PENDEKATAN EKOSISTEM UNTUK PENGELOLAAN PERIKANAN KARANG DI PULAU WEH, NANGROE ACEH DARUSSALAM
IRFAN YULIANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan Karang di Pulau Weh, Nangroe Aceh Darussalam adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2010
Irfan Yulianto C452080031
ABSTRACT
IRFAN YULIANTO. Ecosystem Approach to Fisheries Management for Reef Fisheries in Weh Island, Nangroe Aceh Darussalam. Supervised by BUDY WIRYAWAN and AM AZBAS TAURUSMAN. Fisheries management has been conventionally managed to maximize economic benefit with little concern on it’s of the ecological impacts. FAO with it’s "Code of Conduct for Responsible Fisheries” has play an important role to a fundamental change in the new paradigm of fisheries management which integrate the ecosystem aspect. The FAO has mandated that every country in the world should use this approach. Weh Island is located in Aceh Province that has good coral reef condition and rich of reef fish, therefore reef fishery is prominent. The objectives of this study are (1) to study ecological status of reef fish, (2) to formulate the priority areas as a candidate of marine protected area, and (3) to assess government institutional capacity on implementing ecosystem approach to fisheries management in Weh Island. Fish catch survey, underwater visual census, and focus group discussion were conducted to collect data. Data analysis used biomass analysis, financial analysis, linear goal programming, Marxan analysis and institutional development framework. Result of this study identified 84 species as high economic value species which were dominated by Scaridae, Acanthuriade, and Caesionidae. Maximum sustainable yield indicated 60% from reef fish biomass. There are eight fishing gears that operating in Weh Island to catch reef fish by fishermen, namely set gillnet, encircling gillnet, handline, muroami, troll line, speargun, longline, and purse seine. Set gillnet and encircling gillnet were identified as optimum fishing gears. Ie Meulee, Anoi Itam, Iboih, Jaboi and Klah Island were identified as priority areas. Local government has expanding level so that they have capacity in implementing ecosystem approach to reef fisheries management Keywords: Ecosystem approach to fisheries management, reef fisheries, Weh Island, marine protected area
RINGKASAN
IRFAN YULIANTO. Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan Karang di Pulau Weh, Nangroe Aceh Darussalam. Dibimbing oleh BUDY WIRYAWAN dan AM AZBAS TAURUSMAN. Pendekatan pengelolaan perikanan sejak tahun 1940-an menggunakan pendekatan konvensional dimana pendekatan yang dipakai lebih sektoral sehingga sedikit mengabaikan kaidah-kaidah ekologis. Sejak Food and Agricultural Organization (FAO) menerbitkan “Code of Conduct for Responsible Fisheries” (CCRF) pada tahun 1995 maka telah terjadi pergeseran paradigma tentang pendekatan pengelolaan perikanan. Dokumen CCRF tersebut terdiri dari satu bab umum dan enam bab khusus yang terdiri dari pengelolaan perikanan, operasi penangkapan, budidaya, integrasi perikanan dalam pengelolaan pesisir, pasca panen, dan penelitian perikanan. Selain itu dengan diterbitkannya Deklarasi Reykjavik pada tahun 2001 yang secara eksplisit memberi tugas kepada FAO untuk membuat sebuah dokumen pedoman yang memberi pertimbangan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, maka FAO menerbitkan pedoman teknis pengelolaan perikanan yang merupakan mandat CCRF tentang pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan. Pulau Weh dengan Ibukota Sabang, terletak di ujung barat laut Pulau Sumatra, wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Selain Pulau Weh Kotamadya Sabang memiliki empat pulau lain yang berpenghuni, yaitu Pulau Klah, P. Seulako, P. Rubiah, dan P. Rondo. Dari 18 kelurahan di Kotamadya Sabang, 16 diantaranya terletak di kawasan pesisir. Dengan demikian ketergantungan dan interaksi masyarakat terhadap sumberdaya pesisir khususnya terumbu karang dan ikan karang sangat tinggi. Secara tradisional, P. Weh saat ini terbagi ke dalam sepuluh (10) lhok yang merupakan suatu kawasan yang dikelola oleh lembaga adat yang dipimpin oleh satu orang panglima laot. Sepuluh wilayah lhok tersebut antara lain; Lhok Iboih, Lhok Pria Laot, Lhok Krueng Raya, Lhok Pasiran, Lhok Ie Meulee, Lhok Anoi Itam, Lhok Balohan, Lhok Jaboi, Lhok Keuneukai, dan Lhok Paya (Pasir Putih). Saat ini pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan telah diimplementasikan pada beberapa kawasan perikanan di dunia. Namun sampai saat ini pendekatan ini belum dilakukan secara formal dalam pengelolaan perikanan suatu kawasan di Indonesia. FAO menyebutkan bahwa meskipun pendekatan ekosistem bukan merupakan hal yang baru dalam pengelolaan perikanan namun masih belum banyak pembelajaran dalam pendekatan ini, untuk itu masih dirasa perlu untuk melakukan penelitian pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan baik secara konsep maupun teknis. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Mengkaji status ekologi sumberdaya perikanan karang di Pulau Weh. 2) Memformulasikan kawasan prioritas untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan berdasarkan pendekatan ekosistem di Pulau Weh. 3) Memahami kelembagaan terkait pengelolaan sumberdaya ikan karang dengan pendekatan ekosistem di Pulau Weh.
Data yang dikumpulkan adalah hasil tangkapan nelayan, biomassa ikan karang, nilai ekonomi alat tangkap yang digunakan, data spasial ekosistem terumbu karang dan informasi kelembagaan. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sensus visual ikan untuk mengumpulkan data panjang, jumlah dan jenis ikan, survei hasil tangkapan untuk mengumpulkan data hasil tangkapan dan nilai ekonomi alat tangkap dan focus group discussion untuk mengumpulkan informasi kelembagaan. Metode yang digunakan dalam analisis data adalah penghitungan Maximum Sustainable Yield (MSY) untuk menentukan jumlah tangkapan lestari tiap spesies, Linear Goal Programming untuk menentukan jumlah alat tangkap optimal, analisis kelayakan usaha alat tangkap untuk menentukan alat tangkap ekonomis, analisis Marxan untuk menentukan area prioritas, dan Institutional Development Framework untuk menganalisis kelembagaan yang ada. Biomassa ikan karang yang dimanfaatkan secara ekonomi didominasi oleh famili Scaridae, Caesionidae dan Acanthuridae. Komposisi jenis ikan yang dimanfaatkan atau ditangkap menunjukkan piramida makanan yang masih baik. Fungsi pemanfaatan lestari (MSY) menunjukkan persentase ikan yang dimanfaatkan sebanyak 60% dari biomassa. Nilai tengah Fmsy adalah 0,66 dan nilai tengah Emsy 0,5. Tidak semua jenis ikan memiliki MSY dengan tingkat eksploitasi 0,5. Dalam pemanfaatan ikan karang terdapat beberapa spesies yang perlu dilindungi. Spesies tersebut antara lain Pseudobalistes fuscus, Carangoides plagiotaenia, Elagatis bipinnulatus, Lutjanus bohar, Cephalopholis boenak, C. miniata, Epinephelus caeruleopunctatus, E. spilotoceps dan Variola louti. Alat penangkapan ikan karang di Pulau Weh terdiri atas 8 jenis, yaitu; jaring insang (set gillnet), pancing (handlines), jaring pisang-pisang (encircling gillnet), pukat jepang (muroami), purse seine, tonda (troll lines), speargun dan rawai (longlines). Pancing merupakan alat tangkap yang menangkap seluruh famili ikan yang dimanfaatkan. Jaring insang, jaring pisang-pisang dan speargun merupakan alat tangkap berikutnya yang dominan menangkap ikan karang kemudian pukat jepang dan tonda. Berdasarkan analisis ekologi dan kelayakan ekonomi jaring insang merupakan alat tangkap yang direkomendasikan untuk dikembangkan. Alternatif alat tangkap yang dikembangkan selain jaring insang adalah jaring pisang-pisang Alat tangkap pancing perlu diatur jumlahnya. Alat tangkap speargun, rawai, dan pukat jepang merupakan alat tangkap yang perlu dibatasi. Alat tangkap speargun dan pukat jepang merupakan alat tangkap yang juga dapat menimbulkan konflik sosial sehingga diperlukan pengaturan yang cukup ketat berkenaan dengan alat tangkap tersebut. Area prioritas untuk dijadikan kawasan konservasi dalam pengelolaan ikan karang terdiri dari kawasan berikut; prioritas pertama meliputi wilayah Anoi Itam, Ie Meulee, Pulau Klah (Pasiran), Iboih dan Jaboi dan dapat dijadikan zona inti dari wilayah pengelolaan serta prioritas kedua meliputi wilayah Keunekai dan Beurawang. Perbandingan antara persentase target konservasi dan persentase luas habitat menunjukkan hubungan logarithmic. Secara kelembangaan, Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian (DKPP), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Kebersihan dan Pertamanan (BAPEDALKEP) berada dalam tahap pemantapan. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Sabang
memiliki kemampuan yang cukup untuk melaksanakan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan ikan karang. Permasalahan utama dalam pelaksanaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan adalah kurangnya kapasitas sumberdaya manusia. Untuk mengatasi masalah kapasitas sumberdaya manusia ini dapat dilakukan antara lain dengan bekerja sama dengan pihak lembaga non pemerintah yang ada di Kota Sabang. Pemerintah Kota Sabang, juga dapat mendelegasikan kegiatan-kegiatan implementasi yang masih belum dilaksanakan atau perlu dikembangkan kepada pihak Panglima Laot, karena Panglima Laot merupakan lembaga adat yang memiliki kewenangan dalam pengaturan pemanfaatan di wilayah perairan laut setempat. Kegiatan perlindungan spesies unik/dilindungi dan kegiatan perlindungan daerah pemijahan ikan dapat dilakukan bersama-sama dengan Panglima Laot Kata kunci: Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, ikan karang, Pulau Weh, kawasan konservasi laut
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENDEKATAN EKOSISTEM UNTUK PENGELOLAAN PERIKANAN KARANG DI PULAU WEH, NANGROE ACEH DARUSSALAM
\
IRFAN YULIANTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis
: Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan Karang di Pulau Weh, Nangroe Aceh Darussalam.
Nama Mahasiswa
: Irfan Yulianto
NRP
: C452080031
Mayor
: Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. Ketua
Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi. M.Si. Anggota
Diketahui Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Koordinator
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 28 Desember 2009
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala kehendaknya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan.
Penelitian yang bertema
pengelolaan perikanan dan dengan judul Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan Karang di Pulau Weh, Nangroe Aceh Darussalam telah dilaksanakan sejak januari 2009. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Budy Wiryawan dan Dr. Am Azbas Taurusman yang telah memberi arahan dan bimbingan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf Wildlife Conservation Society – Indonesia Program khususnya staf Sabang Field Office yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo atas kesediannya menjadi dosen penguji luar komisi. Selain bantuan dari berbagai pihak, penulis juga menyadari bahwa penelitian ini dapat diselesaikan atas dukungan, pengertian dan doa anak, istri, serta orang tua. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas dukungan, pengertian dan doanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengelolaan perikanan dan pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Bogor, Januari 2010
Irfan Yulianto
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jember pada 4 Agustus 1978 dari ayah Sutjipto (alm) dan ibu Siti Hamsatun. Penulis merupakan anak ke 3 dari 3 bersaudara. Penulis menikah pada tahun 2004 dengan Nur Aini dan dikaruniai seorang putri dengan nama Fanny Nurul Dzihni. Pendidikan sarjana penulis diselesaikan di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap sejak tahun 2008. Pada tahun 2001 sampai dengan 2002 Penulis bekerja di Coastal Resources Management Project – USAID untuk pengembangan pengelolaan pesisir terpadu di Provinsi Lampung. Pada tahun 2003 sampai dengan 2004 penulis bekerja di The Nature Conservancy – Derawan Field Office untuk pengembangan kawasan konservasi laut di Kepulauan Berau. Sejak tahun 2006 hingga saat ini penulis bekerja sebagai Marine Protected Area Planner pada lembaga konservasi Wildlife Conservation Society – Indonesia Program. Berbagai seminar dan workshop sekala nasional maupun internasional pernah penulis ikuti sebagai pemakalah seperti Konferensi Nasional Pesisir dan Lautan, International Marine Conservation Congress 2009, World Ocean Conference 2009, dan the Coral Reef Management Symposium on Coral Triangle 2009.
Sebagian hasil penelitian ini juga telah dipresentasikan pada Seminar
Nasional Perikanan Tangkap III 2009.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv DAFTAR ISTILAH ......................................................................................... xvi 1 PENDAHULUAN ........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .........................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................................
3
1.3 Tujuan ......................................................................................................
4
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................
4
2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................................
6
2.1 Pengelolaan Perikanan Bertanggung Jawab ............................................
6
2.2 Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan .............................
9
2.3 Kawasan Konservasi Sebagai Salah Satu Alat Menjaga Stok Perikanan
13
2.4 Kondisi Perikanan Karang di Indonesia ..................................................
14
2.5 Kondisi Umum Pulau Weh ......................................................................
15
3 METODE PENELITIAN ..............................................................................
18
3.1 Alat dan Bahan Penelitian .......................................................................
20
3.2 Waktu Penelitian ......................................................................................
20
3.3 Metode Pengumpulan Data......................................................................
20
3.3.1 Monitoring hasil tangkapan ...........................................................
20
3.3.2 Sensus visual ikan ..........................................................................
21
3.3.3 Data spasial ....................................................................................
22
3.3.4 Data kelembagaan..........................................................................
22
3.4 Analisis Data ............................................................................................
22
3.4.1 Persamaan panjang-berat ikan .......................................................
22
3.4.2 Biomassa ikan ................................................................................
22
3.4.3 Maximum sustainable yield ...........................................................
23
xi
3.4.4 Analisis kelayakan usaha penangkapan .........................................
24
3.4.5 Optimasi alat tangkap ....................................................................
25
3.4.6 Analisis Marxan untuk menentukan area prioritas ........................
26
3.4.7 Analisis kelembagaan ....................................................................
29
3.4.7.1 Matriks Institutional Development Framework .................
29
3.4.7.2 Indeks Institutional Development Framework ...................
30
3.4.7.3 Grafik prioritas ...................................................................
31
4 HASIL PENELITIAN...................................................................................
33
4.1 Sumberdaya Ikan Karang di Pulau Weh ..................................................
33
4.1.1 Biomasa ikan karang ....................................................................
33
4.1.2 Alat penangkapan ikan karang.......................................................
34
4.1.3 Nilai ekonomi alat penangkapan ikan karang................................
36
4.1.4 Jumlah alat tangkap optimum ........................................................
37
4.2 Area Prioritas ...........................................................................................
38
4.3 Kelembagaan ...........................................................................................
40
5 PEMBAHASAN ...........................................................................................
43
5.1 Sumberdaya Ikan Karang di Pulau Weh ..................................................
43
5.2 Area Prioritas ...........................................................................................
51
5.3 Kelembagaan ...........................................................................................
53
6 KESIMPULAN .............................................................................................
56
6.1 Kesimpulan ..............................................................................................
56
6.2 Saran ........................................................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
58
LAMPIRAN .....................................................................................................
62
xii
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Perbedaan Pengelolaan Perikanan Konvensional dan Berbasis Ekosistem .. 10 2. Bahan dan Alat Penelitian .............................................................................
20
3. Fitur Target Konservasi dan Nilainya ...........................................................
27
4. Nilai Bobot Berdasarkan Tingkat Kepentingan ............................................
30
5. Tingkat Perkembangan Organisasi ...............................................................
30
6. Daftar Ikan Karang Ekonomis Hasil Survei UVC dan Hasil Tangkapan .....
33
7. Famili Ikan yang Tertangkap Masing-masing Alat Tangkap .......................
35
8. Nilai Ekonomi Masing-masing Alat Tangkap ..............................................
37
9. Jumlah Alat Tangkap Berdasarkan Analisis LGP .........................................
38
10. Komposisi Luasan Prioritas Konservasi Berdasarkan Analisis Marxan .....
40
11. Nilai IDF Masing-masing Badan dan Dinas ...............................................
41
12. Hasil Analisis LGP pada 3 Alat Tangkap Utama........................................
50
13. Spesies Penapisan LGP Kelompok 2 ..........................................................
50
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Kerangka Pemikiran Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan di Kota Sabang ............................................................................................
5
2. Kerangka Pendekatan Ekosistem (garis putus-putus warna abu-abu dan tulisan italic) pada Pengelolaan Perikanan Konvensional (garis warna hitam) ..........................................................................................................
11
3. Prinsip Spill Over dalam Kawasan Konservasi (White et al., 2006) ...........
13
4. Hubungan Persentase Tujuan dan Luas Kawasan Konservasi yang Dibutuhkan (Beck, 2003) ............................................................................
14
5. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian...........................................................
19
6. Ilustrasi Metode Sensual Visual (Wildlife Conservation Society, 2008) .....
21
7. Boxplot Tingkat Kematian Alami Ikan Karang ...........................................
24
8. Area of Interest dalam Analisis Marxan ......................................................
27
9. Contoh Matrik IDF (Manulang, 1999) .........................................................
29
10. Grafik XY Prioritas pada Analisis Kelembagaan .......................................
31
11. Boxplot Hasil Tangkapan (kg) Masing-masing Alat Tangkap ...................
36
12. Area Prioritas Kawasan Konservasi Laut 10 % di Pulau Weh ...................
38
13. Area Prioritas Kawasan Konservasi Laut 20 % di Pulau Weh ...................
39
14. Area Prioritas Kawasan Konservasi Laut 30 % di Pulau Weh ...................
39
15. Area Prioritas Kawasan Konservasi Laut 40 % di Pulau Weh ...................
40
16. Grafik XY Prioritas Rata-rata Kota Sabang ................................................
42
17. Komposisi Biomasa Ikan Karang Hasil Tangkapan Tiap Famili................
44
18. Komposisi Trophic Level Ikan Karang Hasil Tangkapan ...........................
44
19. Boxplot Nilai M, Fmsy dan Emsy Sumberdaya Ikan Karang .....................
45
20. Hubungan Antara MSY dan Biomasa Ikan Karang ....................................
46
21. Komposisi Hasil Tangkapan Masing-masing Alat Tangkap ......................
47
22. Hubungan Persentase Target Konservasi dengan Persentase Luas Habitat dan Luas Habitat .........................................................................................
52
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian ................................................................................... 62 2. Biomassa Ikan Karang, Tingkat Kematian Alami, Tingkat Kematian Akibat Penangkapan dan MSY ...................................................................
63
3. Rata-rata Hasil Tangkapan Tiap Spesies.......................................................
65
4. Hitungan Nilai Ekonomi Alat Tangkap ........................................................
67
5. Hasil LGP ......................................................................................................
68
6. Spesifikasi Alat Tangkap (Sumber: DKP, 2008) ..........................................
72
7. Peta Target dan Biaya Konservasi ................................................................
75
xv
DAFTAR ISTILAH
Area of interest: Kawasan atau area yang akan dianalisis pada analisis Marxan Biomassa: Jumlah keseluruhan ikan dalam satuan berat dalam suatu luasan perairan By catch: Hasil tangkapan sampingan atau hasil tangkapan yang bukan merupakan target penangkapan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) : Tata cara pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab yang dapat diacu oleh negara pantai dan kepulauan untuk mengelola sumberdaya perikanannya. Deklarasi Reykjavik: Merupakan deklarasi tentang pengelolaan perikanan yang bertanggung
jawab
yang
merupakan
hasil
Konferensi
Perikanan
Bertanggungjawab pada Ekosistem Pesisir dan Lautan pada tahun 2001. Ekosistem: Komunitas organik yang terdiri atas tumbuhan dan hewan, bersama habitatnya dan saling berinteraksi Fishing mortality: Kematian ikan yang disebabkan oleh aktifitas penangkapan. Konservasi: Pengelolaan sumber daya alam (hayati) dengan pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keragamannya. Konvensi Hukum Laut Internasional: Konvensi internasional yang mengatur tentang perbatasan wilayah laut suatu negara pantai dan kepulauan. Kuadran: Setiap bagian dari empat bagian suatu bidang datar yg terbagi oleh suatu sumbu silang pada grafik analisis Institutional Development Framework. Lhok: Kawasan pesisir di wilayah Aceh yang dikelola secara adat dan dipimpin oleh seorang Panglima Laot Maximum Sustainable Yield (MSY): Jumlah maksimal ikan yang dapat dimanfaatkan dalam kondisi lestari.
xvi
Natural mortality: Kematian ikan yang disebabkan proses alami seperti umur, pemangsaan, penyakit dan sebagainya. Panglima laot: Lembaga adat sekaligus pimpinan lembaga adat yang mengelola suatu kawasan pesisir tertentu. Precautionary: merupakan prinsip kehatihatian dalam memberikan pertimbangan bagi keputusan pengelolaan perikanan yang diakibatkan kurangnya atau keterbatasan pengetahuan Reef crest: Wilayah terumbu karang mulai dari cekungan setelah pantai dimana ditemukan beberapa karang dalam formasi jarang hingga tubiran karang. Reef slope: Wilayah terumbu karang mulai dari tubiran karang hingga ujung wilayah terumbu karang menuju ke arah lautan. Spill over: Efek penyebaran larva atau juvenil ikan dari suatu wilayah yang dilindungi. Shape file: File dengan format shp untuk program sistem informasi geografis. Tingkat eksploitasi: Perbandingan tingkat kematian akibat penangkapan dan tingkat kematian total yang merupakan penjumlahan tingkat kematian alami dan akibat penangkapan. Transek sabuk/belt transect: Teknik survei ikan karang dengan dasar transek garis dan buffer seluas 1 dan 2,5 meter di kanan dan kiri sepanjang garis.
Sumber: FAO (1997; 2003; 2005), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2008), Samoilys (1997), Wildlife Conservation Society (2008), dan Witanto (2006)
xvii
xviii
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pendekatan pengelolaan perikanan sejak tahun 1940-an menggunakan pendekatan konvensional dimana pendekatan yang dipakai lebih sektoral sehingga sedikit mengabaikan kaidah-kaidah ekologis.
Sejak Food and Agricultural
Organization (FAO) menerbitkan “Code of Conduct for Responsible Fisheries” (CCRF) pada tahun 1995 maka terjadi pergeseran paradigma tentang pendekatan pengelolaan perikanan. Dokumen CCRF tersebut terdiri dari satu bab umum dan enam bab khusus yang terdiri dari pengelolaan perikanan, operasi penangkapan, budidaya, integrasi perikanan dalam pengelolaan pesisir, pasca panen, dan penelitian perikanan. Dengan diterbitkannya ‘Deklarasi Reykjavik’ pada tahun 2001 yang secara eksplisit memandatkan FAO untuk membuat sebuah dokumen pedoman yang memberi pertimbangan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, maka FAO menerbitkan pedoman teknis pengelolaan perikanan yang merupakan mandat CCRF tentang pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan. Menurut FAO (2005) terdapat 12 prinsip dalam pelaksanaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan yaitu: 1) Sasaran dari pengelolaan ini adalah pilihan dari masyarakat, 2) Pengelolaan harus terdesentralisasi pada tingkat yang terendah, 3) Pengelola harus mempertimbangan dampak setiap aktivitas terhadap ekosistem lainnya, 4) Dengan mempertimbangkan dampak positif dari pengelolaan tersebut, dibutuhkan pemahaman dan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem dalam konteks ekonomi. Pengelolaan ekosistem tersebut antara lain: (1) Mengurangi
pengaruh
pasar
yang
berdampak
negatif
terhadap
keanekaragaman hayati. (2) Mempromosikan konservasi sumberdaya dan pemanfaatan yang lestari dengan pemberian insentif.
2
(3) Mempertimbangkan komponen biaya dan manfaat bagi ekosistem. 5) Konservasi fungsi dan struktur ekosistem dalam rangka menjaga manfaat ekosistem, dimana yang dikonservasi merupakan lokasi prioritas, 6) Pengelolaan ekosistem harus mempertimbangkan daya dukung, 7) Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan komponen spasial dan temporal, 8) Pengelolaan ekosistem harus mengacu pada pengelolaan jangka panjang, 9) Pengelola harus adaptif terhadap perubahan, 10) Pendekatan ekosistem harus seimbang antara konservasi dan pemanfaatan, 11) Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan beberapa informasi ilmiah, adat istiadat, inovasi dan pengalaman, 12) Pendekatan ekosistem harus malibatkan para pihak dan lintas ilmu. Faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi pendekatan ekosistem,
yaitu:
kelestarian
ekosistem,
kesejahteraan
masyarakat
dan
kemampuan untuk mencapai tujuan. Pulau Weh dengan Ibukota Sabang, merupakan pulau yang terletak di ujung barat laut Pulau Sumatra, termasuk wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kotamadya Sabang memiliki empat pulau lain selain Pulau Weh yang berpenghuni, yaitu Pulau Klah, P. Seulako, P. Rubiah, dan P. Rondo yang merupakan salah satu pulau terluar yang berbatasan langsung dengan Kepulauan Nicobar (India).
Dari 18 kelurahan di Kotamadya Sabang, 16
diantaranya terletak di kawasan pesisir, dengan demikian ketergantungan dan interaksi masyarakat terhadap sumberdaya pesisir sangat tinggi di Sabang. Secara tradisional, P. Weh saat ini terbagi ke dalam sepuluh (10) Lhok yang merupakan suatu kawasan yang dikelola oleh lembaga adat yang dipimpin oleh satu orang panglima laot. Sepuluh wilayah lhok tersebut antara lain; Lhok Iboih, Lhok Pria Laot, Lhok Krueng Raya, Lhok Pasiran, Lhok Ie Meulee, Lhok Anoi Itam, Lhok Balohan, Lhok Jaboi, Lhok Keuneukai, dan Lhok Paya (Pasir Putih). Jumlah total nelayan dari sepuluh lhok tersebut 1.420 nelayan (BPS Sabang, 2005). Jenis-jenis alat tangkap yang tercatat antara lain pancing tangan, tonda, panah ikan (speargun), jaring insang tetap dan jaring insang hanyut (jaring bendera, pukat, jaring kelambu), jaring ikan karang (jaring pisang-pisang dan
3
pukat jepang). Jenis-jenis ikan karang hasil tangkapan nelayan Pulau Weh antara lain ikan kakap (Lutjanidae), ikan kerapu (Serranidae), ikan mata besar (Holocentridae), ikan barakuda (Sphyraenidae), ikan ekor kuning (Caesonidae), ikan kakak tua (Scaridae), ikan naso (Acanthuridae), dan ikan jabong (Balistidae). Saat ini pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan telah diimplemetasikan pada beberapa kawasan perikanan di dunia, seperti pengelolaan ikan salmonid di Amerika (Spence et al., 1996), kawasan Benguela (Petersen et al., 2007), Laut Mediterranean (General Fisheries Commission for the Mediterranean, 2005) dan sebagainya. Namun sampai saat ini pendekatan ini belum dilakukan secara formal dalam pengelolaan perikanan suatu kawasan di Indonesia. FAO (2005) menyebutkan bahwa meskipun pendekatan ekosistem bukan merupakan hal yang baru dalam pengelolaan perikanan namun masih belum banyak pembelajaran dalam pendekatan ini, untuk itu masih dirasa perlu untuk melakukan penelitian pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan ini.
1.2 Perumusan Masalah Perikanan merupakan salah satu komoditi yang dapat diandalkan untuk ketahanan pangan dunia. Berbagai pendekatan dibuat dalam kerangka mengelola perikanan yang ada di suatu kawasan. Sejak dikeluarkannya code of conduct for responsible fisheries dan beberapa konvensi berkenaan dengan pengelolaan sumberdaya secara lestari, berbagai organisasi internasional dan regional menggaungkan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan. Pendekatan ini menjembatani antara pengelolaan konvensional dan pengelolaan berbasis ekosistem dalam pengelolaan perikanan. Namun pendekatan ini masih menimbulkan kebingungan bagi para pihak dalam mengimplementasikannya.
FAO (2003; 2005) menyatakan bahwa
meskipun pendekatan ekosistem bukan merupakan hal yang baru, namun perlu dilakukan banyak penelitian dan pembelajaran untuk mengimplementasikan pendekatan ini.
Belum adanya panduan secara teknis bagaimana pendekatan
ekosistem dapat dilakukan di Indonesia menjadi masalah utama. Sehingga memunculkan pertanyaan besar tentang bagaimana mengimplementasikan
4
pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan serta penelitian apa saja yang dibutuhkan.
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi kerangka awal dalam
menyusun panduan teknis pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem. Berdasarkan hal tersebut maka beberapa pokok permasalahan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan karang di Pulau Weh yang sekaligus menjadi batasan dari tesis ini adalah: 1) Bagaimana status ekologi ikan karang di Pulau Weh berkenaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaannya? 2) Bagaimanan opsi-opsi pengaturan jenis, alat tangkap, dan luas kawasan konservasi
yang
dibutuhkan
dalam
mengimplementasikan
pendekatan
ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Pulau Weh? 3) Apakah Pemerintah Kota Sabang mampu mengimplementasikan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Pulau Weh?
1.3 Tujuan Tujuan dari penelian ini adalah : 1) Mengkaji status ekologi sumberdaya perikanan karang di Pulau Weh, 2) Memformulasikan
kawasan
prioritas
untuk
pengelolaan
perikanan
berkelanjutan berdasarkan pendekatan ekosistem di Pulau Weh, 3) Memahami kelembagaan terkait pengelolaan sumberdaya ikan karang dengan pendekatan ekosistem di Pulau Weh.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah tentang pengembangan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Pulau Weh. Informasi ilmiah ini dapat menjadi penelitian awal bagi pengembangan ilmu pengetahuan bagai pengelolaan perikanan yang menggunakan pendekatan ekosistem. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman awal dalam menyusun indikator pada pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem yang merupakan salah satu mandat CCRF sehingga pemerintah dapat mengembangkan kebijakan yang sesuai dengan pedoman internasional.
5
1. Bagaimana status ekologi ikan karang di Pulau Weh berkenaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaannya? 2. Bagaimanan opsi-opsi pengaturan jenis, alat tangkap, dan luas kawasan konservasi yang dibutuhkan dalam mengimplementasikan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Pulau Weh? 3. Apakah Pemerintah Kota Sabang mampu mengimplementasikan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Pulau Weh?
Framework Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan (FAO, 2003)
Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan
Kelestarian Ekosistem
Kondisi ekologi ikan karang
Kawasan konservasi kj
Kesejahteraan Masyarakat
Pengelolaan
Alat tangkap ekonomis dan ramah lingkungan
Kemampuan Pemerintah Kota untuk mengelola
Pengelolaan Perikanan Karang di Pulau Weh Secara Berkelanjutan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan di Kota Sabang.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Perikanan Bertanggung Jawab Sejak jaman dahulu perikanan merupakan salah satu komoditi unggulan untuk ketahanan pangan dan memberikan lapangan pekerjaan bagi jutaan penduduk dunia. Ikan dianggap sebagai sumberdaya pemberian dari alam yang tidak terbatas. Namun setelah berkembangnya ilmu pengetahuan, penduduk dunia mulai menyadari bahwa meskipun perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih, namun tidak tak terbatas sehingga diperlukan suatu pengelolaan untuk keberlanjutannya. Sejak disahkannya konvensi hukum laut internasional oleh PBB pada tahun 1982 terdapat perubahan paradigma pengelolaan perikanan. Konvensi ini memberikan mandat kepada negara pantai dan kepulauan untuk mengelola wilayah laut negara yang bersangkutan termasuk zona ekonomi eksklusif. Mandat ini membuat negara-negara pantai dan kepulauan mulai menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya yang ada di wilayah laut mereka, salah satunya sumberdaya perikanan. Setelah diterbitkannya konvensi PBB tersebut, masing-masing negara pantai dan kepulauan mulai memanfaatkan peluang yang diberikan oleh konvensi dengan berlomba-lomba mengeksploitasi sumberdaya perikanan dalam kerangka memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Masing-masing negara
membangun industri perikanan secara besar-besaran. Hal ini memicu adanya eksploitasi sumberdaya perikanan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan daya dukungnya. Melihat hal tersebut di atas, Komite Perikanan Internasional di bawah Food and Agricultural Organization (FAO) pada pertemuan tahun 1991 mengembangkan konsep baru tentang pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab untuk kelestarian sumberdaya perikanan. Setelah itu dilanjutkan beberapa konferensi yang berhubungan dengan pengelolaan perikanan yang juga memberikan
rekomendasi
senada
tentang
pengelolaan
perikanan
yang
7
bertanggung jawab. Setelah dilakukan beberapa konferensi tentang perikanan yang bertanggung jawab dan lestari, kemudian pada Oktober 1995 FAO menerbitkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). CCRF merupakan tata cara pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab yang dapat diacu oleh negara pantai dan kepulauan untuk mengelola sumberdaya perikanannya. CCRF terdiri dari 12 bab yang yang terdiri dari 6 bab tata cara secara umum dan 6 bab tata cara teknis (Pengelolaan Perikanan, Operasi Perikanan, Pengembangan Budidaya, Integrasi Pengelolaan Perikanan dalam Pengelolaan Pesisir, Pengolahan Hasil dan Perdagangan, dan Penelitian Perikanan). Prinsip-prinsip umum CCRF antara lain: 1) Negara dan pemanfaat sumberdaya perairan harus mengkonservasi ekosistem perairan. 2) Pengelolaan
perikanan
harus
mempromosikan
pemeliharaan
kualitas,
keanekaragaman dan ketersediaan sumberdaya perikanan untuk saat ini dan generasi berikutnya dalam hal ketahanan pangan, menurunkan angka kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. 3) Negara harus mencegah tangkapan berlebih dan kelebihan kapasitas tangkap serta harus menerapkan pengelolaan dengan pengaturan usaha tangkap harus setaraf dengan daya dukung sumberdaya perikanan dan kelestariannya. 4) Keputusan menejemen dan konservasi harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang ada dan pengetahuan tradisional tentang sumberdaya dan habitatnya seperti halnya pertimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan. 5) Negara dan organisasi menejemen regional harus menggunakan pendekatan precautionary
(kehati-hatian)
untuk
memanfaatkan
sumberdaya
perairan
mengkonservasi,
mengelola,
dan
dalam
melindungi
dan
rangka
memelihara sumberdaya tersebut dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik yang ada. 6) Alat tangkap dan praktek penggunaannya yang aman dan selektif terhadap lingkungan perlu dikembangkan dan diterapkan dalam rangka memelihara keanekaragaman hayati, mengkonservasi struktur populasi dan ekosistem serta menjaga kualitas ikan.
8
7) Pemanenan, penanganan, pengolahan dan distribusi ikan dan produk-produk perikanan harus dilaksanakan dengan menjaga nilai gizi, mutu dan keselamatan
produk,
mengurangi
sampah
hasil
pengolahan
dan
meminimalisasi dampak terhadap lingkungan. 8) Semua habitat ikan yang kritis baik ekosistem air laut ataupun air tawar seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, laguna, daerah asuhan dan pemijahan ikan harus diproteksi dan direhabilitasi. 9) Setiap negara harus memastikan bahwa kepentingan perikanan di masingmasing negara sudah mencakup konservasi, diperhitungkan sebagai multiple use daerah pesisir dan terintegrasi dalam pengelolaan pesisir secara terpadu. 10) Dengan memperhatikan kompetensi masing-masing negara terhadap hukum internasional dan aturan organisasi regional, masing-masing negara perlu memastikan tingkat kepatuhan dan penegakan hukum dalam kegiatan konservasi dan indikator pengelolaan serta menetapkan mekanisme yang efektif yang sesuai untuk memonitor dan mengontrol kapal panangkap ikan dan kapal pendukungnya. 11) Negara pemberi ijin penangkapan ikan harus melakukan kontrol yang efektif terhadap kapal yang dijinkan untuk memastikan kapal tersebut melaksanakan tata cara perikanan yang bertanggung jawab (CCRF). 12) Setiap negara, sesuai dengan hukum internasional dan kesepakatan organisasi regional dan internasional, harus memastikan kegiatan perikanan merupakan perikanan yang bertanggung jawab, dan adanya kegiatan konservasi serta perlindungan sumberdaya perairan dengan mempertimbangkan kebutuhan luasan dan distribusinya baik di dalam ataupun di luar yuridiksi nasional masing-masing negara. 13) Setiap negara dalam menerbitkan kebijakan perikanan menjamin prosesproses pembuatan kebijakan tersebut transparan dan sesuai dengan target yang telah ditentukan.
Masing-masing negara harus memfasilitasi seluruh
komponen terkait dalam bidang perikanan dalam pengembangan kebijakan tersebut.
9
14) Perdagangan ikan dan produk perikanan di tingkat internasional harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip, hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh WTO dan lembaga internasional lainnya. 15) Setiap negara wajib bekerja sama untuk mencegah perselisihan di bidang perikanan. Setiap perselisihan antar negara diselesaikan secara tepat, damai dan bersama-sama sesuai dengan perjanjian internasional atau perjanjian yang disepakati. 16) Setiap negara wajib mengkampanyekan kegiatan perikanan bertanggung jawab melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan. Negara wajib menjamin keterlibatan nelayan dalam merumuskan kebijakan dan implementasi perikanan bertanggung jawab. 17) Setiap negara harus memastikan semua sarana dan prasarana perikanan memperhatikan keamanan, kesehatan, dan keadilan yang sesuai standar internasional. 18) Setiap negara wajib memperhatikan nelayan skala kecil, artisanal dan subsisten dengan pertimbangan sumbangan sektor tersebut terhadap tenaga kerja, pendapatan dan ketahanan pangan. 19) Setiap negara harus memperhatikan kegiatan budidaya perikanan.
2.2 Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan merupakan salah satu implementasi dari perikanan bertanggung jawab (CCRF). Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan merupakan istilah yang dipakai dalam kerangka menggabungkan dua prinsip yang berbeda yaitu pengelolaan perikanan konvensional dan pengelolaan berbasis ekosistem. Diharapkan pendekatan ini dapat mewadahi dua prinsip yang berbeda tersebut. Seperti yang telah diketahui pengelolaan berbasis ekosistem lebih terfokus pada pengelolaan untuk kelestarian ekosistem yang ada sedangkan pengelolaan perikanan secara konvensional lebih terfokus pada kegiatan perikanan dan sumberdaya target untuk bidang ekonomi dan kebutuhan pangan.
10
Tabel 1. Perbedaan Pengelolaan Perikanan Konvensional dan Berbasis Ekosistem. Kriteria Paradigma
Tata Kelola Pemerintahan
Tujuan
Input Penelitian
Pengambilan Keputusan
Lembaga Regional dan Global (Utama) Kawasan
Pengelolaan Perikanan Konvensional - Sektoral - Terpadu secara vertikal - Terfokus pada sumberdaya target dan masyarakat - Tidak selalu transparan - Output optimal - Kebutuhan sosial - Formal (dalam bentuk komisi regional) - Variabel dampak - Top down - Peran pihak industri sangat kuat - Adanya peran LSM lingkungan FAO dan organisasi regional perikanan
Pengelolaan Berbasis ekosistem - Berbasis kawasan - Pendekatan holistik - Lintas sektoral - Terfokus pada ekosistem Kesehatan ekosistem
Pengelompokan kawasan berdasarkan alokasi sumberdaya
Pengelompokan kawasan dengan pertimbangan ekosistem yang lebih komprehensif - Komponen stakeholder lebih luas dan terbuka - Dukungan dari perikanan skala kecil dan pariwisata sangat kuat - RAMSAR - UNCED - Agenda 21, 1992 - CBD - Jakarta Mandate - Perlindungan spesies dan habitat - Pembatasan tingkat eksploitasi
Para pihak dan instrumen politik
- Lebih terarah pada stakeholder perikanan - Terbuka terhadap pihak lain
Instrumen Global (Utama)
- Konvensi Hukum laut 1982 - Kesepakatan Stok Perikanan PBB
Indikator
- Kegiatan Penangkapan - Hasil Tangkapan - Perdagangan
Sumber: FAO (2003)
- Sistem informal - Peran pengetahuan sangat kuat - Lebih partisipatif - Peran kondisi ekosistem sangat kuat - Mengedepankan prinsip keadilan UNEP dan konvensi regional
11
Perbandingan diagram sistem pengelolaan perikanan konvensional dan pendekatan ekosistem pada pengelolaan perikanan disajikan pada Gambar 2. Garcia dan Cochrane (2005) menyebutkan bahwa dalam pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan pada sub-sistem biotik perlu diperhatikan interaksi antar spesies target dan non target serta habitatnya.
Gambar 2.
Kerangka Pendekatan Ekosistem (garis putus-putus warna abu-abu dan tulisan italic) pada Pengelolaan Perikanan Konvensional (garis warna hitam) (Garcia dan Cochrane, 2005).
Prinsip-prinsip utama dalam pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan adalah: 1) Perikanan harus dikelola untuk membatasi dampaknya terhadap ekosistem. 2) Hubungan ekologis antar spesies harus dikelola. 3) Indikator pengelolaan harus sesuai di seluruh kawasan distribusi sumberdaya. 4) Pengambilan keputusan harus mengedepankan langkah preventif, karena tingkat pengetahuan terhadap ekosistem terbatas.
12
5) Pemerintah harus menjamin pendekatan ini akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesehatan ekosistem secara seimbang. Dalam dokumen tentang implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan yang diterbitkan oleh FAO pada tahun 2003 menyebutkan terdapat beberapa opsi yang dapat dilakukan dalam mengimplementasikan pendekatan ini. Opsi-opsi yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pengaturan secara Teknis Pengaturan secara teknis dapat dilakukan pada pengaturan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan.
Pengaturan secara teknis ini dapat dilakukan
dengan: (i) Pengaturan jumlah alat tangkap dan ukuran jaring, (ii) Pengurangan ikan hasil tangkapan sampingan (by-catch), (iii) Penyesuaian metode dan operasi penangkapan untuk mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem dan spesies yang dilindungi, dan (iv) Mengedepankan Precautionary approach.
2. Pengaturan Secara Spasial dan Temporal Pengaturan secara spasial merupakan pengaturan daerah tangkapan ikan. Pengaturan
secara
spasial
ini
dapat
diimplementasikan
dalam
bentuk
pengembangan kawasan konservasi laut. Pengaturan secara temporal merupakan pengaturan pelarangan tangkap pada waktu tertentu.
3. Pengaturan Input dan Output Pengaturan input penangkapan dapat dilakukan dengan pengendalian kapasitas penangkapan dan usaha tangkap nelayan.
Pengaturan output dapat
dilakukan dengan pengendalian hasil dan jenis tangkapan.
Salah satu tujuan
pengaturan ini adalah untuk menurunkan kematian akibat penangkapan (fishing mortality).
4. Manipulasi Ekosistem Manipulasi ekosistem dapat dilakukan dengan mencegah degradasi habitat, merehabilitasi habitat, pengembangan habitat buatan, dan restocking ikan.
13
2.3 Kawasan Konservasi Sebagai Salah Satu Alat Menjaga Stok Perikanan Kawasan konservasi merupakan salah satu upaya yang dianjurkan dalam pengelolaan perikanan.
Salah satu manfaat yang diharapkan dengan adanya
kawasan konservasi adalah adanya habitat ikan yang terlindungi dan adanya efek spill over dari habitat ikan yang terlindungi tersebut sehingga laju penurunan biomassa ikan akibat penangkapan dapat terimbangi sehingga sumberdaya ikan yang ada di kawasan tersebut tetap lestari.
Penyebaran larva dan ikan
Daerah penangkapan yang diperbolehkan secara terbatas
Zona inti
Gambar 3. Prinsip Spill Over dalam Kawasan Konservasi (White et al., 2006)
Menurut Li (2000) dalam Fauzi dan Anna (2005) manfaat kawasan konservasi laut secara keseluruhan sebagai berikut: Manfaat biogeografi, keanekaragaman hayati, perlindungan terhadap spesies endemic dan spesies langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan, peningkatan produksi pada wilayah yang berdekatan, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian, ekoturisme, pembatasan hasil samping ikan-ikan juvenil (juvenile by catch), dan peningkatan produktifitas perairan (productivity enchancement). Luas kawasan konservasi menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi dampak kawasan konservasi tersebut.
Beberapa peneliti
mensyaratkan kawasan konservasi berkisar antara 10 sampai 40 % dari total kawasan. Bahkan Watson et al. (2000) menyebutkan bahwa untuk kelestarian sumberdaya perikanan biomassa ikan yang perlu dilindungi minimal 10 - 20 %. Beck (2003) melakukan analisis sensitifitas berdasarkan pengetahuan ekologi dan pembelajaran beberapa kawasan konservasi di Afrika dan Australia serta beberapa
14
kawasan konservasi lainnya sehingga diperoleh gambaran hubungan antara persentase tujuan dan luas kawasan konservasi yang dibutuhkan (Gambar 4). Pada Gambar 4 garis a manunjukkan perbandingan 1 : 1 antara target konservasi dan luas kawasan konservasi, garis putus-putus b menunjukkan dengan perubahan pada persentase target konservasi berdampak pada sedikit perubahan kawasan konservasi yang dibutuhkan, begitu pula sebaliknya pada garis putus-putus c. Untuk menentukan apakah suatu kawasan akan mengikuti kaidah garis a atau b atau c pada Gambar 4 sangat bergantung pada jenis target konservasi, serta kondisi dan penyebaran target konservasi tersebut.
Sebagai pembelajaran
kawasan konservasi untuk perikanan biasanya dibutuhkan kawasan yang lebih besar dibandingkan kawasan konservasi untuk biodiversitas.
c
Persentase Luas Kawasan Konservasi
45
a
40
b 35 30 25 20 20
25
30
35
40
45
Persentase Target Konservasi
Gambar 4. Hubungan Persentase Tujuan dan Luas Kawasan Konservasi yang Dibutuhkan (Beck, 2003)
2.4 Kondisi Perikanan Karang di Indonesia Indonesia kaya akan spesies ikan karang, bahkan menurut sebagian peneliti Indonesia disebut sebagai pusat keragaman spesies ikan di dunia. Menurut Allen and Adrim (2003) di Indonesia terdapat 2057 spesies ikan karang dari 113 famili. Sepuluh spesies utama ikan karang di Indonesia antara lain Gobiidae (272 spesies), Labridae (178), Pomacentridae (152), Apogonidae (114),
15
Blenniidae (107), Serranidae (102), Muraenidae (61), Syngnathidae (61), Chaetodontidae (59), dan Lutjanidae (43). Secara umum pemanfaatan ikan terbagi menjadi dua jenis yaitu ikan karang hidup dan ikan karang mati. Untuk ikan karang hidup terbagi menjadi dua kelompok yaitu ikan hias dan ikan konsumsi. Ikan karang hidup untuk konsumsi umumnya adalah jenis-jenis kerapu, napoleon, dan lobster. Ikan karang hidup yang dimanfaatkan untuk ikan hias lebih dari 280 jenis ikan. Jenis ikan karang mati adalah ikan karang yang ditangkap dalam kondisi mati, umumnya adalah jenis-jenis yang dagingnya bisa dimakan seperti kerapu, kakap, lencam, ekor kuning, cucut, pari, alu-alu dan sebagainya (DKP et al., 2001). Ikan karang hampir dapat ditemukan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan terumbu karang yang merupakan habitat utama ikan karang menyebar rata di seluruh wilayah Indonesia.
Namun kondisi habitat ikan karang di
Indonesia cukup memprihatinkan, di wilayah barat Indonesia terumbu karang yang masih baik dan sangat baik (tutupan karang di atas 50%) hanya 23% dan di wilayah timur Indonesia 45%. Hal ini disebabkan banyaknya ancaman terhadap habitat ikan karang tersebut. Ancaman utama dari habitat ikan karang adalah penangkapan yang merusak dan berlebih (Burke et al., 2002). Alat tangkap yang dipergunakan nelayan di Indonesia untuk menangkap ikan awalnya adalah bubu, jaring penghalang, dan pancing.
Namun seiiring
dengan meningkatnya permintaan dan kurangnya pengetahuan nelayan, nelayan mulai menggunakan alat tangkap yang merusak seperti racun sianida dan bom. Hal ini menyebabkan semakin meningkatnya laju kerusakan terumbu karang (DKP et al., 2001).
2.5 Kondisi Umum Pulau Weh Pulau Weh merupakan pulau berpenghuni di ujung utara Pulau Sumatera. Pulau ini adalah pulau vulkanik yang terbentuk akibat pengangkatan. Pulau Weh merupakan salah satu pulau di wilayah barat Indonesia yang memiliki kondisi ekosistem pesisir yang masih baik.
Berdasarkan kondisi ekosistem terumbu
karang, di Pulau Weh dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu (Ardiwijaya et al., 2007):
16
1) Wilayah Taman Wisata Alam Pulau Weh yang meliputi sebagian wilayah Lhok Iboih di ujung barat sebelah utara Pulau Weh. Kondisi ekosistem terumbu karang wilayah ini masih baik. 2) Wilayah adat lhok yang memiliki pengaturan penangkapan ikan secara ketat yang meliputi wilayah Ie Meulee, Ujung Kareung dan Anoi Itam di pantai timur. Kondisi ekosistem di sebagian wilayah ini juga relatif masih baik. 3) Wilayah adat lhok yang hampir tidak memiliki pengaturan penangkapan perikanan yang meliputi selain dua wilayah tersebut di atas.
Kondisi
ekosistem terumbu karang di dua kawasan ini relatif sedang dan buruk. Secara adat di wilayah pesisir Sabang terbagi dalam 10 Lhok yang merupakan kawasan yang dikelola oleh lembaga adat yang dipimpin oleh panglima laot. Menurut Witanto (2006) disebutkan bahwa di beberapa wilayah panglima laot di Kota Sabang memiliki aturan adat tentang larangan bentuk penangkapan ikan. Hukum adat laot yang berlaku di wilayah Sabang antara lain: 1) Larangan untuk menangkap ikan dengan menggunakan zat peledak atau zat kimia yang secara keras diberlakukan di wilayah Anoi Itam, Ujung Kareung dan Ie Meulee; 2) Larangan untuk menangkap ikan menggunakan Pukat Harimau yang diberlakukan hampir di seluruh wilayah Sabang; 3) Larangan untuk menangkap ikan dengan menggunakan segala bentuk jaring yang diberlakukan di wilayah panglima laot Iboih, Anoi Itam dan Ie Meulee; 4) Larangan melakukan penangkapan terhadap ikan hias yang diberlakukan di wilayah panglima laot Iboih dan kemudian dikuatkan dengan Peraturan Daerah Kota Sabang nomor 6 Tahun 1997; 5) Larangan untuk melakukan penangkapan terhadap satwa laut yang dilindungi. Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan terlihat bahwa Indonesia perlu mengembangkan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan. Namun sampai saat ini penelitian tentang pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Indonesia sangat sedikit dan terbatas. Untuk itu dirasa perlu untuk
17
melakukan penelitian pendekatan ekosistem bagi pengelolaan perikanan di Indonesia. Penelitian ini diperlukan sebagai langkah awal dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang pengelolaan perikanan yang menggunakan pendekatan ekosistem.
3 METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Weh, Kota Sabang, Nangroe Aceh Darussalam (Lampiran 1).
Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah
(Gambar 5): 1) Memetakan alat tangkap yang dioperasikan di Pulau Weh dan dilakukan monitoring hasil tangkapan untuk menentukan komposisi jenis hasil tangkapan. 2) Menghitung rata-rata biomassa ikan dan menentukan Maximum Sustainablity Yield (MSY) berdasarkan tingkat kematian alami (natural mortality) dan kematian akibat penangkapan (fishing mortality). Langkah ini merupakan bagian dari opsi pengaturan secara teknis. 3) Melakukan analisis kelayakan usaha terhadap masing-masing alat tangkap sehingga dapat diketahui jenis alat tangkap yang dapat memberi keberlanjutan secara ekonomi bagi nelayan. Analisis sebagai bagian dari prinsip pendekatan ekosistem bahwa perlu ada jaminan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan dalam memanfaatkan perikanan. 4) Menentukan area prioritas berdasarkan kondisi ekologis yang dapat dijadikan kawasan konservasi, sebagai bagian dari opsi pengaturan secara spasial. 5) Melakukan analisis kelembagaan untuk melihat apakah kegiatan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem dapat dilakukan atau tidak di Kota Sabang.
19
Gambar 5. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian
20
3.1 Alat dan Bahan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat 3 jenis data primer yang dikumpulkan yaitu alat tangkap dan hasil tangkapan, biomassa ikan dan kondisi kelembagaan. Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pengambilan 3 jenis data dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Bahan dan Alat Penelitian No 1
2
3
Jenis Data -Hasil tangkapan masingmasing alat tangkap -Informasi trip perahu masing-masing alat tangkap dalam satu tahun -Informasi kelayakan usaha Jenis, jumlah dan ukuran ikan karang
Metode Monitoring hasil tangkapan (fish landing monitoring)
Alat / Bahan 1. Kamera 2. Form data monitoring hasil tangkapan dan alat tulis
Sensus visual ikan
Informasi kelembagaan
Diskusi terarah
1. Perahu 2. Alat penyelaman 3. Roll meter 4. Form isian data ikan karang dan alat tulis 1. Kuisioner dan alat tulis
3.2 Waktu Penelitian Waktu penelitian dilakukan mulai Januari hingga Agustus 2009. Tahapan yang dilakukan adalah persiapan pengambilan data pada bulan Januari 2009, pengambilan data biomassa ikan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2009, pengambilan data alat tangkap dan hasil tangkapan pada bulan April sampai dengan Mei 2009 dan pengambilan data kelembagaan yang dilakukan pada bulan Agustus 2009.
3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Monitoring hasil tangkapan Monitoring hasil tangkapan dilakukan pada 5 lokasi yang mewakili wilayah utara, barat, selatan dan timur Pulau Weh. Lokasi-lokasi tersebut antara lain Lhok Ie Meulee, Lhok Anoi Itam, Lhok Pasiran, Lhok Pria Laot, Lhok Kenekai, dan Lhok Paya. Teknik sampling pengambilan data hasil tangkapan adalah purposive sampling nelayan yang mendarat di 5 wilayah tersebut selama 14 hari. Selain dilakukan pencatatan pada hasil tangkapan, dikumpulkan juga
21
informasi berupa jumlah trip masing-masing alat tangkap setiap bulan dalam setahun, biaya operasional penangkapan, dan modal yang dikeluarkan dalam pembuatan alat tangkap serta umur perahu dan masing-masing alat tangkap yang dipakai.
3.3.2 Sensus visual ikan Sensus ikan secara visual adalah pengindentifikasian dan penghitungan ikan yang diobservasi pada suatu area tertentu. Sensus ikan secara visual dapat digunakan untuk mengestimasi jenis, jumlah, dan juga ukuran ikan. Langkah-langkah
dalam
metode
sensus
visual
adalah
(Wildlife
Conservation Society, 2008) : 1) Lokasi survei ditentukan dengan menggunakan GPS. 2) Satu buah transek pada kedalaman yang sama (antara reef crest dan reef slope; 6 meter). 3) Jenis ikan dan jumlah ikan yang ditemukan dicatat berdasarkan kelompok panjang ikan dalam form isian sensus visual ikan. 4) Pencatatan ikan dilakukan pada - Transek sabuk (belt transect) dengan ukuran 6 x (5 x 50 m) untuk ikan > 10 cm. - Transek sabuk (belt transect) dengan ukuran 6 x (2 x 50 m) untuk ikan < 10 cm.
Fish size >10cm Fish size <10cm
2.5 m 1m 50 m
50 m
Gambar 6. Ilustrasi Metode Sensual Visual (Wildlife Conservation Society, 2008)
22
3.3.3 Data spasial Data spasial yang digunakan adalah data sekunder dari Wildlife Conservation Society (WCS). Data spasial yang dikumpulkan merupakan data GIS dalam bentuk shape file fitur-fitur konservasi.
3.3.4 Data kelembagaan Pengumpulan data kelembagaan dilakukan untuk melihat kondisi kelembagaan Pemerintah Kota Sabang dalam mengimplementasikan indikatorindikator pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan.
Teknik
pengambilan data untuk analisis kelembagaan adalah dengan purposive sampling yaitu pengambilan contoh pada staf lembaga pemerintah yang telah ditentukan sebelumnya. Pengisian form pengukuran kelembagaan dilakukan secara diskusi terfokus bersama dengan 2 staf Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian (DKPP), Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) dan Badan Pengendalian Hidup, Kebersihan dan Pertamanan (BAPEDALKEP) Kota Sabang.
3.4 Analisis Data 3.4.1 Persamaan panjang-berat ikan Persamaan panjang berat digunakan untuk mengestimasi berat ikan berdasarkan panjang ikan. Persamaan yang dipakai dalam penghitungan berat ikan adalah:
W = aLb dimana; W
: Berat estimasi ikan
L
: Panjang ikan
a, b
: Konstanta panjang – berat.
Konstanta panjang berat masing-masing jenis ikan diperoleh dari fish base online pada situs www.fishbase.org (Froese and Pauly, 2000).
3.4.2 Biomassa ikan Setelah seluruh panjang ikan hasil survei visual sensus dikonversi dari panjang menjadi berat maka dihitung berat total masing-masing ikan yang
23
ditemukan setiap transek. Total berat masing-masing ikan tiap transek tersebut tersebut dibagi luasan survei (250 m2 untuk ikan > 10 cm dan 100 m2 untuk ikan < 10cm) sehingga diperoleh biomassa masing-masing jenis ikan dalam satuan kg/m2.
Biomassa ikan dalam satuan kg/m2 tersebut konversi menjadi kg/ha
dengan dikalikan 10.000 (1 ha = 10.000 m2).
3.4.3 Maximum sustainable yield Penghitungan MSY didasarkan pada persamaan sebagai berikut (Garcia et al., 1989) sebagai berikut: _
BM2 MSY = 2M − F dimana; B
: Biomassa rata-rata
M
: Kematian alamiah (natural mortality)
F
: Kematian akibat tangkapan (fishing mortality).
Referensi kematian alamiah masing-masing jenis ikan diperoleh dari data yang ada di fish base online pada situs www.fishbase.org (Froese and Pauly, 2000). Sebaran tingkat kematian alami disajikan pada Gambar 10. Boxplot nilai M menyebar dengan nilai pemusatan 0,66 (Q1=0,43 dan Q3=0,875), yang menunjukkan kurva sebaran nilai M berpusat dibagian kiri atau miring ke kanan. Kematian akibat penangkapan (F) dapat diperoleh dari persamaan tingkat eksploitasi:
E=
F F +M
dimana; E
: Tingkat eksploitasi
F
: Kematian akibat tangkapan (fishing mortality)
M
: Kematian alamiah (natural mortality).
Nilai E menurut Gulland (1971) dan Samoilys (1997) menyebutkan bahwa MSY pada suatu kawasan perikanan terjadi pada E = 0,5, namun Samoilys (1997) juga menyebutkan bahwa sebagian peneliti lainnya menyebutkan nilai E optimal dapat terjadi pada E mendekati 0,2.
Pada penelitian ini akan disimulasikan
24
dengan nilai E mulai dari 0,1 hingga 0,5. Penghitungan MSY dilakukan pada beberapa spesies yang memiliki pertimbangan ekologi dan pertimbangan ekonomi. Pertimbangan ekologi didasarkan pada rekomendasi yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources –
Redlist (IUCN Redlist). Pertimbangan ekonomi didasarkan pada jenis-jenis ikan ekonomis yang ditangkap oleh nelayan Pulau Weh.
Boxplot of M 1.6 1.4 1.2
M
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2
Gambar 7. Boxplot Tingkat Kematian Alami Ikan Karang
3.4.4 Analisis kelayakan usaha penangkapan Analisis kelayakan usaha penangkapan dilakukan untuk menghitung keuntungan bersih dari masing-masing alat tangkap yang dioperasikan di Pulau Weh.
Data untuk analisis kelayakan usaha diperoleh dari monitoring hasil
tangkapan ikan untuk mengetahui biaya masing-masing alat tangkap. Penghitungan total keuntungan bersih selama satu tahun masing-masing alat tangkap dilakukan dengan persamaan (Fauzi dan Anna, 2005): N
TV = ∑ KBi i =1
dimana; TV
: Total keuntungan dalam 1 tahun
KBi
: Keuntungan bersih tiap trip
25
N
: Total trip dalam 1 tahun.
Nilai keuntungan bersih tiap trip diperoleh dengan persamaan-persamaan yang dimodifikasi dari persamaan present value seperti dalam Fauzi dan Anna (2000):
KBi = Y − Bo − Bp − Bt ................................................................ (1)
Bo =
1 n ∑ Boi ........................................................................... (2) n i =1
Bp =
1 N
Bt =
12
∑ Bp i =1
i
....................................................................... (3)
1 g Bmi ∑ .......................................................................... (4) N i =1 ti
dimana; KBi
: Keuntungan bersih setiap trip perahu
Y
: Penghasilan rata-rata kotor
Bo
: Biaya operasi rata-rata per satuan trip
Boi
: Biaya operasi tiap trip pada pengambilan data ke i
Bp
: Biaya pengelolaan rata-rata persatuan trip
Bt
: Biaya depresi alat per satuan trip
Bpi
: Biaya operasional setiap bulan
Bmi
: Biaya modal komponen ke i masing-masing alat tangkap
N
: Total trip dalam 1 tahun
n
: Jumlah trip selama waktu survei
ti
: Umur komponen ke i masing-masing alat tangkap
g
: Jumah Total jumlah komponen masing-masing alat tangkap.
Berdasarkan analisis kelayakan usaha akan diketahui alat tangkap ikan ekonomis yang dapat dioperasikan di Pulau Weh.
3.4.5 Optimasi alat tangkap Analisis untuk menentukan jumlah alat tangkap optimal di Pulau Weh menggunakan metode Linear Goal Programming dengan model sebagai berikut.
26
Fungsi tujuan: min Z =
l
m
∑∑ P (dB k = 0 i −1
n
Fungsi kendala:
∑a j =1
ij
k
i
+ dAi )
X j + dBi − dAi = bi
dimana; Pk
: Urutan prioritas
dBi
: Deviasi ke bawah
dAi
: Deviasi ke atas
aij
: Koefisien
Xj
: Variabel keputusan.
Variabel keputusan yang dipakai dalam fungsi kendala ini adalah: 1) MSY sumberdaya ikan karang. 2) Rata-rata hasil tangkapan masing-masing alat tangkap dalam 1 tahun. Analisis Linear Goal Programming (LGP) dilakukan secara bertahap. Hal ini dilakukan karena nilai MSY masing-masing spesies memiliki variasi yang cukup tinggi sehingga fungsi hasil tangkapan tidak dapat terpenuhi secara optimal. Pada tahap 1, dihitung perbandingan hasil tangkapan rata-rata ikan dengan nilai biomassa ikan. Setelah dilakukan penapisan hasil perbandingan, spesies dengan nilai perbandingan kurang dari 10 maka spesies tersebut dikeluarkan dari model fungsi LGP. Spesies yang dikeluarkan dari model pada tahap 1 sebanyak 9 spesies, sehingga model LGP dilakukan pada 75 spesies. Pada tahap 2 dilakukan penghitungan jumlah optimum alat tangkap berdasarkan 2 kelompok yaitu (a) spesies yang memiliki nilai perbandingan diatas 10 dan (b) spesies yang memiliki nilai perbandingan diatas 100.
Penapisan ini menyisakan 45 spesies yang
dimasukkan pada model tahap 2.
3.4.6 Analisis Marxan untuk menentukan area prioritas Metode yang dipakai dalam menentukan area prioritas adalah metode Analisis Marxan.
Analisis Marxan merupakan pemodelan spasial ekosistem
dengan basis sistem informasi geografis (Geselbracht et al., 2005 serta Barmawi dan Darmawan, 2007). Langkah-langkah dalam Analisis Marxan adalah:
27
1) Menentukan parameter ekologi yang akan dijadikan target spasial dan parameter yang akan dijadikan sebagai biaya. Parameter biaya yang dimaksud adalah parameter yang dianggap sebagai parameter yang memberikan dampak negatif bagi kegiatan konservasi laut. 2) Membuat Area of Interest (AOI). AOI merupakan batas terluar kawasan yang akan dikaji. 3) Membuat satuan perencanaan dalam bentuk heksagonal di dalam AOI. Luas masing – masing satuan perencanaan adalah 1 hektar (Gambar 8).
Gambar 8. Area of Interest dalam Analisis Marxan 4) Memasukan parameter – parameter target dan biaya ke dalam satuan perencanaan.
Parameter target dan nilai masing-masing target konservasi
disajikan pada Tabel 3: Tabel 3. Fitur Target Konservasi dan Nilainya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Fitur Target Konservasi Daerah pemijahan ikan kerapu Kondisi terumbu karang baik Biomassa ikan sangat tinggi Kelimpahan ikan sangat tinggi Ekosistem mangrove Kondisi terumbu karang sedang Biomassa ikan tinggi Kelimpahan ikan tinggi Daerah pemijahan ikan lain
Nilai 100 80 80 80 80 60 60 60 60
28
No Nama Fitur Target Konservasi 10 Daerah dengan diversitas terumbu karang sangat tinggi 11 Daerah tempat tuna berkumpul 12 Daerah cetacean 13 Lokasi yang pemijahan ikan Carangidae 14 Daerah dengan diversitas terumbu karang tinggi Parameter biaya dalam Analisis Marxan adalah:
Nilai 50 40 40 40 40
1) Perkampungan/pendaratan perahu 2) Muara sungai 3) Pelabuhan 4) Daerah penangkapan ikan utama.
5) Membuat konfigurasi file pendukung dari parameter yang telah dimasukkan dalam satuan perencanaan. 6) Membuat berbagai macam skenario untuk memilih area prioritas. 7) Mensimulasikan skenario untuk menentukan satuan perencanaan terpilih sebagai area prioritas. Area prioritas yang terpilih merupakan area prioritas dengan skenario yang sesuai dan nilai total biaya terendah. Nilai total biaya dihitung dengan rumus (Huggins, 2006): TB = BSP + BKK + PKA ................................................................. (6) BKK = 10 P + 4 DPI + 2 K + 1 MS .................................................. (7) dimana; TB
: Total biaya,
BSP
: Biaya satuan perencanaan yang dikeluarkan,
BKK : Biaya kegiatan berdampak negatif terhadap konservasi, PKA
: Panjang keliling area.
P
: Pelabuhan
DPI
: Daerah penangkapan ikan
K
: Kampung/Pendaratan Perahu
MS
: Muara Sungai.
Selain pertimbangan nilai total biaya, pertimbangan lainnya adalah memilih area prioritas adalah nilai cluster. Nilai cluster berpengaruh terhadap kedekatan total area terpilih. Semakin rendah nilai cluster semakin rata penyebaran area yang
29
terpilih. Nilai cluster terbaik untuk di daerah Aceh adalah 10 pada skala 0 sampai 10.000 atau 0,001 pada skala 0 sampai 1 (Herdiana et al., 2008).
3.4.7 Analisis kelembagaan Analisis kelembagaan menggunakan metode Institutional Development
Framework (IDF). IDF merupakan alat yang dapat dipakai untuk melakukan evaluasi kelembagaan yang sederhana dengan pendekatan partisipatif (Manulang, 1999). Unsur – unsur pada metode ini terdiri dari Matriks IDF, Indeks IDF dan Grafik Prioritas.
Gambar 9. Contoh Matrik IDF (Manulang, 1999) 3.4.7.1 Matriks Institutional Development Framework Matriks IDF terdiri dari beberapa kolom; 1. Indikator Kelembagaan Indikator kelembagaan merupakan kolom pertama dalam matriks IDF yang berisi komponen-komponen kunci yang akan diberi bobot dan dinilai. 2. Bobot Bobot yang dimaksud merupakan tingkat kepentingan Pemerintah Kota Sabang terhadap komponen kunci yang ada. Nilai bobot berkisar 1 sampai 4 (Tabel 4).
30
Tabel 4. Nilai Bobot Berdasarkan Tingkat Kepentingan Tingkat kepentingan Sangat penting Penting
Prioritas
Nilai Bobot 4
Menentukan hidup-mati organisasi; sangat vital Memerlukan perhatian khusus; tidak dapat diabaikan
3
Cukup penting Tidak menjadi prioritas Tidak penting Mungkin menjadi penting dalam jangka panjang Sumber: Manulang (1999)
2 1
3. Tingkat Perkembangan Kelembagaan Tingkat perkembangan kelembagaan merupakan penilaian kuantitatif terhadap kondisi Pemerintah Kota Sabang berhubungan dengan kondisi yang ada saat ini. Nilai tingkat perkembangan kelembagaan berkisar antara 0,25 – 4 yang dijelaskan pada Tabel 5.
Tabel 5. Tingkat Perkembangan Organisasi Tingkat Perkembangan Kelembagaan Awal Berkembang Pemantapan Dewasa
Tahap perkembangan
Nilai
Permulaan suatu organisasi Pertumbuhan organisasi Perluasan dan konsolidasi Organisasi sudah stabil dan berkelanjutan
0,25, 0,50, 0,75, atau 1,0 1,25, 1,50, 1,75, atau 2,0 2,25, 2,50, 2,75, atau 3,0 3,25, 3,50, 3,75, atau 4,0
Sumber: Manulang (1999)
3.4.7.2 Indeks Institutional Development Framework Setelah masing-masing komponen kunci pada matrik IDF diisi, maka dihitung skor masing-masing komponen kunci dan nilai Z; n
U (i ) = X (i ) × Y (i ) dan Z = ∑ U (i ) i =1
dimana: X(i) : Bobot masing-masing komponen kunci. Y(i) : Tingkat perkembangan kelembagaan masing-masing komponen kunci. U(i) : Nilai skor masing-masing komponen kunci.
31
Setelah itu dihitung nilai Indeks IDFnya:
IDF = Z
B
Dimana IDF : Nilai indeks IDF. Z
: Penjumlahan seluruh skor komponen kunci
B
: Penjumlahan seluruh bobot komponen kunci
3.4.7.3 Grafik Prioritas
Grafik prioritas merupakan grafik nilai bobot dan tingkat perkembangan organisasi pada sumbu XY.
Grafik ini dibagi menjadi 4 kuadran untuk
menggambarkan kondisi masing-masing komponen kunci (Gambar 10). :Prioritas
:Kinerja
Gambar 10. Grafik XY Prioritas pada Analisis Kelembagaan (Manulang, 1999)
Penyebaran komponen kunci pada sumbu XY (Manulang, 1999): 1) Komponen kunci yang terletak dalam kuadran I menunjukkan komponenkomponen kunci yang memiliki prioritas kepentingan tinggi dan kinerja yang tinggi; 2) Komponen kunci yang terletak dalam kuadran II menunjukkan komponenkomponen kunci yang memiliki prioritas kepentingan tinggi tetapi kinerja organisasi berada pada tingkat perkembangan yang rendah;
32
3) Komponen yang terletak dalam kuadran III menunjukkan prioritas kepentingan rendah dan kinerja organisasi untuk komponen kunci tersebut berada pada tingkat perkembangan yang rendah; 4) Komponen kunci yang terletak dalam kuadran IV menunjukkan komponenkomponen kunci yang memiliki prioritas atau bobot kepentingan tinggi dan kinerja organisasi untuk komponen kunci tersebut berada pada tingkat perkembangan yang rendah. Komponen kunci yang terletak pada kuadran II merupakan komponen utama untuk dibuat rekomendasi dan strategi agar komponen kunci pada kuadran II tersebut memiliki kinerja yang baik sesuai prioritas yang ditetapkan. Selain dilakukan pembahasan terhadap hasil analisis kelembagaan pemerintah, juga dilakukan pembahasan kondisi kelembangaan yang ada di masyarakat nelayan.
Pembahasan kondisi kelembagaan masyarakat nelayan
dilakukan secara deskriptif berdasarkan laporan-laporan tentang kondisi kelembagaan masyarakat di Pulau Weh. Hal ini dilakukan untuk melihat peranan kelembagaan masyarakat dalam mendukung pelaksanaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Pulau Weh.
4 HASIL PENELITIAN
4.1 Sumberdaya Ikan Karang di Pulau Weh 4.1.1 Biomassa ikan karang Berdasarkan hasil sensus visual dan survey hasil tangkapan terdapat 84 spesies ikan dari 14 famili yang memiliki nilai ekonomis (Tabel 6). Tabel 6. Daftar Ikan Karang Ekonomis Hasil Survei UVC dan Hasil Tangkapan No Famili 1 Acanthuridae 2 Balistidae
3 4 5 6 7 8
9 10 11 12
13
14
Nama Lokal Spesies Taji-taji Acanthurus lineatus, Acanthurus mata, dan Naso Sp. Jabong Balistapus undulates, Balistoides conspicillum, B.viridescens, Melichthys indicus, M. niger, Odonus niger, Pseudobalistes fuscus, Rhinecanthus rectangulus, Sufflamen bursa, S.chrysopterus, dan S. fraenatus Caesionidae PisangCaesio caerulaurea, C. lunaris, C. teres, C. xanthonota, pisang Pterocaesio digramma, dan P. tile Carangidae Rambeu Carangoides ferdau, C. orthogrammus, C. plagiotaenia, Salem Caranx melampygus, dan Elagatis bipinnulatus Haemulidae Bibir tebal Diagramma pictum dan Plectorhinchus Holocentridae Seurindang Myripristis, Neoniphon sammara, dan Sargocentron Lethrinidae Aneuk tiet Lethrinus harak dan Monotaxis grandoculis Lutjanidae Kakap merah Aphareus furca, Lutjanus bohar, L. carponotatus, L. Reumong decussatus, L. ehrenbergii, L. fulviflamma, L. fulvus, L. Kasmira, Macolor niger, dan Pinjalo pinjalo Mullidae Ikan Jenggot Mulloidichthys, Parupeneus, dan Upeneus vittatus Pemperidae Bruk abah Pempheris adusta dan P. vanicolensis Priacanthidae Ikan merah Priacanthus hamrur Scaridae BeyeumChlorurus bleekeri, C. sordidus, C. strongylocephalus, bayuem C.troschelii, Scarus Sp., S. altipinnis, S. forsteni, S. frenatus, S.ghobban, S. globiceps, S. niger, S. oviceps, S. quoyi, S.rivulatus, S. rubroviolaceus, S. schlegeli, dan S. tricolor Serranidae Keurape Aethaloperca rogaa, Cephalopholis argus, C. boenak, C.leopardus, C. miniata, C. sexmaculata, C. sonnerati, C.spiloparaea, C. urodeta, Epinephelus caeruleopunctatus, E.fasciatus, E. macrospilos, E. merra, E. ongus, E. quoyanus, E. spilotoceps, E. tauvina,dan Variola louti Sphyraenidae Tangkulo Sphyraena barracuda
34
Pseudobalistes fuscus dari famili Balistidae memiliki biomassa terendah yaitu sebesar 0,01 kg/ha.
Chlorurus strongylocephalus dari famili Scaridae
merupakan spesies dengan biomassa tertinggi dengan nilai 97,8 kg/ha.
4.1.2 Alat penangkapan ikan karang Berdasarkan survei hasil tangkapan nelayan, terdapat 8 jenis alat tangkap yang dipergunakan untuk menangkap ikan karang oleh nelayan di Pulau Weh. Alat tangkap tersebut antara lain; jaring insang, pancing, jaring pisang-pisang, pukat jepang, purse seine, tonda, panah ikan (speargun) dan rawai. Alat tangkap pancing merupakan alat tangkap yang umum dan paling banyak di gunakan di Pulau Weh. Jaring insang merupakan jaring insang tetap yang dioperasikan di atas karang tanpa menggunakan perahu. Rawai merupakan alat tangkap yang paling jarang digunakan. Purse seine dan tonda yang pada umumnya merupakan alat tangkap yang menangkap ikan non karang, namun nelayan di Pulau Weh mengoperasikan alat ini di sekitar tubiran karang, sehingga alat tangkap ini juga menangkap ikan karang. Jaring pisang-pisang dan pukat jepang merupakan alat modifikasi dari Muroami. Pukat jepang masih menggunakan kantong dan memakai dua perahu dalam pengoperasiannya. Jaring pisang-pisang merupakan bottom gillnet yang dioperasikan di wilayah terumbu karang untuk menangkap ikan ekor kuning. Pancing merupakan alat tangkap yang menangkap seluruh famili ikan yang dimanfaatkan. Jaring insang, jaring pisang-pisang dan speargun merupakan alat tangkap berikutnya yang dominan menangkap ikan karang.
Alat tangkap
berikutnya adalah pukat jepang dan tonda. Purse seine dan rawai yang merupakan alat tangkap ikan pelagis, namun pengoperasiannya yang di sekitar tubiran karang menyebabkan ikan ini juga menangkap ikan karang.
Bahkan rawai hanya
menangkap ikan famili Lutjanidae atau kakap yang merupakan ikan associate reef fish. Hasil tangkapan oleh masing-masing alat tangkap disajikan pada Tabel 7.
35
Tabel 7. Famili Ikan yang Tertangkap Masing-masing Alat Tangkap NO
Famili JI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Acanthuridae Balistidae Caesionidae Carangidae Haemulidae Holocentridae Lethrinidae Lutjanidae Mullidae Pemperidae Priacanthidae Scaridae Serranidae Sphyraenidae
JPP
Alat Tangkap P PJ PS RW -
-
-
-
-
-
SG
TD
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Catatan: JI:jaring insang, JPP:jaring pisang-pisang, P:pancing, PJ:pukat jepang, PS:purse seine, RW: rawai, SG: speargun dan TD:tonda
Dilihat dari hasil tangkapannya, pancing memiliki rata-rata hasil tangkapan yang relatif sedikit. Pukat jepang dan purse seine juga memiliki nilai tengah hasil tangkapan yang relatif kecil. Penyebab pukat jepang memiliki nilai tengah yang kecil adalah banyaknya trip pukat jepang pada saat survei yang hasil tangkapannya sangat sedikit. Hasil tangkapan pukat jepang tertinggi pada saat penelitian dapat mencapai 45 kg/trip. Boxplot hasil tangkapan masing-masing alat tangkap disajikan pada Gambar 11 berikut ini.
36
Gambar 11. Boxplot Hasil Tangkapan (kg) Masing-masing Alat Tangkap
4.1.3 Nilai ekonomi alat penangkapan ikan karang Penghitungan nilai ekonomi alat penangkapan ikan dihitung berdasarkan pada 5 komponen utama yaitu total trip masing-masing alat tangkap dalam satu tahun, depresiasi alat tangkap dan perahu yang digunakan setiap trip, biaya perawatan setiap bulan, biaya operasional setiap trip dan hasil tangkapan rata-rata setiap trip. Penghitungan total trip berdasarkan kepada jumlah efektif bulan melaut masing-masing alat tangkap. Hal ini dilakukan mengingat banyaknya jumlah hari pantang melaut di Pulau Weh, seperti hari jumat, bulan puasa, dan saat kenduri laut. Setelah dihitung bulan efektif melaut maka dihitung jumlah minggu efektif melaut dalam satu tahun. Berdasarkan data Wildlife Conservation Society (data 2008 tidak dipublikasikan) dan verifikasi dengan beberapa nelayan tentang ratarata jumlah melaut dalam satu minggu maka di dapat jumlah trip dalam satu tahun. Depresiasi alat dihitung berdasarkan harga perahu, mesin dan alat tangkap beserta umurnya. Dengan membagi harga alat dengan umur perahu dalam bulan maka akan didapat nilai depresiasi alat penangkapan ikan dalam satuan bulan.
37
Informasi biaya operasional dan perawatan masing-masing alat tangkap di dapat secara langsung pada saat survei hasil tangkapan. Nilai hasil tangkapan diperoleh dari data Wildlife Conservation Society (data tidak dipublikasikan) dan verifikasi dengan beberapa nelayan tentang hasil rata-rata dalam setiap trip. Hasil rata-rata dihitung berdasarkan nilai tengah antara hasil saat hari baik dan saat hari buruk. Nilai ekonomi masing-masing alat tangkap disajikan pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Nilai Ekonomi Masing-masing Alat Tangkap No
Alat Tangkap
Total trip Depresiasi (tahun) (Rp/tahun)
Biaya Perawatan (Rp/tahun)
Biaya Operasional (Rp/tahun)
Keuntungan Keuntungan Keuntungan Bersih Bersih Bersih Maksimal Normal Minimal (Rp/tahun) (Rp/tahun) (Rp/tahun) 21,073,750 63,961,250 106,848,750
1 Jaring Insang
214
250,000
120,000
2 Jaring pisang-pisang
196
6,541,667
6,000,000
68,437,500
-22,318,452
36,342,262
3 Pancing
246
4,241,667
4,800,000
12,318,750
-10,273,542
15,595,833
52,552,083
4 Pukat Jepang
196
11,062,500
9,000,000
97,767,857
-59,169,643
77,705,357
175,473,214
-
95,002,976
5 Purse seine
251
21,000,000
32,000,000
301,125,000
-178,468,750
147,750,000
1,151,500,000
6 Rawai
224
5,041,667
4,800,000
39,123,438
-19,901,979
62,816,146
174,597,396
7 Speargun
183
8,833,333
2,400,000
27,375,000
-14,883,333
80,016,667
107,391,667
8 Tonda
224
5,041,667
4,800,000
67,068,750
-63,496,667
180,186,458
705,558,333
Berdasarkan nilai ekonomi, purse seine dan tonda merupakan alat tangkap yang memiliki nilai ekonomi tertinggi, hal ini disebabkan alat tangkap ini selain menangkap ikan karang juga menangkap ikan pelagis yang nilainya cukup mahal.
4.1.4 Jumlah alat tangkap optimum Hasil penapisan spesies ikan berhasil ditemukan 9 spesies ikan yang memiliki perbandingan antara rata-rata hasil tangkapan dan biomassa ikan kurang dari 10. Sembilan spesies tersebut antara lain Pseudobalistes fuscus, Carangoides plagiotaenia, Elagatis bipinnulatus, Lutjanus bohar, Cephalopholis boenak, Cephalopholis miniata, Epinephelus caeruleopunctatus, Epinephelus spilotoceps dan Variola louti. Sembilan spesies tersebut tidak dimasukkan dalam fungsi kendala dalam analisis Linear Goal Programming (LGP) untuk menentukan jumlah alat tangkap optimal. Analisis Linear Goal Programming (LGP) untuk menentukan jumlah alat tangkap optimal dilakukan pada dua kelompok fungsi kendala.
Kelompok
pertama adalah spesies ikan yang memiliki perbandingan hasil tangkapan rata-rata dengan biomassa ikan lebih dari 10 yaitu sebanyak 75 spesies atau 75 fungsi
38
kendala. Kelompok kedua adalah spesies ikan yang memiliki perbandingan lebih dari 100 yaitu sebanyak 45 spesies. Hasil analisis LGP masing-masing kelompok disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 9. Jumlah Alat Tangkap berdasarkan Analisis LGP No 1 2 3 4 5 6 7 8
Alat Tangkap Jaring insang Jaring pisang-pisang Pancing Pukat jepang Purse seine Rawai Speargun Tonda
Kode JI JPP P PJ PS RW SG TD
Skenario Kelompok 1 Kelompok 2 (75 spesies) (45 spesies) 155 144 193 35 406 30 0 19 0 1,055 0 0 1,392 10 255 283
4.2 Area Prioritas Berdasarkan Analisis Marxan yang dilakukan terhadap target konservasi maka area prioritas yang dapat dijadikan kawasan konservasi disajikan pada gambar-gambar berikut ini.
Gambar 12. Area Prioritas Kawasan Konservasi Laut 10 % di Pulau Weh
39
Gambar 13. Area Prioritas Kawasan Konservasi Laut 20 % di Pulau Weh
Gambar 14. Area Prioritas Kawasan Konservasi Laut 30 % di Pulau Weh
40
Gambar 15. Area Prioritas Kawasan Konservasi Laut 40 % di Pulau Weh
Luasan wilayah masing-masing target konservasi disajikan pada Tabel 10 berikut ini.
Tabel 10. Komposisi Luasan Prioritas Konservasi Berdasarkan Analisis Marxan Keterangan
Area Prioritas (ha)
Luas Total 10% 20% 30% 40%
Karang Luas % 904.660 100.00 62.712 6.93 130.564 14.43 192.243 21.25 276.344 30.55
Mangrove Luas % 45.840 100.00 3.221 7.03 11.961 26.09 25.983 56.68 19.853 43.31
4.3 Kelembagaan Hasil analisis Institutional Development Framework (IDF) menunjukkan kelembagaan Pemerintah Kota Sabang dalam tahap pemantapan untuk implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan karang. Nilai IDF masing-masing badan dan dinas serta rata-rata nilai IDF disajikan pada Tabel 11.
41
Tabel 11. Nilai IDF Masing-masing Badan dan Dinas Keterangan Bapedalkep 116.00 Bobot (B) 330.00 Z 2.84 IDF
Bappeda 84.00 194.50 2.32
DKPP 116.50 278.00 2.39
Rata-rata 116.33 286.47 2.46
Grafik IDF (Gambar 16) menunjukkan komponen-komponen kunci kelembagaan Pemerintah Kota Sabang berada pada 3 kuadran, yaitu kuadran I, II, III. Hal ini menunjukkan kinerja Pemerintah Kota Sabang memang hanya pada komponen kunci yang merupakan prioritas.
Terlihat bahwa tidak adanya
komponen kunci yang berada pada kuadran IV yang merupakan komponen kunci kinerja yang tinggi namun prioritas yang rendah. Komponen kunci yang berada pada kuadran II memang merupakan komponen kunci yang menjadi kelemahan Pemerintah Kota Sabang. Berdasarkan grafik IDF, terdapat 9 komponen kunci yang terdapat pada kuadran II yang merupakan komponen dengan prioritas tinggi namun kinerja yang rendah. Sembilan komponen kunci tersebut antara lain (berurut dari prioritas tertinggi dan kinerja terendah): 1) Implementasi kegiatan perlindungan spesies unik/dilindungi (31) 2) Impelementasi penelitian (35) 3) Implementasi perlindungan daerah pemijahan ikan (32) 4) Pelatihan staf untuk monitoring dan riset perikanan dan ekosistem (16) 5) Alokasi dana untuk kegiatan penelitian perikanan dan ekosistem (19) 6) Komunikasi lembaga pemerintah dengan Panglima Laot (26) 7) Kecukupan dana untuk kegiatan konservasi (23) 8) Pelatihan staf untuk konservasi (14) 9) Staf yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penelitian perikanan dan ekosistem (13)
42
31 35
32
16
3 7
9
26
19
8 27
23
14
10
22 1
11
x: kinerja
2
5 29
20
13
28 30
4 17
34
18 33 6
15
25
12
21
24
y: prioritas Gambar 16. Grafik XY Prioritas Rata-rata Kota Sabang Keterangan 1
:
Sistem organisasi
19
:
2
:
20
:
3
:
Komponen ekosistem dalam visi/misi/pengelolaan perikanan Kebijakan untuk kegiatan konservasi
21
:
4
:
22
:
5
:
23
:
6
:
24
:
7
:
25
:
8
:
26
:
9
:
27
:
10
:
Kebijakan untuk pengaturan penangkapan ikan Kelengkapan posisi untuk kegiatan konservasi Kelengkapan posisi untuk pengaturan penangkapan ikan Kelengkapan posisi untuk penelitian ekosistem Pertimbangan kondisi ekosistem dalam perencanaan Pertimbangan kondisi ekosistem dalam evaluasi perencanaan Partisipasi dalam perencanaan
28
:
11
:
29
:
Kecukupan dana untuk pengaturan penangkapan ikan Kecukupan dana untuk kegiatan penelitian perikanan dan ekosistem Komunikasi lembaga pemerintah dengan Panglima Laot Komunikasi antar lembaga dengan BAPEDALKEP Komunikasi antar lembaga dengan BAPPEDA Komunikasi antar lembaga dengan DKPP
12
:
30
:
Implementasi kegiatan konservasi
13
:
31
:
14
:
32
:
15
:
33
:
Implementasi kegiatan perlindungan spesies unik/dilindungi Implementasi perlindungan daerah pemijahan ikan Implementasi pengaturan penangkapan ikan
16
:
34
:
17
:
35
:
18
:
Staf yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang konservasi Staf yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang pengaturan penangkapan ikan Staf yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penelitian perikanan dan ekosistem Pelatihan staf untuk konservasi Pelatihan staf untuk pengaturan penangkapan ikan Pelatihan staf untuk monitoring dan riset perikanan dan ekosistem Alokasi dana untuk kegiatan konservasi
Alokasi dana untuk kegiatan penelitian perikanan dan ekosistem Sumberdana untuk kegiatan konservasi Sumberdana untuk kegiatan pengaturan penangkapan ikan Sumberdana untuk kegiatan penelitian perikanan dan ekosistem Kecukupan dana untuk kegiatan konservasi
Implementasi pengaturan pemanfaatan tradisional Impelementasi penelitian
Alokasi dana untuk pengaturan penangkapan ikan
5 PEMBAHASAN
5.1 Sumberdaya Ikan Karang di Pulau Weh Ikan yang dimanfaatkan secara ekonomi dan ditemukan pada saat survei sensus visual sebanyak 84 spesies dari 14 famili ikan. Famili Scaridae yang merupakan keluarga ikan kakak tua memiliki biomassa tertinggi yaitu sebesar 274,4 kg/ha yang kemudian diikuti famili Caesionidae dan Acanthuridae yang masing-masing sebesar 213,5 kg/ha dan 116,8 kg/ha. Hal ini menunjukkan alat tangkap yang menangkap ikan Scaridae merupakan alat tangkap yang direkomendasikan untuk dikembangkan. Berdasarkan jenis makanan masing-masing spesies ikan (Allen et al., 2005), maka ikan karang yang dimanfaatkan dapat dikelompokkan menjadi herbivore, planktivore, carnivore, omnivore dan benthic invertebrate.
Ikan
herbivore memiliki biomassa tertinggi yang diikuti planktivore, carnivore, omnivore, dan benthic invert. Hal ini sesuai dengan penelitian Bengen (2004) serta Hart dan Reynolds (2004) dimana semakin tinggi piramida makanan semakin rendah biomassanya dan semakin panjang atau besar ukurannya. Komposisi biomassa masing-masing famili dan komposisi berdasarkan trophic level disajikan pada Gambar 17 dan 18. Beberapa spesies ikan memiliki tingkat kematian alamiah yang besar (nilai M lebih besar dari 1). Ikan-ikan yang memiliki tingkat kematian alami yang besar tersebut antara lain Balistapus undulates, Melichthys indicus, Rhinecanthus rectangulus, Sufflamen bursa, Sufflamen chrysopterus, Pterocaesio tile, Myripristis,
Neoniphon
samara,
Sargocentron,
Lutjanus
carponotatus,
Mulloidichthys, Upeneus vittatus, Pempheris adusta, Pempheris vanicolensis, Priacanthus hamrur, Chlorurus sordidus, Scarus niger, Scarus tricolor, Cephalopholis boenak dan Epinephelus merra. Ikan-ikan tersebut tidak dapat dimanfaatkan dengan nilai pemanfaatan yang tinggi.
44
Biomassa Ikan Karang per Famili Serranidae 4.32%
Sphyraenidae 0.73%
Acanthuridae 13.36%
Balistidae 6.53% Scaridae 31.37%
Caesionidae 24.40%
Priacanthidae 0.32% Pemperidae 0.51% Mullidae 5.22%
Lutjanidae 4.83%Lethrinidae Holocentridae 1.12% 2.48%
Carangidae 3.84% Haemulidae 0.97%
Gambar 17. Komposisi Biomassa Famili Ikan Karang Hasil Tangkapan
Komposisi Biomassa Ikan Berdasarkan Trophic Level Benthic Inverts Omnivore 100% 90%
Persentase (%)
80%
Carnivore Planktivore
70% 60% 50%
Herbivore
40% 30% 20% 10% 0%
Gambar 18. Komposisi Trophic Level Ikan Karang Hasil Tangkapan
45
Garcia et al. (1989), Amin et al. (2002) dan Ault et al. (2008) meyebutkan bahwa tingkat pemanfaatan lestari terjadi pada saat tingkat kematian alamiah (M) sama dengan kematian akibat penangkapan (F) atau tingkat eksploitasi 0,5. Namun konsep umum ini tidak berlaku bagi ikan karang, penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan lestari terjadi pada tingkat eksploitasi 0,5 (F=M) jika tingkat kematian alamiah kurang dari 0,8. Jika tingkat kematian alamiah lebih dari 0,8 maka penghitungan Fmsy dihitung berdasarkan persamaan penghitungan MSY (Garcia et al., 1989 dan Samoilys, 1997). MSY dalam penghitungan Fmsy ditentukan berdasarkan Katsukawa (2004) yang menyebutkan 20% sisa dari biomassa merupakan tingkat kritis rekruitmen agar tidak terjadi overfishing. Quinn II dan Collie (2005) juga menyebutkan bahwa nilai MSY berdasarkan nilai biomassa lebih baik untuk mencegah resiko tingkat pemanfaatan pada tingkat kritis. Sebaran nilai M, Fmsy dan Emsy disajikan pada Gambar 19 berikut.
Boxplot of M, Fmsy, Emsy 1.6 1.4 1.2
Data
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 M
Fmsy
Emsy
Gambar 19. Sebaran Nilai M, Fmsy dan Emsy Sumberdaya Ikan Karang
Berdasarkan boxplot tersebut nilai mortalitas alami (M) menyebar dengan nilai pemusatan 0,66 (Q1=0,43 dan Q3=0,875), yang menunjukkan kurva sebaran
46
nilai M berpusat dibagian kiri atau miring ke kanan.
Nilai kematian akibat
penangkatan saat MSY (Fmsy) menyebar dengan nilai pemusatan 0,56 (Q1=0,43 dan Q3=0,7375) dengan kurva sebaran miring ke kiri. Sebaran nilai pemanfaatan saat MSY (Emsy) menunjukkan banyaknya data pencilan yang disebabkan banyaknya nilai Emsy yang berada pada 0,5 (Q1=0,44, Q2=0,5 dan Q3=0,5). Nilai Fmsy dan Emsy menunjukkan nilai korelasi yang signifikan dengan M. Namun nilai korelasi M dan Fmsy menunjukkan nilai yang agak rendah yaitu sekitar 0,4. Nilai korelasi M dan Emsy menunjukkan nilai yang cukup tinggi yaitu sekitar 0,84.
Perbandingan MSY dan Biomasa 80 70
MSY (kg/ha)
60 y = 0.6084x + 0.1412 R² = 0.9057
50 40 30 20 10 0
20
40
60
80
100
120
Biomasa (kg/ha)
Gambar 20. Hubungan Antara MSY dan Biomassa Ikan Karang
Tingkat pemanfaatan lestari (MSY) masing-masing ikan karang yang dibandingkan dengan biomassa ikan karang disajikan pada Gambar 20. Persamaan linear pada perbandingan tersebut menunjukkan bahwa nilai MSY dapat diprediksi dengan persamaan MSY = 0,608 Biomassa + 0,141. Persamaan tersebut menunjukkan konstanta yang signifikan (pvalue = 0,000) sebesar 0,6 yang berarti bahwa secara umum nilai ikan karang yang dapat dimanfaatkan adalah sebesar 60% dari biomassa ikan karang. Persamaan tersebut juga memiliki
47
koefisien determinansi sebesar 0,905 yang berarti persamaan tersebut mampu menjelaskan sebesar 90.5% dari perbandingan data biomassa dan MSY. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Katsukawa (2004) dan Mace (2001) yang menyebutkan bahwa tingkat pemanfaatan ikan akan lestari jika dilakukan pada 60% dari biomassa yang ada atau lebih rendah dari nilai MSY masing-masing species. Tingkat pemanfaatan ikan karang tersebut dipengaruhi oleh nilai M. Menurut Sparre dan Venema (1999) bahwa ikan dengan nilai M yang besar akan memproduksi telur yang lebih banyak sehingga nilai MSY nya juga cukup tinggi. Analisis optimasi alat tangkap ikan karang menunjukkan 9 spesies dikeluarkan dari model LGP. Hal ini menunjukkan 9 spesies ikan karang ini perlu diatur dan dilindungi. Dua dari Sembilan spesies tersebut menunjukkan tingkat kerentanan yang cukup tinggi dimana perbandingan hasil tangkapan dan dan biomassa ikan kurang dari 1.
Dua spesies tersebut antara lain Ikan Salem
(Elagatis bipinnulatus) dan Kerapu Mutiara (Cephalopholis miniata).
Komposisi Hasil Tangkapan 100% 90%
Persentase Hasil Tangkapan
80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Jaring Insang Jaring Pisangpisang
Acanthuridae
Pancing
Balistidae
Pukat Jepang
Purse Seine
Rawai
Speargun
Caesionidae
Carangidae
Haemulidae
Holocentridae Lethrinidae
Lutjanidae
Mullidae
Pemperidae
Priacanthidae
Serranidae
Sphyraenidae
Scaridae
Tonda
Gambar 21. Komposisi Hasil Tangkapan Masing-masing Alat Tangkap Hasil analisis LGP pada kelompok 1 menunjukkan alat tangkap jaring insang merupakan alat tangkap yang direkomendasikan untuk dikembangkan.
48
Jaring insang merupakan alat tangkap dengan tangkapan utama Carangidae dan Scaridae yang biomassanya masih cukup tinggi (Gambar 21). Alat tangkap jaring insang juga merupakan alat tangkap yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi namun dengan modal yang relatif rendah sehingga sangat layak dikembangkan. Jika dibandingkan dengan jumlah alat tangkap di Pulau Weh pada tahun 2007 menunjukkan jumlah jaring insang hanya 19 alat tangkap. Hal ini menunjukkan alat tangkap jaring insang masih jauh lebih sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan alat tangkap yang direkomendasikan yaitu sebanyak 144 alat tangkap. Alternatif alat tangkap selain jaring insang adalah jaring pisang-pisang yang direkomendasikan jumlahnya sebanyak 35 alat tangkap. Alat tangkap jaring pisang-pisang memiliki tangkapan dominan Caesionidae dan Acanthuridae yang biomassanya
masih
cukup
tinggi.
Alat
tangkap
berikutnya
yang
direkomendasikan adalah alat tangkap pancing dengan jumlah alat tangkap 30. Alat tangkap panah ikan (speargun), dan pukat jepang merupakan alat tangkap yang perlu dibatasi, dimana jumlah maksimum masing masing alat tangkap adalah 10 dan 19 pada kondisi tingkat pemanfaatan yang lestari. Alat tangkap speargun dan pukat jepang merupakan alat tangkap yang juga dapat menimbulkan konflik sosial sehingga diperlukan pengaturan yang cukup ketat berkenaan dengan alat tangkap tersebut.
Selain itu alat tangkap speargun
merupakan alat tangkap yang dominan hasil tangkapannya kerapu. Speargun juga merupakan alat tangkap dengan hasil tangkapan kerapu tertinggi dibandingkan alat tangkap lainnya. Alat tangkap purse seine dan tonda yang direkomendasikan dengan jumlah yang tinggi bukan merupakan jumlah alat tangkap yang disarankan dioperasikan di Pulau Weh. Hal ini disebabkan adanya faktor pembatas lainnya yang tidak dibahas dalam penelitian ini, yaitu nilai MSY ikan pelagis yang merupakan hasil tangkapan utama kedua alat tangkap tersebut. Hasil analisis LGP kelompok 1 juga menunjukkan adanya nilai batas bawah yang berarti terdapat ikan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh seluruh alat tangkap hasil perhitungan analisis LGP. Hal ini dapat disebabkan jauhnya kisaran model pembatas masing-masing spesies ikan karang. Ikan dengan biomassa yang
49
jauh lebih rendah akan menjadi pembatas model ikan yang jauh lebih tinggi. Berdasarkan jumlah alat tangkap hasil analisis LGP maka rata-rata ikan karang yang dimanfaatkan hanya 42% dari jumlah MSY.
Selain nilai batas bawah
terdapat juga nilai batas atas yang jumlahnya melebihi 80% dari biomassa. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usaha penangkapan pada spesies tersebut harus dikurangi atau diatur jumlah hasil tangkapannya. Spesies-spesies tersebut adalah Caesio caerulaurea, Aphareus furca, Lutjanus carponotatus, Pempheris adusta, Chlorurus troschelii, Epinephelus fasciatus dan Epinephelus merra. Hasil analisis LGP pada kelompok 2 menunjukkan perbedaan dimana alat tangkap yang disarankan adalah speargun (1932 alat tangkap) dan pancing (406 alat tangkap). Hal ini dapat terjadi karena fungsi pembatas dari speargun dan pancing dikeluarkan dari model analisis LGP kelompok 2. Meskipun pancing direkomendasikan dengan jumlah 406 alat tangkap, namun jumlah tersebut tetap saja jauh lebih rendah dibandingkan jumlah alat tangkap pancing yang beroperasi saat ini. Jumlah alat tangkap jaring insang dan jaring pisang-pisang yang optimal masing-masing sebanyak 155 dan 193. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah jaring insang dan jaring pisang-pisang yang beroperasi saat ini sehingga alat tangkap jaring insang dan jaring pisang-pisang tetap merupakan alat tangkap yang direkomendasikan untuk dikembangkan saat ini. Terdapat tiga belas (13) spesies yang memiliki batas atas hingga lebih 80% dari biomassa, yang berarti terdapat tiga belas (13) spesies yang perlu diatur jumlah hasil tangkapannya. Tiga belas (13) spesies tersebut antara lain Rhinecanthus rectangulus, Diagramma pictum, Sargocentron, Lethrinus harak, Lutjanus carponotatus, Lutjanus ehrenbergii, Lutjanus fulvus, Pinjalo pinjalo, Parupeneus, Upeneus vittatus, Scarus tricolor, Epinephelus merra dan Epinephelus quoyanus. Jika alat tangkap purse seine, rawai, tonda, pukat jepang dan speargun dikeluarkan dari model LGP maka jumlah alat tangkap yang dapat dioperasikan disajikan pada Tabel 12. Alat tangkap pukat jepang dan speargun dikeluarkan dari model karena dua alat tangkap ini merupakan alat tangkap tidak ramah lingkungan dan menimbulkan konflik sosial. Alat tangkap purse seine, rawai dan
50
tonda dikeluarkan dari model karena ketiga alat tangkap tersebut hasil tangkapan utamanya adalah ikan pelagis.
Tabel 12. Hasil Analisis LGP pada 3 Alat Tangkap Utama No
Alat Tangkap
1 2 3
Jaring insang Jaring pisang-pisang Pancing
Kode JI JP P
Skenario Kelompok 1 Kelompok 2 (75 spesies) (45 spesies) 155 163 189 36 625 103
Hasil penelitian Mardle dan Pascoe (1999) juga menunjukkan perlu adanya modifikasi fungsi pembatas pada analisis LGP.
Modifikasi dapat
dilakukan dengan pembobotan atau pengelompokan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan capaian yang paling optimal dari fungsi pembatas dan goal yang diinginkan.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak semua tujuan dapat
terpenuhi mengingat banyaknya dan besarnya variasi fungsi pembatas yang ada. Jika dibandingkan dengan skenario kelompok 1, skenario pada kelompok 2 ini jumlah spesies yang diatur relatif jauh lebih banyak yaitu 39 spesies (Tabel 13). Hal ini berarti dengan penambahan alat tangkap berdasarkan hasil LGP kelompok 2, maka semakin banyak jumlah spesies yang harus diatur dan dilindungi. Hasil analisis LGP pada dua kelompok tersebut juga menunjukkan alat tangkap jaring insang dan jaring pisang-pisang merupakan alat tangkap yang direkomendasikan untuk dikembangkan. Hal ini terlihat dari dua alat tangkap tersebut jumlah optimalnya jauh lebih tinggi dari kondisi yang ada saat ini. Alat tangkap pancing yang jumlah optimalnya sangat banyak pada skenario kelompok 2 yaitu sebanyak 568 alat tangkap, namun jumlah ini masih lebih rendah dibandingkan kondisi saat ini, sehingga tetap perlu diatur jumlahnya. Tabel 13. Spesies Penapisan LGP Kelompok 2 Famili Acanthuridae Balistidae
Spesies Acanthurus mata Naso Balistoides viridescens Melichthys indicus Melichthys niger
51 Famili
Caesionidae
Carangidae
Haemulidae Holocentridae Lutjanidae
Pemperidae Priacanthidae Scaridae
Serranidae
Spesies Pseudobalistes fuscus Sufflamen fraenatus Caesio caerulaurea Caesio teres Pterocaesio tile Carangoides orthogrammus Carangoides plagiotaenia Elagatis bipinnulatus Plectorhinchus Myripristis Aphareus furca Lutjanus bohar Lutjanus Kasmira Macolor niger Pempheris adusta Pempheris vanicolensis Priacanthus hamrur Chlorurus troschelii Scarus altipinnis Scarus ghobban Scarus rubroviolaceus Aethaloperca rogaa Cephalopholis argus Cephalopholis boenak Cephalopholis miniata Cephalopholis sonnerati Cephalopholis spiloparaea Epinephelus caeruleopunctatus Epinephelus fasciatus Epinephelus macrospilos Epinephelus ongus Epinephelus spilotoceps Epinephelus tauvina Variola louti
5.2 Area Prioritas Analisis Marxan dilakukan untuk memilih kawasan-kawasan penting di Pulau Weh yang dapat dijadikan kawasan konservasi.
Berdasarkan Analisis
Marxan prioritas pertama atau 10% dari target konservasi meliputi wilayah Anoi Itam, Ie Meulee, Pulau Klah, Iboih, Jaboi, dan Keunekai. Prioritas kedua atau 20% dari target konservasi meliputi wilayah Anoi Itam, Ie Meulee, Pulau Klah, Iboih, dan Jaboi.
Prioritas ketiga atau 30% dari target konservasi meliputi
wilayah Anoi Itam, Ie Meulee, Pulau Klah, Iboih, Jaboi, dan Beurawang. Prioritas keempat atau 40% dari target konservasi meliputi wilayah Anoi Itam, Ie
52
Meulee, Pulau Klah, Iboih, Jaboi, Beurawang, dan Keunekai. Analisis Marxan tersebut sesuai dengan penelitian Rudi et al. (2008) dan Campbell et al. (2008) yang menyebutkan bahwa wilayah Iboih, Ie Meulee dan Anoi Itam merupakan wilayah dengan kondisi sumberdaya yang masih baik.
Hal ini disebabkan
berlakunya sistem pengelolaan adat yang mirip pengelolaan kawasan konservasi laut di ketiga wilayah tersebut. Perbandingan antara persentase target konservasi dan persentase luas habitat menunjukkan hubungan logarithmic. Hal yang sama juga terjadi pada perbandingan antara persentase target konservasi dan luas habitat yang menunjukkan hubungan logarithmic. Luas maksimum kawasan konservasi yang dibutuhkan adalah 40% dari luas habitat yang ada. Grafik hubungan persentase target konservasi dengan persentase luas habitat dan persentase target konservasi dengan luas habitat disajikan pada Gambar 22. Grafik Luas Area Prioritas 40
300
35
y = 146.5ln(x) - 288.5 R² = 0.939
250
200 25 y = 16.20ln(x) - 31.89 R² = 0.939
20
150
15 100
Luas Habitat (Ha)
% Luas Habitat
30
10 50 5 0
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
% Target Konservasi
Gambar 22. Hubungan Persentase Target Konservasi dengan Persentase Luas Habitat dan Luas Habitat Penelitian Bohnsack et al. (2000) menunjukkan untuk perikanan karang jumlah habitat yang perlu dikonservasi sebanyak 20% sampai 30% dari habitat yang ada untuk keberlanjutan perikanan karang. Angka tersebut diperoleh dari analisis produktifitas dan ecopath dimana saat perikanan dikonservasi 20% sampai 30% jumlah biomassa ikan karang secara umum akan meningkat seiring
53
dengan waktu. Berdasarkan hal tersebut maka wilayah yang perlu dikonservasi adalah Anoi Itam, Ie Meulee, Pulau Klah, Iboih, Jaboi, dan Beurawang. Wilayah yang dapat dijadikan zona inti atau 10% dari habitat penting adalah wilayah Ie Meulee, Anoi Itam, Iboih, Jaboi, dan Pulau Klah. Pemilihan zona inti sebesar 10% pada beberapa lokasi sesuai dengan Watson et al. (2000) yang menyebutkan bahwa kawasan konservasi akan efektif jika dipilih beberapa wilayah yang memiliki biomassa tinggi sebagai zona inti. Hal ini berkaitan dengan proses spill over dan mobilitas ikan. Penentuan lokasi spesifik zona inti memerlukan kajian lanjutan berkenaan pola rekruitmen ikan karang yang ada di Pulau Weh. Pola rekruitmen tersebut akan sangat mempengaruhi pola spasial kawasan konservasi (Sale, 2004). Selain itu dalam skala yang lebih luas perlu dikembangkan kawasan konservasi di luar wilayah Pulau Weh untuk lebih mengefektifkan dampak dari adanya kawasan konservasi dalam bentuk jejaraing kawasan konservasi dalam satu kawasan.
5.3 Kelembagaan Secara kelembangaan, Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian (DKPP), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Kebersihan dan Pertamanan (BAPEDALKEP) berada dalam tahap pemantapan. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Sabang memiliki kemampuan yang cukup untuk melaksanakan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan ikan karang. Pengelompokan nilai rata-rata bobot dan nilai Z berdasarkan karakteristik kelembagaan, menunjukkan sumberdaya manusia memiliki nilai IDF terendah yang berada pada angka 1,62. Hal ini menunjukkan karakteristik sumberdaya manusia merupakan masalah utama dalam implementasi pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan karang. Pengelompokan nilai rata-rata bobot dan nilai Z berdasarkan komponen kunci kelembagaan, menggambarkan bahwa komponen kecukupan dana, peningkatan kapasitas dan kelengkapan staf memiliki nilai IDF yang terendah. Masing-masing komponen kunci memiliki nilai 1,23, 1,38 dan 1,91 yang berada pada tahapan berkembang.
Berdasarkan dua pengelompokan tersebut maka
54
terlihat bahwa permasalahan utama adalah dukungan sumberdaya manusia yang disebabkan kurangnya kelengkapan staf dan kurangnya peningkatan kapasitas. Berdasarkan grafik XY prioritas menggambarkan adanya 9 komponen kunci yang terletak pada kuadran II yang berarti komponen kunci tersebut memiliki prioritas tinggi namun produktifitas rendah. Sembilan komponen kunci yang diurut dari prioritas tertinggi dan produktifitas terendah antara lain: 1) Implementasi kegiatan perlindungan spesies unik/dilindungi 2) Impelementasi penelitian 3) Implementasi perlindungan daerah pemijahan ikan 4) Pelatihan staf untuk monitoring dan riset perikanan dan ekosistem 5) Alokasi dana untuk kegiatan penelitian perikanan dan ekosistem 6) Komunikasi lembaga pemerintah dengan Panlima Laot 7) Kecukupan dana untuk kegiatan konservasi 8) Pelatihan staf untuk konservasi 9) Staf yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penelitian perikanan dan ekosistem. Berdasarkan hasil diskusi dengan staf Pemerintah Kota Sabang, lemahnya kegiatan implementasi perlindungan spesies, penelitian, dan perlindungan daerah pemijahan ikan disebabkan oleh kurangnya kapasitas dalam melakukan kegiatankegiatan tersebut.
Hal ini terlihat bahwa pelatihan staf untuk penelitian dan
kegiatan konservasi serta kurangnya staf dalam bidang penelitian merupakan komponen yang juga terdapat pada kuadran II.
Alokasi dana penelitian dan
kecukupan dana konservasi memberikan juga kontribusi terhadap permasalahan dalam implementasi kegiatan. Berdasarkan permasalahan tersebut terlihat bahwa peningkatan kapasitas dan pendanaan di bidang penelitian dan konservasi sangat diperlukan oleh Pemerintah Kota Sabang. Kegiatan peningkatan kapasitas dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak lembaga non pemerintah yang ada di Kota Sabang.
Hal ini
mengingat banyaknya lembaga non pemerintah yang bergerak dibidang konservasi dan penelitian di Kota Sabang.
Selain menyelesaikan masalah
kurangnya kapasitas, dengan bekerjasama dengan pihak lembaga non pemerintah maka masalah implementasi dan pendanaan juga dapat terselesaikan.
55
Selain bekerjasama dengan lembaga non pemerintah, pihak pemerintah Kota Sabang, juga dapat mendelegasikan kegiatan-kegiatan implementasi yang masih belum dilaksanakan atau perlu dikembangkan kepada pihak Panglima Laot. Kegiatan perlindungan spesies unik/dilindungi dan kegiatan perlindungan daerah pemijahan ikan dapat dilakukan bersama-sama dengan Panglima Laot, karena lembaga ini merupakan lembaga adat yang mempunyai kewenangan mengatur kegiatan pemanfaatan di wilayahnya. Panglima Laot merupakan pemimpin adat kaum nelayan yang mengatur segala praktek kenelayanan dan kehidupan sosial masyarakat pesisir. Menurut sejarah Panglima Laot sudah ada sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai, abad ke14. Selain merupakan tokoh, Panglima Laot juga sekaligus merupakan istilah untuk lembaga hukum adat tradisional di masyarakat pesisir Aceh yang mengurusi segala
hal;
terkait
aktifitas
penangkapan
ikan,
termasuk
aturan-aturan
penangkapan dan adat sosial di antara para nelayan. Dalam hal penangkapan ikan, nelayan luar yang ingin bersandar atau menangkap ikan di dalam wilayah lhok Panglima Laot harus mengikuti aturan-aturan hukum adat laut yang menaungi wilayah tersebut. Kewenangan inilah yang dapat digunakan oleh Pemerintah Kota Sabang untuk mendelegasikan kegiatan-kegiatan pengelolaan perikanan. Komunikasi dengan Panglima Laot yang juga berada pada kuadran II sebenarnya telah dilakukan oleh DKPP. DKPP juga telah melakukan berbagai kegiatan kolaborasi dengan beberapa Panglima Laot yang ada di Kota Sabang. Namun pihak BAPPEDA dan BAPELDAKEP merasa bahwa komunikasi dengan Panglima Laot sangat penting, namun komunikasi jarang dilakukan sehingga komponen ini terletak pada kuadran II. Menurut Renzi (1996) penilaian kelembagaan yang cukup besar seperti halnya Pemerintah Kota Sabang dengan metode IDF perlu dilakukan terpisah pada masing-masing divisi atau dinas, kemudian capaian-capaian yang ada dapat diwakili oleh satu divisi.
Melihat hal ini, untuk kasus komunikasi dengan
Panglima Laot yang berada pada kuadran II bisa direduksi sehingga berada pada kuadran kuadran I.
6 KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan Ikan karang yang dimanfaatkan secara ekonomi sebanyak 84 spesies yang didominasi oleh famili Scaridae, Caesionidae dan Acanthuridae. Komposisi jenis ikan yang ditangkap menunjukkan piramida makanan yang masih baik. Fungsi pemanfaatan lestari (MSY) menunjukkan persentase ikan yang dimanfaatkan sebanyak 60% dari biomassa dengan nilai tengah Fmsy adalah 0,66. Terdapat beberapa spesies ikan karang yang perlu dilindungi, yaitu; Pseudobalistes fuscus, Carangoides plagiotaenia, Elagatis bipinnulatus, Lutjanus bohar, Cephalopholis boenak, Cephalopholis miniata, Epinephelus caeruleopunctatus, Epinephelus spilotoceps dan Variola louti. Alat penangkapan ikan karang di Pulau Weh terdiri atas 8 jenis, yaitu; jaring insang, pancing, jaring pisang-pisang, pukat jepang, purse seine, tonda speargun dan rawai. Jaring insang merupakan alat tangkap yang direkomendasikan untuk dikembangkan baik secara ekologi maupun ekonomi.
Alat tangkap speargun, rawai, dan pukat jepang merupakan alat
tangkap yang perlu dibatasi. Area prioritas dalam pengelolaan ikan karang yang dapat dijadikan kawasan konservasi terdiri dari beberapa prioritas. Prioritas pertama meliputi wilayah Anoi Itam, Ie Meulee, Pulau Klah (Pasiran), Iboih dan Jaboi dan dapat dijadikan zona inti dari wilayah pengelolaan. Prioritas kedua meliputi wilayah Keunekai dan Beurawang. Perbandingan antara persentase target konservasi dan persentase luas habitat menunjukkan hubungan yang logarithmic. Secara kelembangaan, Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian (DKPP), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Kebersihan dan Pertamanan (BAPEDALKEP) berada dalam tahap pemantapan. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Sabang memiliki kemampuan yang cukup untuk melaksanakan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan ikan karang.
Permasalahan utama dalam pelaksanaan
pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan adalah kurangnya kapasitas
57
sumberdaya manusia.
Permasalah kurangnya kapasitas sumberdaya manusia
dapat diatasi dengan bekerja sama dengan pihak lembaga non pemerintah yang ada di Kota Sabang.
6.2 Saran Saran dari penelitian ini adalah diperlukan penelitian lanjutan tentang hasil tangkapan masing-masing alat tangkap secara berkala (time series) sehingga dapat diketahui dampak penangkapan terhadap ekosistem secara lebih menyeluruh. Diperlukan juga penelitian lanjutan tentang persepsi masyarakat terhadap area prioritas yang berpeluang dijadikan kawasan konservasi.
Berkaitan dengan
pendelegasian kegiatan yang belum dilaksanakan pemerintah, perlu dilakukan penelitian kemampuan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Berkaitan dengan implementasi pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan di Indonesia, pemerintah perlu menerapkan pendekatan ini pada suatu kawasan yang lebih luas. Hal ini perlu dilakukan mengingat dampak positifnya baik secara ekologi, ekonomi maupun politik regional bagi pengelolaan perikanan. Implementasi pada kawasan yang lebih luas dapat dilakukan dengan mengimplementasikan pendekatan ini pada salah satu wilayah pengelolaan perikanan (WPP) di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G. and M. Adrim. 2003. Coral Reef Fishes of Indonesia. Zoological Studies 42(1): 1-72. Allen, G., R. Steene, P. Humann, and N. Deloach. 2005. Reef Fish Identification: Tropical Pacific. New World Publications Inc. Florida. USA. 479p. Amin S.M. N., M.A. Rahman, G.C. Haldar, M.A. Mazid and D. Milton. 2002. Population Dynamics and Stock Assessment of Hilsa Shad, Tenualosa Ilisha In Bangladesh. Asian Fisheries Science 15:123 128. DKP, Telapak, dan IMA. 2001. Country Status Overview 2001 tentang Eksploitasi dan Perdagangan dalam Perikanan Karang di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Yayasan Telapak, dan International Marinelife Alliance Indonesia. Jakarta. Ardiwijaya, R.L., T. Kartawijaya, Y. Herdiana, dan F. Setiawan. 2007. Laporan Teknis - Survei ekologi terumbu karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh – Propinsi NAD, April 2006. WCS Marine Program Indonesia. Bogor, Indonesia. 24p. Ault, J. S., S. G. Smith, J. Luo, M. E. Monaco and R. S. Appeldoorn. 2008. Length-based Assessment of Sustainability Benchmark for Coral Reef Fishes in Puerto Rico. Environmental Conservation 35:221 – 231. Barmawi, M. dan A. Darmawan. 2007. Modul 4: Tutorial Marxan 1.8.2 Dengan Arcview 3.3 dan Cluz Untuk Perencanaan Jejaring Kawasan Perlindungan Laut. The Nature Conservancy. Bali. 59p. Beck. M. W. 2003. The Sea Around: Conservation Planning in Marine Region. Di dalam: Groves. C.R, editor. Drafting a Conservation Blueprint; A Practitioner’s Guide to planning for Biodiversity. Island Press. Washington. 457p. Bengen D. G. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 72p.
59
Bohnsack, J.A., B. Causey, M.P. Crosby, R.B. Griffis, M.A. Hixon, T.F. Hourigan, K.H.Koltes, and J.E. Mara. 2000. A Rationale for Minimum 20-30% No-take Protection. Proceedings 9th International Coral Reef Symposium 1: 615-619. BPS Sabang. 2005. Sabang dalam Angka 2005. Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Sabang. Sabang. 255p. Burke, L., E. Selig and M. Spalding. 2002. Terumbu Karang yang Terancam di Asia Tenggara. World Reasearh Intitute. Amerika Serikat. Campbell, S.J. T. Kartawijaya, R. L. Ardiwijaya, A. Mukminin, Y. Herdiana, E. Rudi, A. Nurvita and R. A. Valentino. 2008. Fishing Control, Habitat Protection and Reef Fish Conservation in Aceh. Di dalam: Obura, D.O., Tamelander, J., & Linden, O. (Eds) (2008) .Ten years after bleaching - facing the consequences of climate change in the Indian Ocean.CORDIO Status Report. Coastal Oceans Research and Development in the Indian Ocean/Sida-SAREC. Mombasa 161 – 171. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. www.pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi [16 Nopember 2009]. DKP. 2008. Indonesian Fisheries Book. Ministry of Marine Affairs and Fisheries – Japan International Cooperation Agency. Jakarta. 80p. FAO. 1997. Fisheries Management. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No. 4. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. 82p. ____. 2003. Fisheries Management 2; the Ecosystem Approach to Fisheries. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. 112p. ____. 2005. Putting Into Practice the Ecosystem Approach to Fisheries. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. 76p. Fauzi, A. dan S. Anna. 2005. Studi Valuasi Ekonomi Perencanaan Kawasan Konservasi Selat Lembeh, Sulawesi Utara. USAID, DKP dan Mitra Pesisir. Jakarta. 66p. Froese, R. and D. Pauly. 2000. Editors. Fishbase. World Wide Web Electronic Publication. www.fishbase.org [25 September 2008]. Garcia, S. M., P. Sparre and J. Csirke. 1989. Estimating Surplus Production and Maximum Sustainable Yield from Biomass Data when Catch and Effort Time Series are not Available. Fisheries Research 8:13-23.
60
Garcia, S. M. and K. L. Cochrane. 2005. Ecosystem Approach to Fisheries: a Review of Implementation Guidelines. ICES Journal of Marine Science 62:311-318. General Fisheries Commission for the Mediterranean. 2005. SCMEE Transversal Workshop on Ecosystem Approach to Fisheries. Institut National des Sciences et Technologies de la Mer. 19p. Geselbracht, L., R. Torres, G. S. Cumming, D. Dorfman and M. Beck. 2005. Marine/Estuarine Site Assessment for Florida: A Framework for Site Prioritization. The Florida Fish and Wildlife Conservation Commission. Florida. 20p. Gulland, J. A. 1971. The Fish Resources of the Ocean. Fishing News. West Byfleet. 255p. Hart, P.J.B. and J.D. Reynolds. 2004. Handbook of Fish Biology and Fisheries; Volume I: Fish Biology. Blackwell Publishing. USA. 413p. Herdiana, Y., S. J. Campbell, and A. Baird. 2008. Systematic Marine Conservation Planning towards a representative areas network in Aceh, Indonesia. Proceedings of the 11th International Coral Reef Symposium, Ft. Lauderdale, Florida. Huggins, A.E. 2006. Marxan Conservation Planning for GIS Beginners. The Nature Conservancy. Virginia. 17p. Katsukawa, T. 2004. Numerical Investigation of the Optimal Control Rule for Decision-Making in Fisheries Management. Fisheries Science 70:123–131. Li, E. A. 2000. Optimum Harvesting with Marine Reserves. North American Journal of Fisheries Management 20: 882-896. Mace, P. M. 2001. A New Role for MSY in Single-Species and Ecosystem Approach to Fisheries Stock Assessment and Management. Fish and Fisheries 2:2-32 Manulang, S. 1999. Panduan Pelaksanaan Lokakarya IDF (Institutional Development Framework) untuk Taman Nasional di Indonesia. The Natural Resources Management/EPIQ Program's Protected Areas Management Office. Jakarta. 30p Mardle S. and S. Pascoe. 1999. A Review. Of Applications of Multiple-Criteria Decision-Making Technique to Fisheries. Marine Resources Economics 12:41 – 63.
61
Petersen, S., D. Nel, and A. Omardien. 2007. Toward an Ecosystem Approach to Fisheries in the Benguela: an Assessment of Impact on Seabird, Sea Turtle and Shark. WWF Report Series. Africa. 106p. Quinn II, T. J. and J. S. Collie. 2005. Sustainability in Single-species Population Model. Philosophy Transaction 360:147-162. Renzi, M. 1996. An Integrated Toolkit for Institutional Development. Administration and Development 16: 469-483.
Public
Rudi, E. S.A. Elrahimi. S. Irawan, R. A. Valentino, Surikawati, Yulizar, Munandar, T. Kartawijaya, Y. Herdiana, F. Setiawan, S. Rizal, and S.T. Pardede. 2008. Post Tsunami Status of Coral Reef and Fish in Northern Aceh. Di dalam: Obura, D.O., Tamelander, J., & Linden, O. (Eds) (2008) .Ten years after bleaching - facing the consequences of climate change in the Indian Ocean.CORDIO Status Report 2008. Coastal Oceans Research and Development in the Indian Ocean/Sida-SAREC. Mombasa. pp 151 – 160. Sale, P. F. 2004. Connectivity, Recruitment Variation, and the Structure of Reef Fish Communities. Integr. Comp. Biology 44:390–399 Samoilys, M. 1997. Manual for Assessing Fish Stock on Pacific Coral Reef. Department of Primary Industry. Queensland. 78p. Sparre, P dan S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1; Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438p. Spence C. B., G. A. Lomnicky, R. M Hughes, and R. P. Novitzki. 1996. An Ecosystem Approach to Salmonid Conservation. Mantech Environment Technology Inc. Oregon. USA. 23p. Watson, R. J. Alder, and C. Walters. 2000. A Dynamic Mass-balance Model for Marine Protected Area. Fish and Fisheries 1; 94-98. White, A. T., P. M. Aliňo and A. T. Meneses. 2006. Creating and Managing Marine Protected Area in the Philippines. Fisheries Improved for Sustainable Harvest Project, Coastal Conservation and Education Foundation, Inc. And University of the Philippines Marine Science Institute. Cebu City. Philippines. 83p. Wildlife Conservation Society. 2008. Pelatihan Monitong Ekosistem Terumbu Karang. Wildlife Conservation Society. Bogor. 30p. Witanto, D. Y. 2006. Hukum Adat Laut Sabang, Kearifan-kearifan yang Terlupakan. Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Daerah Aceh. Banda Aceh. 361p.
Lampiran 1. Peta Lokasi Pe nelitian
63
Lampiran 2. Biomassa Ikan Karang, Tingkat Kematian Alami, Tingkat Kematian Akibat Penangkapan dan MSY No
Family
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
Acanthuridae Acanthuridae Acanthuridae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Caesionidae Caesionidae Caesionidae Caesionidae Caesionidae Caesionidae Carangidae Carangidae Carangidae Carangidae Carangidae Haemulidae Haemulidae Holocentridae Holocentridae Holocentridae Lethrinidae Lethrinidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Mullidae Mullidae Mullidae Pemperidae Pemperidae Priacanthidae Scaridae Scaridae Scaridae
Spesies Acanthurus lineatus Acanthurus mata Naso Sp. Balistapus undulatus Balistoides conspicillum Balistoides viridescens Melichthys indicus Melichthys niger Odonus niger Pseudobalistes fuscus Rhinecanthus rectangulus Sufflamen bursa Sufflamen chrysopterus Sufflamen fraenatus Caesio caerulaurea Caesio lunaris Caesio teres Caesio xanthonota Pterocaesio digramma Pterocaesio tile Carangoides ferdau Carangoides orthogrammus Carangoides plagiotaenia Caranx melampygus Elagatis bipinnulatus Diagramma pictum Plectorhinchus Myripristis Neoniphon sammara Sargocentron Lethrinus harak Monotaxis grandoculis Aphareus furca Lutjanus bohar Lutjanus carponotatus Lutjanus decussatus Lutjanus ehrenbergii Lutjanus fulviflamma Lutjanus fulvus Lutjanus Kasmira Macolor niger Pinjalo pinjalo Mulloidichthys Parupeneus Upeneus vittatus Pempheris adusta Pempheris vanicolensis Priacanthus hamrur Chlorurus bleekeri Chlorurus sordidus Chlorurus strongylocephalus
Trophic Level Herbivore Herbivore Herbivore Omnivore Omnivore Omnivore Omnivore Omnivore Omnivore Omnivore Omnivore Omnivore Omnivore Omnivore Planktivore Planktivore Planktivore Planktivore Planktivore Planktivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Omnivore Omnivore Omnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Benthic Inverts Benthic Inverts Benthic Inverts Carnivore Carnivore Carnivore Herbivore Herbivore Herbivore
Biomassa (kg/ha) 34.1272 3.1053 79.5823 4.9216 3.9335 16.3373 2.9677 0.2803 21.1212 0.0110 0.3162 2.7595 2.7250 1.7297 12.5749 11.5212 4.3125 18.3889 90.9892 75.6805 3.1423 7.1356 0.0955 22.4531 0.7650 2.7888 5.7195 14.0087 2.0170 5.6642 0.0739 9.6895 1.9617 3.6849 1.5923 1.3559 3.5141 3.4447 2.8283 20.4421 3.2954 0.1253 23.1350 21.8780 0.6210 1.5636 2.9264 2.7777 25.9305 17.4236 97.8035
M
F
E
0.52 0.45 0.54 1.01 0.62 0.43 1.19 0.52 0.62 0.56 1.01 1.19 1.01 0.8 0.98 0.86 0.86 0.86 0.78 1.13 0.43 0.5 0.72 0.42 0.24 0.38 0.41 1.2 1.11 1.48 0.61 0.43 0.43 0.54 1.04 0.83 0.83 0.66 0.73 0.46 0.41 0.38 1.21 0.8 1.28 1 1.03 1.56 0.55 1.14 0.4
0.52 0.45 0.54 0.74 0.62 0.43 0.61 0.52 0.62 0.56 0.74 0.61 0.74 0.8 0.76 0.8 0.8 0.8 0.78 0.66 0.43 0.5 0.72 0.42 0.24 0.38 0.41 0.6 0.68 0.22 0.61 0.43 0.43 0.54 0.73 0.8 0.8 0.66 0.73 0.46 0.41 0.38 0.59 0.8 0.51 0.75 0.73 0.08 0.55 0.66 0.4
0.5 0.5 0.5 0.42 0.5 0.5 0.34 0.5 0.5 0.5 0.42 0.34 0.42 0.5 0.44 0.48 0.48 0.48 0.5 0.37 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.33 0.38 0.13 0.5 0.5 0.5 0.5 0.41 0.49 0.49 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.33 0.5 0.29 0.43 0.42 0.05 0.5 0.37 0.5
MSY (kg/ha) 17.75 1.40 42.97 3.94 2.44 7.03 2.37 0.15 13.10 0.01 0.25 2.21 2.18 1.38 10.06 9.22 3.45 14.71 70.97 60.54 1.35 3.57 0.07 9.43 0.18 1.06 2.34 11.21 1.61 4.53 0.05 4.17 0.84 1.99 1.27 1.08 2.81 2.27 2.06 9.40 1.35 0.05 18.51 17.46 0.50 1.25 2.34 2.22 14.26 13.94 39.12
64
No
Family
Spesies
52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Sphyraenidae
Chlorurus troschelii Scarus altipinnis Scarus forsteni Scarus frenatus Scarus ghobban Scarus globiceps Scarus niger Scarus oviceps Scarus quoyi Scarus rivulatus Scarus rubroviolaceus Scarus schlegeli Scarus Sp. Scarus tricolor Aethaloperca rogaa Cephalopholis argus Cephalopholis boenak Cephalopholis leopardus Cephalopholis miniata Cephalopholis sexmaculata Cephalopholis sonnerati Cephalopholis spiloparaea Cephalopholis urodeta Epinephelus caeruleopunctatus Epinephelus fasciatus Epinephelus macrospilos Epinephelus merra Epinephelus ongus Epinephelus quoyanus Epinephelus spilotoceps Epinephelus tauvina Variola louti Sphyraena barracuda
Trophic Level Herbivore Herbivore Herbivore Herbivore Herbivore Herbivore Herbivore Herbivore Herbivore Herbivore Herbivore Herbivore Herbivore Herbivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore Carnivore
Biomassa (kg/ha) 5.1646 1.5665 10.1782 6.8328 8.1796 3.8748 17.8042 1.1873 8.3013 21.8106 3.9744 24.2671 11.4855 8.6291 1.3518 10.5190 0.1584 2.6766 0.4343 7.5649 2.7129 2.1790 1.7194 1.0629 1.7477 1.5560 0.7548 0.2735 1.9255 0.1563 0.3535 0.6528 6.3909
M
F
E
0.77 0.57 0.49 0.93 0.56 0.96 1.34 0.75 0.67 0.94 0.37 0.37 0.54 1.25 0.4 0.4 1.15 0.94 0.29 0.47 0.42 0.77 0.81 0.32 0.43 0.47 1.28 0.69 0.58 0.66 0.32 0.4 0.28
0.77 0.57 0.49 0.78 0.56 0.77 0.44 0.75 0.67 0.78 0.37 0.37 0.54 0.55 0.4 0.4 0.65 0.78 0.29 0.47 0.42 0.77 0.8 0.32 0.43 0.47 0.51 0.69 0.58 0.66 0.32 0.4 0.28
0.5 0.5 0.5 0.46 0.5 0.44 0.25 0.5 0.5 0.45 0.5 0.5 0.5 0.31 0.5 0.5 0.36 0.45 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.29 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
MSY (kg/ha) 3.98 0.89 4.99 5.47 4.58 3.10 14.24 0.89 5.56 17.45 1.47 8.98 6.20 6.90 0.54 4.21 0.13 2.14 0.13 3.56 1.14 1.68 1.38 0.34 0.75 0.73 0.60 0.19 1.12 0.10 0.11 0.26 1.79
65
Lampiran 3. Rata-Rata Hasil Tangkapan Tiap Spesies No
Family
Spesies
Hasil Tangkapan (kg/trip) Tiap Alat Tangkap JPP P PJ PS RW SG TD 0 0.03 0 0 0 0 0.03 0 0.01 0 0.01 0.31 0 0 0 0 0.07 0.88 0.03 7.40 0 0 0.03 0.04 0 0 0.03 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.03 0.05 0.22 0 0 0.03 0 0 0 0.01 0 0 0 0.30 0 0 0 0.02 0 0 0 0.01 0 0 0.01 0.09 0 0 0 0.01 0.01 0 0 0 0 0 0 0 0 0.01 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.02 0 0 0 0 0.02 0.05 2.05 0.01 0 0 0 0 0 0 0.03 0 0 0 0 0 0 0 0 0.34 0 0 0 0 0.01 0 0.34 0.01 0 0 0 0 0 0 0.04 0 0 0 0 0 0 0.10 7.16 0.01 0.46 0 0 0.04 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.16 0.05 0.01 0 0 0 0 0
JI 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Acanthuridae Acanthuridae Acanthuridae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Balistidae Caesionidae Caesionidae Caesionidae Caesionidae Caesionidae Caesionidae Carangidae Carangidae
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
Carangidae Carangidae Carangidae Haemulidae Haemulidae Holocentridae Holocentridae Holocentridae Lethrinidae Lethrinidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Mullidae Mullidae Mullidae Pemperidae Pemperidae Priacanthidae Scaridae Scaridae Scaridae
52
Scaridae
Acanthurus lineatus Acanthurus mata Naso Balistapus undulatus Balistoides conspicillum Balistoides viridescens Melichthys indicus Melichthys niger Odonus niger Pseudobalistes fuscus Rhinecanthus rectangulus Sufflamen bursa Sufflamen chrysopterus Sufflamen fraenatus Caesio caerulaurea Caesio lunaris Caesio teres Caesio xanthonota Pterocaesio digramma Pterocaesio tile Carangoides ferdau Carangoides orthogrammus Carangoides plagiotaenia Caranx melampygus Elagatis bipinnulatus Diagramma pictum Plectorhinchus Myripristis Neoniphon sammara Sargocentron Lethrinus harak Monotaxis grandoculis Aphareus furca Lutjanus bohar Lutjanus carponotatus Lutjanus decussatus Lutjanus ehrenbergii Lutjanus fulviflamma Lutjanus fulvus Lutjanus Kasmira Macolor niger Pinjalo pinjalo Mulloidichthys Parupeneus Upeneus vittatus Pempheris adusta Pempheris vanicolensis Priacanthus hamrur Chlorurus bleekeri Chlorurus sordidus Chlorurus strongylocephalus Chlorurus troschelii
MSY (kg/ha) 17.75 1.40 42.97 3.94 2.44 7.03 2.37 0.15 13.10 0.01 0.25 2.21 2.18 1.38 10.06 9.22 3.45 14.71 70.97 60.54 1.35 3.57
0.03 0 1.43 0 0 0.11 0 0.05 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.03 0 0 0.04 0.03 0 0 0 0 0.03 0 0.05
0 0.03 0 0 0.12 0.17 0 0.03 0 0 0.02 0 0 0 0.01 0.01 0 0.19 0.07 0 0.06 0.11 0.01 0.21 0.12 0.05 0.02 0 0
0.01 0.04 0.19 0 0 0.14 0 0.02 0 0 0.20 0.02 0.01 0 0 0 0 0.24 0 0 0.01 0.06 0.01 0.01 0 0.02 0 0 0.01
0 0.07 0 0 0 0.04 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.08 0 0.01 0 0 0 0 0
0 0.01 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.01 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2.08 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0.02 0.85 0.32 0 0.01 0 0.01 0 0 0 0 0.01 0 0.06 0.01 0 0 0 0.02 0 0 0 0.17 0.04 0.03 0.03
0 0.07 0 0 0 0.06 0 0.01 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.03 0 0 0 0.01 0 0 0 0 0 0 0
0.07 9.43 0.18 1.06 2.34 11.21 1.61 4.53 0.05 4.17 0.84 1.99 1.27 1.08 2.81 2.27 2.06 9.40 1.35 0.05 18.51 17.46 0.50 1.25 2.34 2.22 14.26 13.94
0.11
0
0
0.58
0
0
0
0
3.98
39.12
66
No
Family
53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71
Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae
72 73 74 75
Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae
76 77 78 79 80 81 82 83 84
Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Sphyraenidae
Spesies Scarus altipinnis Scarus forsteni Scarus frenatus Scarus ghobban Scarus globiceps Scarus niger Scarus oviceps Scarus quoyi Scarus rivulatus Scarus rubroviolaceus Scarus schlegeli Scarus sp. Scarus tricolor Aethaloperca rogaa Cephalopholis argus Cephalopholis boenak Cephalopholis leopardus Cephalopholis miniata Cephalopholis sexmaculata Cephalopholis sonnerati Cephalopholis spiloparaea Cephalopholis urodeta Epinephelus caeruleopunctatus Epinephelus fasciatus Epinephelus macrospilos Epinephelus merra Epinephelus ongus Epinephelus quoyanus Epinephelus spilotoceps Epinephelus tauvina Variola louti Sphyraena barracuda
Hasil Tangkapan (kg/trip) Tiap Alat Tangkap JI JPP P PJ PS RW SG TD 0.02 0.02 0 0 0 0 0 0 0.03 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.06 0.01 0 0 0 0.23 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.01 0 0.05 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.14 0.01 0 0.08 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.04 0.14 0 0 0 0 0.27 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.02 0 0.01 0.03 0 0 0 0 0.03 0 0 0.04 0.01 0 0 0 0.17 0 0 0.09 0.01 0 0 0 0.31 0 0 0.08 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.08 0.07 0 0 0 0.80 0 0 0 0.02 0 0 0 0 0
3.56
0 0 0 0.09
0.03 0.11 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0.44 0.06 0 0.37
0 0 0 0
1.14 1.68 1.38
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.02 0 0 0 0 0 0.03 0.22 0
0.08 0 0 0 0 0.01 0 0.02 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0.01 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.15 0.04 0 0.02 0.01 0.08 0.01 0.23 0
0.02 0 0 0 0 0.01 0 0.05 0
0.75 0.73 0.60 0.19 1.12 0.10 0.11 0.26 1.79
JI:jaring insang ,JPP:jaring pisang-pisang, P:pancing, PJ:pukat jepang, PS:Purse seine, RW: rawai, SG: Speargun dan TD:tonda
-
0.89 4.99 5.47 4.58 3.10 14.24 0.89 5.56 17.45 1.47 8.98 6.20 6.90 0.54 4.21 0.13 2.14 0.13
0 0 0 0
Catatan: -
MSY (kg/ha)
Persamaan umum Linier Goal Programing adalah: Xi JI + Xi JPP + Xi P + Xi PJ + Xi PS + Xi RW + Xi SG + Xi TD + dBi – dAi = MSYi
0.34
67
Lampiran 4. Hitungan Nilai Ekonomi Alat Tangkap No Keterangan 1 Jumlah Trip Jumlah bulan melaut (bulan) Jumlah hari bulan melaut (hari) Jumlah minggu melaut Rata-rata trip perminggu Total Trip pertahun 2 Depresiasi Alat Penangkapan Ikan Harga perahu (Rp) Umur perahu (bulan) Depresiasi perahu (perbulan) Harga mesin perahu (Rp) Umur mesin perahu (bulan) Depresiasi mesin perahu (per bulan) Harga alat tangkap (Rp) Umur alat tangkap (bulan) Depresiasi alat tangkap (perbulan) Harga alat lainnya (Rp) Umur alat lainnya (bulan) Depresiasi alat lainnya (perbulan) Depresiasi total pertahun (Rp) 3 Biaya Perawatan Biaya perawatan per bulan (Rp) Biaya perawatan pertahun (Rp) 4 Biaya operasional Biaya operasional per trip (Rp) Biaya operasional pertahun (Rp) 5 Hasil tangkapan1 Nilai hasil tangkapan maksimal per trip (Rp) Nilai hasil tangkapan sedikitl per trip (Rp) Nilai hasil tangkapan normal per trip (Rp) Nilai hasil tangkapan pertahun (normal) (Rp)
Jaring Insang
Pancing
Pukat Jepang
Purse Seine
Rawai
Speargun
Tonda
10.5 319.4 45.6 4.7 214
9.0 273.8 39.1 5.0 196
10.5 319.4 45.6 5.4 246
9.0 273.8 39.1 5.0 196
10.5 319.4 45.6 5.5 251
10.5 319.4 45.6 4.9 224
10.5 319.4 45.6 4.0 183
10.5 319.4 45.6 4.9 224
250,000 12 20,833
16,000,000 72 222,222 5,500,000 48 114,583 10,000,000 48 208,333
16,000,000 72 222,222 5,500,000 48 114,583 200,000 12 16,667
24,000,000 72 333,333 8,250,000 48 171,875 20,000,000 48 416,667
120,000,000 180 666,667 80,000,000 120 666,667 25,000,000 60 416,667
16,000,000 72 222,222 5,500,000 48 114,583 2,000,000 24 83,333
16,000,000 72 222,222 5,500,000 48 114,583 1,500,000 18 83,333
250,000
6,541,667
4,241,667
11,062,500
21,000,000
5,041,667
16,000,000 72 222,222 27,000,000 72 375,000 200,000 36 5,556 8,000,000 60 133,333 8,833,333
10,000 120,000
500,000 6,000,000
400,000 4,800,000
750,000 9,000,000
2,666,667 32,000,000
400,000 4,800,000
200,000 2,400,000
400,000 4,800,000
350,000 68,437,500
50,000 12,318,750
500,000 97,767,857
1,200,000 301,125,000
175,000 39,123,438
150,000 27,375,000
300,000 67,068,750
900,000 300,000 600,000 117,321,429
300,000 45,000 150,000 36,956,250
1,500,000 300,000 1,000,000 195,535,714
6,000,000 700,000 2,000,000 501,875,000
1,000,000 130,000 500,000 111,781,250
800,000 130,000 650,000 118,625,000
3,500,000 60,000 1,150,000 257,096,875
500,000 100,000 300,000 64,331,250
Catatan: 1:Data Survei WCS 2008 (tidak dipublikasikan)
Jaring Pisang
5,041,667
68
Lampiran 5. Hasil LGP LGP Kelompok 1 (75 Spesies) LP OPTIMUM FOUND AT STEP
78
LGP Kelompok 2 (45 Spesies) LP OPTIMUM FOUND AT STEP
52
OBJECTIVE FUNCTION VALUE
OBJECTIVE FUNCTION VALUE
1)
1)
324256.5
VARIABLE
VALUE
REDUCED COST
VARIABLE
VALUE
0.000000
DB1
15760.437500
DA2
436.101227
DA2
0.000000
DB2
0.000000
2.000000
DB2
692.203979
DA3
0.000000
1.059970
DA3
0.000000
DB3
0.000000
0.940030
DB3
1807.965088
DA4
0.000000
2.000000
DA4
0.000000
1.112150
DB4
3366.636719
DB4
0.000000
0.887850
DA5
0.000000
DA5
91.689125
DB5
2175.983398
DB5
0.000000
2.000000
DA6
0.000000
2.000000
DB6
1818.147339
DA7
0.000000
DB7
1679.772217
0.000000
DB6
4867.504883
DA7
0.000000
DB7
1485.950684
0.000000 0.000000
0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000
DA1
0.000000
DB1
6833.802246
REDUCED COST
DA1
DA6
2.000000
205219.8
2.000000 0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000
0.000000
0.000000 2.000000 0.000000
DA8
4.787863
0.000000
DA8
0.000000
DB8
0.000000
2.000000
DB8
7166.459961
DA9
0.000000
2.000000
DA9
0.000000
1.008107
DB9
10231.656250
DB9
0.000000
0.991893
0.000000
DA10
0.000000
2.000000
DA10
0.000000
DB10
1.602648
0.000000
DB10
62681.597656
DA11
0.000000
2.000000
DA11
0.000000
DB11
1983.472778
DB11
1037.455200
0.000000
DA12
0.000000
DB12
1929.136841
2.000000
DA13
0.000000
DB13
0.000000
DA14
6849.947266
DB14
0.000000
2.000000
DA15
0.000000
2.000000
DB15
8130.779297
2.000000 0.000000
2.000000 0.000000 2.000000 0.000000
DA12
0.000000
1.265441
DB12
0.000000
0.734559
0.480681
DA13
4816.350098
1.519319
DB13
0.000000
2.000000
DA14
0.000000
2.000000
DB14
1079.283936
0.000000
DA15
4418.293457
0.000000
DB15
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
2.000000
DA16
0.000000
0.262679
DA16
30.143608
0.000000
DB16
0.000000
1.737321
DB16
0.000000
2.000000
DA17
0.000000
2.000000
DA17
0.000000
2.000000
DB17
10925.873047
DB17
7.829566
0.000000
0.000000
69
LGP Kelompok 1 (75 Spesies) DA18
0.000000
DB18
63922.261719
2.000000 0.000000
LGP Kelompok 2 (45 Spesies) DA18
335.088196
0.000000
DB18
0.000000
2.000000 2.000000
DA19
0.000000
1.198468
DA19
0.000000
DB19
0.000000
0.801532
DB19
804.059937
DA20
0.000000
2.000000
DA20
1310.531128
DB20
1208.291138
0.000000
DB20
0.000000
2.000000
DA21
2022.230835
0.000000
DA21
0.000000
2.000000
DB21
0.000000
2.000000
DB21
1807.377319
0.000000
DA22
0.000000
1.238442
DA22
13932.403320
0.000000
DB22
0.000000
0.761558
DB22
0.000000
DA23
0.000000
2.000000
DA23
96.063164
0.000000
DB23
914.405518
0.000000
DB23
0.000000
2.000000
DA24
387.541687
0.000000
DA24
0.000000
2.000000
DB24
0.000000
2.000000
DB24
11819.693359
0.000000 0.000000
2.000000
0.000000
DA25
0.000000
0.146242
DA25
2049.889160
DB25
0.000000
1.853758
DB25
0.000000
DA26
0.000000
2.000000
DA26
653.023071
DB26
1456.736572
DB26
0.000000
2.000000
DA27
0.000000
2.000000
DB27
1383.357178
0.000000
DA27
0.000000
DB27
1351.971191
DA28
0.000000
2.000000
DA28
0.000000
DB28
35.408459
0.000000
DB28
4852.377930
DA29
0.000000
2.000000
DA29
0.000000
DB29
3717.179443
0.000000
DB29
25829.054688
DA30
936.855042
0.000000
DA30
0.000000
DB30
0.000000
DB30
3563.249756
DA31
1533.427612
DA31
0.000000
DB31
0.000000
2.000000
DB31
4924.895020
DA32
0.000000
2.000000
DA32
0.000000
DB32
967.830139
DB32
2737.226562
DA33
0.000000
DB33
2442.192871
DA34
0.000000
DB34
2017.303711
DA35
0.000000
DB35
1731.965454
DA36
0.000000
DB36
1344.682129
DA37
0.000000
DB37
743.029541
DA38
0.000000
DB38 DA39
2.000000 0.000000
2.000000 0.000000
0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000 2.000000
0.000000 2.000000 0.000000
0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000
DA33
0.000000
1.187512
DB33
0.000000
0.812488
DA34
0.000000
2.000000
DB34
423.161591
0.000000
DA35
0.000000
0.606875
DB35
0.000000
1.393124
DA36
0.000000
2.000000
DB36
15665.377930
0.000000
DA37
0.000000
DB37
8098.390137
2.000000
DA38
0.000000
32.523232
0.000000
DB38
1486.892578
0.000000
0.000000
2.000000
DA39
2285.503174
0.000000
0.000000
2.000000 0.000000 2.000000
70
LGP Kelompok 1 (75 Spesies) DB39
14972.754883
0.000000
DA40
0.000000
DB40
12733.131836
DA41
0.000000
DB41
213.302841
DA42
492.296967
DB42
0.000000
DA43
0.000000
DB43
1297.021851
DA44
0.000000
DB44
1189.948730
DA45
0.000000
DB45
11767.096680
DA46
0.000000
DB46
12549.706055
DA47
0.000000
DB47
33854.101562
DA48
1924.864380
DB48
0.000000
2.000000
DA49
0.000000
2.000000
DB49
70.650261
0.000000
DA50
0.000000
2.000000
DB50
3627.809082
DA51
0.000000
DB51
4943.264648
DA52
0.000000
DB52
3180.629395
DA53
0.000000
DB53
2791.868164
DA54
0.000000
DB54
10824.092773
DA55
0.000000
DB55
788.871948
DA56
0.000000
DB56
244.095093
DA57
0.000000
DB57
15673.447266
0.000000
DA58
1447.705566
0.000000
DB58
0.000000
2.000000
DA59
0.000000
2.000000
DB59
8120.433594
DA60
0.000000
DB60
5578.884766
LGP Kelompok 2 (45 Spesies) DB39
0.000000
2.000000
DA40
0.000000
2.000000
DB40
1326.926270
DA41
0.000000
0.000000
DB41
1128.115356
0.000000
DA42
0.000000
2.000000
DB42
778.462891
0.000000
2.000000
DA43
66.090752
0.000000
DB43
0.000000
2.000000
DA44
2281.628906
DB44
0.000000
2.000000
DA45
0.000000
2.000000
DB45
1420.002563
2.000000 0.000000 2.000000
0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000 2.000000
0.000000 2.000000 0.000000 2.000000
0.000000
0.000000
X1
155.434311
0.000000
X2
193.916870
0.000000
X3
406.029510
0.000000
0.000000
X4
0.000000
18.534193
0.000000
X5
0.000000
2.552916
X6
0.000000
0.000000
X7
1392.980957
0.000000
X8
255.786560
0.000000
0.000000 2.000000
0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000 2.000000
0.000000 2.000000 0.000000
71
LGP Kelompok 1 (75 Spesies) DA61
0.000000
DB61
5797.387695
DA62
174.646072
DB62
0.000000
2.000000
DA63
0.000000
2.000000
DB63
2527.625244
DA64
0.000000
DB64
1701.577515
DA65
0.000000
DB65
3058.156494
2.000000 0.000000 0.000000
0.000000 2.000000 0.000000 2.000000 0.000000
DA66
0.000000
1.380461
DB66
0.000000
0.619539
DA67
0.000000
2.000000
DB67
585.792419
0.000000
DA68
0.000000
DB68
1209.009644
2.000000 0.000000
DA69
1638.814697
0.000000
DB69
0.000000
2.000000
DA70
0.000000
2.000000
DB70
569.803711
0.000000
DA71
914.203674
0.000000
DB71
0.000000
2.000000
DA72
0.000000
2.000000
DB72
139.450806
DA73
0.000000
DB73
968.282043
DA74
166.412994
DB74
0.000000
2.000000
DA75
0.000000
2.000000
DB75
1603.697510
0.000000 2.000000 0.000000 0.000000
0.000000
X1
144.852036
0.000000
X2
35.564323
0.000000
X3
30.751448
0.000000
X4
19.361103
0.000000
X5
1054.970093
X6
0.000000
0.000000
X7
10.669766
0.000000
X8
283.202606
0.000000
0.000000
LGP Kelompok 2 (45 Spesies)
72
Lampiran 6. Spesifikasi Alat Tangkap (Sumber: DKP, 2008) 1) Jaring Insang Spesifikasi: - Bahan jaring: monofilamen - Ukuran mata jaring: 1 inci - Panjang jaring: 50 m
2) Jaring Pisang-pisang Spesifikasi: - Bahan jaring: multifilamen - Ukuran mata jaring: 1 inci - Panjang jaring: 100-300 m
3) Pancing Spesifikasi: - Ukuran mata pancing: 9 - 12
73
4) Pukat Jepang Spesifikasi: - Bahan jaring: multifilamen - Ukuran mata jaring: 1 – 1,5 inci - Panjang jaring: 300 m
5) Purse Seine Spesifikasi: - Bahan jaring: multifilamen - Ukuran mata jaring: 1 – 3 inci - Panjang jaring: 800 - 1200 m
6) Rawai Spesifikasi: - Mata pancing: kawat - Jumlah: 15 – 30 buah
74
7) Tonda Spesifikasi: - Ukuran mata pancing: 4 - 6
8) Speargun Spesifikasi: - Jenis speargun: berbahan kayu dengan mata panah besi
sumber foto speargun: http://dannycasler.files.wordpress.com/2009/09/dsc03996.jpg http://coralmorphologic.com/b/wp-content/uploads/2008/05/finshed-gun300x225.jpg
75
Lampiran 7. Peta Target dan Biaya Konservasi
76
77
78