyarakat sebagai pemegang kata akhir dan mengontrol semua hal yang masuk dalam agenda dan urutan prioritas. Apabila peranserta masyarakat meningkat efektivitasnya, maka sebenarnya upaya pemberdayaan masyarakat telah dijalankan. Upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi dan produtivitas melalui pengembangan sumberdaya manusia, penguasaan teknologi dan penguatan kelembagaan serta perbaikan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial. Upaya ini memerlukan adanya kerjasama yang sinergis dari berbagai kekuatan pembangunan yang ada (Karsidi, 2001). Dalam konteks pemberdayaan kaum nelayan, faktor yang paling penting adalah bagaimana
mendudukkan
kaum
nelayan
pada
posisi
pelaku
(subjek)
pemberberdayaan yang aktif. Konsep gerakan pemberdayaan nelayan yang harus diutamakan adalah inisiatif dan kreasi kaum nelayan dengan strategi pokok adalah memberi kekuatan (power) kepada masyarakat. Rasionalnya, masyarakat lebih memahami kebutuhan dan dan permasalahan yang dihadapi harus diberdayakan agar mereka lebih mampu mengenali kebutuhan-kebutuhannya, dilati untuk dapat merumuskan rencana-rencananya, serta melaksanakan pembangunan secara mandiri dan swadaya. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan adalah “dari, oleh, dan untuk” masyarakat (Hikmat, 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa partisipasi warga atau kelompok masyarakat dalam melaksanakan gerakan pembangunan dalam konteks pemberdayaan harus terus didorong dan ditumbuhkembangkan secara bertahap, ajeg, berkelanjutan. Jiwa
38
partisipasi warga masyarakat adalah semangat solidaritas sosial, yaitu hubungan sosial yang selalu didasarkan pada perasaan moral, kepercayaan dan cita-cita bersama. Oleh karena itu, seluruh warga masyarakat harus selalu bekerja sama, bahu membahu, saling membantu, dan mempunyai komitmen moral dan sosial yang tinggi dalam memasyarakatkan gerakan pemberdayaan tersebut dari semua apsek dan tingkatan. Menurut Goldsmith dan Blustain (Jahi, 1988), apabila dengan berpartisipasi memberikan manfaat dan dapat memenuhi keperluan-keperluan masyarakat setempat, maka hal itu akan menjadi pendorong timbulnya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi. Motivasi dengan demikian merupakan motor penggerak perilaku manusia dan oleh karenanya peningkatan motivasi akan mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dan need for achiefment (“N Ach”) merupakan kunci perubahan tradisional menjadi modern (Mc Clelland, 1987). Masyarakat yang makin maju dan berkembang, adalah masyarakat yang secara aktif ikutserta dalam menentukan nasibnya sendiri. Peranserta masyarakat yang aktif, akan lebih menumbuhkan potensi daerah sehingga dapat mempercepat proses peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah itu. Perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi ini dilakukan melalui pembangunan yang berkesinambungan, baik pembangunan ekonomi maupun sosial fisiknya. Untuk tercapainya sasaran dan tujuan pembangunan ini, tidak terlepas dari peranserta seluruh pihak yang terlibat d idalamnya, termasuk masyarakat (Sumadiningrat,1997). Membangun keterlibatan totalitas partisipasi yang lebih aktif dalam masyarakat, hakekat pemberdayaan dalam konteks ini, menurut Helmi dan Tunner (1990), maka pemberdayaan hendaknya mendorong terjadinya suatu proses perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberikan pengaruh yang lebih besar di arena politik secara lokal maupun nasional, sedangkan McArdle (Hikmat, 2001) menyatakan bahwa pemberdayaan tidak sekedar hanya bersifat individual tetapi lebih dari itu harus bermakna kolektif atau kelompok. Sebaliknya, orang-orang yang terlibat dalam proses tersebut (stakeholder) dalam hal ini pendamping atau pendampingan harus lebih memperhatikan kehidupan kliennya hingga memperoleh rasa percaya diri, merasa memiliki harga diri, dan pengetahuan
39
untuk mengembangkan keahlian baru. Dalam hal ini memberdayakan kaum nelayan berarti menggali potensi dan menumbuh-kembangkan kemampuan mereka agar sampai pada cita-cita kemandiriannya dan sekaligus menempatkan hak mereka sejajar dengan lapisan masyarakat lainnya. Suatu pencapaian proses yang oleh Arthur W.Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers disebutnya sebagai proses menuju pada “aktualisasi” diri.