BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis 1.
Hutang a.
Definisi dan Pengklasifikasian Hutang Keputusan pendanaan perusahaan akan mempengaruhi struktur modal
perusahaan. Sumber pendanaan ini dapat diperoleh dari modal internal mapun modal eksternal. Sumber dana internal biasanya berasal dari laba ditahan, sedangkan sumber dana eksternal berasal dari kreditur dan pemegang saham. Dana dari kreditur inilah yang disebut dengan hutang. FASB mendefinisikan kewajiban atau hutang sebagai kemungkinan pengorbanan manfaat ekonomi di masa depan yang muncul dari kewajiban saat ini dari suatu entitas tertentu untuk mengalihkan aktiva atau menyediakan jasa kepada entitas lain di masa depan sebagai hasil dari transaksi atau kejadian di masa lalu. (Stice, 2004:769). Untuk tujuan pelaporan, hutang diklasifikasikan menjadi dua jenis utama, yaitu : 1) Hutang lancar merupakan kewajiban yang akan jatuh tempo dalam satu tahun dalam siklus operasi normal perusahaan. Selain itu, hutang lancar biasanya dibayar dengan aktiva lancar. Jika hutang yang telah diklasifikasikan sebagai tidak lancar akan jatuh
tempo di tahun depan, maka kewajiban tersebut harus dilaporkan sebagai hutang lancar. 2) Hutang tidak lancar merupakan kewajiban yang jatuh temponya lebih dari satu tahun. Selain itu, hutang tidak lancar akan dibayar dengan penyerahan aktiva tidak lancar yang telah diakumulasikan untuk tujuan pelunasan kewajiban. Perbedaan pengklasifikasian hutang adalah hal penting karena berpengaruh terhadap pengukuran rasio lancar perusahaan. Rasio lancar ini menggambarkan kondisi likuiditas perusahaan yaitu kemampuan perusahaan
dalam
membayar
hutang
lancarnya.
Selain
itu,
pengklasifikasian hutang juga diperlukan untuk pengukuran kewajiban.
b.
Kebijakan Hutang Kebijakan pendanaan suatu perusahaan ditentukan oleh tingkat
kebutuhan investasi. Manajemen akan mencari dana untuk mendanai investasi tersebut. Higgins (2007:199) menyatakan bahwa kebijakan pendanaan harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan perusahaan, apakah harus mengajukan pinjaman atau menerbitkan saham baru. Hal ini karena kebijakan pendanaan mempengaruhi nilai perusahaan. Menurut Pecking Order Theory, perusahaan akan menggunakan pendanaan internal jika tersedia (Brealey dan Myers, 2004:516). Namun, jika dana internal tidak mencukupi, maka manajemen akan mencari sumber dana eksternal. Pada saat pendanaan eksternal dibutuhkan, perusahaan
terlebih dahulu akan menerbitkan sekuritas yang paling aman yaitu perusahaan akan mulai dari hutang kemudian sekuritas campuran seperti obligasi konvertibel, kemudian ekuitas sebagai langkah terakhir. Kebijakan hutang merupakan kebijakan yang diambil oleh pihak manajemen
dalam
rangka
memperoleh
sumber
pembiayaan
perusahaan sehingga dapat digunakan untuk membiayai
bagi
aktivitas
operasional perusahaan. Menurut Brailsford yang dikutip Bachtiar (2007:45), kebijakan hutang dipandang sebagai mekanisme internal control yang dapat mengurangi konflik keagenan antara manajemen dan pemegang saham. Chrurchley dan Hansen (1989) dalam Silvi et.al (2008:40) menyatakan bahwa penambahan hutang dalam struktur modal dapat mengurangi penggunaan saham sehingga mengurangi biaya keagenan ekuitas. Selain itu, perusahaan memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dan membayar beban bunga secara periodik. Kondisi ini menyebabkan manajemen bekerja lebih keras untuk meningkatkan laba sehingga dapat memenuhi kewajibam dari penggunaan hutang Selain mengurangi konflik keagenan, hutang dapat menguntungkan bagi perusahaan, terutama dalam hal pengurangan jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Higgins (2007:211) menyatakan penurunan jumlah pajak yang harus dibayarkan dapat meningkatkan jumlah kas yang tersedia untuk didistribusikan kepada pemegang saham dan kreditor.
Manajemen harus mempertimbangkan nilai manfaat pengajuan hutang dimana biaya hutang berupa biaya bunga harus lebih rendah daripada manfaat yang akan diperoleh perusahaan. Selain itu, manajemen juga perlu memperhitungkan distress cost yang akan ditimbulkan dari hutang yang semakin tinggi. Distress cost ini berkaitan dengan biaya-biaya yang akan dikeluarkan apabila terjadi kebangkrutan (bankruptcy costs), biaya tidak langsung (indirect cost) berupa biaya yang timbul akibat kehilangan penjualan atau pendapatan, serta konflik kepentingan yang akan terjadi dimana pihak kreditor dan pemegang saham akan mengkhawatirkan pengembalian atas dana mereka (Higgins, 2007:213). Kebijakan pendanaan suatu perusahaan dapat dilihat dari rasio solvabilitas, yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang (Kasmir, 2009:151). Jenis rasio solvabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah debt to equity ratio (DER) dimana rasio ini membandingkan antara total hutang, termasuk hutang lancar dengan total ekuitas. Rasio ini berguna untuk mengetahui jumlah dana yang disediakan kreditor dengan pemilik perusahaan yang berkaitan dengan kebijakan pendanaan perusahaan. Bagi kreditor, semakin tinggi debt to equity ratio, akan semakin tidak menguntungkan karena risiko yang akan ditanggung atas kegagalan yang mungkin terjadi pada perusahaan akan semakin tinggi. Debt to equity ratio juga memberikan petunjuk umum tentang kelayakan dan risiko keuangan
perusahaan.
2.
Free Cash Flow Jensen (1986) mendefinisikan free cash flow sebagai aliran kas yang
merupakan sisa dari pendanaan seluruh proyek yang menghasilkan net present value (NPV) positif yang didiskontokan pada tingkat biaya modal yang relevan. Free cash flow, menurut Penman yang dikutip oleh Mardiyah dan Nurwahyudi (2004:113), didefinisikan sebagai kas dari laba operasi setelah menahan laba tersebut sebagai aset dan merupakan kas bersih yang dihasilkan dari operasi yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk membayar klaim atas hutang dan ekuitasnya. Pengertian free cash flow menurut Higgins (2007:22), “free cash flow extends cash flow from operating activities by recognizing that some of the cash a business generates must be flowed back into the business, in the form of capital expenditures, to support growth”.Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa free cash flow merupakan aliran kas bebas yang diperoleh setelah digunakan sebagai modal kerja atau investasi pada aset. Menurut Ross et.al (2000), free cash flow biasanya menimbulkan konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham. Manajer menginginkan dana tersebut disalurkan dalam proyek-proyek yang dapat memberikan tambahan keuntungan bagi perusahaan. Hal ini dapat menambah produktivitas manajemen dan insentif yang akan diterimanya. Namun di lain pihak, pemegang saham menginginkan kelebihan dana
tersebut dibagikan kepada mereka dalam bentuk dividen. Salah satu solusi untuk mengurangi konflik tersebut adalah dengan menambah hutang. Jensen
(1986) menyatakan
bahwa peningkatan
hutang dapat
mengurangi free cash flow karena sebagian besar free cash flow dalam perusahaan digunakan oleh manajemen untuk membayar hutang, sehingga tidak ada free cash flow yang dapat dimanfaatkan oleh manajemen untuk melakukan
tindakan-tindakan
demi
kepentingan
manajemen
yang
merugikan pemegang saham. Penambahan hutang memerlukan komitmen pembayaran kembali bunga dan pokok pinjaman yang mengurangi free cash flow dan mengurangi kemampuan manajer untuk melakukan tindakan pemborosan, yang membuat manajer menjadi disiplin, sehingga penggunaan sumber daya perusahaan menjadi lebih produktif.
Dengan demikian,
perusahaan dengan free cash flow tinggi cenderung akan mempunyai level hutang yang tinggi. Ukuran Free Cash Flow dengan merujuk kepada Ross et.al (2000) yang digunakan oleh Rosdini (2009 : 6) dalam penelitiannya adalah sebagai berikut :
dimana: a.
CFO
(Cash
flow
from
operations)
merupakan
nilai
bersih
kenaikan/penurunan arus kas dari aktivitas operasi perusahaan, b.
NCE (Net capital expenditure) merupakan nilai perolehan aktiva tetap akhir dikurangi nilai perolehan aktiva tetap awal,
c.
Changes in working capital dihitung dengan cara modal kerja akhir tahun dikurangi modal kerja awal tahun.
3.
Kepemilikan Institusional Komposisi kepemilikan saham dapat memiliki dampak penting dalam
sistem pengendalian manajemen dalam perusahaan. Kepemilikan dalam suatu perusahaan dapat dilihat dari sisi manajerial dan sisi institusional. Kepemilikan manajerial merupakan presentase kepemilikan saham oleh pihak manajerial yang mensejajarkan kepentingan manajemen dan pemegang saham sehingga manajer akan merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil salah terutama pada pengambilan keputusan mengenai
hutang.
Sedangkan
kepemilikan
institusional
merupakan
prosentase kepemilikan saham oleh investor-investor institusional seperti perusahaan investasi bank, perusahaan
asuransi, maupun berupa
kepemilikan lembaga dan perusahaan-perusahaan lain. Pendapat Rozeff yang dikutip dalam Manan (2004: 15) menyatakan bahwa makin banyak pemegang saham, semakin tersebar kepemilikan, sehingga hubungan negatif atau tidak signifikan bisa diharapkan diantara banyaknya pemegang saham dan tingkat hutang. Grier dan Zychowics (1994) dalam penelitian Kurniati (2007:36) juga menyatakan bahwa kepemilikan saham oleh institusi dapat menggantikan peranan hutang dalam memonitor manajemen perusahaan.
Moh’d, Perry, dan Rimbey (1998) menemukan bahwa kepemilikan saham oleh institusional mempunyai hubungan yang signifikan dan negatif terhadap kebijakan hutang. Adanya kepemilikan institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen. Semakin tinggi kepemilikan institusional, maka diharapkan pengendalian internal terhadap perusahaan akan semakin kuat sehingga dapat mengurangi agency cost pada perusahaan. Pengendalian ini akan membuat manajer menggunakan hutang pada tingkat rendah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya financial distress dan kebangkrutan perusahaan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Manan (2004) yang menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang untuk perusahaan yang termasuk industri keuangan yang go public di BEJ tahun 1999-2002.
4.
Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan merupakan salah satu faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam menentukan tingkat kebijakan hutang yang akan dilakukan perusahaan. Besar atau kecilnya ukuran suatu perusahaan dapat dilihat dari jumlah aset yang dimiliki perusahaan, tingkat penjualan yang terjadi dalam suatu periode tertentu, dan kapitalisasi pasar. Semakin besar jumlah aset yang dimiliki suatu perusahaan maka akan semakin besar pula modal yang tertanam dalam perusahaan tesebut, semakin banyak penjualan yang dapat dihasilkan oleh suatu perusahaan maka akan semakin tinggi pula
perputaran uang dan semakin besar kapitalisasi pasar. Ukuran perusahaan merupakan karakteristik perusahaan yang dapat mengklasifikasikan apakah suatu perusahaan termasuk kedalam ukuran perusahaan kecil, menengah, ataupun besar. Perusahaan kecil sangat rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi dan cenderung kurang menguntungkan sedangkan perusahaan besar dapat mengakses pasar modal dan dengan kemudahan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan memiliki fleksibilitas dan kemampuan untuk mendapatkan dana atau permodalan (Wahidahwati dalam
Pithaloka,
2009:22). Perusahaan-perusahaan dengan ukuran besar cenderung lebih mudah untuk memperoleh pinjaman dari pihak ketiga, karena kemampuan mengakses kepada pihak lain atau jaminan yang dimiliki berupa aset bernilai besar dibandingkan dengan perusahaan kecil. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Manan (2004) dan Pithaloka (2008) menunjukkan ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang yang mengindikasikan bahwa perusahaan dengan ukuran besar memiliki akses lebih mudah dalam memperoleh dana dari kreditor dibandingkan dengan perusahaan yang ukurannya lebih kecil. Hasil penelitian tersebut ternyata bertentangan dengan Pecking Order Theory yang dikutip oleh Pithaloka (2009:39) menyatakan bahwa semakin besar perusahaan maka kecenderungan menggunakan pendanaan eksternal juga semakin kecil, artinya perusahaan yang besar cenderung sedikit menggunakan hutang. Hal ini disebabkan karena perusahaan besar
mempunyai resiko kebangkrutan yang lebih tinggi daripada perusahaan kecil. Perusahaan besar cenderung mendahulukan menggunakan dana internal untuk operasi perusahaannya dan berhati-hati dalam mengajukan pinjaman kepada pihak ketiga.
5.
Kebijakan Dividen a.
Definisi dan Pengklasifikasian Dividen Dividen adalah pembagian kepada pemegang saham dari suatu
perusahaan secara proporsional sesuai dengan jumlah lembar saham yang dipegang oleh masing masing pemilik. Semua keuntungan ataupun kerugian yang diperoleh perusahaan selama berusaha dalam satu periode tersebut dilaporkan oleh direksi kepada para pemegang saham dalam suatu rapat pemegang saham. Pembagian dividen dapat berupa kas, aktiva lain, wesel (disebut juga dividen tunai ditangguhkan), dan deviden saham. Kebanyakan dividen menyebabkan pengurangan dalam laba ditahan. Besar kecilnya dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham tergantung dari pelaksanaan dividen masing-masing perusahaan dan ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Menurut pandangan perusahaan, pembagian dividen kepada para investor memerlukan pertimbangan yang mendalam karena perusahaan juga harus memikirkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan. Menurut Stice (2004 : 907), dividen diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu :
1) dividen tunai (cash dividend) merupakan dividen yang diterima oleh investor dalam bentuk kas. Bagi perusahaan, dividen ini mengurangi akun Laba Ditahan dan Kas, sedangkan bagi investor dividen tunai ini menghasilkan kas dan mencatatnya sebagai Pendapatan Dividen. 2) dividen properti (property dividends) merupakan distribusi kepada pemegang saham yang terutang dalam bentuk aktiva selain kas. Properti yang biasa dijadikan sebagai dividen adalah efek dari perusahaan lain yang dimiliki oleh perusahaan. 3) dividen saham (stock dividends) merupakan saham tambahan dari perusahaan kepada pemegang saham sebagai pengembalian atas saham yang mereka miliki dalam perusahaan tersebut. 4) dividen likuidasi (liquidating dividend) merupakan suatu pembagian kepada pemegang sahan atas sebagian dari modal disetor. Dividen likuidasi dicatat oleh perusahaan dengan mengurangi Agio Saham.
b.
Kebijakan Dividen Kebijakan dividen merupakan penggunaan laba bersih setelah pajak
yang akan dibagikan kepada para pemegang saham dan seberapa besar bagian laba bersih yang akan digunakan untuk membiayai investasi perusahaan. Apabila perusahaan memilih untuk membagikan laba yang diperolehnya dalam bentuk dividen, maka akan mengurangi laba ditahan perusahaan yang selanjutnya juga akan mengurangi total sumber dana internal. Sebaliknya, jika perusahaan memilih untuk menahan laba yang diperolehnya, maka kemampuan pembentukan dana internal akan semakin besar. Kebijakan dividen penting bagi perusahaan dengan dua alasan. Pertama, pembayaran dividen mungkin akan mempengaruhi nilai perusahaan yang tercermin dari harga saham perusahaan tersebut. Kedua, laba ditahan biasanya merupakan sumber dana internal yang terbesar dan terpenting bagi pertumbuhan perusahaan.
Rozeff (1982) dan Easterbook (1984) dalam penelitian Kurniati (2008:28) menyatakan bahwa pembayaran dividen kepada pemegang saham akan mengurangi sumber-sumber dana yang dikendalikan oleh manajemen. Semakin tinggi dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham maka free cash flow dalam perusahaan semakin kecil. Hal ini mengakibatkan manajemen harus memikirkan untuk memperoleh sumber dana dari luar yang bisa saja berupa hutang. Dengan demikian, semakin tinggi dividen yang dibayarkan maka kemungkinan perusahaan melakukan kebijakan hutang akan semakin tinggi. Selain itu, pihak kreditor memerlukan informasi tentang kebijakan dividen suatu perusahaan untuk menilai dan menganalisa tentang kemungkinan return yang akan ia peroleh apabila memberikan pinjaman kepada suatu perusahaan.
B. Tinjauan Penelitian Terdahulu 1.
Abdul Manan (2004) Abdul Manan (2004) melakukan penelitian untuk menganalisis faktor-
faktor yang mempengaruhi kebijakan hutang perusahaan pada industri keuangan yang go public di BEJ tahun 1999-2002 dengan menggunakan pendekatan teori keagenan (agency theory). Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah management ownership, institusional ownership, shareholder dispersion, dividen payout ratio, ukuran perusahaan, struktur aset, earning volatility, stock volatility, dan pertumbuhan perusahaan yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan hutang,
sedangkan variabel dependennya adalah kebijakan hutang yang diukur dengan menggunakan debt ratio. Hasil penelitian Manan menunjukkan bahwa secara simultan terdapat pengaruh secara signifikan antara variabel independen terhadap variabel dependen. Namun, secara parsial, management ownership, dividen payout ratio dan stock volatility tidak berpengaruh secara parsial terhadap kebijakan hutang. Sedangkan variabel
institusional ownership,
shareholder dispersion, ukuran perusahaan, struktur aset, pertumbuhan perusahaan, earning volatility memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang.
2.
Isrina Damayanti (2006) Penelitian yang dilakukan oleh Damayanti berjudul “Analisa Pengaruh
Free Cash Flow Dan Struktur Kepemilikan Saham Terhadap Kebijkan Utang Pada Perusahaan Manufaktur Di Indonesia”. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah free cash flow, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional, sedangkan variabel dependennya adalah kebijakan utang yang diukur dengan menggunakan debt to equity ratio. Penelitian ini juga menggunakan variabel kontrol, yaitu dividen yield dan set kesempatan investasi Hasil penelitian Damayanti menunjukkan bahwa free cash flow mempunyai pengaruh signifikan terhadap kebijakan utang perusahaan, sedangkan kepemilikan manajerial dan kepemilikan institutional tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan utang perusahaan. Variabel kontrol yang digunakan yaitu rasio market to book value of asset (MVABVA)
dan dividen yield berpengaruh signifikan terhadap kebijakan utang perusahaan.
3.
Wahyuning Kurniati (2007) Penelitian yang dilakukan oleh Kurniati berjudul “Pengaruh Struktur
Kepemilikan terhadap Kebijakan Hutang perusahaan (studi pada perusahaan textile/garments di Bursa Efek Jakarta)”. Variabel independen yang digunakan adalah managerial ownership dan institusional ownership, sedangkan variabel dependennya adalah kebijakan hutang yang diukur dengan menggunakan debt ratio. Penelitian ini juga menggunakan variabel kontrol, yaitu dividen, struktur aset, dan profitabilitas. Hasil penelitian Kurniati menunjukkan bahwa kepemilikan saham oleh manajemen, kepemilikan saham oleh institusi, dividen dan struktur aset berpengaruh terhadap kebijakan hutang perusahaan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam penentuan kebijakan pendanaan, maka perusahan yang menjadi sampel telah menggunakan kombinasi
antara
kebijakan
hutang
dan
modal
sendiri,
dengan
mempertimbangkan kepemilikan saham oleh manajerial dan kepemilikan saham oleh institusional serta variabel kontrol berupa struktur aset, dividen dan profitabilitas perusahaan.
4.
Ahmad Bachtiar (2007) Penelitian yang dilakukan oleh Bachtiar berjudul “Analisis Free Cash
Flow dan pengaruhnya terhadap pembayaran deviden tunai dan kebijakan
hutang”. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah free cash flow sedangkan variabel dependennya adalah dividen tunai dan kebijakan hutang yang diukur dengan menggunakan debt to equity ratio. Sampel penelitian yang digunakan adalah perusahaan-perusahaan perseroan terbatas terbuka yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode akhir tahun 2005, dimana sampel berjumlah 70
unit analisis. Hasil penelitian yang
dilakukan Bachtiar menunjukkan bahwa free cash flow secara individu mempunyai pengaruh terhadap pembayaran deviden tunai dan kebijakan hutang perusahaan. Namun, pengaruh free cash flow terhadap kebijakan hutang lebih signifikan.
5.
Shelly (2009) Penelitian yang dilakukan oleh Shelly ini berjudul “Pengaruh Free Cash
Flow terhadap kebijakan hutang pada perusahaan food and beverages di BEI”. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah free cash flow, sedangkan variable dependennya adalah kebijakan hutang yang diukur dengan menggunakan debt to equity ratio. Hasil penelitian yang dilakukan Shelly menunjukkan bahwa free cash flow tidak memiliki pengaruh signifikan untuk α = 5% terhadap kebijakan hutang pada perusahaan food and beverage yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
6.
Nina Diah Pithaloka (2009) Penelitian yang dilakukan Pithaloka berjudul “Pengaruh Faktor-Faktor
Intern Perusahaan terhadap Kebijakan Hutang : dengan Pendekatan Pecking Order Theory”. Variabel independen yang digunakan adalah kepemilikan manajerial, ukuran perusahaan, dan pertumbuhan penjualan, sedangkan variabel dependennya adalah kebijakan hutang yang diukur dengan menggunakan long term debt to equity ratio. Objek penelitian Pithaloka adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia dengan periode penelitian 2003-2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel kepemilikan manajerial, ukuran perusahaan dan pertumbuhan penjualan memiliki pengaruh terhadap kebijakan hutang dengan pendekatan Pecking Order Theory pada perusahaan manufaktur di BEI. Secara parsial (individu) variabel kepemilikan manajerial dan pertumbuhan penjualan tidak berpengaruh terhadap kebijakan hutang sedangkan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kebijakan hutang.
Uraian tinjauan penelitian terdahulu yang telah dijelaskan tersebut dapat diringkas dalam bentuk tabel berikut ini : Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu
No 1.
Peneliti (Tahun Penelitian) Manan (2004)
Variabel Penelitian Variabel Independen : management ownership, institusional ownership, shareholder dispersion, dividen payout ratio, ukuran perusahaan, struktur aset, earning volatility, stock volatility Variabel dependen kebijakan hutang
2.
Damayanti (2006)
Hasil Penelitian Secara simultan terdapat pengaruh secara signifikan antara variabel independen terhadap variabel dependen. Namun, secara parsial, management ownership, dividen payout ratio dan stock volatility tidak berpengaruh secara parsial terhadap kebijakan hutang. : Sedangkan variabel institusional ownership, shareholder dispersion, ukuran perusahaan, struktur aset memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang.
Variabel independen: free cash flow, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan set kesempatan investasi, variabel dependen kebijakan hutang variabel kontrol dividen yield
Free cash flow berpengaruh signifikan dan positif terhadap kebijakan hutang perusahaan, kepemilikan manajerial berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan, dan : kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang. Variabel : kontrol dividen yield berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kebijakan hutang, sedangkan variabel kontrol set kesempatan investasi berpengaruh signifikan dan positif terhadap kebijakan hutang
3.
Bachtiar (2007)
Variabel Independen : free cash flow Variabel dependen : dividen tunai, kebijakan hutang
4.
Kurniati (2007)
Variabel independen : managerial ownership dan institusional ownership variabel dependen : kebijakan hutang. variabel kontrol : dividen, struktur aset, dan profitabilitas.
5.
Shelly (2009)
Variabel Independen : Free cash flow
Hasil penelitian menunjukkan bahwa free cash flow secara individu mempunyai pengaruh terhadap pembayaran deviden tunai dan kebijakan hutang perusahaan. Namun, pengaruh free cash flow terhadap kebijakan hutang lebih signifikan. Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan hutang. Kepemilikan institusional berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan hutang, Struktur asset berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan hutang, dividen berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan hutang dan profitabilitas berpengaruh negatif tetapi tidak signikan terhadap kebijakan hutang perusahaan.. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa free cash flow tidak memiliki pengaruh terhadap kebijakan hutang perusahaan
Variabel dependen : Kebijakan hutang 6. Pithaloka Variabel Independen : Hasil penelitian ini menunjukkan (2009) kepemilikan manajerial, variabel ukuran perusahaan yang pertumbuhan penjualan, berpengaruh secara signifikan ukuran perusahaan, dan positif terhadap kebijakan Variabel dependen : hutang. Sedangkan variabel lainnya yaitu pertumbuhan kebijakan hutang penjualan dan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kebijakan hutang. Sumber : diolah peneliti, 2010
C. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 1. Kerangka Konseptual “Kerangka konseptual merupakan sintesis atau ekstrapolasi dari tinjauan teori dan penelitian terdahulu yang mencerminkan keterkaitan antar variabel yang diteliti dan merupakan tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian serta
merumuskan
hipotesis”
(Jurusan
Akuntansi,
2004:13).
Untuk
menggambarkan pengaruh antara free cash flow, kepemilikan institusional, ukuran perusahaan, dan kebijakan dividen terhadap kebijakan hutang, maka peneliti menyusun kerangka konseptual sebagai berikut :
Free Cash Flow (X1) Kepemilikan Institusional (X2)
Kebijakan Dividen (Y)
Ukuran Perusahaan (X3) Kebijakan Dividen (X4)
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kebijakan hutang, dan variabel independennya adalah free cash flow, kepemilikan institusional, ukuran perusahaan, dan kebijakan dividen.
Perusahaan dengan free cash flow tinggi cenderung akan memiliki level utang yang tinggi untuk menurunkan agency cost khususnya ketika perusahaan mempunyai kesempatan investasi rendah. Dengan demikian, hubungan antara free cash flow terhadap kebijakan hutang adalah hubungan positif. Kepemilikan institusional menggambarkan kepemilikan saham oleh pihak di luar manajemen, diperlukan untuk mengawasi kinerja manajemen. Semakin tinggi porsi kepemilikan institusional dalam suatu perusahaan, maka pengawasan atas kinerja manajemen akan semakin tinggi sehingga manajemen akan mengurangi hutang untuk menghindari terjadinya financial distress. Dengan demikian, hubungan antara kepemilikan institusional terhadap kebijakan hutang adalah hubungan negatif. Semakin besar ukuran suatu perusahaan, maka kebutuhan dana untuk menjalankan operasinya akan semakin besar. Kebutuhan dana ini dapat dipenuhi dengan menerbitkan saham baru ataupun melakukan hutang kepada pihak ketiga. Pihak manajemen lebih cenderung memilih untuk berhutang daripada menerbitkan saham baru. Dengan demikian, semakin besar ukuran suatu perusahaan, maka kecenderungannya untuk berhutang akan semakin tinggi. Pembayaran dividen kepada pemegang saham akan mengurangi sumbersumber dana yang dikendalikan oleh manajer, karena semakin tinggi dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham maka free cash flow dalam perusahaan semakin kecil sehingga manajer harus memikirkan untuk
memperoleh sumber dana dari luar yang bisa saja berupa hutang. Dengan demikian, hubungan antara kebijakan dividen terhadap kebijakan hutang adalah positif.
2. Hipotesis Penelitian Hipotesis menurut Erlina (2008:49) adalah “proposisi yang dirumuskan dengan maksud untuk diuji secara empiris”. Proposisi adalah pernyataan yang dapat dipercaya, disangkal, atau diuji kebenarannya mengenai konsep atau konstruk yang menjelaskan atau memprediksi fenomena-fenomena. Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah free cash flow, kepemilikan institusional, ukuran perusahaan, dan kebijakan dividen berpengaruh baik secara parsial maupun simultan terhadap kebijakan hutang pada perusahaan LQ45 yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2008-2009.