2
Padi (Oryza sativa) yang merupakan anggota keluarga gramineae diketahui mengandung silika. Soepardi (1982) mengatakan bahwa kandungan silika tertinggi padi terdapat pada sekam. Sekam padi dapat digunakan sebagai sumber substrat dalam biosintesis nanopartikel silika (SiO2). Sekam padi adalah bahan pertanian berbasis limbah yang murah dan kaya akan sejumlah silika. Proses penggilingan gabah akan menghasilkan 16,328% sekam dan sebanyak 16.98% silika terkandung dalam sekam (Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian 2001). Material anorganik silika yang terkandung dalam sekam, berada dalam bentuk dasar (amorphous silica) (Bansal 2006). Sintesis silika secara kimia dan fisika tidak hanya mahal dan membahayakan lingkungan, tetapi juga membutuhkan kondisi yang lebih sulit, yaitu perlakuan temperatur, tekanan, dan pH ekstrim. Penelitian mengenai pemanfaatan sekam yang merupakan limbah pertanian sebagai sumber substrat silika oleh Fusarium oxysporum dan biotransformasinya menjadi nanopartikel silika kristalin belum banyak dilakukan. Penelitian mengenai biosintesis nanopartikel silika dari sekam oleh Fusarium oxysporum perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan menghasilkan produk biosintesis berstruktur silika kristalin dan berbentuk nanopartikel silika dengan optimasi fase pertumbuhan dan jumlah substrat. Karakterisasi nanopartikel silika berdasarkan ukuran untuk analisis SEM (Scanning Electron Microscope), komposisi kimiawi untuk analisis FTIR (Fourier Transformer Infrared Spectroscopy), dan struktur untuk analisis XRD (Xray Difraction). Hipotesis penelitian ini adalah terdapat enzim ekstraseluler F.oxysporum yang dapat mereduksi silika dari sekam padi dan karakterisasi produk biosintesis berupa silika berukuran nano. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data awal dalam optimasi perlakuan biosintesis nanopartikel silika dari sekam oleh F.oxysporum dan dilanjutkan ke skala produksi yang lebih besar.
TINJAUAN PUSTAKA Nanoteknologi dan Nanopartikel Konsep nanoteknologi pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli Fisika bernama Richard P. Feyman dalam suatu kuliah perkumpulan ahli Fisika di Amerika pada tahun 1979. Eric Drexler kemudian memperkenalkan konsep nanoteknologi
kepada masyarakat luas melalui buku yang bejudul Engines of Creation pada pertengahan tahun 1980 (Park 2007). Website resmi NASA memberikan definisi mengenai nanoteknologi, yaitu merupakan teknologi dalam pembentukan bahan fungsional, sumber, dan sistem melalui pengaturan berdasarkan skala atau ukuran (1100 nm) dan didapatkan dengan pemanfaatan fenomena umum, secara fisika, kimia, serta biologi dalam skala yang lebih besar. Nanoteknologi didefinisikan sebagai teknologi dalam skala atom dengan dimensi kurang dari 100 nanometer dalam kamus bahasa inggris Oxford. Kata depan nanoberasal dari bahasa yunani, yang berarti satu nanometer sama dengan 10-9 meter. Produk yang dihasilkan dalam pemrosesan melalui nanoteknologi berdasarkan ukuran partikel dan berdasarkan definisi sebelumnya adalah nanopartikel. Nanopartikel dianggap sebagai bahan dengan dimensi ukuran kurang dari 100 nm. Luas permukaan nanopartikel dibuat sangat besar sehingga ukuran partikelnya menjadi sangat kecil, yaitu kurang dari 100 nm. Luas permukaan menentukan ukuran, struktur, dan ukuran agregasi partikel (Park 2007). Nanopartikel dapat dihasilkan dalam tiga bentuk yaitu: (1) nanopartikel alami, (2) nanopartikel antropogenik, dan (3) nanopartikel buatan. Nanopartikel alami terbentuk secara sendirinya serta mencakup bahan yang mengandung nanokomponen dan kemungkinan ditemukan di atmosfir seperti garam laut yang dihasilkan oleh evaporasi air laut kedalam bentuk spray air, debu tanah, abu vulkanik, sulfat dari gas biogenik, dan bahan organik dari gas biogenik. Kandungan dari masing-masing nanopartikel alami tersebut di dalam atmosfer bergantung kepada kondisi bumi. Nanopartikel antropogenik merupakan nanopartikel yang terbentuk secara kebetulan dihasilkan dalam bentuk bahan bakar fosil. Nanopartikel antropogenik lain berada dalam bentuk asap dan partikulat yang dihasilkan dari oksidasi gas, seperti sulfat dan nitrat. Sedangkan, nanopartikel buatan merupakan nanopartikel yang dibentuk untuk tujuan tertentu dan kemungkinan ditemukan dalam satu atau beberapa bentuk yang berbeda (Lead 2007; Park 2007). Nanopartikel dapat berbentuk logam, mataloid oksida, dan karbon. Nanopartikel anorganik yang paling sederhana adalah logam. Nanopartikel logam termasuk silika, aluminium, perak, emas, tembaga, nikel, kobalt, dan besi, bersifat potensial untuk
3
dimanfaatkan dalam berbagai bidang aplikasi (Park 2007). Nanopartikel digunakan melalui pemanfaatan yang luas untuk menemukan teknologi baru di bidang kimia, elektronika, kesehatan, dan bioteknologi. Nanopartikel, khususnya nanopartikel logam dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi, seperti antimikroba, optika, elektronika, biomedis, biosensor, biolabel, biofiltrasi, magnetika, mekanika, katalis, bioremediasi, pereduksi limbah industri, dan sumber energi (Marlina 2008; Moghaddam 2010). Aplikasi tersebut juga termasuk pembuatan baterai, remediasi tanah, dan bahan pembuatan peledak (Park 2007). Aplikasi nanopartikel yang luas berimplikasi dengan banyaknya metode yang dikembangkan dalam sintesis nanopartikel logam. Biosintesis Nanopartikel Secara umum, diketahui terdapat 3 metode utama yang dikembangkan dalam sintesis nanopartikel logam, diantaranya sintesis secara kimia, sintesis fisika, dan sintesis secara biologi (Moghaddam 2010). Sintesis nanopartikel secara biologi (biosintesis) dipertimbangkan sebagai metode paling baik dalam membuat nanopartikel, daripada metode sintesis secara kimia dan fisika. Hal tersebut dikarenakan sintesis nanopartikel secara biologi memiliki nilai pemanfaatan dan komersil yang lebih tinggi, memiliki simpanan reduktan yang banyak, energi yang dikeluarkan lebih sedikit, serta nilai produksi yang tinggi. Produksi nanopartikel dalam skala besar dengan menggunakan metode kimia dan fisik biasanya menghasilkan partikel yang lebih besar dalam ukuran mikrometer, metode sintesis nanopartikel secara biologi dapat menghasilkan nanopartikel yang baik dalam skala besar. Biosintesis juga merupakan metode yang lebih disarankan daripada kedua metode lainnya karena prosesnya bersifat bersih, nontoksik, murah, dan ramah lingkungan. Pertimbangan perlakuan kondisi juga perlu diperhatikan, bahwa metode fisika memerlukan temperatur tinggi dan metode kimia membutuhkan tekanan tinggi. Hal tersebut menandakan metode sintesis nanopartikel secara fisik dan kimia memerlukan kondisi yang lebih sulit dibandingkan dengan biosintesis nanopartikel (Moghaddam 2010). Biosintesis nanopartikel merupakan pengembangan teknologi baru dengan menghasilkan nanopartikel logam dari sel mikroba serta melibatkan reaksi enzimatis.
Biosintesis nanopartikel berlangsung dalam mekanisme khusus yang bervariasi meliputi, sistem efluksi, reaksi oksidasi-reduksi, bioabsorpsi, bioakumulasi, presipatsi logam, dan sistem transport spesifik logam. Salah satu mekanisme untuk membuat nanopartikel logam, adalah dengan menggunakan enzim spesifik yang dapat mereduksi, seperti NADH reduktase (Moghaddam 2010). Assay protein dalam biosintesis nanopartikel Ag menunjukkan bahwa NADH reduktase diketahui sebagai enzim yang terlibat dalam proses biosintesis nanopartikel logam dan merupakan faktor penting yang bertanggung jawab dalam proses biosintesis. Reduktase memperoleh elektron dari NADH dan mengoksidasinya menjadi NAD+, kemudian reduktase mereduksi NO3- menjadi NO2-. Enzim ini di dalam F.oxysporum berkonjugasi dengan donor elektron bernama anthraquinon. Enzim ini kemudian mereduksi ion logam dan mengubahnya menjadi bentuk lain (Gambar 1) (Duran et al. 2005; Moghaddam 2010). Enzim reduktase yang dihasilkan F.oxysporum dalam biosintesis nanopartikel silika bersifat spesifik, F.monoliforme tidak menghasilkan enzim ekstraseluler yang dipergunakan dalam biosintesis nanopartikel silika (Bansal et al. 2002). Nanopartikel silika yang terbentuk kemungkinan adalah produk dari pertukaran elektron oleh reduktase spesifik F.oxysporum. Biosintesis dengan mempergunakan enzim ekstraseluler ini berlangsung dalam beberapa menit, sehingga biosintesis dapat menghasilkan nanopartikel dalam proses yang cepat (Duran et al. 2005; Moghaddam 2010). Ag+ Ag
Gambar 1 Mekanisme reduksi biosintesis nanopartikel Ag.
4
Berdasarkan enzim pereduksi yang dihasilkan mikroba, teknik biosintesis nanopartikel logam diklasifikasikan menjadi biosintesis intraseluler dan biosintesis ekstraseluler. Biosintesis secara intraseluler melaksanakan proses sintesis yang berlangsung di dalam sel. Proses detoksifikasi logam berbahaya dimediasikan oleh suatu reaksi enzimatis yang berlangsung melalui bioreduksi. logam dan terjadi di dalam sel. Melalui mekanisme tersebut, nanopartikel didapatkan dari sel dengan metode tertentu (Moghaddam 2010). Proses reduksi tidak terjadi di dalam sel mikroba pada biosintesis ekstraseluler dari nanopartikel logam. Pereaksi biologis dibutuhkan untuk bioreduksi dalam bentuk biolikuid. Enzim yang berperan dalam bioreduksi disekresikan keluar sel. Air yang telah menyimpan biomassa selama sehari digunakan dalam metode biosintesis ekstraseluler. Pereaksi biologis berupa enzim dibebaskan oleh biomassa kedalam air steril. Air steril yang mengandung enzim tersekresi digunakan sebagai reduktan untuk mereduksi ion logam dan menciptakan nanopartikel logam (Moghaddam 2010). Biosintesis ekstraseluler memiliki dua keuntungan. Proses tambahan diperlukan untuk mendapatkan nanopartikel yang berada dalam biomassa dalam metode intraseluler, yaitu dengan ultrasound atau reaksi kimiawi dengan menggunakan detergen. Biosintesis ekstraseluler tidak perlu dilakukan proses tersebut. Biosintesis ekstraseluler dianggap sebagai proses yang lebih murah. Keuntungan-keuntungan tersebut yang membuat metode biosntesis ekstraseluler, lebih banyak digunakan bagi pengembangan proses ekstraseluler dalam biosintesis logam (Moghaddam 2010). Beberapa mikroorganisme memiliki kemampuan dalam mensintesis nanopartikel logam, baik eukariot maupun prokariot. Prokariot yang memiliki kemampuan tersebut adalah bakteri. Sedangkan mikroorganisme eukariot yang mampu mensintesis nanopartikel adalah fungi dan alga. Meskipun banyak mikroorganime yang dapat digunakan, fungi F.oxysporum dilaporkan sebagai mikroorganisme dengan penanganan yang lebih mudah bila dibandingkan dengan mikroorganisme lain (Moghaddam 2010). Fusarium Oxysporum Fungi adalah organisme dengan sel-sel berinti sejati (eukariot), biasanya berbentuk benang, bercabang-cabang, tidak berklorofil,
dan dinding selnya mengandung kitin serta selulosa. Fungi merupakan organisme heterotrof, absortif, dan membentuk beberapa macam spora. Bagian vegetatif fungi biasanya berupa benang-benang yang disebut sebagai hifa. Kumpulan benang-benang hifa disebut miselium. Fungi dapat bereproduksi aseksual melalui spora aseksual (konidia) dan reproduksi seksual melalui spora seksual. Berdasarkan sistem reproduksinya, fungi dibedakan atas beberapa kelas, diantaranya askomikotina, basidiomikotina, oomikotina, dan deuteromikotina (Semangun 1996 dalam Sari 2006). Deuteromikotina merupakan cendawan tingkat tinggi yang mempunyai hifa bersekat. Jenis fungi ini memiliki karakteristik dengan tidak diketahui siklus reproduksi seksualnya, sehingga dikenal dengan fungi imperfek. Salah satu fungi yang tergolong deuteromikotina adalah Fusarium sp (Semangun 1996 dalam Sari 2006). Fusarium oxysporum masuk kedalam kelas Deuteromikotina, ordo Hypomiseta atau Monilia. Fusarium oxysporum masuk kedalam famili Tuberkulariceae dengan letak konidia pada sporodochium. Fusarium oxysporum juga termasuk kedalam kelompok Fragmonospora, yaitu memiliki konidia satu atau lebih, berseptat, bening atau berwarna, dan berbentuk sabit atau kumparan (Thompson dan Lim 1995 dalam Sari 2005). Fusarium oxysporum yang merupakan spesies yang dapat tumbuh dalam lingkung anaerob ini biasanya ditumbuhkan pada medium PDA (Potato Dextrose Agar) dan dapat mencapai diameter 3.5-5.0 cm. Miselia tampak banyak seperti kapas, kemudian menjadi seperti beludru, berwarna putih atau salem dan biasanya sedikit keunguan yang tampak lebih kuat dekat permukaan medium (Gandjar et al.1999) (Gambar 2). Fusarium oxysporum dalam siklus hidupnya mengalami fase patogenesa dan saprogenesa atau merupakan saprofit tanah tetapi dapat bersifat patogen bagi banyak tumbuhan. Fungi ini hidup sebagai parasit pada tanaman inang yang masuk melalui luka akar, kemudian patogen berkembang dalam jaringan tanaman. Spesies ini dapat diisolasi dari biji atau serealia, kacang tanah, kacang kedelai, buncis, kapas, pisang, umbi bawang, kentang, jeruk, apel, dan bit (Gandjar et al.1999). Fusarium oxysporum menghasilkan beberapa macam bentuk spora aseksual yaitu, makrokonidia, mikrokonidia, dan klamidospora (Gambar 3). Mikrokonidia
5
merupakan bentuk spora yang yang paling sering dihasilkan dalam semua keadaan. Spora ini bersepta 0 hingga 2, terbentuk lateral pada fialid yang sederhana, atau terbentuk pada fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang pendek, umumnya terdapat dalam jumlah banyak sekali, terdiri dari aneka bentuk dan ukuran, berbentuk elips sampai silindris, lurus atau sedikit bengkok, dan berukuran (5.0x12.0)x(2.2-3.5) μm. Makrokonidia merupakan spora yang sangat khas terdapat pada galur Fusarium sp. Makrokonidia terbentuk pada fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang, bersepta 3-5, berbentuk fusiform, sedikit membengkok, meruncing pada kedua ujungnya dengan sel kaki berbentuk pediselata, umumnya bersepta 3, dan berukuran (20)27-(46)50x3.0-4.5(5) μm. Klamidospora terdapat dalam hifa atau dalam konidia, berwarna hialin, berdinding halus atau sedikit kasar, berbentuk semibulat dengan diameter 5.0-15 μm., terletak terminal atau interkalar, dan berpasangan atau tunggal (Booth 1971).
Gambar 2 Fusarium oxysporum.
Gambar
3
Spora Aseksual Fusarium oxysporum (a) makrokonidia (b) konidiofor (c) fialid (d) mikrokonidia (e) Khlamidospora.
Fusarium oxysporum mampu menghasilkan enzim, toksin, polisakarida, dan antibiotik secara ekstraseluler (Bilgrami dan Dube 1976 dalam Sari 2006). Fusarium oxysporum dikenal sebagai fungi penyebab penyakit layu pembuluh dan bersifat patogen bagi sebagian tanaman akibat toksin yang dikeluarkan (Efendi et al. 2008). Enzim spesifik disekresikan oleh Fusarium oxysporum diluar sel (ekstraseluler). Enzim yang ekstraseluler tersebut dapat mereduksi substrat tertentu (Sari 2006). Pertumbuhan Sel Kapang Definisi pertumbuhan didalam sudut pandang mikrobiologi adalah pertambahan volume sel karena adanya pertambahan protoplasma dan asam nukleat yang melibatkan sintesis DNA dan pembelahan mitosis (Gandjar et al. 2006). Pertumbuhan volume sel tersebut bersifat irreversibel, artinya tidak dapat kembali ke volume semula. Benang-benang hifa yang terbentuk membuktikan terjadi pertumbuhan pada suatu sel kapang (Gandjar et al. 2006). Pertumbuhan sel kapang berawal dari sesuatu yang semula tidak terlihat, yaitu suatu spora atau konidia, menjadi benang-benang hifa (Gambar 4). Benang-benang hifa yang dapat terlihat secara makroskopik disebut miselium. Miselium menyebabkan timbulnya kekeruhan pada media cair dalam waktu tertentu. Kekeruhan media berbanding lurus dengan pertambahan biomassa miselium kapang dan dapat digambarkan dengan kurva pertumbuhan (Gandjar et al. 2006). Kurva pertumbuhan diperoleh dengan menghitung kekeruhan media dalam waktu tertentu. Kurva pertumbuhan umumnya melewati beberapa fase, antara lain: (1) fase lag, (2) fase akselerasi, (3) fase eksponensial, (4) fase deselerasi, (5) fase stasioner, dan (6) fase kematian (Gambar 5). Fase-fase yang dilewati suatu sel dalam kurva pertumbuhan tersebut dapat memberikan informasi mengenai faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan suatu biomassa sel kapang di dalam media, seperti suhu optimum, derajat keasaman optimum, perlakuan substrat, dan aerasi. Selain itu, informasi mengenai waktu saat enzim-enzim ekstraseluler dikeluarkan untuk menguraikan senyawa-senyawa kompleks serta nutriennutrien juga dapat diketahui (Gandjar et al. 2006). Kapang mengeluarkan enzim ekstraseluler ke lingkungan untuk mengurai substrat yang kompleks agar memperoleh nutrien-nutrien
6
yang diperlukan. Secara umum, nutrien yang diperlukan dalam bentuk karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, kalium, magnesium, natrium, kalsium, natrium mikro (besi, mangan, zinc, kobalt, molibdenum) dan vitamin. Karbon menempati posisi yang unik karena semua organisme hidup memiliki karbon sebagai salah satu pembangun tubuh (Gandjar et al. 2006). Kapang adalah mikroorganisme heterotrof karena tidak memiliki kemampuan untuk mengoksidasi senyawa karbon. Senyawa karbon yang dapat dimanfaatkan kapang untuk membuat materi sel baru berkisar dari molekul sederhana, seperti asam organik, gula terikat alkohol, polimer rantai pendek, dan panjang yang mengandung karbon. Senyawa kompleks, seperti karbohidrat, protein, lipid, dan asam nukleat juga dapat dimanfaatkan kapang sebagai sumber karbon (Gandjar et al. 2006).
Gambar 4 Pertumbuhan spora kapang.
Gambar 5 Kurva pertumbuhan fungi (1)fase lag ,(2) fase akselerasi, (3) fase eksponensial, (4) fase deselarasi. (5) fase stasioner, (6) fase kematian. Silika (SiO2) dan Sekam Silika merupakan material yang tersedia di alam dan secara kuantitatif memiliki jumlah yang melimpah. Tanaman berperan secara signifikan dalam siklus biogeokimia silika. Silika berada di dalam tanah berbentuk silika larut air (H4SiO4). Tanaman menyerap silika,
dipolimerisasi dan dipresipitasi menjadi bentuk silica amorphous. Beberapa karbohidrat dan protein tanaman diketahui memiliki peran dalam polimerisasi biosilika menjadi bentuk silica amorphous sama dengan bentuk silika yang terdapat di biosfer. Tanaman mati akan meninggalkan silika kembali kedalam tanah dan berlangsung aktivitas mikrobial (Soepardi 1982). Silika terakumulasi dalam bentuk phytolit yang merupakan bentuk primer dari silica amorphous (SiO2 dengan 5-15% H2O). Berbagai jenis tanaman baik dikotil maupun monokotil memproduksi phytolit. Jenis tanaman dikotil yang memprodukisi phytolit diantaranya mytaceae, casuarinaceae, proteaceae, xantorhoeceae, dan mimosceaee. Jenis tanaman monokotil yang memproduksi phytolit adalah equistaceae dan gramineae (Bansal 2006). Keberadaan silika (SiO2) dalam tanaman gramineae telah diketahui sejak tahun 1938. Padi (Oryza sativa) yang merupakan anggota keluarga gramineae dan diketahui mengandung silika. Menurut Soepardi (1982), kandungan silika tertinggi pada padi terdapat pada sekam bila dibandingkan dengan bagian tanaman padi lain seperti helai daun, pelepah daun, batang, dan akar. Sekam dalam padi (gramineae) merupakan lapisan keras yang membungkus kariopsis butir gabah, terdiri atas dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa pertanian atau limbah penggilingan pada proses penggilingan padi (Bansal 2006) (Gambar 6). Proses penggilingan gabah akan dihasilkan 16,3-28% sekam. Sekam dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak, dan energi (Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian 2001). Ditinjau dari komposisi kimiawinya, sekam mengandung beberapa unsur penting seperti terlihat pada Tabel 1. Sebanyak 16.98% silika terkandung dalam sekam. Material anorganik silika yang terkandung dalam sekam, berada dalam bentuk dasar (amorphous silica) (Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian 2001; Bansal 2006). Komposisi kimiawi sekam selain silika adalah selulosa. Sebanyak 34.34 - 43.80% selulosa terkandung dalam sekam (Laksmono 2000). Selulosa merupakan suatu matriks serat polisakarida yang memiliki monomer berupa D-glukosa dengan subunit monomer berupa selobiosa (Hawab 2004)
7
a.
b.
Gambar
6
Pemrosesan padi (a) hasil pemrosesan padi (b) serbuk sekam hasil penggilingan
Tabel 1(a) Komposisi kimiawi sekam Komponen Kandungan (%) Kadar air 9.02 Protein kasar 3.03 Lemak 1.18 Serat kasar 35.68 Abu 17.71 Karbohidrat kasar 33.71 Karbon (zat arang) 1.33 Hidrogen 1.54 Oksigen 33.64 Silika (SiO2) 16.98 Sumber : Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian (2001). Tabel 1(b) Komposisi kimiawi sekam Komponen Kandungan (%) H2O 2.40-11.35 Crude protein 1.70-7.26 Crude fat 0.38-2.98 Ekstrak nitrogen bebas 24.70-38.79 Crude fiber 31.37-49.92 Abu 13.16-29.04 Pentosa 16.94-21.95 Selulosa 34.34-43.80 Lignin 21,40-46.97 Sumber : Ismunadji (1988) dalam Laksmono (2000).
Komposisi kandungan kimia seperti yang di deskripsikan dalam Tabel 1, sekam antara lain dapat dimanfaatkan untuk (1) bahan baku industri bahan bangunan, terutama kandungan silika (SiO2) yang dapat digunakan untuk campuran pada pembuatan semen, bahan isolasi, husk-board dan campuran pada industri bata merah; (2) sumber energi panas karena kadar selulosanya cukup tinggi sehingga dapat memberikan pembakaran yang merata dan stabil. Sekam memiliki kerapatan jenis (bulk density) 125 kg/m3, dengan nilai kalori 3.300 kkal/ kg sekam (Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian 2001). Silika adalah material anorganik yang penting. Silika secara khusus digunakan pada berbagai aplikasi, seperti resin, penyaring molekuler, pembantu peran katalis, dan pengisi dalam pembuatan polimer. Selain itu, saat ini silika sedang dikembangkan dalam bidang aplikasi biomedis (Bansal 2006). Silika yang dikembangkan saat ini, adalah silika sebagai bahan nanostrukur anorganik yang berpori. Silika berbentuk nanopartikel memiliki beberapa kelebihan sebagai partikel berdensitas rendah, partikel yang bersifat stabil secara termal, dan juga sebagai struktur yang dapat dikemas dalam bentuk kapsul, serta tahan terhadap proses mekanik dalam aplikasi pemanfaatnnya (Bansal 2006). Nanopartikel silika memiliki beberapa sifat diantaranya, luas permukaan besar, ketahanan panas yang baik, kekuatan mekanik yang tinggi, dan inert sehingga digunakan sebagai prekursor katalis (Benvenutti dan Yoshitaka 1998), sebagai adsorben (Kalapathy et al. 2000), dan sebagai filter komposit (Jamarun et al. 1997). Metode Analisis Nanopartikel Silika Produk sintesis berupa nanopartikel silika dari bahan dasar sekam dianalisis dengan menggunakan tiga jenis instrumentasi, yaitu SEM (Scanning Electrone Microscope), FTIR (Fourier Transformer Infrared Spectroscopy)., dan XRD (Xray Diffraction). Analisis SEM, FTIR, dan XRD dapat menentukan bahwa produk biosintesis berukuran nano, berkomposisi kimiawi silika, dan berstruktur nanopartikel silika kristalin sudah terbentuk atau belum. Scanning electrone microscope (SEM) SEM adalah jenis mikroskop elektron yang mampu menampilkan gambar permukaan objek pengamatan dengan resolusi gambar yang tinggi. SEM digunakan untuk pengamatan detail permukaan objek. Sistem
8
kerja SEM terdiri dari sumber cahaya elektron, sistem lensa, detektor, dan layar TV (Balaz 2008). SEM bekerja melalui mekanisme kerja sehingga mampu menghasikan tampilan gambar objek amatan. Gambar 7 menggambarkan mekanisme kerja SEM. Sumber cahaya elektron dihasilkan didalam suatu penembak elektron yang berbentuk filamen pemanas berupa tabung tanpa udara. Sumber cahaya elektron ini dipercepat dan difokuskan oleh sistem lensa magnetik yang berada diatas objek. Elektron dikumpulkan oleh detektor, diubah dalam bentuk voltase (energi listrik), kemudian disebar (Balaz 2008). Elektron dengan cepat mengenai permukaan objek untuk menginduksi radiasiradiasi yang membentuk suatu bayangan yang dapat diperagakan melalui suatu tabung sinar katode. Proses yang terjadi didalam tabung katode mirip pembentukan gambar televisi. Objek yang akan dilalui radiasi elektron sebelumnya telah difiksasi dan dilapisi dengan logam berat seperti emas didalam hampa udara untuk mencegah distorsi (Dharmaputra 1989). Hasil pencitraan SEM lebih baik bila dibandingkan dengan mikroskop cahaya konvensional. SEM memiliki jangkauan pandang yang luas terhadap objek yang diamati sehingga menghasilkan gambar detail permukaan objek yang sangat jelas. Struktur permukaan objek lebih terlihat curam dari pada hasil pencitraan mikroskop cahaya konvensional yang terlihat datar, sehingga SEM mampu mencitrakan objek dengan kontras yang baik (Balaz 2008).
Gambar 7 Skema kerja SEM.
SEM memiliki resolusi yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan mikroskop cahaya kovensional. Hal tersebut dikarenakan SEM mempergunakan sumber cahaya berupa elektron yang memiliki energi sangat besar beberapa ribu elektronvolt, energi tersebut 1000 kali lebih kuat bila dibandingkan dengan energi yang dihasilkan dari cahaya tampak (23Ev). Resolusi SEM yang baik membuat SEM memiliki daya pisah hingga 50 nm dan dapat memperbesar bayangan hingga 8000-400000 kali (Balaz 2008). FTIR (Fourier Transformer Infrared Spectroscopy) Metode spektroskopi Inframerah (IR) didasarkan kepada absopsi cahaya IR oleh suatu molekul. Metode ini berguna untuk menentukan gugus fungsional suatu sampel. Jika suatu molekul ditempatkan di dalam suatu daerah elektromagnetik (sinar inframerah), akan terjadi perubahan bentuk energi dari daerah elektromagnetik ke molekul. Kemampuan molekul dalam mengabsorpsi radiasi berdasarkan sifat khas masing-masing molekul, yaitu perubahan dalam tingkat loncatan energetik elektron, pergerakan getaran dari atom, dan rotasi suatu molekul (Hendrayana et al. 1994; Balaz 2008). Sumber radiasi (Z) pada FTIR berupa laser inframerah. Cahaya inframerah memiliki energi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan ultraviolet dan sinar tampak. Hal tersebut menentukan tebal sampel (S) yang dipakai, tebal Sampel yang dipakai pada FTIR lebih tipis daripada spektrofotometer lainnya, yaitu sekitar 0.02 mm. Sampel (S) berupa padatan digerus dalam mortar bersama KBr kering dalam jumlah sedikit (0.5-2 mg sampel dengan 100 mg KBr kering). Campuran tersebut dipres diantara dua sekrup memakai kunci, kemudian terbentuk tablet sampel tipis yang diletakkan di tempat sel FTIR dengan lubang mengarah ke sumber radiasi (Z). Sampel dibiarkan terkena radiasi IR didalam FTIR. Radiasi dari sumber (Z) pergi melalui contoh (S) dan lewat melalui prisma (P). Prisma (P) merupakan tempat terjadi pemisahan komponen cahaya monokromatik (Gambar 8). Rotasi perlahan prisma menghasilkan suatu radiasi dengan frekuensi yang berbeda-beda, kemudian radiasi tersebut jatuh pada detektor. Detektor (D) dapat merekam frekuensi dan aliran radiasi (R). Spektrum (peaks) yang tergambar bergantung kepada absorpsi dan frekuensi radiasi. Alat berupa Analaog Digital Converter digunakan
9
untuk menghubungkan antara instrumen dengan komputer. Hasil peaks terlihat didalam monitor sesuai dengan gugus fungsi yang khas untuk masing-masing molekul (Hendrayana et al. 1994; Balaz 2008).
Gambar 8 Skema kerja FTIR. XRD (X-Ray Diffraction) Sinar X merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang 10-10 m. Sinar ini terbentuk akibat pembagian spektrum elektromagnetik antara sinar γ dan ultraviolet. Sinar X mampu menyelidiki struktur kristal dari suatu padatan pada tingkat atomik. Bagian dalam suatu atom yang merupakan suatu padatan berada di daerah yang sama dengan panjang gelombang sinar X, kemudian sinar X dapat melewati padatan. Hal tersebut merupakan alasan mengapa sinar X dipantulkan dari atom kedalam kristal (Balaz 2008). Difraksi sinar X membutuhkan sumber cahaya, contoh yang belum diketahui, dan sebuah detektor sebagai pengumpul sinar X (Gambar 9). Hasil dari pengukuran difraksi sinar X adalah pola yang digambarkan sebagai sebagai garis (peaks) dengan intensitas yang berbeda-beda. Posisi garis (peaks) menjelaskan karakteristik contoh yang diamati (Balaz 2008).
Gambar 9 Skema kerja XRD BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah isolat fungi Fusarium oxysporum (koleksi LIPI Biologi), sekam, akuades steril, sejumlah fenol-kloroform dan silika gel. Media yang dipergunakan adalah media agar dekstrosa kentang (Potato Dextrose Agar) yang terdiri atas 1000 mg/L ekstrak kentang dengan 200 g/L kentang, 15 g/L agar kentang, dan 20 g/L dekstrosa dan media agar dekstrosa cair (Potato Dextrose Liquid) yang terdiri atas ekstrak kentang
dengan 200 g/L kentang, 20 g/L dekstrosa dalam akuades steril. Beserta bahan tambahan lain, seperti HCL dan NaOH. Alat-alat yang digunakan, meliputi neraca analitik OHAUS GA 200 Laminar Air Flow, inkubator, inkubator bergoyang, spektrofotometer Genesys 10UV, Beckman High Speed Centrifuge, otoklaf TOMY High Pressure Steam Sterilzer ES-315, serta peralatan laboartorium yang biasa dipergunakan di laboratorium mikrobiologi. Selain itu, instrumen seperti Scanning Electron Microscope (SEM), Transmission Electron Microscope (TEM), serta X-Ray Diffraction (XRD) juga digunakan untuk katakterisasi nanopartikel. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap pengerjaan, yaitu meliputi: pembuatan media pertumbuhan, peremajaan dan pembuatan isolat cair Fusarium oxysporum, pembuatan kurva pertumbuhan dan pemanenan isolat Fusarium oxysporum, serta sintesis nanopartikel silika. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia FMIPA IPB, Labortaorium Pusat Antar Universitas (PAU) IPB, Laborartorium Fisika Program Material Sains UI untuk analisis dengan SEM dan XRD, serta Laboratorium Pengujian Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan-Kementarian Kelautan dan Perikanan untuk FTIR. Pembuatan media pertumbuhan Media pertumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah media Potato Dekstrose Agar (PDA) dan Potato Dekstrose Liquid (PDL). Komposisi media PDA, yaitu 1000 ml/l air suling dengan 200 g/L kentang, 15 g/L agar kentang, dan 20 g/L dekstrosa. Komposisi media PDL, yaitu 1000 ml/L air suling dengan 200 g/L kentang, dan 20 g/L dekstrosa. Antibiotik kloramfenikol ditambahkan kedalam media sebanyak 250 mg/l (Dharmaputra et al. 1989). Pembuatan PDA diawali dengan cara, sejumlah kentang yang telah dibersihkan dari kulitnya diiris sebesar dadu, kemudian kentang direbus dengan air suling sampai melunak. Air rebusan kentang yang disebut sebagai ekstrak kentang disaring dengan kertas saring, serta ditambahkan dekstrosa dan agar. Pembuatan PDL dilakukan dengan cara yang sama tanpa penambahan agar. pH media diatur dengan penambahan NaOH dan HCl sehingga didapatkan media PDA dengan pH 6