ISSN 1907-8226
BAWAL WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP Volume 4 Nomor 1 April 2012 Nomor Akreditasi : 419/AU/P2MI-LIPI/04/2012 (Periode: April 2012-April 2015) BAWAL, Widya Riset Perikanan Tangkap adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum. Publikasi ini memuat hasil-hasil penelitian bidang “natural history” ikan (pemijahan, pertumbuhan, serta kebiasaan makan dan makanan) serta lingkungan sumber daya ikan. Terbit pertama kali tahun 2006 dengan frekuensi penerbitan tiga kali dalam setahun, yaitu pada bulan: APRIL, AGUSTUS, DESEMBER. Ketua Redaksi: Prof. Dr. Ir. Wudianto, M.Sc. (Teknologi Penangkapan Ikan-P4KSI) Anggota: Prof. Dr. Ali Suman (Biologi Perikanan-BPPL) Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc. (Oseanografi Perikanan-LIPI) Dr. Ir. Husnah, M.Phil. (Toksikologi Perairan-BPPPU) Drs. Bambang Sumiono, M.Si. (Biologi Perikanan-P4KSI) Ir. Sulastri (Limnologi-LIPI) Mitra Bestari untuk Nomor ini: Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc (Hidro Akustik Perikanan-IPB) Dr. Ir. Zainal Arifin, M.Sc. (Pencemaran Perairan-LIPI) Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal (Ikhtiologi-IPB) Dr. Estu Nugroho (Genetika Populasi Ikan-BPPAT) Dr. Achmad Sarnita (Pengelolaan Sumberdaya Perikanan) Dr. Lilis Sadiyah, Ph.D. (Permodelan Perikanan-P4KSI) Redaksi Pelaksana: Ralph Thomas Mahulette, S.Pi., M.Si. Kharisma Citra, S.Sn. Desain Grafis: Arief Gunawan, S.Kom. Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telp. (021) 64711940; Fax. (021) 6402640 Email:
[email protected] BAWAL-WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan - Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan.
KATAPENGANTAR Widya Riset Perikanan Perikanan Tangkap “BAWAL” merupakan wadah untuk menyampaikan informasi hasil penelitian yang dilakukan para peneliti dari dalam maupun luar lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Informasi-informasi tersebut sangat berguna bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) terutama para pengambil kebijakan sebagai dasar dalam pengelolaan perikanan dan konservasi sumberdaya ikan di laut maupun perairan umum daratan. Seiring dengan terbitnya Widya Riset Perikanan Tangkap Bawal Volume 4 Nomor 1 April 2012 ini, kami ucapkan terima kasih kepada para Mitra Bestari atas kesediaannya dalam menelaah beberapa naskah. Pada Volume ini, Bawal menampilkan delapan artikel hasil penelitian perairan umum daratan dan perairan laut. Delapan artikel tersebut mengulas tentang, biologi reproduksi dan kebiasaan makan ikan Banggai Cardinal (Pteropogon kauderni, Koumans 1933), keanekaragaman ikan di daerah padang lamun kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah, hasil tangkapan teripang (Sea cucumber) di perairan karang Scott pulau Datu Australia, biologi reproduksi ikan madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) di teluk Tomini, keragaman jenis dan kebiasaan makan ikan di muara sungai Musi, estimasi parameter pertumbuhan, mortalitas dan tingkat pemanfaatan ikan Tawes dan Nila di danau Tempe Sulawesi Selatan, struktur genetika populasi ikan Belida (Chitala lopis, Bleeker 1851) di waduk Kutopanjang, tingkat kesuburan perairan waduk Kedung Umbo di Jawa Tengah. Semua artikel pada edisi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang perikanan tangkap di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para penulis dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam edisi ini.
Redaksi
i
ISBN 1907-8226 BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap Volume 4 Nomor 1 April 2012 DAFTAR ISI KATAPENGANTAR ………………………………………………………………………………………................
i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………..............
ii
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makan Ikan Banggai Cardinal (Pterapogon kauderni, Koumans 1933) di Perairan Banggai Kepulauan Oleh : Prihatiningsih dan Sri Turni Hartati………………………………………………………………….....…
1-8
Keanekaragaman Ikan di Daerah Padang Lamun Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah Oleh : Widhya Nugroho Satrioajie, Teguh Peristiwady dan La Pay..........................................................................
9-17
Hasil Tangkapan Teripang (Sea cucumber) di Perairan Karang Scott Pulau Datu Australia Oleh : Anthony Sisco Panggabean, Ralph Thomas Mahulette, dan Jim Prescott……………………………
19-26
Biologi Reproduksi Ikan Madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) di Teluk Tomini Oleh : Siti Mardlijah dan Mufti Petala Patria.......................................................................................................
27-34
Keragaman Jenis dan Kebiasaan Makan Ikan di Muara Sungai Musi Oleh : Eko Prianto, Ni Komang Suryati dan Muhammad Mukhlis Kamal................................................................
35-43
Estimasi Parameter Pertumbuhan, Mortalitas dan Tingkat Pemanfaatan Ikan Tawes dan Nila di Danau Tempe Sulawesi Selatan Oleh : Samuel dan Safran Makmur............................................................................................................................
45-52
Struktur Genetik Populasi Ikan Belida (Chitala lopis, Bleeker 1851) di Waduk Kutopanjang Oleh: Arif Wibowo.......................................................................................................................................................
53-58
Tingkat Kesuburan Perairan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah Oleh : Siti Nurul Aida dan Agus Djoko Utomo…………………………………………………………………....
59-66
iii
BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 1-8
BIOLOGI REPRODUKSI DAN KEBIASAAN MAKAN IKAN BANGGAI CARDINAL (Pterapogon kauderni, Koumans 1933) DI PERAIRAN BANGGAI KEPULAUAN BIOLOGY OF REPRODUCTION AND FEEDING HABIT OF BANGGAI CARDINAL FISH (PTERAPOGON KAUDERNI, KOUMANS 1933) IN THE BANGGAI ISLAND WATERS Prihatiningsih1) dan Sri Turni Hartati2) 1) Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Jakarta Teregistrasi I tanggal: 1 Juni 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 10 Februari 2012; Disetujui terbit tanggal: 17 Februari 2012 2)
ABSTRAK Ikan Banggai Cardinal bersifat endemik di perairan Banggai Kepulauan dan saat ini mengalami tekanan penangkapan yang intensif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek biologi reproduksi sebagai dasar pengelolaannya. Contoh ikan ditangkap dengan menggunakan alat “bundre/serokan” (scoop net) dari bulan April 2010 – Januari 2011. Hasil penelitian menunjukkan panjang cagak ikan Banggai Cardinal berkisar 1,2 – 7,9 cm (rata-rata 4,0 cm) dan berat berkisar 0,1 – 12,9 gram. Pertumbuhannya bersifat allometrik dan rata-rata ukuran panjang cagak pertama kali tertangkap (Lc) = 3,75 cm dan lebih kecil dari rata-rata panjang cagak pertama kali matang gonad (Lm) = 4,40 cm. Tingkat kematangan gonad tersebar pada stadia I sampai memijah dan pemijahan berlangsung sepanjang tahun dan bersifat total spawning. Fekunditas berkisar 12 – 124 butir, diameter telur yang sudah matang berkisar 0,4 – 4,0 mm dengan rata-rata 3,02 mm. Berdasarkan analisis kebiasaan makannya dapat diketahui bahwa ikan Banggai Cardinal tergolong hewan karnivora. KATA KUNCI : Biologi reproduksi, kebiasaan makan, ikan Banggai Cardinal, Banggai Kepulauan ABSTRACT : Banggai Cardinal Fish are endemic fish obtained in the Banggai Island waters and it is currently intense fishing pressure. This study aims to determine the biological aspects of reproduction as the basis for its management. Samples obtained by using “bundre” (scoop net) during April 2010 - January 2011. The results showed that the individual length of Banggai Cardinal ranged from 1,2 cm to 7,9 cm (mean 4,0 cm) and individual weight ranged from 0,1 gram to 12,9 grams. It is allometrik growth and the average length at first captured (Lc) = 3,75 cm and smaller than average length at first maturity (Lm) = 4,40 cm. Gonadal maturity stages spread in stage I – spent, spawning takes place throughout the year and it seems total spawning, a fecundity is estimated between 12-124 eggs. The average diameter of the mature eggs ranged from 0,4 mm to 4,0 mm (the batch average of 3,02 mm). Based on food habit analysis it can be concluded that the Banggai Cardinal Fish was carnivor. KEYWORDS : Biology of reproduction, feeding habit, Banggai Cardinal Fish Banggai Island waters
PENDAHULUAN Ikan Banggai Cardinal (Pterapogon kauderni) dalam bahasa lokal dikenal sebagai ikan capungan termasuk kedalam famili Apogonidae. Ikan ini memiliki keunikan tersendiri ditinjau dari segi tingkah laku, bentuk tubuh, warna maupun pola hidupnya. Ikan Banggai Cardinal merupakan sumberdaya ikan yang memiliki nilai komersial cukup tinggi sebagai ikan hias. Ikan jenis ini hanya terdapat di perairan Indonesia, tepatnya di Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah (Allen & Steene, 1996). Pada awalnya ikan ini hanya dikenal sebagai mainan anak-anak di pesisir Kepulauan Banggai khususnya Desa Tolokibit-Kecamatan Banggai. Dalam perkembangannya
meluas ke desa lainnya di perairan Kepulauan Banggai. Mulai tahun 1980-an sudah mulai diperdagangkan sebagai ikan hias baik secara lokal maupun internasional. Jenis ikan ini mulai menarik perhatian dunia internasional, terlebih dengan adanya usulan dari negara USA agar dimasukkan ke dalam daftar lampiran CITES (konvensi yang mengatur perdagangan internasional terhadap spesies flora dan fauna yang terancam punah) dan Daftar Merah IUCN 2007 yang tertuang dalam Appendix II berkenaan dengan Article II paragraph 2 (a) yang mengindikasikan status terkini (IUCN, 2008). Dengan adanya pertimbangan CITES tersebut, kebutuhan informasi dan data ikan Banggai Cardinal telah meningkat akhir-akhir ini.
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung Komplek Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman - Jakarta Utara, Email:
[email protected]
1
Prihatiningsih, S.T. Hartati / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 1-8
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui aspek biologi reproduksi ikan Banggai Cardinal meliputi; sebaran ukuran panjang dan berat individu, ukuran pertama kali tertangkap (Lc), ukuran pertama kali matang gonad (Lm), tingkat kematangan gonad (TKG), fekunditas dan diameter telur, serta kebiasaan makan. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan merupakan dasar (benchmark) bagi penelitian sumber daya ikan Banggai Cardinal di masa mendatang. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April 2010 - Januari 2011 mewakili musim barat, timur dan peralihan. Lokasi penelitian mencakup wilayah perairan karang dan lamun
di sekitar Pulau Banggai dan P. Peleng, Kabupaten Banggai Kepulauan-Sulawesi Tengah. Daerah penelitian meliputi posisi geografis antara 1 006’30’’ - 2 020’00" LS dan 122040’00 - 123059’00" BT (Gambar 1). Pengumpulan Data Contoh ikan Banggai Cardinal (Pterapogon kauderni) diperoleh dari hasil tangkapan menggunakan scoop net (lokal: bundre) dengan diameter 40-50 cm dan panjang jaring 60-80 cm. Jaring terbuat dari nylon monofilamen atau waring dengan mata jaring 4 mm. Contoh ikan diukur panjang (ketelitian 0,1 cm) dan bobotnya (ketelitian 0,1 g). Contoh gonad dan isi lambung diawetkan dengan formalin 10% dan khusus analisa fekunditas digunakan larutan gilson sebagai pengawetnya. Pengamatan sampel dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Perikanan Laut-Jakarta.
≠
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah Figure 1. Map showing of the study in Banggai Islands, Central Sulawesi Analisis Data
b = kemiringan (slope)
1. Hubungan panjang-berat
Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠3 dilakukan uji –t (uji parsial), dengan hipotesis: H0 : b = 3, hubungan panjang dan berat adalah isometrik H1 : b 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik dimana : Pola hubungan panjang-berat bersifat allometrik positif, bila b > 3 (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang), dan allometrik negatif, bila b < 3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat).
Hubungan panjang-berat mengacu pada Effendie (1979) dengan formula: W = aLb .........................................................................(1) keterangan : W = berat L = panjang a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjangberat dengan sumbu Y) 2
Prihatiningsih, S.T. Hartati / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 1-8
≠ tertangkap (Lc) 2. Pendugaan ukuran pertama kali
5. Fekunditas dan diameter telur
Pendugaan ukuran pertama kali tertangkap dilakukan ≠ membuat grafik hubungan antara panjang ikan dengan (sumbu X) dengan jumlah ikan (sumbu Y) sehingga diperoleh kurva berbentuk S. Nilai length at first capture yaitu panjang pada 50% pertama kali tertangkap dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Jones, 1976 dalam Sparre & Venema, 1998) :
Penghitungan fekunditas dilakukan dengan menggunakan metode gravimetrik yaitu dengan cara menimbang gonad atau telur. Telur ikan Banggai Cardinal jumlahnya sedikit dan berukuran besar sehingga bisa dilihat langsung secara visual. Pengukuran dan penghitungan telur yang berukuran kecil dilakukan menggunakan mikroskop (perbesaran 4x10) yang dilengkapi mikrometer dan telur yang berukuran besar menggunakan digital califer.
............................ (2)
1 Ln − 1 = S 1 − S 2 * L ................................. (3) SL S L 50 % = 1 ............................................................... (4) S2 keterangan : SL = kurva logistik; S1 = a; S2 =b S1 dan S2 = konstanta pada rumus kurva logistik 3. Pendugaan ukuran panjang pertama kali matang gonad (Lm)
6. Analisis kebiasaan makan Evaluasi jenis makanan dengan menggunakan indeks bagian terbesar (index of preponderance) merupakan gabungan dari dua metode, yaitu metode frekuensi kejadian dan metode volumetrik. Metode ini dikembangkan oleh Natarjan & Jhingram (1961) dalam Effendie (1979) dengan rumus : IP (%) = [(Vi*Oi)/∑(Vi*Oi)]*100% ........................... (6) keterangan : IP = indeks bagian terbesar (index of preponderance) Vi = persentase volume makanan ikan jenis ke-i Oi = persentase frekuensi kejadian makanan jenis ke-i
Pendugaan panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity) dilakukan sesuai dengan prosedur penghitungan yang dilakukan Udupa (1986), melalui rumus : ∑ HASIL DAN BAHASAN 1 S L est = 1 + exp( S 1 − S 2 * L ) m = Xk + X/2 – (X Pi) ................................................. (5) 1. Hubungan Panjang-Berat keterangan : m = log ukuran ikan saat pertama matang gonad Xk = log ukuran ikan dimana 100% ikan sampel sudah matang X = selang log ukuran (log size increment) Pi = proporsi ikan matang pada kelompok ke-i Rata-rata ukuran ikan pertama matang ovarium diperoleh dari nilai antilog (m). 4. Tingkat kematangan gonad (TKG) TKG diamati secara visual dengan cara melihat perubahan morfologi gonad serta pengamatan histologi dengan metode parafin dan pewarnaan hematoxylin eosin. Perkembangan oosit dibagi menjadi lima stadium berdasarkan klasifikasi Kuo et. al., (1974), yaitu stadium I (oosit primer mempunyai khromatin nukleolus dan perinukleolus); stadium II (terdapat vesikel pada kuning telur); stadium III (terdapat globula pada kuning telurnya); stadium IV (stadium matang telur, ditandai dengan bergeraknya inti sel dari tengah ke tepi) dan stadium V (disebut stadium atretis).
Sebaran ukuran panjang ikan Banggai Cardinal (Pterapogon cauderni) di perairan Banggai Kepulauan berkisar 1,0 cm – 7,0 cm dengan rata-rata 3,4 cm (panjang standar, SL); berkisar 1,2 – 7,9 cm dengan rata-rata 4,0 cm (panjang cagak, FL); dan berkisar 1,4 – 10,1 cm dengan rata-rata 5,0 cm (panjang total, TL) (Lampiran 1). Secara keseluruhan modus ikan Banggai Cardinal setiap bulannya berada pada panjang cagak 3,0 – 5,0 cm. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya ikan Banggai Cardinal mencapai maksimal pada ukuran sekitar 5-6 cm SL (Vagelli, 1999). Pengukuran individu terhadap 1.387 ekor ikan Banggai Cardinal diperoleh panjang cagak berkisar 1,2 cm – 7,9 cm dengan berat berkisar 0,1 gram – 12,9 gram. Persamaan hubungan panjang-berat pada bulan April adalah W = 0,05*FL2,587, bulan Juni adalah W = 0,015*FL2,809 , bulan Agustus adalah W = 0,009L2,994 dan bulan November adalah W = 0,021L3,116 ,dengan nilai koefesien korelasi (r) masing-masing lebih besar dari 0,9 (Tabel 1). Jika nilai koefisien korelasi (r) mendekati nilai -1 atau 1, maka terdapat hubungan linier yang kuat antara kedua variabel tersebut (Walpole, 1993).
3
Prihatiningsih, S.T. Hartati / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 1-8
Nilai b pada pengamatan bulan April, Juni, Agustus dan Nopember masing-masing sebesar 2,587; 2, 809; 2,994; dan 3,116. Berdasarkan hasil uji –t terhadap parameter b pada selang kepercayaan 95% (á=0,05), diperoleh thitung > ttabel, yang artinya b # 3. Pola pertumbuhan ikan Banggai Cardinal pada pengamatan bulan April, Juni, dan Agustus bersifat allometrik negatif (b < 3) dimana
pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan berat, untuk pengamatan bulan Nopember bersifat allometrik positif (b > 3), dimana pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjangnya. Menurut Effendie (2002), pertumbuhan suatu ikan dipengaruhi oleh keturunan, jenis kelamin, umur, parasit, penyakit, ketersediaan makanan dan suhu perairan.
Tabel 1. Hubungan panjang-berat ikan Banggai Cardinal (P. kauderni). Table 1. Length – weight relationship of Banggai Cardinal Fish (P. kauderni).
2. Pendugaan panjang pertama kali tertangkap (Lc) dan panjang pertama kali matang gonad (Lm) Hasil analisis diperoleh dugaan panjang pertama kali tertangkap (Lc) ikan Banggai Cardinal adalah 3,75 cm FL dan panjang pertama kali matang gonad (Lm) adalah 4,40 cm FL (Gambar 2). Hasil penelitian ini lebih kecil dari hasil penelitian oleh Wijaya (2010) yaitu 5,8 cm. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar ikan Banggai Cardinal yang tertangkap belum melewati ukuran pertama kali matang gonad (Lc
Gambar 2. Panjang rata-rata (50% kumulatif) ikan Banggai Cardinal (P.kauderni) Figure 2. Length average (50% cumulatif) of Banggai Cardinal fish (P. kauderni)
4
3. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Perkembangan gonad ikan secara garis besar terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertumbuhan dan tahap pematangan (Lagler et al., 1977). Selain secara morfologi, preparat histologi jaringan gonad ikan merupakan salah satu cara untuk menentukan tingkat kematangan gonad yaitu dari bentuk, panjang, W=aL bobot, bwarna, rdan No dilihat Bulan Persamaan perkembangan ovari melalui perkembangan oosit. Tingkat 2,587 kematangan Banggai Cardinal0,9628 terdiri 1 Aprilgonad (TKG) W =ikan 0,05L dari TKG I sampai dengan memijah2,809 (spent). Pada bulan 2 TKG Junididominasi oleh W = stadia 0,015LIV mencapai 37,62%; 0,9492 Juni, 2,994 bulan stadia III mencapai 57,66% 3 Agustus, Agustusdidominasi W oleh = 0,009L 0,9700 dan bulan Nopember didominasi oleh stadia IV mencapai 4 Nopember W = 0,021L3,116 0,9838 29,63% (Gambar 3). Kondisi gonad pada TKG III terlihat pada ikan berukuran antara 4,2 cm – 5,4 cm dengan diameter oosit antara 0,30 mm – 0,75 mm, dengan ukuran oosit yang cenderung meningkat, berkembang menjadi stadia awal bahan kuning telur / yolk (Kuo et al., 1974). Menurut Hardjamulia (1995), TKG III ditandai dengan adanya ukuran oosit yang bertambah besar dan sudah nampak lapisan vesikula kuning telur. Proses vitellogenesis sudah terjadi yang ditunjukkan dengan adanya granula kuning telur. Kondisi gonad pada TKG IV terlihat pada ikan berukuran 5,5 cm – 6,5 cm dengan diameter oosit berkisar 0,75 mm – 1,00 mm. Chinabut et al., (1991) menyatakan bahwa TKG IV ditandai dengan granula kuning telur yang menutupi seluruh sitoplasma, tidak terdapat nukleus (inti sel) dan ukurannya tidak beraturan. Dilihat dari pewarnaannya, TKG IV lebih menyerap warna merah dengan oosit yang bertambah besar dan berongga (Gambar 4).
Uji t tHit 8,66 18,14 2,83 15,37
t
Prihatiningsih, S.T. Hartati / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 1-8
Dari hasil penelitian terlihat TKG ikan Banggai Cardinal tersebar pada stadia I sampai dengan spent dan hal ini menunjukkan ikan tersebut dapat bertelur setiap bulan. Selain itu kemungkinan berkaitan dengan siklus bulan sehingga dapat dikatakan bahwa ikan Banggai Cardinal memijah sepanjang tahun. Di wilayah tropis, ikan Banggai Cardinal bereproduksi sepanjang tahun selama persediaan makan cukup (Marini, 1999).
Siklus reproduksi ikan Banggai Cardinal adalah pertama ikan dibuahi di dalam perut dengan tahapan TKG I sampai TKG IV. Apabila sudah matang gonad telur tersebut dikeluarkan, kemudian dimasukan kembali kedalam mulut untuk berkembangbiak dengan berbagai tahapan diantaranya tahap telur, embrio, larva dan juvenil. Ikan Banggai Cardinal memiliki pola berkembangbiak dengan menggunakan mulut (mouth breeders) seperti yang terjadi pada ikan-ikan golongan Apogonidae yang lain. 4. Fekunditas dan Diameter Telur
Gambar 3. Tingkat kematangan gonad ikan Banggai Cardinal Figure 3. Gonadal stage maturity of Banggai Cardinal Fish
Jumlah telur ikan Banggai Cardinal di dalam perut rata-rata berkisar 12 – 124 telur, dan telur yang dierami di dalam mulut rata- rata berjumlah 78 telur. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah telur yang dihasilkan sekitar 40-60 butir dan jumlah larva yang berhasil dierami hingga terlepas sebagai rekrut jarang melebihi 20 (Vagelli & Volpedo, 2004; Marini, 1999). Jumlah juvenil yang dierami di dalam mulut berjumlah 60 ekor/individu dengan panjang juvenil berkisar 0,7 – 1,0 cm FL dan berat berkisar 0,1 – 0,2 gram. Dapat dikatakan bahwa jumlah telur ikan Banggai Cardinal dibandingkan dengan ikan laut lainnya dikategorikan memiliki tingkat fekunditas yang rendah, sehingga sangat rentan apabila dieksploitasi secara berlebihan. Menurut Effendie (1997), fekunditas sering dihubungkan dengan panjang karena penyusutannya relatif kecil dibandingkan dengan berat. Berdasarkan hasil analisis hubungan fekunditas (F) dengan panjang tubuh (L) diperoleh persamaan sebagai berikut : F = 3,658L1,577 dengan nilai koefisien determinasi (r2) 0,496 (Gambar 5). Gambar 5 ini menunjukkan panjang dapat mempengaruhi fekunditas sebesar 49%, sedangkan 51% fekunditas dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Nilai koefisien korelasi berdasarkan persamaan tersebut adalah 0,70 artinya hubungan antara fekunditas dan panjang tubuh berbanding lurus atau dengan kata lain bahwa panjang tubuh ikan Banggai Cardinal mempengaruhi fekunditasnya.
Gambar 4. Penampang histologi gonad ikan Banggai Cardinal menunjukkan oosit pada tingkat IV dengan ukuran panjang cagak ikan 5,4 - 6,5 cm dan diameter oosit 0,4 – 1,0 mm Figure 4. Histological sections of the gonad of Banggai Cardinal Fish showing oocytes stage IV with fork length 5,4 - 6,5 cm and oocytes diameters 0,4 – 1,0 mm
Rata-rata ukuran diameter telur ikan selama pengamatan berkisar 474 µm – 4010 µm (0,4 mm – 4,0 mm) dengan rata-rata 3027µm (3,02 mm). Dalam setiap individu, ukuran telur hampir sama setiap butirnya sehingga pemijahannya bersifat total spawning artinya telur yang sudah matang dikeluarkan sekaligus dalam suatu periode pemijahan. Hasil penelitian Vagelli (2002) menyebutkan telur ikan Banggai Cardinal berdiameter sekitar 3 mm dan pada saat penetasan larva berukuran panjang baku sekitar 6 mm SL (Standard Length).
5
Prihatiningsih, S.T. Hartati / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 1-8
Gambar 5. Hubungan antara fekunditas telur dan panjang cagak (cm) ikan Banggai Cardinal Figure 5. Relationships between fecundity and fork length (cm) of Banggai Cardinal Fish 5. Kebiasaan makan Berdasarkan hasil analisa isi lambung (stomach content) ikan Banggai Cardinal dengan menggunakan index of preponderans (IP) dapat dilihat pada Gambar 6. Pengamatan bulan Juni, makanan utamanya adalah crustacea jenis udang yang keberadaannya mencapai 73%, zooplankton jenis Copepoda sebagai makanan pelengkap dengan mencapai sebesar 23%, sementara Polychaeta dan fitoplankton sebagai makanan tambahan dengan keberadaannya kurang dari 5%. Selain fitoplankton laut, terdapat jenis fitoplankton air tawar yaitu plagiogramma sp. Bulan Agustus, makanan utamanya adalah Crustacea dengan keberadaannya 68%, makanan pelengkap adalah zooplankton dengan kehadiran 22% serta Moluska, Polychaeta, dan fitoplankton adalah makanan tambahan dengan keberadaan kurang dari 10%. Bulan Nopember, makanan utamanya adalah Crustasea dengan kehadiran 53%, makanan pelengkap adalah fitoplankton dan zooplankton dengan keberadaan masing-masing 17% dan 21%, sisik ikan dan Polychaeta adalah makanan tambahan dengan keberadaan kurang dari 10%. Hasil penelitian ini menunjukkan isi lambung ikan Banggai cardinal tergolong karnivora terdiri dari krustasea sebagai makanan utamanya; fitoplankton dan zooplankton sebagai makanan pelengkap; serta moluska, polychaeta, dan sisik ikan sebagai makanan tambahan. Diduga sisik ikan tersebut adalah sisik ikan Banggai Cardinal sendiri dalam bentuk juvenil. Berdasarkan hasil penelitian Vagelli (2002), P. kauderni tergolong karnivora, mangsanya sangat beragam, meliputi berbagai jenis zooplankton dan zoobenthos, serta ikan/invertebrata berukuran kecil, termasuk P. kauderni juvenil.
Gambar 6. Komposisi isi lambung ikan Banggai Cardinal Figure 6. Composition of stomach content of Banggai Cardinal Fish KESIMPULAN 1. Hubungan panjang-berat ikan Banggai Cardinal secara umum bersifat allometrik negatif. 2. Ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) adalah sebesar 3,75 cm (FL) dan panjang pertama kali matang gonad (Lm) adalah sebesar 4,40 cm (FL). 3. Tingkat kematangan gonad ikan Banggai Cardinal didominasi oleh stadia IV. Pemijahannya berlangsung sekaligus (total spawning) sepanjang tahun dengan puncak musim pemijahan terjadi pada bulan Juni. 4. Fekunditas berkisar 12 – 124 butir. Diameter telur yang matang berkisar 0,4 mm – 4,0 mm dengan rata-rata 3,02 mm. 5. Ikan Banggai Cardinal tergolong karnivora dengan crustasea sebagai makanan utama; fitoplankton dan zooplankton sebagai makanan pelengkap; dan moluska, polychaeta, dan juvenil ikan sebagai makanan tambahan. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari hasil riset “Kajian dinamika populasi ikan Banggai Cardinal (Pterapogon kauderni) dan status usaha perikanannya” TA. 2010 pada Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Allen, G. R & R. Steene. 1996. Indo-Pasific Coral Reef Field Guide. Tropical Reef Research. Ang Mo Kio Industrial Park 2, Singapore. 378 p. Chinabut. S, L. Chalor & K. Praveena. 1991. Histology of the walking catfish, Clarias batrachus. Department of Fisheries, Thailand. 89 p. Effendie, I. M. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 p.
6
Prihatiningsih, S.T. Hartati / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 1-8
Effendie, I. M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 p. Hardjamulia, A., S. Ningrum & W. Endang. 1995. Perkembangan oosit dan ovari ikan semah (Tor dourenensis) di Sungai Selabung, Danau Ranau, Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. I (3): 36 – 46. IUCN, 2008. IUCN Red List, January, 2008. http:// www.iucnredlist.org/.Google.com;diakses tanggal 2 Februari 2011. Kuo, C.M., C.E. Nash & Z. H. Shehadeh. 1974. A Procedural guide to induce spawning in grey mullet (Mugil cephalus L.). Aquaculture. 3: 1 – 14. Lagler, K. F., J. E. Bardach, R. R. Miller, & D. R. M. Passino. 1977. Ichthyology. 2nd ed. New York. John Wiley & Sons. 505 p. Marini, F. C. 1999. Captive care and breeding of the Banggai Cardinal Fish Pterapogon kauderni. http:// www.reefs.org/. Diakses tanggal 10 Oktober 2010. Sparre, P. & S. C. Venema. 1998. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan (Terjemahan) : Introduction to Tropical fish stock assessment. FAO Fish Tech. Paper. 306.(1) 376 p.
Udupa, K. S. 1986. Statistical method of estimating the size of first maturity in fish. Fishbyte ICLARM. Manila. 4 (2). 8-1. Vagelli A. 1999. The Reproductive biology and early ontogeny of the mouthbreeding Banggai Cardinal Fish, Pterapogon kauderni (Perciformes, Apogonidae). Environmental Biology of Fishes. 56: 79-92. Vagelli A. 2002. Notes on the biology, geographic distribution, and conservation status of the Banggai Cardinal Fish, Pterapogon kauderni Koumans 1933, with comments on captive breeding techniques. Aquarium Science. p. 84-88. Vagelli A. & A. V. Volpedo. 2004. Reproductive ecology of Pterapogon kauderni, an endemic apogonid from Indonesia with direct development. Environmental Biology of Fishes 70: 235-245. Walpole, R. E. 1993. Pengantar Statistik. Edisi ke tiga. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 505 p. Wijaya, I. 2010. Analisis Pemanfaatan Ikan Banggai Cardinal (Pterapogon kauderni, Koumans 1933) di Pulau Banggai-Sulawesi Tengah. Tesis. Institut Pertanian Bogor. 73 p.
7
Prihatiningsih, S.T. Hartati / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 1-8
Persentase (%)
Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan Banggai Cardinal di Banggai Kepulauan bulan April 2010 sampai Januari 2011 Appendix 1. Length frequency distribution of Banggai Cardinal Fish in Banggai Islands, April 2010 – January 2011
Panjang cagak, FL (cm)
8
BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 9-17
KEANEKARAGAMAN IKAN DI DAERAH PADANG LAMUN KEPULAUAN BANGGAI, SULAWESI TENGAH FISH DIVERSITY IN THE SEAGRASS AREAS AT BANGGAI ISLANDS WATERS, CENTRAL SULAWESI Widhya Nugroho Satrioajie1), Teguh Peristiwady2) dan La Pay1) 1) Balai Konservasi Biota Laut, LIPI-Ambon Loka Balai Konservasi Biota Laut Bitung, Sulawesi Utara Teregistrasi I tanggal: 2 Januari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 19 Maret 2012; Disetujui terbit tanggal: 22 Maret 2012 2)
ABSTRAK Padang lamun merupakan salah satu ekosistem penting bagi kehidupan ikan. Salah satu peranannya adalah sebagai penyedia makanan dan perlindungan dari predator. Kompleksitas kondisi padang lamun dapat mempengaruhi jumlah jenis ikan yang berada di sekitarnya. Wilayah perairan Kepulauan Banggai merupakan salah satu perairan subur yang memiliki ekosistem padang lamun dengan kondisi relatif masih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati keanekaragaman ikan padang lamun di perairan Kepulauan Banggai. Jaring pantai (beach seine) digunakan untuk memperoleh sampel ikan pada tujuh lokasi pengamatan selama kurun waktu pertengahan bulan Juni hingga Juli 2011. Keanekaragaman ikan dinilai berdasarkan pada komposisi jenis ikan dan beberapa indeks diversitas. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah total ikan yang dikoleksi yaitu 1.714 individu, terdiri dari 37 famili dan 90 spesies. Jumlah tangkapan ikan tertinggi berada pada lokasi Pulau Kakadan dan Pulau Kembangan dengan jumlah tangkapan masing-masing 41 dan 33 spesies. Sebaliknya Pulau-pulau Bandang merupakan lokasi dengan jumlah hasil tangkapan terendah yaitu 11 spesies dengan total keseluruhan hanya 20 individu. Jenis ikan dari famili Athrinidae dan Clupeidae mendominasi hasil tangkapan di Pulau Kakadan dan Pulau Kembangan sekaligus merupakan jumlah tertinggi diantara semua jenis ikan dari seluruh lokasi pengamatan. Secara umum komunitas ikan berada pada kondisi yang stabil dengan tidak adanya jenis yang mendominasi. Nilai indeks keanekaragaman (H’) keseluruhan lokasi pengamatan menunjukkan kekayaan spesies berada pada kondisi sedang (2,21–2,78). Sedangkan nilai keseragaman (e), menunjukkan sebagian besar lokasi pengamatan berada pada kondisi yang labil (0,50< e d”0,75). Kondisi demikian mengisyaratkan bahwa perlu adanya upaya perlindungan ekosistem lamun dan sekitarnya agar keanekaragaman ikan tetap terjaga. KATA KUNCI: Padang lamun, komposisi ikan, jumlah tangkapan, keanekaragaman ABSTRACT: Seagrass is one of important ecosystems for fish life. One of its roles is as feeding ground and protection area from predators. The complexity of seagrass can influence the number of surrounding fish species. The Banggai Islands waters is one of rich area that has seagrass ecosystems in a relatively good condition. This research aims to examine the diversity of fish in seagrass beds in that area. Beach seine was used to catch sample of fish from seven stations spanning the middle of June until July 2011. The diversity of fish was determined based on the composition and some of diversity index. The result showed that the total numbers of collecting fish were 1.714 individuals, consisting of 37 family and 90 species. The highest of total number was found in Kakadan and Kembangan Island, were 41 and 33 species respectively. On the other hand, Bandang Islands had the lowest catch of 11 species (20 individuals). The family of Athrinidae dan Clupeidae dominated the total number of catch in Kakadan dan Kembangan Island and the highest among all species from whole stations. Generally, the fish community was at a steady level in which there was no domination. Biodiversity index (H’) of all stations showed the richness of species was at moderate level (2,21-2,78). Whereas the evenness index showed that almost all of stations were at unsteady condition (0,50< e d”0,75). These conditions imply that it needs a protection effort toward seagrass ecosystem in order to maintenance fish diversity. KEYWORDS: Seagrass, composition of fish, the number of catch, diversity.
PENDAHULUAN Wilayah Kabupaten Kepulauan Banggai secara administartif termasuk dalam propinsi Sulawesi Tengah terdiri atas 342 pulau dengan 5 pulau sedang yakni Pulau Peling (luas 2.340km²), Pulau Banggai (268km²), Pulau
Bangkurung (145km²), Pulau Salue Besar (84km²), Pulau Labobo (80km²) dan 337 pulau-pulau kecil. Dengan panjang pantai sekitar 1.714,218 Km, perairan Kepulauan Banggai terletak di antara dua laut dalam yaitu, Laut Maluku di sebelah utara dan Laut Banda di sebelah tenggara. Pada wilayah perairan tersebut terdapat salah
Korespondensi penulis: Balai Konservasi Biota Laut, LIPI-Ambon Jl. Jl. Y. Syaranamual Guru-guru Poka Kotak Pos 1108,Ambon-Maluku, Email:
[email protected]
9
W.N. Satrioajie, et. al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 9-17
satu ekosistem penting padang lamun (http:// www.ptbss.com/ss2.htm). Ekosistem padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang memiliki produktivitas sangat tinggi yang memungkinkan untuk menopang kehidupan berbagai jenis organisme yang hidup dan tinggal di dalamnya (Voss & Voss, 1955; Randal, 1965 & Kikuchi, 1966). Ekosistem ini juga memiliki asosiasi dengan berbagai kelompok organisme, salah satu diantaranya adalah ikan (Gilanders, 2006). Radjab et al., (1992), telah mendapatkan sejumlah 1.588 individu ikan yang terdiri dari 61 spesies yang mewakili 10 famili di area padang lamun Teluk Baguala, khususnya di perairan Passo Ambon. Hasil penelitian Rani et al., (2010), pada areal lamun buatan menemukan bahwa, ikan memilih padang lamun dengan struktur yang lebih kompleks dibandingkan struktur yang sederhana. Adapun penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tingkat keanekaragaman ikan di wilayah perairan Kepulauan Banggai khususnya di daerah padang lamun, sebagai salah satu upaya untuk mengungkap potensi sumberdaya ikan yang ada wilayah tersebut.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada pertengahan bulan Juni hingga awal bulan Juli 2011 di beberapa pulau-pulau sekitar perairan Kepulauan Banggai (Gambar 1) antara lain Pulau Kembangan, Pulau Kakadan, Pulau Banggai, Pulau Peling, Pulau Bandang dan Pulau Bangkulu. Sampel ikan diperoleh menggunakan jaring tarik (beach seine) dengan ukuran panjang sayap dan kantong masing-masing 10m dan 2m dengan ukuran mata jaring bagian sayap sebesar 1,875cm dan di bagian kantong sebesar 0,625 cm. Sampel ikan yang diperoleh diidentifikasi dengan berpedoman pada Kuiter & Tonozuka (1992) dan Allen (1997). Beach seine ditarik secara tegak lurus garis pantai di area padang lamun, dan dilakukan pada pagi hari dan siang hari ketika air laut mulai surut. Ikan hasil tangkapan setiap tarikan dimasukkan kedalam kantong plastik untuk dianalisa pada laboratorium dengan dicacah menurut jenisnya, diidentifikasi, diukur panjang total (mm) dan diawetkan dengan formalin 10% untuk koleksi. Struktur komunitas ikan dianalisa dengan melakukan penghitungan pada beberapa variabel antara lain indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (e), dan Indeks dominansi (D).
Gambar 1. Lokasi Penelitian Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah Figure 1. The Location of Research at Banggai Islands, Central of Sulawesi Indeks keanekaragaman (H’) merupakan nilai yang menunjukkan keseimbangan keanekaragaman dalam suatu pembagian jumlah individu tiap jenis. Tingginya tingkat keanekaragaman menunjukkan individu berasal dari spesies atau spesies yang berbeda-beda. Sebaliknya nilai
10
tersebut rendah ketika semua individu berasal dari satu spesies atau beberapa spesies saja (Odum, 1983). Adapun indeks keanekaragaman Shannon (H’) menurut Shannon & Weaver (1949) dalam Odum (1983), dihitung menggunakan formula:
W.N. Satrioajie, et. al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 9-17
H’= (ni/N)ln(ni/N) keterangan: ni = Jumlah individu setiap jenis N = Jumlah individu seluruh jenis Nilai indeks keanekaragaman Shannon dikategorikan atas nilai-nilai sebagai berikut, yaitu apabila nilai H’≤ 2 maka keanekaragaman rendah, nilai 2 < H’ 3 maka tingkat keanekaragaman sedang, dan apabila nilai H’ 3 maka tingkat keanekaragaman tinggi. Indeks keseragaman (equalibility) (e) menunjukkan kelimpahan yang hampir seragam dan merata antar jenis (Odum, 1983). Untuk perlakuan indeks kesamaan mengacu pada studi dari Alatalo (1981) yaitu:
sebelumnya yaitu Unsworth et al., (2007) di Taman Nasional Wakatobi, dengan perolehan 81 spesies ikan padang lamun dan Marasabessy (2010) di Pulau-pulau Derawan, Berau Kalimantan Timur dengan perolehan 1.708 individu yang terdri atas komposisi 58 spesies dan 30 famili. Jumlah ikan padang lamun di Kepulauan Banggai relatif lebih rendah dibandingkan dengan perolehan Jelbart et al., (2007) yang meneliti sumberdaya ikan padang lamun pada perairan temperate estuari di Australia dengan total tangkapan 9.350 individu namun hanya terdiri dari 52 spesies ikan. Komposisi ikan di atas sangat kontras ketika dibandingkan dengan hasil Rappe (2010) yang menggunakan visual census method di perairan Pulau Barrang Lompo Makassar, dengan total tangkapan 28 spesies dan 14 famili.
e = H’/lnS keterangan: S = Jumlah jenis Adapun kategori nilai indeks keseragaman (e) yaitu apabila nilai 0,00 < e d” 0,50 komunitas berada pada kondisi tertekan, 0,50 < e d” 0,75 komunitas berada pada kondisi labil dan 0,75 < e d” 1,00 komunitas berada pada kondisi stabil.
Tabel 1. Total hasil tangkapan ikan padang lamun pada masing-masing lokasi pengamatan di Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah Table 1. Total catch of seagrass fish in each location of observation at Banggai Islands, Central of Sulawesi
Indeks dominansi Simpson mendeskripsikan dominansi organisme dalam suatu komunitas ekologi ≤ ≥ ∑ bilamana terdapat jenis yang lebih banyak pada saat No. pengambilan data. 1. D = (ni/N)2 Dominansi (D) berada pada kategori sedang ketika 0,00 < D d ≤ 0,50, sedangkan kategori sedang untuk nilai 0,50 < D d ≤0,75. Dominansi tinggi ditunjukkan pada nilai 0,75 < D d 1,00.
TOTAL Lokasi / Location Family Species Individu P.Kembangan 22 33 247 2. P.Kakadan 23 41 532 3. P.Banggai 11 19 103 4. P.Peling 13 28 484 5. P.P. Bandang 10 11 20 6. P. Bangkulu 1 21 28 130 7. Jumlah P. Bangkulu 2 16 23 198 lokasi tangkapan terbanyak diperoleh pada Pulau Kakadan. Lokasi tersebut merupakan pulau ∑ 1714 tidak
Hampir keseluruhan lokasi penelitian ini memiliki bentangan reef flat yang cukup luas dengan kondisi lamun yang berbeda-beda. Pulau Banggai dan Pulau Peling merupakan 2 pulau terbesar di Kabupaten Kepulauan Banggai yang berpenghuni, dimana pusat aktivitas penduduk dan pemerintahan berada di Pulau Banggai. Sementara pada lokasi penelitian lain merupakan gugusan pulau-pulau sedang-kecil yang tidak berpenghuni.
berpenghuni dengan substrat pasir lumpur dimana terdapat ekosistem mangrove, karang dan padang lamun yang kondisinya relatif masih baik. Keadaan pulau yang tidak berpenghuni cukup berpengaruh terhadap kelimpahan dan keanekaragaman ikan, dikarenakan tekanan (kerusakan) akibat aktivitas penduduk yang relatif sedikit. Hal ini juga berlaku untuk Pulau Kembangan dimana keanekaragaman famili dan species tidak berbeda jauh dengan yang ada di Pulau Kakadan. Ciri yang membedakan kedua pulau di atas adalah jenis substrat, dimana jenis substrat Pulau Kembangan merupakan pasir putih pecahan karang.
Jumlah keseluruhan hasil tangkapan ikan padang lamun pada enam lokasi penelitian yaitu 1.714 individu yang terdiri dari 37 famili dan 90 spesies (Tabel 1). Jumlah tersebut lebih banyak dari pada perolehan pada penelitian
Jenis-jenis ikan yang ditemukan di areal padang lamun Pulau Kakadan (Lampiran 1) didominasi oleh famili Athrinidae sebanyak 252 individu atau 47,4% dari seluruh total tangkapan. Jenis tersebut didominasi oleh
HASIL DAN BAHASAN Komposisi Jenis Ikan
11
W.N. Satrioajie, et. al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 9-17
Hypoatherina SP., Anthrinomorus SP. dan Pranesus pinguis. Temuan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Makatipu (2000) di Perairan Tandurusa Selat Lembeh, Bitung dan Supriyadi (2009) di Teluk Pelitajaya dan Kotania Maluku dimana dua jenis Anthrinomorus SP. dan Pranesus pinguis merupakan jenis yang cukup sering mendominasi pada areal padang lamun dengan jenis substrat pasir berlumpur.
ditemukan pada daerah terumbu karang (Kuiter & Tonozuka, 1992); (Erftemeijer & Allen, 1993) dan (Supriadi et al., 2004). Hal ini didukung dengan kondisi daerah padang lamun di Pulau-pulau Bandang merupakan areal yang bersambungan langsung dengan area terumbu karang (seagrass associated reef system).
Berbeda dengan komposisi jenis ikan di pulau Kembangan dimana substrat yang menyusun padang lamun adalah pasir putih dan pecahan karang. Tidak ada jenis yang sangat mendominasi kecuali famili Clupeidae dengan persentasi tertinggi 24,4%. Spratelloides robustus (ikan teri) merupakan satu-satunya jenis yang mewakili famili ini sebanyak 130 individu. Ikan jenis ini hidup di perairan pantai (pelagis pantai), membentuk gerombolan besar. Tetapi untuk teri yang berukuran besar, cenderung untuk hidup soliter, hanya pada bulan–bulan tertentu dapat tertangkap dalam gerombolan kecil sekitar 100–200 ekor (Nontji, 1993); (Rogers et al., 2003).
Nilai indeks keanekaragaman (H’) ikan pada semua lokasi penelitian berkisar antara 2,21 – 2,78 (Tabel 2). Berdasarkan kriteria, maka keseluruhan lokasi penelitian berada pada kondisi sedang. Keanekaragaman menunjukkan kekayaan spesies dengan melihat jumlah spesies dalam suatu komunitas dan kelimpahan relatif. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies tinggi jika kelimpahan spesies yang ada atau proporsi antar spesies secara keseluruhan sama banyak atau hampir sama banyak (Brower et al., 1990).
Pada lokasi pulau Banggai dan pulau Peling dimana diketahui sebagai dua pulau yang terbesar yang berpenghuni di Kepulauan Banggai, komposisi jenis ikan yang diperoleh justru sangat sedikit (Tabel 1). Hal ini bisa disebabkan karena semakin bertambahnya jumlah penduduk, mengakibatkan areal padang lamun yang ada disekitar pulau tersebut lambat laun akan mengalami tekanan (kerusakan) sebagai akibat dari aktivitas penduduk setempat (Marasabessy, 2010). Khususnya wilayah pantai Pulau Peling telah digunakan untuk budidaya rumput laut. Hal ini sangat berbeda dengan kedua lokasi pulau sebelumnya yaitu Pulau Kakadan dan Pulau Pulau Kembangan dimana kondisi areal padang lamunnya masih dengan aktivitas penduduk relatif sedikit dibandingkan dengan lokasi lainnya. Jumlah tangkapan paling sedikit ditemukan pada lokasi Pulau-pulau Bandang yang merupakan salah satu pulau kecil yang tidak berpenghuni. Hal ini cukup mengejutkan karena kondisi padang lamun di pulau tersebut relatif masih baik namun sangat kontras ketika melihat kondisi terumbu karang disekitarnya yang mengalami kerusakan cukup parah akibat pengeboman. Kondisi sebaliknya pada Pulaupulau Bangkulu, dimana jumlah tangkapan ikan relatif lebih banyak dari pada Pulau-pulau Bandang (Tabel 1). Pulau ini dikenal sebagai tempat singgah nelayan dengan kondisi ekosistem relatif terjaga. Melihat kondisi demikian, dapat diprediksi bahwa keanekaragaman ikan padang lamun memiliki hubungan yang erat dengan kondisi ekosistem terumbu karang sekitarnya. Hasil pengamatan menunjukkan beberapa jenis ikan yang dominan pada daerah padang lamun banyak
12
Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi
Tabel 2. Struktur komunitas ikan padang lamun di Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah Table 2. Community structure of seagrass fish at Banggai Islands, Central of Sulawesi
DIVERSITY INDEX Lokasi / Location H e D 1. P.Kembangan 2.21 0.71 0.17 2. P.Kakadan 2.55 0.69 0.13 3. P.Banggai 2.56 0.87 0.09 4. P.Peling 2.40 0.72 0.13 5. P.P. Bandang 2.28 0.95 0.12 6. P. Bangkulu 1 2.79 0.84 0.09 7. P. dengan Bangkulu 2 nilai2.21 0.71 (e) dimana 0.17 Berbeda kisaran keseragaman ≤ besar lokasi berada pada kondisi yang labil 0,50 sebagian < e d 0,75. Nilai ini mengukur jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas dimana semakin merata penyebaran individu/proporsi antar spesies, maka keseimbangan komunitas akan makin meningkat. Umumnya apabila suatu komunitas memiliki nilai H’ dan e tinggi, maka nilai D-nya cenderung rendah; menandakan kondisi komunitas yang stabil; sebaliknya apabila nilai H’ dan e rendah, maka nilai D-nya tinggi, menunjukkan ada dominasi suatu spesies terhadap spesies lain; dan dominasi yang cukup besar akan mengarah pada kondisi komunitas yang labil atau tertekan (Masrizal & Azhar, 2001). No.
Keseimbangan komunitas ikan padang lamun di wilayah penelitian menunjukkan kondisi relatif baik. Variasi nilai H’, e dan D pada masing-masing lokasi penelitian sangat dipengaruhi oleh komposisi dan jumlah jenis ikan yang berada di sekitar area padang lamun. Kompleksitas
W.N. Satrioajie, et. al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 9-17
kondisi padang lamun merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah jenis ikan yang berasosiasi dengan peranannya sebagai penyedia makanan dan perlindungan dari predator (Gilanders, 2006).
Jelbart, J.E., P.M. Ross & R.M. Connolly. 2007. Patterns of small fish distributions in seagrass beds in a temperate Australian estuary. Journal of the Marine Biological Association of the UK. 87(5): 1297-1307.
KESIMPULAN
Kikuchi, T. 1966. An ecological study on animal communities of the Zostera marina belt in Tomioka Bay, Amakusa, Kyushu. Publ. Amakusa Mar. Biol. Lab. 1 (1): 1-106.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan pada tujuh lokasi penelitian di Kepulauan Banggai maka dapat disimpulkan bahwa, tingkat keanakeragaman ikan di daerah padang lamun yang terjaga baik berada pada kondisi sedang. Pada lokasi-lokasi yang berdekatan dengan aktivitas manusia, jumlah jenis ikannya relatif sedikit dengan jumlah individu yang cukup melimpah. Keadaan ini berkaitan dengan kualitas air laut yang relatif masih alami dan belum tercemar walaupun sebagian habitatnya telah rusak. Kondisi demikian mengisyaratakan perlu adanya perlindungan ekosistem lamun dari dampak negatif aktivitas manusia, agar fungsi dan peranan lamun bagi suatu ekosistem dapat berlaku secara optimal. PERSANTUNAN Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Kepulauan Banggai Sulwesi Tengah Tahun 2011. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Dirhamsyah, sekaligus sebagai koordinator Ekspedisi Kepulauan Banggai, serta Kru Kapal Riset (RV) Baruna Jaya VIII yang telah membantu penulis memperoleh data selama kurun waktu penelitian. DAFTAR PUSTAKA Alatalo, R.V. 1981. Problems in the measurement of evenness in Ecology. Oikos. 37 (2): 204. Allen, G. 1997. Marine fishes of tropical Australia and South-East Asia. Western Australian Museum. 292 p. Brower, J.E., J.H. Zar & C.N. von Ende. 1990. Field and laboratory methods for general ecology. 3rd ed. Wim.C. Brown Co. Pub. Dubuque, Iowa. 237 p. Erftemeijer, P.L.A. & G.R. Allen. 1993. Fish fauna of seagrass beds in South Sulawesi, Indonesia. Rec. West. Aust. Mus. 16(2): 269-277. Gilanders, B.M. 2006. Seagrasses, fish, and fisheries. In: Larkum, A.W.D., Orth, R.J., Duarte, C.M. (Eds.), Seagrasses: Biology, Ecology, and Conservation. Springer, The Netherland. 503-536 p. http://www.ptbss.com/ss2.htm (diakses tanggal 20 Mei 2011).
Kuiter, R.H. & T. Tonozuka. 1992. Tropical Reef of The Western Pacific, Indonesia and Adjacent Waters. PT Gramedia Pustaka Major, Jakarta. Makatipu, P.C. 2000. Studi pendahuluan komunitas ikan padang lamun di perairan Selat Lembeh, Bitung. Seminar nasional kenakeragaman hayati ikan IPBLIPI. Bogor. Marasabessy, M.D. 2010. Sumberdaya ikan di daerah padang lamun Pulau-pulau Derawan, Kalimantan Timur. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 36 (2): 193-210. Masrizal & Azhar. 2001. Kajian komunitas dan keanekaragaman jenis ikan pada ekosistem perairan sungai di Taman Nasional Kerinci Siblat. Pusat Studi Lingkungan Hidup, UNAND Padang. Naskah Proposal yang diajukan kepada Yayasan KEHATI, Padang : 20 p. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 367 p. Odum, E.P. 1983. Basic ecology. Saunders College Publishing, New York. Radjab, W. A., S. Dody, & F.D. Hukom. 1992. Komunitas ikan di padang lamun perairan passo Teluk Baguala. Balai penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut, P2O-LIPI, Ambon. Randal, J.E. 1965. Grazing effect on seagrass by herbivorous reef fishes in the West Indie. Ecology. 46: 225-260. Rani, C., Budimawan, & Rohani. 2010. Kajian keberhasilan ekologi dari penciptaan habitat dengan lamun buatan: penilaian terhadap komunitas ikan. Ilmu Kelautan. Indonesian Journal of Marine Sciences, 2 (Edisi Khusus): p 244-255. Rappe, R. A. 2010. Struktur komunitas ikan pada padang lamun yang berbeda di Pulau Barrang Lompo. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 2 (2): 62-73.
13
W.N. Satrioajie, et. al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 9-17
Rogers, P.J., M. Geddes, & T.M. Ward. 2003. Blue sprat Spratelloides robustus (Clupeidae: Dussumieriinae): a temperate clupeoid with a tropical life history strategy?. Marine Biology. 142: 809-824. Supriadi, Y.A. La Nafie, & A.I. Burhanuddin. 2004. Inventarisasi jenis, kelimpahan, dan biomassa ikan di padang lamun Pulau Barrang Lompo Makassar. Torani. 14(5): 288-295. Supriyadi, I. H. 2009. Pemetaan lamun dan biota asosiasi untuk identifikasi daerah perlindungan lamun di Teluk Kotania dan Pelitajaya. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 35 (2): 167-183.
14
Unsworth, R.K.F., E. Wylie, D.J. Smith & J.J. Bell 2007. Diel trophic structuring of seagrass bed fish assemblages in the Wakatobi Marine National Park, Indonesia. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 72: 81-88. Voss, G.L. & Voss, N.A. 1955. An ecological survey key, Biscane Bay, Florida. Bull. Mar. Sci. Gulf and Caribbeam. 5:203-229.
W.N. Satrioajie, et. al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 9-17
Lampiran 1. Jenis ikan yang tertangkap selama penelitian di Kepulauan Banggai. Appendix 1. The catching of fish species during research at Banggai Islands.
No
FAMILI/SPESIES
STA I
II
III
4
10 1
3 14 -
-
69 134 49
-
-
-
-
-
4
-
2
1
-
1
-
-
-
-
-
-
1 -
-
12. 13.
1) APOGONIDAE Apogon hartzfeldii Apogon hoeveni Pterapogon kauderni 2) ATHRINIDAE Athrinomorus sp. Hypoatherina sp. Pranesus pinguis 3) BALISTIDAE Rhinecanthus verrucosus 4) BELONIDAE Strongylura sp. 5) BLENNIDAE Petroscirtes variabilis 6) BOTHIDAE Bothus pantherinus 7) CALLIONYMIDAE Callionymus sp. 8) CARANGIDAE Caranx sexfasciatus Elegatis bipunnulata
14.
9) CENTRICIDAE Aeliscus strigatus
-
15
7
15.
10) CHAETODONTIDAE Chaetodon melanotus
1
1
-
16.
11) CLUPEIDAE Spratelloides robustus
130
85
-
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
I
8
W.N. Satrioajie, et. al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 9-17
Lampiran 1. Lanjutan ... Appendix 1. Continued…. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Cheilinus chlorurus Cheilio inermis Halichoeres schwartzi Halichoeres melanurus Halichoeres schwartzi Novaculichthys macrolepidotus Pteragogus sp Stethojulis interrupta Stethojulis strigiventer
1 4 1 2 5
1 5 2 11 1 1
3 9 15 -
34.
19) LEIOGNATHIDAE Leiognathus sp.
-
2
35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42.
20) LETHRINIDAE Lethrinus variegatus Lethrinus harak Lethrinus ornatus Lethrinus sp 1. Lethrinus sp. Lethrinus variegatus Lethrinusornatus Lethrinusvariegatus
-
59.
21) LUTJANIDAE Lutjanus biguttatus Lutjanus carponotatus Lutjanus fulviflamma Lutjanus fulvus 22) MONACANTHIDAE Acreichthys tomentosus Aluterus scriptus Pseudomonacanthus macrurus 23) MUGILIDAE Liza vagiensis 24) MULLIDAE Mulloidichtys vanicolensis Parupeneus indicus Parupeneus barberinus Parupeneus indicus Upeneus tragula 25) NEMIPTERIDAE Pentapodus sp. Pentapodus trivitttus Scolopsis lineatus 26) OSTRACIDAE Ostracion cubicus
60.
27) PINGUIPEDIDAE Parapercis clathrata
43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58.
16
8 25 -
1 -
3 5 4 1 -
1 3 -
6 12 1 31 45 11 2 3 6
-
-
-
-
-
2
45 2 1
5 1 1 -
1 73 85 2 10 5 -
-
1 1 -
5 59 -
6 183 88 2 11 1 5 1
-
2 2 1
-
2 3 -
-
1 -
1
2 2 6 2
6 1 -
15 -
13 -
84 1
3 -
7 -
9 -
137 1 1
13
-
-
-
-
1
-
14
2 3 -
-
-
1
-
2 -
2 1 10
-
3 30 3
2
7 1 46 2 5
-
-
1 1
-
1 -
3 -
11 1
1 15 2
-
-
-
-
-
1
-
1
-
-
-
-
-
2
-
2
4
-
2 -
1
W.N. Satrioajie, et. al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 9-17
Lampiran 1. Lanjutan ... Appendix 1. Continued….
61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90.
28) PLATYCEPHALIDAE Platycephalus sp 29) POMACENTRIDAE Amphiprion ocellaris Dischistodus chrysopoecilus Dischistodus fasciatus Dischistodus perspicillatus Pomacentrus sexfasciatus Pomacentrus sp. Pomacentrus tripunctatus Stegastes sp. 30) SCARIDAE Calotomus spinidens Leptoscarus vagiensis Scarus sp. 31) SERRANIDAE Centrogenys vaigiensis Epinephelus maculatus Epinephelus merra 32) SIGANIDAE Siganus canaliculatus Siganus argenteus Siganus canaliculatus Siganus punctatus Siganus spinus Siganuscanaliculatus 33) SOLEIDAE Pardachirus pavoninus 34) SPHYRAENIDAE Sphyraena barracuda Sphyraena jello 35) SYNGNATHIDAE Corythoichthys intestinalis Syngnathoides biaculeatus 36) SYNODONTIDAE Saurida gracilis 37) TETRAODONTIDAE Arothron manillensis Arothron reticularis Canthigaster compressa ∑ per stasiun
1
-
-
-
-
-
-
1
8 1 6
2
-
-
-
-
-
-
2
-
-
1
-
2 -
28 -
-
-
-
1 -
-
-
2 9 2 28 2 1 1 6
14 8
17 2 -
-
2 -
-
-
-
33 2 8
1
1 -
-
-
-
2 -
1 -
3 1 1
5 -
3 18 1 4
6 2 -
2 2 32 5 -
-
-
2 -
2 5 63 1 7 4
-
-
-
1
-
-
-
1
1
-
-
-
1
-
-
-
-
1 1
4 12
18 5
13 5
8
4 2
23 6
14 -
76 38
-
1
-
-
-
-
-
1
2 -
3 532
2
1 484
2 -
2 -
-
20
130
198
6 2 4 1714
247
103
17
BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 19-26
HASIL TANGKAPAN TERIPANG (Sea cucumber) DI PERAIRAN KARANG SCOTT PULAU DATU AUSTRALIA THE CATCH OF SEA CUCUMBER IN SCOTT REEF AROUND OF DATU ISLAND AUSTRALIA Anthony Sisco Panggabean1) , Ralph Thomas Mahulette2) dan Jim Prescott3) 1) Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan Dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Ancol Jakarta 3) Australian Fisheries Management Authority Teregistrasi I tanggal: 24 Mei 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 10 November 2011; Disetujui terbit tanggal: 15 Februari 2012 2)
ABSTRAK Perairan karang Scott (Scott Reef) yang terletak disekitar Pulau Datu berada di Perairan Laut Timor – Australia khususnya di lokasi MoU Box 74. Banyak nelayan tradisional Indonesia yang berasal dari Pulau Rote Alor dan Madura menangkap teripang di kawasan tersebut sebagai mata pencahariannya secara turun temurun. Suatu penelitian yang merupakan kerjasama antara Pemerintah Indonesia (Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan) dan Pemerintah Australia (Australian Fisheries Management Autority) telah dilakukan pada bulan September 2008. Sebagai bagian dari penelitian tersebut, telah dilakukan pengamatan teripang yang mencakup aspek biologi (panjang, berat, identifikasi jenis) dan aspek penangkapan (hasil tangkapan, deskripsi perahu dan alat tangkap). Hasil penelitian teridentifikasi 20 jenis teripang yang ditangkap oleh 29 unit armada tangkap yang berasal dari Pulau Rote Alor dan Madura. Terdapat 5 jenis teripang yang dominan tertangkap dan mempunyai nilai ekonomis tinggi yaitu Holothuria nobilis, Stichopus chloronutus, Bohadschia argus, Bohadschia marmorata dan Bohadschia sp. Peralatan yang digunakan untuk menangkap teripang adalah pancing, lampu lentera, kacamata selam, tombak, dan keranjang penampung. KATA KUNCI : Teripang, karang Scott , MoU Box 74, Australia ABSTRACT : Scott Reef or Datu Island waters is located in Timor Sea-Australian side, namely Mou Box 74. Since many years ago fishing activities had been going by Indonesian traditional fishers from Rote Island Alor and Madura. The main fishing activities were to collect sea cucumber (“trepang”). The research was a collaboration between The Agency for Marine and Fisheries Research and Development (AMFRD) Ministry of Marine Affairs and Fisheries and Australian Fisheries Management Authority (AFMA) in September 2008. Length and weight measurements, species identification were conducted for biological parameters and (total catcth, boat description and type fishing gear for fisheries aspects). There were 20 species of sea cucumbers or trepang identified. They were caught by 29 units of fishing boats in Datu Island came from Rote Island, Alor and Madura. The dominant species of Holothuria nobilis, Stichopus chloronutus, Bohadschia argus, Bohadschia marmorata and Bohadschia sp are economically important sea cucumbers. Fishing equipments, lantern lights, goggles, spears, and basket traps were used for collecting of sea cucumbers. KEYWORDS: Sea cucumber, Scott Reef, MoU Box 74, Australia
PENDAHULUAN Teripang merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai prospek cukup baik dan bernilai ekonomis tinggi, baik di pasar lokal maupun internasional. Teripang atau ketimun laut disebut juga sea cucumber (Inggris), namako (Jepang) dan beche-de-mer (Perancis) dalam istilah pasar internasional dikenal dengan nama teatfish. Ada beberapa jenis teripang yang mempunyai nilai ekonomis penting dan dikonsumsi diantaranya dari marga Holothuria, Stichopodidae dan Thelenota. Jenisjenis yang penting meliputi sandfish (Holothuria scabra), blackfish (Actinopyga Sp), blanckteatfish (Microthele
nobilis) dan whiteteatfish (Microthele fuscogilva) (Azis, 1981). Teripang merupakan biota yang hidup di dasar perairan, pergerakannya sangat lamban dan biasanya hidup di daerah berpasir, daerah berumput laut, serta berkarang. Jenis teripang yang bernilai ekonomis penting biasanya menempati dasar gobah (lagoon) atau luar tubir (outer reef) dengan kedalaman berkisar antara 5 sampai dengan 30 meter. Sumber daya teripang termasuk sumber daya yang dapat pulih (renewable resources) tetapi penangkapan
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung Komplek Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman - Jakarta Utara, Email:
[email protected]
19
A. S. Panggabean, et. al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 19-26
yang terus meningkat tanpa adanya pembatasan dan tidak berwawasan lingkungan dapat menyebabkan berkurangnya sumber daya tersebut. Apalagi hal ini terjadi pada sumber daya teripang yang sangat rentan terhadap dampak penangkapan karena memiliki ruaya yang tidak jauh, aktivitas rendah dan membentuk gerombolan relatif kecil. Perairan karang Scott (Scott Reef) disekitar Pulau Datu merupakan gugusan terumbu karang yang berada pada daerah MoU Box 74 antara Indonesia dan Australia. Kawasan MoU Box adalah wilayah perairan antara Indonesia dan Australia yang diizinkan untuk dijadikan daerah tangkapan ikan secara tradisional. Kesepakatan MoU Box antara Indonesia dan Australia ditandatangani pada 1974. Berdasarkan MoU Box 1974, kawasan yang boleh dilakukan aktivitas penangkapan ikan oleh para nelayan tradisional Indonesia adalah perairan di sekitar kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore, Pulau Cartier. Kawasan ini merupakan daerah penangkapan teripang yang dilakukan oleh nelayan Indonesia sejak turun temurun secara tradisional (traditional fishing) sebelum MoU Box ditetapkan pada tahun 1974. Di daerah ini aktivitas penangkapan teripang didominasi oleh nelayan Indonesia yang berasal dari Pulau Rote dan Madura. Sementara nelayan Australia tidak melakukan aktivitas penangkapan teripang, namun terkadang melakukan penangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap selektif seperti pancing dan bubu. Dalam MoU Box 1974, Australia memberikan akses menangkap ikan di
wilayahnya bagi nelayan tradisional Indonesia yang turuntemurun melakukan penangkapan di perairan Australia, yaitu nelayan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Izin penangkapan itu dibatasi pada wilayah tertentu (Prescott et al., 2008). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui aktivitas penangkapan teripang yang dilakukan oleh nelayan Indonesia, bagaimana hasil tangkapannya (jenis dan jumlahnya) dan beberapa aspek biologi teripang. Dengan tersediannya data dan informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk penentuan kebijakan selanjutnya. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian ini merupakan kerjasama antara Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah Australia yang diwakili oleh Australian Fisheries Management Autority. Penelitian dilakukan pada bulan September 2008 di perairan karang Scott (Scott Reef) atau yang dikenal dalam bahasa Indonesia Pulau Datu yang berada pada daerah MoU Box 74 (Gambar. 1). Posisi penangkapan oleh nelayan tradisonal dari Indonesia yang berada di gugusan karang bagian selatan Pulau Datu berada pada posisi geografis 14º 00.000’ LS dan 121º 00.000’ BT, sedangkan gugusan karang bagian utara terletak pada posisi geografis antara 13º 00.000 LS dan 121º 00.000’ BT.
Gambar 1. Lokasi penelitian teripang di sekitar Pulau Datu, Australia Figure 1. Sampling site of sea cucumber in around of Datu Island, Australia Sumber/Source: CSIRO Marine Research
20
A. S. Panggabean, et. al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 19-26
Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan pada bulan September 2008 secara langsung di daerah survey dengan melakukan wawancara terhadap nelayan Indonesia sebagai responden. Jenis data yang dikumpulkan meliputi aspek biologi dan aspek penangkapan. Pengamatan aspek biologi mencakup ukuran panjang (length) dan berat (weight) teripang, sedang pengamatan aspek penangkapan mencakup pencatatan hasil tangkapan teripang secara harian, deskripsi perahu dan alat tangkap. Pengukuran panjang digunakan alat meteran, sedang untuk beratnya digunakan timbangan pegas (Gambar 2). Pengukuran ini dilakukan pada saat siang dan malam hari. Analisis data dilakukan secara diskriptif dengan menyajikan tabulasi dalam bentuk grafik.
Gambar 2. Pengukuran panjang dan berat teripang Figure 2. Length and weight measurements of sea cucumber HASIL DAN BAHASAN Teripang merupakan salah satu hewan laut yang mempunyai nilai ekonomis penting dan akhir-akhir ini mengalami tekanan penangkapan yang sangat intensif. Di Indonesia, jenis teripang pasir (Holothuria scabra) mempunyai pasar perdagangan yang sangat luas dan jenis ini dapat dibudidayakan pada keramba jaring apung. Hasil penelitian Hartati et al., (2002) tentang pembesaran teripang pasir (Holothuria scabra) di perairan Kepulauan Seribu, menunjukkan pertumbuhan teripang cukup baik pada tahap pembesaran benih maupun pelepasan di keramba jaring apung berlidah. Pertumbuhan benih teripang pada 2 bulan pertama dari rata-rata 51 gram menjadi 130 gram/ ekor. Pertumbuhan teripang setelah di lepas di alam pada 2 bulan pertama, dari rata-rata 338,50 gram/ ekor menjadi 619,80 gram/ ekor, dan berhasil tertangkap kembali sebanyak 13% dan jumlah yang ditebar. 1. Aspek Biologi
garam antara 28–32 o/oo. Habitat yang dihuni harus daerah yang digenangi air dengan substrat rataan pasir, rumput laut dan akan bergerak berpindah bila daerahnya mengalami kekeringan pada waktu surut ketempat yang masih digenangi air (Azis, 1981). Ciri-ciri morfologis teripang yaitu memiliki bentuk tubuh bulat memanjang (silindris) seperti ketimun, permukaan tubuh kasar karena adanya spikula pada dinding tubuhnya (Hyman, 1955). Mulut dan anus terdapat di kedua ujung badannya. Bagian punggungnya berwarna abu-abu dengan pita putih atau kekuningan memanjang secara horizontal. Bagian bawah tubuhnya berwarna putih dan berbintik-bintik hitam/gelap. Teripang pasir dapat tumbuh sampai ukuran 40 cm dengan bobot 1,5 kg. Kematangan gonad teripang pertama kali terjadi pada ukuran rata-rata 220 mm. Teripang betina mampu menghasilkan telur dalam jumlah yang sangat banyak hingga mencapai sekitar 1,9 juta butir telur. Daur hidup biota ini dimulai dengan telur yang dibuahi yang akan menetas dalam waktu sekitar 2 hari (Martoyo et al., 2000). Biasanya teripang akan muncul di permukaan dasar perairan pada malam hari untuk mencari makan. Pada siang hari hewan ini membenamkan dirinya di habitatnya seperti pasir atau sela-sela batu karang untuk melindungi dirinya dari pemangsa. Teripang berperan penting sebagai pemakan deposit (deposit feeder) dan pemakan suspensi (suspensi feeder). Di perairan karang Scott (Scott Reef) atau Pulau Datu terdapat 20 jenis teripang yang ditangkap oleh nelayan Indonesia seperti disajikan pada Tabel 1. Hasil pengamatan terhadap ukuran panjang dan berat teripang yang tertangkap oleh nelayan Indonesia seperti disajikan pada Tabel 2. Menurut Purcell David & Kirby (2006) tingkat pertumbuhan berat teripang pasir (Holothuria scabra) di perairan rumput laut New Caledonia pada tingkat juvenile berkisar antara 1-10,5 gram dan pada stadium dewasa berkisar 130-690 gram. Secara umum, kondisi teripang di perairan Pulau Datu dalam kategori dewasa sehingga layak untuk ditangkap. Kegiatan eksploitasi penangkapan yang dilakukan secara terus-menerus dapat menyebabkan kepunahan teripang dewasa. Dilain pihak recovery biota tersebut sangat lambat sehingga dikhawatirkan dapat mengurangi populasi teripang atau mengalami degradasi sumberdaya teripang di perairan tersebut (Hartati et al., 2008).
Teripang menyenangi perairan yang relatif tenang, jernih, bebas polusi, suhu air berkisar 28–30 oC dan kadar
21
A. S. Panggabean, et. al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 19-26
Tabel 1. Jenis teripang yang tertangkap di Pulau Datu Table 1. Species sea cucumbers/caught in the Datu Island waters No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Jenis (Species) Actinopyga mauritiana Actinopyga echinites Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Bohadschia argus Bohadschia marmorata Bohadschia sp Holothuria whitmaei Holothuria fuscogilva Holothuria atra Holothuria hilla Holothuria fuscopunctata Holothuria edulis Holothuria coluber Holothuria leucospilota Pearsonothuria graeffei Stichopus chloronotus Stichopus hermanni Thelenota anax Thelenota ananas
Nama Inggris (English name) Surf redfish Deep-water redfish Hairy Blackfish Stonefish Leopardfish Leopardfish Leopardfish Black teatfish White teatfish Lollyfish Tigertail Elephant Trunkfish Pinkfish Snakefish Leucospilota Blackspotted seacucumber Greenfish Curryfish Amberfish Prickly redfish
Nama Indonesia (Indonesian name) Kasut Bilalo Obor Kapok Bintik Merah Polos Bintik Loreng / Polos Loreng Koro Batu Koro Susu Cerak Coklat Coklat Merah Kunyit Cerak Merah Talengko Coklat Hitam / Cerak Hitam Kacang-Kacang Japung Gama / Tekaka Duyung Nanas
Tabel 2. Kisaran panjang dan berat teripang menurut jenisnya yang tertangkap di Pulau Datu Table 2. Interval of length and weight of sea cucumbers by species caught in Pulau Datu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Jenis (species) Actinopyga lenacora Bohadschia argus Bohadschia marmorata Bohadschia sp Holothuria atra Holothuria coluber Holothuria hilla Holothuria fuscogilva Holothuria whitmaei Thelenota ananas
N (jumlah) 4 7 7 23 3 9 10 23 10 1
Kisaran Panjang total (mm) 210 - 270 155 - 290 110 - 290 180 - 350 120 - 135 68 - 140 65 - 170 90 - 215 540
2. Aspek Penangkapan 2.1. Armada penangkapan Armada penangkapan yang diperbolehkan oleh pemerintah Australia untuk melakukan penangkapan teripang di perairan Pulau Datu (Scott Reef) adalah perahu tradisional. Sebagian besar perahu yang beroperasi di perairan tersebut berasal dari Indonesia khususnya dari Pulau Rote, Alor dan Madura. Kegiatan penangkapan teripang di perairan itu sudah dilakukan secara turun temurun oleh sanak keluarga mereka sejak dahulu. Peraturan yang disepakati oleh pihak pemerintah 22
Kisaran Berat dengan isi perut (gr) 625 - 860 250 - 920 245 - 820 355 - 975 20 - 55 95 - 245 8 - 32 1650
Kisaran Berat Tanpa isi perut (gr) 620 - 855 195 - 390 170 - 375 195 - 520 15 - 40 75 - 195 7 - 32 40 - 108 46 - 210 1600
Indonesia dan Australia bahwa perahu yang diperbolehkan melakukan penangkapan teripang di wilayah perairan Scott Reef adalah perahu tanpa mesin atau hanya mempergunakan layar dan alat tangkap tradisional. Kriteria kapal tradisional bagi Australia adalah perahu dayung ataupun kapal layar tanpa mesin. Secara visual dapat dibedakan bentuk perahu tradisional yang berasal dari Pulau Rote dan dari Madura (Gambar 3). Pada saat pengamatan tercatat sebanyak 29 unit perahu yang beroperasi di bagian selatan dan utara dari Scott Reef seperti disajikan pada Tabel 3.
A. S. Panggabean, et. al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 19-26
(a)
(b)
Gambar 3. Armada tangkap tradisional dari Pulau Rote (a) dan Madura (b) Figure 3. Traditional fishing boat from Rote Island (a) and Madura (b) Tabel 3. Armada penangkapan yang beroperasi di Pulau Datu Australia Table 3. Fishing boat operated in Datu Island Australia
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Nama Perahu (Boat name) Bunga Muda Putra Sawini Sinar Indah Cahaya Mas Pulau Mas Bunga Mas Mulia Indah Nuramal 1 Sejuta Kenangan Getsemani Padang Arafah Berkat 2 Alfa Baru Berdikari Berkat 1 Fajar Ilahi Cinta Saadia Kartika 2 Kartika 1 Pelita Hati 1 Putri Sulung Permata Hati Dinar Sinar Jaya Harapan Jaya Irian Jaya Getsemani 1 Nazareth Barakah Jaya 2
Jumlah ABK (number of crew) 8 8 6 7 8 6 8 8 9 7 9 8 8 8 8 8 8 8 7 8 7 8 13 11 15 12 8 8 11
Asal Daerah (home base) Alor Alor Oelaba Rote Alor Alor Rote Alor Alor Alor Alor Rote Rote Rote Rote Rote Hundihuk Oelaba Rote Buton Rote Rote Madura Madura Madura Madura Rote Rote Madura
Pelabuhan Keberangkatan (harbour embarkation) Ba'a Oelaba Oelaba Oelaba Kalabahi Kalabahi Oelaba Oelaba Oelaba Rote Oelaba Pepela Hundihuk Oelaba Hundihuk Hundihuk Hundihuk Oelaba Hundihuk Oelaba Oelaba Hundihuk Tondok Tondok Tondok Tondok Oelaba Pepela Raas
23
A. S. Panggabean, et. al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 19-26
Peneliti dari Research School of Pasific and Asian Studies The Australian National University mengatakan, hingga kini tidak ada kejelasan antar kedua negara tentang kriteria nelayan tradisional. Dari hasil penelitiannya sebanyak 80 persen kapal yang masuk ke perairan Australia berasal Rote dan 6,7 persen kapal asal Madura dan Raas dan 5 persen kapal dari Sulawesi Tengah (Fox, 2002). 2.2. Jenis alat tangkap Alat tangkap tradisional yang digunakan oleh nelayan merupakan buatan sendiri. Selain membawa alat tangkap
untuk mencari teripang sebagai target utamanya mereka juga membawa alat tangkap lainnya untuk menangkap ikan sebagai target sampingan. Jenis alat tangkap pancing ulur (hand line) dan pancing rawai merupakan alat tangkap yang dipergunakan untuk menangkap ikan hiu dan ikanikan karang. Beberapa sarana dan alat tangkap yang tercatat selama pengamatan di daerah Mou Box 74 disajikan pada Tabel 4. Dari beberapa jenis alat yang dibawa nelayan hanya tombak dan ladong yang digunakan oleh nelayan untuk mengambil teripang disaat air laut pasang. Dan disaat air laut surut nelayan menangkap teripang dengan menggunakan tangan.
Tabel 4. Jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Indonesia di perairan Pulau Datu Table 4. Type of fishing gears are operated by Indonesian fishers in Datu Island
Peralatan (equipment)
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Pancing panjang Pancing pendek Lampu lentera Sampan Kacamata selam Tombak Ladong Keranjang penampung
Jumlah (Unit) (sam/ unit) Perahu Rote Alor Perahu Madura (Rote Alor Boat) (Madura Boat) 1- 8 1 1 - 10 1 - 13 1- 8 1 - 12 1- 6 1 - 11 1- 9 1 - 15 1- 4 1-5 1 1-4 1- 9 1-2
2.3. Anak buak kapal
2.4. Alat bantu penangkapan
Hasil wawancara dari masing-masing perahu tradisional yang berasal dari Pulau Rote dan Madura menunjukkan bahwa jumlah anak buah kapal (ABK) dari perahu yang berasal dari Pulau Rote berkisar antara (6–8 orang) yang terdiri dari, berusia remaja (15–20 tahun), dewasa (30-40 tahun) dan bahkan berusia tua (diatas 60 tahun). Jumlah ABK pada perahu yang berasal dari Madura lebih banyak, berkisar antara (11–15 orang) dan rata-rata sudah berusia dewasa (30-40 tahun).
Penangkapan teripang oleh nelayan Indonesia dilakukan secara tradisional dengan cara mengambil langsung saat siang dan malam hari. Aktivitas penangkapan dilakukan dengan cara berjalan pada hamparan karang (reef flat) atau “meting” (istilah nelayan Indonesia) pada saat kondisi air surut (Gambar 4). Waktu penangkapan disesuaikan dengan kondisi pasang surut, Apabila pasang tinggi pada waktu siang maka penangkapan dilakukan diwaktu malam hari. Sebaliknya jika pasang tinggi pada waktu malam, maka penangkapan dilakukan pada siang hari.
Jumlah ABK pada perahu tradisional tergantung pada waktu operasional penangkapan, seperti perahu tradisional dari Pulau Rote hanya memiliki ABK 6-8 orang karena perjalanan menuju ke lokasi penangkapan kemudian melakukan operasi penangkapan, dan kembali ke daerah asal membutuhkan waktu yang lebih singkat sedangkan perahu tradisional dari Pulau Madura mempunyai ABK yang lebih banyak dikarenakan waktu operasional penangkapan yang lebih lama bila dibandingkan dengan nelayan Pulau Rote.
24
Sebaliknya apabila kondisi air pasang penangkapan dilakukan dengan mempergunakan sampan dan dengan bantuan alat tangkap serta terkadang dengan penyelaman dengan hanya mempergunakan kaca mata selam (googles). Penggunaan alat bantu penangkapan biasanya lebih sering digunakan pada saat kondisi air pasang atau pada dasar perairan yang cukup dalam. Untuk menangkap teripang pada perairan yang cukup dalam, digunakan kacamata selam (googles), tombak dan ladong (anak panah yang dilekatkan pada batu).
A. S. Panggabean, et. al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 19-26
Meningkatnya permintaan teripang dengan harga yang cukup tinggi menyebabkan perburuan teripang dari tahun ke tahun semakin intensif. Penangkapan dan perdagangan teripang di New Caledonia, Fiji dan negaranegara Indo Pasifik lainnya telah berlangsung sejak abad ke 19 (Conand, 1980). Penangkapan teripang di Indonesia telah berlangsung sejak jaman penjajahan Belanda dimana daerah penangkapannya meluas hingga sampai ke daerah Australia Utara (Northern Territory).
Gambar 4. Cara melakukan penangkapan teripang Figure 4. Fishing method for collecting sea cucumbers
Waktu operasi penangkapan dilakukan satu kali dalam setahun selama tiga bulan (Juli–September). Target utama adalah teripang dan hasil tangkapan sampingan berupa Mollusca seperti Trochus yaitu Tectus niloticus (Lola merah), Tectus pyramis (Lola putih), Cyprea caputserpentis (Kopi–kopi), Cyprea tigris (Bole–bole), Ovulidae (Bole–bole putih), Cassus rusa (Bibir merah kecil), Cassus cornuta (Bibir merah besar), Charonia tritonis (Siput laut) dan Lambis sp (Tanduk rusa). Hasil tangkapan sampingan lainnya adalah ikan hiu untuk diambil siripnya dan ikan karang untuk keperluan makan sehari-hari atau dikeringkan.
2.5. Hasil tangkapan
Jumlah ind (ekor)
Hasil tangkapan nelayan tradisional Indonesia mencakup seluruh jenis teripang yang terdapat di sekitar perairan karang Pulau Datu. Diantara jenis tersebut terdapat 5 jenis teripang yang merupakan target penangkapan karena mempunyai nilai ekonomis tinggi yaitu Holothuria nobilis, Stichopus chloronutus, Bohadschia argus, Bohadschia sp dan Bohadschia marmorata (Gambar 5).
Hasil wawancara terhadap nelayan tradisional Rote Alor dan Madura yang secara rutin melakukan penangkapan teripang setiap tahun di Pulau Datu mengungkapkan bahwa hasil tangkapan dari tahun sebelumnya sampai pada tahun 2008 mengalami penurunan hasil tangkapan. Hasil tangkapan teripang yang 4,000 3,707 didapatkan 3,500 pada aktivitas penangkapan tahun 2008 rata2,796 3,000 rata berukuran kecil. 2,500 2,000
Hasil penelitian Tim Skewes (1999), di perairan Ashmore Island Australia yang merupakan daerah MoU Box 74 menunjukkan bahwa jenis Holothuria atra merupakan jenis teripang yang paling dominan ditangkap diestimasi mencapai berat 753 ton/tahun untuk semua perahu. Sifat teripang yang pasif atau bergerak lamban mengakibatkan sangat mudah untuk ditangkap. Aktifitas penangkapan yang berlebihan, menyebabkan populasi teripang pada saat ini semakin menurun, bahkan untuk beberapa jenis yang bernilai ekonomis penting cenderung langka, seperti teripang pasir (Holothuria scabra) dan teripang nanas (Thelenota ananas).
1,591
1,530
KESIMPULAN 1,500 1,000 500
777
707 214
146
175
133 1. 0 Penelitian pada bulan September 2008 57diperoleh informasi jenis teripang yang tertangkap di bagian selatan dan utara Pulau Datu (Scott Reef) berjumlah 20 jenis. Terdapat 5 jenis teripang yang diindikasikan mengalami eksploitasi tinggi karena memiliki nilai Jenis teripang ekonomis tinggi yaitu Holothuria nobilis, Stichopus chloronutus, Bohadschia sp, Bohadschia argus dan Bohadschia marmorata. 2. Ukuran panjang total dari 10 jenis teripang dominan berkisar antara 65–540 cm, kisaran berat dengan isi perut antara 8–1650 gr dan tanpa isi perut adalah antara 7–1600 gr. 3. Kategori armada tangkap tradisional armada yang tidak menggunakan mesin dengan perlengkapan alat tangkap sederhana. Umumnya perahu berasal dari Pulau Rote, Alor dan Madura. 4. Peralatan yang diperlukan untuk menangkap teripang terdiri dari tombak, landong, tangan dan keranjang penampung. 93
47
82
H. no S. bi ch lis lo ro no tu s B .a A . m rgu s a ur B oh i ti ni ad a sc hi a S T .a p na na A s . m ilia ris T . Bo an A ha . le ax ds ch ca no ia m ra ar m or at P a . gr ae H ffe .f us i co gi S lv .h a er m A an .e ni H ch .f in us ite co s pu nc ta ta
Gambar 5. Hasil tangkapan teripang di perairan Pulau Datu September 2008 Figure 5. Species of sea cucumbers caught in Datu Island waters September 2008
2,019
25
A. S. Panggabean, et. al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 19-26
PERSANTUNAN Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kepala Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan dan Manager MoU Box 74 (AFMA-Australia) sehingga penelitian ini dapat berlangsung. Penelitian ini merupakan bagian dari kerjasama antara Badan Penelitian Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitabang KP) Indonesia dengan Australian Fisheries Managemant Authority (AFMA). DAFTAR PUSTAKA Azis, A. 1981. Fauna Echinodermata dari terumbu karang Pulau Pari, Pulau Seribu. Oceanologi di Indonesia, 14: 41-50. Conand, C.C. 1980. Fisheries resources of Pasific Island countries holothurians. FAO Fisheries Technical papers. Fox, J.J. 2002. A Study of Socio-Economic Issues Facing Traditional Indonesia Fishers Who Access The MoU Box. A Report for Environment Australia. Research School of Pacific and Asian StudiesThe Australian National University.
26
Hartati, S. T., S. W Wahyuni, & Z. Rusmawaty. 2002. Pengkayaan Stok Teripang Pasir (Holothuria scabra) di Perairannya Kepulauan Seribu. BAWAL Widya Riset Perikanan Perikanan Tangkap. 2 (1). 7. Hyman. 1955. The Invertebrates Echinodermata. Vol. IV. McGraw-Hill Book Company. NewYork. Martoyo, J., N. Aji & T. Winarto. 1994. Budidaya Teripang. Penebar Swadaya. Jakarta. Skewes, T.D. 1999. Survey and stock estimates of the shallow reef (0-15m deep) and shoal area (15-50 m deep) marine resources and habitat mapping within the Timor Sea MoU 74 Box. Vol. 1 : Stock estimates and stock status. CSIRO. Prescott, J., R. Th. Mahulette, A. S. Panggabean, T. Skewes, A. Virgona, & P. Wildekamp. 1998. Report on: Marine Resource Survey South Scott Reef (Pulau Datu), Interview surveys of Indonesian Traditional fishers and a Pilot Cooperative Catch and Effort Data Collection Programme Carried out with Traditional Fishers. The Australia Fisheries Management Authority and Research Center for Fisheries Management and Conservation-Ministry of Maritime Affairs and Fisheries 2009. Purcell, S. W & D. S. Kirby, 2006. Restocking the sea cucumber Holothuria scabra: Sizing no-take zones through individual-based movement modeling. Fish. Res. 80: 53-61.
BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 27-34
BIOLOGI REPRODUKSI IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares Bonnatere 1788) DI TELUK TOMINI REPRODUCTIVE BIOLOGY OF YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacares Bonnatere 1788) AT TOMINI BAY Siti Mardlijah1) dan Mufti Petala Patria2) 1)
Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru - Jakarta Program Studi Biologi Universitas Indonesia - Depok Teregistrasi I tanggal: 15 Juni 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 13 Februari 2012; Disetujui terbit tanggal: 15 Februari 2012 2)
ABSTRAK Penelitian biologi reproduksi bertujuan untuk mengetahui perkembangan gonad dan panjang pertama kali matang gonad ikan madidihang yang tertangkap di perairan Teluk Tomini. Jumlah sampel telur sebanyak 74 contoh dan sampel testes sebanyak 90 contoh dikumpulkan melalui tempat pendaratan ikan di Marisa, Gorontalo pada tahun 2007. Tingkat kematangan gonad diamati secara visual dan pembuatan preparat histologis serta analisis Gonado Somatic Index (GSI). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemijahan ikan madidihang diperkirakan terjadi pada bulan Desember dan panjang pertama kali matang gonad pada ukuran 94 cm FL. Nisbah kelamin ikan madidihang jantan dan betina adalah seimbang. KATA KUNCI: Ikan madidihang, Tingkat kematangan gonad, GSI, Teluk Tomini ABSTRACT: The objective of research on reproductive biology of yellowfin tuna is to study gonad development and its length at first maturity.Gonad development was determined through the examination of 74 yellowfin ovaries samples and 90 testes samples collected from Marisa, Gorontalo in 2007. Gonad maturity stages were identified histologically. Sexual maturity stages were identified through visual analysis, preparation on histology and Gonado Somatic Index (GSI). The result showed that spawning season of yellowfin tuna in Tomini Bay occured in December.Meanwhile length at first maturity at 94,8 cm FL. The ratio of males and females of yellowfin tuna is well-balanced. KEYWORDS: Yellowfin tuna, Maturity stage, GSI, Tomini Bay
PENDAHULUAN Penelitian tentang biologi reproduksi ikan dapat memberi data dan informasi penting mengenai frekuensi pemijahan, keberhasilan pemijahan, lama pemijahan dan ukuran ikan ketika pertama kali mencapai kematangan gonad. Penentuan tingkat kematangan gonad selain menggambarkan siklus reproduksi, juga berkaitan dengan pendugaan umur atau ukuran ikan mencapai matang gonad dan waktu pemijahan (Abidin, 1986). Perkembangan gonad yang semakin matang pada ikan betina, ditandai dengan proses vitellogenesis, yaitu proses pengendapan kuning telur pada tiap-tiap sel telur (Effendie, 1997). Siklus reproduksi akan tetap berlangsung selama fungsi reproduksi masih normal (Bye, 1984). Faktor-faktor yang mengontrol siklus reproduksi adalah faktor fisika, kimia, dan biologi. Faktor fisika yang mengontrol siklus reproduksi ikan yang hidup di daerah tropis adalah arus, suhu, dan substrat. Faktor kimia antara lain gas-gas terlarut, pH, nitrogen dan metabolitnya serta zat buangan yang berbahaya bagi kehidupan ikan di suatu perairan (Sjafei et al., 1992).
Secara garis besar perkembangan gonad dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad hingga mencapai matang kelamin dan tahap pematangan produk seksual. Tahap pertama dimulai sejak ikan menetas hingga mencapai dewasa kelamin dan tahap kedua dilanjutkan dengan tahap pematangan seksual dan terus berlangsung selama fungsi reproduksi berjalan baik (Lagler et al., 1977; Harvey & Hoar, 1979). Tulisan ini membahas secara ringkas tentang aspek biologi reproduksi ikan madidihang yang meliputi dugaan musim pemijahan, panjang pertama kali matang gonad (Lm), dan nisbah kelamin. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengelolaan perikanan tuna di perairan Teluk Tomini. BAHAN DAN METODE Sampel gonad ikan madidihang berjumlah 164 ekor yang terdiri dari 90 ekor ikan jantan (kisaran panjang 66 – 172 cm FL) dan 74 ekor ikan betina (kisaran panjang 78 – 158 cm FL). Pengumpulan sampel dilakukan di Marisa,
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung Komplek Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman - Jakarta Utara, Email:
[email protected]
27
S. Mardlijah, M.P. Patria / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 27-34
Gorontalo tahun 2007. Pengamatan gonad dilakukan secara visual. Tingkat kematangan gonad diketahui melalui pengamatan secara histologis dan analisis “Gonado Somatic Index”. Tingkat kematangan gonad mengikuti kriteria yang dikemukakan oleh Schaefer & Orange (1956) yang membagi tingkat kematangan gonad betina dan jantan menjadi 5 tingkat (Lampiran 1 dan 2).
qi = 1 – pi 3. Pengujian perbandingan jenis kelamin mengikuti cara yang dikemukakan oleh Sugiyono (2004) dengan rumus sebagai berikut: k
X2 =∑ i =1
Analisis data 1. Tingkat kematangan gonad dianalisis dengan Gonado Somatic Index (GSI) (Effendie, 1997), dengan rumus:
GSI =
Wg × 100% ................................................. (1) W
keterangan : GSI = Gonado Somatic Index Wg = berat gonad (gram) W = berat tubuh ikan tanpa isi perut (gram) 2. Panjang pertama kali matang gonad (Lm/Length at first maturity) dianalisis dengan metode Spearman – Karber (Udupa, 1986) yaitu: m = xk + X/2 – (X Σ pi) ............................................ (2) keterangan: m = logaritma ukuran pertama kali matang gonad xk = logaritma nilai tengah kelas terakhir dimana terjadi matang gonad 100% X = selisih logaritma nilai tengah pi = perbandingan matang gonad tiap kelas panjang CL = antilog (m ± √1,96 x2 Σ pi x qi) …...........….. (3) ni – 1 keterangan : CL = Confident limit (batas atas dan bawah) m = panjang ikan pertama kali matang gonad ni = jumlah ikan pada kelas panjang ke-i
28
( fo − fn) 2 .............................................. (4) fn
keterangan: X2 = Chi - Square fo = Frekuensi yang diobservasi fn = Frekuensi yang diharapkan HASIL DAN BAHASAN HASIL 1. Dugaan musim pemijahan Preparat histologi ovarium sebanyak 74 sampel yang telah dibuat, dapat diidentifikasi 4 tingkat kematangan gonad (TKG) (Gambar 1). Pada TKG 1, terlihat belum adanya fully yolked oocytes, didominasi oleh oosit yang masih gelap, masih banyak oosit yang belum terlihat nukleusnya. TKG 2, oosit sedang berkembang untuk mencapai fully yolked oocytes. TKG 3, sudah ada beberapa yang mencapai fully yolked oocytes. Pada TKG 4, sudah banyak yang mencapai fully yolked oocytes dan siap dipijahkan. Untuk menduga musim pemijahan ikan madidihang di perairan Teluk Tomini, maka hasil pengamatan tingkat kematangan gonad ditabulasikan menurut waktu pengamatan (Tabel1). Dari Tabel 1 diduga pemijahan terjadi pada bulan Desember. Sebaran indeks kematangan gonad (GSI) setiap bulan untuk ikan madidihang betina disajikan pada Gambar 2.
S. Mardlijah, M.P. Patria / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 27-34
TKG 1
TKG 2
a TKG 3
a TKG 4
Gambar 1. Preparat histologi ovarium dalam berbagai tingkat kematangan gonad ikan madidihang yang tertangkap di perairan Marisa dengan perbesaran 100 kali. (a) fully yolked oocytes Figure 1. Ovary histology of maturity stage of yellowfin tuna caught in Tomini Bay. @100x. (a) fully yolked oocytes Tabel 1. Sebaran bulanan tingkat kematangan gonad (TKG) ikan madidihang betina (%) yang tertangkap di perairan Teluk Tomini Table 1. Monthly distribution of maturity of female yellowfin (%) caught in Tomini Bay Bulan / Month Juli Agustus September Oktober November Desember
TKG 1 0 0 2,2 0 0 3
TKG / Maturity stage TKG 2 TKG 3 0 0 0 0 4,3 8,7 0 0 0 3,3 3 9,1
TKG 4 0 47,3 26,1 45,2 53,3* 27,3
Jumlah ikan / Fish number (ekor) 0 9 19 14 17 15
Keterangan: * Persentase tertinggi dari ikan madidihang yang matang gonad siap untuk memijah (TKG 4) Remarks: * Highest persentage of mature gonad
29
S. Mardlijah, M.P. Patria / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 27-34
(Udupa, 1986) diperoleh rata-rata ukuran pertama kali matang gonad (Lm) untuk ikan madidihang betina yang tertangkap di perairan Teluk Tomini adalah 94,8 cm FL atau pada kisaran antara 89,2 - 100,9 cm FL. (Lampiran 3). 3. Nisbah kelamin
Gambar 2. Sebaran GSI bulanan ikan madidihang betina yang tertangkap di perairan Teluk Tomini, Agustus – Desember 2007 Figuer 2. Monthly GSI distribution of female yellowfin caught in Tomini Bay, Agustus – Desember 2007 2. Ukuran pertama kali matang gonad (Lm) Menurut Schaefer & Orange (1956), tingkat kematangan gonad 3 dan 4 dikategorikan sebagai ikan yang sudah matang gonad sehingga perhitungan ukuran panjang pertama kali matang gonad dimulai pada tingkat 3. Berdasarkan analisis dengan metode Spearman – Karber
Pengamatan terhadap 90 ekor ikan jantan dan 74 ekor ikan betina diperoleh ukuran panjang ikan madidihang jantan berkisar 66 - 172 cm FL dan ikan madidihang betina berkisar 78-158 cm FL. Secara keseluruhan, perbandingan ikan madidihang jantan dan betina adalah 1,22 : 1,00. Berdasarkan perhitungan Chi - Square diperoleh angka sebesar 3,12 (χ2 hitung = 3,12) dan tabel Chi - Square pada tingkat kepercayaan 5% dan 1% adalah 9,488 dan 13,277 {χ2 tabel (0.05) = 9,488; χ2 tabel (0.01) = 13,277). Angka Chi Square hasil perhitungan lebih kecil dari angka Chi - Square tabel {χ2 = 3,12 < χ2 tabel (0.05) = 9,488; χ2 tabel (0.01) = 13,277}. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbandingan jenis kelamin jantan dan betina ikan madidihang tidak berbeda nyata atau seimbang. Analisis Chi – Square untuk perbandingan jenis kelamin ikan madidihang tiap bulan disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Analisis Chi - Square pada tiap bulan ikan madidihang yang tertangkap di perairan Teluk Tomini Table 2. Chi – Square analysis of yellowfin tuna caught in Tomini Bay Bulan / Juml ah ikan (n) Month Jantan / Male Betina / Female Agustus 12 10 September 27 19 Oktober 18 14 November 13 17 Desember 18 14 Juml ah 88 74
BAHASAN 1. Dugaan musim pemijahan Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Untuk menduga musim pemijahan ikan madidihang yang tertangkap di perairan Teluk Tomini, maka hasil pengamatan tingkat kematangan gonad betina ditabulasikan menurut bulan (Tabel 1). Dari Tabel 1 terlihat bahwa persentase tertinggi dari ikan madidihang yang matang gonad dan siap memijah (TKG 4) adalah pada bulan November (53,3%). Menurut Widodo (1986), musim pemijahan terjadi kira-kira satu bulan setelah persentase tertinggi dari ikan-ikan yang matang gonad. Oleh karena itu musim pemijahan ikan madidihang diperkirakan terjadi menjelang akhir tahun. 30
Analisis GSI dapat diketahui bahwa pada bulan Desember terjadi penurunan nilai GSI yang cukup signifikan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya (Gambar 2). Hal tersebut menunjukkan adanya indikasi mulai terjadi pemijahan. Hasil pengamatan seperti pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa pemijahan terjadi menjelang akhir tahun (bulan Desember). Beberapa hasil penelitian tentang musim pemijahan ikan madidihang telah dilakukan di berbagai perairan. Menurut Itano (1995), musim pemijahan ikan madidihang di perairan Hawai terjadi pada bulan April – September. Di perairan Filipina terjadi pada Maret - Desember (Wade, 1951 dalam Jones, 1960), dan di perairan Pasifik musim pemijahan pada bulan Juli, Agustus, dan September (Kikawa, 1962). Di perairan Pasifik sebelah timur musim pemijahan terjadi pada bulan Januari - Maret (Joseph, 1963), di perairan dekat kepulauan Hawaii musim pemijahan berlangsung pada bulan Juni –
χ2
0
0
3
S. Mardlijah, M.P. Patria / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 27-34
Desember (Richard & Simmons, 1971), dan musim pemijahan ikan madidihang di laut Andaman berlangsung pada bulan November - April (John, 1995). Puncak musim pemijahan di Samudera Hindia terjadi pada bulan April dan Agustus (Andamari & Hutapea, 2004) dalam Widodo dan Suwarso, 2005). 2. Panjang pertama kali matang gonad Berdasarkan analisis dengan metode Spearman – Karber (Udupa, 1986) diperoleh dugaan rata-rata ukuran pertama kali matang gonad (Lm) untuk ikan madidihang betina yang tertangkap di perairan Teluk Tomini adalah 94,8 cm FL atau pada kisaran 89,2 - 100,9 cm FL. Dalam perhitungan, yang dianggap kondisi matang adalah mulai TKG 3 berdasarkan pada pengamatan mikroskopis dan makroskopis. Terdapat beberapa hasil penelitian tentang ukuran pertama kali matang gonad untuk ikan madidihang dengan hasil yang sangat bervariasi. Menurut Yuen & June (1957), matang gonad ikan madidihang di Samudera Pasifik ukuran panjang 120 dan 129 cm FL. Selanjutnya Sun & Yang (1983), menyebutkan di Pasifik Barat matang gonadnya pada ukuran panjang 106 dan 112 cm FL. Ditambahkan oleh Bashmaker et al., (1991), ukuran panjang pertama kali matang gonad ikan madidihang di Samudera Hindia pada panjang 52 cm FL. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena ukuran panjang pertama kali matang gonad sangat bervariasi di antara jenis ikan maupun dalam jenis ikan itu sendiri, dengan demikian individu yang berasal dari satu kelas umur ataupun dari kelas panjang yang sama tidak selalu harus mencapai panjang pertama kali matang gonad pada ukuran yang sama (Udupa, 1986). 3. Nisbah kelamin Hasil uji Chi - Square menunjukkan bahwa perbandingan ikan jantan dan betina ikan madidihang yang tertangkap di perairan Teluk Tomini adalah seimbang dan diduga bahwa kesempatan terjadinya individu baru cenderung semakin besar. Menurut Effendi (2002), jika perbandingan antara individu jantan dan betina dalam keadaan seimbang, maka kemungkinan terjadi pembuahan sel telur oleh spermatozoa semakin besar. Variasi dalam perbandingan kelamin sering terjadi dikarenakan 3 faktor yaitu perbedaan tingkah laku reproduksi, kondisi lingkungan dan penangkapan (Bal & Rao, 1984). KESIMPULAN
2. Panjang pertama kali matang gonad (Lm) ikan madidihang adalah 94,8 cm FL atau pada kisaran 89,2 100,9 cm FL. 3. Perbandingan jenis kelamin ikan madidihang jantan dan betina adalah seimbang. PERSANTUNAN Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Gede Sedana Merta, M.S. yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA Abidin, A.Z. 1986. The reproductive biology of tropical cyprinid from zoo lake. Kuala Lumpur, Malaysia. J. Fish. Biol. 29: 381-392. Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata Mc. GrawHill Publishing Company Limited, New Delhi. p. 5-24. Bashmaker, V.F., V.V. Zamorov & E.V. Romanov. 1991. Notes on reproductive biology of yellowfin tuna in the western Indian Ocean. IPTP. Coll. Vol. Work. Doc. TWS/91/32. Bye, V.J. 1984. The role of environmental factors in timing of reproductive cycles. In Poots, G.W. & R.J. Wootton (Eds.) Fish reproduction, strategies and tactics. Academic Press, London. p. 187-204. Effendie, M.I. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama: xii + 163 p. Effendie, I. M. 2002. Biologi Reproduksi Ikan. Yayasan Dewi Sri, Bogor: viii + 116 p. Harvey, B.J. & W.S. Hoar. 1979. The theory and practice of induced breeding in fish. IDRC, Ottawa, Canada. …. p. Itano, D.G. 1995. The reproductive biology of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in Hawaiian waters and the Western Tropical Pacific Ocean: Project Summary. Joint Institute for Marine and Atmospheric Research University of Hawaii, Honolulu: v + 69 p. John, M.E. 1995. Studies on Yellowfin tuna, Thunnus albacares (Bonnaterre 1788) in the Indian Seas. Ph.D. thesis, University of Mumbai. 258 p. Joseph, J. 1963. Fecundity of yellowfin tuna (Thunnus albacares) and skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) from Eastern Pacific Ocean. I-ATTC. Bull. 7 (4). 257-292.
1. Musim pemijahan ikan madidihang di perairan Teluk Tomini diperkirakan berlangsung mulai bulan Desember. 31
S. Mardlijah, M.P. Patria / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 27-34
Kikawa, S. 1962. Studies on the spawning activities of the Pacific tunas, Parathunnus mebachi and Neothunnus macropterus, by the Gonad Index Examination. Occas. Rept. Nankai Reg. Fish. Res. Lab. 1: 43-56. Rhicard, W.J. & D.C. Simmons. 1971. Distribution of tuna larvae (Pisces, Scombridae) in the North eastern Gulf of Guinea and of Sierra Leone. Fish. Bull. 69 (3). 555-568. Schaefer, M.B. & C.J. Orange. 1956. Studies on sexual development and spawning of yellowfin tuna (Neothunnus macropterus) and skipjack (Katsuwonus pelamis) in three areas of the Eastern Pacific Ocean by axamination of gonads. Bull.I-ATTC 1 (6). 282-349. Sjafei, D.S., M.F. Rahardjo, R. Affandi, M. Brojo & Sulistiono. 1992. Fisiologi Ikan II. IPB, Bogor. vi + 112 p. Sugiyono. 2004. Statistik nonparametris untuk penelitian. Penerbit CV. Alfabeta, Bandung. vi + 306 p.
32
Sun, C.L. & R.T. Yang. 1983. The inshore tuna longline fishery of Taiwan-fishing ground, fishing season, fishing conditions and a biological study of the major species, yellowfin tuna, 1981-82. J. Fish. Soc. Taiwan, 10 (2). 11-41. Udupa, K.S. 1986. Statistical method of estimating the size at first maturity in fishes. ICLARM, Metro Manila, Fishbyte. 4 (2). 8 – 10. Widodo, J.W. 1986. Dynamics pool models and management of fisheries. Oseana XI. 2: 36-47. Widodo, J.W. & Suwarso. 2005. Teluk Tomini: ekologi, potensi sumber daya, profil perikanan dan biologi beberapa jenis ikan ekonomis penting. Balai Riset Perikanan Laut, Badan Riset Perikanan dan Kelautan, DKP: xvi + 114 p. Yuen, H.S.H. & F.C. June. 1957. Yellowfin tuna spawning in the central equatorial Pacific. U.S. Fish. Wild. Serv. Fish. Bull. 57 (112). 251-264.
S. Mardlijah, M.P. Patria / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 27-34
Lampiran 1. Kriteria tingkat kematangan gonad betina Appendix 1. The criteria of maturity stage of females TKG / Maturity stage 1
Keadaan / Condition Dara berke mbang (immature)
2
Perke mbangan I (early maturing)
3
Perke mbangan II (late maturing)
4
Bunting/matang (ripe)
5
Memijah (spawned)
Keterangan / Remarks gonad me manjang dan ramping, jenis kelamin dapat ditentukan dengan kaca pembesar. Ovari jern ih berwarna abuabu hingga kemerah-merahan, telur satu persatu dapat dilihat dengan kaca pembesar. gonad membesar tetapi telur tidak dapat dilihat satu persatu dengan mata biasa, ovari berbentuk bulat telur, berwarna kemerah-merahan dengan pembuluh kapile r, ovari meng isi sekitar setengah ruang bawah. gonad membesar dan membengkak, telur dapat dilihat dengan mata b iasa, ovari berwarna oranye kemerah-merahan, ovari mengisi 2/ 3 ruang bawah. ovari sangat membesar, telur jernih dan masak, mudah keluar dari lu men ovari kalau perut ikan ditekan, gonad mengisi penuh ruang bawah. termasuk yang mijah sekarang (salin) dan mijah sebelumnya (post-spawning), ovari sangat besar dan lunak (karena mijah). Telur matang yang tertinggal dalam keadaan terserap, telur berwarna jern ih dan ada yang masih tertinggal dalam ovari. Telur a kan keluar dengan sedikit tekanan pada perut.
Sumber / Source: Schaefer & Orange (1956)
Lampiran 2. Kriteria tingkat kematangan gonad jantan Appendix 2. The criteria of maturity stage of males TKG / Maturity stage 1
2
Keadaan / Condition Jaka Berkembang (Immature)
3
Perkembangan (maturing) Matang (ripe)
4
Salin (partly spent)
5
Pulih Salin (spent)
Keterangan / Remarks testis sangat halus, pipih seperti pita tetapi jenis kelamin dapat dibedakan dengan kaca pembesar. Sebagian sperma terdapat dalam saluran pusat. testes membesar, penampang melintang berbentuk segitiga, berwarna kemerah-merahan dengan pembuluh kapiler. gonad membesar dan membengkak, sperma keluar bebas melalui saluran testes, dapat dilihat dengan mata biasa. testes sangat membesar, berwarna bintik-bintik merah, mudah keluar kalau perut ikan ditekan sedikit. testes lunak, berwarna merah suram
Sumber / Source: Schaefer & Orange (1956)
33
34
Lampiran 3. Perhitungan ukuran panjang pertama kali matang gonad (Lm) ikan madidihang betina yang tertangkap di perairan Teluk Tomini Appendix 3. Calculation of length at first maturity (Lm) of yellowfin tuna were caught in Tomini Bay Kel as Panjang (cm)
Log Te ngah Kel as (Xi)
77.5 82.5 87.5 92.5 97.5 102.5 107.5 112.5 117.5 122.5 127.5 132.5 137.5 142.5 147.5 152.5 157.5
1.8893 1.9165 1.9420 1.9661 1.9890 2.0107 2.0314 2.0512 2.0700*) 2.0881 2.1055 2.1222 2.1383 2.1538 2.1688 2.1833 2.1973
Juml ah Ikan (ni) 1 0 0 4 7 12 6 3 5 5 2 3 11 3 7 4 1 74
Belum De wasa 1 0 0 1 3 3 1 1 0 0 0 0 2 0 1 1 1 14
De wasa (ri) 0 0 0 3 4 9 5 2 5 5 2 3 9 3 6 3 0 60
Proporsi De wasa (pi) 0 0 0 0.7500 0.5714 0.7500 0.8333 0.6667 1.0000 0 0 0 0 0 0 0 0 4.5714
*) Last log size at which 100% fully mature
m = Xi + X/2 - (X x “ pi) CL = antilog ((m ± 1.96 “X2 x “ (pi x qi)/(ni-1)) m = 2.0700 + (0.0229/2) - (0.0229 x 4.5714) Upper limit : Antilog (1.976953+1.96 “ (0.02292 x 0.3570) = 100.9 m = 1.976953 Lower limit : Antilog (1.976953 -1.96 “ (0.02292 x 0.3570) = 89.2 Antilog(1.976953) = 94.8 cm Lm = 94.8 cm (89.2-100.9 cm)
Xi+1-Xi=X 0.0272 0.0256 0.0241 0.0229 0.0217 0.0207 0.0197 0.0189 0.0181 0.0174 0.0167 0.0161 0.0155 0.0150 0.0145 0.0140 0
qi =1-pi
0.2500 0.4286 0.2500 0.1667 0.3333 0.0000 0.000 0.0000 0.0000 0.1818 0.0000 0.1429 0.2500
S. Mardlijah, M.P. Patria / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 27-34
75-79,9 80-84,9 85-89,9 90-94,9 95-99,9 100-104,9 105-109,9 110-114,9 115-119,9 120-124,9 125-129,9 130-134,9 135-139,9 140-144,9 145-149,9 150-154,9 155-159,9
Teng ah Kelas (cm)
BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 35-43
KERAGAMAN JENIS DAN KEBIASAAN MAKAN IKAN DI MUARA SUNGAI MUSI DIVERSITY AND FEEDING HABITS OF FISH IN ESTUARY WATERS OF MUSI RIVER Eko Prianto1), Ni Komang Suryati2) dan Muhammad Mukhlis Kamal3) 1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan 2) Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum 3) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-Institut Pertanian Bogor Teregistrasi I tanggal: 31 Agustus 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 13 Februari 2012; Disetujui terbit tanggal: 15 Februari 2012
ABSTRAK Populasi ikan di suatu perairan berkaitan erat dengan keragaman jenis dan makanan yang tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis dan kelimpahan sumberdaya ikan berdasarkan kebiasaan makannya di muara Sungai Musi Sumatera Selatan. Pengambilan sampel dengan menggunakan pukat hela dan belad dilakukan pada bulan Maret dan Juni 2008 masing-masing pada 4 stasiun pengambilan contoh yang mewakili perairan muara Sungai Musi. Hasil penelitian diperoleh sebanyak 34 jenis ikan di bagian tepi sungai dan 63 jenis di bagian tengah sungai. Ditinjau dari kebiasaan makan pada bulan Maret untuk ikan yang berada di tepi sungai diperoleh kelimpahan ikan herbivora paling tinggi (49 %) dan terendah ikan yang bersifat omnivora (1 %). Pada bulan Juni kelimpahan ikan carnivora paling tinggi (50 %) dan terendah ikan omnivora (1 %). Untuk jenis ikan yang berada di tengah sungai, kelimpahan ikan yang tertinggi pada bulan Maret yaitu ikan herbivora (87 %) dan terendah ikan omnivora (2 %). Pada bulan Juni kelimpahan yang tertinggi yaitu ikan carnivora (57 %) dan terendah ikan omnivora (0,2 %). KATA KUNCI : Keragaman ikan, kebiasaan makan, muara Sungai Musi ABSTRACT : A fish population in the waters is closely related to species diversity and food availability. The objective of this study is to determine species composition and abundance of fish resources based on feeding habit in the estuarin water of Musi river. Samples where taken from 4 fishing stations by using trawl and towing net (belad) in March and June 2008. The results showed that there were 34 species of fish in the riverside and 63 species of fish in the middle stream. Based on analysis of feeding habit indicated in March for the fishes found in riverside showed that herbivorous fish was highest 49% of total catch and the lowest was omnivorous fish (1%). While in June the carnivorous fish was highest (50%) and the lowest was omnivorous fish (1%). In the middlestream the highest abundance in March was herbivorous fish (87%) and the lowest (57%) was omnivorous fish (2%). In June, the highest abundance of fish was carnivores and the lowest was omnivorous fish (0.2%). KEYWORDS :
Fish diversity, feeding habit, estuarine water Musi river
PENDAHULUAN Dalam suatu ekosistem perairan, makanan dan beberapa faktor fisika-kimia perairan merupakan faktor pembatas. Jika makanan yang tersedia di alam dalam jumlah besar sedangkan populasi ikan dalam jumlah kecil, maka persaingan tidak akan terjadi. Sebaliknya, jika ketersediaan makanan terbatas sedangkan populasi ikan dalam jumlah besar maka akan terjadi persaingan dalam memperebutkan makanan. Ekosistem muara merupakan daerah yang subur dengan jumlah jenis ikan terbatas. Terjadinya fluktuasi salinitas yang tinggi di daerah tersebut menyebabkan biota yang toleran terhadap perubahan salinitas akan mampu bertahan hidup di perairan muara.
Besarnya populasi ikan di suatu perairan antara lain ditentukan oleh ketersediaan makanan. Dari makanan ini ada beberapa faktor yang berhubungan dengan populasi tersebut yaitu jumlah dan kualitas makanan yang tersedia, mudahnya tersedia makanan dan lama masa pengambilan makanan oleh ikan dalam populasi tersebut. Makanan yang dikonsumsi oleh ikan akan mempengaruhi pertumbuhan, kematangan bagi tiap-tiap individu ikan serta keberhasilan hidupnya. Jumlah makanan di suatu perairan selain dipengaruhi oleh kondisi biotik, ditentukan pula oleh kondisi abiotik seperti suhu, salinitas, cahaya dan luas permukaan (Effendie, 1997).
Korespondensi penulis: Pusat Penerlitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur - Jakarta Utara, Email:
[email protected]
35
E. Prianto, et al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 35-43
Dengan mengetahui struktur komunitas melalui rantai makanan akan menyediakan informasi dasar kelimpahan dan dinamika organisme perairan pada trophic level yang berbeda di perairan Estuaria (Anderson & Cabana 2007). Menurut Effendie (1997), kebiasaan makan ikan dapat dipengaruhi oleh hubungan antar individu seperti persaingan, bentuk pemangsaan dan rantai makanan. Persaingan terhadap makanan berkaitan dengan kemampuan suatu organisme dalam mempertahankan keberadaannya di perairan tersebut. Persaingan ini sering terjadi baik antar individu dalam satu spesies maupun persaingan yang terjadi antara satu spesies dengan spesies lainnya. Persaingan dalam hal makanan, baik antar spesies maupun antar individu dalam spesies yang sama akan mengurangi ketersediaan makanan, sehingga makanan merupakan faktor pembatas. Informasi mengenai kebiasaan makan dan komposisi jenis ikan di perairan muara sungai sangat penting diketahui sebagai dasar pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya di muara sungai Musi. Tulisan ini membahas secara ringkas tentang komposisi jenis dan kelimpahan ikan berdasarkan kebiasaan makan di perairan muara di Sungai Musi.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret dan Juni 2008 di perairan muara sungai Musi Provinsi Sumatera Selatan. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode observasi yaitu survey lapangan pada 4 stasiun pengambilan contoh yaitu 2 stasiun ke arah hulu sungai dan 2 stasiun lainnya ke daerah muara sungai. Penentuan stasiun pengambilan contoh dilakukan dengan pendekatan tujuan tertentu (purposive sampling) (Gambar 1). Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran pustaka, laporan teknis dan hasil penelitian terdahulu. Pengumpulan contoh ikan dilakukan dengan menggunakan pukat hela (mini trawl) untuk menangkap ikan di bagian tengah dan menggunakan belad pantai untuk menangkap ikan di bagian tepi sungai. Hasil tangkapan dari kedua alat tangkap tersebut ditimbang dan disortir berdasarkan jenisnya. Identifikasi jenis menggunakan acuan Kottelat et al., (1993), Kournans (1953), Beaufort & Briggs (1962), Peristiwady (2006), Weber & de Beufort (1911; 1913; 1916; 1922; 1929; 1931; 1936 dan 1940).
Gambar 1. Lokasi pengambilan contoh ikan di muara sungai Musi Figure 1. Map showing sampling sites in the estuarine waters of Musi river.
36
E. Prianto, et al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 35-43
Analisis data
planktivorous 13 jenis, macrobenthic invertebrate 38 jenis dan piscivorous 28 jenis.
1. Kelimpahan relatif Hasil sampling dengan menggunakan pukat hela dan belad kemudian dirata-ratakan dan dihitung kelimpahan relatif masing-masing ikan berdasarkan kebiasaan makan (Bengen, 2000) : KR = (Ni) x 100 % N
.................….…………….... (1)
keterangan : Ni = Banyaknya individu (jenis) N = Total individu semua jenis KR = Kelimpahan relatif 2. Kebiasaan makan Metode yang digunakan untuk mengetahui kebiasaan makan adalah metode volumetrik, frekuensi kejadian dan indeks bagian terbesar (index of preponderance) (Effendi, 1992) sebagai berikut: a. Metode frekuensi kejadian Pada metode ini semua organisme yang terdapat di dalam pencernaan (lambung) ikan dihitung satu per satu baik untuk lambung yang berisi maupun yang kosong. Jumlah masing-masing jenis makanan tersebut dinyatakan dalam persen. b. Metode volumetrik Metode ini digunakan dengan cara menghitung volume makanan ikan dalam keadaan kering (tidak basah). c. Indeks of Preponderance (IP) Vi x Oi IP(%) = n X 100 ........................…………. (2) ∑ (VixOi) i =1 keterangan : IP = Indeks bagian terbesar (index of preponderance). Vi = Persentase volume makanan ikan jenis ke-i. Oi = Persentase frekuensi kejadian makanan jenis ke-i. n = Jumlah organisme makanan.
HASIL DAN BAHASAN Komposisi Jenis dan Kebiasaan Makan Ikan Hasil pengamatan diperoleh komposisi jenis ikan di perairan muara Sungai Musi sebanyak 76 jenis. Ikan yang menyebar di tepi sungai sebanyak 33 jenis yang terdiri dari 24 famili dan di bagian tengah diperoleh 56 jenis ikan yang terdiri dari 39 famili (Lampiran 1 dan 2). Blaber, (2000) menyatakan di perairan muara daerah sub tropis dan tropis terdapat sekitar 100 jenis ikan dan bahkan di beberapa tempat dapat mencapai 200 jenis. Jenis ikan yang banyak ditemukan umumnya bersifat carnivora dan omnivora. Di daerah muara Trinity Bay di Australia diperoleh 60 jenis ikan yang bersifat herbivora 5 jenis, illiophagous 12 jenis,
Berdasarkan data diatas dapat dilihat, jumlah jenis ikan di muara Sungai Musi tergolong sedang. (Wooton, 1991). Tinggi-rendahnya jumlah jenis ini dapat dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya pertama, peningkatan jumlah mikrohabitat yang dapat meningkatkan keragaman, kedua area yang lebih luas sering memiliki variasi habitat yang lebih besar dibandingkan dengan area yang lebih sempit. Djamali & Sutomo (1999), menyatakan sebanyak 57 jenis ikan ditemukan di perairan muara Sungai Sembilang Sumatera Selatan. Terdapat 7 jenis diantaranya bersifat omnivora, plankton feeder 6 jenis, detritus feeder 6 jenis dan carnivora 38 jenis. Jenis ikan yang dominan tertangkap adalah dari suku Ariidae (manyung), Sciaenidae (gulamah), Polynemidae (kuro), Stromateidae (bawal), Mugillidae (belanak), Latidae (kakap putih), Lobotidae (kakap batu), Plotossidae (sembilang) dan Serranidae (kerapu). Selain itu terdapat dua suku ikan buntal beracun yaitu Lagocephalidae dan Tetraodonthidae. Selanjutnya De Sylva, (1985) menyatakan sebagian besar rantai makanan di daerah muara dikendalikan oleh fitoplankton dan detritus atau kombinasi keduanya. Menurut Lagler et al., 1977, kuantitas dan kualitas makanan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain musim, umur ikan, dan ketersediaan makanan. Perbedaan kebiasaan makan tergantung kepada jenis ikan dan ketersediaan makanan di alam. Analisis kebiasaan makan menunjukkan sifat ikan carnivora yang tertangkap di bagian tepi sebanyak 19 jenis dan di bagian tengah perairan 31 jenis. Ikan yang bersifat omnivora di bagian tepi sebanyak 2 jenis dan di bagian tengah 1 jenis (Gambar 2). Kawasan muara merupakan daerah yang subur sehingga kelimpahan sumberdaya ikan dan krustasea cenderung tinggi. Kondisi ini dimanfaatkan oleh beberapa biota air laut dan air tawar untuk mencari makan di daerah muara. Hasil pengamatan menunjukkan sebagian besar ikan yang bersifat carnivora memakan udang sebagai menu utamanya. Menurut Huet, (1971) berdasarkan morfologi alat pencernaannya, ikan dapat diklasifikasikan sebagai ikan yang bersifat herbivora, carnivora dan omnivora. Komposisi jenis ikan setiap bulannya juga dipengaruhi oleh musim. Pada bulan Maret (musim hujan) dan Juni (musim kemarau) diperoleh jumlah jenis ikan di bagian tengah dan tepi berbeda. Pengamatan pada bulan Maret 2008 di bagian tengah diperoleh 25 jenis ikan dan pada bulan Juni berkurang menjadi 16 jenis. Pengamatan pada bulan Maret bagian tepi perairan diperoleh 39 jenis dan pada bulan Juni meningkat menjadi 44 jenis (Gambar 3).
37
E. Prianto, et al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 35-43
perbandingan ketersediaan makanan maka dilakukan analisa terhadap kelimpahan relatif jumlah ikan. Ikan yang menyebar di bagian tepi pada bulan Maret sebanyak 49 % dari total hasil tangkapan bersifat herbivora, ikan carnivora sebesar 41 %, ikan omnivore sebesar 1 % dan detritus feeder sebesar 9 %. Pada bulan Juni kelimpahan ikan carnivora sebesar 51 % dan herbivora (40 %) (Gambar 4).
Gambar 2. Komposisi jenis ikan berdasarkan kebiasaan makan di bagian tepi dan tengah perairan muara sungai Musi Figure 2. Species compotition based on feeding habit in the river side and middle stream of estuarine waters of Musi river.
Gambar 4. Kelimpahan relatif ikan yang menyebar di bagian tepi perairan muara sungai Musi pada bulan Maret dan Juni 2008 Figure 4. Relative of fish abundance in riverside of estuarine waters of Musi river in March and June 2008
Gambar 3. Jumlah jenis ikan pada alat tangkap belad dan trawl di muara Sungai Musi, Maret dan Juni 2008 Figure 3. Total species of fish caught by towing net and trawl in the estuary waters of Musi river, March & June 2008 Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa komposisi jenis ikan yang terdapat di bagian tepi mengalami penurunan pada bulan Juni, sedangkan di bagian tengah perairan mengalami peningkatan. Fenomena ini diduga erat kaitannya dengan perubahan musim sehingga mempengaruhi ruaya ikan. Beberapa jenis ikan yang menyebar di bagian tengah tidak ditemukan pada bulan Maret tetapi dapat ditemukan pada bulan Juni. Kelimpahan Relatif Sumberdaya Ikan Analisa komposisi jenis ikan yang tertangkap di muara sungai Musi menunjukkan bahwa ikan yang bersifat carnivora jumlahnya lebih banyak. Untuk mengetahui 38
Gambar 5. Kelimpahan relatif ikan yang menyebar di tengah perairan muara Sungai Musi pada bulan Maret dan Juni 2008. Figure 5. Relative of fish abundance in middle stream of estuari water of Musi river in March and June 2008
E. Prianto, et al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 35-43
Gambar tersebut dapat menjelaskan terdapat kompetisi antar jenis ikan yang bersifat carnivora di bagian tepi khususnya pada bulan Juni. Blaber, (2000) menyatakan pada daerah muara St. Lucia yang memiliki kekeruhan tinggi terdapat keragaman jenis ikan yang tinggi (110 jenis) dan didominasi oleh ikan yang bersifat carnivora dan herbivora. Pada daerah muara yang cukup jernih dengan sedikit unsur hara seperti muara Nhlange mempunyai keragaman ikan relatif rendah sekitar 30 jenis yang didominasi oleh ikan jenis iliophagous dan macrobenthis carnivor. Ikan yang menyebar di bagian tengah perairan pada bulan Maret, didominasi oleh sifat herbivora (87 %), diikuti oleh carnivora (6 %), omnivora (2 %) dan detritus feeder (5 %). Pada bulan Juni ikan yang bersifat carnivora lebih tinggi (57.4 %) dari pada ikan herbivora (16.5 %), diikuti oleh omnivora (0.2 %) dan detritus feeder (25.9 %). KESIMPULAN Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan: 1. Terdapat perubahan komposisi jenis ikan berdasarkan kebiasaan makan (herbivora, carnivora, omnivora, dan detritus feeder) bersamaan dengan perubahan musim. 2. Persaingan dan kompetisi antar sesama jenis ikan dalam mendapatkan makan terjadi pada bulan Juni dimana jumlah ikan carnivora lebih dominan. 3. Keragaman ikan yang menyebar di bagian tengah perairan muara Sungai Musi lebih tinggi dari pada bagian tepinya.
De Beaufort, L.F & J.C. Briggs. 1962. The Fishes of IndoAustralian Archipelago. XI. Scleroparei, Hypostomides, Pediculati, Plectognathi, Opisthomi, Discocephali Xenopterygii. Brill. Leiden. Djamali, A & Sutomo. 1999. Kondisi Sosial Ekonomi Budaya dan Perikanan. Ekosistem Perairan Sungai Sembilang Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta. p. 67-75. De Sylva, D.P. 1985. Nektonic Food Webs in Estuaries. In: Fish Community Ecology in Estuaries and Coastal lagoons: Towards an Ecosystem Integration, A. Yanez-Arancibia. UNAM Press, Mexico. p. 233-246. Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 p. Effendie, M.I. 1992. Metode Biologi Perikanan.Yayasan Agromedia. Bogor. 111 p. Huet, M. 1971. Text Book of Fish Culture, Breeding and Cultivation of Fish. Fishing News Books Ltd. 436 p. Kottelat, M., A.J. Whitten., S.N. Kartikasari & S. Wirjoatmojo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus Editions-EMDI Project. Jakarta. 293 p. Kournans, F.P. 1953. The Fishes of Indo-Australian Archipelago. X. Gobioidea. Brill. Leiden.
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan riset “Strategi Pengelolaan Perikanan Estuari Sungai Musi” TA. 2008 pada Balai Riset Perikanan Perairan UmumMariana, Palembang.
Lagler, K. F., J. E. Bardach., R. R. Miller & D. M. Passino. 1977. Ichthyology. John Willey dan Sons, Inc. New York. 505 p. Peristiwady, T. 2006. Ikan-ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia. Petunjuk Identifikasi. LIPI Press. Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Anderson C. & G.Cabana 2007. Estimating the trophic position of aquatic consumers in river food webs using stable nitrogen isotopes. Journal of the North American Benthological Society. 26: 273-285. Bengen, D. G. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Sinopsis. 86 p. Blaber, J. M. S. 2000. Tropical Estuarine Fishes. Ecology, Exploitation and Conservation. Blackwell Science Ltd. London. 350 p.
Weber, M. & L.F. de Beufort. 1911. The Fishes of IndoAustralian Archipelago. I. Index to ichthyological papers of P. bleeker. Brill. Leiden. Weber, M. & L.F. de Beufort. 1913. The Fishes of IndoAustralian Archipelago. II. Malacopterygii, Myctophoidea, Ostariophysi: I. Siluroidea. Brill. Leiden. Weber, M. & L.F. de Beufort. 1916. The Fishes of IndoAustralian Archipelago. III. Ostariophysi:: II. Cyprinoidea, Apodes, Synbranchii. Brill. Leiden. Weber, M. & L.F. de Beufort. 1922. The Fishes of IndoAustralian Archipelago. IV Heteronomi,
39
E. Prianto, et al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 35-43
Solenichthyes, Synentognathi, Percesoces, Labyrinthici, Mycrocyprini: Brill. Leiden. Weber, M. & L.F. de Beufort. 1929. The Fishes of IndoAustralian Archipelago. V Anacanthini, allotriognathi, Heterosomata, Berycomorphi, Percomorphi Brill. Leiden. Weber, M. & L.F. de Beufort. 1931. The Fishes of IndoAustralian Archipelago. VI Perciformes (continued). Brill. Leiden.
40
Weber, M. & L.F. de Beufort. 1936. The Fishes of IndoAustralian Archipelago. VII Perciformes (continued). Brill. Leiden. Weber, M. & L.F. de Beufort. 1940. The Fishes of IndoAustralian Archipelago. VIII Percomorphi (continued). Brill. Leiden.Lampiran 1. Jenis-jenis ikan yang menyebar dibagian tepi perairan berdasarkan kebiasaan makan di muara sungai Musi. Wooton. J. 1991. Ecology of Teleost Fishes New York. Chapman and Hall. 392 p.
E. Prianto, et al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 35-43
Lampiran 1. Jenis-jenis ikan yang hidup menyebar di bagian tepi perairan berdasarkan kebiasaan makan di muara Sungai Musi Appendix 1. Fish distribution in riverside of estuarine waters of Musi river based on feeding habit.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Famili Ariidae Ariidae Belonidae Belonidae Cynoglossidae Centropomidae Cynoglossidae Cynoglossidae Carangidae Cynoglossidae Chandidae Clupeidae Carangidae Datnioidae Engraulididae Engraulidae
Jenis Ikan
Gobiidae Gobiidae Muarenesocidae Mugillidae Mugillidae Plotosidae
Dukang Dorek Julung panjang Julung pendek Lidah Kakap Lidah Lidah Waru Lidah Sepengkah Bilis Layang Elang Bulu ayam Pirang Selontok Dompok Selontok putih Selontok hitam Belut laut Belanak Kade Sembilang
Polynemidae
Senangin
Pristigasteridae Sciaenidae Sciaenidae Scatophagidae Syngnathidae Stromateidae Toxotidae Tetraodontidae Penaeidae
Permato Tirusan Gulamo Kiper Pipe fish bawal putih Sumpit Buntal Udang
Eleotrididae
Nama Ilmiah Arius truncantus Hemipimelodus borneensis Tylosurus sp Zenarchopterus sp Cynoglossus lingua Lates calcalifer Cynoglossus lingua Cynoglossus waandersi Alectus indicus Cynoglossus waandersi Parambassis macrolepis Clupeoides borneensis Decapterus sp Coius quadrifasciatus Coilia lindmani Setipinna melanochir
Herbi vora
Omni vora
Detritus feeder
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Butis humeralis Glossogobius giuris Glossogobius sp Congresox talabon Liza tade Liza melinopterus Paraplotosus abilabris Eleutheronema tetradactylum Ophistopterus valenciennesi Boesemania microlepis Trachycephalus sp Scatophagus argus Syngnathus sp Pampus argenteus Toxotes chatareus Lagocephalus lunaris Parapenaeopsis sp
Carni vora √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
41
E. Prianto, et al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 35-43
Lampiran 2. Jenis-jenis ikan yang hidup menyebar di bagian tengah perairan berdasarkan kebiasaan makan di muara sungai Musi. Appendix 2. Fish distribution in middle stream of estuarine waters of Musi river based on its feeding habit.
No.
Famili
Jenis Ikan
Nama Ilmiah
Herbi vora
Carni vora √ √
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Ariidae Ariidae Clupeidae Clupeidae Clupeidae Cynoglossidae Carangidae Chandidae Clupeidae Carangidae Clupeidae Ephipidae Engraulididae Engraulididae Eleotrididae Engraulididae Gobiidae Haemulidae Limulidae Loliginidae Leiognathidae Leiognathidae Portunidae Palaemonidae Pristigasteridae Pangasidae Polynemidae Platycephalidae Sciaenidae Stromateidae Squillidae
Duri Dorek Pepetek Bilis Bilis Lidah Dorang Sepengkah Japuh Selar Bilis Waru Bilis Bulu ayam Selontok Miang Tematu Gerot Mimi Cumi-cumi Pepetek Petek peser Kepiting ragi Udang satang Permato Juaro Kurau Baji Gulama Cepek Udang petak
Hemipimelodus borneensis Hemipimelodus borneensis Anodontostoma chacunda Clupeoides borneensis Escualosa thoracata Cynoglossus lingua Pampus sp Parambassis microlepis Dussumieria acuta Selar boops Clupeoides borneensis Rhinoprenes pentanemus Stolephorus indicus Coilia lindmani Butis humeralis Setipina taty Glossogobius sp Pomadasys hasta Tachypleus sp Loligo sp Leiognathus splendens Secutor indicus Charybdis sp Macrobrachium rosenbergii Ophistopterus valenciennesi Pangasius polyuranodon Eleutheronema tetradactylum Platycephalus indicus Johnius coitor Pampus argenteus Harpiosquilla sp
32. 33. 34.
Sphyraenidae Scombridae Siluridae
Kuntul cino Tenggiri Lais
Sphyraena jello Scomberomorus guttatus Kryptopterus cryptopterus
√ √ √
35.
Sciaenidae
Gulama kuning
Pseudosciaena soldado
√
36.
Synodontidae
Lome
Harpodon nehereus
√
37.
Stromateidae
Bawal putih
Pampus argenteus
√
38.
Sciaenidae
Gulama
Trachycephalus sp
√
39.
Sciaenidae
Tirusan Kuning
Boesemania microlepis
√
40.
Sciaenidae
Gulama
Johnius blengeri
√
41.
Scombridae
Simbak
Scomberoides commersonninus
√
42.
Synanceidae
Lepu tembaga
Leptosynanceia asteroblepa
√
42
√ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √
√ √ √ √ √
E. Prianto, et al. / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 35-43
Lampiran 2. Lanjutan…. Appendix 2. Continued … No.
Famili
Jenis Ikan
Nama Ilmiah
Herbi vora
Carni vora
43. 44. 45. 46.
Tetraodontidae
Buntal
Tetraodon kretamensis
√
Triacanthidae Terapontidae Tetraodontidae
Tunjang langit Irung-irung Buntal mas
Triacanthus biaculeatus Therapon theraps Xenopterus naritus
√ √ √
47.
Tetraodontidae
Buntal
Lagocephalus lunaris
√
48. 49. 50. 51.
Trichiuridae Ulmaridae
Layur Ubur-ubur Udang keragudatong Udang Buku
Trichiurus savala Aurelia sp Metapenaeus sp Macrobranchium sp
52.
Tebal sisik
-
53.
Udang cangar
Parapenaeopsis sp
54. 55. 56.
Iwar Udang pipih Iwer-iwer
Trypauchen vagina Metapenaeus lysianassa Trypauchen sp
Omni vora
Detritus feeder
√ √ √ √ √ √ √ √ √
43
BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 45-52
ESTIMASI PARAMETER PERTUMBUHAN, MORTALITAS DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN TAWES DAN NILA DI DANAU TEMPE SULAWESI SELATAN ESTIMATION OF GROWTH, MORTALITY AND EXPLOITATION RATE OF JAVA BARB AND NILE TILAPIA IN LAKE TEMPE, SOUTH SULAWESI Samuel dan Safran Makmur Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang Teregistrasi I tanggal: 22 Juni 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 15 Februari 2012; Disetujui terbit tanggal: 17 Februari 2012
ABSTRAK Penelitian tentang pertumbuhan, mortalitas dan laju eksploitasi terhadap ikan tawes dan nila di Danau Tempe telah dilakukan mulai bulan Februari sampai Nopember tahun 2010. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam rangka pengelolaan kedua jenis ikan tersebut. Estimasi parameter pertumbuhan, mortalitas dan laju eksploitasi dihitung menggunakan program FISAT. Hasil Penelitian menunjukkan pertumbuhan ikan tawes dan nila di Danau Tempe termasuk rendah dibandingkan dengan pertumbuhan jenis ikan tawes dan nila di beberapa badan air lainnya di Indonesia. Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy ikan tawes mempunyai panjang infinitif (L∞ )= 29,1 cm dengan laju pertumbuhan (K)= 0,30/tahun dan laju eksploitasi (E)= 0,46 sedikit dibawah nilai tangkap maksimum. Ikan nila mempunyai panjang infinitif (L )= 31,8 cm dengan laju pertumbuhan (K)= 0,22/ tahun dan laju eksploitasi (E) sebesar 0,50, tepat pada nilai tangkap maksimum. Untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Danau Tempe agar tetap lestari perlu adanya pembatasan jumlah alat tangkap dan pengawasan terhadap aktivitas penangkapan di zona inti ketika air surut. KATA KUNCI : Pertumbuhan, mortalitas dan tingkat pemanfaatan, ikan tawes, ikan nila, Danau Tempe ABSTRACT :
∞
Research on growth, mortality and exploitation rate of these two fish species in Tempe Lake was conducted from February to November 2010. The aim of the research was to obtain information for management of these two fish species in Tempe Lake. Estimation of growth, mortality and exploitation rate was calculated using FISAT program. The results showed that java barb had infinitive length (L ) = 29.1 cm with a growth rate of 0.30/year and exploitation rate of 0.46, slightly below the optimum fishing value. Nile tilapia had infinitive length (L ) = 31.8 cm with a growth rate of 0.22/year and exploitation rate of 0.50, same as the optimum fishing value. Growth rate of java barb and nile tilapia in Lake Tempe were lower compared with the growth of these two fish species in other water bodies in Indonesia. To ensure the suistanable management and utilization of fish resources in Tempe Lake limitation on the number of fishing gear and control on fishing activities in the core zone are required. KEYWORDS : Growth, mortality exploitattion rate, java barb, nile tilapia, Lake Tempe
PENDAHULUAN Danau Tempe merupakan danau rawa banjiran dan tempat bermuaranya 13 sungai yang berasal dari berbagai daerah dan diantaranya terdapat dua sungai besar yaitu Sungai Cenranae dan Sungai Walanae. Sungai Walanae merupakan satu-satunya sungai pengeluaran ke laut. Beberapa jenis tumbuhan air yang ada di perairan ini dipelihara oleh para nelayan sebagai “bunka toddo”, yaitu pulau tumbuhan air untuk perlindungan/penjebakan ikan. Jenis tumbuhan air yang dominan adalah eceng gondok (Eichhornia crassipes), kiambang (Salvinia molesta) dan kangkung air (Ipomoea aquatica). Kegiatan perikanan yang dominan adalah usaha penangkapan ikan.
Kegiatan penangkapan puncaknya terjadi pada saat air rendah yang umumnya terjadi pada bulan SeptemberNovember. Jenis ikan yang tertangkap di Danau Tempe adalah gabus (Channa striata), betok (Anabas testudineus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), sepat jawa (Trichogaster trichopterus), lele (Clarias batrachus), mas (Cyprinus carpio), tawes (Barbodes gonionotus), nilem (Osteochilus hasselti), mujaer (Oreochromis mossambicus), nila (Oreochromis niloticus), bunaka (Bunaka gyrinoides), bungo (Glossogobius giuris), masapi (Anguillla marmorata), belut (Monopterus albus) dan belanak (Mugil cephalus). Ikan sepat siam, tawes, lele, tambakan, nila, mujaer dan mas, adalah ikan introduksi dari Jawa yang dilakukan sejak tahun 1937. Introduksi nilem (Osteochilus hasselti) yang dilakukan tahun 1938 cukup
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang Jl. Beringin No. 308, Mariana Palembang, Sumatera Selatan, Email:
[email protected]
45
Samuel, S. Makmur / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 45-52
berhasil karena sampai saat ini masih tertangkap ikan ini oleh nelayan. Dua jenis ikan introduksi yaitu tawes dan nila merupakan dua jenis ikan yang dominan tertangkap sepanjang tahun. Lebih dari 50% hasil tangkapan nelayan sepanjang tahun 2010 didominasi oleh dua jenis ikan tersebut. Oleh karena itu kedua jenis ikan tersebut (tawes dan nila) menjadi pendapatan utama bagi nelayan setempat. Untuk pengelolaan sumberdaya perikanan di Danau Tempe kedepan, perlu dipertimbangkan kelestarian jenis-jenis ikan yang masih dominan karena hasil tangkapannya cukup mendukung pendapatan nelayan setempat.
adanya penangkapan berlebih (overfishing) dan adanya pendangkalan perairan. Berdasarkan permasalahan tersebut diatas maka diadakan penelitian tentang pertumbuhan, mortalitas dan laju penangkapan terhadap jenis ikan yang dominan tertangkap (tawes dan nila). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya ikan di Danau Tempe. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu
Berdasarkan data statistik perikanan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Wajo Tahun 2010, tercatat bahwa produksi ikan hasil tangkapan dari Danau Tempe pada tahun 2004 berjumlah 8.756,1 ton, selanjutnya berturut-turut 9.785 ton (2005), 10.474 ton (2006), 14.036,6 ton (2007), 13.911,2 ton (2008) dan 11.430,4 ton pada tahun 2009 (Anonimos, 2010). Produksi ikan dari Danau Tempe tahun 1975 dilaporkan sebesar 4.000 ton/tahun atau ± 200 kg/ha/tahun. Pada tahun 1974, produksi perikanan dari Danau Tempe dan Sidenreng mencapai lebih kurang 4.500 ton dan produksi ini relatif sama sampai tahun 1977. Produksi tersebut menurun dibandingkan dengan produksi ikan tahun 1955 yang tercatat sebesar 16.500 ton dan semakin menurun dibandingkan dengan produksi ikan sebelum perang Dunia II, yang tercatat sebesar 25.000 ton/tahun. Penurunan produksi ini menurut keterangan Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Wajo disebabkan
Penelitian tentang pertumbuhan, mortalitas dan laju penangkapan di Danau Tempe (Gambar 1), dilakukan mulai dari bulan Februari sampai dengan bulan November 2010. Data morfometri ikan, yaitu panjang total (diukur hingga ketelitian 0,1 cm) dan berat (ditimbang hingga ketelitian 0,1 gr) diukur untuk tiap individu ikan tawes dan nila dari hasil tangkapan nelayan di perairan tersebut. Alat tangkap yang digunakan adalah bungka toddo, jala tebar, jaba/ pengilar kawat, jaring insang, jaring hanyut, penambe/ rawai, salekho/perangkap bubu, bunre/jaring tarik, bubu konde, tombak, serok, balete/empang dan timpo/ruas bambu. Sampel ikan yang diteliti berasal dari hasil tangkapan nelayan di perairan Danau Tempe yang selanjutnya diukur panjang dan beratnya oleh tiga enumerator yang telah diberi tugas untuk pekerjaan tersebut.
Gambar 1. Lokasi penelitian dinamika populasi ikan tawes dan nila di Danau Tempe, Propinsi Sulawesi Selatan Figure 1. Research location of fish population dynamic for java barb and nile tilapia in Lake Tempe, South Sulawesi Province
46
Samuel, S. Makmur / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 45-52
Analisa Data Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, apakah isometrik (b=3) atau alometrik (b‘“3), yaitu dihitung dari hubungan antara panjang dan berat ikan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Effendie (1979) yaitu : W = a*Lb …………………........................................... 1) keterangan : W = berat ikan (gram), L = panjang total (cm), a dan b = konstanta.
K = koefisien pertumbuhan dan T = rataan suhu lingkungan perairan (30,5oC). Koefisien mortalitas total (Z) diperoleh dari kurva hasil tangkapan berdasarkan panjang (length converted catch curve) (Pauly, 1983) yang perhitungannya dilakukan secara komputerisasi menggunakan paket program FISAT (Gayanilo et al., 1995). Koefisien mortalitas penangkapan (F) dihitung dari persamaan. F = (Z–M) ..................................................................... 5) Laju eksploitasi (E) dihitung menggunakan persamaan E = F/Z (Pauly, 1980) ................................................... 6)
Nilai konstanta “b” yang diperoleh dari persamaan tersebut di atas selanjutnya diuji ketepatannya terhadap nilai b=3 dengan menggunakan “uji-t”.
HASIL DAN BAHASAN
Data frekuensi panjang total ikan tawes dan nila yang dikumpulkan selama bulan Februari sampai bulan Oktober tahun 2010, terdiri dari 1945 ekor ikan tawes dan 1919 ekor ikan nila. Panjang total sampel ikan tawes berada dalam kisaran antara 9,0 – 28,0 cm, dan ikan nila dalam kisaran antara 9,0–31,0 cm (Lampiran 1 dan 2). Hasil analisis hubungan panjang-berat ikan tawes (Tabel 1), menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tawes di Danau Log (-t0)=-0,3922 – 0,2752 Log (L∞) – 1,038 Log (k) .... 2) Tempe mempunyai pola pertumbuhan yang alometrik positif pada selang kepercayaan 95%. Pada pola Indeks performansi pertumbuhan (Ö’, phi-prime) ∞ pertumbuhan alometrik positif (b>3), pertambahan bobot 2 Bulan Jantan N dihitung menggunakan persamaan Pauly & Munro (1984) lebih cepat dariNpertambahan panjang tubuh. R 3,255 sebagai berikut : Februari 29 W=0,0062.L 0,9532 29 Untuk pertumbuhan ikan nila, pola 3,148pertumbuhannya Mei 20 W=0,0090.L 0,8160 29 Ö’= Log10k + 2 Log10L .............................................. 3) adalah alometrik negatif pada selang kepercayaan 95% 3,214 Agustus 20 W=0,0079.L 0,9388 28 (Tabel 2), berarti pertambahan panjang lebih cepat 3,146 November 28 W=0,0090.L 0,9605 27 Laju mortalitas alami (M) diduga dengan dibandingkan dengan pertambahan bobot tubuh. 97 --113 mengaplikasikan model empiris dari Pauly (1980) yaitu : Total Nilai indeks pertumbuhan (Ö’,phi-prime) ikan tawes Log (M) = -0,0066 – 0,279*Log (L ) +0,6543* Log (k) + dan nila Danau Tempe masing-masing adalah sebesar 0,4634*Log (T) ........................................... 4) 2,406 (tawes) (Tabel 3) dan 2,346 (nila). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dari kedua jenis ikan keterangan : tersebut tergolong lambat. L = panjang total asimtotik Pendugaan parameter pertumbuhan dari Von Bertalanffy yaitu panjang total asimtotik (L ) dan koefisien pertumbuhan (k) dihitung menggunakan program Elefan I (1987) dalam paket program komputer FISAT (Gayanillo et al., 1995). Pendugaan nilai t0 (umur pada saat 0 tahun) dihitung berdasarkan persamaan Pauly (1984) yaitu :
Tabel 1. Hubungan panjang-bobot dan pola pertumbuhan ikan tawes Table 1. Length-weight relationships and growth pattern of java barb
47
Bet
W=0,00 W=0,05 W=0,00 W=0,00 -
Samuel, S. Makmur / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 45-52
Tabel 2. Hubungan panjang-bobot dan pola pertumbuhan ikan nila Table 2. Length-weight relationships and growth pattern of nile tilapia Bulan
N
Jantan
R2
N
Betina
R2
Februari Mei Agustus November Total
28 20 23 20 91
W=0,0546.L2,824 W=0,024.L2,916 W=0,3397.L1,963 W=0,2052.L2,053 --
0,9824 0,9844 0,9562 0,8351 --
29 22 26 23 100
W=0,179.L2,112 W=0,0153.L3,079 W=0,5506.L1,981 W=0,3153.L1,904 --
0,7907 0,9848 0,9384 0,9350 --
Pola Pertumbuhan Alometrik Alometrik Alometrik Alometrik --
Tabel 3. Nilai beberapa parameter populasi ikan tawes di Danau Tempe dan di perairan lainnya Table 3. Some population parameter values of java barb in Lake Tempe and in other water bodies Perairan Danau Tempe Waduk Wonogiri Waduk Kedungombo Waduk Juanda
L∞ (cm) 29,14 47,3
k (yr-1) 0,30 0,42
41,9 52,6
2,406 2,973
Z (yr-1) 1,58 1,06
M (yr-1) 0,85 0,89
F (yr-1) 0,73 0,17
0,46 0,16
0,54
2,977
1,51
1,10
0,41
0,27
Samuel et al., 2010 Purnomo dan Kartamihardja, 2005 Kartamihardja, 1995
0,92
3,406
2,94
1,50
1,44
0,49
Kartamihardja, 1988
Φ'
Hasil analisis dengan program FISAT pada ikan tawes, diperoleh nilai panjang infinitif (L∞) = 29,1 cm dan koefisien pertumbuhan (K) = 0,30 per tahun (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa ikan tawes diperkirakan mampu tumbuh hingga mencapai panjang total 29,1 cm dengan laju pertumbuhan sebesar 0,30 per tahun. Ukuran panjang total ikan tawes di Danau Tempe tersebut lebih kecil bila dibandingkan dengan ukuran ikan tawes di beberapa waduk seperti Waduk Wonogiri yaitu L = 47,3 cm (Purnomo & Kartamihardja, 2005), di Waduk Kedungombo L = 41,9 cm (Kartamihardja, 1995) dan Waduk Jatiluhur L = 52,6 cm (Kartamihardja, 1988). Berdasarkan nilai mortalitas alami dari ikan tawes, M=0,85 per tahun dan mortalitas penangkapan F=0,73 per tahun maka diperoleh nilai tingkat eksploitasi, E=0,46 (Tabel 3). Nilai E tersebut mengindikasikan bahwa tingkat eksploitasi ikan tawes di Danau Tempe telah mendekati nilai optimumnya (E=0,50). Untuk jenis ikan nila (Oreochromis niloticus), hasil analisis terhadap panjang total, diperoleh nilai panjang infinitif (L )= 31,8 cm dan koefisien pertumbuhan (K)= 0,22 per tahun (Gambar 3). Ini menunjukkan bahwa ikan nila diperkirakan mampu tumbuh hingga mencapai panjang total 31,76 cm dengan laju pertumbuhan sebesar 0,22 per tahun. Berdasarkan nilai mortalitas alami dari ikan nila,
48
E
Sumber/Source
M=0,51 per tahun dan mortalitas penangkapan F=0,51 per tahun maka diperoleh nilai tingkat eksploitasi, E=0,50. Nilai laju eksploitasi (E) tersebut mengindikasikan bahwa ∞ tingkat eksploitasi ikan nila di Danau Tempe sudah berada pada nilai optimumnya (E=0,50).
Gambar 2. Sebaran panjang total dan pertumbuhan ikan tawes (Barbodes gonionotus) di Danau Tempe Figure 2. Distribution of total length and growth of java barb (Barbodes gonionotus) in Lake Tempe
Samuel, S. Makmur / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 45-52
KESIMPULAN 1. Pertumbuhan ikan tawes di Danau Tempe bersifat alometrik positif (b>3), sedangkan Ikan nila pertumbuhannya bersifat alometrik negatif (b<3). 2. Ikan tawes di Danau Tempe dapat tumbuh hingga mencapai panjang infinitive (L )= 29,1 cm dengan laju pertumbuhan (K)= 0,30/tahun, Laju eksploitasi ikan tawes adalah sebesar 0,46, sedikit dibawah nilai optimumnya sebesar 0,50.
Berdasarkan data distribusi ukuran panjang total dari kedua jenis ikan yang diteliti menunjukkan ikan tawes dan ikan nila di Danau Tempe mempunyai dua puncak rekruitmen dalam setahun (Gambar 4). Hal ini mengindikaskan ikan tawes dan nila di Danau Tempe dapat memijah lebih dari satu kali dalam setahun. Diduga pemijahan ikan tawes dan nila di Danau Tempe berkaitan erat dengan pergerakan tinggi muka air danau, yaitu pada bulan-bulan ketika tinggi muka air danau bergerak naik ∞ dan ketika tinggi muka air bergerak turun. Ikan tawes dan nila di Danau Tempe diperkirakan memijah pada bulan Maret dan bulan September. Ukuran ikan tawes yang banyak tertangkap berkisar antara 20-22 cm dan Ikan nila berkisar antara 19-20 cm. Hal ini menunjukkan bahwa ikanikan hasil tangkapan nelayan di Danau Tempe kecil-kecil yang salah satu penyebabnya adalah sudah terjadinya tangkap lebih/overfishing (Samuel et al., 2010).
4. Ikan nila dan tawes di Danau Tempe diperkirakan memijah pada bulan Maret dan bulan September. SARAN 1. Karena laju eksploitasi terhadap ikan tawes dan nila di Danau Tempe sudah berada pada nilai optimum, maka perlu dipertahankan rekruitmen terhadap dua jenis ikan tersebut kalau perlu melalui penebaran ikan (restocking). 2. Dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan yang berkelanjutan dari sumberdaya ikan di Danau 30 Tempe perlu adanya pengawasan terhadap zona 25 Tawes Nila inti 20(suaka ikan) dari pelanggaran penangkapan ketika saat air surut. 15 Rekruitmen / Recruitment (%)
Gambar 3. Sebaran panjang total dan pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus) di Danau Tempe Figure 3. Length distribution and growth of nile tilapia (Oreochromis niloticus) in Lake Tempe
3. Ikan nila dapat tumbuh hingga mencapai panjang infinitive (L ) = 31,8 cm dengan laju pertumbuhan (K)= 0,22/tahun, Laju eksploitasi ikan nila sebesar 0,50 yang juga merupakan nilai optimum.
10
3. Perlu5 pula adanya pembatasan jumlah alat tangkap seperti bungka toddo dan jaring insang serta 0 1 2 3 4 5 6 petani 7 8 sekitar 9 10 11 danau 12 kesadaran masyarakat untuk tidak Setahun / One Year membuang limbah pertanian ke perairan danau. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset kajian stok sumberdaya ikan di Danau Tempe, Sulawesi Selatan, T. A. 2010, di Balai Riset Perikanan Perairan Umum Palembang. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 4. Pola rekruitmen ikan tawes (Barbodes gonionotus) dan ikan nila (Oreochromis niloticus) di Danau Tempe Figure 4. Recruitment pattern of Java barb (Barbodes gonionotus) and nile tilapia (Oreochromis niloticus) in Lake Tempe
Anonimous. 2010. Data statistik Perikanan Kabupaten Wajo. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan. 22 p. Effendie, M. I. 1979. Metoda biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. 112 p.
49
Samuel, S. Makmur / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 45-52
Gayanilo Jr F.C., P. Sparre & D. Pauly. 1995. The FAOICLARM stock assessment tools (FISAT) User’s guide. FAO computerized information series fisheries. ICLARM Contribution 1048. 126 pp. Kartamihardja, E.S. 1988. Analisis cohort dan pengelolaan stok ikan tawes, Puntius gonionotus di Waduk Juanda, Jawa Barat. Buletin Penelitian Perikanan Darat. 7 (1). 14-21. Kartamihardja, E.S. 1995. Population dynamics of three species of Cyprinids in Kedungombo Reservoir. International Fisheries Research Journal. 1(1). 42-57. Pauly, D. 1980. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Circ. 729, 54 p.
50
Pauly, D. 1983. Length-converted catch curves: a powerful tool for fisheries research in the tropics (part l). ICLARM Fishbyte. 2: 9-13. Pauly, D. 1984. Some simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Tech. Pap. (234): 52 p. Pauly, D. & J. L. Munro. 1984. Once more on the comparison of growth in fish and invertebrates. ICLARM Fishbyte. (2). 21 p. Purnomo, K. & E.S. Kartamihardja. 2005. Pertumbuhan, mortalitas dan kebiasaan makan ikan tawes (Barbodes gonionotus) di Waduk Wonogiri. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11 ( 2). 1-8. Samuel, S. Makmur & P.R. Pong Masak. 2010. Status trofik dan estimasi potensi produksi ikan di Danau Tempe, Sulawesi Selatan. Laporan Hasil Penelitian Balai Riset Perikanan Prairan Umum Palembang. 16 p.
Samuel, S. Makmur / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 45-52
Lampiran 1. Distribusi frekuensi panjang total ikan tawes, Barbodes gonionotus, hasil tangkapan nelayan di Danau Tempe, tahun 2010 Appendix 1. Distribution of length frequency of java barb (Barbodes gonionotus) of fish catch in Lake Tempe, in 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Lm (cm) 9,75 10,25 10,75 11,25 11,75 12,25 12,75 13,25 13,75 14,25 14,75 15,25 15,75 16,25 16,75 17,25 17,75 18,25 18,75 19,25 19,75 20,25 20,75 21,25 21,75 22,25 22,75 23,25 23,75 24,25 24,75 25,25 25,75 26,25 26,75 27,25 27,75 Jumlah
Maret
4 7 7 7 12 11 13 6 9 10 19 14 17 6 16 6 11 6 25 1 9 1 14 3 10 1 5
250
April
1 1 4 5 8 5 13 6 18 11 9 10 14 5 7 3 25 1 10 5 15 4 4 0 10 2 2
198
Mei
8 7 10 8 14 19 21 17 9 17 16 19 7 25 1 9 1 16 3 11 3 5 2 2 1 1
252
Juni 4 3 8 1 12 2 18 6 1 19 23 9 2 1 3 1 1 20 12 12 19 16 18 9 17 4 16 7 22 3 13 0 5 1 3 1 312
Juli
Agt
Sep
Okt
1 2 5 10 14 14 16 12 20 7 19 7 15 8 16 8 14 2 6 2 2 2 1 203
7 4 6 20 17 21 14 24 5 17 6 25 1 14 1 6 1 8 2 3 202
14 22 24 25 18 20 18 27 21 15 18 5 12 9 8 6 5 4 271
12 12 24 26 29 26 20 18 15 12 12 15 10 8 7 5 3 3 257
51
Samuel, S. Makmur / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 45-52
Lampiran 2. Distribusi frekuensi panjang total ikan nila, Oreochromis niloticus, hasil tangkapan nelayan di Danau Tempe, tahun 2010 Appendix 2. Distribution of length frequency of nile tilapia (Oreochromis niloticus) of fish catch in Lake Tempe, in 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 Jumlah
52
Lm (cm) 9,75 10,25 10,75 11,25 11,75 12,25 12,75 13,25 13,75 14,25 14,75 15,25 15,75 16,25 16,75 17,25 17,75 18,25 18,75 19,25 19,75 20,25 20,75 21,25 21,75 22,25 22,75 23,25 23,75 24,25 24,75 25,25 25,75 26,25 26,75 27,25 27,75 28,25 28,75 29,25 29,75 30,25
Feb 6 5 3 7 12 5 7 8 10 11 7 11 7 6 21 9 10 9 18 11 24 4 13 3 6 1 6
Maret
240
214
4 5 3 9 11 7 14 6 15 5 17 7 15 1 11 6 12 1 21 7 7 0 14 6 10
April
1 2 2 3 2 11 7 11 11 9 14 15 11 5 17 2 15 0 16 3 12 1 16 1 5 8
200
Mei
2 3 10 7 9 7 15 10 13 17 7 24 1 11 0 16 13 15 0 13 0 3 2 2 2 2
204
Juni 3 4 2 5 4 1 1 2 1 11 12 8 8 5 7 3 11 7 20 9 4 27 10 13 17 1 8
Juli
204
216
1 1 3 4 6 5 4 13 11 22 24 16 9 15 12 18 8 10 8 7 5 2 2 6 4
Agt
1 2 2 4 5 13 9 7 18 21 25 21 18 15 8 10 7 3 2 3 2 3 3 2 2 1
207
Sep
Okt
1 2 2 3 3 18 15 18 22 20 18 15 12 9 9 6 4 5 8 5 4 3 2 2 2 1 209
1 2 8 11 13 15 22 20 23 18 15 12 12 16 8 9 5 4 2 2 3 3 1 225
BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 53-58
STRUKTUR GENETIK POPULASI IKAN BELIDA (Chitala lopis, Bleeker 1851) DI WADUK KUTOPANJANG GENETIC STRUCTURE OF GIANT FEATHERBACK POPULATION (Chitala Lopis, Bleeker 1851) AT KUTOPANJANG RESERVOIR Arif Wibowo Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang Teregistrasi I tanggal: 14 September 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 6 Maret 2012; Disetujui terbit tanggal: 9 Maret 2012
ABSTRAK Bendungan atau waduk memainkan peranan yang penting dalam kehidupan manusia, menyediakan air, mengendalikan banjir, irigasi pertanian, fasilitasi navigasi, pariwisata, dan pembangkit tenaga listrik. Namun demikian, waduk menghasilkan fragmentasi habitat dan perubahan ekosistem yang memiliki dampak bagi fauna perairan. Penelitian tentang genetika populasi ikan belida (Chitala lopis) dilakukan pada tahun 2010 di Waduk Kutopanjang dan Sungai Kampar Provinsi Riau. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena integritas genetik populasi ikan belida (Chitala lopis, Bleeker 1851) di Waduk Kutopanjang dan Sungai Kampar. Contoh ikan diambil secara acak dengan jumlah 10 spesimen di Waduk Kutopanjang dan 38 spesimen di Sungai Kampar. Darah ikan belida dari masing-masing spesimen dikoleksi dan diekstraksi menggunakan “Geneaid DNA ekstraksi kit”. Bagian gen mtDNA yang digunakan adalah daerah D_Loop. Integrasi genetik kelompok ikan belida di Sungai Kampar dan Waduk Kutopanjang dibandingkan melalui analisis filogeni Neighbour Joining (NJ) Kimura 2 parameter. Analisa jarak genetik Nei menggunakan Program MEGA 4.0 dan AMOVA dalam Program ARLEQUIN 4.0. Hasil penelitian menunjukkan populasi ikan belida di waduk Kutopanjang secara genetik tidak berbeda dengan populasi ikan belida di Sungai Kampar. KATA KUNCI: Struktur genetik, Ikan belida, Kutopanjang ABSTRACT: Reservoir or man made lake plays important roles in human lives, providing water, flood control, agriculture irrigation, navigation facilities, tourism and hydroelectric power plant. However, reservoir leads to habitat fragmentation and environmental changes which have negative impacts on aquatic animal. Research on genetic population of giant featherback was conducted in 2010 at Kutopanjang reservoir and Kampar River Riau Province. The research objective is to determine genetic structure of giant featherback population (Chitala lopis, Bleeker 1851) in Kutopanjang reservoir and Kampar River. Samples were randomly selected in large of 10 specimens in Kutopanjang reservoir and 38 specimens from Kampar River. Giant fetaherback’s blood from each specimen was collected and extracted using “Geneaid DNA extraction kit”. The part of DNA mitochondrial used was gen D_loop. Genetic structures of giant featherback between Kampar River and Kutopanjang reservoir were compared using analysis of phylogeny neighbor Joining (NJ) Kimura 2 parameters. Nei’s genetic distance calculated using MEGA 4.0 and AMOVA in Arlequin 4.0 program. The result informs that giant featherback population in Kutopanjang reservoirs is genetically similar to the giant featherback population in Kampar Riau. KEYWORDS: Genetic structure, giant featherback, Kutopanjang
PENDAHULUAN Bendungan atau waduk memainkan peranan yang penting dalam kehidupan manusia, menyediakan air, mengendalikan banjir, irigasi pertanian, fasilitasi navigasi, pariwisata, dan pembangkit tenaga listrik. Pada akhir abad 20, sekitar 45.000 waduk besar (memiliki ketinggian dari muka air laut >15 m) dan diperkirakan 800.000 waduk kecil telah dibangun di dunia (WCD, 2000), menghalangi lebih dari 60% aliran air tawar ke laut (Nilsson & Berggren, 2000). Waduk menghasilkan fragmentasi habitat dan perubahan ekosistem yang memiliki dampak bagi keragaman biologi teresterial dan perairan (Dynesius & Nilson, 1994).
Salah satu isu penting dalam genetika ekologi saat ini adalah pengaruh fragmentasi habitat terhadap keragaman hayati dari sejumlah ekosistem (Saunders, 1991). Sampai saat ini, indikator keragaman hayati hanya terbatas pada parameter ekologi seperti dinamika populasi dan kekayaan spesies. Kemajuan dalam teknologi molekular, telah membuka babak baru dalam upaya konservasi dan hasil dari kajian molekular menjadi semakin penting dalam konservasi dan upaya manajemen spesies langka dan terancam punah (Haig, 1998). Fragmentasi dapat memberikan pengaruh yang sangat merugikan bagi keragaman genetik didalam spesies karena berkurangnya aliran gen. Fragmentasi juga memiliki dampak pada struktur
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang Jl. Beringin No. 308, Mariana Palembang, Sumatera Selatan, Email:
[email protected]
53
Arif Wibowo / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 53-58
genetika populasi, dimana fragmen yang terisolasi cenderung secara genetik berbeda dibandingkan dengan populasi yang tidak terfragmen pada skala tempat yang sama (Keller & Waller, 2002). Memahami integrasi atau struktur genetika populasi telah menjadi faktor yang utama dalam menjelaskan dan mendefinisikan ancaman terhadap keragaman hayati dan telah terbukti penting untuk konservasi (Sheaves, 2009). Deteksi berkurangnya integrasi dari suatu spesies, merupakan sesuatu yang sangat penting untuk konservasi karena dampaknya terhadap kepunahan spesies (Frankham, 2006). Salah satu penanda molekuler yang biasa digunakan untuk identifikasi integritas atau struktur genetika adalah analisis sekuense mtDNA. Hal ini karena mtDNA bersifat maternal dan diturunkan oleh parentalnya tanpa rekombinasi (Harrison, 1989; Amos & Hoelzel, 1992), molekulnya kompak dan ukuran panjangnya relatif pendek (16.000–20.000 nukleotida), tingkat evolusi yang tinggi (5-10 kali lebih besar dari DNA inti) (Brown et al., 1979; Brown, 1983), kecuali itu mtDNA memiliki jumlah copy yang besar yaitu antara 1.000-10.000 serta lebih cepat dan mudah mendapatkan hasil dari jaringan yang telah diawetkan sebelumnya (Brown, 1983). Ikan belida merupakan ikan asli Indonesia yang termasuk anggota Famili Notopteridae (Kottelat et al., 1993; 1997). Aktivitas penangkapan lebih (over fishing), penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan perubahan kondisi lingkungan perairan menyebabkan kelestarian jenis ikan ini menjadi terancam (Pollnac & Malvestuto, 1991). Keberadaan waduk Kutopanjang di Sungai kampar bagian hulu menyebabkan terjadinya
fragmentasi habitat, terpisahnya populasi ikan belida Kutopanjang dengan Sungai Kampar, yang sebelumnya merupakan satu populasi. Dampak terjadinya fragmentasi habitat terhadap integritas genetik populasi ikan ini menjadi sesuatu yang menarik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena integritas genetik populasi ikan belida di Waduk Kutopanjang dan Sungai Kampar. Informasi ini diharapkan dijadikan dasar strategi pengelolaan ikan belida di Sungai Kampar hubungannya dengan upaya translokasi untuk perbaikan populasi. BAHAN DAN METODE 1. Lokasi Pengambilan Contoh Penelitian populasi ikan belida di Sungai Kampar Provinsi Riau dilakukan pada tahun 2010. Pengambilan contoh ikan dilakukan pada empat stasiun pengamatan yang lokasinya berbeda (Tabel 1 dan Gambar 1). Contoh ikan diambil secara acak dengan jumlah 10 spesimen di Waduk Kutopanjang dan 38 spesimen di Sungai Kampar. Contoh darah ikan disimpan dalam vial tube yang telah berisi alkohol absolut 99%. Vial tube diberi label yang berisi informasi tentang lokasi dan tanggal pengambilan sampel kemudian disimpan dalam suhu kamar. Setiap Vial tube hanya berisi darah atau otot dari satu spesimen/contoh ikan. Selanjutnya vial tube dibawa ke laboratorium Genetika Molekular IPB untuk dilakukan ekstraksi mtDNA.
Tabel 1. Krakteristik stasiun pengambilan contoh ikan Table 1. Characteristic of sampling stations No 1
Stasiun / Posisi Geografi Waduk Kutopanjang (00019’5,39” LU, 100044’3,79” BT)
Keterangan Stasiun ini merupakan bagian waduk yang banyak dijumpai ikan belida, terletak di Sungai Kampar Kanan (bagian hulu) atau di Batu Bersurat.
2
Teso (00003’2,34” LU, 101023’2,71” BT)
Merupakan anak Sungai Kampar Kiri atau bagian hulu Sungai Kampar.
3
Langgam ( 00015’4,69” LU, 101042’4,55” BT)
Langgam terletak di segmen bagian segmen tengah Sungai Kampar, merupakan pertemuan antara Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Bagian ini memiliki berbagai tipe perairan, seperti: sungai utama, anak sungai dan danau rawa.
4
Rantau Baru (00017’1,06” LU, 101048’1,22” BT).
Stasiun ini terletak di Sungai Kampar utama, mendekati hilir. Daerah sudah dipengaruhi pasang surut air laut.
5
Kuala Tolam (00019’3,10” LU, 102011’2,60” BT).
Merupakan stasiun penelitian yang terletak di daerah hilir Sungai Kampar, memiliki banyak vegetasi tepian dengan perairan yang bersifat asam.
54
Arif Wibowo / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 53-58
Gambar 1. Lokasi pengambilan contoh ikan belida di Sungai Kampar, Riau Figure 1. Map showing sampling sites of giant featherback at Kampar River, Riau 2. Ekstraksi mtDNA Ekstraksi DNA menggunakan Genomic DNA mini kit for blood (Geneaid) yang dimodifikasi. Sel-sel darah ikan belida yang disimpan dalam alkohol 70% dicuci dengan air destilata (molecular grade) sebanyak dua kali kemudian disuspensikan dalam bufer STE (NaCl 1M, TrisHCL 10mM, EDTA 0.1mM, pH 8) hingga volume 350 µl. Sel-sel darah dilisis (dipecah/dikeluarkan) dengan SDS 1% dan proteinase K 0.125 mg/ml pada suhu 55oC selama 1 jam sambil dikocok perlahan. Metode ekstraksi DNA selanjutnya mengikuti petunjuk Genomic DNA mini kit for fresh blood (Geneaid).
3. Amplifikasi dan Visualisasi Fragmen mtDNA Amplifikasi sebagian fragmen D-Loop mtDNA menggunakan primer L-15 940-Thr (Forward): 5'-AAG GTG TAA TCC GAA GAT TG-3' dan CR-H (reverse): 5'-TAA CGA ACT TAT GTA CGA CG-3' (Takagi et al. 2006). Komposisi reaksi PCR dilakukan dengan volume akhir 50 µl terdiri atas sampel DNA 5 µl, DW steril 16 µl, primer masing-masing 2 µl dan Taq ready mix 25 µl. Reaksi PCR dilakukan menggunakan mesin thermocycler BIOER dengan kondisi sebagai berikut: tahap pradenaturasi 95°C selama 10 menit, tahap kedua yang terdiri dari 35 siklus yang masing-masing mencakup tahap denaturasi 94°C selama satu menit, penempelan primer (annealing) pada suhu 48°C selama satu menit, pemanjangan (extension) pada suhu 72 °C selama 1,5 menit dan tahap terakhir yaitu pemanjangan akhir (final extension) pada suhu 72 °C selama 7 menit. Produk PCR diuji menggunakan PAGE 6%
dalam bufer 1x TBE (10 Mm Tris-HCL, 1 M asam borat, dan EDTA 0.1 Mm) yang dijalankan pada kondisi 200 Mv selama 30 menit. Selanjutnya DNA diwarnai dengan pewarnaan sensitif perak. 4. Perunutan Produk PCR Produk PCR di atas gel poliakrilamid yang berukuran sesuai dengan desain primer dimurnikan dengan metode agarose-gel-cutting yang diikuti dengan spin-coloumn DNA extraction from gel. Produk PCR yang sudah dimurnikan dijadikan cetakan dalam PCR for sequencing dengan menggunakan pasangan primer yang sama dengan ampilfikasi awal. Pekerjaan ini dilakukan di First Base DNA Sequencing Service Singapura. Hasil perunutan nukleotida diedit secara manual berdasarkan kromatogram. Runutan nukleotida yang sudah diedit kemudian saling disejajarkan antara bagian forward dan reverse menggunakan Clustal W yang tertanam dalam MEGA 4.0 (Molecular Evolutionary Genetics Analysis) (Tamura et al., 2007). 5. Analisa Filogeni Analisis filogeni Neighbour Joining (NJ) dilakukan menggunakan MEGA 4.0 (Tamura et al., 2007), berdasarkan model substitusi nukleotida Kimura-2paramater dengan bootstrap 10.000 kali. 6. Jarak Genetik Jarak genetik dianalisa berdasarkan rumus yang dikemukakan oleh Nei (1987), dilakukan menggunakan MEGA 4.0 (Tamura et al., 2007).
55
Arif Wibowo / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 53-58
7. Analisa Struktur Genetik
chitala lopis 269101 W D 15 Forward 286676 ST 29 Frw
Analisa integritas genetik populasi ikan belida di Waduk Kutopanjang dilakukan menggunakan hierarki analisa varian molekular (AMOVA) melalui program Arlequin v1.1 (Excoffier et al., 2005).
286686 W D 17 Frw 272026 W D19 Frw 272034 GG06 Frw 286668 ST 22 Frw 269085 RB 6 Forward 269093 ST 4 Forward 272028 W D22 Frw 276539 RB 10 Forward 276537 LG 08 Forward
HASIL DAN BAHASAN
272062 KT21 Frw 272020 W D24 Frw 269077 LG 4 Forward
Sekuen nukleotide dari 48 spesimen ikan belida, memiliki panjang bervariasi dari 566 bp sampai 936 bp. Panjang sekuen yang berbeda disebabkan oleh jumlah segmen situs berulang (number tandem repeat) yang berbeda. Data jumlah situs berulang pada daerah kontrol mtDNA belida tidak mampu mendeteksi secara jelas adanya perpisahan populasi dan memunculkan banyak situs yang mengalami insersi-delesi, sehingga dalam analisis DNA keberadaan situs berulang dihilangkan. Analisis daerah kontrol mtDNA ikan belida Sungai Kampar menyisakan 560 basa dan 104 basa diantaranya belum pernah dilaporkan sebelumnya di Gene Bank, yaitu pada posisi 16143 – 16247.
276543 GG 02 Forward 272044 RB12 Frw 272016 W D12 Frw (diff) 269087 RB 7 Forward 272046 RB13 Frw 269097 W D 11 Forward 272036 GG04 Frw 272032 LG09 Frw 71
272018 WD16 Frw 269073 KT 04 Forward(2) 272042 RB11 Frw 273028 RB08 Forward 272022 W D20 Frw 269075 KT 06 Forward 276541 ST 03 Forward 286672 GG 11 Frw 286666 ST 27 Frw 272052 KT10 Frw 272030 W D23 Frw 272050 KT07 Frw 272048 KT01 Frw (M) 67
272060 KT20 Frw 272056 KT15 Frw 269067 GS1 Forward
Pohon filogeni yang dibuat berdasarkan sebagian fragmen daerah D_Loop mtDNA menginformasikan adanya integritas genetik populasi ikan belida Waduk Kutopanjang dengan populasi ikan belida Sungai Kampar (Gambar 2). Fenomena adanya integritas genetik ikan di sepanjang aliran bendungan secara implisit juga dilaporkan oleh Charles et al., (2005), pada ikan brown trout (Salmo trutta) di bendungan Sungai Oir, Perancis. Perbedaan genetik antara populasi ikan belida Waduk Kutopanjang dengan populasi ikan belida Sungai Kampar selanjutnya dianalisis melalui pendekatan jarak genetik (Gambar 3). Nei (1972) melaporkan jarak genetik adalah suatu ukuran keragaman gen yang diekspresikan sebagai suatu fungsi dari frekuensi genotipe atau haplotipe untuk mtDNA. Jarak genetik memperlihatkan populasi ikan belida di Waduk Kutopanjang mengelompok dengan empat populasi ikan belida di Sungai Kampar dimana memperlihatkan kemiripan genetik. Amova digunakan untuk pengelompokkan ikan dari semua lokasi sampling (Rantau Baru, Kuala Tolam, Langgam dan Teso), kemudian dikelompokkan dan dibandingkan dengan kelompok Waduk Kutopanjang. Besaran perbedaan genetik diantara dua kelompok ini memperlihatkan hasil yang tidak nyata atau terdapat integritas genetik sebagaimanan terlihat pada Tabel 2.
56
286682 ST 24 Frw 286680 ST 26 Frw 269089 RB 9 Forward (P) 286674 ST 25 Frw 286684 ST 28 Frw 279600 GG 05 Frw 269079 LG 7 Forward 272040 ST5 Frw 272054 KT11 Frw 272038 RB4D Frw
0.0002
Gambar 2. Filogeni NJ Kimura 2 parameter haplotipe ikan belida berdasarkan sebagian fragmen gen daerah kontrol mtDNA Figure 2. NJ phylogeny Kimura 2 parameters giant featherback haplotypes based on partial gene fragment of mtDNA control region
Gambar 3. Jarak genetik antar populasi stasiun pengambilan sampel Figure 3. Genetic distances between populations of sampling sites
Arif Wibowo / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 53-58
Tabel 2. Analisis varian molekular sampel ikan belida di Sungai Kampar dengan pengelompokkan populasi. Populasi tersebut adalah Rantau Baru (RB), Langgam (LG), Teso (ST), Kutopanjang (WD) dan Kuala Tolam (KT) Table 2. Analysis of molecular variance for giant featherback in Kampar River with grouping of population. Populations were Rantau Baru (RB), Langgam (LG), Teso (ST), Kutopanjang (WD) and Kuala Tolam (KT)
Sumber Variasi Diantara group Sungai (KT, RB, LG and ST) dan Waduk (WD) Diantara populasi didalam group Dalam populasi Total
d.f
Juml ah kuadrat
1
0.258
Vari asi komponen -0.018
3 43 47
1.611 11.589 13.468
0.028 0.269 0.279
Analisa gen daerah kontrol mtDNA berdasarkan neighbour joining kimura 2 parameter, jarak genetik dan amova mengungkapkan fenomena adanya integritas populasi ikan belida Kutopanjang dengan populasi ikan belida di Sungai kampar. Analisa perbedaan sekuense mtDNA dapat menyediakan informasi yang detil tentang hubungan filogenetik pada beberapa level dalam hirarki evolusi. mtDNA juga alat diagnostik yang berguna untuk membedakan populasi yang berdekatan, sebagai contoh mengidentifikasi sumber populasi dalam introduksi yang baru dilakukan dan kisaran sebaran (Harrison, 1989).
Persentase vari asi -6.58
10.11 96.47
lingkungan seperti banjir (Nordeng, 1983). Asumsi yang kedua adalah umur waduk yang masih pendek yang memungkinkan belum terjadinya pergantian generasi yang menyeluruh sehingga masih terdapat kemiripan genetik. KESIMPULAN Populasi ikan belida di waduk Kutopanjang secara genetik tidak berbeda atau terintegrasi dengan populasi ikan belida di Sungai Kampar. PERSANTUNAN
Daerah kontrol pada mtDNA memiliki laju mutasi yang lebih cepat dibandingkan dengan daerah mitokondria yang lain, daerah ini sangat baik digunakan untuk analisa keragaman hewan, baik di dalam spesies maupun antar spesies (Muladno, 2006) dan sering digunakan sebagai penanda genetik (Bentzen et al., 1993). Selanjutnya (Amos & Hoelzel, 1992) membandingkan subpopulasi yang berdekatan dimana resolusi teknik analisis yang digunakan harus tinggi sehingga periode isolasi reproduksi yang relatif singkat mampu dideteksi. Untuk alasan ini, tingkat mutasi yang cepat yang bisa diamati pada mtDNA yakni bagian daerah kontrol menjadi objek yang harus diamati. Fenomena adanya integritas populasi ikan belida Kutopanjang dengan populasi ikan belida di Sungai kampar diduga terkait dengan pola pergerakan ikan belida dewasa dan pergerakan pasif telur dan larva. Pada musim hujan untuk menghindari terjadinya banjir dan mencegah kekeringan diberlakukan sistem buka tutup pintu Waduk Kutopanjang yang memungkinkan terjadinya pergerakan aktif ikan belida dewasa dan pergerakan pasif larva, sehingga terjadi pencampuran genetik ikan belida diantara kedua ekosistem tersebut yang menghasilkan integritas genetik. Secara umum, gerakan ikan belida yang aktif (dewasa) dan pergerakan pasif dari telur dan larva akan memacu terjadinya aliran gen diantara populasi ikan (Slatkin, 1987). Perilaku pergerakan ikan (migrasi) adalah sifat kuantitatif yang sebagian di bawah pengaruh genetik (Johnsson 1982; Palm & Ryman 1999) dan pengaruh
Penelitian ini adalah bagian dari Kajian bioekologi ikan langka yang dibiayai oleh Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum (BP3U) Palembang melalui DIPA T.A. 2010. DAFTAR PUSTAKA Amos, B & A.R, Hoelzel. 1992. Applications of molecular genetic techniques to the conservation of small populations. Biological Conservation. 6: 133–144. Bentzen, P., E.B. Taylor & J.M. Wright. 1993. A novel synthetic probe for DNA fingerprinting salmonid fishes. Journal of Fish Biology. 43: 313–316. Brown, W. M., M. George & A.C. Wilson. 1979. Rapid evolution of mitochondrial DNA, Proc. Natl Acad. Sci. USA. 76: 1967-1971. Brown, W.M. 1983. Evolution of animal mitochondrial DNA. In: M. Nei and R.K. Koehn (eds). Evolution of Genes and Proteins. Sinauer, Sunderland, MA. 62-88. Charles, K., Guyomard, R., Hoyheim, B., Ombredane, D. & J.L. Baglinière. Lack of genetic differentiation between anadromous and resident sympatric brown trout (Salmo trutta) in a Normandy population. Aquat. Living Resour. 18: 65–69.
57
Arif Wibowo / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 53-58
Dynesius, M & C. Nilsson. 1994. Fragmentation and flow regulation of river systems in the northern third of the world. Science. 266: 753–62. Excoffier, L., G. Laval & S. Excoffier. 2005. Arlequin ver. 3.0: Anintegrated software package for population genetics data analysis (J). Evolutionary Bioinformatics Online. 1: 47-50. Frankham, R. 2006. Genetics and landscape connectivity. In: Crooks, K., Sanjayan, M. (Eds.), Connectivity Conservation. Cambridge University Press, New York, USA, 72–96. Haig, S.M. 1998. Molecular contributions to conservation. Ecology. 79: 413–425. Harrison, R.G. 1989. Animal mitochondrial DNA as a genetic marker in population and evolutionary biology. Trends in Evolutionand Ecology. 4: 6–11. Jonsson B. 1982. Diadromous and resident trout Salmo trutta L.: Is their difference due to genetics?. Oikos. 38: 297-300. Kottelat, M., S.N. Kartikasari., A.J. Whitten & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Ed. Dua bahasa. Periplus Editions Limited. Jakarta. 221 p. _________. 1997. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Ed. Dua bahasa. Periplus Editions and Emdi Project Indonesia. Jakarta, 293 p. Keller, L. F. & Waller, D. M. 2002 Inbreeding effects in wild populations. Trends Ecol. Evol. 17: 230–241. Muladno. 2006. Aplikasi Teknologi Molekuler dalam Upaya Peningkatan Produktivitas Hewan. Pelatihan Teknik Diagnostik Molekuler untuk Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan di Kawasan Timur Indonesia. Kerjasama Pusat Studi Ilmu Hayati, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas, Bogor. 60 p. Nei, M. 1972. Genetic distance between populations. Amer. Nat. 106: 283-92.
58
_______. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Colombia University Press. 135 p. Nilsson, C & K. Berggren. 2000. Alterations of riparian ecosystems caused by river regulation. BioScience. 50: 783–92. Nordeng H. 1983. Solution to the “Char problem” based on Arctic Char (Salvelinus alpinus) in Norway. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 40: 1372-1387. Palm S. & N. Ryman. 1999. Genetic basis of phenotypic differences between transplanted stocks of brown trout. Ecol. Freshwater Fish. 8: 169-180. Pollnac, R.B. & S.P. Malvestuto. 1991. Biological and Socio Economic Condition for the Development of Riverine Fisheries Resources in Kapuas and Musi River. Temu Karya Ilmiah Pengkajian Kebijakan Pengelolaan Sungai Perairan Umum bagi Perikanan. Jakarta. 231 p. Saunders, D.A., R.J. Hobbs & C.R. Margules. 1991 Biological consequences of ecosystem fragmentation: a review. Conserv. Biol. 5: 18–32. Sheaves, M. 2009. Consequences of ecological connectivity: the coastal ecosystem mosaic. Mar. Ecol. Prog. Ser. 391: 107–115. Slatkin, M. 1987. Gene flow and geographic structure of natural populations. Science. 236: 787–792. Takagi, A.P., S. Ishikawa, T. Nao., S. Hort., M. Nakatani, M. Nishida & H. Kurokura. 2006. Genetic differentiation of the bronze featherback Notopterus notopterus between Mekong River and Tonle Sap Lake population by mitochondrial DNA analysis. Fisheries Science. 72: 750-754. Tamura K., J. Dudley, M. Nei & S. Kumar. 2007. MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. Molecular Biology and Evolution 10.1093/molbev/msm092. 241 p. WCD (World Commission on Dams). 2000. Dams and development: a new framework for decision-making. London, UK: Earthscan Publications. p. 34-35.
BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 59-66
TINGKAT KESUBURAN PERAIRAN WADUK KEDUNG OMBO DI JAWA TENGAH TROPHIC STATUS OF KEDUNG OMBO RRESERVOIR IN CENTRAL JAVA Siti Nurul Aida dan Agus Djoko Utomo Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang Teregistrasi I tanggal: 1 Agustus 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 22 Maret 2012; Disetujui terbit tanggal: 26 Maret 2012
ABSTRAK Waduk Kedung Ombo merupakan waduk serbaguna dimanfaatkan sebagai irigasi persawahan, pembangkit tenaga listrik, sumber air minum, pariwisata, perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Limbah aktivitas manusia tersebut akan mempengaruhi tingkat kesuburan perairan dan komunitas biota didalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan di waduk Kedung Ombo di lakukan dengan metode survei dari bulan Februari hingga Desember 2010. Contoh air untuk pengamatan parameter kesuburan yaitu suhu, kecerahan, oksigen, nitrogen total, fosfor total dan klorofil a diambil dari enam stasiun pada tiga kedalaman yaitu permukaan (0 m), 3 m, 5 m dan, dasar perairan. Tingkat kesuburan perairan ditentukan dengan pendekatan trophical index (trix). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas perairan waduk Kedung Ombo secara umum termasuk perairan eutrofik dengan nilai rata-rata yaitu: ’trix’ 5,5; kecerahan perairan 91 cm, klorofil 18.37 µg/l, total N=0,37 ppm; dan total P = 0,046 ppm. KATA KUNCI: Tingkat kesuburan perairan, eutrofikasi, waduk, indek trix ABSTRACT: Kedung Ombo reservoir is a multipurpose reservoir used as irrigation, hydrolic power, sources of drinking water, tourism and fisheries. The trophic status of the reservoir can be affected by wastes from agricultural, human settlement and floating net cages fish culture. Inventory field survey in order to know the trophic state of Kedung Ombo reservoir was conducted from February to December 2010.. Water samples used to measure the trophic state such as water temperature, dissolved oxygen, total nitrogen, total phosphorus and chlorophyll a, were collected from 5 sampling sites at three depth; water surface (0 m), 3 m, 5 m and closed to surface sediment. The trophic state of Kedung Ombo Reservoir was estimated with Trix index. The results revealed that Kedung Ombo Reservoir was classified as eutrophic waters with trophic index (Trix index),transparency, chlorophyll a, total nitrogen and total phosphorus mean values were 5.5, 91 Cm, 18.37µg/l, 0,37 ppm,and 0.046 ppm respectively. KEYWORDS: Trophic state, eutrofication, Kedung Ombo, reservoir, trix index
PENDAHULUAN Waduk Kedung Ombo dengan luas 4.800 ha dan kedalaman rata-rata 12,8 m, merupakan waduk serbaguna yang dapat dimanfaatkan sebagai irigasi persawahan, pembangkit tenaga listrik, sumber air minum, pariwisata, perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Waduk Kedung Ombo terletak di kaki pegunungan Kendeng sebelah selatan Grobogan, daerah huluannya yaitu di gunung Merbabu provinsi Jawa Tengah. Sumber mata air yang penting waduk Kedung Ombo (WKO) yaitu sungai Jerabung, Tuntang, Serang, Lusi dan Juwana (JRATUNSELUNA). Waduk ini secara resmi mulai dioperasikan pada tahun 1991. Daerah genangan air waduk Kedung Ombo meliputi tiga wilayah administrasi Kabupaten yaitu Kab. Grobogan, Boyolali dan Sragen. Setelah Kedung Ombo digenangi air menjadi waduk maka banyak masyarakat yang berprofesi
sebagai nelayan dan petani karamba jaring apung (Dinas Peternakan dan Perikanan Sragen, 2006; Depertemen Pekerjaan Umum Ditjen Sumberdaya Air, 2006). Permasalahan yang sering terjadi di perairan waduk adalah pengkayaan unsur hara oleh limbah organik yang berasal dari keramba jaring apung, pertanian, dan rumah tangga. Perikanan budidaya dalam bentuk budidaya ikan keramba jaring apung (KJA) di waduk Kedung Ombo pada akhir tahun 2010 tercatat ada 1400 unit sedangkan daya dukungnya hanya 1100 unit (Dharyati et al., 2009). Semakin berkembangnya aktivitas budidaya perikanan di waduk maka semakin banyak pakan dan kotoran ikan yang lolos ke perairan waduk. Selanjutnya pakan dan kotoran ikan akan terurai menyebabkan eutrofikasi (pengkayaan unsur hara) yang dapat menyebabkan blooming algae dan menurunkan kualitas perairan waduk sebagai sumber air minum seperti yang terjadi di waduk di Cirata dan Saguling (Sukimin, 2008).
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang Jl. Beringin No. 308, Mariana Palembang, Sumatera Selatan, Email:
[email protected]
59
S.N. Aida, A.D. Utomo / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 59-66
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat tingkat kesuburan perairan waduk Kedung Ombo. Beberapa parameter penting yang sering digunakan sebagai indikator dalam penentuan kesuburan perairan yaitu fosfor total, nitrogen total dan klorofil. Model pendekatan untuk menentukan tingkat kesuburan perairan adalah trophical index (Trix). Indek trofik ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan model yang lain karena model tersebut melibatkan beberapa parameter penting dalam perhitungan tingkat kesuburan perairan yaitu fosfor total, nitrogen total, klorofil dan oksigen saturasi (Vollenweider et al., 1998 dalam EEA, 2001). BAHAN DAN METODE Penelitian bersifat survey lapangan dilakukan di waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah pada bulan Februari sampai
dengan Desember 2010. Pelaksanaan pengamatan di lapangan sebanyak 4 (empat) kali yang mewakili musim kemarau dan penghujan yaitu pada bulan Februari, Mei, Agustus dan November. Stasiun penelitian di tentukan mewakili tipe perairan yaitu out let, inlet, bagian tengah waduk dan areal Karamba Jaring Apung (KJA). Terdapat enam stasiun yaitu KJA Ngasinan, KJA Aquafarm, Tengah, Inlet Samudro, Inlet Serang, dan Outlet Boyolayar (Gambar 1). Pengumpulan Data Sampel air diambil dengan water sampler pada kedalaman 0 m (permukaan), 3 m, 5 m dan dasar perairan. Sampel sebagian langsung dianalisa di tempat (in situ) dan sebagian di laboratorium berdasarkan metode yang sudah baku dalam APHA (1986). Parameter air yang diukur disajikan pada Tabel 1.
110049’822” BT
07018’185” LS
Gambar 1. Stasiun penelitian di waduk Kedung Ombo Figure 1. Location of sampling sites in Kedung Ombo Reservoir Keterangan: Stasiun Penelitian/Remark: location of the sampling sites : 1. KJA Ngasinan, 2. KJA Aquafarm, 3. Tengah , 4. Outlet Bayolayar (DAM), 5 Inlet Serang 6. Inlet Samudro
Tabel 1. Parameter dan metode analisis sampel air Table 1. Parameters and methods of water samples analysis Parameter / Parameters
Satuan / Unit 0
1. Suhu 2. Kecerahan 3. Oksigen terlarut
C cm ppm
4. Total N 5. Total P 6. Klorofil
ppm ppm µg/l
60
Metode dan peralatan / Methods and equipment Insitu. Termometer Insitu. Piring sechi Insitu,metode Winkler, titrimetri dengan larutan thiosulfat sebagai titrant. Metode Nessler, Spectrophoto metric Metode Vanadate molibdate, Spectrophotometric Spectrophotometric
S.N. Aida, A.D. Utomo / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 59-66
Analisa Data Nilai kualitas air dianalisis secara deskriptif dibuat tabulasi data dan grafik berdasarkan lokasi dan kedalaman. Tingkat kesuburan perairan waduk Kedung Ombo diduga dengan menggunakan batasan nilai parameter fosfor total, nitrogen total, kecerahan, dan klorofil (Tabel 2). Disamping itu juga menggunakan model ‘tropical index’ (TRIX) (Vollenweider et al., 1998 dalam EEA, 2001). Variabel indeks yang terdiri dari klorofil-a, oksigen saturasi, nitrogen dan fosfor total yaitu:
X
c
=
k n
i= n
(M − L ) − L )
keterangan: n = jumlah variabel, M = nilai rata-rata variable, U = nilai tertinggi variabel, L = nilai terendah variabel. k (konstante) = 10 Apa bila besarnya nilai Trix kurang dari 2 maka perairan tersebut termasuk kesuburan rendah (oligotroph), dan 2 - 4 maka perairan tersebut termasuk kesuburan sedang (mesotrofik), lebih besar 4 - 6 maka perairan tersebut termasuk kesuburan tinggi (eutrofik).
∑ (U
Tabel 2. Tingkat Kesuburan Perairan Waduk Kedung Ombo Berdasarkan Beberapa Parameter Kualitas Air Table 2. Trophic State of Kedung Omno Reservoir based on Some Water Quality Parameters No 1 2 3 4 5
Parameter Kecerahan (m) Nitrogen (mg/L) Amonia (mg/L) Khlorofil-a (µg/L) Fosfor total (mg/l)
Oligotrofik >4 <0,2 <0,01 <4 <0,01
Mesotrofik 2-4 0,2- 0,5 0,01-0,2 4- 10 0,01- 35
Eutrofik <4 >0,5 >0,2 >10 >35-100
Sumber Novotny & Olem,1994 Novotny & Olem, 1994 Goldman & Horn (1983) Novotny & Olem, 1994 Novotny & Olem, 1994
HASIL DAN BAHASAN
Oksigen Terlarut
Kecerahan
Oksigen terlarut di waduk Kedung Ombo berkisar antara 0,0 – 9,72 mg/l. Ada indikasi semakin menuju ke dasar perairan konsentrasi oksigen semakin menurun (Gambar 2), bahkan di dasar perairan bisa mencapai nol seperti di stasiun Tengah dan KJA Ngasinan (Lampiran 1). Pada kedalaman setelah 3 meter pada umumnya konsentrasi oksigen sudah mulai menurun dan pada dasar perairan konsentrasi oksigen sangat rendah bisa mencapai nol sperti di stasiun KJA Ngasinan yang banyak keramba jaring apung. Konsentrasi oksigen di daerah keramba jaring apung dapat menjadi rendah karena konsumsi oksigen oleh besarnya populasi ikan dari keramba dan digunakan untuk proses dekomposisi sisa bahan organik yang mengendap di dasar perairan.
Nilai kecerahan perairan waduk Kedung Ombo di semua stasiun pengamatan berkisar antara 55 – 118 cm dengan nilai rata rata 91 cm. Kecerahan terendah terdapat di stasiun KJA aquafarm pada pengamatan bulan Februari, dan kecerahan tertinggi di stasiun out let pada bulan Juli. Kedalaman perairan waduk Kedung Ombo berkisar antara 2 – 36,2 m dengan kedalaman terendah terdapat pada stasiun inlet Serang pada pengamatan bulan Febuari, dan terdalam di stasiun KJA aquafarm pada bulan Juli. Menurut Novotny & Olem (1994) dalam Effendi, (2000) tingkat kecerahan perairan kurang dari 200 cm termasuk dalam tingkat kesuburan eutrofik. Tingkat kecerahan waduk Kedung Ombo tergolong rendah, dengan demikian perairan ini termasuk dalam kriteria tingkat kesuburan eutrofik. Kecerahan air tergantung kepada warna, kekeruhan (turbidity), keadaan cuaca, waktu pengukuran, dan jumlah padatan tersuspensi (TSS) dan jumlah padatan terlarut (TDS). Kecerahan yang rendah mengindikasikan laju sedimentasinya tinggi, disamping itu warna air waduk Kedung Ombo yang kehijauan hingga hijau mengindikasikan perairan kaya plankton terutama fitoplankton.
Konsentrasi rata-rata oksigen terlarut waduk Kedung Ombo 6,59 mg/l pada lapisan permukaan, 5,44 mg/l pada kedalaman 3 meter, 4,52 mg/l pada kedalaman 5 meter, dan 1,78 mg/l pada dasar perairan. Konsentrasi oksigen terlarut secara alami bervariasi pada setiap kedalaman, penurunan tersebut tidak terlalu tajam, namun mengikuti pola stratifikasi perairan. Oksigen pada lapisan epilimnion lebih tinggi karena daerah ini terjadi proses fotosintesis secara aktif, sedangkan di daerah hipolimnion konsentrasi
61
S.N. Aida, A.D. Utomo / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 59-66
oksigen lebih rendah (Boyd, 1993). Konsentrasi oksigen di daerah hipolimnion merupakan hasil bersih dari sisa proses dekomposisi bahan organik di sedimen dan respirasi biota perairan. Secara alami oksigen akan masuk kedalam perairan air waduk terutama melalui proses fotosintesis sebesar 9095% dan yang lain melalui proses difusi dari udara, serta dari perairan itu sendiri (Schmittou, 1991). Proses fotosintesa akan terjadi di perairan yang masih mendapatkan cahaya atau sinar matahari, dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsiel yang ada di udara maupun yang di air, kadar garam serta adanya senyawa atau unsur yang mudah teroksidasi yang terkandung dalam air, makin tinggi suhu, kadar garam dalam air, dan tekanan parsiel gas yang terlarut dalam air maka kelarutan oksigen dalam air akan berkurang (Wardoyo,1981). Menurut Cole (1983) dalam Effendi (2000) semakin tinggi suhu perairan kelarutan oksigen semakin rendah. Kadar oksigen terlarut di perairan bila sama dengan kadar oksigen secara teoritis berdasarkan suhu maka disebut kadar oksigen jenuh atau saturasi, yang melebihi nilai jenuh disebut lewat jenuh dan yang kurang dari nilai jenuh disebut tidak jenuh. Bila kadar oksigen jenuh maka terjadi keseimbangan dengan kadar oksigen di atmosfir, tidak ada difusi oksigen dari udara ke dalam air dan sebaliknya. Difusi oksigen dari udara ke perairan dan sebaliknya akan terjadi bila kondisi jenuh belum tercapai (tidak jenuh). Kejenuhan oksigen di perairan dinyatakan dalam persen saturasi. Kadar oksigen berdasarkan persen saturasi di waduk Kedung ombo berkisar antara 0 - 133% (Lampiran 1). Kadar oksigen saturasi diperlukan dalam perhitungan menentukan besarnya nilai trophical index (Trix). Ada indikasi kuat kadar oksigen saturasi pada semua stasiun penelitian makin ke dasar perairan makin rendah (Lampiran 1).
tanah jenis lempung 0,043 – 0,064% yang berasal dari pupuk fosfor, dari sisa pakan, limbah hewan dan limbah domestik (Walker & Borwn, 1936 dalam Tisdale & Nelson, 1975). Fosfor masuk ke perairan melalui erosi yang membawa koloid-koloid tanah dan limpasan air yang masuk ke perairan. Oleh karena itu banyaknya P terangkut ke perairan sangat tergantung juga dengan jumlah curah hujan. Total fosfor merupakan salah satu parameter untuk menduga potensi sumber daya ikan berdasarkan status trofik perairan tersebut (Rodhe dalam Welch, 1980; Goldman & Horn, 1983). Tingginya total fosfor di waduk Kedung Ombo terutama disebabkan dari sisa pakan dan kotoran ikan di perairan tersebut serta limpasan air yang kaya fosfor. Salah satu sumber fosfor di perairan waduk adalah dari sisa pakan dan kotoran ikan dari KJA terbuang kedalam perairan. Sisa pakan dari budidaya dalam keramba jaring apung sekitar 30% sebagai penyumbang fosfor perairan (Krismono et al., 1996). Ada indikasi bahwa makin ke dasar perairan kandungan fosfor makin tinggi, karena bahan organik yang mengendap di dasar perairan akan terurai menghasilkan fosfor (Lampiran 1).
Nitrogen Nitrogen total perairan waduk Kedung Ombo tergolong sedang hingga tinggi dengan kisaran nilai 0,02 - 1,16 mg/l dan nilai rata rata 0,37 ppm (Lampiran 1). Berdasarkan kandungan kandungan nitrogen total tersebut maka Waduk Kedung Ombo tergolong perairan mesotrofik hingga eutrofik. Nitrogen merupakan unsur hara makro atau unsur utama penentu tingkat kesuburan. Fosfor (P)
Gambar 2. Kandungan oksigen terlarut di Waduk Kedung Ombo Figure 2. Dissolved Oxygen Content at Kedung Ombo Reservoir. Klorofil-a.
Fosfor total di perairan waduk Kedung Ombo berkisar antara 0,01 – 0,67 ppm dengan nilai rata rata 0,046 ppm. Berdasarkan kriteria Novotny & Olem (1994) maka perairan waduk Kedung Ombo sudah tergolong eutrofik. Sumber fosfor di alam sangat sedkit, pertambahan fosfor secara alami berasal dari proses pelapukan mineral liat (tanah) yang mengandung P. Kadar fosfor dalam tekstur mineral 62
Klorofil pada fitoplankton merupakan zat hijau daun yang sangat berperan dalam proses fotosintesis di perairan. Banyaknya nilai klorofil akan tergantung pada banyaknya fitoplankton di perairan, dan banyaknya fitoplankton sangat ditentukan oleh kandungan nutrien di perairan terutama fosfor. Kandungan total klorofil-a di
S.N. Aida, A.D. Utomo / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 59-66
perairan waduk Kedung Ombo berkisar antara 1,84-106,56 ì g/l dengan nilai rata rata adalah 18,37 ì g/l. Menurut Novotny & Olem (1994); perairan tergolong oligotrofik bila kandungan klorofil < 4 ì g/l, mesotrofik bila kandungan klorofil antara 4-10 ì g/l, eutrofik bila kandungan klorofil >10 ì g/l. Perairan waduk Kedung Ombo berdasarkan rata rata kandungan klorofil sudah masuk katagori perairan eutrofik (kesuburan tinggi). Kandungan klorofil yang tinggi tersebut dikarenakan jumlah fitoplankton di Kedung Ombo juga sudah cukup tinggi mencapai 54.500–35.854 sel/liter (Dharyati et al., 2009). Penyebab kandungan klorofil dan fitoplankton yang cukup tinggi disebabkan karena adanya pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) terutama unsur fosfor di perairan. Tropical index (TRIX) Berdasarkan nilai trix rata rata yang di dapat(Tabel 3), perairan waduk Kedung Ombo secara umum tergolong eutrofik. Menurut Vollenweider et al., (1988) dalam EEA, (2001) bila nilai Trix pada kisaran 4-61 maka perairan tersebut tergolong eutrofik. Dengan demikian maka perairan Kedung Ombo sudah termasuk perairan yang eutrofik (kesuburan tinggi). Secara umum nilai trix rata-rata pada semua stasiun tidak ada perbedaan yang mencolok hanya pada stasiun outlet dan KJA Ngasinan lebih tinggi dibanding stasiun yang lain yaitu masing-masing trix = 5,77 dan trix =5,66. Stasiun outlet nilai trix tinggi disebabkan karena pada stasiun outlet merupakan tempat akhir perairan sebelum terbuang keluar waduk, sehingga banyak bahan organik yang tertahan di dekat bendungan. Stasiun KJA Ngasinan nilai trix juga tinggi karena merupakan tempat budidaya
ikan pada KJA yang dilakukan oleh masyarakat, sehingga pencemaran bahan organik ke perairan lebih banyak, disamping itu perairan Ngasinan merupakan teluk sehingga aliran air kurang lancar. Pada lokasi yang ada di tengah waduk yaitu stasiun KJA Aquafarm dan stasiun tengah nilai trix agak berfluktuasi dibanding dengan stasiuan lainnya, hal ini disebabkan karena di tengah waduk sering terjadi ombak besar terutama pada saat siang hari sehingga nilai trix relatif berflukuasi. Pada musim kemarau (Juli) sampai akhir kemarau (Nopember), nilai trix rata rata lebih tinggi dari pada musim penghujan (Februari sampai Mei). Pada musim kemarau nilai trix pada kisaran 5, 68 – 6,13 sedangkan saat musim penghujan 4,86 – 5,55. Hal tersebut disebabkan pada saat kemarau volume air waduk lebih kecil dari pada saat musim penghujan sehingga kandungan bahan organik lebih pekat, sedangkan saat musim penghujan waduk banyak terisi oleh air baru dari air hujan. Kondisi kesuburan perairan yang tinggi (eutrofik) di waduk Kedung Ombo tidak terlepas dari masukan bahan antropogenik seperti limbah dari keramba jaring apung (KJA), limbah rumah tangga dan limbah pertanian. Jumlah KJA di waduk Kedung Ombo telah mencapai 1.400 unit, sedang daya dukungnya hanya 1.100 unit (Dharyati et a.,l 2009). Pada bagian daerah hulu sungai yang masuk ke waduk seperti sungai Serang, Jerabung, Tuntang, Lusi dan Juwana banyak daerah pertanian yang mengeluarkan limbah organik ke sungai selanjutnya masuk ke waduk. Pada sekitar daerah aliran sungai yang masuk ke waduk juga banyak dihuni penduduk, sehingga waduk Kedung Ombo juga menerima beban masukan bahan organik dari limbah rumah tangga.
Tabel 3. Nilai Trix perairan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah Table 3. Trix value at Kedung OmboReservoir in Central Jawa Stasiun / Station
Bulan / Month
Rerata / Avarage
Februari
Mei
Juli
Nopember
KJA Ngasinan
5.16
6.76
5.21
5.5
5.66
KJA Aquafarm
3.88
6.03
5.64
5.88
5.36
Inlet Samudro
5.01
5.68
5.52
-
5.40
Inlet Serang
4.95
5.45
5.83
-
5.41
Out let
5.15
5.72
5.31
6.91
5.77
Tengah Rerata/Average
4.99 4.86
3.63 5.55
6.57 5.68
6.22 6.13
5.35 5,49
Keterangan / Remark: (-) = tidak tercatat/not recorded
Tingkat kesuburan waduk Kedung Ombo tidak jauh berbeda dengan waduk Gajah Mungkur di Wonogiri yang luasnya 8.800 ha. Menurut Dharyati et al., (2009) nilai trix di Waduk Gajah Mungkur adalah 5,2 sedangkan umur
waduk Kedung Ombo lebih muda daripada waduk Gajah Mungkur. waduk kedung Ombo mulai dioperasikan tahun 1991 sedangkan waduk Gajah Mungkur tahun 1981, namun jumlah KJA di waduk Kedung Ombo dengan luasan 4.800 63
S.N. Aida, A.D. Utomo / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 59-66
ha sebanyak 1.400 unit sedangkan di waduk Gajah Mungkur dengan luasan 8.800 ha jumlah KJAnya sebanyak 1.050 unit sehingga waduk Kedung Ombo lebih cepat mengalami eutrofikasi (pengkayaan unsur hara).
Departemen Pekerjaan Umum Dirjen Sumberdaya air, 2006. Studi Penatagunaan Kawasan Kedung Ombo. PT Terta Buana Manggala Jaya dan Persero PT Virema Karya. Semarang. 64 p.
Kondisi waduk Kedung Ombo relatif lebih baik dibandingkan dengan Waduk di Jawa Barat. Sebagai contoh waduk Cirata dan Saguling kondisinya sudah hypertrophic (kesuburan perairan sangat tinggi). Waduk Cirata terdapat 30.000 unit KJA, sedangkan menurut aturan yang dikeluarkan oleh Pemda setempat, jumlah KJA yang diperbolehkan sebanyak 12.000 Petak Fosfor total yang terlepas ke perairan dari KJA mencapai 91.247 kg/ tahun (Kartamihardja, 1997). Di Waduk Saguling tiap tahun menghasilkan ikan dari KJA sebanyak 34.279 ton sedangkan daya dukung perairannya hanya 4.846 ton/ tahun. Kandungan fosfor rata rata di perairan mencapai 170 µg/L (hypertrophic) sedangkan waduk tersebut merupakan sumber air minum dimana kadar fosfor tidak boleh melebihi 50 µg/L (Sukimin, 2008)
Dinas Peternakan dan perikanan Sragen, 2006. Profil Waduk Kedung Ombo Sentra Perikanan Kab. Sragen. 42 p. Dharyati, E., AD. Utomo., S.Adjie., Asyari., & D.Wijaya 2009. Bio-ekologi dan potensi sumberdaya perikanan di Waduk Kedung Ombo dan Gajah Mungkur. Laporan Teknis. Balai Riset Perikanan Perairan Umum Palembang. 75 p. Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air. Jurusan MSP Fak. Perikanan dan Kelautan IPB Bogor. 259 p. European Environmental Agency (EEA). 2001. Eutrophication in Europe’s coastal waters. Topic report. 7/2001.115 p.
KESIMPULAN 1. Waduk Kedung Ombo tergolong pada perairan dengan kesuburan tinggi (eutrofik), hal ini dapat dilihat dari beberapa nilai parameter kualitas air dan nilai tropical index (TRIX) perairan tersebut. 2. Kondisi perairan yang subur di waduk Kedung Ombo cenderung stabil baik pada musim penghujan maupun pada musim kemarau
Goldman, C.R. & A.J. Horn. 1983. limnology. Mcgraw Hill Int. Book Comp., London. 464 p. Kartamihardja, 1997 . Pencemaran pakan di waduk. http:/ /
[email protected]. 6 April 2010. Krismono. 1996. Umbalan dampak dan penanggulangannya. Warta Penelitian dan Penegembangan Pertanian. XVIII (5): 16.
PERSANTUNAN Kegiatan penelitian ini dibiayai oleh APBN 2010. Kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Peneltian Perikanan Perairan Umum (BP3U) Palembang yang telah memberikan fasilitas dan kelancaran dalam penelitian, Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sragen yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan, rekan-rekan peneliti dan teknisi yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA APHA, 1986. Standard methods for the examinations of water and wastewater. APHA inc, Washington DC. 986 p. Boyd, C.E. 1988. Water Quality in WarmWater Fish Pond. Agricultural Experiment Station. Auburn Univ. Alabama. 359 p.
64
Novotny, V & Olem, H. 1994. Water Quality, Prevention, Identification, and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrans Reinhold. New York. 1054 p. Schmittou. H.R. 1991. Fish stress, health & diseases, short course on Aquaculture technology (Cage Culture). 4 p. Sukimin, S. 2008. The application of phosphourus loading model estimating the carriying capacity for cage culture and Its productivity of Saguling Reservoir, West Java, Indonesia. Proceding, International Conference on Indonesian Inland Waters. Research Institute for Inland Fisheries Palembang. p. 99-104. Tisdale, S.L. and W.L. Nelson. 1975. Soil Fertility and Fertilizers. The MacMillan Company, New York. 515 p.
S.N. Aida, A.D. Utomo / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 59-66
Lampiran 1. Kualitas Air Waduk Kedung Ombo berdasarkan lokasi sampling dan kedalaman Tahun 2010 Appendix 1. Water Quality at Kedung Ombo Reservoir based on sampling sites and depth in 2010 STASIUN / Sampling site 1. KJA Ngasinan (S: 07o18'13.1", E: 10o49'56.5")
PARAMETER / Parameters o
0
KEDALAMAN (m) / Depth (m) 3 5
Suhu air ( C)
29,0 - 31,5
25,5 - 30,0
25,5 - 29,0
26,0 - 28.5
O2 terlarut (mg/l)
5,18 - 7.61
5,35 - 6,81
3,08 - 5,35
0,0 - 1,62
70 - 102
68 - 87
39 - 66
0,0 - 20
TN (mg/l)
O2 saturation (%)
0,02 - 0,08
0,10 - 0,37
0,07 - 1,15
0,67 - 0,84
NH3-N (mg/l)
0,03 - 0,14
0,03 - 0,16
0,03 - 0,21
0,04 - 0,17 0,03 - 0,09
TP (ppm)
0,01 - 0,04
0,01- 0,05
0,08 - 0,02
Klorofil-a (µg/l)
2,31 - 17,11
2,31 - 26,08
7,60 - 45,73
Warna air
2. KJA Aquafarm (S: 07o16'48.0", E:110o49'37.3")
Hijau
Kecerahan (cm)
70 - 114
Kedalaman (m)
24 - 31,6
o
Suhu air ( C) O2 terlarut (mg/l) O2 saturation (%)
30 - 31
27,5 - 30
26 - 29,9
26 - 28
4,37 - 7,73
4,21 - 6,16
4,54 - 5,67
0,65 - 1,62
59 - 102
54 - 90
57 - 74
8 - 21
TN (mg/l)
0,08 - 0,42
0,01 - 0,49
0,01 - 0,33
0,19 - 0,56
NH3-N (mg/l)
0,01 - 0,12
0,02 - 0,22
0,02 -0,21
0,03 - 0,39 0,04 - 0,08
TP (ppm)
0,02 - 0,05
0,03 - 0,04
0,01 - 0,09
Klorofil-a (µg/l)
4,56 - 27,38
11,87- 17,11
3,38 - 55,92
Warna air
3. Inlet Samudro (S: 07o20'04.5", E:110o50'10.5" )
Hijau
Kecerahan (cm)
55 - 107
Kedalaman (m)
29.5 - 36,2
o
Suhu air ( C) O2 terlarut (mg/l)
30,5 - 32
27,5 - 30
26 - 27
26 - 29,5
5,83 - 7,78
2,43 - 5,67
2,43 - 5,67
1,78 - 2,91
O2 saturation (%)
79 - 105
32 - 72
30 - 71
23 - 37
TN (mg/l)
0,02 - 1,1
0,03 - 0,55
0,03 - 0,33
0,02 - 0,54
NH3-N (mg/l)
0,03 - 0,16
0,03 - 0,15
0,01 - 0,16
0,04 - 0,21
TP (ppm)
0,01 - 0,09
0,04 - 0,05
0,03 - 0,04
0,03 - 0,06
Klorofil-a (µg/l)
2,3 - 55,92
12,73 - 26,08
Warna air
4. Inlet S.Serang (S : 07o17'14.3" E : 110o46'28.0")
DASAR
9,64 - 17,11
Hijau
Kecerahan (cm)
80 - 110
Kedalaman (m)
5 - 11,1
o
Suhu air ( C) O2 terlarut (mg/l) O2 saturation (%)
30 - 32
27 - 28,5
26,5 - 27
26 - 29
6,48 - 9,72
5,18 - 6,32
4,05 -7,29
3,56 - 5,51
87 - 131
67 - 79
51 - 91
45 - 72
TN (mg/l)
0,40 - 0,59
0,39 - 1,05
0,08 -0,71
0,65 - 0,14
NH3-N (mg/l)
0,04 - 0,12
0,01- 0,11
0,04 - 0,10
0,03 - 0,05
TP (ppm)
0,01 - 0,12
0,03 - 0,04
0,05 - 0,14
0,05 - 0,09
Klorofil-a (µg/l)
2,31 - 17,11
12,73 - 17,11
26,08 - 106,56
Warna air
Hijau
Kecerahan (cm)
75 - 102
Kedalaman (m)
13-Feb
65
S.N. Aida, A.D. Utomo / BAWAL Vol. 4 (1) April 2012 : 59-66
Lampiran 1. Lanjutan ….. Appendix 1. Continued ….. 5. Outlet Boyolayar
Suhu air (oC)
30 - 32
27 - 30
25,5 - 29,5
25,5 - 28
5,18 - 9,72
4,54 - 6,16
0,97 - 5,83
0,81 - 2,23
o
(S: 07 15'35.4", E: 110o50'07.5")
O2 terlarut (mg/l)
78 - 133
59 - 85
13 - 74
28-Oct
TN (mg/l)
O2 saturation (%)
0,03 - 0,29
0,02 - 0,28
0,13 - 0,65
0,12 - 0,56
NH3-N (mg/l)
0,01 - 0,20
0,02 - 0,16
0,01 - 0,15
0,06 - 0,09
TP (ppm)
0,02 - 0,04
0,01 - 0,53
0,03 - 0,12
0,01 - 0,67
Klorofil-a (µg/l)
7,60 - 17,11
1,84 - 17,11
Warna air
. Tengah
11,87 - 26,08 Hijau
Kecerahan (cm)
70 - 115
Kedalaman (m)
26 - 36
Suhu air (oC)
30,5 - 32
O2 terlarut (mg/l)
4,54 - 9.56
28 - 29.5
26 - 29
26 - 28
5,02 - 6.32
3.75 - 5,83
0,0 - 2,59
o
(S: 07 16'09.9" E:110o49'19.9")
O2 saturation (%)
61 - 129
58 - 84
50 - 74
Jun-32
TN (mg/l) NH3-N (mg/l)
0,15 - 0,76 0,05 - 0,23
0,14 - 0,58 0,01 - 0,18
0,05 - 0,43 0,03 - 0,21
0,39 - 0, 93 0,02 - 0,19
TP (ppm)
0,01 - 0,05
0,02 - 0,04
0,03 - 0,05
0,01 - 0,09
Klorofil-a (µg/l)
3,23 - 27,8
7,60 - 19,62
Warna air
66
2,31 - 26,08 Hijau
Kecerahan (cm)
60 - 90
Kedalaman (m)
21 - 27
BAWAL WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP Pedoman bagi Penulis UMUM 1. Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap memuat hasil-hasil penelitian bidang “natural history” ikan (pemijahan, pertumbuhan serta kebiasaan makan dan makanan) serta lingkungan sumberdaya ikan. 2. Naskah yang dikirim asli dan jelas tujuan, bahan yang digunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah dipublikasikan atau dikirimkan untuk dipublikasikan di mana saja. 3. Naskah ditulis/diketik dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak diperkenankan menggunakan singkatan yang tidak umum 4. Naskah diketik dengan program MS-Word dalam 2 spasi , margin 4 cm (kiri)-3 cm (atas)-3 cm (bawah) dan 3 cm (kanan), kertas A4, font 12-times news roman, jumlah naskah maksimal 15 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya. Penulis dapat mengirimkan naskah ke Redaksi Pelaksana BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jl. Pasir Putih No.1 Ancol, Jakarta Utara 14430, Telp.: (021) 64711940, Fax.: (021) 6402640, E-mail:
[email protected]. 5. Dewan Redaksi berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan. PENYIAPAN NASKAH 1.
Judul
2.
Abstrak
3.
Kata Kunci
4.
Pendahuluan
5.
Bahan dan Metode
6.
Hasil dan Bahasan
7.
Kesimpulan
8. 9.
Persantunan Daftar Pustaka
Contoh
10. Tabel 11. Gambar
: Naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama penulis. Jabatan atau instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama. : Dibuat dengan Bahasa Indonesia dan Inggris paling banyak 250 kata, isinya ringkas dan jelas serta mewakili isi naskah. : Ditulis dengan Bahasa Indonesia dan Inggris, terdiri atas 4 sampai 6 kata ditulis dibawah abstrak dan dipilih dengan mengacu pada agrovocs. : Secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan sub bab. : Secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait. : Diuraikan secara jelas serta dibahas sesuai dengan topik atau permasalahan yang terkait dengan judul. : Disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian. : Memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah. : Disusun berdasarkan pada abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut. Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku atau nama dan nomor jurnal, penerbit dan kota, serta jumlah atau nomor halaman.
: Sunarno, M. T. D., A. Wibowo, & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Tulang Bawang, Kampar, dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. J.Lit.Perikan.Ind. 13 (3). 1-14. Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Ind.Fish Res J. 12 (2). 129-157. Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scintific Publishing Company. New York. 318 p. Defeo, O., T. R. Mc Clanahan, & J. C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J. C. Castilla (eds). Fisheries Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing. Singapore. p. 3-24. Utomo, A. D., M. T. D. Sunarno, & S. Adjie. 2005. Teknik peningkatan produksi perikanan perairan umum di rawa banjiran melalui penyediaan suaka perikanan. In Wiadnyana, N. N., E. S. Kartamihardja, D. I. Hartoto, A. Sarnita, & M. T. D. Sunarno (eds). Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia Ke-1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. p. 185-192. Publikasi yang tak diterbitkan tidak dapat digunakan, kecuali tesis, seperti contoh sebagai berikut: Anderson, M.E, Satria F. 2007. A New Subfamily, Genus, and Species of Pearlfish (Teleostei: Ophidiiformes: Carapidae) from Deep Water off Indonesia. Species Diversity 12: 73-82.
: Disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan. : Skema, diagram alir, dan potret diberi nomor urut dengan angka Arab. Judul dan keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. 12. Foto : Dipilih warna kontras atau foto hitam putih, judul foto ditulis dalam dua Bahasa Indonesia dan Inggris, dan nomor urut di sebaliknya. Dicetak dalam kertas foto atau dalam bentuk digital. 13. Cetak Lepas (Reprint) : Penulis akan menerima cetak lepas secara cuma-cuma. Bagi tulisan yang disusun oleh lebih dari seorang penulis, pembagiannya diserahkan pada yang bersangkutan.