ISSN 1907-8226
BAWAL WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP Volume 4 Nomor 2 Agustus 2012 Nomor Akreditasi : 419/AU/P2MI-LIPI/04/2012 (Periode: April 2012-April 2015) BAWAL, Widya Riset Perikanan Tangkap adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum. Publikasi ini memuat hasil-hasil penelitian bidang “natural history” ikan (pemijahan, pertumbuhan, serta kebiasaan makan dan makanan) serta lingkungan sumber daya ikan. Terbit pertama kali tahun 2006 dengan frekuensi penerbitan tiga kali dalam setahun, yaitu pada bulan: APRIL, AGUSTUS, DESEMBER. Ketua Redaksi: Prof. Dr. Ir. Wudianto, M.Sc. (Teknologi Penangkapan Ikan-P4KSI) Anggota: Prof. Dr. Ali Suman (Biologi Perikanan-BPPL) Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc. (Oseanografi Perikanan-LIPI) Dr. Ir. Husnah, M.Phil. (Toksikologi Perairan-BPPPU) Drs. Bambang Sumiono, M.Si. (Biologi Perikanan-P4KSI) Ir. Sulastri (Limnologi-LIPI) Mitra Bestari untuk Nomor ini: Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc (Hidro Akustik Perikanan-IPB) Dr. Ir. Zainal Arifin, M.Sc. (Pencemaran Perairan-LIPI) Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal (Ikhtiologi-IPB) Dr. Estu Nugroho (Genetika Populasi Ikan-BPPAT) Dr. Achmad Sarnita (Pengelolaan Sumberdaya Perikanan) Lilis Sadiyah, Ph.D. (Permodelan Perikanan-P4KSI) Redaksi Pelaksana: Ralph Thomas Mahulette, S.Pi., M.Si. Kharisma Citra, S.Sn. Desain Grafis: Arief Gunawan, S.Kom. Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telp. (021) 64711940; Fax. (021) 6402640 Email:
[email protected] BAWAL-WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan - Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan.
ISBN 1907-8226 BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap Volume 4 Nomor 2 Agustus 2012 DAFTAR ISI KATAPENGANTAR………………………………………………………………………………………................
i
DAFTARISI…………………………………………………………………………………………………..............
iii
Struktur Ukuran, Hubungan Panjang-Bobot dan Faktor Kondisi Ikan Tuna di Perairan Prigi, Jawa Timur Oleh : Erfind Nurdin, Am Azbas Taurusman dan Roza Yusfiandayani .............................................................
67-73
Jenis, Ukuran dan Daerah Penangkapan Hiu Thresher (Famili alopiidae) yang Tertangkap Rawai Tuna di Samudera Hindia Oleh : Agustinus Anung Widodo dan Ralph Thomas Mahulette .........................................................................
75-82
Hubungan Panjang Bobot, Faktor Kondisi dan Struktur Ukuran Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) di Perairan Selat Bali Oleh : Arief Wujdi, Suwarso dan Wudianto ..........................................................................................................
83-89
Parameter Populasi Ikan Kadah (Valamugil speigleri) sebagai Indikator Pemanfaatan Sumber Daya Perairan Estuaria di Pemalang Oleh : Adrian Damora dan Karsono Wagiyo ......................................................................................................... Hubungan Panjang-Bobot Siput Lola (Trochus niloticus) di Perairan Kecamatan Saparua, Maluku Tengah Oleh : Andrias Steward Samu Samu, J. A. Pattikawa dan Pr. A. Uneputty ………………………………………
91-96
97-103
Keragaman Genetik Ikan Semah (Tor tambroides Bleker 1854) di Sungai Manna, Bengkulu dan Sungai Semanka, Lampung Oleh : Arif Wibowo ...................................................................................................................................................... 105-112 Makanan dan Reproduksi Ikan Lukas (Dangila cuvieri, Valenciennes 1842) di Perairan Waduk Gajah Mungkur Wonogiri Oleh : Kamaluddin Kasim, Chairulwan Umar, Priyo Suharsono Sulaiman, dan Naila Zulfia ………………… 113-120 Status Trofik dan Estimasi Potensi Produksi Ikan di Perairan Danau Tempe, Sulawesi Selatan Oleh : Samuel, Safran Makmur dan Petrus Rani Pong Masak .......................................................................... 121-129
iii
KATAPENGANTAR
Widya Riset Perikanan Perikanan Tangkap “BAWAL” memiliki fungsi sebagai wadah untuk menyampaikan informasi hasil penelitian yang dilakukan para peneliti dari dalam maupun luar lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan. Informasi-informasi tersebut sangat berguna bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) terutama para pengambil kebijakan sebagai dasar dalam pengelolaan perikanan dan konservasi sumber daya ikan di perairan laut maupun perairan umum daratan. Seiring dengan terbitnya Widya Riset Perikanan Tangkap Bawal Volume 4 Nomor 2 Agustus 2012 ini, kami ucapkan terima kasih kepada para Mitra Bestari atas kesediannya dalam menelaah beberapa naskah. Pada Volume 4 Nomor 2 Agustus 2012, Bawal menampilkan delapan artikel hasil penelitian perairan umum daratan dan perairan laut. Delapan artikel tersebut mengulas tentang, struktur ukuran, hubungan panjang berat-bobot dan faktor kondisi ikan tuna di perairan Prigi, Jawa Timur, jenis, ukuran dan daerah penangkapan Hiu Thresher (Famili alopidae) yang tertangkap Rawai Tuna di Samudera Hindia, hubungan panjang bobot, faktor kondisi dan struktur ukuran ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di perairan Selat Bali, parameter populasi ikan Kadah (Valamugil speigleri) sebagai indikator pemanfaatan sumberdaya perairan Estuari di Pemalang, hubungan panjang-bobot Siput Lola (Trochus niloticus) di perairan Kecamatan Saparua, Maluku Tengah, keragaan genetik ikan Semah (Tor tambroides Bleker 1854) di sungai Manna, Bengkulu dan sungai Semanka, Lampung, makanan dan reproduksi ikan Lukas (Dangila cuvieri, Valenciennes 1842) di perairan Waduk Gajah Mungkur Wonogiri dan status Trofik estimasi potensi produksi ikan di perairan Danau Tempe, Sulawesi Selatan. Semua artikel pada edisi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang perikanan tangkap di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para penulis dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam edisi ini.
Redaksi
i
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
STRUKTUR UKURAN, HUBUNGAN PANJANG-BOBOT DAN FAKTOR KONDISI IKAN TUNA DI PERAIRAN PRIGI, JAWA TIMUR SIZE STRUCTURE, LENGTH WEIGHT RELATIONSHIP AND CONDITION FACTOR OF TUNAS IN THE PRIGI WATERS, EAST JAVA Erfind Nurdin1),AmAzbas Taurusman2) dan Roza Yusfiandayani2) 1)
Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta 2) Institut Pertanian Bogor, Bogor Teregistrasi I tanggal: 5 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 14 Agustus 2012; Disetujui terbit tanggal: 16 Agustus 2012
ABSTRAK Penelitian tentang struktur ukuran dan faktor kondisi ikan tuna yang tertangkap di perairan sekitar rumpon di Selatan Prigi, Jawa Timur dilakukan pada bulan Juli 2010, Desember 2010 dan Januari 2011. Sampel ikan diperoleh di PPN Prigi, diidentifikasi menurut jenis dan diukur panjang cagak serta ditimbang bobotnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pertumbuhan dan faktor kondisi ikan tuna yang tertangkap di sekitar rumpon. Hasil penelitian menunjukkan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang diukur sebanyak 115 ekor dengan dominasi ukuran panjang berkisar antara 32–36 cmFL dan bobot antara 0,75–1,20 kg; tuna mata besar (Thunnus obesus) sebanyak 114 ekor dengan dominasi panjang pada kisaran 40–44 cmFL dan bobot antara 0,75– 1,20 kg; dan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) 107 ekor dengan dominasi panjang berkisar antara 28–32 cmFL dengan bobot 0,30–0,75 kg. Hubungan panjang bobot ikan cakalang mengikuti persamaan W= 0,055FL2,733, tuna mata besar W= 0,014FL3,096 dan tuna sirip kuning W= 0,0006FL3,960. Faktor kondisi (K) ikan cakalang adalah 2, tuna mata besar 2,1 dan tuna sirip kuning 2,0. KATA KUNCI: Hubungan panjang dan bobot, faktor kondisi, tuna, Prigi ABSTRACT: Study on size structure and condition factor of tuna caught around FADs in the south of Prigi, East Java was conducted in July 2010, December 2010 and January 2011. The objectives of this study are to investigate that the size distribution, L-W relationship and condition factor of dominant fish caught around of FADs. The result showed that the size distribution of skipjack tuna dominated in range of 32–36 cmFL and 0.75–1.20 kg (body weight), bigeye tuna range of 40–44 cmFL and 0.75– 1.20 kg (body weight), yellowfin tuna range of 28–32 cmFL and 0.30– 0.75 kg (body weight). Length weight relationship of skipjack tuna can described as W= 0.055FL2.733, bigeye tuna W= 0.014FL3.096 and yellowfin W= 0.0006FL3.960. The value of condition factor was 2.0 for skipjack tuna, mean while for bigeye tuna was 2.1 and for yellowfin tuna was 2.0. KEYWORDS: Length-weight relationship, condition factor, tuna, Prigi
PENDAHULUAN Perkembangan usaha penangkapan tuna telah memberikan konstribusi terhadap peningkatan ekonomi yang cukup signifikan di beberapa daerah. Data sementara menunjukkan bahwa porsi terbesar hasil tangkapan yang didaratkan tergolong surface tuna yang umumnya memiliki ukuran panjang belum layak tangkap (Nurdin, 2009). Peningkatan kapasitas armada penangkapan ikan telah menimbulkan persoalan kapasitas penangkapan yang berlebih. Berkembangnya upaya penangkapan mengarah pada menurunnyaketersediaanstoksumberdayaikan. Apabilaukuran hasil tangkapan ikan tuna semakin mengecil, hal ini akan mengakibatkan berkurangnya jumlah ikan yang berkesempatan memijah yangmengakibatkan rekruitmen berkurang.
Salah satu pusat pendaratan tuna skala kecil (small scale fisheries) di selatan pulau Jawa adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi, Jawa Timur. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan di perairan Selatan Jawa menggunakan alat bantu rumpon sebagai pengumpul ikan. Armada yang melakukan penangkapan di rumpon dengan tujuan utama jenis ikan tuna dan cakalang adalah armada tonda dan jaring insang. Monintja & Zulkarnain (1995) dan Diniah et al. (2006) menyatakan awal keberadaan rumpon mampu meningkatkan hasil tangkapan. Semakin padatnya pemasangan rumpon menyebabkan penurunan hasil tangkapan per satuan upaya, ditandai oleh ukuran ratarata ikan yang tertangkap memperlihatkan kecenderungan yang lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya.
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung Komplek Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman-Jakarta Utara. Email :
[email protected]
67
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
Dampak negatif rumpon perlu diwaspadai secara serius apabila dalam pengoperasian melebihi kapasitas: a) jumlah ikan di daerah penangkapan sekitar pantai menurun dimana usaha penangkapan skala kecil beroperasi; b) Laju tangkap unit penangkapan di luar areal rumpon cenderung menurun; c) berhentinya operasi penangkapan dari sebagian unit penangkapan skala kecil (Simbolon, 2004). Pengoperasiaan beberapa jenis alat tangkap menyebabkan ukuran ikan tuna yang tertangkap bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur ukuran, pola pertumbuhan dan faktor kondisi ikan tuna yang merupakan hasil tangkapan utama di sekitar rumpon yang didaratkan di PPN Prigi, Jawa Timur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran struktur ukuran ikan tuna yang tertangkap di sekitar rumpon dan diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan pengelolaan perikanan tuna khususnya yang tertangkap di sekitar rumpon.
BAHANDANMETODE Pengumpulan data dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara PPN Prigi, Jawa Timur pada bulan Juli 2010, Desember 2010 dan Januari 2011. Pencatatan panjang dan bobot serta faktor kondisi dikhususkan bagi ikan tuna yang tertangkap di sekitar rumpon yang berada di Samudera Hindia, sebelah selatan Jawa Timur. Posisi rumpon dijelaskan pada gambar 1. Pengukuran panjang cagak (fork length, FL) dilakukan menggunakan meteran gulung dengan panjang maksimum 5 meter, sedangkan bobot ikan diukur menggunakan timbangan berkapasitas 10 kg. Jumlah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang diamati sebanyak 115 ekor, tuna mata besar (Thunnus obesus) 114 ekor dan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) 107 ekor yang merupakan hasil tangkapan armada tonda dan jaring insang yang beroperasi di sekitar rumpon (Gambar 2).
Gambar 1. Peta menunjukkan posisi rumpon nelayan Prigi. Figure 1. Map showing FADs position of Prigi fisherman
Gambar 2. Ikan tuna yang didaratkan di PPN Prigi. Figure 2. Tuna species landed at PPN Prigi. 68
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
Hubungan panjang - bobot dianalisis dengan model pertumbuhan menurut Bal & Rao (1984) menggunakan persamaan: W= aLb dimana: W= bobot, L= panjang, a dan b= konstanta
Nilai b diuji untuk mengetahui apakah nilai b yang diperoleh berbeda nyata dengan nilai b= 3 menggunakan uji-t pada tingkat kepercayaan 95% (Steell & Torrie, 1989). Menurut Effendie (1997), analisis faktor kondisi (K) dilakukan untuk melihat kondisi ikan dari kapasitas fisik menggunakan persamaan K= 100 (W/L3 ), dimana: W= bobot dan L= panjang. HASIL DAN BAHASAN
Nilai b sebagai penduga hubungan antara panjang dan bobot dengan kriteria:
HASIL
·
Distribusi Ukuran Panjang dan Bobot
10
Kisaran bobot (kg)
3.45-3.9
3.0-3.45
2.55-3.0
2.1-2.55
Kisaran bobot (kg)
Tuna sirip kuning
40
n= 107
30 20 10
3.45-3.9
3.0-3.45
2.55-3.0
2.1-2.55
1.65-2.1
1.2-1.65
0.75-1.2
0 0.3-0.75
Jumlah (ekor)
1.65-2.1
0 1.2-1.65
2.55-3.0
2.1-2.55
1.65-2.1
1.2-1.65
0.75-1.2
0
20
0.75-1.2
10
n= 114
30
0.3-0.75
20
Tuna mata besar
40
Jumlah (ekor)
n= 115
30
0.3-0.75
Jumlah (ekor)
Pengukuran dilakukan terhadap jenis ikan hasil tangkapan dominan dari alat tangkap tonda dan jaring insang di sekitar rumpon yang didaratkan di PPN Prigi. Ukuran bobot untuk ketiga jenis ikan yang tertangkap di sekitar rumpon yang dipasang di perairan sebelah selatan Jawa Timur dan berhasil diukur berkisar antara 0,3-3,9 kg, dengan dominasi cakalang pada kisaran 0,75–1,20 kg, tuna mata besar pada kisaran 0,75–1,20 kg, tuna sirip kuning pada kisaran 0,30–0,75 kg (Gambar 3).
Cakalang
40
3.45-3.9
·
3.0-3.45
·
Nilai b = 3, ikan memiliki pola pertumbuhan isometrik (pertambahan bobot seimbang dengan pertambahan panjang) Nilai b > 3, ikan memiliki pola pertumbuhan alometrik positif (pertambahan bobot lebih besar dari pertambahan panjang) Nilai b < 3, ikan memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif (pertambahan bobot lebih kecil dari pertambahan panjang).
Kisaran bobot (kg)
Gambar 3. Sebaran bobot ikan tuna yang tertangkap di perairan Prigi Figure 3. Weight distribution of tuna species caught in Prigi Waters Ukuran panjang cagak (FL) untuk ketiga jenis ikan yang tertangkap di sekitar rumpon yang dipasang di perairan sebelah selatan Jawa Timur berkisar antara 28-60 cmFL, dengan dominasi panjang cagak cakalang pada kisaran 32-36 cmFL, tuna mata pada kisaran 40-44 cmFL dan tuna sirip kuning pada kisaran 28-32 cm FL. Sebaran frekwensi panjang ikan tuna yang didaratkan di PPN Prigi disajikan pada gambar 4.
Hubungan Panjang dan Bobot Analisis panjang-bobot ikan mempunyai beberapa kegunaan, diantaranya untuk memprediksi berat berdasarkan ukuran panjang ikan. Hasil penelitian di PPN Prigi diperoleh hubungan panjang-bobot ikan cakalang dengan persamaan W= 0,055FL2,733 dengan nilai koefisien korelasi r= 0,9483, ikan tuna mata besar dengan persamaan W= 0,007FL3,260 dan nilai r= 0,9288 sedangkan tuna sirip kuning dengan persamaan W= 0,0006FL3,960 dan nilai r= 0,9883 (Gambar 5).
69
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
Jumlah (ekor)
Jumlah (ekor)
40 30 20 10 0
50
Tuna mata besar
50
40
n= 114
40
Jumlah (ekor)
Cakalang n= 115
50
30 20 10 0
28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 48-52 52-56 56-60
Tuna sirip kuning n= 107
30 20 10 0 28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 48-52 52-56 56-60
28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 48-52 52-56 56-60
Kisaran panjang FL (cm)
Kisaran panjang FL (cm)
Kisaran panjang FL (cm)
Bobot (gram)
y = 0,055x 2,733 r = 0,9483
4000 2000
Tuna mata besar n = 114
6000 Bobot (gram)
Cakalang n = 115
6000
0,007x 3,260
y= r = 0,9288
4000 2000
Bobot (gram)
Gambar 4. Sebaran panjang cagak (fork length, FL) ikan tuna yang tertangkap di Perairan Prigi. Figure 4. Fork length distribution of tuna species caught in Prigi Waters 6000 4000
0
20
40
60
0 0
80
Tuna sirip kuning n=107
2000
0
0
y = 0,0006x3,960 r = 0,9883
20
40
60
0
80
20
40
60
80
FL (cm)
FL (cm)
FL (cm)
Gambar 5. Hubungan panjang-bobot ikan tuna yang tertangkap di perairan Prigi. Figure 5. Length–weight relationship of tuna species caught in Prigi waters. Dalam penelitian ini sampel ikan yang digunakan tidak membedakan jenis kelamin. Untuk mengetahui sejauh mana hubungan panjang dengan bobot ikan ada beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi nilai b, dimana salah satunya adalah faktor lingkungan perairan. Uji-t terhadap nilai b=3 yang dilakukan bagi ketiga jenis ikan tuna tersebut (Tabel 1) pada selang kepercayaan 95% ( = 0,05) diperoleh nilai b berbeda nyata (t-hitung > t-tabel).
Faktor Kondisi Pengamatan terhadap contoh ikan didaratkan di PPN Prigi diperoleh rata-rata faktor kondisi (K) ikan cakalang adalah 2,08, ikan tuna mata besar adalah 2,01 dan ikan tuna sirip kuning adalah 1,99 (Tabel 2). Mengacu pada Effendie (1997) hasil ini menandakan ketiga ikan tersebut masih berada pada batas ambang kondisi yang baik dengan kisaran nilai (K) antara 1-3.
Tabel 1. Parameter hubungan panjang dan bobot hasil tangkapan ikan tuna disekitar rumpon di perairan Prigi Table 1. Parameter of length – weight relationship of tuna species caught around FADs in Prigi waters Jenis ikan Cakalang
n 115
r 0,9483
a 0,055
b 2,733
T hit 24,542
Ttabel 1,981
Hasil T hit > Ttabel
Keterangan Alometrik negatif
Tuna mata besar
114
0,9288
0,007
3,260
22,889
1,986
T hit > Ttabel
Alometrik positif
Tuna sirip kuning
107
0,9883
0,0006
3,960
14,317
1,983
T hit > Ttabel
Alometrik positif
Tabel 2. Faktor kondisi (K) hasil tangkapan ikan tuna di sekitar rumpon di perairan Prigi Table 2. Condition factor of tuna species caught around of FADs in Prigi waters
Min. Max. Rata-rata St.Dev.
70
FL (cm) 30,0 60,0 40,5 6,3
Cakalang (n=115) W (gram) 500,0 3500,0 1451,7 622,6
K 1.40 2.70 2,08 0,29
Tuna mata besar (n=114) FL W (cm) (gram) 28,0 0,35 58,0 3,70 41,9 1,58 6,1 0,72
K 1,38 2,96 2,01 0,36
Tuna sirip kuning (n=107) FL W (cm) (gram) 27,0 250,0 58,0 3700,0 36,8 1188,0 7,2 838,7
K 1,14 2,81 1,99 0,50
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
BAHASAN Distribusi Ukuran Panjang dan Bobot Menurut Nugraha et al. (2010) ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan cakalang di perairan Tulehu (Ambon) sebesar 40,9 cmFL. Nikijuluw (2009) menyatakan bahwa di perairan Samudera Hindia untuk Lm ikan cakalang berkisar antara 41–43 cmFL. Menurut Froose & Pauly (2011) bahwa panjang cakalang saat matang gonad (Lm) berkisar antara 40-45 cmFL. Di perairan Filipina ditemukan panjang Lm 40 cmFL, sedangkan di perairan Papua Newguinea pada panjang Lm 45 cmFL. Hasil penelitian di perairan sebelah selatan Prigi diperoleh ukuran ikan cakalang yang tertangkap pada panjang lebih dari 40 cmFL sebanyak 52%. Dengan melihat beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ikan cakalang yang tertangkap masih dapat dikatakan layak tangkap, dimana hasil tangkapan yang diduga telah matang gonad lebih banyak dibandingkan yang belum matang gonad. Perbedaan ukuran tersebut dapat terjadi karena nilai Lm sangat bervariasi. Dengan demikian individu yang berasal dari satu kelas umur ataupun kelas panjang yang sama, tidak harus selalu mencapai panjang pertama kali matang gonad pada ukuran yang sama (Udupa, 1986). Nugraha & Mardlijah (2006) memperoleh ukuran panjang pertama kali matang gonad (Lm) ikan tuna mata besar di Laut Banda untuk ikan jantan dan betina masingmasing 146,1 cmFL dan 133,5 cmFL. Nootmorn (2004) pada penelitiannya di Samudera Hindia bagian barat memperoleh nilai Lm jantan berukuran 86,85 cmFL dan betina berukuran 88,08 cmFL. Farley et al., (2003) di Samudera Hindia memperoleh nilai Lm sebesar 102,4 cmFL. Mardlijah (2008) menyatakan bahwa ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan tuna sirip kuning di Perairan Marisa (Sulawesi Utara) untuk ikan betina berkisar antara 89,2–100,9 cmFL. Zubaidi (1994) pada penelitiannya di Perairan Maluku diperoleh Lm ikan tuna sirip kuning jantan dan betina masing-masing sebesar 118,7 cmFL dan 113 cmFL. Dengan melihat beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ukuran ikan tuna mata besar dan tuna sirip kuning yang tertangkap di sekitar rumpon di Perairan Prigi Jawa Timur jauh dibawah ukuran pertama matang gonad (Lm), hal ini menggambarkan hasil tangkapan tuna tersebut masih berukuran kecil atau belum layak tangkap yang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan. Hubungan Panjang dan Bobot Ikan cakalang memiliki nilai b sebesar 2,733 dengan pola pertumbuhan ikan cakalang bersifat alometrik negatif
(b<3) dimana pertambahan bobot lebih lambat dari pertambahan panjang. Hasil ini sama dengan hasil penelitian Nugraha et al. (2010) yang menyatakan bahwa cakalang hasil tangkapan huhate di Laut Banda bersifat alometrik negatif dengan nilai b sebesar 2,751. Pola pertumbuhan ikan tuna mata besar dan tuna sirip kuning bersifat alometrik positif (b>3) dimana pertambahan bobot lebih cepat dari panjang. Nilai b untuk ikan tuna mata besar 3,260 dan tuna sirip kuning 3,960. Nugraha & Mardlijah (2006) menyatakan pola pertumbuhan tuna mata besar hasil tangkapan tuna longline di Laut Banda bersifat alometrik negatif dengan nilai b= 2,470 untuk jantan dan 2,567 untuk betina. Faizah & Prisantoso (2010) menyatakan pola pertumbuhan tuna mata besar hasil tangkapan tuna longline di Samudera Hindia bersifat alometrik negatif dengan nilai b= 2,965. Penelitian Zubaidi et al. (1994) menyatakan hasil tangkapan tuna sirip kuning dengan pancing ulur di perairan Bacan-Maluku Utara bersifat alometrik negatif dengan nilai b= 2,67 untuk betina dan 2,81 untuk jantan. Perbedaan pola pertumbuhan dapat disebabkan karena ukuran ikan hasil tangkapan yang berbeda, pada penelitian ini ukuran ikan hasil tangkapan masih relatif kecil (juvenil tuna). Sementara hasil tangkapan troll line dan gillnet ikan yang hidup pada permukaan perairan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, diantaranya ukuran dan jenis makanan, kondisi oseanografi perairan (suhu, oksigen, dan lain-lain), dan kondisi ikan (umur). Menurut Hossain (2010) hubungan panjang-bobot ikan dipengaruhi beberapa faktor diantaranya habitat, lingkungan, musim, jenis makanan, matang gonad, kesehatan dan jenis kelamin. King (2007) menyatakan bahwa hubungan panjang bobot dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan perbedaan antara jenis ikan yang sama pada stok yang berbeda. Faktor Kondisi Effendie (1997) menyatakan bahwa faktor kondisi (K) merupakan derivat dari pertumbuhan. Faktor kondisi menunjukkan kondisi baik fisiologis ikan dilihat dari kapasitas fisik survival dan reproduksi. Secara komersial kondisi ini mempunyai arti kualitas dan kuantitas daging yang tersedia. Nilai K berkisar antara 2–4 apabila badan ikan pipih, dan 1–3 apabila badan ikan tidak pipih. Variasi nilai K tergantung pada ketersediaan makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad. Pengamatan terhadap contoh ikan didaratkan di PPN Prigi diperoleh rata-rata faktor kondisi (K) ikan cakalang adalah 2,08, ikan tuna mata besar adalah 2,01 dan ikan tuna sirip kuning adalah 1,99. Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Faizah
71
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
& Aisyah (2011) di Sendang Biru, Jawa Timur pada bulan Oktober 2010 diperoleh nilai faktor kondisi ikan tuna sirip kuning berkisar antara 1,3-2,37 dengan rata-rata 1,66 dan ikan tuna mata besar berkisar antara 1,35-1,91 dengan ratarata 1,80. Hossain (2010) menyatakan bahwa faktor kondisi merupakan indikator ketersediaan makanan di wilayah perairan dan secara umum siklus perubahan musim dapat mempengaruhi perkembangan gonad. Hasil tangkapan di sekitar rumpon di perairan Samudera Hindia bagian Selatan Jawa khususnya di perairan Prigi untuk jenis ikan tuna mata besar maupun tuna sirip kuning menunjukkan hasil tangkapan didominasi oleh ukuran kecil atau belum layak tangkap yang mengakibatkan dampak negatif terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan. Untuk penanggulangannya antara lain diperlukan metode operasi penangkapan dengan alat tangkap yang selektif dalam ukuran seperti hand line dan gillnet yang dioperasikan dengan ukuran mata jaring lebih besar pada kedalaman tertentu dimana merupakan area ikan dewasa menyebar. Pengetahuan tentang tingkah laku ikan yang menjadi sasaran utama penangkapan juga diperlukan guna pengembangan metode pengoperasian dan alat tangkap yang lebih efektif. Hasil penelitian Josse et al. (2000) dengan menggunakan perangkat akustik menunjukkan schooling ikan tuna kecil pada strata kedalaman 10–50 meter merupakan area dengan kepadatan dan jumlah schooling terbesar. Priatna et al. (2010) menyatakan bahwa kepadatan ikan (density) di sekitar rumpon tertinggi ditemukan pada lapisan permukaan hingga kedalaman 50 meter, dengan dominasi 80% ukuran ikan 40–70 cm berada pada kedalaman 25 sampai 50 meter yang diduga kuat adalah jenis cakalang dan tuna kecil. KESIMPULAN 1. Ukuran panjang cagak untuk ketiga jenis ikan yang tertangkap di sekitar rumpon yang dipasang di perairan sebelah selatan Jawa Timur berkisar antara 28-60 cmFL, dengan dominasi cakalang pada kisaran 32-36 cmFL, tuna mata besar pada kisaran 40-44 cmFL dan tuna sirip kuning pada kisaran 28-32 cm FL. Sedangkan bobot untuk ketiga jenis ikan yang berhasil diukur berkisar antara 0,3-3,9 kg, dengan dominasi cakalang pada kisaran 0,75–1,20 kg, tuna mata besar pada kisaran 0,75–1,20 kg, tuna sirip kuning pada kisaran 0,30–0,75 kg. 2. Pola pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) bersifat alometrik negatif dengan persamaan W= 0,055FL2,733, ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) alometrik positif dengan persamaan W= 0,007FL3,260 dan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) alometrik positif dengan persamaan W= 0,0006FL3,960.
72
3. Nilai rata-rata faktor kondisi ikan cakalang K= 2,08, sedangkan ikan tuna mata besar diperoleh nilai K= 2,01 dan tuna sirip kuning diperoleh nilai K= 1,99. Hal ini menandakan kondisi fisiologis ikan tersebut dalam keadaan baik. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian karakteristik perikanan rumpon skala kecil di Selatan Jawa tahun 2010, di Balai Penelitian Perikanan Laut. DAFTAR PUSTAKA Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata Mc.Graw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi. p. 5-24. Diniah, D.R. Monintja & A. Ardianto. 2006. Teknologi Rumpon Laut Dalam sebagai Alat Bantu Pemanfaatan Sumberdaya Cakalang. Di dalam: Sondita MFA, Solihin I, editor. Buku Kumpulan Pemikiran Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Bogor: FPIK IPB. p. 36-42. Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 p. Faizah, R & B. I. Prisantoso, 2010. Hubungan panjang dan bobot, sebaran frekuensi panjang dan faktor kondisi tuna mata besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia. Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap. 3 (3): 183 – 189. Faizah, R & Aisyah. 2011. Komposisi jenis dan distribusi ukuran ikan pelagis besar hasil tangkapan pancing ulur di Sendang Biru, Jawa Timur. Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap. 3 (6): 377–385. Farley, J., N. Clear, B. Leroy, T. Davis & G. Mcpherson. 2003. Age and growth of bigeye tuna (Thunnus obesus) from the eastern and western AFZ. Report no. 2000/ 100 CSIRO Marine Research. Australia. 93 p. Froese, R & D. Pauly. 2011. FishBase. World Wide Web Electronic Publication, www.fishbase.org. Hossain, Y. 2010. Length-Weight, Length-Length Relationship and Condition Factors of Three Schibid Catfish from The Padma River, Northwestern Bangladesh. Asian Fisheries Science. (23): 329-339. Josse, E., L. Dagron & A. Bertrand. 2000. Typology and behaviour of tuna aggregation around fish aggregating device from accoustic surveys in french polynesia. Aquat Living Resour. 13:183–192.
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
King, M. 2007. Fisheries Biology, Assessment and Management. Second edition. Blackwell Sciencetific Publication, Oxford. 381 p.
tangkapan huhate yang didaratkan di Tulehu Ambon. Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap 3(3): 199 – 207.
Mardlijah, S. 2008. Analisis isi lambung dan gonad ikan madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) yang tertangkap di perairan Marisa, Gorontalo, Teluk Tomini. Tesis. Fakultas MIPA, Universitas Indonesia. 105 p.
Nurdin, E. 2009. Perikanan tuna skala rakyat (small scale) di Prigi, Trenggalek Jawa Timur. Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap. 2(4): 177-183.
Monintja, D.R & Zulkarnain. 1995. Analisis dampak pengoperasian rumpon tipe philippine di perairan ZEE terhadap perikanan cakalang di perairan teritorial Selatan Jawa dan Utara Sulawesi. Laporan Penelitian: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 70 p.
Priatna, A, D. Nugroho & Mahiswara. 2010. Keberadaan ikan pelagis rumpon laut dalam pada musim timur di Perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Teluk Pelabuhanratu dengan metode hidroakustik. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap. 16 (2): 83-91.
Nikijuluw, V.P.H. 2009. Status sumber daya ikan tuna Samudera Hindia: Implikasinya bagi Indonesia. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 1(1): 32-44.
Simbolon D. 2004. Suatu studi tentang potensi pengembangan sumberdaya ikan cakalang dan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Bul FPIK IPB. 13(1): 48–67.
Nootmorn, P.,A. Yakoh & K. Kawises. 2004. Reproductive biology of yellowfin tuna in the Eastern Indian Ocean. IOTC-2005-WPTT-14. 8 p.
Steell, R. G. H & J. S. H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi kedua. Gramedia. Jakarta: 748 p.
Nugraha, B & S. Mardlijah. 2006. Hubungan panjang bobot, perbandingan jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad tuna mata besaar (Thunnus obesus) di Perairan Laut Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 12 (3): 195–200.
Udupa, K. S. 1986. Statistical method of estimating the size at first maturity in fishes. ICLARM. Metro Manila. Fishbyte. 4 (2): 8-10.
Nugraha, B., S. Mardlijah & E. Rahmat. 2010. Komposisi ukuran cakalang (Katsuwonus pelamis) hasil
Zubaidi, T., I. N. Edrus & M. S. Hurasan. 1994. Beberapa aspek biologi ikan madidihang (Thunnus albacares) di Perairan Bacan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (94): 1–10.
73
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
JENIS, UKURAN DAN DAERAH PENANGKAPAN HIU THRESHER (Famili alopiidae) YANG TERTANGKAPRAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA SPECIES, SIZE AND FISHING GROUND OFTHRESHER SHARK (Famili alopiidae) CAUGHT BY TUNA LONG LINER IN INDIAN OCEAN AgustinusAnung Widodo dan Ralph Thomas Mahulette Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Ancol Jakarta. Teregistrasi I tanggal: 19 Februari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 9 Agustus 2012; Disetujui terbit tanggal: 10 Agustus 2012
ABSTRAK Sebagai anggota Indian Ocean Tuna Commision (IOTC) Indonesia wajib mengadopsi isi Resolusi IOTC 10/12 yang mengatur pengelolaan sumberdaya ikan hiu thresher (famili Alopiidae). Secara spesifik Indonesia belum melaksanakan pengelolaan sumberdaya hiu thresher karena spesies tersebut belum mendapatkan perhatian serius. Tulisan ini bermaksud menyampaikan hasil penelitian tentang ikan hiu thresher (Famili Alopiidae) yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia berbasis di Cilacap. Data diperoleh dari kegiatan pengambilan contoh di pelabuhan tahun 2010, kegiatan observasi di atas kapal rawai tuna bulan Januari 2010 dan laporan statistik PPS Cilacap tahun 2006-2010. Hasil kajian menunjukkan bahwa: (a) di perairan Indonesia ada dua spesies dari tiga spesies hiu thresher yang ada di dunia, yaitu hiu monyet atau pelagic thresher (Alopias pelagicus Nakamura 1935) dan hiu paitan atau bigeye thresher (A. superciliosus Lowe 1840). Satu spesies lainnya yang belum pernah ditemukan adalah thinfin thresher (A.vulpinus Bonnaterre1788). Dilihat dari teknologi rawai tuna yang digunakan, daerah sebaran hiu thresher sama dengan tuna di Samudera Hindia, sehingga sulit untuk menghindari tidak tertangkapnya hiu thresher oleh rawai tuna. Jumlah dari jenis hiu monyet yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia berkisar 0,1-0,6 % dan hiu paitan berkisar 0,1-1,3 % dari total tangkapan. Ukuran hiu thresher yang tertangkap rawai tuna umumnya ikan yang telah dewasa (berkisar 54-74%) dan diduga telah mengalami pemijahan. Hampir semua bagian hiu thresher dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan farmasi. Selain dipasarkan di dalam negeri, ikan hiu thresher juga diekspor terutama siripnya ke manca negara dan terbanyak ke China. KATA KUNCI : Jenis dan ukuran, daerah penangkapan, hiu thresher, Samudera Hindia ABSTRACT: As a member of IOTC, Indonesia is obliged to implement all IOTC’s resolutions including resolution 10/12 on the conservation of thresher sharks (Family Alopiidae) caught in association with fisheries in the IOTC area of competence. Indonsia has not implementing the Resolution 10/12 yet, especifically for thresher sharks as an important resource. Therefore, in order to support implementation of the IOTC Resolution 10/12, this paper presents results of a research on thresher shark caught by tuna long line operated in Indian Ocean based at Cilacap was carried out. Data obtained by port sampling program in Cilacap Fishing Port in 2010, onboard observer program on the commercial tuna long line vessel based in Cilacap on January 2010 and annual report (fisheries statistic) of Cilacap Fishing Port 2006-2010 were used within this paper. The result showed that: (a) thresher sharks are one of bycatch in tuna long line fisheries; (2) there are two species of thresher shark caught by tuna long liner i.e. pelagic thresher (Alopias pelagicus Nakamura 1935) and bigeye thresher (A.superciliosus Lowe 1840), while thinfin or fox thresher (A.vupinus Bonneterre 1788) has not been noted in the catch composition so far. The percentage of pelagic and bigeye thresher sharks caught by tuna long liner were 0.1-0.6 % and 0.1-1.3 % of the total catch, respectively. Mostly, the thresher shark caught by tuna long line is adult fishes (54-74%) this predicted that this species has spowned. The products of thresher are marketed locally and exported, mainly to China, especially for their fin. KEYWORDS: species and zise, fishing ground, thresher shark, Indian Ocean.
PENDAHULUAN Resolusi Nomor 10/12 tentang konservasi “thresher shark” familiAlopiidae yang tertangkap di perairan negaranegara anggota Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) telah disepakati dan diadopsi pada pertemuan IOTC ke 14 tahun 2010 di Busan, Korea Selatan. Selanjutnya thresher shark disebut sebagai “hiu thresher”. Resolusi Nomor
10/12 IOTC disepakati berdasarkan Resolusi Nomor 05/05 tentang konservasi ikan hiu dan mempertimbangkan diantaranya bahwa family “Alopiidae” yang tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan (by-catch) di area kewenangan IOTC. International Scientific Community merekomendasikan agar bigeye thresher shark atau hiu thresher matabesar (Alopias supercilliosus) sebagai spesies yang harus dilindungi karena mulai terancam
Korespondensi penulis : Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Email:
[email protected] Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur-Jakarta Utara 14430
75
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
punah. Masalah yang muncul adalah bahwa nelayan bahkan ilmuwan sekalipun sering menghadapi kesulitan membedakan spesies hiu thresher matabesar dengan spesies hiu thresher yang lain. Oleh karena itu dipandang aman jika semua spesies hiu thesher dilindungi sebagai tindakan kehati-hatian. Di dunia terdapat 3 spesies hiu thresher, yaitu Alopias pelagicus Nakamura, 1935; Alopias superciliosus Lowe 1840 dan Alopias vulpinus Bonnaterre, 1788 (Last et al., 2009). Sebagai anggota IOTC, Indonesia wajib mengadopsi isi Resolusi Nomor 10/12 IOTC tersebut. Garis besar isi Resolusi Nomor 10/12 antara lain (1) Melarang menahan di atas kapal, memindahkan dari/ke kapal lain, mendaratkan, menyimpan, menjual atau menawarkan untuk menjual bagian manapun atau seluruh bangkai spesies hiu thresher dari family Alapiidae, (2) Melaporkan hasil tangkapan hiu thresher (termasuk estimasi tangkapan hiu thresher yang dibuang dan ukuran hiu thresher) dan (3) Pelepasan dalam keadaan hidup untuk hiu thresher yang tertangkap pada kegiatan rekreasi dan olahraga penangkapan ikan (4) Anggota atau non anggota yang biasa disebut sebagai Cooperating non Contracting Parties (CPC’s) IOTC melakukan penelitian hiu thresher di area IOTC guna mengidentifikasi daerah pemijahan dan daerah asuhannya sehingga memungkinkan dilakukan penutupan area (closing area) atau melakukan pengelolaan yang sesuai. Penelitian khusus tentang hiu thresher di Indonesia masih sangat jarang dilakukan dan secara spesifik Indonesia belum melaksanakan Resolusi Nomor 10/12. Satu-satunya penelitian yang membahas hiu thresher di Samudera Hindia adalah yang dilakukan Dharmadi et al. (2010). Hasil penelitian tersebut bahwa Alopias pelagicus dan A.superciliosus merupakan dua spesies yang dominan tertangkap jaring insang tuna atau tuna gillnet di Samudera Hindia. Persentase Alopias pelagicus dan A.superciliosus masing-masing berkisar 59,4-70,2% dan 9,7-21,7% dari total tangkapan hiu oleh jaring insang hanyut. Didorong sedikitnya data dan informasi dari hasil penelitian tentang hiu thresher tersebut maka tulisan ini ini ditujukan sebagai penelitian awal sebelum dilakukan penelitian khusus dan mendalam tentang hiu thresher sebagaimana dimandatkan pada Resolusi Nomor 10/12 IOTC. BAHANDANMETODE Data primer sebagai bahan tulisan ini adalah hasil kegiatan pengambilan contoh di PPS Cilacap (port sampling) oleh enumerator tahun 2010. Data meliputi identifikasi jenis dan ukuran panjang total atau total length-TL (Gambar 1) hiu thresher yang terangkap rawai tuna atau tuna long line yang beroperasi di Samudera Hindia dan mendaratkan hasil tangkapannya di PPS Cilacap. Kegiatan pengambilan contoh dilakukan pada
76
minggu terakhir setiap bulan. Seluruh ikan hiu thresher yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap saat kegiatan pengambilan contoh dicatat dan diukur panjang totalnya. Data primer lain adalah berdasarkan hasil observasi di kapal (onboard observation) rawai tuna yang berbasis di Cilacap bulan Januari 2010. Data sekunder adalah laporan statisitik PPS Cilacap tahun 2010 serta informasi kepustakaan terkait aspek biologi hiu thresher dari Liu, et al.(1999); White (2007); Last, et al., (2009); dan Compagno (2002). Data dan inforamsi dikompilasi, disarikan dan disajikan dalam bentuk naratif, gambar dan tabel.
Gambar 1. Ukuran panjang total (TL) hiu thresher. Figure 1. Total length of thresher shark. HASIL DAN BAHASAN HASIL 1. Spesies Hiu Thresher a. Jumlah spesies Hasil penelitian melalui kegiatan pengambilan contoh (port sampling) di PPS Cilacap tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) spesies hiu thresher yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yaitu hiu paitan atau bigeye thresher shark (Alopias supeciliosus) dan hiu tikusan/monyet atau pelagic thresher (A.pelagicus). Nelayan di Indonesia umumnya menyebut hiu sebagai ikan cucut. Tabel 1 menyajikan nama ilmiah, Inggris dan lokal dari hiu thresher yang tertangkap. b. Prosentase Tangkapan Hiu Thresher Di Samudera Hindia, hiu thresher merupakan hasil tangkapan sampingan (HTS) atau bycatch dari perikanan rawai tuna dan jaring insang tuna. Prosentase hasil tangkapan hiu thresher yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa jumlah hiu monyet (Alopias pelgicus) dan hiu paitan (Alopias supeciliosus) yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia secara berturutan berkisar 0,1-0,6 % dan 0,1-1,3 % dari total hasil tangkapan.
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
Tabel 1. Nama ilmiah, nama Inggris dan nama lokal dari hiu thresher. Table 1. Scientific name, English name and local name of thresher shark. Nama Ilmiah (Scientific name)
Nama Inggris (English name)
Nama Lokal (Local name)
Alopias pelagicus Nakamura,1935 Alopias superciliosus Lowe,1840
Pelagic thresher Bigeye thresher Common thresher, fox thresher, thintail thresher
Hiu monyet, hiu tikusan, hiu pedang Hiu paitan, hiu lancur, hiu lutung
Alopias vulpinus Bonnaterre,1788 *) *)
-
Belum ada nama lokal karena di Indonesia belum ditemukan spesies tersebut.
Tabel 2. Prosentase spesies hiu thresher hasil tangkapan rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap tahun 2006-2010. Table 2. Procentage of thresher shark caught by tuna long line in Indian Ocean landed at Cilacap Fishing Port 2006-2010.
Sumber (Source): PPS Cilacap (2010).
Tabel 3. Table 3.
Komposisi hasil tangkapan rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap tahun 2010 Cacth composition of thresher shark among tuna long line caught in the Indian Ocean which was landed in Cilacap Fishing Port 2010
Sumber (Source): PPS Cilacap (2010)
c. Ukuran Panjang Ikan Tidak banyak informasi hasil penelitian di Indonesia yang menginformasikan mengenai aspek biologi hiu thresher. Hasil kegiatan pengambilan contoh di pelabuhan (port sampling) oleh enumerator tahun 2010 di PPS Cilacap menunjukkan bahwa ukuran hiu monyet atau pelagic thresher (A. pelagicus) jantan yang tertangkap rawai tuna
di Samudera Hindia berukuran panjang antara 202-309 cm TL dengan modus pada panjang 271-280 cm TL. Panjang hiu monyet atau pelagic thresher (A. pelagicus) betina yang tertangkap tertangkap rawai tuna mempunyai panjang 206-328 cm dengan modus pada panjang TL 291300 cm TL (Gambar 2 A-B). Data panjang hiu paitan atau bigeye thresher (A.superciliosus) tidak tersedia.
77
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
monyet atau pelagic thresher maupun hiu paitan atau bigeye thresher (Gambar 5).
Gambar 2A-B Distribusi panjang total (TL) hiu monyet (A.pelagicus) jantan [A] dan betina [B] yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yang berbasis di PPS Cilacap tahun 2010, Lm ikan jantan 269 cm dan betina 290 (Liu et al., 1999). Figure 2A-B Total length (TL) distribution of male pelagic thresher (A.pelagicus) male [A] and female [B] caugth by tuna long line in Indian Ocean landed at Cilacap Fishing Port 2010, Lm male 269 cm and female 290 (Liu et al., 1999). d. Daerah Penyebaran Hiu Thresher Secara spesifik tidak ada data yang akurat terkait posisi daerah penangkapan rawai tuna yang menangkap hiu thresher. Para nakoda rawai tuna juga tidak bersedia menyampaikan posisi lintang dan bujur (koordinat) dimana mereka mengoperasikan rawainya. Hasil observasi di kapal (onboard observation) di salah satu kapal rawai tuna yang berbasis di Cilacap yang dilakukan tahun 2010 adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Hasil observasi menunjukkan bahwa hiu monyet dan hiu paitan tertangkap masing-masing sebanyak 1 (satu) ekor dengan berat 23.5 kg dan 24,5 kg.
Gambar 3. Posisi setting salah sat kapal rawai tuna hasil observasi di kapal (onboard observation) rawai tuna di Samudera Hindia bulan Januari 2010. Figure 3. Setting position of tuna long line based on onboard observation in Indian Ocean January 2010.
e. Produksi dan Pemasaran Rawai tuna merupakan salah satu alat tangkap yang menghasilkan hiu thresher sebagai hasil tangkapan sampingan (HTS) atau bycatch. Sejak lima tahun terakhir, data pendaratan hiu thresher yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia dicatat dengan sangat baik di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap. Produksi hiu thresher berluktuatif setiap tahunnya, produksi tertinggi hiu paitan atau bieye thresher (A.superciliosus) terjadi pada tahun 2009 yaitu mencapai 11808 kg dan turun kembali menjadi 1718 kg pada tahun 2010. Produksi hiu monyet atau pelagic thresher (A.pelagicus) tahun 20062010 relatif menurun yaitu 4618 kg menjadi 3077 kg. (Gambar 4). Fluktuasi produksi hiu thresher bulanan menunjukkan bahwa bulan April merupakan bulan puncak baik hiu 78
Gambar 4. Fluktuasi hasil tangkapan hiu thresher yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap tahun 2006-2010. Figure 4. Catch fluctuation of thresher shark caugth by tuna long line in Indian Ocean which was landed at Cilacap Fishing Port 2006-2010.
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
lokal dan ekport. Banyak retoran seafood kelas atas di Indonesia menghidangkan sup sirip (isit) cucut. Hati hiu thresher dimanfaatkan untuk diambil minyaknya dan tulang rawannya digunakan untuk salah satu bahan farmasi. Selain dipasarkan di dalam negeri, produk dari bahan cucut termasuk hiu thresher juga diekspor ke beberapa negara terutama China (Widodo et al., 2004). BAHASAN 1. Jenis Ikan Hiu Thresher Gambar 5. Fluktuasi jumlah hiu thresher yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap sepanjang tahun 2006-2010. Figure 5. Catch Average fluctuation of thresher shark caugth by tuna ling line in Indian Ocean landed in Cilacap Fishing Port, 2006-2010. Daging hiu thresher in Indonesia digunakan sebagai bahan pangan dalam bentuk segar, asap dan asin. Siripnya dimanfaatkan dengan cara diambil isit-nya untuk konsumsi
Last at al. (2009) menyebutkan bahwa terdapat tiga spesies hiu thresher di dunia yaitu Alopias pelagicus Nakamura,1935, Alopias superciliosus Lowe (1840) dan Alopias vulpinus Bonnaterre (1788). Selama penelitian tidak ditemukan spesies hiu thresher spesies Alopias vulpinus Bonnaterre (1788). Secara umum hiu thresher shark di Indonesia dikenal hiu (cucut) monyet atau tikusan, yang dicirikan dengan ekor yang panjang. Terminologi utama dari hiu thresher adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Terminologi utama hiu thresher (Compagno, 2002) Figure 6. Principal terminology of thresher shark (Compagno, 2002) a. Spesies hiu Alopias pelagicus Nakamura, 1935. Spesies ini di Indonesia biasa disebut hiu monyet atau tikusan dan mempunyai nama Inggris pelagic thresher. Ciri fisik yang sangat khas yaitu mempunyai cuping (lobe) di bagian atas dari sirip ekor yang yang sangat panjang (Gambar 7). Ukuran mata yang yang relatif lebar, tetapi tidak melebar hingga permukaan atas dari kepalanya. Sirip dadanya lurus, salur berwarna putih pada bagian bawah tubuhnya tidak mamanjang melebihi pangkal sirip dadanya. Tidak terdapat salur labial atau salur yang dalam di belakang kelopak matanya (Liu et al., 1999; White, 2007).
Gambar 7. Alopias pelagicus Nakamura,1935 (Last et al., 2009). Figure 7. Alopias pelagicus Nakamura,1935 (Last et al., 2009).
79
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
Bentuk badan fusiform, moncong mulut relatif pendek dan lonjong. Ukuran mata agak lebar namun tidak melebar hingga sisi atas kepala. Gigi pada rahang atas dan bawah relatif sama, yaitu berukuran kecil-kecil tumbuh dengan posisi miring dengan pinggiran halus dan berjumlah antara 4-5 baris. Jika ditarik garis dari atas ke bawah, sisi belakang sirip punggung pertamanya mempunyai jarak yang tidak saling terkait dengan sisi depan sirip perutnya. Posisi sisi depan dari sirip punggung kedua dan sisi belakang sirip perut lurus. Sisi depan sirip dada berbentuk lurus dan sisi belakang agak lengkung. Cuping sirip ekor bagian atas sangat panjang hingga melebihi ukuran panjang cagak tubuhnya. Jumlah gigi antara 41-45/37-38, jumlah ruas tulang belakang (vertebrae) antara 453-477 dan jumlah tulang precaudal 126 buah.
halus. Sisi belakang sirip punggung segaris dengan sisi depan sirip perut. Sirip perut relatif besar, sirip punggung kedua dan sirip anal sangat kecil, sirip dadanya berbetuk seperti sabit. Cuping atas sirip ekor sangat panjang, namun ukurannya lebih pendek dari panjang cagak tubuhnya. Jumlah giginya 22/19 [19-27/20-24], jumlah ruas tulang belakangnya antara 278-308 dan precaudal-nya antara 98-106 buah.
Hiu monyet atau tikusan mempunyai warna abu-abu pucat pada bagian punggung dan warna putih pada bagian dada hingga perutnya, bagian atas dan penutup insang berwarna perak metalik. Ukuran maksimal mencapai panjang total 340 cm dan mulai dewasa pada panjang total antara 247-269 cm atau berumur antara 7-8 tahun pada hiu jantan dan panjang total antara 246-290 cm atau berumur antara 8-9 tahun pada hiu betina. Umur maksimal hiu monyet atau tikusan jantan dapat mencapai 20 tahun dan betina 29 tahun (Compagno, 2002).
Gambar 8. Alopias superciliosus Lowe, 1840 (Last et al., 2009). Figure 8. Alopias superciliosus Lowe, 1840 (Last et al., 2009).
Reproduksi adalah oophagus dan biasanya menghasilkan 2 anak juvenile yang biasa diistilahkan sebagai pups, selama hidupnya hiu ini dapat memproduksi 40 hiu muda. Tidak terdapat musim bereproduksi, namun diketahui cucut ini maksimal melahirkan 2 kali dalam setahun. Makanan hiu monyet atau tikusan ini adalah ikanikan kecil dan cumi-cumi. Sebelum disantap ikan-ikan kecil atau cumi-cumi tersebut digiring dan dikumpulkan dengan ekornya lalu dibuat pingsan dengan kibasan ekornya yang panjang. b. Spesies hiu Alopias superciliosus Lowe, 1840. Sebagaimana hiu monyet atau tikusan, (Alopias superciliosus Lowe,1840) juga mempunyai sirip ekor dengan cuping (lobe) bagian atas sangat panjang. Nama local hiu ini adalah hiu paitan, hiu lancur atau hiu lutung. Spesies ini mempunyai mata yang lebar/besar (hingga ke permukaan atas dari kepalanya). Dibanding spesies lainnya, ukuran mata spesies ini adalah paling besar, sehingga disebut bigeye thresher. Terdapat alur lateral yang nyata (jelas) pada bagian atas kepalanya (Gambar 8). Bentuk badan fusiform, agak gemuk, moncong mulut relatif panjang dan bulat. Terdapat alur memanjang pada bagian punggung belakang dan bermuara di atas tutup insang. Ukuran gigi-giginya relatif besar dan bentuknya sama antara yang di rahang bawah maupun atas. Ujung dari gigi-giginya panjang, ramping dan pinggirannya 80
c. Spesies hiu Alopias vulpinus Bonnaterre, 1788. Spesies hiu Alopias vulpinus Bonnaterre, 1788 mempunyai nama inggris thintail thresher atau fox thresher. Sama dengan dua spesies sebelumya, yaitu mempunyai cuping ekor bagian atas yang sangat panjang (Gambar 9). Matanya relatif besar namun tidak sebesar bigeye thresher, terdapat alur labial dan tidak terdapat alur dalam di belakang matanya. Sirip dadanya melengkung berbentuk bulan sabit dan bagian bawah tubuhnya berwarna putih. Bentuk badan fusiform, agak gendut, moncong mulutnya relatif pendek dan berbentuk lonjong. Gigigiginya relatif sama antara yang di rahang atas dan bawah, ujung gigi-giginya halus dan berbentuk segitiga yang runcing.
Gambar 9. Alopias vulpinus Bonnaterre, 1788 (Last et al., 2009). Figure 9. Alopias vulpinus Bonnaterre, 1788 (Last et al., 2009). Dari hasil penelitian ini, tercatat hanya ada 2 (dua) spesies hiu thresher yang biasa tertangkap rawai tuna yang beroperasi di Samudera Indonesia dan mendaratkan hasil tangkapannya di PPS Cilacap. Hasil serupa dilaporkan juga oleh Widodo & Anung (2002); Widodo & Rahmat
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
(2002); Adrim et al., 2006). Dua spesies yang dimaksud adalah Alopias pelagicus dan Alopias superciliosus. Adapun jenis hiu thresher yang tidak ditemukan adalah hiu jenis Alopias vulpinus. Padahal, jika dilihat dari distribusinya hiu jenis Alopias vulpinus juga terdapat di Indonesia. Tidak ditemukannya jenis hiu ini diduga dikarenakan jumlahnya yang sangat sedikit di perairan Samudera Hindia. Penyebaran vertikal spesies ini mencapai kedalaman perairan 366 meter (Compagno et al., 2002). Di lain pihak, kebanyakan rawai tuna yang dioperasikan di Indonesia tipe rawai tuna permukaan (surface tuna long line) sehingga tidak dapat mencapai kedalaman dimana biasa diketemukan di mana jenis hiu tersebut menyebar. Prosentase hiu threser yang tertangkap rawai tuna adalah relatif kecil dibanding spesies lainnya (Tabel 2). Kecilnya prosentase hiu thresher dibanding total dari hasil tangkapan lainnya pada rawai tuna tersebut tidak berarti keberadaan hiu thresher dapat diabaikan. Justru kecilnya jumlah hasil tangkapan hiu thresher haruslah diartikan sebagai telah langkanya sumberdaya ikan ini, sehingga menjadi perhatian serius IOTC dengan dikeluarkannya Resolusi No.10/12. 1. Struktur Ukuran Analisis terhadap data distribusi ukuran panjang yang tersedia, menunjukkan bahwa bahwa 73,6% hiu monyet jantan yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hidia yang didaratkan di PPS Cilacap tahun 2010 merupakan ikan yang
telah dewasa. Adapun persentase hiu monyet betina yang dewasa relatif lebih kecil dibanding hiu jantannya yaitu 53,5%. Bukti dari temuan ini mengindikasikan bahwa kegiatan eksploitasi dengan teknologi rawai tuna tidak terlalu membahayakan kelangsungan populasi sumberdaya hiu monyet. White et al. (2006) menyampaikan bahwa secara umum populasi sumberdaya hiu thresher di Samudera Hindia masih aman dieksploitasi. Namun demikian untuk mengetahui populasi ikan hiu yang akurat diperlukan data dan informasi yang runtun waktu, mengingat karakteristi biologi hiu terutama fekunditas dan reproduksi yang rendah serta berumur panjang sehingga mudah mengalami kepunahan jika dilakukan penangkapan yang intensif (Dharmadi et al., 2010). Pendapat tersebut juga sejalan dengan salah satu isi Resolusi No. 10/12 IOTC tentang kewajiban bagi anggota IOTC termasuk Indonesia melakukan penelitian hiu thresher terkait daerah mijah dan asuhnya sehingga memungkinkan dilakukan penutupan area atau melakukan pengelolaan yang sesuai. 2. Daerah Penangkapan Widodo & Anung (2004) menyampaikan bahwa daerah penangkapan ikan hiu termasuk hiu thresher yang tertangkap jaring insang tuna yang beroperasi di Samudera Hindia dan berbasis di Cilacap adalah pada area 107o-112o BT dan 8o-10o LS. Compagno et al. (2002) menyampaikan bahwa daerah penyebaran Alopias pelagicus, Alopias superciliosus dan Alopias vulpinus di Indonesia terutama adalah di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Gambar 10A-C).
Gambar 10A-C. Daerah penyebaran sumberdaya Alopias pelagicus, Alopias superciliosus dan Alopias vulpinus (Compagno, 2002). Figure 10A-C. Area distribution of Alopias pelagicus, Alopias superciliosus and Alopias vulpinus (Compagno, 2002). Compagno (2002) menyampaikan bahwa hiu monyet atau pelagic thresher shark (Alopias pelagicus) mempunyai distribusi vertikal hingga kedalaman 500 meter, namun terbanyak pada kedalaman 100 meter. Bigeye shark (Alopias superciliosus) ditemukan secara merata dari permukaan hingga kedalaman 152 meter perairan. Thintail thresher atau fox thresher (Alopias vulpinus) banyak ditemukan hingga kedalaman 366 meter (Compagno, 2002).
3. Hasil Tangkapan Dengan memperhatikan Tabel 3 terlihat bahwa hasil tangkapan hiu thresher didaratkan di PPS Cilacap tertinggi pada bulan April, fenomena tersebut mengindikasikan bahwa musim tertangkapnya hiu thresher oleh rawai tuna diduga pada bulan April. Rata-rata hasil tangkapan bulanan hiu monyet atau pelagic thresher dan hiu paitan 81
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
atau bigeye thresher yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap masingmasing 275,3 kg dan 453,9 kg. Tertangkapnya hiu thresher sebagai HTS pada rawai tuna adalah sulit dihindari, hampir setiap bulan selalu terjadi walaupun prosentasenya sangat kecil dibanding total hasil tangkapan rawai tuna. KESIMPULAN DAN SARAN
Compagno, L.J.V., 2002. Sharks of theWorld.An annotated and illustrated catalogueofSharkspecies known to date.Volume 2. Bullhead, mackereland carpet sharks (Heterodontformes, LamniformesandOrectolobiformes).FAO.Rome. Dharmadi, S.Triharyuni & J.Rianto, 2010. Hasil tangkapan cucut yang tertangkap dengan jaring insang tuna permukaan di perairan Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16 (4): 285-291.
KESIMPULAN Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Hiu thresher merupakan hasil tangkapan sampingan (HTS) pada alat tangkap rawai tuna dan sulit dihindari untuk tidak tertangkap. 2. Terdapat dua spesies hiu thresher yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yaitu hiu monyet atau pelagic thresher dan hiu paitan atau bigeye thresher. 3. Prosentase hiu monyet (pelagic thresher) dan hiu paitan (bigeye thresher) adalah sangat kecil yaitu 0,1-1,3% dari total tangkapan rawai tuna di Samudera Hindia. 4. Sebagian hiu thresher yang tertangkap rawai tuna merupakan ikan yang telah dewasa sehingga diprediksi telah mengalami pemijahan. SARAN Indonesia sebaiknya mulai melaksanakan ketentuanketentuan yang terdapat pada Resolusi 10/12 IOTC, dimulai dengan melakukan pencatatan Statistik Perikanan baik untuk keperluan nasional ataupun regional (RFMO). Aspek lain yang juga harus dilakukan adalah penelitian tentang hiu thresher secara berkesinambungan terkait aspek biologi, dinamika dan perikanannya bagi kepentingan pengelolaan sumberdaya ikan hiu thresher.
Last, Peter R, & John D.Stevens, 2009. Shark And Rays Of Australia (Second Edition). Harvard University Press. Garden St, Cambridge, Massachusetts-USA. Liu, K.M., C.T..Chen, T.H. Liao, & S.J. Joung, 1999. Age, growth and reproduction of the pelagic thresher shark, Alopias pelgicus in the northwestern Pacific. Copeia 1999. (1): 68-74. Liu, K.M., P.J. Chiang, & C.T. Chen, 1998.Age and growth estimates of the bigeye thresher shark, Alopias superciliosus in the northeastern Taiwan waters. Fishery Bulletin. 96 (3): 482-491. PPS Cilacap, 2010. Laporan Statistik Pelabuhan Perikanan Cilacap Tahun 2006-2010. Cilacap (diterbitkan setiap tahun). White, W.T., P.R.Last, D.J.Stevens, G.K. Yearsley, Fahmi & Dharmadi, 2006. Economically important sharks and rays of Indonesia. ACIAR monograph series. No. 124. Perth. WA. 329 p. White, W.T, 2007. Biological observations on lamnoid shark (Lamniformes) caught by fisheries in eastern Indonesia. Journal of the Marine. Biological Association of the United Kingdom. 87: 781-788.
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan sebagian dari hasil kegitan Program Enumerator tahun 2010 yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ir. Joko Rianto dan M. Alif, S.St.Pi. sebagai enumerator di PPS Cilacap yang telah membantu dalam pengumpulan data ikan hiu threser tahun 2010. Juga diucapkan terima kasih kepada Ignatius Tri Hargiatno yang telah menyiapkan gambar peta penangkapan. DAFTAR PUSTAKA Adrim, M., Fahmi, S. Balkis, & N.M. Rahmadani., 2006. Keragaman Spesies Hiu di Indonesia (Shark Diversity of Indonesia Waters). Sensus Biota Laut-LIPI, Jakarta, [Poster].
82
Weng, K.C. & B.A. Block, 2004. Diel vertical migration of the bigeye thresher shark (Alopias superciliosis), a species prossessing orbital retia mirabilia. Fihery Bulletin. 102 (1): 221-229. Widodo, J. & A. Anung, 2002. Perikanan cucut artisanal di perairan Samudera Hindia Selatan Jawa dan Lombok. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 8 (1): 75-83. Widodo, J. & A. Anung, 2004. Musim penangkapan ikan cucut. Musim penangkapan ikan di Indonesia. Balai Riset Perikanan Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP. p. 101-109.
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 83-89
HUBUNGAN PANJANG BOBOT, FAKTOR KONDISI DAN STRUKTUR UKURAN IKAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) DI PERAIRAN SELAT BALI LENGTH-WEIGHT RELATIONSHIP, CONDITION FACTORS AND SIZE STRUCTURE OF BALI SARDINELLA (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) IN BALI STRAIT WATERS Arief Wujdi1, Suwarso2 dan Wudianto1 1
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan 2 Balai Penelitian Perikanan Laut Teregistrasi I tanggal: 2 April 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 9 Agustus 2012; Disetujui terbit tanggal: 10 Agustus 2012
ABSTRAK Ikan lemuru merupakan jenis ikan hasil tangkapan utama kegiatan perikanan di perairan Selat Bali yang status pemanfaatannya sudah mengalami lebih tangkap dan memerlukan upaya pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang dan bobot, faktor kondisi, serta struktur ukuran ikan lemuru di perairan Selat Bali. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Agustus 2010 hingga Desember 2011 dengan metode survei dan pengamatan langsung di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan panjang dan bobot ikan lemuru mengikuti persamaan W=0,007FL3,167 dan memiliki pola pertumbuhan allometrik positif (b>3) namun pada setiap bulannya mengalami perubahan pola pertumbuhan. Nilai faktor kondisi relatif berkisar antara 0,95-1,28 dan berfluktuasi setiap bulannya. Hasil ini diduga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan. Ikan lemuru berukuran kecil atau “sempenit” (<11 cmFL) banyak tertangkap pada bulan Agustus dan September 2010 serta Juli dan November 2011 dan diduga pada waktu tersebut terjadi awal rekruitmen. KATA KUNCI: Hubungan panjang bobot, faktor kondisi, struktur ukuran, ikan lemuru, Selat Bali ABSTRACT: Bali sardinella (“lemuru”) is mostly caught by fishers in the Bali Strait waters, and its status predicted have overfishing so that it needs to manage this resources. The purpose of this study to investigate the length-weight relationship, the condition factors and size structure of lemuru in the Bali Strait waters. The data was collected through survey and direct observation in the field from August 2010 to December 2011. The result of this study shows that length-weight relationship could be described as W = 0.007 FL3, 167. Nevertheless, it is change on the growth pattern by monthly. The value of relative condition factors of lemuru were ranging from 0.95 to 1.28 and very fluctuated by monthly. It is predicted that influenced by feed availability in Bali Strait waters. The smaal size of lemuru, namely “sempenit” (<11 cmFL) are dominantly caught during August to September 2010 and July and November 2011 that indicated lemuru is recruit during those months. KEYWORDS: Length-Weight Relationship, condition factors, size structure, Sardinella lemuru, Bali strait.(Footnotes)
PENDAHULUAN Sumberdaya ikan lemuru merupakan sumberdaya yang paling dominan dan bernilai ekonomis penting di perairan Selat Bali. Sejak dikenalkannya pukat cincin di perairan tersebut oleh peneliti Balai Penelitian Perikanan Laut pada tahun 1972, komoditas tersebut paling banyak dieksploitasi oleh nelayan di sekitar Selat Bali (Merta, 1992). Salah satu pusat pendaratan utama ikan lemuru terdapat di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Perkembangan perikanan lemuru yang sangat pesat mendukung industri lokal yang terdapat di sekitar Muncar, seperti: industri pengalengan, penepungan ikan, pemindangan dan pembuatan ikan asin.
Selain itu, ikan lemuru juga digunakan sebagai umpan perikanan tuna longline yang beroperasi di Samudera Hindia. Pemanfaatan ikan lemuru di Selat Bali secara intensif diduga telah menyebabkan lebih tangkap atau overfishing (Martosubroto et al., 1986; Merta & Eidman, 1994; Nurhakim & Merta, 2004). Oleh karena itu, diperlukan upaya pengelolaan untuk memelihara kelestarian sumberdaya ikan lemuru agar dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Untuk keperluan pengelolaan perikanan lemuru diperlukan informasi terkini terkait dengan beberapa aspek biologi sehingga pengelolaan dapat dilakukan secara tepat.
Korespondensi penulis : Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Email:
[email protected] Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur-Jakarta Utara 14430
83
A. Wujdi, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 83-89
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang dan bobot, faktor kondisi dan struktur ukuran ikan lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan dasar pertimbangan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di perairan Selat Bali.
a dan b
= konstanta
Untuk mempermudah perhitungan, maka persamaan di atas dikonversi ke dalam bentuk logaritma sehingga menjadi persamaan linear sebagai berikut (Jennings et al., 2001) :
BAHANDANMETODE
log W = log a + b log L ............................................. (2)
WAKTUDANTEMPAT
Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan lemuru dapat ditentukan dari nilai konstanta b hubungan panjang berat ikan tersebut. Jika b=3, maka pertumbuhannya bersifat isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan berat). Jika b 3 maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik (pertambahan panjang tidak sebanding dengan pertambahan berat). Apabila b>3, maka hubungannya bersifat allometrik positif dimana pertambahan berat lebih dominan dari pertambahan panjangnya, sedangkan jika b<3, maka hubungan yang terbentuk bersifat allometrik negatif dimana pertambahan panjang lebih dominan dari pertambahan beratnya (Effendie, 2002). Untuk menentukan bahwa nilai b berbeda nyata atau tidak dengan 3, maka digunakan uji-t, dengan persamaan menurut Pauly (1984):
Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi langsung di lapangan berturut-turut pada bulan Agustus 2010 hingga Desember 2011. Pengumpulan data dilakukan di perairan Selat Bali dengan pusat pendaratan di Muncar. Jumlah ikan lemuru contoh adalah 2850 ekor. Pengambilan contoh dilakukan setiap bulan sebanyak 30-600 ekor/ bulan (rata-rata 238 ekor/bulan). Pengambilan contoh dilakukan secara acak dari hasil tangkapan kapal nelayan purse seine melalui pengukuran sistematis dengan mengikuti standar prosedur pengambilan contoh dan pengukuran menurut Suwarso (2010). Parameter biologi yang diukur meliputi panjang cagak (fork length) dalam satuan cm, bobot tubuh dalam gram, dan jenis kelamin. Prosedur Pra Pengambilan Contoh Berdasarkan pengamatan pra sampling yang dilaksanakan pada Bulan Agustus 2010 menunjukkan bahwa ikan lemuru kategori dewasa (adult) dimana gonad jantan dan betina sudah bisa dibedakan, memiliki ukuran panjang cagak mulai 13-14 cm, sedangkan dibawah ukuran tersebut pada umumnya ikan belum dewasa (sub adult) sehingga ciri-ciri jantan dan betina belum dapat dibedakan secara jelas. Oleh karena itu, pengambilan contoh dan pengukuran hubungan panjang berat dilakukan terhadap ikan dengan ukuran panjang cagak 13 cm sehingga dapat dibedakan antara ikan lemuru jantan dan betina. Analisis Data
........................................ (3) Faktor kondisi (K) Menurut Vakily et al., (1986) dalam Manik (2009), faktor kondisi ikan umumnya antara 0,5-2,0 untuk pola pertumbuhan isometric, faktor kondisinya dihitung dengan persamaan sebagai berikut: ................................................................ (4) Nilai K pada ikan yang berbadan agak pipih berkisar antara 2,0-4,0 sedangkan pada ikan yang kurang pipih berkisara antara 1,0-3,0 (Effendie, 2002). Ikan dengan pola pertumbuhan allometrik, faktor kondisinya dihitung dengan menggunakan faktor kondisi relatif, yaitu:
Hubungan Panjang dan Bobot ................................................................. (5) Hubungan panjang dan bobot ikan dianalisis untuk mengetahui pola pertumbuhannya. Menurut Effendie (2002), rumus hubungan panjang dan bobot ikan adalah: W = a Lb ..................................................................... (1) dimana: W L
84
= bobot ikan (g) = panjang ikan (cm)
dimana: Kn = faktor kondisi relatif W = bobot ikan hasil observasi Wˆ = bobot ikan hasil estimasi (W^ =aLb) Diamati pola hubungan panjang bobot dan perkembangan faktor kondisi ikan disajikan setiap bulan selama penelitian.
A. Wujdi, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 83-89
HASIL DAN BAHASAN HASIL Struktur Ukuran Panjang Ikan
1200 1000 800 600 400 200 0
953 740 799 567 76 98 114 1 11 35 20 18 40
182193
636 599
719
799
655 381
274
143
33 5
1
1
6,75 7,25 7,75 8,25 8,75 9,25 9,75 10,25 10,75 11,25 11,75 12,25 12,75 13,25 13,75 14,25 14,75 15,25 15,75 16,25 16,75 17,25 17,75 18,25 18,75 19,25 19,75
Jumlah/number
Ikan lemuru (Sardinella lemuru) yang terukur dalam penelitian ini mempunyai ukuran panjang cagak (FL) dengan nilai tengah 6,75-19,75 cm. Modus ukuran ikan lemuru berkisar 14,0-14,5 cmFL, yaitu berjumlah 953 ekor (Gambar 1). Jumlah contoh ikan lemuru yang diamati dalam penelitian ini adalah 8.183 ekor. Dalam pengamatan ini, hasil tangkapan ikan lemuru secara keseluruhan didominasi ukuran 13-17 cmFL atau biasa disebut “protolan” dan “lemuru”. Adapun penyebutan nama lokal ikan lemuru yang digunakan oleh masyarakat di Muncar disajikan pada Tabel 1.
113,74 gram. Hasil analisis hubungan panjang dan bobot menunjukkan bahwa pola pertumbuhan ikan lemuru jantan mengikuti persamaan W = 0,008 FL3,152, sedangkan ikan lemuru betina mengikuti persamaan W=0,007 FL3,181 (Gambar 2). Apabila ikan jantan dan betina digabungkan maka pola pertumbuhan ikan lemuru mengikuti persamaan W=0,007 FL3,167 (Tabel 2). Berdasarkan hasil uji-t terhadap nilai b (slope) ikan lemuru jantan dan betina pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), menunjukkan bahwa nilai b berbeda nyata terhadap nilai 3 (b>3). Hal tersebut berarti pola pertumbuhan ikan lemuru keseluruhan bersifat allometrik positif. Besaran nilai b ikan lemuru memiliki perbedaan setiap bulannya. Pertumbuhan ikan lemuru cenderung kurus terjadi pada bulan Agustus, September, November, Desember pada tahun 2010; serta bulan Januari, Februari dan Oktober tahun 2011. Pertumbuhan ikan lemuru cenderung gemuk terjadi pada bulan Oktober 2010; serta bulan Agustus, September, November dan Desember tahun 2011 (Tabel 2).
Nilai tengah kelas panjang/Midlength (cmFL)
Gambar 1. Sebaran ukuran kelas panjang ikan lemuru (S.lemuru) hasil tangkapan armada pukat cincin di Muncar Figure 1. Range of length distribution of Bali Sardinella (S.lemuru) were caught by purse seiner in Muncar Tabel 1. Nama lokal ikan lemuru (Sardinella lemuru) berdasarkan ukuran panjang Table 1. The local name of Bali sardine (Sardinella lemuru) based on size of length No 1. 2. 3. 4.
Panjang Total / Total Length (cm) < 11 11 – 15 15 – 18 > 18
Nama Lokal / Local Name Sempenit Protolan Lemuru Lemuru Kucing
Sumber/Source: Merta (1992) dan Wudianto (2002)
Hubungan Panjang Bobot Ikan lemuru yang dianalisis memiliki ukuran panjang 13 cm dan memiliki kisaran panjang cagak (FL) antara 13.0-20.0 cm dengan bobot tubuh berkisar antara 14,8-
Gambar 2. Hubungan panjang dan bobot ikan lemuru (S. lemuru); A) jantan dan B) betina Figure 2. Length-Weight relationship of Bali Sardinella (S.lemuru); A) males and B) females
85
A. Wujdi, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 83-89
Tabel 2. Hubungan panjang dan bobot ikan lemuru (S. lemuru) setiap bulan tahun 2010-2011 Table 2. Monthly length-weight relationship of Bali Sardinella (S. lemuru), 2010-2011 Jantan/ Males
Betina/ Females
Gabungan/ Combination
W=0,019 FL2,837 W=0,031 FL2,621 W=0,013 FL2,98 W=0,027 FL2,678 W=0,167 FL2,040 W=0,075 FL2,297 W=0,035 FL2,603 W=0,005 FL3,329 W=0,002 FL3,68 W=0,035 FL2,670 W=0,014 FL2,985 W=0,006 FL3,250
W=0,149 FL2,042 W=0,011 FL2,998 W=0,008 FL3,145 W=0,035 FL2,599 W=0,041 FL2,546 W=0,088 FL2,245 W=0,019 FL2,825 W=0,002 FL3,640 W=0,003 FL3,514 W=0,017 FL2,930 W=0,008 FL3,167 W=0,011 FL3,039
W=0,032 FL2,630 W=0,019 FL2,802 W=0,009 FL3,079 W=0,029 FL2,659 W=0,054 FL2,441 W=0,077 FL2,290 W=0,021 FL2,783 W=0,005 FL3,283 W=0,002 FL3,542 W=0,022 FL2,833 W=0,011 FL3,056 W=0,009 FL3,123
n/ number of sample 120 330 600 240 239 214 117 30 213 330 330 117
W=0,008 FL3,152
W=0,007 FL3,181
W=0,007 FL3,167
2850
Bulan/ Month
Faktor kondisi relatif/ Relative Conditions Factors
Rata-rata faktor kondisi relatif ikan lemuru (Sardinella lemuru) selama pengamatan adalah 1,11. Faktor kondisi relatif ikan lemuru mengalami fluktuasi berdasarkan bulan pengamatan. Nilai faktor kondisi relatif ikan lemuru dari bulan Agustus 2010 mengalami penurunan hingga mencapai titik terendah pada bulan Januari 2011 (0,95). Nilai faktor kondisi relatif kemudian mengalami peningkatan hingga mencapai nilai tertinggi pada bulan Oktober 2011 (1,28). Kemudian kembali mengalami penurunan hingga bulan Desember 2011 (Gambar 3). 1,3 1,25 1,2 1,15 1,1 1,05 1 0,95 0,9
Allometrik positif
1,15 1,1 1,05 1 0,95
13.0-14.0 14.0-15.0 15.0-16.0 16.0-17.0 17.0-18.0 18.0-19.0 19.0-20.0 Kelas Panjang/Range of Length (cmFL)
Gambar 4. Faktor kondisi relatif ikan lemuru (Sardinella lemuru) berdasarkan kelas panjang Figure 4. Relative condition factor of Bali sardinella (S. lemuru) based on range of length BAHASAN Struktur Ukuran
Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Aug Sep Oct Nov Dec 2010
2011 Bulan dan Tahun/Month and Year
Gambar 3. Variasi bulanan faktor kondisi relatif bulanan ikan lemuru (S. lemuru) tahun 2010-2011 Figure 3. Monthly variation of relative condition factors the Bali Sardinella (S. lemuru) in 2010-2011 Nilai faktor kondisi ikan lemuru menurut kelas panjang ikan lemuru berkisar antara 0,99-1,15. Faktor kondisi mencapai nilai tertinggi pada kelas panjang 15-16 cmFL sebesar 1,15, sedangkan nilai terendah terdapat pada kelas panjang 19-20 cmFL (Gambar 4). Nilai ini mengindikasikan bahwa kondisi ikan lemuru di perairan Selat Bali memiliki badan yang pipih hingga agak gemuk. 86
Allometrik negatif Allometrik negatif Allometrik positif Allometrik negatif Allometrik negatif Allometrik negatif Allometrik negatif Allometrik positif Allometrik positif Allometrik negatif Allometrik positif Allometrik positif
1,2
Faktor Kondisi
Faktor Kondisi Relatif/ Relative Condition Factors
Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Agustus September Oktober November Desember Gabungan/ Combination
Pola Pertumbuhan/ Growth Pattern
Komposisi ukuran ikan lemuru yang ditemukan adalah 2,45% sempenit; 36,62% protolan; 54,01% lemuru; dan 6,90% lemuru kucing. Ikan lemuru “protolan” dan “lemuru” dapat ditemukan hampir di setiap bulan pengamatan. Ikan lemuru berukuran kecil (sempenit) ditemukan pada bulan Agustus dan September tahun 2010; serta bulan Juli dan November tahun 2011 (Lampiran 1). Pada bulan Agustus 2010 dan Juli 2011 ukuran kelas panjang terkecil ikan lemuru yang tertangkap adalah sama, yaitu 8,5-9,0 cmFL, sedangkan pada bulan November 2011 berukuran lebih kecil yaitu 6,0-6,5 cmFL. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Setyohadi (2010), yaitu ikan berukuran kecil (sempenit) tertangkap pada bulan Juli. Menurut Wudianto (2002) ikan lemuru terkecil juga ditemukan dengan panjang cagak (FL) 6 cm pada bulan AgustusSeptember.
A. Wujdi, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 83-89
Hubungan Panjang dan Bobot Pertumbuhan ikan lemuru bersifat allometrik positif yaitu pertambahan ukuran bobot tubuh ikan lebih cepat daripada pertambahan ukuran panjang tubuhnya (ikan cenderung gemuk). Pola pertumbuhan allometrik positif ikan lemuru juga ditemukan Merta (1993); Merta & Badrudin (1992); Setyohadi et.al (1998); Wudianto (2002) di perairan Selat Bali. Menurut Setyohadi (2010), ikan lemuru jantan dan betina di Selat Bali memiliki pola pertumbuhan yang isometrik (b=3) dan pertambahan ukuran panjang seimbang dengan pertambahan bobot tubuhnya. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor dalam maupun faktor luar. Faktor dalam umumnya sulit dikontrol yang meliputi keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Faktor luar utama yang mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah ketersediaan makanan dan suhu perairan (Effendie, 2002). Gemuknya ikan lemuru pada periode bulan AgustusDesember diduga dipengaruhi oleh proses terjadinya kenaikan air laut (upwelling). Menurut Salijo (1973), proses upwelling di Selat Bali terjadi pada musim timur atau bulan April-Oktober yang ditandai dengan tingginya konsentrasi fosfat dan nitrat dalam zona eufotik sehingga mendukung perkembangan fitoplankton di perairan tersebut. Proses upwelling juga mengakibatkan perairan laut kaya akan nutrien dan sumber makanan. Melimpahnya dapat mendukung pertumbuhan organisme-organisme di perairan Selat Bali. Menurut Merta (1993) analisis hubungan panjang dan bobot dimaksudkan untuk mengukur variasi bobot harapan untuk panjang tertentu dari ikan secara individual atau kelompok-kelompok individu sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, perkembangan gonad, dan sebagainya. Kegunaan lain dari analisis hubungan panjang dan bobot yaitu dapat digunakan untuk melakukan estimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness, yang merupakan salah satu derivat penting dari pertumbuhan untuk membandingkan kondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu (Everhart & Youngs, 1981). Faktor Kondisi Salah satu derivat penting dari pertubuhan adalah faktor kondisi atau indeks ponderal atau sering disebut pula sebagai faktor K. Faktor kondisi menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Penggunaan nilai faktor kondisi secara komersiil mempunyai arti penting menentukan kualitas dan kuantitas daging ikan yang tersedia untuk dapat dimakan (Effendie 2002).
Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Menurut Merta (1993), nilai faktor kondisi relatif ikan lemuru tertinggi pada bulan September dan terendah pada bulan Juli. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak tertangkapnya ikan lemuru yang telah memijah (spent) dan puncak musim pemijahan ikan lemuru terjadi pada bulan Juli (Merta, 1992). Rendahnya nilai faktor kondisi relatif hasil pengamatan, pada bulan Januari 2011 menunjukkan bahwa ikan yang tertangkap berada pada kondisi yang kurang gemuk. Selain itu, banyaknya ikan muda (belum matang gonad) yang tertangkap juga mempengaruhi rendahnya nilai faktor kondisi relatif ikan lemuru pada bulan Januari 2011. Faktor kondisi mencapai nilai tertinggi pada bulan Oktober 2011. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh banyaknya ikan matang gonad yang tertangkap pada bulan Oktober 2011. Perbedaan nilai faktor kondisi relatif diinterpretasikan sebagai indikasi dari berbagai sifat-sifat biologi dari ikan tersebut, seperti kegemukannya, kesesuaian dari lingkungannya, dan perkembangan gonadnya (Le Cren 1951 dalam Merta 1993). Menurut Effendie (2002), ikan-ikan yang badannya kurang pipih atau montok memiliki harga K berkisar antara 1-3. Nilai faktor kondisi dari ikan lemuru yang lebih dari satu juga mengindikasikan bahwa contoh ikan yang diamati berada dalam kondisi yang baik dan dapat digunakan untuk konsumsi. Berdasarkan hasil pengamatan, nilai faktor kondisi relatif ikan lemuru berfluktuasi pada setiap kelas panjang dan bulan. Menurut Effendie (2002), perbedaan nilai faktor kondisi dipengaruhi oleh kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad, makanan, jenis kelamin, dan umur ikan. KESIMPULAN 1. Sebaran frekuensi panjang ikan lemuru didominasi ukuran 13-17 cmFL. Ikan lemuru berukuran kecil atau “sempenit” (<11 cmFL) tertangkap pada bulan Agustus dan September 2010 serta Juli dan November 2011. 2. Pola pertumbuhan ikan lemuru jantan dan betina bersifat allometrik positif (b>3) sehingga ikan dikatakan mampu tumbuh lebih gemuk. 3. Faktor kondisi relatif ikan lemuru berfluktuasi berdasarkan bulan pengamatan dan kelas panjang dengan nilai berkisar antara 0,95-1,28. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Lemuru di Selat Bali merupakan kerjasama penelitian antara Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kerajaan Norwegia pada tahun 2010-2011 yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Jakarta. 87
A. Wujdi, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 83-89
DAFTAR PUSTAKA Effendie, I. M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Bogor. 163 p. Everhart, W. H. & W. D. Youngs. 1981. Principles of Fishery Science. 2nd Edition. Comstock Publishing Associates, a Division of Cornell University Press. Ithaca and London. 349 p.
Sea. PELFIS. Marine and Fisheries Research Project. Jakarta. p. 137-144. Nurhakim, S. & I.G.S. Merta. 2004. Perkembangan dan Pengelolaan Perikanan Lemuru, Sardinella lemuru Bleeker 1853 di Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 10 (4): 53-63.
Jennings S., M. Kaiser, & J. D. Reynolds. 2001. Marine Fisheries Ecology. Alden Press Ltd. Blackwell Publishing. United Kingdom. 417 p.
Pauly, D. 1984. Fish Population Dynamics in Tropical Waters: a Manual For Use With Programmable Calculators. ICLARM Contribution No.143. ICLARM. Manila. 325 p.
Martosubroto, P.,N. Naamin & S. Nurhakim. 1986. Menuju Manajemen Perikanan Lemuru yang Rasional. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (35): 59-66.
Salijo, B. 1973. Keadaan Oseanografi daerah-daerah penangkapan ikan lemuru di Selat Bali. Laporan Penelitian Perikanan Laut. 42 : 1-17.
Manik, N. 2009. Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi Ikan Layang (Decapterus russelli) dari Perairan Sekitar Teluk Likupang Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 35 (1): 65-74.
Setyohadi, D., D.O. Sutjipto, & DGR. Wiadnya, 1998. Dinamika populasi ikan lemuru (Sardinella lemuru) serta Alternatif Pengelolaannya. Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Hayati. 10 (1): 91-104.
Merta, I. G. S. & Badrudin. 1992. Dinamika Populasi dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Lemuru di Perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (65): 1-9.
Setyohadi, D. 2010. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Selat Bali: Analisis Simulasi Kebijakan Pengelolaan 2008-2020. Disertasi (Tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. 339 p.
Merta, I.G.S. 1992. Dinamika Populasi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan Selat Bali. Disertasi (Tidak dipublikasikan). IPB. Bogor. 201 p. __________. 1993. Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi Ikan Lemuru, Sardinella lemuru Bleeker 1853) dari perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (73): 35-44. Merta, I.G.S. & M. Eidman, 1994, Predicted Biomass, Yield and Value of The Lemuru (Sardinella lemuru) Fishery in Bali Strait. BIODYNEX: Biologi, Dinamies, Exploitation Of The Small Pelagic Fishes In Java
88
Suwarso. 2010. Recording of Catch Landings and Fishery Modeling. Sampling Procedure. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Balitbang Kelautan dan Perikanan. 3 p. Wudianto. 2002. Ukuran Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali Berdasarkan Waktu dan Daerah Penangkapan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 8 (1): 103-111.
A. Wujdi, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 83-89
Lampiran 1. Struktur ukuran ikan lemuru (S. lemuru) tertangkap pada bulan Agustus 2010 sampai Desember 2011. Appendix 1. Size stucture of Bali sardinella (S. lemuru) caught from August 2010 to December 2011
Aug 2010 n = 427
Sep 2010 n = 968
Okt 2010 n = 1453
Nov 2010 n = 549
Des 2010 n = 300
Jan 2011 n = 512
Feb 2011 n = 217
Apr 2011 n = 52
Jul 2011 n = 349
Aug 2011 n = 408
Sep 2011 n = 555
Okt 2011 n = 695 Nov 2011 n = 1074
Des 2011 n = 411
Mar 2011 n = 123
89
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 91-96
PARAMETER POPULASI IKAN KADAH (Valamugil speigleri) SEBAGAI INDIKATOR PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERAIRAN ESTUARIA DI PEMALANG POPULATION PARAMETERS OF SPILGLER’S MULLET (Valamugil speigleri) IN AS AN INTENSITY INDICATOR OF UTILIZATION OF ESTUARIES WATERS RESOURCES IN PEMALANG, CENTRAL JAVA Adrian Damora dan Karsono Wagiyo Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 3 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 15 Agustus 2012; Disetujui terbit tanggal: 16 Agustus 2012
ABSTRAK Kemungkinan intrusi air laut, perubahan musim, penurunan hasil pertambakan, abrasi air laut yang cukup parah dan rhob besar di Kabupaten Pemalang diperkirakan akan mengancam kelestarian ekosistem mangrove, termasuk ikan-ikan estuari diantaranya adalah ikan Kadah (Valamugil speigleri). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan status populasi ikan Kadah di perairan estuaria Pemalang. Penelitian dilakukan pada bulan Juni– Nopember 2010. Sebanyak 753 ekor contoh ikan Kadah yang diambil secara acak dari berbagai alat tangkap di TPI Ketapang, Kabupaten Pemalang. Data yang diperoleh diolah dengan aplikasi model analitik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan Kadah bersifat allometrik negatif, dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan beratnya. Rata-rata panjang ikan Kadah tertangkap adalah 14,48 cm. Laju pertumbuhan (K) ikan Kadah 0,98/tahun dan panjang total maksimum (L”) sebagai 21,53 cm. laju kematian total (Z) ikan Kadah 5,56/tahun dan laju kematian alamiah (M) 2,00/tahun, sementara laju kematian karena penangkapan (F) 3,56/tahun, serta laju pengusahaan (E) sekitar 0,64/tahun. Laju pengusahaan ikan Kadah sudah berada dalam keadaan jenuh (fully exploited) yang menandakan intensitas pemanfaatan sumber daya perikanan estuaria yang tinggi. KATA KUNCI: Populasi, ikan Kadah, estuaria, Pemalang ABSTRACT: Sustainability of Pemalang mangrove ecosystems and their estuarine fish such as, Speigler’s mullet (V. speigleri) could be threaten by salt water intrusion, seasonal change, sea water abrasion and highest water tide. Therefore, a study aimed to identify the population status of Speigler’s mullet in Pemalang estuarine was conducted from June to Nopember 2010. Approximately 753 samples of Speigler’s mullet were collected from varieties of fishing gears at Ketapang fish landing area (site), Pemalang. The data were analyzed using the analytical model application. The results showed that Speigler’s mullet has a negative allometric growth indicating growth of fish length faster than its weight. The average length of Speigler’s mullet captured was 14,48 cm. Other biological parameters of Speigler’s mullet such as growth rate (K), maximum total length (L”), total mortality rate (Z), natural mortality rate (M), fishing mortality rate (F) and exploitation rate (E) were 0,98/year, 21,53 cm, 5,56/year, 2,00/year, 3,56/year and 0,64/year, respectively. The exploitation rate of Speigler’s mullet in Pemalang waters was high. It suggests that estuaries resources utilization was already high. KEYWORDS: Population, Speigler’s mullet, estuaries, Pemalang
PENDAHULUAN Kabupaten Pemalang merupakan salah satu kabupaten yang berada di pesisir utara Pulau Jawa dengan luas wilayah 11.530 km2 dengan panjang pantai kurang lebih 34,6 km. Sebagian besar wilayah pesisir merupakan kawasan pertambakan, hutan bakau (mangrove) serta tanaman pantai untuk perlindungan penanggulangan abrasi. Kabupaten Pemalang pada tahun 2004 memberikan konstribusi volume produksi perikanan laut Jawa Tengah
sebesar 11.465 ,3 ton (4,69%) dengan nilai produksi sebesar Rp. 39.005.920 (4,73 %) atau pada urutan ke-6 dari seluruh kabupaten di Jawa Tengah yang berbatasan dengan lautan (Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah, 2005). Permasalahan yang ada di pesisir Kabupaten Pemalang saat ini adalah kemungkinan telah terjadinya intrusi air laut, perubahan musim, penurunan hasil pertambakan, abrasi air laut yang cukup parah, dan rhob besar yang sering terjadi (Sahlan et al., 2010). Hal ini tentunya akan mengancam kelestarian ekosistem mangrove, termasuk
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung Komplek Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman-Jakarta Utara. Email :
[email protected]
91
A. Damora, K. Wagiyo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 91-96
ikan-ikan estuaria yang ada termasuk diantaranya adalah Ikan Kadah (V. speigleri). Ikan Kadah termasuk ke dalam famili Mugilidae yang sering disebut sebagai ikan circum global. Ikan ini dapat hidup pada kedalaman dan salinitas yang tinggi (Karna et al., 2011). Ikan Kadah memiliki panjang maksimal 35 cm TL dengan panjang rata-rata 17,5 cm TL (Harrison & Senou, 1997), dapat hidup pada perairan laut, tawar dan payau (McDowall, 1997). Penyebarannya meliputi Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Timur, Indonesia sampai dengan Papua Nugini (Thomson, 1984). Di antara ikan-ikan laut dan payau, jenis ikan dari famili Mugilidae mempunyai prospek yang paling baik untuk dibudidayakan. Hal ini disebabkan penyebarannya yang luas, mampu menoleransi suhu dan salinitas yang ekstrim dan dapat menyesuaikan terhadap keadaan makanan di berbagai macam habitat (Effendie, 1984).
Untuk mencegah penurunan populasi akibat penangkapan diperlukan satu informasi tentang sumber daya perikanan ikan Kadah yang menunjang ke arah pelestarian dan pengembangannya, salah satunya adalah aspek dinamika populasi. Tulisan ini bertujuan mengetahui dinamika populasi ikan Kadah di perairan Pemalang dan sekitarnya dan diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk pengelolaan sumber daya ikan Kadah yang berkelanjutan di perairan Pemalang. BAHANDANMETODE Penelitian didasarkan pada data hasil pengambilan contoh ikan Kadah (V. speigleri) di perairan estuaria Pemalang pada bulan Juni-Nopember 2010 dengan metode survei. Sebanyak 753 ekor contoh ikan diambil secara acak dari berbagai alat tangkap di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Ketapang sebanyak enam kali pengambilan yang mewakili setiap bulannya.
Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Figure 1. Research site in Pemalang, Central Java. Pengamatan biometrik ikan yang dilakukan meliputi pengukuran panjang total (total length) dan berat total (total weight). Hubungan panjang-berat dianalisa menggunakan persamaan eksponensial sebagai berikut (Lagler, 1972; Jennings et al., 2001) :
Untuk mempermudah perhitungan, maka persamaan di atas dikonversi ke dalam bentuk logaritma sehingga menjadi persamaan linear sebagai berikut (Jennings et al., 2001) :
W = aLb ......................................................................... (1
Hubungan panjang-berat dapat dilihat dari nilai konstanta b, jika b = 3, maka hubungannya bersifat isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan berat), jika b 3, maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik (pertambahan panjang tidak sebanding dengan pertambahan berat). Untuk menentukan bahwa nilai b = 3 atau b 3, maka digunakan uji-t (Walpole, 1993).
di mana : W L a dan b
92
= berat total ikan (gram) = panjang cagak ikan (cm) = konstanta hasil regresi
loge W = loge a + b loge L ........................................ (2
A. Damora, K. Wagiyo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 91-96
Parameter pertumbuhan (K dan L ) ditentukan dengan metode ELEFAN (Gayanilo et al., 1994) didasari melalui persamaan von Bertalanffy (1934) in Sparre & Venema (1992) sebagai berikut: Lt = L di mana: Lt L K
dengan laju kematian alamiah (M) atau F=Z-M dan laju pengusahaan (E) dihitung sebagai E=F/Z (Sparre & Venema, 1992). Rata-rata panjang ikan tertangkap diturunkan dari 50% kumulatif frekuensi sebaran ukuran (Atmaja & Nugroho, 2004).
(1 – e –K (t – to)) ................................................ (4 HASIL DAN BAHASAN = panjang ikan saat umur ke-t (cm) = panjang asimtotik ikan (cm) = laju pertumbuhan ikan
HASIL Stuktur Ukuran dan Hubungan Panjang-Berat Ikan
Kemudian dengan mengestimasi melalui metode Gulland & Holt (1959) in Sparre & Venema (1992), persamaan di atas diturunkan menjadi persamaan berikut: = KL– K
......................................... (5
Pengukuran panjang total (TL) dan berat ikan Kadah dilakukan terhadap 753 ekor. Sebaran ukuran panjang total berkisar antara 9,5-21,1 cm (Gambar 2), dengan berat berkisar antara 10-98 gram.
dengan menganggap sebagai y, KL sebagai a dan K sebagai b, maka nilai L dapat diestimasi melalui persamaan:
L
a ................................................................... (6 b
dan nilai K diestimasi melalui persamaan: K = –b ........................................................................... (7 Laju kematian total (Z) diduga dengan metode kurva hasil tangkapan (catch curve) yang menggunakan slope (b) dan Ln N/t dengan umur relatif sesuai dengan rumus Pauly (1980) sebagai berikut: Ln N/t = a – Zt ............................................................ (8 di mana: N t
= banyaknya ikan pada waktu t = waktu yang diperlukan untuk tumbuh suatu kelas panjang = hasil tangkapan yang dikonversikan terhadap panjang
a
Sementara itu kematian alamiah Ikan Kadah diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) sebagai berikut: Log M= -0,0066-0,279 Log + 0,654 Log K + 0,4534 Log T
....... (9
di mana: M L K T
= laju kematian alamiah = panjang total maksimum (cm) = laju pertumbuhan (cm/tahun) = suhu (oC)
Untuk nilai laju kematian karena penangkapan diperoleh dengan mengurangi laju kematian total (Z)
Gambar 2. Distribusi frekuensi panjang total ikan Kadah (Valamugil speigleri) di perairan estuaria Pemalang. Figure 2. Total length frequency distribution of Speigler’s mullet (Valamugil speigleri) in estuaries waters of Pemalang.
Gambar 2 juga menunjukkan bahwa struktur ukuran panjang ikan Kadah yang tertangkap cenderung menyebar normal dengan modus panjang sebesar 15,5 cm. Hal ini menunjukkan bahwa ikan Kadah yang tertangkap didominasi oleh satu kohort dengan modus panjang 15,5 cm TL. Penelitian pada jenis ikan yang sama di laguna Chilika, India pada bulan September 2007-Agustus 2008 menunjukkan ikan Kadah yang tertangkap berada pada kisaran panjang cagak 0,3-16 cm (Karna et al., 2011). Berdasarkan dua informasi di atas, dapat diduga bahwa ikan Kadah berukuran relatif kecil. Rata-rata panjang ikan Kadah yang tertangkap didapatkan sebesar 14,48 cm. Pengukuran ini merupakan hal yang penting untuk dipelajari bila dihubungkan dengan rata-rata panjang ikan saat matang gonad. Hasil analisis hubungan antara panjang dan berat ikan Kadah menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan Kadah 93
A. Damora, K. Wagiyo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 91-96
mengikuti persamaan W = 0,0192L2,7738 (N=753; r=0,9147) (Gambar 3). Setelah dilakukan uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05), didapatkan pola pertumbuhan ikan Kadah bersifat allometrik negatif, yang berarti pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan beratnya. Sifat pertumbuhan seperti ini sama dengan hasil penelitian pada jenis ikan yang sama di laguna Chilika, India dengan nilai b sebesar 2,6342 (Karna et al., 2011). Penelitian pada jenis Mugil cephalus di perairan Ujung Pangkah juga menunjukkan sifat allometrik negatif dengan nilai b sebesar 2,92 (betina) dan 2,72 (jantan) (Sulistiono et al., 2001).
Gambar 3. Hubungan panjang-berat ikan Kadah (Valamugil speigleri) di perairan estuaria Pemalang, 2010. Figure 3. Length-weight relationship of Speigler’s mullet (Valamugil speigleri) in estuaries waters of Pemalang, 2010.
Kadah di perairan estuaria Pemalang adalah 0,64. Kriteria Pauly et al. (1984) mengatakan bahwa nilai laju pemanfaatan yang rasional dan lestari di suatu perairan berada pada nilai E<0,5 atau paling tinggi pada nilai E=0,5. Nilai E ikan Kadah menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan di perairan estuaria Pemalang tergolong tinggi dan bahkan sudah mengarah pada tekanan penangkapan yang berlebih. Meskipun jenis ikan ini merupakan ikan non-ekonomis penting, namun apabila kondisi ini terus dibiarkan tanpa dilakukan upaya penataan pemanfaatan ikan Kadah, maka dapat diduga dalam jangka panjang sumber daya ikan Kadah akan terancam kelestariannya.
Gambar 4. Penyebaran frekuensi panjang total ikan Kadah yang dirunut dengan ELEFAN. Figure 4. Total length frequenly distribution of Speigler’s mullet and growth curves fitted by ELEFAN.
Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian Dengan merunut data frekuensi panjang total dari bulan ke bulan (Gambar 4), diperoleh laju pertumbuhan (K) Ikan Kadah di perairan estuaria Pemalang adalah 0,98/ tahun dan panjang total maksimum (L ) adalah 21,53 cm. Nilai K Ikan Kadah yang kurang dari satu menunjukkan bahwa ikan ini mempunyai pertumbuhan yang lambat (Gulland, 1983; Naamin, 1984). Selanjutnya dengan menggunakan parameter pertumbuhan ikan Kadah, dihitung nilai dugaan Z dan diperoleh nilai Z sebesar 5,56/tahun (Gambar 5). Nilai dugaan laju kematian alamiah (M) dan nilai dugaan laju kematian karena penangkapan (F) ikan Kadah masingmasing adalah 2,00/tahun dan 3,56/tahun.
Gambar 5. Nilai Z sebagai slope kurva hasil tangkapan ikan Kadah di perairan estuaria Pemalang. Figure 5. The value of total mortality (Z) of Speigler’s mullet in estuaries waters of Pemalang.
Laju Pemanfaatan BAHASAN Dengan menggunakan nilai laju kematian karena penangkapan (F) dan nilai laju kematian total (Z) yang telah dihitung, didapatkan nilai laju pemanfaatan (E) ikan 94
Variasi nilai b pada hubungan panjang-berat menunjukkan pertumbuhan yang bersifat relatif artinya
A. Damora, K. Wagiyo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 91-96
dapat berubah menurut waktu. Apabila terjadi perubahan terhadap lingkungan dan ketersediaan makanan diperkirakan nilai ini juga akan berubah. Selain itu, variasi nilai b disebabkan oleh berbagai faktor, seperti jumlah contoh ikan yang diukur (semakin banyak contoh akan semakin akurat), kondisi perairan dan musim (Gokhan et al., 2007 dalam Karna et al., 2011). Meskipun dipengaruhi terutama pada bentuk dan kegemukan dari masing-masing spesies, variasi nilai b juga disebabkan berbagai faktor, seperti suhu, salinitas, makanan (kuantitas, kualitas dan ukuran), jenis kelamin, tahap kematangan gonad, dan kelestarian habitat (Gulland, 1983; Sparre & Venema, 1992; Mourad, 2008 in Karna et al., 2011). Laju pertumbuhan ikan Kadah yang lambat sangat mempengaruhi pola pemanfaatannya. Untuk mencapai pola pemanfaatan yang lestari, perlu dipertimbangkan waktu yang tepat untuk menangkap ikan, baik ditinjau dari sumber dayanya maupun segi ekonominya. Ikan-ikan yang berumur muda harus dibiarkan tumbuh dewasa terlebih dahulu sebelum ditangkap. Penangkapan ikan-ikan muda yang berlebihan akan mengakibatkan kelebihan tangkap pertumbuhan (growth overfishing). Hal ini juga menyebabkan kelebihan tangkap penambahan baru (recruitment overfishing), karena ikan-ikan muda yang belum sempat dewasa dan bertelur sudah tertangkap terlebih dahulu sehingga kehilangan kesempatan untuk penambahan baru (recruitment). Hasil penelitian yang dilakukan Sulistiono et al. (2001) terhadap jenis Mugil dussumieri di perairan Ujung Pangkah menunjukkan nilai K sebesar 0,82/tahun. Sementara Pauly (1988) menemukan nilai K Mugil cephalus sebesar 0,435/tahun. Faktor lingkungan perairan estuaria di Pemalang diduga sangat rnendukung kecepatan pertumbuhan ikan Kadah. Hal ini terlihat dari nilai K yang lebih besar dibandingkan nilai K M. dussumieri dan M. cephalus. Selain faktor lingkungan, diduga makanan tersedia cukup banyak sehingga pertumbuhannya lebih cepat. Laju kematian karena penangkapan (F) bervariasi menurut keragaman upaya penangkapan (f) setiap tahunnya. Nilai F menunjukkan seberapa besar dan meningkatnya tekanan penangkapan (fishing pressure) terhadap stok ikan di suatu perairan (Suman & Boer, 2005). Informasi mengenai parameter populasi ikan Kadah masih terbatas sehingga belum didapatkan perbandingan nilai F dari perairan lain. Namun, nilai F yang ada mengindikasikan bahwa tekanan penangkapan ikan Kadah di perairan Pemalang berada dalam keadaan yang intensif, mengingat ikan ini merupakan hasil tangkapan sampingan (by catch) dari berbagai alat tangkap di perairan estuaria Pemalang.
tahun ke tahun (Pauly et al., 1984). Hal ini menyebabkan laju kematian total (Z) dari tahun ke tahun lebih banyak ditentukan oleh laju kematian karena penangkapan (F) dibandingkan laju kematian alamiah (M). KESIMPULAN 1. Pertumbuhan ikan Kadah bersifat allometrik negatif, dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan beratnya. 2. Ikan Kadah di perairan Pemalang memiliki laju pertumbuhan dan laju kematian yang agak lambat. 3. Laju pemanfaatan ikan Kadah di perairan Pemalang sudah berada dalam keadaan jenuh dan cenderung sudah mengarah pada tekanan penangkapan yang berlebih. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil penelitian karakteristik habitat, sediaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan estuaria di pantai utara Jawa, T. A. 2010, di Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S. B. & D. Nugroho. 2004. Karakteristik parameter populasi ikan siro (Amblygaster sirm, Clupeidae) dan model terapan Beverton dan Holt di Laut Natuna dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 10(4): 21-27. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah. 2005. Buku Pintar Perikanan. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah. 124 p. Effendie, M. I. 1984. Penilaian perkembangan gonad ikan belanak, Liza subviridis Valenciennes, di perairan muara sungai Cimanuk, Indramayu, bagi usaha pengadaan benih. Disertasi. Doktor pada Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.136 p. Gayanilo Jr., F. C., Sparre, P. & Pauly, D. 1994. The FAOICLARM Stock Assessment Tools FISAT User’s Guide. FAO Computerized Information Series Fisheries. No. 6. Rome. FAO. 186 p. Gulland, J. A. 1983. Fish stock assessment. A Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons. Chicester. 233 p. Harrison, I. J. & H. Senou. 1997. Order Mugiliformes. Mugilidae. Mullets. p. 2069-2108. In K. E. Carpenter & V. H. Niem (eds.) FAO species identification guide for fishery purposes. The living marine resources of the
Variasi laju kematian alamiah (M) dari satu jenis ikan tidak terlalu besar, biasanya nilainya dianggap tetap dari 95
A. Damora, K. Wagiyo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 91-96
Western Central Pacific. Volume 4. Bony fishes part 2 (Mugilidae to Carangidae). FAO, Rome. 137 p. Jennings S., M. Kaiser, & J. D. Reynolds. 2001. Marine Fisheries Ecology. Alden Press Ltd. Blackwell Publishing. United Kingdom. 417 p. Karna, S. K., S. Panda & B. C. Guru. 2011. Length-weight relationship (Lwr) and seasonal distribution of Valamugil speigleri (Valancienues) through size frequency variation and landing assessment in Chilika Lagoon, India. Asian J. Exp. Biol. Sci. 2(4): 654-662. Lagler, K. F. 1972. Freshwater Fishery Biology. W.M.C. Brown Company Publisher. Dubuque, Iowa. 421 p.
234. Fishing News Book Limited. Farnham-SurreyEngland. Pauly, D. 1988. Fisheries research and the demersal fisheries of Southeast Asia. p:329-348 in J.A. Gulland (ed.) Fish population dynamics (second edition). John Wiley & Sons. New York. Sahlan, M., Giyanto, Rohmat & Eko B. P. 2010. Kajian baseline data desa-desa pantai Kabupaten Pemalang. Wetlands International–Indonesia Programme. Bogor. 35 p.
McDowall, R. M. 1997. The evolution of diadromy in fishes (revisited) and its place in phylogenetic analysis. Rev. Fish Biol. Fish. 7(4): 443-462.
Sparre, P. & S. C. Venema. 1992. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1: Manual. Organisasi Pangan dan Petanian Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 p.
Naamin, N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di perairan Arafura dan alternatif pengelolaannya. Disertasi. Doktor pada Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertaanian Bogor. Bogor. 381 p.
Suman, A. & M. Boer. 2005. Ukuran pertama kali matang kelamin, musim pemijahan, dan parameter pertumbuhan udang dogol (Metapenaeus ensis de Haan) di perairan Cilacap dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11(2): 69-74.
Pauly, D. 1980. A selection of a simple methods for the assessment of the tropical fish stocks. FAO Fish. Circ. FIRM/C 729. Roma. 54 p.
Sulistiono, M. Arwani, & K. A. Azis. 2001. Pertumbuhan ikan belanak (Mugil dussumieri) di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia. 1(2): 39-47.
Pauly, D., J. Ingles, R. Neal. 1984. Application to shrimp stocks of objective methods for the estimation of growth, mortality, and recruitment related parameters from length frequency data (ELEFAN I and II). In Penaeid Shrimp-Their Biology and Management. 220-
Thomson, J. M. 1984. Mugilidae. In W. Fischer & G. Bianchi (eds.) FAO species identification sheets for fishery purposes. Western Indian Ocean fishing area 51. Vol. 3. [pag. var.]. FAO, Rome. 254 p. Walpole, R.E. 1993. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 p.
96
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 97-103
HUBUNGAN PANJANG-BOBOT SIPUT LOLA (Trochus niloticus) DI PERAIRAN KECAMATAN SAPARUA, MALUKU TENGAH LENGTH-WEIGHT RELATIONSHIP LOLA SNAIL (Trochus niloticus) AT SAPARUA DISTRICT WATERS, CENTRAL MOLUCCAS Andrias Steward Samu Samu1), J.A. Pattikawa2) dan Pr.A. Uneputty2) 1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, 2) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon. Teregistrasi I tanggal: 19 Februari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 9 Agustus 2012; Disetujui terbit tanggal: 10 Agustus 2012
ABSTRAK Siput lola (Trochus niloticus) adalah jenis siput laut yang berukuran besar, hidup di daerah terumbu karang pada daerah pasang surut. Populasi siput lola terus mengalami penurunan sebagai akibat dari eksploitasi yang terus meningkat. Penelitian ini dilakukan di dua desa, Desa Siri Sori Amapatty yang menerapkan sistim sasi dan Desa Porto yang tidak menerapkan sistim sasi, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. Sampel siput lola yang dianalisis, dikoleksi secara bebas dengan cara penyelaman dan pengumpulan siput pada daerah intertidal. Distribus frekuensi panjang dan analisis kohort siput lola menunjukan bahwa siput lola berukuran besar dan berusia dewasa ditemukan di Desa Siri Sori Amapatty sedangkan Desa Porto sebaliknya. Hubungan panjang bobot menunjukan pola pertumbuhan siput lola jantan di Desa Siri Sori Amapatty adalah isometrik dan betinanya alometrik positif. Pola pertumbuhan alometrik negatif ditemukan pada siput lola jantan dan betina di Desa Porto. Analisis rasio kelamin siput lola jantan terhadap betina di kedua desa masing-masing 1:3 dan 1:2. Perbedaan frekuensi panjang, hubungan panjang bobot dan kohort dari siput lola yang hidup di kedua desa tersebut memperlihatkan keefektifan sasi dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. KATA KUNCI : Trochus niloticus, hubungan panjang-bobot, sasi, Maluku Tengah. ABSTRACT: Lola snail (Trochus niloticus)is a type of large sea snail, inhabits the tidal area of coral reef. Snail population decline steadily as a result of increasing exploitation. This research was conducted in two villages, the Siri Sori Amapatty which apply sasi system and the Porto which do not apply the system, Saparua, central of Moluccas. The lola snail sample collected randomly by divers within intertidal areas. Length frequency distribution and cohort analysis of lola snails show that large sea snail that mature can be found in the Siri Sori Amapatty vilage where as in the Porto vilage the lola snails were smaller and inmature. Length-weight relationship shows that growth characteristic of male lola snail at Siri Sori Amapatty is isometric and female is positive alometric. Negative alometric characteristic growth found in male and female snail lola at Porto. Sex ratio analysis of male and female lola snails are 1:3 and 1:2. The difference in length frequency, length-weight and cohort in lola snail in those two villages shows that efectiveness of sasi in the resources management. KEYWORDS: Trochus niloticus, length-weight relationship, sasi, Central Moluccas.
PENDAHULUAN Siput lola (Trochus niloticus) sejak dulu telah dieksploitasi untuk dikonsumsi oleh masyarakat karena dagingnya memiliki kandungan protein yang tinggi sedangkan cangkang siput lola memiliki lapisan mutiara (mother of pearl) yang bermutu tinggi karena ketebalan dan kilapan yang tahan lama. Dilain pihak, cangkang siput lola dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai jenis industri seperti cat kuku, kancing baju dan perhiasan (Moorhouse, 1932). Eksploitasi siput lola di Maluku mengalami peningkatan yang signifikan sejak tahun 1979-1991. Peningkatan
eksploitasi yang signifikan dipengaruhi oleh adanya permintaan pasar yang meningkat terhadap cangkang siput lola dari beberapa negara seperti Jepang, Singapura, Taiwan, China, dan Italia (Arifin, 1993). Eksploitasi yang terus meningkat ini mengancam kelestarian dan sediaan alami siput lola di wilayah propinsi Maluku, khususnya daerah-daerah yang berdekatan dengan pusat ekonomi seperti di Pulau Saparua dan Kepulauan Banda, Maluku Tengah (Anonymous, 1994). Peningkatan eksploitasi siput lola dapat dikendalikan dengan sistem pengelolaan yang dikembangkan dari suatu nilai estimasi hubungan panjang bobot siput tersebut, dimana hubungan panjang bobot siput lola dan distribusi panjangnya diperlukan dalam konversi statistik hasil tangkapan dari panjang ke berat
Korespondensi penulis : Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Email:
[email protected] Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur-Jakarta Utara 14430
97
A.S. Samu Samu, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 97-103
atau sebaliknya dan untuk mengetahui faktor kondisi yang menunjukan kegemukan relatif atau well-being dari suatu organisme (Merta, 1993). Kegiatan perikanan siput lola di Pulau Saparua, yaitu Desa Siri Sori Amapatty dan Desa Porto, memiliki perbedaan yang sangat mencolok dari segi pengelolaannya. Pada Desa Siri Sori Amapatty pengelolaan sumberdaya siput lola didasarkan pada sistem sasi yang melarang pengambilan lola pada periode tertentu dan menetapkan batas ukuran minimal yang boleh ditangkap, sedangkan di Desa Porto, pengelolaan sumberdaya lola tidak berdasarkan sasi (Samu, 2007). Sasi adalah sistem pengelolaan tradisional yang mengacu pada aturan adat dengan tujuan pemeliharaan lingkungan dan perlindungan
terhadap sumberdaya. Sasi secara tegas mengatur tentang periodik dan ukuran tertentu siput lola yang boleh dipanen di suatu wilayah perairan laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara panjang dan bobot lola pada perairan kedua desa yang secara tidak langsung berhubungan dengan keefektifan sasi bagi pengelolaan sumberdaya siput lola secara berkelanjutan. BAHANDANMETODE Penelitian dilakukan selama enam bulan (MeiNovember 2007) di perairan Desa Siri Sori Amapatty dan Desa Porto, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah (Gambar 1).
Siri Sori Amapatty Porto
Gambar 1. Lokasi penelitian siput lola (Trochus niloticus) di Desa Siri Sori Amapatty dan Desa Porto Figure 1. Location of research lola snail (Trochus niloticus) at Siri Sori Amapatty and Porto Vilage Koleksi sampel dilakukan dengan dua cara yaitu, penyelaman sampai kedalaman enam meter dengan menggunakan snorkeling dan koleksi sepanjang intertidal dengan jarak ± 1 km. Siput lola langsung diambil dari substratnya dengan menggunakan tangan kemudian dimasukan ke dalam kantung plastik dan diberi label. Sampel yang tekumpul kemudian diukur basal diameter cangkang dengan menggunakan kaliper manual dan ditimbang bobotnya dengan menggunakan neraca digital, ketelitian 0,1 gram. Sampel kemudian diawetkan dengan formalin 4% dan alkohol 70% untuk kepentingan analisis gonad di laboratorium (Rao, 1937). Analisis Data Data disusun dalam bentuk tabel ditsribusi frekuensi untuk mengestimasi nilai rerata (X) dan simpangan baku sampel (SD) (Efendi, 1979).
98
Hubungan panjang bobot dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Fowler & Cohen, 2003: W = aLb Dalam bentuk linear: Log W = Log a + b Log L dimana: W = Berat siput L = Panjang siput a dan b = Konstanta
A.S. Samu Samu, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 97-103
Nilai konstanta b yang diperoleh dari persamaan regresi hubungan panjang bobot digunakan untuk melihat pertumbuhan. Nilai b yang didapat pada umumnya berkisar sekitar tiga (Fowler & Cohen, 2003). Apabila nilai b sama dengan tiga, maka pertumbuhannya isometris, yaitu pertumbuhan dengan bentuk tubuh dan berat jenisnya tidak berubah selama proses pertumbuhannya. Jika nilai b tidak sama dengan tiga pertumbuhannya alometris. Uji statistik dan nilai b dilakukan dengan t-student (Efendi, 1979).
SDx b 3 x SDy 1 R 2
tˆ
x
n2
O = Frekuensi yang diobservasi E = Frekuensi yang diharapkan Kelompok umur (kohort) dianalisis dengan menggunakan metode Bhattacharya (1967) dalam (Rao, 1937). Metode Bhattacharya merupakan salah satu opsi dari paket FISAT (Fish Stock Assesment Tools). Metode Bhattacharya bertujuan untuk memecah distribusi frekuensi panjang menjadi kurva normal. Pemakaian metode ini perlu didukung oleh asumsi bahwa sampel yang memiliki ukuran yang hampir sama merupakan suatu kelompok umur (kohort) karena pertumbuhan individu pada suatu kohort cenderung hampir sama.
Penentuan jenis kelamin dilakukan dengan memecahkan bagian apeks cangkang dan mengamati warna gonad. Gonad jantan berwarna putih sampai krem dan ovarium siput lola betina berwarna hijau tua (Paully, 1984).
HASIL DAN BAHASAN
Untuk menguji rasio kelamin digunakan uji Chi-square (Fowler & Cohen, 2003). ( tabel (db=1;α=0,05:3,384 dan α=0,01:6,63).
Siput lola hasil pengambilan contoh di Desa Siri Sori Amapatty berjumlah 189 individu dan Desa Porto 136 individu. Sampel siput lola di desa Siri Sory Amapatty dengan cangkang terkecil yaitu berukuran 20 mm dan terbesar 109 mm sedangkan, sampel siput lola di Desa Porto yang berukuran kecil yaitu 36,3 mm dan cangkang terbesarnya 99 mm (Tabel 1).
HASIL Distribusi Frekuensi Panjang
Dimana: χ2 = Chi square Tabel 1. Jumlah individu hasil pengambilan contoh dan kisaran panjang diameter siput lola (Trochus niloticus) pada Desa Siri Sori Amapaaty dan Desa Porto Table 1. Number of individual was sampled and range of lenght diameter for snail lola (Trochus niloticus) at Siri Sori Amapatty and Porto Vilage
Lokasi Desa Siri Amapatty Desa Porto
Sori
Jumlah Individu <60 mm ≥60 mm Total (%) (%) 189 22,2 77,8 136
50,7
49,3
Hubungan Panjang-Bobot Hasil analisis hubungan panjang bobot siput lola di Desa Siri Sori Amapatty dan Desa Porto dilakukan dengan dua cara yaitu: 1). untuk siput lola betina saja, 2). Untuk siput lola jantan saja (Gambar 2 dan 3). Perbandingan Kelamin Hasil pengambilan sampel siput lola di Desa Siri Sori Amapatty diperoleh 48 individu jantan (25,4%) dan 141 individu betina (74,6%) dengan rasio kelamin 1:3. Dari Desa
Diameter terkecil (mm) 20
Diameter terbesar (mm) 109
Diameter rata-rata (mm) 69,8
36,3
99
56,4
Standar Deviasi 20,6 13,4
Porto diperoleh 47 individu jantan (34,56%) dan 89 individu betina (65,44%) dengan rasio kelamin 1:2 (Tabel 2). Kelompok Umur Hasil analisis menunjukan bahwa di Desa Siri Sori Amapatty diperoleh enam buah kurva normal dan untuk Desa Porto diperoleh empat buah kurva normal (Tabel 3). Banyaknya kurva normal yang dihasilkan menggambarkan banyaknya kelompok umur dari suatu populasi yang sedang dipelajari (Gambar 4 dan 5).
99
A.S. Samu Samu, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 97-103
Gambar 2. Persamaan hubungan panjang bobot siput lola (Trochus niloticus) di Desa Siri Sori Amapatty Figure 2. Length weight relationship of lola snail (Trochus niloticus) at Siri Sori Amapatty Vilage
Gambar 3. Persamaan hubungan panjang bobot siput lola (Trochus niloticus) di Desa Porto Figure 3. Length weight relationship of lola snail (Trochus niloticus) at Porto Vilage Tabel 2. Perbandingan Kelamin siput lola (Trochus niloticus) pada Desa Siri Sori Amapatty dan Desa Porto Table 2. Sex ratio of lola (Trochus niloticus) at Siri Sory Amapatty and Porto Vilage
Lokasi Desa Siri Sori Amapatty Desa Porto
Jumlah (Individu) Jantan Betina 48 141 47 89
Gambar 4. Kelompok umur siput lola (Trochus niloticus) pada Desa Siri Sory Amapatty Figure 4. Cohort by lola snail (Trochus niloticus) at Siri Sory Amapatty Vilage
100
Rasio Jantan 1 1
Betina 3 2
χ2 Hitung 45,76 12,97
Gambar 5. Kelompok umur siput lola (Trochus niloticus) pada Desa Porto Figure 5. Cohort by lola snail (Trochus niloticus) at Porto Vilage
A.S. Samu Samu, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 97-103
Tabel 3. Nilai rata-rata panjang, simpangan baku dan populasi Trochus niloticus pada Desa Siri Sori Amapatty dan Desa Porto dari hasil analisis FISAT. Table 3. Average of length, standart deviation and population of Trochus niloticus at Siri Sori Amapatty and Porto village resolted FISAT analysist. Lokasi
Desa Siri Sori Amapatty
Kohort 1 2 3 4 5 Kohort
Desa Porto
1 2 3 4
Panjang Kelas 21-39 28-56 51-76 67-82 77-96 90-102 Panjang Kelas 37-53 46-74 67-83 77-91
Mean (mm) 30,00 42,17 64,97 74,88 86,44 96,42 Mean (mm) 45,11 60,19 75,40 84,81
BAHASAN
Simpangan Baku 3,340 5,540 4,110 2,410 3,160 2,160 Simpangan Baku 2,360 4,930 2,720 3,250
Populasi (individu) 14 16 44 45 35 26 Populasi (individu) 65 56 9 10
Indeks Separasi n.a 2,740 4,730 3,040 4,150 3,750 Indeks Separasi n.a 4,140 3,980 3,150
terjadi karena disebabkan oleh penangkapan yang terjadi terus menerus.
Distribusi Fekuensi Panjang Hubungan Panjang-Bobot Tabel 1 menunjukan bahwa sampel siput lola di Desa Siri Sori Amapatty memiliki diameter rata-rata cangkang 69,8 mm (SD=20,6). Sebaran distribusi frekuensi diameter cangkang memperlihatkan siput lola dengan kisaran antara 72-74 mm memiliki jumlah dominan dan siput lola berdiameter 20-22 mm yang sedikit. Hasil analisis distribusi frekuensi panjang menunjukkan bahwa individu berukuran besar yang telah melakukan pemijahan minimal sekali sebanyak 147 individu (77,8%) dari total sampel, sedangkan individu yang berukuran kecil dan belum pernah memijah sebanyak 42 individu (22,2%). Diameter rata-rata cangkang siput lola di Desa Porto adalah 56,4 mm (SD = 13,4) dengan kisaran diameter cangkang berkisar antara 44-46 mm memiliki jumlah terbanyak dan diameter 70-72 mm memiliki jumlah yang sedikit. Hasil analisis memperlihatkan bahwa individu berukuran besar yang telah memijah paling sedikit satu kali sebanyak 67 individu (49,3%) dan individu berukuran kecil yang belum pernah memijah berjumlah 69 individu (50,7%) dari total sampel. Data kisaran panjang diameter dan diameter rata-rata cangkang siput lola di kedua desa menunjukan bahwa Desa Siri Sori Amapatty memiliki populasi siput lola berukuran lebih besar (Tabel 1). Hal ini menunjukan bahwa penerapan sasi, bermanfaat untuk menjaga sekaligus menjamin pertumbhan individu siput lola untuk mencapai panjang yang optimal. Disisi lain, populasi siput lola pada perairan Desa Porto yang didominasi oleh individu berusia muda mengindikasikan bahwa proses rekruitmen dan pemijahan pada populasi siput lola di desa ini belum lama
Hasil pengujian nilai b dari persamaan hubungan panjang bobot siput betina di Desa Siri Sori Amapatty adalah W=0.0001L3.32 menunjukan pola pertumbuhan yang alometrik positif. Siput lola jantan saja menunjukan pola pertumbuhan isometrik dengan persamaan hubungan panjang bobot adalah W=0.0009L 2.80 (Gambar 2), sedangkan sampel dari Desa Porto, persamaan hubungan panjang bobot siput lola betina dan jantan masing-masing adalah W=0.2606L 1.38 dan W=0.2563L 1.39 . Kedua persamaan ini menunjukan bahwa pola pertumbuhan siput lola betina dan jantan di desa ini adalah alometrik negatif (Gambar 3). Pertumbuhan isometrik (b=3) adalah pertumbuhan dari organisme yang ditandai dengan pertambahan panjang yang sebanding dengan pertambahan bobotnya sedangkan, pertumbuhan alometrik positif (b>3) menunjukan suatu pertumbuhan organisme yang pertambahan bobotnya lebih cepat jika dibandingkan dengan pertambahan panjangnya dan pertumbuhan alometrik negatif (b<3) adalah pertumbuhan dari organisme yang ditandai dengan pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobot (Efendi, 1979). Menurut Le Cren (1951) dalam (Merta, 1993), nilai b akan berbeda-beda menurut tempat, jenis kelamin, dan kematangan gonad. Pertumbuhan individu siput lola pada lokasi yang berbeda memiliki kecepatan pertumbuhan yang tidak sama. Perbedaan ini terutama disebabkan karena populasi siput lola pada lokasi yang berbeda memiliki tahapan perkembangan, kondisi fisiologi, kondisi genetik, dan faktor fisika-kimia yang tidak sama (Paully, 1984).
101
A.S. Samu Samu, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 97-103
Struktur Kelamin Hasil penelitian menunjukan rasio jantan berbanding betina pada kedua desa secara statistik berbeda nyata, dengan betina lebih banyak (χ2 hitung > χ2 tabel α = 0,05; db = 1) (Tabel 2). Penelitian yang dilakukan di Kepulauan Cook, Australia, ditemukan jumlah siput lola betina lebih banyak dibanding dengan siput lola jantan, dengan rasio 2:1 (Sparre & Venema, 198). Hasi studi terhadap siput lola di perairan Desa Haria dan Noloth, Maluku Tengah, terlihat bahwa rasio kelamin jantan dan betina adalah 1:2 (Ponia, 1997). Lebih banyaknya jumlah siput lola betina yang tertangkap ini mengindikasikan bahwa hasil rekruitmen musim pemijahan sebelumnya yang menghasilkan jumlah individu siput lola betina lebih banyak dari pada siput lola jantan. Dalam kondisi alami, pertumbuhan siput lola betina umumnya lebih cepat daripada pertumbuhan siput lola jantan (Leimena, 2004). Rasio jenis kelamin individu dalam suatu populasi berhubungan dengan potensi reproduksi dari individu anggota populasi tersebut. Bila individuindividu dalam satu populasi memiliki rasio jenis kelamin yang sama maka peluang terjadinya fertilisasi akan semakin besar (Rao, 1936).
Universitas Pattimura atas fasilitas dan kontribusi data untuk penelitian. DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 1994. Pelestarian dan budidaya siput lola (Trochus niloticus). Balai Litbang Sumberdaya Laut, Puslitbang Oseanologi – LIPI. Ambon. p. 27-31. Arifin, Z. 1993. Sebaran Geografis, Habitat dan Perikanan Lola (Trochus niloticus) di Perairan Maluku. Balai Litbang Sumberdaya Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI. Ambon. p. 40-48. Efendi, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dwi Sri. Bogor: 112 p. Fowler, J. & L. Cohen. 2003. Practical Statistic for Field Biology. John Wlley and Sons: 259 p. Leimena, H. E. P. Subahar & TS, Adianto. 2005. Estimasi daya dukung dan pola pertumbuhan populasi keong lola (Trochus niloticus) di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. p. 75-80.
Kelompok Umur Menurut Paonganan, 2002, diduga siput lola di alam mulai memasuki tahap pemijahan ketika mencapai ukuran 55-56 mm. Tabel 3 menunjukan bahwa siput lola di Desa Siri Sori Amapatty pada kohort keempat merupakan siput lola yang sudah dewasa dan siap bereproduksi, sedangkan populasi siput lola pada perairan Desa Porto cenderung didominasi oleh kohort yang belum bereproduksi atau kohort usia muda (kohort 1) dan yang menjelang matang gonad (kohort 2). Hasil analisis ini memperlihatkan bahwa daerah yang tidak menerapkan sasi cenderung memiliki populasi siput lola yang lebih berukuran kecil serta didominasi populasi muda yang belum matang gonad karena yang berukuran besar telah dieksploitasi. Hal ini berbeda dibandingkan Desa Siri Sori Amapatty yang menerapkan sistim sasi. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukan hubungan panjang dengan bobot siput lola (Trochus niloticus) adalah isometris, alometrik positif dan alometrik negatif dimana semuanya dipengaruhi oleh keefektifan sasi sebagai suatu sistem pengelolaan yang mengatur periode dan ukuran tertentu suatu sumberdaya pada saat dipanen. PERSANTUNAN Penulis mengucapkan terima kasih kepada staf LIPIAmbon dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
102
Merta, I. G. S. 1993. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan lemuru, dari perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Sub Balitbang LON LIPI-Ambon. Nusantara. Yogyakarta. p. 35-44. Moorhouse, F.W. 1932. Notes on Trochus niloticus. Scientific reports of the great barrier reef expedition: 1928-1929, nature. 3: 145-155. Paonganan Yulianus. 2002. Biolekologi kerang siput lola. Makalah Pengantar falsafah sains (PPS702). Program pasca sarjana/ S3 Institut Pertanian Bogor. November 2002. http://tumoutou.net/702 _05123/ yulianus_paonganan.htm. Paully, D. 1984. Fish population dynamics in Tropical Waters: A Manual for Use With Programable Calculators ICLARM, Manila: 325 p. Ponia. B. O. Terekia, & T. Taime. 1997. Study of Trochus niloticus introduce to Penrhyn Cook Islands: 10 year laters. SPC. Trochus information bulletin. p. 18-24. Rao, D. 1936. Observation on The rate of growth and longevity of Trochus niloticus. Linn in the Andaman Island. Rec. ind. Mus. XXXVIII. Illust. Calcuta. p. 473499. Rao, D. 1937. On the habitat and habits of Trochus niloticus. Linn. In the Andaman seas. Records of the Indian museum. Calcuta. p. 47-82.
A.S. Samu Samu, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 97-103
Sparre, P. & S.C, Venema.1998. Introduction to tropiocal Fish Stock Assesment. Part-1 Manual. FAO fisheries technical paper, No. 306. 1. Rev.2. Rome Italy. 407 p.
103
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112
KERAGAMAN GENETIK IKAN SEMAH (Tor tambroides BLEKER 1854) DI SUNGAI MANNA, BENGKULU DAN SUNGAI SEMANKA, LAMPUNG GENETIC DIVERSITY OF MASHER (Tor tambroides BLEKER 1854) IN MANNA RIVER, BENGKULU AND SEMANKA RIVER, LAMPUNG Arif Wibowo Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum, Palembang Teregistrasi I tanggal: 2 April 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 9 Agustus 2012; Disetujui terbit tanggal: 10 Agustus 2012
ABSTRAK Ikan semah adalah ikan air tawar Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan jarang ditemukan, hidup di hulu sungai dengan kondisi perairan yang jernih dan kebutuhan oksigen tinggi. Untuk mempertahankan keberlanjutan ikan semah diperlukan informasi keragaman genetik sampai pada penanda molekuler.Molekul DNA dapat berfungsi menjadi penanda molekular yang mampu mengidentifikasi perbedaan genetik langsung pada level DNA sebagai komponen genetik. Penelitian tentang keragaman genetik ikan semah dilakukan pada tahun 2011 di Sungai Manna, Bengkulu dan Sungai Semanka, Lampung. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keragaman genetik dan penanda molekuler ikan semah dari Sungai Manna, Bengkulu dan Sungai Semanka, Lampung. Contoh diambil secara acak, darah dan jaringan otot ikan semah dari masing-masing spesimen dikoleksi dan diekstraksi menggunakan “Geneaid DNA ekstraksi kit”. Bagian gen mtDNA yang digunakan adalah gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI). Analisis keragaman genetik yang meliputi penanda genetik dan hubungan kekerabatan ikan semah berdasarkan runutan nukleotida dan asam amino, dilakukan menggunakan program MEGA versi 4.0 dengan metode bootstrapped Neighbor Joining dengan 1000 kali pengulangan. Hasil penelitian menunjukkan komposisi basa nukleotida untuk ikan semah dari Sungai Manna dan Semanka mengidentifikasi 4 situs nukleotida yang bervasiasi dan semuanya parsimoni informatif. Basa nukleotida dari gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) dapat dijadikan penanda genetik spesifik antara ikan semah, spesies Tor tambroides dengan genus Tor yang lain. Tor tambroides yang berasal dari Bengkulu dan Lampung (Indonesia) juga memiliki basa nukleotida spesifik yang membedakannya dengan Tor tambroides dari luar Indonesia, bahkan bisa menjadi penanda genetik spesifik lokasi Bengkulu dan Lampung. KATA KUNCI : Keragaman genetik, Tor tambroides, Sungai Manna & Semanka, Bengkulu dan Lampung ABSTRACT: Masher is Indonesian fresh water fish species, has a high economic value and is rarely found in nature. This species inhabit river upstream with clear water conditions and has high oxygen demand. In order to maintain the sustainability of masher fish information on the genetic diversity include molecular markers is required. DNA molecules can also serve as molecular markers that can identify genetic differences directly at the level of DNA as a genetic component. Research on the genetic diversity of masher fish was conducted in 2011 at the Manna River, Bengkulu and Semanka River, Lampung. The research objective was to determine the genetic diversity and molecular markers of masher fish from Manna River, Bengkulu and Semanka River, Lampung. Samples were collected at random, blood and muscle tissue of each specimen was collected and extracted using the “Geneaid DNA extraction kit”. The parts of mtDNA used is gene cytochrome oxidase subunit gene is I (COI). Analysis of genetic diversity, including genetic markers and kinship relations based on the sequence of nucleotide and amino acid from the collected masher fish, was conducted using the MEGA program version 4.0 with bootstrapped Neighbor Joining method with 1000 repetitions. The results showed that nucleotide base composition of masher fish from Manna and Semanka river identified four variable nucleotide sites and all parsimony informative. Nucleotide bases of the gene cytochrome oxidase subunit I (COI) can serve as specific genetic markers between masher fish species, genus Tor spp with others. Tor Tambroides from Bengkulu and Lampung (Indonesia) also have has a specific nucleotide bases that distinguish them from Tor tambroides outside Indonesia, moreover it can be location-specific genetic markers from Bengkulu and Lampung. KEYWORDS: Genetic diversity, Tor tambroides, Manna & Semanka River, Bengkulu & Lampung
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Jl. Beringin No. 308, Mariana Palembang, Sumatera Selatan, Email :
[email protected]
105
A. Wibowo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112
PENDAHULUAN Ikan semah (Tor tambroides) digolongkan dalam ikan cyprinid, hidup di hulu sungai dengan kondisi perairan yang jernih dan kebutuhan oksigen tinggi. Ikan ini adalah salah satu ikan air tawar Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan sudah jarang ditemukan di alam (Nurdawati et al., 2007). Kerabat ikan sapan (Tor spp.) di dunia telah diketahui sebanyak 20 jenis yang tersebar di kawasan Asia, sedangkan di Indonesia terdapat empat jenis, yaitu: Tor tambroides Blkr., T. tambra (C.V.), T. douronensis (C.V.), dan T. soro (C.V.). Sinonim dari genus Tor adalah Labeobarbus; untuk membedakan keempat jenis kerabat ikan tambra yang berasal dari Indonesia sementara ini masih berdasarkan ada tidaknya cuping pada bibir bawah dan ukuran cuping itu sendiri (Roberts, 1999). Tor tambroides memiliki penyebaran yang luas di Pantai Barat Sumatera (Lampung dan Bengkulu) (Wibowo et al., 2012) dan sangat potensial untuk dikembangkan dimasa yang akan datang, namun demikian informasi tentang ikan ini masih terbatas. Haryono (2006) menginformasikan aspek biologi ikan semah (Tor tambroides), selanjutnya Haryono & Tjakrawidjaja (2006) mengidentifikasi kerabat ikan semah berdasarkan karakter morfologi, penelitian yang terkait aspek keragaman genetik dan penanda molekuler belum penah dilakukan. Informasi data runutan basa nukleotida yang ada untuk ikan semah (Tor tambroides) baru terbatas pada ikan semah dan kerabatnya yang ada di luar Indonesia (Yang et al., 2010; Lakra & Verma, 2008; Sade & Biun, 2011).
sehingga dapat dipelajari sebagai satu kesatuan utuh. Kecuali itu mempunyai tingkat evolusi yang tinggi (5-10 kali lebih besar dari DNA inti) sehingga dapat memperlihatkan dengan jelas perbedaan antar populasi dan hubungan kekerabatan (Brown et al., 1979; Brown, 1983). mtDna memiliki jumlah copy yang besar antara 100010000 serta lebih cepat dan mudah untuk mendapatkan hasil dari jaringan yang telah diawetkan sebelumnya (Brown, 1983). Gen penyandi protein dari DNA mitokondria adalah bagian yang sering digunakan untuk mendapatkan informasi keragaman genetik dan sebagai penanda genetik suatu spesies. Diantara gen penyandi protein yang sering digunakan untuk mempelajari keragaman genetik adalah gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI). Selain itu, Gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) dapat pula digunakan sebagai penanda genetik untuk mempelajari keragaman jenis dan hubungan kekerabatan diantara kelompoknya (intraspesies) maupun kelompok lainnya (interspesies) (Ping et al., 2007). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keragaman genetik dan penanda molekuler ikan semah dari Sungai Manna, Bengkulu dan Sungai Semanka, Lampung. Informasi ini sangat diperlukan untuk memberikan arah bagi upaya konservasi maupun domestikasinya untuk mempertahankan keberlanjutan ikan semah. BAHANMETODE Waktu dan Tempat Penelitian
Keragaman genetik memiliki pengertian keragaman struktur maupun fungsi dari kehidupan pada tingkat komunitas dan ekosistem, populasi, spesies dan molekul DNA. Molekul DNA dapat pula berfungsi menjadi penanda molekular yang mampu mengidentifikasi perbedaan genetik langsung pada level DNA sebagai komponen genetik. Karakteristik penanda molekular ini dapat menanggulangi keterbatasan penggunaan penanda morfologi karena penanda ini bebas dari pengaruhpengaruh epistasi, lingkungan dan fenotipe, sehingga dapat menyediakan informasi yang lebih akurat (Muladno, 2006). Informasi keragaman genetik dan penanda genetik dapat diperoleh dengan melakukan analisis terhadap sekuense mtDNA. Hal ini karena mtDNA bersifat maternal dan diturunkan oleh parentalnya tanpa rekombinasi (Harrison, 1989; Amos & Hoelzel, 1992), molekulnya kompak dan ukuran panjangnya relatif pendek (antara 16000–20000 nukleotida), tidak sekompleks DNA inti
106
Penelitian dilakukan pada tahun 2011 dengan lokasi pengambilan sampel di Sungai Manna, Bengkulu dan Sungai Semanka, Lampung (Tabel 1 dan Gambar 1). Analisis keragaman genetik ikan semah berdasarkan gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) dilakukan di laboratorium Biologi molekuler, Departemen Biosains Hewan. Ikan semah di tangkap dengan menggunakan pancing, tajur dan jaring dengan ukuran mata jaring 0,75 inci (untuk juvenil) dan 2 inci (untuk dewasa). Tahap penelitian keragaman genetik, sampel otot dan darah ikan semah diawetkan dengan alkohol absolut, selanjutnya sampel tersebut dibawa ke laboratorium untuk dilakukan isolasi dan purifikasi DNA totalnya. Jumlah sampel untuk setiap stasiun sampling dan data runtutan nukleotida yang diperoleh dari Genebank secara detil terlihat pada Tabel 2.
A. Wibowo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112
Tabel 1. Stasiun pengambilan contoh ikan Table 1. Sampling stations No 1 2 3 4 5
Stasiun Kerinjing, Bengkulu (040 07.054’S, 1030 05.529’E) Air Tenam, Bengkulu (040 15.856’S, 1030 03.771’E) Batu Aji, Bengkulu (040 15.188’S, 1030 00.033’E) Merabung, Bengkulu (040 07.226’S, 1030 01.597’E). Bandar Agung, Bengkulu (040 20.282’S, 1020 57.306’E).
Gambar 1a. Stasiun pengambilan contoh di Sungai Manna (Husnah et al., 2012) Figure 1a. Sampling station in Manna River (Husnah et al., 2012)
No 6 7 8 9
Stasiun Air Sebilo, Bengkulu (040 23.800’S, 1020 57.936’E) Kotabumi, Bengkulu (040 22.541’S, 1020 7.752’E) Kutopadang, Bengkulu (040 28.122’S, 1020 55.600’E) Melebuy, Lampung (050 08.926’S, 1040 14.870’E)
Gambar 1b. Stasiun pengambilan contoh di Sungai Semanka (Husnah et al., 2012) Figure 1b. Sampling station in Semanka River (Husnah et al., 2012)
Tabel 2. Daftar contoh yang digunakan dalam penelitian Table 2. List of samples used in this study Jenis (Species) Tor tambroides
Tor duorenensis Tor tor Tor malabaricus Tor putitora Tor macrolepis Tor khudree Tor sinensis
Lokasi (Location) Kerinjing, Air Tenam, Batu Aji, Merabung, Bandar Agung, Air Sebilo, Kotabumi, Kutopadang (Bengkulu) dan Melebuy (Lampung) JQ665787 – JQ665837 (www.ncbi.nlm.nih.gov) Genbank kode akses HM536923 (www. ncbi.nlm.nih.gov) Genbank kode akses JM646100.1(www. ncbi.nlm.nih.gov) Genbank kode akses JM646100.3(www. ncbi.nlm.nih.gov) Genbank kode akses EU714115.1 (www.ncbi.nlm.nih.gov) Genbank kode akses HM585024.1 (www. ncbi.nlm.nih.gov) Genbank kode akses GQ469826.1 (www. ncbi.nlm.nih.gov) Genbank kode akses GQ469832.1 (www. ncbi.nlm.nih.gov) Genbank kode akses GQ469796.1 (www. ncbi.nlm.nih.gov) Genbank kode akses HM536900.1 (www. ncbi.nlm.nih.gov)
Jumlah (Number) 37
1 2 1 1 1 1 1 1
107
A. Wibowo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112
Isolasi, Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total Ekstraksi DNA menggunakan Genomic DNA mini kit for blood (Geneaid) yang dimodifikasi. Bagian yang dimodifikasi adalah dalam penghancuran jaringan, penambahan SDS dan Proteinase K (Muladno, 2006). Selsel darah ikan semah yang disimpan dalam alkohol 70% dicuci dengan air destilata (molecular grade) sebanyak dua kali kemudian disuspensikan dalam bufer STE (NaCl 1M, Tris-HCL10mM, EDTA0.1mM, pH 8) hingga volume 350 µl. Sel-sel darah dilisis (dipecah/dikeluarkan) dengan SDS 1% dan proteinase K 0.125 mg/ml pada suhu 55oC selama 2 jam sambil dikocok perlahan dalam rotary. Untuk jaringan, sebelum dicuci dengan air destilata, otot ikan semah diambil dalam bentuk potongan kecil dan di cacah halus untuk mempermudah melisis sel otot. Sampel otot yang sudah diperlakukan dengan SDS 1% dan proteinase K 0.125 mg/ml dihomogenasi dengan rotary dan diinkubasi pada suhu 55oC selama semalam. Metode ekstraksi DNA selanjutnya mengikuti petunjuk Genomic DNA mini kit for fresh blood (Geneaid) (Petunjuk perusahaan). Sampel DNA yang didapat, disimpan pada suhu 4oC Amplifikasi dan Visualisasi Fragmen mtDNA Amplifikasi sebagian fragmen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) mtDNA menggunakan primer universal Ivanova et al. (2009) COI F (5’ – TCT ACC AAC CAC AAA GAC ATC GG 3’) dan COI R (5’ – TAC TTC TGG GTG TCC RAA GAA TCA 3’). Komposisi reaksi PCR dilakukan dengan volume akhir 50 µl terdiri atas sampel DNA 5 µl, DW steril 16 µl, primer masing-masing 2 µl dan Taq ready mix 25 µl. Reaksi PCR dilakukan menggunakan mesin thermocycler BIOER dengan kondisi sebagai berikut: tahap pradenaturasi 95°C selama 10 menit, tahap kedua yang terdiri dari 30 siklus yang masing-masing mencakup tahap denaturasi 94°C selama 1 menit, penempelan primer (annealing) pada suhu 48°C selama 1 menit, pemanjangan (extension) pada suhu 72°C selama 1,5 menit dan tahap terakhir yaitu pemanjangan akhir (final extension) pada suhu 72 °C selama 7 menit. Produk PCR diuji menggunakan PAGE 6% dalam bufer 1x TBE (10 Mm Tris-HCL, 1 M asam borat, dan EDTA 0.1 Mm) yang dijalankan pada kondisi 200 Mv selama 50 menit. Selanjutnya DNA diwarnai dengan pewarnaan sensitif perak (Tegelstrom, 1986).
pemanjangan dengan suhu 72°C selama 1,5 menit (sebanyak 35 siklus) dan post PCR dengan suhu 72 °C selama 7 menit. Perunutan sampel DNA dengan kit perunutan DNA, menggunakan mesin perunut DNA automatis Bio Trace 3100 (USA). Semua pekerjaan ini dilakukan pada dua arah (forward dan reverse) di kerjakan di Macrogen, Korea Selatan (www.macrogen.com). Akhirnya sekuense setiap spesimen ikan semah dari Sungai Manna dan Sungai Semanka disimpan di dalam GenBank dengan kode akses JQ665787 - JQ665823. Analisis Data Keragaman Genetik Sisi homolog dari runutan-runutan basa nukleotida maupun runutan asam amino gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) DNA mitokondria ikan semah yang diperoleh, kemudian disejajarkan (multiple alignment) yang dibandingkan dengan runutan-runutan gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) kerabat semah (Tor) dari Genbank yang utuh maupun parsial. Runutan asam amino diterjemahkan mengikuti kode genetik DNA mitokondria untuk vertebrata. Analisis keragaman genetik yang meliputi penanda genetik dan hubungan kekerabatan ikan semah berdasarkan runutan nukleotida dan asam amino, dilakukan menggunakan program MEGA versi 4.0 (Tamura et al., 2007) dengan metode Bootstrapped Neighbor Joining dengan 1000 kali pengulangan. HASIL DAN BAHASAN HASIL Jenis ikan semah yang diperoleh dari Sungai Manna, Bengkulu dan Sungai Semanka, Lampung adalah Tor tambroides (hanya satu jenis). DNA total telah diisolasi dari cuplikan otot semua jenis ikan semah tersebut. Hasil isolasi DNA total ikan semah digunakan sebagai cetakan untuk amplikasi gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) DNA mitokondria dengan teknik PCR. Amplikasi gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) menghasilkan fragmen gen COI berukuran 654 pb pada semua spesimen ikan semah. Profil DNA hasil amplikasi disajikan pada Gambar 2.
Amplifikasi dan Visualisasi Fragmen mtDNA DNA produk PCR dipurifikasi dengan kit purifikasi, kemudian digunakan sebagai cetakan untuk perunutan. Amplifikasi untuk perunutan menggunakan primer universal Ivanova et al. (2009) dengan kondisi PCR yaitu pra PCR (denaturasi) dengan suhu 95°C selama 10 menit; PCR: denaturasi dengan suhu 94°C selama 1 menit, penempelan dengan suhu 48°C selama 1 menit, 108
Runutan DNA diperoleh dari hasil penjajaran berganda yaitu sepanjang 654, pada posisi 5559 – 6212 pb berdasarkan acuan Genbank. Dari 218 asam amino hasil translasi 654 nukleotida pada gen COI parsial Tor spp, terdiri dari 209 situs asam amino bersifat kekal, 5 situs asam amino bersifat variabel yang terdiri dari 1 situs asam amino parsimoni informasif dan 4 situs asam amino sinonimous.
A. Wibowo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112
Gambar 2. Profil DNA Tor tambroides hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer COI F dan COI R. Figure 2. DNA profile of Tor tambroides amplicon using COI F and COI R primer.
Analisa komposisi basa nukleotida untuk ikan semah dari Sungai Manna dan Sungai Semanka mengidentifikasi 4 situs nukleotida yang bervasiasi dan semuanya parsimoni informatif (sebuah karakter jika terdapat 2 atau lebih state yang berbeda, dan masing-masing state tersebut terdapat pada 2 atau lebih sikuen/gen/organisme yang sedang diuji). (Tabel 3). Komposisi empat basa nukleotida dari 654 nukleotida gen COI yang mentranslasikan 218 asam amino secara keseluruhan, ratarata nukleotida Timin adalah yang paling banyak ditemukan (29,2%), sedangkan rata-rata yang paling sedikit ditemukan adalah Guanin (17,4%). Rata-rata komposisi basa nukleotida Adenin+Timin secara keseluruhan pada Tor adalah lebih banyak (55,4%) daripada rata-rata Guanin+Cytosin (45,5%).
Tabel 3. Situs basa nukleotida sebagai penanda genetik pada gen COI parsial (654 nt) yang membedakan ikan semah dan kerabatnya Table 3. Base site of nucleotide as genetic marker using parsial Gen COI (654 nucleotide) distinguised masher and its relatives Jenis Species
270 (5828) A A A A A A A A A
324 (5882) A G A A G G G G A
342 (5900) T T T T T T T T T
Basa nukleotida/nucleotide Base 474 495 546 552 (6032) (6053) (6104) (6110) T T G T T T G T T T G T T T G T T T G T T T G T T T G T T T G T T T G T
Tor soro (GenBank) Tor malabaricus (GenBank) Tor putitora (GenBank) Tor macrolepis (GenBank) Tor khudree (GenBank) Tor sinensis (GenBank) Tor duoronensis (GenBank) Tor duoronesis (Malaya/GB) Tor tambroides (GenBank) Tor tambroides (Bengkulu 1-25 A A T C T A C spesimen) Tor tambroides (Bengkulu 2-12 G A T C C A C spesimen) Tor tambroides (Lampung- 2 A G C C T A C spesimen) Keterangan: Angka dalam tanda kurung ( ) = urutan berdasarkan gen COI utuh ikan data GenBank. Remarks: Figures in parentheses () = COI gene sequences based on the complete GenBank fish data
Berdasarkan posisi kodon, komposisi basa nukleotida pada posisi pertama triplet kodon, frekwensi yang paling banyak ditemukan adalah nukleotida Guanin (31,2%), sedangkan nukleotida Adenin mempunyai frekwensi yang paling sedikit yaitu 23,8%. Komposisi pada posisi kedua dari triplet kodon, frekwensi yang paling banyak ditemukan adalah nukleotida Timin (41,7%), sedangkan yang paling sedikit ditemukan adalah nukleotida Guanin (14,7%). Komposisi pada posisi ketiga triplet kodon, frekuensi paling banyak ditemukan adalah nukleotida Adenin (40,4%), sedangkan yang paling sedikit ditemukan adalah
576 (6134) T T T T T T T T T
591 (6149) C C C C C C C C T
C
T
C
T
C
T
nukleotida Guanin (6,4%). Keragaman terbesar komposisi basa nukleotida dari keseluruhan triplet kodon gen COI ikan semah terletak pada posisi kodon ketiga. Dari 654 nukleotida gen COI ikan semah (Tor tambroides) dari Sungai Manna dan Semanka yang dibandingkan dengan data GenBank, beberapa basa nukleotida dapat dijadikan penanda genetik untuk membedakan ikan semah Indonesia dengan ikan semah dan kerabat ikan semah dari luar Indonesia (Tabel 3). Basa nukleotida yang dapat membedakan spesies Tor 109
A. Wibowo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112
tambroides dengan kerabatnya adalah Timin yang berada pada posisi ke-591, untuk Tor tambroides yang berasal dari Bengkulu dan Lampung (Indonesia) secara spesifik memiliki penanda genetik Cytocin pada posisi basa nukleotida ke-474, 552 dan 576 dan basa nukleotida Adenin pada posisi ke-546 (Tabel 3). Semua sampel Tor tambroides asal Bengkulu (37 spesimen), memiliki penanda genetik Timin pada posisi basa nukleotida ke-342 dan basa nukleotida Guanin (270) dan Cytosin (495) yang merupakan variasi genetik penanda spesifik lokasi Bengkulu (ditemukan pada 12 spesimen). Tor tambroides asal Lampung memiliki penanda genetik Cytosin pada posisi basa nukleotida ke-342 dan memiliki penanda spesifik Indonesia asal Lampung, yaitu basa nukleotida Guanin pada posisi ke-324. BK80 (F) bandar agung BK89 (F) air tenam BK33 (F) bandar agung BK71 (F) sebilo BK72 (F) sebilo 88 BK61 (F) air tenam
BK95 (R) merabung BK29 (R) k otabumi BK91 (F) merabung BK77 (F) bandar agung BK47 (F) k erinjing BK59 (F) air tenam BK11 (F) k utopadang BK100 (R) batu aji BK58 (F) air tenam BK 52 (F) b. rancing BK22 (R) massat BK66 (F) air tenam BK16 (F) k utopadang BK21 (R) massat 79 BK60 (F) air tenam
BK17 (F) k utopadang BK64 (F) air tenam BK 100 (F) batu aji BK63 (F) air tenam
Rekontruksi hubungan kekerabatan dari runutan basa nukleotida semah dan kerabatnya tersebut disajikan pada Gambar 3. Hasil filogram berdasarkan nukleotida gen COI memperlihatkan bahwa intraspesies ikan semah dari Sungai Manna dan Sungai Semanka masing-masing secara garis besar membentuk satu hubungan kekerabatan yang didukung oleh nilai bootsrap 99%. Kelompok ini memiliki hubungan kekerabatan yang paling dekat dengan Tor tambroides, di dukung dengan nilai bootsrap 54%. Hal ini dapat diartikan bahwa ikan semah yang digunakan dalam penilitian ini yang berasal dari Sungai Manna dan Semanka secara jelas merupakan spesies Tor tambroides. BAHASAN Pada ikan semah (Tor tambroides), perubahan asam amino yang terjadi sebagian besar adalah bersifat substitusi silet, sehingga pengamatan melalui asam amino tidak dapat mendeteksi adanya penanda genetik ikan semah asal Indonesia, asam amino hanya dapat dijadikan sebagai penanda genetik diantara kerabat semah walaupun tidak spesifik. Kondisi ini menurut Nei & Kumar (2000) karena adanya substitusi nukleotida yang dapat menyebabkan perubahan asama amino atau bersifat non sinonimous, namun ada pula yang tidak menyebabkan perubahan asam amino didalam hasil translasinya atau bersifat sinonimious. Oleh karena substitusi yang bersifat sinonimous lebih banyak terjadi daripada substitusi non sinonimious, atau dengan kata lain tidak semua substitusi nukleotida akan menyebabkan perubahan asam amino, maka lebih baik menggunakan basa nukleotida sebagai penanda genetik.
BK48 (F) k erinjing BK65 (F) air tenam BK31 (F) bandar agung 99
BK62 (F) air tenam BK30 (R) k otabumi BK82 (F) lubuk tapi BK28 (F) k otabumi BK101 (F) batu aji
54
BK94 (F) merabung BK88 (F) air tenam BK12 (F) k utopadang BK104 (F) melebuy
35
80 BK111 (F) melebuy
Tor tambroides (HM536923) Tor k hudree (GQ469796.1) Tor malabaricus (HM585024.1)
32
Tor tor (EU714115.1)
47
Tor putitora (GQ469826.1)
93
98 Tor macrolepis (GQ469832.1)
Tor sinensis (HM536900.1) Tor dourenensis (JN646100.1) 100
Tor dourenensis (malaya)
0.005
Gambar 2. Filogram bootstrapped Neigbor Joining 1000 kali pengulangan berdasarkan 654 nukleotida gen COI ikan semah dan kerabat pembandingnya dari Genbank. Figure 2. Joining neigbor Filogram bootstrapped 1000 times based on 654 nucleotides repetition based on COI gene masher fish and its comparison relative from Genbank. 110
Ikan semah dari Sungai Manna dan Sungai Semanka memiliki nilai Guanin yang rendah, nilai Guanin yang rendah, umum ditemukan pada DNA mitokondria ikan (Doadrio et al., 2002; Peng et al., 2004). Rata-rata komposisi basa nukleotida Adenin+Timin secara keseluruhan pada Tor adalah lebih banyak daripada ratarata Guanin+Cytosin, komposisi basa nukleotida Adenin+Timin yang lebih banyak daripada Guanin+Cytosin juga ditemukan oleh Ketmaier et al. (2004). Keragaman terbesar komposisi basa nukleotida dari keseluruhan triplet kodon gen COI ikan semah terletak pada posisi kodon ketiga. Peng et al. (2004), Ketmaier et al. (2004), Doadrio & Perdices (2005) juga mendapatkan keragaman terbesar pada posisi kodon ketiga dari keselurah kodon gen penyandi protein pada DNA mitokondria. Substitusi sinonim seringkali terjadi di basa ke-1 dan ke-3 setiap kodon, sedangkan substitusi nonsinonim sering terjadi di basa ke-2 (Kumar & Nei, 2000). Substitusi nukleotida pada protein coding region yang menghasilkan kodon berbeda tetapi penyusun protein yang sama disebut dengan substitusi sinonim, sedangkan apabila menghasilkan kodon berbeda dan menyusun protein yang berbeda pula maka disebut substitusi nonsinonim.
A. Wibowo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112
Basa nukleotida COI dapat digunakan sebagai penanda genetik spesifik ikan semah. Penanda molekuler dapat diandalkan dan memiliki hasil yang konsisten untuk identifikasi diantara spesies (Ryan & Esa, 2006) dan tingkat keragaman genetik (Vrijenhoek, 1998). Lebih jauh, Smith & Wayne (1996) and Nguyet et al. (2006), mengatakan bahwa aplikasi teknik molekuler (seperti DNA sekuensing) menyediakan pemahaman baru dan yang lebih mendalam tentang taksonomi, struktur populasi dan manajemen dan konservasi Tor tambroides. Gen penyandi protein berdasarkan posisi kodon, memiliki region yang kekal (conserve) dan region yang beragam (Farias et al., 2001). Region yang conserve dapat dijadikan sebagai penanda genetik (barcoding) untuk mengidentifikasi keaslian genetik suatu jenis secara akurat dan juga sebagai barcoding untuk mengetahui daerah asal suatu spesies; sedangkan region yang beragam dapat digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan. KESIMPULAN 1. Analisa komposisi basa nukleotida untuk ikan semah dari Sungai Manna dan Semanka mengidentifikasi 4 situs nukleotida yang bervasiasi dan semuanya parsimoni informatif. 2. Basa nukleotida dari gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) dapat dijadikan penanda genetik spesifik antara ikan semah, spesies Tor tambroides dengan genus Tor yang lain. Tor tambroides yang berasal dari Bengkulu dan Lampung (Indonesia) juga memiliki basa nukleotida spesifik yang membedakannya dengan Tor tambroides dari luar Indonesia, bahkan bisa menjadi penanda genetik spesifik lokasi Bengkulu dan Lampung. DAFTAR PUSTAKA Amos, B & A.R, Hoelzel. 1992. Applications of molecular genetic techniques to the conservation of small populations. Biological Conservation 6. p. 133–144. Brown, W. M., M. George & A. C. Wilson. 1979. Rapid evolution of mitochondrial DNA, Proc. Natl Acad. Sci. USA. 76: p. 1967-71. Brown, W.M. 1983. Evolution of animal mitochondrial DNA, pp 62-88. In: M. Nei & R.K. Koehn (eds). Evolution of Genes and Proteins. Sinauer, Sunderland, MA. Doadrio, I., J.A. Carmona & A. Machordom. 2002. Haplotype diversity and phylogenetic relationships among the Iberian Barbels (Barbus, Cyprinidae) reveal two evolutionary lineages. J Hered. 93:140-147. Farias, I.P., G. Orti, I. Sampaio, H. Schneider & A. Meyer. 2001. The Cytochrome b gene as aphylogenetic marker:
the limits of resolution for analyzing relationships among Cichlid fishes. J Mol Evol. 53:89-103. GenBank. 2010. Genomes. http://www.ncbi.nlm.nih.gov//. (14 Februari 2012). Haryono. 2006. Aspek biologi ikan tambra (Tor tambroides Blkr.) yang eksotik dan langka sebagai dasar domestikasi. Biodiversitas. 7 (2): 195-198. Haryono & A.H. Tjakrawidjaja. 2006. Morphological study for identification improvement of tambra fish (Tor spp.: Cyprinidae) from Indonesia. Biodiversitas. 7 (1): 59-62. Harrison, R.G. 1989.Animal mitochondrial DNAas a genetic marker in population and evolutionary biology. Trends in Evolutionand Ecology. 4. p. 6–11. Ketmaier, V., P.G. Bianco, M. Cobolli, M. Krivokapic, R. Caniglia & E. De Matthaesis. 2004. Molecular phylogeny of two lineages of Leuciscinae Cyprinids (Telestes and Sardinius) from the Peri-Mediterranean area based on Cytochrome-b data. Mole Phylogenet Evol. 32: 1061-1071. Kumar S & M. Nei. 2000. Molecular Evolution and Phylogenetics. New York: Oxford University Press. Lakra,W.S & M.S Verma. 2008. DNA Barcoding of Indian Fishes. Unpublished. GenBank http://www.ncbi.nlm. nih.gov//. Muladno. 2006. Aplikasi Teknologi Molekuler dalam Upaya Peningkatan Produktivitas Hewan. Pelatihan Teknik Diagnostik Molekuler untuk Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan di Kawasan Timur Indonesia. Kerjasama Pusat Studi Ilmu Hayati, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas, Bogor. Nei, M & S. Kumar. 2000. Molecular evolution and phylogenetics. New York: Oxford University Press. Nurdawati, S., D. Oktaviani., S. Makmur., S. Wargasasmita., I. Rachmatika & Haryono. 2007. Tata nama spesies ikan air tawar Indonesia di tinjau dari perkembangan taksonomi. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 97 p. Nguyen T.T.T., B. Ingram, S. Sungan, G. Gooley, S.Y. Sim, D. Tinggi & S.S. DeSilva. 2006. Mitochondrial DNA diversity of broodstock of two indigenous Mahseer species, Tor tambroides and Tor douronensis (Cyprinidae) cultured in Sarawak. Aquaculture. 253: 259-269.
111
A. Wibowo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112
Peng, Z., S. Heng & Y. Zhang. 2004. Phylogenetic relationships of Glyptosternoid fishes (Siluriformes: Sisoridae) inferred from mitochondrial Cytochrome b gene sequences. Mol Phyogenetic Evol. 31: 979-987. Ping, Y., Z. Hao., C. Li-qiao., Y. Jin-yun., Y. Na., G. Zhi-min and S. Da-xiang. 2007. Genetic structure of the oriental river prawn (Macrobrachium nipponense) from Yangtze and Lancang River, inferred from COI gene sequence. Zoological Research. 28 (2): 113-118. Ryan J.R.J & Y.B. Esa. 2006. Phylogenetic analysis of Hampala Fishes (Subfamily Cyprininae) in Malaysia inferred from partial mitochondrial cytochrome b DNA sequences. Zool. Sci. 23: 893-901. Roberts, T.R. 1999. Fishes of the Cyprinid genus Tor in the Nam Theun Watershed (Mekong basin) of Laos, with description of a new species. The Raffles Bulletin of Zoology. 47 (1): 225-236. Sade,A. & H. Biun. 2011. The Ichthyofauna of Maliau Basin Conservation Area, Sabah, Malaysia. Unpublished. GenBank. http://www.ncbi.nlm.nih.gov//.
112
Smith T.B & R.K. Wayne. 1996. Molecular genetic approaches in conservation. New York: Oxford Univ. Press. Tegelstrom H. 1986. Mitochondrial DNA in Natural Populations: an Improved Routine for the Screening of Genetic Variation Based on Sensitive Silver Staining. Electrophoresis 7: 226-229. Tamura K., J. Dudley, M. Nei & S. Kumar. 2007. MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. Molecular Biology and Evolution 10.1093/molbev/msm092. Vrijenhoek RC. 1998. Conservation genetics of freshwater fish. J. Fish. Biol. 53: 394-412. Yang, L., R.L. Mayden, T. Sado, S. He, K. Saitoh. & M. Miya. 2010. Molecular phylogeny of the fishes traditionally referred to Cyprinini sensu stricto (Teleostei: Cypriniformes). Zoologica Scripta. 39: 527–550. Wibowo, A.,A. Farajalah & Husnah. 2012. DNAbarcoding of freshwater fish species of Manna River (Bengkulu) and Semanka River (Lampung). Inpress.
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120
MAKANAN DAN REPRODUKSI IKAN LUKAS (Dangila cuvieri, Valenciennes 1842) DI PERAIRAN WADUK GAJAH MUNGKUR WONOGIRI FOOD AND REPRODUCTION OF LUKAS (Dangila cuvieri, Valenciennes 1842) IN GAJAHMUNGKUR RESERVOIR WONOGIRI Kamaluddin Kasim, Chairulwan Umar, Priyo Suharsono Sulaiman, dan Naila Zulfia Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 5 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 14 Agustus 2012; Disetujui terbit tanggal: 16 Agustus 2012
ABSTRAK Ikan Lukas (Dangila cuvieri) memiliki nilai ekonomis penting karena merupakan ikan konsumsi oleh masyarakat di sekitar Waduk Gajah Mungkur. Informasi mengenai beberapa aspek biologi seperti hubungan panjang-berat, kebiasaan makanan, pemijahan, faktor kondisi, fekunditas dan diameter telur ikan Lukas saat ini masih sangat terbatas. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan mengetahui beberapa aspek biologi ikan tersebut di perairan Waduk Gajah Mungkur Wonogiri. Ikan contoh diperoleh dari hasil tangkapan nelayan yang didaratkan di beberapa lokasi pendaratan ikan. Data panjang-bobot serta tingkat kematangan gonad juga diamati secara visual sedangkan diamater telur diukur di laboratorium dengan bantuan mikroskop. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan Lukas betina memiliki tipe pertumbuhan allometrik, sedangkan ikan jantan bersifat isometrik. Faktor kondisi ikan betina rata-rata adalah 0,0218 sedangkan ikan jantan adalah 0,0166. Hal ini menunjukkan bahwa ikan betina lebih gemuk daripada ikan jantan. Fekunditas ikan Lukas berkisar antara 1,517 sampai dengan 10,857 butir telur dengan diameter telur berkisar antara 0,89 sampai dengan 0,98 mm. Ikan Lukas cenderung bersifat herbivor (herbivorous) dengan makanan utamanya berupa serasah tumbuhan, makanan tambahan berupa detritus, dan makanan pelengkap adalah fitoplankton dan zooplankton. KATA KUNCI: Ikan lukas, makanan, aspek biologi, Waduk Gajah Mungkur ABSTRACT : Lukas (Dangila cuvieri) is an economically important fish because it is consumed by people around the Gajah Mungkur reservoir. Information on the biological aspects such as length-weight relationships, food habits, spawning, condition factor, fecundity and egg diameter of this species is still very limited. Therefore, the aim of this study is to know the biological aspects of this fish. Fish samples were taken from the catches landed in several landing places. Length-weight data and gonadal maturity were also taken by visual method, while fecundity and the diameter of egg were measured in the laboratory by using microscope. The results showed that female fishes have an allometrik growth type, while isometric for male fishes. The mean values of condition factor for female and male fish are 0,0218, and 0,0166, respectively. This indicates that female fish is fatter than male fish. The fecundity of this fish was around 1,517 to 10,857 eggs, with the diameter of mature eggs ranging from 0.89 to 0.98 mm. Lukas fish tends to be herbivorous, with plant litter as main food, detritus as the additional food, and phytoplankton as supplements food, as well as zooplankton. KEYWORDS: Lukas fish, food, Biological aspects, Gajah Mungkur Reservoir
PENDAHULUAN Waduk Gajah Mungkur terletak di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah memiliki luas perairan 8.800 ha. Kegiatan perikanan di Waduk Gajah Mungkur dimulai sejak tahun 1981. Produksi perikanan di Waduk Gajah Mungkur terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 produksi perikanan Waduk Gajah Mungkur sebesar 748 ton meningkat signifikan menjadi 953 ton pada tahun 2009. Ikan Lukas (Dangila cuvieri) merupakan nama lokal yang diberikan nelayan dan masyarakat di sekitar Waduk
Gajah Mungkur. Ikan ini digolongkan kedalam famili cyprinidae dan merupakan salah satu ikan ekonomis penting bagi masyarakat di sekitar waduk, karena dikonsumsi sebagai sumber protein hewani. Ikan Lukas merupakan salah satu jenis ikan yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar waduk sejak tahun 1981 ketika Waduk Gajah Mungkur pertama kali dibangun. Pada tahun 2005, produksi ikan Lukas di Waduk Gajah Mungkur berada pada urutan kelima yakni sebesar 140 ton, namun pada tahun 2009 produksi ikan ini turun drastis menjadi hanya 63,1 ton. Penurunan produksi ikan Lukas di waduk ini diduga terkait dengan laju eksploitasi yang
Korespondensi penulis : Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan.
[email protected] Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur-Jakarta Utara 14430
113
K. Kasim, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120
semakin meningkat dari tahun ke tahun dan diintroduksinya spesies patin (Pangasius pangasius).
metode survey di stasiun pendaratan ikan yang telah ditentukan. Ikan contoh ditangkap dengan menggunakan jaring gillnet dengan ukuran mata jaring 2-2.5 inci.
Ikan Lukas (Dangila cuvieri) secara alami merupakan jenis ikan sungai (riverine) yang terdistribusi secara luas di beberapa sungai di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Ikan Lukas umumnya mendiami bagian tengah kolom air hingga dasar perairan sungai maupun danau. Ikan Lukas tersebar secara luas di wilayah Indo-Australia, seperti Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa dan Kalimantan, Thailand, Laos dan Vietnam (Anonymous, 2010). Ciri khas dari ikan ini adalah bentuk tubuhnya yang mirip dengan ikan bandeng. Susatyo et al., (2010) melaporkan bahwa terdapat sembilan jenis family Cyprinidae yang telah tertangkap di Sungai Serayu, Banyumas Jawa Tengah dimana salah satu jenisnya adalah ikan Lukas (Dangila cuvieri). Hardjamulia et al, (1988) mengemukakan bahwa terdapat empat jenis ikan dari family Cyprinidae yang mendominasi Waduk Gajah Mungkur yaitu Puntius gonoinitus (24%), Hampala macrolepidota (17%), Puntius bramoides (10%) dan Dangila cuvieri (6%). Informasi mengenai lokasi dan waktu pemijahan ikan Lukas selama ini berasal dari laporan masyarakat di sekitar Waduk Gajah Mungkur bahwa ikan Lukas umumnya memijah pada saat air pasang atau air tinggi, yakni diawal musim penghujan di sekitar area inlet waduk yaitu pada bulan September dan Oktober. Pada bulan tersebut, nelayan bahkan dapat menangkap ikan Lukas cukup dengan menggunakan serok atau tangan tepat pada saat ikan memijah karena ikan yang memijah dalam keadaan bergerombol. Setelah memijah dilaporkan bahwa banyak ikan Lukas yang mati karena mereka tidak sempat kembali ke daerah yang lebih dalam karena air telah surut. Fenomena ini cukup menarik, sehingga dianggap perlu untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut tentang kebiasaan memijah ikan Lukas, disamping informasi aspek biologi lainnya juga masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebiasaan makanan, fekunditas, hubungan panjang bobot serta faktor kondisi ikan Lukas guna mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dalam pengelolaan perikanan di Waduk Gajah Mungkur. BAHANDANMETODE Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan di perairan waduk serbaguna Gajah Mungkur, Wonogiri Jawa Tengah pada bulan Juli sampai dengan September 2010. Pengambilan data dilakukan dengan
114
Gambar 1. Peta Waduk Gajah Mungkur tempat lokasi pengambilan contoh ikan. Figure 1. Gajah Mungkur Reservoir map, showing the location of sampling sites. Prosedur Kerja Pengukuran panjang dan bobot ikan di lokasi pendaratan ikan dilakukan dengan menggunakan meteran dan timbangan digital dengan skala minimal 0.5 gram. Sebanyak 73 ekor ikan sampel dibedah untuk diambil gonadnya dan ditentukan Tingkat Kematangan Gonadnya melalui pengamatan visual (Effendie, 2002). Menurut Efendie (2002), kondisi gonad ikan jantan dan betina dari ikan Lukas terbagi atas 5 tingkatan TKG (Tabel 1). Penghitungan jumlah telur dilakukan dengan bantuan mikroskop, cawan bogorov (cawan untuk menghitung telur), cawan petri, pipet, dan alat hitung hand tally counter. Gonad terlebih dahulu ditimbang dengan timbangan digital, contoh gonad diambil sebagian kemudian direndam dalam larutan formalin 10% selama 24 jam. Selanjutnya sampel gonad sebanyak 25% dari total berat gonad dituang dalam cawan petri untuk dipisahkan antara telur dan kulit gonad. Proses selanjutnya adalah menghitung jumlah telur, yaitu telur-telur yang ada dalam cawan petri diambil menggunakan pipet kemudian dimasukkan ke cawan bogorov untuk selanjutnya dihitung dibawah mikroskop dengan bantuan hand tally counter.
K. Kasim, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120
Tabel 1. Tingkatan kematangan gonad pada ikan jantan dan betina Table 1. Gonads maturity stage of male and female fish TKG./Gonads Maturity Stage 1.
2. 3.
4.
Jantan/Male
Betina/Female
Testes seperti benang, lebih pendek (terbatas) dan terlihat ujungnya di rongga tubuh, dan berwarna jernih Ukuran testes lebih besar, pewarnaan putih seperti susu, bentuk lebih jelas daripada tingkat I Permukaan testes tampak bergerigi, berwarna makin putih Kondisi gonad jantan seperti pada tingkat III namun tampak lebih jelas, testes makin pejal
Ovari seperti benang, panjang sampai ke depan rongga tubuh, warna jernih, dan permukaan licin. Ovari lebih besar, warna lebih gelap kekuningkuningan, telur belum terlihat jelas dengan mata. Ovari berwarna kuning, secara morfologi telur mulai kelihatan butirnya dengan mata Ovari makin besar, telur berwarna kuning, dan mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi ½ - 2/3 rongga perut, dan usus terdesak Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat didekat pelepasan.
Testes bagian belakang kempis dan di bagian dekat pelepasan masih berisi
5
Kebiasaan makanan ikan dianalisa sebagaimana metode yang dikemukakan oleh Sukimin (2004). Usus ikan yang telah direndam dengan menggunakan alkohol/ formalin 10% diambil satu persatu kemudian dihancurkan. Isi usus dan daging usus dipisahkan. Isi usus diencerkan kembali sebanyak 10 ml. Satu tetes usus yang diencerkan diambil dan diamati langsung dibawah mikroskop. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dengan lima lapang pandang. Jenis dan jumlah makanan dicatat dan diidentifikasi sesuai dengan buku panduan Needham & Needham (1963). Analisis Data Dalam kajian ini, berbagai parameter biologi yang diamati antara lain kebiasaan makanan, hubungan panjang berat, faktor kondisi, diameter telur dan fekunditas. Hubungan panjang berat ditentukan dengan mengikuti persamaan :
Analisis kuantitatif kebiasaan makanan ikan dengan menggunakan metode frekuensi kejadian dan indeks preponderance yang dirujuk dari Natarajan dan Jhingran dalam Effendie (2002) yang dituliskan matematis sebagai berikut:
IP =
VixOi VixOi x 100%
dimana : IP
= Indek Preponderance/ Indeks bagian terbesar Vi = Persentase frekuensi kejadian satu macam makanan Oi = Persentase volume satu macam makanan ( Vi x Oi ) = Jumlah Vi x Oi dari semua macam makanan
HASIL DAN PEMBAHASAN
b
W = aL
HASIL
Faktor kondisi (FK) dihitung menurut Effendie (2002) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut; F K = (W/L3 ) x 102 dimana: W a dan b L FK
= berat ikan contoh (gram) = konstanta pertumbuhan = panjang ikan contoh (cm) = faktor kondisi
Hubungan Panjang Berat Hasil analisa hubungan panjang berat ikan Lukas (Dangila cuvieri) yang diperoleh selama penelitian di perairan Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri dikelompokkan menjadi dua, yaitu ikan jantan dan ikan betina yang digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut:
115
K. Kasim, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120
Gambar 2. Grafik Hubungan panjang berat ikan Lukas (Dangila cuvieri) jantan dan betina dari perairan Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri. Figure 2. Male and female length-weight relationship of Lukas (Dangila cuvieri) from Gajah Mungkur Reservoir, Wonogiri. Berdasarkan Gambar 2 diatas, menunjukkan bahwa pertambahan bobot ikan Lukas betina lebih cepat daripada pertambahan panjangnya (allometrik positif) yang ditunjukkan dengan nilai b>3 dengan menggunakan uji t. Hal yang berbeda ditemukan pada pertumbuhan ikan Lukas jantan. Hubungan panjang bobot ikan jantan bersifat allometrik negatif (b<3), dimana pertambahan panjangnya lebih cepat daripada pertambahan beratnya.
Faktor Kondisi Nilai faktor kondisi ikan Lukas jantan di Perairan Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri berkisar antara 0,0072 sampai dengan 0,0094 dengan nilai rata-rata 0,0166 , sedangkan ikan betina berkisar antara 0,005926 sampai dengan 0,0158 dengan nilai rata-rata 0,0218 (Tabel 2).
Tabel 2. Nilai faktor kondisi ikan Lukas di perairan Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri. Tabel 2. Condition Factor of Lukas ((Dangila cuvieri) in Gajah Mungkur Reservoir, Wonogiri
Jenis Kelamin / Sex
Minimum/minimum
Faktor kondisi (K) /Condition Factor Maksimum/maximum
Rata-rata / Average
Jantan/male Betina/female
0,0072 0,0060
0,0094 0,0158
0,0166 0,0218
Fekunditas dan Diameter Telur Hasil pengukuran jumlah telur ikan Lukas berkisar antara 1517 sampai dengan 10.857 butir telur. Hasil pengukuran jumlah telur digambarkan dalam Tabel 3 dibawah ini:
Hasil pengukuran diameter telur memperlihatkan bahwa ikan Lukas memiliki rata-rata ukuran diameter telur antara 0,55 – 1,09 mm. Frekuensi ukuran diameter telur tertinggi ditemukan pada kisaran 0,88 – 0,98 mm sebesar 47% yang mengindikasikan bahwa ikan Lukas mengalami fase matang gonad dengan ukuran telur berkisar antara 0,88 – 0,98 mm (Gambar 3.)
Tabel 3. Jumlah telur (fekunditas) ikan Lukas dari perairan Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri Tabel 3. Number of eggs of Lukas ((Dangila cuvieri) from Gajah Mungkur Reservoir, Wonogiri
IV
-
-
6,04
Berat gonad contoh (gram)/ Gonad Sample Weight(g) 0,247
IV
18
46
7,56
1,998
TKG / Maturity stage
116
Panjang (cm) / Length(cm)
Berat tubuh (gram) / Weight(g)
Berat gonad (gram) / Gonad Weight (g)
Jumlah telur gonad contoh (butir)/ Numbers of eggs in gonad samples(ind.) 444 401
Fekunditas (butir) / fecundity 10857 1517
K. Kasim, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120
Gambar 3. Histogram frekuensi diameter telur ikan Lukas dari perairan Waduk, Gajah Mungkur Wonogiri. Figure 3. Histogram of eggs diameter of Lukas ((Dangila cuvieri) from in, Gajah Mungkur Reservoir, Wonogiri Kebiasaan Makanan Hasil pengamatan terhadap kebiasaan makanan ikan Lukas menunjukkan bahwa makanan utama ikan ini adalah
serasah tumbuhan sebesar 41,09%, makanan pelengkapnya berupa detritus (29,23%) dan makanan tambahan yakni fitoplankton sebesar 28,38% (Tabel 4).
Tabel 4. Nilai Indeks Propenderance dari beberapa jenis makanan yang ditemukan dalam usus ikan Lukas (Dangila cuvieri) di Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri Tabel 4. Preponderance Index of food types found in the gut of Lukas ((Dangila cuvieri) at Gajah Mungkur Reservoir, Wonogiri Kelompok Makanan/ Group of food FITOPLANKTON/ PHYTOPLANKTON
Jenis makanan/ Type of food Chlorophyceae Cyanophyceae Bacillariophyceae Dinophyceae Euglenaphyceae
ZOOPLANKTON/ ZOOPLANKTON
Rotifera Copepoda Cladocera
SERASAH TUMBUHAN/ LITTER DETRITUS/DETRITUS
Indeks Preponderance (IP)/ Preponderance index 28.38 9.31 4.25 8.43 6.30 0.08 1.29 0.98 0.28 0.01 41.09
TOTAL
BAHASAN Hubungan Panjang Berat Pertumbuhan ikan didefinisikan sebagai pertambahan panjang dan berat. Pertumbuhan ideal ikan digambarkan secara matematis yakni pertambahan bobot ikan adalah tiga kali dari pertambahan panjangnya. Informasi tentang hubungan panjang bobot ikan dapat menggambarkan kondisi pertumbuhan ikan yang tertangkap di alam untuk selanjutnya menjadi dasar dalam pengelolaan sumberdaya.
29.23 100
Dari hasil analisa Gambar 2. memperlihatkan bahwa pertambahan bobot ikan Lukas betina di Perairan Waduk Gajah Mungkur pertumbuhannya bersifat allometrik positif. Kondisi ini kemungkinan karena ikan betina yang tertangkap pada saat penelitian didominasi oleh ikan betina matang gonad (TKG IV) yang siap memijah. Dari total 40 ekor ikan Lukas betina sampel yang diamati pada bulan September, terdapat 28 ekor ikan betina dengan TKG IV (68%) dan 13 ekor TKG V (23%). Ikan-ikan yang matang gonad terutama ikan betina, umumnya mengalami pertambahan berat 10-25% dari bobot normal tubuhnya karena bertambahnya bobot gonad (Naziri, 2010). Semakin matang gonad ikan Lukas betina, maka diameter sel-sel
117
K. Kasim, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120
telur akan semakin membesar dan terdistribusi secara merata dalam kantung telur yang mengisi rongga perut ikan. Effendie (2002) mengemukakan bahwa ikan menggunakan banyak energinya selama proses reproduksi. Bobot ikan maksimum dicapai sesaat sebelum memijah dan kembali menurun dengan pesat pada saat memijah dan setelah memijah. Hal yang berbeda ditemukan pada pertumbuhan ikan Lukas jantan. Hubungan panjang bobot ikan jantan bersifat allometrik negatif (b<3), dimana pertambahan panjangnya lebih dominan daripada pertambahan beratnya. Hal ini berarti, bahwa ikan-ikan jantan tampak memiliki ukuran tubuh yang lebih pipih dibandingkan
dengan ikan-ikan betina yang tampak lebih gemuk pada saat tertangkap. Menurut Naziri (2010) bahwa ikan jantan umumnya mengalami pertambahan bobot 5-10% dari bobot normal pada saat ikan jantan tersebut mengalami matang gonad dan siap memijah. Ikan-ikan jantan yang berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini umumnya telah mencapai TKG V, dimana kantong sperma telah sebagian besar mengempis sehingga kurang berpengaruh terhadap pertambahan bobot tubuh keseluruhan. Sebagai perbandingan, berikut disajikan hubungan panjang berat beberapa jenis ikan air tawar lainnya yang ditemukan di perairan waduk seperti dalam Tabel 5 dibawah ini:
Tabel 5. Hubungan panjang berat dan tipe pertumbuhan beberapa jenis ikan dominan yang ditemukan di perairan waduk. Tabel 5. Length-Weight Relationship and Growth Type of Some Dominant Species in the Reservoir Waters
Spesies/Species Dangila cuvieri - Jantan/male -
Betina/female
Hampala macrolepidota* - Jantan/male - Betina/female Pangasius pangasius* - Jantan/male -
Betina/female
n
Panjang (L) (mm)/Length (cm)
Berat (W) (g)/Weight (g)
Hubungan Pjgberat/Length-Weight Relationship
r
Tipe Pertumbuhan/ Growth type
8
143-190
25-57
W=(9.2 x10-3)L2.9761
0.906
isometric
42
129-198
16-67
W=(5 x10-3)L3.1833
0.850
allometrik
185-340
90-500
W=(2.33x10-5)L2.8821
Isometric
198-507
100-1420
W=(3.18 x10-5)L2.8242
Isometrik
125-560
40-1250
W=(1.41x10-5)L2.9204
Isometric
145-795
30-3700
W=(1.78 x10-5)L2.8814
Isometrik
Macrones nemurus* 100 145-550 Puntius gonoinotus* 150 145-405 Puntius bromoides* 106 100-260 Oreochromis niloticus* 63 135-440 Keterangan: *) Sumber Hardjamulia (1987)
35-3450 40-1405 20-260 50-2000
Faktor Kondisi Nilai faktor kondisi ikan merupakan gambaran tentang kondisi kegemukan ikan dalam populasinya yang dinyatakan dengan notasi F K. Pengetahuan tentang faktor kondisi ikan Lukas dimaksudkan untuk mengetahui gambaran kondisi kesehatan ikan Lukas di Waduk Gajah Mungkur ditinjau dari ketersediaan makanannya di perairan. Nilai F K yang tinggi menggambarkan bahwa tersedia makanan yang cukup untuk menopang pertumbuhan somatic dan gonad ikan di suatu perairan. Nilai faktor kondisi yang diperoleh dari hasil penelitian menggambarkan bahwa ikan-ikan Lukas betina cenderung lebih gemuk jika dibandingkan dengan ikan Lukas jantan pada panjang tubuh yang sama. Hal ini disebabkan karena 118
-6
3.2099
W=(4.90 x10 )L W=(4.13 x10-6)L2.2311 W=(5.53 x10-5)L2.7592 W=(3.69 x10-5)L2.8992
0.988 0.995 0.953 0.993
allometric allometric allometric isometric
ikan betina pada saat dilakukan kegiatan penelitian ini umumnya sudah siap memijah (sebagian besar berada pada TKG IV), sehingga mengalami pertambahan berat gonad, sedangkan ikan-ikan jantan relatif telah memijah yang ditandai dengan fase pemijahan TKG V. Fekunditas dan Diameter Telur Fekunditas didefinisikan sebagai jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan yang telah matang gonad. Pengetahuan tentang fekunditas telur dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan reproduksi ikan tersebut dalam mempertahankan populasinya di alam yang nantinya berpengaruh terhadap hasil rekrutmen individu yang baru dalam suatu populasi.
K. Kasim, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120
Jumlah telur (fekunditas) diambil dari dua ekor ikan contoh yang telah dianggap matang gonad yakni pada Tingkat Kematangan Gonad IV (TKG IV). Pada contoh ikan pertama, berat contoh gonad yang diambil sebanyak 0,25 gram atau 4,1% dari berat gonad keseluruhan yakni 6,04 gram. Untuk contoh ikan kedua, berat gonad contoh yang dianalisis sebanyak 2,0 gram dari 7,56 gram berat gonad keseluruhan atau sebesar 26% dari berat gonad keseluruhan.
merupakan ikan herbivor yang hidup di Perairan Waduk Gajah Mungkur antara lain ikan Tawes (Puntius gonoinotus), ikan Jambal (Pangasius pangasius), dan ikan Lalawak (Puntius bramoides) (Hardjamulia et al., 1987). Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dikemukakan dalam Anonymous (2011) bahwa ikan Lukas merupakan ikan pemakan serasah, fitoplankton, maupun algae dasar perairan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ikan ini dapat pula memakan zooplankton, perifiton, dan larva serangga.
Gambar 3. menunjukkan bahwa ukuran diameter telur ikan Lukas jauh lebih kecil dibandingkan dengan ikan Oskar yang berkisar antara 1,00 – 1,82 mm pada saat matang gonad dan siap dipijahkan (Purnamaningtyas, et. al, 2010). Hal ini membuktikan bahwa contoh ikan yang diambil selama periode September memperlihatkan bahwa sebagian besar ikan contoh yang diambil berada pada fase telah matang gonad dan siap memijah.
Penelitian sebelumnya tentang kebiasaan makanan ikan Lukas juga dilaporkan oleh Susatyo, et al, (2010) dimana makanan utama ikan Lukas adalah fitoplankton, sedangkan zooplankton, cacing, dan gastropoda adalah makanan pelengkap, sedangkan potongan hewan, detritus dan potongan tumbuhan adalah makanan tambahan pada ujicoba domestikasi ikan Lukas di kolam. KESIMPULAN
Ikan Lukas yang tertangkap pada bulan September umumnya telah matang gonad dimana ikan betina didominasi oleh TKG IV sedangkan ikan jantan TKG IV dan V. Dengan hasil pengamatan TKG tersebut, diperkirakan bahwa masa pemijahan ikan Lukas di perairan Waduk Gajah Mungkur Wonogiri adalah pada bulan September dan Oktober dimana pada bulan-bulan ini tinggi muka air waduk meningkat seiring dengan dimulainya musim penghujan. Hasil dugaan waktu pemijahan ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Anonymous (2011) yang mengemukakan bahwa ikan-ikan Lukas yang ditangkap di perairan Sungai Mekong, Laos, memijah antara bulan Juni dan Juli. Kebiasaan Makanan (food habit) Informasi tentang kebiasaan makanan ikan Lukas sangat diperlukan karena makanan merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pertumbuhannya. Ikan Lukas (Dangila cuvieri) yang hidup di Waduk Gajah Mungkur merupakan populasi ikan asli waduk yang kebiasaan makanannya sangat tergantung dari ketersediaan makanan dan kondisi perairan. Ditambahkan oleh Nurnaningsih, et al., (2005) kebiasaan makanan suatu jenis ikan, selain ditentukan oleh ketersediaan makanan, juga ditentukan oleh selera makan ikan itu sendiri dan ukuran ikan karena berkenaan dengan lebar bukaan mulut. Tabel 4. menunjukkan bahwa jenis makanan ikan Lukas berupa serasah tumbuhan, detritus serta fitoplankton menunjukkan bahwa ikan jenis ini tergolong sebagai ikan herbivor. Untuk fitoplankton, ikan Lukas lebih dominan memakan jenis Chlorophyceae dan Bacillariophyceae sebagaimana ikan herbivora lainnya seperti ikan nilem (Taofiqurohman et al., 2007). Beberapa ikan lainnya yang
Berdasarkan hasil kajian ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Ikan Lukas jantan memiliki tipe petumbuhan allometrik negatif dimana pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya, sedangkan ikan betina memiliki tipe pertumbuhan allometrik positif dimana pertambahan beratnya lebih cepat dari pertambahan panjangnya. 2. Nilai faktor kondisi (FK) ikan jantan dan betina berbeda, dimana ikan betina cenderung mempunyai nilai faktor kondisi yang lebih tinggi daripada ikan jantan yang berarti ikan betina lebih gemuk dari ikan jantan. 3. Jumlah telur (fekunditas) ikan Lukas betina berkisar antara 1,517 sampai dengan 10,857 butir telur dengan diameter telur yang sudah matang berkisar antara 0,89 sampai dengan 0,98 mm. 4. Ikan Lukas cenderung bersifat herbivora (herbivorous) dimana makanan utama ikan Lukas adalah serasah tumbuhan, detritus sebagai makanan tambahan sedangkan fitoplankton sebagai makanan pelengkap. Ikan ini juga memakan beberapa jenis zoplankton. PERSANTUNAN Kegiatan ini merupakan kegiatan riset pengelolaan perikanan perairan umum daratan di Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, Jawa Tengah, T.A 2010, Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Bapak Purwanto, Ph.D dan Bapak Prof. Dr. Endi Setiadi Kartamihardja atas segala dukungan yang telah diberikan sehingga kegiatan penelitian ini dapat berjalan dengan baik.
119
K. Kasim, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120
DAFTAR PUSTAKA Anonymous.2009.http://www.eol.org/pages/211349. diakses 18 November 2010. Anonymous.2010.http://www.seriouslyfish.com/ profile.php?genus=Cyclocheilichthys&species=apogon+&id=1330. diakses 18 November 2010. Anonymous.2011.http://fishbase.sinica.edu.tw/Summary/ SpeciesSummary.php?ID=25195. diakses 4 Januari 2011. Hardjamulia A., & N. Rabegnatar. 1988. The use of carps in the fishery management of reservoirs and lakes in Indonesia. P70-p89. FAO Fisheries Report No. 405 Supplement. Indo pacific Fishery Commission.Research Institute for Freshwater Fisheries, Bogor, Indonesia. Papers Contributed to The Workshop on The Use of Cyprinids in The Fisheries Management of Larger Inland Water Bodies of The Indo Pacific. Kathmandu, Nepal, 8-10 September 1988. http://books.google.co.id/books?id=Mp0eqEMIfwC&pg=PA87&dq=puntius+bromoides&hl=id&ei= ZpnkTImcIIaiuQOLuYzqDA&sa=X&oi= book_result&ct=result&resnum=3&ved= 0CDEQ6AEwAg#v=onepage&q=puntius%20bromoides&f=false. Diakses tanggal 23 Desember 2010. HardjamuliaA., E. S. Kartamiharja, & N.S. Rabegnatar. 1987. Some Biological Aspects of The Predominant Fish Species in The Jatiluhur Reservoir, West Java, Indonesia. Reservoir Fishery Management and Development in Asia. Proceedings of a Workshop Held in Kathmandu, Nepal, 23-28 November 1987. Editor:Sena S. da Silva. p. 98-104. Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nasional. Yogyakarta. 36 p.
120
Naziri Z. 2010. Aspek Biologi Reproduksi Ikan Lele(Clarias Batrachus). http:// zaldibiaksambas.wordpress.com/2010/06/21/aspekbiologi-reproduksi-ikan-lele-clarias-batrachus/ diakses tanggal 27 Desember 2010. Needham, J. G. & P. R. Needham. 1963. A Guide to the Study of Freshwater Biology. Fifth edition. Revused and Enlarged. Holden Day Inc. San Francisco. 180 p. Nurnaningsih, M.F. Rahardjo, & S. Sukimin. 2005. Pemanfaatan Makanan oleh Ikan-Ikan Dominan Di perairan Waduk Ir. H. Djuanda. Jurnal Iktiologi Indonesia. 4 (2). 61-65. Purnamaningtyas, S. E. & D. W. H. Tjahjo. 2010. Beberapa Aspek Biologi Ikan Oskar (amphilophus citrinellus) Di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Jawa Barat. Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap. 3(1). 9-15. Susatyo P., Sugiharto, & W. Lestari. 2010. Aspek Reproduksi dan Ekologis Brek (Puntius orphoides) dan Lukas (Puntius bramoides) Sungai Serayu Banyumas Sebagai Dasar Domestikasi dan Diversifikasi Budidaya Perikanan. Makalah Publikasi Untuk Jurnal Semnaskan2010. http:// www.scribd.com/doc/34958023/Predomestikasi-IkanBrek-Dan-Ikan-Lukas-Sungai-Serayu-MakalahPublikasi-Untuk-Jurnal-Semnaskan-2010. Diakses tanggal 27 Desember 2010. 12 p. Sukimin, S. 2004. Modul Praktikum Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Taofiqurohman, A., I. Nurruhwati, & Z. Hasan. 2007. Studi Kebiasaan Makanan (Food Habit) Ikan Nilem (Osteochilus hasselti) Di Tarogong Kabupaten Garut. Laporan Penelitian Peneliti Muda. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran. p. 14-18.
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129
STATUS TROFIK DAN ESTIMASI POTENSI PRODUKSI IKAN DI PERAIRAN DANAU TEMPE, SULAWESI SELATAN TROPHIC STATE AND ESTIMATION OF FISH PRODUCTION POTENTIAL IN THE TEMPE LAKE WATERS, SOUTH SULAWESI Samuel 1), Safran Makmur 1) dan Petrus Rani Pong Masak 2) 1)
Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang 2) Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros Teregistrasi I tanggal: 19 Februari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 9 Agustus 2012; Disetujui terbit tanggal: 10 Agustus 2012
ABSTRAK Danau Tempe merupakan tipe danau rawa banjiran yang dikenal sebagai danau yang banyak menghasilkan ikan air tawar di Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian status trofik dan estimasi potensi produksi ikan di Danau Tempe dilakukan pada bulan Pebruari-Nopember 2010, bertujuan untuk mengetahui kondisi terkini tentang status trofik dan potensi produksi ikan pada perairan danau. Penelitian bersifat survei lapangan dan analisis di laboratorium. Survei dilakukan sebanyak 4 kali mewakili musim kemarau dan musim penghujan. Pengukuran parameter kualitas air dilaksanakan di sepuluh stasion yang dipilih secara purposif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas air Danau tempe masih ideal mendukung kehidupan dan perkembanganbiakan ikan serta organisme air lainnya sebagai pakan ikan. Status trofik perairan Danau Tempe sesuai kriteria Trophic Status Index, mempunyai indeks rata-rata 56,6 - 59,8 dengan status “eutrofik ringan”, ditandai melimpahnya tumbuhan air di perairan danau. Angka potensi produksi ikan berkisar antara 69-148 kg/ha/tahun dengan nilai rata-rata 95 kg/ha/tahun. Dengan luasan Danau Tempe antara 15.000-20.000 hektar menghasilkan produksi ikan antara 1428 -1904 ton/tahun. KATA KUNCI : Status trofik, potensi produksi, Danau Tempe ABSTRACT : Lake Tempe is a floodplain lake that produces a lot of freshwater fish in South Sulawesi Province. Research on trophic status and estimation of potential fish production in Lake Tempe was conducted from February-November, 2010. Aim of this study was to obtain information on the current condition of the trophic status and potential fish production in the lake waters. This study is based on the field survey and analysis in the laboratory. Surveys were conducted 4 times to represent the dry and rainy seasons, and water quality parameter measurements were carried out at ten stations selected purposively. The results shows that water quality parameters of Lake Tempe was still quite ideal to support aquatic life and the development of fish and other aquatic organisms as fish food. Trophic status of Tempe Lake waters according to the Trophic State Index (TSI) had mean index of 56,6 to 59,8 with state of mild eutrophic by indicating the abundance of aquatic plants. Potential fish production in Lake Tempe ranged from 69 to 148 kg/ha/year with an average value of 95 kg/ha/year. In normal conditions, the vast waters of Lake Tempe ranged between 15000-20000 hectares produce fish between 1428 to 1904 tons / year. KEYWORDS : Trophic state, potential of fish production , Lake Tempe
PENDAHULUAN Danau Tempe merupakan tipe danau rawa banjiran yang sebagian besar berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan. Luas Danau Tempe sekitar 13.000 ha dengan kedalaman maksimum 5,5 m dan dapat mencapai lebih dari 30.000 ha saat banjir, sedangkan pada saat musim kemarau luas genangannya hanya mencapai 1.000 ha dengan kedalaman maksimum 1 m (Anonimous, 2003). Pada saat terjadi kemarau panjang, airnya hanya ada pada alur-alur sungai, sedangkan pada saat musim penghujan seluruh areal danau tertutup oleh air. Perbedaan tinggi permukaan air saat musim hujan dan musim kemarau ± 4 m. Pada musim kemarau daerah yang
tidak digenangi air merupakan hamparan lahan yang subur sehingga digunakan sebagai lahan pertanian palawija. Areal yang digenangi air ± 45% permukaannya tertutupi oleh gulma air, selebihnya merupakan areal penangkapan ikan dan alur pelayaran. Proses penyuburan air (proses eutrofikasi) Danau Tempe terjadi karena tanah yang tadinya digunakan untuk lahan perkebunan, banyak mengandung unsur-unsur hara dan bahan-bahan organik yang pada waktu tergenang air akan mengalami penyuburan. Kegiatan perikanan yang dominan di Danau Tempe adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan sepanjang tahun. Kegiatan ini memperlihatkan puncaknya pada saat air rendah yang umumnya terjadi pada bulan
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Jl. Beringin No. 308, Mariana Palembang, Sumatera Selatan, Email :
[email protected]
121
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129
September-November. Jenis ikan yang ada berdasarkan hasil penelitian oleh Makmur et al. (2010), terdiri dari : ikan gabus (Channa striata), betok (Anabas Testudineus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), sepat jawa (Trichogaster trichopterus), lele (Clarias batrachus), mas (Cyprinus carpio), tawes (Barbodes gonionotus), nilem (Osteochilus hasselti), mujair (Oreochromis mossambica), nila (O. niloticus), bunaka (Bunaka gyrinoides), bungo (Glossogobius giuris), masapi (Anguillla marmorata), belut (Monopterus albus) dan belanak (Mugil cephalus). Adanya hubungan langsung perairan Danau Tempe dengan laut di Teluk Bone memungkinkan adanya migrasi atau pengembaraan golongan ikan air tawar sekunder di perairan ini.
ini disebabkan penangkapan yang berlebih / jumlah nelayan meningkat (Pratiwi et al., 2009) dan terjadinya pendangkalan perairan danau (Anonimous, 2003). Danau Tempe termasuk tipe danau rawa banjiran dengan kondisi kesuburan air yang dapat berbeda antara musim kemarau dan penghujan, maka data dan informasi tentang kesuburan perairan Danau Tempe dan potensi produksi ikan sangatlah diperlukan dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimal dan berkelanjutan di perairan danau ini. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kondisi terkini tentang status trofik dan potensi produksi ikan di perairan Danau Tempe.
Jenis ikan betok dan ikan gabus yang oleh nelayan setempat dikatakannya sebagai ikan asli, sudah ada di perairan Danau Tempe. Jenis lainnya, sepat siam, tawes, lele, tambakan dan mas, adalah ikan introduksi dari Jawa yang dilakukan sejak tahun 1937 (Anonimous, 2008). Produksi ikan dari Danau Tempe pada tahun 1975 dilaporkan sebesar 4.000 ton/tahun atau 200 kg/ha/tahun. Berdasarkan data stastistik perikanan Sulawesi Selatan pada tahun 1974, produksi perikanan yang berasal dari Danau Tempe dan Sidenreng mencapai lebih kurang 4.500 ton, produksi ini relatif sama sampai tahun 1977. Produksi tersebut dianggap menurun bila dibandingkan dengan produksi ikan pada tahun 1955 yang tercatat 16.500 ton/ tahun, dan semakin menurun dibandingkan dengan produksi ikan sebelum perang (PD II) yang tercatat sebesar 25.000 ton/tahun (Anonimous, 2008). Penurunan produksi
Penelitian dilakukan di perairan Danau Tempe pada bulan Pebruari, Mei, Agustus dan Nopember tahun 2010. Pengumpulan data primer yang terdiri dari temperatur air, substrat dasar, kecerahan, kedalaman air, daya hantar listrik, pH air, oksigen terlarut, karbondioksida bebas, alkalinitas, fosfat, amoniak, nitrat, total fosfor dan khlorofila, dilakukan langsung di lapangan. Stasiun pengambilan contoh dan pengukuran parameter kualitas air ditentukan secara purposif didasari pada keberadaan inlet dan outlet, zona tengah danau, serta berdasarkan keberadaan populasi ikan. Posisi geografis dan diskripsi dari masingmasing stasiun penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 dan Lampiran 1. Metode analisis kualitas air merujuk pada buku “Standart Method for the Examination of Water and Wastewater” (APHA, 1981) dan secara rinci disajikan pada Tabel 1.
BAHANDANMETODE
Tabel 1. Parameter kualitas air yang dianalisa, metode dan alat yang digunakan Table 1. Water quality parameters analyzed, methods and instrument used No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
122
Parameter Temperatur Substrat dasar Kecerahan Kedalaman perairan Daya Hantar Listrik pH Oksigen terlarut Karbondioksida Alkalinitas Phosphat Amoniak Nitrat Total Fosfor Klorophil-a
Metode insitu insitu insitu insitu insitu insitu insitu Titrimetri Titrimetri Vanadate Molybdate Phanate Nesler’s Vanadate Molybdate Kalorimetrik
Alat Termometer air raksa Ekman grab Sechi disk Deep Sounder SCT-meter pH indicator DO Meter Alat titerasi Alat titerasi Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129
5 6 1
4 3
1
10
2 7
8 9
Gambar 1. Stasiun pengamatan kualitas air di Danau Tempe, Sulawesi Selatan Figure 1.Research station of water quality in Lake Tempe, South Sulawesi Tingkat kesuburan perairan atau status trofik perairan Danau Tempe dianalisa dengan cara menghitung nilai index status trofik (trophic state index, TSI) yang dirumuskan Carlson (1977) dalam Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2008), dengan rangkaian rumus sebagai berikut : TSI = (TSI-SD + TSI-TP + TSI-Chl) / 3 ……...……… 1)
Rumus yang digunakan untuk mencari nilai Trofik Status Indek (TSI-SD, TSI-TP dan TSI-Chl) adalah sebagai berikut : TSI-SD = 60 – 14,41 * Ln [SD], dimana SD = kecerahan air dalam meter ;
TSI-TP = 4,15 + 14,42 * Ln [TP], dimana TP = total Fosfor dalam ug/Liter ; TSI-Chl = 30,6 + 9,81 * Ln [Chl], dimana Chl = kadar Khlorofil-a dalam ug/Liter. Kriteria status trofik perairan dari Carlson diklasifikasikan dalam tingkat kesuburan sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi (Lampiran 2). Besarnya potensi produksi ikan diestimasi dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Henderson & Welcomme (1974) dalam Moreau & De Silva (1991) yaitu : Y = 14,314 MEI 0,4681, ................................................... 2) 123
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129
dimana : Y = nilai potensi produksi ikan (kg/ha/tahun) MEI = Morphoedhaphic Index = nilai parameter Daya Hantar Listrik dalam satuan umhos/ cm dibagi dengan rata-rata kedalaman perairan danau dalam satuan meter. HASIL DAN BAHASAN
kesadahan sebagaimana tercantum pada Tabel 2 tergolong sedang. Kadar amonia terendah terjadi di bulan Agustus yaitu sebesar 0,050 mg/L dan tertinggi di bulan Pebruari yaitu 0,238 mg/L. Hasil analisa kandungan nitrat diperoleh nilai antara 0,106-0,262 mg/L dan fosfat nilainya berkisar antara 0,025-0,081 mg/L, Nilai total fosfor Danau Tempe tergolong rendah. Konsentrasi khlorofil-a dengan nilai berkisar antara 14,24-16,66 ug/L.
HASIL Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air dapat dilihat pada Tabel 2. Kedalaman rata-rata perairan selama pengamatan berkisar antara 2,10-5,16 meter. Kecerahan perairan berkisar antara 69,7-129,5 cm. Kecerahan air yang rendah ditemukan pada saat kedalaman air rendah, demikian juga kecerahan air yang tinggi, ditemukan pada saat kedalaman air tinggi. Suhu perairan Danau Tempe tergolong tinggi berkisar antara 29,3-31,50C. Nilai Daya Hantar Listrik (DHL) berkisar antara 149-307 umhos/cm. PH perairan berkisar antara 6,89 - 7,80, kadar oksigen terlarut antara 5,00 - 7,02 mg/L. Konsentrasi karbondioksida bebas di perairan danau selama penelitian berkisar antara 8,79-11,31 mg/L. Nilai alkalinitas dan
Status trofik perairan dicirikan dengan tinggi rendahnya kandungan unsur hara, seperti N dan P serta konsentrasi klorofilnya. Nilai indeks status trofik perairan Danau Tempe dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 terlihat bahwa tingkat kesuburan perairan Danau Tempe termasuk dalam kategori eutrofik ringan. Hasil pengukuran nilai potensi produksi ikan Danau Tempe dengan menggunakan MEI (Morphoedhaphic Index) dari empat kali survei dapat dilihat pada Tabel 4, 5, 6 dan 7. Angka potensi tertinggi terjadi di bulan Pebruari yaitu sebesar 147,695 kg/ha/tahun. Angka potensi terendah terjadi di bulan Agustus yaitu sebesar 69,092 kg/ha/tahun.
Tabel 2. Rataan nilai parameter kualitas air Danau Tempe tahun 2010 Table 2. Mean of water quality parameter values of Lake tempe in 2010
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
124
Parameter Perairan Kedalaman Kecerahan Suhu Air DHL pH O2-terlarut CO2-bebas Alkalinitas Kesadahan Fosfat Nitrat Amonia Total-P Khlorofil-a
Satuan (Unit) Meter Cm o C umhos Unit mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L ug/L ug/L
Bulan Pebruari 2,10 69,7 31,5 307 7,09 5,27 9,67 81 87 0,081 0,106 0,238 37,378 16,07
Bulan Mei 3,35 116 30,6 161 7,60 5 8,79 75 78 0,063 0,155 0,184 34,407 14,24
Bulan Agustus 5,16 129,5 29,3 149 6,89 6,43 11,31 73 78 0,066 0,262 0,050 38,312 16,66
Bulan Nopember 4,20 89,5 30,6 149 7,80 7,02 10,68 86 88 0,025 0,221 0,057 35,459 14,88
RataRata 3,70 101,2 30,5 192 7,40 5,93 10,11 79 83 0,059 0,186 0,132 36,389 15,46
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129
Tabel 3. Trofik status indeks Carlson untuk perairan Danau Tempe tahun 2010 Table 3. Carlson’s trophic state index for waters of the Tempe Lake in 2010 Pebruari-2010 Stasion Nama Stasion 1 Ajitase 2 Pasele 3 Menara Air (Tengah Danau) 4 Hulu Solok 5 Capai Ujung 6 Tancung Burai 7 Sungai Menralang 8 Solo Abedan 9 Rumah Terapung 10 Batu-Batu Nilai Rata-Rata Mei-2010 1 Ajitase 2 Pasele 3 Menara Air (Tengah Danau) 4 Hulu Solok 5 Capai Ujung 6 Tancung Burai 7 Sungai Menralang 8 Solo Abedan 9 Rumah Terapung 10 Batu-Batu Nilai Rata-Rata Agustus-2010 1 Ajitase 2 Pasele 3 Menara Air (Tengah Danau) 4 Hulu Solok 5 Capai Ujung 6 Tancung Burai 7 Sungai Menralang 8 Solo Abedan 9 Rumah Terapung 10 Batu-Batu Nilai Rata-Rata Nopember-2010 1 Ajitase 2 Pasele 3 Menara Air (Tengah Danau) 4 Hulu Solok 5 Capai Ujung 6 Tancung Burai 7 Sungai Menralang 8 Solo Abedan 9 Rumah Terapung 10 Batu-Batu Nilai Rata-Rata
Score 56,7 60,7 65,4 55,9 48,7 58,6 57,2 59,5 61,7 62,0 59,8
Status Trofik Eutrophik ringan Eutrophik sedang Eutrophik sedang Eutrophik ringan Mesotrophik Eutrophik ringan Eutrophik ringan Eutrophik ringan Eutrophik sedang Eutrophik sedang Eutrophik ringan
54,2 57,3 61,4 51,5 43,3 53,7 54,6 58,5 60,2 59,5 56,6
Eutrophik ringan Eutrophik ringan Eutrophik sedang Eutrophik ringan Mesotrophik Eutrophik ringan Eutrophik ringan Eutrophik ringan Eutrophik sedang Eutrophik ringan Eutrophik ringan
60,6 62,1 48,1 46,3 58,9 53,0 60,2 55,7 46,9 61,0 55,3
Eutrofik Sedang Eutrofik Sedang Mesotrofik Mesotrofik Eutrofik Ringan Eutrofik Ringan Eutrofik Sedang Eutrofik Ringan Mesotrofik Eutrofik Sedang Eutrofik Ringan
57,8 57,5 52,6 49,3 62,1 51,1 56,9 54,5 54,6 65,7 56,2
Eutrofik Ringan Eutrofik Ringan Eutrofik Ringan Mesotrofik Eutrofik Sedang Eutrofik Ringan Eutrofik Ringan Eutrofik Ringan Eutrofik Ringan Eutrofik Sedang Eutrofik Ringan
125
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129
Tabel 4. Angka potensi produksi ikan Danau Tempe pada bulan Pebruari, 2010 Table 4. Potential of fish production value of Lake Tempe on February, 2010 Stasiun Riset Ajitase Pasele Menara Air Hulu Solok Capai Ujung Tancung Burai Sungai Menralang Solo Abedan Rumah Terapung Batu-Batu Nilai Rata-Rata
Kedalaman (meter) 2,25 2,10 2,05 2,05 2,00 2,10 2,85 1,80 2,00 1,80 2,10
DHL (umhos) 305 308 312 323 318 306 322 283 320 276 307
MEI (umhos/m) 135,600 146,619 152,341 157,707 159,150 145,857 112,807 157,056 160,150 153,111 146,348
Potensi Produksi Ikan (kg/ha/tahun) 142,52 147,82 150,50 152,96 153,61 147,46 130,75 152,66 154,06 150,85 147,70
Tabel 5. Angka potensi produksi ikan Danau Tempe pada bulan Mei, 2010 Table 5. Potential of fish production value of Lake Tempe on May, 2010
Stasiun Riset Ajitase Pasele Menara Air Hulu Solok Capai Ujung Tancung Burai Sungai Menralang Solo Abedan Rumah Terapung Batu-Batu Nilai Rata-Rata
Kedalaman (meter) 3,40 3,20 3,45 3,20 3,25 3,40 3,40 2,90 3,60 3,70 3,35
DHL (umhos) 160 157 156 157 154 156 160 174 185 155 161
MEI (umhos/m) 47,059 49,063 45,217 49,063 47,385 45,882 47,059 60,000 51,389 41,892 48,060
Potensi Produksi Ikan (kg/ha/tahun) 86,84 88,55 85,23 88,55 87,12 85,82 86,84 97,30 90,49 82,24 87,70
Tabel 6. Angka potensi produksi ikan Danau Tempe pada bulan Agustus, 2010 Table 6. Potential of fish production value of Lake Tempe on August, 2010
Stasiun Riset Ajitase Pasele Menara Air Hulu Solok Capai Ujung Tancung Burai Sungai Menralang Solo Abedan Rumah Terapung Batu-Batu Nilai Rata-Rata
126
Kedalaman (meter) 5,20 5,10 5,20 5,20 5,00 4,80 6,00 5,00 5,10 5,00 5,16
DHL (umhos) 145 144 147 147 145 143 145 154 159 164 149
MEI (umhos/m) 27,885 28,235 28,269 28,269 29,000 29,792 24,167 30,800 31,177 32,800 28,876
Potensi Produksi Ikan (kg/ha/tahun) 67,97 68,37 68,41 68,41 69,23 70,11 63,57 71,21 71,62 73,34 69,09
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129
Tabel 7. Angka potensi produksi ikan Danau Tempe pada bulan Nopember, 2010 Table 7. Potential of fish production value of Lake Tempe on November, 2010
Stasiun Riset Ajitase Pasele Menara Air Hulu Solok Capai Ujung Tancung Burai Sungai Menralang Solo Abedan Rumah Terapung Batu-Batu Nilai Rata-Rata
Kedalaman (meter) 4,10 4,40 4,60 4,50 3,50 3,50 4,80 4,20 4,10 4,40 4,21
DHL (umhos) 147 151 142 142 146 135 149 141 166 171 149
BAHASAN Kecerahan perairan Danau Tempe berkisar antara 69,7129,5 cm. Kecerahan air yang rendah ditemukan pada saat kedalaman air rendah, demikian juga kecerahan air yang tinggi, ditemukan pada saat kedalaman air tinggi. Perubahan kecerahan ini diduga oleh adanya pengadukan air akibat tiupan angin yang menyebabkan air bergelombang dan partikel-partikel yang ada di dasar perairan tersuspensi ke kolom air pada saat kedalaman air rendah. Hal lain yang menyebabkan kecerahan air rendah saat tinggi muka air rendah kemungkinan karena banyaknya aktivitas penangkapan ikan dan aktivitas perkebunan dan pertanian di areal lahan sekitar Danau Tempe. Untuk perairan danau dengan tingkat kecerahan antara 69,7-129,5 cm, diklasifikasikan sebagai danau dengan tingkat kesuburan sedang sampai tinggi atau meso-eutrofik (Likens, 1975 dalam Jorgensen, 1980). PH perairan berkisar antara 6,89 sampai 7,80 menunjukkan perairan danau bersifat alkalis sedang. Hal tersebut diperkuat dengan nilai alkalinitas rata-rata perairan danau antara 73-86 mg/l CaCO3-eq. yang mengindikasikan perairan danau dengan tingkat produktivitas sedang (Golman & Horne, 1983). Swingle (1968) mengatakan bahwa perairan dengan nilai alkainitas antara 50-200 mg/l CaCO3-eq. dan kesadahan diatas 50 mg/l CaCO3-eq. menunjukkan produktivitas perairan sedang sampai tinggi. Menurut Moyle & Mair (1945) dalam Boyd (1982), suatu perairan dengan kadar alkalinitas sebesar 40 mg/l atau lebih menunjukkan perairan yang subur atau produktif. Perairan demikian ideal mendukung kehidupan dan perkembangbiakan organisme perairan termasuk ikan dan organisme air lainnya sebagai makanan ikan (Wardoyo, 1979). Kadar oksigen terlarut berkisar antara 5,00 sampai 7,02 mg/l, menunjukkan nilai kisaran yang cukup mendukung
MEI (umhos/m) 35,854 34,318 30,870 31,556 41,714 38,571 31,042 33,571 40,488 38,864 35,685
Potensi Produksi Ikan (kg/ha/tahun) 76,46 74,91 71,29 72,02 82,07 79,12 71,47 74,14 80,94 79,40 76,29
bagi kehidupan ikan (NTAC, 1968). Konsentrasi karbondioksida bebas di perairan danau selama penelitian berkisar antara 8,79-11,31 mg/l. Menurut NTAC (1968), Pescod (1973) dan Swingle (1968) masih aman bagi kehidupan ikan karena nilainya dibawah 12 mg/l dari nilai yang dianjurkan. Kadar amonia berkisar antara 0,050-0,238 mg/l, merupakan kisaran nilai yang masih dalam batasbatas yang dapat ditoleransi bagi kehidupan ikan. Pescod (1973) mengatakan suatu kriteria pada perairan di daerah tropis yang tidak membahayakan kehidupan ikan, kadar amonianya jangan lebih dari 1,0 mg/l dan bila mengacu pada Peraturan Pemerintah No.20, tahun 1990 tentang pengendalian pencemaran air, disarankan konsentrasi amoniak bebas dalam perairan tidak boleh lebih dari 0,02 mg/l. Mengacu pada nilai ini, perairan Danau Tempe tergolong perairan dengan kandungan ammoniak sudah tinggi. Sumber amonia pada suatu perairan dapat berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati). Di Danau tempe, tumbuhan air yang membusuk berasal dari aktivitas penangkapan ikan dengan cara bungka toddo sudah merupakan pemandangan yang biasa dan hal ini diduga bahwa sumber amonia diperairan danau ada hubungannya dengan kegiatan tersebut. Goldman & Horn (1983) mengatakan bahwa konsentrasi amonia dapat berasal dari proses dekomposisi bahan organik yang menumpuk di dasar perairan. Hasil analisa kandungan Nitrat diperoleh nilai antara 0,106-0,262 mg/l dan Fosfat nilainya berkisar antara 0,025-0,081 mg/l, mengindikasikan perairan Danau Tempe tergolong perairan yang subur. Menurut Liaw (1969) suatu perairan dengan konsentrasi Fosfat berkisar antara 0,0510,100 mg/l merupakan perairan yang subur. Konsentrasi khlorofil-a dengan nilai berkisar antara 14,24-16,66 ug/l, menunjukkan perairan meso-eutrofik atau perairan yang mempunyai tingkat kesuburan sedang sampai tinggi (OECD, 1982).
127
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129
60 5 59 4 58
TSI Kedalaman
57
3
56 2 55 1 54 53
0 Pebruari
Mei
Agustus
Nopember
Waktu Survei / Time of Survey
Gambar 2. Hubungan nilai indek status trofik dengan kedalaman air di Danau Tempe tahun 2010. Figure 2. Relationships between trophic state index and water depth in Lake Tempe in 2010. Besarnya potensi produksi ikan dengan menggunakan MEI berkaitan erat dengan besarnya nilai Daya Hantar Listrik (DHL). Besaran nilai DHL memberikan gambaran pada besarnya kandungan unsur-unsur kation dan anion yang larut dalam perairan. Unsur-unsur kation dan anion tersebut merupakan unsur hara untuk pertumbuhan produser (fitoplankton dan tumbuhan air) yang dalam sistem rantai makanan dimanfaatkan oleh ikan (konsumer). Tingginya nilai DHL akan membuat nilai MEI juga tinggi sehingga potensi produksi ikan di perairan bersangkutan akan tinggi. Demikian fenomena yang terjadi pada perairan Danau Tempe. Pada Gambar 3, nilai potensi produksi ikan tinggi pada saat tinggi muka air rendah, hal ini disebabkan karena nilai MEI yang merefleksikan kandungan mineral / unsur hara nilainya tinggi dalam perairan. Unsur hara tersebut merupakan elemen yang sangat diperlukan oleh
128
Hasil integrasi selama penelitian (dari 4 x survei, tahun 2010), angka potensi produksi ikan di Danau Tempe berkisar antara 69,09-147,69 kg/ha/tahun dengan nilai ratarata sebesar 95,19 kg/ha/tahun. Menurut Kartamihardja (1987) angka rata-rata potensi sebesar 95,19 kg/ha/tahun secara alami tergolong sedang. Potensi produksi ikan Danau Tempe sebesar 95,19 kg/ha/tahun tahun 2010 termasuk lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2004 sebesar 51 kg/ha/tahun (Tjahyo et al., 2005) dan lebih rendah dibandingkan dengan potensi produksinya pada tahun 1975 sebesar 200 kg/ha/tahun. 160
6
140 5 120 4 100 Potensi Produksi Ikan 80
Level Tinggi Air
3
60 2 40 1
Level Tinggi Air / Water Level (meter)
6 Kedalaman air / Water depth (meter)
Indeks Status Trofik / Trophic State Index
61
produser (fitoplankton dan tumbuhan air) yang menjadi tingkat pertama dalam sistem rantai makanan.
Potensi Produksi Ikan / Potential of fish production (kg/ha/tahun)
Hasil perhitungan nilai-nilai indek status trofik perairan dengan mengacu pada kriteria yang dikemukakan Carlson (1977) dalam OECD (1982) ternyata perairan Danau Tempe mempunyai tingkat kesuburan rata-rata eutrofik ringan. Tingkat kesuburan eutrofik ringan ini diduga karena adanya beban unsur hara yang berasal dari aktifitas pemukiman penduduk, aktivitas perkebunan, persawahan yang banyak ditemukan di tepian perairan danau. Melimpahnya tumbuhan air di danau juga menyumbangkan unsur hara melalui proses dekomposisinya. Pada Tabel 2 terlihat bahwa senyawaan fosfat, total fosfor, nitrat dan kadar khlorofil-a perairan Danau Tempe cendrung nilainya lebih tinggi pada saat tinggi muka air rendah. Demikian juga nilai status trofik, nilai yang tinggi ditemukan pada kedalaman perairan yang rendah (Gambar 2). Senyawaan tersebut merupakan unsur-unsur utama untuk kesuburan suatu perairan dan berpengaruh terhadap nilai indeks status trofik perairan.
20 0
0
Pebruari
Mei
Agustus
Nopember
Bulan Penelitian - 2010
Bulan / Month
Gambar 3. Hubungan antara potensi produksi ikan dengan tinggi muka air di Danau Tempe. Figure 3. Relationships between potential of fish production and water level depth in Lake Tempe Luas perairan Danau Tempe sangat tergantung pada tinggi-rendahnya level air danau. Dalam kondisi normal, luas perairan danau berkisar antara 15.000-20.000 hektar (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2008). Berdasarkan luas perairan danau sebagaimana tersebut diatas, maka potensi produksi ikan di Danau Tempe dalam kondisi normal berkisar antara 95,19 kg/ha/tahun x 15.000 ha = 1427,91 ton/tahun (1428 ton/tahun) sampai dengan 95,194 kg/ha/tahun x 20.000 ha = 1903,88 ton/tahun (1904 ton/tahun). KESIMPULAN 1. Kualitas air Danau Tempe pada umumnya mendukung kehidupan dan perkembangbiakan ikan dan organisme air lainnya. 2. Perairan Danau Tempe tergolong perairan yang mempunyai tingkat kesuburan eutrofik ringan dengan nilai Trophic Status Index (TSI) rata-rata antara 55,3-59,8. 3. Nilai potensi produksi ikan di Danau Tempe berkisar antara 69,09-147,69 kg/ha/tahun dengan nilai rata-rata
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129
95,19 kg/ha/tahun dan secara alami termasuk dalam katagori sedang. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset kajian stok sumberdaya ikan di Danau Tempe, Sulawesi Selatan, T. A. 2010, di Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang.
Liaw. W.K. 1969. Chemical and biological studies of fish ponds and reservoirs in Taiwan. Reprinted from Chinese-American Joint Commission on Rural Reconstruction Fish. Series : (7) : 43. Makmur, S., Samuel, P.R. Pongmasak, A. Farid, V. Adiansyah, S. Selamet, T. Hifni & Burnawi. 2010. Kajian Stok Sumberdaya Perikanan di Perairan Danau Tempe Sulawesi Selatan. Laporan Teknis Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang. 49 p.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2003. Masalah, kendala, dan rencana pengelolaan dan konservasi Danau Tempe, Sulawesi Selatan. Balai Besar Wilayah Sungai WalanaeCenranae. 24 p.
Moreau. J. & S. S. De Silva. 1991. Predictive fish yield models for lakes and reservoirs of the Philippines. Sri Langka and Thailand. FAO Fiheries Technical Paper (319).Food and Agriculture Organization of The United Nations.Rome. 42 p.
Anonimous. 2008. Danau Tempe. http://id.wikipedia.org/ wiki/ Danau Tempe/12 Desmber 2010.
NTAC. 1968. Water Quality Criteria. FWPAC. Washington DC. 234 p.
Anonimous. 1990. Peraturan Pemerintah No. 20, tahun 1990, tentang : Pengendalian Pencemaran Air. 30 p.
OECD. 1982. Eutrophication of waters. Monitoring. assessment and control. OECD. Paris. 154 p.
APHA. 1981. Standart Method for the Examination of Water and Wastewater. 15th Edition. American Public Health Association. Washington. D.C. 1134 p.
Pescod, M. B. 1973. Investigation of rational and effluent and stream standards for tropical countries. AIT, Bangkok. 59 p.
Boyd, C.E. 1982. Water Quality in Ponds for Aquaculture. University of Auburn. Birmingham, Alabama. 482 p.
Pratiwi, N.T.M., M. Krisanti & P. Suwignyo. 2009. Kondisi dan permasalahan di Danau Tempe, Sulawesi Selatan. Prosiding Forum Perairan Umum Daratan – VI. Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang, p. 63-70.
Goldman. C.H. & A. J. Horne. 1983. Limnology. McGrawHill Book Company, New York, San Fransisco, Toronto, Sydney, Tokyo. 464 p. Jorgensen. S.E. 1980. Lake Management. Water Development. Supply and Management. Pergamon Press. Oxford- New York- Toronto- Sydney- ParisFrankfurt. 167 p. Kartamihardja. E.S. 1987. Potensi produksi dan pengelolaan perikanan di Danau Toba. Sumatera Utara. Bulletin Penelitian Perikanan Darat, 6 (1) : 65-77. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2008. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan. Jakarta. Indonesia. 118 p.
Swingle, H.S. 1968. Standardization of chemical analyses for waters and pond muds. In : Proceedings of the World Symposium on Warm Water Pond Fish Culture. FAO Fisheries Report. 44 (4) : 397-421. Tjahyo, D. W. H., Husnah, D. Oktaviani, A.S. Nastiti, S.E. Purnamaningtyas, & D. Nugroho. 2005. Riset keanekaragaman hayati ikan perairan pedalaman di Sulawesi. Di Presentasikan pada Pertemuan Pakar Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jakarta. 85 p. Wardoyo, S.T. H. 1979. Kriteria kualitas air untuk keperluan pertanian dan perikanan. Bahan Training Analisa Dampak Lingkungan, PUSDI-PSL, IPB, Bogor. 35 p.
129
BAWAL WIDYARISETPERIKANANTANGKAP Pedoman bagi Penulis UMUM 1. Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap memuat hasil-hasil penelitian bidang “natural history” ikan (pemijahan, pertumbuhan serta kebiasaan makan dan makanan) serta lingkungan sumberdaya ikan. 2. Naskah yang dikirim asli dan jelas tujuan, bahan yang digunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah dipublikasikan atau dikirimkan untuk dipublikasikan di mana saja. 3. Naskah ditulis/diketik dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak diperkenankan menggunakan singkatan yang tidak umum 4. Naskah diketik dengan program MS-Word dalam 2 spasi , margin 4 cm (kiri)-3 cm (atas)-3 cm (bawah) dan 3 cm (kanan), kertas A4, font 12-times news roman, jumlah naskah maksimal 15 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya. Penulis dapat mengirimkan naskah ke Redaksi Pelaksana BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jl. Pasir Putih No.1 Ancol, Jakarta Utara 14430, Telp.: (021) 64711940, Fax.: (021) 6402640, E-mail:
[email protected]. 5. Dewan Redaksi berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan. PENYIAPAN NASKAH 1.
Judul
2.
Abstrak
3.
Kata Kunci
4.
Pendahuluan
5.
Bahan dan Metode
6.
Hasil dan Bahasan
7.
Kesimpulan
8. 9.
Persantunan Daftar Pustaka
Contoh
10. Tabel 11. Gambar
: Naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama penulis. Jabatan atau instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama. : Dibuat dengan Bahasa Indonesia dan Inggris paling banyak 250 kata, isinya ringkas dan jelas serta mewakili isi naskah. : Ditulis dengan Bahasa Indonesia dan Inggris, terdiri atas 4 sampai 6 kata ditulis dibawah abstrak dan dipilih dengan mengacu pada agrovocs. : Secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan sub bab. : Secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait. : Hasil dan bahasan dipisah, diuraikan secara jelas serta dibahas sesuai dengan topik atau permasalahan yang terkait dengan judul. : Disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian. : Memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah. : Disusun berdasarkan pada abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut. Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku atau nama dan nomor jurnal, penerbit dan kota, serta jumlah atau nomor halaman.
: Sunarno, M. T. D., A. Wibowo, & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Tulang Bawang, Kampar, dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. J.Lit.Perikan.Ind. 13 (3). 1-14. Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Ind.Fish Res J. 12 (2). 129-157. Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scintific Publishing Company. New York. 318 p. Defeo, O., T. R. Mc Clanahan, & J. C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J. C. Castilla (eds). Fisheries Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing. Singapore. p. 3-24. Utomo, A. D., M. T. D. Sunarno, & S. Adjie. 2005. Teknik peningkatan produksi perikanan perairan umum di rawa banjiran melalui penyediaan suaka perikanan. In Wiadnyana, N. N., E. S. Kartamihardja, D. I. Hartoto, A. Sarnita, & M. T. D. Sunarno (eds). Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia Ke-1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. p. 185-192. Publikasi yang tak diterbitkan tidak dapat digunakan, kecuali tesis, seperti contoh sebagai berikut: Anderson, M.E, Satria F. 2007. A New Subfamily, Genus, and Species of Pearlfish (Teleostei: Ophidiiformes: Carapidae) from Deep Water off Indonesia. Species Diversity 12: 73-82.
: Disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan. : Skema, diagram alir, dan potret diberi nomor urut dengan angka Arab. Judul dan keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. 12. Foto : Dipilih warna kontras atau foto hitam putih, judul foto ditulis dalam dua Bahasa Indonesia dan Inggris, dan nomor urut di sebaliknya. Dicetak dalam kertas foto atau dalam bentuk digital. 13. Cetak Lepas (Reprint) : Penulis akan menerima cetak lepas secara cuma-cuma. Bagi tulisan yang disusun oleh lebih dari seorang penulis, pembagiannya diserahkan pada yang bersangkutan.