ISSN 1907-8226
BAWAL WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP Volume 5 Nomor 1 April 2013 Nomor Akreditasi : 419/AU/P2MI-LIPI/04/2012 (Periode: April 2012-April 2015) BAWAL, Widya Riset Perikanan Tangkap adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum. Publikasi ini memuat hasil-hasil penelitian bidang “natural history” ikan (pemijahan, pertumbuhan, serta kebiasaan makan dan makanan) serta lingkungan sumber daya ikan. Terbit pertama kali tahun 2006 dengan frekuensi penerbitan tiga kali dalam setahun, yaitu pada bulan: APRIL, AGUSTUS, DESEMBER. Ketua Redaksi: Drs. Bambang Sumiono, M.Si (Biologi Perikanan-P4KSI) Anggota: Prof. Dr. Wudianto, M.Si (Teknologi Penangkapan Ikan-P4KSI) Prof. Dr. Ali Suman (Biologi Perikanan-BPPL) Prof. Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc. (Oseanografi Perikanan-LIPI) Dr. Agus Djoko Utomo, M.Si ( Biologi Perikanan-BRPPU) Ir. Sulastri (Limnologi-LIPI) Mitra Bestari untuk Nomor ini: Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc (Hidro Akustik Perikanan-IPB) Dr. Ir. Zainal Arifin, M.Sc. (Pencemaran Perairan-LIPI) Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal (Ikhtiologi-IPB) Dr. Estu Nugroho (Genetika Populasi Ikan-BPPAT) Lilis Sadiyah, Ph.D. (Permodelan Perikanan-P4KSI) Redaksi Pelaksana: Ralph Thomas Mahulette, S.Pi., M.Si. Kharisma Citra, S.Sn. Desain Grafis: Darwanto, S.Sos.
Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telp. (021) ; Fax. (021) Email:
[email protected] BAWAL-WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan - Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan.
KATA PENGANTAR Widya Riset Perikanan Tangkap “BAWAL” merupakan wadah untuk menyampaikan informasi hasil penelitian yang dilakukan para peneliti dari dalam maupun luar lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber daya Ikan. Informasi-informasi tersebut sangat berguna bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) terutama para pengambil kebijakan sebagai dasar dalam pengelolaan perikanan dan konservasi sumberdaya ikan di laut maupun perairan umum daratan. Seiring dengan terbitnya Widya Riset Perikanan Tangkap Bawal Volume 5 Nomor 1 April 2013 ini, kami ucapkan terima kasih kepada para Mitra Bestari atas kesediaannya dalam menelaah beberapa naskah. Pada volume ini, Bawal menampilkan tujuh artikel hasil penelitian perikanan di perairan umum daratan dan perairan laut. Tujuh artikel tersebut mengulas tentang, distribusi ukuran, reproduksi dan habitat pemijahan ikan bilih (Mystacoleucus Padangensis Blkr.) di danau Singkarak, komposisi jenis kepadatan dan keanekaragaman juvenil ikan pada padang lamun gugus pulau Pari, biodiversitas ikan karang di perairan Taman Nasional Karimunjawa, Jepara, interaksi pemanfaatan pakan alami oleh komunitas ikan di waduk Penjalin, Jawa Tengah, hubungan panjang-berat dan faktor kondisi lobster pasir (Panulirus homarus) di perairan Yogyakarta dan Pacitan, biologi reproduksi dan musim pemijahan ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di perairan Selat Bali, struktur ukuran ikan dan parameter populasi Madidihang (Thunnus albacares) di perairan Laut Banda. Semua artikel pada edisi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang perikanan tangkap di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para penulis dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam edisi ini.
Redaksi
i
ISBN 1907-8226 BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap Volume 5 Nomor 1 April 2013 DAFTAR ISI KATAPENGANTAR ………………………………………………………………………………...........................
i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………..............
iii
Distribusi Ukuran, Reproduksi dan Habitat Pemijahan Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr.) di Danau Singkarak Oleh : Hafrijal Syandri, Azrita, dan Netti Aryani…………………………………………………………............................
1-8
Komposisi Jenis, Kepadatan dan Keanekaragaman Juvenil Ikan Pada Padang Lamun Gugus Pulau Pari Oleh : Isa Nagib Edrus dan Sri Turni Hartati.........................................................................................................................
9-22
Biodiversitas Ikan Karang di Perairan Taman Nasional Karimunjawa, Jepara Oleh : Yayuk Sugianti dan Mujiyanto…………………………………………………………….................................
23-31
Interaksi Pemanfaatan Pakan Alami oleh Komunitas Ikan di Waduk Penjalin, Jawa Tengah Oleh : Dimas Angga Hedianto, Kunto Purnomo, dan Andri Warsa……………………………….............……………………
33-40
Hubungan Panjang-Berat dan Faktor Kondisi Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Perairan Yogyakarta dan Pacitan Oleh : Ignatius Tri Hargiyatno, Fayakun Satria, Andika Prima Prasetyo, dan Moh. Fauzi……………………….................
41-48
Biologi Reproduksi dan Musim Pemijahan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali Oleh : Arief Wujdi, Suwarso, dan Wudianto……………………………………………………………………………….....…
49-57
Struktur Ukuran Ikan dan Parameter Populasi Madidihang (Thunnus albacares) di Perairan Laut Banda Oleh : Adrian Damora dan Baihaqi……………………………………........…………………………………………
59-65
iii
BAWAL Vol. 5 (1) April 2013 : 1-8
DISTRIBUSI UKURAN, REPRODUKSI DAN HABITAT PEMIJAHAN IKAN BILIH (Mystacoleucus padangensis Blkr.) DI DANAU SINGKARAK SIZE DISTRIBUTION, REPRODUCTION AND SPAWNING HABITAT OF BILIH FISH (Mystacoleucus padangensis Blkr.) IN LAKE SINGKARAK Hafrijal Syandri,1) Azrita1) dan Netti Aryani2) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta Padang 2) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau Teregistrasi I tanggal: 1 Maret 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 14 Januari 2013; Disetujui terbit tanggal: 17 Januari 2013 1)
ABSTRAK Penelitian tentang biologi reproduksi ikan bilih di Danau Singkarak dilakukan pada bulan Januari –Desember 2010. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi ukuran, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan pemijahan ikan bilih. Hasil penelitian menunjukkan ukuran panjang ikan bilih betina matang gonad berkisar antara 70-109 mm dan bobot tubuh berkisar antara 6,4-8,7 gram, ikan jantan pada panjang antara 70-89 mm dengan bobot antara 4,5-6,6 gram. Persentase ikan betina yang memijah setiap stasiun berkisar 68,4-75,7% dan ikan jantan berkisar 73,4-78,4%. Pada saat memijah ikan bilih beruaya dari danau ke sungai Sumpur, Paninggahan dan Baing setiap hari dimulai pukul 16.00 hingga 23.00 WIB. Karakteristik habitat pemijahan mempunyai kecepatan arus sungai antara 10-15 m/detik, kedalaman perairan berkisar antara 20-40 cm, substrat dasar perairan terdiri dari kerikil dan karakal. KATA KUNCI : Danau Singkarak, ikan bilih, reproduksi, habitat pemijahan, waktu pemijahan. ABSTRACT Study of biology reproduction bilih fish on Lake Singkarak has done a series of studies in January and December 2010. The purpose of this study is to reveal the size distribution, gonada mature level, fecundity and spawning of bilih fish. The research proves that the size of mature female fish gonads bilih range in size of 70-109 mm with a weight of 6.4 to 8.7 g and males 70-89 mm and weighs 4.4 to 6.6 g. Percentage of female fish to spawn each research station ranged from 68.5-75.7 % and males 73.4-78.3%. Bilih spawning fish populations by conducting migration from lakes to rivers Sumpur, Paninggahan and Baing everyday starting at 16:00 until 23:00 am. Characteristics of spawning habitat with river flow velocity between 10-15 m / sec, water depth between 20-40 cm, bottom substrate consists of gravel and karakal. KEYWORDS : Lake Singkarak, bilih fish, reproduction, spawning habitat.
PENDAHULUAN Danau Singkarak terletak di Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok Propinsi Sumatera Barat pada ketinggian 361 m di atas permukaan laut (dpl), merupakan danau vulkanis yaitu bekas letusan gunung berapi yang terjadi pada masa Kwarter yaitu ditemukan jenis-jenis batuan di sekitar danau tersebut. Luas danau menurut Depertemen PUTL (1980) tercatat sekitar 12.200 Ha. Sumber air danau Singkarak berasal dari lima buah sungai besar yang bermuara ke danau ini yaitu Sungai Sumpur, Sungai Paninggahan, Sungai Baing, Sungai Lembang dan Sungai Saning Bakar. Selanjutnya air danau ini keluar mengalir ke Sungai Ombilin yang bermuara ke pantai timur pulau Sumatera. Semenjak tahun 1998 air Danau Singkarak lebih dominan dialirkan melalui terowongan PLTA Singkarak
untuk menghasilkan daya listrik 175 MW dan bermuara ke pantai barat pulau Sumatera yaitu di daerah Asam Pulau Kabupaten Padang Pariaman. Danau ini dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan antara lain perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata, irigasi dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Jumlah spesies ikan yang terdapat di Danau Singkarak sebanyak 19 spesies dan populasi paling dominan adalah ikan bilih. Saat sekarang populasi ikan bilih di Danau Singkarak semakin berkurang dan ukuran yang tertangkap semakin kecil, berkisar antara 67 cm (Syandri et al., 2011) dibandingkan dengan ukuran yang tertangkap tahun 1996 berkisar antara 10-15 cm (Syandri & Effendie, 1997). Penelitian oleh Purnomo & Sunarno (2003) diperoleh rata-rata panjang total ikan bilih di Danau Singkarak adalah 6,5 cm.
Korespondensi penulis: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta Padang Jl. Bronco No. 7 Lanud Tebing Padang, Email:
[email protected]
1
H. Syandri, et al./BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 1-8
Berkurangnya produksi dari hasil tangkapan dan semakin kecil ukuran ikan bilih yang tertangkap mengindikasikan bahwa populasi ikan bilih di Danau Singkarak mulai terancam punah. Ancaman kepunahan ikan bilih antara lain disebabkan oleh penangkapan yang tidak terkendali dan berlebihan menggunakan jaring insang dengan ukuran mata jaring relatif kecil yaitu ¾ inci dan 5/8 inci, serta alat tangkap jala berukuran mata jaring ½ inci yang dioperasikan dengan cara menghadang ikan bilih yang akan memijah di daerah aliran sungai. Di lain pihak usaha melestarikan populasi ikan melalui kearifan lokal masyarakat di sekitarnya belum terlaksana dengan sempurna (Syandri et al., 2011). Berdasarkan kondisi tersebut maka sangat diperlukan pengelolaan populasi ikan bilih di Danau Singkarak. Data dan informasi tentang distribusi ukuran, aspek reproduksi dan habitat pemijahan ikan bilih di alam diperlukan dalam upaya pengelolaan serta
bahan kebijakan oleh masyarakat dan pemerintah daerah dalam usaha melestarikan ikan bilih di Danau Singkarak. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari - Desember 2010. Contoh ikan bilih diambil dari Danau Singkarak yaitu pada stasiun bagian tengah danau (stasiun I) pada titik koordinat 0o36’34,99"S-100o32’28,69"T, sebelah utara di muara Sungai Sumpur (stasiun II) pada titik koordinat 0o35’15,91"S-100o29’38,65"T, sebelah barat di muara Sungai Paninggahan (stasiun III) pada titik koordinat 0o38’45,72"S100o31’43,85"T, sebelah selatan di muara Sungai Sumani (stasiun IV) pada titik koordinat 0 o 41’32,86 " S100o35’50,56"T dan sebelah timur di hulu Sungai Ombilin (stasiun V) pada titik koordinat 0 o 33’46,54 " S100o32’54,99"T.
STII
STV STIII
STI
STIV
Gambar 1. Stasiun pengambilan contoh ikan bilih di danau Singkarak Picture 1. Sampling station bilih fish in Lake Singkarak Pengambilan contoh ikan dilakukan secara acak sederhana dari populasi yang tertangkap oleh nelayan yaitu sebanyak 200 ekor setiap stasiun penelitian setiap bulan (Wasito, 1993). Ikan bilih di perairan tengah danau dan hulu sungai Ombilin ditangkap dengan jaring insang berukuran ¾ inci dan 1,0 inci, di muara sungai Sumpur dan muara sungai Sumani dengan alat tangkap jala berukuran mata jaring 0,5 dan ¾ inci, di muara sungai 2
Paninggahan dengan alat tangkap alahan. Pengamatan tentang ukuran, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad dilakukan di laboratorium terpadu Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta. Kriteria tingkat kematangan gonad dibagi atas lima tingkatan yang mengacu kepada Syandri (1997). Untuk menentukan nilai Indek Kematangan Gonad (IKG) mengacu kepada rumus Effendie (1979).
BAWAL Vol. 5 (1) April 2013 : 1-8
Untuk megetahui waktu pemijahan ikan bilih, penangkapan dilakukan dalam rentang waktu setiap satu jam dimulai pukul 16.00 - 24.00 WIB dengan asumsi bahwa pada waktu tersebut ikan bilih banyak yang beruaya ke sungai. Indikator yang ditetapkan sebagai individu ikan bilih siap memijah adalah ketika pada bagian perutnya ditekan dengan lunak maka telur akan keluar melalui lubang genital.
in-situ dan ex-situ. Analisa kualitas air menggunakan metoda yang sudah baku (APHA, 1981).
Baku mutu kualitas air (BMKA) di masing-masing stasiun yang diamati terdiri dari parameter fisika yaitu suhu air, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus dan substrat dasar, sedangkan kimia perairan adalah oksigen terlarut, biological oksigen demand, alkalinitas, kesadahan, daya hantar listrik dan pH. Baku mutu kualitas air diukur secara
Total ikan bilih yang diukur dari lima stasiun penelitian sebanyak 12.964 ekor terdiri dari ikan betina 6.597 ekor (50,88%) dan ikan jantan 6.367 ekor (49,12%). Distribusi ukuran ikan bilih berdasarkan kelas ukuran dicantumkan pada Tabel 1.
HASIL DAN BAHASAN HASIL Distribusi Ukuran Ikan
Tabel 1. Distribusi ukuran ikan bilih setiap stasiun di Danau Singkarak tahun 2010. Table 1. Size distribution by station of bilih fish in Lake Singkarak 2010. Ukuran panjang (mm) 50-59 60-69 70-79 80-89 90-99 100-109 Jumlah
ST1
ST2
ST3
ST4
ST5
♀
♂
♀
♂
♀
♂
♀
♂
♀
221 338 242 97 36 25 959
925 430 180 93 13 0 1652
262 409 674 320 53 5 1723
283 410 100 73 11 0 877
259 442 80 19 3 8 811
690 556 483 60 0 0 1729
263 422 274 113 36 9 1153
267 601 428 123 28 0 1447
510 709 365 353 41 9 1987
♂
Jumlah (ekor) ♀ ♂
206 253 107 36 11 0 613
1515 2320 1635 902 169 56 6597
2371 2250 1298 385 63 0 6367
ST1= muara sungai Sumpur; ST2 = hulu sungai Ombilin; ST3 = muara sungai Paninggahan, ST4= tengah danau, ST5= muara sungai Lembang
Panjang total ikan bilih betina yang tertangkap selama penelitian berkisar antara 50-109 mm dan ikan jantan berkisar antara 50-99 mm. Tidak ada yang tertangkap pada ukuran < 50 mm dan >109 mm, artinya ukuran populasi ikan bilih betina lebih panjang daripada ikan bilih jantan. Distribusi ukuran ikan betina pada selang panjang total antara 60-69 mm sebanyak 2.320 ekor (35,16%), sedangkan ikan jantan selang ukuran antara 50-59 mm sebanyak 2.371 ekor (37,23%). Ikan jantan lebih dominan tertangkap pada stasiun muara sungai Sumpur, muara sungai Paninggahan dan tengah danau, sedangkan ikan betina lebih banyak pada hulu sungai Ombilin dan muara sungai Sumani. Ukuran rata-rata ikan bilih setiap bulan terdapat perbedaan, ukuran terpanjang dan terberat ikan betina terdapat pada bulan Februari 2010 dan ikan jantan pada bulan Maret 2010, sedangkan ukuran panjang ikan betina terkecil diperoleh pada bulan Oktober 2010 dan ikan jantan pada bulan Nopember 2010 (Tabel 2).
Tingkat Kematangan Gonad dan Indek Kematangan Gonad Sampel sejumlah 12.964 ekor dari lima stasiun penelitian, diperoleh persentase jumlah ikan bilih berdasarkan tingkat kematangan gonad (TKG) seperti dicantumkan pada Tabel 3. Pada stasiun muara sungai Sumpur diperoleh ikan betina TKG IV sebanyak 68,37% dan jantan 78,31%, dan di muara sungai Paninggahan ikan betina TKG IV sebanyak 78,31% dan jantan 73,39%. Indek Kematangan Gonad (IKG) ikan bilih menurut jenis kelamin dan TKG dicantumkan pada Tabel 4. Nilai rata-rata IKG ikan betina pada matang gonad (TKG IV) adalah 13,09±1,92% dan jantan 7,42±1,58%. Semakin tinggi TKG ikan maka nilai IKG semakin tinggi, kecuali pada TKG V karena ikan sudah selesai melakukan pemijahan.
3
H. Syandri, et al./BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 1-8
Tabel 2. Rataan panjang total dan bobot tubuh ikan bilih di Danau Singkarak tahun 2010 Table 2. Avarage total length and weight of bilih fish in Lake Singkarak 2010
Bulan (month) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember JumIah
n (ekor) 492 550 500 550 530 500 500 550 504 684 501 678 6.597
Betina (female) Panjang Total Bobot Tubuh (mm) (g) 76,02 6,37 84,97 8,68 83,59 8,27 83,05 6,25 87,70 5,98 74,62 4,82 72,56 4,51 67,59 4,12 67,92 4,05 67,50 4,03 68,37 4,24 70,79 4,83
n (ekor) 458 440 446 450 430 460 520 510 499 470 499 480 5.882
Jantan (male) Panjang Total Bobot Tubuh (mm) (g) 67,45 4,46 76,53 6,60 77,47 6,60 70,98 4,93 69,07 4,45 69,26 4,27 65,19 3,42 67,24 3,34 62,68 3,20 61,65 3,11 60,72 3,17 64,25 3,80
Tabel 3. Tingkat Kematangan Gonad (%) ikan bilih setiap stasiun di Danau Singkarak tahun 2010. Table 3. Gonada maturity level (%) of bilih fish each station in Lake Singkarak 2010
TKG Betina I II III IV V Jantan I II III IV V
Muara Sungai Hulu Sungai Ombilin Sumpur n = 959 n = 1723 0,41 30,98 1,35 39,97 2,69 23,36 68,37 5,70 27,24 0,00 n =1652 n = 877 0,30 29,10 2,07 46,07 2,31 22,75 78,31 2,07 17,17 0,00
Stasiun penelitian Muara Sungai Paninggahan n = 811 0,91 3,31 7,42 75,65 12,68 n= 1729 0,69 1,04 9,27 73,39 15,47
Tengah Danau n = 1153 15,75 22,70 27,53 32,81 1,20 n= 1447 12,88 23,81 27,89 29,85 5,54
Muara Sungai Lembang n = 1987 2,65 30,76 51,71 14,85 0,00 n = 613 3,56 25,20 62,83 8,44 0,00
Tabel 4. Indek kematangan gonad ikan bilih berdasarkan tingkat kematangan gonad di Danau Singkarak 2010. Table 4. Gonado somatic index of bilih fish based on maturity stage of the gonads in Lake Singkarak 2010 Jenis kelamin Betina
Jantan
4
TKG
n (ekor)
IKG (%) Kisaran
Rataan± SD
I II III IV V I
781 1600 1832 2039 378 480
0,25-3,59 1,17-7,50 4,83-2,05 5,20-22,36 1,51-9,55 0,02-3,33
1,52±0,58 3,03±1,16 7,71±1,59 13,09±1,92 6,03 ±1,41 1,26±0,56
II III IV V
956 1183 3065 631
0,43-5,08 2,03-12,34 5,03-17,49 2,74-9,61
2,39±0,95 4,59±1,37 7,42±1,58 5,75±1,60
BAWAL Vol. 5 (1) April 2013 : 1-8
Fekunditas dan Habitat Pemijahan Fekunditas ikan bilih berkisar antara 6.907 - 9.355 butir per ekor dengan bobot tubuh berkisar antara 85,0-110,0 g. Nilai tersebut menunjukkan potensi telur yang dihasilkan untuk satu kali pemijahan. Ikan bilih melakukan pemijahan setiap hari dimulai pukul 16.00 - 24.00 WIB (Gambar 2) dengan puncak pemijahan terjadi antara pukul 19.00-22.00 WIB dengan indikator jumlah ikan bilih yang memijah lebih dari 90%. Ikan memijah (%)
120 93
100
96
95
91
80
73 63
66
60
Hasil pengamatan parameter kualitas air Danau Singkarak yang merupakan habitat ikan bilih untuk tumbuh dan berkembangbiak dari setiap stasiun penelitian ditampilkan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisis data kuantitas air dengan menggunakan analisis One Way Anova dapat dinyatakan bahwa kualitas air pada setiap stasiun penelitian berbeda nyata (p<0,05). Berdasarkan hasil analisis komponen utama (PCA), diperoleh nilai ektraksi dari setiap parameter kualitas air (Tabel 6). Nilai ektraksi yang mendekati 1,0 merupakan faktor pembeda utama dari parameter kualitas air pada habitat ikan bilih di Danau Singkarak. Berdasarkan nilai tersebut maka kecerahan air, kedalaman dan kecepatan arus merupakan faktor pembeda utama dari habitat ikan bilih.
40 10
20
14.5
0 16.00
17.00
18.00
19.00
20.00
21.00
22.00
23.00
24.00
Waktu Pemijahan (WIB) Gambar 2. Jumlah ikan bilih yang memijah berdasarkan waktu pengamatan di Danau Singkarak 2010. Figure 2. The number of bilih fish spawning by time of observation in Lake Singkarak 2010.
Berdasarkan analisis diskriminan terhadap data parameter kuantitas air, maka habitat perairan ikan bilih di Danau Singkarak terbagi atas empat kelompok yaitu stasiun muara sungai Sumpur dengan muara sungai Paninggahan menjadi satu kelompok, stasiun Ombilin, stasiun muara sungai Sumani dan stasiun tengah danau terpisah (Gambar 3) karena daerah tersebut mempunyai parameter kualitas air yang hampir sama yaitu perairan jernih, dangkal dan mempunyai arus sehingga merangsang ikan bilih untuk memijah.
Tabel 5. Nilai parameter fisika dan kimia perairan setiap stasiun di Danau Singkarak tahun 2010. Table 5. The value of physical and chemical parameter of water by station in Lake Singkarak 2010. Stasiun Pengamatan Parameter suhu air kecerahan kekeruhan kedalaman kec. arus substrat dasar DO BOD5 Alkalinitas kesadahan DHL pH
Satuan
sungai muara sungai hulu sungai muara Sumpur Ombilin Paninggahan °C 24,50±0,50a 26,16±0,28b 23,83±0,28a a a m 0,41±0,28 0,61±0,28 0,42±0,02a a b NTU 2.30±0,26 92,66±2,51 2,43±0,40a a b m 0,41±0,02 4,50±0,50 0,20±0,01a a b m/dt 47,00±2,00 21,66±1,52 57,66±2,51a b pasir, kerikil & batu- batuan pasir, kerikil & karakala karakala a a mg/l 8,36±0,20 8,10±0,17 8,43±0,40a a b mg/l 2,10±0,10 1,50±0,10 1,90±0,10c mg/l 74,53±0,50a 72,66±0,57b 78,33±0,57c a b mg/l 68,00±1,00 71,00±1,00 70,33±1,52b a b mhos/cm 214,76±4,15 183,33±1,52 192,33±2,08c a b unit 7,66±0,28 6,60±0,10 7,36±0,32c
muara sungai Sumani 27,93±0,11c 0.55±0,50a 265,00±5,00c 5,00±1,00b 8,00±1,00c lumpurc
tengah danau 27,50±0,50d 4.50±0,50d 54.00±1,00d 150,00±5,00d 2,83±0,15d batu- batuanb
7,80±0,70a 3,53±0,05d 72,00±1,00d 68,33±0,57a 227,00±0,50d 7,16±0,15d
7,76±0,15a 2,40±0,10e 80,00±1,00e 74,00±1,00b 248,00±2,00e 7,60±0,10e
Keterangan : angka superskrip yang berbeda di atas angka rata-rata menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0,05)
5
H. Syandri, et al./BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 1-8
Tabel 6. Nilai pembeda utama kualitas air pada habitat ikan bilih di Danau Singkarak 2010 Table 6. The main differentiator value of water quality parameter bilih fish in Lake Singkarak 2010
Canonical Discriminant Functions
Kualitasair
75
Sumpur
Tengahdanau
ombilin Paninggahan Sumani
50
Tengahdanau
Initial 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
Extraction 0,956 0,990 0,943 0,989 0,969 0,564 0,929 0,870 0,895 0,950 0,937
BAHASAN Distribusi Ukuran Distribusi ukuran panjang total ikan betina berkisar antara 50-109 mm dan jantan antara 50-99 mm, ukuran tersebut lebih kecil dari pada hasil pengamatan pada tahun 1994 yaitu ikan betina berkisar pada ukuran 50-149 mm dan jantan ukuran 50-119 mm (Syandri & Effendie, 1997), sedangkan Purnomo & Sunarno (2003) melaporkan ratarata panjang total ikan bilih di Danau Singkarak adalah 65 mm. Semakin kecilnya ukuran yang tertangkap saat sekarang dapat disebabkan karena penangkapan yang tidak terkendali dengan alat tangkap jaring insang dengan ukuran mata jaring relatif kecil yaitu ¾ inci dan 5/8 inci sehingga tidak selektif dalam menghadang ikan. Selektivitas suatu alat tangkap adalah kemampuan suatu alat tangkap dengan tingkat selektivitas yang tinggi dapat menyebabkan upaya penangkapan lebih efisien dan kelangsungan sumberdaya ikan pada suatu perairan akan tetap lestari (Puspito, 2008). Alat tangkap yang selektif adalah alat tangkap yang mampu menangkap ikan yang sudah layak tangkap baik dari segi umur maupun ukuran dan dapat meloloskan ikan yang tidak layak tangkap, ikan yang dilindungi dan ikan yang tidak diinginkan tanpa melukai dan membunuhnya. Ukuran spesies ikan pada suatu badan air dapat dipengaruhi oleh jenis alat tangkap yang digunakan (Wibowo et al., 2008), eksploitasi yang berlebihan akan mengakibatkan berkurangnya kepadatan populasi, mengecilnya ukuran ikan sehingga dapat menurunkan nilai fekunditas dan kehilangan variasi genetik (Wilson & Clarke, 1996). Selektivitas suatu alat tangkap adalah kemampuan suatu alat tangkap dengan tingkat selektivitas yang tinggi dapat menyebabkan upaya penangkapan lebih efisien dan 6
Function 2
Group Centroid
Parameter Suhu air Kecerahan Kekeruhan Kedalaman Kec.Arus Oksigen BOD Alkalinitas Kesadahan Daya Hantar Listrik pH
25
Sumpur 0 Paninggahan ombilin -25
Sumani -50 -50
0
50
100
Function 1
Gambar 3. Pengelompokan parameter kualitas air habitat ikan bilih di Danau Singkarak Figure 3. Grouping parameters of water quality of bilih fish in Lake Singkarak kelangsungan sumberdaya ikan pada suatu perairan akan tetap lestari (Puspito, 2008). Alat tangkap yang selektif adalah alat tangkap yang mampu menangkap ikan yang sudah layak tangkap baik dari segi umur maupun ukuran dan dapat meloloskan ikan yang tidak layak tangkap, ikan yang dilindungi dan ikan yang tidak diinginkan tanpa melukai dan membunuhnya. Ukuran spesies ikan pada suatu badan air dapat dipengaruhi oleh jenis alat tangkap yang digunakan (Wibowo et al., 2008), eksploitasi yang berlebihan akan mengakibatkan berkurangnya kepadatan populasi, mengecilnya ukuran ikan sehingga dapat menurunkan nilai fekunditas dan kehilangan variasi genetik (Wilson & Clarke, 1996). Tingkat Kematangan Gonad dan Indek Kematangan Gonad Pada stasiun muara sungai Sumpur diperoleh ikan betina yang matang gonad (TKG IV) sebanyak 68,37% dan jantan 78,31%, dan di muara sungai Paninggahan diperoleh TKG IV sebanyak 78,31% dan jantan 73,39%. Tingginya persentase tersebut berhubungan dengan sifat pemijahan ikan bilih yang diduga melakukan ruaya dari danau ke sungai. Karakteristik habitat sungai yang sesuai bagi kehidupan ikan bilih yaitu berarus, perairan jernih dan dangkal (20-30 cm), substrat dasar perairan berupa kerikil dan karakal, suhu air antara 24-26oC. Ikan bilih melakukan ruaya dari danau ke sungai adalah untuk memijah. Menurut Raghavana et al. (2011) sungai merupakan salah tempat pemijahan bagi ikan yang beruaya dari danau. Pada umumnya ikan dari Famili cyprinidae di daerah tropis memiliki faktor utama yang mempengaruhi proses pemijahan di perairan sungai adalah arus dan fluktuasi tingginya permukaan air sungai (Haryono, 2006; Dharmadi et al., 2009).
BAWAL Vol. 5 (1) April 2013 : 1-8
Nilai IKG ikan betina pada TKG IV adalah 13,09±1,92 % dan jantan 7,42±1,58 %. Berdasarkan nilai IKG tersebut maka setiap individu ikan bilih dapat memijah sebanyak 34 kali setiap tahun. Menurut Royce (1984) pada umumnya ikan betina dari famili Cyprinidae dapat memijah jika memiliki nilai IKG berkisar antara 10-25% dan jantan 510%. Bagenal (1978) mengemukakan bahwa ikan Cyprinidae yang mempunyai nilai IKG lebih kecil daripada 20% dapat memijah lebih dari satu kali setiap tahunnya.
3. Populasi ikan bilih memijah sepanjang tahun seperti di aliran sungai Sumpur dan Paninggahan serta sungai kecil lainnya yang bermuara ke Danau Singkarak, pemijahan terjadi dari pukul 16.00-24.00 WIB dengan puncak pemijahan terjadi antara pukul 19.00-21.00 WIB. 4. Penciri utama habitat pemijahan ikan bilih adalah perairan jernih, dangkal, berarus, substrat dasar terdiri dari kerikil dan karakal. PERSANTUNAN
Fekunditas dan Habitat Pemijahan Fekunditas ikan bilih berkisar antara 6.907-9.355 butir per ekor dengan bobot tubuh berkisar antara 85,0-110,0 g. Nilai tersebut menunjukkan potensi telur yang dihasilkan untuk suatu pemijahan. Puncak pemijahan terjadi antara pukul 19.00-22.00 WIB, telur yang dipijahkan di kolom air pada sungai yang berarus hanyut ke perairan danau kemudian menetas setelah 20 jam dari waktu fertilisasi dan tumbuh menjadi dewasa. Berdasarkan kriteria kondisi perairan tempat ikan bilih memijah, maka dapat dinyatakan faktor lingkungan yang mempengaruhi pemijahan ikan bilih adalah arus dan substrat dasar. Selain dari faktor arus dan substrat dasar, tingkat turbiditas media penetasan juga mempengaruhi daya tetas telur ikan bilih (Syandri et al., 1996). Berdasarkan hasil analisis komponen utama (PCA), diperoleh nilai ektraksi dari setiap parameter kualitas air. Nilai ektraksi yang mendekati 1,0 merupakan faktor pembeda utama dari parameter kualitas air pada habitat ikan bilih di Danau Singkarak. Berdasarkan nilai tersebut maka kecerahan air, kedalaman dan kecepatan arus merupakan faktor pembeda utama dari habitat ikan bilih. Setiap ikan mempunyai penciri kualitas air pada habitatnya. Menurut (Wibowo et al., 2009) penciri utama habitat ikan Belida (Chitala lopis) di Sungai Kampar dan Siak Propinsi Riau, Sungai Musi di Propinsi Sumatera Selatan, Sungai Tulang Bawang di Propinsi Lampung adalah total padatan terlarut (TDS), dan daya hantar listrik (DHL), sedangkan untuk ikan bujuk (Channa lucius Cuvier) di Danau Singkarak, Mentulik Kampar Riau, dan Pematang Lindung Tanjung Jabung Timur Jambi faktor pembeda utama dari kualitas air adalah kesadahan, alkalinitas dan daya hantar listrik (Azrita, 2012). KESIMPULAN 1. Distribusi ukuran panjang ikan bilih betina berkisar antara 50 -149 mm dan jantan berkisar antara 50-99 mm, ikan betina lebih banyak jumlahnya pada kelompok ukuran antara 60-69 mm (35,16%), sedangkan ikan jantan pada ukuran 50-59 mm (37,23%). 2. Fekunditas ikan bilih berkisar antara 6.907-9.355 butir per ekor dengan bobot tubuh berkisar antara 85,0-110,0 g.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Direktur Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Ditjen Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian ini melalui Skim Penelitian Strategis Nasional. DAFTAR PUSTAKA APHA. 1981. Standard methods for the examination of waters and wastewater. 17th ed. American Public Health Association, American Water Works Association, Water Pollution Control Federation.Washington, D,C. 1.467 p. Azrita, H. Syandri, E.Nugroho, Dahelmi & Syaifullah. 2011. Variasi genetik ikan bujuk (Channa lucius Cuvier) berdasarkan RAPD dari Sumatera Barat, Jambi dan Riau. Berita Biologi. 10 (5): 675-680. Bagenal, T.B. 1978. Aspects of fish fecundity. Ecology of freshwater fish production. Blackwell Scientific Publication. Oxford. p. 75 – 101. Departemen PUTL. 1980. Inventarisasi irigasi, sungai dan danau di Sumatera Barat. Ditjen Pengairan Departemen PUTL RI. Dharmadi, E.S. Kartamihardja, A.D. Utomo & D. Oktaviani. 2009. Komposisi dan fuluktuasi hasil tangkapan tuguk di sungai Lempuing, Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 15 (2): 105-112. Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri Bogor. 112 p. Haryono. 2006. Aspek biologi ikan tambra (Tor tambroides Blkr.) yang eksotik dan langka sebagai dasar domestikasi. Biodiversitas. 7 (2): 195-198. Purnomo. K & M.S.D. Sunarno. 2003. Beberapa aspek biologi ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) di Danau Singkarak. Bawal. 2 (6): 265-271. Puspito. G. 2008. Suatu tinjauan pengukuran selektifitas jaring insang. Jurnal Penelitian Perikanan. 2 (1) : 59-64. 7
H. Syandri, et al./BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 1-8
Raghavana. R, A. Ali, N. Dahanukard & A. Rossera. 2011. Is the Deccan Mahseer, Tor khudree (Sykes, 1839) (Pisces: Cyprinidae) fishery in the Western Ghats Hotspot sustainable. A participatory approach to stock assessment. Fisheries Research. 110 : 29-38. Royce, W. 1984. Introduction to the practice of fishery science . Academic Press Inc. New York. Syandri, H & M.I. Effendie. 1997. Distribusi umur dan pertumbuhan ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) di Danau Singkarak. Terubuk. 67 (XVIII): 2-16. Syandri, H. 1997. Perkembangan oosit dan testis ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) di Danau Singkarak. Fisheries Journal Garing. 2 (6): 1-8. Syandri, H. Agustedi & E. Juita. 1996. Daya kelangsungan hidup telur ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) dalam berbagai turbiditas. Fisheries Journal Garing. 5 (1) : 32- 40. Syandri, H. 2008. Ancaman terhadap plasma nutfah ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) dan upaya pelestariannya di Danau Singkarak. Orasi Ilmiah pada upacara pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta Padang. 25 p. Syandri, H. Y. Basri, N. Aryani & Azrita. 2008. Kajian kandungan nutrisi telur ikan bilih (Mystacoleucus
8
padangensis Blkr) dari limbah hasil penangkapan nelayan di Danau Singkarak. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 13 (1): 118-126. Syandri, H. 2011. Kadar nutrisi limbah telur ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) sebagai sumber ransum pakan ikan. Jurnal Akuakultur Indonesia. 10 (1): 74-80. Syandri, H. Junaidi & Azrita. 2011. Pengelolaan Sumberdaya ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) berbasis kearifan lokal di Danau Singkarak. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 3 (2): 135143. Wasito, H. 1993. Pengantar metodologi Penelitian. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 98 p. Wibowo, A, M. T. D. Sunarno, S. Makmur & Subagja. 2008. Identifikasi struktur stok ikan belida (Chitala spp) dan implikasinya untuk manajemen populasi alami. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14 (1) : 3144. Wibowo, A, M. T. D. Sunarno & S. Makmur. 2009. Parameter fisika, kimia dan biologi penciri habitat ikan belida (Chitala lopis). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 15 (1):13-21. Wilson, D. S & A. B. Clarke. 1996. The shy and the bold. Natural History. 9 (96): 26-28.
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 9-22
KOMPOSISI JENIS, KEPADATAN DAN KEANEKARAGAMAN JUVENIL IKAN PADA PADANG LAMUN GUGUS PULAU PARI SPECIES COMPOSITION, DENSITY AND DIVERSITY OF JUVENILE OF FISH IN THE SEAGRASS BEDS OF PARI ISLAND Isa Nagib Edrus1) dan Sri Turni Hartati2) 1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 27 Juli 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 04 Januari 2013; Disetujui terbit tanggal: 09 Januari 2013 2)
ABSTRAK Penelitian tentang juvenil di padang lamun Pulau Pari pada bulan Juni 2009 bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis, kepadatan dan keanekaragaman juvenil ikan. Sampling dilakukan pada siang hari dengan menggunakan jaring arad. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis ikan yang tertangkap terdiri dari 55 jenis yang berasal dari 42 marga dan 23 suku. Sebanyak 52 jenis (98%) tergolong juvenil. Ikan dengan status penghuni tetap sebanyak 31 jenis, musiman 11 jenis, dan penghuni tidak tetap 14 jenis. Kelompok ikan major terdapat 34 jenis, kelompok ikan target 20 jenis dan kelompok ikan indikator 2 jenis. Kepadatan antar lokasi berkisar antara 0,05 - 0,34 indivdu/m2 dengan ratarata 0,2 individu/m2 atau setara dengan 2.000 ekor per ha. Indeks keanekaragaman (H) berkisar antara 1,3 - 2,7. Jenisjenis yang mendominasi hasil tangkapan antara lain adalah Apogon margaritophorus, A.ceramensis, Acreichthys tomentosus, Halichoeres argus, Lethrinus harax, Papilloculiceps longiceps dan Cheilodepterus quinquelineatus. Tidak terdapat korelasi antara habitat (substrat, jenis, tutupan serta jumlah tegakan lamun/m2) terhadap pola keanekaragaman juvenil ikan. Oleh karena itu perlu sampling yang lebih intensif (siang dan malam hari, saat pasang dan surut), dan sampling di pulau-pulau lainnya yang terdapat di Kepulauan Seribu. KATA KUNCI: Juvenil ikan, keanekaragaman, kepadatan, padang lamun, Gugusan Pulau Pari ABSTRACT This study conducted in the seagrass beds of Pari Islands in June 2009. The aims are to assess the fish juvenile resources in terms of species diversity, stocks, composition, predominant, and group status. Data were collected using an arad net for juvenile. A total of 56 species of fish juveniles belong to 42 genus and 24 families were collected from seagrass bed of Pari Island. Those were consisted of 52 species (98%) that classified as juveniles. Among of them (31 species) were resident fishes that use seagrass in their whole live, 11 species of seasonal/traveller fishes, and 14 species of non-resident fishes. From the total 55 species of fish samples, there were 34 species belonging to target fishes, 20 species were major fishes, and 2 species were indicator fishes. The fish density ranged from 0.05 to 0.34 indivdual/m2 with an average of 0.2 individual/m2 or equivalen to 2.000 fishes per hectare. Diversity indeces (H) ranged from 1.3 to 2.7. Predominant species that prefer seagrass bed as their permanent resident habitat were Apogon margaritophorus, Apogon ceramensis, Acreichthys tomentosus, Halichoeres argus, Lethrinus harax, Papilloculiceps longiceps, and Cheilodepterus quinquelineatus. There are no relationship between habitat (substrates, seagrass species, percentage of cover, density of stems/number of stem/m2) and the diversity of fish juvenile pattern. Therefore, more intensive sampling must be done such as in the day and night time, in the high and low tide condition as well as sampling in other islands within the Seribu Islands. KEYWORDS: Juvenile fishes, diversity, density, seagrass beds, Pari Island
PENDAHULUAN Salah satu ekosistem terpenting yang dijumpai di gugusan Pulau Pari adalah padang lamun. Hamparan lamun dijumpai pada daerah intertidal yang luas dan pada area laguna (goba) yang relatif terendam air terus menerus. Kedua area tersebut merupakan habitat bagi beranekaragam ikan dan biota laut yang selalu berasosiasi dengan vegetasi dan substrat padang lamun. Vagetasi lamun merupakan sumber utama produktivitas primer di
perairan dangkal dan sumber makanan penting bagi banyak organisme laut. Asosiasi biota laut dengan lamun berkaitan dengan beragam fungsi lamun, seperti tempat berlindung, pemijahan mencari makan, dan tempat asuhan anakan/juvenil ikan (Nybakken, 1988). Padang lamun bukan saja penting bagi organisme hidup, tetapi juga menarik sebagai wilayah penelitian. Salah satu hal yang menarik untuk dikaji adalah berkaitan dengan padang lamun sebagai tempat memijah dan asuhan
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung Komplek Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman - Jakarta Utara, Email:
9
I.N. Edrus & S. T. Hartati/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 9-22
bagi beberapa jenis ikan (Whilfield, 1990). Penelitian tentang hubungan ikan dengan kedua fungsi padang lamun telah dilakukan sejak lama sekali sebagai tanda, bahwa begitu pentingnya ekosistem padang lamun sebagai habitat ikan-ikan konsumsi dan bernilai ekonomis (Harada, 1963; Kinuchi, 1966; 1974; Springer & Mc. Erlean, 1962). Penelitian ikan di daerah lamun terkait dengan sturuktur komunitas, model distribusi dan sebaran spasial dan temporal pernah dilakukan di Pulau Osi dan Marsegu Seram Barat (Peristiwady, 1994a; 1994b). Penelitian tentang hubungan antara jarak ruaya dari juvenil ikan yang ditetaskan di laut dan proses pembesaran di padang lamun pernah dilakukan di goba penghalang pantai Australia tenggara, sehingga beberapa jenis juvenil ikan dapat dibagi ke dalam pola ruayanya (Hannan & Williams, 1998).
kapasitas dalam menampung biota laut dan ikan yang sesuai (Unsworth, 2007). Penelitian yang berkaitan antara lamun dan juvenil ikan masih sangat jarang dilakukan. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji sumberdaya juvenil ikan ditinjau dari keanekaragaman, status sediaan, komposisi dan dominasi jenis ikan di daerah padang lamun di gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu.
Penelitian juvenil ikan yang berasosiasi dengan ekosistem padang lamun penting artinya dalam usaha pengelolaan ekosistem tersebut untuk pemanfaatan sumberdaya ikan berkelanjutan dan sekaligus melestarikan fungsi ekologis padang lamun. Padang lamun memiliki
Pengumpulan sampel ikan dilakukan pada siang hari dengan menggunakan jaring arad. Bagian mulut jaring terbuat dari kerangka besi berukuran panjang 1 m dan lebar 1,25 m. Bagian kantung jaring (cod-end) mempunyai ukuran mata 2 mm.
BAHAN DAN METODE Penelitian tentang juvenil ikan dilakukan pada bulan Juni 2009 di beberapa daerah lamun terpilih di sekitar Pulau Pari. Contoh juvenil ikan dikoleksi dari 8 stasiun pengamatan yang ditentukan dengan menggunakan alat GPS (Gambar 1).
Goba (Lagoon) Laut Jawa (Java Sea)
Gambar 1. Figure 1.
Peta Gugusan Pulau Pari dan 8 stasiun sampling pada habitat lamun Map of Pari Islands with 8 sampling stations at seagrass habitat
Kecepatan kapal waktu menarik pukat rata-rata 10 menit pada jarak 50 m. Penarikan jala dilakukan dua kali ulangan. Ikan yang tertangkap disortir dan dihitung jumlah dan beratnya. Identifikasi juvenil ikan menggunakan buku panduan bergambar (Kuiter, 1992; Kuiter & Tonozuka, 2001; Lieske & Myers, 1997). Analisis keanekaragaman menggunakan rumus indeks Shannon Weaver (H) dan indeks dominasi (D) dari Simpson (Ludwig & Reynold, 1988), seperti di bawah ini. }, dimana • Indeks Shannon Weaver H = {(ni/N) ln(ni/N)} ni = jumlah ikan jenis ke i, dan N = total individu ikan untuk semua jenis, H = Indeks Shannon,
10
• Indeks Dominasi D = ∑ {(ni(ni – 1) / (N(N –1)} }, dimana ni = jumlah ikan jenis ke i, dan N = total individu ikan untuk semua jenis. Kepadatan juvenil dihitung berdasarkan jumlah ikan tertangkap dalam area luas sapuan pukat, seperti rumus di bawah ini. • K = Xi/L, dimana K = Kepadatan (individu/m2); Xi : jumlah individu semua jenis ikan yang tertangkap pada stasiun ke i; Li = luas area sapuan pukat pada stasiun ke i (m2). Sediaan juvenil (dalam satuan hektar) dihitung dengan jalan mengkonversikan nilai kepadatan (K) ke dalam satuan
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 9-22
luas area dari total habitat lamun yang tersedia, seperti rumus di bawah ini. • Sediaan = rata-rata Xi * Ó Li-n dimana, Li luas area sapuan pukat pada stasiun ke i) Komposisi jenis (satuan dalam %) dihitung menurut jumlah jenis ikan yang tertangkap per stasiun dibagi dengan jumlah total jenis yang tertangkap dan dikali 100%, seperti rumus di bawah ini. • C = Spi/Spsi* 100%, dimana C : komposisi jenis; Spi : jumlah jenis tertentu yang tertangkap pada stasiun ke i; Spsi : jumlah seluruh jenis yang tertangkap pada stasiun ke i (jika pembagi tersebut merupakan ÓSpsi...n untuk seluruh stasiun, maka nilai C yang didapat merupakan komposisi komulatif). Frekuensi kemunculan jenis dihitung dari jumlah kemunculan setiap jenis dari setiap penangkapan pada setiap stasiun, seperti rumus di bawah ini.
Komposisi Tangkapan dan Jenis Jumlah jenis juvenil ikan dalam 10 besar dominan berturut-turut adalah : 1. Apogon margaritophorus (1123 ekor), 2. Apogon ceramensis (466 ekor), 3. Acreichtys tomentosus (138 ekor), 4. Halichoeres argus (121 ekor), 5. Lethrinus harax (83 ekor), 6. Papilloculiceps longiceps (75 ekor), 7. Cheilodepterus quinquelineatus (74 ekor), 8. Siganus canaliculatus (50 ekor), 9. Siganus virgatus (44 ekor), dan 10. Corythoichtys intestinalis (43 ekor). Ditinjau dari jumlah berat juvenil ikan dalam 10 urutan terberat berturut-turut adalah : 1. Apogon margaritophorus (1.079,3 gram), 2. Apogon ceramensis (751,1 gram), 3. Acreichtys tomentosus (437,5 gram), 4. Leptoscarus vaigiensis (391 gram), 5. Siganus canaliculatus (370,7 gram), Siganus virgatus (256,8 gram), 6. Triecanthus sp. (171,5 gram), 7. Halichoeres argus (170,8 gram), 8. Centrogenys vaigiensis (165,8 gram), 9. Cheilodepterus quinquelineatus (162 gram), dan 10. Siganus guttatus (148,6 gram). Kepadatan dan Kelimpahan
• F = ISpi/ÓISpi...n * 100% , dimana, ISpi : jumlah kemunculan jenis ikan tertentu setiap kali penarikan pukat pada stsiun ke i; ÓISpi : total kemunculan dari seluruh jenis pada stasiun ke i (jika pembagi tersebut merupakan ÓISpi...n untuk seluruh stasiun, maka nilai F yang didapat merupakan frekuensi komulatif). HASIL DAN BAHASAN HASIL Jumlah individu dan biomasa ikan yang tertangkap dengan menggunakan pukat arad menurut lokasi sampling dan jenis ikan disajikan pada Tabel Lampiran 1. Secara total diperoleh 2.589 ekor individu (spesimen) juvenil ikan yang tergolong atas 55 jenis yang mewakili 42 marga (genus) dan 23 suku (famili) serta 1 jenis udang, yaitu Penaeus sp. (jenis udang tersebut tidak diikut sertakan dalam perhitungan selanjutnya). Analisis data jumlah individu dan biomasa tersebut menggambarkan sifat-sifat kepadatan, komposisi, frekuensi kemunculan, kelompok juvenil ikan, stadium ikan, kelimpahan dan status penghunian menurut jenis. Hasil analisa dirangkum pada Tabel Lampiran 2. Analisis data yang menggambarkan karakteristik habitat (substrat dasar, jenis, tutupan dan jumlah tegakan lamun), populasi (jumlah jenis, jumlah individu, berat masing-masing jenis dan kepadatannya), dan indeks keanekaragaman (indeks keanekaragaman jenis dan indeks dominasi populasi) menurut lokasi sampling disajikan pada Tabel Lampiran 3.
Ditinjau dari lokasi (stasiun) sampling, jumlah individunya (spesimen) tertinggi ditemukan pada St. 1 (391 individu), St. 8. (596 individu), St. 7 (550 individu), St. 4 (374 individu) dan St. 6 (310 individu). Bobot ikan tertinggi juga dijumpai pada St.1 (1.858 gram), disusul St. 4 (974 gram), St. 7 (851 gram, St. 8 (637 gram) dan St. 6 (525 gram) (Tabel Lampiran 1). Kepadatan juvenil ikan antar stasiun pengamatan berkisar antara 0,05 individu/m2 sampai 0,34 indivdu/m2 dengan rata-rata 0,2 individu/m2. Hal ini berarti bahwa sediaan sumberdaya juvenil diasumsikan sebesar 2.000 ekor per hektar atau setara dengan 70,4 kg per hektar. Kepadatan ikan tertinggi dijumpai pada St. 1 (0,34 juvenil ikan/m2), disusul St. (0,22 juvenil ikan/m2), St. 8 (0,21 juvenil ikan/m2), St. 7 (0,20 juvenil ikan/m2) dan St. 2 dan 6 (0,19 juvenil ikan/m2) (Tabel Lampiran 2). Persentasi kelimpahan juvenil ikan untuk seluruh lokasi sampling berkisar antara 0,002% (terendah) hingga 39,979% (tertinggi). Juvenil ikan yang memiliki persentasi kelimpahan tertinggi adalah Apogon margaritophorus (39,98%), disusul A. ceramensis (9,93%), Acreichtys tomentosus (3,26%), Halichoeres argus (2,29%), dan Fusigobius longipinnis (1,30%), sedangkan sisanya memiliki persentasi kelimpahan < 1% (Tabel Lampiran 2). Indeks Keanekaragaman Indeks keanekaragaman jenis (indeks H) berkisar antara 1,3 – 2,7. St. 1 memiliki nilai tertinggi (2,7) disusul St. 5 (2,3), St. 4 (1,6) dan St. 6 (1,5). Stasiun lainnya memiliki nilai < 1,5. Ditinjau dari lokasi (stasiun) sampling, keaneka11
I.N. Edrus & S. T. Hartati/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 9-22
ragaman jenis juvenil ikan tertinggi terdapat di St. 1 (34 jenis), disusul St. 4 (22 jenis), St. 8 (21 jenis), St. 7 (20 jenis) dan St. 2 dan St. 6 (19 jenis), indeks dominasi (D) berkisar antara 0,11 – 0,52 dengan nilai tertinggi berdada di St. 2 (0,52), disusul St. 6 (0,40), St. 7 (0,38) dan St. 8 (0,37), sisanya stasiun lain memiliki nilai < 0,3. Frekuensi Kehadiran/Kemunculan Dari 55 jenis juvenil ikan yang tertangkap, 10 jenis diantaranya yang memiliki frekuensi kehadiran kumulatif tertinggi adalah : Apogon margaritophorus (7,12%), disusul Acreichthys tomentosus (4,73%), Papilloculiceps longiceps (4,73%), , Fusigobius longipinnis (4,27%), Apogon Ceramensis (4,26%), Canterines forticintus (4,25%), Cheilodepterus quinquelineatus (4,25%), Halichoeres argus (3,79%), Siganus guttatus (3,78%), Siganus virgatus (2,84%) dan Lethrinus lencam (2,84%). (Tabel Lampiran 2). Diantara ikan-ikan tersebut yang tertangkap di setiap stasiun adalah A. Margaritophorus dan Cheilodepterus quinquelineatus dari famili Apogonidae, A. Tomentosus dan Canterines forticintus dari famili Monacanthidae dan Papilloculiceps longiceps dari famili Platycephalidae. Kelompok Juvenil dan Status Penghunian Habitat Dari 55 jenis yang tertangkap, kelompok ikan mayor (M) terdapat 34 jenis, kelompok ikan target (T) 20 jenis dan kelompok ikan indikator (I) 2 jenis. Kelompok ikan terget yang ekonomis tinggi di antaranya kerapu (Serranidae), kakap (Lutjanidae), lencam (Lethrinidae), biji nangka (Mullidae), baronang (Siganidae), kakatua (Scariidae), dan kapas-kapas (Gerreidae). BAHASAN Komposisi Tangkapan dan Jenis Jumlah spesimen (2.589 ekor) dan jenis ikan (23 Suku, 24 genus & 55 species) yang tertangkap di padang lamun gugusan Pulau Pari tidak dapat diperbandingkan begitu saja dengan hasil penelitian lain, yaitu apakah lebih tinggi atau lebih rendah, karena tiap-tiap padang lamun memiliki kompleksitas tersendiri dan spesifik dari sisi lingkungan vegetasi dan perairan (Unsworth et al., 2007). Penelitian Peristiwady (1994a) selama 3 bulan di Pulau Osi dan Marsegu (Seram Barat) masing-masing diperoleh 61.897 dan 56.207 spesimen dengan jumlah jenis masing-masing 170 dan 163 spesies serta 52 dan 46 suku. Penelitian Hannan & Williams (1998) selama setahun di goba penghalang pantai Australia Tenggara menemukan 80 spesies juvenil ikan dari 39 suku. Jenis tersebut berasal dari suku terbesar yaitu Gobiidae, Monacanthidae, Syngnathidae, Tetraodontidae, Mugilidae, Atherinidae, Clupeidae, Mullidae, Sparidae, dan Blenniidae. Ambassis 12
jacksoniensis, Atherinomorus ogilbyi, dan Gerres subfasciatus mendominasi tangkapan, yaitu 46% dari seluruh jumlah individu. Penelitian Whitfield (1994) hanya menemukan 18 jenis dari 7 suku di wilayah estuaria yang didominasi oleh suku Mugilidae. Jumlah tangkapan dan jenis dari lokasi yang berbeda menunjukkan bervariasi karena banyak faktor yang berpengaruh, seperti cara penangkapan, waktu penangkapan, jenis vegetasi, dan faktor fisik perairan dan lingkungan. Suhu, kekeruhan, salinitas, waktu pasang surut, vegetasi, dan substrat dipercaya berpengaruh pada jenis dan kelimpahan juvenil ikan di suatu lokasi (Cyrus & Blaber, 1987; Unsworth et al., 2007, Whitfield, 1994). Sebanyak 52 (98%) jenis ikan yang tertangkap di gugusan Pulau Pari tergolong stadium juvenil. Kriteria juvenil ditentukan berdasarkan perbandingan ukuran ikan tertangkap dibanding dengan ukuran stadium dewasanya yang tercantum pada buku identifikasi ikan (Kuiter, 1992; Kuiter & Tonozuka, 2001; Lieske & Myers, 1997). Ikan yang tertangkap di Pulau Pari diperoleh dari pada lamun dengan 4 jenis lamun, yaitu jenis Enhalus acoroides, Thalasia hemprichii, Halophyla ovalis dan Cymodocea rotundata dengan persentasi tutupan lamun berkisar 70100% dan tegakan antara 30-185 tegakan/m2. Substrat dasar terdiri atas pasir, pasir-lempung dan pasir-lumpur (Tabel Lampiran 3). Komposisi jenis ditemukan berbeda antar wilayah yang berbeda. Penelitian Whitfield (1994) di wilayah estuaria Afrika Tenggara menemukan bahwa kelompok juvenil ikan belanak (suku Mugilidae) mendominasi hasil tangkapan. Komposisi juvenil di wilayah estuaria tersebut terdiri atas 7 suku dan 18 jenis, yaitu Carangidae 0,06% (Lichia amia), Elopidae 0,03% (Elops machnata), Haemulidae 0,22% (Pomadasys olivaceum), Mugilidae 96% (Crenimugil crenilabis, Liza dumerilii, Liza rihardsonii, Liza tricuspidens, Mugil cephalus, Myxus capensis, Valamugil buchanani), Soleidae 0,2% (Heteromycteris capensis, Solea bleekeri), Sparidae 3,4% (Diplodus sargus capensis, Lithognathus lithognathus, Rhabdosargus globiceps, Rhabdosargus holubi, Sarpa salpa), dan Ponidae 0,1% (Terapon jarbua). Kepadatan dan Kelimpahan Penelitian Whitfield (1994) di wilayah estuaria Afrika Tenggara yang mendapat pengaruh air tawar menemukan kepadatan yang bervariasi untuk ketiga wilayah estuaria, yaitu terendah 0,05 individu/m2 dan tertinggi antara 0,28 dan 0,29 individu/m2. Kepadatan yang tertinggi ditemukan pada juvenil dari suku Mugilidae yang terdiri dari 7 jenis dan Soleidae yang terdiri dari 5 jenis. Menurut Whitfield (1994) beberapa faktor yang mempengaruhi kelimpahan pada tingkat paling dini dari siklus hidup ikan adalah besaran salinitas, suhu air, dan tingkatan kekeruhan.
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 9-22
Indeks Keanekaragaman
Frekuensi Kehadiran/Kemunculan
Odum (1975) menyebutkan bahwa tingginya keanekaragaman di suatu habitat adalah suatu petunjuk tentang beragam jenis dalam suatu komunitas dapat tumbuh berkembang bersama tanpa adanya kondisi yang saling menghambat dan kondisi seperti ini dikategorikan sehat, menyenangkan serta layak untuk beragam jenis tersebut hidup dan berkembang. Sebaliknya, ketika kondisinya menurun menjadi kurang baik atau menjadi lebih buruk, biasanya timbul satu atau lebih jenis yang mendominasi komunitas karena jenis tersebut mampu bertahan dan berkembang, sehingga nilai keanekaragaman jenis menjadi menurun. Contohnya, stasiun 1 menunjukkan indeks jenis yang tertinggi (3,4), sedangkan indeks dominannya terendah (0,11). Sebaliknya, St. 2 memiliki indeks keanekaragaman terendah (1,3), namun nilai indeks dominannya tertinggi (0,52). Jadi kedua indeks menunjukkan hubungan terbalik. Indeks dominasi yang tinggi menunjukkan adanya dominasi suatu spesies (jenis) tertentu yang akan menyebabkan keanekaragaman jenis menjadi rendah. Walaupun terlihat adanya pola indeks ekologi yang saling berlawanan antara St.1 da St. 2, namun jika ditinjau dari habitatnya dapat dikatakan kedua stasiun memiliki habitat yang relatif sama, yaitu substrat dasar kedua stasiun adalah pasir berlempung dengan jenis lamun monospesifik (hanya satu jenis), Enhalus acoroides, dan persentasi tutupannya sama, 90 %, kecuali jumlah tegakan lamun yang berbeda, dimana St. 1 terdapat 155 tegakan lamun/m2, sedangkan di St. 2 hanya ada 122 tegakan lamun/ m2 (Tabel Lampiran 3). Stasiun 6 memiliki substrat yang sama, jenis lamun monospesifik yang sama dengan St. 1 dan St. 2, sedangkan persentasi tutupannya (100%) dan jumlah tegakan/m2 (185 tegakan/m2) lebih tinggi, namun memiliki nilai indeks keaneka-ragaman jenis yang rendah (1,5) dan indeks dominan yang tinggi (0,4) mirip seperti St. 2 (Tabel Lampiran 3). Lebih lanjut, di St. 5 terdapat 4 jenis lamun, di St. 4 ada 3 jenis lamun dan di St. 7 dan St. 8 masing-masing ada 2 jenis lamun, dimana stasiun-stasiun tersebut diasumsikan seharusnya memiliki indeks keanekaragaman jenis juvenil ikan yang juga tinggi, karena habitatnya lebih bervariasi. Jadi, dari hasil kajian ini tampak bahwa habitat (substrat, jenis, tutupan serta jumlah tegakan lamun/m2) belum dapat mengindikasikan pola keanekaragaman jenis juvenil ikan. Oleh karena itu perlu sampling yang lebih banyak lagi, tidak saja di Gugusan Pulau Pari, namun juga pada padang lamun di pulau-pulau lainnya yang ada di Kepulauan Seribu. Disamping itu, waktu sampling juga perlu dirancang dalam kaitannya dengan sampling malam atau siang dan sampling saat pasang atau surut untuk mengkaji pengaruhnya. Perlakuan tersebut menurut Peristiwady, (1994a&b) tidak saja berpengaruh pada hasil tangkapan tetapi berpengaruh pada variabilitas komunitas ikan padang lamun dari tangkapan dengan menggunakan pukat pantai.
Jenis-jenis Apogon margaritophorus, Acreichthys tomentosus, Papilloculiceps longiceps, Fusigobius longipinnis, Apogon ceramensis, Canterines forticintus, Cheilodepterus quinquelineatus, Halichoeres argus, Siganus guttatus, Siganus virgatus dan Lethrinus lencam memiliki probilitas tinggi untuk tertangkap dalam area padang lamun, karena seluruh jenis tersebut adalah benarbenar (100%) ikan penghuni tetap padang lamun, dimana fase juvenilnya juga terdapat di padang lamun. Jenis-jenis tersebut menyenangi area padang lamun dan bahkan dalam masa hidupnya dihabiskan di dalam area tersebut sebagai area asuhan, berlindung, bertelur, dan menemukan makannya (Whitfield, 1990 & Peristiwady, 1994b). Kelompok Juvenil dan Status Penghunian Habitat Tiga kelompok juvenil ikan yang ditemukan dari hasil tangkapan digolongkan dalam kelompok mayor, target dan indikator, yaitu penggolongan yang sama untuk komunitas ikan-ikan di terumbu karang (English et al., 1994). Juvenil dari kelompok ikan mayor dan ikan terget adalah yang terbanyak seperti juga biasa terdapat pada ekosistem terumbu karang, sedangkan kelompok ikan indikator sangat sedikit sekali dan tidak seperti biasa yang ditemukan di area karang. Ikan mayor terbagi atas 2 kelompok, yaitu yang berstatus penghuni tetap dan tidak tetap (Tabel Lampiran 2). Ikan penghuni tetap padang lamun antara lain Apogon margaritophorus, Apogon ceramensis, Acreichtys tomentosus, Cheilodepterus quinquelineatus, Halichoeres argus, Fusigobius longipinnis, Istigobius ornatus, Papilloculiceps longiceps. Ikan mayor bukan penghuni tetap, dimana pada fase dewasa ikan-ikan ini adalah ikan penghuni terumbu karang, seperti famili Pomacentridae, yaitu Amblyglyphydodon curacao, famili Labridae, dengan jenis Cheilinus trilobatus, Choerodon anchorago, dan Pseudojuloides sp., serta famili Tetraodontidae dengan jenis Arothron mappa. Juvenil ikan yang tergolong dalam kelompok ikan terget ekonomis tinggi, seperti kerapu, kakap, lencam, biji nangka, baronang, kakatua dan kapas-kapas, selalu dijumpai di padang lamun. Menurut Unsworth (2007), jenis-jenis ikan ekonomis penting tersebut biasanya memilih padang lamun sebagai tempat pemijahan dan pembesaran serta mencari makan, sehingga berstatus sebagai ikan musiman atau penghuni tidak tetap (Tabel Lampiran 2). Ikan-ikan sebagai penghuni tidak tetap biasanya setelah dewasa bermigrasi kembali ke ekosistem terumbu karang, kecuali kelompok ikan kapas-kapas (Gerreidae) yang memilih menetap di padang lamun. Unsworth (2007) menyebutkan bahwa padang lamun memainkan peranan tersendiri sebagai koridor dari banyak jenis ikan yang keluar masuk 13
I.N. Edrus & S. T. Hartati/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 9-22
dari ekosistem sekitarnya seperti mangrove dan terumbu karang, sehingga kekayaan jenis dan kelimpahan ikan di padang lamun juga bergantung pada ada tidaknya ke dua ekosistem tersebut di sekitarnya. Kehadiran ikan indikator dengan banyak jenis dan jumlah adalah biasa digunakan sebagai petunjuk kesehatan karang (Edrus et al., 2007), sedangkan pada padang lamun kehadiran juvenil ikan indikator hanya 2 jenis. Ikan kelompok indikator yang umumnya menyukai terumbu karang, ternyata dua jenis di antaranya beradaptasi dan menaruh anakannya di padang lamun, dimana setelah dewasa tidak pergi jauh dari perairan padang lamun, walaupun dewasanya dari jenis Parachaetodon ocellatus dan Chaetodon rostratus sering pula dijumpai di perairan terumbu karang yang memiliki kecerahan rendah (agak keruh). Jadi dari total 55 jenis ikan yang diperoleh, ikan dengan status tetap sebanyak 31 jenis, musiman 11 jenis, dan penghuni tidak tetap 14 jenis (Tabel Lampiran 2). Hal ini membuktikan bahwa padang lamun merupakan ekosistem yang penting bagi anakan ikan. Sebagian besar sampel (98%) yang merupakan juvenil ikan memang memilih padang lamun sebagai tempat tinggal permanen dan sebagian lainnya secara musiman menempatkan telur di padang lamun untuk kemudian tumbuh dewasa dan bermigrasi kembali ke ekosistem perairan terumbu karang dan/atau perairan dalam. Penelitian Hannan & Williams (1998) menemukan bahwa 47,5 % juvenil ikan ditetaskan pada goba, 40% juvenil berasal dari telur yang ditetaskan di luar goba, khususnya di pintu-pintu masuk goba, kemudian masuk kembali ke goba untuk tumbuh, dan sisa 10% tidak diketahui dimana penetasannya. Padang lamun juga memberikan kontribusi 36 % dalam menghasilkan ikan-ikan konsumsi bernilai ekonomis. Selebihnya merupakan kelompok ikan major yang berukuran kecil dan berasosiasi secara kuat dengan padang lamun, dimana sebagian dari kelompok ikan ini menempati tingkat tropik bawah sebagai mangsa yang menarik ikan-ikan dewasa masuk ke padang lamun untuk mencari makan. Seperti dinyatakan Unsworth (2007), bahwa sejumlah besar ikan predator masuk ke padang lamun sebagai akibat dari fungsi pasang surut air laut yang mana kelimpahan ikan meningkat 45 % dari siang ke malam dan 30 % dari surut rendah ke surut tertinggi hanya untuk mencari makanan berupa udang dan ikan kecil. Secara umum, jumlah jenis ikan juvenil yang hadir di padang lamun pulau Pari masih sedikit jika dibandingkan dengan perairan padang lamun lain seperti di Seram Barat (Peristiwadi, 1994ab), walaupun alat sampling yang digunakan berbeda. Begitu juga keanekaragaman ikan di padang lamun masih di bawah keanekaragaman ikan di
14
terumbu karang, tetapi banyak dari jenis ikan di terumbu karang justru menaruh telurnya di padang lamun, antara lain seperti ikan sembilang (Plotosus lineatus), kerapu (Cephalopholis spp; Epinephelus merra), kakap (Lutjanus carponatus), baronang (siganus argenteus), betok (Amblyglyphidodon curacao), dan lain-lain. Sediaan juvenil ikan di padang lamun pulau Pari sebesar 2.000 ekor per hektar adalah tergolong tinggi. Menurut Unsworth (2007) dari hasil penelitian di Taman Nasional Laut Wakatobi, kepadatan sebesar itu adalah untuk tipe padang lamun dengan kompleksitas tinggi. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Pada padang lamun di sekitar goba Gugusan Pulau Pari terdapat sedikitnya 55 jenis, dimana 98 % dari jenis itu tergolong juvenil ikan dengan kepadatan rata-rata 0,2 individu/m2. Jenis Apogon margaritiphorus (famili Apogonidae) adalah ikan yang mendominasi tangkapan. 2. Indeks keanekaragaman jenis dan indeks dominasi juvenil ikan di padang lamun Gugusan Pulau Pari relatif rendah, dimana tidak terlihat adanya pola hubungan erat antara habitat lamun berupa substrat dasar, jenis lamun, persentasi tutupan lamun dan jumlah tegakkan lamun/m2 terhadap indeks ekologi. 3. Ditinjau dari frekuensi kehadiran/kemunculan kumulatif ikan, 10 jenis juvenil ikan teratas seluruhnya (100%) adalah ikan penghuni tetap ekosistem lamun. Secara keseluruhan data frekuensi kehadiran kumulatif menunjukkan bahwa terdapat 55% juvenil ikan penghuni tetap, 20% penghuni musiman, dan 25% penghuni tidak tetap. 4. Kelompok juvenil ikan yang mendominasi komunitas ikan lamun adalah kelompok ikan major (61%), disusul kelompok ikan target atau ikan konsumsi (36%) dan terendah ikan indikator (3%). SARAN-SARAN 1. Keberadaan dan kesehatan padang lamun di gugusan Pulau pari harus dijaga dengan baik. 2. Perlu penetapan zona perlindungan di wilayah goba Pulau Pari yang sebagian besar mempunyai habitat padang lamun. DAFTAR PUSTAKA Cyrus, D.P. & S.J.M. Blaber. 1987. The influence of turbidity on juvenile marine fish in the estuaries of Natal, South africa. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. 7 (11) : 1411–1416.
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 9-22BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 9-22
Edrus, I.N., Y. Siswantoro, & I. Suprihanto. 2007. Jenisjenis dan kepadatan ikan karang di pulau Penata besar, Lemukutan, dan pulau Kabung, Perairan Kalimantan Barat. Jur. Pen. Perikanan Indonesia. 13 (1) : 21 – 34.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (Terj. Muhammad, Eidman, Koessoebiono, Dietriech G.B., Malikusworo Hutomo dan Sukristijono). Penerbit PT. Gramedia, Jakarta. 480 p.
English, S., C. Wilkinson & V. Baker.1994. Survei Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia.
Odum, E.P. 1975. Fundamental of Ecology. E.B. Sounders Co., Philadelphia. 574 p.
Hannan, J.C. & R. J. Williams. 1998. Recruitment of Juvenile Marine Fishes to Seagrass Habitat in a Temperate Australian Estuary. Estuaries, Coastal and Estuarine Research Federation Publ. 21 (1): 29-51. Harada, E. 1963. A contribution to the biology of the black rockfish, Sebastews inermis, Cuvier and Valenciennes. Publ. Seto Mar. Biol. Lab. 10 : 309-362.
Peristiwady, T. 1994a. Ikan-ikan di padang lamun pulau Osi dan pulau marsegu, Seram Barat : I. Struktur Komunitas. Perairan Maluku dan Sekitarnya. 7: 35 – 52. Peristiwady, T. 1994b. Ikan-ikan di padang lamun pulau Osi dan pulau marsegu, Seram Barat : II. Model distribusi dan sebaran spasial-temporal. Perairan Maluku dan Sekitarnya. Vol 7 P3O-LIPI Ambon. p. 53 – 62.
Kinuchi, T.1966. An ecological study on animal communities of the Zostera marina belt in Tomioka Bay, Amakusa, Kyushu. Publ. Amakusa Mar. Biol. Lab. 1 (1): 1 – 106.
Springer, V.G. & A.J. Mc. Erlean. 1962. Seasonality of fishes on South Florida shore. Bull. Mar. Sci. Gulf Caribb. 12 (1): 39 – 60.
Kinuchi, T. 1974. Japanese contributions on consumer ecology in eelgrass (Zostera marina L.) beds, with special reference to trophic relationships and resources in inshore fisheries. Aquaculture. 4 (2): 161 – 176.
Unsworth, RK.F. 2007. Aspects of the ecology of IndoPacific seagrass systems. A thesis submitted for the degree of doctor of philosophy Department of Biological Science, University of Essex. 200 p.
Kuiter, R.H. 1992. Tropical Reef-Fishes of the Western Pacific Indonesia and Adjacent Waters. Gramedia, Jakarta.
R.K.F. Unsworth, J.J. Bell & D.J. Smith. 2007. Tidal fish connectivity of reef and sea grass habitats in the IndoPacific. Jour. Mar. Biol. Ass. U.K. 87: 1287 – 1296.
Kuiter, R.H. & T. Tonozuka. 2001. Pictorial guide to Indonesian Reef Fishes. Zooneticspo Publ., Australia, 859 p.
Whitfield. A. K. 1990. Life-history styles of fishes in South African estuaries. Environ. Biol. Fish. 28: 295- 308.
Lieske, E. & R. Myers. 1997. Reef Fishes of the World. Periplus Edition. Jakarta, Indonesia.
Whitfield, A.K. 1994. Abundance of larval and 0+ juvenile marine fishes in the lower reaches of three southern African estuaries with differing freshwater inputs. Mar. Ecol. Prog. Ser. 105 (3): 257-267.
Ludwig, J.A. & J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. A Primer on Methods and Computing. Jhon Wiley & Son, New York. 337 p.
15
16
SYNGNATHIDAE 2 Corythoichtys intestinalis 3 Synghatoides biaculeatus
PLATYCEPHALIDAE 4 Papilloculiceps longiceps
CENTRISTIDAE 5 Aeliscus strigatus
SERRANIDAE 6 Centrogenys vaigiensis 7 Cephalopholis sp 8 Cromileptes altivelvis 9 Ephinephelus merra
TERAPONIDAE 10 Terapon Pelates Quadrilineatus
NEMIPTERIDAE 11 Scolopsis cilliata
II
III
IV
V
VI
VII
VIII APOGONIDAE 12 Apogon albimaculosus 13 Apogon ceramensis 14 Apogon margaritophorus 15 Apogon sp2 16 Apogon sp3 17 Apogon sp5 18 Cheilodepterus quinquelineatus 19 Fowleria variegata 20 Sphaeremia orbicularIs
PLOTOSIDAE 1 Plotosus lineatus
I
JENIS (SPECIES )
7 99 8 8 4 41 6
1
0,6 102,7 38,8 45,3 19,9 105,9 14,0
28,8
57,7
48,6
1 5
84,1 22,3
6,7
1,3
18,5 11,8
gram gram
4 1
3
1
10 2
ekor Ind.
1
7,4 33,8 110,8
10,3 30,1
7 3
3,2
0,3
27,6
gram gram
1 6 130
1
1
12
ekor Ind.
2
12
1
14
ekor Ind.
3
14,3
18,6
30,2
gram gram
2
180
1
2
44
1
2
1,0
274,1
3,7
52,9
15,9
7,5
0,3
9
1 36
13
4
26,5
2,5 31,4
7,6
17,9
1
195 49
8
1
0,1
300,0 38,9
6,4
13,2
LOKASI STASIUN (STUDY SITES ) 4 5 6 ekor gram ekor gram ekor gram Ind. gram Ind. gram Ind. gram
2
82 319
2
1
5
ekor Ind.
Tabel Lampiran 1. Hasil tangkapan ikan juvenil di masing-masing stasiun pada Gugusan Pulau Pari menggunakan pukat arad Appendix Table 1. Catch of fish juvenile by station using arad net in the Pari Island 7
4,2
101,5 285,5
19,3
28,8
1,2
gram gram
175 309
1
1
3
2
ekor Ind.
8
312,7 217,3
4,5
7,0
1,2
4,2
gram gram
1,0 466,0 1123,0 8,0 8,0 4,0 74,0 6,0 3,0
2,0
8,0
7,0 1,0 1,0 2,0
3,0
75,0
43,0 3,0
2,0
7,4 751,1 1079,3 38,8 45,3 19,9 162,3 14,0 30,1
33,3
80,7
165,8 22,3 3,2 55,6
6,7
33,9
111,6 19,3
0,3
Jumlah (Total ) ekor gram Ind. gram
I.N. Edrus & S. T. Hartati/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 9-22
LETTHRINIDAE 22 Lethrinus harax 23 Lethrinus Lentjan 24 Lethrinus ornatus 25 Lethrinus sp
MULLIDAE 26 Upeneus tragula
CHAETODONTIDAE 27 Chaetodon rostratus 28 Parachaetodon ocellatus
POMACENTRIDAE 29 Amblyglyphydodon curacao 30 Dischistodus melanotus 31 Dischistodus prosopotaenia
X
XI
XII
XIII
3,7
2
1
10,5
82,5
1
1
1
ekor Ind.
XVII BLENNIDAE 44 Petroscirtes variabilis
15
2
43,3
15,8 48,8 35,8
23,4
13,2
63,3
gram gram
9
SCARIDAE 38 Hipposcarus longiceps 39 Leptoscarus vaigiensis 40 Scarus ghoban
2
2 5 2
5
2
5
ekor Ind.
1
XVI GOBIIDAE 41 Amblygobius palaenia 42 Fusigobius longipinnis 43 Istigobius ornatus
XV
XIV LABRIDAE 32 Cheilinnus trilobatus 33 Choerodon anchorago 34 Halichoeres chloropterus 35 Halichoeres argus 36 Pseudojuloides sp 37 Thalassoma amblyghchephalum
LUTJANIDAE 21 Lutjanus carponatus
IX
JENIS (SPECIES )
Sambungan (Continued ) 2
5,8
11,7
2,2
6,8
2,4
gram gram
ekor Ind.
3 gram gram
1
18
0,8
9,9
391,0
0,4
1
2
130,8
2,3
1,3
2,2
2,0 13,9
94
1
1
1
1 4
8
1
2 17
2
1
3
7,7
0,2
21,0 23,4
20,6
6,0
25,8
9 12
7
1 5
2
3
4 1
6,1 5,2
34,2
6,4 4,7
5,6
6,8
2,9 6,0
LOKASI STASIUN (STUDY SITES ) 4 5 6 ekor gram ekor gram ekor gram Ind. gram Ind. gram Ind. gram
11 3
9 3 1 1
1
ekor Ind.
7
6,7 2,1
49,9 6,6 1,1 7,5
2,2
gram gram
1
1
1
4
2
1
1
1
1
1
79 5
ekor Ind.
8
0,2
3,4
1,3
12,0
5,3
3,7
4,9
1,0
3,9
2,7
7,9 15,5
gram gram
4,0
1,0 61,0 25,0
2,0 2,0 10,0
2,0 2,0 12,0 121,0 1,0 6,0
3,0 8,0 4,0
1,0 6,0
5,0
83,0 14,0 1,0 9,0
1,0
10,3
3,4 40,9 19,2
2,4 391,0 118,0
6,0 43,3 77,3 170,8 1,1 19,9
22,6 56,6 42,0
2,2 24,4
37,7
10,8 110,6 2,0 29,4
2,4
Jumlah (Total ) ekor gram Ind. gram
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 9-22
17
18
MONACANTHIDAE 51 Acreichthys tomentosus 52 Cantherhines fronticintus
TETRAODONTIDAE 53 Arothron mappa
TRIACHANTIDAE 54 Triachantus sp.
XX
XXI
XXII
XXIII GERREIDAE 55 Gerres oyena
SOLEIDAE 50 Pardachirus pavoninus
XIX
XVIII SIGANIDAE 45 Siganus argenteus 46 Siganus canaliculatus 47 Siganus fuscescens 48 Siganus gutattus 49 Siganus virgatus
JENIS (SPECIES )
Sambungan (Continued )
21
29
1
27,0
171,5
12,5
0,8
54,0 240,3
8 38
1
370,0
gram gram
49
ekor Ind.
1
1 1
2
1 2
ekor Ind.
2
4,3 5,1
20,4
8,5 15,6
gram gram
24 14
ekor Ind.
3
62,3 47,6
gram gram
8 4
3
2 1
45,7 16,4
0,2
1,2 0,7
6 2
3
9
22,3 7,7
68,0
14,2
4 2
2
1
15,7 11,0
4,7
53,2
LOKASI STASIUN (STUDY SITES ) 4 5 6 ekor gram ekor gram ekor gram Ind. gram Ind. gram Ind. gram
94 1
2
3 4 1
ekor Ind.
7
278,2 9,5
26,0
9,5 7,5 0,7
gram gram
1 2
4
ekor Ind.
8
9,0 8,5
11,2
gram gram
21,0
29,0
1,0
138,0 26,0
10,0
2,0 50,0 3,0 27,0 44,0
27,0
171,5
12,5
437,5 105,8
119,9
1,2 370,7 9,5 148,6 256,8
Jumlah (Total ) ekor gram Ind. gram
I.N. Edrus & S. T. Hartati/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 9-22
SYNGNATHIDAE 2 Corythoichtys intestinalis 3 Synghatoides biaculeatus
PLATYCEPHALIDAE 4 Papilloculiceps longiceps
II
III
0,01
VII NEMIPTERIDAE 11 Scolopsis cilliata
0,035 0,005 0,005 0,01 0,04
SERRANIDAE 6 Centrogenys vaigiensis 7 Cephalopholis sp 8 Cromileptes altivelvis 9 Ephinephelus merra
0,015
0,375
0,215 0,015
0,01
VI TERAPONIDAE 10 Terapon Pelates Quadrilineatus
V
IV CENTRISTIDAE 5 Aeliscus strigatus
PLOTOSIDAE 1 Plotosus lineatus
KEPADATAN (Density ) (m2)
0,08
0,31
0,27 0,04 0,04 0,08
0,12
2,90
1,66 0,12
0,08
0,59
1,43
2,94 0,40 0,06 0,99
0,12
0,60
1,98 0,34
0,01
0,94
1,89
2,37 0,47 0,47 0,94
0,47
4,73
3,3 0,94
0,47
2
4
5 1 1 2
1
10
7 2
1
FREKUENSI (FREQUENCY) KOMPOSISI (Composition ) Komulatif Individu Individual Biomassa Commulative Individual (%) (%)
T
T
M T T T
M
T
M M
T
Juvenil
Dewasa
Juvenil Juvenil Juvenil Juvenil
Dewasa
Juvenil
Dewasa Dewasa
Juvenil
KELOMPOK STADIUM (Age Phase ) IKAN Fish Group
0,009
0,076
0,083 0,002 0,002 0,009
0,007
1,774
0,710 0,014
0,005
KELIMPAHAN (Abundance ) (%)
Musiman
Tetap
Tetap Tidak tetap Tidak tetap Musiman
Tetap
Tetap
Tetap Musiman
Tidak tetap
STATUS PENGHUNI (Resident Status )
Data kumulatif dari jumlah total dan berat, kepadatan, persentasi komposisi jenis, frekuensi kehadiran, kelompok ikan (target, indikator, mayor), persentasi kelimpahan, fase umur (juvenile dan dewasa) dan status residen dari juvenil ikan yang tertangkap di padang lamn Gugusan Pulau Pari Commulative data of total number and weight, density, percentage of composition, frequency of occurance, fish groups (target, indicator, major species), percentage of abundance, age phase (juvenile and adult) and resident status of juvenile fish caught in the seagrass bed of Pari Islands
I
JENIS (SPECIES)
Appendix Table 2.
Tabel Lampiran 2.
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 9-22
19
20 0,02 0,04 0,02 0,01 0,01 0,06 0,61 0,01 0,03
XIV LABRIDAE 32 Cheilinnus trilobatus 33 Choerodon anchorago 34 Halichoeres chloropterus 35 Halichoeres argus 36 Pseudojuloides sp 37 Thalassoma amblyghchephalum
0,03
XIII POMACENTRIDAE 29 Amblyglyphydodon curacao 30 Dischistodus melanotus 31 Dischistodus prosopotaenia
MULLIDAE 26 Upeneus tragula
XI
0,42 0,07 0,01 0,05
0,01 0,03
LETHRINIDAE 22 Lethrinus harax 23 Lethrinus Lentjan 24 Lethrinus ornatus 25 Lethrinus sp
X
0,01
0,005 2,33 5,615 0,04 0,04 0,02 0,37 0,03 0,015
KEPADATAN (Density ) (m2)
XII CHAETODONTIDAE 27 Chelmon rostratus 28 Parachaetodon ocellatus
LUTJANIDAE 21 Lutjanus carponatus
IX
VIII APOGONIDAE 12 Apogon albimaculosus 13 Apogon ceramensis 14 Apogon margaritophorus 15 Apogon sp2 16 Apogon sp3 17 Apogon sp5 18 Cheilodepterus quinquelineatus 19 Fowleria variegata 20 Sphaeremia orbicularIs
JENIS (SPECIES)
Sambungan (Continued )...
0,08 0,08 0,46 4,67 0,04 0,23
0,12 0,31 0,15
0,04 0,23
0,19
3,21 0,54 0,04 0,35
0,04
0,04 18,00 43,38 0,31 0,31 0,15 2,86 0,23 0,12
0,11 0,77 1,37 3,03 0,02 0,35
0,40 1,01 0,75
0,04 0,43
0,67
0,19 1,96 0,04 0,52
0,04
0,13 13,34 19,17 0,69 0,80 0,35 2,88 0,25 0,53
KOMPOSISI (Composition ) Individual Biomassa (%)
0,94 0,47 2,37 3,79 0,47 1,41
0,94 1,89 1,89
0,47 1,42
1,89
0,94 2,84 0,47 2,36
0,47
0,47 4,26 7,12 0,47 0,95 0,47 4,25 0,47 0,47
2 1 5 8 1 3
2 4 4
1 3
4
2 6 1 5
1
1 9 15 1 2 1 9 1 1
FREKUENSI (FREQUENCY) Komulatif Individu Commulative Individual (%)
M M M M M M
M M M
I I
T
T T T T
T
M M M M M M M M M
Juvenil Juvenil Juvenil Juvenil Juvenil Juvenil
Juvenil Juvenil Juvenil
Juvenil Juvenil
Juvenil
Juvenil Juvenil Juvenil Juvenil
Juvenil
Juvenil Juvenil Juvenil Juvenil Juvenil Juvenil Juvenil Juvenil Juvenil
KELOMPOK STADIUM (Age Phase ) IKAN Fish Group
0,009 0,005 0,142 2,293 0,002 0,042
0,014 0,076 0,038
0,002 0,043
0,047
0,390 0,199 0,002 0,106
0,002
0,002 9,926 39,979 0,019 0,038 0,009 1,573 0,014 0,007
KELIMPAHAN (Abundance ) (%)
Musiman Musiman Tetap Tetap Tidak tetap Tetap
Musiman Tetap Tetap
Tidak tetap Tidak tetap
Tetap
Tetap
Tetap Tetap
Tidak tetap
Tidak tetap Tetap Tetap Tidak tetap Musiman Tidak tetap Tetap Tidak tetap Tidak tetap
STATUS PENGHUNI (Resident Status )
I.N. Edrus & S. T. Hartati/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 9-22
0,01 0,25 0,02 0,14 0,22 0,05
XVIII SIGANIDAE 45 Siganus argenteus 46 Siganus canaliculatus 47 Siganus fuscescens 48 Siganus gutattus 49 Siganus virgatus
XIX SOLEIDAE 50 Pardachirus pavoninus
0,81
0,11
XXIII GERREIDAE 55 Gerres oyena
0,04 1,12
0,01
5,33 1,00
0,39
0,08 1,93 0,12 1,04 1,70
0,15
0,04 2,36 0,97
0,08 0,08 0,39
0,48
3,05
0,22
7,77 1,88
2,13
0,02 6,58 0,17 2,64 4,56
0,18
0,06 0,73 0,34
0,04 6,94 2,10
0,95
0,95
0,47
4,73 4,25
2,83
0,47 1,42 0,47 3,78 2,84
1,89
0,47 4,27 2,36
0,94 0,94 2,37
2
2
1
10 9
6
1 3 1 8 6
4
1 9 5
2 2 5
FREKUENSI (FREQUENCY) KOMPOSISI (Composition ) Komulatif Individu Individual Biomassa Commulative Individual (%) (%)
XXII TRIACHANTIDAE 54 Triachantus sp.
XXI TETRAODONTIDAE 53 Arothron mappa
0,69 0,13
0,02
XVII BLENNIDAE 44 Petroscirtes variabilis
MONACANTHIDAE 51 Acreichthys tomentosus 52 Cantherhines fronticintus
0,01 0,31 0,13
XVI GOBIIDAE 41 Amblygobius palaenia 42 Fusigobius longipinnis 43 Istigobius ornatus
XX
0,01 0,01 0,05
KEPADATAN (Density ) (m2)
SCARIDAE 38 Hipposcarus longiceps 39 Leptoscarus vaigiensis 40 Scarus ghoban
XV
JENIS (SPECIES)
Sambungan (Continued )...
T
M
M
M M
T
T T T T T
M
M M M
M M M
Juvenil
Juvenil
Juvenil
Juvenil Juvenil
Juvenil
Juvenil Juvenil Juvenil Juvenil Juvenil
Juvenil
Juvenil Juvenil Juvenil
Juvenil Juvenil Juvenil
KELOMPOK STADIUM (Age Phase ) IKAN Fish Group
0,100
0,002
3,264 0,553
0,142
0,005 0,355 0,007 0,510 0,625
0,038
0,002 1,302 0,295
0,009 0,009 0,119
KELIMPAHAN (Abundance ) (%)
Tetap
Tetap
Tidak tetap
Tetap Tetap
Tetap
Musiman Tetap Musiman Tetap Tetap
Tetap
Tetap Tetap Tetap
Tetap Tetap Tetap
STATUS PENGHUNI (Resident Status )
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 9-22
21
22
Indeks Keanekaragaman (Shannon Weaver Diversity Indices ) - (H)
Indeks Dominasi - Dominance Indices (D)
Indeks Ekologis (Ecological Indices )
Populasi Ikan (Fish Population ) Jumlah Jenis (Species numbers ) Kepadatan (ekor/m2) - Density (individual/m2) Jumlah ekor (Individual Numbers ) Jumlah Berat - Biomassa (gram)
Jenis Vegetasi (Seagrass Species ) Persentasi Tutupan - Percent Cover (%) Kerapatan (abundance ) Enhalus acoroides (Ea) btg-Stems /m2 Thalassia hemprichii (Th), btg-Stems /m2 Halophila ovalis (Ho), btg-Stems /m2 Cymodocea rotundata (Cr), btg-stems /m2
Bujur Timur (East Lines ) Ecopath Tipe Substrat (Bottom Types )
0,11
391
2,7
1858
34 0,34
155
0,52
186
19 0,19
211
1,3
309
0,25
65
5 0,05
75
1,4
173
0,31
374
22 0,22
43
55 68
1,6
974
Pasir (Sand ) Ea;Th;Cr. 90
o
05 51’ 45.2”
o
6 106 35’ 49.4”
o
05 51’ 47.1”
o
0,14
117
16 0,16
37 58 36 47
2,3
303
0,4
310
19 0,19
185
1,5
525
Pasir Pasir berlempung (Sand ) (Clay sand ) Ea;Th;Ho;Cr. Ea 100 100
106 35’ 00”
o
05 51’ 13.7”
o
LOKASI STASIUN (STUDY SITES ) 4 5
Pasir berlempung Pasir berlempung Pasir lumpur (Clay sand ) (Clay sand ) (Silt) Ea Ea Ea 90 90 90
o
05 51’ 40.0”
o
3 106 35’ 04.8”
106 36’ 24.5”
o
05 52’ 00.4”
o
2 106 36’ 39.7”
106 36’ 00.4”
o
05 51’ 47.8”
o
1
7
0,38
550
20 0,20
30 40
1,4
851
Pasir (Sand ) Ea; Th 70
106 36’ 12,4”
o
05 51’ 22,3”
o
8
0,37
596
21 0,21
73 154
1,3
637
Pasir berlempung (Clay sand ) Ea; Th 100
o
106 35’ 46.0”
05 51’ 34.6”
o
Gambaran tentang karakteristik habitat, populasi, dan indeks ekologi dari juvenil ikan dari setiap stasiun di padang lamun Gugusan Pulau Pari Illustration on habitat characteristicts, population and ecological indeces of fish juvenile at each sampling station of Pari Islands
Posisi Lokasi (Study Site Position ) Lintang Selatan - (South Latitudes )
Tabel Lampiran 3. Appendix Table 3.
I.N. Edrus & S. T. Hartati/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 9-22
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 23-31
BIODIVERSITAS IKAN KARANG DI PERAIRAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA, JEPARA BIODIVERSITY OF CORAL FISH IN KARIMUNJAWA NATIONAL PARKS WATERS, JEPARA Yayuk Sugianti dan Mujiyanto Peneliti pada Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Teregistrasi I tanggal: 11 Juni 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 28 Februari 2013; Disetujui terbit tanggal: 05 Maret 2013
ABSTRAK Taman Nasional Karimunjawa merupakan salah satu kawasan pelestarian alam di Kabupaten Jepara, dikelola dengan sistem zonasi yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Terumbu karang dan komunitas ikannya merupakan ekosistem yang kompleks dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan dan biodiversitas ikan karang yang tersebar di zona inti, zona perlindungan dan zona pemanfaatan Taman Nasional Karimunjawa, Jepara. Penelitian dilakukan dengan metode transek 2,5 meter x 2,5 meter. Pencatatan jenis dan penghitungan ikan menggunakan metode sensus visual. Hasil yang diperoleh dari pengamatan ikan karang di zona inti, zona perlindungan dan zona pemanfaatan adalah ditemukannya 10 famili dengan 59 spesies dan 1369 individu ikan karang di ketiga lokasi penelitian, dengan rincian ikan karang di zona inti ditemukan 9 famili, 25 spesies dan 491 individu, di zona perlindungan terdapat 6 famili, 29 spesies dan 370 individu ikan karang dan terakhir di zona pemanfaatan ditemukan 5 famili, 27 spesies dan 508 individu ikan karang. Distribusi jenis ikan karang di zona perlindungan dan zona pemanfaatan lebih tinggi dibandingkan dengan di zona inti. Tingginya jumlah jenis ikan karang di zona perlindungan dan zona pemanfaatan dikarenakan bervariasinya habitat yang terdapat di terumbu karang. Kelimpahan spesies ikan karang tertinggi di tiga lokasi penelitian adalah Pomacentrus alexanderae sebesar 222 ind/m2. KATA KUNCI : Biodiversitas, ikan karang, Taman Nasional Karimunjawa ABSTRACT Karimunjawa National Parks is one of nature conservation area in the district of Jepara, which is managed by the zoning system can be utilized for the purpose of research, science, education, culture, tourism and recreation. Coral reefs and fish communities is a complex ecosystem with high biodiversity. The aims of this study is to determine abundance and biodiversity of reef fish species are scattered in the core zone, protection zone and utilization zone in Karimunjawa National Parks, Jepara. The research was conducted by transect 2.5 meters x 2.5 meters. Recording types and counting fish used visual census method. The results obtained from observations of reef fishes in the core zone, buffer zone and the zone was the discovery of 10 families with 59 species and 1369 individual reef fish in all three study sites, with details in the core zone of reef fish found 9 families, 25 species and 491 individuals, protection zone there are 6 families, 29 species and 370 individuals and last in the utilization zone reef fish found 5 families, 27 species of reef fish and 508 individuals. The distribution of reef fish species in protection zone and utilization zone higher than in core zone. The high number of species of reef fish in the protection zone and utilization zone because of varied habitats found in coral reefs. The high abundance of species of reef fish in three research sites is Pomacentrus alexanderae of 222 ind/m2. KEYWORDS : Composition, biodiversity, reef fish, Karimunjawa National Parks
PENDAHULUAN Terumbu karang merupakan ekosistem yang kompleks dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Komunitas ikan merupakan salah satu komponen utama dari terumbu karang dan mempunyai peran penting di ekosistem terumbu karang, misalnya sebagai grazer dalam mengontrol pertumbuhan alga dan secara komersial penting dalam bidang perikanan (English et al., 1994).
Menurut Bellwood (1988) klasifikasi ikan karang didasarkan pada tingkat asosiasi ekologis antara ikan dan karang, dari segi peran karang dalam menyediakan makanan dan/atau tampat perlindungan. Ikan karang ini terdiri dari semua famili yang ditemukan pada terumbu karang (meliputi famili : Acanthuridae, Apogonidae, Blenniidae, Carangidae, Chaetodontidae, Holocentridae, Labridae, Mullidae, Pomacentridae, dan Scaridae). Sepuluh famili dominan tersebut dianggap sebagai karakteristik famili ikan karang berdasarkan esensi fauna ikan karang yang berlimpah dan khas pada terumbu karang.
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan – Jatiluhur Jl. Cilalawi Tromol Pos No. 1 Jatiluhur, Purwakarta-Jawa Barat 41152
23
Y. Sugianti & Mujiyanto/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 23-31
Ikan-ikan tersebut pergerakannya beragam, tetapi pada umumnya mereka cenderung hidup menetap di ekosistem terumbu karang dari pada vertebrata lain yang sama ukurannya. Salah satu faktor penyebabnya adalah bahwa mereka hidup pada lingkungan yang sangat terstruktur akibat bentuk dari arsitektur terumbu karang yang kompleks, dan kebutuhan akan sumber daya tersedia sepanjang waktu (Hutomo, 1993).
JawaTimur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi jenis, kelimpahan dan biodiversitas ikan karang yang terdapat di zona inti, zona perlindungan dan zona pemanfaatan Taman NasionaPl Karimunjawa.
Di Indonesia banyak terdapat Taman Nasional selain Taman Nasional Karimunjawa seperti Taman Nasional Ujung Kulon (Jawa Barat) dan Baluran (Jawa Timur). Kedua Taman Nasional tersebut memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi baik flora, fauna maupun ekosistemnya. Penelitian oleh Wahyudewantoro (2009) di Taman Nasional Ujung Kulon menemukan 24 famili, 33 spesies dan 283 individu ikan karang, sementara Syarifuddin et al. (2010) menemukan 28 famili, 111 spesies dan 6.781 individu ikan karang di perairan Taman Nasional Baluran,
Pengambilan data dilakukan dengan metode survey (Stratified sampling method) pada lokasi yang mewakili zona inti (Pulau Kumbang), zona perlindungan (Pulau Burung) dan zona pemanfaatan (Pulau Kecil) pada bulan April-Oktober 2011 ( Gambar 1) dan cara sampling dengan metode transek disajikan pada Gambar 2. Karakteristik dan lokasi masing-masing zona tersebut dijelaskan pada Tabel 1. Jumlah transek yang dipasang di setiap stasiun sebanyak 1 transek berukuran 3 x 25 m.
Gambar 1. Figure 1.
24
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian
Peta menunjukkan lokasi penelitian di perairan Karimunjawa Map showing sampling sites in Karimunjawa waters
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 23-31
Tabel 1. Karakteristik lokasi penelitian di perairan Taman Nasional Karimunjawa Table 1. Characteristics of sampling sites in National Parks Karimunjawa waters
No
Zona/Lokasi
Nama lokasi Pulau Kumbang
Posisi geografis 5o46, 337’ LS 110o14, 514’ BT
1
Zona Inti
2
Zona Perlindungan
Pulau Burung
5o53, 336’ LS 110o20, 475’ BT
3
Zona Pemanfaatan
Pulau Kecil
5o49, 372’ LS 110o30, 442’ BT
Kelimpahan ikan karang dihitung dengan transek visual sesuai dengan English et al. (1997). Transek dibentangkan sepanjang 75 meter sejajar garis pantai, yang dibagi menjadi 3 (tiga) segmen atau pengulangan sepanjang 20
Keterangan Kawasan ini mutlak dilindungi, tanpa pemanenan dan tertutup untuk pengunjung. Daerah ini juga merupakan daerah pembesaran ikan dan biota laut lainnya. Kondisi ekosistem terumbu karang di daerah ini cenderung lebih baik dimana penutupan karang lebih dari 50%. Kawasan perairan yang diperuntukkan sebagai wilayah perlindungan spesies, habitat ataupun ekosistem yang bisa mendukung fungsi dari zona inti.
Kawasan ini terbagi menjadi kawasan dengan dua peruntukan yaitu untuk kegiatan perikanan tradisional dan daerah wisata berbasis lingkungan. Zona pemanfaatan pariwisata merupakan kawasan perairan yang diperuntukkan sebagai daerah wisata yang berbasis lingkungan, dengan kriteria mempunyai kondisi lingkungan yang dapat mendukung upaya pengembangan pariwisata dan rekreasi alam.
meter dengan antar ulangan sepanjang 5 meter, dan garis imajiner sepanjang 2.5 meter ke kiri dan ke kanan. Identifikasi ikan mengacu kepada Allen (2003).
25
Y. Sugianti & Mujiyanto/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 23-31
Gambar 2. Figure 2.
Visualisasi sampling dengan cara sensus visual Visualization by visual sensus spesies tidak jauh berbeda, tidak ada dominasi dan tidak ada tekanan terhadap ekosistem.
Analisis Data a. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener dihitung dengan menggunakan persamaan (Ludwig & Reynolds, 1988) sebagai berikut:
c. Indeks dominasi dihitung dengan persamaan Odum (1971) sebagai berikut :
ni C : N
ni ni H ': − ln N i =1 N S
Keterangan : H’ = indeks keanekaragaman Shannon dan Wiener S = jumlah spesies dalam sampel ni = jumlah individu dalam sampel N = jumlah individu seluruh spesies dalam sampel Interpretasi : H<1 : berarti komunitas dalam kondisi tak stabil 1 < H < 3 :berarti komunitas dalam kondisi sedang (moderat) H>3 : berarti komunitas dalam kondisi baik
Keterangan : C = indeks dominasi n = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah seluruh individu Interpretasi : 0,00
b. Indeks Keseragaman dihitung dengan persamaan (Ludwig & Reynolds ,1988) sebagai berikut :
E ':
H' Hmaks
Keterangan : E’ = indeks keseragamanan H = indeks keanekaragaman Hmaks = ln S S = jumlah spesies dalam sampel Interpretasi : Bila E mendekati 0 (nol), spesies penyusun tidak banyak ragamnya, ada dominasi dari spesies tertentu dan menunjukkan adanya tekanan terhadap ekosistem. Bila E mendekati 1 (satu), jumlah individu yang dimiliki antar 26
2
D:
S −1 ln( N )
Keterangan : S = Jumlah Spesies N = jumlah seluruh individu Kriteria kekayaan jenis ikan karang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kriteria indeks kekayaan jenis ikan karang Table 2. Criteria richness index of reef fish species Kriteria Baik Moderat Buruk
Indeks kekayaan jenis > 4,0 2,5 – 4,0 < 2,5
Source : Jorgensen et al. (2005)
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 23-31
Kelimpahan individu ikan dikelompokkan berdasarkan familinya. Hasil pengelompokkan dianalisis dengan membandingkan kelimpahan rata-rata antar stasiun. Kelimpahan suatu organisme dalam suatu perairan dapat dinyatakan sebagai jumlah individu per area (Odum, 1993), dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :
A=
Xi ni
Keterangan : A = Kelimpahan individu (ind/m²) Xi = Jumlah individu dari spesies ke-i ni = Jumlah luasan kuadran spesies ke-i ditemukan Tabel 3. Table 3.
HASIL DAN BAHASAN HASIL Keragaan Jenis Secara keseluruhan di ketiga lokasi yang diamati diperoleh 10 famili ikan karang, dengan 58 spesies dan 1369 individu ikan karang. Masing-masing lokasi memiliki komposisi jenis ikan yang berbeda. Berdasarkan jumlah spesies yang ditemukan, terlihat lebih banyak di zona perlindungan. Dari jumlah individu yang ditemukan paling banyak pada zona pemanfaatan (Tabel 3).
Komposisi ikan karang di lokasi penelitian Composition of reef fish in sampling site
No.
Lokasi
Jumlah famili
Jumlah spesies
Jumlah individu
1
Zona Inti
9
25
491
2
Zona Perlindungan
6
29
370
3
Zona Pemanfaatan
5
27
508
Secara keseluruhan, distribusi jenis ikan karang di zona pemanfaatan lebih tinggi dibandingkan dengan di zona inti dan di zona perlindugan (Tabel 4).
Kelimpahan spesies ikan karang tertinggi (222 ind/m2) diperoleh untuk jenis Pomacentrus alexanderae (Gambar 3).
Tabel 4. Distribusi ikan karang menurut lokasi sampling di perairan Taman Nasional Karimunjawa Table 4. Distribution of reef fish by sampling sites in Karimunjawa National Parks waters Stasiun Penelitian No.
Famili
Spesies Zona Inti
Zona Perlindungan
Zona Pemanfaatan +
1
Pomacentridae
Neoglyphidodon melas
+
-
2
Pomacentridae
Pomacentrus bouroughi
+
+
-
3
Pomacentridae
Pomacentrus bantunai
+
-
+
4
Pomacentridae
Chrysiptera rex
+
+
+
5
Pomacentridae
Amblygliphidodon curacao
+
+
+
6
Pomacentridae
Pomacentrus alexanderae
+
+
+
7
Pomacentridae
Neoglyphidodon leucogaster
+
-
-
8
Pomacentridae
Chrysiptera springieri
+
-
+
9
Pomacentridae
Chrysiptera rolandi
+
-
-
10
Pomacentridae
Scarus bicolor
-
+
-
11
Pomacentridae
Chaetodon octofasciatus
-
+
-
12
Pomacentridae
Pomacentrus mauloccensis
-
+
+
13
Pomacentridae
Cromis atipectoralis
-
+
-
14
Pomacentridae
Amphiprion ocelaris
-
+
-
15
Pomacentridae
Scolopsis margaritifer
-
+
+
16
Pomacentridae
Pomacentrus philiphinus
-
+
-
27
Y. Sugianti & Mujiyanto/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 23-31
Lanjutan Tabel 4. ..... Continued Table 4. ...... 17
Pomacentridae
Discistodus melanotus
-
+
-
18
Pomacentridae
Cheilinus trilobatus
-
+
-
19
Pomacentridae
Epinephelus fasciatus
-
+
-
20
Pomacentridae
Dacylus trimaculatus
-
+
+
21
Pomacentridae
Cromis atipectoralis
-
-
+
22
Pomacentridae
Amblygliphidodon leucogaster
-
-
+
23
Pomacentridae
Apogon compressus
-
-
+
24
Pomacentridae
Cheilinus fasciatus
-
-
+
25
Pomacentridae
Cromis viridis
-
-
+
26
Pomacentridae
Lutjanus kasmira
-
-
+
27
Pomacentridae
Abudefduf sexfasciatus
-
-
+
28
Pomacentridae
Dististodus melanotus
-
-
+
29
Labridae
Thalassoma lunare
+
+
+
30
Labridae
Cheilinus fasciatus
+
+
+
31
Labridae
Cheilinus trilobatus
+
-
-
32
Labridae
Halichoeres leucurus
+
-
+
33
Labridae
Labroides dimidiatus
+
+
-
34
Labridae
Diproxanthus xanthurus
+
-
-
35
Labridae
Ephibulus insidiator
+
+
+
36
Labridae
37
-
+
-
Labridae
Amblyglyphidodon leucogaster Neoglyphidodon thoracotaeniatus
-
+
-
38
Labridae
Scolopsis linietus
-
+
-
39
Labridae
Caesio teres
-
-
+
40
Labridae
Chaetedontoplus mesoleucus
-
-
+
41
Labridae
Caesio caenulaurea
-
-
+
42
Chaetodontidae
Chaetodon octofasciatus
+
-
+
43
Chaetodontidae
Chaetodontoplus mesoleucus
+
-
-
44
Chaetodontidae
Premnas biacelatus
-
+
-
45
Chaetodontidae
Chaerodon anchorago
-
+
-
46
Chaetodontidae
Sinodus binotatus
-
+
-
47
Chaetodontidae
Lutjanus biguttatus
-
-
+
48
Lutjanidae
Lutjanus deccusatus
+
-
-
49
Lutjanidae
Lutjanus kasmira
+
-
-
50
Lutjanidae
Halichoeres leucurus
-
+
-
51
Nemipteridae
Scolopsis bilineatus
+
+
-
52
Apogonidae
Apogon compressus
+
-
-
53
Caesionidae
Caesio teres
+
-
-
54
Holocentridae
Sargocentron cornutum
+
-
-
55
Siganidae
Siganus virgatus
+
-
-
56
Scaridae
Caesio teres
-
+
-
57
Scaridae
Chaetodontoplus mesoleucus
-
+
-
58
Scaridae
Clorurus sordidus
-
-
+
Keterangan/Remarks : (+) banyak ditemukan (many) (-) sedikit ditemukan (rare)
28
Gambar 3. Figure 3.
Clorurus sordidus
Siganus virgatus
Lutjanus kasmira
Apogon compressus
Sinodus binotatus
Chaetodontoplus …
Chaetedontoplus …
Neoglyphidodon …
Diproxanthus …
Cheilinus trilobatus
Dististodus …
Cromis viridis
Amblygliphidodon …
Epinephelus fasciatus
Pomacentrus …
Scarus bicolor
Cromis atipectoralis
Neoglyphidodon …
Neoglyphidodon …
350 300 250 200 150 100 50 0
Chrysiptera rex
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 23-31
Kelimpahan jenis ikan karang di lokasi penelitian Abundance of reef fish spesies in sampling site
Biodiversitas Perhitungan indeks keanekaragaman (H’) ikan karang selama penelitian diperoleh nilai indeks keanekaragaman
(H’) tertinggi terdapat di zona pemanfaatan sebesar 2.463 (Tabel 5). Untuk indeks kekayaan jenis (D) nilai tertinggi adalah 4.735 terdapat di zona perlindungan (Tabel 5).
Tabel 5. Analisa indeks keanekaragaman jenis (H’), indeks keseragaan (E’), indeks dominansi (C) dan indeks kekayaan jenis (D) di lokasi penelitian Tabell 5. Analysis of diversity index (H’), eveness index (E’), dominance index (C) and richness index (D) at sampling site
Stasiun Penelitian
Indeks Zona Inti
Zona Perlindungan
Zona Pemanfaatan
Keanekaragaman (H')
2,334
1,997
2,463
Keseragaman (E')
0,725
0,593
0,747
Dominansi (C)
0144
0,291
0,107
Kekayaan Jenis (D)
3,873
4,735
4,334
BAHASAN Keragaan Jenis Perbedaan keragaan jenis ikan disebabkan karena kondisi terumbu karang di masing-masing zona yang bervariasi karena spesies ikan karang memerlukan tempat bernaung yang kompleks berupa relung, celah dan goa. Terdapat 10 famili ikan karang yang ditemukan di ketiga lokasi penelitian, 9 diantaranya termasuk famili ikan yang sering ditemukan pada terumbu karang. Famili tersebut adalah Apogonidae, Lutjanidae, Caesinoidae, Nemipteridae, Chaetodontidae, Pomacentridae, Labridae, Scaridae, dan Siganidae. Menurut Allen (2000) terdapat 29 famili ikan karang yang termasuk mayoritas terdapat pada terumbu karang dimana 29 famili ikan tersebut merupakan 85-90% dari total fauna ikan yang ditemukan di terumbu karang.
Famili Pomacentridae merupakan ikan karang yang paling banyak jenisnya dan sebagian besar memang berasosiasi dengan terumbu karang. Secara keseluruhan ditemukan 28 jenis, sekitar 9 spesies ditemukan di zona inti, 14 spesies di zona perlindungan dan 16 spesies di zona pemanfaatan. Dominasi spesies dari famili Pomacentridae ini disebakan juga oleh sifat mereka yang teritorialisme, dimana ikan ini relatif stabil dan dijumpai mulai dari daerah pasang surut sampai kedalaman 40 m (Montgomery et al., 1980). Keberadaan famili ini juga sangat dipengaruhi oleh karakteristik morfologis dari substrat, bahkan beberapa spesies diantaranya cenderung menggunakan karang sebagai habitat untuk mencari makanan (Dhahiyat et al., 2003). Disusul kemudian dengan ikan karang dari famili Labridae, dengan jumlah jenis yang ditemukan sebanyak 14 spesies secara keseluruhan di tiga lokasi penelitian. Pada zona inti ditemukan 7 spesies, serta 8 spesies ditemukan di zona perlindungan dan zona pemanfaatan.
29
Y. Sugianti & Mujiyanto/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 23-31
Biodiversitas Dari biodiversitasnya, jenis ikan di zona pemanfaatan lebih rendah dibandingkan dengan di zona perlindungan. Hal ini diindikasikan dengan nilai keseragaman (E) dimana nilai indeks keseragaman di zona pemanfaatan lebih tinggi dibandingkan dengan zona perlindungan. Keanekaragaman jenis dari suatu komunitas sangat ditentukan oleh kekayaan dan keseragaman jenis. Dan Indeks keseragaman menjadi tinggi apabila tidak terjadi pemusatan individu ada suatu jenis tertentu (Odum, 1971). Tingginya jumlah jenis ikan karang di zona perlindungan dan zona pemanfaatan dikarenakan bervariasinya habitat yang terdapat di terumbu karang. Zona perlindungan memiliki 23 genus karang hidup, disusul zona pemanfaatan yang memiliki 15 genus karang hidup.Tidak hanya terdiri dari karang saja, tetapi juga daerah berpasir, berbagai teluk dan celah, daerah alga, dan juga perairan yang dangkal dan dalam zona-zona yang berbeda melintasi karang. Banyaknya karang-karang bercabang di zona perlindungan menyediakan perlindungan bagi ikan-ikan kecil yang berenang-renang memakan plankton dan kembali untuk berlindung di karang tersebut. Di perairan Karimunjawa ini zona pemanfaatan terbagi menjadi kawasan dengan dua peruntukan yaitu untuk peruntukan perikanan tradisional dan daerah wisata berbasis lingkungan. Zona inti memiliki genus karang hidup yang paling sedikit yaitu 12 genus, dead coral nya yang mencapai 12,2% . Selain itu letaknya yang dekat dengan pemukiman penduduk memungkinkan adanya aktifitas manusia yang terjadi di zona ini. Distribusi ikan karang sendiri sangat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti: kebiasaan, habitat, arus dan larva. Hasil perhitungan indeks dominansi (C), menunjukkan bahwa nilai indeks dominansi ikan karang pada selama pengamatan berkisar antara 0.107-0.291. Kisaran nilai tersebut masuk kedalam kategori sedang hal ini berarti bahwa di lokasi penelitian tidak ada dominasi oleh spesies ikan karang tertentu dan tidak ada tekanan terhadap ekosistem.
perlindungan dan zona pemanfaatan dikarenakan bervariasinya habitat yang terdapat di terumbu karang. 2. Kelimpahan spesies ikan karang tertinggi di tiga lokasi penelitian adalah Pomacentrus alexanderae yaitu sebesar 222 ind/m2. 3. Keseimbangan ikan karang dalam komunitasnya termasuk kategori stabil berdasarkan indeks keanekaragaman, keseragaman, kekayaan jenis dan dominansinya. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan riset ‘Identifikasi Habitat Kelimpahan dan Distribusi Ikan Hias di Perairan Karang Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah’, T.A. 2011 di Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta. DAFTAR PUSTAKA Allen, G.R. 2000. Indo-Pacific Coral-Reef Fishes As Indicators of Conservation Hotspots. Proceedings 9th International Coral Reef Symposium Bali, Indonesia 23-27 October 2000. 2: 921-926. Allen, G., R. Steene., P. Humann,& N. Deloach. 2003. Reef Fish Indentification-Tropical Pacific. New World Publications, INC. Jacksonville, Florida. USA. 465 p. Bellwood, D.R. 1998. Ontogenetic Changes in the Diet of Early Post-Settlement Scarus Species. J. Fish Biol. 33: 213-219. Dhahiyat, Y., D. Sinuhaji & H. Hamdani. 2003. Struktur Komunitas Ikan Karang di Daerah Transplantasi Karang Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jurnal Iktiologi Indonesia. 3(2): 87-94. English, S., C. Wilkinson, & V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science. 390 p. Hutomo, M. 1993. Studi Komunitas Ikan Karang materi Kursus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
KESIMPULAN 1. Komposisi jenis ikan karang yang ditemukan di Taman Nasional Karimunjawa, Jepara terdiri dari 10 famili dengan 59 spesies dan 1369 individu ikan karang. Distribusi jenis ikan karang di zona perlindungan dan di zona pemanfaatan lebih tinggi dibandingkan dengan di zona inti. Tingginya jumlah jenis ikan karang di zona
30
Jorgensen, S.E., R. Constanza & F.L. Xu. 2005. Handbook of Ecological Indicators for Assesment of Ecosystem Health. CRC Press. www.crepress.com. Ludwig, J.A & J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology : A Primer in Methods and Computing. John Wiley & Sons, New York. 92 p.
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 23-31
Montgomery, W.L, T. Gerrodete and L.D. Marshall. 1980. Effect of grazing by the yellowtail surgeonfish. Prionurus punctatus on algal communities in the gulf of California, Mexico. Bull. Mar. Sci. 30 (4) : 901-908. Margalef, D.R. 1958. Information Theory in Ecology. General System 3. 36-71. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. 3rd edition. W.B. Saunders. Philadelphia. 574 p.
Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan. Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press. Jogjakarta. p. 134-162. Syarifuddin, S, Aunurohim & N. Abdulgani. 2010. Distribusi Ikan Karang di Pantai Bama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Paper ITS. p. 1-13. Wahyudewantoro, G. 2009. Komposisi Jenis Ikan Perairan Mangrove pada beberapa Muara Sungai di Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang Banten. Jurnal Fauna Tropika : Zoo Indonesia. 18 (2): 89-98.
31
32
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 33-40
INTERAKSI PEMANFAATAN PAKAN ALAMI OLEH KOMUNITAS IKAN DI WADUK PENJALIN, JAWA TENGAH INTERACTIONS OF FOOD RESOURCES ULITIZATION BY FISH COMMUNITIES IN PENJALIN RESERVOIR, CENTRAL JAVA Dimas Angga Hedianto, Kunto Purnomo, dan Andri Warsa Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Teregistrasi I tanggal: 7 Mei 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Desember 2012; Disetujui terbit tanggal: 09 Januari 2013
ABSTRAK Faktor ketersediaan pakan alami di perairan waduk dapat menentukan komposisi dan penyebaran serta proses adaptasi beberapa jenis ikan (adaptasi dari lingkungan mengalir menjadi tergenang). Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji interaksi dalam memanfaatkan pakan alami yang tersedia dari komunitas ikan di Waduk Penjalin. Pengambilan ikan contoh dilakukan pada bulan Juni dan Agustus 2011 menggunakan jaring insang percobaan (ukuran 1-3 inci dengan interval 0,25 inci) dan hasil tangkapan nelayan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan beunteur (Puntius binotatus), nila (Oreochromis niloticus) dan tawes (Barbonymus gonionotus) tergolong sebagai planktivora dengan makanan utama berupa fitoplankton masing-masing sebesar 92,23%, 86,91% dan 70,00%. Ikan nilem (Osteochilus vittatus) tergolong sebagai herbivora dengan makanan utama berupa tumbuhan/makrofita sebesar 100,00%. Ikan betutu (Oxyeleotris marmorata) dan manila gift (Parachromis managuensis) tergolong sebagai predator dengan makanan utama berupa ikan masing-masing sebesar 89,33% dan 95,34%. Ikan manila gift merupakan jenis ikan introduksi yang saat ini mendominasi perairan Waduk Penjalin. Interaksi komunitas ikan dalam memanfaatkan pakan alami cenderung memiliki kompleksitas yang rendah. Hal ini diduga akibat tingginya tingkat predasi oleh ikan predator asing, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan antara jumlah ikan predator dan ikan yang dimangsa. KATA KUNCI: Interaksi, makanan, komunitas ikan, Waduk Penjalin ABSTRACT The availability of food resources in water reservoir determine the composition, dispersal rate and adaptation of some species of fish (an adaptation from riverine to lacustrine). The purpose of this study is to analysing the interaction in utilizing the available of natural resources by fish communities in Penjalin Reservoir. Research was done on June and August 2011 using experimental gillnets (size 1-3 inches with intervals about 0.25 inches) and the catch of fishermen. The results showed that spotted barb (Puntius binotatus), nile tilapia (Oreochromis niloticus) and silver barb (Barbonymus gonionotus) classified as planktivora with the primary food were phytoplankton respectively 92.23%, 86.91% and 70.00%. Bonylip Barb (Osteochilus vittatus) classified as herbivores with the primary food were plant/macrophyte 100.00%. Marble goby (Oxyeleotris marmorata) and jaguar guapote (Parachromis managuensis) classified as a predator with the primary food were fish (prey) respectively 89.33% and 95.34%. Jaguar guapote was aliens species who dominated Penjalin Reservoir. Interaction of food resource utilization of fish communities in Penjalin Reservoir tend to have a lower complexity. This is due to the high levels of predation by dominance of alien predatory species, thus resulting in an imbalance comparison between population of predator and prey. KEYWORD: Interactions, food, fish communities, Penjalin Reservoir
PENDAHULUAN Komunitas ikan yang menghuni perairan waduk pada awalnya terdiri dari jenis-jenis ikan asli yang hidup di perairan sungai (riverine) untuk kemudian beradaptasi untuk hidup dan atau berkembang biak di habitat perairan tergenang (Kartamihardja, 2009). Salah satu faktor penentu kesuksesan adaptasi tersebut adalah ketersediaan pakan alami dan interaksi dalam tingkat komunitas (Effendie, 1997). Studi mengenai kebiasaan makanan ikan pada tingkat komunitas berguna untuk mengetahui hubungan
antara setiap jenis ikan yang ada di dalam memanfaatkan sumber daya pakan alami yang tersedia (Kartamihardja, 1994). Waduk Penjalin terletak di Desa Winduaji Kec. Paguyangan Kab. Brebes, Jawa Tengah pada ketinggian 365 mdpl dengan luas permukaan sebesar 125 ha dan volume 9,5 juta m3. Sumber air waduk berasal dari aliran Sungai Penjalin, Sungai Soka, Sungai Garung. Waduk Penjalin selain berfungsi sebagai irigasi, juga dimanfaatkan sebagai lokasi wisata dan perikanan tangkap serta
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan – Jatiluhur Jl. Cilalawi Tromol Pos No. 1 Jatiluhur, Purwakarta-Jawa Barat 41152
33
Pada penelitian ini ditemukan jenis ikan introduksi baru yang mendominasi Waduk Penjalin, yaitu ikan manila gift (Parachromis managuensis). Masyarakat setempat menganggap jenis ikan ini mirip dengan ikan nila, namun pada kenyataannya justru berbeda karakteristik. Pengaruh keberadaan ikan introduksi terhadap komunitas ikan di Waduk Penjalin perlu dikaji sebagai basis data pengelolaan guna mengurangi dampak negatifnya secara ekologi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji interaksi dalam memanfaatkan pakan alami yang tersedia oleh komunitas ikan di Waduk Penjalin. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di perairan Waduk Penjalin, Jawa Tengah. Pengambilan ikan contoh dilakukan pada bulan Juni dan Agustus 2011. Hasil tangkapan ikan contoh merupakan percobaan penangkapan ikan menggunakan jaring insang percobaan dan hasil tangkapan nelayan. Variasi ukuran mata jaring insang percobaan yang digunakan mulai dari ukuran 1-3 inci dengan interval 0,25 inci. Jaring insang percobaan yang dipasang sebanyak tiga set yang mewakili daerah inlet (1 dan 2), tengah (3) dan outlet waduk (4) secara sejajar garis pantai (Gambar 1). Jaring insang dipasang pada sore hari, kemudian diangkat pada pagi hari. Ikan contoh yang diperoleh kemudian diukur panjang totalnya menggunakan papan ukur dengan ketelitian 0,1 cm dan ditimbang berat tubuhnya menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,1 gram. Beberapa sampel ikan yang diperoleh kemudian diawetkan dengan formalin 10% untuk diidentifikasi dengan mengacu pada Kottelat et al. (1993) & Fishbase (Froese & Pauly, 2012). Ikan contoh dibedah dan diambil saluran pencernaannya untuk mendapatkan sampel isi perut, kemudian diawetkan menggunakan larutan formalin 5% dan dimasukkan ke dalam plastik sampel. Analisis kebiasaan makanan dilakukan di Laboratorium Biologi Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya. Identifikasi organisme jenis makanan mikroskopis dan makroskopis mengacu pada Needham & Needham (1963), Edmonson (1978) & Quigley (1977).
34
07°19’54.50” 07°20’14.50”
budidaya (Wikipedia, 2013). Ikan-ikan asli di Waduk Penjalin lebih banyak didominasi oleh ikan famili Cyprinidae, seperti ikan brek (Puntius orphoides), tawes (Barbonymus gonionotus), lunjar padi (Rasbora argyrotaenia), dan wader (Puntius binotatus) (Rukayah & Wibowo, 2011). Ikan-ikan ini sebagian besar bernilai ekonomis bagi masyarakat setempat yang memanfaatkan perikanan. Seiring berjalannya waktu, perairan Waduk Penjalin justru lebih banyak didominasi oleh ikan predator introduksi, yaitu ikan betutu (Oxyeleotris marmorata) (Abulias & Bhagawati, 2008).
07°19’34.50”
D.A. Hedianto, et al./BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 33-40
109°2’15.00”
Gambar 1.
109°2’25.00”
109°2’35.00”
Peta lokasi stasiun penelitian di Waduk Penjalin Map of research station in Penjalin Reservoir
Figure 1.
Kebiasaan makanan dianalisis menggunakan indeks bagian terbesar (Indeks of Preponderance) (Natarajan & Jhingran, 1961) :
=
( . ) ∑ ( . )
100
.......................…........... (1)
Keterangan: IP = Indeks bagian terbesar (index of preponderance) Vi = Persentase volume makanan ikan jenis ke-i Oi = Persentase frekuensi kejadian makanan jenis ke-i n = Jumlah organisme makanan ikan (i = 1,2,3,...n) Untuk menganalisis kategori kebiasaan makanan pada ikan, maka urutan persentase makanan dibedakan berdasarkan Nikolsky (1963), yaitu apabila IP bernilai >25 dikategorikan sebagai makanan utama, 5 d” IP d” 25 sebagai makanan pelengkap, dan jika IP bernilai <5 sebagai makanan tambahan. Luas relung pakan dihitung menggunakan metode Levin’s Measure (Collwel & Futuyma, 1971), dengan rumus :
=
1 ∑ =1 ∑ =1
2
…..........(2)
Keterangan : Bij = Luas relung kelompok ukuran ikan ke-i terhadap sumberdaya makanan ke-j Pij = Proporsi dari kelompok ukuran ikan ke-i yang berhubungan dengan sumberdaya makanan kej
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 33-40
n m
= =
Pengelompokkan interaksi pemanfaatan pakan antar jenis ikan dievaluasi berdasarkan pakan yang dikonsumsi oleh ikan dan dihitung menggunakan jarak Euclidian (Sokal & Rohlf, 1995) dari program Statistica 8.0 dengan rumus :
Jumlah kelompok ukuran ikan (i = 1,2,3,…….n) Jumlah sumberdaya makanan ikan (j = 1,2,3,……m)
Analisis untuk mengetahui adanya tumpang tindih relung pakan antar jenis ikan (niche overlap) dihitung menggunakan model dari Pianka (1986) sebagai berikut:
=
∑ ∑
1
2
.∑
2
Pik
1
=1
−
2
2
................................. (4)
Keterangan:
............................(3)
x1, x2 = Indeks untuk individu dari jenis ikan ke-1 dan 2 y = Kelompok pakan yang dikonsumsi ikan i = Jenis kelompok pakan bervariasi dari 1 sampai n
: Tumpang tindih relung antara jenis ikan ke-i dan ke-j : Proposi jenis ikan ke-i dalam memanfaatkan sumber daya makanan ke-k : Proposi jenis ikan ke-j dalam memanfaatkan sumber daya makanan ke-k
Pij
=
.
Keterangan: Oij
1 2
HASIL DAN BAHASAN HASIL Ikan contoh yang tertangkap pada penelitian ini terdiri atas tiga famili, enam genus, dan enam spesies. Jenis ikan yang tertangkap pada penelitian di Waduk Penjalin dapat dikelompokan atas ikan introduksi (tiga ekor) dan ikan asli (tiga ekor). Komposisi jenis-jenis ikan yang tertangkap tersaji pada Tabel 1. Pakan alami yang dimanfaatkan oleh komunitas ikan di Waduk Penjalin terdapat delapan jenis antara lain fitoplankton, tumbuhan (makrofita), detritus, zooplankton, annelida, insecta, crustacea dan ikan. Komposisi makanan yang dimanfaatkan oleh setiap jenis ikan yang tertangkap di Waduk Penjalin tersaji pada Tabel 2.
Tingkatan peluang terjadinya kompetisi ditentukan menurut kriteria yang diajukan oleh Moyle & Senanayake (1984) : ·
Bila Oij < 0,3
: Peluang terjadinya kompetisi tergolong rendah
·
Bila 0,3 d” Oij d” 0,8
: Peluang terjadinya kompetisi tergolong sedang
·
Bila Oij > 0,8
: Peluang terjadinya kompetisi tergolong tinggi
Tabel 1. Komposisi komunitas ikan yang tertangkap di Waduk Penjalin Table 1. Composition of fish communities in Penjalin Reservoir
No/ No
1.
Jenis Ikan/Fish Species Betutu*
Nama Latin/ Scientific Name
Oxyeleotris marmorata Oreochromis niloticus
Persentase Tangkapa n (%)/ Percentage of Catch (%) 22,5
PT (cm)/ TL (cm)
B (gram)/ W (gram)
N (ekor)/ N (ind)
n (ekor)/ n (ind)
8,6 - 24,5
45
21
9,5
9,4 - 28,0
8,5 - 198,5 14,1 435,1
19
17
64,5
6,0 - 20,1
6,6 - 155,9
129
110
0,5
8,8
8,7
1
1
2.
Nila*
3.
Manila Gift*
4.
Nilem**
Parachromis managuensis Osteochilus vittatus
5.
Tawes**
Barbonymus gonionotus
0,5
12,1
32,6
1
1
6.
Beunteur**
Puntius binotatus
2,5
8,0 - 9,5
8,7 - 12,3
5
1
Ket:
* = ikan introduksi (non indigenous); ** = ikan asli (indigenous); PT = Panjang Total (cm)/TL = Total Length (cm); B = Bobot (gram)/W = Weight (gram); N = Jumlah Total Individu (ekor)/N = Number of species (ind); n = Jumlah Ikan Contoh yang Diamati (ekor)/n = Number of Sample (ekor)
35
D.A. Hedianto, et al./BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 33-40
Tabel 2. Jenis pakan dan kebiasaan makanan dari komunitas ikan yang tertangkap di Waduk Penjalin Table 2. Natural food and food habits of fish communities in Penjalin Reservoir Jenis Pakan Fitoplankton Bacillariophyceae
Puntius binotatus 92,23 23,33
Oreochromis niloticus 86,91 24,62
Barbonymus gonionotus 70,00 35,00
Chlorophyceae
4,44
10,87
5,44
Conjugatophyceae
11,66
20,70
3,89
Cyanophyceae
0,00
2,29
17,11
Dinophyceae
52,79
28,36
8,56
Euglenophyceae
0,00
0,08
0,00
Zooplankton Cladocera Protoza Rotifera Tumbuhan Insecta Annelida Oligochaeta Ikan Crustacea Ketam Udang Detritus
Oxyeleotris marmorata
Parachromis managuensis
0,46 0,02 0,01 0,43 7,77
11,38
30,00
100,00
0,25 5,17
0,03 1,34
89,33 5,25
95,34 3,28
0,01 0,01
0,42 4,83 1,24
Ikan beunteur, nila dan tawes tergolong sebagai planktivora yang masuk kategori herbivora dengan makanan utama berupa fitoplankton masing-masing sebesar 92,23%, 86,91% dan 70,00% (Tabel 2). Ikan beunteur dan nila lebih banyak memanfaatkan jenis fitoplankton dari kelas Dinophyceae dengan persentase masing-masing sebesar 52,79% dan 28,36%. Jenis Dinophyceae yang dominan banyak ditemukan pada lambung kedua ikan tersebut adalah Peridinium sp. Ikan tawes lebih banyak memanfaatkan fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae sebesar 35,00% dimana genus yang dominan ditemukan adalah Navicula sp. Ikan nilem tergolong sebagai herbivora dengan makanan utama berupa tumbuhan/makrofita sebesar 100% (Tabel 2). Ikan betutu dan manila gift tergolong sebagai predator dengan makanan utama berupa ikan masing-masing sebesar 89,33% dan 95,34% (Tabel 2). Ikan betutu memanfaatkan insecta dan crustacea sebagai makanan pelengkap dengan persentase masing-masing adalah 5,17% dan 5,25%, sedangkan pada lambung ikan manila gift tidak ditemukan adanya makanan pelengkap. Jenis crustacea yang dimanfaatkan oleh ikan betutu adalah udang (4,83%) dan ketam (0,42%). Makanan tambahan dari ikan betutu berupa potongan tumbuhan (0,25%),
36
Osteochilus vittatus
3,28 0,01
sedangkan pada ikan manila gift antara lain berupa potongan tumbuhan (0,03%), insecta (1,34%), crustacea (3,28%) dan detritus (0,01%). Jenis crustacea yang dimanfaatkan ikan manila gift sebagai makanan tambahan berupa udang (3,28%). Secara umum, nilai luas relung makanan dari komunitas ikan di Waduk Penjalin berkisar antara 1,00-1,72 (Tabel 3). Tinggi rendahnya nilai luas relung makanan menunjukkan tingkat generalitas ikan dalam memanfaatkan pakan alami yang ada (Kreb, 1989). Sifat selektif ditunjukkan oleh ikan nilem dan manila gift, karena hanya memanfaatkan salah satu jenis pakan alami dengan persentase yang besar. Nilai tumpang tindih relung makanan dari komunitas ikan di Waduk Penjalin berkisar antara 0,00-1,00 (Tabel 3). Hal ini mendeskripsikan adanya tingkat kompetisi yang rendah hingga tinggi antar jenis ikan. Kompetisi yang rendah terjadi antara ikan betutu dan manila gift dengan ikan lainnya, serta ikan nilem dengan ikan beunteur dan nila. Tingkat kompetisi sedang terjadi antara ikan tawes dengan ikan beunteur, nila dan nilem. Kompetisi yang tinggi terjadi antara dua ikan predator, yaitu ikan betutu dengan ikan manila gift (Oij=1,00), juga ikan nila dan beunteur (Oij=0,90) karena sama-sama memanfaatkan fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae dan Dinophyceae yang cukup tinggi.
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 33-40
Tabel 3. Luas relung dan tumpang tindih relung makanan dari komunitas ikan di Waduk Penjalin Table 3. Niche breadth and niche overlap of fish communities in Penjalin Reservoir Jenis Ikan/Fish Species
Luas Relung (Bij)/Niche Breadth (Bij)
Tumpang Tindih Relung (Oij)/Niche Overlap (Oij) Betutu
Beunteur
Nila
Nilem
Betutu
1,24
Beunteur
1,17
0,00
Nila
1,30
0,00
0,90
Nilem
1,00
0,00
0,13
0,25
Manila Gift
1,10
1,00
0,00
0,00
0,00
Tawes
1,72
0,00
0,52
0,71
0,60
Analisis dendrogram (jarak euclidean sebesar 50%) yang didasarkan pada kebiasaan makanan dari masingmasing jenis ikan didapatkan tiga kelompok dalam rantai makanan (Gambar 4). Kelompok pertama adalah kelompok ikan planktivora yang tergolong herbivora terdiri atas ikan beunteur, nila, dan tawes. Kelompok kedua adalah ikan
Manila Gift
Tawes
0,00
herbivora yang terdiri atas ikan nilem. Kelompok pertama dan kedua dikategorikan sebagai konsumen tingkat pertama yang berhubungan langsung dengan produsen (fitoplankton maupun makrofita). Kelompok terakhir adalah kelompok ikan predator terdiri atas ikan manila gift dan betutu yang dikategorikan sebagai konsumen tingkat akhir.
Oxyeleotris m arm orata
Parachrom is m anaguensis
Barb onym us gonionotus
Oreochrom is niloticus
Puntius b inotatus
Osteochilus vittatus
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100 110 120
Jarak Euclidean (Dlink/Dmax)*100
Gambar 4. Figure 4.
Dendrogram interaksi pemanfaatan pakan alami dari komunitas ikan di Waduk Penjalin Dendrogram of food web interaction of fish community in Penjalin Reservoir
BAHASAN Kebiasaan makanan ikan pada satu badan air dengan badan air lainnya dapat berbeda ataupun sama (Effendie, 1997). Kebiasaan makanan ikan nila di Waduk Penjalin mirip dengan ikan yang sama di Waduk Ir. H. Djuanda yang banyak memanfaatkan fitoplankton dari kelas
Dinophyceae, terutama pada bulan September-Oktober 2008 (Tjahjo & Purnamaningtyas, 2009). Kebiasaan makanan ikan beunteur di Waduk Penjalin serupa dengan jenis ikan yang sama di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo et al., 2009), sedangkan kebiasaan makanan ikan tawes di Waduk Penjalin berbeda dengan di Waduk Kedungombo (Kartamihadja, 1994) dan di Waduk Wonogiri (Purnomo & 37
D.A. Hedianto, et al./BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 33-40
Kartamihardja, 2005), namun sama seperti di Danau Maninjau (Syandri, 2004). Makanan utama dari ikan nilem di Waduk Penjalin sama seperti di perairan Danau Maninjau (Syandri, 2004) dan Waduk Cirata (Hedianto & Purnamaningtyas, 2011).
(Agasen et al., 2006). Adanya tekanan predasi akibat tingginya populasi ikan asing predator (manila gift dan betutu) dan kompetisi daerah teritorial oleh ikan cichlid (manila gift) diduga sebagai salah satu penyebab rendahnya populasi tawes sebagai ikan asli.
Sifat predator ikan betutu di Waduk Penjalin seperti jenis ikan yang sama di Rawapening (Krismono et al., 2003a) dan Kedungombo (Krismono et al., 2003b). Kebiasaan makanan ikan manila gift sebagai ikan piscivora (predator) yang agresif, sama pula seperti ikan yang sama di Danau Taal, Filipina (Agasen et al., 2006) dan Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo et al., 2009). Adanya potongan tumbuhan yang ditemukan pada lambung ikan betutu dan manila gift menunjukkan bahwa kedua jenis ikan tersebut mencari mangsa pada daerah litoral. Perbedaan antara keduanya dalam mencari mangsa ialah ikan betutu merupakan predator demersal yang pasif (Riede, 2004), sedangkan ikan manila gift merupakan predator yang agresif dengan sifat benthopelagic dimana mampu mencari mangsa di dasar, kolom dan permukaan perairan (Agasen et al., 2006).
Kompleksitas rantai makanan berdasarkan tumpang tindih relung dan interaksi dalam memanfaatkan pakan alami cenderung rendah, karena hanya melibatkan dua posisi dalam rantai makanan (herbivora dan karnivora). Hal ini mengindikasikan adanya ketidakseimbangan secara ekologi akibat perbandingan yang tidak seimbang antara jumlah ikan predator dan ikan mangsa (prey). Persentase tangkapan antara ikan predator (piscivora) dan ikan mangsa (ikan planktivora dan herbivora) adalah 87,0% dan 13,0% atau perbandingan antara jumlah ikan mangsa dan predator adalah 1:6,5. Perbandingan ini jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya (Rukayah & Wibowo, 2011) yang menyatakan bahwa perbandingan komposisi ikan asli dan introduksi adalah sebesar 1,2:1, sedangkan perbandingan kelimpahan ikan asli dan introduksi adalah 1:2,0. Komunitas ikan di Waduk Penjalin saat ini banyak didominasi oleh ikan predator introduksi, terutama oleh ikan manila gift. Menurut Krebs (1989), apabila suatu perairan terlalu banyak terdapat ikan predator dibandingkan ikan mangsa, maka produktivitas perairan cenderung rendah.
Menurut Collwel & Futuyma (1971), semakin besar nilai luas relung makanan dari suatu ikan mengindikasikan semakin generalis dalam memanfaatkan sumber daya pakan yang ada. Ikan tawes merupakan salah satu ikan yang tergolong generalis daripada jenis ikan yang lainnya, terutama karena mampu memanfaatkan dua sumber daya yang berbeda sebagai makanan utama, yaitu fitoplankton dan tumbuhan. Ikan yang memakan beragam sumber daya makanan maka luas relung makanannya akan meningkat, walaupun sumber daya yang tersedia menurun (Krebs, 1989). Selanjutnya, sifat generalis suatu jenis ikan dalam memanfaatkan pakan yang ada dapat meningkatkan jumlah populasinya (Effendie, 1997). Walau demikian, hasil tangkapan ikan tawes ternyata cenderung rendah dibandingkan ikan lainnya. Hal ini berarti dalam ekologi rantai makanan, jenis-jenis ikan asli, seperti tawes diduga terganggu perkembangan populasinya akibat kehadiran dan interaksi dengan ikan spesies asing. Kehadiran ikan cichlid pada suatu perairan telah diteliti dapat menimbulkan efek negatif secara ekologi, apabila introduksi terjadi secara tidak terkontrol. Penelitian yang dilakukan Fuselier (2001) menunjukkan bahwa kehadiran ikan mujair (Oreochromis mossambicus) telah menimbulkan fragmentasi habitat pada perairan di Mexico yang menyebabkan terjadi perebutan wilayah (teritorial) antara ikan cichlid introduksi (mujair) dengan ikan-ikan cyprinodontid (ikan-ikan putihan). Hal ini dikarenakan hampir kebanyakan ikan cichlid memiliki perilaku untuk menjaga wilayahnya (Patzner, 2008). Ikan manila gift merupakan jenis ikan cichlid predator yang sangat menjaga wilayahnya untuk sarang dan anakan
38
Kehadiran ikan manila gift dikhawatirkan dapat berdampak negatif secara luas di Waduk Penjalin. Ikan ini merupakan hasil introduksi yang tidak disengaja (unintentional introductions) dengan karakteristik toleransi yang tinggi terhadap suhu (berkisar antara 25°36°C) (Bussing, 1998) maupun pH (berkisar antara 7,0-8,7) (Agasen et al., 2006). Ikan manila gift justru dapat berkembang dengan baik pada perairan yang hangat dan keruh dengan dasar perairan berupa lumpur atau serasah serta tingkat eutrofikasi yang tinggi (Conkel, 1993). Apabila status trofik perairan Waduk Penjalin berubah menjadi eutrofik, maka dikhawatirkan populasi ikan manila gift akan menjadi sangat dominan (invasive alien species). Jika hal tersebut terjadi, maka ancaman penurunan komunitas ikan asli semakin tinggi (dampak negatif bagi ekologi) diiringi menurunnya pendapatan nelayan (dampak negatif bagi ekonomi). Ikan manila gift tergolong sebagai ikan ekonomis rendah bagi masyarakat sekitar, walaupun kelimpahannya tinggi di alam. Upaya penebaran atau restocking dapat dilakukan guna memperbaiki keseimbangan ekologi di Waduk Penjalin, terutama dari jenis ikan asli. Namun, perlu diperhatikan tingginya jumlah ikan predator yang dikhawatirkan jenis ikan yang akan ditebar justru menjadi mangsa. Langkah awal terbaik untuk memulihkan ekologi di Waduk Penjalin adalah dengan mengendalikan populasi ikan predator, yaitu ikan manila gift dan betutu.
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 33-40
KESIMPULAN 1. Ikan beunteur, nila dan tawes tergolong sebagai planktivora, ikan nilem tergolong sebagai herbivora dan ikan betutu dan manila gift tergolong sebagai piscivora/predator. 2. Interaksi komunitas ikan dalam memanfaatkan pakan alami di Waduk Penjalin cenderung memiliki kompleksitas yang rendah akibat tingginya tingkat predasi. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan Penelitian Potensi Sumber Daya Ikan untuk Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Budidaya (Culture-Based Fisheries, CBF) di Propinsi Jawa Tengah (Waduk Sempor, Penjalin dan Wadaslintang) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Waduk Sermo), T.A. 2011, di Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Purwakarta. DAFTAR PUSTAKA Abulias, M. N. & D. Bhagawati. 2008. Studi awal keragaman genetik ikan betutu (Oxyeleotris sp.) di Waduk Penjalin menggunakan lima macam isozim. Prosiding. Seminar Nasional Sains dan Teknologi. (2): 88-95. Agasen, E. V., J. P. Clemente, M. R. Rosana & N. S. Kawit. 2006. Biological investigation of jaguar guapote Parachromis managuensis (Gunther) in Taal Lake, Philippines. Journal of Environmental Science and Management. 9 (2): 20-30. Bussing, W. A. 1998. Peces de las aguas continentales de Costa Rica [Freshwater fishes of Costa Rica]. 2nd Ed. San José Costa Rica: Editorial de la Universidad de Costa Rica. 468 p. In Froese, R. & D. Pauly. Editors. 2012. FishBase. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org, version (10/2012). Conkel, D. 1993. Cichlids of North and Central America. T.F.H. Publications, Inc., USA. In Froese, R. & D. Pauly. Editors. 2012. FishBase. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org, version (10/2012). Collwel, R. K. & D. J. Futuyma. 1971. On the measurement of niche bredth and overlap. Ecology. 52 (4): 567-576. Edmonson, W. T. 1978. Freshwater biology. 2nd Ed. John Wiley & Sonc, Inc. New York. 1.248 p. Effendie, M. I. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor. 157 p.
Fuselier, L. 2001. Impacts of Oreochromis mossambicus (perciformes: cichlidae) upon habitat segregation among cyprinodontids (cyprinodontiformes) of a species flock in Mexico. Rev. Biol. Trop. 49 (2): 647656. Froese, R. & D. Pauly. Editors. 2012. FishBase. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org, version (10/2012). Hedianto, D. A & S. E. Purnamaningtyas. 2011. Beberapa aspek biologi ikan nilem (Osteochilus vittatus, Valenciennes, 1842) di Waduk Cirata, Jawa Barat. Prosiding. Semnaskan Indonesia. STP. p. 95-107. Kartamihardja, E. S. 1994. Pembagian sumber daya pakan diantara lima jenis ikan yang dominan di Waduk Kedungombo, Jawa Tengah. Bul. Penel. Perik. Darat. 12 (2): 133-140. Kartamihardja, E. S. 2009. Mengapa ikan bandeng diintroduksikan di Waduk Djuanda, Jawa Barat. Prosiding. Forum Pemacuan Sumberdaya Ikan II. PI06. 14 p. Kottelat, M., J. A. Whitten, S. N. Kartikasari & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Edition (HK) Ltd. Hongkong. 377 p. Krebs, C. J. 1989. Ecological methodology. University of British Columbia. Harper and Row Publisher. New York. 654 p. Krismono, A. Azizi, A. s. Sarnita & A. S. N. Krismono. 2003a. Kajian dampak penebaran ikan betutu (Oxyeleotris marmorata) terhadap perikanan di perairan Rawapening. Prosiding Hasil-Hasil Riset. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 10 p. Krismono, A. Azizi, A. Sarnita & A. S. N. Krismono. 2003b. Kajian dampak penebaran ikan betutu (Oxyeleotris marmorata) terhadap perikanan tangkap di perairan Waduk Kedungombo. Prosiding Hasil-Hasil Riset. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 14 p. Moyle, P. B. & F. R. Senanayake. 1984. Resource partitioning among fishes of rainforest streams in Sri Lanka. J. Zool. London. (202): 195-223. Natarajan, A. V. & A. G. Jhingran. 1961. Index of preponderance-a method of grading the food elements in the stomach analysis of fishes. Indian Journal of Fisheries. 8 (1): 54-59.
39
D.A. Hedianto, et al./BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 33-40
Needham, J. G. & P. R. Needham. 1963. A guide to the study of freshwater biology, 5th Ed. Revised and Enlarged. Holden Day, Inc, San Fransisco. 180 p. Nikolsky, G. V. 1963. The ecology of fishes. Transl. by L. Birkett. Academic Press. New York. 352 p. Patzner, R. A. 2008. Reproductive strategies of fish. In Rocha, J. M., A. Arukwe & B. G. Kapoor. Fish Reproduction. Science Publishers. United States of America. p. 311-350. Pianka, E. R. 1986. Ecology and natural history of desert lizards. Analyses of the Ecological Niche and Community Structure. Princeton University Press, Princeton, New Jersey. 208 p. Purnomo, K & E. S. Kartamihardja. 2005. Pertumbuhan, mortalitas, dan kebiasaan makan ikan tawes (Barbodes gonionotus) di Waduk Wonogiri. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11 (2): 8 p. Quigley, M. 1977. Invertebrates of stream and rivers, a key to identification. Edward Arnold. Northampton. 84 p. Riede, K. 2004. Global register of migratory species - from global to regional scales. In Fishbase. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org. Final Report of the R&D-Project. Federal Agency for Nature Conservation, Bonn, Germany. 329 p.
40
Rukayah, S. & D. N. Wibowo. 2011. Komposisi spesies ikan indigenous dan introduksi pada ekosistem Waduk Penjalin Kab. Brebes (acuan: budidaya ikan). Prosiding. Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup. p. 39-48. Sokal, R. R. & F. J. Rohlf. 1995. Biometry: the principle practice of statistics in biological research. W. H. Freeman and Co. 877 p. Syandri, H. 2004. Penggunaan ikan nilem (Osteochilus haselti CV) dan ikan tawes (Puntius javanicus CV) sebagai agen hayati pembersih perairan Danau Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Natur Indonesia. 6 (2): 87-90. Tjahjo, D. W. H. & S. E. Purnamaningtyas. 2009. Evaluasi kemampuan ikan bandeng dan nila tebaran dalam memanfaatkan kelimpahan fitoplankton di Waduk Ir. H. Djuanda. Prosiding. FNPSI II. PI-02. 11 p. Tjahjo, D. W. H., S. E. Purnamaningtyas & A. Suryandari. 2009. Evaluasi peran jenis ikan dalam pemanfaatan sumber daya pakan dan ruang di Waduk Ir. H. Djuanda. J. Lit. Perikan. Ind 15 (4): 267-276. Wikipedia. 2013. Waduk Penjalin. http://id.wikipedia.org/ wiki/Waduk_Penjalin. Diakses Tanggal 24-05-2013.
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 41-48
HUBUNGAN PANJANG-BERAT DAN FAKTOR KONDISI LOBSTER PASIR (Panulirus homarus) DI PERAIRAN YOGYAKARTA DAN PACITAN LENGTH-WIGHT RELATIONSHIP AND CONDITION FACTORS OF SCALLOPED SPINY LOBSTER (Panulirus homarus) IN YOGAYAKARTA AND PACITAN WATERS Ignatius Tri Hargiyatno1), Fayakun Satria3), Andika Prima Prasetyo1), Moh. Fauzi2) 1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi dan Sumberdaya Ikan 2) Balai Penelitian Perikanan Laut, 3 ) Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 8 Juni 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 21 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 25 Maret 2013
ABSTRAK Pemanfaatan lobster yang intensif di perairan Selatan Jawa mengakibatkan terjadinya penurunan stok. Untuk menganalisa hal ini perlu dilakukan penelitian mengenai beberapa aspek biologi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa hubungan panjang-berat dan faktor kondisi lobster pasir (Panulirus homarus) di perairan selatan Yogyakarta dan Pacitan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pola hubungan panjang berat lobster pasir di perairan selatan Yogyakarta dan Pacitan bersifat allometrik negatif. Nilai rata-rata berat relatif (Wr) dan faktor kondisi (K) untuk lobster pasir (Panulirus homarus) jantan adalah 99,54 dan 0,933, sedangkan lobster betina 101,96 dan 1,003. Nilai faktor kondisi dindikasikan semakin menurun seiring pertambahan kelas ukuran panjang. KATA KUNCI: Panjang-berat, faktor kondisi, Panulirus homarus, Yogyakarta, Pacitan ABSTRACT Intensive utilization on spiny lobster in the Southern Java waters impacted on lobster stocks depletion. To analysis this issue, research on some of biological aspect need to be conducted. The aim of this research was to analyze the length-weight relationship and condition factor of the scalloped spiny lobster (Panulirus homarus) in Yogyakarta and Pacitan waters. The results shown P. homarus have allomatric negative growth pattern. The average value of the relative weight (Wr) and condition faktor (K) of the scalloped spiny lobster (Panulirus homarus) males were 99.54 and 0.933, while the female lobster 101.96 and 1.003. Condition factor value decreases as the length of the class. KEY WORD: Length-weight relationship, condition factor, Panulirus homarus, Yogyakarta, Pacitan
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu penghasil lobster di Asia Tenggara (FAO, 2011). Terdapat beberapa jenis lobster yang memiliki nilai ekspor dari Indonesia diantaranya lobster pasir (Panulirus homarus) dan lobster batu (Panulirus penniculatus). Nilai ekspor dari kedua jenis lobster tersebut pada tahun 2010 mencapai US $13 juta dengan harga US $6-7 /kg di pasar Negara Jepang (Anonimus, 2011a;2011b). Daerah penyebaran lobster terdapat di sepanjang pantai selatan Jawa dan salah satu pusat penangkapannya adalah di perairan pantai selatan Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Pacitan. Pada saat ini penangkapan dan pemanfaatan lobster di daerah tersebut melibatkan nelayan, pengumpul/distributor dan eksportir. Persentase produksi lobster pasir (Panulirus homarus) di daerah ini
mengalami penurunan dari tahun 2001-2008 (Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, 2012). Penurunan produksi ini diduga merupakan salah satu akibat dari tekanan penangkapan yang terjadi. Dampak lain dari tekanan penangkapan adalah semakin mengecilnya ukuran lobster yang tertangkap. Agar pemanfaatan sumberdaya lobster di perairan ini tetap lestari maka perlu dilakukan pengelolaan yang rasional dengan mempertimbangkan masukan dari aspek biologi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan panjang-berat dan faktor kondisi lobster pasir (Panulirus homarus) di Selatan Jawa khususnya di pantai Selatan Yogyakarta dan Pacitan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi studi populasi dan kebijakan pemanfaatan sumberdaya lobster di Selatan Jawa.
Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih II, Kompleks Bina Samudera, Ancol Timur Jakarta-Utara
41
I.T. Hargiyanto, et al/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 41-48
BAHAN DAN METODA
(K). Berat relatif (Wr) dihitung dengan menggunakan persamaan Rypel & Richter (2008), yaitu:
Pengumpulan data dilakukan di beberapa tempat pendaratan dan pengumpul lobster di daerah Gesing, Baron, Tepus dan Drini (Kabupaten Gunung Kidul) dan Watu Karung, Tamperan, Teleng Ria dan Tawang (Kabupaten Pacitan). Pengambilan data di setiap pendaratan dan pengumpul lobster dilaksanakan pada bulan Mei, Oktober dan Desember (2010), Maret, Oktober, November (2011). Pengukuran panjang karapas lobster menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 1 mm. Pengukuran berat menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram. Pengamatan secara visual dilakukan untuk mengetahui jenis kelamin dan perkembangan seksual. Analisis hubungan panjang-berat menggunakan persamaan Bal & Rao (1984) dan King (1995), yaitu : W = a L b ..............................................................(1) dimana W adalah berat lobster (gr), L adalah panjang karapas (mm), a adalah konstanta dan b adalah nilai eksponensial antara 2-5. Berdasarkan persamaan tersebut dapat diketahui pola pertumbuhan panjang dan bobot ikan. Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan. Selanjutnya dilakukan uji-t untuk nilai b yang diperoleh pada selang kepercayaan 95% (á=0.05) untuk mengetahui kesamaan terhadap angka 3. Jika nilai b=3 berarti pola pertumbuhan bersifat isometrik, b<3 atau b> 3 pola pertumbuhan bersifat allometrik. Untuk menganalisis kondisi individu lobster perlu diketahui berat relatif (Wr) dan nilai indeks faktor kondisi
Wr = (W/Ws) x 100
dimana Wr adalah berat realtif, W adalah berat tiap ikan dan Ws adalah berat standar yang diprediksi yang didapatkan dari hubungan panjang berat. Analisa faktor kondisi lobster menggunakan persamaan Effendie (2002) & King (1995): Kt=102 W/L3 ............................................................... (3) dimana Kt adalah faktor kondisi, W adalah bobot ratarata lobster (g), daan L adalah panjang rata-rata lobster (mm). HASIL DAN BAHASAN HASIL Hubungan Panjang dan Berat Jumlah lobster pasir (Panulirus homarus) yang diukur selama penelitian sebanyak 575 ekor, terdiri dari kelamin jantan 320 ekor (56 %) dan betina 255 ekor (44%). Secara keseluruhan, lobster pasir memiliki ukuran panjang karapas berkisar antara 28,2-85,2 mm atau rata-rata 50.93 mm. Lobster jantan memiliki kisaran panjang karapas antara 28,2-85,2 mm atau rata-rata 49,7 mm dengan kelas panjang dominan berada pada kisaran 45,0-49,9 mm. Lobster betina memiliki kisaran kelas panjang antara 35,8-84,34 mm atau rata-rata 52,54 mm dengan kelas panjang dominan berada pada kisaran antara 50,0-59,99 mm (Gambar 1.).
frekuensi (n)
100
Betina n=255
0
80
frekuensi (n)
.........................…………….. (2)
Jantan n=320
60 40 20 0
Kelas Panjang Karapas (mm)
Gambar 1. Sebaran panjang karapas lobster pasir (Panulirus homarus) yang diperoleh selama periode penelitian di perairan Yogyakarta dan Pacitan Figure 1. Carapac length frequency distribution of scalloped spiny lobster (Panulirus homarus) during sampling period in Yogyakarta and Pacitan waters 42
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 41-48
Hubungan panjang-berat dapat menunjukkan sifat pertumbuhan lobster. Analisis hubungan panjang-berat lobster jantan diperoleh nilai b = 2,7542 dan lobster betina dengan nilai b = 2,8288. Persamaan hubungan panjangberat lobster jantan adalah W=0,0025L2,7542 dan persamaan
pada lobster betina adalah W=0,002L2,828 (Gambar 2). Berdasarkan uji statistik tidak terdapat perbedaan nyata dari persamaan hubungan panjang-berat antara lobster jantan dan betina.
600
600 500
betina n=225
400
berat (gram)
berat (gram)
500
W = 0,002L2,828 r = 0,9746
300 200
400
200 100
0
0 20 40 60 80 panjang karapas (mm)
W = 0,002L2,754 r = 0,9783
300
100
0
jantan n=320
100
0
20 40 60 80 panjang karapas (mm)
100
Gambar 2. Grafik hubungan panjang berat lobster pasir (P. homarus) Figure 2. Length-weight relationship of P.homarus Uji-t pada taraf nyata 95% dari nilai b terhadap nilai 3 untuk kedua jenis kelamin lobster diperoleh thitung (69,304) > ttabel (1,9694) untuk lobster betina dan thitung (84,64) > ttabel (1,9675) untuk lobster jantan. Dengan demikian maka diterima nilai b<3 (allometrik negative) yang berarti pertambahan panjang kedua jenis kelamin tersebut lebih cepat dari pada pertambahan beratnya (Tabel 1.). Faktor Kondisi Hasil perhitungan menunjukkan nilai berat relatif (Wr) lobster jantan berkisar antara 58,5-166,9gram atau rata-
rata 99,5 gram dan faktor kondisi Fulkon (K) berkisar antara 0,658-0,658 atau rata-rata 0,9. Berat relatif (Wr) lobster betina berkisar antara 61,7-143,5 gram atau rata-rata 101,9 gram dan nilai faktor kondisi Fulkon (K) berkisar antara 0,804-1,074 atau rata-rata 1,003. Rata-rata nila berat relatif dan faktor kondisi lobster jantan lebih kecil dari pada lobster betina (Tabel 2.). Hasil penelitian juga menujukkan nilai faktor kondisi (K) terlihat semakin menurun seiring pertambahan kelas ukuran panjang karapas (Gambar 3). Nilai K bulanan dari bulan Desember 2010 – November 2011 untuk lobster betina mengalami penurunan dari 1,28 hingga 0,98. (Tabel 3).
Tabel 1. Hasil perhitungan analisis pada lobster pasir (Panulirus homarus) Table 1. T-test result for P. Homarus Sex Betina/Female Jantan/ Male
b 2,8288 2,7542
t-test 69,304 84,64
t-tabel 1,9694 1,9675
Keterangan/remark Allometrik negatif Allometrik negatif
Tabel 2. Rentang nilai Faktor kondisi Fulkon (K) dan Berat Relatif (Wr) lobster P homarus Tabel 2. Range of condition faktor (K) and relative weight (Wr) of P. homarus Sex Betina/ Female Jantan/male
Wr-min 61,77 58,56
Wr-max 143,57 166,93
Mean Wr±SD 101,96±10,72 99,54±11,23
Kmin 0,804 0,658
Kmax 1,074 1,121
MeanK ±SD 1,003±0,09 0,933±0,14
43
I.T. Hargiyanto, et al/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 41-48
Tabel 3. Nilai bulanan Faktor kondisi Fulkon (K) lobster P. homarus Table 3. Monthly value of condition factor value of P. homarus
No/No
Bulan/Month
Nilai Faktor Kondisi/ Condition Factor (K) Betina/Female
Jantan/Male
1
Oktober 2010
0,850
0,841
2
Desember 2010
1,276
1,039
3
Maret 2011
1,115
1,023
4
Oktober 2011
1,029
1,062
5
November 2011
0,987
0,925
1.2 Indeks K
1 0.8 0.6
Betina
0.4
Jantan
0.2 0
kelas panjang karapas (mm)
Gambar 3. Grafik indeks faktor kondisi pada setiap ukuran kelas P. homarus Figure 3. Condition factor based on CL class of P. homarus BAHASAN Jenis lobster pasir (Panulirus homarus) masuk ke dalam family Palinuridae. Secara morfologi family Palinuridae dibagi menjadi dua bagian utama yaitu chepalotorax (bagian kepala yang menyatu dengan dada) dan bagian abdomen (badan). Menurut Yusnaini et al., 2009 secara eksternal lobster dapat dibedakan jenis kelaminnnya dengan melihat tanda-tanda sebagai berikut: (1) Pada kedua pangkal kaki jalan ke-3 terdapat tonjolan berwarna putih bening untuk lobster betina; (2) Bagian sisi dalam kaki renang terdapat lembaran berpasangan yang berjumlah 2 lembar pada lobster betina dan 1 lembar pada lobster jantan.; (3) Ruas kaki jalan ke-5 bercabang tiga untuk lobster betina; dan (4) Pada tangkai kaki jalan ke-5 terdapat tonjolan yang berhubungan dengan testis pada lobster jantan. Telur lobster menempel pada bagian abdomen lobster betina. Ciri khusus dari jenis Panulirus homarus dapat dilihat melalui warna antena (antenullar
44
flagella) dan kaki jalan bercorak belang putih (Lampiran 1.) Terdapat beberapa cara untuk mengetahui ukuran lobster, diantaranya adalah dengan pengukuran panjang karapas dan berat total. Pengukuran panjang dan berat lobster dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui konversi dan ukuran panjang ke berat atau sebaliknya sehingga dapat di jadikan petunjuk kesehatan, kegemukan, produktifitas dan kondisi fisiologis termasuk perkembangan gonad (Merta, 1993). Hasil penelitian menunjukkan pola pertumbuhan lobster pasir (Panulirus homarus) di Selatan DIY dan Pacitan bersifat allometrik negatif. Beberapa hasil penelitian hubungan panjang-berat lobster pasir sudah banyak dilakukan. Pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif diperoleh pada penelitian di Pangandaran, Teluk Ekas-Lombok, Aceh dan Selatan Yogyakarta (Tabel 4).
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 41-48
Tabel 4. Beberapa hasil penelitian pola pertumbuhan lobster P.homarus di Indonesia Table 4. Some rusult of growth pattern research of P. homarus in Indonesian No/ No 1
Aceh
Tahun/ Year 1993
2
Pangandaran
1994
2,317
Alometrik negatif
Suman et al., 1994
3
Pangandaran
2006
2.513
Alometrik negatif
4
Yogyakarta
2009
2,788
Alometrik negatif
Nuraini & Sumiono, 2006 Aisyah et al., 2009; Aisyah & Setya, 2010
5
Teluk EkasLombok
2010
-
Alometrik negatif
Lokasi/ Location
b 2,4322
Keterangan/ Remark Alometrik negatif
Sumber/Source Suman & Subani, 1993
Junaidi et al., 2010
Pola pertumbuhan ditentukan berdasarkan nilai b yang diperoleh dari persamaan hubungan panjang berat udang. Nilai b dari setiap penelitian menunjukkan adanya perbedaan besaran walaupun memiliki pola pertumbuhan yang sama (Tabel 4). Perbedaan nilai b yang diperoleh umumnya terjadi pada daerah dan waktu pengambilan sample yang berbeda. Perbedaaan nilai b menunjukan hubungan panjang-berat yang diakibatkan oleh faktor ekologis dan biologis (Manik, 2009). Faktor ekologis diantaranya adalah musim, kualitas air, suhu, pH, salinitas, posisi geografis dan teknik sampling (Zargar et al., 2012; Jenning et al., 2001), Faktor biologis meliputi: perkembangan gonad, kebiasaan makan, fase pertumbuhan dan jenis kelamin (Froese, 2006; Tarkan et al., 2006). Kondisi lingkungan yang berubah dapat mengakibatkan kondisi ikan berubah sehingga hubungan panjang berat akan menyimpang dari hukum kubik (Merta, 1993).
adanya penanda perubahan lingkungan (Raharjo et al., 2011).
Menurut Mulfizar et al. (2012), berat relatif (Wr) dan koefisien (K) faktor kondisi digunakan untuk mengevaluasi nilai faktor kondisi setiap individu. Nilai rata-rata berat yang diamati (W) lebih rendah dari nilai rata-rata berat yang diprediksi (Ws) atau berat relative (Wr) kurang dari 100 dapat diindikasikan perairan tersebut kurang mendukung untuk pertumbuhan. Nilai rata-rata berat relative (Wr) di perairan Yogyakarta dan Pacitan mendekati angka 100 yang dapat diartikan perairan di kedua wilayah tersebut masih mendukung untuk pertumbuhan lobster.
Selain ketersediaan makanan, faktor lingkungan juga menjadi suatu hal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan faktor kondisi lobster. Lobster terdapat di sepanjang pantai selatan Gesing (DIY) sampai dengan Prigi (Jawa Timur). Lobster hidup di daerah dengan karakteristik pantai pasir berbatu (Pratiwi, 2010) dan diatas terumbu karang (Saudi et al., 2001). Lobster memiliki sifat hidup membenamkan diri pada siang hari dan aktif makan pada malam hari (nokturnal) (Setyono, 2006). Lobster jenis P. homarus dapat hidup berasosiasi dengan jenis P. penicillatus (Saudi et al., 2001).
Hal yang sama juga ditunjukkan nilai faktor kondisi (K) hasil penelitian di perairan Yogyakarta dan Pacitan yang mendekati angka 1 yang memberi indikasi cukup tersediaanya bahan makanan untuk pertumbuhan lobster. Namun, perkembangan bulanan nilai faktor kondisi cenderung menurun. Faktor kondisi merupakan indeks yang mencerminkan interaksi antara faktor biotik dan abiotik yang berpengaruh terhadap proses-proses fisiologis dalam tubuh ikan (Rahman et al., 2012). Faktor kondisi juga dapat digunakan sebagai instrumen yang efisien dan menunjukkan perubahan kondisi ikan sepanjang tahun dan secara tidak langsung menjadi
Ketersediaan makanan merupakan salah satu hal yang berpengaruh terhadap keseimbangan habitat. Lobster jenis P. homarus mengkonsumsi bivalvia sebagai makanan utama; kepiting, gastropoda, barnacles dan alga sebagai makanan sampingan. Sementara ikan, Echinodermata dan Ascidiacea merupakan makanan tambahan jika tidak diketemukan makanan utama dan sampingan (Mashaii et al., 2011). Pada kenyataanya nelayan di Yogyakarta dan Pacitan menggunakan bivalvia (lokal:rungken) sebagai umpan untuk menangkap lobster dengan menggunakan jaring krendet (trap) yang dipasang secara proporsional. Menurut Rao et al. (2010) ketersediaan bahan makanan yang cukup dapat mempercepat laju pertumbuhan lobster. Pertumbuhan berat lobster pasir sebesar 0,45% per hari pada pembesaran di tangki dan 0,5% per hari di laut.
Pengamatan menunjukkan lingkungan perairan di selatan Kabupaten Gunung Kidul dan Pacitan diindikasikan sudah mengalami penurunan kesuburan. Hal ini diakibatkan oleh adanya penggunaan bahan pencemar berupa sianida untuk memburu lobster masih sering di lakukan oleh nelayan. Penggunaan sianida dapat berpengaruh juga terhadap kondisi karang sebagai habitat lobster. Banyaknya alat tangkap “krendet” dan gillnet yang tertinggal juga dapat merusak lingkungan perairan dengan terjadinya ghost fishing. Ghost fishing dapat diartikan sebagai alat tangkap yang hilang atau putus saat 45
I.T. Hargiyanto, et al/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 41-48
dioperasikan tetapi akan tetap berfungsi untuk menangkap ikan Hal ini dapat mempengaruhi laju kematian (mortality) organism laut yang tertangkap/terperangkap secara tidak sengaja tanpa dapat dikontrol atau dikendalikan oleh manusia (Matsuoka, 2005). KESIMPULAN Lobster pasir (Panulirus homarus) di perairan selatan Yogyakarta dan Pacitan menunjukkan pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif, dimana pertambahan panjang tidak secepat pertambahan beratnya. Rata-rata berat relatif (Wr) lobster jantan 99,5 gram dan betina 101,9 gram serta faktor kondisi (K) lobster jantan adalah 0,9 dan lobster betina 1,0 dan ditemukan indikasi bahwa faktor kondisi semakin turun seiring dengan pertambahan ukuran panjang karapasnya. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari Penelitian “Developing New Assessment and Policy Frameworks for Indonesia’s Marine Fisheries, Including The Control and Management of Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing” No. FIS/2006/142 dengan sumber dana dari Hibah Luar Negeri (HLN).
2011. [Cited 9 October 2012] http://www.fao.org/ fishery/culturedspecies/Panulirus_homarus/en Fischer, W. & G. Bianchi (eds).1984. FAO species identification sheets for fishery purposes. Western Indian Ocean (Fishing Area 51). Prepared and printed with the support of the Danish International Development Agency (DANIDA). Rome, Food and Agricultural Organization of the United Nations, Vol. 1-6: pag.var. Froese, R. 2006. Cube law, condition faktor and weightlength relationships: history, meta-analysis and recommendations. Journal of Applied Ichthyology. 22 (4): 241-253 Holthuis, L.B. 1981. FAO species catalogue. Vol. 13. Marine lobsters of the world. An annotated andillustrated catalogue of species of interest to fisheries known to date. FAO Fisheries Synopsis . 13 (125): 292. Jennings, S., M.J. Kaiser & J.D. Reynolds. 2001. Marine fishery ecology. Blackwell Sciences, Oxford-US: 417 p. Junaidi, M, N. Cokrowati & Z. Abidin, 2010. Aspek Reproduksi Lobster (Panulirus sp.) di Perairan Teluk Ekas Pulau Lombok. Jurnal Kelautan. 3 (1): 29-36
DAFTAR PUSTAKA Aisyah, Badrudin, & S. Triharyuni. 2009. Lobster Seed Resources in the South Coast of Yogyakarta. AARD.MMAF.25 p. (Unpubslihed Report) Aisyah & S. Triharyuni. 2010. Production, Size Distribution, and Length-Weight Relationship of Lobster landed in the South Coast of Yogyakarta, Indonesia. Ind. Fish. Res.J. 16 (1): 15-24 Aninomus. 2011a. Statistik Ekspor Hasil Perikanan. Buku I. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 524 p. Aninomus. 2011b. Statistik Ekspor Hasil Perikanan. Buku II. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 446 p. Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata Mc. Graw–Hill Publishing Company Limited, New Delhi: p. 5 – 24. Effendie, I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta : 97p. FAO. 2011-2012.Cultured Aquatic Species Information Programme. Panulirus homarus. Cultured Aquatic Species Information Programme. Text by Jones, C. In: FAO Fisheries and Aquaculture Department [online]. Rome. Updated 16 September 46
King, M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Fishing News Books: 341p. Manik, N. 2009. Hubungan Panjang-berat dan Faktor Kondisi Ikan Layang (Decapterus russelli) di Perairan Sekitar Teluk Likupang, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 35(1): 65-74 Mashaii, M, F. Rajabipour & A. Shakouri. 2011. Feeding Habits of the Scalloped Spiny Lobster, Panulirus homarus (Linnaeus, 1758) (Decapoda: Palinuridae) from the South East Coast of Iran, Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 11: 45-54 Matsuoka, T., T. Nakashima & N. Nagasawa.2005. A Review of Ghost Fishing: Scientific Approaches to Evaluation and Solutions. Fisheries Science. 71: 691702 Merta, I.G.S. 1993. Hubungan panjang – beratdan faktor kondisi ikan lemuru, Sardinella lemuru Bleeker, 1853 dari perairan Selat Bali. Jur.Pen.Per. Laut ( 73 ) : 35 44. Mulfizar, Zainal A. Muchlisin & I. Dewiyanti, 2012. Hubungan panjang-berat dan faktor kondisi tiga jenis ikan yang tertangkap di perairan Kuala Gigieng, Aceh Besar,Provinsi Aceh. Depik, 1(1):1-9
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 41-48
Nuraini, S. & B. Sumiono. 2006. Parameter biologi udang barong di pantai selatan Pangandaran, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Perikanan. Universitas Gadjah Mada: 9 p. Pratiwi, R. 2008. Aspek Biologi Udang Ekonomis Penting. Oseana, Volume XXXIII (2): 15–24 Raharjo, M.F. Djadja, S.S. Ridwan & A. Johannes, H. 2011. Iktiology. Lubuk Agung Bandung: 396 p. Rahman, M., Y. Hossain, A. S. Jewel, M. M. Rahman, S. Jasmine, E. M. Abdallah & J. Ohtomi. 2012. Population Structure, Length-weight and Length-length Relationships, and Condition Form-Faktors of the Pool barb Puntius sophore (Hamilton, 1822) (Cyprinidae) from the Chalan Beel, North-Central Bangladesh. Sains Malaysiana 41(7): 795–802 Rao, G.S, R. M.George, M.K. Anil, K.N saleesa, S. Jasmine, H.J. Kingsly & G.H. Rao. 2010. Cage culture of the spiny lobster Panulirus homarus (Linnaeus) at Vizhinjam,Trivandrum along the south-west coast of India, Indian J. Fish., 57(1) : 23-29 Rypel, A.L. & T.J. Richter. 2008. Emperical percentile standard weight equation forthe Blacktail Redhorse. North American Journal of Fisheries Management 28:1843-1846 Suadi, R. Widaningroem, Soeparno, & N. Probosunu. 2001. Kajian sumber daya lobster di pantai selatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Edisi Khusus Crustacea. 1 (2): 33-42.
Setyono, D.E.D. 2006. Budidaya Pembesaran Udang Karang (Panulirus spp.). Oseana 31 (4): 39-48 Suman, A. & W. Subani. 1993. Pengusahaan Sumberdaya Udang Karang di Perairan Aceh Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (81): 84-90 Suman, A., W. Subani & P. Prahoro. 1994. Beberapa Parameter Biologi Udang Pantung (Panulirus homarus) di Perairan Pangandaran Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (85): 1-8 Tarkan, A.S., Gaygusuz, Ö., Acipinar, P., Gürsoy, C. & Özulug,M. 2006. Length-weight relationship of fishes from the Marmara region (NW-Turkey). Journal of Applied Ichthyology 22(4): 271-273. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI). 2012. Developing New Assessment and Policy Framework for Indonesia’s Marine Fisheries, Including the Control and Management of Illegal, Unregulated and Unreported Fishing. Laporan Teknis: 111 p. Zargar,U.R., A. R. Yousuf, B. Mushtaq & D. Jan, 2012. Length–Weight Relationship of the Crucian carp, Carassius carassius in Relation to Water Quality, Sex and Season in Some Lentic Water Bodies of Kashmir Himalayas, Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 12: 685-691 Yusnaini, M.N. Nessa, M. I. Djawad,& D. D. Trijuno. 2009. Ciri Morfologi Jenis Kelamin dan Kedewasaan Lobster Mutiara (Panulirus ornatus). Torani .Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. 19 (3): 166– 174
47
I.T. Hargiyanto, et al/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 41-48
Lampiran 1. Ciri-ciri family Panuridae dan bagian-bagiannya (a), dan Morfologi lobater pasir (Panulirus homarus) (b) Apendix 1. The characteristic of family Panuridae (a), and morphology of scalloped spiny lobster (Panulirus homarus) (b)
48
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 49-57
BIOLOGI REPRODUKSI DAN MUSIM PEMIJAHAN IKAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI PERAIRAN SELAT BALI BIOLOGY REPRODUCTION AND SPAWNING SEASON OF BALI SARDINELLA (Sardinella lemuru Bleeker 1853) IN BALI STRAIT WATERS Arief Wujdi1), Suwarso2) dan Wudianto1) 1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Jakarta 2) Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 31 Mei 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 27 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 01 April 2013
ABSTRAK Ikan lemuru (Sardinella lemuru) merupakan salah satu jenis ikan pelagis ekonomis penting dari famili Clupeidae yang banyak tertangkap di perairan Selat Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji beberapa aspek biologi reproduksi ikan lemuru. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2010-Desember 2011 di Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Hasil penelitian menunjukkan nilai rasio ikan lemuru jantan dan betina secara keseluruhan menunjukan keadaan yang seimbang. Panjang pertama kali matang gonad (Lm) ikan lemuru adalah 18,9 cmFL dan panjang ratarata populasi tertangkap (Lc) adalah 14,5 cmFL. Hasil pengamatan terhadap tingkat kematangan gonad (TKG) menunjukkan bahwa ikan lemuru yang tertangkap didominasi oleh ikan dalam kondisi belum matang (immature). Kondisi ikan yang matang gonad ditunjukkan dengan nilai IKG tertinggi yang terjadi pada bulan September 2010 dan 2011 yaitu 5,5% dan 14,4%. Lokasi pemijahan Ikan lemuru diduga terletak pada zona VI yaitu di bagian selatan selat Bali mendekati paparan Pulau Bali. KATA KUNCI: Biologi reproduksi, pemijahan, ikan lemuru, Selat Bali ABSTRACT Bali sardinella (Sardinella lemuru) is one of the economically important pelagic fish belng to family of clupidae which caught mostly in the Bali strait waters. The objective of this research is to determine some aspects of biological reproduction of Bali Sardinella. This research was conducted from August 2010 to December 2011 with sampling location in Muncar fishing port at Banyuwangi Regency. The composition of male and female for Bali Sardinella showed an equal sex ratio. The length at first maturity (Lm) is 18.9 cmFL and the Lc-50 is 14.5 cmFL. Bali Sardinella caught dominantly in immature stage. The matured fish obtained mostly on September with the highest values of gonado somatic index was found on September 2010 (5.5%) and September 2011 (14.4%). Location of spawning of Bali sardinella presumably located in the southern part of Bali strait waters near Bali island. KEYWORDS: Biological reproduction, spawning, Bali sardinella, Bali Strait.
PENDAHULUAN Perikanan lemuru di perairan Selat Bali berkembang sangat pesat sejak diperkenalkannya alat tangkap pukat cincin oleh peneliti Lembaga Penelitian Perikanan Laut (LPPL) yang sekarang menjadi BPPL yaitu pada tahun 1972. Sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Selat Bali terdiri dari berbagai jenis ikan seperti lemuru, layang, kembung, tembang dan selar, tetapi yang dominan adalah ikan lemuru (Sardinella lemuru). Hasil tangkapan ikan lemuru memberi kontribusi yang sangat besar terhadap total hasil tangkapan pukat cincin di perairan Selat Bali (Merta et al., 2000; Budiharjo et al., 1990; Wudianto, 2001). Pada tahun 1998 ikan lemuru memberikan kontribusi sebesar 98% terhadap total hasil tangkapan armada pukat cincin di Selat Bali (Wudianto, 2001). Pesatnya
perkembangan perikanan lemuru ini didukung pula oleh adanya pabrik-pabrik pengolahan, seperti pengalengan ikan, pemindangan, tepung ikan, serta industri jasa penyimpanan ikan (cold storage) yang terdapat di sekitar tempat pendaratan utama, yaitu di Muncar dan Pengambengan. Secara umum, tingkat pemanfaatan ikan lemuru di Selat Bali dari tahun ke tahun terus meningkat. Terjadinya peningkatan pemanfaatan sumber daya ikan, di samping armada penangkapan (baik ukuran maupun jumlah) yang bertambah, disebabkan pula oleh meningkatnya kapasitas alat tangkap, mesin penggerak dan pemanfaatan alat bantu penangkapan seperti penggunaan lampu sebagai alat bantu pengumpul ikan. Dengan pemanfaatan sumber daya ikan lemuru yang semakin meningkat, diduga
Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih II, Kompleks Bina Samudera, Ancol Timur Jakarta-Utara
49
A. Wujdi. et al/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 49-57
mengakibatkan terjadinya penurunan stok sumberdaya ikan lemuru di perairan Selat Bali. Dengan adanya tekanan pemanfaatan sumber daya ikan diperkirakan memiliki dampak terhadap proses biologi dari ikan tersebut. Tulisan ini menguraikan hasil kajian biologi reproduksi ikan lemuru yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan masukkan bagi upaya pengelolaan terhadap sumber daya ikan lemuru di wilayah perairan Selat Bali sehingga pemanfaatan sumber daya ikan tersebut dapat dilakukan secara berkelanjutan.
BAHAN DAN METODE Pengambilan contoh ikan lemuru (Sardinella lemuru) yang diamati aspek biologinya merupakan hasil tangkapan pukat cincin yang beroperasi di perairan Selat Bali. Pengambilan contoh ikan dilakukan secara rutin bulanan oleh peneliti dan enumerator mulai bulan Agustus 2010 hingga Desember 2011 di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar, Banyuwangi. Ikan contoh diambil secara acak melalui pengukuran sistematis dengan mengikuti standar prosedur pengambilan contoh dan pengukuran menurut Suwarso (2010). Daerah penangkapan ikan lemuru menyebar di perairan Selat Bali dan dapat dikelompokkan seperti pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1. Daerah penangkapan ikan lemuru (S.lemuru) di Selat Bali Figure 1. Fishing ground of Bali sardinella (S.lemuru) in Bali Strait waters Keterangan/Remarks: Zona I : Karang Ente, Tanjung Pasir, Ujung Angguk; Zona II : Sembulungan, Anyir, Watu Layar, Sekeben, Senggrong, Klosot, Prepat, Lampu Kelip, Kapal pecah; Zona III : Teluk Pang-pang (khusus bagan); Zona IV : Blimbing Sari, Bomo; Zona V : Pengambengan, Kayu Gede; Zona VI : Bukit, Benoa, Jimbaran, Pemancar; Zona VII : Grajagan, Pancer, Watu loro (Samudera Hindia).
Prosedur Pra Pengambilan Contoh Berdasarkan pengamatan pra sampling yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 menunjukkan bahwa gonad jantan dan betina ikan lemuru kategori dewasa (adult) sudah dapat dibedakan pada ukuran mulai 13-14 cmFL. Untuk ukuran dibawah panjang tersebut pada umumnya belum dewasa dan ciri-ciri gonad jantan dan betina belum dapat dibedakan secara jelas. Oleh karena itu, pengambilan contoh ikan untuk diamati tingkat kematangan gonadnya dilakukan terhadap ikan yang berukuran > 13 cmFL.
50
Pengambilan contoh ikan menggunakan metode acak proporsional menurut kelas panjang dimana setiap ukuran kelas panjang diwakili oleh jumlah ikan contoh yang sama. Pengambilan contoh dilakukan setiap bulan sebanyak 30600 ekor/bulan (rata-rata 238 ekor/bulan). Karakter individu yang diukur meliputi jenis kelamin, panjang total (TL) dan panjang cagak (FL) dalam centimeter, bobot tubuh dalam keadaan segar (gram), tingkat kematangan gonad, dan bobot gonad segar (gram). Tingkat kematangan gonad diamati secara visual mengikuti skala kematangan gonad standard (five point maturity scale for partial spawners) yang mengacu pada Holden & Raitt (1974) seperti disajikan pada Tabel 1. Tambahan sampel juga dilakukan untuk melengkapi kekurangan ikan contoh pada ukuran tertentu terutama ikan yang berukuran besar (>17 cmFL).
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 49-57
Tabel 1. Deskripsi tingkat kematangan gonad Table 1. Description of gonad maturity stages Stadium/ Stage I
Status/ Condition Belum matang/ Immature
II
Perkembangan/ Developing
III
Pematangan/ Ripening
IV
Matang/ Ripe or Fully Mature
V
Mijah salin/ Spent
Keterangan/Remarks Ovari dan testes kira-kira 1/3 panjang rongga badan. Ovari berwarna kemerah-merahan bening. Testes berwarna keputih-putihan. Telur tidak terlihat dengan mata telanjang Ovari dan testes kira-kira ½ panjang rongga badan, bening atau jernih. Testes keputih-putihan, kurang lebih simetris. Telur tidak terlihat dengan mata telanjang Ovari dan testes kira-kira 2/3 panjang rongga badan. Ovari berwarna kuning kemerah-merahan dan butiran telur mulai kelihatan. Testes keputih-putihan sampai krem. Tidak ada telur yang tembus cahaya atau jernih. Ovari dan testes 2/3 sampai memenuhi rongga badan. Ovari berwarna merah jambu/orange dengan pembuluh darah terlihat jelas di permukaannya. Terlihat telur yang masak dan tembus cahaya. Testes keputih-putihan/krem dan lembut Ovari dan testes mengerut sampai menjadi kira-kira ½ rongga badan. Dinding-dinding mengendur. Ovari dapat mengandung sisa-sisa telur
Sumber/Source: Holden & Raitt (1974).
[
Penentuan musim pemijahan dianalisis berdasarkan pada pola fluktuasi bulanan dari nilai Indeks Kematangan Gonad (IKG) atau gonado somatic index (GSI) dengan perhitungan menurut Effendie (2002): ...................................... (1) dimana:
]
M = antilog m ± 1,96 var(m ) ...................(3)
Analisis Data
Wg = bobot gonad segar (gram) W = bobot tubuh ikan (gram)
Ukuran panjang pertama kali lemuru tertangkap (length at first capture atau Lc) diperoleh dengan cara memplotkan frekuensi kumulatif ikan yang tertangkap dengan panjang cagak sehingga akan diperoleh kurva logistik baku, dimana titik potong antara kurva logistik baku dengan 50% frekuensi kumulatif merupakan nilai ratarata ukuran panjang ikan yang tertangkap. Ukuran panjang saat pertama kali ikan lemuru mencapai kematangan gonad (Lm) dihitung mengikuti metode Spearman-Karber menurut Udupa (1986) pada persamaan (2). Asumsi yang digunakan adalah tingkat kematangan gonad III (ripening) juga dianggap sebagai ikan-ikan yang mature, hal ini dipertimbangkan karena ikan lemuru dengan kondisi TKG IV (mature) jumlahnya sangat sedikit. m=(Xk+X/2)-(X.Spi ) ...................................... (2) Kisaran panjang ikan pertama kali matang gonad diperoleh dari nilai antilog m (M) pada selang kepercayaan 95% :
dimana: m = log panjang ikan saat pertama matang gonad M = anti Log dari m Xk = log ukuran ikan di mana 100% ikan contoh sudah matang X = pertambahan log panjang nilai tengah kelas pi = proporsi ikan matang pada kelompok ke-i HASIL DAN BAHASAN HASIL Nisbah Kelamin Berdasarkan Struktur Ukuran dan Daerah Penangkapan Contoh ikan lemuru (Sardinella lemuru) yang diamati dalam penelitian ini secara keseluruhan berjumlah 2.851 ekor, terdiri dari 2.620 ekor ikan dewasa (adults) dan 231 ikan muda (sub adults). Ikan lemuru memiliki ukuran panjang cagak dengan nilai tengah berkisar antara 13,519,5 cmFL. Sampel ikan lemuru terbanyak ditangkap dari daerah penangkapan zona II yaitu sebanyak 43,07%, kemudian zona I (22,80%) dan zona VI (18,69%), sedangkan yang tertangkap di zona V dan VII berturut-turut adalah 7,3% dan 1,79%. Ikan lemuru yang tertangkap di daerah yang tidak diketahui daerah penangkapannya (unknown zone) sebanyak 6,31%. Secara keseluruhan nisbah kelamin ikan lemuru jantan dan betina pada penelitian ini adalah 1:1,09 (Gambar 2).
51
A. Wujdi. et al/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 49-57
Jumlah ikan jantan keseluruhan adalah 1.353 ekor, betina 1.475 ekor, sedangkan sisanya 23 ekor tidak teridentifikasi. Dengan uji khi-kuadrat menunjukkan bahwa rasio jenis kelamin ikan lemuru tidak berbeda nyata dan berada dalam keadaan seimbang. Namun demikian apabila didasarkan
pada struktur ukuran ikan terjadi perbedaan yang signifikan pada nisbah kelamin ikan lemuru jantan dan betina terutama pada ikan yang berukuran besar, dimana ikan lemuru betina lebih banyak dari pada jantan (Gambar 2a).
100%
100%
90%
90%
80%
80%
70%
70%
60%
60%
50%
Male
40%
Female
30%
50%
Male
40%
Female
30%
20%
20%
10%
10% 0%
0% 14.0-15.0 (521)
15.0-16.0 (678)
16.0-17.0 (840)
17.0-18.0 (519)
18.0-19.0 (51)
19.0-20.0 (2)
(a)
Zone I (627)
Zone II (1057)
Zone V (209)
Zone VI (527)
ZoneVII (51)
Unknown (149)
(b)
Gambar 2. Rasio jenis kelamin ikan lemuru menurut: a) struktur ukuran dan (b) daerah penangkapan Figure 2. Sex Ratio of Bali Sardinella according to: a) size structure and b) fishing ground Rata-rata Ukuran Panjang Populasi Tertangkap (Lc) dan Pertama Kali Matang Gonad (Lm)
Frekuensi kumulatif / Cumulative frequency (%)
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa ikan lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali memiliki ratarata ukuran panjang (Lc) sebesar 14,23 cm (Gambar 3). Ikan lemuru betina mengalami matang gonad untuk pertama kalinya pada ukuran panjang cagak 18,9 cm atau pada kisaran antara 18,4-19,4 cm. Sedangkan ikan lemuru jantan berada dalam kondisi matang gonad untuk pertama kalinya pada ukuran panjang 17,78 cm. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan lemuru betina mengalami matang gonad pada ukuran yang lebih besar dibandingkan ikan lemuru jantan. 100 90 80 70 60 50
14,23 cm
40 30 20 10 0 6
8
10
12
14
16
18
20
22
Panjang cagak / Fork length (cm)
Gambar 3.Frekuensi kumulatif dari distribusi frekuensi panjang ikan lemuru di perairan Selat Bali Figure 3. Cumulative frequency of the length frequency distribution of Bali sardinella caught from Bali Strait waters
52
TKG, IKG dan Musim Pemijahan Secara umum terdapat korelasi antara ukuran panjang dengan tingkat kematangan gonad ikan. Semakin besar ukuran ikan semakin berkembang pula tingkat kematangan gonadnya. Tingkat kematangan gonad juga berpengaruh pada indeks kematangan gonad, yaitu semakin matang gonad ikan maka indeks kematangan gonad semakin tinggi (Gambar 4). Hasil pengamatan visual tingkat kematangan gonad (TKG) menunjukkan lebih dari 90% ikan lemuru betina dan jantan adalah ikan-ikan belum matang (TKG I dan II). Ikan lemuru immature ditemukan di seluruh zona penangkapan di Selat Bali. Ikan lemuru betina dengan gonad yang sudah matang (TKG III dan IV) ditemukan pada perairan Selat Bali bagian selatan atau zona I dan VI masing-masing 19 dan 48 ekor. Sedangkan ikan lemuru jantan yang matang gonad ditemukan pada zona I, II dan VI masing-masing berjumlah 22, 19 dan 14 ekor. Sedangkan tahapan “mijah salin” (spent) ditemukan pada bulan November 2010 dan September 2011 (Gambar 5). Perkembangan kematangan gonad pada umumnya ditunjukkan oleh indeks kematangan gonad (Gonad somatic index atau GSI) yang nilainya berfluktuasi setiap bulan. Hasil pengamatan menunjukkan GSI ikan betina berkisar antara 0,03–14,4% (rata-rata 0,53%), sedangkan pada ikan jantan GSI antara 0,02–10,7% (rata-rata 0,47%). Gonad somatic index ikan lemuru jantan dan betina memiliki puncak pada bulan September (2010 & 2011), kemudian menurun pada bulan Oktober. NIlai GSI pada bulan September 2010 dan 2011 berturut-turut adalah 5,5% dan 14,4%.
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 49-57
15
(a)
20.0
(b) 12
18.0 16.0
IKG / GSI (%)
Panjang cagak / Fork-length (cm)
22.0
Min Mean
14.0
Max
9 Min 6
Mean Max
3
12.0
0
10.0 I
II
III
IV
I
V
II
III
IV
V
TKG / Gonad stage maturity
TKG / Gonad stage maturity
(b)
2010
2011
20%
Developing
Maturing
Ripe
Immature
Spent
Developing
80% 60% 40% 20% 0% Zone V
Zone VI
ZoneVII
Daerah penangkapan/fishing ground Immature
Developing
Maturing
Dec
Oct
Nov
Sep
Jul
Aug
Jun Ripe
Spent
(b)
Maturing
Ripe
Spent
Unknown
Persentase TKG / percentage of gonad maturity stage (%)
Persentase TKG / percentage of gonad maturity stage (%)
(a)
Zone II
Apr
2011 Bulan/Month
100%
Zone I
May
2010
Bulan/Month Immature
Mar
Jan
Feb
0%
Dec
Dec
Oct
Nov
Sep
Jul
Aug
Jun
Apr
May
Mar
Jan
Feb
Dec
Oct
Nov
Sep
0%
40%
Oct
20%
60%
Nov
40%
80%
Sep
60%
100%
Aug
80%
Persentase TKG / Percentage of gonad maturity stage (%)
(a)
100%
Aug
Persentase TKG / Percentage of gonad maturity stage (%)
Gambar 4. Perkembangan tingkat kematangan gonad berdasarkan (a) ukuran panjang dan (b) nilai GSI pada ikan lemuru betina Figure 4. Development of gonad maturity state according to (a) length of fish and (b) GSI for female of Bali sardinella
100% 80% 60% 40% 20% 0% Zone I
Zone II
Zone V
Zone VI
ZoneVII
Unknown
Daerah penangkapan/fishing ground Immature
Developing
Maturing
Ripe
Spent
Gambar 5. Tingkat kematangan gonad ikan lemuru menurut bulan penelitian dan zona penangkapan; (a) betina dan (b) jantan Figure 5. Gonad maturity stage of bali sardinella based on month and fishing zone; (a) female and (b) male
53
A. Wujdi. et al/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 49-57 (a)
(b)
12.0
12.0
GSI (%)
16.0
GSI (%)
16.0
8.0 4.0
8.0 4.0 0.0
0.0
Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec 2010
2011
2010
2011
Bulan/Month
Bulan/Month
(a)
16.0 12.0
12.0
GSI (%)
GSI (%)
(b)
16.0
8.0 4.0
8.0 4.0
0.0
0.0 Zone I
Zone II
Zone V
Zone VI
ZoneVII
Unknown
Daerah penangkapan/fishing ground
Zone I
Zone II
Zone V
Zone VI
ZoneVII
Unknown
Daerah penangkapan/fishing ground
Gambar 6. Fluktuasi indeks kematangan gonad ikan lemuru (S.lemuru) menurut waktu penelitian dan zona penangkapan: (a) betina dan (b) jantan Figure 6. Fluctuation of gonado somatic index of Bali sardinella (S.lemuru) based on month and fishing zone: (a) female and (b) male BAHASAN Pengamatan terhadap nibah kelamin ikan lemuru sangat penting karena untuk mengetahui keseimbangan populasi ikan jantan dan betina. Hasil penelitian tentang nisbah kelamin ikan lemuru saat ini sama dengan penelitian oleh Merta (1992a) yang menyebutkan bahwa jumlah ikan lemuru betina sedikit lebih banyak dibanding ikan jantan pada Agustus 1989 hingga Juli 1990. Namun dengan uji chi-kuadrat didapatkan hasil nisbah kelamin ikan lemuru jantan dan betina berada dalam keadaan seimbang. Kondisi nisbah kelamin yang seimbang secara keseluruhan juga ditemukan oleh Ritterbush (1975) & Setyohadi (2010) di perairan Selat Bali; Mahrus (1995) di perairan Selat Alas; Burhanuddin et al. (1984) pada Sardinella sirm di Pulau Panggang; Tampubolon et al. (2002) pada Sardinella longiceps di Teluk Sibolga. Nisbah kelamin digunakan untuk melihat populasi ikan dalam mempertahankan kelestariannya. Agar kelestarian populasi tetap terjaga idealnya rasio jenis kelamin berada pada keadaan seimbang atau jumlah ikan betina lebih banyak (Wahyuono et al., 1983). Perbandingan rasio kelamin ikan lemuru pada tiap kelompok ukuran dan zona daerah penangkapan cenderung berbeda. Pada kelompok ukuran 13,0-16,9 cmFL rasio jenis kelamin jantan dan betina cenderung seimbang. Sedangkan pada kelompok 17,0-19,9 cmFL rasio jenis kelamin berada dalam kondisi tidak seimbang dimana ikan betina lebih banyak dibanding jantan. Pada daerah penangkapan zona II, V dan VI ikan lemuru betina lebih 54
banyak dari ikan jantan. Sedikitnya jumlah ikan jantan diduga disebabkan umur ikan jantan telah memasuki penuaan dan lebih cepat mati akibat laju pertumbuhannya yang lebih cepat daripada ikan betina. Menurut Balan (1973) dalam Merta (1992a) & Dulkhead (1968), rasio ikan jantan dan betina ikan Sardinella longiceps yang tertangkap di perairan Mangalore dan Kochin (India) tidak berbeda nyata. Untuk ikan yang belum matang gonad, ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan, sedangkan untuk ikan-ikan yang telah memijah (spent) adalah sebaliknya (Radhakhrisnan, 1969 dalam Merta, 1992). Fenomena ini disebabkan ikan-ikan betina mortalitasnya lebih tinggi saat setelah memijah (Bal & Rao, 1984 dalam Merta, 1992). Rata-rata ukuran pertama kali matang gonad (length at first maturity) didefinisikan sebagai ukuran panjang dimana diperoleh 50% kumulatif persen frekuensi ikan dalam kondisi matang gonad. Ikan lemuru betina memiliki ukuran yang lebih panjang dibanding ikan lemuru jantan pada saat pertama matang gonad. Menurut Udupa (1986), ukuran ikan pada waktu matang gonad pertama (Lm) adalah bervariasi antar spesies dan di dalam spesies itu sendiri sehingga ikan-ikan pada kohort atau ukuran yang sama tidaklah perlu mendapatkan kematangan gonadnya yang pertama pada suatu umur atau panjang yang sama pula. Nilai Lm ikan lemuru jantan dan betina pada penelitian ini berturut-turut adalah 17,78 dan 18,91. Menurut Wujdi et al. (2012), ukuran tersebut dicapai pada saat ikan lemuru di perairan Selat Bali berumur antara 1,4 hingga 2 tahun. Merta & Badrudin (1992) mendapatkan nilai Lm yang lebih
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 49-57
kecil yaitu 17,6 cm untuk ikan lemuru betina. Sedangkan Setyohadi (2010) memperoleh nilai Lm ikan lemuru betina pada ukuran 17,5 cmTL. Secara umum ikan lemuru mengalami kematangan gonad yang pertama terjadi pada kisaran panjang antara 65-75% dari panjang maksimum (Setyohadi, 2010). Hasil penelitian ini diperoleh nilai rata-rata ukuran ikan lemuru yang tertangkap (Lc) dengan ukuran panjang cagak 14,23 cm atau saat ikan berumur antara 0,8 sampai 1 tahun (Wujdi et al., 2012). Nilai Lc pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Setyohadi et al. (1998), dimana diperoleh nilai Lc = 15,9 cm. Dwiponggo et al. (1986) memperoleh Lc yang lebih kecil daripada penelitian ini yaitu 13,5 cm. Perbedaan tersebut diduga dipengaruhi oleh perbedaan distribusi panjang ikan yang menjadi contoh saat pengamatan. Disamping itu juga dipengaruhi oleh jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan lemuru. Sampel ikan yang tertangkap oleh alat tangkap bagan dan payang biasanya memiliki ukuran yang lebih kecil. Panjang ikan lemuru pertama kali tertangkap pada penelitian ini lebih kecil dari ukuran panjang ikan pertama kali matang gonad (Lc < Lm). Hasil ini menunjukkan bahwa ikan-ikan yang tertangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin kebanyakan ikan muda dan belum mengalami matang gonad (immature). Hal ini diduga disebabkan oleh ukuran mata jaring pukat cincin yang digunakan terlalu kecil yaitu sekitar ¾ inchi dan dioperasikan di daerah-daerah dan waktu-waktu yang bertepatan dengan melimpahnya ikan lemuru muda. Terkait dengan hal tersebut diatas disarankan penggunaan alat tangkap pukat cincin dapat menggunakan mata jaring yang lebih besar daripada mata jaring yang digunakan pada saat ini. Apabila kegiatan penangkapan pukat cincin terus menggunakan mata jaring dengan ukuran seperti saat ini dikhawatirkan akan mengakibatkan proses rekruitmen terhambat karena banyaknya ikan tertangkap yang belum matang gonad. Ukuran rata-rata ikan betina semakin besar sesuai dengan tingkat kematangannya yang disebabkan oleh pertambahan berat gonad dan ukuran telur sehingga ikan yang gonadnya semakin matang akan memiliki Indeks Kematangan Gonad yang semakin tinggi pula. Sangat rendahnya nilai GSI rata-rata tersebut menunjukkan terlalu banyaknya ikan tertangkap berukuran kecil yang umumnya masih dalam kondisi belum matang gonad (immature) dengan berat gonad yang masih ringan. Gambar 5 dan 6 menunjukkan bahwa distribusi nilai TKG dan IKG ikan memiliki nilai tertinggi pada bulan September. Berdasarkan hal tersebut musim pemijahan ikan lemuru diprediksi dimulai pada bulan September hingga 1 atau 2 bulan setelahnya (Oktober atau November) dan
menyebar pada Zona VI (bagian selatan perairan Selat Bali dekat paparan pulau Bali). Oleh karena itu, nelayan disarankan untuk tidak melakukan aktivitas penangkapan di wilayah tersebut pada periode bulan September hingga November. Hal ini senada dengan hasil penelitian Wudianto (2001), dimana sebaiknya nelayan tidak melakukan penangkapan pada saat ikan lemuru masih berukuran kecil (sempenit) yaitu antara bulan September hingga Oktober. Menurut Merta et al. (2000) semakin ke selatan ukuran ikan lemuru yang ditemukan semakin besar. Sedangkan Wudianto (2001) melalui survey akustik menemukan ikan lemuru berukuran besar (>17cm) terkonsentrasi di bagian tengah dan selatan Selat Bali. Terdapat perbedaan musim pemijahan pada periode penelitian Agustus 2010-Desember 2011 dengan penelitian sebelumnya. Menurut Merta (1992b), berdasarkan pengamatan visual terhadap gonad dan kondisi memijah salin (spent) pada ikan lemuru betina musim pemijahan ikan lemuru di Selat Bali terjadi dalam beberapa bulan, yaitu Mei sampai Agustus dan September dengan puncaknya terjadi pada bulan Juli. Menurut Dwiponggo (1972), Ritterbush (1975) dan Burhanuddin, et al. (1984), musim pemijahan ikan lemuru bertepatan dengan terjadinya proses penaikan air laut (upwelling) di perairan Selat Bali. Selanjutnya menurut Burhanuddin & Praseno (1982), upwelling terjadi pada musim timur yaitu pada bulan Juni-Agustus. Dengan adanya proses penaikan massa air (upwelling) diperkirakan tersedia nutrient yang cukup di perairan Selat Bali sehingga ikan lemuru melakukan pemijahan pada waktu yang bertepatan dengan terjadinya upwelling. KESIMPULAN 1. Rasio jenis kelamin ikan lemuru jantan dan betina secara keseluruhan adalah seimbang dan pada ikan yang matang gonad jenis kelamin betina lebih banyak dibandingkan jantan sehingga kelangsungan rekruitmen dapat terjaga. 2. Rata-rata ukuran panjang pertama kali matang gonad (Lm) ikan lemuru lebih besar daripada ukuran panjang populasi tertangkap (Lc). Dengan demikian sebagian besar ikan lemuru tertangkap belum memijah. Hal ini sangat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan lemuru. 3. Indeks kematangan gonad ikan lemuru berfluktuasi dan memiliki nilai tertinggi pada bulan September 2010 (5,5%) dan September 2011 (14,4%). Adapun musim pemijahan ikan lemuru diprediksi dimulai pada bulan September hingga Oktober atau November berlokasi di bagian selatan perairan Selat Bali mendekati paparan pulau Bali. Sebaiknya wilayah ini perlu dilindungi dengan cara penutupan area (closing area) atau penutupan musim (closing season) sehingga spawning stock ikan lemuru dapat terjamin.
55
A. Wujdi. et al/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 49-57
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Lemuru di Selat Bali kerjasama penelitian antara Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kerajaan Norwegia pada tahun 2010-2011 dengan judul Capacity Buliding in Fisheries and Aquaculture. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pemerintah Norwegia atas bantuan dana untuk penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Burhanuddin & D.P. Praseno. 1982. Lingkungan Perairan Selat Bali. Prosiding Seminar Perikanan Lemuru, Banyuwangi 18-21 januari 1982. p. 27-32. Burhanuddin, M. Hutomo, S. Martosewojo & R. Moeljanto. 1984. Sumberdaya Ikan Lemuru. LON-LIPI, Jakarta. 70 p. Dulkhead, M.H. 1968. Sex Ratio and Maturity Stages of the Oil Sardine, Sardinella longiceps Val from Mangalore Zone. Indian Journal Fisheries. 15 (1&2): 116-126. Dwiponggo, A. 1972. Perikanan dan penelitian pendahuluan kecepatan pertumbuhan lemuru (Sardinella longiceps) di Muncar, Selat Bali. LPPL (021): p. 117-143. Dwiponggo, A., T. Hariati, S. Banon, M.L. Palomares, & D. Pauly. 1986. Growth, mortality and recruitment of commercially important fishes and penaeid shrimp in Indonesia waters. ICLARM Technical Report. 17. 91 p. Effendie, I. M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Bogor. 163 p. Holden, M. J., & D. F. S. Raitt. 1974. Manual of fisheries science. Part 2: Methods of recources investigation and their application. FAO Fish. Tech. Pap. (115): 214 p. Mahrus. 1995. Studi tentang Reproduksi Ikan Lemuru (S. lemuru Bleeker, 1853) di Perairan Selat Alas, Nusa Tenggara Barat. Thesis (Tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana, Fakultas Perikanan, IPB. Bogor. 84 p. Merta, I.G.S. 1992. Dinamika Populasi Ikan Lemuru, Sardinella lemuru Bleeker 1853. (Pisces: Clupeidae) di Perairan Selat Bali dan Alternatif Pengelolaannya. Disertasi (Tidak dipublikasikan). Program Pasca Sarjana-IPB. Bogor. 201 p.
56
___________. 1992a. Beberapa Parameter Biologi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) dari Perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (67): p. 1-10. ___________. 1992b. Review Of The Lemuru In The Bali Strait. Journal Marine Resources Fisheries. Inst. 67: 91-105. Merta, I.G.S & M. Badrudin. 1992. Dinamika Populasi dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Lemuru di Perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (65): 1-9. Merta, I.G.S, K. Widana, Yunizal & R. Basuki. 2000. Status of the lemuru fishery in Bali Strait; Its development and progress. Papers presented at the workshop on the fishery and the management of Bali Sardinella (Sardinella lemuru) in Bali Strait, Denpasar 6-8 April 1999. FAO. Rome. 76 p. Ritterbush, S.W. 1975. An Assessment of Population Biology of The Bali Strait Lemuru Fishery. LPPL. 1/ 75-PL. 051/75. 37 p. Setyohadi, D., D. Sutipto, & D.G.R. Wiadnya, 1998. Dinamika populasi ikan lemuru (Sardinella lemuru) serta alternatif pengelolaannya. Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Hayati. Lembaga Penelitian Unibraw. 10 (1): 91-104. Setyohadi, D. 2010. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Selat Bali: Analisis Simulasi Kebijakan Pengelolaan 2008-2020. Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. 339 p. Suwarso. 2010. Recording of Catch Landings and Fishery Modeling. Sampling Procedure. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Balitbang Kelautan dan Perikanan. 3 p. Tampubolon, R.V., Sutrisno. S., & M.F. Rahardjo. 2002. Aspek Biologi Reproduksi dan Pertumbuhan Ikan Lemuru (Sardinella longiceps C.V.) di Perairan Teluk Sibolga. Jurnal Iktiologi Indonesia. 2 (1): 1-7. Udupa, K. S. 1986. Statistical method of estimating the size of first maturity in fish. Fishbyte. ICLARM. Manila. 4 (2): 8-10. Wahyuono, H., S. Budihardjo, Wudianto, & R. Rustam. 1983. Pengamatan parameter biologi beberapa jenis ikan demersal di perairan Selat Malaka, Sumatera Utara. Laporan Penelitian Perikanan Laut. 26: 29-48.
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 49-57
Wudianto. 2001. Analisis Sebaran dan Kelimpahan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali; Kaitannya dengan Optimasi Penangkapan. Disertasi (Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana IPB. Bogor. 215 p.
Wujdi, A. Suwarso & Wudianto. 2012. Beberapa Parameter Populasi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru, Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali. Bawal. 4 (3): 177-184.
57
58
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 59-65
STRUKTUR UKURAN IKAN DAN PARAMETER POPULASI MADIDIHANG (Thunnus albacares) DI PERAIRAN LAUT BANDA SIZE DISTRIBUTION AND POPULATION PARAMETERS OF YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacares) IN BANDA SEA Adrian Damora dan Baihaqi Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 20 Februari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 14 Maret2013; Disetujui terbit tanggal: 18 Maret 2013
ABSTRAK Laut Banda merupakan salah satu wilayah yang menjadi alur migrasi dari beberapa jenis ikan tuna, di antaranya ikan madidihang (Thunnus albacares). Hal ini menyebabkan Laut Banda menjadi salah satu daerah penangkapan ikan madidihang yang potensial. Namun, seiring terus meningkatnya tekanan penangkapan, sering kali ikan madidihang muda tertangkap. Hal ini tentunya akan mengancam kelestarian sumber daya ikan ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan struktur ukuran dan parameter populasi ikan madidihang di perairan Laut Banda. Penelitian dilakukan pada 5.609 ekor ikan contoh sejak bulan Februari sampai dengan Desember 2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan aplikasi model analitik menggunakan program ELEFAN I. Hasil penelitian menunjukkan panjang cagak ikan madidihang berada pada kisaran 55-215 cm, dengan panjang pertama kali tertangkap (Lc) sebesar 131,85 cmFL. Parameter pertumbuhan von Bertalanffy untuk laju pertumbuhan (K), lebar karapas asimptotik (L”) dan umur ikan madidihang pada saat panjang ke-0 (t0), masing-masing sebesar 0,51/ tahun, 223 cmFL dan -0,1841 tahun. Persamaan kurva pertumbuhan sebagai Lt = 223[1-e-0.51(t+0.1841)]. Parameter mortalitas menunjukkan laju kematian total (Z) 2,4/tahun, laju kematian alamiah (M) 0,68/tahun dan laju kematian karena penangkapan (F) 1,79/tahun. KATA KUNCI : Stuktur ukuran, pertumbuhan, ikan madidihang, Laut Banda ABSTRACT Banda Sea is the one of migration area of some tuna species, including yellowfin tuna (T. albacares). This led the Banda Sea to be the yellowfin tuna fishing ground potential. However, with the increasing fishing pressure, often times young yellowfin tuna caught. This case will threaten the sustainability of the resources. The purpose of the study was to identify the size distribution and population parameters of yellowfin tuna in Banda Sea. This study was conducted of 5.609 samples during February until December 2011. The data were analyzed using the analytical model application with ELEFAN I program. The results showed that fork length of yellowfin tuna in 55-215 cm range with the length of first capture (Lc) was 131,85 cm FL. The von Bertalanffy’s growth parameters, K, L”, and t0 were 0,51 yr-1, 223 cm FL and -0,1841 yr. The growth curve were Lt = 223[1-e-0.51(t+0.1841)], respectively. Instantenous mortality parameters, total mortality rate (Z) and natural mortality rate (M) and fishing mortality rate (F) were 2,4 yr-1, 0,68 yr-1 and 1,79 yr-1, respectively. KEYWORDS: Size distribution, growth, yellowfin tuna, Banda Sea
PENDAHULUAN Letak geografis Indonesia yang berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia menyebabkan perairan Indonesia memiliki sebagian besar jenis ikan yang juga berada di kedua samudera tersebut, termasuk di antaranya jenis tuna. Dilihat dari peta penyebarannya,
sumber daya ikan tuna tersebut cenderung melewati perairan Indonesia sepanjang tahun dan di antara jenis ikan tuna yang ada, ikan madidihang (Thunnus albacares) merupakan jenis yang dominan tertangkap di perairan Indonesia, selain jenis ikan tuna mata besar (T. obesus) dan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) (Comitini & Hardjolukito, 1986).
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung Komplek Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman - Jakarta Utara, Email:
59
Damora & Baihaqi/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 59-65
Gambar 1. Jalur migrasi ikan-ikan tuna di barat-tengah Samudera Pasifik. Figure 1. Migration routes of tunas in the western-central Pacific. (Morgan & Valencia 1983 in Comitini & Hardjolukito, 1986). Ikan madidihang (T. albacares) dapat mencapai panjang lebih dari 2 meter (Uktolseja, 1987). Jenis tuna ini menyebar di perairan dengan suhu yang berkisar antara 17-31oC dengan suhu optimum yang berkisar antara 1923oC (Nontji, 1993), sedangkan suhu yang baik untuk kegiatan penangkapan berkisar antara 20-28oC (Hela & Laevastu, 1970). Ikan ini memiliki dua cuping (bagian yang tidak bertulang) di antara kedua sirip perutnya. Sirip dubur berjari-jari 14-15 cm, diikuti 7-10 jari-jari sirip tambahan. Satu lunas kuat pada batang sirip ekor diapit dua lunas kecil pada ujungnya. Untuk jenis dewasa, sirip punggung kedua dan dubur tumbuh sangat panjang dengan sirip dada cukup panjang. Badan bersisik kecil-kecil, korselet bersisik agak besar tetapi tidak nyata. Warna badan bagian atas gelap keabuan dan kuning perak pada bagian bawah. Sirip-sirip punggung, perut dan sirip tambahan berwarna kuning cerah serta berpinggiran warna gelap (Ollivia, 2002). Sejak tahun 1962, kegiatan penangkapan tuna dunia terus mengalami peningkatan. Direktorat Jenderal Perikanan menyatakan pada tahun 1983 potensi tahunan perikanan tuna di perairan di bawah 200 mil dan perairan kepulauan diestimasi sebesar 80.000 ton dan sebesar 21.300 ton sudah tereksploitasi. Dari 59.700 ton sumber daya yang belum tereksploitasi, sebesar 12.400 ton bermigrasi di sekitar Laut Banda dan 47.300 ton bermigrasi di Zona Ekonomi Eksklusif antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Comitini & Hardjolukito, 1986). Dari informasi tersebut, terlihat bahwa Laut Banda memiliki peran penting dalam perikanan tuna di Indonesia, di mana 60
Laut Banda merupakan alur migrasi sekaligus daerah mencari makanan bagi ikan-ikan tuna, khususnya ikan madidihang. Penelitian tentang ikan madidihang telah banyak dilakukan secara ekstensif di beberapa perairan samudera, di antaranya di wilayah selatan, barat laut, dan pertengahan Samudera Altantik. Di lingkup wilayah Indonesia pun, penelitian terhadap ikan ini telah dilakukan di wilayah timur Indonesia, seperti di perairan Bacan, utara Sulawesi, dan tentunya Laut Banda. Mengingat sifat ikan ini yang beruaya jauh hingga lintas samudera (transboundary species), maka penelitian-penelitian terkait dengan populasi ikan madidihang mutlak dilakukan oleh negara-negara yang dilaluinya. Hal ini untuk mendukung pola pemanfaatannya yang berkelanjutan. Salah satu aspek yang penting untuk diteliti adalah struktur ukuran ikanikan yang tertangkap. BAHAN DAN METODE Penelitian didasarkan pada data hasil pengambilan contoh ikan madidihang (T. albacares) di perairan Laut Banda pada bulan Februari-Desember 2011 dengan metode survei terhadap 5.609 ekor contoh ikan madidihang yang ditangkap oleh alat tangkap pancing ulur. Pengambilan data dilakukan dengan bantuan tenaga enumerator. Pengamatan biometrik ikan yang dilakukan dengan mengukur panjang cagak (fork length).
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 59-65
Gambar 2. Lokasi penelitian di perairan Laut Banda. Figure 2. Research site in Banda Sea. Parameter pertumbuhan (K dan L ) ditentukan dengan metode ELEFAN I (Gayanilo et al., 1994) didasari melalui persamaan von Bertalanffy sebagai berikut: Lt = L
Laju kematian total (Z) diduga dengan metode kurva hasil tangkapan (catch curve) yang menggunakan slope (b) dan Ln N/t dengan umur relatif sesuai dengan rumus Pauly (1980) sebagai berikut:
(1 – e –K (t – to)) ..................................................(3) Ln N/t = a – Zt ......................................................... (8)
dimana: Lt = panjang cagak ikan saat umur ke-t (cm) L ∞ = panjang cagak asimptotik ikan (cm) K = laju pertumbuhan ikan Parameter pertumbuhan t0 dihitung melalui persamaan Pauly (1987) in Sparre & Venema (1992) sebagai berikut:
dimana: N = banyaknya ikan madidihang pada waktu t t = waktu yang diperlukan untuk tumbuh suatu kelas panjang a = hasil tangkapan yang dikonversikan terhadap panjang
log (-t0) = -0,3922 - 0,2752 log (L ) - 1,038 log (K) ................................................... (4)
Sementara itu kematian alamiah ikan diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) sebagai berikut:
Kemudian dengan mengestimasi melalui metode Gulland & Holt (1959) in Sparre & Venema (1992), persamaan di atas diturunkan menjadi persamaan berikut:
Log M= -0,0066-0,279 Log + 0,654 Log K + 0,4534 Log T ......................................................... (9)
= KL
–K
.............................................. (5)
Dengan menganggap sebagai y, KL sebagai a dan K sebagai b, maka nilai L” dapat diestimasi melalui persamaan: L
=
.................................................... (6)
dan nilai K diestimasi melalui persamaan: K = –b ....................................................................(7)
dimana: M = laju kematian alamiah L = panjang cagak ikan maksimum (cm) K = laju pertumbuhan (cm/tahun) T = suhu rata-rata (oC) Untuk nilai laju kematian karena penangkapan diperoleh dengan mengurangi laju kematian total (Z) dengan laju kematian alamiah (M) atau F=Z-M dan laju pengusahaan (E) dihitung sebagai E=F/Z (Sparre & Venema, 1992). Panjang pertama kali ikan tertangkap (Lc) didapatkan dengan cara memplotkan frekuensi kumulatif dengan setiap panjang cagak ikan, sehingga akan 61
Damora & Baihaqi/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 59-65
diperoleh kurva logistik baku, dimana titik potong antara kurva dengan 50% frekuensi kumulatif adalah panjang saat 50% ikan tertangkap. HASIL DAN BAHASAN HASIL Struktur Ukuran dan Panjang Pertama Kali Tertangkap Pengukuran panjang cagak madidihang dilakukan terhadap 5.609 ekor ikan. Ukuran panjang cagak berkisar antara 55-215 cm. Sebaran frekuensi panjang cagak setiap bulannya ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3 juga menunjukkan bahwa antara bulan Februari sampai Mei struktur ukuran ikan madidihang mengalami pergerakan modus panjang ke arah kanan meskipun tidak signifikan. Hal ini menandakan bahwa populasi madidihang di Laut Banda mengalami pertumbuhan, antara bulan Juni sampai September relatif tidak terjadi pergerakan modus atau stuktur ukuran ikan madidihang berada dalam kondisi stabil. Hal ini menandakan bahwa madidihang mengalami pertumbuhan yang lambat. Panjang ikan madidihang pertama kali tertangkap (Lc) dengan alat tangkap pancing ulur yang didapatkan sebesar 131,85 cmFL. Pengukuran ini merupakan hal yang penting untuk dipelajari untuk dapat dihubungkan dengan panjang pertama kali matang gonad.
Gambar 3. Distribusi frekuensi panjang cagak ikan madidihang (Thunnus albacares) yang tertangkap di Laut Banda secara bulanan. Figure 3. Monthly fork length frequency distribution of yellowfin tuna (Thunnus albacares) caught in Banda Sea.
62
Frekuensi Kumulatif/Cummulation Frequency (%)
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 59-65
ini sebesar 2,4/tahun (Gambar 6). Nilai dugaan laju kematian alamiah (M) sebesar 0,68/tahun dan nilai dugaan laju kematian karena penangkapan (F) sebesar 1,79/tahun.
100
80
60
Lc = 131,85 cmFL 40
20
0 50
100
150
200
Panjang Cagak/Fork Length (cm)
Gambar 4. Panjang pertama kali tertangkap ikan madidihang (Thunnus albacares) di Laut Banda. Figure 4. Length of first capture of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in Banda Sea. Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian Dengan merunut data frekuensi panjang total dari bulan ke bulan, diperoleh laju pertumbuhan (K) madidihang di Laut Banda adalah 0,51/tahun dan panjang cagak asimptotik (L”) adalah 223 cm FL serta umur ikan saat panjang 0 (t0) sebesar -0,1841 tahun. Dengan demikian persamaan pertumbuhan von Bertalanffy untuk ikan madidihang sebagai Lt = 223[1-e-0.51(t+0.1841)]. Nilai K madidihang yang kurang dari satu menunjukkan bahwa ikan ini mempunyai pertumbuhan yang lambat (Gulland, 1983; Naamin, 1984).
Gambar 6. Nilai Z sebagai slope kurva hasil tangkapan ikan madidihang (Thunnus albacares) di Laut Banda. Figure 6. The value of total mortality (Z) of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in Banda Sea. Kurva di atas menunjukkan beberapa observasi telah dikeluarkan dari analisis regresi. Sembilan kelompok pertama membentuk bagian kurva yang naik. Ikan tersebut dianggap belum sepenuhnya masuk daerah penangkapan. Satu kelompok terakhir juga dikeluarkan dari analisis dikarenakan jumlah ikan contohnya yang sedikit. Selain itu apabila mendekati L”, hubungan antara umur (t) dengan panjang (L) menjadi tidak menentu. BAHASAN
Gambar 5. Kurva pertumbuhan ikan madidihang (Thunnus albacares) di perairan Laut Banda. Figure 5. Growth curve of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in Banda Sea. Selanjutnya dengan menggunakan parameter pertumbuhan ikan madidihang yang telah dihitung dan menjadikannya sebagai bahan masukan untuk membuat kurva hasil tangkap, diperoleh nilai dugaan Z untuk ikan
Lambatnya pertumbuhan ikan madidihang sangat dipengaruhi oleh faktor makanan, lingkungan perairan dan fase pertumbuhannya. Ikan madidihang muda akan tumbuh lebih cepat sehingga perlu dipertimbangkan waktu yang tepat untuk menangkap ikan ini, baik ditinjau dari sumber dayanya maupun segi ekonominya. Ikan-ikan yang berumur muda harus dibiarkan tumbuh dewasa terlebih dahulu sebelum ditangkap agar tercapai pola pemanfaatannya yang lestari. Penangkapan ikan-ikan muda yang berlebihan akan mengakibatkan kelebihan tangkap pertumbuhan (growth overfishing). Hal ini juga menyebabkan kelebihan tangkap penambahan baru (recruitment overfishing), karena ikan-ikan muda yang belum sempat dewasa dan bertelur sudah tertangkap terlebih dahulu sehingga kehilangan kesempatan untuk penambahan baru (recruitment).
63
Damora & Baihaqi/BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 59-65
Hasil penelitian yang dilakukan Lessa & DuarteNeto (2004) terhadap jenis yang sama di perairan barat khatulistiwa Samudera Atlantik menunjukkan nilai K sebesar 0,267/tahun dengan L” sebesar 230,7 cm FL. Sementara Zhu et al. (2011) menemukan nilai K T. albacares di perairan timur dan tengah Samudera Pasifik sebesar 0,52/tahun dengan L” sebesar 175,9 cm FL. Faktor lingkungan perairan di Laut Banda dan Samudera Pasifik diduga sangat rnendukung pertumbuhan madidihang yang lebih cepat dibandingkan di Samudera Atlantik. Selain faktor lingkungan, diduga makanan tersedia cukup banyak sehingga pertumbuhannya lebih cepat. Perhitungan parameter pertumbuhan dengan menggunakan metode berbeda atau bahkan dengan metode yang sama, sering kali menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai L” yang berbeda dikarenakan hanya diestimasikan untuk perikanan di lokasi tersebut. Demikian pula dengan nilai K, sering kali memiliki perbedaan yang nyata. Menurut Musick et al. (2000), nilai K terkadang menunjukkan pertumbuhan yang lambat (K = 0,035) (Le Guen & Sakagawa, 1973) atau sebaliknya mengalami pertumbuhan yang cepat (K = 0,884) (Gaertner & Pagavino, 1991) dalam lokasi yang sama. Oleh karena itu, penting untuk lebih memahami konsekuensi dari penerapan parameter pertumbuhan ke dalam model pengkajian stok karena prediksi populasi ikan dari masing-masing model sangat bergantung pada masukan data, termasuk usia dan pertumbuhan (Lessa & Duarte-Neto, 2004). Wise (1972) menyatakan bahwa nilai Z untuk ikan madidihang berkisar antara 1,4-2,4/tahun dan nilai Z pada penelitian ini berada dalam kisaran tersebut. Nilai Z sering kali berbeda diakibatkan perbedaan alat tangkap yang digunakan dalam menangkap madidihang: 1,52/tahun untuk alat tangkap pole and line, 2,32/tahun untuk alat tangkap purse seine dan 1,88 untuk alat tangkap longline (Wise, 1972). Dalam penelitian ini, diperoleh nilai Z sebesar 2,4/tahun untuk alat tangkap pancing ulur. Estimasi nilai kematian alami (M) menimbulkan beberapa kesulitan karena dapat dipengaruhi oleh pemilihan model estimasi dan lokasi observasi. Namun, nilai M ikan madidihang biasanya berada pada kisaran 0,6-1,2/tahun (Murphy & Sakagawa, 1977) dan nilai M pada penelitian ini berada pada kisaran tersebut. Mengingat laju kematian alamiah (M) tidak terlalu besar variasinya, biasanya nilainya dianggap tetap dari tahun ke tahun (Pauly et al., 1984). Hal ini menyebabkan laju kematian total (Z) dari tahun ke tahun banyak ditentukan oleh laju kematian karena penangkapan (F). Nilai F bervariasi menurut keragaman upaya penangkapan (f) setiap tahunnya, yang menunjukkan seberapa besar dan meningkatnya tekanan penangkapan (fishing pressure) terhadap stok ikan di suatu perairan.
64
KESIMPULAN Ikan madidihang (T. albacares) yang tertangkap di Laut Banda memiliki kisaran panjang cagak antara 55-215 cm, dengan panjang pertama kali tertangkap (Lc) sebesar 131,85 cmFL. Parameter pertumbuhan von Bertalanffy untuk laju pertumbuhan (K), panjang cagak asimptotik (L”) dan umur ikan madidihang pada saat panjang ke-0 (t0), masing-masing sebesar 0,51/tahun, 223 cmFL dan 0,1841 tahun, dengan persamaan kurva pertumbuhannya sebagai Lt = 223[1-e-0.51(t+0.1841)]. Parameter mortalitas menunjukkan laju kematian total (Z) 2,4/tahun, laju kematian alamiah (M) 0,68/tahun dan laju kematian karena penangkapan (F) 1,79/tahun. Ikan madidihang memilki laju pertumbuhan yang lambat dengan kematian akibat penangkapan yang termasuk tinggi, sehingga perlu dilakukan upaya untuk mengurangi tekanan penangkapan terutama dalam menangkap ikan-ikan muda. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset kapasitas penangkapan pancing tuna di Laut Banda dan pukat hela di Selat Makassar, T. A. 2011, di Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA BPPL. 2012. Penelitian distribusi dan kelimpahan sumberdaya ikan pelagis besar di WPP 716 Laut Sulawesi dan WPP 712 Laut Jawa. Laporan Akhir. Balai Penelitian Perikanan Laut, Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 217 p. Comitini, S. & S. Hardjolukito. 1986. Economic benefits and costs of alternative arrangements for tuna fisheries development in Exclusive Economic Zone: the case of Indonesia. Ocean Management. 10 (1986): 37-55. Gaertner, D. & M. Pagavino. 1991. Observations sur la croissance de l’albacore (Thunnus albacares) dans l’ Atlantique Ouest. Coll. Vol. Sci. Pap. ICCAT 36: 479– 505. Gayanilo Jr., F.C., P. Sparre & D. Paul. 1994. The FAOICLARM Stock Assessment Tools FISAT User’s Guide. FAO Computerized Information Series Fisheries. No. 6. Rome. FAO. 186 p. Gulland, J.A. 1983. Fish stock assessment. A Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons. Chicester. 233 p.
BAWAL Vol. 5 (1)April 2013 : 59-65
Hela, I. & T. Laevastu. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News (Books) Ltd. London. 123 p. Le Guen, J.C. & G.T. Sakagawa. 1973. Apparent growth of the yellowfin tuna from the eastern Atlantic Ocean. Fish. Bull. 85 (1): 175–187. Lessa, R. & P. Duarte-Neto. 2004. Age and growth of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in the western equatorial Atlantic, using dorsal fin spines. Fisheries Research. 69: 157-170. Murphy, T.C. & G.T. Sakagawa. 1977. A review and evaluation of estimates of natural mortality rates of tunas. Collective Volume of Scientific Papers ICCAT. 6 (1): 117-123.
Ollivia. 2002. Keragaan ekspor cakalang (skipjack) beku dan madidihang (yellowfin) segar Indonesia ke pasar Jepang. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 p. Pauly, D. 1980. A selection of a simple methods for the assessment of the tropical fish stocks. FAO Fish. Circ. FIRM/C 729. Roma. 54 p. Pauly, D., J. Ingles & R. Neal. 1984. Application to shrimp stocks of objective methods for the estimation of growth, mortality, and recruitment related parameters from length frequency data (ELEFAN I and II). In Penaeid Shrimp-Their Biology and Management. 220234. Fishing News Book Limited. Farnham-SurreyEngland.
Musick, J.A., M.M. Harbin, S.A. Berkeley, G.H. Burgess, A.M. Ek-lund, L. Findley, R.G. Gilmore, J.T. Golden, D.S. Ha, G.R. Huntsman, J.C. McGovern, S.J. Parker, S.G. Poss, E. Sala, T.W. Schmidt, G.R. Sedberry, H. Weeks, & S.G. Wright. 2000. Endangered species, marine estuarine, and diadromous fish stocks at risk of extinction in North America exclusive of pacific salmonids. Fish.Bull. 25(11): 6–30.
Sparre, P. &S.C. Venema. 1992. Introduction to tropical fish stock assessment. Part I: Manual. FAO Fish. Tech. Pap. No. 306/1.
Naamin, N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di perairan Arafura dan alternatif pengelolaannya. Disertasi. Doktor pada Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertaanian Bogor. Bogor. 381 p.
Wise, J.P. 1972. Yield per recruit estimates for eastern tropical Atlantic yellowfin tuna. Transactions of the American Fisheries Society. 101: 75-79.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 368 p.
Uktolseja, J.C.B. 1987. Estimated growth parameters and migration of skipjack tuna, Katsuwonus pelamis in the Eastern Indonesia water through tagging experiments. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 43: 15-44.
Zhu, G., L. Xu, X. Dai, & W. Liu. 2011. Growth and mortality rates of yellowfin tuna, Thunnus albacares(Perciformes: Scombridae), in the eastern and central Pacific Ocean. Zoologia. 28 (2): 199–206.
65
BAWAL WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP Pedoman bagi Penulis UMUM 1. Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap memuat hasil-hasil penelitian bidang “natural history” ikan (pemijahan, pertumbuhan serta kebiasaan makan dan makanan) serta lingkungan sumberdaya ikan. 2. Naskah yang dikirim asli dan jelas tujuan, bahan yang digunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah dipublikasikan atau dikirimkan untuk dipublikasikan di mana saja. 3. Naskah ditulis/diketik dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak diperkenankan menggunakan singkatan yang tidak umum 4. Naskah diketik dengan program MS-Word dalam 2 spasi , margin 4 cm (kiri)-3 cm (atas)-3 cm (bawah) dan 3 cm (kanan), kertas A4, font 12-times news roman, jumlah naskah maksimal 15 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya. Penulis dapat mengirimkan naskah ke Redaksi Pelaksana BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jl. Pasir Putih No.1 Ancol, Jakarta Utara 14430, Telp.: (021) 64711940, Fax.: (021) 6402640, E-mail:
[email protected]. 5. Dewan Redaksi berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan. PENYIAPAN NASKAH 1.
Judul
2.
Abstrak
3.
Kata Kunci
4.
Pendahuluan
5.
Bahan dan Metode
6.
Hasil dan Bahasan
7.
Kesimpulan
8. 9.
Persantunan Daftar Pustaka
Contoh
10. Tabel 11. Gambar
: Naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama penulis. Jabatan atau instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama. : Dibuat dengan Bahasa Indonesia dan Inggris paling banyak 250 kata, isinya ringkas dan jelas serta mewakili isi naskah. : Ditulis dengan Bahasa Indonesia dan Inggris, terdiri atas 4 sampai 6 kata ditulis dibawah abstrak dan dipilih dengan mengacu pada agrovocs. : Secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan sub bab. : Secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait. : Hasil dan bahasan dipisah, diuraikan secara jelas serta dibahas sesuai dengan topik atau permasalahan yang terkait dengan judul. : Disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian. : Memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah. : Disusun berdasarkan pada abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut. Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku atau nama dan nomor jurnal, penerbit dan kota, serta jumlah atau nomor halaman.
: Sunarno, M. T. D., A. Wibowo, & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Tulang Bawang, Kampar, dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. J.Lit.Perikan.Ind. 13 (3). 1-14. Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Ind.Fish Res J. 12 (2). 129-157. Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scintific Publishing Company. New York. 318 p. Defeo, O., T. R. Mc Clanahan, & J. C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J. C. Castilla (eds). Fisheries Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing. Singapore. p. 3-24. Utomo, A. D., M. T. D. Sunarno, & S. Adjie. 2005. Teknik peningkatan produksi perikanan perairan umum di rawa banjiran melalui penyediaan suaka perikanan. In Wiadnyana, N. N., E. S. Kartamihardja, D. I. Hartoto, A. Sarnita, & M. T. D. Sunarno (eds). Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia Ke-1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. p. 185-192. Publikasi yang tak diterbitkan tidak dapat digunakan, kecuali tesis, seperti contoh sebagai berikut: Anderson, M.E, Satria F. 2007. A New Subfamily, Genus, and Species of Pearlfish (Teleostei: Ophidiiformes: Carapidae) from Deep Water off Indonesia. Species Diversity 12: 73-82.
: Disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan. : Skema, diagram alir, dan potret diberi nomor urut dengan angka Arab. Judul dan keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. 12. Foto : Dipilih warna kontras atau foto hitam putih, judul foto ditulis dalam dua Bahasa Indonesia dan Inggris, dan nomor urut di sebaliknya. Dicetak dalam kertas foto atau dalam bentuk digital. 13. Cetak Lepas (Reprint) : Penulis akan menerima cetak lepas secara cuma-cuma. Bagi tulisan yang disusun oleh lebih dari seorang penulis, pembagiannya diserahkan pada yang bersangkutan.