ISSN 1907-8226
BAWAL WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP Volume 5 Nomor 2 Agustus 2013 Nomor Akreditasi : 419/AU/P2MI-LIPI/04/2012 (Periode: April 2012-April 2015) BAWAL, Widya Riset Perikanan Tangkap adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum. Publikasi ini memuat hasil-hasil penelitian bidang “natural history” ikan (pemijahan, pertumbuhan, serta kebiasaan makan dan makanan) serta lingkungan sumber daya ikan. Terbit pertama kali tahun 2006 dengan frekuensi penerbitan tiga kali dalam setahun, yaitu pada bulan: APRIL, AGUSTUS, DESEMBER. Ketua Redaksi: Drs. Bambang Sumiono, M.Si (Biologi Perikanan-P4KSI) Anggota: Prof. Dr. Wudianto, M.Si (Teknologi Penangkapan Ikan-P4KSI) Prof. Dr. Ali Suman (Biologi Perikanan-BPPL) Prof. Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc. (Oseanografi Perikanan-LIPI) Dr. Agus Djoko Utomo, M.Si ( Biologi Perikanan-BRPPU) Ir. Sulastri (Limnologi-LIPI) Mitra Bestari untuk Nomor ini: Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc (Hidro Akustik Perikanan-IPB) Dr. Ir. Zainal Arifin, M.Sc. (Pencemaran Perairan-LIPI) Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal (Ikhtiologi-IPB) Dr. Estu Nugroho (Genetika Populasi Ikan-BPPAT) Lilis Sadiyah, Ph.D. (Permodelan Perikanan-P4KSI) Redaksi Pelaksana: Ralph Thomas Mahulette, S.Pi., M.Si. Kharisma Citra, S.Sn. Desain Grafis: Darwanto, S.Sos.
Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Gedung Balitbang KP II Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telp. (021) 64700928; Fax. (021) 64700929 Email:
[email protected] BAWAL-WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan - Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan.
KATA PENGANTAR Widya Riset Perikanan Tangkap “BAWAL” merupakan wadah untuk menyampaikan informasi hasil penelitian yang dilakukan para peneliti dari dalam maupun luar lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber daya Ikan. Informasi-informasi tersebut sangat berguna bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) terutama para pengambil kebijakan sebagai dasar dalam pengelolaan perikanan dan konservasi sumberdaya ikan di laut maupun perairan umum daratan. Seiring dengan terbitnya Widya Riset Perikanan Tangkap Bawal Volume 5 Nomor 2 Agustus 2013 ini, kami ucapkan terima kasih kepada para Evaluator dan Mitra Bestari atas kesediaannya dalam menelaah beberapa naskah. Pada volume ini, Bawal menampilkan delapan artikel hasil penelitian perikanan di perairan umum daratan dan perairan laut. Delapan artikel tersebut mengulas tentang, beberapa aspek biologi ikan kurau (Polynemus dubius) di estuari sungai Indragiri, Riau, distribusi, kelimpahan dan variasi ukuran larva ikan di estuaria sungai Musi, dinamika populasi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di perairan Tangerang–Banten, biologi reproduksi ikan betutu (Oxyeleotris marmorata) di waduk Kedung Ombo Propinsi Jawa Tengah, hubungan panjang-berat dan faktor kondisi lobster batu (Panulirus penicillatus) di perairan selatan Gunung Kidul dan Pacitan, karakteristik biologi cumi-cumi di perairan Laut Jawa, potensi invasif ikan zebra cichlid (Amatitlania nigrofasciata Günther, 1867) di Danau Beratan, Bali ditinjau dari aspek biologinya, laju tangkap, kepadatan stok dan beberapa aspek biologi udang jerbung (Penaeus merguiensis) di perairan Dolak, Laut Arafura. Semua artikel pada edisi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang perikanan tangkap di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para penulis dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam edisi ini.
Redaksi
i
ISBN 1907-8226 BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap Volume 5 Nomor 2 Agustus 2013 DAFTAR ISI KATAPENGANTAR ………………………………………………………………………………...........................
i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………..............
iii
Beberapa Aspek Biologi Ikan Kurau (Polynemus dubius) di Estuari Sungai Indragiri, Riau Oleh: Asyari dan Herlan…………………………………………………………………………………………………………
67-72
Distribusi, Kelimpahan dan Variasi Ukuran Larva Ikan di Estuaria Sungai Musi Oleh: Eko Prianto, Syarifah Nurdawaty, dan Mohammad Mukhlis Kamal………………………………………
73-79
Dinamika Populasi Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) di Perairan Tangerang – Banten Oleh: Prihatiningsih, Bambang Sadhotomo, dan Muhamad Taufik……………………………………………
81-87
Biologi Reproduksi Ikan Betutu (Oxyeleotris marmorata) di Waduk Kedung Ombo Propinsi Jawa Tengah Oleh: Khoirul Fatah dan Susilo Adjie……………………………………………………………………………………………
89-96
Hubungan Panjang-Berat dan Faktor Kondisi Lobster Batu (Panulirus penicillatus) di Perairan Selatan Gunung Kidul dan Pacitan Oleh: Mohammad Fauzi, Andhika Prima Prasetyo, Ignatius Tri Hargiyatno, Fayakun Satria, dan Andria Ansri Utama
97-102
Karakteristik Biologi Cumi-Cumi di Perairan Laut Jawa Oleh: Reny Puspasari dan Setya Triharyuni………………………………………………………………………………………
103-111
Potensi Invasif Ikan Zebra Cichlid (Amatitlania nigrofasciata Günther, 1867) di Danau Beratan, Bali Ditinjau dari Aspek Biologinya Oleh: Agus Arifin Sentosa dan Danu Wijaya……………………………………………………………………………….
113-121
Laju Tangkap, Kepadatan Stok dan Beberapa Aspek Biologi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis) di Perairan Dolak, Laut Arafura Oleh: Ignatius Tri Hargiyatno, Bambang Sumiono, dan Suharyanto .........................................................................
123-129
iii
BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 67-72
BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN KURAU (Polynemus dubius) DI ESTUARI SUNGAI INDRAGIRI, RIAU SOME BIOLOGICAL ASPECT OF EASTERN PARADISE FISH (Polynemus dubius) IN IDRAGIRI RIVER ESTUARY, RIAU Asyari dan Herlan Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang Teregistrasi I tanggal: 04 Juni 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 April 2013; Disetujui terbit tanggal: 21 Juni 2013 Email:
[email protected]
ABSTRAK Ikan kurau (Polynemus dubius) merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi penting di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Penelitian tentang aspek biologi meliputi hubungan panjang-berat, jenis pakan dan kebiasaan makan, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan indek kematangan gonad dilakukan pada bulan Maret, Mei, Juli dan Oktober 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan panjang - berat ikan kurau mengikuti persamaan W = 0, 005 L 2,9851 , dengan nilai b = 3. Dengan demikian ikan kurau mempunyai pola pertumbuhan yang isometrik dimana terdapat keseimbangan antara pertumbuhan panjang dengan pertumbuhan berat. Ikan kurau bersifat karnivora dengan pakan utama jenis udang-udangan (krustasea) dan ikan-ikan kecil. Proses kematangan gonad terjadi secara bertahap dan ikan kurau diduga mengalami pemijahan secara tidak serentak (partial spawning). Fekunditas ikan kurau berkisar antara 5.468 – 10.256 butir dengan indeks kematangan gonad antara 7,64 % - 11,00 %. KATA KUNCI : Aspek biologi, ikan kurau, Polynemus dubius, estuari, Sungai Indragiri ABSTRACT: Eastern paradise fish (Polynemus dubius) is one of species of fish which have economic value in the Distric of Indragiri Hilir, Riau. Research was carried out regarding length-weight relationship, food and feeding habits, maturity stage, fecundity and gonad maturity index. Data collected in March, May, July and October 2011. The results showed that the length-weight relationship of Eastern paradise fish (Polynemus dubius) follow the equation of W = 0. 005 L 2.9851 with value of b = 3. It means that have isometric growth pattern where there is a balance between growth in length and weight. As a carnivore fish, it has main feeding of Cruatacean and small fish. Gonad maturation process was gradual and no simultaneously (partial spawning). Mean while the fecundity in the range of 5,468 – 10,256 eggs with gonad maturity index between 7.64 % - 11.00%. KEYWORDS : Biology aspects, eastern paradise fish, Polynemus dubius, estuary, Indragiri River
PENDAHULUAN Estuari adalah perairan semi tertutup yang berhubungan dengan laut, sehingga air laut yang bersalinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar (sungai) yang bersalinitas rendah (Pritchard, 1967). Estuari dikenal sebagai daerah pembesaran (nursery ground) bagi berbagai jenis ikan, invertebrata (Crustacea, Bivalva, Echinodermata, Annelida) dan kelompok fauna lainnya. Jenis ikan kurau, baronang dan sunu menggunakan daerah estuari sebagai daerah pemijahan dan sebagai tempat mencari makan (Kasim, 2005). Sungai Indragiri di Propinsi Riau mempunyai panjang sekitar 250 km dengan kedalaman antara 6 – 12 m. Bagian hulu sungai ini disebut Batang Kuantan yang berhubungan dengan Danau Singkarak di Provinsi Sumatera Barat. Perairan estuari Sungai Indragiri dikenal sebagai penghasil beberapa jenis ikan khas daerah muara Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang Jl. Beringin 308 Mariana, Palembang 30763
sungai antara lain belanak, kurau, gulama, lome, beberapa jenis udang dan kepiting (Anonimus, 2008a). Habitat ikan kurau (Polynemus dubius) terdapat di perairan muara sungai yang dangkal dengan dasar berlumpur bahkan sering memasuki daerah sungai di pedalaman atau perairan tawar. Daerah penyebaran di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan dan Sulawesi (Weber & Beaufort, 1922). Selain itu juga ditemukan di Thailand dan negara-negara Asia Tenggara lainnya (Kottelat et al., 1993). Ikan kurau bersama beberapa jenis ikan demersal lainnya seperti ikan gerot-gerot, bawal hitam, kurisi, layur, pari, cucut dan baronang dikelompokkan kedalam kelas komersial nomor dua (Widodo et al., 1999). Hamidy et al. (1983) mengatakan ikan kurau di Kabupaten Indragiri Hilir merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi cukup penting dan
67
Asyari dan Herlan / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 67-72
berharga mahal terutama yang berukuran di atas 1 kg. Potensi ikan kurau di perairan pantai timur Provinsi Riau sebesar 87 ton/tahun (Anonimus, 2010). Ikan kurau di perairan estuari Indragiri umumnya ditangkap oleh nelayan dengan bermacam alat tangkap seperti : trawl, gill net, tuguk, pukat pantai dan pancing. Ikan ini bersama jenis ekonomis lainnya dipasarkan dalam keadaan segar atau diberi es terutama ke kota Pekanbaru. Menurut Suradiwijaya et al. (2009) penangkapan ikan yang terus meningkat dapat mengakibatkan pemanfaatan yang melebihi batas MSY (Maximum Sustainable Yield) sehingga terjadi lebih tangkap (overfishing). Menurut para nelayan ikan kurau yang tertangkap sekarang jumlahnya makin sedikit dan ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasil tangkapan beberapa tahun yang lalu. Mengingat harganya yang mahal dan tingginya minat masyarakat terhadap ikan kurau, sementara hasil tangkapan nelayan makin lama makin menurun, dikhawatirkan ikan
ini menjadi langka. Informasi mengenai beberapa aspek biologi seperti hubungan panjang-berat, kebiasaan makanan, tingkat kematangan gonad dan fekunditas ikan kurau di muara Sungai Indragiri masih sangat terbatas. Aspek biologi ini sangat penting sebagai acuan dalam upaya pengelolaan yang rasional khususnya di perairan Riau. BAHAN DAN METODE Data dikumpulkan pada bulan Maret, Mei, Juli dan Oktober 2011. Contoh ikan diperoleh dari hasil tangkapan mini trawl yang beroperasi di muara Sungai Indragiri Hilir. Pengambilan sampel dilakukan pada beberapa lokasi yaitu : 1. Terusan Mas, 2. Tanjung Lian, 3. Tanjung Lajau, 4. Muara Sungai Merusi, 5. Sungai Buluh, 6. Kuala Sungai Indragiri, 7. Sungai Merusi, 8. Concong Dalam, 9. Sungai Majenai, 10. Sungai Perigiraja dan 11. Kuala Sungai Perigiraja (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi stasiun penangkapan ikan di estuari Sungai Indradiri, 2011 Figure 1. Map showing sampling site in Indragiri estuarine waters, 2011 Ikan yang tertangkap diukur panjang dan berat tubuhnya. Analisis hubungan panjang-berat mengikuti hukum kubik bahwa bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya yang mengacu pada persamaan dari Effendie (1992) sebagai berikut :
Uji-t : Ho : b = 3 (isometrik), pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan berat. H1 : b 3 (Allometrik positif/negatif), pertambahan panjang tidak sebanding dengan pertambahan berat. t hitung > t. tabel = beda nyata (tolak H0, terima H1) t hitung < t. tabel = tidak berbeda nyata (terima H0, tolak H1 )
W=aLb Keterangan : W = bobot ikan (gram) L = panjang ikan (cm) a = intercept (perpotongan antara garis regresi dengan sumbu y) b = koefisien regresi (sudut kemiringan garis) Nilai b yang didapatkan dilanjutkan dengan uji t (t. tabel) pada tingkat signifikasi 95%. 68
Kebiasaan makan ikan, diketahui dengan cara mengamati isi lambung dengan metode indeks bagian terbesar (Index of preponderance) dari Natarajan & Jhingran (1961) dalam Effendie (1992) sebagai berikut : Vi x Fi IP = —————— x 100% Vi x Fi
Asyari dan Herlan / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 67-72
Keterangan : IP = Index of preponderance Vi = persentase volume pakan ke-i Fi = persentase frekuensi kejadian pakan ke-i Vi Fi = jumlah Vi x Fi dari semua macam makanan Penentuan tingkat kematangan gonad didasarkan kepada modifikasi (Cassie, 1954; dalam Effendie, 1992) yang terdiri atas TKG I – TKG V. Fekunditas dihitung sebagai jumlah telur yang terdapat dalam ovari pada ikan yang telah matang gonad (TKG IV). Fekunditas total dihitung berdasarkan metoda grafimetrik (Effendie, 1992) sebagai berikut :
yang banyak dikonsumsi berturut-turut adalah krustasea sebesar 47,5 %, potongan ikan 38 %, cacing (Annelida) 6,5 % dan siput (Mollusca) 3,2 %, sedangkan bagian yang tidak teridentifikasi sebesar 4,8 % (Gambar 3). Berdasarkan komposisi makanan yang dikonsumsi tersebut menunjukkan bahwa ikan kurau bersifat karnivora/ pemangsa hewan. Tiga jenis krustasea yang ditemukan di dalam lambung adalah udang putih (Penaeus merguensis), udang pepeh (Metapenaeus ensis) dan udang duri (Metapenaeus. sp). Sedangkan potongan ikan yang terdapat di lambung ikan kurau yaitu : ikan duri (Arius leiotocephalus), bilis (Clupeichthys goniognathus) dan bulu ayam (Coilia lindmani).
F=(G/g) n
Indeks Kematangan Gonad (IKG) dihitung dengan cara mengukur bobot gonad dan bobot tubuh ikan termasuk gonadnya mengacu kepada Effendie (1992) sebagai berikut :
W = 0.005L2.9851 r² = 0.929 n = 316
50
Berat (gram)
Keterangan : F = jumlah total gonad (fekunditas) G = bobot gonad tiap satu ekor ikan g = bobot sebagian gonad (sampel) satu ekor ikan n = jumlah telur dari sampel gonad
60
40 30 20 10 0 0
5
Bg IKG = ___________ x 100 % Bi Keterangan : IKG = Indeks kematangan gonad Bg = Bobot gonad (gram) Bi = Bobot ikan (gram)
10
25
Komposisi isi lambung
HASIL
50% Persentase
Analisis hubungan-panjang berat terhadap 316 ekor ikan kurau (Polynemus dubius), menunjukkan pola pertumbuhannya mengikuti persamaan : W = 0. 005 L 2,9851 dengan nilai r2 = 0,929 (Gambar 2). Setelah dilakukan uji t pada tingkat signifikasi 95 %, ternyata nilai b ini mempunyai nilai thitung < ttabel yang berarti nilai b = 3. Dengan demikian ikan kurau mempunyai pola pertumbuhan isometrik dimana terdapat keseimbangan antara pertumbuhan panjang dengan pertumbuhan berat.
20
Gambar 2. Hubungan panjang-berat ikan kurau (Polynemus dubius). Figure 2. Length-weight relationship of eastern paradise fish (Polynemus dubius).
HASIL DAN BAHASAN
Hubungan Panjang-Berat
15
Panjang total (cm)
40% 30% 20% 10% 0% A
B
C D Jenis pakan
E
Kebiasaan Makan
Gambar 3. Komposisi isi lambung ikan kurau (Polynemus dubius) di estuari Sungai Indragiri. Figure 3. Diet composition of easter paradise fish (Polynemus dubius) in Indragiri estuarine waters.
Ikan kurau yang dianalisa isi lambungnya berjumlah 17 ekor dengan ukuran panjang total bervariasi antara 14,2 – 22,3 cm dan berat antara 16,6 gram – 56 gram. Makanan
Keterangan/Remarks : A = Krustasea= 47,5 % ; B = Potongan ikan= 38 % C = Annelida = 6,5 % ; D = Mollusca = 3,2 % E = Tak teridentifikasi = 4,8 %
69
Asyari dan Herlan / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 67-72
Tingkat Kematangan Gonad Ikan kurau mengalami proses pematangan gonad dari bulan Maret sampai Oktober secara bertahap. Pada pengamatan bulan Maret, Mei dan Juli belum ditemukan ikan kurau yang memijah, namun pada pengamatan bulan Oktober sudah ada ikan kurau yang memijah, ditandai dengan adanya tingkat kematangan gonad Tingkat V sebesar 7,1 % (Tabel 1). Dari hasil pengamatan tingkat kematangan gonad, diperkirakan ikan kurau mengalami pemijahan secara bertahap (parsial) sesuai dengan persentase tingkat kematangan dari bulan ke bulan. Tabel 1. Tingkat kematangan gonad ikan kurau di estuari Sungai Indragiri. Table 1. Gonad maturity stage of eastern paradise fish in Indragiri estuarine waters. Tingkat Kematangan Gonad I II III IV V
Maret (n = 16) 62,5 37,5 -
Persentase TKG Mei Juli (n= 18) (n=20) 22,2 55,6 20 22,2 40 40 -
Oktober (n=14) 42,9 50,0 7,1
Fekunditas dan Indek Kematangan Gonad Fekunditas ikan kurau di estuari Sungai Indragiri berkisar antara 5.468 – 10.256 butir, sedangkan nilai indek kematangan gonad (IKG) ikan kurau pada TKG IV antara 7,64 % - 11,00 %. (Tabel 2). Tabel 2. Fekunditas dan indek kematangan gonad (IKG) ikan kurau di estuary Sungai Indragiri, Riau. Table 2. Fecundity and gonado somatic index of eastern paradise fish in Indragiri estuarine waters, Riau. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Panjang (cm) 19,7 16,7 18,4 22,3 17,6 17,1
Berat (gram) 55,25 28,0 30,3 56,0 29,4 28,8
Fekunditas (butir) 9.700 5.468 6.840 10.256 6.610 7.146
IKG (%) 8,94 11,00 10,23 7,64 9,66 9,20
BAHASAN Hubungan Panjang-Berat Penentuan biomassa dapat dilakukan melalui pengukuran berat ikan dan dapat digunakan untuk
70
mengestimasi produksi perikanan (Smith, 1996). Selain itu pengukuran panjang-berat yang dihubungkan dengan umur dapat memberikan informasi tentang komposisi stok, umur matang gonad, mortalitas, siklus hidup dan pertumbuhan (Fatioye & Oluajo, 2005). Hasil penelitian ini sama dengan ikan dari famili Polynemidae lainnya yaitu ikan senangin (Eleutheronema tetradactylum) di muara Sungai Musi yang juga mempunyai pola pertumbuhan isometrik dengan persamaan panjang-berat : W = 1,253L 3,0382 (Djamali et al., 1988). Muthmainnah (2008) mendapatkan pola pertumbuhan yang bersifat alometrik negatif untuk ikan janggutan (Polynemus longipectoralis) di estuari Sungai Musi, yang berarti pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertumbuhan berat. Perbedaan hasil tersebut antara lain disebabkan oleh jenis ikan dan waktu penelitian yang berbeda. Menurut (Effendie, 1992). pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : jumlah dan ukuran makan yang tersedia, jumlah ikan yang menggunakan sumber makanan, suhu, oksigen terlarut, kualitas air, umur ikan dan tingkat kematangan gonad. Kebiasaan Makan Terdapat 3 golongan pakan ikan ditinjau dari jumlah makanan pada lambung ikan yaitu pakan utama, pakan pelengkap dan pakan tambahan. Sebagai batasan, dimaksud dengan pakan utama adalah jenis pakan yang mempunyai index of preponderance (IP) lebih besar dari 25 %, pakan pelengkap mempunyai IP antara 4 – 25 %, sedangkan pakan tambahan memiliki IP kurang dari 4 % (Nikolsky,1963). Makanan bagi ikan dapat merupakan faktor yang menentukan populasi, pertumbuhan dan kondisi ikan. Jenis makanan satu spesies ikan biasanya tergantung pada umur, tempat, waktu dan alat pencernaan dari ikan itu sendiri, dengan mengetahui makanan atau kebiasaan makan satu jenis ikan dapat dilihat hubungan ekologi antara ikan dengan organisme lain yang ada di suatu perairan, misalnya bentuk-bentuk pemangsaan, saingan dan rantai makanan (Effendie, 1992). Menurut Anonimus (2008b), ikan kuro (Polynemidae) dapat memangsa krustasea kecil, ikan kecil dan organisme dasar lainnya. Selain itu, menurut Motomura (2004) makanan ikan jenis Polynemus dubius adalah krustasea, ikan kecil dan hewan-hewan zoobenthos yang terdapat di perairan berlumpur atau berpasir di daerah estuari atau kuala. Bila dibandingkan dengan ikan janggutan (Polynemus longipectoralis) yang terdapat di perairan estuari Sungai Musi, hasil penelitian ini ternyata tidak
Asyari dan Herlan / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 67-72
jauh berbeda. Menurut Muthmainnah (2008) ikan janggutan juga memakan udang sebagai pakan utamanya. Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan hal yang sangat penting dari suatu siklus hidup ikan. Mengetahui tingkat kematangan gonad ikan dapat memberikan keterangan yang berarti mengenai frekuensi, musim pemijahan, ukuran ikan pertama kali matang gonad dan memijah (Nikolsky, 1963). Ikan kurau memijah secara bertahap (parsial). Menurut Wootton & Pott (1984) tidak samanya proses pematangan gonad merupakan indikasi bahwa ikan ini termasuk ikan yang memijah secara tidak serentak (partial spawning), karena proses pematangan telur di dalam ovary atau peristiwa miosis yang berlangsung juga tidak serentak. Hasil pengamatan ikan kurau di muara Sungai Indragiri Hilir menunjukkan ikan kurau sudah ada yang memijah pada bulan Oktober. Diindikasikan dengan diperoleh sejumlah contoh ikan dengan kondisi gonad selesai memijah (Tk.V) dengan ciri-ciri kantong telur telah kempes atau berkerut pertanda selesai memijah. Wawancara dengan beberapa nelayan, mengemukakan biasanya ikan kurau memijah atau menetas pada musim hujan antara bulan Oktober – Februari. Satu ekor induk ikan dapat mengalami 2 - 3 tiga kali pemijahan pada musim tersebut. Fekunditas dan Indek Kematangan Gonad Bila dibandingkan dengan ikan Polynemus paradiseus yang diteliti oleh Gupta (1967) di perairan estuari Roopnarayan India, fekunditas ikan kurau di Sungai Indragiri ternyata lebih rendah. Ikan kurau dari jenis Polynemus paradiseus dengan ukuran 15,4 – 30,7 cm, mempunyai fekunditas antara 6.842 – 39.010 butir. Fekunditas satu spesies ikan dipengaruhi oleh bobot dan panjang ikan, selain itu dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan, genetis, ketersediaan pakan dan umur ikan (Royce, 1984). Menurut Nasution (2005), berat total ikan lebih berpengaruh terhadap jumlah fekunditas dibandingkan dengan panjang total ikan. Indek kematangan gonad (IKG) adalah suatu nilai persentase hasil perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan secara keseluruhan, nilai IKG semakin besar dengan semakin berkembangnya gonad sampai ikan memijah atau mengeluarkan telur. Dengan demikian telur ikan kurau berada pada indek kematangan gonad yang lebih kecil (< 20 %). Menurut Bagenal (1978) dalam Nasution (2005), ikan betina yang mempunyai nilai IKG lebih kecil dari 20 % dapat melakukan pemijahan beberapa kali setiap tahunnya.
KESIMPULAN 1. Pola pertumbuhan ikan kurau bersifat isometrik, dimana terdapat keseimbangan antara pertumbuhan panjang dengan pertumbuhan berat. 2. Ikan kurau bersifat karnivora dengan pakan utama sekitar 48 % berupa udang putih (Penaeus merguensis), udang pepeh (Metapenaeus ensis) dan udang duri (Metapenaeus. sp). 3. Proses kematangan gonad ikan kurau terjadi secara bertahap, diduga mengalami pemijahan secara tidak serentak (partial spawning). Fekunditas ikan kurau berkisar antara 5.468 – 10.256 butir dengan indeks kematangan gonad antara 7,64 % - 11,00 %. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan Penelitian Kajian Stok dan Bioekologi Sumber Daya Ikan di Perairan Estuari Sungai Indragiri Propinsi Riau tahun anggaran 2011 yang didanai APBN di Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2008a. Hutan mangrove di Indragiri Hilir rusak parah. http://mukhtarapi.blogspot.com.2008/06/ hutanmangrovedi indragiri-hilir-rusak-html. Diunduh 28 November 2011. Anonimous. 2008b. Direktorat Jenderal Perikanan, Buku pedoman pengenalan sumberdaya perikanan laut. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian Jakarta. 167 p. Anonimus. 2010. Potensi perikanan tangkap di Riau, dalam Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2009. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Jakarta. http:// regionalinvestemen.bkpm.go.id/newsipid/id/ commodityarea.php. Diunduh tanggal 6 Agustus 2012. Djamali, A., Burhanuddin & S.Martosewojo. 1988. Telaah biologi ikan kuro (Eleutheronema tetradactylum) Polynemidae di muara Sungai Musi Sumatera Selatan. Dalam Perairan Indonesia ; Biologi, Budidaya, Kualitas perairan dan Osenografi. Balai Penelitian Bilogi Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Osenologi. LIPI, Jakarta. 83-86. Effendie, M.I. 1992. Metoda Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan. Bagian Ichtiology IPB : 112 p. Fatioye, O.O & Oluajo,O.A. 2005. Length-weight relationships of five fish species in Epe Lagoon, Negeria. African Journal of biotechnology. 4 (7): 749-751. 71
Asyari dan Herlan / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 67-72
Gupta, M.V. 1967. Observation on the fecundity of Polynemus paradiseus. Linn from the hooghly estuarine system. Journal Marine .Biol. Ass. U.K . 34 B.(6): 330-345. Hamidy, R., M. Ahmad., T. Dahril., H. Alawi., M.M. Siregar & C.P.Pulungan. 1983. Identifikasi dan inventarisasi jenis ikan di Sungai Siak, Riau. Pusat Penelitian Universitas Riau. Pekanbaru. 63 p. Kasim, M. 2005. Estuary : Lingkungan unik yang sangat penting/Lingkungan ekosistem pesisir. http:// marufwordpress.com /tag/estuary/. Diunduh tanggal 25 April 2011. Kottelat, M; A. J Whitten; S.N Kartikasari & S. Wirjoatmodjo, 1993. Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus EditionsProyek EMDI. Jakarta : 293 hal. Motomura. 2004. Food and feeding habits Polynemus dubius. www.fishbase.us/./foodltems Summary.php?. Wikipedia, the free encyclopedia. Diunduh tanggal 22 Desember 2011. Muthmainnah, D. 2008. Length-weight relationship and food habits of Polynemus longipectoralis in lower part of Musi River. Book 2. General paper, proceeding International conference on Indonesian inland waters. 17 - 18 November, Research Institute for Inland Fisheries, Research Centre for Capture Fisheries, Marine and Fisheries Research Agency. 51-54. Nasution, S.H. 2005. Karakteristik reproduksi ikan endemik rainbow selebensis (Telmatherina celebencis Boulenger) di Danau Towuti. Jurnal Penelitian
72
Perikanan Indonesia. Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan Dan Perikanan. 11 (2): 29-37. Nikolsky, G.V. 1963. The ecology of fishes. Academic Press: 325 p. Pritchard. 1967. Observation of circulation coastal plain estuaries. In G. Lauff (Ed) : Estuaries. American Assosiation for the Advancement og Science. Pcb I. No. 83, Washington D-C. 37-44. Royce, W. 1984. Introduction to the practice of fishery science. Academic Press Inc. New York: 753 p. Suradiwijaya, S., P.Sudarsono & G.A Sulistiawati.2009. Beberapa aspek biologi ikan kuniran (Upeneus. spp) di Perairan Demak. Jurnal Saintek Perikanan. 5 (1): 1-6. Smith, K.M.M. 1996. Length-weight relationships of fishes in a diverse tropical freshwater cunnunity, Sabah, Malaysia. Journal of fish biology (49). p.731- 734. Weber, M & De Beaufort. 1922. The fishes of the IndoAustralian Archipelago. E.J Brill Ltd. Leiden. I – XII. 410 p. Widodo.,Salim. S., Tapsirin & Soewito. 1999. Sumberdaya perikanan demersal di perairan Arafura dan sekitarnya. Balai Pengembangan Penangkapan ikan. Semarang. 82 p. Wootton, R.J & Pott, G.W. 1984. Fish reproduction : Strategies and Tacties. Academic Press. London. p. 55-75.
BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 73-79
DISTRIBUSI, KELIMPAHAN DAN VARIASI UKURAN LARVA IKAN DI ESTUARIA SUNGAI MUSI DISTRIBUTION, ABUNDANCE AND VARIATION IN SIZE OF FISH LARVAE ON MUSI RIVER ESTUARY Eko Prianto1, Syarifah Nurdawaty2 dan Mohammad Mukhlis Kamal3 Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan-Jakarta 2) Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum-Muara Baru 3) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Teregistrasi I tanggal: 09 Maret 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 28 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 31 Mei 2013 E-mail:
[email protected] 1)
ABSTRAK Penelitian tentang distribusi, kelimpahan dan ukuran larva ikan dilakukan pada bulan Maret, Mei, Juni dan Oktober 2011. Stasiun pengambilan contoh meliputi Muara Delta Upang (stasiun 1), Muara Sungai Musi (stasiun 2) dan Pulau Payung (stasiun 3). Pengambilan larva pada siang hari menggunakan Bongo net yang berukuran mata jaring 250 μm. Hasil identifikasi diperoleh 13 famili ditinjau menurut musim, pada bulan Mei dan Oktober masingmasing diperoleh 7 famili, dan pada bulan Juni sebanyak 3 famili. Kelimpahan larva ikan berkisar antara 9-46 ind/ m3 dengan jumlah yang tertinggi (46 ind/m3) pada bulan Mei dan terendah pada bulan Juni (9 ind/m3). Larva ikan dari famili Gobiidae memiliki sebaran yang cukup luas baik spasial maupun temporal. Variasi ukuran larva ikan menurut famili setiap bulannya memiliki variasi ukuran yang hampir sama. KATA KUNCI: Larva ikan, estuaria sungai Musi ABSTRAC Research about the distribution, abundance and size of fish larvae was conducted in March, May, June and October 2011. Sampling stations encompasses Delta Upang (station 1), Muara Sungai Musi (station 2) and Pulau Payung (station 3). Larvae taken during the daytime using a Bongo net with mesh size of 250 μm. Identification results obtained 13 families based on the season, in May and October respectively 7 families, and in June as many as 3 families. Abundance of fish larval around 9-46 ind/m3 with the highest number (46 ind/m3) in May and the lowest in June (9 ind/m3). Larvae of Gobiidae family have a large distribution on spatial and temporal. The variation in size of fish larvae by family on each month are the same. KEYWORD: Fish larvae, Musi river estuary
PENDAHULUAN Kehidupan ikan pertama kali dimulai pada fase larva, dicirikan dengan pembentukan organ tubuh yang belum terbentuk secara sempurna. Pada fase ini pergerakan larva masih sangat lemah dan sangat tergantung dengan pergerakan arus. Sebagai sumber energi pada umur 0-3 hari, larva masih tergantung pada kuning telur yang dikandungnya sebagai sumber makanannya. Setelah kuning telur habis larva selanjutnya memakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran larva sangat kecil (mikroskopis), transparan dan bentuk tubuh masih sulit dibedakan dengan ukuran dewasa. Keberadaan larva didalam perairan sangat penting, sebagai suksesor atau menggantikan peran ikan-ikan dewasa dimasa mendatang. Jika pertumbuhan dan perkembangan larva ikan terganggu atau lambat maka dapat menyebabkan produksi ikan menurun. Menurut
Smith (1972) dalam Sediadi & Sidabutar (1994) melaporkan bahwa penelitian telur dan larva ikan sangat efektif untuk mengetahui perubahan relatif biomasa ikan hasil pemijahan (spawning biomassa). Walaupun seekor ikan dalam memijah dapat menghasilkan ribuan bahkan jutaan telur, namun pada perkembangannya tidak semua telur yang menetas bahkan ketika mencapai dewasa hanya tinggal beberapa puluh ekor yang mampu bertahan. Ekosistem estuaria merupakan salah satu habitat asuhan yang penting dalam siklus hidup perkembangan larva organisme perairan baik ikan maupun udang (McHugh, 1967 dalam Boehlert & Mundy, 1988). Kemampuan organisme perairan menempati suatu habitat, dipengaruhi adanya rangsangan untuk tinggal pada lingkungan tersebut guna kelangsungan hidupnya (Boehlert & Mundy, 1988). Beberapa jenis ikan bermigrasi antara perairan laut dan perairan tawar bertujuan untuk berkembang biak dan mencari pakan (Jobling, 1995).
Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Gedung Balitbang KP II, Jl. Pasir Putih II Ancol Timur, Jakarta Utara
73
E. Prianto, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 73-79
Menurut Mchugh (1967) dalam Bergan et al. (2002) sebagian besar ikan-ikan yang ditemukan di etuaria melakukan pemijahan di laut. Spesies laut memanfaatkan estuaria sebagai daerah pengasuhan khususnya setelah ikan berpijah. Larva ikan estuaria di daerah temperate dan subtropik cenderung mencapai puncak kelimpahan pada musim semi, panas dan musim gugur dan kelimpahan yang paling sedikit pada musim dingin Neira & Potter, 1994). Untuk estuaria di daerah tropik bahwa kelimpahan relatif larva ikan sebagian besar dipengaruhi oleh salinitas dan pasokan air tawar. Demikian pula, di daerah estuaria tropik wilayah lainnya, menunjukkan dampak pasokan air tawar terhadap komunitas ichthyofauna (Morais & Morais, 1994).
estuaria untuk memijah atau membesarkan larva. Hal ini disebabkan kandungan nutrien estuaria yang sangat tinggi untuk memenuhi kebutuhan makanan bagi larva ikan. Studi mengenai larva ikan secara komprehensif belum banyak dilakukan, sehingga informasi dan data mengenai larva ikan masih sangat sedikit. Penelitian tentang larva ikan di estuaria Indonesia telah dilakukan oleh Anggraeni (2007), Amarullah (2008), Subiyanto; Ruswahyuni & Cahyono (2008) dan Prianto; Kaban & Aprianti (2010). Informasi ini diperlukan dalam penyusunan pengelolaan sumberdaya perikanan di estuaria. Penelitian ini bertujuan mengetahui tentang distribusi, kelimpahan dan variasi ukuran larva ikan pelagis di estuaria sungai Musi. BAHAN DAN METODE
Pada umumnya jenis ikan yang memijah di perairan laut terbuka atau di teluk, komunitas larva ikan tersebut bermigrasi menuju ke perairan dimana dengan sedikit atau tanpa adanya tumbuhan (sea grass dan sea weeds, misal estuaria dan laguna), kecuali larva dari jenis ikan demersal (Pratt & Arnold, 2000). Informasi tentang penyebaran komunitas larva ikan pada perairan pantai relatif belum banyak dilaporkan baik mengenai survival, pola penyebaran maupun migrasinya (Stottrup, 2002). Ekosistem estuaria berfungsi sebagai tempat pemijahan dan tempat pengasuhan. Sehingga banyak ikanikan laut atau tawar yang bermigrasi memasuki perairan
Waktu dan Lokasi Pengamatan Penelitian ini dilaksanakan tahun 2011 di estuaria Sungai Musi. Jumlah stasiun pengambilan sampel sebanyak 3 titik. Pengambilan sampel pada masing-masing stasiun pengamatan dilakukan empat kali yaitu bulan Maret, Mei, Juni dan Oktober. Penentuan stasiun pengambilan contoh dilakukan pada lokasi yang mewakili perairan estuaria yaitu stasiun 1 (Muara Delta Upang), stasiun 2 (Muara Sungai Musi) dan stasiun 3 (Pulau Payung). Lokasi pengambilan contoh dijelaskan pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta menunjukkan lokasi pengambilan contoh larva ikan di muara sungai Musi, 2011 Figure 1. Map of fish larvae collection site in estuarine waters of Musi river, 2011
74
E. Prianto, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 73-79
Pengambilan Sampel Sampel larva ikan diambil dengan menggunakan Bonggo net berukuran mata jaring 250 μm selama 15 menit. Jumlah sampel air yang diambil sebanyak 500 ml dan diawetkan dengan menggunakan formalin 10 %. Sampel diamati di Laboratorium Hidrobiologi Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang. Larva ikan diukur panjang dan lebar tubuhnya dengan menggunakan mikrometer ketelitian 0.05 mm serta diidentifikasi sampai tingkat famili dengan menggunakan acuan Leis & CarsonEwart (2000). Untuk membedakan antara satu famili dengan lainnya dilakukan pengamatan morfologi terhadap bentuk tubuh, jumlah myomere, letak sirip dada, perut, punggung, bentuk sirip ekor, perbandingan ukuran panjang dengan lebar tubuh. Perbedaan morfologi tersebut yang dijadikan dasar dalam identifikasi larva. Pengukuran salinitas masing-masing lokasi penelitian dengan menggunakan salinometer. Analisis Data Kelimpahan larva ikan dihitung dengan menggunakan rumus (modifikasi APHA (2005): N = n / Vtsr .................................................................. (1) Vtsr = l x t x v ............................................................... (2) Keterangan : N = kelimpahan larva ikan (ind/m3), n = jumlah larva ikan yang tercacah (ind), Vtsr = volume air tersaring. l = luas bukaan mulut bonggo net (m). t = lama penarikan (menit). v = kecepatan tarikan (m/menit). HASIL DAN BAHASAN
temporal (musiman) yang luas adalah Gobiidae, dimana dapat ditemukan pada setiap bulan pengamatan (Tabel 2). Tabel 1. Distribusi larva ikan menurut stasiun pengamatan di estuaria Sungai Musi. Table 1. Fish larvae distribution based on sampling site in Musi river estuary.
No.
Famili
Stasiun 1
Stasiun Stasiun 2
1
Clupeidae
*
*
2
Gobiidae
*
*
3
Cheilodactylidae
*
Monocanthidae
*
*
5
Gonorynchidae
*
*
6
Chirocentridae
*
*
*
7
Ambassidae
*
8
Blennidae
*
9
Cynoglossidae
*
*
10
Fistulariidae
*
11
Callionymidae
*
12
Synodontidae Engraulidae
*
*
13
*
Tabel 2. Distribution temporal larva ikan di estuaria Sungai Musi Table 2. Temporary distribution of fish larvae at Musi river estuary
No.
Waktu Pengamatan
Famili Maret
Mei
Clupeidae
*
*
2
Gobiidae
*
*
Komposisi Jenis dan Distribusi Larva
3
Cheilodactylidae
*
Identifikasi larva ditemukan 13 famili dengan komposisi yang berbeda untuk masing-masing stasiun pengamatan (Tabel 1). Jumlah famili yang tertinggi (10 famili) dijumpai pada stasiun 1 dan terendah (4 famili) pada stasiun 3. Famili Gobiidae dan Chirocentridae memiliki distribusi cukup luas, dimana dapat ditemukan di seluruh stasiun penelitian. Sedangkan sebanyak 11 famili larva ikan hanya ditemukan lokasi tertentu saja.
4
Monocanthidae
*
*
5
Gonorynchidae
*
*
6
Chirocentridae
*
7
Ambassidae
*
8
Blennidae
*
Komposisi larva berdasarkan musim, menunjukkan jumlah famili tertinggi dijumpai pada bulan Mei dan Oktober masing-masing sebanyak 7 famili, dan terendah pada bulan Juni sebanyak 3 famili. Famili dengan sebaran
*
4
1
HASIL
Stasiun 3
Juni
Oktober
*
* * *
*
9
Cynoglossidae
10
Fistulariidae
*
11
Callionymidae
*
12
Synodontidae Engraulidae
*
13
*
*
75
E. Prianto, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 73-79
diduga lokasi tersebut memiliki habitat yang cocok untuk pemijahan dan pengasuhan larva ikan.
Kelimpahan Larva Ikan
Kelimpahan (Ind/m3)
Kelimpahan larva ikan berkisar antara 9-46 ind/m3, dengan jumlah tertinggi ditemukan pada bulan Mei dan terendah pada bulan Juni (Gambar 2). Gambar 2 dapat dilihat kelimpahan larva setiap bulan memiliki perbedaan yang mencolok. Pada bulan Maret dan Mei memiliki kelimpahan yang tinggi (masing 45 dan 46 ind/m 3) sedangkan bulan Juni dan Oktober memiliki kelimpahan yang lebih rendah (masing-masing 9 dan 15 ind/m3). 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Gambar 3. Kelimpahan larva ikan menurut stasiun pengamatan diperairan estuaria sungai Musi. Figure 3. The abundance of fish larvae based on sampling site in Musi river estuary Maret
Mei
Juni
Oktober
Variasi Ukuran Larva Ikan
Bulan
Gambar 2. Kelimpahan larva ikan di estuaria sungai Musi. Figure 2. The abundant of fish larvae in Musi river estuary Perbedaan kelimpahan larva ikan pada setiap stasiun kemungkinan disebabkan oleh faktor fisika-kimia perairan yang berbeda. Disamping itu, kondisi geomorfologi perairan juga mempengaruhi kesuburan perairan. Secara tidak langsung kesuburan perairan akan mempengaruhi kelimpahan meroplankon. Gambar 3 menunjukkan stasiun 1 memiliki kelimpahan rata-rata 65 ind/m3 dan stasiun 3 sebanyak 7 ind/m3. Tingginya kelimpahan di stasiun 1
Pada bulan Maret ukuran larva ikan terbesar memiliki panjang total 8 mm dan lebar 1,5 mm yaitu famili Clupeidae. Ukuran terkecil ditemukan pada famili Gobiidae dan Cheilodactylidae masing-masing memiliki panjang 3 mm dan lebar 0,5 mm. Pada bulan Mei ukuran larva ikan terbesar terdapat pada famili Gonorynchidae dengan panjang 9 mm dan lebar 1 mm, sedangkan ukuran terkecil pada famili Gobiidae dengan ukuran panjang 3 mm dan lebar 0,5 mm. Selanjutnya pada bulan Juli ukuran terbesar terdapat pada famili Chirocentridae dengan panjang 10 mm dan lebar 1 mm. Pada bulan Oktober ukuran terbesar terdapat pada famili Engraulidae dengan panjang 4,5 mm dan lebar 0,2 mm (Tabel 3).
Tabel 3. Variasi ukuran larva ikan pada setiap bulan pengamatan Table 3. Size variation of fish larvae based on observation by month
Keterangan/remarks : P = Panjang/length L = Lebar/width
76
E. Prianto, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 73-79
BAHASAN Gobiidae dan Chirocentridae merupakan famili yang ditemukan diseluruh lokasi sampling, sedangkan beberapa famili lainnya ditemukan hanya pada lokasi tertentu. Dengan demikian, penyebaran famili Gobiidae dan Chirocentridae cukup luas dan kedua famili tersebut memiliki toleransi atau kemampuan adaptasi yang baik terhadap perubahan salinitas yang besar (euryhaline), sehingga dapat ditemukan pada semua stasiun penelitian. Kedua famili tersebut dapat dijadikan indikator bahwa lokasi yang didiaminya termasuk perairan estuaria. Subiyanto et al. (2008) menyatakan famili Gobiidae dan Chirocentridae memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungan estuaria dan biasanya dominan tertangkap di perairan tersebut. Penelitian di estuaria sungai Musi diperoleh jumlah larva ikan sebanyak 6 famili yang terdiri dari Gobiidae, Antennariidae, Scombridae, Gonorynchidae, Schindleriidae dan Synodontidae (Prianto et al., 2010). Dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya maka terdapat perbedaan komposisi larva ikan. Perbedaan komposisi ini diduga karena perbedaan lokasi sampling dan waktu pengambilan sampel. Penelitian yang dilakukan Subiyanto et al. (2008) di estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan Cilacap diperoleh 15 famili yang didominasi oleh Clupeidae, Atherinidae, Pomacentridae dan Gobiidae. Raynie & Shaw (1994) dalam Añorve et al. (2003) menyatakan bahwa larva ikan di wilayah estuaria dapat berasal dari perairan laut atau air tawar atau berasal dari estuaria itu sendiri. Hasil pengamatan di laboratorium selama penelitian tahun 2011 diperoleh informasi bahwa beberapa jenis larva ikan merupakan spesies laut yang melakukan pemijahan di estuaria. Menurut Castro & Boncker (1996) jumlah jenis ichytoplankton di estuaria Caete-Brazil sebanyak 63 taxa dan 28 famili. Jumlah ini lebih tinggi dari estuaria di bagian utara Brazil yang terdiri dari 24 taxa dan 17 famili selanjutnya Krishnamurthy & Jeysaleelam (1981) melakukan penelitian di perairan estuaria India menemukan 195 taxa. Menurut Dianthani (2003) dalam Prianto et al. (2008), jumlah spesies di estuaria pada umumnya lebih sedikit dari pada di air tawar atau air laut didekatnya. Hal ini antara lain karena ketidakmampuan organisme air tawar mentolerir kenaikan salinitas sedangkan organisme air laut mampu mentolerir penurunan salinitas. Komposisi dan jumlah jenis larva pada setiap stasiun pengamatan di etsuaria sungai Musi berbeda. Karena adanya perbedaan salinitas pada masing-masing stasiun pengamatan. Menurut Flores-Coto (1988) dalam OcanaLuna & Sanches-Ramirez (2003) bahwa komposisi, kelimpahan dan pola distribusi larva ikan di laguna
disebabkan oleh pertukaran massa air laut dan laguna. Tzeng et al. (1997) memberikan pandangan bahwa variasi salinitas yang tinggi akan menyebabkan kekayaan jenis yang rendah dan lebih mudah didominasi oleh jenis tertentu. Amarullah (2008) menyatakan aliran arus sepanjang pantai (along shore drift) sangat berperan terhadap akumulasi larva di daerah asuhan atau di daerah pasang surut (inter tidal zone), surf zone ataupun estuari. Selain itu, faktor hidrografi di perairan pantai atau daerah asuhan yang berpengaruh sebagai stimuli tingkah laku imigrasi larva ikan diantaranya adalah aliran pasang surut (tidal flux) termasuk di dalamnya kecepatan arus, salinitas (terutama untuk perairan estuari), kekeruhan, komposisi substrat dan juga pengaruh siklus bulan. Berdasarkan informasi diatas dapat diduga bahwa salah satu penyebab perbedaan komposisi dan jumlah jenis larva diestuaria disebabkan karena perbedaan salinitas. Salinitas perairan pada stasiun 1 sekitar 13 ‰, stasiun 2 (1 ‰) dan stasiun 3 (0 ‰). Ditinjau menurut waktu pengamatan, tingginya kelimpahan pada bulan Maret dan Mei diduga berkaitan dengan musim pemijahan. Salinitas pada saat itu berkisar antara 5-15 ‰. Menurut Anggraeni (2007) kisaran salinitas (6,8-27,6 ‰) merupakan salinitas yang dapat ditoleransi bagi larva ikan sehingga ikan-ikan di estuaria melakukan pemijahan pada kisaran salinitas tersebut. Kemudian ditinjau lokasi sampling bahwa stasiun 1 memiliki kelimpahan yang tertinggi yaitu 65 ind/m3. Hal ini diduga karena pada stasiun 1 salinitas perairan cukup tinggi (13 ‰), dimana salinitas tersebut merupakan kondisi yang ideal untuk pemijahan ikan. Añorve (2003) menyatakan kelimpahan larva di estuaria Carribean tidak menunjukkan adanya pola distribusi secara spasial dan nilai kelimpahan pada bulan Oktober bervariasi antara 0-227 ind/100 m3. Jika dibandingkan antara estuaria sungai Musi dengan di estuaria Carribean maka kelimpahan larva ikan di estuaria sungai Musi jauh lebih tinggi. Penelitian oleh Prianto et al. (2010) di estuaria sungai Musi diperoleh kelimpahan larva ikan sebesar 6 ind/10 m3, sedangkan yang diperoleh pada tahun 2011 kelimpahan larvanya lebih tinggi (9-46/ m3). Pengambilan sampel yang dilakukan Prianto et al. (2010) dilakukan pada malam hari, sedangkan pada penelitian ini pada siang hari. Variasi ukuran larva setiap bulan pengamatan pada masing-masing famili menunjukkan perbedaan yang mencolok. Hal ini mengindikasikan bahwa ukuran larva ikan setiap famili berbeda-beda tergantung kepada jenisnya. Dengan adanya perbedaan ukuran ini kemungkinan ukuran dan jenis makanan yang dikonsumsi juga akan berbeda sehingga kompetisi dalam mendapatkan makanan akan berkurang. 77
E. Prianto, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 73-79
Penelitian oleh Sugiharto (2005) menujukkan variasi ukuran (panjang standar) larva ikan di estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan Cilacap diperoleh ukuran antara 1,5341,4 mm. Data yang diperoleh selama penelitian di Sungai Musi diperoleh kisaran ukuran larva sama dengan hasil pengamatan di Segara Anakan Cilacap. Dimana variasi ukuran larva ikan di estuaria sungai musi berkisar (3-8 mm (bulan Maret), 3-8 mm (bulan Mei), 4-10 mm (bulan Juli) dan 2-4.5 mm (bulan Oktober). Ini menunjukkan bahwa ukuran larva ikan pada beberapa estuaria di Indonesia memiliki ukuran yang sama. KESIMPULAN 1. Stasiun 1 memiliki komposisi famili dan kelimpahan yang tinggi sehingga diduga merupakan daerah pemijahan dan asuhan ikan yang cukup baik di estuaria sungai Musi. 2. Larva ikan dari famili Gobiidae memiliki sebaran yang cukup luas baik spasial maupun temporal. 3. Kelimpahan ikan yang tertinggi dijumpai pada bulan Maret (45 ind/m3) dan Mei (46 ind/m3). Diduga bulan tersebut merupakan musim pemijahan. 4. Ukuran larva ikan (panjang total) di estuaria sungai Musi setiap bulannya memiliki variasi ukuran yang hampir sama. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sumberdaya Ikan di Sungai Musi. Tahun anggaran 2011 yang didanai APBN di Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang. DAFTAR PUSTAKA Amarullah, M. H. 2008. Hidro-Biologi Larva Ikan Dalam Proses Rekrut. Jurnal Hidrosfir Indonesia. 3 (2): 75-80. American Public Health Association. 2005. Standard Methods for The Examination of Water and Waste Water. 21st edition. Washington DC. America. Anggraeni, R.D. 2007. Pengaruh Pembuangan Limbah Tambak Udang Terhadap Densitas dan Pola Distribusi Larva dan Juvenil Ikan di Muara Sungai Bogowonto Kabupaten Kulonprogo. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Program Studi Biologi. Tesis. Añorve, L.S; A.H. Gallardo; S. A. Aguirre & C. F. Coto. 2003. Fish larvae from a Caribbean estuarine system. The big fish bang. In Howard I. Browman & A.B Skiftesvik (Eds). Proceedings of the 26th Annual Larval Fish Conference. Institute of Marine Research, Postboks 1870 Nordnes, N-5817, Bergen, Norway.
78
Bergan, B; M, Barletta & U. Saint-Paul. 2002. Structure and Seasonal Dynamics of Larva Fish in The Caete River Estuary in North Brazil. Estuarine, Coastal and Shelf Science : p. 193-206. Boehlert, G.W & B.C. Mundy. 1988. Roles of Behavioral and Physical Factors in Larval and Juvenile Fish Recruitment to Estuarine Nursery Area. Proceeding of American Fisheries Society Symposium 3: 51-67. Castro, M. S & A. C. T. Boncker,. 1996. Ocorreˆncia de larvas de peixe no sistema estuarino de Rio Mucuri. Arquivo de Biologia e Technologia 39: 171–185. Jobling, M. 1995. Environmental Bioloy of Fishes. Fish and Fisheries Series 16. Chapman & Hall T.J. Press, Ltd. New York. Leis, J. M & B. M. Carson Ewart. 2000. The Larvae of Indo-Pacifik Coastal Fishes. An Identification Guide to Marine Fishes Larva. (Fauna Malesiana Handbooks 2) : 850 p. Morais, T. A. & T. L. Morais. 1994. The abundance and diversity of larval and juvenile fish in a tropical estuary. Estuaries 17: 216–225. Neira, F. J. & I. C. Potter. 1994. The larval fish assemblage of the Nornalup-Walpole Estuary, a permanently open estuary on the southern coast of western Australia. Australian Journal of Marine and Freshwater Research 45:1193–1207. Ocana-Luna, A & M. Sanches-Ramirez. 2003. Diversity of ichtyoplankton in Tampamachoco Lagoon Veracruz, Meico. Anales del Instituto de Biologia, Universidad Nacional Autonoma de Mexico, Serie Zoologia. 74 (2): 179-193. Prianto, E., S. Kaban & S. Aprianti. 2010. Sebaran dan Kelimpahan Larva ikan di Perairan Pantai Timur Sumatera. Prosiding Seminar Nasional Tahunan. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta. p. 361-364. Prat, C. & J. D Arnold. 2000. Studies of the Temporal and Spatial Distribution of Larvae in Laguna Madre and the Impact of the Brown Atide. www.utmsi.zo.utezas. edu/research/mfrp/index.htm: diunduh pada Maret 2012. Sediadi & T. Sidabutar. 1994. Kelimpahan telur dan larva ikan diperairan Teluk Baguala, Pulau Ambon. Himpunan Alumni Fakultas Perikanan Universitas Riau. Pekanbaru. Jurnal Terubuk (XX). 59: 26-31.
E. Prianto, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 73-79
Stottrup, J. G. 2002. Coastal Juvenile Fish Ecology. Departement of Marine Ecology and Aquaculture, Danish Institute for Fisheries Research, Charlottenlund Castle. www.dfu.min.dk/jgs/research diunduh pada Maret 2012. Subiyanto; Ruswahyuni & D. G. Cahyono. 2008. Komposisi dan Distribusi Larva Ikan Pelagis di Estuaria Pelawangan Timur, Segara Anakan, Cilacap. Jurnal Saintek Perikanan. 4 (1): 62 – 68.
Sugiharto. 2005. Analisis Keberadaan dan Sebaran Komunitas Larva Ikan Pelagis pada Ekosistem Pelawangan Timur Segara Anakan-Cilacap. Tesis Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. 80 p. Tzeng, W.N; Y.T. Wang & C.W. Chang. 2002. Spatial and temporal variations of the estuarine larval fish community of the west coast of Taiwan. Mar. Freshwater Res. 53: 419-430.
79
80
BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 81-87
DINAMIKA POPULASI IKAN SWANGGI (Priacanthus tayenus) DI PERAIRAN TANGERANG – BANTEN POPULATION DYNAMIC OF PURPLE SPOTTED BIGEYE (Priacanthus tayenus) IN TANGERANG WATERS – BANTEN Prihatiningsih , Bambang Sadhotomo dan Muhamad Taufik Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta Teregistrasi I tanggal: 02 Oktober 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 19 Juni 2013; Disetujui terbit tanggal: 28 Juni 2013 Email :
[email protected]
ABSTRAK Ikan swanggi merupakan ikan ekonomis dan ekologis penting dan statusnya di perairan belum terevaluasi dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan, umur dan mortalitas ikan swanggi yang dapat memberikan kontribusi terhadap pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan dan lestari. Data frekuensi panjang dan berat ikan pada Januari – Desember 2012 diperoleh dari perairan Tangerang dan sekitarnya berasal dari hasil tangkapan jaring cantrang. Sebaran frekuensi panjang ikan dipisahkan kedalam sebaran normal menggunakan metode Bhattacharya. Hubungan panjang-berat ikan swanggi jenis jantan dan betina bersifat allometrik negatif dan memiliki faktor kondisi yang baik (k=1,26). Rata-rata ukuran pertama kali tertangkap ikan swanggi (Lc=20,84 cm) lebih besar dibandingkan dengan ukuran pertama kali matang gonad (Lm=16,03 cm). Ikan swanggi dapat tumbuh hingga mencapai panjang infinitive (L”) = 32,34 cm dengan laju pertumbuhan (K) sebesar 0,91 tahun-1 dan nilai dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) adalah 0,14 tahun-1. Panjang maksimal ikan swanggi diduga berumur 3,5 tahun dan rata-rata panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) diduga berumur 0,75 tahun. Mortalitas alami (M) ikan swanggi adalah 1,67, mortalitas karena penangkapan (F) 0,83, mortalitas total (Z) 2,50 dan tingkat eksploitasi (E) sebesar 0,33 yang berarti pemanfaatannya masih dapat ditingkatkan sekitar 34% dari keadaan saat ini.
KATA KUNCI : Pertumbuhan, umur, mortalitas, ikan swanggi, Tangerang - Banten. ABSTRACT: The purple spotted bigeye an economically and ecologically important fish and status in the waters have not been evaluated well. This research was aimed to understand the growth, age and mortality of the purple spotted bigeye. It was hoped that the results of this research can be contributed in sustainable fisheries management. The length frequency data and weight of fish in January - December 2012 was obtained from Tangerang and surrounding waters derived from trawl’s catch,. The size distribution of the fish was divided into normal distribution by using Battacharya Method. Length weight relationship of the male and female fish were negative allometric and has a good condition factor (K=1,26). The average length at first capture of the purple spotted bigeye (Lc = 20,84) was higher than the average length at first maturity (Lm=16,03). The purple spotted bigeye can grow into infinitive length of (L”) = 32,34 cm with growth rate (K) of 0,91 year-1 and (t0) value of 0,14 year-1. The maximum length of the fish was predicted reach at age of 3,5 years with the average length of first maturity predicted reach at age 0,75 years. Natural mortality value (M) of the purple spotted bigeye was 1,67; fishing mortality (F) value was 0,83; total mortality value (Z) was 2,5 and exploitation rate (E) was at 0,33 which mean utilization can be improved about 34% from the current state. KEYWORDS : Population dynamic, purple spotted bigeye, Tangerang - Banten.
PENDAHULUAN Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) memiliki potensi besar dalam mendukung pemenuhan kebutuhan pangan. Menurut Sivakami et al. (2001) ikan swanggi pada awalnya bukan merupakan ikan hasil tangkapan utama, namun belakangan banyak didaratkan di pelabuhan perikanan sebagai salah satu hasil tangkapan yang bersifat komersial dan menjadikan ikan ini sebagai ikan komoditas ekspor.
Ikan swanggi dikatakan bernilai ekologis karena merupakan salah satu ikan karang yang berperan dalam struktur trofik (Powell 2000). Ikan Priacanthidae merupakan ikan predator pemakan zooplankton dan dominasi makanannya berupa udang-udangan yang berasal dari kelas krustasea (CMFRI, 2001). Dalam kaitan itu keberadaannya sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem di perairan.
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara
81
Prihatiningsih, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 81-87
Ikan swanggi merupakan salah satu jenis ikan demersal dan biasanya terdapat di daerah karang atau terumbu karang dengan karakteristik khusus berwarna merah muda, memiliki mata besar dan pada sirip perutnya terdapat bintik berwarna kehitam-hitaman (FAO 1999). Umumnya ikan ini memiliki daya tahan yang rendah terhadap tekanan penangkapan. Jika upaya penangkapan ditingkatkan, maka akan segera menunjukkan tanda-tanda ‘kejenuhan’ yang seterusnya akan mengarah kepada ‘overfishing’. Pemahaman tentang dinamika populasi dari suatu jenis ikan yang dieksploitasi merupakan hal yang sangat penting bagi pengelolaan yang efektif dari suatu perikanan untuk memperoleh manfaat yang maksimum (Gulland, 1983). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendugaan dinamika populasi terutama pertumbuhan, umur dan mortalitas ikan swanggi di perairan Tangerang dan sekitarnya yang merupakan bagian dari WPP 712 Laut Jawa berdasarkan analisis secara analitik terhadap sejumlah data yang dikumpulkan secara periodik.
H0 : b = 3, hubungan panjang dan bobot adalah isometrik H1 : b 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik yaitu : Pola hubungan panjang-bobot bersifat allometrik positif, bila b > 3 (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang), dan allometrik negatif, bila b < 3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat). Faktor Kondisi Faktor kondisi dihitung menurut panjang dan berat ikan, setelah pola pertumbuhan panjang diketahui, perhitungan dilakukan berdasarkan pada rumus dari (Effendie, 1979): k = 102 W/L3 ………………………...............………...(2) dimana: k = faktor kondisi; W = bobot rata-rata ikan; L = panjang rata-rata ikan
BAHAN DAN METODE Penelitian Lapangan Pengambilan contoh ikan swanggi (Priacanthus tayenus) dilakukan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Kronjo dan Cituis (Tangerang, Banten) mulai Januari – Desember 2012. Contoh panjang dan berat individu ikan diperoleh dari hasil tangkapan jaring cantrang dengan mata jaring (mesh size) 1 inch. Jaring cantrang dioperasikan di perairan Utara Jawa khususnya di perairan Tangerang dan sekitarnya sampai kedalaman 30 m. Contoh ikan diukur panjang dengan ketelitian 0,1 cm dan bobotnya dengan ketelitian 0,1 gram. Analisis Data Hubungan Panjang-Bobot Hubungan panjang-bobot mengacu pada Effendie (1979) dengan formula:
Pendugaan Rata-rata Panjang Pertama Kali Tertangkap (Lc) dan Panjang Pertama Kali Matang Gonad (Lm) Pendugaan ukuran pertama kali tertangkap dilakukan dengan membuat grafik hubungan antara panjang ikan (sumbu X) dengan jumlah ikan (sumbu Y) sehingga diperoleh kurva berbentuk sigmoid. Nilai length at first capture yaitu panjang pada 50% pertama kali tertangkap dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Jones, 1976 dalam Sparre & Venema, 1999) : 1 S L est 1 exp( S 1 S 2 * L ) ............................(3)
1 Ln 1 S 1 S 2 * L ...................................(4) SL S1 L 50 % .................................................................(5) S2 dimana : SL = kurva logistik; S1= a; S2= b S1 dan S2 = konstanta pada rumus kurva logistik
W = aLb .........................................................................(1) dimana : W = Bobot; L = panjang a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjangbobot dengan sumbu Y) b = kemiringan (slope) Untuk menguji nilai b = 3 atau b 3 dilakukan uji –t (uji parsial), maka dilakukan hipotesis terhadap nilai b dengan asumsi: 82
Pendugaan panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity) dilakukan sesuai dengan prosedur penghitungan yang dilakukan oleh Udupa (1986), melalui rumus : m = Xk + X/2 – (X
Pi ) .................................................(6)
dimana : m = log ukuran ikan saat pertama matang gonad Xk = log ukuran ikan dimana 100% ikan sampel sudah matang
Prihatiningsih, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 81-87
X = selang log ukuran (log size increment) Pi = proporsi ikan matang pada kelompok ke-i Rata-rata ukuran ikan pertama matang gonada diperoleh dari nilai antilog (m).
kelimpahan kelompok umur dan dari analisis kurva hasil tangkapan menggunakan data frekuensi panjang (Sparre & Venema, 1999). Mortalitas total dihitung menggunakan rumus : Z = M + F ......................................................................(9)
Estimasi Parameter Pertumbuhan Penentuan kelompok ukuran (kohort) dilakukan menggunakan metode Bhattacharya dari program paket software FISAT. Pendugaan nilai koefesien pertumbuhan L” dan K dilakukan dengan menggunakan metode ELEFAN (Electronic Length – Frequency Analysis) I dan Gulland & Holt plot, sedangkan t0 diperoleh melalui persamaan Pauly (1983). Ketiga nilai dugaan parameter pertumbuhan tersebut dimasukkan ke model pertumbuhan Bartalanffy. Pola pertumbuhan ikan swanggi menggunakan rumus Von Bartalanffy (Sparre & Venema, 1999) sebagai berikut : Lt = L (1- e-k (t – to)).........................................................(7) dimana : Lt = ukuran panjang ikan pada saat umur t tahun(cm) L” = panjang maksimum ikan yang dapat dicapai t 0 = umur ikan teoritis pada saat panjangnya 0 cm K = Koefisien pertumbuhan Nilai t0 ikan diperoleh dengan menggunakan rumus (Pauly, 1984) yaitu :
Mortalitas alami (M) diduga dengan metode persamaan empiris Pauly (1983) dengan rumus : Ln M = -0,152 – 0,279*LnL+0,6543*LnK + 0,463 * Ln T .................................................................(10) dimana : M = mortalitas alami per tahun L = panjang maksimum ikan yang dapat dicapai K = Koefisien pertumbuhan T = Suhu rata-rata tahunan (ºC) HASIL DAN BAHASAN HASIL Hubungan Panjang-Bobot
Pengukuran individu terhadap 3.814 ekor ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di perairan Tangerang - Banten diperoleh sebaran ukuran panjang cagak berkisar antara 11,3 – 31,0 cm FL dengan rata-rata 20,7 cm FL dan kisaran bobotnya antara 32,0 – 228,0 gram dengan rata-rata 110,5 Log- (t0) = -0,3922–0,2752 Log L-1,038 Log K ..............(8) gram.
Mortalitas Mortalitas total (Z) dalam suatu kegiatan perikanan tangkap sangat penting untuk menganalisis dinamika populasi atau stok ikan. Mortalitas dapat dibedakan dalam mortalitas alami (M) dan mortalitas karena penangkapan (F). Mortalitas total dapat diduga dari pergeseran
Persamaan panjang-bobot ikan swanggi bagi kelamin jantan adalah W = 0,074L2,467 dan kelamin betina adalah W = 0,126L2,286 dengan nilai koefesien korelasi (r) masingmasing 0,912 dan 0,847 (Gambar 1). Jika nilai koefisien korelasi (r) mendekati nilai -1 atau 1, maka terdapat hubungan linier yang kuat antara kedua variabel tersebut (Walpole, 1993). Dengan demikian terdapat hubungan
Gambar 1. Hubungan panjang – berat ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di perairan Tangerang Figure 1. Length – weight relationship of purple spotted bigeye (Priacanthus tayenus) in Tangerang waters.
83
Prihatiningsih, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 81-87
yang erat sekitar 80-90% antara panjang dengan berat ikan swanggi di perairan Tangerang-Banten. Faktor Kondisi
Pendugaan Rata-rata Panjang Pertama Kali Tertangkap (Lc) dan Panjang Pertama Kali Matang Gonad (Lm) Pendugaan rata-rata ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) ikan swanggi diperoleh nilai 20,84 cm FL
Gambar 3. Kurva distribusi frekuensi panjang ikan swanggi (Priacanthus tayenus) Figure 3. Length frequency distribution curve length of Purple Spotted Bigeye (Priacanthus tayenus). 35 30 25 20 15 10 5 0
Panjang cagak/ Fork Length (cm)
Faktor kondisi adalah suatu keadaan yang menyatakan kemontokan ikan (Effendie, 1979). Nilai faktor kondisi ikan swanggi berkisar antara 1,14 – 1,49 dengan rata-rata 1,26. Nilai terkecil terdapat pada bulan Oktober (1,14) dan terbesar pada bulan Januari (1,49). Mengacu pada Effendie (1997) hasil ini menandakan ikan swanggi masih berada pada batas ambang kondisi yang baik dengan kisaran nilai (k) antara 1-3.
Lt = 32,34(1‐e‐0,912(t‐0,14))
L∞
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Umur (Tahun)/ Age (Year)
Gambar 4. Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan swanggi (Priacanthus tayenus) Figure 4. Von Bertalanffy growth curve of Purple Spotted Bigeye (Priacanthus tayenus) Gambar 2. Panjang rata-rata (50% kumulatif) ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di perairan Tangerang. Figure 2. Average length (50% cumulatif) of purple spotted bigeye (Priacanthus tayenus) in Tangerang waters. dan rata-rata ukuran panjang pertama kali matang gonad (Lm) adalah 16,03 cm FL (Gambar 2). Estimasi Parameter Pertumbuhan Dari model pertumbuhan Von Bartalanffy, didapat koefesien pertumbuhan (K) sebesar 0,91 tahun-1. Nilai panjang asimtotik (L ) sebesar 32,34 cm, dan nilai dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) adalah 0,14 tahun -1 sehingga diperoleh persamaan pertumbuhan ikan swanggi di perairan Tangerang - Banten adalah Lt = 32,34 (1 – e-0,91(t-+0,14)) (Gambar 3 dan 4). Mortalitas Nilai mortalitas alami (M) ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada suhu air 29°C di perairan Banten adalah 1,67 tahun-1; mortalitas karena penangkapan (F) 0,83 tahun-
84
1
dan mortalitas total (Z) 2,50 tahun-1 dan tingkat eksploitasi (E) ikan swanggi adalah 0,33. BAHASAN Nilai b pada jenis kelamin jantan dan betina ikan swanggi adalah 2,467 dan 2,286. Dari hasil uji –t terhadap parameter b pada selang kepercayaan 95% (á=0,05), diperoleh t hitung > t tabel , yang artinya b < 3. Secara keseluruhan pola pertumbuhan ikan swanggi baik jantan maupun betina bersifat allometrik negatif dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan berat. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan hasil penelitian Nugroho & Rustam (1983) bahwa pola pertumbuhan ikan swanggi di pantai Utara Jawa bersifat allometrik negatif. Penentuan faktor kondisi dilakukan untuk mendeteksi perubahan yang terjadi secara mendadak di suatu perairan yang mempengaruhi kondisi ikan. Nilai faktor kondisi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan swanggi rata-rata memiliki kondisi yang baik (k = 1,26).
Prihatiningsih, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 81-87
Perubahan nilai faktor kondisi tiap bulan diduga adanya pengaruh pola musim yang terjadi di perairan Banten dimana pada Januari terjadi musim barat sehingga ikan harus beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan yang berpengaruh pada ketersediaan makanan. Tingginya nilai faktor kondisi (k) pada Januari diduga merupakan musim pemijahan ikan swanggi, hal ini ditunjang dengan tingkat kematangan gonad III pada bulan tersebut didapatkan lebih banyak. Pada saat kondisi ini pertambahan berat semakin meningkat dibandingkan pertambahan panjang ikan. Menurut Effendie (1997), nilai faktor kondisi berkaitan dengan makanan (indeks relatif penting), umur, jenis kelamin dan indeks kematangan gonad (IKG). Pendugaan rata-rata ukuran ikan swanggi pertama kali matang gonad di perairan Tangerang-Banten yaitu pada panjang 16,03 cm. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Sivakami et al. (2001) pada spesies satu genus dari Priacanthus tayenus yaitu Priacanthus hamrur yang diteliti disepanjang pantai India yang rata-rata ukuran pertama kali matang gonad berada pada panjang 19,1-20,0 cm.
Pendugaan rata-rata ukuran ikan swanggi pertama kali tertangkap lebih besar dibandingkan dengan ukuran pertama kali matang gonad (Lc>Lm ; 20,84cm > 16,03 cm). Keadaan ini baik untuk ketersediaan stok ikan swanggi karena sebelum ikan tersebut tertangkap maka terlebih dulu sudah melangsungkan proses rekruitmen. Hal ini akan dapat menjamin sumberdaya ikan swanggi berada dalam keadaan berkelanjutan dan lestari. Koefesien pertumbuhan (K) ikan swanggi di perairan Tangerang-Banten sebesar 0,91 tahun-1 dan panjang total maksimum adalah 31,0 cm atau lebih kecil dibandingkan dengan panjang asimtotik (L”) 32,34 cm. Perbedaan antara panjang maksimum yang diperoleh dengan panjang asimtotik, menimbulkan penafsiran bahwa ada ikan berukuran besar lebih dari 31,0 cm yang belum tertangkap. Hasil estimasi parameter pertumbuhan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di daerah penangkapan yang berbeda diantaranya Utara Jawa (Indonesia), Laut Samara dan Selatan Hongkong telah diteliti (Tabel 1). Dari beberapa parameter populasi yang berbeda, didapatkan
Tabel 1. Estimasi parameter pertumbuhan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) dengan daerah penangkapan yang berbeda. Table 1. Estimation of parameters of purple spotted bigeye (Priacanthus tayenus) with different of fishing ground. Spesies / Species
L∞ (cm)
Priacanthus macracanthus
26,7 (FL)
Priacanthus macracanthus
23,7 (FL)
Priacanthus hamrur
36,0 (FL)
Priacanthus tayenus
29,0 (FL)
Priacanthus tayenus Priacanthus tayenus
K (per tahun) 1,36
Lokasi/ Location
Sumber / Ref
Utara Jawa
Nugroho & Rustam (1983)
1,30
Laut Jawa (Jawa Tengah)
Dwiponggo et al. (1986)
0,73
Perairan Bombay (India)
Chakraborthy (1994)
1,25
Laut Samara
Ingles & Pauly (1984)
30,0 (FL)
0,80
Selatan Hongkong
Lester & Watson (1985)
32,34 (FL)
0,91
Perairan Banten
Penelitian ini
Keterangan/Remark : FL = Fork Length. panjang maksimum ikan yang dapat dicapai setiap wilayah dan laju pertumbuhan yang berbeda pula. Umur dan pertumbuhan ikan digunakan untuk memahami komposisi umur dari populasi, umur kematangan, rentang hidup yang merupakan dasar dalam perhitungan pertumbuhan, mortalitas, rekrutmen dan parameter populasi lainnya. Berdasarkan persamaan pertumbuhan ikan swanggi di perairan Tangerang-Banten diperoleh panjang maksimal ikan swanggi (L” = 32,34 cm) diduga berumur 3,5 tahun; rata-rata panjang ikan pada saat pertama kali tertangkap (Lc) : 20,84 cm diduga berumur 1,13 tahun serta rata-rata panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) : 16,03 cm diduga berumur 0,75 tahun. Hasil penelitian Nugroho & Rustam (1983) mendapatkan umur ikan swanggi jenis Priacanthus macracanthus untuk
mencapai panjang maksimal diduga setelah mencapai 4 – 5 tahun. Chakraborthy (1994) menemukan umur ikan swanggi jenis Priacanthus hamrur di perairan Bombay diduga berumur 1 tahun untuk panjang 19,3 cm dan berumur 2 tahun untuk panjang ikan 28,3 cm serta berumur 3 tahun untuk panjang ikan 32,3 cm. Dengan demikian, ikan swanggi memiliki laju pertumbuhan yang tinggi dan umur yang relatif pendek. Mortalitas alami (M) ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di perairan Tangerang-Banten dan sekitarnya adalah 1,67, mortalitas karena penangkapan (F) 0,83, mortalitas total (Z) 2,50. Lester & Watson (1985) menemukan laju mortalitas alami (M) ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di Laut Cina Selatan adalah 1,4;
85
Prihatiningsih, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 81-87
mortalitas karena penangkapan 0,6; dan mortalitas total 1,4. Menurut Aziz et al. (1992), perbedaan parameter pertumbuhan disebabkan perbedaan lama waktu, musim, ukuran ikan, alat tangkap yang digunakan dan daerah penangkapan pada saat sampling. Widodo (1988) juga menyatakan perbedaan nilai parameter pertumbuhan ini lebih dipengaruhi oleh komposisi ikan contoh dengan cara atau metode yang digunakan. Jika ikan-ikan muda lebih banyak tertangkap maka koefisien pertumbuhan akan tinggi dan sebaliknya jika ikan-ikan berumur tua yang banyak tertangkap, maka koefisien pertumbuhan akan rendah. Sparre & Venema (1999) menyatakan perbedaan nilai K dapat juga disebabkan oleh kondisi lingkungan perairan. Tingkat eksploitasi ikan swanggi adalah 0,33 yang berarti pemanfaatan sumberdaya ikan swanggi di eksploitasi sekitar 66,0% dari potensi lestarinya. Dengan demikian pemanfaatan sumberdaya ikan ini dapat ditingkatkan sekitar 34,0% dari kondisi saat ini. KESIMPULAN Hubungan panjang-berat ikan swanggi jenis jantan dan betina bersifat allometrik negatif dan memiliki faktor kondisi bersifat baik. Rata-rata ukuran pertama kali tertangkap ikan swanggi lebih besar dibandingkan dengan ukuran pertama kali matang gonad (Lc>Lm) . Ikan swanggi dapat tumbuh hingga mencapai panjang infinitive (L”) = 32,34 cm dengan laju pertumbuhan (K) sebesar 0,91tahun1 . Panjang maksimal ikan swanggi diduga berumur 3,5 tahun dan rata-rata panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) diduga berumur 0,75 tahun. Tingkat eksploitasi (E) ikan swanggi di perairan Banten sebesar 0,33 yang berarti pemanfaatannya masih dapat ditingkatkan sekitar 34,0% dari kondisi saat ini. PERSANTUNAN Hasil dari kegiatan riset: Pengkajian Sumber Daya Ikan Demersal di WPP 716 Laut Sulawesi dan WPP 712 Laut Jawa T. A. 2012 di Balai Penelitian Perikanan Laut.
Forsskal from Bombay waters. Bull. Cent. Mar. Fish. Res. Ins, 47: 121- 127. [CMFRI] Central Marine Fisheries Research Institute. 2001. Status of exploited marine fisheries of India.Kochi. India.p.152-155. Dwiponggo, A., T. Hariati, S. Banon, M.L. Palomares & D. Pauly. 1986. Growth, mortality and recruitment of commercially important fishes and penaeid shrimps in Indonesian waters. ICLARM Tech. Rep. 17. 91 p. Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 p. —————. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 p. ——————. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163: 59 p. Food Agricultural Organization, 1999. The living marine mesources of Western Central Pasific. Spesies identification guide for fishery purpose. Department of Biological Sciences Old Dominion. Norfolk University, Virginia. Gulland, J. A., 1983. Fish stock assessment. A manual of basic methods. John Wiley and Sons. New York. 223 p. Ingles, J. & D. Pauly. 1984. An atlas of the growth, mortality and recruitment of Philippine fishes. ICLARM Technical Report 13, 127 p. Lester, R. J. G. & Watson, R. A., 1985. Growth, mortality, parasitism and potential yield of two Priacanthus spp. in the South -China Sea. J. Fish. Biol. 27 (3): 307-318. Nugroho D, & R. Rustam, 1983. Penelitian tentang pertumbuhan dan beberapa parameter biologi ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di pantai Utara Jawa. Laporan Penelitian Perikanan Laut. No 27. p. 9 – 14.
DAFTAR PUSTAKA
Pauly, D. 1983. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Circ. 729: 54 p.
Azis, K.A., Muchsin, I. & Boer, M. 1992. Kajian Dinamika Populasi Ikan-ikan Niaga Utama di Perairan Pantai Barat Bengkulu (Laporan Penelitian, tidak dipublikasikan). Fak. Perikanan IPB. Bogor.
Pauly, D. 1984. Some simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Tech. Pap. (234): 52 p.
Chakraborty, S. K. 1994. Fishery, age, growth, mortality and stock assessment of Priacanthus hamrur
Powell A. B. 2000. Preliminary identification of the early life history stages of Priacanthid fishes of the Western Central Atlantic. US.Departement of Commerce National Marine Fisheries Service. Southeast Fisheries.
86
Prihatiningsih, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 81-87
Science Center Beaufort :101 Pires Island Road Beaufort. Sivakami S, Raje SG, Feroz MK, Shobha JK, Vivekananda E, & R. Kumar 2001. Fishery and biology of Priacanthus hamrur (Forsskal) along the Indian coast. Indian journal of fisheries. 48 (3) : 277-289. Sparre, P. & S. C. Venema. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari Introduction to Tropical fish stock assessment. FAO Fish Tech. Paper. 306.(1) 376 p.
Udupa, K. S. 1986. StatisticaL method of estimating the size of first maturity in fish. Fishbyte ICLARM. Manila. 4 (2). 8-1. Walpole, R. E. 1993. Pengantar Statistik. Edisi ke tiga. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Widodo, J. 1988. Population Dynamics and Management of Ikan Layang, Scad Mackerel, Decapterus spp. (Pisces: Carangidae) in The Java Sea. Ph.D. Dissertation. Univ. Wash. Seattle. 150 p.
87
88
BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 89-96
BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BETUTU (Oxyeleotris marmorata) DI WADUK KEDUNG OMBO PROPINSI JAWA TENGAH SOME ASPECT OF REPRODUCTION BIOLOGY OF FISH BETUTU (Oxyeleotris marmorata) IN KEDUNG OMBO RESERVOIR CENTRAL JAVA Khoirul Fatah dan Susilo Adjie Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang Teregistrasi I tanggal: 07 Mei 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Januari 2013; Disetujui terbit tanggal: 28 Maret 2013 Email :
[email protected]
ABSTRAK Ikan betutu (Oxyeleotris marmorata) merupakan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis penting di Waduk Kedungombo. Ikan betutu di Waduk Kedungombo termasuk jenis ikan yang dominan dan digemari masyarakat. Penelitian ini mengetahui mengenai biologi reproduksi ikan betutu, dilakukan pada bulan Maret, Mei, Juli dan Oktober 2011. Penelitian ini dilakukan melalui metode survei dengan pengambilan contoh dilakukan secara purposive sampling. Untuk mengetahui tingkat kematangan gonad diamati secara morfologi dan penentuan fekunditas dihitung dengan metode gravimetrik. Hasil penelitian menunjukan bahwa ikan betutu memijah secara bertahap (parsial) dimulai pada bulan Maret, nilai ukuran pertama kali matang gonad pada ukuran 16,5-18,1 cm. Fekunditas berjumlah antara 6414-56.302 butir dengan diameter telur pada kisaran antara 0,2 – 0,67 mm, serta indeks kematangan gonad ikan betutu jantan berkisar antara 0,03 % - 0,65 %, untuk ikan betutu betina berkisar antara 0,11 % - 5,57 % . KATA KUNCI : Biologi reproduksi, Ikan Betutu, Waduk Kedungombo. ABSTRACT: Betutu (Oxyeleotris marmorata) is one of fish species having the economically important value in Kedungombo reservoir. In Kedungombo betutu is a kind of fish which is dominant and it is liked by the people. The objectives of the research were to get data and information on biology reproduction such as gonadal maturity, fecundity and egg diameter has been carried on March, May, July and October 2011. The research is done with survey method, meanwhile the samples taken by purposive sampling. The gonadal maturity is used by morphology, meanwhile fecundity is counted by gravimetric. The result of the research shows that betutu spawning by partial which is started on March, the size of the fish first mature gonads ranged from 16,5-18,1 cm, Fecundity of betutu shows that the total egg varied between 6414-56.302 with egg diameter is between 0,2 – 0,67 mm, Meanwhile index maturity of gonad male is between 0,03 % - 0,65 % and famale between 0,11 % - 5,57 % . Based on the aspects some water quality. KEYWORD : Biology reproduction, fish betutu, Kedungombo reservoir
PENDAHULUAN Waduk Kedungombo (4.800 ha) merupakan waduk serbaguna yang dapat dimanfaatkan sebagai irigasi persawahan, pembangkit tenaga listrik, sumber air minum, pariwisata, perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Bendungan Kedung ombo yang berada di Kab. Grobogan Jawa Tengah secara resmi mulai dioperasikan tahun 1991. Daerah genangan air waduk Kedung Ombo mencakup sebagian wilayah di tiga Kabupaten yaitu Kab. Sragen, Boyolali dan Grobogan. Sumber mata air yang penting Waduk Kedung Ombo (WKO) yaitu Sungai Jerabung, Tuntang, Serang, Lusi dan Juwana (JRATUNSELUNA) ( Dinas Peternakan dan Perikanan Sragen, 2006; Depertemen Pekerjaan Umum Ditjen Sumberdaya Air, 2006). Karakteristik keanekaragaman sumber daya ikan di waduk Kedung Ombo hampir sama dengan sungai yang menjadi sumber air utamanya, yaitu Sungai Jerabung, Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang Jl. Beringin 308 Mariana, Palembang 30763
Tuntang, Serang, Lusi dan Juwana. Menurut Dharyati et.al (2010), keragaman jenis ikan di waduk Kedung Ombo mencapai 19 spesies, beberapa di antaranya merupakan ikan yang dominan tertangkap di perairan waduk, yaitu jenis ikan Nila (Oreochromis nilocita), Tawes (Barbodes gonionotus), Mujair (Oreochromis mosambicus), Betutu (Oxyeleotris marmorata) dan Red devil (Amphilopus sp). Di antara berbagai jenis ikan tertangkap tersebut, ikan betutu, ikan mujair dan ikan nila merupakan ikan konsumsi yang bernilai ekonomis tinggi. Ikan betutu hidup di perairan tawar seperti sungai, danau, waduk dan rawa serta lebih menyenangi perairan dangkal dengan dasar berlumpur dan berarus tenang serta tempat tersembunyi dan sering berada di sekitar tumbuhan air yang muncul di atas permukaan air untuk melindungi dirinya. Menurut Webber & Beufort (1913), menyatakan daerah penyebaran ikan betutu adalah Singapura, Thailand, Filipina, Kepulaun Fiji dan Indonesia. 89
K. Fatah dan S. Adjie / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 89-96
Ciri morfologis ikan betutu sebagai berikut (Gambar 1), mempunyai bentuk tubuh yang memanjang, berwarna kekuning-kuningan dengan bercak-bercak hitam ke abuabuan, kepala gepeng, mata besar dan mulut lebar, sirip punggung terdiri dari atas dua bagian terpisah. Sirip punggung pertama lebih rendah daripada sirip punggung kedua. Warna sirip kecoklat-coklatan sampai coklat ke abuabuan dan terdapat noda-noda hitam yang menyebar di seluruh tubuhnya. Panjang tubuh ikan berkisar antara 10 – 40 cm dengan panjang maksimum 50 cm (Djajadireja, 1977 dalam Gunawan et.al, 1999). Ikan betutu tergolong
dalam phylum Chordata, kelas Actinopterigii, ordo Perciformes, famili Eleotridae, genus Oxyeleotris dan spesies Oxyeleotris marmorata (Kottelat et al. (1993). Reproduksi merupakan hal yang sangat penting dari suatu siklus hidup organisme, dengan mengetahui biologi reproduksi ikan dapat memberikan keterangan yang berarti mengenai tingkat kematangan gonad, fekunditas, frekuensi dan musim pemijahan, dan ukuran ikan pertama kali matang gonad dan memijah (Nikolsky, 1963).
Gambar 1. Bentuk morfologi ikan betutu di Waduk Kedung Ombo, Propinsi Jawa Tengah Figure 1. Morphology of fish betutu in Kedungombo reservoir, Central Java Province Aspek biologi reproduksi ikan betutu di waduk Kedung Ombo sejauh ini belum banyak diteliti dan dilaporkan karena mempunyai lingkungan yang berbeda dengan waduk yang lain, oleh sebab itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai tingkat kematangan gonad, fekunditas, diameter telur dan indek kematangan gonad ikan betutu, sehingga diharapkan jadi masukan untuk pengelolaan ikan ini di masa mendatang. BAHAN DAN METODE
Analisa Data Sex Ratio Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan jantan dan betina yang diperoleh sesuai dengan Haryani, (1998), adalah sebagai berikut : Rasio kelamin = J/B (J = Jumlah ikan jantan (ekor), B = Jumlah ikan betina (ekor) Penentuan seimbang atau tidaknya nisbah kelamin jantan dan betina dilakukan dengan uji Chi-square (Walpole, 1993).
Pengambilan contoh ikan Tingkat Kematangan Gonad Penelitian tentang biologi reproduksi ikan betutu dilakukan pada bulan Maret, Mei, Juli dan Oktober 2011 di Waduk Kedung Ombo (Gambar 1). Pengambilan ikan sampel dari nelayan pengumpul dan langsung dari hasil tangkapan nelayan setempat. Alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan betutu adalah jaring dengan ukuran 2 inchi. Ikan betutu yang diambil untuk diamati sebanyak 250 ekor setiap kali pengamatan. Pengamatan biologi reproduksi ikan seperti jenis kelamin, TKG dan IKG diamati langsung dilapangan sedangkan Fekunditas dan diameter telur diamati di Laboratorium Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang.
90
Penentuan tingkat kematangan gonad dengan metode Nikolsky dalam Effendie 1997 yaitu: Tingkat I: Ovari belum masak, transparan, bentuk kecil memanjang seperti benang, butir telur belum kelihatan. Tingkat II: Ukuran ovari lebih membesar, warna agak merah gelap, butir telur dapat terlihat dengan kaca pembesar. Tingkat III: Ovari kelihatan membesar mencapai 60 % rongga perut, berwarna kuning, butir telur mulai kelihatan oleh mata. Tingkat IV. Volume Ovari mencapai lebih dari 70 % rongga perut, berwarna kuning, butir telur mudah
K. Fatah dan S. Adjie / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 89-96
dipisahkan, bila perut ditekan telur mudah keluar, siap memijah. Tingkat V: Ovari berkerut karena habis memijah, masih terdapat sisa telur dalam ovari, perkemnbangan ovari kembali ke tingkat II. Ukuran pertama kali matang gonad (M) diduga dengan cara Spearman-Karber (Udupa, 1986) dengan persamaan sebagai berikut : m = (Xk + X/2) – (X, pi) ........................................... (1)
Indeks Kematangan Gonad (IKG) Untuk menghitung Indeks Kematangan Gonad (IKG) mengacu kepada Effendie (1992) dengan Rumus : Bg IKG = ___________ x 100 % Bi IKG = Indeks kematangan gonad Bg = Berat gonad (gram) Bi = Berat ikan (gram)
Kisaran ukuran panjang diduga dengan persamaan ; Fekunditas Antilog (m 1,96 (var(m))........................................(2) Dimana : M = Ukuran pertama kali matang gonad (antilog dari m), m = log panjang ikan pada kematangan gonad yang pertama. Xk = Log nilai tengah kelas panjang pada ikan 100 % matang gonad. X = Pertambahan log panjang nilai tengah kelas. Pi = perbandingan jumlah ikan yang matang gonad pada tiap kelas panjang. Ri = jumlah ikan yang matang gonad pada kelas ke-i. Ni = jumlah contoh ikan pada kelas ke i. Qi = 1 – pi.
Propinsi Jawa Tengah
Pengamatan fekunditas dan diameter telur ditentukan dari contoh ikan dengan TKG IV. Fekunditas total dihitung berdasarkan metoda grafimetrik (Effendie, 1992) dengan bentuk rumus : F=(G/g) n F = jumlah total telur dalam gonad (fekunditas). G = bobot gonad tiap satu ekor ikan. g = bobot sebagian gonad (sampel) satu ekor ikan. n = jumlah telur dari sampel gonad
U
S
Gambar 2. Peta lokasi daerah penelitian ikan betutu di Waduk Kedung Ombo Propinsi Jawa Tengah. Figure 2. Map showing research location of fish betutu in Kedung Ombo reservoir, Central Java Province.
91
K. Fatah dan S. Adjie / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 89-96
HASIL DAN BAHASAN HASIL Nisbah Kelamin Dari pengamatan terhadap nisbah kelamin (sex ratio) ikan betutu pada bulan Maret, Mei, Juli dan Oktober 2011, menunjukkan perbandingan antara jantan dan betina pada bulan Maret sebagai 1 : 1,8, bulan Mei 1 : 1,7, bulan Juli 1 : 1,45 dan bulan Oktober sebagai 1 : 1,63. Tingkat Kematangan Gonad Dari Gambar 3, berdasarkan bulan pengambilan ikan contoh diperoleh ikan betutu betina selama periode pengamatan bulan Maret didominasi ikan TKG III (44,83 %) dan jantan TKG III (60%), pada bulan Mei didominasi oleh ikan betutu betina TKG II (55,32 %) dan jantan TKG I (74,07%), tetapi sudah ada yang selesai memijah (TKG V). Pada bulan Juli didominasi oleh ikan betutu betina TKG III (40 %) dan jantan TKG II (42,86%), dan Oktober didominasi oleh ikan betutu betina TKG III (54 %) dan
TKG IV (46 %), sedangkan pada ikan jantan hanya terdapat TKG III (100 %) saja. Pada bulan Oktober TKG I dan TKG II tidak ditemukan baik pada ikan betina maupun pada ikan jantan, hal ini diduga banyak ikan betutu yang baru selesai melakukan pemijahan sehingga relatif tidak banyak melakukan pergerakan, dengan demikian kemungkinan untuk tertangkap sangat kecil. Untuk menentukan ukuran ikan pertama kali matang gonad (Lm) digunakan metode Spearman dan Karber (Udupa, 1986). Dalam penelitian ini hanya ikan betina yang dianalisis matang gonad. Ikan betutu di waduk Kedungombo pertama kali matang gonad pada ukuran 17,3 cm dengan batas bawah 16,5 cm dan batas atas 18,1 cm. Indeks Kematangan Gonad (IKG) Dalam pengamatan ini IKG dihitung dengan memisahkan kelamin jantan dan betina. Nilai IKG ikan betutu jantan berkisar antara 0,03 % sampai 0,65 %, sedangkan untuk ikan Betutu betina berkisar antara 0,10 % sampai 5,57 %. Ikan betutu betina mempunyai nilai IKG lebih besar dibanding ikan betutu jantan (Tabel 1).
100% 90%
Jumlah (%)
80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Betina
Ja ntan
Betina
Ma ret
Jantan
Mei I
Betina
Janta n
Juli
II III IV Waktu (Bulan)
Betina
Ja nta n
Oktober V
Gambar 3. Tingkat Kematangan Gonad ikan Betutu pada bulan Maret, Mei, Juli dan Oktober 2011 Figure 3. Maturity stage of fish Betutu gonads during March, May, July and October 2011
92
K. Fatah dan S. Adjie / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 89-96
Tabel 1. Kisaran IKG ikan betutu di Waduk Kedung Ombo Bulan Maret, Mei, Juli dan Oktober 2011 Table 1. Range of gonadal maturity indeks of fish betutu at Kedungombo reservoir during March, May, July and October 2011
TKG
Maret
Mei
Juli
Oktober
IKG (%)
IKG (%)
IKG (%)
IKG (%)
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
II
0,09-0,11
0,18-0,65
0,06-0.09
0,11-0,40
0,07-0,08
0,11-0,46
0,03-0,08
0,22-0,56
III
0,11 - 0,23
0,11-3,98
0.07-0.10
0,71-0,85
0,08-0,13
0,68-0,95
0,04-0,30
0,65-2,21
0,86-4,96
0,10-0,14
0,98-3,32
0,09-0,35
0,99-3,85
0,06-0,65
1,28-5,57
IV
Fekunditas
Hubungan antara fekunditas dengan panjang total memperlihatkan bahwa semakin panjang tubuh ikan semakin besar pula fekunditasnya. Hal yang sama juga pada hubungan antara fekunditas dan bobot ikan. Hubungan antara fekunditas dengan bobot tubuh ikan betutu lebih kuat jika dibandingan dengan hubungan fekunditas dengan panjang total ikan betutu, yang ditunjukkan dengan nilai R2 (koefisien determinasi) yang lebih besar (Tabel 2).
Fekunditas ikan betutu pada bulan Maret berkisar antara: 6414 – 33833 butir, bulan Mei: 15832 – 28991 butir, bulan Juli: 11665 – 26000 butir dan Oktober: 23010 – 56302 butir. Secara keseluruhan nilai fekunditas ikan betutu mempunyai kisaran antara 6414-56.302 butir.
Tabel 2. Hubungan Fekunditas dengan panjang total dan berat tubuh ikan betutu di Waduk Kedung Ombo Table 2. Relationship of fecundity with total length and weight of fish betutu in Kedung Ombo Reservoir 2
Persamaan Regresi (R )
Waktu
L (cm) vs Fekunditas (butir) 4,11
Maret
F = 0,07L
Mei
F = 1,45L
Juli
F = 1,46L
Oktober
F = 452,7L
2
F = 0,0003B
, R2=0,86
F = 155,76B
, R =0,56
3,05
2,83 1,41
B (gram) vs Fekunditas (butir)
2
, R =0,71 2
, R =0,08
3,01
2 , R =0,73
0,96
2
, R =0,92
1,12
F = 212,3B
2 , R =0,89
F = 106,76B1,15 , R2=0,54
Diameter Telur
Jumlah telur (%)
25
20
15
10
5
0
0,69
0,66
0,63
0,57
0,6
0,54
0,51
0,48
0,45
0,42
0,39
0,36
0,33
0,27
0,3
0,24
0,21
0,18
0,15
0,12
0,09
0,06
0,03
0
Diameter telur ikan betutu TKG IV pada bulan Maret berkisar antara (0.24 - 0,54 mm), bulan Mei (0,32 - 0,67 mm), bulan Juli (0,27 – 0,62 mm) dan bulan Oktober (0,2 – 0,55 mm). Secara keseluruhan nilai diameter telur ikan betutu mempunyai kisaran antara (0,2 – 0,67 mm). Dari 233 butir telur yang teramati, diameter telur ikan betutu pada tingkat kematangan gonad IV berkisar antara 0,200 – 0,675 mm (Gambar 4).
30
Diameter telur (mm),(n=233)
Gambar 4. Grafik sebaran diameter telur ikan betutu TKG IV di waduk Kedung Ombo 2011 Figure 4. Graph showing distribution of fish eggs betutu TKG Kedung Ombo dam IV in 2011
93
K. Fatah dan S. Adjie / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 89-96
BAHASAN Nisbah Kelamin Ratio kelamin diperlukan untuk mengetahui perbandingan jenis kelamin, sehingga diduga keseimbangan populasinya. Populasi ikan betutu betina di daerah penelitian lebih banyak dibandingkan dengan jantan. Dikatakan oleh Pralampita et al. (2003) bahwa individu betina yang lebih banyak daripada jantan atau sebaliknya dapat disebabkan oleh perbedaan perilaku yang bersifat spasio-temporal, misalnya yang berkaitan dengan proses reproduksi, tabiat pakan dan makan (food and feeding habits), ruaya dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Effendie (2002), kenyataan di alam perbandingan kelamin jantan dan betina tidak mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola penyebaran yang disebabkan oleh ketersedian makanan, kepadatan populasi dan keseimbangan rantai makanan. Tingkat Kematangan Gonad Kematangan gonad ikan adalah tahapan pada saat perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Utiah, 2007). Perkembangan gonad pada ikan secara garis besarnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertumbuhan dan tahap pematangan (Lagler et al., 1977). Dari gambar 4, Apabila dilihat dari bulan Maret sampai bulan Oktober menunjukkan bahwa ikan betutu matang gonad (TKG IV) terjadi pada setiap bulan pengamatan, begitu pula terjadi pada ikan jantan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa ikan betutu dapat memijah sepanjang tahun. Puncak pemijahan ikan betutu terjadi pada bulan Oktober, saat hujan sudah mulai turun sehingga mempengaruhi fluktuasi permukaan air. Welcomme (1985) menyatakan puncak pemijahan pada kebanyakan spesies ikan didaerah tropis adalah pada saat air melimpah atau banjir, ditambahkan juga Lagler (1972), bahwa perubahan ketinggian permukaan air dapat mempengaruhi atau merangsang ikan untuk melakukan reproduksi. Udupa dalam Susilawati (2000) menyatakan, ukuran ikan pada waktu mencapai matang gonad pertama kali bervariasi di antara dan di dalam spesies. Hal ini di duga karena faktor ketersedian pakan disuatu perairan, pola adaptasi dan strategi hidup ikan yang berbeda, selain itu adanya kecepatan pertumbuhan pada masing-masing ikan juga menyebabkan ikan akan mencapai tingkat kematangan gonad yang berbeda. Indeks Kematangan Gonad (IKG) Menurut (Bagenal, 1978 dalam Nasution, 2005), mengatakan bahwa ikan yang mempunyai nilai IKG lebih kecil dari 20 % adalah kelompok ikan yang dapat memijah 94
lebih dari satu kali setiap tahunnya. Dari hasil penelitian ikan betutu mempunyai nilai IKG lebih kecil dari 20 %, sehingga dikategorikan ikan yang dapat memijah lebih dari satu kali setiap tahun. Hal ini sesuai dengan laporan Pulungan et.al., (1994) menyatakan bahwa pada umumnya ikan yang hidup di perairan tropis dapat memijah sepanjang tahun dengan nilai IKG yang lebih kecil pada saat ikan tersebut matang gonad. Fekunditas Fekunditas ikan betutu pada penelitian ini selalu berfluktuasi, keadaan tersebut kemungkinan disebabkan ikan-ikan yang didapat tidak berumur sama. Ikan-ikan yang tua dan besar ukurannya mempunyai fekunditas relatif lebih kecil dibandingkan ikan-ikan yang lebih muda. Fekunditas maksimum dicapai pada ikan yang masih muda (www.seafooddict.com). Fekunditas telur betutu hasil penelitian Soewardi (2006) melaporkan bahwa fekunditas telur ikan betutu di sungai cisadane berkisar antara 11.000145.000 butir dan di waduk saguling berkisar antara 14.000180.000 butir, hal ini relatif lebih besar dibandingkan fekunditas telur ikan betutu di waduk Kedung ombo hal ini disebabkan karena ikan di Waduk Kedung Ombo mempunyai ukuran yang kecil jika dibandingkan dengan ikan betutu di sungai Cisadane dan di waduk Saguling. Faktor lain yang mempengaruhi fekunditas adalah umur ikan, panjang atau bobot dan spesies ikan (Andamari et.al, 2003). Berdasarkan Sukendi (2001), nilai fekunditas suatu spesies ikan selain dipengaruhi oleh ukuran panjang total juga dipengaruhi oleh bobot tubuh. Bobot tubuh ikan betutu lebih baik untuk menduga nilai fekunditas jika dibandingkan dengan panjang total tubuhnya. Menurut Effendie (1997), fekunditas mutlak sering dihubungkan dengan bobot ikan, karena bobot ikan lebih mendekati kondisi ikan tersebut daripada panjang tubuh. Diameter Telur Pada gambar 5 terlihat bahwa ukuran telur ikan betutu tidak seragam. Ukuran diameter telur yang paling banyak ditemukan antara 0,29 – 0,32 mm (26,2%), selanjutnya ukuran 0,32 – 0,35 mm (23,61%). Kelompok ukuran diameter telur yang didapat dari hasil penelitian menyebar secar mencolok, hal ini menujukkan bahwa ikan betutu melakukan pemijah secara parsial atau tipe pemijahan panjang. Menurut Soewardi (2006), melaporkan bahwa ikan betutu di sungai Cisadane dan di waduk Saguling melakukan pemijahan secara partial atau tipe pemijahan panjang. Berdasarkan Lumbanbatu (1979) dalam Susilawati (2000), bahwa ikan yang melakukan pemijahan secara parsial berarti waktu pemijahanya panjang yang ditandai dengan banyaknya ukuran telur yang berbeda di dalam ovariumnya. Ukuran telur yang berbeda atau tidak
K. Fatah dan S. Adjie / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 89-96
seragam menyebakan ikan melakukan pemijahan secara partial karena telur belum siap dipijahkan secara keseluruhan.
Effendie, M. I. 1997. Metoda Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. Yayasan Agromedia. Bogor. 112 hal.
KESIMPULAN
Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal.
Ikan betutu (Oxyeleotris marmorata) di waduk Kedungombo Propinsi Jawa Tengah dapat memijah sepanjang tahun dengan puncak pemijahan terjadi pada bulan Oktober bersama dengan musim penghujan. Ukuran pertama kali matang gonad terdapat pada panjang total antara 16,5 – 18,1 cm. Nilai IKG pada ikan betutu jantan berkisar antara 0,03 % - 0,65 %, sedangkan ikan betutu betina berkisar antara 0,11 % - 5,57 %. Fekunditas berkisar antara 6414-56.302 butir dan diameter telur berkisar antara 0,2 – 0,67 mm PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset bio-ekologi ikan red devil dan ikan betutu di perairan waduk Kedung Ombo Jawa Tengah T.A. 2011, di Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum-Mariana, Palembang. DAFTAR PUSTAKA Andamari, R., Sjahrul, B & Hasmi, B. 2003. Aspek Reproduksi Ikan Kurisi Bali (Pristipomoides typus) dari Perairan Kei Kecil, Maluku Tenggara. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan (9) 3 : 57 -62. Blaxter, 1969. Oxyeleotris marmorata. www,dmandiri or.id, 23 November 2011. Departemen Pekerjaan Umum Dirjen Sumberdaya air, 2006. Studi Penatagunaan Kawasan Kedung Ombo. PT Terta Buana Manggala Jaya dan PT Virema Karya. Semarang. 60 hal. Dinas Peternakan dan perikanan Sragen, 2006. Profil Waduk Kedung Ombo Sentra Perikanan Kabupaten Sragen. 70 hal. Dharyati, E., A.D. Utomo., S. Adjie., Asyari., D. Wijaya., G. Subroto., B. Waro., D. Ismeywati., E.D. Harmilia., R. Ridho., D. Putranto & S. Sukimin. 2010. Bio-ekologi dan potensi sumberdaya perikanan di waduk Kedung Ombo dan Gajah Mungkur Jawa Tengah. Laporan Akhir. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Palembang. 145 hal. Effendie, M.I. 1992. Metoda biologi perikanan. Fakultas Perikanan. Bagian Ichtiology IPB. 112 hal.
Gunawan., S. Diana., S. Astuty & Iskandar. 1999. Studi biologi ikan betutu ((Oxyeleotris marmorata) di perairan Waduk Cirata. Tesis Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. 20 hal. (Tidak dipublikasikan). Haryani, G.S. 1998. Analisa Histologi Gonad Ikan-Ikan di Perairan Danau Semayang Kalimantan Timur. Hasil Penelitian Puslitbang Limnologi 1997/1998. Puslitbang Limnologi LIPI Cibinong : 632-637. Kottelat, M., A.J. Whitten., Kartikasari S.N. & S. Wirjoatmodjo. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Editions Limited. Jakarta 293 hal. Lagler, K.F. 1972 Freshwater Fishery Biologi. Second Edition. W. M.C. Brown Company Publishers. Dubuque Iowa. 302 hal. Lagler, K.F., J.E. Bardach, R.R. Miller & D.M.Passiano. 1977. Ichthyologi. John Willey and Sons. Inc. New York. 505 p. Nasution, S.H. 2005. Karakteristik reproduksi ikan endemic rainbow selebensis (Telmatherina celebencis Boulenger) di Danau Towuti. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan : 11(2):29-37. Nikolsky, G.V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. New York. 352 p. Pralampita, A.P., Umi, C & Johanes, W. 2003. Panjang, Bobot dan Nisbah Kelamin Cucut Lanjam dari Genus Carcharhinus dan Cucut Selendang, Prionace glauca (Famili Carcharnidae) Yang Didaratkan dari Perairan Samudra Hindia Selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan: (9) 3 : 33 – 47. Pulungan, C. P. Nuraini & Efriyeldi. 1994. Aspek Biologi Reproduksi ikan bujuk (Ophicephalus lucius C.V) dari Perairan Sekitar Teratak Buluh, Riau. Tesis Pusat Penelitian Universitas Riau. Pekanbaru. 15 hal. Soewardi, K. 2006. Studi Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Ikan Betutu (Oxyeleotris marmorata 95
K. Fatah dan S. Adjie / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 89-96
Bleeker) di Sungai Cisadane dan Waduk saguling, Jawa Barat. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Jurnal Natur Indonesia. (8) 2 : 105-113. Sukendi. 2001. Biologi reproduksi dan pengendaliaanya dalam upaya pembinihan ikan baung (Mystus nemurus C) dari perairan sungai Kampar Riau. Disertasi Program Pascasarjana IPB. 178 p. Susilawati, R. 2000. Aspek biologi reproduksi, makanan, dan pola pertumbuhan ikan Biji Nangka (Upeneus moluccensis Blkr.) di Perairan Teluk Labuan, Jawa Barat. Skripsi Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. 99 hal. Udupa, K.S. 1986. Statistical method of estimating the size at first maturity in fishes. Fishbyte. ICLARM. 4 (2): 8-10.
96
Utiah, A. 2007. Penampilan reproduksi induk ikan baung (Mystus nemurus) dengan pemberian pakan buatan yang ditambah asam lemak N-6 dan N-3 dan dengan implantasi estradiol-17 B dan tiroksin. Makalah Laporan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor tahun 2006. 78 hal. Walpole, R.V.E.1993. Pengantar Statistik. Terjemahan Bambang Sumantri (edisi tiga). PT. Gramedia. Jakarta 521 hal. Weber, M & De Beaufort, 1913. The fishes of the IndoAustralian Archipelago. E.J Brill Ltd. Leiden. I-XII. Welcome, R.L. 1985. River Fisheries. FAO Fisheries Technical Paper 262. 330 p. WWW.Seafooddict.com. (2011). diunduh 12 Februari 2012.
BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 97-102
HUBUNGAN PANJANG-BERAT DAN FAKTOR KONDISI LOBSTER BATU (Panulirus penicillatus) DI PERAIRAN SELATAN GUNUNG KIDUL DAN PACITAN LENGTH-WEIGHT RELATIONSHIP AND CONDITION FACTOR OF PRONGHORN SPINY LOBSTER (Panulirus penicillatus) IN SOUTH COAST OF GUNUNG KIDUL AND PACITAN Moh Fauzi1, Andhika Prima Prasetyo2, Ignatius Tri Hargiyatno2, Fayakun Satria3 dan Andria Ansri Utama2 1 Balai Penelitian Perikanan Laut – Muara Baru Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan – Ancol 3 Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumver Daya ikan – Jatiluhur Teregistrasi I tanggal: 15 Mei 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 15 Februari 2013; Disetujui terbit tanggal: 24 April 2013 Email:
[email protected] 2
ABSTRAK Perairan di sebelah selatan Gunung Kidul dan Pacitan merupakan daerah penangkapan lobster yang cukup potensial. Analisis hubungan panjang berat, faktor kondisi dan sebaran kisaran panjang lobster batu (Panulirus penicillatus) di perairan tersebut dilakukan pada bulan Maret 2010 hingga Maret 2012. Pengukuran panjang-berat terhadap 1.803 individu lobster batu menunjukkan pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif. Faktor kondisi lobster memiliki kesamaan antara jenis kelamin jantan dan betina dan terdapat kecenderungan menurunnya faktor kondisi dengan bertambahnya panjang (umur). Panjang karapas dominan berada pada kisaran antara 4550mm. Lobster betina yang membawa telur ditemukan pertama kali pada kelas panjang karapas antara 35-40mm. KATA KUNCI: Hubungan panjang berat, faktor kondisi, Panulirus penicillatus, Gunung Kidul, Pacitan ABSTRACT: The waters in the south of Gunung Kidul and Pacitan were indicated as a potentially fishing ground of spiny lobster. Analysis of Length-weight relationship, condition factor and distribution of the pronghorn spiny lobster (Panulirus penicillatus) in those waters were conducted in March 2010 through March 2012. Length-weight measurements on 1.803 individual lobsters showed allometric negative growth patterns. Lobster have in common condition factor between male and female, and there is a tendency condition factor decreased with increasing length (age). Dominant carapace length is in the range between 45-50mm. Female lobsters carrying eggs were first discovered in the class of carapace length between 35-40mm. KEYWORDS: Length-weigth relationship, condition factor, Panulirus penicillatus, Gunung Kidul, Pacitan
PENDAHULUAN Lobster atau udang barong atau udang karang (Panulirus spp.) merupakan komoditas perikanan yang potensial dan bernilai ekonomis penting untuk ekspor. Permintaan lobster, untuk pasar domestik maupun ekspor terus meningkat (Setyono, 2006). Produksi lobster di Indonesia dipasok hampir dari semua provinsi, dimana Jawa memberikan kontribusi sebesar 10.4% dari total produksi lobster di Indonesia pada periode 1997 – 2007. Daerah penghasil lobster di Pulau Jawa yang potensial adalah Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta dan Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Berdasarkan data statistik perikanan di Propinsi Yogyakarta lobster merupakan komoditas perikanan paling penting meskipun kontribusinya hanya 3% namun nilai produksinya mencapai Rp. 2,8 milyar (Aisyah, 2009).
Perairan Selatan Jawa memiliki beberapa jenis lobster dengan dua jenis dominan yakni lobster pasir (Panulirus homarus) dan lobster batu (P. penicillatus) (Aisyah, 2009). Lobster batu dan pasir merupakan jenis udang karang (Panulirus spp.) yang terdapat di perairan Indonesia karena terdapatnya habitat yang baik berupa karangkarang dan terumbu karang yang tumbuh subur karena beriklim tropis dan mempunyai suhu rata-rata 28o C (Subani, 1981). Di Indonesia sendiri diperkirakan ada 6 Jenis udang karang yaitu lobster batu (P. penicillatus), pasir (P. homarus), mutiara (P. ornatus), batik (P. femoristriga), bambu (P. versicolor) dan pakistan (P. poliphagus) (Moosa, 1984). Musim lobster dimulai pada akhir tahun dan awal tahun berikutnya yakni pada bulan November-Januari (Aisyah, 2009; Setyono, 2006). Hasil obervasi menunjukkan banyak
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara
97
M. Fauzi, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 97-102
juvenil lobster yang belum layak jual (<100 gram) ikut tertangkap. Kondisi ini tentunya akan sangat mengganggu proses rekrutmen alami. Suman (1993) menjelaskan pada tahun 1991 produksi udang karang di perairan Pangandaran berada pada kondisi produksi yang melebihi MSY.
itu, kegiatan sampling juga dilakukan di tempat pengumpul/ juragan lobster. Data biologi yang diamati meliputi jenis lobster, panjang karapas (mm), berat lobster (gr), jenis kelamin, serta perkembangan seksualnya.
Penelitian Aisyah (2009) menyebutkan bahwa ukuran lobster yang tertangkap masih dalam kategori juvenil. Menurut Setyono (2006) disinyalir telah terjadi penurunan populasi yang ditandai dengan penurunan jumlah hasil tangkapan dan ukuran udang yang tertangkap di alam khususnya di perairan selatan Jawa termasuk Pacitan dan Gunung Kidul. Eksploitasi berlebih terhadap suatu sumber daya dapat mengancam kelestariannya. Untuk itu perlu opsi-opsi pengelolaan yang mengatur pemanfaatannya. Saran pengelolaan membutuhkan informasi kondisi biologi sumberdaya tersebut. Tulisan ini memberi gambaran kondisi biologi lobster batu (P. penicillatus) yang tertangkap di Perairan Selatan Jawa khususnya di perairan Gunung Kidul dan Pacitan pada periode penelitian tahun 2010-2012.
Hubungan panjang-berat
Analisis Data
Plot scatter dari log berat tubuh dengan log panjang karapas dibuat pada masing-masing jenis kelamin. Regresi dari panjang dan berat dihitung dengan persamaan hubungan panjang–berat menurut Bal & Rao (1984), yaitu: W = a L b ……………...…………………....……….... (1) dimana W adalah berat lobster (gr), L adalah panjang karapas (mm), a adalah konstanta dan b adalah nilai eksponensial (antara 2-5). Berdasarkan persamaan tersebut dapat diketahui pola pertumbuhan panjang dan bobot ikan. Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan (Tabel 1), Uji-t untuk nilai b yang diperoleh pada selang kepercayaan 95% (á=0.05) (Goddard, 1996).
BAHAN DAN METODE Faktor Kondisi Lokasi dan Waktu penelitian Data panjang berat lobster batu (P. penicillatus) diperoleh melalui pengukuran panjang karapas dan berat total lobster yang tertangkap di perairan selatan Kabupaten Gunung Kidul-Yogyakarta dan Pacitan-Jawa Timur. Pengukuran sampel lobster dilakukan di TPI Sadeng, Drini, Baron, dan Gesing (Gunung Kidul) dan TPI Tawang, TPI Tamperan, Pantai Teleng Ria dan Watu Karung (Pacitan) pada bulan Maret 2010 hingga Maret 2012. Selain
Faktor kondisi lobster dinyatakan dalam angka yang dihitung sesuai dengan persamaan dari Effendie (2002): Kt=102 W/L-3…………................................................ (2) dimana Kt adalah faktor kondisi, W adalah bobot ratarata lobster (g), L adalah panjang rata-rata lobster (mm) dan -3 adalah koefisien panjang untuk memastikan nilai K cenderung bernilai 1.
Tabel 1. Kriteria pertumbuhan berdasarkan nilai b Table 1. Growth criteria based on b value No. 1 2 3
Kondisi nilai b b=3 b>3 b<3
Sifat isometrik allometrik positif allometrik negatif
Keterangan pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan bobot pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan panjang pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobot
HASIL DAN BAHASAN HASIL
dari persamaan hubungan panjang berat antara jantan dan betina sehingga dapat digabung. Hasil gabungan ini menghasilkan persamaan hubungan panjang-berat lobster W = 0,0017L2,8287.
Hubungan Panjang-Berat Faktor Kondisi Sampel lobster batu untuk penghitungan panjang dan berat yang diukur sebanyak 1.277 ekor, terdiri dari 551 ekor betina dan 726 ekor jantan. Perhitungan hubungan panjang berat lobster menghasilkan persamaan bagi lobster jantan W = 0,0022L2,7559 dan lobster betina W = 0,0014L2,8824. Uji statistik menunjukkan tidak ada beda nyata 98
Faktor kondisi merupakan derivat dari pertumbuhan yang sering disebut sebagai Faktor K. Nampak bahwa faktor kondisi lobster batu memiliki kesamaan pada masingmasing jenis kelamin (Tabel 2 dan Gambar 1).
M. Fauzi, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 97-102
Tabel 2. Faktor kondisi Lobster Batu menurut jenis kelamin Table 2. Condition factor of pronghorn spiny by sex Kelamin
Kisaran Kt
Kt rata-rata
Jantan (male)
0,83-1,1
0,96
Betina (female)
0,92-1,14
1,02
Gabungan
0,83-1,14
0,99
Operasi penangkapan lobster dengan gillnet menggunakan armada perahu motor tempel biasanya dilakukan pada kedalaman kurang dari 40 m, walaupun kemampuan pengoperasian armada dapat mencapai jarak antara 2-3 mil dari pantai atau kedalaman lebih dari 90 meter. Alat tangkap krendet dioperasikan tanpa menggunakan perahu, yaitu dengan cara ditebar dari atas tebing atau di atas karang (gambar 3). Nelayan biasa melaut atau memasang krendet pada sore hari dan mengambil hasilnya pada pagi harinya. Sebagai umpan, nelayan biasa menggunakan hewan sejenis molluska.
P. penicillatus, betina N = 551
1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 1.2
P. penicillatus, jantan N = 726
1
Krendet
0.8
0.6
0.4
0.2
0
P. penicillatus, Gabungan N = 1277
1.2 1 0.8 0.6
Gillnet
0.4
135‐139.9
130‐134.9
125‐129.9
120‐124.9
115‐119.9
110‐114.9
95‐99.9
105‐109.9
100‐104.9
90‐94.9
85‐89.9
75.79.9
70‐74.9
65‐69.9
60‐64.9
55‐59.9
50‐54.9
45‐49.9
40‐44.9
35‐39.9
30‐34.9
25‐29.9
0
80‐84.9
0.2
CL Group (mm)
Gambar 1. Faktor kondisi lobster batu menurut kelas panjang karapas di pantai selatan Gunung Kidul dan Pacitan, Maret 2010 – Maret 2012 Figure 1. Condition factors of of pronghorn spiny lobster based on length frequency distribution in South coast of Gunung Kidul and Pacitan, March 2010 – March 2012 Sebaran Panjang Pengukuran panjang karapas terhadap 1.803 sampel lobster di Kabupaten Pacitan dan Gunung Kidul diperoleh kisaran panjang karapas antara 25,06-138,5mm atau ratarata 56,8mm. Kelas panjang yang mendominasi terdapat pada kisaran 45-50mm (Gambar 2). Aspek Penangkapan Nelayan menggunakan dua jenis alat tangkap untuk lobster yaitu gillnet dan perangkap (lokal : krendet).
Keterangan/Remarks : a. kerangka b. jaring 1 lapis, 2 lapis atau 3 lapis c. tali pemasang umpan d. tali pengangkat atau penyambung
Gambar 3. Alat tangkap krendet dan gillnet yang dipergunakan untuk menangkap lobster di Perairan Gunung Kidul dan Pacitan (Sumber : Sarjono & Setyono, 1996). Figure 3. Illustration of krendet and gillnet used to catch lobster in Gunung Kidul and Pacitan waters (Source : Sarjono & Setyono, 1996). Terdapat isu kerusakan habitat akibat tertinggalnya/ tenggelamnya alat tangkap didasar perairan. Lebih dari 50% unit alat tangkap tertinggal selama operasi penangkapan. Dalam satu kali operasi penangkapan tiap kapal dapat membawa antara 100-300 unit alat tangkap. Fenomena ini dikenal sebagai “ghost fishing”. Menurut Matsuoka (2005), ghost fishing merupakan alat tangkap liar, yang hilang atau putus saat dioperasikan. Alat tangkap ini tetap dapat berfungsi untuk menangkap ikan sehingga dapat memepengaruhi kematian (mortality) ikan yang terperangkap tanpa dapat dikontrol atau dikendalikan oleh manusia. 99
M. Fauzi, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 97-102
BAHASAN Lobster batu (Panulirus penicillatus) merupakan salah satu jenis udang karang yang terdapat di perairan Indonesia. Habitat lobster terdapat di daerah karangkarang atau terumbu karang yang tumbuh subur di perairan Indonesia (Subani, 1981). Indonesia diperkirakan memiliki 6 jenis udang karang (Moosa, 1984). Keenam jenis lobster tersebut terdapat di perairan selatan Gunung Kidul dan Pacitan, meliputi jenis lobster batu (Panulisrus penicillatus), pasir (P. homarus), mutiara (P. ornatus), batik (P. femoristriga), bambu (P. versicolor) dan pakistan (P. poliphagus). Pengamatan terhadap 3.164 contoh lobster yang didaratkan di gunung Kidul dan Pacitan diperoleh jenis yang dominan adalah lobster batu (57%) dan lobster pasir (32%) (Gambar 4).
Analisis hubungan panjang dan berat lobster batu selama penelitian di Kabupaten Pacitan dan Gunung Kidul diperoleh pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif artinya pertumbuhan berat tidak secepat pertambahan panjang (Gambar 5). Regresi antara panjang dan berat menunjukkan keeratan yang kuat (R2>0,75 atau 75%), begitu juga pada koefisien a dan b pada masingmasing jenis kelamin. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Suman (1994) di Perairan Pangandaran dan Aceh yang mendapatkan bahwa pola pertumbuhan lobster batu bersifat allometrik negatif. Jenis lobster pasir Panulirus homarus di perairan selatan Gunung Kidul dan Pacitan juga mempunyai pola pertumbuhan allometrik negative (Hargiyatno, 2013). Kesamaan pola pertumbuhan tersebut disebabkan kesamaan karakteristik perairan dalam menunjang ketersediaan makanan dan habitat yang sesuai. Model pertumbuhan individual bergantung pada ketersedian makanan dan suhu perairan (Monterio, 2002). 2000
y = 0.0014x2.8884 R² = 0.9664 P. penicillatus, betina N = 551
1750
Berat (gr)
1500 1250 1000 750 500 250 0 2000
y = 0.0022x2.7559 R² = 0.9418 P. penicillatus, jantan N = 726
1750 1500
Berat (gr)
1250
Gambar 4. Komposisi jenis lobster yang didaratkan di Kabupaten Gunung Kidul dan Pacitan pada periode Maret 2010 – Maret 2012 Figure 4. Composition of spiny lobster landed at Gunung Kidul and Pacitan Regencies during March 2010 – March 2012
Pertumbuhan dalam istilah sederhana dapat dirumuskan sebagai penambahan ukuran panjang dan berat dalam suatu waktu sedangkan pertumbuhan dalam populasi diartikan sebagai pertambahan jumlah. Pertumbuhan merupakan proses biologis yang komplek dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor ini dapat digolongkan menjadi 2 bagian besar, yaitu faktor dalam (intrinsict) dan luar (extrinsict). Faktor dalam antara lain meliputi keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan utamanya adalah makanan dan suhu perairan (Effendi, 2002). 100
750 500 250 0
2000 1750 1500
Berat (gr)
Lobster batu dapat hidup pada kisaran kedalaman 1 – 4 meter pada substrat bebatuan, perairan yang jernih yang tidak terpengaruh arus sungai. Oleh karena itu sering dijumpai di dekat pantai dan pulau-pulau kecil. Spesies ini bersifat nocturnal (aktif di malam hari), tidak bergerombol dan bersembunyi di celah-celah terumbu karang pada siang hari (Holtuis, 1991).
1000
y = 0.0017x2.8287 R² = 0.9521 P. penicillatus, Gabungan N = 1277
1250 1000 750 500 250 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
Panjang Karapas (mm)
Gambar 5. Hubungan panjang berat lobster batu (P. penicillatus) dari pantai selatan Gunung Kidul dan Pacitan Figure 5. Length-weight relationship of pronghorn spiny lobster (P. penicillatus) from the southcoast of Gunung Kidul and Pacitan Faktor kondisi adalah suatu indikator untuk mengetahui pengaruh lingkungan terhadap kondisi fisik yang diukur dari fungsi berat tubuh dibandingkan dengan panjangnya. Secara teoritis untuk mengetahui faktor kondisi digunakan perbandingan diameter dengan berat individu. Apabila kondisi lingkungan buruk maka akan
M. Fauzi, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 97-102
menyebabkan berkurangnya berat tubuh dan bila kondisi lingkungan baik dan cukup nutrisi maka berat badan akan bertambah. Faktor kondisi dapat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, umur, sex rasio dan tingkat kematangan gonad (Effendie, 1979). Pada Gambar 1 terlihat bahwa terdapat kecenderungan menurunnya faktor kondisi dengan bertambahnya usia (panjang karapas sebagai fungsi umur). Secara biologi, lobster merupakan organisme yang berumur panjang dengan pertumbuhan yang lambat.
Jumlah Individu betina
140
Individu Betina
120
Betina dengan telur
100 80 60 40 20
105‐109.9
95‐99.9
100‐104.9
85‐89.9
90‐94.9
75.79.9
80‐84.9
65‐69.9
70‐74.9
55‐59.9
60‐64.9
45‐49.9
50‐54.9
35‐39.9
40‐44.9
25‐29.9
30‐34.9
0
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Jumlah Individu betina yang bertelur
Lobster betina yang tertangkap di perairan Gunung Kidul dan Pacitan dalam kondisi bertelur atau tidak. Telur yang dibawa memiliki variasi tingkat kematangan yang beragam. Terdapat beberapa tingkat kematangan telur yang ditinjau dari warnanya yaitu kekuningan, oranye, kecoklatan atau coklat kehitaman. Selama penelitian diperoleh lobster betina sebanyak 831 ekor dengan kisaran panjang karapas antara 25,1 - 109.9 mm dan 12,8%nya dalam kondisi bertelur dengan kisaran panjang karapas minimum 35,5 – 100 mm (gambar 6). Banyaknya individu betina bertelur yang tertangkap mengindikasikan tidak adanya selektifitas dalam penangkapannya. Kondisi ini juga dapat mengarah pada recruitment overfishing, karena hampir tidak ada kesempatan bagi Lobster untuk berkembang biak (Saputra, 2009). Eksploitasi lobster tanpa kontrol dalam penangkapannya dapat mengakibatkan terjadinya tekanan terhadap kelestariannya. Selektifitas penangkapan meliputi umur dan ukuran yang ditangkap serta jenis yang ditangkap (Troadec, 1992).
CL Group (mm)
Gambar 6. Sebaran panjang karapas lobster betina di perairan Gunung Kidul dan Pacitan, Maret 2010-Maret 2012 Figure 6. Length distribution of female lobster from the south coast of Gunung Kidul and Pacitan, March 2010-March 2012 KESIMPULAN Pola pertumbuhan lobster batu bersifat allometrik negatif dimana pertumbuhan panjang tidak secepat pertumbuhan beratnya. Faktor kondisi lobster
menunjukkan tidak ada beda nyata pada masing-masing jenis kelamin. Terdapat kecenderungan menurunnya faktor kondisi dengan makin bertambahnya panjang (umur) lobster. Kelas panjang karapas dominan pada lobster batu berkisar antara 45-55mm. Panjang karapas minimum lobster betina yang bertelur terdapat pada kisaran antara 35-40mm. PERSANTUNAN Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan “Developing New Assessment And Policy Frameworks For Indonesia’s Marine Fisheries, Including The Control And Management Of Illegal, Unregulated And Unreported (IUU) Fishing” dengan sumber dana dari Hibah Luar Negeri (HLN). DAFTAR PUSTAKA Aisyah, Badrudin, & S. Triharyuni. 2009. Lobster Seed Resources in the South Coast of Yogyakarta. AARD. MMAF. (Unpubslihed Report, in Indonesian with English Abstract). 25 p. Aisyah & S. Triharyuni. 2010. Production, Size Distribution, and Length Weight Relationship of Lobster Landed in the South Coast of Yogyakarta, Indonesia. Ind.Fish.Res.J. 16 (1): 14-24. Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata Mc. Graw–Hill Publishing Company Limited, New Delhi. p. 5 – 24. Effendie, M. I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 p. Effendie, I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta : 97p. Goddard, S. 1996. Feed Management in Intensive Aquaqulture. Fisheries and Marine Institute Memorial University. Newfounland. Canada. Chapman and Hall. New York. Hargiyatno, I.T, A.P. Prasetyo, M. Fauzi, & F. Satria. 2013. Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Selatan Jawa. Inpress. Holthuis, L.B. 1991. FAO Species catalogue : Marine Lobster of World. FAO Fisheries Synopsis.3 (125): 151152. Matsuoka, T., T. Nakashima & N. Nagasawa. 2005. A Review of Ghost Fishing: Scientific Approaches to Evaluation and Solutions. Fisheries Science. 71: 691702.
101
M. Fauzi, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 97-102
Monterio, R. & S. Oliveira. 2002. Fish Growth Modelling Growth of the European anchovy (Engraulis encrasicolus) in the Tagus Estuary, Portugal. [Theses] Unpublished. Diplome D’Etudes Approfondies Europeen en Modelisation de L’Environment Marin, DEA. Portugal: Technical University of Lisbon. 56 p.
Setyono, D.E.D. 2006. Budidaya Pembesaran Udang Karang (Panulirus spp.). Oseana. 31(4): 39-48.
Moosa, M.K. 1984. Udang karang (Panulirus Spp.) Dari Perairan Indonesia. Lembaga Oseanologi Nasional, LIPI, Jakarta : 40 p.
Suman, A., M. Rijal & W. Subani. 1993. Status Perikanan Udang Karang Di Perairan Pangandaran, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (81): 1-7 .
Saputra, S.W. 2009. Status Pemanfaatan Lobster (Panulius sp.) di Perairan Kebumen. Jurnal Saintek Perikanan. 4 (2): 10-15.
Suman, A. & W. Subani. 1993. Pengusahaan Sumberdaya Udang Karang Di Perairan Aceh Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (81): 84-90.
Sarjono & B. Setyono. 1996. Lobster (Panulirus spp.). Kerjasama Departemen Pertanian Balitbang Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran, Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta dan Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian. 83 hal.
Suman, A., W. Subani, & P. Prahoro. 1994. Beberapa Parameter Biologi Udang Pantung (Panulirus homarus) di Perairan Pangandaran Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (85): 1-8.
102
Suman, A. & W. Subani. 1991. Status Perikanan Udang Karang Di Perairan Bima, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (62). 1-9.
Troadec, J-P. 1992. Introduction To Fisheries 1983 Management: Advantages, Difficulties And Mechanisms. FAO Fish.Tech.Pap., (224) : 57 p.
BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 103-111
KARAKTERISTIK BIOLOGI CUMI-CUMI DI PERAIRAN LAUT JAWA BIOLOGICAL CHARACTERISTICS OF SQUID IN THE JAVA SEA Reny Puspasari dan Setiya Triharyuni Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 18 Juli 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 25 April 2013; Disetujui terbit tanggal: 29 Mei 2013 Email:
[email protected]
ABSTRAK Cumi-cumi merupakan hasil tangkapan sampingan bagi sektor perikanan di Laut Jawa, namun memiliki nilai ekonomi cukup penting. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui aspek biologi cumi-cumi mencakup komposisi jenis, morfometrik, rasio kelamin dan tingkat kematangan gonad yang tertangkap di perairan utara Jawa di sekitar periaran Rembang, Cirebon dan Belanakan Subang. Ada empat jenis cumi-cumi ditemukan dalam pengamatan ini yaitu Loligo duvauceli sebagai jenis dominan, disusul oleh L. edulis, L. chinensis dan L. singhalensis. Hubungan panjang mantel dan berat jenis L. duvauceli menunjukkan nilai koefisien pertumbuhan b sebesar 2,003 untuk jantan dan 1,942 untuk betina. Hasil tangkapan individu jantan pada bulan Juni dan Oktober lebih tinggi. Pengamatan tingkat kematangan gonad menunjukkan bahwa cumi-cumi memijah sepanjang tahun. Karakteristik biologi cumicumi di perairan Rembang tidak berbeda nyata dengan cumi-cumi di perairan Cirebon dan Subang, serta memiliki karakteristik yang sama dengan cumi-cumi yang tertangkap di Selat Alas dan perairan India, kecuali waktu puncak pemijahan yang lebih lambat di perairan Rembang dan Cirebon dibandingkan dengan di lokasi lainnya. Kata kunci: Cumi-cumi, morfometrik, rasio kelamin, TKG, Laut Jawa. ABSTRACT: Squid are not the main target of cath fiesheries in the Java Sea, but it has high economic value. The aim of this observation is to study the biological aspect of squid, such as species composition, morfometric, sex rasio and maturity which were caught in Rembang, Cirebon and Subang. There are four species of squid were recorded during sampling dominated by Loligo duvauceli while the others were L. edulis, L. chinensis and L. singhalensis. The Length-weight relatioship of L.duvauceli showed that the growth coeffiicient were 2,003 and 1,942 for male and female respectively. Male were found common in June and October compare to female. Squid were spawned all over the year. There were no significant differences among squid caught in the waters around Rembang, Cirebon and Subang, and it seems also the same biological characters with squid in Alas Strait Nusa Tenggara Barat (NTB) and Indian waters, but the peak of spawning season in Rembang and Cirebon was late than others. Keywords: Squid, morphometric, sex ratio, maturity, Java Sea.
PENDAHULUAN Cumi-cumi (loliginid) merupakan moluska laut yang paling luas penyebarannya di dunia (Okutani, 2005). Di perairan Laut Jawa cumi-cumi bukan merupakan hasil tangkapan utama, tetapi selalu tertangkap setiap bulan. Komposisi rata-rata hasil tangkapan cumi-cumi di perairan Rembang tidak lebih 5% dari total hasil tangkapan setiap tahunnya, namun demikian karena harga jualnya yang tinggi menyebabkan cumi-cumi juga memegang peranan penting bagi perikanan pelagis kecil di Rembang. Total produksi cumi-cumi di Rembang selama tahun 2010 mencapai 388.734 kg yang diperoleh dari alat tangkap mini purseine, payang dan cantrang (Anonim, 2010). Sebaliknya di perairan Cirebon cumi-cumi merupakan hasil tangkapan utama jaring “bouke ami” dengan rata-rata prosentase hasil tangkapan lebih dari 50% dari total hasil tangkapan ikan yang didaratkan. Hasil tangkapan cumi-
cumi cenderung turun dari waktu ke waktu sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 (Anonim, 2010). Tingginya tekanan penangkapan terhadap populasi cumi-cumi dapat memberikan dampak terhadap populasi cumi-cumi sehingga untuk mengetahui kondisi populasi cumi-cumi, maka perlu dilakukan pengamatan terhadap aspek biologis cumi-cumi untuk dijadikan dasar dalam pengelolaan populasi cumi-cumi di perairan Rembang dan Cirebon. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di perairan utara Jawa, pada tahun 2011. Untuk mengetahui komposisi jenis cumi-cumi, dilakukan sampling secara acak terhadap hasil tangkapan mini purse seine dan payang yang di daratkan di tempat pendaratan ikan (TPI) Tanjung Sari dan TPI Sarang Rembang serta di TPI Gebang Cirebon. Pengambilan sampel di Rembang dilakukan pada bulan April dan Oktober, sementara di Cirebon pada bulan Juni 2011.
Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Gedung Balitbang KP II, Jl. Pasir Putih II Ancol Timur, Jakarta Utara
103
R. Puspasari dan S. Triharyuni / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 103-111
Jumlah sampel cumi-cumi yang dianalisis pada bulan April adalah 154 ekor, pada Bulan Oktober sebanyak 122 sampel dan pada bulan Juni sebanyak 229 ekor. Identifikasi jenis mengacu pada Roper et al. (1984). Sebagai bahan pembanding digunakan data cumi-cumi yang tertangkap dari perairan Belanakan Subang pada tahun 2005 dan 2006. (Pralampita & Codriyah 2009). Data komposisi jenis cumicumi diperoleh dari proporsi hasil tangkapan setiap jenis cumi-cumi terhadap total hasil tangkapan cumi-cumi dari beberapa kapal purse seine dan payang. Variabel biologi yang diukur meliputi panjang mantel, lebar mantel, panjang tentakel, panjang kepala, berat badan, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad. Metode pengukuran morfometrik mengacu pada Pierce et al. (1994). Panjang mantel diukur dari bagian ujung mantel berupa rostrum yang menonjol sampai ke bagian ujung posterior mantel yang terdapat diantara sayap. Lebar matel merupakan lebar sayap yang diukur dari bagian ujung kiri sayap sampai bagian ujung kanan sayap. Panjang tentakel diukur dari bagian pangkal tentakel yang terdapat di bagaian kepala sampai ujung tentakel. Panjang kepala diukur dari pangkal kepala pada bagian ujung mantel sampai ke bagian pangkal tentakel (Gambar 2.). Berat yang diukur adalah berat dari total keseluruhan bagian individu. Penentuan kriteria tingkat kematangan gonad mengacu pada Lipinski in Juanico (1983) seperti terdapat dalam lampiran 1.
Gambar 2. Metode pengukuran morfometrik cumi-cumi (Pierce et al. 1994) Figure 2. Method for morfometric measurement of squid (Pierce et al. 1994) duvaucelli dan L. singhalensis (Pralampita & Choidriyah, 2002) (Gambar 1).
HASIL DAN BAHASAN HASIL Keragaman Jenis Dari hasil pengamatan di perairan Laut Jawa di temukan empat jenis cui-cumi yaitu Loligo chinensis, L. singhalensis, L.edulis dan L. duvaucelli. Di perairan Cirebon ditemukan 3 jenis yaitu L.duvauceli, L.chinensis dan L.singhalensis, sedangkan di perairan Belanakan Subang ditemukan 3 jenis cumi-cumi yaitu L. edulis, L.
Loligo chinensis
Loligo singhalensis
Loligo duvauceli merupakan jenis yang dominan tertangkap di perairan Laut Jawa. Di perairan Rembang prersetase hasil tangkapan L. duvauceli berkisar antara 46,1 – 52,6%, di perairan Cirebon persentase hasil tangkapan L. duvauceli tertinggi sebesar 62,01%, sedangkan di perairan Belanakan Subang mirip dengan di Rembang sebesar 43 – 53 % (Pralampita & Choidriah, 2009). Komposisi hasi tangkapan cumi-cumi di perairan Rembang, Cirebon dan Belanakan dapat dilihat pada Tabel 1.
Loligo duvaucelli
Loligo edulis
Gambar 1. Keragaman jenis cumi-cumi di perairan Rembang dan Cirebon. Figure 1. Species variation of squid in Rembang and Cirebon waters. 104
R. Puspasari dan S. Triharyuni / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 103-111
Tabel 1. Komposisi jenis cumi-cumi yang tertangkap di perairan Rembang, Cirebon dan Belanakan Subang Table 1. Species composition of squid caught in Rembang, Cirebon and Belanakan Subang waters Hasil tangkapan cumi-cumi (Loligo sp.) (%) Jenis
Rembang April (2011)
Cirebon
Belanakan
Oktober (2011)
Juni (2011)
2005
2006
Loligo duvaucelli
46,1
52,6
62,01
43
53
Loligo chinensis
15,6
18,6
34,5
0
0
Loligo edulis
33,1
22
0
30
31
Loligo singhalensis
5,2
6,8
3,49
1
12
Di perairan Rembang L. edulis merupakan jenis yang menempati urutan kedua terbanyak dari total hasil tangkapan (20 – 33,1%) diikuti oleh L. chinensis dan L. singhalensis. Di perairan Cirebon L. edulis tidak ditemukan dalam hasil tangkapan pada Juni 2011, jenis terbanyak kedua adalah L. chinensis (34,50%), sementara L. singhalensis hanya ditemukan dalam jumlah sedikit, yaitu 3,49%. Pengamatan terhadap komposisi hasl tangkapan cumi-cumi di perairan Belanakan Subang pada tahun 2005 dan 2006 menunjukkan bahwa L. duvauceli merupakan jenis yang banyak tertangkap (43 – 53%) disusul L. edulis lalu L. singhalensis (Pralampita & Choidriah, 2009). Pralampita & Choidriah (2009) memasukan hasil tangkapan dari genus Sephioteutis ke dalam perhitungan komposisi hasil tangkapan, sehingga nilai total dari proporsi genus Loligo tidak 100%. Pada tahun
2005 hasil tangkapan Sephioteutis di perairan Belanakan mencapai 26%, sementara pada tahun 2006 hasil tangkapan genus Sephioteutis hanya 4%. Distribusi Ukuran Pengamatan terhadap panjang mantel dan bobot menunjukkan bahwa jenis yang mempunyai ukuran terbesar dalah L. singhalensis. Loligo duvaucelli sebagai jenis yang paling dominan berukuran lebih kecil dari L. edulis dan L chinensis, kecuali untuk L. duvaucelli yang tertangkap di perairan Rembang ukurannya sedikit lebih besar dari L. chinensis. Tabel 1. menunjukkan kisaran ukuran panjang mantel cumi-cumi dan Tabel 2. menunjukkan kisaran bobot cumi-cumi yang tertangkap di beberapa lokasi di Laut Jawa.
Tabel 2. Rata-rata panjang mantel beberapa jenis cumi-cumi di Laut Jawa Table 2. The average of mantle length of some squid species caught in Java Sea.
Jenis L. chinensis L. edulis L. duvaucelli L. singhalensis
Rembang 2011 n rata-rata(cm) 46 7,3 81 8,7 133 8,4 16 9,9
n 79 nd 142 8
Cirebon 2011 rata-rata (cm) 10,14 nd 7,97 15,96
n nd nd nd nd
Belanakan 2005 - 2006* rata-rata (cm) nd 16,5 13,2 20,7
*Pralampita & Chodriyah, 2009 **nd = tidak ada data
Tabel 3. Rata-rata bobot beberapa jenis cumi-cumi yang tertangkap di Laut Jawa. Table 3. The average of weight of some squid species caught in Java Sea.
Jenis L. chinensis L. edulis L. duvaucelli L. singhalensis
n 46 81 133 16
Rembang 2011 rata-rata (gr) 31,7 32,8 28,8 38,2
n 79 nd 142 8
Cirebon 2011 rata-rata (gr) 34,4 nd 26,2 128,8
n nd nd nd nd
Belanakan 2005 - 2006* rata-rata (gr) Nd 98 78,8 185,2
* Pralampita & Chodriyah, 2009 **nd = tidak ada data
105
R. Puspasari dan S. Triharyuni / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 103-111
Kondisi morfometrik dari cumi-cumi dapat diketahui melalui hubungan panjang berat pada setiap jenis cumicumi yang tertangkap, namun demikian karena jumlah sampel untuk L. chinensis, L. edulis dan L. singhalensis kurang dari 100 individu, maka hubungan panjang berat hanya dapat dilakukan pada jenis L. duvaucelli saja sebagai jenis yang paling dominan tertangkap. Nilai koefisien regresi kemudian dibandingkan dengan 3 untuk
120
Rembang
Cirebon
100
150
Berat (gram)
Bobot (gram)
200
melihat pola pertumbuhan dari cumi-cumi. Nilai koefisien regresi dapat menunjukkan proporsi kecepatan pertambahan panjang dan berat tubuh. Hasil analisis hubungan panjang berat pada L. duvaucelli yang tertangkap di perairan Rembang dan Cirebon dapat dilihat pada Gambar 4, sementara hubungan panjang berat L. duvauceli untuk kelamin jantan dan betina dari perairan Rembang ditampilkan pada Gambar 5.
y = 0,306x2,063 R² = 0,776
100 50
y = 0,358x2,120 R² = 0,757
80 60 40 20
0
0
0
5
10
15
20
25
0
5 10 Panjang (cm)
Panjang (mm)
15
Gambar 4. Hubungan panjang dan bobot L. duvaucelli di periran Rembang dan Cirebon . Figure 4. Length-weight relationship of L. duvauceli caught in Rembang and Cirebon waters. 200
Jantan
Betina
150 y = 0,348x2,003 R² = 0,836
100 50 0 0
5
10 15 20 Panjang (mm)
25
Bobot (gram)
Bobot ( gram)
200
150
y = 0,423x1,942 R² = 0,889
100 50 0 0
5
10 15 20 Panjang (mm)
25
Gambar 5. Hubungan panjang dan bobot L. duvauceli jantan dan betina. Figure 5. Length-weight relationship of males and females L. duvauceli. Nisbah Kelamin Nisbah kelamin cumi-cumi yang tertangkap di perairan Rembang menunjukkan kecenderungan yang berbeda antara bulan April dan Oktober. Nisbah kelamin pada bulan April untuk L. edulis, L. duvaucelli dan L. singhalensis menunjukkan perbandingan 1: 1. Spesies L. chinensis menunjukkan nisbah yang berbeda dimana betina sangat mendominasi populasi L. chinensis dengan perbandingan 1:7. Pada bulan Oktober individu jantan mendominasi seluruh sampel cumi-cumi yng tertangkap. Nisbah kelamin
106
yang terbentuk berbeda-beda pada setiap spesies. Pada L. chinensis, jumlah jantan hanya 2 kali dari jumlah individu betina. Pada L. edulis jumlah individu jantan hampir 8 kali lebih tinggi dari jumlah individu betina. Jumlah individu jantan L. duvaucelli hanya 4 kali lebih banyak dari individu betina, sedangkan untuk L. singhalensis jumlah individu jantan adalah 3 kali lebih banyak dari individu betina (tabel 2). Pada bulan Juni hasil tangkapan cumi-cumi di perairan Cirebon menunjukkan adanya dominansi Jantan pada semua sepsies yang tertangkap, dengan komposisi yang hampir sama dengan yang terjadi pada bulan Oktober di perairan Rembang.
R. Puspasari dan S. Triharyuni / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 103-111
Tabel 4. Nisbah kelamin cumi-cumi di perairan Rembangdan Cirebon. Table 4. Sex ratio of some species of squid around Rembang and Cirebon waters. Rembang Jenis
April (%)
Cirebon Oktober (%)
Juni (%)
n
Jantan
Betina
n
Jantan
Betina
n
Jantan
Betina
L. chinensis
24
13
88
22
68
32
79
72
28
L. edulis
50
51
49
29
88
12
nd
nd
nd
L. duvauceli
70
45
55
61
81
19
142
84
16
L. singhalensis
8
50
50
8
75
25
8
63
38
= tidak ada data *nd (no data available) Perkembangan Tingkat Kematangan Gonad Analisa tingkat kematangan gonad terhadap empat jenis cumi-cumi yang ditemukan menunjukkan kecenderungan yang berbeda untuk setiap jenisnya. Loligo chinensis menunjukkan peningkatan proporsi TKG IV dan V dari bulan April hingga bulan Juni, dan proporsinya menurun kembali pada bulan Oktober. Loligo duvaucelli menunjukkan kecenderungan yang sama dengan L. chinensis, dimana proporsi TKG IV ditemukan
tingi pada bulan Juni, dan rendah pada bulan April dan Oktober. Loligo singhalensis menunjukkan kecenderungan yang berbeda dengan L. chinensis dan L. duvaucelli, dimana proporsi TKG IV dan V tinggi pada bulan Oktober. Proporsi TKG IV dan V untuk jenis L. edulis pada bulan Oktober ditemukan jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan bulan April, namun pola kenaikan TKG tidak dapat dilihat karena tidak ada data pada bulan Juni. Komposisi tingkat kematangan gonad cumi-cumi pada bulan April, Juni dan Oktober ditampilkan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi tingkat kematangan gonad (TKG) cumi-cumi betina pada April, Juni dan Oktober 2011. Table 5. Composition of maturity stage of female squid in April, June and October 2011.
Jenis
April (% TKG)
Juni (%TKG)
Oktober (%TKG)
n
I
II
III
IV
V
n
I
II
III
IV
V
n
I
II
III
IV
V
L. chinensis
24
25
15
35
25
0
22
0
27
15
33
2
79
14
57
14
14
0
L. edulis
50
29
38
29
4
0
29
0
0
0
0
0
0
0
0
67
33
0
L. duvaucelli
70
31
44
18
8
0
61
0
58
39
36
5
142
17
50
33
0
0
L. singhalensis
8
25
25
50
0
0
8
0
88
0
0
12
8
0
50
0
50
0
Hasil tangkapan menunjukkan bahwa di perairan Rembang jenis cumi-cumi yang mendominasi hasil tangkapan adalah Loligo duvaucelli (46 – 53%), demikian pula di perairan Cirebon L. duvauceli mendominasi hasil tangkapan sebesar 62,01 % dan di perairan Belanakan Subang dominansi spesies ini mirip dengan di Rembang (42 – 53%) (Pralampita & Choidriyah, 2009). Kecenderungan yang sama juga terlihat di perairan Selat Alas Nusa Tenggara Barat (Hartati, 1998).
sama dengan yang tertangkap di Cirebon yaitu 8,4 cm di perairan Rembang dan 7,97 cm di perairan Cirebon. Loligo chinensis dan L. singhalensis yang tertangkap di Rembang berukuran lebih kecil dari jenis yang tertangkap di Cirebon. Rata-rata ukuran panjang mantel ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan cumi-cumi jenis yang sama yang tertangkap di perairan Blanakan Subang pada bulan Nopember 2005 – Juni 2006. Rata-rata panjang mantel L. duvaucelli yang tertangkap di Blanakan Subang adalah 13,2 cm, L. edulis adalah 16,5 cm dan L. singhalensis adalah 20,7 cm (Pralampita & Choidriyah, 2009).
Hasil pengamatan terhadap panjang mantel dari setiap jenis cumi-cumi yang tertangkap di perairan Rembang cenderung lebih kecil bila dibandingkan dengan cumi-cumi yang tertangkap di Cirebon, kecuali untuk jenis L. duvauceli. Rata-rata panjang mantel L. duvaucelli yang tertangkap di Rembang mempunyai ukuran yang hampir
Perbedaan ukuran antara cumi-cumi yang didaratkan di Rembang dan Cirebon pada tahun 2011 dengan cumicumi yang didaratkan di Belanakan Subang pada tahun 2005 – 2006 dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pebedaaan alat tangkap. Cumi-cumi yang didaratkan di Rembang dan Cirebon merupakan hasil
BAHASAN
107
R. Puspasari dan S. Triharyuni / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 103-111
tangkapan mini purse seine dan payang yang lebih banyak beroperasi di daerah pesisir dengan jarak sekitar 1 – 4 mil dari tepi pantai, dengan waktu operasi hanya sehari. Sementara cumi-cumi yang didaratkan di Belanakan tahun 2005 merupakan hasil tangkapan purse seine dan cantrang yang beroperasi di laut lepas dengan bantuan lampu. Daerah operasi purse seine dan cantrang penangkapan cumi adalah di perairan Laut Jawa mulai dari sebelah barat yang berbatasan dengan Pulau Sumatera dan sebelah timur yang berbatasan dengan Selat Karimata dengan lama operasi 12 – 15 hari (Pralampita & Choidriyah, 2009). Menurut Tasywiruddin (1999) cumi-cumi berukuran kecil lebih bayak tertangkap di perairan yang lebih jauh dari pantai dan cumi-cumi berukuran kecil lebih bersifat fototaksis bila dibandingkan dengan cumi-cumi ukuran besar, sehingga ketika penangkapan menggunakan bantuan cahaya maka cumi-cumi berukuran kecil yang akan lebih banyak tertangkap. Jika mengacu pada hasil penelitian Tasywiruddin (1999) maka hasil tangkapan cumicumi yang ditangkap di laut lepas dengan menggunakan bantuan cahaya seharusnya mempunyai ukuran yang lebih kecil bila dibandingkan dengan cumi-cumi yang ditangkap di perairan pantai tanpa cahaya. Dengan demikian perbedaan ukuran yang terjadi pada cumi-cumi yang didaratkan di Belanakan pada tahun 2005 – 2006 dengan cumi-cumi yang didaratkan di Rembang dan Cirebon menjadi indikasi terjadinya penurunan ukuran cumi-cumi di perairan utara Jawa. Analisis panjang berat dilakukan untuk melihat kondisi hubungan matematis antara variabel panjang mantel dan berat cumi-cumi yang dapat dijadikan alat untuk menduga panjang mantel melalui berat atau sebaiknya (Karnik & Chakraborty, 2001). Hasil penelitian ini menunjukkan besaran nilai koefisien regresi (b) untuk L. duvaucelli jantan yang tertangkap di Rembang adalah 2,003 sedangkan untuk L. duvaucelli betina adalah 1,942. Nilai ini lebih kecil dari nilai yang ditemukan oleh Karnik & Chakraborty (2001) untuk L. duvaucelli yang tertangkap di perairan Mumbai India. Nilai koefisien regresi untuk L. duvaucelli yang tertangkap di perairan Mumbai India adalah 2,282 untuk betina dan 2,162 untuk jantan. Hasil analisis kovarian menunjukkan bahwa nilai koefisein regresi untuk jantan dan betina ternyata tidak berbeda nyata, maka analisis hubungan panjang berat untuk cumicumi L. duvaucelli yang tertangkap di Rembang dapat digabungkan antara jantan dan betina dengan satu persamaan saja, dan diperoleh nilai b sebesar 2,063. Nilai koefisein gabungan ini tetap lebih kecil dari hasil penelitian Karnik & Chakraborty (2001) yang menemukan bahwa nilai b gabungan untuk jantan dan betina adalah 2,193. L. duvaucelli yang tertangkap di perairan Cirebon mempunyai nilai koefisien regresi sebesar 2,120. Apabila dilakukan analisis kovarian pada nilai b dari L.duvaucelli yang tertangkap di perairan Mumbai dengan yang 108
tertangkap di perairan Rembang dan Cirebon ternyata ketiga nilai tersebut tidak berbeda nyata, artinya L. duvaucelli yang tertangkap di Rembang mempunyai karakteristik yang sama dengan L. duvaucelli yang tertangkap di perairan Mumbai dan Cirebon. Beberapa nilai koefisien regresi dari studi yang telah dilakukan terhadap L. duvaucelli di perairan Mangalore dan Kerala India, serta di perairan Thailand, menunjukkan bahwa jenis ini mempunyai pola pertumbuhan allometrik yang nilainya lebih kecil dari 3 (Rao, 1988; Supongpan, 1988; Meyappan & Srinath, 1989). Kondisi ini sesuai dengan beberapa pustaka yang menyatakan bahwa cephalopod secara umum dan khususnya untuk kelompok Loliginid memiliki pola pertumbuhan allometrik (Karnik & Chakraborty, 2001). Pengamatan terhadap rasio kelamin menunjukkan bahwa pada bulan April jumlah kelamin jantan dan betina hampir seimbang untuk jenis L. duvaucelli, L. edulis dan L. singhalensis, kecuali untuk L. chinensis lebih didominasi oleh jantan. Pada bulan Juni dan Oktober hasil tangkapan semua jenis cumi-cumi didominansi oleh individu jantan. Kondisi nisbah kelamin dari cumi-cumi terkait dengan terjadinya musim pemijahan (Costa & Fernandes, 1993). Pengamatan terhadap tingkat kematangan gonad untuk L. chinensis dan L. duvauceli menunjukkan bahwa waktu pemijahan dapat terjadi antara bulan Juni sampai Oktober. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hartati (1998) yang menemukan bahwa musim pemijahan cumi-cumi terjadai pada saat suhu perairan hangat yaitu sekitar musim timur yang terjadi antara bulan Juni – September (Hartati, 1998), sehingga bulan Oktober merupakan waktu pasca pemijahan. Pada pengamatan bulan Juni dan Oktober hasil tangkapan cumi-cumi didominansi oleh jantan, hal ini dapat disebabkan oleh terjadinya tingkat kematian yang tinggi pada individu betina setelah proses pemijahan, sesuai dengan hipotesis “post spwan mortality” (Costa & Fernandes, 1993). Proses pemijahan biasanya memerlukan energi yang besar untuk pelepasan telur yang dapat menyebabkan kondisi cumi-cumi betina lemah, sehingga rentan terhadap pemangsaan dan mudah tertangkap. Pengamatan terhadap tingkat kematangan gonad menunjukkan bahwa dalam tiga kali pengamatan yang dilakukan pada April, Juni dan Oktober menunjukkan bahwa TKG I, II, III dan IV khususnya pada individu betina dapat dijumpai. Hal ini menindikasikan bahwa cumi-cumi melakukan pemijahan sepanjang tahun. Pengamatan bulan April didominasi oleh cumi-cumi yang berada pada TKG II untuk L. edulis dan L. duvaucelli, sedangkan L. chinensis dan L. singhalensis didominasi oleh TKG III, hal ini menunjukkan bahwa semua cumi-cumi yang tertangkap sedang dalam fase perkembangan gonad.
R. Puspasari dan S. Triharyuni / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 103-111
Pengamatan bulan Juni L. duvauceli didominansi oleh individu dengan tingkat kematangan gonad pada fase II, L. chinensis didimoinasi oleh TKG IV dengan proporsi 33 % yang berarti bahwa jenis ini mulai memasuki fase matang gonad dan memasuki periode awal pemijahan. sedangkan L. singhalensis didominansi didominasi oleh TKG II, yang menunjukkan bahwa jenis L. singhalensis mempunyai waktu pemijahan yang lebih lambat bila dibandingkan dengan L. chinensis dan L. duvaucelli. Pengamatan pada bulan Oktober menunjukkan kondisi yang hampir serupa yaitu L. duvaucelli dan L. chinensis didominasi oleh TKG II, sedangkan untuk L. singhalensis berada dalam proporsi yang sama antara TKG II dan IV, masing-masing 50%, hal ini berarti bahwa jenis L. singhalensis mulai memasuki fase matang gonad dan periode awal pemijahan pada bulan Oktober, lebih lambat dari L. chinensis dan L. duvauceli. Loligo edulis didominansi oleh TKG III. Hasil pengamatan Pralampita et al. (2002) menunjukkan bahwa tingkat kematangan gonad L. edulis mencapai puncak pemijahan (TKG V) pada bulan Maret – April dan proporsi TKG IV kembali meningkat pada bulan November. Hasil penelitian ini menunjukkan trend yang sedikit berbeda dengan hasil pengamatan Pralampita et al. (2002) dimana perkembangan TKG cumi-cumi di perairan utara Rembang ini lebih lambat bila dibandingkan dengan cumi-cumi yang tertangkap di Tanjung luar Nusa Tenggara Barat. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan tingkat kematangan gonad cumi-cumi adalah suhu (Kidokoro & Sakurai, 2008). Menurut Mohammed (1993) musim pemijahan cumi-cumi terjadi ketika terjadi kenaikan suhu perairan. Kemungkinan lain rendahnya TKG pada bulan April di perairan Rembang adalah disebabkan cumi-cumi telah melakukan pemijahan sebelum bulan April. KESIMPULAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cumi-cumi yang tertangkap di perairan Rembang dan Cirebon menunjukkan karakteristik biologi yang sama. Telah terjadi penurunan ukuran panjang mantel cumi-cumi antara tahun 2005 sampai 2011 di perairan utara Jawa. Musim pemijahan cumi-cumi untuk jenis L. chinensis dan L. duvauceli terjadi antara bulan Juni dan Oktober, sementara untuk jenis L. singhalensis terjadi setelah bulan Oktober. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2001. Fisheries Resources Survey in the Exclusive Economic Zone of Malaysia 1997 - 1999. Biology and Environmental Conditions. Departement of Fisheries. Ministry of Agriculture Malaysia.
Anonim a. 2010. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Kabupaten Rembang 2009. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang. Anonim b. 2010. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2009. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautn dan Perikanan. Jakarta. Costa P.A.S & F.C. Fernandes. 1993. Eproductive cycle of Loligo sanpaulensis (Cephalopoda: Loliginidae) in the Cabo Frio region, Brazil. Marine Ecology Progress Series. 101 (4): 91 – 97. H. Kidokoro, & Y. Sakurai. 2008. Effect of water temperature on gonadal development and emaciation of Japanese common squid Todarodes pacificus (Ommastrephidae). Fisheries Science: 74: 553 – 561. Hartati S.T. 1998. Fluktuasi Musiman Hasil tangkapan cumi-cumi (loliginidae) di perairan Selat Alas Nusa Tenggara Barat. [Thesis]. Bogor. IPB. Juanico, M., 1983. Squid Maturity scale for Population Analysis in Advance in Assesment of World Cephalopod Resources (J.F. Caddy, ed.) FAO. Fisheries Technical Papper (213): 341 – 378. Karnik N.S. & S.K. Chakraborty. 2001. Length-weight relationship and morphometric study on the squid Loligo duvaucelli (d’orbigny) (Mollusca/ cephalopoda) off Mumbay (Bombay) waters west coast of India. Short communication. Indian Journal of Marine Sciences 30 (4): 261 – 263. Meiyappan M.M & M. Srinath. 1989. Growth and Mortality of the Indian Squid (Loligo duvauceli) off Cochin, India. Contribution to Tropical Fish Stock Assesment in India. Ed. Venema S.C. and Van Zalinge N.P. Paper presented at the FAO/DANIDA/ICAR National Training Course on Fish Stock Assesment. FAO. Rome. Meiyappan M.M., M. Srinath, K.P. Nair, K.S. Rao, R. Sarvesan, G.S. Rao, K.S. Mohamed, K. vidhyasagar, K.S. sundraram, A.P. lipton, P. natarajan, G. radhakrishnan, K.A. narasimham, Baiviln, V. Kripa, & T.V. sathianandan. 1993. Stock assessment of the Indian squid Loligo duvauceli Orbigny. Indian Journal of Fisheries 40 (1,2) : 74-84. Mohamed, K S . 1993. Spawning congregations of Indian squid Loligo duvauceli (Cephalopoda Loliginidae) in the Arabian Sea off Mangalore and Malpe. Indian Journal of Marine Sciences, 22 . p. 172-175.
109
R. Puspasari dan S. Triharyuni / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 103-111
Okutani T. 2005. Past, present and future studies on cephalopod diversity in tropical west pacific. Phuket Marine Biology Centre Research Bulletin. 66: 39–50.
Roper, C.F.E., M.J. Sweeney & C.E. Nauen. 1984. Cephaopods of The World. Annoted and Illustrated Catalogue of Species of Interest to Fisheries. FAO Species Catalogue, (125), 3: 277 p.
Pralampita W.A. & U. Choidriyah. 2009. Aspek perikanan dan komposisi hasil tangkapan cumi-cumi yang didaratkan di PPI Blanakan Subang, Jawa Barat. BAWAL 2 (5): 1- 5.
Supongpan, M. 1988. Fisheries biology of Indian squid (Loligo duvauceli) in west coast of the Gulf of Thailand. Thai Fisheries Gazette. V51 (2): 157 – 158.
Pralampita W.A., I.S. Wahyuni, S.T. Hartati. 2002. Aspek reproduksi cumi-cumi tarusan (Loligo edulis) di perairan Selat Alas, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 8 (1): 85 – 94.
Tasywiruddin M. 1999. Sebaran kelimpahan cumi-cumi (Loligo edulis Hoyle 1885) berdasarkan jumlah dan posisi lampu pada operasi penangkapan dengan payang orasdi perairan Selat Alas Nusa Tengara Barat. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Rao S.G. 1988. Biology of Inshore Squid Loligo duvaucelli Orbigny, with a note on its Fishery off Mangalore. Indian Journal of Fisheries. 35 (3): 121 – 130.
110
R. Puspasari dan S. Triharyuni / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 103-111
Lampiran 1. Skala tingkat kematangan gonad cumi-cumi betina (Lipinski, 1979 dalam Juanico, 1983) Appendix 1. Grade scale of gonad maturity female squid (Lipinski, 1979 in Juanico, 1983) I (muda)
:
II (belum matang)
:
III (persiapan)
:
IV (sedang matang) :
V (matang)
:
Organ-organ seksual sangat sulit ditemukan dengan mata telanjang. Oviduk dan nidamental gland (NG) terlihat (jika seluruhnya) seperti garis yang tembus cahaya. Indung telur tembus cahaya dan berselaput. Organ-organ seksual jernih atau keputih-putihan. Oviduk dan nidamental gland tampak jelas, tembus cahaya atau garis keputih-putihan. Oviduk tampak berkelok-kelok. Nidamental gland kecil, semua isi rongga perut di belakangnya dapat dengan mudah diamati. Ovary tampak jelas, kelihata dengan mata telajang. Organ-organ seksual tidak tembus cahaya. Kelokan oviduk diperpanjang dan NG membesar, menutupi beberapa organ bagian dalam. Bentuk luar ovari (belum matang) tampak dengan jelas. NG besar, juga menutupi ginjal dan bagian yang jauh dari hati, jaringan luar oviduk menggemuk dan mengembang masak besar. Banyak telur dalam oviduk. Kelokan kelihatan keras. Telur-telur tidak jernih (95% kasar) dan tertekan bersama-sama sekurang-kurangnya pada bagian oviduk terdekat. Ada kemungkinan ada beberapa perbedaan pada telur-telur di dalam bagian yang jauh dari oviduk. seperti di atas,tetapi telur-teurnya tembus cahaya/jernih (lebih dari 60%) paling tidak ada bagian terdekat dari oviduk. Apabila tergores NG mengeluarkan zat yang kental.
Lampiran 2. Skala tingkat kematangan gonad cumi-cumi jantan (Lipniski, 1979 dalam Juanico, 1983) Appendix 2. Grade scale of gonad maturity male squid (Lipniski, 1979 dalam Juanico, 1983) I (muda)
:
II (belum matang)
:
III (persiapan)
:
IV (sedang matang) :
V (matang)
:
Organ-organ seksual sangat sulit ditemukan dengan mata telanjang. Spermatoforik terlihat komplek (jika seluruhnya) seperti sebuah noda yang jernih atau tembus pandang. Testis tembus pandang dan berselaput Organ-organ seksual jernih atau keputih-putihan, bagian terpisah dari spermatoforik kompleks tampak dengan nyata, testis kecil, strukturnya tidak tampak Organ-organ seksual tidak tembus pandang. Vas deferens keputih-putihan atau putih, spermatoforik dengan lapisan putih, struktur testis tidak jelas. Saluran spermatoforik putih; berliku-liku; membesar, kantung spermatoforik memanjang dengan partikel di dalamnya keputih-putihan, tetapi tanpa bentuk spermatoforik, testis sempit kering, permukaan testis tertutup oleh jaringan. Seperti di atas kecuali bahwa spermatofor terdapat dalam kantung spermatoforik.
111
112
BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 113-121
POTENSI INVASIF IKAN ZEBRA CICHLID (Amatitlania nigrofasciata Günther, 1867)DI DANAU BERATAN, BALI DITINJAU DARI ASPEK BIOLOGINYA BIOLOGICAL ASPECTS AND INVASIVE POTENTIAL OF ZEBRA CICHLID (Amatitlania nigrofasciata Günther, 1867) IN LAKE BERATAN, BALI Agus Arifin Sentosa dan Danu Wijaya Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 07 November 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 15 Mei 2013; Disetujui terbit tanggal: 30 Mei 2013 Email:
[email protected]
ABSTRAK Danau Beratan yang terletak di kawasan Bedugul, Bali telah terintroduksiikan zebra cichlid (Amatitlania nigrofasciata Günther, 1867) secara tidak sengaja. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui potensi ikan zebra sebagai ikan asing invasif di Danau Beratan berdasarkan kajian pada beberapa aspek biologinya. Penelitian dilakukan dengan metode survei lapang di Danau Beratan, Bali pada bulan Mei, Juli dan Oktober 2011. Contoh ikan diperoleh menggunakan jaring insang percobaan dan jaring tarik. Analisis data meliputi hubungan panjang berat, faktor kondisi, parameter pertumbuhan, kebiasaan makanan dan aspek reproduksi ikan. Hasil penelitian menunjukkan ikan zebra mendominasi hasil penangkapan. Ikan tersebut memiliki faktor kondisi yang baik dengan nilai laju pertumbuhan tahunan (K) yang tinggi, bersifat generalis dalam memanfaatkan sumber daya makanan dan matang gonad pada ukuran panjang yang kecil. Karakteristik biologi inimengindikasikan ikan tersebut memiliki potensi invasif yang cukup tinggi. KATA KUNCI: Amatitlania nigrofasciata, karakteristik biologi, Danau Beratan, potensi invasif ABSTRACT: Lake Beratanislocated inBedugul, Balihas been an unintentional introduction ofzebracichlid(Amatitlania nigrofasciataGünther, 1867). The aim of this research was to determine thepotential ofzebra cichlid becomeinvasivealienfish speciesinLake Beratanbasedonseveralbiological aspects.The study was carried outby field surveymethods in Lake Beratan, Bali on May, JulyandOctober 2011. Fish samples was obtained usingexperimentalgillnetsandmodification ofseine nets. Data analysis included the lengthweightrelationship, conditionfactor, growth parameters, foodhabitsand its reproduction aspects. The results showedthat zebracichliddominatethe experimental catchin LakeBeratan. Analysis showedthese fishhavea goodconditionwith ahigh growth rate, have a generalist characteristic in exploitingthe natural food resourcesandmatureat small length size. A reviewforseveral biological aspects ofthe zebra cichlidshowedthatfishhavea highinvasivepotentialinLake Beratan. KEYWORDS: Amatitlania nigrofasciata, biological characteristics, Lake Beratan, potential invasive
PENDAHULUAN Danau Beratan merupakan salah satu danau di Pulau Bali yang memiliki luas genangan 3,85 km2, panjang danau sekitar 7,5 km, lebar 2,0 km, kedalaman maksimum sekitar 20 m serta berada di ketinggian 1231 m di atas permukaan laut. Volume tampung air Danau Beratan adalah sebesar 49,22 juta m3 dengan luas daerah tangkapan air seluas 13,40 km2 (BPS Provinsi Bali, 2010). Danau Beratan tergolong danau kaldera dengan sistem perairan yang tertutup (enclosed lake) (Hehanussa & Haryani, 2009). Introduksi ikan eksotik (non native fish) telah banyak dilakukan di Danau Beratan. Sejak tahum 1945, jumlah jenis Korespondensi penulis: Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Jatiluhur PO BOX 01 Purwakarta, Jawa Barat 41152
ikan yang diintroduksi secara sengaja atau tidak sengaja telah mencapai sembilan jenis (Whitten et al., 1999). Keberadaan ikan introduksi di suatu perairan memiliki dampak positif dan negatif, namun berdasarkan pengalaman di beberapa negara diketahui dampaknya cenderung bersifat merugikan atau catastrophic (Wargasasmita, 2005), terutama terkait dengan keanekaragaman spesies ikan. Kehadiran ikan introduksi di perairan umum bahkan dikhawatirkan akan mengancam keberadaan ikan asli yang ada (Rachmatika & Wahyudewantoro, 2006). Ikan asing dapat menjadi bersifat invasif apabila memiliki karakter sebagai invader yang didukung oleh sifat komunitas yang dapat diinvasi (Meffe et al., 1997; Helfman, 2007).
113
A.A. Sentosa dan D. Wijaya / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 113-121
Pejchar & Mooney (2009) mendefinisikan spesies asing invasif sebagai spesies asing (non-native) yang pada umumnya diintroduksi oleh manusia kemudian mengancam ekosistem, habitat atau spesies lainnya dan menyebabkan perubahan global pada lingkungan. Spesies ikan introduksi dapat menyebabkan dampak negatif apabila sifatnya di perairan menjadi invasif (Verbrugge et al., 2011). Spesies ikan asing yang sukses menginvasi suatu ekosistem umumnya memiliki sifat-sifat berikut: 1) tumbuh dengan cepat; 2) memiliki toleransi tinggi terhadap lingkungan perairan; 3) memiliki fekunditas yang besar dan perenang yang baik (Meffe et al., 1997). Selain itu, Primack (2002) juga menambahkan bahwa spesies eksotik dapat menjadi spesies invasif apabila: 1) tidak ada predator bagi spesies eksotik di tempat baru, 2) tidak ada penyakit dan parasit spesies eksotik di tempat baru, 3) kemampuan adaptasi spesies eksotik di tempat baru, dan 4) sifat agresif spesies eksotik yang mampu merebut relung dari spesies asli. Beberapa contoh kasus spesies ikan yang menjadi invasif di suatu perairan antara lain ikan red devil (Amphilopus citrinellus) di Waduk Ir. H. Djuanda dan Waduk Sermo, ikan louhan (Cichlasoma trimaculatum) di Waduk Sempor dan ikan titik lima (Hemichromis elongatus) di Waduk Kedungombo (Purnomo et al., 2012). Ikan zebra cichlid (Amatitlania nigrofasciata Günther, 1867) merupakan salah satu jenis ikan eksotik yang mengalami introduksi secara tidak sengaja di Danau
Beratan. Secara taksonomi, ikan tersebut berasal dari ordo Perciformes, subordo Labroidei, famili Cichlidae dan subfamili Cichlasomatinae (Froese & Pauly, 2013). Ikan zebra yang awalnya merupakan ikan hias yang terlepas secara tidak sengaja di Danau Beratan saat ini telah melimpah di danau tersebut dandikhawatirkan akan berubah menjadi spesies asing invasif serta berdampak negatif terhadap komunitas ikan di dalamnya (Wijaya et al., 2011). Beberapa karakteristik biologi ikan zebra perlu diketahui untuk mengetahui apakah ikan tersebut cenderung berpotensi menjadi invasif atau tidak di Danau Beratan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ikan zebra cichlid (A. nigrofasciata) menjadi ikan asing invasif di Danau Beratan berdasarkan pengkajian pada beberapa karakteristik biologinya. BAHAN DAN METODE Lokasi, Waktu dan Teknik Pengambilan Sampel Penelitian dilakukan di perairan Danau Beratan, kawasan Bedugul, Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Pengamatan dilakukan pada lima stasiun (Gambar 1) dengan metode survei lapangan yangdilakukan pada bulan Mei, Juli, dan Oktober 2011.
Gambar 1. Stasiun pengamatan ikan zebra di Danau Beratan, Bali Figure 1. Observation station of zebra cichlid at Lake Beratan, Bali Sampel ikan dikumpulkan melalui percobaan penangkapan menggunakan jaring insang pada berbagai ukuran mata jaring, yaitu 0,5; 1,0; 1,5; dan 2,0 inchi yang 114
dipasang pada siang dan malam hari. Seluruh sampel yang diperoleh diukur panjang total dan ditimbang berat tubuhnya kemudian dibedah untuk pengamatan jenis
A.A. Sentosa dan D. Wijaya / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 113-121
kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG). Saluran pencernaan ikan untuk pengamatan kebiasaan makanan ikan dan sampel telur ikan betina untuk pengamatan diameter telur dan fekunditasnya diambil dan diawetkan dalam formalin 4%. Jumlah sampel yang digunakan untuk kajian kebiasaan makan ikan, fekunditas dan diameter telur adalah minimal 30 ekor agar sesuai dengan kaidah pengambilan contoh bagi penelitian kuantitatif (Kerlinger & Lee, 2000). Analisis Data Analisis data meliputi hubungan panjang berat dan faktor kondisi, parameter pertumbuhan, kebiasaan makanan dan aspek reproduksi ikan. Perhitungan hubungan panjang berat dan faktor kondisi dilakukan berdasarkan Effendie (1979) dengan rumus:
W W = aL dan Kn = aL b b
Keterangan: W = berat tubuh (gram) L = panjang total (cm) a dan b = konstanta Kn = faktor kondisi
Natarajan & Jhingran (1961)inEffendie (1979)dengan rumus sebagai berikut:
IP(%)
Vi x Oi n
Vi xOi
100
i 1
Keterangan: IP = indeks bagian terbesar Vi = % volume makanan ikan jenis ke-i Oi =% frekuensi kejadian makanan jenis ke-i n = jumlah organisme makanan ikan (i =1,2,.., n) Luas relung dievaluasi berdasarkan makanan yang dikonsumsi oleh ikan dan dihitung dengan menggunakan indeks Levin (Hespenheide, 1975), yaitu:
Bij
1
P
2
ij
Keterangan: Bij = luas relung jenis ikan ke-i terhadap sumberdaya makanan ke-j Pij = proporsi jenis ikan ke-i yang berhubungan dengan jenis makanan ke-j.
Jenis kelamin ikan dibedakan berdasarkan ciri seksual Nilai b yang diperolehkemudian diuji ketepatannya primernya melalui pembedahan. Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) dilakukan berdasarkan morfologi terhadap nilai b = 3 menggunakan uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%. gonad menurut modifikasi Cassie (Effendie, 1979).Penghitungan fekunditas ditujukan pada gonad ikan Parameter pertumbuhan dianalisis dengan betina (telur) pada TKG III dan IV dengan menggunakan menggunakan model pertumbuhan von Bertalanffy metode gravimetrik (Nikolsky, 1963 in Effendie, 1979): berdasarkan data distribusi frekuensi panjang total ikan yang tertangkap (Sparre & Venema, 1999; Effendie, 2002): F:t=B:b Lt = L *[1 – exp(-K*(t-to))] Keterangan: Lt = panjang ikan (cm) pada saat umur ke-t L = panjang asimptot (cm) K = konstanta laju pertumbuhan ikan per tahun t = umur ikan pada tahun ke-t t o = umur ikan hipotesis saat panjangnya 0 cm Metode penentuan panjang asimtot (L ) dan koefisien pertumbuhan (K) diduga menggunakan program ELEFAN I dalam paket perangkat lunak FiSAT II (Gayanilo et al., 2005). Umur teoritis (to) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) sebagai berikut: Log –(to) = -0,3922 - 0,2752 Log L - 1,038 Log K Analisis data untuk mengetahui kebiasaan makanan ikan (food habits) menggunakan metode indeks bagian terbesar (index of preponderance) yang dikemukakan oleh
Keterangan: F = fekunditas (butir) t = jumlah sub contoh telur B = berat telur (gram) b = berat sub contoh telur Penentuan ukuran rerata panjang pertama kali matang gonad (L m ) dilakukan menggunakan persamaan Spearman-Karber (Udupa, 1986) dengan rumus sebagai berikut: log m = Xk +
X - (X * Pi ) dan M = antilog m 2
dengan selang kepercayaan (ConfidenceInterval/CI) 95% yang dihitung dengan rumus:
p 1 pi 95%CI anti log 1,96* ( x 2 ) * i ni 1
115
A.A. Sentosa dan D. Wijaya / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 113-121
Keterangan: m = rerata ukuran pertama kali matang gonad Xk = logaritma nilai tengah kelas ukuran panjang dengan 100% matang gonad X = jumlah selisih logaritmadari pertambahan nilai tengah panjang Pi = proporsi kematangan gonad ikan pada setiap kelas ukuran panjang ni = jumlah sampel ikan pada setiap kelas ukuran panjang
yang digunakan dalam kajian tersebut didasarkan pada karakteristik umum spesies asing invasif menurut Meffe et al., 1997; Helfman, 2007; dan Oktaviani (2008). Apabila karakteristik biologi suatu ikan banyak terdapat kecocokan dengan kriteria tersebut, maka dapat dikatakan potensi invasif ikan tersebut relatif tinggi.
Pengukuran diameter telur dilakukan menggunakan mikroskop binokuler yang dilengkapi dengan mikrometer. Data sebaranukuran diameter telur digunakan untuk menentukan pola pemijahan ikan (Effendie, 2002).
Komposisi Jenis Ikan yang Tertangkap Selama Penelitian
Informasi karakteristik biologi ikan zebra digunakan sebagai dasar kajian untuk mengetahui potensi invasif ikan tersebut di Danau Beratan. Dasar kriteria aspek biologi
HASIL DAN BAHASAN HASIL
Percobaan penangkapan ikan menggunakan jaring insang percobaan di Danau Beratan selama penelitian menghasilkan 10 jenis ikan dengan komposisi disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi jenis ikan yang tertangkap di Danau Beratan selama penelitian Table 1. Fish catch composition in Lake Beratan on observation
Hubungan Panjang Berat, Faktor Kondisi dan Parameter Pertumbuhan Jumlah sampel ikan zebra yang digunakan untuk analisis hubungan panjang berat adalah sebanyak 558 ekor dengan ukuran panjang total berkisar antara 3,2 – 10,5 cm dan berat tubuh yang berkisar antara 0,44 – 22,79 gram. Analisis hubungan panjang berat terhadap ikan zebra menunjukkanpersamaan: W = 0,021 L2,9723 (R2 = 94,36%)
116
Hasil uji t terhadap nilai b = 3 pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan ikan zebra di Danau Beratan cenderung memiliki pola pertumbuhan isometrik. Hasil analisis kondisi ikan zebra dengan faktor kondisi relatif (Kn) di Danau Beratan menunjukkan kisaran nilai Kn antara 0,328 – 2,218. Secara umum, rerata nilai Kn cenderung tidak berfluktuasi antarwaktu pengamatan dengan kisaran terbesar terdapat pada bulan Juli 2011 (Gambar 2).
A.A. Sentosa dan D. Wijaya / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 113-121
Parameter pertumbuhan ikan zebra mengikuti persamaan sebagai berikut: Lt = 11,03 [1 – exp(-0,85(t – (-0,25))] cm dimana nilai L = 11,03 cm, K = 0,85 tahun-1, dan to= -0,25 tahun. Analisis dengan metode ELEFAN I pada paket program FiSAT menunjukkan indek performansi pertumbuhan (Ö) ikan zebra berkisar antara 1,0 – 3,0. Kebiasaan Makanan Ikan dan Luas Relung Gambar 2. Kisaran faktor kondisi A. nigrofasciata di Danau Beratan Figure 2. Interval of condition factor for A. nigrofasciata in Lake Beratan
Jumlah sampel yang digunakan untuk kajian kebiasaan makanan ikan zebra disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis kebiasaan makanan menunjukkan adanya perubahan makanan alami ikan zebra serta luas relungnya di Danau Beratan dalam waktu pengamatan yang berbeda (Gambar 3).
Tabel 2. Kajian kebiasaan makanan A. nigrofasciata di Danau Beratan Table 2. Food habits study of A. nigrofasciata in Lake Beratan
Gambar 3. Kebiasaan makanan A. nigrofasciata di Danau Beratan secara temporal Figure 3. Food habits of A. nigrofasciata in Lake Beratan temporally
117
A.A. Sentosa dan D. Wijaya / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 113-121
Aspek Reproduksi Ikan Hasil pengamatan terhadap tingkat kematangan gonad (TKG) ikan zebra, baik jantan maupun betina serta fekunditas disajikan pada Gambar 4 dan hasil pengamatan sebaran diameter telur disajikan pada Gambar 5.Nilai ukuran panjang pertama kali matang gonad (Lm) bagi ikan zebra
jantan adalah 2,5 ± 1,07 cm dan ikan betina adalah 3,6 ± 1,11 cm. Hasil analisis menunjukkan ikan zebra jantan cenderung mengalami matang gonad lebih cepat dibandingkan ikan betina. Secara keseluruhan, populasi ikan zebra di Danau Beratan memiliki nilai Lm sebesar 2,9 ± 1,06 cm.
Gambar 4. Aspek reproduksiA. nigrofasciata di Danau Beratan Figure 4. Reproduction aspects of A. nigrofasciata in Lake Beratan
Gambar 5. Sebaran diameter telur A. nigrofasciata di Danau Beratan Figure 5. Egg diametre’s distribution of A. nigrofasciata in Lake Beratan BAHASAN Berdasarkan hasil tangkapan jaring insang percobaan diketahui bahwa komposisi ikan di Danau Beratan didominasi oleh ikan-ikan asing. Ikan zebra (A. nigrofasciata) terlihat mendominasi hasil tangkapan. Kondisi tersebut diduga terkait dengan kelimpahannya yang cukup tinggi di Danau Beratan. Wijaya et al. (2011) menyebutkan bahwa kelimpahan ikan zebra di Danau Beratan relatif merata di seluruh bagian danau.
118
Berdasarkan hubungan panjang-beratnya diketahui bahwa ikan zebra memiliki pola pertumbuhan isometrik yang merupakan tipe pertumbuhan yang ideal pada ikan (Effendie, 2002; King, 2007).Hal tersebut diduga terkait dengan kemampuan adaptasi ikan zebra, kesesuaian habitat dan ketersediaan pakan alami di Danau Beratan sehingga pertumbuhannya relatif cukup baik. Nilai faktor kondisi ikan zebra di Danau Beratan juga menunjukkan kecenderungan berada dalam kondisi yang baik karena 54,66% nilai Kn 1,00. Menurut Effendie (2002), nilai Kn 1,00 menunjukkan kondisi ikan yang baik karena
A.A. Sentosa dan D. Wijaya / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 113-121
berat teramati lebih besar dari berat prediksi sehingga kapasitas pertumbuhan somatik dan reproduksinya relatif lebih baik. Walaupun terdapat variasi kisaran faktor kondisi ikan zebra antar waktu pengamatan yang diduga terkait dengan kondisi habitat dan ketersediaan makanan, secara umum nilai reratanya relatif sama sehingga variasi tersebut tidak terlalu signifikan. Parameter pertumbuhan ikan zebra menunjukkan nilai L sebesar 11,03 cm, K sebesar 0,85 tahun-1 dengan panjang total maksimum yang ditemukan selama penelitian sebesar 10,48 cm. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan nilai panjang maksimum yang dilaporkan oleh Kullander (2003) yang menunjukkan panjang maksimum A. nigrofasciata sebesar 10 cm yang berbasis panjang baku yang terdapat di Amerika Tengah dan Selatan. Nilai K menunjukkan kecepatan suatu individu ikan untuk mencapai ukuran L , sehingga semakin besar nilai K maka semakin cepat L dicapai atau semakin pendek umur ikan (Sparre & Venema, 1999). Dengan nilai K yang relatif tinggi, maka ikan zebra diperkirakan dalam waktu 1 tahun pertumbuhannya akan mencapai 65,38% panjang asimtotnya. Hal tersebut menyebabkan ikan zebra di Danau Beratan mampu tumbuh dengan cepat. Berdasarkan kajian kebiasaan makanan diketahui bahwa makanan utama ikan zebra adalah serangga, namun pada bulan Juli 2011 makanan utamanya berubah menjadi fitoplankton (Tabel 2). Kondisi tersebut diduga terkait menurunnya populasi serangga pada waktu tersebut sehingga ikan zebra akan beradaptasi dengan memanfaatkan sumber daya makanan alami lain yang tersedia. Makanan pelengkap dapat menjadi makanan utamanya apabila ketersediaan makanan utamanya terbatas dengan asas substitusi. Analisis luas relung makanan ikan zebra menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat selama periode pengamatan (Tabel 2). Hal tersebut menunjukkan ikan zebra bersifat generalis dalam memilih makanannya dan mampu menyesuaikan diri terhadap fluktuasi ketersediaan makanan. Apabila dikaitkan dengan keberadaan ikan zebra yang memiliki sebaran yang cukup merata di Danau Beratan (Wijaya et al., 2011), maka ikan zebra memiliki potensi keberadaan dan kemampuan untuk berkembang dengan baik di Danau Beratan. Hal tersebut disebabkan ikan zebra mampu memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal sehingga ikan tersebut mampu beradaptasi dengan fluktuasi ketersediaan makanan dan ruang di perairan Danau Beratan. Kondisi tersebut hampir sama dengan ikan oskar (Amphilophus citrinellus) dan kebogerang (Mystus nigriceps) di Waduk Ir. H. Djuanda yang mampu memanfaatkan sumber daya secara optimal sehingga berpotensi untuk berkembang dengan baik di waduk tersebut (Tjahjo et al., 2009).
Hasil pengamatan terhadap tingkat kematangan gonad (TKG) ikan zebra, baik jantan maupun betina di Danau Beratan ditemukan TKG I hingga V dengan sebaran terbesar pada TKG IV. Hal tersebut menunjukkan ikan zebra umumnya telah mengalami matang gonad dan siap untuk memijah. Nilai fekunditas ikan zebra di Danau Beratan berkisar antara 20 – 1330 butir telur. Wisenden (1995) menyebutkan sekitar 100 – 150 telur dikeluarkan oleh ikan zebra yang memijah secara berpasangan (monogami), telur kemudian diletakkan pada sarang yang berupa lubang pada sisi bebatuan yang telah dibuat sebelumnya, kemudian dijaga oleh induk jantan dan betina. Ikan zebra memiliki kisaran diameter telur sebesar 0,40 – 1,50 mm pada TKG III dan 0,40 – 2,50 mm pada TKG IV. Sebaran diameter telur pada ikan zebra menunjukkan sebaran ukuran yang lebih beragam dengan ukuran diameter telur pada TKG IV yang cenderung lebih besar dibandingkan TKG III (Gambar 4). Hal tersebut menunjukkan adanya pematangan telur secara bertahap. Analisis varian (á=0,05) terhadap distribusi diameter telur ikan zebra pada TKG III dan IV menunjukkan sebaran diameter telur yang heterogen (P<0,05) sehingga pola pemijahannya bersifat partial spawner. Ikan zebra yang bersifat partial spawner akan mengeluarkan telurnya secara bertahap atau sebagian demi sebagian dengan masa pemijahan yang cukup lama (Effendie, 2002). Hasil penelitian terhadap beberapa aspek biologi ikan zebra (Amatitlania nigrofasciata) di Danau Beratan menunjukkan bahwa ikan tersebut cenderung memiliki karakteristik sebagai ikan asing invasif. Hal tersebut terlihat dari kelimpahannya yang relatif cukup tinggi dalam setiap percobaan penangkapan. Ikan zebra memiliki kemampuan untuk tumbuh dengan cepat dengan nilai K sebesar 0,85tahun-1. Pola pertumbuhan yang bersifat isometrik dengan kisaran nilai faktor kondisi yang relatif cukup baik menunjukkan ikan tersebut telah mampu menetap dengan baik di perairan Danau Beratan yang berada di luar habitat aslinya di Amerika Tengah. Ikan zebra di Danau Beratan cenderung berukuran kecil dengan ukuran panjang total dominan berada pada kisaran 7,0 – 7,5 cm. Pola pemijahan yang bersifat bertahap (partial spawner) dan mengalami pertama kali matang gonad pada ukuran yang relatif kecil (2,9 ± 1,06 cm) menyebabkan ikan tersebut memiliki kelentingan populasi yang cukup tinggi dan dengan kondisi lingkungan yang mendukung dikhawatirkan akan terjadi dominansi populasi ikan zebra di Danau Beratan. Kondisi tersebut sesuai dengan karakteristik spesies asing invasif menurut Meffe et al. (1997) dan Helfman (2007) antara lain memiliki waktu generasi pendek dengan kematangan gonad yang cepat, ukuran tubuh yang kecil, memiliki kemampuan penyebaran yang tinggi, mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang berfluktuasi dan generalis secara ekologis dengan tidak 119
A.A. Sentosa dan D. Wijaya / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 113-121
bergantung pada habitat dan makanan tertentu. Ikan zebra diduga mengalami perubahan dari pola strategi k (pertumbuhan lambat, ukuran besar, proses matang gonad yang tidak terlalu cepat) menjadi pola strategi r (pertumbuhan cepat, ukuran kecil, oportunis) dan kondisi tersebut menunjukkan adanya gangguan ekologis (Yemane et al., 2005).
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian “Kajian Risiko Introduksi Ikan di Danau Batur dan Beratan, Provinsi Bali”, Tahun Anggaran 2011 di Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan. DAFTAR PUSTAKA
Ikan zebra di Danau Beratan jumlahnya relatif melimpah, namun ikan tersebut tidak memiliki arti secara ekonomis karena harganya sangat rendah. Bahkan oleh masyarakat setempat ikan tersebut sudah dianggap sebagai hama atau organisme pengganggu. Hal tersebut dikarenakan keberadaan ikan zebra akan mengurangi peluang ikan target tangkapan seperti nila, nilem dan lain-lain yang dapat dijual. Selain itu, ikan zebra yang tersangkut di jaring insang juga relatif sulit untuk melepaskannya karena adanya duri-duri keras pada sirip punggungnya sehingga ikan tersebut akan terpuntal atau terbelit pada badan jaring insang. Berdasarkan karakteristik tersebut, potensi invasif ikan zebra ikan di Danau Beratan cukup tinggi. Perubahan ikan zebra yang awalnya hanya berupa ikan eksotik yang kini mulai memperlihatkan karakter sebagai ikan invasif perlu diwaspadai. Oktaviani (2008) menyatakan bahwa beberapa studi kasus menunjukkan akibat suatu spesies eksotik yang berubah menjadi spesies invasif dapat mengarahkan spesies asli, terutama yang endemik kepada kepunahan.Oleh karena itu, upaya pengelolaan lebih lanjut perlu dilakukan agar keberadaan ikan zebra tersebut tidak sampai menimbulkan dampak ekologis yang lebih besar di Danau Beratan, misalnya dengan pengendalian populasi menggunakan beberapa alternatif teknologi, seperti penggunaan jaring insang dengan mata jaring tertentu (Purnomo et al., 2012). KESIMPULAN Analisis aspek biologi ikan zebra cichlid (Amatitlania nigrofasciata) di Danau Beratan, Bali memperoleh hasil sebagai berikut: (1) Pola pertumbuhan isometrik dengan faktor kondisi yang baik, (2) Parameter pertumbuhan menunjukkan panjang asimtot (L”)sebesar 11,03 cm dan kecepatanpertumbuhan (k) sebesar 0,85 pertahun, (3) Makanan utama ikan zebra adalah serangga dan fitoplankton dengan luas relung makanan yang cenderung meningkat, serta (4) Kematangan gonad ikan jantan dan betina didominasi oleh TKG IV diikuti oleh TKG III dengan pola pemijahan bersifat partial spawner. Mengacu pada beberapa aspek biologi tersebut, maka ikan zebra memiliki potensi sebagai ikan asing invasif yang cukup tinggi di Danau Beratanyang disertai dengan kemampuan adaptasi yang baik.
120
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2010. Bali Dalam Angka. Katalog BPS No. 1102001.51: 465p. Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 p. Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. 163p. Froese, R. & D. Pauly (eds). 2013. FishBase. World Wide Web electronic publication.www.fishbase.org, version (04/2013). Gayanilo, F.C.Jr., P, Sparre & D. Pauly. 2005. FAO-ICLARM Stock Assessment Tools II (FiSAT II). User’s guide. FAO Computerized Information Series (Fisheries). No. 8, Revised version. FAO Rome. 168 p. Hehanussa, P.E. & G.S. Haryani. 2009. Klasifikasi Morfogenesis Danau di Indonesia untuk Mitigasi Dampak Perubahan Iklim. In Konferensi Nasional Danau Indonesia I, Bali. 13-15 Agustus 2009. (ed). Kementerian Lingkungan Hidup. Prosiding Konferensi Nasional Danau Indonesia I Jilid 2: Pengelolaan Danau dan Antisipasi Perubahan Iklim. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. p. 298-310. Helfman, G.S. 2007. Fish Conservation: A Guide to Understanding and Restoring Global Aquatic Biodiversity and Fishery Resources. Island Press. Washington. United States of America. 584p. Hespenheide, H.A. 1975. Prey Characteristics and Predator Niche Width. InMartmel & Diamond (Eds). Ecology and Evaluation of Communities. The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge. p. 158-179. Kerlinger, F.N. & H.B. Lee. 2000. Foundations of Behavioral Research. 4thEdition. Harcourt College Publishers, Holt, NY. 890 p. King, M. 2007. Fisheries Biology: Assessment and Management. 2 nd Edition. Blackwell Publishing. Singapore. 382p.
A.A. Sentosa dan D. Wijaya / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 113-121
Kullander, S.O. 2003 Cichlidae (Cichlids). In R.E. Reis, S.O. Kullander & C.J. Ferraris, Jr. (eds.) Checklist of the Freshwater Fishes of South and Central America. Porto Alegre: EDIPUCRS. Brasil. p. 605-654.
Pengembangan Perikanan). Buku 1: Manual. Kerjasama Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan BangsaBangsa dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 438 p.
Meffe, G.K., C.R. Caroll & Contributors. 1997. Principles of Conservation Biology. 2 nd Edition. Sinauer Associates, Inc. Sunderland, 729p.
Tjahjo, D.W.H., S. Purnamaningtyas & A. Suryandari. 2009. Evaluasi Peran Jenis Ikan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Pakan dan Ruang di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 15 (4): 267 – 276.
Oktaviani, D. 2008. Kehati-Hatian terhadap Introduksi Spesies Ikan Eksotik di Perairan Umum Daratan Indonesia. InRahardjo et al. (eds). Prosiding Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan I. Pusat Riset Perikanan Tangkap bekerjasama dengan Departemen MSP-IPB. Pusat Penelitian Biologi LIPI. dan Masyarakat Iktiologi Indonesia. p. 63-74.
Udupa K.S. 1986. Statistical Method of Estimating the Size at First Maturity in Fishes. Fishbyte 4 (2): 8-10.
Pauly, D. 1980. A Selection of Simple Methods for the Assessment of Tropical Fish Stock. FAO Fish. Circ. No. 729. 54 p.
Verbrugge, L.N.H.. G. vd. Velde. A. J. Hendriks. H. Verreycken & R.S.E.W. Leuven. 2011. Risk Classifications of Aquatic Non-Native Species: Application of Contemporary European Assessment Protocols in Different Biogeographical Settings. Aquatic Invasions, 7. 5p.
Pejchar, L. & H.A. Mooney. 2009. Invasives Species, Ecosystem Service and Human Well-being. Trends in Ecology and Evolution, 24 (9): 497-504.
Wargasasmita, S. 2005. Ancaman Invasi Ikan Asing Terhadap Keanekaragaman Ikan Asli. Jurnal Iktiologi Indonesia,5 (1): 5-10.
Purnomo, K., E.S. Kartamihardja, A. Warsa, D.A. Hedianto, S. Romdon & Waino. 2012. Penelitian Biologi Populasi Ikan Spesies Asing Invasif dan Alternatif Teknologi Pengendaliannya di Waduk Ir. H. Djuanda (Jawa Barat), Waduk Sermo (D.I. Yogyakarta), serta Waduk Kedung Ombo dan Sempor (Jawa Tengah). Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Purwakarta.91 p.
Whitten, T., R.E. Soeriaatmatdja & S.A. Afiff. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Seri Ekologi Indonesia Jilid II. Prenhallindo, Jakarta. 972p.
Primack, R.B. 2002. Essential of Conservation Biology. 3rd Edition. Sinauer Associates, Inc. Sunderland. 698p. Rachmatika, I. & G. Wahyudewantoro. 2006. Jenis-Jenis Ikan Introduksi di Perairan Tawar Jawa Barat dan Banten: Catatan tentang Taksonomi dan Distribusinya. Jurnal Iktiologi Indonesia,6 (2): 93-98. Sparre, P. & Venema, S. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Alih bahasa: Pusat Penelitian dan
Wijaya, D., D.W.H. Tjahjo, A.A. Sentosa, A. Rahman, D.I. Kusumaningtyas, Sukamto & Waino. 2011. Kajian Risiko Introduksi Ikan di Danau Batur dan Beratan, Provinsi Bali. Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Purwakarta. 83 p. Wisenden, B.D. 1995. Reproductive Behavior of FreeRanging Convict Cichlids, Cichlasoma nigrofasciatum. Environmental Biology of Fishes, 43: 121-134. Yemane, D., J.G. Field & R.W. Leslie. 2005. Exploring the Effect of Fishing on Fish Assemblages Using Abundance Biomass Comparison (ABC) Curve. ICES Journal of Marine Science, 62: 374-379.
121
122
BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 123-129
LAJU TANGKAP, KEPADATAN STOK DAN BEBERAPA ASPEK BIOLOGI UDANG JERBUNG (Penaeus merguiensis) DI PERAIRAN DOLAK, LAUT ARAFURA CATCH RATE, STOCK DENSITY AND SOME BIOLOGICAL ASPECT (Penaeus merguiensis) IN DOLAK WATERS, ARAFURA SEAS Ignatius Tri Hargiyatno1), Bambang Sumiono 1), dan Suharyanto2) 1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan 2) Sekolah Tinggi Perikanan Teregistrasi I tanggal: 22 Februari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 15 April 2013; Disetujui terbit tanggal: 17 April 2013 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Udang jerbung (Penaeus merguiensis) merupakan salah satu komuditas ekspor dari Indonesia dan menjadi target penangkapan kapal pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa laju tangkap, kepadatan stok dan beberapa aspek biologi udang jerbung yang berada di Laut Arafura khususnya di perairan Dolak. Dari 229 kali towing jumlah hasil tangkapan udang jerbung adalah 6.705 kg. Rata-rata laju tangkap udang jerbung adalah 32,2 kg/haul atau 13,4 kg/jam. Dengan menggunakan metode luas sapuan trawl diduga kepadatan udang jerbung adalah 0,19 kg tiap km2. Panjang karapas dari 630 ekor udang jerbung berkisar antara 17-53 mm dengan nilai rata-rata 29,97 mm dan bobot rata-rata 26,13 kg. Hubungan bobot dan panjang karapas udang dapat dinyatakan dalam persamaan W = 0,006L2,448, r = 0,95 dengan nilai b = 2,448. Distribusi kelamin didominasi oleh udang betina dengan perbandingan antara jantan dan betina adalah 1,00:2,08. Lima puluh persen dari udang jerbung yang pertama kali tertangkap (Lc) berukuran 27,8 mm, sedangkan ukuran pertama kali matang gonad (Lm) adalah 38,7 mm. Hal ini mengidikasikan udang berukuran kecil mendominasi hasil tangkapan, dimana terbukti bahwa dari total 426 sampel udang betina 75,4 % dalam kondisi tidak matang gonad. Jika penangkapan terus berlanjut tanpa kontrol maka akan terjadi penurunan populasi sumberdaya udang, sehingga perlu pengelolaan yang berkelanjutan dengan menerapkan penutupan musim dan daerah pemijahan sumberdaya udang jerbung. KATA KUNCI : Laju tangkap, kepadatan, aspek biologi, udang jerbung, perairan Dolak, Laut Arafura ABSTRACT Banana prawn (P. merguiensis) is one of the important Indonesian export commodities and the target of shirmp trawl catching in Arafura Seas. The objectives of this research were: 1). To analyze catch rate 2). estimate the stock density and3). to study some biological aspect of Penaeus merguiensis in Arafura Seas. From a total of 229 trawl towing, amount of 6.705 kg of banana prawn was caught with an average of catch rate of 32,2 kg/houl or 13.43 kg / hr. By using swept area methods, the density of banana prawn was abouth 0.19 kg/km2. Average carapace length of 630 banana prawn tails was 29.97 mm and the average weight was 26,13 kg with a length range between 17 mm to 53 mm.. Size was first caught (Lc) on the size of 29.85 mm. Carapace length-weight relationship was equation W = 0,006L2,448,r2 = 0,95 with b = 2,448. Distribution is dominated by female shrimp. Sex ratio between males and females is 1.0: 2.08. The size of 50% banana prawn at first caught (Lc) was 27,8 mm, while the siae of the first mature gonads (Lm) was 38,7 mm. It is indicating that the small prawn dominated the catch, which the proved also by out of total 426 samples of female prawn, 75,4% were having immature gonads. The resources will be decreased if the fishing activities continue without control, so required sustainable management by applying the close season and close area where prawn are spawning. KEY WORD: Catch rate, Stock density, Biological aspect, Penaeus merguiensis, Dolak waters, Arafura Sea
PENDAHULUAN Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan pukat udang di Laut Arafura mempunyai target penangkapan berupa udang sebagai hasil tangkapan utama (HTU) dan beberapa jenis ikan demersal sebagai hasil tangkapan sampingan (HTS). Naamin (1984)
mengemukanan lebih dari 17 spesies udang paneid (udang dari family Paneidae) terdapat di Laut Arafura yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok yang dimanfaatkan secara komersial untuk diekspor yaitu kelompok udang jerbung (Penaeus merguiensis), udang windu (P. monodon, P. semisulcatus, P. esculentus), udang ratu (P. latisulcatus), udang dogol (Metapenaeus ensis, M.
Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Gedung Balitbang KP II, Jl. Pasir Putih II Ancol Timur, Jakarta Utara
123
I. T. Hargiyatno, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 123-129
endavouri) dan udang krosok (Parapenaeopsis scuptylis, Parapenaeopsis stytifera, Trachypenaeus asper, Solenocera australiensis). Udang jerbung (Penaeus merguiensis) yang dalam perdagangan dinamakan “white shrimp” atau “banana prawn” merupakan salah satu komuditas ekspor dari Indonesia dan merupakan target penangkapan pada kapal pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura. Jenis udang ini penyebarannya cukup luas, mulai dari perairan payau sampai kedalaman 70 m (Saples et al., 1985). Pada tahun 1973-1981 rata-rata 30% dari total ekspor udang Indonesia setiap tahunnya berasal dari Laut Arafura dan 59% diantaranya adalah udang jerbung (white shrimp) (Naamin, 1984). Selanjutnya Anonimous (2007) menyatakan nilai ekspor udang jerbung dari Indoensia tahun 2002-2007 mengalami peningkatan sebesar 5% per tahun.
Gambar 1. Desain pukat udang KM. Soerya 82 Figure 1. Design of shrimp trawl M.V Soerya 82
Daerah penangkapan udang di perairan Dolak (Laut Arafura bagian timur) cukup luas. Menurut Naamin (1984) luasnya mencapai 45.000 km2 dan terdapat banyak sungai yang bermuara dibandingkan dengan daerah lainnya, serta di sepanjang pantai banyak tedapat hutan mangrove. Perairan ini juga merupakan salah satu daerah konsetrasi penangkapan pukat udang selain perairan di timur kepulauan Aru (Suryanto & Widodo, 2011). Upaya penangkapan udang yang dilakukan terus menerus di perairan Dolak tanpa adanya pembatasan akan mengakibatkan berkurangnya sumberdaya udang tersebut. Kelimpahan sumberdaya udang di suatu perairan dapat diidentifikasi melalui laju trangkap (catch rate) dan kepadatan stoknya (stock density). Tulisan ini membahas secara ringkas tentang laju tangkap, kepadatan stok dan beberapa aspek biologi udang jerbung hasil dari survey trawl di perairan Dolak, Laut Arafura. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan pengelolaan sumberdaya udang di Laut Arafura.
Gambar 2. Peta perairan Dolak. Penelitian dilakukan hanya di sub area IV (Naamin, 1984) Figure 2. Map of Dolak waters. Study was conducted only in the Sub-area IV, (Naamin,1984) Analisa Data Penentuan Laju Tangkap dan Kepadatan Stok
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 5 April 2008 sampai dengan 10 Juni 2008 dengan mengikuti secara langsung kegiatan penangkapan di atas kapal penangkap udang komersial (KM. Soerya 82) yang berbasis di Ambon. Kapal berukuran 166 GT dengan ukuran panjang (LOA) 22,56 m, lebar (B) 7,79 m dan dalam (D) 4,26 m. Mesin utama berukuran 402 HP/300kW dengan kapasitas palka 25 ton. Alat tangkap yang digunakan adalah pukat udang dengan tali ris atas (head rope) 20 m (Gambar 1). Loksai penelitian adalah di perairan Dolak (Sub Area IV) pada kedalaman antara 5-50m (Gambar 2)(Naamin, 1985).
Kegiatan penelitian penangkapan udang di setiap stasiun dilakukan pada pagi hingga petang hari. Jaring biasanya ditarik selama 2-2,5 jam. Data tentang posisi geografis kapal, waktu operasi, kecepatan kapal, kedalaman perairan dan jumlah hasil tangkapan dicatat pada Fishing Log. Identifikasi jenis udang mengacu pada Grey & Dall (1983). Perhitungan kepadatan stok udang menggunakan metode sapuan (swept area method), berdasarkan luas area yang diliput, kecepatan kapal waktu menarik jaring, lebar bukaan mulut jaring dan hasil tangkapan sebagai berikut (Spare & Venema, 1992) a.n = t x v x h x e x 1,852 x 0,001…..…...........………...1)
124
I. T. Hargiyatno, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 123-129
D = (1/a.n)x(c/f)...............................................................2)
m = xk + x/2 – (x*Ó pi) ..................................................4)
keterangan: a.n = panjang jalur yang dilalui jaring (km); t = lama jaring ditarik (jam); v = kecepatan kapal (km/jam); h = panjang head rope (20 m); e = konstanta bukaan mulut jaring (nilai e = 0,66); 1852 = konversi dari mil ke km; 0,001= konversi dari m ke km; D = kepadatan stok (kg/km2); c = laju tangkap (kg/jam); f = escapment factor (0,5)
Lm = antilog .m .............................................................5) dimana : m = logaritma ukuran pertama kali matang gonad ; k = log nilai tengah yang terakhir dimana udang telah matang gonad (TKG III dan TKG IV); x = selisih log nilai tengah; pi = perbandingan antara jumlah udang yang matang gonad pada kelompok panjang ke i. Kematangan gonad udang betina diamati secara visual pada bagian punggungnya yang di klasifikasi berdasarkan Motoh (1981).
Hubungan Panjang Berat Udang Panjang udang yang diukur adalah panjang karapas (carapace length). Hubungan panjang berat udang mengikuti hukum kubik (Bal & Rao,1984; King, 1995), yaitu: W = aLb ...........................................................................3) dimana: W = berat (gram); L = panjang (mm); a,b = adalah konstanta Panjang Pertama Kali Tertangkap (Lc) Ukuran pertama kali tertangkap (length at first capture, Lc) diperoleh dengan cara memplotkan panjang kerapas udang berdasarkan kelompok panjang (selang kelas) dengan jumlah udang yang dinyatakan dalam presentase kumulatif. Lc dapat diartikan panjang dimana 50% dari udang tertahan oleh jaring (King,1995; Spare & Venema, 1992). Panjang Pertama Kali Matang Gonad (Lm) Panjang udang pertama kali matang gonad (length at first maturity, Lm) dianalisis dengan menggunakan perhitungan persamaan Spearman-Kaber (Udupa, 1986) yaitu:
HASIL DAN BAHASAN HASIL Laju Tangkap dan Kepadatan Stok Selama penelitian telah dilakukan 229 kali penarikan jaring yang berhasil (successful hauls) dengan jumlah hasil tangkapan udang jerbung (Penaeus merguiensis) seberat 6.705 kg, dengan rata-rata tangkapan sebanyak 32,2 kg/ haul atau 13,4 kg/jam. Berdasarkan kedalaman perairannya diperoleh laju tangkap paling tinggi pada kedalaman lebih dari 30 m yaitu 39,9 kg/haul atau 16,8 kg/jam. Pada kedalaman kurang dari 20 m diperoleh laju tangkap 23,5 kg/haul atau 9,7 kg/jam (Tabel 1). Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode luas sapuan, dimana rata-rata laju tangkap udang jerbung sebesar 13,4 kg/jam, maka kepadatan stok udang jerbung di perairan Dolak sebesar 191,3 kg/km2. Kepadatan tertinggi (238,6 kg/km2) terdapat pada strata kedalaman lebih dari 30 m dan terendah (139,9 kg/km2) pada kedalaman kurang dari 20 m. Nilai kepadatan stok udang suatu perairan dipengaruhi oleh variasi waktu, lokasi dan jenis alat tangkap.
Tabel 1 Jumlah tarikan, laju tangkap dan kepadatan stok udang jerbung di perairan Dolak, April-Juni 2008. Table 1. Number of hauling, catch rate and stock density of banana prawn in Dolak waters, April-June 2008.
No/ No
Kedalaman/ Depth (m)
1 < 20 2 20-30 3 >30 Total Average
Jumlah tarikan/ Total haul (n)
Waktu/ Hours (t)
Jumlah tangkapan/ Total Cacth (c) (kg)
125 56 48 229
301,8 134,9 113,8 50,8
2.932 1.860 1.913 6.705
Laju tangkap/ Catch rate (c/n) (c/t) (kg/tarikan) (kg/jam) (kg/haul) (kg/hours) 23,5 9,7 33,2 13,8 39,9 16,8 96,5 40,3 32,2 13,4
Kepdatan stok/ Stock Density (kg/km2) 139,9 195,5 238,6 573,9 191,3
125
I. T. Hargiyatno, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 123-129
Ukuran Pertama Kali Tertangkap
Analisis Regresi terhadap 630 ekor udang jerbung diperoleh hubungan antara panjang karapas dan bobot udang menurut persamaan W = 0,006L2,448, r = 0,95 dengan nilai b =2,448 (Gambar 3). Hasil pengujian nilai b terhadap nilai 3 pada taraf nyata 95% diperoleh hasil nili b < 3. Hal ini berarti pertambahan panjang tidak sebanding dengan petambahan berat udang, sehingga dapat disimpulkan bahwa pertambahan panjang udang jerbung lebih cepat dari pertambahan beratnya (alometrik negative).
Ukuran panjang pertama kali tertangkap (Length at first capture, Lc), pada udang jerbung diperoleh dengan cara memplotkan panjang karapas dengan jumlah udang yang dinyatakan dalam prosentase kumulatif. Pendugaan nilai Lc dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam menentukan upaya dari pengelolaan sumberdaya perikanan udang berdasarkan informasi ukuran udang dengan pukat udang di Laut Arafura.
Frekuensi Komulatif (%)
Hubungan Panjang Berat
Wight (kg)
150 y = 0.006x2.448 r = 0.95
100
100.00 80.00 60.00 40.00
Lc = 28,78 mm CL
20.00 0.00
50
18.5 21.5 24.5 27.5 30.5 33.5 36.5 39.5 42.5 45.5 48.5 51.5 54.5 Nilai tengah panjang karapas (mm CL)
0 0
20
40
60
Carapacs Length (mm)
Gambar 3. Grafik hubungan panjang karapas dan bobot udang jerbung (P. merguiensis) di perairan Dolak, April-Juni 2008. Figure 3. Length-weight relationship of banana prawn at Dolak waters, April-June 2008. Nisbah Jenis Kelamin Pengamatan udang jerbung hasil tangkapan pukat udang diperoleh jumlah contoh udang jantan sebanyak 204 ekor dan udang betina 426 ekor. Perbandingan rasio udang jantan dan betina adalah 1,00:2,08. Dengan uji Chikuadrat perbandingan antara jantan dan betina berbeda nyata (x2 = 78,53; x2 tabel(0,05) = 3,841; x2 tabel(0,01) = 6,635). Hal ini membuktikan bahwa terjadi ketidak seimbangan perbandingan antara udang jantan dan betina dimana jumlah udang betina dua kali lebih besar dari udang jantan.
Gambar 4. Grafik ukuran pertama kali tertangkap (Lc) udang jerbung di perairan Dolak, April-Juni 2008 Figure 4. Length at first Capture (Lc) of P. merguiensis in Dolak waters, April-June 2008 Udang jerbung yang tertangkap memiliki panjang karapas tertinggi adalah 53 mm dan panjang karapas terkecil adalah 17 mm. Berdasarkan analisis grafik hubungan antara panjang karapas dengan frekuensi kumulatif diperoleh 50% ukuran pertama kali tertangkap (Lc) udang jerbung adalah pada panjang karapas 28,78 mm (Gambar 3). Ukuran Pertama Kali Matang Gonad Dari 630 sampel yang diamati terdapat udang betina sebanyak 426 ekor terdiri dari 105 ekor (24,6%) matang gonad dan 321 ekor (75,4%) belum matang gonad (Tebel 2). Berdasarkan strata kedalaman prosentase kematang gonad tidak terdapat perbedaan yang besar. Hal ini dapat diasumsikan bahwa dalam suatu gerombolan (schooling) udang jerbung terdapat penyebaran tingkat kematangan gonad. Nilai Lm yang diperoleh adalah pada ukuran 38,7 mm dengan selang kepercayaan 34,6 mm dan 40,3 mm.
Tabel 2. Tingkat Kematangan Gunad (TKG) udang jerbung betina berdasarkan strata kedalaman diperairan Dolak, April-Juni 2008. Table 2. Gonads Maturity (GM) of banana prawn female based on depth stratification in northern Dolak waters, April-June 2008. Strata Kedalaman/ Depth Stratum (m)
Tingkat Kematangan Gonad/ Gonad Maturity Stage
Total
%
8 8
142 145
33,33 34,04
20 48
6 22
139 426
32,63
11,27
5,16
100
I
II
III
IV
V
<20 20-30
41 43
64 57
16 22
13 15
>30 Total
36 120
58 179
19 57
28,17
42,02
13,38
(%)
Keterangan/Remarks : TKG I dan II = belum matang (immature) TKG III dan IV = matang (mature) TKG V = salin (spent)
126
I. T. Hargiyatno, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 123-129
BAHASAN Kepadatan stok sumberdaya udang jerbung di laut Arafura dari tahun ke tahun dindikasikan mengalami penurunan (Sumiono, 2011). Pada tahun 1985 kepadatan stok udang jerbung di perairan Dolak adalah sebesar sebesar 228 kg/km2 (Rusmadji & Soselisa, 1985). Pada tahun 2007 turun menjadi 200 kg/km 2 (Arif, 1997), sedangkan pada tahun 2000 menjadi 190 kg/km2 dan untuk semua jenis udang sebesar 290 kg/km2 (Badrudin & Sumiono, 2002). Udang jerbung tertangkap pada setiap strata kedalaman yang mejadi daerah penangkapan kapal pukat udang. Populasi udang jerbung bisanya terdapat kesamaan dengan udang dogol yaitu di perairan yang lebih dangkal (5-40 m), masih dipengaruhi oleh massa air tawar dan terdapat hutan mangrove di daerah pantainya (Woffy, 1990). Kepadatan udang jerbung terlihat semakin berkurang pada strata kedalaman yang lebih rendah. Sumberdaya udang jerbung di perairan Dolak mempunyai kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah penangkapan lain (Sumiono, 2011). Dasar perairan di daerah Dolak kebanyakan berupa lumpur atau campuran pasir dengan lumpur. Endapan pasir campur lumpur yang ada lebih banyak berasal dari muara sungai Digul. Dasar subtrat berliat sangat disenangi oleh udang jerbung dan udang dogol (Wedjadmiko, 2007). Pada siang hari umumnya hasil tangkapan udang jerbung lebih banyak dari pada malam hari. Udang jerbung aktif mencari makan pada siang hari, tidak membenamkan diri dan hidup di dasar perairan yang keruh (Penn, 1981). Hubungan panjang berat ikan (udang) sangat penting artinya dalam ilmu dinamika populasi, antara lain: (1) memberikan pengetahuan secara matematis hubungan antara panjang dengan berat ikan (udang), sehingga dapat dikonversikan dari nilai panjang ke berat atau sebaliknya; (2) mengukur variasi dari berat harapan untuk panjang tertentu, atau; (3) untuk mengetahui koefisien kondisi dari ikan (udang) yang menunjukkan kegemukan relatif (Le Gren, 1957 dalam Holder & Raitt, 1974). Udang jerbung di perairan Dolak memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif. Hal yang sama juga ditunjukkan beberapa penelitian di beberapa perairan di Indonesia, diantaranya adalah di Jawa (Wedjatmiko & Yulianti, 2003), Sumbawa Timur (Suman et al., 1991) dan Perairan Selat Madura (Setyohadi et al., 2000). Perbedaan pola pertumbuhan yang diperoleh umumnya terjadi pada daerah dan waktu pengambilan sample yang berbeda. Nisbah jenis kelamin jantan dan betina (sex ratio) sangat dibutuhkan sebagai dasar pengetahuan dalam biologi umum dan tingkatan eksploitasi (Holden & Raitt,
1974). Pada suatu perairan dalam keadaan normal perbandingan antara jantan dan betina adalah 1:1 (Bal & Rao, 1984). Keseimbangan perbandingan antara kelamin jantan dan betina, kemungkinan disebabkan oleh terjadinya pembuahan sel telur oleh spermatozoa semakin banyak sehingga dapat menetas untuk menjadi individu baru (Effendi, 2002). Di perairan Dolak terjadi ketidak seimbangan antara udang jantan dan betina. Hal ini mirip juga diperlihatkan dari studi di perairan Jawa dimana nisbah kelamin adalah 1,00:2,09 (Wedjadmiko & Yulianti, 2003), di perairan Kupang nisbah kelamin adalah 1,00:2,2 dan di perairan Belu 1,0 :1,9 (Suman et al., 1991), sedangkan di perairan Kufar perbandingannya adalah 1,00:1,86 (Susetiono & Setyono, 1990). Perbandingan nisbah kelamin dari setiap lokasi menunjukkan perbedaan di setiap lokasi-lokasi yang secara geografis berbeda. Hal ini kemungkinan merupakan strategi mempertahankan populasi udang jerbung, dimana dari 630 sample udang yang dikaji, sebanyak 426 ekor adalah betina dan 204 ekor atau betina 2 kali lebih banyak tertangkap, sama seperti perbandingan nisbah kelaminnya. Kemungkinan lain adalah sifat sgresifitas udang jantan untuk lebih cepat menghindari jaring dibandingkan betina. Nilai panjang karapas pertama kali udang jerbung tertangkap dengan trawl di Laut Arafura sebesar 28,78mm. Nilai tersebut lebih besar dari pada tahun 1987 yaitu sebesar 24,6 mm atau udang berumur 4 bulan (Naamin, 1984). Sementara di Laut Jawa diperoleh nilai Lc udang jerbung dengan jaring arad (mini trawl) pada panjang 28,9 mm (Wedjadmiko & Yulianti, 2003). Hasil yang hampir sama diperoleh pada udang jerbung betina di perairan Tegal dan sekitarnya yaitu 27,7 mm dan udang jerbung jantan 22,6 mm (Anonimous, 2011). Perbedaan nilai Lc selain disebabkan oleh ukuran (mesh size) jaring yang digunakan juga disebabkan oleh waktu dan lokasi penangkapan. Menurut Susetiono & Setyono (1990) kelompok udang jerbung di perairan dangkal cenderung lebih kecil dari pada di perairan yang lebih dalam. Nilai Lm digunakan sebagai pengetahuan tentang musim pemijahan udang jerbung. Di perairan jawa diduga bahwa bulan Juni merupakan puncak musim pemijahan udang jerbung dengan tingkat prosentase 20,1% sudah matang gonad (Widjatmiko & Yulianti, 2003). Dari hasil pengamatan terhadap kematangan udang jerbung pada bulan April dan Mei di perairan Dolak persentase induk yang matang gonad lebih dari 20%, hal ini belum bisa menunjukkan bahwa bulan tersebut merupakan musim pemijahan udang jerbung karena waktu sampling yang kurang mewakili. Naamin (1984) mengemukakan musim pemijahan udang jerbung di Laut Arafura terjadi sepanjang tahun dengan puncak musim pada bulan Februari – Maret dan September – Oktober.
127
I. T. Hargiyatno, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 123-129
Udang jerbung betina di perairan Dolak pertama kali matang gonad pada panjang karapas 38,7 mm. Pada daerah penangkapan yang sama diperoleh nilai Lm lebih kecil yaitu 25,9 mm (Naamin, 1984). Hal ini menunjukkan bahwa udang yang matang gonad lebih berukuran besar. Nilai Lc (28,78 mm) lebih kecil dari pada nilai Lm (38,7 mm) menunjukkan udang yang banyak tertangkap belum mengalami matang gonad, dimana hal ini juga sejalan dengan hasil kajian, yaitu 426 ekor udang betina hanya 105 ekor yang matang gonad (24,6%), sedangkan sebagian besar sisanya (75,4 %) belum matang gonad (Tabel 2.). Berdasarkan fakta yang ditemukan, maka perlu perhatian serius dalam mengelola sumberdaya udang di Laut Arafura. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka kedepan akan diperoleh udang jerbung yang semakin mengecil dan populasi (kepadatan stok) yang semakin menurun, seperti yang sudah jelas tergambar dari tahun 1985 hingga 2010. Salah satu rekomendasi yang dapat diberikan adalah pelarangan operasi penangkapan kapal pukat udang pada daerah (close area) dan waktu (close season) tertentu yang potensial sebagai daerah dan musim pemijahan. Untuk itu perlu penelitian yang mendalam tentang aspek reproduksi udang jerbung di Laut Arafura.
Anonimous. 2010. Dinamika Populasi Ikan Demersal dan Udang Paneid di Perairan Laut Jawa (Losari Transect). Laporan Teknis. Balai Riset Perikanan Laut. Jakarta; 37 p. Arif, R.Z. 1997. Analisis finansial Usaha Penangkapan Udang dengan Alat Tangkap Pukat Udang pada KM. Kurnia 15 di Perairan Selatan Irian Jaya milik PT Alfa Kurnia Fish Enterprice, Sorong, Irian Jaya. Karya Ilmiah Praktek Akhir. DIV. (tidak dipublikasikan), Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta; 98 p. Badrudin & Sumiono, B., 2002. Indeks Kelimpahan Stok dan Proporsi Udang dalam Komunitas Sumberdaya Demersal di Perairan Kepulauan Aru, Laut Arafura. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 8 (1): 2002. 95-102. Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata Mc. Graw–Hill Publishing Company Limited, New Delhi: p. 5 – 24. Effendi, I. M., 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Yogjakarta, p. 97-98.
KESIMPULAN 1. Laju tangkap udang jerbung (Penaeus merguiensis) di Laut Arafura pada bulan April-Juni 2008 adalah 13,4 kg/jam atau 32,2 kg/haul dengan kepadatan stok sumberdaya sebesar 191,3 kg/km2. 2. Hubungan panjang berat udang jerbung (Penaeus merguiensis) besifat alometric negative yaitu pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan beratnya. 3. Nisbah kelamin udang jerbung (Penaeus merguiensis) antara jantan dan betina tidak seimbang, jumlah betina lebih banyak dari pada jantan dengan perbandingan 1,00:2,08. 4. Panjang karapas udang jerbung pertama kali tertangkap (Lc) adalah 28,78 mm, sedangkan panjang saat pertama kali matang gonad (Lm) adalah 38,7, dimana 75,4 % udang betina belum mengalami matang gonad. 5. Pengelolaan berkelanjutan terhadap populasi udang jerbung dan juga udang-udang lain di Laut Arafura perlu mendapat perhatian serius. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari penulisan Karya Ilmiah Praktek Akhir yang merupakan salah satu syarat kelulusan program Diploma IV pada sekolah Tinggi Perikanan tahun 2008. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2007. Analisis Data Kelautan dan Perikanan 2007. DKP; 86. 128
Grey, D.L & W. Dall. 1983. A Guide to The Australian Paneide Prawn Departement of Primary Production. Darwin. Northern Territory; 140p. Halden, M.S. & D.F.S. Raitt (Ed.). 1974. Manual of Fisheries Science Part 2. Methods of Resource Investigation and their Aplication. FAO Fish. Tech. Pap. 115 Rev 1. (http://www.fao.org/docrep/003/f0752e/f0752e05.htm) di akses tanggal 24 Juli 2013 King, M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Fishing News Books: 341p. Motoh, H.. 1981. Studies on The Fisheries Biology of The Giant Tiger Prawn, Penaeus monodon, in The Philippines. SEAFDEC Tech. Pap. No. 7: 128 p. Naamin, N. 1984. Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis de Man) Di Perairan Arafura dan Alternatif Pengelolaannya. Desertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor : 281 p. Penn, J. W. 1981. A review of mark-recapture and recruitment studies on Australian penaeid shrimp. Kuw. Bull. Mar. Sci. 2: 227-247. Rusmadji, R. & Y. Soselisa, 1985. Laporan Survey dengan KM. Bawal Putih II di Perairan Selatan Irian jaya, Maret-Mei, 1985. Sub BPPL Semarang : 22 p. (tidak diterbitkan)
I. T. Hargiyatno, et al. / BAWAL Vol. 5 (2) Agustus 2013 : 123-129
Setyohadi.D, D. Nugroho, A. Muharyanto, D.G.R. Wiadnya & Martinus, 2000. Biologi dan Distribusi sumberdaya udang Penaeid berdasar hasil tangkapan di perairan Selat Madura. Jurnal Agritek, 8 (3): 368-38. Spare, P. & S.C. Venema. 1992. Introduction to Tripocal Fish Stock Asseessment Part 1. Manual. Fao Fish. Tech. Pap. (306/1). Rev.1: 376 p. Staples, D.J, Vance, D,J. & D.S. Heales. 1985. Habitat Aequirements of Juvenile Paneid Prawn and Their Relationship to Offshore Fisheries in Rothlisberg, P.C., Hill, B.J & D.J. Staples (Eds.): Secon Australian National Prawn Seminar. Cluveland. Queensland, Australia: p. 47-54. Suman, A., Nugroho, & D., Rijal, M., 1991. Beberapa Aspek Biologi Udang Putih (Penaeus merguensis – de Man) di Perairan Kupang dan Belu, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta 61. p. 91-97. Sumiono, B. 2011. Distribusi, Komposisi Jenis, Kepadatan Stok dan Status Pemanfaatan Udang Paneid di Laut Arafura dalam Sumiono, B., Wudianto & A. Suman (Ed): Sumberdaya Ikan, Perikanan dan Alternatif Pengelolaannya. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Jakarta. p 1-14.
Suryanto & A. A. Widodo. 2011. Struktur dan Dinamika Armada Perikanan di Laut Arafura. dalam Sumiono, B., Wudianto & A. Suman (Ed): Sumberdaya Ikan, Perikanan dan Alternatif Pengelolaannya. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Jakarta. p 79-99. Susetiono & D. Setyono, 1986, Beberapa Informasi Biologi Udang Putih (Penaeus merguiensis de Man) di Perairan Kufar Seram Timur. Balai Penelitian Pengembagan Sumberdya Laut, Ambon. 7 p. Udupa, K.S. 1986. Statistical Method of Estimating The Size of First Mature in Fishes. Fishbyte 4 (2): 8-10. Wedjatmiko., 2007. Sebaran dan Kepadatan Udang Mantis (Carinosquilla spinosa) di Perairan Arafura. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 13 (1): 61-67. Wedjatmiko & Yulianti, 2003. Beberapa Aspek Biologi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis) di Perairan Mayangan, Pantai Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 9 (3). p. 27-34. Woffy, A. 1990. Population Dynamics of Metapenaeus ensis (Penaeid) in The Gulf of Papua, PNG. Fishbyte. 8 (1):18-20.
129
BAWAL WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP Pedoman bagi Penulis UMUM 1. Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap memuat hasil-hasil penelitian bidang “natural history” ikan (pemijahan, pertumbuhan serta kebiasaan makan dan makanan) serta lingkungan sumberdaya ikan. 2. Naskah yang dikirim asli dan jelas tujuan, bahan yang digunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah dipublikasikan atau dikirimkan untuk dipublikasikan di mana saja. 3. Naskah ditulis/diketik dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak diperkenankan menggunakan singkatan yang tidak umum 4. Naskah diketik dengan program MS-Word dalam 2 spasi , margin 4 cm (kiri)-3 cm (atas)-3 cm (bawah) dan 3 cm (kanan), kertas A4, font 12-times news roman, jumlah naskah maksimal 15 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya. Penulis dapat mengirimkan naskah ke Redaksi Pelaksana BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap, Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Gedung Balitbang KP II Jl. Pasir Putih II Ancol Timur, Jakarta Utara 14430, E-mail:
[email protected]. 5. Dewan Redaksi berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan. PENYIAPAN NASKAH 1.
Judul
2.
Abstrak
3.
Kata Kunci
4.
Pendahuluan
5.
Bahan dan Metode
6.
Hasil dan Bahasan
7.
Kesimpulan
8. 9.
Persantunan Daftar Pustaka
Contoh
10. Tabel 11. Gambar
: Naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama penulis. Jabatan atau instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama. : Dibuat dengan Bahasa Indonesia dan Inggris paling banyak 250 kata, isinya ringkas dan jelas serta mewakili isi naskah. : Ditulis dengan Bahasa Indonesia dan Inggris, terdiri atas 4 sampai 6 kata ditulis dibawah abstrak dan dipilih dengan mengacu pada agrovocs. : Secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan sub bab. : Secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait. : Hasil dan bahasan dipisah, diuraikan secara jelas serta dibahas sesuai dengan topik atau permasalahan yang terkait dengan judul. : Disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian. : Memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah. : Disusun berdasarkan pada abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut. Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku atau nama dan nomor jurnal, penerbit dan kota, serta jumlah atau nomor halaman.
: Sunarno, M. T. D., A. Wibowo, & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Tulang Bawang, Kampar, dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. J.Lit.Perikan.Ind. 13 (3). 1-14. Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Ind.Fish Res J. 12 (2). 129-157. Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scintific Publishing Company. New York. 318 p. Defeo, O., T. R. Mc Clanahan, & J. C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J. C. Castilla (eds). Fisheries Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing. Singapore. p. 3-24. Utomo, A. D., M. T. D. Sunarno, & S. Adjie. 2005. Teknik peningkatan produksi perikanan perairan umum di rawa banjiran melalui penyediaan suaka perikanan. In Wiadnyana, N. N., E. S. Kartamihardja, D. I. Hartoto, A. Sarnita, & M. T. D. Sunarno (eds). Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia Ke-1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. p. 185-192. Publikasi yang tak diterbitkan tidak dapat digunakan, kecuali tesis, seperti contoh sebagai berikut: Anderson, M.E, Satria F. 2007. A New Subfamily, Genus, and Species of Pearlfish (Teleostei: Ophidiiformes: Carapidae) from Deep Water off Indonesia. Species Diversity 12: 73-82.
: Disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan. : Skema, diagram alir, dan potret diberi nomor urut dengan angka Arab. Judul dan keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. 12. Foto : Dipilih warna kontras atau foto hitam putih, judul foto ditulis dalam dua Bahasa Indonesia dan Inggris, dan nomor urut di sebaliknya. Dicetak dalam kertas foto atau dalam bentuk digital. 13. Cetak Lepas (Reprint) : Penulis akan menerima cetak lepas secara cuma-cuma. Bagi tulisan yang disusun oleh lebih dari seorang penulis, pembagiannya diserahkan pada yang bersangkutan.