3
TINJAUAN PUSTAKA Definisi Nanoteknologi dan Nanomaterial Nanoteknologi adalah pengembangan teknologi dalam skala nano meter. Istilah “nanoteknologi” didefinisikan pertama kali oleh Norio Taniguchi, Profesor Universiti Sains Tokyo, pada tahun 1974 dalam kertas kerjanya “Mengenai Dasar Nanoteknologi” sebagai berikut: “Nanoteknologi terdiri atas
Konsep
pengolahan bahan-bahan melalui proses pemisahan, penyatuan, dan pencatatan bentuk oleh sebuah atom atau sebuah molekul”. Nanomaterial didefinisikan berdasarkan standar ukuran suatu materi, baik yang tersusun dari unsur organik maupun inorganik, pada tingkat satuan nanometer. Nanomaterial didefinisikan memiliki dimensi <100 nm. Penelitian pada nanomaterial sangat menarik karena dengan ukuran yang sudah mendekati ukuran suatu atom, maka sifat permukaan dan reaktivitas serta efisiensi dan efektivitas reaksi kimia yang melibatkan suatu nanomaterial dapat dikaji lebih rinci dan lebih mendalam (Sugiarti et al., 2010).
Andisol Tanah-tanah volkan biasanya ditemukan di wilayah volkan, terbentuk dari bahan-bahan volkan, yaitu abu volkan, batuan basaltik, batuan andesitik, serta horison-horison
tanahnya
memenuhi persyaratan
sifat andik
sesuai dengan
“Taksonomi Tanah” (Soil Survey Staf, 1990). Andisol merupakan grup tanah yang menunjuk kepada tanah yang berkembang dari bahan-bahan volkanik. Nama internasionalnya secara umum yaitu Andosol (FAO, Peta Tanah Dunia) atau Andisol (Taksonomi Tanah, USDA) (FAO, 2008a). Nama Ando Soil atau tanah Ando adalah nama yang pertama diajukan oleh ahli tanah Amerika Serikat di tahun 1947 untuk tanah-tanah di Jepang yang berwarna hitam (Tan, 1998). Istilah Ando diambil dari bahasa Jepang, Anshokudo, dimana an berarti gelap, shoku berarti berwarna, dan do berarti tanah (Simonson, 1979 dalam Tan, 1998). Jauh sebelum nama Andisol menjadi terkenal, di tahun 1937 tanah ini dikenal ahli Belanda di Indonesia dengan nama Zwarte Stofgrond atau Tanah Debu Hitam.
4
Andisol terdapat di seluruh wilayah volkanik bumi. Konsentrasinya secara besar ditemukan di sekitar pinggiran Pasifik, yaitu di pantai Barat Amerika Selatan,
Amerika Tengah,
Pegunungan Rocky, Alaska, Jepang, Kepulauan
Filipina, Indonesia, Papua Nugini dan New Zealand. Andisol juga ditemukan di pulau-pulau di sekitar Pasifik, yaitu Fiji, Vanuatu, New Hebrides, New Caledonia, Samoa dan Hawai. Di Afrika, Andisol terdapat di sepanjang celah lembah, di Kenya, Rwanda dan Etiopia serta Madagaskar. Di Eropa, Andisol dijumpai di Italia, Perancis, Jerman dan Islandia. Total wilayah Andisol diduga sekitar 110 juta hektar atau kurang dari 1 persen jumlah permukaan lahan dunia. Lebih dari setengah wilayah ini berada di daerah tropis. Andisol dicirikan dengan kehadiran salah satu dari horison „andik‟ atau horison „vitrik‟. Horison andik banyak mengandung „alofan‟ (dan mineral-mineral yang serupa) atau kompleks Al-Humus dimana horison vitrik mengandung „gelas volkan‟ yang berlimpah (FAO, 2008a). Horison andik memiliki syarat sebagai berikut: 1. bobot jenis pada kapasitas lapang (tidak dikeringkan) kurang dari 0.9 kg dm-3 , 2. mengandung 10% liat atau lebih dan nilai (Al + ½ Fe) 2% atau lebih (ekstraksi dengan Ammonium Oksalat), 3. retensi fosfat 70% atau lebih, 4. kandungan gelas volkan kurang dari 10%, dan 5. ketebalannya 30 cm atau lebih. Horison vitrik memiliki ciri-ciri: (1). mengandung 10% atau lebih gelas volkan dan mineral utama lainnya, (2). memiliki bobot jenis <0.9 kg dm-3 , Al + ½ Fe >0.4% (ekstraksi dengan Ammonium Oksalat) dan retensi fosfat >25%, serta 3. memiliki ketebalan 30 cm atau lebih (FAO, 2008b). Andisol mempunyai bobot isi yang rendah, kandungan bahan organik, kapasitas menahan air, porositas dan kapasitas fiksasi fosfat yang tinggi, mengalami dehidrasi tak balik saat dikeringkan (Tan, 1998), afinitas yang tinggi terhadap bahan organik, dan muatannya bersifat bergantung pH. Andisol memiliki horison AC atau ABC dengan horison Ah yang gelap, tebalnya 20 sampai 50 cm (bisa lebih tipis atau tebal) di atas horison B coklat atau horison C. Warna epipedon dan horison penciri bawah dengan jelas berbeda; warna umumnya gelap di daerah humid yang lebih dingin daripada di daerah iklim tropis umumnya. Rata-rata kandungan bahan organik pada horison permukaan sekitar 8%, tetapi
5
pada profil yang paling gelap kadarnya bisa mencapai 30%. Horison permukaan sangat porous, mudah pecah dan memiliki struktur yang remah atau granular. Banyaknya
gelas
volkan,
mineral-mineral
besi
magnesium
(olivin,
piroksin, amfibol), feldspar dan kuarsa dalam fraksi debu dan pasir pada Andisol berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya. Komposisi mineral fraksi liat juga berubah-ubah sesuai dengan faktor pembentuknya, seperti „umur genetik‟ dari tanah, komposisi bahan induk, pH, regim kelembaban, ketebalan dari endapan abu, serta kandungan dan komposisi bahan organik. Fraksi liat Andisol mengandung mineral liat alofan dan imogolit, kompleks Al dan Fe humus bersama dengan opal silika. Pada Andisol dapat juga ditemukan mineral seperti ferihidrit, haloisit, kaolinit, gibsit dan berbagai mineral liat silikat berlapis tipe 2:1 dan 2:1:1 (FAO, 2008a). Andisol merupakan tanah yang subur, meskipun fiksasi fosfat yang tinggi menjadi masalah.
Tindakan-tindakan
perbaikan
untuk
mengurangi efek
ini
(disebabkan Al aktif) termasuk aplikasi kapur, silika, bahan organik dan pupuk fosfat. Andisol di daerah tropis umumnya ditanami tebu, tembakau, kentang manis (toleran terhadap tingkat fosfat yang rendah), teh, sayuran, gandum dan buah-buahan. Andisol pada lereng yang curam paling baik tetap dalam keadaan berhutan (FAO, 2008a).
Tuf Volkan Gunung api yang sedang meletus melontarkan berbagai bahan hamburan dari dalam bumi ke permukaan bumi dan udara. Endapan yang dihasilkan bertekstur
klastika.
Apabila
bahan
hamburan
itu
dihasilkan
oleh
letusan
nonmagmatik, maka endapannya disebut endapan hidroklastika. Bahan hamburan yang langsung berasal dari magma (primary magmatic materials) disebut piroklas, sedangkan onggokan-onggokan piroklas di permukaan bumi disebut endapan piroklastika (pyroclastic deposits) dan setelah mengalami litifikasi menjadi batuan piroklastika (pyroclastic rocks) (Fischer dan Schmincke, 1984 dalam Bronto, 2001). Istilah pyroclast berasal dari kata pyro (bahasa Yunani) yang berarti api dan clast yang berarti bahan hamburan butiran, fragmen, kepingan atau pecahan batuan. Oleh sebab itu, piroklas adalah fragmen pijar atau
6
butiran yang mengeluarkan api (berpendar/membara) pada saat dilontarkan dari dalam bumi ke permukaan melalui kawah gunungapi. Terbentuknya api tersebut dikarenakan magma yang mempunyai temperatur tinggi (900-1200
o
C) tiba-tiba
dilontarkan ke permukaan bumi yang temperatur rata-ratanya kurang dari 35 o C. Berdasarkan ukuran butirnya, bahan piroklastika dan hidroklastika dibagi menjadi: (1) bom volkanik atau blok volkanik (volcanic bomb atau volcanic block) yang berukuran diameter ≥ 64 mm, (2) lapili yang memiliki diameter 2–64 mm, dan (3) abu volkanik (volcanic ashes) yang berukuran ≤ 2 mm (Fischer dan Schmincke, 1984 dalam Bronto, 2001). Abu volkan yang jatuh ke permukaan dan memadat karena air membentuk batuan yang disebut tuf volkan (Anonim, 2008). Mineral fraksi pasir pada tuf volkan di sekitar Bogor mengandung mineral-mineral magnetit, kuarsa keruh, konkresi besi, hidrargilit, benda hancuran lain berupa lapukan, plagioklas intermedier (andesin), gelas volkan dan hiperstein, sedangkan pada fraksi beratnya dijumpai mineral magnetit, amfibol hijau, augit dan hiperstein (Kholik, 1984). Susunan mineral fraksi pasir ini menunjukkan bahwa tuf volkan tersebut bersusunan andesitik.
Mineral Liat Koloid tanah adalah bahan mineral dan bahan organik tanah yang sangat halus sehingga mempunyai luas permukaan yang sangat tinggi persatuan berat (massa). Koloid berasal dari kata Yunani yang berarti seperti lem (glue like). Termasuk koloid tanah adalah liat (koloid anorganik) dan humus (koloid organik). Menurut Brady (1974), koloid berukuran kurang dari 1 µ, sehingga tidak semua fraksi liat (kurang dari 2 µ) termasuk koloid. Koloid tanah merupakan bagian tanah yang sangat aktif dalam reaksi-reaksi fisikokimia di dalam tanah. Mineral liat adalah mineral yang berukuran kurang dari 2 µ. Mineral liat dalam tanah terbentuk karena: (1) rekristalisasi (sintesis) dari senyawa-senyawa hasil pelapukan mineral primer atau (2) alterasi (perubahan) langsung dari mineral primer yang telah ada (misalnya mika menjadi illit). Mineral liat dalam tanah dapat dibedakan atas: (1) mineral liat Al-silikat, (2) oksida-oksida Fe dan Al, dan (3) mineral-mineral primer. Mineral liat Al-silikat dapat dibedakan atas: (1) mineral liat Al-silikat yang mempunyai bentuk kristal yang baik (kristalin)
7
misalnya kaolinit, haloisit, montmorilonit, dan ilit; serta (2) mineral liat Al-silikat amorf. Di Indonesia, kaolinit dan haloisit banyak ditemukan pada tanah-tanah merah (coklat) yaitu tanah-tanah yang umumnya berdrainase baik, sedangkan montmorilonit mengerut
dan
ditemukan pada tanah-tanah yang mudah mengembang dan pecah-pecah
pada
musim kering
misalnya
tanah
Vertisol
(Grumusol). Illit ditemukan pada tanah-tanah yang berasal dari bahan induk yang banyak mengandung mika dan belum mengalami pelapukan lanjut. Alofan banyak ditemukan pada tanah berasal dari abu gunung api seperti tanah Inceptisol.
Asal Muatan Negatif pada Mineral Liat Adanya muatan negatif pada mineral liat silikat disebabkan oleh beberapa hal (Brady 1974): 1. Kelebihan muatan negatif pada ujung-ujung patahan kristal baik pada Sitetrahedron maupun Al-oktahedron. 2. Disosiasi H+ dari gugus OH yang terdapat pada tepi atau ujung kristal. Pada pH rendah (masam) ion H menjadi mudah lepas sehingga muatan negatif meningkat. Keberadaan gugus OH pada tepi kristal atau pada bidang yang terbuka dapat menimbulkan muatan negatif. Khususnya pada pH tinggi, hidrogen dari hidroksil tersebut terurai sedikit dan permukaan liat menjadi bermuatan negatif yang berasal dari ion oksigen. Muatan negatif ini disebut muatan berubah-ubah atau muatan tergantung pH. Besaran dari muatan berubah-ubah ini beragam tergantung pH dan tipe koloid. Jenis muatan ini sangat penting pada liat tipe 1:1, liat oksida besi dan aluminium, dan koloid organik. 3. Substitusi isomorfik, yaitu penggantian kation dalam struktur kristal oleh kation lain yang mempunyai ukuran yang sama tetapi muatan (valensi) yang berbeda. Pada umunya kation yang menggantikan mempunyai muatan yang lebih rendah daripada yang digantikan, misalnya Mg2+ atau Fe2+ menggantikan Al3+ dalam Al-oktahedron, atau Al3+ menggantikan Si4+ dalam Si-tetrahedron sehingga terjadi kelebihan muatan negatif pada liat. Proses ini dianggap sebagai sumber utama muatan negatif dalam liat tipe 2:1. Muatan negatif yang
8
dihasilkan dianggap sebagai muatan permanen, karena tidak berubah dengan berubahnya pH. Kemudahan terjadinya substitusi isomorfik tergantung pada ukuran dan valensi ion-ion yang terlibat. Proses ini hanya terjadi antara ionion berukuran sebanding. Perbedaan dalam dimensi ion-ion yang saling berganti dilaporkan tidak lebih dari 15%, dan valensi ion-ion yang saling berganti seharusnya tidak berbeda lebih dari satu satuan. (Paton, 1978)
Asal Muatan Positif pada Mineral Liat Koloid tanah dapat juga menunjukkan muatan positif seperti halnya muatan negatif.
Proton tidak hanya dapat terdisosiasi dari gugus OH yang
terbuka, tetapi yang disebut belakangan dapat juga menjerap atau memperoleh proton. Proses ini, yang hanya penting pada media sangat masam, menghasilkan muatan positif. Ion-ion H+ dan OH-, yang menyebabkan timbulnya muatan permukaan, juga bertanggung jawab atas potensial permukaan listrik. Oleh karena itu, mereka disebut ion-ion penentu potensial. Muatan positif memungkinkan terjadinya reaksi pertukaran anion dan sangat penting dalam retensi fosfat. Muatan tersebut diperkirakan berasal dari protonasi atau penambahan ion H+ ke gugus hidroksil. Mekanisme ini tergantung pada pH dan valensi dari ion logam. Biasanya proses ini hanya berarti pada liat oksida Al dan Fe, tetapi hal ini kurang penting pada oksida Si.
Alofan dan Imogolit sebagai Nanomaterial Alami Alofan
merupakan
mineral
liat
tanah
yang
paling
reaktif karena
mempunyai luas permukaan khas yang sangat luas dan mempunyai banyak gugus fungsional aktif . Adanya alofan memberikan sifat-sifat unik pada Andisol. Hal ini karena alofan mempunyai muatan bervariasi yang besar, bersifat amfoter, KTK 20 – 50 cmol.kg-1 , KTA 5 – 30 cmol.kg-1 , struktur acak dan terbuka, serta dapat mengikat fosfat (Tan, 1992; van Ranst, 1995; Wada, 1989). Akibat kuatnya fiksasi fosfat oleh mineral ini, maka ketersediaan fosfat yang mudah larut akan berkurang. Pada Andisol hanya 10% dari pupuk P yang diberikan yang dapat digunakan
tanaman
akibat
tingginya
fiksasi
fosfat.
Tingginya
persentase
9
kehilangan pupuk P merupakan masalah serius yang banyak dijumpai pada Andisol. Alofan yang mempunyai Al/Si molar ratio 2,0 telah diidentifikasi pada Andisol di Selandia Baru dan Jepang serta di tanah Podzol di Skotlandia (Parfitt dan Hemni,
1982).
Hasil identifikasi tersebut menjadi data dasar dalam
menentukan pengelolaan Andisol di sana.
Oleh karena itu, estimasi dan
identifikasi alofan di Indonesia perlu dilakukan, agar manajemen dan produktifitas Andisol bisa optimal. Alofan termasuk kelompok aluminosilikat alam dengan komponen utama yang terdiri atas Si, Al, dan H2 O. Molekul rasio Si/Al mineral ini 1/1 atau 2/1, serta mempunyai struktur mineral yang acak dan terbuka/berpori. Antara lembar tetrahedral dan oktahedral terdapat banyak daerah kosong sehingga molekul air dapat dengan mudah keluar masuk, dan anion seperti fosfat dan nitrat dapat terjerap. Alofan mempunyai luas permukaan spesifik yang mencapai 1100 m2 .g-1 . Luas permukaan yang besar ini mengakibatkan sistem koloid tanah menjadi sangat reaktif sehingga pertukaran kation, anion, jerapan air, dan fiksasi menjadi lebih tinggi (Tan,1992). Nano-bal allophone dan nano-tube imogolite adalah aluminosilikat yang banyak ditemukan di tanah-tanah volkan sebagai hasil dari pelapukan abu volkan. Penelitian tentang nano-bal allophone dan nano-tube imogolite dapat dikatakan lambat dibandingkan dengan nanomaterial lainnya seperti carbon nano-ball dan carbon nano-tube. Kedua material terakhir ini baru ditemukan di era tahun 19851991.
Namun,
Robert Curl,
Harold
Kroto
dan Richard
Smalley sudah
mendapatkan hadiah Nobel di tahun 1996 di bidang kimia atas penemuan struktur carbon nano-ball (Abidin, 2003 dalam Sugiarti et al., 2010). Allophone dan imogolite sudah ditemukan lebih dari 40 tahun yang lalu, yaitu pada tahun 60-an. Namun, penelitian mendalam mengenai keduanya masih jarang dilakukan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, seperti struktur kimianya yang masih sulit dianalisis menggunakan difraksi sinar-X (XRD) dan metode sintesisnya yang hanya bisa dilakukan pada konsentrasi rendah. Analisis XRD pada sampel nano-ball allophone akan memberikan suatu difraktogram yang hampir tanpa atau tidak ada puncak. Sementara para ahli mineralogi liat dan
10
kristalografi selalu menyatakan bahwa mineral liat memiliki suatu keteraturan dalam struktur kristalnya sehingga dapat dideteksi menggunakan XRD yang ditandai oleh adanya puncak-puncak pada difraktogramnya. Oleh karena itu, nano-ball allophone sebelum ini selalu didefinisikan oleh para ahli mineralogi liat dan kristalografi sebagai mineral yang tidak memiliki keteraturan atom dalam penyusunan struktur kristalnya atau dikenal sebagai mineral amorf. Henmi Research
Group
dari Ehime
University
Japan
telah
lama
melakukan penelitian tentang nano-ball allophone dan nano-ball imogolite yang sebagian besar menggunakan material yang diambil dari tanah. Berdasarkan data informasi spectra NMR untuk Si dan Al, gambar TEM dan reaksi serapan air, kation dan anion, Henmi menyimpulkan bahwa allophone memiliki dasar struktur kimia yang sama dengan nano-ball imogolite dan terdapat suatu keteraturan poyhedra pada strukturnya sehingga membentuk
suatu bulatan. Allophone
memiliki beragam ratio mol Si/Al dengan kisaran nilai antara 0.6 sampai dengan 1.2. Hal ini disebabkan oleh faktor curah hujan dan suhu yang mempengaruhi laju pelarutan silikon dari suatu proses pelapukan batuan dasar di lingkungan pembentukannya. Namun demikian, Henmi menyatakan bahwa pada dasarnya Allophane
memiliki
struktur
dasar
yang
sama
dengan
imogolite.
Yang
membedakan adalah asesoris silika yang terikat pada bagian lubang allophone (Henmi dan Wada, 1976). Abidin (2003 dalam Sugiarti et al., 2010) membuktikan bahwa allophane adalah suatu mineral liat yang memiliki struktur kimia dan bukan mineral amorf dengan didapatkannya suatu keteraturan polihedra untuk membuat struktur kimia allophane yang bulat.
Dengan ditemukannya keteraturan tersebut, struktur
allophane dapat disusun menjadi berbagi macam diameter sebagai isomorfiknya. Abidin (2008 dalam Sugiarti et al., 2010) menunjukkan tiga isomorphic dari nano-ball allophane dengan ukuran diameter dari 1.5 nm, 3.0 nm dan 4.25 nm. hasil pengamatan mikroskop elektron menunjukkan bahwa diameter allophane adalah antara 3.0-5.0 nm (Henmi dan Wada, 1976). Lebih lanjut, hasil simulasi perhitungan teoretikal terhadap nilai densitas spesifiknya, volume bagian dalam struktur dan luas permukaannya menunjukkan bahwa ukuran dari isomorphic
11
struktur nano-ball allophone yang ideal mirip dengan yang ditemukan di lingkungan alam adalah berdiameter 4.25 nm (Abidin et al., 2005). Disamping memiliki bentuk yang sangat unik yaitu berbentuk seperti bola, allophane merupakan mineral liat yang sempurna sebagai satu unit partikel. Dengan demikian telah dibuktikan bahwa allophane merupakan sebuah unit partikel dengan posisi atom-atom penyusun yang telah diketahui dengan jelas. Oleh karena itu, maka dilakukan pendefinisian baru pada nama allophane sebagai mineral liat yaitu nano-ball allophone (Abidin, 2003 dalam Sugiarti et al., 2010). Penemuan ini adalah yang pertama kali di dunia dan struktur kimia nano-ball allophone ini masih terus divalidasi. Pada Gambar 1 disajikan struktur kimia nano-ball allophane.
Gambar 1. Struktur kimia nano-ball allophane
Struktur dasar nano-ball allophane ini adalah sama dengan struktur dasar nano-ball imogolite, yaitu terdiri atas lapisan gibsit (bagian luar) dan lapisan ortosilika (bagian dalam). Lapisan bagian luar nano-ball allophane yang tersusun oleh lapisan gibsit (Al-OH-Al) relatif tidak reaktif dan menjadi penyangga kestabilan struktur nano-ball allophane itu sendiri. Lapisan gibsit ini terhubung dengan lapisan ortosilika melalui tiga ikatan Si-O-Al pada bagian tengah kosong gibsit dan menghasilkan satu gugus silanol (Si-OH). Pada struktur kimia nanoball allophane ini terdapat enam buah lubang yang memang harus terbentuk karena alasan simetri dari mineral liat ini. Lubang nano-ball allophane
yang
12
berjumlah 6 ini sebelumnya diprediksi melalui percobaan serapan fospat pada berbagai jenis sampel allophane (Parfitt dan Henmi, 1980). Bagian lubang pada nano-ball allophane memiliki diameter berkisar antara 0.3-0.5 nm dan terdapat gugus fungsional seperti gugus silanol (Si-OH) dan gugus aluminol (Al-OH). Bagian lubang dan dalam nano-ball allophane memiliki rektivitas kimia yang tinggi dan memegang peran penting pada reaksi kimianya. Berdasarkan hasil kajian eksperimental, nano-ball allophane memiliki sifat permukaan yang khas yaitu muatan yang bervariasi (variable charge) berdasarkan nilai pH kondisinya. Hal ini dikarenakan pada struktur allophane terdapat gugus silanol dan gugus aluminol (Elsheik et al., 2008). Pada pH tinggi (6-10),
nano-ball
allophane
memiliki muatan
negatif yang
berasal dari
deprotonisasi gugus silanol sehingga kation dan logam berat mudah terikat, sedangkan pada pH rendah (4-6), nano-ball allophane memiliki muatan positif dari protonasi pada gugus aluminol sehingga anion dan ligan mudah terikat. Abidin et al.,(2008 dalam Sugiarti et al., 2010) menunjukkan sifat permukaan nano-ball allophane
dengan simulasi perhitungan kimia yang menunjukkan
adanya perpindahan atom H pada struktur kimianya. Simulasi pada pH netral menunjukkan atom H yang terikat pada gugus silanol dan gugus aluminol dari nano-ball allophane mudah mengalami perpindahan antar kedua gugus tersebut. Ketika kondisi kesetimbangan ini diganggu dengan mengubah nilai pH sistem, maka atom H yang terikat pada gugus silanol atau gugus aluminol menjadi tidak stabil dan mudah terdeprotonasi atau terprotonisasi. Nano-ball allophane memiliki luas permukaan berkisar antara 1000-1200 m² setiap gramnya, sedangkan nano-ball imogolite memiliki luas permukaan berkisar antara 1100-1300 m² setiap gramnya. Dibandingkan dengan mineral liat lainnya seperti montmorilonite, nilai ini lebih besar 3 sampai 4 kali lipatnya.
Fosfat sebagai Hara Tanah dan Pencemar Perairan Fosfat memiliki peran besar dalam kimia tanah dan telah banyak dipelajari. Akan tetapi, status P dalam tanah sulit didefinisikan karena mudah berinteraksi
dengan
banyak
padatan
organik
maupun
inorganik,
serapan/
pemanfaatan yang terus-menerus oleh tanah dan mikrob, penambahan terus-
13
menerus dari dekomposisi bahan organik, bentuknya yang beragam dalam tanah baik inorganik dan organik, dan kecepatan reaksi yang lambat. Hanya fospat yang merupakan bentuk fosfor yang stabil dalam keadaan oksidatif, dan bentuk spesies ionnya dalam tanah tergantung pada pH. Pada kondisi masam, P dominan dalam bentuk H2 PO4 - dan pada kondisi alkalin dalam bentuk HPO 4 2-. Segera setelah diberikan, pupuk P akan dijerap kuat oleh tanah dan pada akhirnya difiksasi atau diendapkan sehingga menjadi tidak larut/ tidak tersedia bagi tanaman, kecuali pada tanah bertekstur sangat kasar. Fiksasi P terjadi pada semua tanah, terutama yang banyak mengandung Al-, Fehidrokioksida amorf ataupun alofan. Di banyak bagian dunia, limpasan dari lahan pertanian, pembuangan limbah domestik dan limbah industri, serta kecelakaan tumpahan bahan kimia beracun berkontribusi bagi pencemaran danau, sungai, dan air tanah oleh ion hara (misalnya, fosfor), logam berat (misalnya, kadmium) dan kontaminan organik (misalnya,
polisiklik
aromatik
hidrokarbon).
Permintaan
air
bersih
dan
meningkatnya kesadaran akan efek samping pencemaran pada kesehatan manusia dan ekosistem mendorong pengembangan teknologi dan bahan yang efektif dan terjangkau untuk pengendalian pencemaran dan pengolahan air.
Pemanfaatan Mineral Liat sebagai Nanomaterial Penjerap Fosfat Perairan Karena ketersediaannya yang melimpah di dalam tanah dan sedimen, liat telah lama digunakan sebagai flokulan dan absorben partikel tersuspensi dan senyawa beracun dalam air. Penggunaan liat dan mineral liat (secara alami atau setelah modifikasi kimia permukaannya) untuk pengolahan air telah banyak diselidiki selama tiga dekade terakhir. Contoh aplikasi tersebut adalah remediasi pencemaran
minyak
pencegahan
pelindihan
dari
air,
leachates
konstruksi lapisan organik
tanah
dari situs
liat
(clay-liners),
pembuangan sampah,
inaktivasi logam berat serta pemulihan limbah kaya-nitrogen. Mineral liat memiliki partikel primer dengan setidaknya satu dimensinya berskala nanometer, sehingga dianggap sebagai nano material geologis atau pedologis. Lapisan dasar smektit memiliki dimensi ratusan nanometer panjang dan lebarnya dan ketebalan sekitar 1 nm. Unit partikel dari alofan terdiri atas
14
nanoballs aluminosilikat berongga dengan diameter luar 3,5-5.0 nm, dan tabung imogolit berdiameter 2 nm. Karena ukuran partikel yang kecil dan dengan luas permukaan spesifik (eksternal dan internal) mencapai beberapa ratus m2 /g, mineral liat allophane dapat dimanfaatkan untuk memflokulasi fosfat dari larutan serta meremediasi perairan eutrofik (Yuan dan Wu, 2007). Penerapan allophane pada penanganan air yang tercemar oleh ion fluorida telah dilakukan oleh Kaufhold
et
al.
(2009). Hasil eksperimen tersebut
menunjukkan bahwa allophane memilki prospek lebih baik untuk diterapkan sebagai
penjerap
ion
fluoride
bila
dibandingkan
dengan
zeolit
alam
(clinoptilolite), goethite, ataupun viscogel (R). Bila dibandingkan dengan material komersil penjerap fluorida seperti Fluorolith, daya serap allophane sedikit lebih rendah. Namun demikian, kemudahan mendapatkan allophane dari lingkungan tanah memungkinkan allophane memiliki nilai lebih dibandingkan Fluorith.