2
inkubasi dan karakterisasi nanopartikel silika melalui analisis PSA (Particle Size Analyzer), SEM (Scanning Electrone Microscope), FTIR (Fourier Transformer Infrared Spectroscopy), dan XRD (X-ray Diffraction). Hipotesis penelitian ini adalah enzim spesifik yang disekresi oleh F. oxysporum keluar sel (ekstraseluler) dapat membantu transformasi silika amorf yang terdapat dalam sekam menjadi silika kristalin dan melepaskannya ke lingkungan secara optimum dengan penambahan inkubasi selama biosintesis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pemanfaatan sekam padi untuk nanopartikel silika melalui biosintesis dengan bantuan F. oxysporum, sehingga dapat digunakan dalam berbagai aplikasi.
TINJAUAN PUSTAKA Nanoteknologi dan Nanopartikel Nanoteknologi pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli Fisika, Richard P. Feynman pada tahun 1959. Erick Drexler kemudian memperkenalkan konsep nanoteknologi kepada masyarakat luas melalui buku yang berjudul “Engine of Creation” pada pertengahan tahun 1980. Kata depan nanoberasal dari bahasa yunani yang berarti kerdil dan satu nanometer sama dengan 10-9 m. Nanopartikel merupakan produk yang dihasilkan dari nanoteknologi, sehingga nanopartikel dianggap suatu bahan yang mempunyai dimensi ukuran kurang dari 100 nm (Park 2007). Penelitian mengenai nanopartikel sedang berkembang pesat karena dapat diaplikasikan secara luas, seperti di bidang lingkungan, biomedis, optis, dan elektronik. Hal ini juga ditentukan oleh ukuran, bentuk, dan kristalinitas (Marlina 2008; Narayan & Sakthivel 2010). Nanopartikel silika memiliki bentuk molekul spherical dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Nanopartikel silika hasil uji TEM
Nanopartikel mempunyai karakter fisik, kimia, elektrik, mekanik, magnetik, termal, optik, dielektrik, dan biologis. Berkurangnya dimensi nanopartikel mempengaruhi karakter fisik yang signifikan dibandingkan dengan material besar. Karakter fisik ini, diantaranya luas permukaan atom dan besar energi permukaan (Narayan & Sakthivel 2010). Luas permukaan nanopartikel dibuat sangat besar sehingga ukuran partikelnya menjadi sangat kecil, yaitu kurang dari 100 nm. Luas permukaan menentukan ukuran, struktur, dan ukuran agregasi partikel (Park 2007). Nanopartikel dikelompokan menjadi nanopartikel organik dan nanopartikel anorganik. Nanopartikel organik meliputi nanopartikel karbon, sedangkan nanopartikel anorganik meliputi nanopartikel logam mulia (seperti emas dan perak) dan nanopartikel semikonduktor (seperti titanium dioksida dan zinc oksida) (Manikandan & Kumaraguru 2010). Nanopartikel yang lebih berkembang adalah nanopartikel anorganik dengan fungsinya yang beraneka ragam. Nanopartikel anorganik telah diuji sebagai alat yang berpotensi dalam dunia medis, yaitu mampu menghantarkan obat sampai ke target dan mengontrol pelepasan obat (Manikandan & Kumaraguru 2010). Aplikasi lainnya, yaitu sebagai antimikroba, optik, elektronik, biosensor, biolabel, biofiltrasi, magnetik, mekanik, katalis, bioremediasi, pereduksi limbah industri, sumber energi (Marlina 2008; Moghaddam 2010), pembuatan baterai dan bahan peledak (Park 2007). Biosintesis Nanopartikel Sintesis nanopartikel logam dengan berbagai ukuran dan beberapa kontrol dapat dibuat dengan metode fisik, kimia, dan biologi. Metode fisik, contohnya metode milling (mechanical alloying) yang didasarkan pada pemecahan partikel (memecah padatan logam) secara mekanik. Silika hasil sintesis secara fisik masih berupa butiran kasar yang memiliki ukuran partikel yang masih cukup besar. Sementara, metode kimia dilakukan dengan menumbuhkan partikel-partikel yang berasal dari atom-atom logam. Atom-atom logam ini berasal dari prekursor molekul atau ionik. Pada metode kimia, biasanya sintesis nanopartikel dilengkapi dengan penambahan zat penstabil. Zat penstabil berfungsi untuk mencegah pertumbuhan partikel yang tidak terkontrol dan mencegah agregasi partikel akibat energi permukaan dari nanopartikel yang besar,
3
sehingga kecepatan pertumbuhan dan ukuran partikel dapat dikontrol. Umumnya zat penstabil berupa ligan organik, surfaktan, atau polimer (Wijaya 2008). Selain itu, metode kimia dilakukan dengan metode presipitasi. yaitu metode yang lazim digunakan untuk pengubahan ukuran partikel silika dengan penambahan larutan asam (Ke & Stroeve 2005). Hasil presipitasi ini mempunyai ukuran partikel lebih kecil dan seragam. Namun, sintesis silika secara kimia membutuhkan bahan seperti resin, molekul penyaring, dan katalis, tidak hanya membutuhkan biaya relatif mahal juga membutuhkan kondisi ekstrim, seperti temperatur, pH, dan tekanan (Bansal et al. 2005). Komposisi kimia, ukuran, dan monodispersi terkontrol pada sintesis nanopartikel merupakan hal yang penting pada penelitian mengenai nanoteknologi. Pemanfaatan enzim spesifik yang disekresi oleh organisme seperti fungi pada sintesis nanopartikel silika ekstraseluler merupakan solusi sintesis nanopartikel (Mukherjee et al. 2002). Biosintesis nanopartikel merupakan pengembangan teknologi baru dengan menghasilkan nanopartikel logam oleh sel mikroba dan melibatkan reaksi enzimatis. Biosintesis nanopartikel dianggap lebih baik daripada sintesis fisik dan kimia. Pada biosintesis nanopartikel, biaya lebih murah dengan tingkat produksi yang tinggi (Mukherjee et al. 2004, diacu dalam Moghaddam 2010). Produksi skala luas melalui metode fisika dan kimia biasanya menghasilkan produk yang lebih besar beberapa mikrometer, sedangkan metode biosintesis bisa menghasilkan produk berukuran nano dalam skala luas (Klaus et al. 1999, diacu dalam Moghaddam 2010). Biosintesis juga bersih, non-toksik, dan ramah lingkungan (Senapati et al. 2005, diacu dalam Moghaddam 2010). Teknik biosintesis nanopartikel logam diklasifikasikan menjadi biosintesis intraseluler dan ekstraseluler. Biosintesis intraseluler merupakan sintesis secara in vivo dalam sel. Detoksifikasi bahan berbahaya diperantarai oleh reaksi enzimatik yang melibatkan bioreduksi logam dan mengendap dalam sel. Pada metode ini, nanopartikel harus dipisahkan dari sel setelah proses sintesis. Pada biosintesis ekstraseluler nanopartikel logam, reduksi tidak terjadi pada fase pertumbuhan mikroba. Pereaksi biologis dibutuhkan untuk bioreduksi dalam bentuk biolikuid. Supernatan diambil dari hasil sentrifugasi kultur mikroba setelah kultur
mikroba tersebut tumbuh. Supernatan disterilisasi dengan filter, sehingga bebas mikroba. Tidak adanya pertumbuhan mikroba dalam kultur penting ketika dilakukan inkubasi pada waktu yang lama, karena jika pertumbuhan mikroba terjadi, maka metode biosintesis ekstraseluler akan berubah menjadi biosintesis intraseluler. Bahan biologis dilepas dari biomassa ke dalam air, dan air digunakan sebagai reduktan untuk mereduksi ion logam dan membentuk nanopartikel logam. Biosintesis ekstraseluler memiliki dua keuntungan, yaitu tidak perlu adanya proses tambahan, yaitu ultrasound atau reaksi kimiawi dengan menggunakan detergen untuk mendapatkan nanopartikel dalam biomassa seperti pada biosintesis intraseluler, prosesnya lebih murah dan sederhana (Moghaddam 2010). Sekam Padi Sekam padi merupakan bagian terluar (kulit) dari butir padi dan produk samping yang dihasilkan dari industri penggilingan padi (Gambar 2). Pada setiap ton produksi padi akan dihasilkan 220 kg (22%) sekam padi, dan jika dibakar akan menghasilkan 55 kg (25%) abu sekam padi atau rice husk ash (RHA) yang mengandung hampir 85-90% silika (Sardi 2006). Menurut Balai Penelitian Pasca Panen (BPPP) sekam padi terdiri atas dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Pada proses penggilingan gabah, sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Sekam dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak, dan energi (BPPP 2001). Sekam mengandung senyawa organik berupa lignin dan kitin, selulosa, hemiselulosa, senyawa nitrogen, lipid, vitamin B, dan asam organik, sedangkan senyawa anorganik berupa silika (Ismunandji 1988). Menurut BPPP (2001) silika yang terkandung dalam sekam padi sebanyak 16.98% dan berada dalam bentuk dasar (silika amorf). Komposisi kimiawi sekam padi dapat dilihat pada Tabel 1a. Komposisi lainnya dari sekam padi adalah selulosa. Selulosa adalah penyusun utama dinding sel tumbuhan. Senyawa ini tidak larut dalam air dan terdiri atas unit-unit β-D-glukopiranosa yang disatukan oleh ikatan β1→4 membentuk rantai lurus panjang yang diperkuat oleh ikatan hidrogen (Murray et al. 2009). Selulosa merupakan senyawa organik yang paling
4
tinggi dalam sekam (Tabel 1b). Selulosa yang terdapat pada sekam padi sebanyak 34.3443.80% (Ismunadji 1988). Berdasarkan komposisi kimiawi yang terkandung, sekam bisa digunakan sebagai bahan baku pada industri kimia, terutama kandungan zat kimia furfural yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam berbagai industri kimia; sebagai bahan baku pada industri bahan bangunan, terutama kandungan silika (SiO2) yang dapat digunakan untuk campuran pada pembuatan semen, dan campuran pada industri bata merah. Selain itu, sekam juga bisa digunakan sebagai sumber energi panas, kadar selulosa yang cukup tinggi dapat memberikan pembakaran yang merata dan stabil (BPPP 2001).
Silika Silikon dioksida (SiO2) atau biasa juga disebut silika pada umumnya ditemukan di alam dalam batu pasir, pasir silika atau quartzite. Zat ini merupakan material dasar pembuatan kaca dan keramik. Silika merupakan salah satu material oksida yang keberadaannya berlimpah di alam, khususnya di kulit bumi. silika bisa dalam bentuk amorf dan kristalin. Terdapat tiga bentuk kristal silika, yaitu quartz (kuarsa), tridymite, dan cristobalite (Hadiyawarman et al. 2008). Kuarsa merupakan silika yang paling umum dan berlimpah dalam sebagian besar jenis batuan, khususnya granit, batu pasir, kuarsit, dan pasir. Cristobalite dan tridymite ditemukan dalam batuan volkan. Sementara, silika non-kristalin (amorf) ditemukan di alam sebagai biogenik silika dan silika gelas yang berasal dari abu volkan (Sardi 2006). Pada tanaman, silika terakumulasi dalam bentuk phytolith yang merupakan bentuk primer dari silika amorf (Bansal et al. 2006). Silika disebut kristalin jika mempunyai susunan atom yang teratur dan disebut amorf jika mempunyai susunan atom yang kurang teratur (Hurlburt & Klein 1977, diacu dalam Sardi 2006) (Gambar 3). Silika mempunyai beberapa karakteristik seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Gambar 2 Sekam padi Tabel 1(a) Komposisi kimiawi sekam padi Komponen Kandungan (%) Kadar air 9.02 Protein kasar 3.03 Lemak 1.18 Serat kasar 35.68 Abu 17.71 Karbohidrat kasar 33.71 Karbon (zat arang) 1.33 Hidrogen 1.54 Oksigen 33.64 Silika 16.98 Sumber : BPPP (2001). Tabel 1(b) Komposisi kimiawi sekam padi Komposisi Kandungan (%) H2O 2.40-11.35 Crude protein 1.70-7.26 Crude fat 0.38-2.98 Ekstrak nitrogen bebas 24.70-38.79 Crude fiber 31.37-49.92 Abu 13.16-29.04 Pentosa 16.94-21.95 Selulosa 34.34-43.80 Lignin 21.40-49.97 Sumber : Ismunadji (1988)
a
b
c Gambar 3 Struktur kistal silika (a) amorf: heksagonal (b) kristobalit: tetragonal (c) tridimit: ortombik Tabel 2 Karakteristik silika Komponen Karakteristik Massa molekul relatif 60.1 g/mol Bentuk Bubuk putih Kerapatan 2.2 g/cc Titik leleh 1650 (±75) ºC Titik didih 2230 ºC Kelarutan dalam air 0.012 g dalam 100 mL Bentuk molekul Tetrahedral Sumber : http://www.en/silika/siliksa gelwikipedia (2009), diacu dalam Fatmawati (2010).
5
Silika merupakan bahan kimia yang pemanfaatan dan aplikasinya sangat luas mulai dari bidang elektronik, mekanis, medis, seni, dan bidang lainnya. Salah satu pemanfaatan serbuk silika yang cukup luas adalah sebagai penyerap kadar air di udara, sehingga memperpanjang masa simpan bahan dan sebagai bahan campuran untuk membuat keramik (Harsono 2002, diacu dalam Sitorus 2009). Selain itu, silika juga digunakan sebagai penyaring molekuler, resin, pembantu peran katalis, dan pengisi dalam pembuatan polimer (Bansal et al. 2006). Fusarium oxysporum Fungi adalah organisme dengan sel-sel berinti sejati (eukariot), biasanya berbentuk benang, bercabang-cabang, tidak berklorofil, dinding sel mengandung kitin, selulosa, atau keduanya. Fungi merupakan organisme heterotrof, absortif, dan membentuk beberapa macam spora. Bagian vegatatif fungi umumnya berupa benang-benang memanjang, bersekat (septa) atau tidak, yang disebut hifa. Kumpulan hifa disebut miselia (Semangun 1996, diacu dalam Sari 2006). Fungi memerlukan senyawa organik untuk nutrisinya. Jika fungi hidup dari senyawa organik yang terlarut, mereka disebut saprofit. Beberapa fungi, meskipun saprofit dapat juga menyerang inang yang hidup, kemudian tumbuh subur pada inang sebagai parasit. Fungi dapat menimbulkan penyakit pada tumbuhan dan hewan termasuk manusia (Pelzcar 1986). Fusarium bersifat parasit, biasanya menyerang pembuluh yang menyebabkan layu pada tanaman dengan cara menyumbat jaringan penyaluran makanan dan dapat juga mengeluarkan toksin (Alexopoulus 1961, diacu dalam Sari 2006). Fusarium yang menjadi salah satu penyebab penyakit pembuluh dikelompokkan ke dalam jenis F. oxysporum. F. oxysporum merupakan salah satu bagian dari anggota genus Fusarium yang sangat penting (Sari 2006). Menurut Ainsworth dan Bisby (1971), diacu dalam Sari (2006), patogen F. oxysporum tergolong ke dalam: Kingdom : Fungi Divisi : Eumycota Subdivisi : Deuteromycetes Klas : Hyphomycetes Bangsa : Moniliales Suku : Tuberculariaceae Marga : Fusarium Jenis : F. oxysporum
F. oxysporum dalam siklus hidupnya mengalami fase patogenesa dan saprogenesa. Pada fase patogenesa, fungi ini hidup sebagai parasit pada tanaman inang yang masuk melalui luka pada akar, kemudian patogen berkembang dalam jaringan tanaman. Patogen ini mampu menghasilkan enzim, toksin, polisakarida, dan antibiotik pada jaringan tanaman yang diserangnya. Toksin dapat menyebabkan kematian sel dan tanaman layu (Bilgrami dan Dube 1976, diacu dalam Sari 2006). Fusarium menghasilkan tiga macam bentuk spora aseksual, yaitu mikrokonidium, makrokonidium, dan klamidospora. Mikrokonidium merupakan bentuk spora yang paling sering dihasilkan dalam semua keadaan. Spora ini bersel tunggal atau satu sekat, berbentuk oval hingga elips dengan ukuran 3μm x 6-15 μm. Mikrokonidium merupakan satu-satunya bentuk spora yang dihasilkan dalam pembuluh tanaman inang yang terinfeksi F. oxysporum. Makrokonidium merupakan spora berbentuk runcing, melengkung ke arah ujungnya, berdiameter ± 4 μm dengan panjang 30 μm dan bersekat 3-5. Spora ini ditemukan pada permukaan jaringan tanaman yang telah mati oleh Fusarium sp. Klamidospora berukuran 711 μm, dibentuk pada ujung-ujung miselia atau diantara sel-sel makrokonidium yang telah mati (Agrois 1997, diacu dalam Sari 2006). Miselia tampak seperti kapas, kemudian menjadi seperti beludru, berwarna putih atau salem, dan biasanya sedikit keunguan yang tampak lebih kuat dekat permukaan medium (Gandjar et al. 1999) (Gambar 4). Fungi lebih menguntungkan dibandingkan organisme lain dalam biosintesis nanopartikel. Miselia fungi bisa menahan tekanan arus dan agitasi, dan kondisi lainnya dalam bioreaktor atau chamber dibandingkan dengan tanaman atau bakteri. Fungi mempunyai sekresi ekstraseluler protein reduktif yang banyak, mudah ditangani pada proses akhir, dan ketika nanopartikel sudah dipisahkan dari sel bisa langsung digunakan dalam berbagai aplikasi. Diantara fungi yang lain, hanya F. oxysporum yang telah banyak diteliti dan dimanfaatkan untuk produksi berbagai nanopartikel, seperti emas, perak, silika, titanium, sirkon oksida, magnetit, quantum dot, Bi2O3. Pertumbuhan F. oxysporum dapat dipicu oleh pemberian substrat sekam padi untuk biosintesis nanopartikel silika. (Narayan & Sakthivel 2010).
6
a b
Gambar 4 F. oxysporum (a) inoculum (b) miselia Metode Analisis Nanopartikel Silika Metode analisis nanopartikel silika menggunakan beberapa instrumen, yaitu PSA (Particle Size Analyzer), SEM (Scanning Electrone Microscope), FTIR (Fourier Transformer Infrared Spectroscopy), dan XRD (X-ray Diffraction). Analisis PSA, SEM, FTIR, dan XRD dapat menentukan bahwa produk biosintesis berukuran nanopartikel, berkomposisi kimiawi silika, dan berstruktur silika kristalin. Particle Size Analyzer (PSA) PSA merupakan alat yang digunakan untuk mengetahui ukuran partikel secara cepat dengan menyediakan data dalam bentuk distribusi ukuran partikel. Metode yang digunakan, diantaranya difraksi laser, penghamburan cahaya, dan sedimentasi. Prinsip pengukuran partikel dengan difraksi laser yaitu partikel yang melewati sinar laser akan menghamburkan cahaya pada sudut yang sesuai dengan ukurannya. Semakin berkurang ukuran partikel, sudut hamburan semakin meningkat. Sistem kerja difraksi laser terdiri atas laser sebagai sumber cahaya, serangkaian detektor untuk mengukur pola cahaya yang dihasilkan melalui berbagai sudut, dan sistem sampel untuk memastikan material melewati sinar laser (Gambar 5) (Kippax 2011).
Penghamburan cahaya adalah perubahan arah dan intensitas berkas cahaya yang mengenai objek. Perubahan terjadi karena gabungan efek refleksi, refraksi, dan difraksi. Amplitudo dari hamburan cahaya pada sudut yang berbeda tidak hanya tergantung pada konsentrasi dan ukuran partikel, tetapi juga pada rasio indeks bias dari partikel ke media. Semakin banyak indeks bias yang berbeda, semakin banyak cahaya yang dihamburkan oleh partikel. Sementara, jika tidak ada perbedaan indeks bias, maka tidak ada cahaya yang akan dihamburkan (Webb 2000). Metode sedimentasi bisa mengukuran partikel antara 2-50 µ. Metode ini tidak cocok untuk emulsi dan biasanya digunakan pada partikel berbentuk butiran. Pengukuran yang dilakukan lambat dan berulang. Biasanya menggunakan teknik sentrifugasi atau sinar X (Rawle 2011). Scanning Electrone Microscope (SEM) SEM merupakan mikroskop elektron yang mampu menghasilkan gambar beresolusi tinggi dari sebuah permukaan sampel. Gambar yang dihasilkan oleh SEM digunakan untuk menentukan struktur permukaan dari sampel. SEM menerapkan prinsip difraksi elektron dengan pengukuran sama seperti mikroskop optik. Prinsip kerjanya adalah elektron yang ditembakkan akan dibelokkan oleh lensa elektromagnetik dalam SEM (Wijaya 2008). Sistem kerja SEM terdiri atas sumber cahaya elektron, sistem lensa, detektor, dan layar TV. Sumber cahaya elektron dihasilkan di dalam suatu penembak elektron yang berbentuk filamen pemanas berupa tabung tanpa udara. Sumber cahaya elektron dipercepat dan difokuskan oleh sistem lensa magnetik yang berada di atas objek. Elektron dikumpulkan oleh detektor, diubah dalam bentuk voltase (energi listrik), kemudian disebar (Gambar 6) (Balaz 2008, diacu dalam Elizabeth 2011).
Sistem deteksi sudut
Sumber cahaya Lensa fokus
Sampel
Detektor
Gambar 5 Skema kerja PSA
Gambar 6 Skema kerja SEM
7
Syarat agar SEM dapat menghasilkan citra permukaan yang tajam adalah permukaan benda harus bersifat sebagai pemantul elektron atau dapat melepaskan elektron sekunder ketika ditembak dengan berkas elektron. Material yang memiliki sifat demikian adalah logam. Jika permukaan logam diamati di bawah SEM maka profil permukaan akan tampak dengan jelas. Sementara, pada profil permukaan bukan logam untuk diamati dengan SEM, permukaan material tersebut harus dilapisi dengan logam. Film tipis logam dibuat pada permukaan material tersebut sehingga dapat memantulkan berkas elektron. Metode pelapisan yang umum dilakukan adalah evaporasi dan sputtering (Abdullah & Mikrajuddin 2008). SEM memiliki beberapa keunggulan, diantaranya mampu menggambarkan area yang besar secara komparatif dari spesimen, mengukur komposisi dan sifat dasar dari spesimen, serta memiliki resolusi tinggi (Wijaya 2008). Fourier Transformer Infrared Spectroscopy (FTIR) FTIR merupakan suatu metode spektroskopi Infrared (IR). Pada metode ini, radiasi IR dilewatkan pada sampel. Beberapa radiasi IR diabsorbsi oleh sampel dan ada juga yang ditransmisikan, sehingga menghasilkan spektrum absorbsi molekul dan transmisi molekul. FTIR berguna untuk menentukan gugus fungsional suatu sampel. Jika suatu molekul ditempatkan di dalam suatu daerah elektromagnetik (sinar IR), akan terjadi perubahan bentuk energi dari daerah elektromagnetik ke molekul. Kemampuan molekul dalam mengabsorpsi radiasi berdasarkan sifat khas masing-masing molekul, yaitu perubahan dalam tingkat loncatan energetik elektron, pergerakan getaran dari atom, dan rotasi suatu molekul (Hendrayana et al. 1994; Balaz 2008, diacu dalam Elizabeth 2011). Sumber radiasi (Z) pada FTIR berupa laser IR. IR memiliki energi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan ultraviolet dan sinar tampak. Hal tersebut menentukan tebal sampel (S) yang dipakai, tebal sampel yang dipakai pada FTIR lebih tipis daripada spektrofotometer lainnya, yaitu sekitar 0.02 mm. Sampel (S) berupa padatan digerus dalam mortar bersama KBr kering dalam jumlah sedikit (0.5-2 mg sampel dengan 100 mg KBr kering). Campuran tersebut dipres diantara dua sekrup menggunakan kunci, kemudian terbentuk tablet sampel tipis yang
diletakkan di tempat sel FTIR dengan lubang mengarah ke sumber radiasi (Z). Sampel dibiarkan terkena radiasi IR di dalam FTIR. Radiasi dari sumber (Z) melalui contoh (S) dan prisma (P). Prisma (P) merupakan tempat terjadi pemisahan komponen cahaya monokromatik. Rotasi perlahan prisma menghasilkan suatu radiasi dengan frekuensi yang berbeda-beda, kemudian radiasi tersebut jatuh pada detektor. Detektor (D) dapat merekam frekuensi dan aliran radiasi (R) (Gambar 7). Spektrum (peaks) yang tergambar bergantung pada absorpsi dan frekuensi radiasi. Alat berupa Analaog Digital Converter digunakan untuk menghubungkan antara instrumen dengan komputer. Hasil peaks terlihat pada monitor sesuai dengan gugus fungsi yang khas untuk masing-masing molekul (Hendrayana et al. 1994; Balaz 2008, diacu dalam Elizabeth 2011). Analisis menggunakan Spektrofotometer FTIR memiliki dua kelebihan dibandingkan metode konvensional lainnya, yaitu dapat digunakan pada semua frekuensi dari sumber cahaya secara simultan sehingga analisis dapat dilakukan lebih cepat dibandingkan dengan cara sekuensial atau scanning. Selain itu, sensitifitas dari metoda spektrofotometri FTIR lebih besar daripada cara dispersi, karena radiasi yang masuk ke sistem detektor lebih banyak tanpa harus melalui celah (Fatmawati 2010).
Gambar 7 Skema kerja FTIR X-Ray Diffraction (XRD) Metode penentuan struktur kristal yang berdasarkan pada hukum Bragg ini berkembang seiring dengan perkembangan metode komputasi elektronik dan menjadi metode yang paling banyak digunakan dalam karakterisasi suatu bahan. Difraksi sinar-X membutuhkan sumber cahaya, sampel yang belum diketahui, dan sebuah detektor sebagai pengumpul sinar-X (Gambar 8). Hasil dari pengukuran difraksi sinar-X adalah pola yang digambarkan sebagai sebagai garis (peaks) dengan intensitas yang berbeda-beda. Posisi garis (peaks) menjelaskan karakteristik sampel yang diamati (Elizabeth 2011). Jika sampel tersebut Kristal, sinar-X dihamburkan secara koheren, yaitu tidak ada perubahan panjang gelombang atau fasa antara sinar masuk dan yang dihamburkan. Hamburan koheren umumnya dinyatakan sebagai difraksi sinar-X (Fatmawati 2010).