ISSN 1907-8226
BAWAL WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP Volume 4 Nomor 3 Desember 2012 Nomor Akreditasi : 419/AU/P2MI-LIPI/04/2012 (Periode: April 2012-April 2015) BAWAL, Widya Riset Perikanan Tangkap adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum. Publikasi ini memuat hasil-hasil penelitian bidang “natural history” ikan (pemijahan, pertumbuhan, serta kebiasaan makan dan makanan) serta lingkungan sumber daya ikan. Terbit pertama kali tahun 2006 dengan frekuensi penerbitan tiga kali dalam setahun, yaitu pada bulan: APRIL, AGUSTUS, DESEMBER. Ketua Redaksi: Prof. Dr. Ir. Wudianto, M.Sc. (Teknologi Penangkapan Ikan-P4KSI) Anggota: Prof. Dr. Ali Suman (Biologi Perikanan-BPPL) Prof. Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc. (Oseanografi Perikanan-LIPI) Dr. Ir. Husnah, M.Phil. (Toksikologi Perairan-BPPPU) Drs. Bambang Sumiono, M.Si. (Biologi Perikanan-P4KSI) Ir. Sulastri (Limnologi-LIPI) Mitra Bestari untuk Nomor ini: Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc (Hidro Akustik Perikanan-IPB) Dr. Ir. Zainal Arifin, M.Sc. (Pencemaran Perairan-LIPI) Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal (Ikhtiologi-IPB) Dr. Estu Nugroho (Genetika Populasi Ikan-BPPAT) Dr. Achmad Sarnita (Pengelolaan Sumberdaya Perikanan) Lilis Sadiyah, Ph.D. (Permodelan Perikanan-P4KSI) Redaksi Pelaksana: Ralph Thomas Mahulette, S.Pi., M.Si. Kharisma Citra, S.Sn. Desain Grafis: Arief Gunawan, S.Kom. Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telp. (021) 64711940; Fax. (021) 6402640 Email:
[email protected] BAWAL-WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan - Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan.
ISBN 1907-8226 BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap Volume 4 Nomor 3 Desember 2012 DAFTAR ISI KATAPENGANTAR………………………………………………………………………………………................
i
DAFTARISI…………………………………………………………………………………………………..............
iii
Aspek Biologi dan Fluktuasi Hasil Tangkapan Cucut Tikusan, (Alopias pelagicus) di Samudera Hindia Oleh : Dharmadi, Fahmi, dan Setiya Triharyuni…………………………………………………………………………………
131-139
Aspek Biologi Reproduksi Ikan Cucut Kacangan (Hemitriakis indroyonoi ) di Samudera Hindia Oleh : Ria Faizah, Umi Chodrijah, dan Dharmadi.................................................................................................................
141-147
Komposisi Jenis dan Penyebaran Ikan Laut – Dalam di Perairan Kepulauan Sangihe dan Talaud Sulawesi Utara Oleh : Fayakun Satria, Bram Setyadji, dan Andria Utama…………………………………………………...........................
149-159
Stuktur Ukuran Ikan Madidihang (Thunnus albacares) yang Tertangkap Pancing Ulur Disekitar Rumpon Samudera Hindia Selatan Bali dan Lombok Oleh : Noor Muhammad, dan Abram Barata.........................................................................................................................
161-167
Penangkapan Juvenil Ikan Madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) di Perairan Teluk Tomini Oleh : Siti Mardlijah, dan Enjah Rahmat…………………………………………………………………………… 169-176 Beberapa Parameter Populasi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) di Perairan Selat Bali Oleh : Arief Wujdi, Suwarso, dan Wudianto………………………………………………………………………………………
Keanekaragaman Ekhinodermata di Perairan Talise, Minahasa Utara Oleh : Eddy Yusron …………………………………………………………………………………………………………………
Fenomena Plastisitas Fenotipik Ikan Belida (Chitala lopis) di Sungai Kampar, Riau Oleh : Arif Wibowo, dan Marson …………………………………………………………………………………………………
177-184
185-193
195-204
iii
KATAPENGANTAR Widya Riset Perikanan Perikanan Tangkap “BAWAL” memiliki fungsi sebagai wadah untuk menyampaikan informasi hasil penelitian yang dilakukan para peneliti dari dalam maupun luar lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan. Informasi-informasi tersebut sangat berguna bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) terutama para pengambil kebijakan sebagai dasar dalam pengelolaan perikanan dan konservasi sumber daya ikan di perairan laut maupun perairan umum daratan. Seiring dengan terbitnya Widya Riset Perikanan Tangkap Bawal Volume 4 Nomor 3 Desember 2012 ini, kami ucapkan terima kasih kepada para Mitra Bestari atas kesediannya dalam menelaah beberapa naskah. Pada Volume 4 Nomor 3 Desember 2012, Bawal menampilkan delapan artikel hasil penelitian di perairan laut dan perairan umum daratan. Delapan artikel tersebut mengulas tentang, Aspek Biologi dan Fluktuasi dan Hasil Tangkapan Cucut Tikusan, (Alopias pelagicus) di Samudera Hindia, Aspek Biologi Reproduksi Ikan Cucut Kacangan (Hemitriakis indroyonoi ) di Samudera Hindia, Komposisi Jenis dan Penyebaran Ikan Laut – Dalam di Perairan Kepulauan Sangihe dan Talaud Sulawesi Utara, Stuktur Ukuran Ikan Madidihang (Thunnus albacares) yang Tertangkap Pancing Ulur disekitar Rumpon Samudera Hindia Selatan Bali dan Lombok, Penangkapan Juvenil Ikan Madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) di Perairan Teluk Tomini, Beberapa Parameter Populasi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) di Perairan Selat Bali, Keanekaragaman Ekhinodermata di Perairan Talise, Minahasa Utara, Fenomena Plastisitas Fenotipik Ikan Belida (Chitala lopis) di Sungai Kampar, Riau. Semua artikel pada edisi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang perikanan tangkap di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para penulis dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam edisi ini.
Redaksi
i
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139
ASPEK BIOLOGI DAN FLUKTUASI HASILTANGKAPAN CUCUT TIKUSAN, (Alopias pelagicus) DI SAMUDERA HINDIA BIOLOGICAL ASPECTS AND CATCH FLUCTUATION OF PELAGIC THRESHER SHARK (Alopias pelagicus) IN THE INDIAN OCEAN 1)
Dharmadi, 2)Fahmi, dan 1)Setiya Triharyuni
1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan 2) Pusat Penelitian Oseanologi-LIPI Teregistrasi I tanggal: 3 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 4 Desember 2012; Disetujui terbit tanggal: 5 Desember 2012
ABSTRAK Cucut tikusan (Alopias pelagicus) merupakan salah satu spesies cucut yang habitatnya di perairan oseanik dan umumnya sering tertangkap dengan jaring insang tuna yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Penelitian ini dilakukan pada April 2002 sampai Desember 2007 di tempat pendaratan ikan Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pengamatan langsung di lapangan dan pengumpulan data melalui enumerator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara panjang total dengan panjang klasper bersifat logaritmik (R2 = 0,8694) dan berbeda nyata (P < 0,05). Hubungan antara panjang total dan panjang standar baik jantan dan betina bersifat linier masing-masing dengan nilai ( R2= 0,9803, dan R2= 0,9423). Frekwensi panjang terendah pada cucut tikusan jantan antara 150-170 cm (kelompok muda) dan antara 291-310 cm (kelompok dewasa). Frekuensi tertinggi terdapat pada ukuran antara 231-270 cm. Pada cucut tikusan betina, frekuensi panjang terendah adalah 200-220 cm (kelompok muda) dan antara 321-340 cm (kelompok dewasa), dan tertinggi antara 261-280 cm. Sedangkan rasio kelamin jantan dan betina cucut tikusan mendekati 1:1 (51% : 49%). Hasil tangkapan cucut tikusan selama enam tahun mengalami penurunan sebesar 34,9 %. Terdapat indikasi terjadi penurunan kelimpahan cucut tikusan di perairan Samudera Hindia. KATAKUNCI : Aspek biologi, fluktuasi hasil tangkapan, cucut tikusan, Samudera Hindia ABSTRACT : Pelagic thresher tuna drift (Alopias pelagicus) is one of shark species that inhabitats the oceanic waters and are generally caught with gill nets that operates in the Indian Ocean. This research was conducted in April 2002 until December 2007 at Cilacap fish landing place. Data were obtained through direct observation and data collection by enumerators. The results showed that the relationship between the total length and the clasper length was logaritmic (R2 = 0,8694) and significant different (P<0,05). Relationship between the total length and the precaudal length of both male and female were linier (R2= 0,9803, dan R2= 0, 9423) respectively. Length frequency of male Alopias pelagicus was lowest between 150-170 cm total length (young group) and between 291-310 cm total length (adult group). The highest frequency contained in the size between 231-270 cm. The lowest frequency of female Alopias pelagicus was 200-220 cm total length (young group) and between 321-340 cm total length (adult group), and the highest between 261-280 cm total length. The sex ratio of male and female Alopias pelagicus ps aproximately 1: 1 (51%: 49%). The catches of this species decreased by 34.9% within the study period (2002-2007), this indicated that the abundance of Alopias pelagicus declined in the Indian Ocean. KEYWORDS: Biological aspects, catch fluctuation, pelagic thresher shark, Indian Ocean.
PENDAHULUAN Cucut tikusan termasuk dalam familiAlopiidae dari ordo Lamniformes terdiri dari tiga spesies yaitu Alopias vulpinus, A. superciliosus dan A. pelagicus. Namun di perairan Indonesia diketahui hanya ada dua spesies yang baru teridentifikasi yaitu A. pelagicus dan A. superciliosus. Meskipun di Indonesia status konservasinya belum dievaluasi tetapi dalam daftar merah yang dikeluarkan oleh IUCN ketiga spesies tersebut termasuk dalam kategori rawan mengalami kepunahan (vulnerable). Genus Alopias memiliki nama lokal berbeda-beda di beberapa daerah di
Indonesia misalnya di Bali disebut hiu monyet atau hiu lancur, di Lombok disebut hiu tikus, di Cilacap dinamakan cucut tikusan untuk Alopias pelagicus dan cucut paitan untuk Alopias superciliosus dan di Jakarta dikenal dengan nama cucut pedang, karena ekornya yang panjang berbentuk seperti pedang. Bobot ekornya dapat mencapai 33 % dari bobot total tubuhnya. FamiliAlopidae merupakan cucut predator aktif dan bentuk ekor yang panjang digunakan untuk mengumpulkan mangsa. Meskipun ketiga spesies tersebut secara umum mempunyai hubungan erat dan memiliki karakteristik yang sama, namun pada dasarnya mereka sangat berbeda (Hanan et al., 1993).
Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur - Jakarta Utara
131
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139
Secara visual perbedaan tersebut terletak pada bentuk kepala dan ukuran matanya. Alopiidae bereproduksi secara ovovivipar, di mana setelah cadangan makanan dalam kantong telur (yolk sac) terserap, maka perkembangan janin akan memperoleh makanan dari telur yang masih berkembang di dalamnya (Bigelow & Schroeder, 1948; Otake & Mizue, 1981). Di perairan Pasifik Alopias vulpinus jenis betina matang kelamin pada ukuran panjang total 315 cm (Strasburg, 1958) dan jenis jantan mencapai kematangan kelamin pada ukuran panjang sekitar 333 cm (Cailliet & Bedford, 1983). Alopias superciliosus termasuk epipelagik dengan mendiami perairan pada kedalaman tidak kurang dari 500 m (Compagno, 1984). Ukuran panjang total maksimum tertangkap adalah 461 cm untuk cucut betina dan 378 cm untuk cucut jantan, sedangkan ukuran pada saat lahir antara 64-106 cm. Jenis jantan matang kelamin dijumpai pada ukuran panjang total sekitar 300 cm terdapat pada umur antara 3-4 tahun, sedangkan jenis betina matang kelamin berumur 5-6 tahun pada ukuran panjang total sekitar 350 cm (Gruber & Compagno, 1981). Alopias pelagicus bersama dengan A. superciliosus pada umumnya tertangkap dengan jaring insang permukaan yang biasa digunakan nelayan sebagai umpan untuk menangkap tuna-cakalang di perairan Samudera Hindia tetapi kadang-kadang tertangkap juga dengan pancing tuna. Pillai & Honma (1978) melaporkan bahwa hasil tangkapan rata-rata cucut pelagis termasuk Alopias di perairan Samudera Hindia berkisar 0,1-5,0 ekor per 1.000 mata pancing. Informasi tentang aspek biologi Alopias pelagicus yang tertangkap di perairan Samudera Hindia sampai saat ini masih kurang (Castro et al., 1999) dan di Indonesia dapat dikatakan belum tersedia. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang aspek biologi cucut tikusan yang diharapkan hasilnya akan dapat digunakan sebagai bahan dalam melaksanakan penelitian kebijakan pengelolaan perikanan cucut. BAHANDANMETODE Penelitian ini dilakukan pada pada tahun 2002 sampai 2007 di tempat pendaratan ikan utama yaitu di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. Pengamatan aspek biologi meliputi panjang tubuh, nisbah kelamin serta panjang klasper, dilakukan dengan pengukuran dan pengamatan langsung secara visual di lapangan. Pengukuran klasper dalam satuan sentimeter yang diukur dari lekukan bagian dalam dari sirip perut sampai ke bagian ujung klasper. Sedangkan bobot cucut ditimbang menggunakan timbangan duduk dalam satuan kilogram. Jumlah sampel cucut yang diamati untuk memperoleh data biologi sebanyak 426 ekor yang terdiri dari 202 ekor jantan dan
132
224 ekor betina. Data yang dianalisa merupakan hasil pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan dan berdasarkan pencatatan data harian oleh enumerator dari 66 unit kapal yang menggunakan alat tangkap jaring insang permukaan yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Cucut yang tertangkap merupakan hasil tangkapan sampingan dari kapal jaring insang permukaan tunacakalang. Analisis data untuk mengetahui korelasi antara dua parameter yang diukur (panjang total – panjang klasper, bobot – panjang total, dan panjang total – panjang standar) adalah dengan menggunakan statistik regresi berdasarkan Software Minitab Release 13. Sedangkan untuk mengetahui tingkat perkembangan kelamin klasper secara mikroskopis mengacu pada Martin & Coillet; Snelson et al. dalam White et al. (2001) seperti pada Tabel 1. HASIL DAN BAHASAN HASIL Morfologi Menurut Last & Stevens (2009) secara morfologis tubuh ikan cucut Alopias berbentuk silindris agak gemuk, moncong agak panjang, kerucut dan lancip. Mulut bagian ‘ventral’ bergerigi kecil atau sedang berbentuk pipih seperti bilah pisau, jumlahnya kurang dari 60 baris pada masingmasing rahang. Cucut ini mempunyai 5 celah insang, dimana 2 terakhir terdapat di atas sirip dada. Sirip punggung pertama kurang lebih terletak di tengah badan atau sedikit ke belakang, tinggi dan berdiri tegak. Sirip punggung ke dua kecil dan sirip dubur yang bentuknya kecil terdapat di balik sirip punggung ke dua. Sirip dada panjang dan sempit. Sirip ekor bagian cuping atas sama panjangnya dengan panjang badan serta warnanya tidak begitu terang. Ciri-ciri morfologi yang secara spesifik dapat dibedakan antara spesies satu dengan spesies lainnya yaitu sebagai berikut : terdapat alur horisontal yang lemah pada masing-masing sisi tengkuknya, mata dan gigi berukuran kecil, jumlah gigi lebih dari 29 buah pada masing-masing rahangnya. Sirip punggung pertama terletak di tengah pangkal sirip dada dan sirip perut. Sirip dadanya panjang, sempit dan berujung bulat. Terdapat warna putih dibagian perut dan tidak meluas sampai pangkal sirip dada (Gambar 1). Ketiga spesies dari genus Alopias dapat dibedakan terutama dari warna pada permukaan bagian punggung tubuh. Alopias vulpinus memiliki warna hijau gelap pada bagian punggung, Alopias superciliosus abu-abu dan Alopias pelagicus umumnya nampak biru. Alopias superciliosus dapat mencapai panjang 4.9 m dan Alopias pelagicus hanya dapat mencapai ukuran panjang 3 m (http://en.wikipedia. org/ wiki/Alopiidae diunduh tanggal 12 Maret 2009).
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139
Tabel 1. Tingkat kematangan pada ikan bertulang rawan Table 1. Maturity stage of Elasmobranchii
1. 2.
Tingkat kematangan/ Maturity stage Betina Belum matang Berkembang, anak dara
3.
Matang, belum bunting
4.
Matang, bunting
5.
Matang, pulih salin
No.
Perkembangan secara mikroskopis/ Microcopies developing
Ovari dan testis kecil, ke-2 uteri berukuran sama, tipis, dan lunak. Ovari bagian kiri berisi kantong telur berukuran kecil, uterus bagian kiri mulai membesar tetapi tipis dan lunak. Ovari bagian kiri berisi telur berdiameter >2 mm, lunak, dan tipis. Uterus bagian kiri banyak mengandung trophonemata. Ovari bagian kiri berdiameter >2 mm. Terjadi pembuahan telur atau embrio pada uterus bagian kiri. Trophonemata membesar dan berwarna gelap. Ovari bagian kiri berdiameter >2 mm. Uterus bagian kiri membesar tetapi lunak, terlihat baru melahirkan anak. Trophonemata berwarna gelap.
Jantan 1.
Belum matang
2.
Sedang berkembang
3.
Matang, belum bereproduksi
4.
Matang
Testis belum berkembang, klasper berukuran kecil, dan belum terjadi pengapuran. Testis membesar tapi tanpa lubang-lubang di permukaan, vas deferens (saluran sperma) membulat. Klasper membesar, mulai terjadi pengapuran dan kaku. Lubang-lubang pada testis membengkak disebabkan memproduksi sperma. Saluran sperma membulat kencang. Klasper sangat berkembang dan kaku disebabkan oleh zat kapur. Seminal vesikel penuh spermatozoa yang sudah matang. Lubanglubang permukaan testis dan klasper membesar dan kaku.
Gambar 1. Morfologi cucut tikusan, Alopias pelagicus (Last & Stevens,2009) Figure 1. Morphology of Pelagic thresher shark Distribusi Frekuensi Panjang Untuk mengetahui parameter pertumbuhan dari suatu spesies ikan salah satu cara dapat dilakukan dengan melihat perkembangan distribusi frekuensi panjang tubuh (Sparre & Venema, 1992). Hasil pengukuran panjang total cucut tikusan (Alopias pelagicus) jantan yang berukuran antara 150-170 cm dengan modus 160 cm merupakan
frekuensi terendah. Kelompok ukuran tersebut termasuk berumur muda. Pada ukuran antara 271-360 cm dengan modus 320 cm merupakan kelompok dewasa. Frekuensi panjang tertinggi terdapat pada dua kelompok ukuran, yaitu kelompok pertama antara 231-250 cm dengan modus 240 cm dan kelompok kedua antara 251-270 cm dengan modus 260 cm. Pada cucut tikusan betina, frekuensi panjang terendah adalah 291-310 cm dengan modus 300 cm untuk kelompok ukuran dewasa/matang muda. Frekuensi panjang tertinggi antara 231-250 cm dengan modus 240 cm (Gambar 2). Hubungan Panjang Total dan Panjang Standar Hubungan antara panjang total dan panjang standar pada cucut tikusan betina dan jantan disajikan pada Gambar 3. Hubungan dua parameter dari kedua jenis kelamin cucut tersebut adalah linier dimana nilai R2=0,9423 untuk betina dan R2=0,9803. Berdasarkan nilai R2 dari dua jenis kelamin tersebut, maka dapat dikatakan bahwa baik cucut tikusan jantan dan betina terjadi perkembangan panjang tubuh yang hampir sama.
133
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139
Gambar 2. Distribusi frekuensi panjang cucut tikusan (Alopias pelagicus) jantan dan betina Figure 2. Length distribution frequency of male and female of Pelagic Thresher (Alopias pelagicus) 350
Female, n = 224
300
Total Length (cm)
250 ) m c( 200 th g n eL 150 la t To 100
TL = 20.345 + 1.9726x PCL R² = 0.9423
50 0 0
50
400
Total Length (cm)
350
100 Pre Caudal Length(cm)
150
200
Male, n = 202
300
) m c( 250 h tg n 200 eL la t 150 o T 100
y = 10.141 + 2.0469PCL R² = 0.9803
50 0 0
50
100 Pre Caudal length (cm)
150
200
Gambar 3. Hubungan antara panjang total dan panjang standar A.pelagicus jantan dan betina Figure 3. Relationship between total length and precaudal length of Thresher shark of male and female Hubungan Panjang Total dan Panjang Klasper Hubungan antara panjang klasper dan ukuran tubuh biasanya digunakan untuk menentukan ukuran di mana ikan jantan elasmobranchs mencapai kematangan kelamin (Stevens & McLoughlin, 1991). Meskipun kedua bagian klasper kiri dan kanan berfungsi dalam proses reproduksi, tetapi hanya satu yang dimasukkan ke dalam kloaka betina selama kopulasi atau proses perkawinan. Hubungan antara panjang total tubuh dan panjang klasper Alopias 134
pelagicus dapat dilihat pada Gambar 4. Hubungan tersebut bersifat logaritmik dengan nilai R2=0,8694, dan berbeda nyata (p<0,05). Hubungan kedua parameter tersebut menunjukkan bahwa dengan bertambah panjang total tubuh cucut tidak selalu akan terjadi pertambahan panjang pada klasper, akan tetapi klasper tetap mengalami perkembangan yang ditunjukkan dengan semakin membesar klasper karena terjadi proses pengapuran (calcification). Clark & Von Schidt dalam Carrier et al. (2004) menyatakan bahwa proses terjadinya pengapuran
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139
dan perkembangan (mengeras dan kaku) pada klasper merupakan standar untuk menentukan tingkat kematangan kelamin pada ikan-ikan bertulang rawan. Sedangkan hubungan antara panjang total dan bobot cucut tikusan disajikan pada Gambar 5. Terlihat hubungan
kedua parameter tersebut adalah eksponensial (R2=0,9389), berdasarkan uji t diperoleh nilai b=3, sehingga hubungan tersebut bersifat isometrik yang menunjukkan dengan bertambah panjang tubuh, maka bobot cucut tikusan juga bertambah.
30
Clasper Length (cm)
25
CL = 0.152e0.0162TL R² = 0.8694
20
Male, n= 110
15 10 5 0 0
50
100
150
200
250
300
350
Total Length (cm)
Gambar 4. Hubungan antara panjang total dan panjang klasper A. pelagicus Figure 4. The relationship between total length and clasper length of A. pelagicus
2.6762TL 2
0.9389
Gambar 5. Hubungan antara panjang total dan bobot cucut tikusan (Alopias pelagicus) Figure 5. The relationship between total length and weight of pelagic thresher shark Rasio Kelamin Informasi perbandingan jenis kelamin atau nisbah kelamin pada spesies ikan dalam ilmu biologi reproduksi diperlukan untuk mengetahui peluang perkembangan populasinya. Perbandingan kelamin atau rasio kelamin merupakan aspek yang sangat penting bagi kemampuan individu dalam proses rekruitmen populasi spesies (Anonim, 2009), dan proses rekruitmen suatu spesies ikan akan berhasil apabila perbandingan jumlah jantan dan betina dalam satu populasi seimbang. Rasio kelamin antara jantan dan betina cucut tikusan secara bulanan selama tahun 2001-2005 disajikan pada
Gambar 6. Rasio kelamin jantan dan betina bulanan pada periode April 2001 hingga Oktober 2005 berfluktuatif dan tidak seimbang, kecuali hanya pada Oktober 2004. Hal ini menunjukkan bahwa rasio kelamin pada cucut tikusan selalu mengalami perubahan pada periode tertentu. Keadaan ini dapat disebabkan oleh faktor intrinsik, yaitu perbandingan rasio kelamin jantan dan betina pada saat dilahirkan. Proporsi jantan dan betina pada saat lahir dapat menjadi indikator penting pada proses reproduksi suatu populasi ikan (Anonim, 2005). Lebih lanjut Brykov et al. (2008) menyatakan bahwa rasio kelamin berkaitan dengan jumlah ikan yang dihasilkan pada generasi berikutnya dan sebagai kontrol ukuran populasinya. Sedangkan faktor ekstrinsik seperti adanya tekanan penangkapan, sehingga 135
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139
penyebaran populasi jantan dan betina tidak merata. Perbedaan teknik penangkapan dan selektivitas alat tangkap dapat juga mempengaruhi perbedaan rasio kelamin pada spesies ikan yang tertangkap.
yang terdapat pada tingkat kematangan kelamin jantan (Gambar 7), nampak bahwa sebagian besar kelompok cucut muda yang berada pada tingkat kematangan gonad I. Male
Female
35
Tingkat Kematangan Gonad dan Kelamin Jantan Berdasarkan Bulan
30
Tingkat kematangan gonad pada cucut tikusan (Gambar 7), berdasarkan pengamatan secara visual dapat dikelompokan menjadi empat tingkatan (Tabel 1). Pada Gambar tersebut tampak bahwa selama kurun waktu lima tahun (2001-2005) tingkat kematangan gonad yang ditemukan pada setiap bulan bervariasi mulai dari tingkat I sampai tingkat IV. Pada bulan Juli 2004 ditemukan delapan ekor cucut tikusan dalam kondisi matang gonad, tetapi secara keseluruhan cucut tikusan yang tertangkap sebagian besar memiliki kematangan gonad pada tingkat I atau termasuk dalam kelompok cucut muda. Demikian pula Number (Ind)
Percentage (%)
25 20 15 10 5 0 Apr
Jul
2001
Jun
Aug
Oct
Apr
Jul
2002
Sep
Oct
Jan
Mar
2004
I
II
III
IV Jun, 2002
2
I
II
III
IV Oct, 2002
I
II
III
1 0 3 2 1 0 15
I
II
III
IV2004 Apr,
Jul,IV2004
Oct,IV 2004
9 6 3 0
5 0 4
I
II
III
2 0 3 2 1 0 2
4 I
II
III
Mar,IV 2005
3 2 1 0
II
III
May, IV 2005
I
II
III
Aug, IV 2005
I
II
III
IV2005 Sep,
3 2 1 0
I
II
III
Oct, IV2005
3 2 1 0
I
II
III Female
2 0 2 0 2
Apr, 2004
I
II
III
IV Jul, 2004
I
II
III
IV Oct, 2004
I
II
III
IV 2005 Mar,
I
II
III
IV2005 Aug,
I
II
III
IV Sep, 2005
I
II
III
I
II
2
I
0
4
(B)
0
1
4
Number (Ind) 3 2 1 0
10
1 0 IV
5 4 3 2 1 0
Male
III
IV Oct, 2005
IV
Gambar 7. Tingkat kematangan gonad betina (A) dan kelamin jantan (B) Figure 7. Gonade maturity stage femile (A) and sex maturity stage of male (B) 136
Aug
Sep
Oct
Gambar 6. Rasio kelamin bulanan cucut tikusan (Alopias pelagicus) Figure 6. Monthly sex ratio of Thresher shark (Alopias pelagicus)
Jul, 2001
3 2 1 0
Jul 2005
(A)
3 2 1 0
May
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139
Fluktuasi Hasil Tangkapan Fluktuasi hasil tangkapan cucut tikusan (Alopias pelagicus) selama tahun 2002-2007 dapat dilihat pada Gambar 8 berikut. 140000
yang sama ditemukan 2 embrio dengan ukuran panjang total induk betina yang berbeda yaitu antara 270-330 cm (Nakamura,1935). Menurut Cailliet et al. dalam Camhi et al. (2008) di perairan Pasifik pada umumnya kematangan kelamin Alopiidae betina dicapai pada ukuran panjang total 260-315 cm dengan umur 3-4 tahun, dan pada jantan dicapai pada ukuran panjang total 333 cm dengan umur 7 tahun. Famili Alopiidae dapat hidup sampai 20 tahun atau lebih.
120000
100000
Production (kg)
2007 2006
80000
2005 2004
60000
2003 2002
40000
20000
0 J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
Gambar 8. Fluktuasi hasil tangkapan bulanan cucut Alopias pelagicus yang tertangkap jaring insang tuna permukaan tahun 2002-2007 Figure 8. Monthly catch fluctuation of Alopias pelagicus caught by tuna drift gillnet in 20022007 Pada Gambar 8 terlihat bahwa hasil tangkapan cucut tikusan selama kurun waktu enam tahun (2002-2007) berfluktuatif dari bulan ke bulan. Bulan Oktober sampai Juni hasil tangkapan cucut tikusan relatif rendah. Hal ini terjadi diduga berhubungan dengan kondisi alam dimana pada periode tersebut biasanya keadaan di perairan Samudera Hindia terjadi angin kencang disertai gelombang besar yang menyebabkan nelayan tidak dapat melakukan aktivitas penangkapan di laut. Kegiatan penangkapan mulai meningkat terjadi pada bulan Mei, namun demikian fluktuasi hasil tangkapan selama enam tahun memiliki pola yang hampir sama, yaitu mulai terjadi peningkatan pada bulan Juli sampai September kemudian menurun pada bulan-bulan berikutnya. Secara umum hasil tangkapan total cucut tikusan cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 hasil tangkapan cucut tikusan dari jaring insang sebesar 128,443 ton dan tahun 2007, yaitu sebesar 83,556 ton. BAHASAN Cucut genus Alopias memiliki kematangan kelamin lambat, jenis jantan dapat mencapai kematangan kelamin antara 7-13 tahun dan betina antara 8-14 tahun pada Alopias superciliosus. Kematangan kelamin pada Alopias pelagicus jantan pada umur antara 7-8 tahun dan betina antara 8-9 tahun. Ukuran kematangan kelamin A. pelagicus diperkirakan berkisar antara 264-282 cm panjang total dengan ditemukan 2 embrio di dalam kandungannya (Otake & Mizue, 1981; Compagno, 1984). Pada spesies
Frekuensi panjang tertinggi pada Alopias pelagicus jantan dan betina terdapat pada modus yang hampir sama. Dari sampel yang diperoleh nampak bahwa paling tidak terdapat 3 kelompok umur dari Alopias pelagicus jantan dan betina dengan kisaran sebaran panjang relatif sama yaitu masing-masing antara 150-210 cm , 211-270 cm, dan 271-360 cm (Gambar 2). Dengan melihat kelompok umur kedua jenis kelamin cucut tersebut,terlihat bahwa individu A. pelagicus betina yang tertangkap hampir selalu lebih besar dibanding jantan. Liu et al. dalam Camhi et al. (2008) menyatakan pertumbuhan cucut famili Alopiidae betina lebih cepat dari pada jantan. Alopias pelagicus yang tersebar di perairan Samudera Hindia dapat mencapai ukuran panjang 365 cm, jantan mencapai dewasa pada ukuran 240 cm dan betina 260 cm (White et al., 2006). Dengan demikian berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar ukuran cucut Alopias pelagicus yang tertangkap di perairan Samudera Hindia dalam tahun 2002-2007 termasuk kelompok cucut mudadewasa. Di perairan Indonesia cucut genus Alopias lebih sering tertangkap dengan jaring insang hanyut (Dharmadi et al., 2002) karena memiliki ekor yang panjang dan tertangkap dengan cara terpuntal. Pada umumnya jaring yang digunakan memiliki ukuran mata jaring 5 inci dengan sasaran tangkap utamanya ikan tuna-cakalang yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Ikan cucut Alopias pelagicus termasuk salah satu jenis cucut yang tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan jaring insang hanyut. Meskipun hanya sebagai hasil tangkapan sampingan dari nelayan yang mengoperasikan jaring insang tuna, namun di perairan Indonesia populasinya dikuatirkan terus mengalami penurunan. Dalam upaya mendukung resolusi IOTC 10/12 tentang “the conservation of Thresher shark (Family Alopiidae) caught in association with fisheries in the IOTC Area of competence”, maka sejak tahun 2011 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap telah mengeluarkan larangan untuk tidak melakukan penangkapan terhadap ketiga jenis cucut dari famili Alopiidae yaitu Alopias pelagicus, A. vulpinus, dan A. superciliosus di perairan Indonesia. Meskipun demikian, pelarangan tersebut harus disertai dengan program dan pelaksanaan sosialisasi terhadap masyarakat nelayan cucut tentang perlindungan beberapa spesies cucut yang termasuk kategori rawan mengalami kepunahan. Tertangkapnya sebagian besar kelompok cucut mudadewasa akan berpengaruh terhadap proses rekruitmen. 137
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139
Pitcher & Hart (1982) menyatakan bahwa suatu tingkat penangkapan pada kelompok ikan-ikan muda yang banyak tertangkap sebelum mencapai pertumbuhan optimum dinamakan growth over fishing, yaitu aktivitas penangkapan yang berlebih pada sekelompok ikan yang masih dalam masa pertumbuhan. Hal ini akan mengurangi kesempatan bagi ikan-ikan dewasa betina dan jantan mencapai kematangan gonad dan kelamin, sehingga akan mengakibatkan terjadi “recruitment over fishing” karena jumlah individu baru yang dihasilkan tidak cukup untuk mempertahankan populasi. Keberhasilan proses rekruitmen suatu spesies kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu daerah penangkapan, alat tangkap yang digunakan dan ukuran ikan yang tertangkap (Sparre & Venema, 1992). Proses rekruitmen suatu spesies dapat juga dipengaruhi oleh faktor kualitas lingkungan perairan, densitas induk yang tersedia dan ada tidaknya pemangsa/ predator. Selama kurun waktu enam tahun hasil tangkapan cucut tikusan yang tertangkap di perairan Samudera Hindia menurun sebesar 34,9 %. Menurunnya sumberdaya spesies ini harus menjadi perhatian bersama, mengingat sifat biologinya yang rentan mengalami kepunahan, sehingga diperlukan langkah-langkah pengelolaan yang bijak dalam memanfaatkan sumberdayanya. Menurut King (1995) sumber daya ikan merupakan sumber daya yang dapat pulih kembali (renewable), meskipun demikian dalam pemanfaatannya tidak boleh melewati batas-batas kemampuan sumberdaya tersebut. Pengelolaan perikanan bertujuan untuk memastikan sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara optimal dengan tetap memperhatikan dan menjaga kelestarian sumber daya lingkungannya. Menurut Purwanto (2003) langkah pengelolaan perikanan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu 1). pengendalian penangkapan ikan (control of fishing) dan 2). pengendalian upaya penangkapan ikan (control of fishing effort). Pada prinsipnya pengelolaan perikanan bertujuan untuk mengatur intensitas penangkapan agar diperoleh hasil tangkapan yang optimal dari berbagai aspek (Widodo, 2000). Berkaitan dengan pengelolaan perikanan cucut di Indonesia, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap sejak tahun 2004 telah membuat draft buku pedoman tentang aksi pengelolaan perikanan cucut secara nasional (National Plan Of Action shark) dan sejak tahun 2010 buku pedoman NPOA hiu dan pari telah dipublikasikan, namun hingga tahun 2012 belum diimplementasikan karena menghadapi berbagai kendala antara lain adalah masalah pendataan hasil tangkapan hiu yang belum berdasarkan jenis. Oleh karena itu masih diperlukan evaluasi untuk pelaksanaan implimentasi dari buku pedoman NPOA tersebut. Aksi pengelolaan cucut secara nasional harus dilakukan secara bertahap pada 11 wilayah pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan atau paling tidak melalui 138
program proyek percontohan (pilot project). Lokasi pilot project untuk program aksi pengelolaan cucut dapat dilakukan di tiga wilayah yaitu di Jawa Barat (Pelabuhan Perikanan Samudera Pelabuhanratu), Jawa Tengah (di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap) dan wilayah bagian Timur dapat dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan Tanjung Luar Lombok Timur. Ketiga daerah tersebut merupakan tempat pendaratan ikan utama yang memiliki kontribusi produksi cucut secara signifikan dalam statistik perikanan nasional dibanding daerah lainnya. KESIMPULAN Terdapat kelompok ukuran pada cucut tikusan jantan dan betina yang relatif sama. Kelompok muda cucut tikusan terdapat pada ukuran antara 150-210 cm, sedang kelompok dewasa terdapat dua ukuran yaitu antara 211360 cm. Rasio kelamin jantan dan betina cucut tikusan dari mendekati 1 : 1 (51 % : 49 %). Hasil tangkapan cucut tikusan dari jaring insang selama enam tahun mengalami penurunan sebesar 34,9 %. Hal ini menunjukkan bahwa ada indikasi terjadi penurunan kelimpahan cucut tikusan di perairan Samudera Hindia. PERSANTUNAN Kegiatan dari sebagian hasil riset perikanan artisanal ikan cucut (Requiem shark sp.) dan pari (Plesiobatis sp.) di perairan Indonesia bagian Selatan-Timur: Sosial ekonomi dan karakteristik perikanan hubungannya dengan sumberdaya perikanan di perairan Australia, T.A. 20012006, ACIAR-CSIRO Australia dan dari dana pribadi. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Prelude to intersex in fish. Identifying sensitive period for feminization. Environmental Health Perspective. Vol.113,No.10, October 2005. e h p . n i e h s . n i h . g o v / d o c s / 2 0 0 5 / 11 3 - 1 0 / EHP113pa686PDF.PDF. A686. Anonim. 2009. Male-biased sex ratio of fish embryos near a pulp mill : temporary recovery after a shout-term shutdown (Research Article). www.enclycopedia.com, 25 April 2009. p. 739-42. Bigelow, H.B. & W.C. Schroeder. 1948. Sharks. In Fishes of the western North Atlantic, part 1. Mem. Sears Found. Marine. Res., 59-576, figs. p. 6-105. Brykov, A., D. Kukhlevsky, E. A. Shevlyakov, N.M. kinas & L.O. Zavarnia. 2008. Sex ratio control in pink Salmon (Oncorhynchus gorbuscha and Chum Salmon (O. keta) populations the possible causes and mechanisms of changes in the sex ratio. Russian Journal of Genetics. Vol.44,No.7. High Beam.com/journal_Research.
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139
www.springerlink.com/index/y71t62764q10661k.pdf. p. 786-792.
Namamura, H. 1935. On the two species of the Thresher shark from Formusa waters. Mem. Fac. Sci. Agriculture Taikoku Imp. Univ. 14:1-6.
Camhi, M.D, EllenK.P& ElizabethA.B. 2008. Sharks of the Open Ocean. Biology, Fisheries and Conservation. Fish and Aquatic Resources Series 13. Blackwell Publishing. USA. p. 60-65.
Castro, J.I. C.M Woodley & R.L. Brudek, 1999. A preliminary evolution of the status of shark species. Nati onal Oceanographi c and Atmospheri c Administration. National Marine Fisheries Service Southeast Fisheries Science Centre Miami, Florida, USA. FAO. Fisheries Technical Paper No. 380. Cailliet, G.M. & D.W. Bedford., 1983. The biology of three pelagic sharks from California waters, and their emerging fisheries: a review. CalCOFI Rep. 26:57-69. Compagno,L.J.V., 1984. FAO Species catalogue. Vol.4, Sharks of the world. An annotated and illustrated catalogue of shark species known to date. Part 1Hexanchiformes to Lamniformes : viii, 1-250. Part 2Carcharhiniformes : x, 251-655. FAO Fisheries Synopsis 125 : 1-655. Castro, J.I., C.M. Woodley, & R.L. Brudek. 1999. A Preliminary evolution of the status of shark. National Oceanographic and Atmospheric Administration. National Marine Fisheries Service Southeast Fisheries Science Center Miami. Florida. USA. FAO. Fisheries Technical Paper No. 380.
Otake, T. & K. Mizue, 1981. “Direct Evidence for Oophagy in Thresher Shark, Alopias pelagicus”. Japanese Journal of Ichthyology 28 (2): 171–172. en.wikipedia.org/wiki/Pelagic_thresher – Download 9 Mei 2011. Pitcher, T.J & P.J.B, Hart. 1982. Fisheries Ecology. American Edition. TheAVI Publishing Company, INC. Westport, Connecticut. 408 p. Purwanto, 2003. Status and Management of the Java Sea Fisheries. p. 793-832. In G. Silvestre, L. Garces, I. Stobutzki., M.Ahmed, R. A. Valmonte-Santos, C. Luna, L. Lachica-Alino, P. Munro, V. Cristensen, & D. Pauly (eds). Assessment, Management, and Future Direction for Coastal Fisheries in Asian Countries. World Fish Center Conference Proceeding 67. 1120 p. Pillai,P.P. & M. Honma. 1978. Seasonal and areal distribution of the pelagic sharks taken by the tuna longline in the Indian Ocean. Bulletin of the National Research Institute of Far Seas Fisheries, 16: 33-49, figs 1-2. www.shark.reference.com.(download 9 Mei 2011). Strasburg, D.W., 1958. Distribution, abundance, and habits of pelagic sharks in the central Pacific Ocean. Fish. Bull., 58: 335-361.
Dharmadi & Fahmi. 2007. Distribusi panjang, hubungan panjang total dan panjang klasper dan nisbah kelamin cucut lanjaman (C. falciformis). JPPI . 13 (3): 243-249.
Sparre & Venema, 1992. Introduction to tropical fish stock assessment. Part 2. Exercises. FAO Fisheries Technical Paper. No. 306.2, Rev. 2.
Gruber, S.H., & L.J.V. Compagno. 1981. Taxonomic Status and Biology of the Bigeye Thresher, Alopias superciliosus. Fish. Bull., 79(4): 617-640. www.elasmo-research.org/education/.../bibliothresher_bigeye. Download 9 Mei 2011.
White, W.T., P.R. Last, J.D. Stevens, G.K. Yearsley, Fahmi & Dharmadi. 2006. Economically Important Sharks and Rays of Indonesia. National Library of Australia Cataloging-in-Publication entry . Australia. 329 p.
Hanan, D.A; David B.H & L.CAtilio, Jr. 1993. The California Drift Gill Net Fishery for Sharks and Swordfish, 198182 Through 1990-91. State of California The Resources Agency Department of Fish and Game. Fish Bulletin. 175 p. King, 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Fishing News Book. London. 341 p. Last, P.R, & J.D. Steven. 2009. Sharks and rays of Australia. Second edition. CSIRO Publishing. Australia. 644 p.
Widodo, J. 2000. The Indonesian Shark Fisheries: present status and the need of research for stock assessment and management. Paper presented at “Indonesian Australian workshop on shark and tuna”, Denpasar, March 2000, 23 p. http://en.wikipedia.org/wiki/Alopiidae diunduh tanggal 12 Maret 2009. Download, 12 Maret 2009. Stevens, J.D. & K.J. McLoughlin.1991. Distribution, size and sex composition, reproductive biology and diet of sharks from northern Australia. Australian Journal of Marine and Freshwater Research 42: 151–199.
139
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147
ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN CUCUT KACANGAN (Hemitriakis indroyonoi ) DI SAMUDERA HINDIA REPRODUCTIVE BIOLOGY OF INDONESIAN HOUNDSHARK (Hemitriakis indroyonoi) IN THE INDIAN OCEAN Ria Faizah1), Umi Chodrijah2), dan Dharmadi1) 1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan 2) Balai Penelitian Perikanan Laut Teregistrasi I tanggal: 13 Desember 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 10 Desember 2012; Disetujui terbit tanggal: 11 Desember 2012
ABSTRAK Cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi) merupakan spesies endemik di Indonesia yang tertangkap di perairan selatan Bali dan Lombok. Penelitian tentang ukuran dan biologi reproduksi cucut kacangan dilakukan di dua lokasi pendaratan ikan, yaitu Kedonganan, Bali dan di Tanjung Luar, Lombok Timur pada bulan Maret 2010-Januari 2011. Pengamatan meliputi panjang tubuh, nisbah kelamin serta panjang klasper yang dilakukan dengan pengukuran dan pengamatan langsung secara visual di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan kisaran panjang total untuk cucut kacangan terdistribusi pada ukuran antara 54-111 cm TL dengan panjang rata-rata 83,07 cm TL. Cucut kacangan memiliki dua kelompok umur dengan modus, yaitu 75 cm dan 100 cm kisaran panjang masing-masing adalah 60-85 cm dan 90-110 cm. Hubungan panjang berat cucut kacangan mengikuti persamaan W=0,001x FL3,209 ( r = 0,965; n=39) untuk jenis betina dan W=0,012x FL2,664 ( r = 0,90; n=47) untuk jenis jantan. Terdapat dua kondisi klasper yaitu kondisi belum mengandung zat kapur dengan ukuran panjang antara 54-87 cm (n= 33 ekor) dan kondisi penuh dengan zat kapur dengan ukuran antara 82-105 cm (n=27 ekor). Perbandingan kelamin cucut kacangan antara betina dan jantan adalah 1:1,11 (52,6: 47,4%). KATA KUNCI : Biologi reproduksi, cucut kacangan, Samudera Hindia ABSTRACT Indonesian houndshark (Hemitriakis indroyonoi) is an endemic species of Indonesia caught in the southern Bali and Lombok waters (Indian Ocean). The research that aimed to obtain information on the size distribution and reproductive biology of Indonesian houndshark and was conducted in landing site of Kedonganan, Bali and Tanjung Luar, Lombok Timur from March 2010 to January 2011. Body length, sex ratio and clasper length were visually observed and directly measured in the field. Results showed that length distribution of Indonesian houndshark ranged between 54-111 cm with an average total length (TL) 83.1 cm. The Indonesian houndshark at least have two cohorts with the modus of 75 cm TL and 100 cm TL, length class between 60-85 cm and 90-110 cm TL . There are two clasper conditions i.e. non calcification with TL of 54-87 cm TL (n = 33) and full calcification with TL of 82105 cm (n & 27). Length weight relationships for female and male are W = 0.001 x FL 3, 209 (R2 = 0.965, N = 39) and W = 0.012 x FL2, 664 (R2 = 0.90, N = 47), respectively. Sex ratio between female and male was 1:1,11 (47.4:52.6%). KEYWORDS : Reproductive biology, Indonesian houndshark, Indian Ocean
PENDAHULUAN Cucut kacangan atau Indonesian houndshark (Hemitriakis indroyonoi) merupakan salah satu anggota dari famili Triakidae dan kemungkinan merupakan spesies endemik di perairan Indonesia. Penamaan Hemitriakis indroyonoi merupakan penamaan baru untuk spesies Hemitriakis yang ada di Indonesia (White et al., 2009). Secara umum, morfologi cucut kacangan dicirikan oleh mata yang terletak di kepala dengan gurat menonjol di bawahnya. Sirip punggung pertama terletak di belakang dasar sirip dada, ujung kedua sirip punggung berwarna putih, jarak antara lubang hidung sekitar 2.5 kali lebar cuping hidungnya dan gigi di kedua rahang sangat pipih dan seperti pisau (White et al., 2006). Di Bali, jenis cucut
ini dikenal dengan nama cucut kacang dan nelayan Lombok menyebutnya “hiu meong”. Spesies ini umumnya tertangkap dengan alat tangkap gillnet yang didaratkan di pusat pendaratan ikan di Kedonganan, Bali dan Tanjung Luar, Lombok. Ketersediaan data biologi cucut dan kelompok ikan bertulang rawan di Indonesia masih kurang memadai dibandingkan dengan data biologi dari jenis ikan bertulang keras (teleostei). Karakteristik biologi cucut adalah memiliki laju pertumbuhan dan kematangan kelamin yang lambat; siklus perkembangbiakan lama; fekunditas rendah; dan rentang hidupnya yang panjang (FAO, 2000; Castro et al., 1999; Compagno, 1998; dan Last & Stevens, 1994). Selain itu banyak spesies cucut bernilai ekonomi penting mempunyai daerah asuhan (nursery area) di perairan pantai yang dangkal. Faktor tersebut mengakibatkan sumber daya ikan cucut sangat rentan
Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur - Jakarta Utara
141
R. Faizah., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147
terhadap tekanan penangkapan yang berlebihan. Data statistik hasil tangkapan cucut baru tercatat pada beberapa spesies, hal ini karena masih kurangnya pengetahuan pengenalan jenis cucut, padahal data ini sangat diperlukan untuk mengetahui kecenderungan jumlah dan komposisi spesies hasil tangkapan yang didaratkan dan sebagai informasi dasar untuk mengetahui status konservasinya. Oleh karena itu untuk dapat memahami dan mengkaji status perikanan cucut khususnya cucut kacangan di Indonesia, diperlukan data dan informasi dasar mengenai parameter biologi perikanan cucut yang meliputi ukuran
panjang dan distribusi frekuensinya, hubungan panjang berat, rasio kelamin dan tingkat kematangan kelamin. BAHANDANMETODE Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga Januari 2011 di dua pendaratan ikan, yaitu Kedonganan, pantai selatan Bali dan di Tanjung Luar, pantai selatan Lombok (Gambar 1).
1).
Gambar 1. Peta lokasi sampling Figure 1. Map of sampling site Pengamatan Biologi Pengamatan biologi ikan cucut meliputi panjang tubuh, rasio kelamin serta panjang klasper, dilakukan dengan pengukuran dan pengamatan langsung secara visual di lapangan. Jumlah contoh cucut yang diamati sebanyak 114 ekor terdiri dari jenis jantan dan betina. Pengukuran klasper diukur dari lekukan bagian dalam dari sirip perut
sampai dengan ke bagian ujung klasper. Data yang dianalisis merupakan data gabungan dari kedua lokasi pengamatan yaitu, di Kedonganan-Bali, dan Tanjung Luar Lombok Timur dengan daerah penangkapan sama yaitu, di perairan Samudera Hindia selatan Jawa dan Nusa Tenggara dan dianggap sebagai satu unit stok. Gambar ikan cucut yang menjadi obyek penelitian disertakan pada Gambar 2.
Gambar 2. Cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi) Figure 2. Indonesian Houndshark (Hemitriakis indroyonoi)
142
R. Faizah., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147
Hubungan panjang - berat dianalisa dengan model persamaan Hile (1936) dalam Effendie (1997) sebagai berikut : W=aLb
keterangan: X2 = Chi Square fo = Frekuensi yang diobservasi fn = Frekuensi yang diharapkan HASIL DAN BAHASAN
dimana : W = berat ikan (gram) L = panjang ikan (cm) a dan b = konstanta.
HASIL 1. Distribusi Frekuensi Panjang
Dari persamaan di atas dapat diketahui pola pertumbuhan panjang dan berat ikan tersebut. Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan apakah polanya isometrik atau allometrik. Kesimpulan dari nilai b yang diperoleh ditentukan dengan menggunakan uji-t pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05). Pengamatan tingkat kematangan kelamin jantan dilakukan secara visual dengan melihat kondisi klaspernya. Menurut Grogan & Lund (2004) dalam Carrier et al. (2004) & Yano et al. (2005) klasper adalah alat kelamin jantan pada ikan bertulang rawan yang merupakan perpanjangan tulang bagian dalam dari sirip perut atau modifikasi sirip perut yang membentuk saluran sperma yang berfungsi menyalurkan sperma ke kloaka (organ reproduksi) betina atau organ kopulasi untuk memudahkan proses pembuahan secara internal. Kondisi klasper dikategorikan menjadi 3 tingkatan yaitu klasper dalam kondisi belum berisi zat kapur atau sedikit zat kapur dan lembek, klasper sebagian berisi zat kapur dan agak keras dan klasper berisi penuh zat kapur dan dalam keadaan mengeras (Clark & von Schmidt, 1965; Teshima et al., 1978; Teshima, 1981; Parsons, 1983). Pengujian perbandingan jenis kelamin dilakukan dengan uji “Chi – Square” (Sugiyono, 2004) : k
X2 i 1
( fo fn) fn
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan Maret 2010 hingga Januari 2011 di dua lokasi pendaratan ikan (Kedonganan dan Tanjung Luar), cucut kacangan yang tertangkap terdistribusi pada ukuran antara 54-111 cm TL dengan panjang rata-rata 83,1 cm TL. Untuk cucut jantan, ukuran panjang total yang banyak tertangkap berkisar antara 54-105 cm dengan rata-rata 83,3 cm, sedangkan cucut kacangan betina yang tertangkap berkisar antara 69-111 cm dengan panjang total rata-rata 82,8 cm. Berdasarkan distribusi frekuensi panjang sedikitnya cucut kacangan jantan dan betina memiliki dua kelompok umur dengan modus yaitu 75 cm TL dan 100 cm TL dengan kisaran panjang masing-masing adalah 60-85 cm TL dan 90-110 cm TL (Gambar 3). 2. Hubungan Panjang Berat Analisis hubungan panjang berat dari suatu populasi ikan mempunyai beberapa kegunaan, diantaranya untuk memprediksi berat suatu jenis ikan dari panjang ikan yang berguna untuk mengetahui biomassa populasi ikan tersebut. Analisis hubungan panjang berat terhadap 114 ekor ikan cucut dipisahkan antara jantan dan betina (Gambar 4a &b). Hasil analisis digambarkan oleh persamaan sebagai berikut: Betina = W=0,001x FL3,209 ( r=0,965 ; n=54) Jantan= W=0,012x FL2,664 ( r2 = 0,90; n=60)
2
(a)
(b)
Gambar 3 Distribusi panjang cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi) jantan (a) dan betina (b) yang tertangkap di perairan Samudera Hindia pada bulan Maret 2010-Januari 2011 Figure 3. Length distribution of Indonesian houndshark (Hemitriakis indroyonoi) of male (a) and female (b) in Indian Ocean caught in Indian Ocean,March 2010- January 2011 143
5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Betina, n=54 W=
0.001FL 3.209 r= 0.965
Berat(g)
Berat(g)
R. Faizah., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Jantan, n =60 W = 0.012FL 2.664 r=0,90
40 40
50
60
70
80
90
100
110
120
50
60
70
80
90
100
110
Panjang total (cm)
Panjang total (cm)
(a)
(b)
Gambar 4. Hubungan panjang berat cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi) betina (a) dan jantan (b) yang tertangkap di Samudera Hindia , Maret 2010—Januari 2011 Figure 4. Length weight relationship of Indonesian houndshark (Hemitriakis indroyonoi) of female (a) and male (b )caught in Indian Ocean, March 2010-January 2011 3. Rasio Kelamin
4. Hubungan Panjang Klasper dengan Panjang Total
Rasio kelamin adalah suatu angka yang menunjukkan perbandingan jumlah individu jantan dengan betina dalam suatu populasi. Secara alamiah, di suatu perairan yang normal diperkirakan perbandingan betina: jantan adalah 1:1 ( Bal & Rao,1984). Pada penelitian ini, jumlah contoh cucut kacangan yang diamati sebanyak 114 ekor, dengan perbandingan jumlah betina 54 ekor dan jantan 60 ekor atau 1:1,11.
Selama penelitian, cucut kacangan betina yang teridentifikasi hanya ditemukan dua tingkat kematangan gonad yaitu I dan II. Ukuran panjang ikan cucut dengan tingkat kematangan gonad I berkisar antara 69-99 cmTL dimana ovari kecil, tipis dan masih lunak, sedangkan tingkat kematangan gonad II terdapat pada ukuran 101111cm dimana ovari berisi kantong telur berukuran kecil.
Gambar 5. Hubungan antara panjang klasper dengan panjang total tubuh cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi) yang tertangkap di Samudera Hindia, Maret 2010-Januari 2011 Figure 5. Relationship between clasper length and total length of Indonesian houndshark (Hemitriakis indroyonoi) caught in Indian Ocean, March 2010-January 2011
144
R. Faizah., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147
BAHASAN
maka nilai b yang diperoleh juga mungkin akan berubah Nikolsky, (1963).
1. Distribusi Fekuensi Panjang 3. Rasio Kelamin Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dikatakan bahwa distribusi frekuensi cucut kacangan jantan dan betina memiliki pola yang sama yang didominasi oleh kelompok umur pada ukuran antara 65-85 cm TL. Kisaran ukuran cucut kacangan yang diperoleh dalam penelitian ini hampir sama dengan yang ditemukan oleh White et al. (2006) &White, (2007), yaitu 50,6cmTLhingga120cmTL. Secara keseluruhan sebagian besar cucut kacangan yang tertangkap selama penelitian relatif masih muda sebanyak 58,3%. Menurut Pitcher & Hart, (1982) kondisi demikian dapat mengganggu keseimbangan populasi karena akan terjadi growth over fishing, yaitu suatu tingkat penangkapan dimana ikan-ikan muda banyak tertangkap sebelum mencapai pertumbuhan optimum, dan menyebabkan kemungkinan terjadi pengurangan populasi ikan-ikan dewasa. Akibatnya ada kemungkinan terjadi recruitment over fishing atau suatu tingkat penangkapan dimana ketersediaan ikan-ikan matang menurun karena penambahan individu yang dihasilkan tidak cukup untuk mempertahankan populasinya. 2. Hubungan Panjang Berat Menurut Effendi, (2002) nilai b berada pada kisaran 2,4-3,5, bila berada di luar kisaran tersebut maka bentuk tubuh ikan tersebut di luar batas kebiasaan bentuk ikan secara umum. Selanjutnya berdasarkan hasil uji-t terhadap parameter b baik jantan ataupun betinadiperoleh thit>ttab, Untuk cucut jantan diperoleh nilai b signifikan dan lebih . kecil daripada 3 (b<3), sedangkan untuk cucut kacangan betina nilai b signifikan lebih besar dari 3 (b>3). Hal ini berarti pola pertumbuhan cucut kacangan jantan cenderung bersifat allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan beratnya sedangkan cucut kacangan betina cenderung bersifat allometrik positif dimana pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjangnya. Perbedaan nilai b pada jantan dan betina dapat berdampak pada rasio kelamin di alam. Rasio kelamin ini kaitannya dengan selektivitas alat tangkap. Jika jantan lebih kurus daripada betina, maka yang akan terjadi ikan betina akan lebih mudah tertangkap daripada ikan jantan, karena peluang ikan jantan tertangkap akan lebih kecil terkait dengan ukuran tubuhnya, sehingga ketersediaan ikan betina di alam akan berkurang. Hubungan antara panjang dengan berat tubuh ikan bersifat relatif, dapat berubah dengan perubahan waktu. Jika faktor-faktor disekitar organisme seperti kondisi lingkungan periran dan ketersediaan makanan berubah
Berdasarkan pada uji Chi-Square secara keseluruhan diperoleh hasil X2=1,19; X2 tabel (0,05)=3,84; X2 tabel =6,64 yang berarti bahwa perbandingan jenis kelamin (0,01) jantan dan betina tidak berbeda nyata atau dalam keadaan seimbang. Menurut Effendi (2000) dengan seimbangnya perbandingan antara individu jantan dan betina, maka kemungkinan terjadinya pembuahan sel telur oleh spermatozoa semakin besar. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa rasio kelamin pada penelitian ini masih ideal untuk keberlangsungan proses reproduksi suatu spesies di suatu perairan. Untuk mengetahui rasio kelamin yang lebih akurat diperlukan jumlah sampel yang lebih banyak dan daerah penangkapan yang lebih luas, seperti yang diungkapkan Bal & Rao (1984) bahwa adanya variasi dalam perbandingan kelamin sering terjadi karena 3 faktor yaitu perbedaan tingkah laku seks, kondisi lingkungandan penangkapan. 4. Hubungan Panjang Klasper Dengan Panjang Total Pada penelitian ini cucut kacangan betina yang tertangkap memiliki ukuran matang kelamin yang berbeda dengan ukuran yang ditemukan oleh White et al. (2006; 2007) dimana pada ukuran kurang dari 100 cm TL ikan cucut sudah matang gonad. Perbedaan ukuran kematangan gonad tersebut diduga karena kondisi lingkungan perairan yang berbeda. Sementara itu untuk cucut kacangan jantan terdapat dua tingkatan kelamin berdasarkan atas pengamatan perkembangan kondisi klasper, yaitu klasper belum mengandung atau sedikit zat kapur (non calcification) dan klasper dalam kondisi penuh zat kapur (full calcification). Klasper pada kondisi belum mengandung zat kapur terdapat pada ukuran panjang antara 54-87 cm sebanyak 33 ekor, sedangkan klasper yang penuh dengan zat kapur ditemukan pada ukuran antara 82-105 cm sebanyak 27 ekor (Gambar 5). Gambar ini menunjukkan adanya korelasi positif antara panjang klasper dengan panjang total tubuh yang berarti dengan bertambahnya panjang total tubuh cucut akan diiringi panjang klaspernya. Kisaran ukuran jantan yang matang pada penelitian ini mirip dengan hasil penelitian White (2007) yang mencatat Hemitriakis indroyonoi jantan yang belum berisi zat kapur (non calcification) berukuran kurang dari 81 cm, sedangkan untuk cucut jantan yang telah penuh dengan zat kapur (full calcification) berukuran lebih dari 94 cm dan mencapai 120 cm, ukuran ini juga mirip dengan
145
R. Faizah., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147
Hemitriakis japanica jantan yaitu berkisar antara 85 -110 cm (Chen & Mizue, 1973), namun ukuran ini masih lebih besar daripada ukuran Hemitriakis complicofasciata yaitu 76-80,5 cm (Takahashi & Nakaya, 2004). Perbedaan dalam ukuran matang kelamin ini diduga disebabkan oleh adanya perbedaan spesies dan kondisi lingkungan perairan.
Castro, J.L., C.M. Woodley & L.L. Brudek. 1999. A preliminary evaluation of the status of shark species. FAO Fisheries. Tech. Pap. (380). 72 p. Chen, C.T & K. Mizue .1973. Studies on sharks-VI. reproduction of Galeorhinus japonicas. Bulletin of the Faculty Fisheries, Nagasaki University. 36: 37-51.
KESIMPULAN Dari hasil pengamatan dan analisis terhadap data yang dikumpulkan dari kedua pusat pendaratan ikan, yaitu Kedonganan, dan Tanjung Luar, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Sebagian besar cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi) yang tertangkap relatif masih muda dengan ukuran panjang ikan antara 65-85 cm TL. 2. Pola pertumbuhan cucut kacangan jantan dan betina memiliki pola yang berbeda. Cucut jantan memiliki pola pertumbuhan cenderung allometrik negatif, sedangkan cucut betina pola pertumbuhannya cenderung allometrik positif. 3. Berdasarkan pada kondisi klasper, hubungan antara panjang total dan panjang klasper menunjukkan korelasi positif dimana bertambahnya panjang klasper akan diiringi dengan pertambahan panjang total tubuh cucut. 4. Perbandingan jenis kelamin cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi) antara jantan dan betina relatif seimbang.
Clark, E. & K. von Schmidt. 1965. Shark of the Central Gulf coats of Florida. Bulletin Marine Science. 15: 13-83. Compagno, L. J. V. 1984. FAO species catalogue. Vol.4. Sharks of the world. An annotated and illustrated catalogue of shark species known to date. Part 2Carcharhiniformes. FAO Fish. Synopsis. (125) Vol.4. p. 250-655. Compagno, L.J.V. 1998. Shark In Carpenter, K.E. & V.H. Niem (Eds.): The living marine resources of the Western Central Pacific.Vol. 2. Cephalopods, Crustaceans, Holothurians and Sharks. FAO. Rome: p. 687-1396. Dharmadi, Fahmi & M. Adrim. 2007. Distribusi Frekuensi Panjang, Hubungan Panjang Tubuh,Panjang Klasper, Dan Nisbah Kelamin Cucut Lanjaman (Carcharhinus falciformis). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 3 (3). Efendie I.M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara.
PERSANTUNAN Efendie I.M. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan dan Dr. William White dari ACIARCSIRO Australia atas kerja sama yang baik selama pelaksanaan penelitian berlangsung. Tulisan ini merupakan hasil riset Developing new assessment and policy frameworks for Indonesia’s marine fisheries, including The control and management of Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing., T.A. 20102011.
FAO. 2000. Fisheries Management: 1. Conservation and Management of Sharks. FAO Tech. Guidelines for Responsible Fisheries. Suppl. 1. FAO. Rome: 37 p. Garrick, J. A. F. 1982. Sharks of the genus Carcharhinus NOAA Tech. Rep. N. M. F. S. Circular. (445): 1-194. Kohler, N.E., JG Casey & PATurner. 1994. Length-weight relationship for 13 species of sharks from the western North Atlantic. Fishery Bulletin. 93(2).
DAFTAR PUSTAKA Bal, D. V. & K. V Rao. 1984. Marine fisheries. Tata Mc. Graw-Hill Publishing Company Limited. New Delhi.: 5-24. Carrier, J. C., J.A. Musick, & M. R. Herthaus. 2004. Biology of Sharks and their relatives. Texbook. CRC Press. Washington D. C: 596 p.
146
Last, P.R. & J.D. Stevens. 1994. Sharks and rays of Australia. CSIRO. Australia. 513 p. Nikolsky, G.V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press., London : 352 p. Oshitani, S. H. Nakano, & S. Tanaka. 2003.Age and growth of the silky shark Carcharhinus falciformis from the Pacific Ocean. Fisheries Science. 2003. 69: 456-464.
R. Faizah., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147
Parsons G.R. 1983. The reproductive biology of the Atlantic sharpnose shark Rhizoprionodon terraenovae (Richardson). Fishery Bulletin US .88 : 61-73. Pitcher, T.J & P.J.B, Hart. 1982. Fisheries Ecology. American Edition. The AVI Publishing Company, INC. Westport, Connecticut : 408 p. Stell R.G.H & J.H Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika : Suatu Pendekatan Biometrik (Terjemahan dari Principle and procedure of statistic : a biometri approach). Sumantri B (penerjemah). Edisi kedua. PT.Gramedia. Jakarta : 748 p. Sugiyono. 2004. Statistik Nonparametris Untuk Penelitian. Penerbit CV. Alfabeta. Bandung. 158 p. Takahashi, M & K. Nakaya. 2004. Hemitriakis complicofasciata, a new whitefin topeshark (Carchahiniformes : Triakidae) from Japan. Ichthyiological Research, 51: 248-255. Teshima, K., M. Ahmad, & K. Mizue. 1978. Studies on sharks-14. Reproduction in the Telok Anson shark collected from Perak River. Malaysia. Jap. Journal. Ichthyology. 25: 181-189. Teshima, K. 1981. Studies on the reproduction of Japanese smooth dogfishes, Mustelus manazo and M. griseus.
The Journal of Shimonoseki University of Fisheries. 29: 113-199. White, W.T, Compagno, L.J.V & Dharmadi. 2009. Hemitriakis indroyonoi sp.nov., new species of houndshark from Indonesia (Carcharhiniformes :Triakidae). Zootaxa. 2110: 41-57. White, W.T.. 2007. Aspect of the biology of carcharhiniform sharks in Indonesia waters. Journal Marine Biology. Assessment. U.K. 87:1269-1276. White, W. T., P. R. Last, J. D. Stevens, G. K. Yearsley, Fahmi, & Dharmadi. 2006. Economically important sharks and rays of Indonesia. National Library of Australia Cataloging-in-Publication entry. Australia. 329 p. White W. T., M. E. Platell, & I. C. Potter. 2001. Relationship between reproductive biology and age composition and growth in Urolophus lobatus (Batoidea: Urolophidae). Marine Biology. 138: 135-147. Yano, K., A. Ali, A. C. Gambang, I. A. Hamid, S. A. Razak, & A. Zainal. 2005. Sharks and rays of Malaysia and Brunei Darussalam. Marine Fishery Research Development and Management Departement Southeast Asian Fisheries Development Center. Terengganu, Malaysia: 213 p.
147
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159
KOMPOSISI JENIS DAN PENYEBARAN IKAN LAUT–DALAM DI PERAIRAN KEPULAUAN SANGIHE DAN TALAUD SULAWESI UTARA SPECIES COMPOSITION AND DISTRIBUTION OF DEEP-SEA FISHES OF SANGIHE AND TALAUD, NORTH SULAWESI WATERS Fayakun Satria1), Bram Setyadji2), danAndria Utama3) 1)
Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan – Jatiluhur 2) Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa – Bali 3) Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan – Jakarta Teregistrasi I tanggal: 9 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 29 November 2012; Disetujui terbit tanggal: 30 November 2012
ABSTRAK Ketersediaan data dan informasi tentang ikan laut-dalam di perairan tropis khususnya di Indonesia bagian utara masih sangat terbatas. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi jenis ikan dan daerah penyebaran ikan laut-dalam di sekitar kepulauan Sangihe dan Talaud. Penelitian dilakukan pada bulan Juli – Agustus 2010 dengan menggunakan kapal riset Baruna Jaya IV (1.200 GT) merupakan kerjasama antara Indonesia–Amerika Serikat melalui “Explorasi Sangihe Talaud (Index SATAL).” Sebanyak 53 dari 32 famili ikan telah diidentifikasi. Terdapat ikan demersal laut-dalam ekonomis penting seperti:Beryx splendens, Hoplosthethus crassispinus, Setarches guentheri, Lamprogrammus niger dan Grammicolepis sp. Perairan sebelah Utara Bunaken dan sebelah Timur Pulau Kawio dengan gunung bawah lautnya diindikasikan merupakan lokasi dan habitat yang penting bagi jenis ikan tersebut. Hasil penelitian ini juga memberikan informasi awal tentang daerah penyebaran sumberdaya ikan laut-dalam yang dapat dimanfaatkan pada masa depan di wilayah perairan utara Sulawesi khususnya di sekitar kepulauan Sangihe dan Talaud. KATA KUNCI: Komposisi dan penyebaran, ikan laut-dalam, kepulauan Sangihe dan Talaud ABSTRACT : The availability of data and information on deep-sea fishes in tropical waters especially in the northern part of Indonesia still very limited and rare. This paper attempted to provide information at the first time of species composition of deep-sea fishes found around Sangihe and Talaud Islands. The exploration was conducted from July to August 2010. A joint cruise between Indonesia and USA in the frame of “The Indonesia and USA Exploration Sangihe Talaud (Index SATAL)”using RV Baruna Jaya IV (1,200 GT). There were 53 species whithin 32 families have been discovered including economically important deep-sea demersal fishes i.e.Beryx splendens, Hoplosthethus crassispinus, Setarches guentheri, Lamprogrammus niger and Grammicolepis sp. North of Bunaken and East of Kawio waters with deep-sea seamounts were indicated important habitat for those economic valuable species. This paper is intended to provide preliminary information for species distribution of deep-sea fishes inhabited in North Sulawesi Waters, mainly in Sangihe and Talaud Islands. KEYWORDS: Composition and distribution, deep-sea fishes, Sangihe and Talaud islands
PENDAHULUAN Wilayah perairan laut dangkal mencakup 10 persen dari total wilayah lautan di dunia, sisanya berupa perairan laut dalam (Nybakken, 1986). Wilayah laut secara umum dibagi menjadi 3 zona utama berdasarkan intensitas keberadaan cahaya, yakni: zona euphotic, dispothic, dan apothic (Sverdrup et al., 1942). Zona euphotic kaya akan cahaya untuk kepentingan fotosintesis, berkisar di kedalaman antara 0 – 100 meter, zona disphotic adalah wilayah dimana penetrasi cahaya mulai berkurang (<200 m), sedangkan zona aphotic adalah wilayah dimana tidak ada cahaya sama sekali. Laut-dalam merupakan wilayah dimana penetrasi cahaya sudah tidak ada lagi dan umumnya berada pada kisaran kedalaman lebih dari 200 m (FAO, 2008).
Wilayah perairan laut-dalam di perairan New Zealand dengan sumberdaya ikannya seperti Orange roughy (Hoplostethus atlanticus) dan Alfonsino (Beryx splendens) atau jenis Ophididae serta ikan laut-dalam dari famili Macrouridae di perairan Rusia telah lama dimanfaatkan dan dieksploitasi secara komersial. Saat ini sumberdaya ikan lautdalam di kedua wilayah tersebut telah mengalami lebih tangkap (Tyler,2008). Ikanlaut-dalamdikenalmemiliki karakter pertumbuhan lambat, umur yang panjang, matang gonad yang lama dan fekunditas rendah. Dengan demikian stok ikan laut-dalam apabila dieksploitasi akan lebih cepat punah dan lebih lama pulihnya bila dibandingkan dengan stok ikan di laut dangkal yang lebih produktif (Lack et al., 2003). Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya ikan laut-dalam perlu dilakukan dengan sangat hati-hati untuk memastikan keberlangsungan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan – Jatiluhur Jl. Cilalawi Tromol Pos No. 1 Jatiluhur, Purwakarta-Jawa Barat 41152
149
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159
Perairan Sangihe Talaud terletak diantara laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Dasar perairannya merupakan pertemuan antara lempeng Filipina dan lempeng Eurasia yang membentuk ridge memanjang dari utara pulau Kawio ke arah selatan sampai kepulauan Halmahera. Beberapa gunung bawah laut dan hydrothermal vents ditemukan di sekitar pulau Kawio, dan Mangehetang (Manini et al., 2007; Utami et al., 2005). Sekitar 90 % dari perairan di wilayah ini merupakan laut-dalam yang memiliki kedalaman lebih dari 200 meter dengan kedalaman maksimal mencapai 6.000 meter. Ketersediaan data dan informasi ikan lautdalam di wilayah perairan Indonesia bagian utara masih sangat terbatas. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi komposisi jenis dan daerah penyebaran ikan laut-dalam di sekitar kepulauan Sangihe dan Talaud. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar untuk melakukan penelitian lanjutan tentang pemanfaatan sumberdaya ikan laut-dalam. BAHANDANMETODE Ekplorasi sumberdaya ikan laut-dalam dengan menggunakan trawl laut-dalam yang mampu dioperasikan
sampai kedalamn 900 m telah dilakukan menggunakan kapal riset Baruna Jaya IV (1.200 GT) milik Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) di perairan kepulauan Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara pada bulan Juli – Agustus 2010. Kegiatan penelitian ini merupakan kerjasama penelitian yang bernama “INDEXSATAL 2010 (Indonesia-USA Deep-sea Exploration of the Sangihe Talaud Region)”. Percobaan penangkapan dilakukan di tujuh lokasi terpilih (Gambar 1). Lokasi trawl mencakup bagian utara Pulau Talaud (stasiun 1 & 2), bagian barat Pulau Kawio (stasiun 3), bagian utara Pulau Sangihe (stasiun 4), bagian barat Pulau Siau (stasiun 5 & 6), dan bagian barat Pulau Bunaken (stasiun 7). Penentuan lokasi trawl dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor antara lain: 1) topografi dasar yang memungkinkan untuk kegiatan trawl; 2) kedalaman lebih dari 200 m dan maksimum 1000 m; 3) topografi dasar merepresentasikan karakter yang unik, seperti: habitat gunung bawah laut dan; 4) terdapat gerombolan ikan di lokasi sampling. Untuk mendapatkan deskripsi topografi dasar laut dipergunakan perangkat ELAC scientific echosounder 3 dimensi, sedangkan untuk mengetahui keberadaangerombolan ikan di pergunakanfish finderKODEN.
Gambar 1. Lokasi stasiun trawl di perairan Sangihe dan Talaud Figure 1. Trawl survey stations around Sangihe and Talaud islands. 150
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159
Hasil tangkapan dari setiap stasiun penangkapan disortir sampai spesies atau kelompok spesies, kemudian ditimbang, dihitung dan dicatat pada fishing log sheet. Identifikasi jenis ikan dilakukan berdasarkan referensi dari Nakabo (2002a), Nakabo (2002b), FAO (1998), GloerfeltTarp &Kailola (1984) dan OFCF-BRKP (2006). HASIL DAN BAHASAN HASIL
salah satu jenis ikan dasar yang populer di pasar ikan Jepang dan Eropa. Harga di pasar Tsukiji Jepang pada tahun 2010 mencapai Rp. 90.000- 100.000 / kg. Dilaporkan tangkapan ikan tersebut sebesar 14.200 ton namun pada tahun 2007 tercatat hanya mencapai 6.900 ton (Norse et al., 2011). Secara umum Beryx splendens hidup secara bergerombol dalam jumlah besar. Ditemukannya jenis ikan ini di perairan utara Pulau Talaud mengindikasikan bahwa di wilayah perairan utara Talaud terdapat sumberdaya Beryx splendens yang masih baru dan belum pernah dimanfaatkan sebelumnya.
Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh dari 6 stasiun trawl sebanyak 235 individu terdiri dari ikan 155 individu (65,96%), krustasea 63 individu (26,81%) dan cephalopoda 17 individu (7,23%). Dari 155 ikan laut-dalam yang diperoleh terdiri dari 53 spesies yang termasuk 32 famili.(Gambar 2 dan Tabel 1). Beberapa jenis ikan demersal laut-dalam disajikan pada Lampiran 1.
Gambar2. Proporsi hasil tangkapan ikan, crustacea dan cephalopoda di area survei Figure 2. Catch proportion of fishes, crustaceans, and cephalopods in survey area Komposisi hasil tangkapan didominasi oleh grup ikan demersal (22 famili), kemudian grup ikan mesopelagis dan krustasea (masing – masing 9 famili), dan Cephalopoda (6 famili) (Tabel 1). Dari 7 stasiun yang direncanakan hanya 6 stasiun yang dapat dilakukan karena pada stasiun 5 terdapat kerusakan pada trawl yang digunakan. Bentuk topografi dasar laut disajikan pada Lampiran 2. BAHASAN Perairan Sebelah Utara Pulau Talaud (Stasiun 1 dan 2) Topografi perairan sebelah utara Pulau Talaud berbukit bukit dengan substrat dasar keras dan berkarang. Pada lokasi ini ditemukan jenis ikan demersal laut-dalam yang memiliki nilai ekonomis penting Beryx spendens (Alfonsino) dari family Berycidae. Jenis ikan ini merupakan
Disamping Beryx splendens ditemukan pula jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi namun tidak bergerombol yaitu Chimaera phanthasma. Chimaera atau juga dikenal juga sebagai ghost shark juga ditemukan di Samudera Hindia seperti Chimaera hydrolagus. Chimaera phantasma dikenal tersebar luas di barat laut Pasifik yang termasuk kepulauan Jepang, Filipina, Korea, China (Dagit, 2006); Taiwan (Shao & Hwang, 1997); sebelah selatan Samudera Pasifik, New Caledonia,Australia dan Selandia Baru (Didier & Séret, 2002). Jenis ikan lainnya yang ditemukan pada habitat ini adalah jenis Setarches guentheri dari family Scorpaenidae. Ikan ini memiliki nilai ekonomis dengan harga mencapai Rp. 25.000-30.000/Kg dipasar internasional Thailand (Satria, 2009). Di daerah ini juga ditemukan ikan – ikan karang lainnya dari famili Triacanthodidae jenis Atrophocanthus japonicus. Jenis ikan ini diketahui hidup bergerombol namun sampai saat ini diketahui tidak diperdagangkan untuk keperluan konsumsi manusia. Perairan Sebelah Barat Pulau Kawio (Stasiun 3) Perairan sebelah barat Pulau Kawio berkarakteristik unik dengan adanya aktivitas hydrothermal vents dan gunung berapi bawah laut yang menjulang 3.800 meter dari dasar laut. Umumnya daerah dengan hydrothermal vents memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Hasil tangkapan trawl di wilayah ini banyak diperoleh jenis ikan mesopelagis dari famili Sternoptychidae (Polyipnus stereope dan Argyropelecus affinis), Chauliodontidae (Chauliodus sloani), Myctophidae (Cerastoscopelus warmingii, Taaningichthys minimus dan Myctopidae sp.). Ikan mesopelagis memiliki peran penting sebagai sumber makanan bagi kelompok ikan dengan tropik level yang lebih tinggi (Wang & Chen, 2001). Jenis ikan layur laut dalam juga ditemukan di wilayah ini yaitu Benthodesmus tenuis. Jenis ini tidak begitu populer dibandingkan dengan jenis ikan layur lainnya seperti Trichiurus lepturus dan Trichiurus savala yang banyak ditemukan di perairan dangkal.
151
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159
Tabel 1. Hasil tangkapan ikan laut-dalam menurut famili di perairan Sangihe dan Talaud, Juli – Agustus 2010. Table 1. Deep sea fishes cacth grouped by family from 6 statiun of the Sangihe and Talaud waters, July – August 2010. Hasil Tangkapan (Ekor) Famili Acropomatidae Alepocephalidae Berycidae Caesionidae Cepolidae Chaulidontidae Chaunacidae Chiasmodontidae Chimaeridae Chloropthalmidae Congridae Giganthiidae Gonostomatidae Grammicolepididae Lophiidae Macrouridae
Muraenosocidae Myctophidae
Nemipteridae Neoscopelidae Ogcocephalidae Ophidiidae
Paralepididae Plesiobatidae Pleuronectidae Rhinochimaeridae Scorpaenidae Serrivomeridae Sternoptychidae
Trachichthyidae Trichiuridae
Species Synagrops japonicus Synagrops philipinensis Rouleina guentheri Beryx splendens Pterocaesio sp 1. Pterocaesio sp 2. Owstonia sp. Chauliodus sloani Chaunax sp. Chiasmodontidae sp Chimaera phantasma Chloropthalmus acutifrons Chloropthalmus nigromarginatus Ariosoma shiroanago Symphysanodon sp 1. Symphysanodon sp 2. Gonostomatidae sp Xenolepidichtys dalgleishi Lophiodes mutilus Abyssicola macrochir Glyptophidium sp Hymnocephalus papiraceus Macrouridae sp Malacocephalus sp Nezumia propingua Pseudonezumia cetonuropsis Squalogadus inflaticeps Trachonurus villosus Muraenosox cinereus Cerastoscopelus warmingii Taaningichthys minimus Myctophidae sp Scolopsis s p. Parascolopsis sp. Neoscopelus macrolepidatus Neoscopelus porosus Halimectus reticulates Glyptophidium japonicum Lamprogrammus niger Lamprogrammus sp, Monopitopus kumae Stemonosudis sp. Plesiobatis daviesi Poecilopsetta praelonga Poecilopsetta sp. Rhinochimaera Africana Setarches guentheri Setarches longimanus Serrivomer sector Argyropelecus affinis Polyipnus stereope Sternoptyx obscura Sternoptyx pseudobsura Atrophacanthus japonicas Hoplostethus crassispinus Benthodesmus tenuis JUMLAH
152
STA-1
STA-2
14 1 2 -
-
1 1 9 3 -
-
1 10 1 1 -
3 2 1 1 1 1
16
-
-
-
1 1 2 1 1 1 1
-
-
2 2 7
1 -
1 -
1
1 3
2
-
19
4
1
1
1 1
1
1
-
-
3
-
1
2 19
3 -
1 4
5
1 70
-
STA-7 -
3
2 7 2
-
STA-6 -
1 -
1 2
1 2
-
1
1 1
-
STA-4 -
2 2 1
6 8
-
STA-3 -
10
1 21
TOTAL - 14 - 1 - 3 5 - 2 - 2 - 1 12 - 8 - 1 - 1 - 1 - 9 - 3 - 1 - 1 - 1 4 - 1 - 1 - 1 - 2 - 1 - 11 - 1 - 1 - 1 - 1 - 1 - 2 - 7 - 3 - 1 - 2 2 2 - 1 9 - 2 - 1 - 3 - 2 - 1 - 1 - 1 - 1 - 1 1 - 1 - 1 - 4 - 3 - 2 - 5 1 - 3 155
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159
Perairan Sebelah Utara Pulau Sangihe (Stasiun 4) Topografi dasar perairan sebelah utara pulau Sangihe sangat unik dengan beberapa puncak bukit yang luas dan datar pada kedalaman antara 400 - 600 m. Pada wilayah ini diperoleh jenis ikan Lamprogrammus niger dari famili Ophiididae dan beberapa jenis ikan macrouridae. Kedua famili tersebut biasanya hidup bergerombol dalam jumlah yang sangat besar. Survei trawl laut-dalam dengan KR. Baruna Jaya IV di perairan selatan Cilacap diperoleh Lamprogrammus niger sebesar 1,5 ton dalam satu kali hauling (OFCF-BRKP, 2006). Ikan dari famili Ophidiidae dan Macrouridae merupakan jenis ikan yang penting dan dapat digunakan sebagai bahan baku surimi di Rusia dan Jepang. Di Indonesia jenis ikan ini belum pernah terlihat diperjual belikan dan merupakan sumberdaya ikan yang baru. Selain jenis ikan yang berkarakter bergerombol dalam jumlah besar, di lokasi ini juga tertangkap Jenis ikan lautdalam yang langka serta termasuk ikan purba yaitu Rhinochimaera africana.
jenis ikan dari famili Trachichthyidae yaitu jenis Hoplostethus crassispinus (red roughy). Ikan dari famili Trachichthyidae dengan jenis yang sudah dikenal yaitu Hoplostethus atlanticus (orange roughy) banyak terdapat di perairan selatan Australia dan sekitar New Zealand. Perikanan komersial orange roughy telah berlangsung sejak tahun 1970 dan pada tahun 1980 mencapai lebih dari 100.000 ton/tahun. Pada saat ini hasil tangkapan menunjukkan tren yang menurun dan telah overfished (Norse et al., 2011) . Satria (2009) menginformasikan Hoplostethus rubellopterus ditemukan di perairan barat Simeulue (Barat Sumatera) pada kedalaman 500 – 800 m dalam densitas (CPUA) yang cukup besar yaitu sekitar 317 ton/km2. Hoplostethus rubellopterus yang berasal dari Indonesia pertama kali yang dipasarkan di Phuket Thailand pada tahun 2009 dengan harga Rp. 23.000-25.000/kg. Hoplostethus crassispinus (red roughy) merupakan sumberdaya ikan yang baru ditemukan di perairan ini dan berkarakter bergerombol dalam jumlah besar. KESIMPULAN
Perairan Sebelah Barat Pulau Siau (Stasiun 6) Topografi dasar perairan di sebelah barat pulau Siau berbukit-bukit sehingga sulit untuk mengoperasikan trawl dengan kisaran kedalaman antara 300 – 3.000 m. Percobaan penangkapan dengan trawl diperoleh gambaran adanya komunitas ikan demersal laut-dalam yaitu jenis Lamprogrammus niger yang merupakan ikan dari famili Ophidiidae dengan ukuran yang lebih besar (56 cmTL). Selain itu ditemukan pula spesies langka Squalogadus inflaticeps (48 cmTL). Genus Squalogadus terdiri dari dua spesies yaitu Squalogadus modificatus dan Squalogadus inflaticeps. Daerah penyebaran kedua jenis ikan ini diketahui sampai kedalaman 5.300 m (Cohen et al., 1990). Kelompok ikan mesopelagis dari famili Sternoptycidae, Chaulidontidae dan Chiasmodontidae khususnya jenis Sternoptyx obscura, Caulidus sloani dan Chiasmodontidae sp merupakan jenis yang ikan mesopelagis yang tertangkap dan dapat diketahui terdistribusi di perairan barat Pulau Siau. Perairan Sebelah Utara Pulau Bunaken (Stasiun 7) Perairan di sebelah utara pulau Bunaken terdapat gunung bawah laut yang cukup besar, dimana di sekitar sisi punggungnya merupakan habitat ikan demersal dengan membentuk schooling ikan yang cukup besar. Hasil penelitian lainnya mengemukakan di sekitar gunung bawah laut di barat Banda Aceh ditemukan ikan jenis Hoplostethus rubellopterus dalam jumlah yang sangat besar (Satria, 2009). Selain itu pada gunung bawah laut juga ditemukan jenis-jenis ikan yang endemis (Allain, 2006). Perairan di sebelah utara Bunaken juga merupakan habitat Beryx splendens. Pada lokasi ini juga tertangkap
1) Kontur topografi dasar laut Kepulauan Sangihe dan Talaud berupa perbukitan dengan dengan kedalaman antara 300 – 3.000 m. Ditemukan juga beberapa aktivitas hydrothermal vents dan gunung berapi bawah laut yang masih aktif di sekitar kepulauan tersebut 2) Jenis ikan laut-dalam di perairan Sangihe Talaud terdiri dari 53 spesies yang termasuk ke dalam 32 famili. Beberapa jenis ikan demersal laut-dalam yang memiliki nilai ekonomis antara lain Beryx splendens, Hoplostethus crassispinus, Lamprogrammus niger, Setarches guentheri dan Xenolepidyhtis dalgleishi. Jenis ikan tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan dan diketahui memiliki sifat bergerombol dalamjumlah besar. 3) Ikan mesopelagis ditemukan berukuran kecil dari famili Sternoptycidae (Polyipnus stereope dan Argyropelecus affinis), Chaulidontidae (Chauliodus sloani), Chiasmodontidae, dan Myctophidae (Cerastoscopelus warmingii, Taaningichthys minimus, dan Myctopidae sp.) Keberadaan ikan mesopelagis kecil di perairan utara Sulawesi mengindikasikan perairan yang produktif dan berperan sebagai sumber makanan bagi tropik level yang lebih tinggi. 4) Di perairan sekitar gunung bawah laut sebelah utara Bunaken terdapat habitat dari ikan famili Trachichthyidae yaitu jenis Hoplostethus crassispinus (red roughy) dan Berycidae yakni Beryx splendens (Alfonsino). PERSANTUNAN Tulisan ini adalah bagian dari kontribusi penulis dalam kegiatan INDEX-SATAL 2010 (Indonesia-USA Deep-sea Exploration of the Sangihe Talaud Region) pada bulan Juli – Agustus 2010. 153
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159
DAFTAR PUSTAKA Allain, V. 2006.Seamounts and pelagic fisheries interactions under study. SPC Fisheries Newsletter #116 – January/March 2006. Badrudin., Wudianto., Wiadnyana, N.N & S. Nurhakim. 2006. Deep-sea fish resources diversity and potential in the waters of Western Sumatera of the Eastern Indian Ocean. Ind.Fish.Res.J.Vol.13(1): 113-127. Badrudin., Suman,A & Awwaludin. 2007. Size distribution and maturity of the slimeheads (Hoplostethuscrassispinus) in the deep-sea around Simelue Island, Western Sumatra, Eastern Indian Ocean. Ind.Fish.Res.J. Vol.12 (2): 9-13. Badrudin., Nugroho, D & A. Suman. 2007. The most abundance and very rare species in the deep-sea fish community in the Western Sumatera, Eastern Indian Ocean. Ind.Fish.Res.J. Vol.12 (2): 17-30. Carpenter, K. E. & V. H. Niem (eds). 1998. FAO species identification guide for fishery purposes. The living marine resources of the Western Central Pacific. Volume 1 – 6. Rome, FAO. 4218 p. Clark, M. 2008. Resource management, Seamount fisheries: understanding the impacts of trawling. Water & Atmosphere 16(2): 16-17. Clark, M. 2009. Deep-sea seamount fisheries: a review of global status and future prospects. Lat. Am. J.Aquat. Res. 37(3): 501-502. Cohen, D.M., Inada, T., Iwamoto, T & N. Scialabba. 1990. FAO species catalogue, Vol. 10. Gadiform fishes of the world (Order Gadiformes).An annotated and illustrated catalogue of cods, hakes, grenadiers and other gadiform fishes known to date. FAO Fisheries Synopsis. Vol. 10 (125). Rome. FAO.442 p. Dalyan, C & L. Eryilmaz. 2008. A new deepwater fish, Chauliodussloani Bloch & Schneider, 1801 (Osteichthyes: Stomiidae), from the Turkish waters of Levant Sea (Eastern Mediterranean). J. Black Sea/ Mediterranean Environment Vol.14: 33-37. Dagit, D.D. 2006. Chimaera phantasma. In: IUCN 2010.IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.2.<www,iucnredlist,org>. Diunduh pada tanggal18 August 2010.
154
Didier, D.A & B. Séret. 2002. Chimaeroid fishes of New Caledonia with description of a new species of Hydrolagus (Chondrichthyes, Holocephali).Cybium. 2002. 26(3): 225 – 233. FAO. 1998. Species Identitification Guide for Fishery Purposes Volume 1 to 6.Food and Agricultural Organisation of the United Nation, Rome. FAO, 2008.Report of the FAO workshop on vulnerable ecosystems and destructive fishing in deep-sea fisheries. Rome. 26-29 June 2007. FAO Fisheries Report. No.829: 18 p. Gloerfelt-Tarp, T. & P.J. Kailola. 1984. Trawled Fishes of Southern Indonesia and Northern Australia.The Directorate General of Fisheries. Indonesia. 406 p. Lack, M., Short, K. & A. Willock. 2003. Managing risk and uncertainty in deep-sea fisheries: lessons from Orange Roughy. TRAFFIC Oceania and WWF Endangered Seas Programme. Manini, E., Luna, G.M., Corinaldesi, C. Zeppilli, D., Bortoluzzi, G., Caramanna, G., Raffa, F. & R. Danovaro. 2007. Prokaryote diversity and virus abundance in shallow hydrothermal vents of the Mediterranean Sea (Panarea Island) and the Pasific Ocean (North Sulawesi-Indonesia). MicrobEcol (2008) 55: 626-639. Nakabo, T. 2002. Fishes of Japan, with pictoralkeys to the species.English edition I and II. Tokay Univ. Press. Tokyo: 1749 p. Norse, E.A., William, S.B., Cheung, W.L., Clark, M.R., Ekeland, I., Froese, R., Gjerde, K.M., Haedrich, R.L., Heppell, S.S., Morato, T., Morgan, L.E., Pauly, D., Sumaila, R. & R. Watson. 2012. Sustainability of deepsea fisheries. Marine Policy 36: 307–320. OFCF-BRKP. 2006. The Japan Indonesia deep-sea fishery resources joint exploration project (report of 2004 field survey). Overseas Fisheries Cooperation Foundation – Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Satria, F. 2009. Karakteristik sumberdaya, peluang dan pola pemanfaatan ikan demersal laut-dalam. Disertasi Doktor Fakultas Pasca Sarjana Teknologi IPB, Bogor. 164 p. Shao, K.T. & D. F. Hwang. 1997. Rhinochimaerapacifica (Chimaeriformes, Rhinochimaeridae): the first Rhinochimaerid recorded from Taiwan. ActaZoologicaTaiwanica 8(2): 97-102.
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159
Sumiono, B. 2006. Penyebaran dan aspek biologi ikan lautdalam Lamprogrammus niger (famili Ophidiidae) di perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa. Prosiding Seminar Nasional IV Jatiluhur, 29-30 Agustus 2006. Suprapto, 2008. Komposisi jenis, distribusi, dan kepadatan stok ikan ekor tikus (Macrouridae) di perairan lautdalam zona ekonomi eksklusif Indonesia Samudera Hindia. J.Lit.Perikan.Ind. Vol.14 (4):403-404.
Utami, P., Browne, P.R.L., Simmons, S.F. & Suroto. 2005. Hydrothermal alteration mineralogy of the Lahendong geothermal system. North Sulawesi: A progress report. Proceedings 27th Geothermal Workshop 2005. Wang, J.T.M. & C.T. Chen. 2001. Areview of lanternfishes (families: Myctophidae and Neoscopelidae) and their distributions around Taiwan and the Tungsha Islands with notes on seventeen new records. Zoological Studies 40(2): 103-126
155
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159
Lampiran 1. Beberapa jenis ikan laut dalam di wilayah perairan Sangihe Talaud Appendix 1. Some of deep-sea fishes recorded around Sangihe Talaud Waters.
Nama : Beryx splendens Deskripsi : Duri keras sirip dorsal berjumlah 4; Duri lunak sirip dorsal berjumlah: 13-16; Duri keras pada sirip anus: 4; duri lunak sirip anus: 26 - 30. Pada tulang infraorbital pertama terdapat duri yang tumbuh menyamping ke ujung anterior. Gurat sisi badan memanjang sampai ke sirip caudal. Pada bagian wajah dalam terdapat bagian pipih berdaging yang bersisik dengan cakram yang agak tebal. Pada ikan muda, duri kedua dari sirip dorsal tumbuh memanjang, dengan 1 duri keras dan 17 duri lunak sedangkan sirip pectoral mempunyai satu duri keras dan 17 duri lunak.
Nama : Hoplostethus crassispinus Deskripsi : Terdapat 6 Duri keras Punggung dan 13 duri lunak; pada bagian anus terdapat 3 duri keras dan 9 sampai 10 duri lunak; pada bagian pectoral terdapt 16 sampai 17 duri lunak; dan gurat sisi mempunyai 27 sampai 29 sisik (D VI,13; AIII,9 sampai 10; P 16 to 17; LL 27 sampai 29) (Nakabo, 2002). Bentuk tubuh cukup lebar, cukup pipih. Ukuran kepala besar dihiasi dengan tulang tipis membentuk canal disekitar operculum.
Nama Deskripsi anus: 84 – 91.
156
: Lamprogrammus niger : Duri sirip dorsal (total): 0; Duri lunak sirip dorsal (total): 105-115; Duri sirip anal: 0; Duri lunak sirip
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159
Nama : Chimaera Phantasma Deskripsi : Moncong pendek dan gilig. Sirip dorsal pertama tegak dengan sebuah duri yang menonjol; sirip dorsal kedua panjang dan melambai ke bawah. Kolom vertebral memanjang lurus sampai ke ujung, sirip caudal terbagi secara simetris. Sirip anal menjadi satu dengan sirip caudal pada jenis Hydrolagus.
Nama : Squalogadus inflaticeps Deskripsi : Lingkaran di sekitar mata (Orbit) kecil, hanya 10% dari panjang kepala, terdapat di depan mulut yang berukuran kecil dan inferior. Chin barbel tidak ditemukan. Insang pertama bercelah dan tidak dibatasi oleh lipatan membran kulit, bagian luar gill rakers panjang dan ramping. Duri lunak pada branchiostegal berjumlah 7. Anus terletak sebelum sirip anal. Ekor berbentuk seperti sabuk. Sirip Anal panjang, dan tidak berkembang. Sirip pelvic tidak ditemukan. tidak terdapat organ cahaya.
157
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159
Lampiran 2. Topografi dasar wilayah perairan Sangihe Talaud. Appendix 2. Bottom topography around Sangihe Talaud Waters. 1. Bagian utara Pulau Talaud
2. Bagian utara Pulau Sangihe
158
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159
3. Bagian barat Pulau Siau
4. Bagian utara Pulau Nain
159
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 161-167
STUKTUR UKURAN IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) YANG TERTANGKAP PANCING ULUR DI SEKITAR RUMPON SAMUDERA HINDIA SELATAN BALI DAN LOMBOK SIZE STRUCTURE OF YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacares) CAUGHT BY HANDLINE IN AROUND OF FISH AGGREGATION DEVICES IN THE INDIAN OCEAN OF SOUTH BALI AND LOMBOK Noor Muhammad danAbramBarata Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali Teregistrasi I tanggal: 19 Oktober 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 3 Desember 2012; Disetujui terbit tanggal: 4 Desember 2012
ABSTRAK Ikan madidihang (Thunnus albacares) merupakan hasil tangkapan utama yang banyak tertangkap di perairan sekitar rumpon laut dalam. Ikan madidihang termasuk kelompok ikan yang senang berasosiasi dengan rumpon. Rumpon merupakan tempat berkumpulnya plankton dan ikan-ikan kecil lainnya, sehingga mengundang ikan-ikan yang lebih besar untuk tujuan makan. Adanya variasi penyebaran ikan tuna berdasarkan jenis dan ukuran sangat menentukan penggunaan spesifikasi alat tangkap yang dioperasikan. Penelitian yang dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan Kedonganan-Bali mulai bulan April sampai Nopember 2009, bertujuan untuk mengetahui distribusi ukuran panjang, hubungan panjang dan bobot dan ukuran pertama kali tertangkap tuna madidihang di perairan sekitar rumpon Samudera Hindia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan madidihang yang tertangkap di perairan sekitar rumpon memiliki kisaran ukuran panjang antara 81-170 cmFL, dengan pola pertumbuhannya bersifat allometrik positif dan ukuran panjang pertama kali ikan madidihang tertangkap dengan pancing ulur adalah 126,7 cmFL. Ikan madidihang yang tertangkap di perairan sekitar rumpon Samudera Hindia didominasi oleh ikan yang pernah mengalami matang gonad atau diduga pernah melakukan pemijahan. KATA KUNCI: Struktur ukuran, madidihang, rumpon, Samudera Hindia ABSTRACT: Yellowfin tuna (Thunnus albacares) are the main catches of hand line which fished around rumpon (FAD). Yellowfin tuna is one of fish species that associated with rumpon. Rumpon is a device to aggrate plankton and other small fish, to attract the higher tropic level as part of it’s prey. The variation of distribution of tuna could determine the use of which fishing gear will be operated. A research conducted at the fish landing place at Kedonganan-Bali from April to November 2009, to obtain data and information about the size stucsture, length and weight relationships, size of first capture of yellowfin tuna that caught around fish aggregation devices. The results showed that yellowfin tuna caught around rumpon ranged between 81-170 cmFL, the pattern of growth is positive allometric and length at first capture of yellowfin tuna caught by handline was 126,7 cmFL. Yellowfin tuna were caught around rumpon waters in the Indian Ocean are dominated by mature fish or fish that had spawned. KEY WORDS: Size structure, yellowfin tuna, fish aggregation device, Indian Ocean
PENDAHULUAN Ikan madidihang atau ikan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) termasuk ke dalam famili Scombridae dan merupakan kelompok ikan tuna yang hidup tersebar di perairan tropis. Ikan madidihang hidup di dekat pantai maupun di laut lepas dan dapat ditangkap dengan berbagai alat tangkap seperti tuna longline, purse seine, handline dan gill net. Pada umumnya, pelaku usaha penangkapan tuna yang berkembang di kawasan Samudera Hindia selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara adalah kapal-kapal komersial berskala industri dan perikanan skala kecil (Mertha et al., 2003). Untuk menangkap ikan tuna yang berukuran besar, Korespondensi penulis: Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali Jl. Raya Pelabuhan Benoa-Denpasar Selatan-80223
kapal-kapal berskala industri menggunakan alat tangkap rawai tuna (tuna longline) sedangkan pada perikanan skala kecil menggunakan pancing ulur (hand line) yang beroperasi di sekitar rumpon laut dalam. Pesatnya perkembangan nelayan pancing ulur yang beroperasi di sekitar rumpon laut dalam, berkaitan erat dengan tingginya permintaan ikan tuna berukuran besar (>10 kg) di pasar lokal maupun internasional. Industri pengolah ikan tuna mempunyai peran penting dalam pemasaran ikan tuna karena semua ikan tuna hasil tangkapan nelayan pancing ulur dapat ditampung. Jenis ikan madidihang merupakan hasil tangkapan utama dari nelayan pancing ulur yang beroperasi di perairan sekitar rumpon laut dalam.
161
N. Muhammad, A. Barata / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 161-167
Rumpon laut dalam juga disebut Fish Aggregation Device (FAD) yaitu suatu alat bantu penangkapan yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu catchable area (Sudirman &Mallawa, 2004). Dengan memasang rumpon maka nelayan lebih pasti dan efisien dalam menentukan daerah penangkapannya. Mereka dapat langsung menuju ke lokasi rumpon terpasang dan tidak perlu mencari daerah penangkapan ikan lainnya. Dengan diketahuinya daerah penangkapan secara pasti maka nelayan akan lebih menghemat pemakaian bahan bakar. Pemasangan rumpon laut-dalam dengan tujuan membantu pengembangan usaha perikanan tuna skala kecil sudah banyak dilakukan di perairan Samudera Hindia selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Informasi terkait dengan struktur ukuran dan hubungan panjang bobot ikan sangat diperlukan untuk pengkajian stok sumber daya ikan tuna. Hubungan panjang bobot digunakan untuk mendeterminasi bobot dan biomassa apabila hanya ukuran panjang yang diperoleh dan dapat digunakan sebagai indikasi perbandingan parameter pertumbuhan dari daerah yang berbeda. Menurut Mertha (1993) analisis hubungan panjang-bobot dimaksudkan untuk mengukur variasi bobot harapan untuk panjang tertentu dari ikan secara individual atau kelompokkelompok individu sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, perkembangan gonad dan sebagainya. Informasi tentang ukuran ikan pertama kali tertangkap (length at first capture) juga merupakan hal penting sebagai bahan kajian pengelolaan sumber daya ikan agar tetap lestari dan berkesinambungan.
Analisis Data Hubungan panjang dan bobot ikan dianalisis dengan model persamaan Hile, (1936) dalam Effendie, (2002) sebagai berikut : W = a FLb ………………………................ (1) Keterangan : W = bobot ikan (kg) FL = panjang cagak ikan (cm) a dan b = konstanta Dari persamaan tersebut dapat diketahui pola pertumbuhan panjang dan bobot ikan. Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan dengan kriteria : 1. Jika b = 3, pertumbuhan bersifat isometrik, yaitu pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan bobot. 2. Jika b > 3 maka pola pertumbuhan bersifat allometrik positif, yaitu pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan panjang. 3. Jika b < 3 maka pola pertumbuhan bersifat allometrik negatif, yaitu pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobot. Pendugaan ukuran ikan pertama kali tertangkap menggunakan persamaan Kerstan (1985), seperti berikut : Y(%) = [100/(1+a*e^-b*x)] ………..........….........…..(2)
Tulisan ini menyajikan informasi tentang distribusi ukuran panjang, hubungan panjang bobot dan ukuran pertama kali tertangkap ikan madidihang. Penelitian didasarkan data yang dikumpulkan dari armada pancing ulur yang menangkap ikan tuna di perairan sekitar rumpon yang dipasang di Samudera Hindia selatan Bali sampai Lombok dan mendaratkan hasil tangkapannya di Kedonganan, Bali.
Dimana : Y(%) = proporsi tertahan pada setiap titik kelas panjang (Lc) a = koefisien intersep b = kemiringan (slope) e = eksponensial x = nilai tengah kelas panjang
BAHANDANMETODE
HASIL DAN BAHASAN
Pengumpulan Data
HASIL
Pengumpulan data dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan Kedonganan, Kabupaten Badung - Bali, mulai bulan April sampai Nopember 2009 dengan menggunakan metode sampling acak. Data yang dikumpulkan meliputi ukuran panjang dan bobot ikan madidihang hasil tangkapan armada pancing ulur yang beroperasi di perairan sekitar rumpon yang dipasang di Samudera Hindia selatan Bali sampai Lombok. Pengukuran panjang cagak (fork length) setiap individu ikan menggunakan kaliper dengan ketelitian 0,5 cm sedang bobot diukur dalam kg dengan menggunakan timbangan manual.
Sebaran Frekuensi Panjang
162
Hasil pengukuran panjang cagak (FL) ikan madidihang yang tertangkap pada bulan April sampai Oktober 2009 memperlihatkan kisaran 81-170 cmFL (Gambar 1). Bobot ikan madidihang mempunyai kisaran 6-73 kg. Ikan madidihang banyak tertangkap pada kisaran panjang 136– 150 cmFL pada bulan April sampai Juni, sedangkan pada bulan Juli sampai Oktober banyak tertangkap pada kisaran panjang antara 126 -130 cmFL.
N. Muhammad, A. Barata / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 161-167
Gambar 1. Distribusi panjang cagak ikan madidihang yang tertangkap pancing ulur di perairan sekitar rumpon dan didaratkandi Kedonganan, April-Oktober 2009. Figure 1. Fork length frequency distributions of yellowfin tuna caught by handline in the around of FAD and landedat Kedonganan, April-October 2009. Ikan madidihang yang tertangkap pancing ulur dan didaratkan di Kedonganan, Bali pada bulan April sampai Juni menunjukkan ukuran ikan yang tertangkap berukuran besar (Tabel 1). Analisis simpangan baku terhadap nilai panjang rata-rata ikan madidihang setiap bulan, diperoleh nilai (s) = 10,14. Hal ini menunjukkan pergeseran bulanan ukuran ikan yang tertangkap dengan nilai simpangan relatif
kecil atau keragaman sebaran data tersebut semakin homogen. Ukuran panjang ikan madidihang yang tertangkap di perairan sekitar rumpon Samudera Hindia selatan Bali sampai Lombok menunjukkan perbedaan tidak signifikan setiap bulannya. Secara keseluruhan panjang rata-rata ikan madidihang yang tertangkap dengan pancing ulur di perairan sekitar rumpon adalah 129,28 cmFL.
Tabel 1. Rata-rata panjang cagak ikan madidihang yang didaratkan di Kedonganan, April-Oktober 2009. Table 1. Average of fork length of yellowfin tuna landed at Kedonganan, April-October 2009.
Bulan Month
Jumlah contoh/ Panjang Minimum/ Panjang Maksimum/ Total sample Minimum length Maximum length (ekor) (cm) (cm) April 148 109 161 Mei 431 85 170 Juni 330 77 170 Juli 45 84 167 Agustus 95 85 162 September 56 90 158 Oktober 19 81 142
Panjang Rata-rata/ Average length (cm) 139.73 139.25 140.64 128.82 118.80 125.26 116.78
163
N. Muhammad, A. Barata / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 161-167
Hubungan Panjang dan Bobot Analisis hubungan panjang dan bobot terhadap 1.124 ekor ikan madidihang diperoleh persamaan W = 6x10-6 FL3,1881 dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,9551. Nilai ini menunjukkan bahwa korelasi antara panjang dan bobot ikan sangat signifikan (Gambar 2). Berdasarkan hasil ujit terhadap parameter b pada selang kepercayaan 95 % (a=0,05), diperoleh t hit
3) yang artinya pola
pertumbuhan ikan madidihang bersifat allometrik positif yaitu pertumbuhan bobot lebih cepat dari pertumbuhan panjangnya. Ukuran Ikan Pertama Kali Tertangkap Hasil perhitungan diperoleh ukuran pertama kali tertangkap (Lc) ikan madidihang yang tertangkap pancing ulur adalah126,7 cmFL (Gambar 3).
Gambar 2. Hubungan panjang bobot ikan madidihang yang tertangkap pancing ulur di perairan sekitar rumpon, April-Oktober 2009. Figure 2. Length and weigth relationship of yellowfin tuna caught by handline in the around of FADs, AprilOctober 2009.
Gambar 3. Ukuran pertama kali ikan madidihang tertangkap (Lc) dengan pancing ulur di perairan sekitar rumpon, AprilOktober 2009 Figure 3. Length at first capture (Lc) of yellowfin tuna caught by handline in the around of FADs, April-October 2009. 164
N. Muhammad, A. Barata / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 161-167
BAHASAN Menurut Sivasubramanium, (1965) dalam Sumadhiharga, (2009), menyatakan bahwa pada kisaran panjang 125-137 cmFL, umur ikan madidihang diperkirakan mencapai 3 tahun. Pada saat ikan berumur sekitar 4 tahun ikan madidihang mencapai ukuran panjang 137-145 cmFL. Berdasarkan kriteria tersebut maka ikan madidihang yang tertangkap di perairan sekitar rumpon Samudera Hindia selatan Jawa sampai Lombok diperkirakan berumur 3-5 tahun. Hasil penelitian Babaran, (2006), menunjukkan ukuran panjang ikan madidihang yang tertangkap dengan pancing ulur di sekitar rumpon perairan Teluk Moro (Filipina) berkisar antara 108 – 113 cmFL, sedangkan di perairan Indonesia selatan Jawa, didominasi pada kelas 123-128 cmFL. Selanjutnya Mertha et al. (2006), menyatakan bahwa ikan madidihang yang tertangkap oleh armada pancing ulur di perairan selatan Palabuhanratu berkisar antara 25-119 cm dengan modus 45-48 cm. Banyaknya madidihang berukuran besar yang tertangkap sepanjang April sampai Juni pada penelitian ini menunjukkan terjadinya rekruitmen dengan tujuan untuk memijah atau mencari makan. Weda, (1950) dalam Itano, (2000) memperkirakan musim pemijahan tuna madidihang di perairan selatan Filipina terjadi pada bulan Mei sampai Agustus. Pada bulan Juli sampai Oktober menunjukkan ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil. Hal ini menjelaskan bahwa dominasi ikan madidihang yang berukuran kecil (yuwana tuna) lebih banyak berkumpul di perairan sekitar rumpon. Selanjutnya Nurhakim & Suprapto, (2009), menyajikan data produksi yuwana tuna madidihang dan mata besar hasil tangkapan pancing ulur pada bulan Agustus sampai Oktober yang didaratkan di Kedonganan lebih dominan (82,97 %) bila dibandingkan ikan madidihang (17,02 %) yang berukuran besar sebagai hasil tangkapan utama armada pancing ulur. Besaran nilai b (slope) dalam hubungan panjang bobot madidihang yang diperoleh adalah 3,1881. Menurut Effedie (2002), jika nilai b berada diluar kisaran antara 2,4-3,5 maka bentuk tubuh ikan diluar batas kebiasaan bentuk ikan secara umum. Hasil penelitian Rohit & Rammohan, (2009), pola pertumbuhan ikan madidihang yang tertangkap hand line di perairan Andhra Coast (India) adalah allometrik positif. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor dalam sulit dikontrol yang meliputi keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar utama yang mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan (Effendie, 2002). Pola pertumbuhan ikan madidihang yang tertangkap di perairan sekitar rumpon Samudera Hindia menggambarkan ikan dalam kondisi gemuk. Faktor makanan yang melimpah di perairan sekitar rumpon diduga sebagai hal utama yang mempengaruhi
pertumbuhan bobot lebih cepat dari panjangnya. Rumpon merupakan tempat berkumpulnya plankton dan ikan-ikan kecil lainnya, sehingga mengundang ikan-ikan yang lebih besar untuk tujuan feeding (Sudirman & Mallawa, 2004). Menurut Hunter & Mitchel, (1968) ikan bergerombol di perairan sekitar rumpon terutama berfungsi sebagai tempat berlindung dari predator, namun beberapa kasus justru sarana ketertarikan ikan tuna bergerombol di sekitar rumpon untuk mencari mangsa jenis ikan kecil. Hasil penelitian terhadap jenis makanan ikan madidihang yang tertangkap di perairan sekitar rumpon menunjukkan bahwa sebagian besar jenis makanannya adalah ikan berukuran kecil seperti ikan layang, cumi-cumi dan ikan teri (Mardlijah, 2008). Panjang pertama kali matang gonad ikan madidihang yang tertangkap di Samudera Hindia berada pada kisaran panjang 100 - 110 cm atau ikan berumur antara 2,5-3,0 tahun (FAO, 2010). Menurut Sivasubramanium, (1965) dalam Sumadhiharga, (2009), pada umumnya di Samudera Hindia, ikan madidihang mulai memijah pada panjang cagak 90 cm atau berumur sekitar 2 tahun. Ikan madidihang di perairan pantai dapat mencapai matang gonad pada panjang ratarata yang lebih kecil dari pada ditempat lain (Anonymous,1992). Hasil penelitian Mardlijah & Patria (2012) bahwa panjang pertama kali matang gonad ikan madidihang betina yang tertangkap di perairan Teluk Tomini adalah 94,8 cmFL. Selanjutnya Zhu et al. (2008), memperkirakan ukuran pertama kali matang gonad pada ikan madidihang di Samudera Hindia pada panjang cagak sekitar 100 cm. Dengan demikian, ikan madidihang yang tertangkap di sekitar perairan rumpon Samudera Hindia selatan Bali sampai Lombok didominasi oleh ikan yang pernah mengalami pemijahan. Saat ini terdapat beberapa jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan tuna di perairan sekitar rumpon laut dalam antara lain purse seine, gill net, huhate, pancing tonda dan pancing ulur. Terkait dengan pengeloaan perikanan tuna di perairan sekitar rumpon maka pancing ulur adalah alat tangkap yang selektif untuk mengeksploitasi sumber daya ikan tuna dibandingkan dengan alat tangkap seperti gillnet dan purse seine. Penurunan populasi ikan selain disebabkan oleh tekanan penangkapan yang berlebih, juga diduga karena kerusakan lingkungan tempat tinggalnya, penggunaan alat tangkap yang tidak selektif dan cara penangkapan yang tidak benar (Nuraini & Sumiono, 2008). Selanjutnya Balai Riset Perikanan Laut (2011), menyebutkan bahwa hasil tangkapan yang diperoleh alat tangkap jaring dan dioperasikan di perairan sekitar rumpon umumnya didominasi ikan yang berukuran kecil. Pengembangan usaha penangkapan ikan tuna dengan pancing ulur di perairan sekitar rumpon adalah tepat karena alat tangkap ini diduga tidak mengganggu kelestarian sumber daya ikan.
165
N. Muhammad, A. Barata / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 161-167
KESIMPULAN 1. Ikan madidihang yang tertangkap pada bulan AprilOktober 2009 di perairan sekitar rumpon di Samudera Hindia sebelah selatan Bali dan Lombok memiliki kisaran ukuran panjang cagak (Fc) antara 81-170 cm. 2. Pola pertumbuhan ikan madidihang yang tertangkap di perairan sekitar rumpon di Samudera Hindia bersifat allometrik positif. 3. Panjang pertama kali ikan madidihang tertangkap (Lc) dengan pancing ulur adalah 126,7 cm FL dan diperkirakan sebagaian besar ikan pernah mengalami pemijahan. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil penelitian kebijakan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan perikanan tuna di Samudera Hindia ,T.A. 2009 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. Penulis mengucapkan terima kasih kepada para enumerator di Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa, yang telah membantu dalam pengumpulan data di Pangkalan Pendaratan Ikan Kedonganan, Bali.
western tropical Pacific ocean: Project Summary SOEST 00-01, JIMAR Contribution : 328 p. Kerstan, M. 1985. Age, growth, maturity and mortality estimates of horse mackerel (Trachurus trachurus) from the waters west of Great Britain and Ireland in 1984. Arch. FischWiss. 36 (1/2) : 115-154. Mardlijah, S. 2008. Analisis isi lambung ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan madidihang (Thunnus albacares) yang didaratkan di Bitung, Sulawesi Utara, Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. 14 (2): 227-235. Mardlijah, S & M. P. Patria. 2012. Biologi reproduksi ikan madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) di Teluk Tomini. Bawal. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. 4 (1): 27-34. Mertha, I. G. S. 1993. Hubungan panjang dan bobot dan faktor kondisi ikan lemuru, Sardinella lemuru Bleeker, 1853 dari perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 73: 35-44.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous.1992. Report of the second meeting of the western Pacific yellow fin tuna research group.Honolulu. Hawai. 79 p. Babaran, R.P. 2006. Payao fishing and its impacts to tuna stocks: A preliminary analysis. Paper : Scientific Committee Second Regular Session. Western and Central Pacific Fisheries Commission. FT WP-7. 13 p. Balai Riset Perikanan Laut. 2011. Laporan akhir tahun riset perikanan tangkap di Samudera Hindia. Balai Riset Perikanan Laut. Jakarta. 263 p. Effendie, M.I. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara.Yogyakarta. FAO. 2010. Biological characteristics of tuna. Text by Michel Goujon and Jacek Majkowski. In: FAO Fisheries and Aquaculture Department. Available from: http://www.fao.org/fishery/topic/16082/en . Accessed Feb 24, 2010. Hunter, J. R. & C. T. Mitchell. 1968. Field experiment on the attraction of pelagic fish to floating object. Jour. Du Conseil, 31: 427-434. Itano.D.G. 2000. The Reproductive biology of yellowfin tuna (Thunnus albacares ) in Hawaiian waters and the
166
Mertha, I. G. S., K.Susanto & B. I. Prisantoso. 2003. Pengkajian stok ikan di Samudera Hindia (WPP 4). Forum Pengkajian Stok Ikan Laut Indonesia. Jakarta, 23-24 Juli: 13-30. Mertha, I.G.S., Nurhuda, M & A. Nasrullah. 2006. Perkembangan perikanan tuna di Pelabuhanratu. J.Lit.Perikan.Ind. 12 (2 ): 117-127. Nurhakim, S. & Suprapto. 2009. Laporan teknis riset; kebijakan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan perikanan tuna di Samudera Hindia. Balai Riset Perikanan Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Jakarta: 29 p. Nuraini, S. & B. Sumiono. 2008. Parameter biologi udang barong di pantai Selatan Pangandaran, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Tahunan V. Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan V, Juli 2008. Fakultas Pertanian UGM, BBRP2B-BRKP-DKP, FPIK Unibraw dan FPIK Undip. Yogyakarta : 14 p. Rohit. P & K. Rammohan. 2009. Fishery and biological aspect of yellowfin tuna thunnus albacares. Asian Fisheries Science 22: 235-244. Sudirman H. &A. Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
N. Muhammad, A. Barata / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 161-167
Sumadhiharga, O.K. 2009. Ikan tuna. Pusat Penelitian Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Zhu G, Xu L, Zhou Y & Song L. 2008. Reproductive biology of yellowfin tuna T. albacares in the WestCentral Indian Ocean. Journal of Ocean University of China (English Edition) 7: 327-332.
Sulistyaningsih, R.K., A. Barata & K. Siregar. 2011. Perikanan pancing ulur tuna di Kedonganan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan. 17 (3) : 185-191.
167
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176
PENANGKAPAN JUVENIL IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares Bonnatere 1788) DI PERAIRAN TELUK TOMINI FISHING ON JUVENILES OF YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacares BONNATERE 1788) IN TOMINI BAY Siti Mardlijahdan Enjah Rahmat Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru - Jakarta Teregistrasi I tanggal: 15 Juni 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 11 Desember 2012; Disetujui terbit tanggal: 13 Desember 2012
ABSTRAK Intensitas penangkapan juvenil ikan madidihang (Thunnus albacares) di Teluk Tomini terutama terjadi sejak banyaknya beroperasi pukat cincin di perairan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran eksploitasi ikan madidihang juvenil dengan pancing ulur dan pukat cincin di perairan Teluk Tomini. Penelitian dilakukan pada tahun 2007 dan 2010. Sampel ikan madidihang merupakan hasil tangkapan pancing ulur dan pukat cincin yang yang beroperasi di rumpon di perairan Teluk Tomini. Hasil tangkapan madidihang juvenil dari pancing ulur sebesar 88,11%, sedangkan hasil tangkapan ikan madidihang juvenil dengan pukat cincin sebesar 100% (seluruh hasil tangkapan adalah juvenil ). Panjang pertama kali ikan madidihang yang tertangkap dengan pancing ulur 31,6 cm FL dan dengan pukat cincin 30 cm FL. Penangkapan ikan juvenil madidihang terjadi setiap bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sudah terjadi tekanan penangkapan yang sangat tinggi terhadap juvenil ikan madidihang. KATA KUNCI: Juvenil, madidihang, pancing ulur, pukat cincin, Teluk Tomini ABSTRACT: The high intensity of yellowfin tuna (Thunuus albacares) juvenils in the Tomini bay has occurred after purse seine operated in this area. The aim of the research on “Exploitation of juvenile yellowfin tuna in Tomini Bay” was to give a clear feature on yellowfin tuna juvenile exploitation by hand line and purse seine in the Tomini Bay. The research was conducted in 2007 and 2010. All samples of yellow fin tuna were caught by hand line and purse seine which were operated in the Tomini Bay. The result showed that juvenile yellowfin tuna were caught by hand line was about 88.11% from the total catch of hand line, while the yellowfin tuna juvenils caught by purse seine was 100%. Length at first capture of yellowfin tuna by handline and purse seine were 31.6 cm FL and 30 cm. Fishing juvenile yellowfin tuna occurs every month. Moreover, that condition was showing and giving the indication that the exploitation of juvenile yellowfin tuna was very high that may endanger their sustainability. KEYWORDS: Juvenile, yellowfin tuna, hand line, purse seine, Tomini Bay
PENDAHULUAN Ikan tuna merupakan salah satu sumber daya ikan ekonomi yang bernilai tinggi. Permintaan pasar terhadap ikan tuna yang terus meningkat telah mendorong upaya penangkapan yang semakin intensif, baik oleh perikanan skala kecil maupun skala besar. Di lain pihak, kegiatan penangkapan secara ilegal lebih banyak dilakukan oleh kapal-kapal asing terutama yang beroperasi di wilayah perbatasan. Demikian halnya yang terjadi di perairan Teluk Tomini, penangkapan ikan madidihang (yellowfin tuna) yang masih kecil (stadia juvenil) maupun yang dewasa berlangsung sangat intensif sejak tahun 1991 (Ariz et al., 1993) Penangkapan dilakukan menggunakan alat tangkap pancing ulur dan pukat cincin yang dioperasikan di sekitar rumpon. Menurut Fonteneau et al. (2000); Bromhead et al.
(2003); dan Morgan, (2011) rumpon mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap overfishing stok tuna. Meskipun banyak ikan-ikan dewasa yang tertangkap di rumpon, seperti ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Scombridae) tetapi dalam waktu bersamaan banyak tertangkap ikan madidihang (Thunnus albacares, Scombridae) dan mata besar (Thunnus obesus, Scombridae) berukuran kecil yang belum dewasa atau belum matang gonad. Ikan cakalang matang gonad dengan ukuran lebih kecil dibandingkan ikan madidihang dan mata besar. Ikan cakalang dan tuna bergerombol bersama dengan ukuran yang sama. Penangkapan ikan yang masih berumur muda (juvenil) secara terus menerus tanpa diimbangi dengan upaya pengelolaan akan membahayakan keberlanjutan dari sumber daya ikan tersebut. Kondisi tersebut tidak memberi kesempatan ikan untuk tumbuh dan berkembang biak dan berdampak akhir over fishing recruitment (lebih tangkap ikan berukuran juvenil). Beberapa tindakan alternatif
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung, Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara
169
S. Mardlijah, E. Rahmat / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176
pengelolaan yang sesuai pada perairan ini sangat dibutuhkan. Paradigma baru pada penangkapan sumber daya perikanan di suatu perairan ditekankan kepada bagaimana aktivitas tersebut dapat berjalan terus menerus atau berkelanjutan, berkualitas tinggi dan diproduksi dengan teknologi ramah lingkungan. Tulisan ini membahas secara ringkas tentang penangkapan juvenil ikan madidihang juvenil di perairan Teluk Tomini.
logistik, yaitu dengan memplotkan prosentase frekuensi kumulatif dengan panjang ikan. 2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi ikan madidihang juvenil yang tertangkap, dibuat tabel frekuensi kumulatif (%). HASIL DAN BAHASAN HASIL Komposisi Ukuran
BAHANDANMETODE Pengumpulan Data Contoh ikan madidihang dikumpulkan dari hasil tangkapan pancing ulur dan pukat cincin yang yang beroperasi di sekitar rumpon di perairan Teluk Tomini yang didaratkan di Marisa dan Gorontalo tahun 2007 dan 2010, dengan pengambilan contoh ikan dilakukan secara acak. Analisis Data 1. Pendugaan ukuran rata-rata ikan pertama kali tertangkap. Metode penentuan ukuran ikan rata-rata tertangkap dilakukan menggunakan metode kurva
170
Ukuran ikan madidihang hasil tangkapan pancing ulur dan pukat cincin yang tertangkap pada tahun 2007 disajikan pada Gambar 1 dan hasil tangkapan tahun 2010 disajikan pada Gambar 2. Ukuran ikan madidihang hasil tangkapan pancing ulur berkisar antara 11 – 172 cm FL dan hasil tangkapan pukat cincin berkisar antara 15–75 cm FL. Sementara pada tahun 2010, ukuran ikan madidihang yang tertangkap dengan pancing ulur berkisar antara 10–190 cm FL dan tertangkap dengan pukat cincin berkisar antara 10–80 cm FL. Modus ukuran ikan yang tertangkap untuk tahun 2007 dan 2010 rata-rata pada ukuran 30–40 cm FL. Ikan madidihang pada ukuran tersebut masih dikategorikan juvenil atau ikan yang belum matang gonad.
S. Mardlijah, E. Rahmat / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176
Hand line
Purse seine
Gambar 1. Komposisi ukuran ikan madidihang hasil tangkapan pancing ulur dan pukat cincin di Teluk Tomini, 2007. Figure 1. Size composistion of yellowfin tuna caught by hand line and purse seine in Tomini Bay, 2007.
171
S. Mardlijah, E. Rahmat / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176
Hand line
Purse seine
Gambar 2. Komposisi ukuran ikan madidihang hasil tangkapan pancing ulur dan pukat cincin di Teluk Tomini, 2010 Figure 2. Size composistion of yellowfin tuna caught by hand line and purse seine in Tomini Bay, 2010 Dari Gambar 1 dan Gambar 2 tampak penangkapan juvenil terjadi setiap bulan pada tahun 2007 dan 2010. Banyaknya ikan juvenil yang tertangkap oleh pancing ulur dan pukat cincin dapat dilihat pada Tabel 1. Kontribusi juvenil yang tertangkap oleh pancing ulur sebanyak 88,11 % dan tertangkap pukat cincin sebanyak 100 % dari total masing-masing alat tangkap tersebut.
172
Ukuran Panjang Ikan Pertama Kali Tertangkap (Lc) Panjang ikan pertama kali tertangkap adalah panjang dimana 50% dari ikan yang masuk jaring tertahan diperoleh dari seleksi alat tangkap (Sparre & Venema, 1999) kurva dengan cara memplotkan prosentase frekuensi kumulatif dengan panjang ikan. Dari kurva tersebut diperoleh nilai Lc untuk pancing ulur adalah 31,6 cm FL dan untuk pukat cincin adalah 30 cm (Gambar 3).
S. Mardlijah, E. Rahmat / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176
Tabel 1. Distribusi frekuensi panjang ikan madidihang yang tertangkap pancing ulur dan pukat cincin di perairan Teluk Tomini, Tahun 2007. Table 1. Length frequency distribution of yellowfin tuna caught by hand line and purse seine in Tomini Bay, 2007
Pancing ulur
FL (cm)
Frekuensi (%)
Kumulatif
Pukat cincin Frekuensi kumulatif (%)
Frekuensi (%)
Kumulatif
Frekuensi kumulatif (%)
10-19,9
15,26
15,26
15,26
3,47
3,47
3,47
20-29,9
14,23
29,49
29,49
29,53
33,00
33,00
30-39,9
40,12
69,61
69,61
33,50
66,50
66,50
40-49,9
12,85
82,46
82,46
8,68
75,19
75,19
50-59,9
3,84
86,31
86,31
12,16
87,34
87,34
60-69,9
0,96
87,27
87,27
12,41
99,75
99,75
70-79,9
0,24
87,51
87,51
0,25
100
100
80-89,9
0,60
88,11
88,11
100
90-99,9*
2,34
90,45
90,45
100-109,9
2,64
93,09
93,09
110-119,9
1,20
94,29
94,29
120-129.9
0,78
95,08
95,08
130-139,9
1,44
96,52
96,52
140-149,9
1,02
97,54
97,54
150-159,9
1,56
99,10
99,1
160-169,9
0,84
99,94
99,94
170-179,9
0,06
100
100
Total
100
*= kelas interval Lm (Length at first maturity) (Mardlijah & Mufti, 2012)
Lc=31,6cm FL
Lc=30 cm FL
Gambar 3. Kurva seleksi alat tangkap yang menunjukan panjang pertama kali ikan madidihang tertangkap oleh pancing ulur dan pukat cincin di Teluk Tomini Figure 3. Selection curve showing length at first capture (Lc) of yellowfin tuna caught by hand line and purse seine in Tomini Bay
173
S. Mardlijah, E. Rahmat / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176
BAHASAN Komposisi Ukuran Hasil Tangkapan Ikan Madidihang Komposisi ukuran ikan madidihang yang tertangkap oleh pancing ulur dan pukat cincin selalu didominasi oleh ikan berukuran kecil (panjang 10 – 80 cm FL) atau belum matang gonad atau disebut juvenil. Juvenil adalah ikan dengan ukuran lebih kecil dari ukuran pertama kali matang gonad (Ingles & Lida, 2010; Dagorn & Victor, 2011; WWF, 2012). Menurut mardlijah & Mufti, (2012) Ikan) madidihang pertama kali matang gonad di perairan Teluk Tomini adalah 94,8 cm FL, sehingga ukuran ikan yang lebih kecil dari 94,8 cm FL dapat dikategorikan sebagai ikan belum memijah. Dari Gambar 1 dan 2 terlihat bahwa penangkapan juvenil madidihang terjadi pada setiap bulan setiap tahun. Kapal pancing ulur yang seharusnya menangkap ikan tuna dewasa ternyata banyak menangkap ikan berukuran juvenil. Ketika tidak memperoleh ikan tuna tuna besar, nelayan mengganti mata pancing yang lebih kecil untuk menangkap juvenil yang ukuranya lebih kecil. Banyaknya juvenil yang tertangkap dapat dilihat pada Tabel 1. Ikan juvenil madidihang yang tertangkap dengan pancing ulur sebanyak 88,11% dan seluruh ikan madidihang hasil tangkapan pukat cincin berukuran kecil (juvenil). Seperti yang dikemukakan oleh Widodo & Suwarso, (2005), bahwa di perairan Teluk Tomini sudah terlihat adanya tekanan penangkapan terhadap ikan-ikan muda (juvenil) yang sangat intensif. Berdasarkan data frekuensi panjang yang dikumpulkan, ikan muda yang tertangkap ± 54% dari seluruh hasil tangkapan ikan tuna. Apabila hal tersebut dibiarkan tanpa adanya upaya konservasi dan pengelolaan, maka akan menekan pertumbuhan populasi dan akhirnya akan mengurangi stok sumber daya ikan madidihang di perairan Teluk Tomini. Menurut Ingles & Lida, (2010), penangkapan ikan juvenil yellowfin tuna di Philipina sebesar 87.7%. Philipina memberikan contoh yang sama dengan Indonesia dan Malaysia, sedangkan juvenil tuna pada perikan tuna di Kepulauan Solomon dan Papua sudah berkembang sampai mencapai lebih dari 10 kg yang sering ditangkap dengan pukat cincin yang beroperasi di Kepulauan Pasifik. Penangkapan juvenil tuna di Philipina berpotensi
174
menciptakan kerugian terhadap perikanan tuna tahun 2009 di Negara tersebut sebesar $ 17.600.000. Ditambahkan oleh Siebert et al. (2006) apabila terus terjadi peningkatan tangkapan juvenil dalam kurun waktu 50 tahun terakhir akan menyebabkan penurunan trofik level tangkapan. Selanjutnya Yusuf, (2012) menampilkan hasil tangkapan juvenil madidihang di Wakatobi tahun 2008 – 2011 (Tabel 2). Rata-rata juvenil madidihang yang tertangkap di Wakatobi adalah 30% dari total tangkapan. Apabila selama 4 tahun terakhir, di Wakatobi diperkirakan miliaran telur madidihang gagal untuk regenerasi. Kegagalan ini harus menjadi perhatian dari nelayan, kolektor, dan pemerintah daerah untuk berpikir dan menyadari bahwa penangkapan juvenil tuna akan mengganggu proses rekruitmen. Informasi tersebut dapat menjadi salah satu pertimbangan kebijakan untuk tidak menangkap ikan juvenile tuna. Tabel 2. Juvenil madidihang yang tertangkap dengan hand line di Wakatobi, 2008 – 2012. Table 2. Juvenile yellowfin tuna caught by hand line in Wakatobi, 2008 - 2012. Tahun Year
Total of tuna
Juvenile tuna
% juvenile
2008
2682
430
16
2009
3451
902
26
2010
766
406
53
2011 Total
1134 8033
288 2026
25
Sumber : Yusuf, (2012)
Pada Gambar 4 disajikan pola distribusi vertikal (Grubb & Holland, 2001). Kelompok renang ikan madidihang yang berukuran kecil (juvenil), sebagian besar berada pada lapisan permukaan sampai pada garis termoklin. Kapal pancing ulur dapat menangkap ikan madidihang yang berenang pada lapisan permukaan sampai pada lapisan yang lebih dalam, dengan mengganti pancing ukuran kecil (nomor 12, 17, dan 18) dengan pancing ukuran lebih besar (nomor 4 dan 5). Dengan demikian ikan-ikan madidihang yang tertangkap oleh pancing ulur mempunyai kisaran ukuran yang sangat lebar. Kapal pukat cincin menangkap ikan-ikan madidihang di permukaan yang berukuran lebih kecil.
S. Mardlijah, E. Rahmat / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176
Gambar 4. Pola distribusi vertikal ikan tuna (Grubb & Holland 2001) Figure 4. Vertical distribution of tunas (Grubb & Holland 2001) Keterangan:
yf: yellowfin/madidihang be: bigeye/tuna mata besar
Sebagian besar tuna berkelompok menurut ukuran. Tuna yang berukuran kecil (juvenil) akan berkelompok di permukaan biasanya bercampur dengan ikan cakalang, untuk ukuran yang lebih besar akan berada pada lapisan yang lebih dalam, dan untuk ukuran yang besar dan dewasa ditemukan pada perairan yang dalam (Suzuki et al.,1977). Ditambahkan oleh Nikolsky, (1963), bahwa ikanikan yang berukuran kecil biasanya lebih banyak berada pada lapisan permukaan perairan dengan kelompok (schooling) yang besar. Ikan-ikan yang berukuran lebih besar biasanya berada pada lapisan yang lebih dalam dengan yang kelompok lebih kecil. Selanjutnya Uktolseja et al. (1998) menyatakan bahwa ikan tuna berukuran kecil (juvenil) hidup berkelompok atau bergerombol pada lapisan permukaan air, kemudian semakin besar ukuran ikan tuna akan bergerak pada lapisan air yang lebih dalam (sub surface) dan hidup soliter. Panjang Pertama Kali Tertangkap (Lc) Pendugaan ukuran pertama kali ikan tertangkap digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Diasumsikan bahwa apabila ikan tertangkap pada ukuran belum sempat matang gonad atau dengan kata lain belum sempat melakukan pemijahan, maka sumber daya ikan itu akan mengalami kepunahan. Hal tersebut dimungkinkan karena ikan belum sempat memijah tetapi sudah tertangkap. Dari hasil perhitungan Lc terlihat bahwa penangkapan ikan di Teluk Tomini banyak diperoleh pada ukuran sebelum ikan madidihang matang gonad (Lc < Lm). Panjang pertama kali matang gonad (Length at first maturity/Lm) ikan madidihang yang tertangkap dengan pancing ulur di perairan Teluk Tomini adalah 94,8 cm FL
dengan kisaran antara 89,2 - 100,9 cm FL (Mardlijah & Mufti, 2012). Kondisi tersebut akan membahayakan keberadaan sumber daya ikan madidihang. Penangkapan ikan madidihang harus dilakukan pada ukuran yang lebih besar dari ukuran pertama kali matang gonad. Hal tersebut untuk memberi kesempatan pada ikan-ikan madidihang juvenil untuk menjadi dewasa dan memijah sehingga proses rekruitmen tetap berlangsung dengan baik. Menurut Block & Stevens, (2001), konservasi tuna mengacu pada tindakan untuk mencegah penurunan stok dalam jangka panjang, mengembalikan jumlah populasi yang terus menurun, atau mengontrol aktivitas manusia dalam rangka mencapai pemanfaatan dan keberadaan populasi yang yang berkelanjutan. Konservasi tuna mengikuti konsep ekosistem secara menyeluruh, kebijakan dengan mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya atau pemulihan, dan tindakan nyata, misalnya tidak mengoperasikan pukat cincin di sekitar rumpon untuk menangkap ikan madidihang juvenil pada waktu-waktu tertentu. KESIMPULANDANREKOMENDASI KESIMPULAN (1). Tekanan penangkapan terhadap juvenil ikan madidihang di perairan Teluk Tomini sudah sangat tinggi. Juvenil yang tertangkap oleh pancing ulur sebanyak 88,11% dan seluruh hasil tangkapan pukat cincin (100%) terdiri dari ikan madidihang juvenil. (2) Panjang pertama kali ikan madidihang yang tertangkap dengan pancing ulur 31,6 cm FL dan dengan pukat cincin 30 cm FL.
175
S. Mardlijah, E. Rahmat / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176
REKOMENDASI 1. Penggunaan mata pancing pada pancing ulur perlu diperbesar (nomor 4 dan 5) dari yang digunakan saat ini, sehingga lebih selektif terhadap hasil tangkapan. Dengan memperbesar mata pancing diharapkan ikan madidihang yang tertangkap sudah berukuran besar (dewasa) atau sudah matang kelamin sehingga proses rekruitmen dapat tetap terjaga. Secara ekonomi juga lebih baik harga ikan yang berukuran lebih besar lebih mahal. 2 Penggunaan pukat cincin perlu dibatasi mengingat seluruh hasil tangkapan (100%) berupa ikan madidihang berukuran kecil (juvenil). 3 Perlu adanya pelarangan penangkapan ikan di rumpon terutama pada musim pemijahan karena di rumpon tempat berkumpulnya ikan-ikan kecil (ikan-ikan muda). PERSANTUNAN Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Gede Sedana Merta, M.S. yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan paper ini. DAFTAR PUSTAKA Ariz, J.,A. Delgado, A. Fonteneau, G. Costas & P. Pallares. 1993. Logs and tunas in the eastern tropical Atlantic. A review of present knowledge and uncertainties. ICCAT Collective Volume of Scientific Papers. 40: 421446. Block, B.A. & E.D. Stevens. 2001. Tuna: physiology, ecology, and evolution. Academic Press, New York: xiii + 468 p. Bromhead, D., J. Foster, R. Attard, J. Findlay, & J. Kalish. 2003. Review of the impact of fish aggregating devices (FADs) on tuna fisheries. Final report to Fisheries Resources Research Fund, Australia: Bureau of Rural Sciences: 121 p. Dagorn L. & R. R. Victor 2011. Questions and Answers About FADs and Bycatch. ISSF Technical Report. Fonteneau, A., P. Pallares, & R. Pianet. 2000. A worldwide review of purse seine fisheries on FADs. In: J.Y. Le Gal, P.Cayre´ & M. Taquet Peˆche thonie‘re et dispositifs de concentration de poissons proceedings of the 1st Symposium on Tuna fisheries and FADs, Martinique, October 1999. (eds). Actes ColloquesIFREMER . 28: 15–35.
176
Grubbs, D & K. Holland. 2001. Comparative trophic ecology of yellowfin and bigeye tuna associated with natural and man-made aggregation sites in Hawaiian Waters. Hawaii Institute of Marine Biology Pelagic Fisheries Research Program University of Hawaii, Hawaii: p. 1-53. Ingles, J.& P.S. Lida. 2010. Solving the juvenile tuna dilemma. WCPFC-SC6-2010/SA-WP-04. Mardlijah, S. & P.P. Mufti 2012. Biologi reproduksi ikan Madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) di Teluk Tomini. BAWAL. Pusat Penelitian Perikanan Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Jakarta. 4 (1): 27-34. Morgan, A.C. 2011. Fish Aggregating Devices and Tuna: Impacts and Management Options. Ocean science division, Pew Environment Group, Washington, DC:18 p. Nikolsky, G.V. 1963. The ecology of fishes.Academic Press, New York : xv + 352 p. Sparre, P. & S.C. Venema. 1999. Introduksi pengkajian stol ikan Tropis. Biku 1: Manual (terjemahan). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Jakarta. p. 164-165. Suzuki, Z., Y. Warashina, & M. Kishida. 1977. The comparison of catches by regular and deep tuna longline gears in the western and central equatorial Pacific. Bull. Far. Seas Fish. Res. Lab. 15: 51-89. Uktolseja, J., R. Purwasasmita, K. Susanto & A.B. Sulistiadji. 1998. Sumber daya ikan pelagis besar. Dalam: Widodo, J. 1998. Potensi dan penyebaran sumber daya ikan laut di perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut-LIPI, Jakarta: ix + 251 p. Widodo, J.W. & Suwarso. 2005. Teluk Tomini: ekologi, potensi sumber daya, profil perikanan dan biologi beberapa jenis ikan ekonomis penting. Balai Riset Perikanan Laut, Badan Riset Perikanan dan Kelautan, DKP: xvi + 114 p. WWF. 2012. The common wild capture fishery methodology. Wild Capture Fishery: 15 p. Yusuf, M. 2012. The capture of a single juvenile tuna destroys millions of others. WWF – Indonesia (Unpublished).
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184
BEBERAPA PARAMETER POPULASI IKAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) DI PERAIRAN SELAT BALI SOME POPULATION PARAMETERS OF BALI SARDINELLA (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) IN BALI STRAIT WATERS Arief Wujdi1), Suwarso2), dan Wudianto1) 1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan-Jakarta 2) Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 11 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 17 Desember 2012; Disetujui terbit tanggal: 18 Desember 2012
ABSTRAK Sumberdaya ikan lemuru paling banyak dimanfaatkan oleh nelayan di perairan Selat Bali sejak diperkenalkannya pukat cincin di perairan tersebut pada tahun 1972. Penelitian ini bertujuan untuk menduga parameter populasi ikan lemuru (Sardinella lemuru) yang merupakan hasil tangkapan pukat cincin yang didaratkan di Muncar, Banyuwangi. Pendugaan parameter populasi dilakukan berdasarkan data panjang ikan lemuru yang dikumpulan pada bulan Agustus 2010 sampai dengan Desember 2011. Hasil analisis diperoleh dugaan parameter pertumbuhan adalah L = 20,75 cmFL, K=1,20 per tahun, dan t0=-0,1456 tahun. Laju kematian total (Z) adalah 6,39 per tahun, kematian alami (M) adalah 2,23 per tahun, dan kematian akibat penangkapan (F) adalah 4,16 per tahun. Tingkat laju eksploitasi (E) sebesar 0,65. Laju eksploitasi (E) lebih besar dibandingkan dengan laju eksploitasi optimal (Eopt) maka diduga perikanan lemuru telah mengalami lebih tangkap (overfishing). Ikan lemuru memiliki 2 puncak pola rekruitmen dalam setahun, diperkirakan terjadi pada bulan Februari dan Juli, dimana rekruitmen bulan Juli lebih besar dibanding bulan Februari. KATA KUNCI: Parameter populasi, ikan lemuru (Sardinella lemuru), perairan Selat Bali ABSTRACT: Bali sardinella (Sardinella lemuru) was mostly exploited by fishers in the Bali Strait waters since the purse seine introduced in this area in 1972. The purpose of this study was to estimate population parameters of Bali sardinella that caught by purse seine in the Bali strait. Estimation of population parameters of Bali Sardinella was based on length frequency data were collected from Muncar fishing port, Bayuwangi from August 2010 until December 2011. The results showed that growth parameters as follows L = 20,75 cmFL; K=1,20 year -1 and t0=0,1456 year.. Estimation of total mortality (Z)=6,39 year -1; natural mortality (M)=2,23 year -1; fishing mortality (F)=4,16 year 1 and exploitation rate (E)=0,65. The exploitation rate was greater than optimum exploitation (Eopt), it can be presumed that overfishing is occuring in this fisheries. The recruitment pattern of Bali sardinella has two peaks in a year, predicted on February and July, where the recruitment on July was greater than February. KEYWORDS: Population parameters, Bali sardinella (Sardinella lemuru), Bali strait waters.
PENDAHULUAN Ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang sangat penting di Indonesia, terutama bagi nelayan di wilayah Selat Bali. Perairan Selat Bali berbentuk corong dengan luas berkisar 2500 km2. Bagian utara merupakan bagian yang sempit dengan lebar sekitar 2,5 km sedangkan lebar di bagian selatan sekitar 55 km. Kedalaman di bagian tengah selat sekitar 300 meter dan semakin dalam di bagian selatan selat, yaitu sekitar 1300 meter. Di bagian tengah terdapat gosong (wilayah yang dangkal) yang disebut Gosong Ratu (Merta & Badrudin, 1992). Dengan topografi yang demikian ini membuat perairan Selat Bali menjadi subur sehingga mampu menyediakan makanan bagi ikan dan biota lainnya. Ikan lemuru merupakan ikan pelagis yang mendiami perairan laut dangkal, hidup bergerombol serta merupakan spesies permukaan. Habitat yang cocok
adalah perairan pantai, namun terkadang beruaya ke perairan oseanik dengan salinitas yang tinggi. Kelimpahan ikan lemuru yang paling besar di Indonesia ditemukan di perairan Selat Bali sampai ke Nusa Tenggara Timur. Ikan lemuru selain terkonsentrasi di perairan Selat Bali juga tertangkap dalam jumlah kecil di perairan selatan Jawa Timur, seperti Grajagan, Puger (Burhanuddin et al., 1984) dan juga di perairan Selat Madura (Setyohadi, 2010). Perikanan lemuru berkembang sangat pesat sejak diperkenalkannya alat tangkap pukat cincin oleh peneliti Lembaga Penelitian Perikanan Laut (LPPL) yang sekarang menjadi Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) pada tahun 1972 (Merta & Badrudin, 1992). Pesatnya perkembangan perikanan lemuru ini didukung pula oleh adanya pabrikpabrik pemindangan, pengalengan ikan dan pembuatan tepung ikan di dekat pusat pendaratan ikan seperti Muncar (Jawa Timur) dan Pengambengan (Bali). Disamping itu,
Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur - Jakarta Utara
177
A. Wujdi., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184
ikan lemuru juga dimanfaatkan untuk umpan dalam mendukung kegiatan perikanan pancing tuna yang beroperasi di Samudera Hindia. Ikan lemuru merupakan hasil tangkapan utama alat tangkap pukat cincin di perairan Selat Bali. Hasil tangkapan ikan lemuru pada tahun 2007-2010 sangat mendominasi hingga mencapai 90% dari total hasil tangkapan pukat cincin, namun jumlah produksi yang didaratkan di Muncar sangatlah berfluktuasi. Menurut Purwanto, (2011), hasil tangkapan ikan lemuru dipengaruhi oleh episode El Niño dan La Niña, yaitu hasil tangkapan meningkat pada episode El Niño dan menurun pada saat La Niña. Pada awal dekade tahun 2000 produksi ikan lemuru menunjukkan pola meningkat hingga mengalami puncaknya pada tahun 2007 mencapai 53.000 ton (Sumber data produksi KUD Mina Blambangan). Hasil tangkapan lemuru kembali mengalami penurunan drastis hingga mengalami titik terendah yaitu hanya 2.700 ton pada tahun 2011. Hasil produksi tahun 2011 bahkan lebih kecil dibandingkan pada tahun 1986 dimana produksi ikan lemuru tercatat 3.200 ton dan dikatakan menghilang (Merta, 1992a). Hasil tangkapan ikan lemuru yang berfluktuasi tersebut perlu untuk diteliti lebih lanjut dengan mengkaji lebih dalam tentang aspek biologi dan pertumbuhan populasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa parameter populasi ikan lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali. Informasi tentang kondisi terkini parameter populasi ikan lemuru sangat diperlukan sebagai bahan dasar pengelolaan lemuru sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. BAHANDANMETODE Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi langsung di lapangan berturut-turut pada bulan Agustus 2010 hingga Desember 2011. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dibantu tenaga enumerator. Ikan diperoleh dari hasil tangkapan alat tangkap pukat cincin yang di daratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar, Banyuwangi. Pengambilan contoh ikan dilakukan secara acak melalui pengukuran sistematis dengan metode proporsional berdasarkan prosedur standar operasional menurut Suwarso (2010). Data yang dikumpulkan adalah panjang cagak (fork length) dalam satuan centimeter. Analisis Data Analisis data dilakukan untuk mengetahui parameter populasi ikan lemuru dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak FiSAT II (FAO-ICLARM Fish Stock Assessment Tools) (Gayanillo, et.al., 2005). Modus panajng cagak ikan setiap bulannya dianalisis dengan Modal
178
Progression Analysis metode Bhattacharya (1967) dalam Budihardjo et al.(1990) Parameter pertumbuhan panjang asimptotik (L) dan parameter kurvatur (K) diketahui dengan metode ELEFAN I dengan meliterasi rentang perkiraan nilai L dan K hingga diperoleh nilai yang paling rasional, sedangkan t0 diestimasi berdasarkan rumus empiris menurut Pauly (1983) dalam Lasso & Luis, (1999) seperti berikut: Log -(t0) = -0,3922 – 0,2752 Log L- 1,038 Log K .........(1) Starting sample yang digunakan adalah bulan Agustus 2010 dengan panjang permulaan (Starting length) adalah 13,25 cmFL. Program ELEFAN merupakan piranti dalam program perangkat lunak FiSAT II yang berbasis data frekuensi panjang. Persamaan pertumbuhan diperoleh menurut Von Bertalanffy (Sparre & Venema, 1999) seperti berikut: ......................................................(2) Dimana: Lt = panjang ikan (cm) pada saat umur t (tahun) L = panjang asimptotik (cm) e = bilangan natural (2,72) K = konstanta kecepatan pertumbuhan ikan per tahun t = umur ikan dalam tahun t 0 = umur ikan hipotesis pada saat panjangnya 0 cm Mortalitas total (Z) dianalisa dengan pendekatan kurva hasil penangkapan yang dikonversikan ke panjang (Length Converted Catch Curve Analysis) pada perangkat lunak FISAT II. Pendekatan dilakukan dengan menggunakan input data parameter pertumbuhan (L, dan K) mengikuti persamaan Beverton dan Holt (1986) dalam Sparre & Venema (1999) seperti berikut: .................................................(3) Dimana: K = koefisien kecepatan pertumbuhan per tahun L = panjang asimptotik (cm) 8 = rata-rata panjang ikan yang tertangkap (cm) L’ = panjang ikan pada penangkapan penuh (cm) Untuk koefisien mortalitas alami (M) menggunakan persamaan empiris Pauly, (1980) berikut ini: Log (M)= -0,0066-0,279 Log (L) + 0,654 Log (K) + 0,4634 Log (T) ...........................................(4) Dimana: M = mortalitas alami L = panjang asimtotik ikan (cm) K = koefisien percepatan pertumbuhan T = suhu rata-rata perairan, menurut Setyohadi (2010) =28 oC
A. Wujdi., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184
Dalam menentukan nilai mortalitas alami (M) perlu dikoreksi dengan cara mengalikannya dengan konstanta sebesar 0,8 karena ikan lemuru tergolong famili clupeidae yang mempunyai sifat hidup membentuk gerombolan yang besar (Merta, 1992). Mortalitas penangkapan (F) didapatkan dari pengurangan total mortalitas terhadap mortalitas alami (F=Z-M). Laju eksploitasi (E) didapatkan dari pembagian mortalitas penangkapan dengan total mortaliltas (E=F/Z) (Gayanillo et al., 2005). Laju eksploitasi berada pada tingkat optimum apabila besarnya mortalitas akibat penangkapan sama dengan mortalitas alami (F=M), dimana nilai F=0,5 (Merta, 1992). HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL
11-15 cm); (3) lemuru (lemuru berukuran panjang 15-18 cm); dan (4) lemuru kucing (lemuru berukuran panjang >18 cm). Ikan lemuru sempenit yang tertangkap selama penelitian sebanyak 5,1%; protolan tertangkap sebanyak 53,7%; lemuru tertangkap sebanyak 40,7%; dan lemuru kucing tertangkap sebanyak 0,5%. Ikan lemuru yang didaratkan Muncar pada umumnya terdiri atas dua kelompok umur (kohort) yang berbeda. Panjang ikan lemuru pada kohort yang sama mengalami pergeseran menuju ukuran yang lebih besar dari bulan ke bulan. Pada bulan-bulan tertentu frekuensi panjang ikan lemuru terdiri dari 1 dan 3 kohort, namun intensitasnya sangat rendah. Ikan lemuru kucing (>18 cm) tertangkap pada bulan Oktober hingga Desember 2010, serta bulan Januari, April, September hingga November tahun 2011. Sedangkan ikan lemuru “sempenit” (< 11 cm) tertangkap pada bulan Agustus dan September 2010 serta pada bulan Februari, Juli dan November 2011 (Lampiran 1).
Parameter Pertumbuhan Parameter pertumbuhan ikan lemuru yang meliputi panjang asimptotik (L ) dan koefisien percepatan pertumbuhan (K) berturut-turut adalah L =20,75 cmFL dan K=1,2 per tahun, sehingga model pertumbuhan ikan lemuru dapat digambarkan seperti pada Gambar 3 dengan nilai t0 sebesar -0,1456 tahun, maka kurva pertumbuhan menurut Von Bertalanfy ikan lemuru mengikuti persamaan Lt=20,75 [1-e -1,2(t+0.1456)] (Gambar 3).
1200 1000 800 600 400 200 0
6,75 7,25 7,75 8,25 8,75 9,25 9,75 10,25 10,75 11,25 11,75 12,25 12,75 13,25 13,75 14,25 14,75 15,25 15,75 16,25 16,75 17,25 17,75 18,25 18,75 19,25 19,75
Jumlah/number
Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa ikan lemuru yang tertangkap memiliki ukuran panjang cagak dengan nilai tengah berkisar 6,75-19,75 cm seperti disajikan pada Gambar 1. Ikan lemuru di Selat Bali dapat diklasifikasikan menjadi 4 golongan berdasarkan ukurannya, yaitu: (1) sempenit (lemuru berukuran panjang <11 cm); (2) protolan (lemuru berukuran panjang antara
Nilai tengah kelas panjang/Midlength (cmFL)
Gambar 1. Sebaran ukuran panjang ikan lemuru di perairan Selat Bali pada tahun 2010-2011 Figure 1. Length distribution of Bali Sardinella (S.lemuru) caught in Bali Strait waters in 2010-2011
Gambar 2. Model pertumbuhan ikan lemuru (Sardinella lemuru) menggunakan ELEFAN I Figure 2. Growth model of Bali sardinella (S.lemuru) using ELEFAN I 179
A. Wujdi., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184
Gambar 3. Kurva pertumbuhan ikan lemuru berdasarkan formula Von Bertalanfy Figure 3. Growth curve of Bali sardinella according to Von Bertalanfy formula Kematian (Mortalitas)
BAHASAN
Pendugaan mortalitas total (Z) dilakukan dengan menggunakan data masukan parameter pertumbuhan (L dan K) kedalam persamaan Beverton & Holt, (1986) dalam Sparre & Venema, (1999). Dari analisis diperoleh nilai laju mortalitas total (Z) sebesar 6,39/tahun; laju kematian alami (M) sebesar 1,78/tahun. Laju kematian penangkapan (F) adalah 4,16/tahun. Sedangkan laju eksploitasi (E) ikan lemuru sebesar 0,65.
Panjang asimptotik (L ) ikan lemuru (Sardinella lemuru) cenderung semakin pendek dari tahun ke tahun. Menurut Wudianto et al. (2002), panjang asimptotik (L ) yang dapat dicapai ikan lemuru adalah 20,99 cmFL, koefisien pertumbuhan (K)=1,23 per tahun dan t0 = -0,1403. Dengan semakin pendeknya panjang asimptot (L ) menunjukkan bahwa telah terjadi tekanan penangkapan yang tinggi terhadap perikanan lemuru sehingga ukuran populasi ikan yang tertangkap semakin kecil dari tahun ke tahun. Menurut Sparre dan Venema, (1999), nilai K merupakan suatu parameter yang menentukan seberapa cepat ikan mencapai panjang asimptotiknya (L ). Ikan yang memiliki koefisien pertumbuhan yang tinggi pada umumnya memiliki umur yang relatif pendek (Pauly, 1980). Gambar 3 menunjukkan bahwa titik optimal pertumbuhan ikan lemuru adalah pada umur 2 tahun pada panjang 19,17 cm. Setelah umur 2 tahun percepatan pertumbuhan tidak secepat seperti sebelumnya hingga cenderung tetap dengan semakin bertambahnya umur ikan.
Rekruitmen
Rekrutmen/Recruitment (%)
Pola rekruitmen ikan lemuru di Selat Bali terjadi sebanyak dua kali dalam setahun. Pola rekruitmen pertama terjadi pada bulan Januari hingga April dimana puncaknya terjadi pada bulan Februari (6,86%). Pola rekruitmen kedua terjadi pada bulan Mei hingga November dimana puncaknya terjadi pada bulan Juli (19,16%) (Gambar 4).
Gambar 4. Pola rekrutmen ikan lemuru (Sardinella lemuru) Figure 4. Recruitment pattern of Bali sardinella (S.lemuru)
180
Penelitian tentang parameter pertumbuhan ikan lemuru telah banyak dilakukan (Tabel 1). Nilai parameter pertumbuhan ikan lemuru cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Turunnya nilai parameter pertumbuhan disebabkan oleh kondisi biologis ikan dalam kaitannya dengan faktor-faktor lingkungan yang membentuk habitatnya. Selain itu, perbedaan nilai L , K, dan t0 juga disebabkan oleh penggunaan metode yang digunakan dalam menganalisis data. Laju kematian total (Z) ikan lemuru cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Laju kematian total dipengaruhi oleh laju kematian alami (M) dan laju kematian akibat penangkapan (F). Dalam penelitian ini pengaruh laju kematian ikan lemuru akibat kegiatan penangkapan (F) lebih besar daripada laju kematian alami (M). Laju kematian total (Z) dalam penelitian ini 2% lebih tinggi
A. Wujdi., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184
daripada hasil penelitian Setyohadi (2010). Hasil penelitiannya terdahulu menunjukkan bahwa laju kematian total (Z) adalah 6,33 per tahun. Sebagai pembanding hasil penelitian tentang kematian ikan lemuru disajikan pada Tabel 2. Tingginya laju kematian akibat kegiatan penangkapan (F) menunjukkan bahwa tekanan terhadap
stok sumberdaya ikan lemuru sangat tinggi. Dalam penelititan ini diperoleh nilai laju eksploitasi (E) sebesar 0,65. Laju eksploitasi ini 23% lebih besar daripada laju eksploitasi optimal (E>Eopt). Dari hasil ini menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan lemuru terindikasi telah terjadi lebih tangkap (overfishing).
Tabel 1. Parameter pertumbuhan ikan lemuru (Sardinella lemuru) Table 1. Growth parameters of Bali Sardinella (S. lemuru) -1
-1
L∞
K (th )
t0 (th )
23,8 cm 21,5 cm 21,2 cm 21,1 cm 22,3 cm 22,5 cm 23,2 cm 21,4 cm 22,7 cm 21,1 cm 20,6 cm 24,0 cm 20,99 cm 22,1 cm 20,75 cm
0,50 0,95 1,0056 0,80 0,85 1,00 1,28 1,37 0,961 1,127 1,0 0,9 1,23 1,29 1,20
- 0,0012 - 0,0153 - 0,3817 -0,1789 - 0,179 - 0,2 - 0,15 -0,1403 - 0,08 -0,1456
Metode/ Method MCPA MCPA MCPA ELEFAN I ELEFAN I ELEFAN I ELEFAN I ELEFAN I ELEFAN I ELEFAN I ELEFAN I ELEFAN I ELEFAN I ELEFAN I ELEFAN I
Lokasi/ Location Selat Bali Selat Bali Selat Bali Selat Bali Selat Bali Selat Bali Selat Bali Selat Bali Selat Bali Selat Bali Selat Madura Selat Bali Selat Bali Selat Bali Selat Bali
Sumber/ Author Dwiponggo, 1972 * Ritterbush, 1975 * Sujastani & Nurhakim, 1982 * Dwiponggo et al, 1986* Budiharjo, et.al 1990 Merta, 1992 Merta & Badrudin, 1992 Sutjipto, et al 1992 Setyohadi, et al 1998 Wudianto, et. al 2002 Setyohadi, 2010 Penelitian ini
Keterangan: * Setyohadi (2010) MCPA (Model Class Progression Analysis) ELEFAN I (Electric Length Frequency Analysis)
Tabel 2. Pendugaan laju kematian total (Z), alami (M), dan penangkapan (F) ikan lemuru (Sardinella lemuru) Table 2. Rate of total mortality (Z), natural mortality (M) and fishing mortality (F) of Bali sardinella (Sardinella lemuru)
* dalam Setyohadi (2010)
181
A. Wujdi., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184
Puncak pola rekruitmen ikan lemuru di Selat Bali terjadi sebanyak dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan Februari dan Juli. Kejadian hampir sama dengan hasil penelitian Merta dan Badrudin, (1992) dimana pola rekruitmen ikan lemuru memiliki 2 puncak dalam setahun dengan waktu yang berbeda, yaitu bulan Desember dan Maret. Penelitian Setyohadi, (2010), menyatakan bahwa pola rekruitmen ikan lemuru terjadi 2 kali dan mencapai puncaknya pada bulan Maret (16,4%) dan Agustus (16,1%). Dwiponggo & Subani, (1971), juga berpendapat bahwa pada akhir bulan Juli banyak ikan lemuru kecil yang tertangkap. Rekruitmen ikan lemuru dipengaruhi oleh proses terjadinya upwelling di perairan Selat Bali. Menurut Salijo, (1973), proses upwelling di Selat Bali terjadi pada musim timur atau bulan April-Oktober yang ditandai dengan tingginya konsentrasi fosfat dan nitrat dalam zona eufotik sehingga mendukung perkembangan fitoplankton di perairan tersebut. Sedangkan menurut Burhanuddin dan Praseno (1982) dalam Merta et al. (2000) upwelling terjadi pada permulaan musim timur (bulan Juli) yang bersamaan dengan puncak rekrutmen kedua pada penelitian ini. KESIMPULAN 1. Estimasi parameter pertumbuhan ikan lemuru diperoleh nilai L =20,75 cm; K=1,2 per tahun dan t0=-0,1456 tahun. Ukuran panjang asimtotik (L ) semakin menurun dari tahun ke tahun mengindikasikan tingginya tekanan penangkapan. 2. Diperoleh laju mortalitas total (Z)=6,39 per tahun, mortalitas alami (M)= 1,78 per tahun, mortalitas penangkapan (F)=4,16 per tahun. 3. Laju eksploitasi (E) lebih besar daripada Eopt, yaitu adalah 0,65 sehingga dapat diartikan bahwa perikanan lemuru di Selat Bali telah terjadi lebih tangkap, namun demikian penelitian pengaruh perubahan iklim terhadap sumberdaya lemuru harus dipertimbangkan. 4. Teridentifikasi 2 puncak pola rekruitmen pada ikan lemuru di perairan Selat Bali dalam setahun, yaitu terjadi pada bulan Februari dan Juli.
(Sardinella longiceps) di Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (56): 79-90. Burhanuddin, M. Hutomo, S. Martosubroto & R. Moeljanto. 1984. Sumberdaya ikan lemuru. LON-LIPI, Jakarta. 70 p. Dwiponggo, A. & W. Subani. 1971. Masalah perikanan lemuru dan bagan di Selat Bali. LPPL. 019: 92-122. Gayanillo, F. C., P. Sparre, & D. Pauly. 2005. FAO-ICLARM Stock assessment Tools II Revised Version: User’s Guide. Food and Agriculture Organization of the United Nations. http://www.fao.org/docrep/009/ y5997e/y5997e00.htm. diunduh tanggal 26 Maret 2010. Lasso, J & Z. Luis. 1999. Fisheries and biology of Coryphaena hippurus (Pisces: Coryphaenidae) in The Pasific Coast of Colombia and Panama. Scientia Marina 63 (3-4): 387-399 p. Merta, I.G.S. 1992. Dinamika populasi ikan lemuru, Sardinella lemuru Bleeker 1853. (Pisces: Clupeidae) di perairan selat bali dan alternatif pengelolaannya. Disertasi (Tidak diterbitkan). Program Pasca SarjanaIPB. Bogor. 201 p. __________. 1992a. Beberapa parameter biologi ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) dari perairan Selat Bali. Jurnal Peneletian Perikanan Laut (67): 1-10. Merta, I.G.S & Badrudin. 1992. Dinamika populasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (65): 1-9. Merta, I.G.S., K. Widana, Yunizal, & R. Basuki. 2000. Status of the lemuru fishery in Bali Strait; its development and prospect. Fish Code Management; Papers Presented at The Workshop on The Fishery and Management of Bali Sardinella (Sardinella lemuru) in Bali Strait. FAO. 1-41 p.
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Lemuru di Selat Bali merupakan kerjasama penelitian antara Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kerajaan Norwegia pada tahun 2010-2011 dengan judul Capacity Buliding in Fisheries and Aquaculture. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pemerintah Norwegia atas bantuan dana untuk penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Budihardjo, S., E. M. Amin, & Rusmadji. 1990. Estimasi pertumbuhan dan tingkat kematian ikan lemuru 182
Pauly, D. 1980. On the interrelationships between natural mortality, growth parameters, and mean environmental temperature in 175 fish stocks. J. Cons. CIEM. 39 (2): 175-192. Purwanto. 2011. Bio-economic optimal levels of the Bali Strait sardine fishery operating in a fluctuating environment. Indonesian Fisheries Research Journal 17 (1):1-12. Salijo, B. 1973. Keadaan oseanografi daerah-daerah penangkapan ikan lemuru di Selat Bali. LPPL 042: 1-17.
A. Wujdi., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184
Sparre, P. & S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Ikan Tropis. Buku 1: Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 p. Setyohadi, D., D. Sutipto, & D.G.R.Wiadnya, 1998. Dinamika populasi ikan lemuru (Sardinella lemuru) serta alternatif pengelolaannya. Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Hayati. Lembaga Penelitian Unibraw. 10 (1): 91-104. Setyohadi, D. 2010. Kajian pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru (Sardinella lemuru) di Selat Bali: Analisis simulasi kebijakan pengelolaan 2008-2020. Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Suwarso. 2010. Recording of catch landings and fishery modeling. Sampling Procedure. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Balitbang Kelautan dan Perikanan. 3 p. Sutjipto, D., D. Setyohadi, & A. Tumuljadi, 1992. Oil sardine fisheries and some biological parameters on two major oil sardines lemuru (Sardinella longiceps) and tembang (Sardinella fimbriata). Preliminary Report. LUW-UNIBRAW-FISH-PROJECT. Malang. Indonesia. Wudianto, I.G.S. Merta, & D.R. Monintja. 2002. Ukuran ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di perairan Selat Bali berdasarkan waktu dan daerah penangkapan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Edisi Sumberdaya dan Penangkapan 8 (1): 103-111.
183
A. Wujdi., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184
Lampiran 1. Sebaran frekuensi kelas panjang ikan lemuru (Sardinella lemuru) yang tertangkap pada bulan Agustus 2010 sampai December 2011 Appendix 1. Length frequency distribution of Bali sardinella (S.lemuru) caught from August 2010 to December 2011
Aug 2010 n = 427
Sep 2010 n = 968
Okt 2010 n = 1453
Nov 2010 n = 549
Des 2010 n = 300
Jan 2011 n = 512
Feb 2011 n = 217
Mar 2011 n = 123
184
Apr 2011 n = 52
Jul 2011 n = 349
Aug 2011 n = 408
Sep 2011 n = 555
Okt 2011 n = 695 Nov 2011 n = 1074
Des 2011 n = 411
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193
KEANEKARAGAMAN EKHINODERMATA DI PERAIRAN TALISE, MINAHASA UTARA BIODIVERSITY OF ECHINODERMS IN TALISE WATER, NORTH MINAHASA EddyYusron Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI Teregistrasi I tanggal: 5 Desember 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 11 Desember 2012; Disetujui terbit tanggal: 12 Desember 2012
ABSTRAK Kajian tentang keanekaragaman jenis Ekhinodermata di perairan Talise, Minahasa Utara, Sulawesi Utara dilakukan pada bulan Juli dan Agustus 2009 di sembilan lokasi dengan tujuan untuk melihat komposisi jenis, struktur komunitas, zonasi dan sebaran lokal. Pengambilan contoh biota dilakukan dengan menggunakan transek kuadrat ukuran 1m x 1m. Pada bulan Juli terkoleksi 20 jenis fauna Ekhinodermata dari 5 lokasi yang mewakili 7 jenis Holothuroidea, 8 jenis Echinoidea dan 5 jenis Asteroidea. Pada bulan Agustus terkoleksi 13 jenis yang mewakili 3 jenis Holothuroidea, 7 jenis Echinoidea dan 3 jenis Asteroidea. Dari 4 lokasi yang diamati, teripang (Holothuroidea) merupakan kelompok yang paling menonjol untuk daerah lamun. Hasil transek seluruh lokasi menunjukkan bahwa kelompok bulu babi (Echinoidea) menempati tingkat kekayaan jenis relatif tinggi. Hasil analisis di seluruh lokasi pengamatan diperoleh indek diversitas tertinggi (H = 1,06) dan kekayaan jenis tertinggi (D = 12,91) terdapat di pantai Bulu, nilai indek kemerataan tertinggi terdapat pada lokasi pantai Kebun 2 (J = 0,95). Fauna Ekhinodermata di perairan Talise, Minahasa Utara, memiliki keanekaragaman dan kelimpahan yang rendah dibandingkan dengan di Perairan Tanjung Pai, Padaido Biak. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi eksploitasi berlebih terhadap fauna Ekhinodermata bernilai ekonomis, seperti berbagai jenis teripang. KATA KUNCI : Ekhinodermata, Keanekaragaman jenis,Talise, Minahasa Utara. ABSTRACT: Reslard on biodiversity of Echinoderms in Talise water, North Minahasa, North Sulawesi was conducted at nine locations in July and August 2009. The purpose of the study was to know the species composition, community structure, zonation and spatial distribution of Echinoderm. Sampling was done by using a 1 m x 1 m transect frame. Twenty species of Echinoderms, consisted of 7 species of Holothuroidea, 8 species of Echinoidea and 5 species of Asteroidea were collected in July at 5 stasions, while in August there were thirteen species of Echinoderms, consisted of 3 species Holothuroidea, 7 species of Echinoidea, and 3 species of Asteroidea collected at 4 observation sites. Generally, Holothuroidea (sea cucumber) is the main group that often found on the seagrass beds. Based on the population density, Echinoidea (sea urchin) was the dominant group and the highest in individual density. The quantitative analysis on the ecological indices revealed that Echinoidea has the highest species richness (D = 12.91). At Bulu diversity index of faunal assemblage was H = 1.06. The highest evenness index exhibited at pantai Kebun 2 (J = 0.95). In general, the number of species of Echinoderm fauna in the Talise were lower than those in Tanjung Pai, Padaido islands, Biak. This indicates that over-exploitation was occuring in the study sites, especially for sea cucumber which has economically values. KEYWORDS : Echinoderm, Diversity, Talise, North Minahasa.
PENDAHULUAN Pulau Talise dan perairannya termasuk dalam wilayah Kabupaten Minahasa Utara Propinsi Sulawesi Utara. Perairan ini memiliki padang lamun yang cukup luas dengan berbagai biota yang berasosiasi di dalamnya. Sumberdaya alam hayati dan ekosistem pesisir laut serta pulau-pulau kecil merupakan sumberdaya potensial yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan oleh masyarakat lokal dengan memperhatikan karakteristik dan daya dukung lingkungan. Semua unsur sumberdaya alam hayati pesisir dan laut pada dasarnya memiliki saling ketergantungan antara satu Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Jl. Pasir Putih No. 1 Ancol Timur - Jakarta Utara
dengan yang lainnya serta saling mempengaruhi, sehingga kerusakan dan kepunahan pada salah satu unsur, akan berdampak terganggunya keseimbangan ekosistem sumberdaya alam pesisir dan laut secara keseluruhan. Padang lamun (seagrass meadows) merupakan salah satu ekosistem perairan laut yang paling produktif dan penting (Fortes 1990; Thangaradjon et al., 2007). Sebagai fungsi ekosistem, padang lamun merupakan habitat bagi berbagai jenis fauna invertebrata, salah satunya kelompok Ekhinodermata yang merupakan kelompok biota penghuni lamun yang cukup menonjol, terutama dari kelas Echinoidea (bulu babi). Kelompok Ekhinodermata ini dapat hidup menempati berbagai macam habitat seperti zona 185
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193
rataan terumbu, daerah pertumbuhan algae, padang lamun, koloni karang hidup dan karang mati dan beting karang (rubbles dan boulders). Penelitian mengenai aspek ekologi fauna Ekhinodermata di perairan Indonesia telah dilaporkan olehAziz & Sugiarto, (1994), Robert & Darsono, (1984),Aziz &Al Hakim, (2007), dan Supono &Arbi, (2010). Sehubungan dengan meningkatnya aktifitas nelayan lokal dalam pengumpulan berbagai jenis teripang dan bulu babi, terutama di daerah rataan terumbu dan padang lamun telah menyebabkan menurunnya populasi Ekhinodermata, terutama kelompok teripang dan bulu babi, sehingga dikhawatirkan akan mengganggu kelestariannya di perairan Talise. Fauna Ekhinodermata mempunyai peranan pada ekosistem lamun sebagai jaringan makanan dan juga sebagai herbivora, karnivora, omnivora ataupun sebagai pemakan detritus telah dilaporkan oleh Clark & Rowe, (1971). Sebagaimana diketahui, potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang ada di wilayah yang terkenal paling produktif di dunia ini mempunyai makna yang sangat penting. Fakta menunjukkan bahwa sekitar 60% (140 juta) rakyat Indonesia hidup dan menggantungkan hidupnya di wilayah pesisir. Selain itu, wilayah pesisir mendukung hampir semua kegiatan perikanan Indonesia. Oleh karenanya, apabila kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang ada ingin tetap dipertahankan, maka diperlukan komitmen dari semua pihak (stakeholders) untuk menjaga dan mengelola kualitas dan daya dukung lingkungan wilayah
yang unik tersebut. Salah satu faktor penting yang menjadi kunci keberhasilannya adalah peran dan keterlibatan masyarakat, mengingat upaya menjaga dan mengelola sumberdaya alam tersebut hanya dapat dicapai jika masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya memiliki informasi, pemahaman dan visi yang sama dalam mengelola sumberdaya. Pembinaan dan pengembangan masyarakat pesisir bisa berhasil dengan baik jika mereka berpartisipasi secara aktif. Informasi mengenai kehadiran fauna Ekhinodermata dari perairan Talise, Sulawesi Utara belum pernah dilaporkan. Beberapa hasil penelitian tentang Ekhinodermata di beberapa perairan telah dilaporkan antara lain : perairan Lombok Barat bagian utara (Aziz, 1995), Lombok Barat bagian selatan (Aziz & Sugiarto, 1994), penelitian di perairan Maluku telah diungkapkan oleh Jangoux & Sukarno, (1974), Meyer, (1976), Soemodihardjo et al. (1980) dan Yusron & Pitra, (2004). METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di sekitar perairan Pulau Talise, Kecamatan Likupang Barat, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Penelitian pada bulan Juli 2009, dilakukan pada 5 lokasi di Pulau Talise bagian Barat yaitu: Stasiun 1 (Pantai Bulu), Stasiun 2 (Pantai Labuan), Stasiun 3 (Pantai Bulu Kecil), Stasiun 4 (Pantai Tanah Hutan) dan Stasiun 5 (Pantai Bulu). Pada bulan Agustus 2009, lokasi kajian meliputi 4 lokasi Pulau Talise bagian Timur Stasiun 1 (Pantai Kebun 1), Stasiun 2 ( Pantai Kebun 2), Stasiun 3 ( Pantai Tambun 1) dan Stasiun 4 (Pantai Tambun 2) (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi penelitian Ekhinodermata di perairan Talise, Minahasa Utara,2009. Figure 1. Study sites of Echinoderm in Talise water, North Minahasa, 2009. 186
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193
Pengambilan contoh pada setiap lokasi pengamatan dilakukan sebanyak dua kali menggunakan “metode transek kuadrat”. Tali transek ditarik tegak lurus dari posisi titik surut terendah ke arah tubir karang sepanjang 100 meter. Transek berbentuk persegi yang dibuat dari pralon berukuran 1 x 1 m. Titik pengamatan dibuat setiap jarak 10 meter sepanjang garis transek, jarak antara transek 50 meter. Pengamatan dilakukan pada saat air menjelang surut. Fauna Ekhinodermata yang terdapat dalam kerangka pralon dicatat jumlah jenis dan jumlah individunya. Selain itu juga dicatat jenis substrat untuk memberikan zonasi dari sebaran fauna tersebut.
yang ditumbuhi lamun 300 meter kearah pantai. Pada kelima lokasi tersebut dapat dikatakan bahwa ekosistem lamun berada dalam kondisi baik dan dengan berbagai jenis lamun, diantaranya jenis Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Syringgodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii. Pengamatan di lokasi pulau Talise bagian Timur juga mempunyai ekosistem lamun yang lebih sempit berkisar antara 100 – 150 meter dengan jenis lamun lebih sedikit dibandingkan dengan pulau Talise bagian Barat, terdiri dari jenis C. rotundata, C. serrulata, E. acoroides, S. isoetifolium dan T. Hemprichi.
Identifikasi jenis Ekhinodermata dilakukan dengan acuan Clark & Rowe (1971), Colin & Arneson (1995), Gosliner et al. (1996), Alen & Steene (1999), dan Ashley (2002). Beberapa parameter ekologi berupa indeks, yaitu indeks kekayaan jenis Margalef (D), indeks keragaman Pielou (J) dan indeks diversitas Shannon (H) sebagai berikut (Maguran, 1988):
Komposisi dan Penyebaran Fauna Ekhinodermata
Indeks Margalef (D) = S - 1 log N Indeks Shannon-Wiener H) = -S (ni/N) ln (ni/N) Indeks Pielou (J) = _H log S Keterangan : S = Jumlah total jenis N =Jumlah total individu yang diamati ni = Jumlah individu jenis ke - i HASIL DAN BAHASAN HASIL Diskripsi Lokasi Penelitian Pada lokasi Pulau Talise bagian Barat kondisi sebaran lamun dapat diketahui dengan melakukan pengukuran mulai dari garis pantai sampai batas tubir berkisar antar 250 – 500 meter. Pada stasiun 1 mempunyai substrat pasir halus dan ditumbuhi lamun sejauh 300 meter, stasiun 2 juga bersubtrat pasir yang ditumbuhi lamun sejauh 500 meter ke arah laut, stasiun 3 berupa subtrat pasir dan karang mati yang ditumbuhi lamun sejauh 250 meter kearah laut, Stasiun 4 terdiri dari subtrat pasir dan karang mati yang ditumbuhi lamun sejauh 250 meter ke arah laut dan Stasiun 5 mempunyai substrat pasir dan karang mati
Hasil pengamatan fauna Ekhinodermata pada bulan Juli 2009 lima lokasi di perairan Talise bagian Barat dan pada bulan Agustus 2009 empat lokasi di Talise bagian Timur diperoleh 3 kelompok yaitu Holothuroidea, Echinoidea dan Asteroidea, sedangkan Kelas Ophiuroidea dan Crinoidea tidak ditemukan di seluruh stasiun penelitian. Hal ini disebabkan habitat biota tersebut berada di sekitar tubir dan di bawah batu sehingga sulit untuk dikoleksi. Jenis fauna Ekhinodermata yang tertangkap di perairan Talise pada bulan Juli 2009 dikemukakan pada Tabel 1. Penyebaran fauna Ekhinodermata berdasarkan mikrohabitat pasir, lamun, rumput laut dan karang mati menunjukkan padang lamun merupakan habitat yang paling disukai dengan persentasi kejadian 70 % (14 jenis), disusul karang mati 60 % (12 jenis), pasir 50 % (10 jenis) dan terendah adalah pada habitat rumput laut 25 % ( 5 jenis) (Tabel 2). Komposisi fauna Ekhinodermata di perairan Talise bagian Timur diperoleh 13 jenis yang termasuk dalam 3 Kelas. Kelas Holothuroidea (teripang) diwakili oleh 3 jenis, kelas Echinoidea (bulu babi) diwakili oleh 7 jenis dan kelas Asteroidea (bintang laut) diwakili oleh 3 jenis. Kelompok yang paling tinggi kehadiran dalam pengamatan ini adalah bulu babi (Echinoidea), jenis Tripneustes gratilla yang ditemukan melimpah pada lokasi yang banyak padang lamun, terutama pada stasiun 3 (Tabel 3). Penyebaran Ekhinodermata pada bulan Agustus 2009 berdasarkan mikrohabitat, pasir, lamun, rumput laut dan karang mati. Menunjukkan bahwa habitat karang mati paling disukai oleh Ekhinodermata dengan persentasi kejadian 76,9 % (10 jenis), disusul lamun 61,5 % (10 jenis), pasir 53,8 % (7 jenis) dan terendah adalah pada habitat rumput laut 15,3 % (2 jenis) (Tabel 4).
187
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193
Tabel 1. Jenis fauna Ekhinodermata hasil transek di perairan barat Talise, Sulawesi Utara, Juli 2009. Table 1. List of species of Echinoderms from transect line at western part of Talise water, North Sulawesi, July 2009
No
Lokasi / Location
Kelas/jenis Class / Species
I
2
3
4
5
Rata rata Individu/ transek
I.
HOLOTHUROIDEA
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1 2 3 4 5 6 7
Holothuria atra Holothuria hilla Holothuria leucospilota Bohadschia similis Bohadschia sp Actinopyga milliaris Holothuria scabra
1 3 0 1 0 0 0
0 3 1 0 0 0 0
0 5 0 0 0 2 0
0 2 0 0 0 1 0
0 2 1 0 0 0 1
0 0 0 0 0 0 0
3 2 0 0 0 0 0
1 5 0 0 3 0 1
0 2 0 0 1 0 0
2 7 0 0 0 0 0
0,7 3,1 0,2 0,1 0,4 0,3 0,2
II 8 9 10 11 12 13 14 15
ECHINOIDEA Diadema setosum Diadema savignyi Tripneutes gratilla Echinothrix diadema Echinothrix calamaris Brissus latecarinatus Echinometra mathaei Clypeaster oshimensis
2 2 4 2 0 3 0 0
3 4 1 2 4 1 0 0
0 0 0 0 0 2 0 0
1 0 0 0 0 1 0 0
2 0 0 1 0 0 34 0
0 0 0 3 0 0 12 0
0 0 2 1 0 0 25 0
7 0 6 4 0 0 32 0
13 3 2 2 1 8 16 0
0 2 1 6 2 10 53 2
2,8 1,1 1,6 2,1 0,7 2,5 17,2 0,2
III. 16 17 18 19 20
ASTEROIDEA Linckia laevigata Archaster typicus Protoreaster nodosus Protoreaster lincki Culcita novaeguineae Jumlah Jenis Jumlah Individu Indek Diversitas (H) Indek Kemerataan (J) Indek Kekayaan Jenis (D)
2 1 6 1 0 12 28 1,06 0,93 12,9
1 1 6 1 0 12 28 0,98 0,91 11,1
0 0 2 0 0 4 11 0,56 0,92 4,23
0 0 5 0 0 5 10 0,59 0,84 4,09
0 0 2 0 0 7 43 0,38 0,45 1,60
0 0 1 0 1 4 17 0,38 0,64 1,97
3 2 0 0 0 7 38 0,54 0,63 2,27
1 0 0 0 0 9 60 0,68 0,71 3,21
2 0 0 0 0 10 50 0,80 0,80 5,3
7 0 0 0 0 10 92 0,66 0,65 2,82
1,6 0,4 2,2 0,2 0,1
Keterangan / Remarks : Lokasi 1 (Pantai Bulu), Lokasi 2 ( Pantai Labuan ), Lokasi 3 (Pantai Bulu Kecil), Lokasi 4 (Pantai Tanah Hutan), Lokasi 5 (Pantai Bulu).
188
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193
Tabel 2. Penyebaran Ekhinodermata berdasarkan mikrohabitat di perairan Talise Sulawesi Utara, Juli 2009. Table 2. Distribution of Echinoderms based on microhabitats at Talise water, North Sulawesi, July 2009. No I 1 2 3 4 5 6 7 II 8 9 10 11 12 13 14 15 III. 16 17 18 19 20
Kelas / Jenis Class / Species HOLOTHUROIDEA Holothuria atra Holothuria hilla Holothuria leucospilota Bohadschia similes Bohadschia sp. Actinopyga milliaris Holothuria scabra ECHINOIDEA Diadema setosum Diadema savignyi Tripneutes gratilla Echinothrix diadema Echinothrix calamaris Brissus latecarinatus Echinometra mathaei Clypeaster oshimensis ASTEROIDEA Linckia laevigata Archaster typicus Protoreaster nodosus Protoreaster lincki Culcita novaeguineae Persentasi kejadian
Pasir (Sand)
Lamun (Seagrass)
Rumput Laut (Algae)
Karang Mati (Dead Coral)
+ + + + +
+ + + + + + +
+ -
+ + + -
+ + + + -
+ + + + -
+ -
+ + + + + +
+ 10 kejadian (50%)
+ + + 14 kejadian (70%)
+ + + 5 kejadian (25%)
+ + + 12 Kejadian (60%)
Tabel 3. Daftar jenis fauna ekhinodermata dari lokasi transek di perairan Talise Timur Sulawesi Utara, Agustus 2009. Table 3. List of species of Echinoderms from transect line at Talise water, North Sulawesi, Auguts 2009 No
Kelas/jenis Class / Species
Lokasi / Location 1
2
3
4
Rata-rata individu/ transek
I. 1 2 3 II 4 5 6 7 8 9 10 III. 11 12 13
HOLOTHUROIDEA 1 2 1 2 1 2 1 2 Holothuria atra 0 0 0 2 0 0 0 0 0,25 Holothuria hilla 1 0 0 0 1 0 0 0 0,25 Bohadschia marmorata 0 2 0 0 0 0 0 0 0,25 ECHINOIDEA 0 0 2 0 0 0 3 0 0,63 Diadema setosum Diadema savignyi 8 0 4 0 0 0 0 0 1,50 Tripneutes gratilla 3 5 0 2 5 20 6 1 5,25 Mespilia globules 2 2 0 0 0 0 0 0 0,5 Echinothrix calamaris 0 0 2 1 4 0 0 0 0,88 Brissus latecarinatus 0 0 1 3 0 2 3 2 1,38 Echinometra mathaei 0 0 0 0 0 0 0 6 0,75 ASTEROIDEA Linckia laevigata 0 0 0 0 1 2 0 1 0,50 1 0 2 0 0 0 0 0 0,38 Archaster typicus Protoreaster nodosus 0 1 0 0 2 2 0 1 0,75 Jumlah Jenis 5 4 5 4 5 4 3 5 Jumlah Individu 15 10 11 8 13 26 12 12 0,56 0,53 0,66 0,57 0,61 0,34 0,45 0,59 Indek Diversitas (H) 0,80 0,88 0,94 0,95 0,88 0,57 0,95 0,84 Indek Kemerataan (J) 0,31 0,27 0,16 0,18 0,22 0,59 0,32 0,26 Indek Kekayaan Jenis (D) Keterangan / Remarks : Lokasi 1 (Pantai Kebun 1), Lokasi 2 ( Pantai Kebun 2), Lokasi 3 (Pantai Tambun 1), Lokasi 4 (Pantai Tambun 2).
189
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193
Tabel 4. Penyebaran Ekhinodermata berdasarkan mikrohabitat di perairan Talise bagian Timur, Sulawesi Utara, Agustus 2009. Table 4. Distribution of Echinoderms based on microhabitats at Talise waters, North Sulawesi, August 2009
No I 1 2 3 II 4 5 6 7 8 9 10 III. 11 12 13
Kelas / Jenis Class / Species HOLOTHUROIDEA Holothuria atra Holothuria hilla Bohadschia marmorata ECHINOIDEA Diadema setosum Diadema savignyi Tripneutes gratilla Echinothrix diadema Echinothrix calamaris Brissus latecarinatus Echinometra mathaei ASTEROIDEA Linckia laevigata Archaster typicus Protoreaster nodosus Persentasi kejadian
Pasir (Sand)
Lamun (Seagrass)
Rumput Laut (Algae)
Karang Mati (Dead Coral)
+ +
+ + +
-
+ + +
+ + + + -
+ + + + -
+ -
+ + + + +
+ 7 kejadian (53,8%)
+ 8 kejadian (61,5%)
+ 2 kejadian (15,3)
+ + 10 Kejadian (76,9%)
BAHASAN Selama pengamatan di lima stasiun pada perairan Talise bagian Barat pada bulan Juli 2009 ditemukan 20 jenis fauna Ekhinodermata yang termasuk dalam 3 Kelas, yaitu Holothuroidea (teripang) yang diwakili oleh 7 jenis, kelas Echinoidea (bulu babi) diwakili oleh 8 jenis dan kelas Asteroidea (bintang laut) diwakili oleh 5 jenis (Tabel 1). Kelompok yang paling tinggi kehadiran dalam pengamatan ini adalah bulu babi (Echinoidea) dari jenis Echinometra mathaei yang ditemukan melimpah pada lokasi dimana banyak karang mati, terutama pada stasiun 5. Ditinjau dari jumlah rata-rata individu per transek (Tabel 1), kelas Echinoidea (bulu babi) memiliki nilai rata-rata tinggi, disusul kelas Asteroidea (bintang laut) dan terendah adalah kelas Holothuroidea (teripang). Teripang merupakan biota yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang terus-menerus dieksploitasi, sehingga ada kecenderungan lebih tangkap yang menyebabkan kelompok ini memiliki jumlah rata-rata individu yang rendah. Bila dilihat dari hasil rata-rata per transek individu jenis Ekhinodermata mempunyai nilai antara 0,1 – 17,2. Penyebaran teripang sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2 tampak bahwa seluruh jenis teripang dapat ditemukan di padang lamun (100%) disusul pada habitat pasir (71,2%) dan sedikit pada habitat karang mati (42,9%). Kelompok bulu babi lebih banyak menyebar di habitat karang mati (75%) disusul sama banyaknya pada habitat
190
lamun (50%) dan pasir (50%) dan terendah di habitat rumput laut (12,5%). Kelompok bintang laut menyebar sama rata pada habitat lamun (60%), karang mati (60%), rumput laut (50%) dan terendah di habitat pasir (20%). Ditinjau dari jumlah rata-rata individu per transek pada bulan Agustus 2009 (Tabel 3), kelas Echinoidea (bulu babi) memiliki nilai rata-rata tertinggi, disusul kelas Asteroidea (bintang laut) dan terendah adalah kelas Holothuroidea (teripang). Teripang merupakan biota yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang terus-menerus dieksploitasi, sehingga ada kecenderungan lebih tangkap yang menyebabkan kelas ini memiliki jumlah rata-rata individu yang rendah. Hasil rata-rata per transek individu jenis Ekhinodermata mempunyai nilai antara 0,5 – 5,25. Penyebaran teripang sebagaimana diuraikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa teripang dapat ditemukan di padang lamun (100%) disusul pada habitat karang mati (100%) dan sedikit pada habitat pasir (66,6%). Kelompok bulu babi lebih banyak menyebar di habitat karang mati (71,4%) disusul sama banyaknya pada habitat lamun (57,1%) dan pasir (57,1%) dan terendah di habitat rumput laut (14,2%). Kelompok bintang laut menyebar sama rata pada habitat karang mati (66,6%), lamun (33,3%), rumput laut (33,3%), dan di pasir (33,3%). Melihat hasil pengamatan sebagaimana tertera pada Tabel 1 - 4 dapat dikatakan bahwa kondisi fauna Ekhinodermata di perairan Talise relatif miskin, terutama
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193
dalam jumlah jenis dan individu. Aziz, (1995) menemukan 32 jenis fauna Ekhinodermata di perairan Lombok Barat bagian Utara. Kemudian Darsono & Aziz, (2001) memperoleh sekitar 52 jenis fauna Ekhinodermata di perairan terumbu karang Pulau-pulau Derawan, Kalimatan Timur.Aziz &Al-Hakim, (2007) mendapatkan 34 jenis fauna Ekhinodermata di perairan sekitar Bakauheni, sedangkan Supono & Arbi, (2010) menemukan 31 jenis fauna Ekhinodermata di perairan Kema, Sulawesi Utara. Miskinnya fauna Ekhinodermata di perairan Talise, kemungkinan disebabkan teripang sudah banyak diambil oleh masyarakat setempat karena mempunyai harga jual tinggi. Hasil perhitungan pada setiap stasiun penelitian mempunyai jumlah jenis antara 3 - 12 jenis dan jumlah individu antara 8 – 60. (Tabel 1 dan 3).
berlindung dan sumber pakan bagi fauna ekhinodermata. Secara ekologi fauna ekhinodermata berperan sangat penting dalam ekosistem terumbu karang, terutama peranannya dalam rantai makanan (food web), karena biota tersebut umumnya berperan sebagai pemakan detritus dan predator (Birkeland, 1989). Salah satu contoh jenis Asteroid sebagai fauna predator yaitu jenis Acanthaster planci yang merupakan sebagai pemangsa polip karang. Kelas Ophiuroidea dan Holothuroidea umumnya sebagai pemakan detritus dan beberapa jenis dari kelas Echinoidea bersifat sebagai herbivora.Aziz, (1981) membedakan empat macam habitat dilihat dari bentuk topografi daerah terumbu karang, yaitu daerah zona pasir, zona pertumbuhan lamun dan rumput laut, zona terumbu karang dan zona tubir dan lereng terumbu.
Analisis keanekaragaman secara kuantitatif diperoleh suatu gambaran bahwa nilai indek diversitas dari Shannon tertinggi terdapat di perairan Talise bagian Barat ditemukan pada Stasiun 1 dan transek 1 (H = 1,06), nilai indek kemerataan (indek Pielou) tertinggi terdapat pada Stasiun 1 pada transek 1 (J = 0,93), nilai indek kekayaan jenis dari Margalef tertinggi didapatkan pada Stasiun 1 pada transek 1 (D = 12,19). Di perairan Talise bagian Timur ditemukan pada Stasiun 2 pada transek 1 (H = 0,66), nilai indek kemerataan tertinggi dari Pielou terdapat pada Stasiun 4 pada transek 1 (J = 0,95), sedangkan nilai indek kekayaan jenis (indek Margalef) tertinggi didapatkan pada Stasiun 3 pada transek 2 (D =0,59).
Penyebaran Ekhinodermata berdasarkan mikrohabitat di perairan Talise bagian Barat tampak bahwa 14 jenis menyukai mikrohabitat lamun, 12 jenis mikrohabitat karang mati, 10 jenis menempati mikrohabitat pasir dan 5 jenis menempati mikrohabitat rumput laut (Tabel 2). Dari kelompok teripang banyak menempati mikrohabitat lamun (7 jenis) dan pasir (5 jenis). Di perairan Talise bagian Timur diperoleh hasil pengamatan biota menyukai mikrohabitat karang mati (10 jenis), 7 jenis menempati mikrohabitat pasir, 8 jenis menempati mikrohabitat lamun dan 2 jenis menempati rumput laut (Tabel 4). Hasil penelitian Yusron (2003b) di perairan Teluk Sekotong, Lombok Barat - Nusa Tenggara Barat mendapatkan biota ekhinodermata sebanyak 21 jenis menyukai mikrohabitat rumput laut, 18 jenis menempati mikrohabitat lamun, 15 jenis menempati mikrohabitat karang dan 7 jenis menempati mikrohabitat pasir. Heryanto (1984) mengemukakan di perairan Pulau Seribu tahun 1984 bahwa di daerah karang dan lamun cukup banyak ditemukan teripang. Banyaknya teripang di mikrohabitat tersebut oleh karena kebutuhan akan perlindungan dari sinar matahari. Masing-masing habitat tersebut didominasi oleh jenis-jenis ekhinodermata tertentu, seperti lili laut (Crinoidea) biasanya merupakan anggota kelompok ekhinodermata yang kehadiran cukup banyak di zona tubir karang dan lereng terumbu. Sebaran fauna ekhinodermata pada keempat habitat tersebut terutama dipengaruhi oleh faktor makanan dan cara makan tiap jenisnya.
Menurut Daget, (1976), jika nilai H berkisar antara 1,0 – 2,0 maka nilai keaneka-ragaman jenisnya rendah. Dengan demikian keanekaragaman jenis Ekhinodermata di perairan Talise, Minahasa Utara termasuk dalam kategori rendah sampai sedang (H = 0,3 – 1,0). Hasil penelitian Ekhinodermata oleh Yusron (2003a) di perairan daerah terumbu karang di Pulau-pulau Muna, Sulawesi Tenggara diperoleh indek diversitas H = 1,19, indek kemerataan J = 0,91 dan indek kekayaan jenis D = 2,67. Hasil penelitian Darsono & Aziz, (2002) di perairan Teluk Lampung, Sumatera pada 5 lokasi mempunyai nilai indek diversitas H antara 1,359 – 2,450, indeks kemerataan J antara 0,838 – 0,973) dan indek kekayaan jenis D antara 1,707 – 3,219. Selanjutnya penelitian oleh Aziz & Al-Hakim, (2007) di perairan Bakauheni pada 8 lokasi mempunyai nilai indek diversitas (H) antara 1,04 – 2,26 dan indek kemerataan (J) jenis relatif tinggi berkisar antara 0,71 – 0,91, ini disebabkan kehadiran fauna ekhinodermata cukup beragam dan merata. Tidak ada jenis biota yang kehadirannya terlalu menyolok. Ekhinodermata adalah merupakan salah satu komponen penting dalam hal keaneka-ragaman fauna di daerah terumbu karang (Bakus, 1973; Clark, 1976). Hal ini karena terumbu karang berperan sebagai tempat
KESIMPULAN 1. Hasil pengamatan di lima lokasi di perairan Talise bagian Barat ditemukan 20 jenis Ekhinodermata yang termasuk dalam 3 Kelas yaitu Holothuroidea (teripang) diwakili 7 jenis, Echinoidea (bulu babi) diwakili oleh 8 jenis dan Asteroidea (bintang laut) diwakili oleh 5 jenis.
191
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193
2. Di perairan Talise bagian Timur pada pengamatan di empat lokasi ditemukan 13 jenis Ekhinodermata yang termasuk dalam 3 Kelas yaitu Holothuroidea (teripang) diwakili oleh 3 jenis, Echinoidea (bulu babi) diwakili oleh 7 jenis dan Asteroidea (bintang laut) diwakili oleh 3 jenis. 3. Perairan Talise bagian Timur memiliki keanekaragaman biota lebih rendah dari Talise bagian Barat, dan secara keseluruhan lebih rendah di bandingkan dengan lokasi lain di perairan Indonesia. PERSANTUNAN Penulis mengucapkan terima kasih kepada Proyek Peneliti dan Perekayasa Dikti tahun 2009 yang telah mendanai penelitian ini. Ucapkan terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu pada saat pengambilan data di lapangan.
Birkeland, C. 1989. The influence of echinoderm on coral reef communities. In : M. Jangoux & J.M. Lawrence (Eds): Echinoderms Studies A.A. Balkema, Rotterdam, Netherland. vol 3: 79 p. Colin, P.L. & C.Arneson. 1995. Tropical pacific invertebrates. The Coral Reef Research Foundation. CA,USA: 296 p. Clark, A. M & F. W. E, Rowe. 1971. Monograph of shallowwater Indo West Pasific Echinoderms. Trustees of the British Museum (Natural History). London: 238 p. Clark, A. M. 1976. Echinoderm of coral reefs, In : Jones, O. A. & Endean (Eds): Geology and Ecology of Coral Reefs. 3. Acad. Press, New York: p. 95 –123. Daget, J. 1976. Les Modeles Mathematiques en Ecologie. Masson, Coll.Ecol. No.8, Paris: 172 p.
DAFTAR PUSTAKA Aziz, A. 1981. Fauna Ekhinodermata dari terumbu karang Pulau Pari. Pulau-pulau Seribu. Oseanologi di Indonesia 14: p. 41 – 50. Aziz, A& H. Sugiarto. 1994. Fauna ekhinodermata padang lamun di pantai Lombok selatan. dalam : Kiswara, W; M.K. Moosa & M. Hutomo (Eds): Struktur Komunitas Biologi Padang lamun di Pantai Selatan Lombok dan kondisi Lingkungannya. Puslitbang Oseanologi – LIPI, Jakarta: p. 52 –63. Aziz, A. 1995. Beberapa catatan mengenai fauna Ekhinodermata dari Lombok. Dalam Praseno , D.P; W.S. Atmadja; I. Supangat; Ruyitno & B.S. Sudibjo (Eds): Pengembangan dan Pemanfaatan Potensi kelautan : Potensi Biota, Teknik Budidaya dan Kualitas Perairan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI, Jakarta: p. 43 –50. Aziz,A& I.Al-Hakim. 2007. Fauna Ekhinodermata perairan terumbu karang sekitar Bakauheni. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 33: p. 187 – 198.
Darsono, P & A. Aziz. 2001. Fauna Ekhinodermata dari rataan terumbu karang Pulau-pulau Derawan, Kalimatan Timur. Dalam Pesisir dan Pantai Indonesia VI. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI. Jakarta: p. 213 – 225. Darsono, P & A. Aziz. 2002. Fauna Ekhinodermata dari beberapa pulau di Teluk Lampung.A.Aziz, M. Muchtar. (Eds): dalam Perairan Indonesia: Oseanografi, Biologi dan Lingkungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI. Jakarta: p. 103 – 120. Fortes, M.D. 1990. Seagrass: A Resources unknown in the Asian region. United State Coastal Resources Management Project. Education Series: 646 p. Gosliner, T.M; D.W. Behrens & G.C. Williams. 1996. Coral reefAnimanls of the Indo-Pacific. Sea Challengers, CA, California: 314 p.
Alen G.R & R. Steene. 1999. Indo-Pacific coral reef field guide. Tropical Reef Research. CSI, Australia: 378 p.
Heryanto, 1984. Suatu studi tentang kepadatan dan penyebaran berbagai jenis teripang (Echinodermata = Holothuroidea) di pesisir gugus Pulau Pari Teluk Jakarta. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan IPB. Bogor: 70 p.
Ashley. M. 2002. Sea urchin of Australia and The IndoPacific. Capricornica Publications, Sydney, Australia: 179 p.
Jangoux, M & Sukarno 1074. The echinoderms collected during the Rumphius Expedition I. Oseanologi di Indonesia 1: p. 36–38.
Bakus, G. J. 1973. The Biology and Ecology of tropical holothurian, In O.A. Jones & R. Endean. (Eds) : Biology and Geology of Coral Reef Vol 2. Academic Press, NewYork: p. 325 -357.
Meyer, D. I. 1976. The Crinoidea of the Rumphius Expedition II. Oseanologi di Indoensia 6 : p. 39–44.
192
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193
Maguran, A.E. 1988. Ecological diversity and its measurement. Croom Helm, London: 146 p. Roberts, D. & P. Darsono. 1984. Zonation of reef flat echinoderm at Pari island, Seribu Island. Indonesia. Oseanologi di Indonesia 17: p. 33 – 41. Soemodihardjo. S, Burhannuddin, A. Djamali, V. Toro, A. Aziz, Sulistijo, O.K. Sumadiharga, G.A. Horridge, P. Cals, D. F. Dunn & J. Schochet. 1980. Laporan Ekpedisi Rumphius III. Oseanologi di Indonesia 13: p. 1 – 60. Supono & U.Y. Arbi. 2010. Struktur Komunitas ekhinodermata di padang lamun perairan Kema, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36: p. 329 – 342.
Thangaradjon, T., R. Sridhar,S. Senthilkumar & S. Kananau. 2007. Seagrass resources assessment in the Mandapam Coast of the Gulf of Mannar Biosphere reserve, India. Applied ecology and environmental research. 6 (1).: http://www.ecology.uni-corvinus.hu. Yusron, E. 2003a. Fauna ekhinodermata di daerah terumbu karang di Pulau-pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Pesisir dan Pantai Indonesia VIII. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI. Jakarta : p. 135 – 140. Yusron, E. 2003b. Beberapa catatan fauna Ekhinodermata dari perairan Sekotong, Lombok Barat –Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional, Jakarta 30 -31 Juli 2003 : p. 42 -47. Yusron, E & P. Widianwari 2004. Struktur Komunitas Teripang (Holothuroidea) di Beberapa Perairan Pantai Kai Besar, Maluku Tenggara dalam Jurnal Makara Sains, Universitas Indonesia. 8 (1): 15 – 20.
193
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204
FENOMENA PLASTISITAS FENOTIPIK IKAN BELIDA (Chitala lopis) DI SUNGAI KAMPAR, RIAU PHENOTYPIC PLASTICITY PHENOMENON OF GIANT FEATHERBACK (Chitala lopis) IN KAMPAR RIVER, RIAU Arif Wibowo dan Marson Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Teregistrasi I tanggal: 26 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 6 Desember 2012; Disetujui terbit tanggal: 7 Desember 2012
ABSTRAK: Karakter morfologi seperti ukuran tubuh dan penghitungan meristik telah lama digunakan untuk menggambarkan stok ikan dan masih digunakan sampai saat ini. Pada awalnya variasi karakter morfologi diasumsikan sebagai substansi genetik belaka, namun demikian seringkali terdapat perbedaan yang nyata dalam hal identifikasi stok ikan menggunakan pendekatan morfologi dan genetik, hal ini disebabkan oleh karakter morfologi yang mengalami plastisitas fenotipik. Untuk melihat fenomena plastisitas fenotipik pada ikan belida (Chitala lopis) dilakukan analisa morfologi dan genetik. Analisa morfologi dilakukan pada 22 karakter ikan belida yang diperoleh dari lima stasiun sampling di Sungai Kampar Provinsi Riau. Sebagai pembanding, dilakukan pengambilan sampel ikan belida di Sungai Musi (Sumatera Selatan) dan Sungai Barito (Kalimantan Selatan). Analisa genetik menggunakan data base runutan rangkaian D_Loop mtDNA yang ada di GenBank. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan identifikasi stok menggunakan morfologi dan genetik. Karakter morfologi ikan belida di Sungai Kampar memperlihatkan pola heterogenitas berdasarkan lokasi geografis, adanya fenomena plastisitas fenotipik. Analisa menggunakan runutan rangkaian D_Loop mtDNA mengungkap keberadaan ikan belida di Sungai Kampar Provinsi Riau, yang terdiri dari dua unit populasi, yaitu populasi bagian hilir dan populasi bagian hulu. KATAKUNCI: Plastisitas fenotipik, morfologi, ikan belida (Chitala lopis), Sungai Kampar ABSTRACT: Phenotypic variation in morphological characters such as body shape and meristic count has long been used to delineate stocks of fish and continue to be used today. Variation in such characters was assumed to be purely genetic in early studies, however, spectacular differences can occur in the extent of genetic and morphological differentiation between groups of fish. This is due to morphological characters undergo a phenotypic plasticity. In order to reveal phenotypic plasticity phenomenon on giant featherback (Chitala lopis), the morphology and genetic analysis were conducted. Morphology analysis was observed on 22 characters on giant featherback from five stations sampling in Kampar River and as a comparison, samples from Musi River (South Sumatra) and Barito River (South Kalimantan) are also subject to analyze. Genetic analysis by using D-Loop mtDNA sequences from GenBank data base. The research shows that there is a different between stocks using morphological and genetic analysis. The morphological characters exhibit pattern of heterogeneity base on geography location, phenotypic plasticity. Genetic analysis reveals the existence two stock of giant featherback in Kampar River, the upper and down stream stock. KEYWORDS: Phenotific plasticity, morphology, giant featherback (Chitala lopis), Kampar River
PENDAHULUAN Stok ikan didefinisikan sebagai satu populasi ikan lokal yang mampu beradaptasi pada lingkungan tertentu serta memiliki perbedaan genetik dari stok yang lain sebagai konsekuensi dari adaptasi ini (Mac Lean & Evans, 1981). Identifikasi stok ikan adalah bagian terpenting dan tidak terpisahkan dalam upaya melakukan pengelolaan perikanan, terutama untuk pengelolaan spesies tunggal seperti ikan belida. Hal ini diperlukan untuk memberikan batasan pengelolaan ikan belida dengan karakteristik biologi yang relatif sama dalam suatu wilayah perikanan, sehingga dapat memberikan arah strategi pengelolaan baik in-situ atau ex-situ. Menurut Garzia-Rodriguez (2011), identifikasi stok ikan menjadi sangat relevan karena Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum, Palembang Jl. Beringin No. 308, Mariana Palembang, Sumatera Selatan
informasi biologi dan ekologi spesifik masing-masing stok digunakan untuk mengimplementasikan strategi pemanenan yang bertujuan mencapai pemanfaatan lestari. Identifikasi struktur stok sangat relevan untuk pengkajian stok dan manajemen pemanenan (Emmett et al., 2005). Identifikasi stok ikan dalam rangka pengelolaan ikan belida di Sungai Kampar menjadi sesuatu hal yang tidak saja menarik namun mendesak dilakukan. Hal ini dikarenakan Sungai Kampar menyediakan semua tipe habitat ikan belida, produksi tahunan ikan belida yang tinggi dan telah terjadi penurunan produksi yang drastis, sampai 80 % dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (Diskanlut Riau, 2008). Wibowo et al. (2010) mengidentifikasi unit stok ikan belida di Sungai Kampar dengan menggunakan 195
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204
analisis genetik dengan sekuense D_loop mtDNA. Namun demikian, penggunaan karakter morfologi untuk mengidentikasi stok ikan belida di Sungai Kampar sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Karakter morfologi seperti ukuran tubuh atau penghitungan meristik telah lama digunakan untuk mengidentifikasi stok (Heincke, 1898 dalam McQuinn, 1997) dan masih terus digunakan sampai saat ini (Hurlbut & Clay, 1998). Begg & Waldman, (1999) menyatakan bahwa penggunaan beberapa metode untuk mengidentifikasi stok ikan lebih baik bila dibandingkan hanya menggunakan satu metode. Selain itu, karakter morfologi, memiliki keunggulan dalam identifikasi stok ikan, khususnya ketika durasi waktu yang diperlukan untuk terbentuknya perbedaan genetik yang nyata diantara populasi yang diamati tidak cukup (Turan, 1999). Keunggulan lain menggunakan karakter morfologis dalam mengidentifikasi stok ikan adalah mudah dilakukan, tidak memerlukan biaya besar dan tidak memerlukan waktu lama (Gustiano, 2003). Seringkali terdapat perbedaan yang nyata dalam hal identifikasi stok ikan menggunakan pendekatan morfologi dan genetik, hal ini disebabkan oleh karakter morfologi yang mengalami plastisitas fenotipik. Plastisitas fenotipik didefinisikan sebagai kemampuan dari suatu genotipe untuk memproduksi lebih dari satu bentuk alternatif morfologi, kondisi fisiologi dan atau perilaku sebagai tanggapan terhadap kondisi lingkungan (West-Ebenhard, 1989) atau secara sederhana faktor lingkungan menyebabkan variasi fenotipik (Stearn, 1989). Selanjutnya, Robinson & Parsons (2002), menyatakan telah banyak kajian tentang fenomena plastisitas fenotipik pada ikan. Tujuan tulisan ini adalah untuk mengungkapkan fenomena plastisitas fenotipik pada ikan belida di Sungai Kampar dan kesesuaian antara identifikasi stok berdasarkan genetik versus variasi fenotipik. Pembahasan difokuskan pada dua tipe karakter morfologi yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi stok ikan, yaitu karakter morfometrik dan meristik. Morfometrik adalah perbandingan ukuran relatif bagian-bagian tubuh ikan,
196
sementara meristik adalah bagian yang dapat dihitung dari ikan yang merupakan jumlah bagian-bagian tubuh ikan. BAHANMETODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada tahun 2010. dengan menggunakan data morfologi (morfometrik dan meristik) dan analisis genetik ikan belida pada data GenBank (NCBI). Jumlah dan Metode Pengambilan Sampel Sampel ikan belida diperoleh dari Sungai Kampar, Riau dan lokasi pembanding Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Sebagai pembanding spesies, di koleksi ikan putak (Notopterus notopterus) dari Sungai Musi, Sumatera Selatan (Tabel 1). Perbandingan antar spesies dilakukan dengan tujuan memperlihatkan kekuatan kemampuan teknik analisis dalam membedakan karakter morfologi. Jumlah sampel untuk setiap stasiun sampling dan data runtutan nukleotida yang diperoleh dari data Genebank dijelaskan pada Tabel 2. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan alat pancing, bubu, serok dan fish trap. Ikan sampel diambil secara acak dengan jumlah sampel untuk pengamatan morfologi berkisar antara 10-50 spesimen pada setiap lokasi. Penanganan dan Pengukuran Ikan Sampel Sampel ikan belida secara utuh disebut carcass, diberi tanda (tagging) serta diberi kode dan lokasi asal spesimen dengan menggunakan dymo machine; contohnya KT 001. Sampel yang sudah diberi tanda tersebut selanjutnya di diawetkan dengan cara direndam secara bertahap pada larutan alkohol 5% (10 menit), 10% (10 menit), 20% (10 menit), 40% (10 menit) dan penyimpanan akhir dalam larutan alkohol 75%.
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204
Tabel 1. Lokasi dan Karakteristik stasiun pengambilan contoh ikan belida dan ikan putak Table 1. Location and characteristic of sampling stations of Chitala lopis and Notopterus notopterus) No 1
Stasiun / posisi geografi Waduk Kutopanjang (00019’5,39” LU, 100044’3,79” BT)
Keterangan Stasiun ini merupakan bagian waduk yang banyak dijumpai ikan belida, terletak di Sungai Kampar Kanan (bagian hulu) atau di Batu Bersurat.
2
Teso (00003’2,34” LU, 101023’2,71” BT)
Merupakan anak Sungai Kampar Kiri atau bagian hulu Sungai Kampar.
3
Langgam ( 00015’4,69” LU, 101042’4,55” BT)
Langgam terletak di segmen bagian tengah Sungai Kampar, merupakan pertemuan antara Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Bagian ini memiliki sungai utama, anak sungai dan danau rawa.
4
Rantau Baru (00017’1,06” LU, 101048’1,22” BT).
Stasiun ini terletak di bagian hilir dari Sungai Kampar dan sudah dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
5
Kuala Tolam (00019’3,10” LU, 102011’2,60” BT).
Merupakan stasiun penelitian yang terletak di daerah hilir Sungai Kampar, memiliki banyak vegetasi tepian dengan perairan yang bersifat asam.
6
Sungai Barito
Kalimantan Selatan, pH perairan relatif basa
7
Sungai Musi
Sumatera Selatan, daerah sekitar Kelekar, perairan relatif asam.
Tabel 2. Daftar contoh ikan yang digunakan dalam penelitian Table 2. List of fish samples used in this study Jenis Ikan belida (Chitala lopis)
Ikan putak (Notopterus notopterus) Jumlah total sampel Data sekuense mtDNA ikan belida Sekuense ikan belida (Chitala lopis) pembanding dari Genbank database
Lokasi 1. Waduk Kutopanjang (WD) 2. Teso (ST) 3. Langgam (LG) 4. Rantau Baru (RB) 5. Kuala Tolam (KT) 6. Sungai Barito (Kalimantan Selatan) (RK)
Jumlah 16 individu 13 individu 12 individu 37 individu 17 individu 10 individu
7. Sungai Musi (Sumatera Selatan) (PU)
9 individu 114 individu
tersimpan di Genbank dengan kode akses JQ665739JQ665837 kode akses AP008921
48 individu
Pengukuran karakter morfologis secara morfometrik dilakukan dengan meletakkan ikan uji pada posisi kepala menghadap ke kiri dan sirip dibiarkan alami. Pengukuran karakter morfometrik spesimen dilakukan dengan menggunakan digital caliper yang memiliki ketelitian sampai 0,10 mm. Karakter meristik diamati dengan cara penghitungan manual dibantu kaca pembesar. Metode pengukuran dengan menggunakan manual digital calliper
1 individu
adalah metode yang sampai saat ini paling banyak digunakan dalam studi morfologi, paling tidak terdapat 31 dari 42 studi tentang subjek ini yang telah dipublikasikan (Schaeffer, 1991). Jumlah karakter morfologi yang diamati dalam analisis morfometrik tidak dibatasi, hanya saja karakter morfologi yang diamati harus cukup banyak sehingga representatif (Gustiano, 2003).
197
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204
Karakter morfometrik yang diamati meliputi 18 titik pengamatan pada tubuh ikan belida (Gustiano, 2003, Sudarto, komunikasi pribadi), yaitu: 1. Panjang standar, ditulis SL (Standard Length), diukur dari anterior mulut atau bibir atas (premaxilla) sampai ke bagian tengah atau pelipatan sirip caudal; dinyatakan dalam mm. 2. Panjang operkulum ke dua, ditulis DSO (Distance to Second Operculum), diukur dari ujung bagian kepala sampai dengan operculum ke dua; dinyatakan dalam %SL. 3. Panjang hidung, ditulis SNL (Snout Length), diukur dari ujung bagian kepala terdepan sampai dengan lubang hidung; dinyatakan dalam %SL. 4. Lebar kepala, ditulis HW (Head Width ), merupakan jarak lurus terbesar antara kedua keping tutup insang pada kedua sisi kepala; dinyatakan dalam %SL. 5. Lebar interorbital, ditulis IOW (Interorbital Width), merupakan jarak lurus antara kedua mata; dinyatakan dalam %SL. 6. Panjang rahang atas, ditulis UJM (Upper Jaw Mouth), diukur dari ujung terdepan mulut bagian atas sampai dengan ujung terbelakang tulang rahang atas; dinyatakan dalam %SL. 7. Panjang rahang bawah, ditulis LJM (Lower Jaw Mouth), diukur dari ujung terdepan mulut bagian bawah sampai dengan ujung terbelakang tulang rahang bawah; dinyatakan dalam %SL. 8. Panjang operkulum pertama, ditulis DFO (Distance to First Operculum), merupakan panjang pectoral; dinyatakan dalam %SL. 9. Diametermata,ditulisED(EyeDiameter),merupakanpanjang garis tengah rongga mata; dinyatakan dalam %SL. 10. Panjang pre-pectoral, ditulis PPEL (Prepectoral Fin Length), diukur dari ujung terdepan mulut bagian bawah dengan ujung terdepan dari sirip pectoral; dinyatakan dalam %SL. 11. Panjang pre-pelvic, ditulis PPVC (Prepelfiv Length), diukur dari ujung terdepan mulut sampai dengan pangkal sirip ventral; dinyatakan dalam %SL. 12. Panjang pre-sirip anal, ditulis PPAL (Pre-Anal Length), diukur dari ujung terdepan mulut sampai dengan pangkal sirip anal; dinyatakan dalam %SL. 13. Panjang diagonal, ditulis DL (Diagonal Length), diukur dari pangkal sirip anal sampai dengan pangkal sirip dorsal; dinyatakan dalam %SL. 14. Lebarbadan,ditulisBW(BodyWidth),merupakanjarakpaling lebar sisi kanan dan kiri ikan; dinyatakan dalam%SL. 15. Panjang sirip pektoral, ditulis PFL (Pectoral Fin Length), diukur dari ujung sirip pektoral dengan pangkal sirip pectoral; dinyatakan dalam %SL. 16. Panjang anus, ditulis AL (Anus Length), diukur dari ujung sirip ventral sampai dengan pangkal sirip ventral; dinyatakan dalam %SL.
198
17. Panjang sirip dorsal, ditulis DFL (Dorsal fin Length), diukur dari ujung sirip dorsal sampai dengan dasar sirip dorsal; dinyatakan dalam %SL. 18. Tinggi kepala, ditulis HD (Head Depth), diukur dari garis tegak antara pangkal kepala bagian atas sampai dengan pangkal kepala bagian bawah; dinyatakan dalam %SL. Penghitungan karakter meristik (Gustiano, 2003, Sudarto, komunikasi pribadi), yaitu: 1. Jumlah duri-duri pada bagian ventral di dekat kepala, ditulis NVS (Number of Ventral Spines). 2. Jumlah jari-jari keras, lemah mengeras, maupun lemah pada sirip anal, ditulis NAF (Number of Anal Fin Length). 3. Jumlah jari-jari keras, lemah mengeras, maupun lemah pada sirip pectoral, ditulis NPF (Number of Pectoral Fin). 4. Jumlah jari-jari keras, lemah mengeras, maupun lemah pada sirip dorsal, ditulis NDF (Number of Dorsal Fin). Pengukuran karakter morfometrik dan meristik ikan belida pada 22 karakter morfologis pada bagian sisi sebelah kiri tubuh ikan, terlihat pada Gambar 1. Analisa Data Sebelum melakukan analisis, data dari hasil pengukuran morfometrik setiap karakter dibagi dengan panjang standar (SL) dan dinormalisasi dengan trasformasi log (x + 1). Selanjutnya data morfometrik dan meristik dianalisis dengan pendekatan analisis multivariabel yang didasarkan pada Analisis diskriminan (Discriminant Analysis) berdasarkan Fisher (1936). Analisa diskriminan dilakukan dengan menggunakan paket program Statistica versi 6.0.
Metode analisa diskriminan digunakan untuk mendapatkan peta sebaran populasi ikan sampel dengan nilai kesamaan (index of similarity) di dalam dan di luar kelompok. Analisa diskriminan juga digunakan untuk menentukan variabel yang dapat membedakan terhadap pembentukan kelompok populasi menggunakan suatu fungsi diskriminan. Nukleotida data base Genbank kode akses JQ665739JQ665837 kemudian disejajarkan menggunakan CLUSTAL W dalam MEGA1.81 4.0 (Tamura et al., 2007). Jarak genetik dianalisa berdasarkan rumus yang dikemukakan oleh Nei, (1987), dilakukan menggunakan MEGA 4.0 (Tamura et al., 2007). Hasilnya di kelompokkan dengan cluster analysis dalam STATISTICA6.0.
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204
Gambar 1. Karakter morfologis ikan belida yang diukur (Sumber: Sudarto komunikasi pribadi) Figure 1. Measured morphology characters of giant featherback (Source, Sudarto personal communication) HASIL DAN BAHASAN HASIL
kluster jarak euclidance. Pengelompokkan dan pemisahan populasi ikan belida, terlihat memiliki pola mengelompok pada ikan belida jantan, khususnya pada karakter morfometrik (Gambar 2).
Identifikasi Unit Populasi Identifikasi unit populasi berdasarkan karakter morfologi diindikasikan oleh scaterplot dua akar pertama kanonical variate (Gambar 2). Unit populasi digambarkan sebagai kesatuan individual yang mengelompok dan berbeda dari kelompok individual yang lain. Individual yang mengelompok divalidasi dengan tingkat klasifikasi benar yang diestimasi dari prosedur validasi silang dan perbedaan kelompok individual berdasarkan analisis
Individual ikan belida yang berasal dari lokasi sampling sekitar hulu Sungai Kampar (Kutopanjang dan Teso) terplotkan kearah paling kanan scaterplot, sedikit lebih jauh dibandingkan dengan plot ikan belida yang berasal dari lokasi sampling sekitar hilir Sungai (Kuala Tolam, Rantau Baru dan Langgam). Tampaknya pembeda yang paling jelas dan nyata adalah fungsi diskriminan pertama. Fungsi ini ditandai oleh karakter lebar badan (BW ), sirip (PPEL) dan karakter kepala (DSO) (Gambar 3)
199
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204
Gambar 2. Plot individual ikan belida dan kelompok centroid kanonical variabel 1 dan 2 berdasarkan karakter morfometrik (A dan B) dan meristik (C dan D) Figure 2. Individual plot of giant fetaherback and group of centroid canonical variable 1 and 2 based on morphometric character (A and B) and meristic (C and D)
Jantan
Betina
Jantan betina
Gambar 3. Scater plot dan whiskerplot karakter morfometrik utama ikan belida jantan dan betina Figure 3. Scater plot and whiskerplot of the profound morphometric character of male and female giant featherback 200
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204
Analisis Cluster dan Klasifikasi Populasi
belida yang berasal dari lokasi hulu Sungai Kampar (Kutopanjang dan Teso).
Tingkat klasifikasi benar yang diestimasi dari prosedur validasi silang untuk 18 karakter morfometrik fungsi diskriminan, untuk ikan belida jantan berkisar antara 50 sampai 100%, dengan rata-rata 87,34% (Tabel 3). Pengelompokkan individual dengan dendogram (Gambar 4) yang dibentuk dari analisis cluster berdasarkan karakter morfologi, terlihat pola heterogenitas atau perbedaan kelompok ikan belida jantan berdasarkan lokasi geografis. Individu ikan belida yang berasal dari lokasi-lokasi sampling di sekitar daerah hilir (Rantau Baru, Langgam dan Kuala Tolam) menjadi satu kelompok yang memiliki kesamaan morfologi. Pola yang sama terlihat pada ikan
Analisis jarak genetik menggunakan data sekuense COI mtDNA dari Genbank, memperlihatkan adanya dua kelompok individual (cluster). Cluster pertama adalah kelompok individual yang terdiri dari ikan belida yang berasal dari stasiun Langgam, Rantau Baru dan Teso dan cluster kedua adalah ikan belida Kuala Tolam (Gambar 5). Ikan belida yang berasal dari Stasiun Kuala Tolam memperlihatkan kesamaan morfologi dengan ikan belida dari lokasi yang lain (Gambar 4), namun secara genetik sudah berbeda nyata (Gambar 5).
Tabel 3. Klasifikasi analisis diskriminan karakter morfometrik ikan belida jantan. Table 3. Classification discriminan analysis of morphometric character of male giant fetaherback Kelompok
n
Persen
Jumlah ikan yang dalam kelompok WD
ST
LG
RB
KT
PU
RK
9
0
0
1
0
0
0
Kutopanjang
10
90
Teso
7
85,71
0
6
0
1
0
0
0
Langgam
2
50
1
1
0
0
0
0
0
Rantau Baru
12
100
0
0
0
12
0
0
0
Kuala Tolam
7
85,71
1
0
0
0
6
0
0
Putak
9
100
0
0
0
0
0
9
0
Barito Total Jumlah Sampel
10 57
100 87,34
0 ──
0 ──
0 ──
0 ──
0 ──
0 ──
10 ──
Keterangan: WD : Kutopanjang, ST : Teso, LG : Langgam, RB : Rantau Baru, KT : Kuala Tolam, Pu : Putak dan RK : Barito
Dendrogram
Dendrogram
Putak
Barito
Langgam
Putak Kuala Tolam
Sungai Teso
Rantau Baru
Barito
Langgam
Kuala Tolam
Sungai Teso
Rantau Baru Kutopanjang
Kutopanjang
0
5
10 index
A (jantan)
15
20
0
10
20
30
40
50
60
index
B (betina)
201
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204 Dendrogram
Dendrogram
Putak
Putak Langgam
Rantau Baru Kuala Tolam
Sungai teso Barito
Langgam Sungai teso
Barito Rantau Baru
Kuala Tolam Kutopanjang
Kutopanjang
0
100
200
300
400
500
600
700
0
index
10
20
30
40
50
index
C (jantan)
D (betina)
Gambar 4. Dendogram jarak kemiripan antar individual kelompok stasiun ikan belida berdasarkan karakter morfometrik (A dan B) dan meristik (C dan D) Figure 4. Dendogram similarity distance among individual in station group of giant featherback based on morphometric character (A and B) and meristic character (C and D) Dendrogram
Langgam
Rantau Baru
Teso
Kutopanjang
Kuala Tolam
Chitala lopis
AP008922
0
0.000005
0.00001
0.000015 0.00002
0.000025
0.00003
0.000035 0.00004
index
Gambar 5. Jarak genetik antar populasi stasiun pengambilan sampel Figure 5. Genetic distance among sampling population BAHASAN Pengelompokkan populasi ikan terlihat lebih jelas menggunakan karakter morfometrik di bandingkan meristik. Variasi bentuk dalam analisis morfometrik, lebih terkait dengan faktor genetik sementara karakter meristik lebih banyak tergantung pada fluktuasi faktor lingkungan (Barlow, 1961) dan sifat alami data meristik yang terpisah juga mengurangi ketepatan dalam analisis pengelompokkan (Ihssen et al., 1981). Ikan belida yang berasal dari lokasi sampling hulu Sungai Kampar memiliki lebar badan lebih kecil (ramping), kepala lebih besar dan sirip lebih panjang. Karakter badan ramping terkait dengan kemampuan berenang. Pada bagian hulu Sungai kampar (Teso) memiliki karakteristik tipe habitat yang berarus, sehingga aktivitas renang diduga membentuk tubuh yang memanjang dibandingkan melebar. Variasi ukuran kepala tampaknya berhubungan dengan 202
aktivitas menangkap dan memproses mangsa. Kepala yang lebih besar tampaknya cocok untuk mencerna mangsa yang masif seperti udang dan beberapa jenis ikan (Gosline, 1996). Makanan ikan belida berupa udang, banyak ditemukan dalam isi perut ikan belida di Sungai Teso. Terkait dengan sirip dan pelfic, Gosline, (1996) telah mendokumentasikan sirip memiliki keuntungan proyeksi individu dalam kolom air dan mempertahankan elevasi ketika mereka tidak bergerak, sehingga ikan belida yang berada dilingkungan berarus deras akan memiliki sirip yang lebih panjang. Perbedaan hasil analisis unit populasi atau stok menggunakan pendekatan morfologi dan genetik seringkali terjadi (King 1985). Sebagai contoh, Pepin and Car, (1993), melaporkan adanya perbedaan jumlah tulang belakang yang nyata tidak merefleksikan perbedaan pada variasi sekuense mtDNA. Analisis genetik mengindikasikan bahwa hanya sedikit atau tidak ada
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204
perbedaan genetik diantara individual yang secara morfologi berbeda (Swaina & Foote, 1999). Ketidaksesuaian hasil analisis morfologi dan genetik dalam mengidentifikasi unit populasi disebabkan faktor lingkungan yang menyebabkan perbedaan morfologi. Conover, (1998) menginformasikan adaptasi lokal yang mengarah pada terbentuknya plastisitas fenotipik adalah hal yang biasa terjadi pada ikan, meskipun secara genetik memiliki karakteristik yang homogen. Plastisitas fenotipik biasanya adaptif, sehingga ikanikan yang secara genetik sama memiliki penampilan yang berbeda yang sesuai dengan lingkungan sekitarnya (Swaina & Foote, 1999). Fenomena ini dijumpai pada ikan belida yang berasal dari stasiun Teso, secara morfologi berbeda dengan Stasiun Langgam dan Rantau Baru karena karakter morfologinya menyesuaikan lingkungan lokal namun secara genetik memiliki kesamaan dengan ikan belida dari Stasiun Langgam dan Rantau Baru yang karakteristik lingkungan lokalnya berbeda dan secara geografis berdekatan. Perbedaan fenotipik yang tampak sebagai hasil adaptasi terhadap kondisi lingkungan tidak menjamin adanya perbedaan genetik. Kesamaan bentuk morfologi ikan di alam mungkin saja menyembunyikan perbedaan genetik yang nyata diantara kelompok ikan yang diamati, sehingga pendekatan secara langsung melihat variasi genetik, merupakan pendekatan yang biasa dilakukan untuk mengidentifikasi struktur populasi atau identifikasi unit populasi (Smith et al., 1990).
Emmett, R.L., R.D. Brodeur, T.D. Miller, S.S. Pool, G.K. Krutzikowsky, P.J. Bentley & J. Mccrae. 2005. Pacific sardine (Sardinops sagax) abundance, distribution, and ecological relationships in the Pacific northwest. Calcofi Rep. 46: 122–143. Fisher, R. A. 1936. The use of multiple measurements in taxonomic problems. TheAnnalsofEugenics. 7:179-188. García-Rodríguez, F. J., S. A. García-Gasca, J. D.L. CruzAgüero & V.M. Cota-Gomez. 2011. A study of the population structure of the Pacific sardine Sardinops sagax (Jenyns, 1842) in Mexico based on morphometric and genetic analyses. Fisheries Research. 107:169–176. Gosline, W.A. 1996. Structures associated with feeding in three broad-mouthed, benthic fish groups. Environ. Biol. Fishes. 47: 399-405. Gustiano, R. 2003. Taxonomy and phylogeny of Pangasiidae catfishes from Asia (Ostariophysi, Siluriformes). Thesis for The Doctor’s Degree (Ph.D.) Katholieke Universiteit Leuven, Belgium. 296 p. McQuinn, I.H. 1997. Metapopulations and the Atlantic herring. Rev. Fish Biol. Fish. 7: 297-329. Hurlbut, T. & D. Clay. 1998. Morphometric and meristic differences between shallow- and deep-water populations of white hake (Urophycis tenuis) in the southern Gulf of St. Lawrence. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 55: 2274-2282.
KESIMPULAN Terdapat perbedaan identifikasi stok berdasarkan analisis secara morfologi dan genetik. Karakter morfologi ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Kampar, Riau memperlihatkan pola heterogenitas berdasarkan lokasi geografis karena adanya fenomena plastisitas fenotipik. Analisa menggunakan runutan sekuense D_Loop mtDNA mendeteksi ikan belida di Sungai Kampar, terdiri dari dua unit populasi, yaitu populasi bagian hilir dan populasi bagian hulu.
Ihssen, P.E., H.E. Brooke, J.M. Casselman, J.M. McGlade, N.R. Payne & F.M. Utter. 1981. Stock identification:materials and methods, Can. J.Fish. Aq. Sci. 38:1838-1855. King, M. 1985. Fisheries Biology. Assesment and Management. FishingNews Books,Blackwell ScienceLtd. MacLean, J.A. & D.O. Evans. 1981. The stock concept, discreteness of fish stocks, and fisheries management. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 38, 1889-1898.
DAFTAR PUSTAKA Barlow, G.W. 1961. Causes and significance of morphological variation in fishes. Syst. Zool. 10: 105117.
Nei, M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Colombia University Press. 457 p.
Begg, G.A & J.R. Waldman. 1999. An holistic approach to fish stock identification. Fish. Res. 43: 35-44.
Pepin, P & S.M. Carr. 1993. Morphological, meristic and genetic analysis of stock structure in juvenile Atlantic cod (Gadus morhua) from the Newfoundland shelf. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 50: 1924-1933.
Conover, D.O. 1998. Local adaptation in marine fishes: evidence and implications for stock enhancement. Bull. Mar. Sci. 62: 477-493.
Dinas Perikanan dan Kelautan. 2008. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Riau. Pekan Baru. Diskanlut. Provinsi Riau. 78 p. 203
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204
Robinson, B.W & K.J. Parsons. 2002. Changing times, spaces, and faces: tests and implications of adaptive morphological plasticity in the fishes of northern postglacial lakes. Can.J. Fish.Aquat.Sci.,59:1819–1833.
Tamura K., J. Dudley, M. Nei & S. Kumar. 2007. MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. Molecular Biology and Evolution 10.1093/molbev/msm092.
Schaeffer, K. M. 1991. Geografic variation in morphometric characters and gill- raker counts in yellow fin tuna (Tunnus albacares) from pacific ocean. Fish Buletin. 89 : 289-297.
Turan, C. 1999. A Note on The Examination of morphometric differentiation among fish populations: The Truss System. Tr. J. of Zoology. 23: 259-263.
Smith, P.J.,A. Jamieson &A.J. Birley. 1990. Electrophoretic studies and the stock concept in marine teleosts. J. Cons. Int. Explor. Mer. 47: 231-245. Stearns, S.C. 1989. The evolutionary significance of phenotypic plasticity. BioScience. 39: 436-445. Swaina, D.P & C.J. Foote. 1999. Stocks and chameleons: the use of phenotypic variation in stock identification. Fisheries Research. 43: 113-128.
204
West-Eberhard, M.J. 1989. Phenotypic plasticity and the origins of diversity. Annu. Rev. Ecol. Syst. 20: 249-278. Wibowo, A., R. Affandi, K. Soewardi & Sudarto. 2010. genetic differentiation of the kampar river’s giant featherback (Chitala lopis Bleeker 1851) base on mitochondrial dna analysis. Indonesian Fisheries Research Journal.16 (2). 49-58.
BAWAL WIDYARISETPERIKANANTANGKAP Pedoman bagi Penulis UMUM 1. Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap memuat hasil-hasil penelitian bidang “natural history” ikan (pemijahan, pertumbuhan serta kebiasaan makan dan makanan) serta lingkungan sumberdaya ikan. 2. Naskah yang dikirim asli dan jelas tujuan, bahan yang digunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah dipublikasikan atau dikirimkan untuk dipublikasikan di mana saja. 3. Naskah ditulis/diketik dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak diperkenankan menggunakan singkatan yang tidak umum 4. Naskah diketik dengan program MS-Word dalam 2 spasi , margin 4 cm (kiri)-3 cm (atas)-3 cm (bawah) dan 3 cm (kanan), kertas A4, font 12-times news roman, jumlah naskah maksimal 15 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya. Penulis dapat mengirimkan naskah ke Redaksi Pelaksana BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jl. Pasir Putih No.1 Ancol, Jakarta Utara 14430, Telp.: (021) 64711940, Fax.: (021) 6402640, E-mail: [email protected]. 5. Dewan Redaksi berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan. PENYIAPAN NASKAH 1.
Judul
2.
Abstrak
3.
Kata Kunci
4.
Pendahuluan
5.
Bahan dan Metode
6.
Hasil dan Bahasan
7.
Kesimpulan
8. 9.
Persantunan Daftar Pustaka
Contoh
10. Tabel 11. Gambar
: Naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama penulis. Jabatan atau instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama. : Dibuat dengan Bahasa Indonesia dan Inggris paling banyak 250 kata, isinya ringkas dan jelas serta mewakili isi naskah. : Ditulis dengan Bahasa Indonesia dan Inggris, terdiri atas 4 sampai 6 kata ditulis dibawah abstrak dan dipilih dengan mengacu pada agrovocs. : Secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan sub bab. : Secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait. : Hasil dan bahasan dipisah, diuraikan secara jelas serta dibahas sesuai dengan topik atau permasalahan yang terkait dengan judul. : Disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian. : Memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah. : Disusun berdasarkan pada abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut. Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku atau nama dan nomor jurnal, penerbit dan kota, serta jumlah atau nomor halaman.
: Sunarno, M. T. D., A. Wibowo, & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Tulang Bawang, Kampar, dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. J.Lit.Perikan.Ind. 13 (3). 1-14. Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Ind.Fish Res J. 12 (2). 129-157. Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scintific Publishing Company. New York. 318 p. Defeo, O., T. R. Mc Clanahan, & J. C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J. C. Castilla (eds). Fisheries Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing. Singapore. p. 3-24. Utomo, A. D., M. T. D. Sunarno, & S. Adjie. 2005. Teknik peningkatan produksi perikanan perairan umum di rawa banjiran melalui penyediaan suaka perikanan. In Wiadnyana, N. N., E. S. Kartamihardja, D. I. Hartoto, A. Sarnita, & M. T. D. Sunarno (eds). Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia Ke-1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. p. 185-192. Publikasi yang tak diterbitkan tidak dapat digunakan, kecuali tesis, seperti contoh sebagai berikut: Anderson, M.E, Satria F. 2007. A New Subfamily, Genus, and Species of Pearlfish (Teleostei: Ophidiiformes: Carapidae) from Deep Water off Indonesia. Species Diversity 12: 73-82.
: Disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan. : Skema, diagram alir, dan potret diberi nomor urut dengan angka Arab. Judul dan keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. 12. Foto : Dipilih warna kontras atau foto hitam putih, judul foto ditulis dalam dua Bahasa Indonesia dan Inggris, dan nomor urut di sebaliknya. Dicetak dalam kertas foto atau dalam bentuk digital. 13. Cetak Lepas (Reprint) : Penulis akan menerima cetak lepas secara cuma-cuma. Bagi tulisan yang disusun oleh lebih dari seorang penulis, pembagiannya diserahkan pada yang bersangkutan.