Peran Perempuan dan Era Baru di Nangroe Aceh Darussalam1 Sri Lestari Wahyuningroem (Universitas Indonesia)
Abstract In the midst of prolong conflict and the delay of reconciliation, Indonesian government provides a special autonomy to the Aceh people to implement Islamic laws (sharia’) in the sociopolitical realms. Yet, for Aceh women the implementation of sharia’ creates discriminative regulations such as enforcement to wear jilbab and curfew for them. Many recent political policies are totally disregard Aceh women as part of the Aceh society. Various local regulations (qanun) that proposed by local government are not gender-sensitive and put forward violence in doing conflict resolution. Local autonomy brings the oppression of women’s roles in the society. Historically, Aceh women have significant roles in shaping cultural identity of Aceh society. In the past, the interpretation of sharia’ recognized and supported women’s leadership in the society. Hence, a new approach to put back women’s public roles in order to participate in reconciliation process of the Aceh society is needed. Key words: Aceh special autonomy; Islamic laws; women’s role; gender inequality.
Pendahuluan
Tulisan ini adalah makalah yang disajikan dalam panel “ Gender and Sexual Identity” pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke3: “ Rebuilding Indonesia, a Nation of ‘Unity in Diversity’: Towards a Multicultural Society”, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002.
substansial undang-undang ini memberikan pengakuan akan eksistensi identitas masyarakat Aceh sebagai sebuah etnisitas yang selama ini tertutup dalam hegemoni politik nasionalisme rejim Orde Baru. Kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan identitas dalam tataran politik formal menjadi penting mengingat hubungan yang tidak baik antara pemerintah pusat dan masyarakat Aceh selama Republik ini berdiri. Kekuasaan sentralistik yang diimplementasikan pemerintah pusat membawa dampak pada eksploitasi dan pemiskinan bagi masyarakat Aceh. Era reformasi yang sedang berlangsung di Jakarta mendorong tuntutan bagi pemenuhan diri yang lebih maksimal bagi masyarakat Aceh untuk lebih leluasa mengembangkan identitasnya.
Wahyuningroem, Peran Perempuan dan Era Baru
93
Pada bulan Agustus 2001 pemerintah pusat Republik Indonesia memberikan otonomi khusus bagi Aceh meialui Undang-undang No 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Undangundang berisikan 34 pasal ini secara formal memberikan kewenangan khusus bagi Nangroe Aceh Darussalam untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan lokal dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia. Lebih dari itu, secara 1
Namun otonomi tidak begitu saja memecahkan masalah pemenuhan diri bagi seluruh masyarakat Aceh. Beberapa kelompok masyarakat justru mulai merasakan potensi opresi dalam bentuk berbeda. Potensi yang paling besar dirasakan oleh perempuan. Misalnya saja, tuntutan untuk mengimplementasikan syariah Islam yang sifatnya sangat simbolik akan berpotensi melumpuhkan aktualisasi dan peran perempuan dalam masyarakat. Atau, ketika aparat pemerintahan dan DPRD Aceh diberi keleluasaan untuk menetapkan sendiri peraturan daerah (qanun), tidak ada satu pun dari usulan qanun yang menyentuh kepentingan perempuan. Beranjak dari kenyataan tersebut, maka harus dipikirkan bentuk otonomi yang dapat mengakomodir kebutuhan perempuan sebagai kelompok minoritas yang sekaligus juga bagian dari warga negara Indonesia dan warga etnisitas Aceh. Kebutuhan ini menjadi penting mengingat otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh merupakan akomodasi dari kebutuhan akan pengakuan identitas yang perempuan berperan besar dalam pembentukannya.
Aceh: peran sejarah dalam pembentukan identitas etnis Propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang terletak di ujung kepulauan Indonesia memiliki letak geografis yang strategis. Dengan luas wilayah 55.390 km persegi, Aceh membentang dari arah barat laut ke tenggara, berbatasan dengan Selat Malaka dan lautan Hindia (Biro Pusat Statistik dan Sensus Propinsi Daerah Istimewa Aceh 1998). Posisi inilah yang menjadikan Kerajaan Aceh pada masa lalu sebagai kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara.2 2
Kerajaan Aceh diperkirakan sudah berdiri sebelum abad ke-16, namun ketika itu masih merupakan kerajaan kecil. Ketika Portugis datang pada tahun 1511 Aceh merupakan bawahan Kerajaan Pidie (Pider). Karena
94
Letak geografis yang strategis di jalur perdagangan dunia berakibat pada banyaknya pedagang dan pendatang dari berbagai wilayah dunia dan banyak di antaranya menetap di Aceh. Hal ini membawa tiga konsekuensi bagi perkembangan masyarakat Aceh. Konsekuensi pertama adalah bercampurnya berbagai bangsa berikut kebudayaannya yang menyulitkan catatan sejarah tentang asal-usul masyarakat Aceh sesungguhnya. Sedikitnya referensi yang menyebutkan sejarah masyarakat Aceh sebelum wilayah ini terbuka bagi banyak pendatang menyebabkan tidak ada orang yang tahu pasti karakter dan kebudayaan asli masyarakat ini. Seorang sejarawan Belanda, J. Kramer, menyebutkan bahwa sejarah Aceh sebelum tahun 1500 Masehi sebagian besar masih dalam kegelapan. Dalam berita-berita yang berasal dari sumber orang-orang Cina, Arab, dan Eropa, yang sebelum tahun tersebut mengunjungi Sumatera atau mendengar tentang pulau tersebut, nama Aceh tidak pernah disinggung di dalamnya (Atjeh 1980). Konsekuensi lebih lanjut dari letak strategis Aceh adalah terjadinya akulturasi dari berbagai nilai dan kebudayaan yang dibawa para pendatang seperti yang terlihat saat ini.3 Hal ini tampak, misalnya, dalam bahasa sehari-hari, pakaian, perhiasan, bentuk sanggul pada perempuan, dan sebagainya. Pengaruh India, sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang antropolog Belanda, Van Langen, tampak politik monopoli, terutama perdagangan merica dan sutera, dan karena letak bandamya, Aceh kemudian menjadi negeri yang paling maju dibandingkan kerajaan lain (Atjeh 1980). 3
Masyarakat pribumi (asli) yang dimaksud di sini adalah masyarakat Aceh, Aneuk Jamee, Tamiang, Alas, Gayo, dan Siemeleu. Tiap masyarakat adat mendiami berbagai wilayah daratan dan lautan dan membentuk perkampungan (gampong) masing-masing. Suku Alas dan Gayo terietak di pedalaman Aceh, sehingga banyak yang, menyebutkan ciri Aceh yang lebih orisinal adalah kedua suku pedalaman tersebut (Somadisastra 1977).
ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1
terutama dalam pemakaian bahasa Sansekerta untuk istilah-istilah kekeluargaan, sastra, nama binatang, pertanian, logam dan permata, pangkat dan gelar, serta kesenian (Syamsuddin 1980). Pengaruh yang terbesar dari nilai dan kebudayaan pendatang adalah agama Islam yang dibawa masuk ke Aceh sekitar abad ke-12 Masehi oleh bangsa Arab. Sejarah mencatat, Kerajaan Aceh pernah menjadi sebuah kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara di bawah kepemimpinan Ali Muchajat Shah. Kebesaran ini dipertahankan secara turun-temurun sehingga Aceh kemudian terkenal sebagai negeri Serambi Mekah (seramoi mekah). Agama Islam memasuki hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, tidak hanya secara religius, tetapi juga sosial, budaya, dan politik. Bahkan perjalanan sejarah Aceh tidak lepas dari peran dan pengaruh agama Islam. Dalam perang melawan Belanda, misalnya, diciptakan Hikayat Perang Sabi y a n g dimaksudkan untuk memompa semangat perjuangan masyarakat. Mereka yang tewas dalam perjuangan melawan kaphee (kafir) akan dihargai sebagai pahlawan yang mati syahid demi membela kebenaran Tuhan.4 Dalam kehidupan sehari-hari, menyatunya Islam dengan masyarakat terlihat dari tingkah laku, penggunaan istilah bahasa, dan kesenian lokal seperti tarian seudati, reufai, reubani, saman, dabuih, dan sebagainya (lihat Baihaqi 199) Pengaruh Islam yang sedemikian besar kemudian menempatkan ulama sebagai tokoh penting dalam kehidupan masyarakat. Ulama merupakan penafsir realitas sosial yang paling sah dan menjadi rujukan masyarakat. Ulama tidak hanya berperan dalam penyebaran Islam sebagai agama, tetapi juga berperan dalam pendidikan masyarakat. 4
Tentang peranan Islam dalam perlawanan masyarakat Aceh, lihat Hasjmy (1976).
Wahyuningroem, Peran Perempuan dan Era Baru
Konsekuensi lain dari letak strategis geografi Aceh adalah terciptanya masyarakat Aceh sebagai masyarakat maritim yang akrab dengan kelautan dan memiliki sifat terbuka pada bangsa lain. Keterbukaan ini membuka kesempatan bagi masyarakat lokal (Aceh) untuk memperoleh wawasan dan pandangan baru dari bangsa lain. Ditambah dengan besarnya pengaruh agama Islam yang memiliki sifat egaliter, sifat pemahaman ini menjadikan anggota masyarakat menjadi kritis terhadap berbagai permasalahan dan kondisi yang ada di sekitar mereka. Budaya masyarakat maritim dan agama Islam lambat laun membentuk karakter khas masyarakat Aceh yang anti terhadap bentukbentuk penindasan. Ketika eksistensi kelompok masyarakat tertentu mulai merasa terancam dengan keberadaan kelompok orang lain, maka yang akan muncul adalah gerakan-gerakan perlawanan yang diikuti dengan konflik dan kekerasan. Konflik-konflik inilah yang mewarnai sejarah Aceh sejak masa kerajaan, kolonialisme Belanda, sampai konflik dengan pemerintah pusat Republik Indonesia. Tingginya intensitas konflik dan implikasi sejarah terhadap kehidupan masyarakat Aceh masa kini, menjadikan sejarah sebagai faktor penting yang turut memperkuat etnisitas Aceh dan identitas ke-Acehan.
Perempuan Aceh: peran dalam sejarah Sejarah Aceh mencatat banyak nama perempuan yang menonjol di masa lalu dalam hal kepemimpinan dan perlawanan. Jauh sebelum berdirinya Kerjaan Aceh Darussalam, kepemimpinan kerajaan di Aceh pernah dipegang oleh perempuan, yakni Puteri Lindung Bulan yang memerintah Kerajaan Benua/ Teuming (1333–1398) dan Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu yang memimpin Kerajaan Islam Samudra/Pase (1400–1428) (Hasjmy 1976:24–25).
95
Pada era berikutnya, yakni masa Kerajaan Aceh Darussalam, perempuan diberi peran cukup besar dalam angkatan perang kerajaan. Dapat disebutkan di sini pembentukan pasukan inong balee pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah (1589–1604) yang terdiri dari janda-janda prajurit yang mati dalam pertempuran. Pasukan ini dipimpin oleh Laksamana Malahayati, yang juga menonjol dalam menyusun strategistrategi perang. Selain inong balee, ada juga Resimen Wanita Pengawal Istana (Si Pai Inong) yang dibentuk pada masa Sultan Muda Ali Riayat Syah V (1604–1607) dan dipimpin oleh Laksamana Leurah Ganti dan Laksamana Muda Cut Meurah Inseuen.5 Setelah wafatnya Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Darussalam dipimpin oleh beberapa ratu selama 59 tahun, yakni: Sulthanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat (memerintah tahun 1641–1675), Sulthanah Sri Ratu Zakiatuddin (memerintah tahun 16775– 1678), Sulthanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (memerintah tahun 1678–1688), dan terakhir adalah Sulthanah Sri Ratu Kamalat Syah (memerintah tahun 1688–1699). Ratu-ratu ini selain mempunyai kemampuan memimpin dan memerintah juga berhasil memberikan perlindungan hukum pada perempuan. Misalnya saja pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, ada dua kebijakan yang diambil untuk menaikkan tingkat kehidupan perempuan. Pertama adalah pemberlakuan undangundang tentang kedudukan perempuan dalam rumah tangga yang mengatur setiap orang tua untuk memberikan rumah dan harta bagi anak perempuannya yang akan menikah. Tujuannya adalah agar anak perempuannya kelak berhak atas properti rumah dan harta sehingga suaminya tidak dapat memperlakukannya 5
Dalam riwayat Kerajaan Aceh Darussalam, keduanya termasuk yang membebaskan Iskandar Muda dari tawanan Sultan Alaidin Riayat Syah V (Ainal Mardhiah Aly 1980:285–287).
96
dengan buruk. Kebijakan yang ke dua adalah pembaharuan dalam parlemen (atau disebut Majelis Mahkamah Rakyat) dengan menempatkan 22 orang perempuan dari 73 orang anggota atau sebanyak 30% dari total anggota Majelis. Selain itu, di dalam majelis dibentuk sebuah Badan Pekerja yang beranggotakan sembilan (9) orang terdiri dari tujuh (7) laki-laki dan dua (2) orang perempuan. Ketika Aceh memasuki masa ketegangan dengan kolonialisme Belanda, atau yang lebih dikenal dengan masa perang Aceh, perempuan juga tampil di depan sebagai pemimpin gerakan. Sebut saja di sini nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Teuku Fakinah, Pocut Baren, dan lain sebagainya. Sejak berakhirnya perang Aceh melawan Belanda, dapat dikatakan hampir tidak ada lagi tokoh perempuan dalam catatan sejarah Aceh. Selama konflik yang terjadi pasca kemerdekaan Republik Indonesia sampai masa pemerintahan Soeharto, perempuan semakin dilemahkan karena negara memiliki akses besar untuk intervensi terhadap kehidupan perempuan Aceh lewat peraturan dan kebijakannya yang sangat opresif terhadap perempuan. Fenomena resistensi dan perlawanan tokoh perempuan Aceh baru muncul lagi sejak mulai terkuaknya isu-isu kekerasan terhadap perempuan pada masa Daerah Operasi Militer (DOM) baik di forum nasional maupun internasional. Bersamaan dengan itu beberapa tokoh perempuan dari kalangan sipil mulai muncul dan aktif memperjuangkan hak dan keadilan bagi perempuan.
Perempuan dalam konteks sosial masyarakat Aceh Dalam konteks sosial, sesungguhnya peran perempuan dalam masyarakat Aceh tidak sebesar peran perempuan dalam kesejarahan Aceh, bahkan perbedaan ini tampaknya sangat kontras. Jika dalam kesejarahan perempuan
ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1
tampak mempunyai posisi tawar yang kuat, dalam konteks sosial sehari-hari perempuan sangat powerless. Saya tidak menyebut ini sebagai degradasi, karena ketika kita bicara antara sejarah dan realita sosial, sesungguhnya kita bicara pada dua konteks yang berbeda. Konteks yang signifikan dalam membicarakan kepemimpinan perempuan di masa lalu adalah kepentingan politik yang ada pada masa itu. Jika dibincangkan secara lebih dalam, maka akan terlihat bahwa peran kepemimpinan perempuan bahkan tidak lepas dari statusnya sebagai identitas seksual perempuan. Artinya, perempuan menjadi pemimpin karena faktor hubungan keluarga dengan tokoh tertentu (laki-laki). Namun ketika kita bicara realita sosial, perempuan secara umum di Aceh berada dalam posisi subordinat terhadap laki-laki. Hal ini karena peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat Aceh merupakan konstruksi sosial yang terbangun atas dasar pemahaman masyarakat atas nilai-nilai kultural dan interpretasi agama Islam. Keduanya, nilai-kultural dan interpretasi Islam, sarat dengan muatan patriarkis yang lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan. Dalam hal ini, perempuan dibatasi fungsinya hanya sebagai pembawa keturunan. Fungsi ini sangat menentukan bagi perjalanan sejarah Aceh, karena konflik yang berlangsung selama berabad-abad telah mengorbankan jutaan jiwa masyarakat Aceh dan resistensi yang memuncak dari konflik-konflik tersebut adalah kebutuhan untuk mempertahankan eksistensi ‘bangsa Aceh’. Sebagaimana Nira Yuval-Davis (1997:26) menyebut peran ini:
Menurutnya, keanggotaan perempuan dalam komunitas etnis dan nasional memiliki aspek ganda. Di satu sisi, perempuan, sebagai-
mana juga laki-laki, secara natural merupakan bagian dari komunitas tersebut. Namun di sisi lain, keanggotaan perempuan selalu disertai dengan aturan dan pembatasan tertentu karena identitas seksualnya sebagai perempuan yang secara biologis dikonstruksikan sebagai pembawa dan penjaga generasi sebuah ‘bangsa’ (nation) (Yuval-Davis 1997:37). Peran reproduksi perempuan Aceh menjadi target kepentingan politis dari kolektivitas di sekitarnya. Hal ini sangat jelas, ketika mitosmitos ‘kemurnian perempuan’ yang ditanamkan dalam nilai-nilai kultural masyarakat dihancurkan seketika selama pemberlakuan DOM Aceh. Selama sembilan tahun DOM diberlakukan, perempuan menjadi target kekerasan seksual oleh militer, termasuk perkosaan, yang secara politis dimaksudkan untuk mengendalikan Aceh sebagai sebuah identitas yang harus tunduk terhadap identitas yang lebih besar, yaitu Indonesia. Mengingat besarnya peran reproduksi perempuan dalam membentuk identitas Aceh, maka secara kultural peran perempuan Aceh secara umum dibatasi pada aktivitas-aktivitas domestik dalam rumah tangga. Sentralitas peran perempuan dalam keluarga dan rumah tangga terlihat dalam nilai dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Dalam konsepsi rumah tradisional, misalnya, rumah diperuntukkan bagi perempuan, dari mulai kepemilikannya, hingga kepada pembagian ruangan yang hampir seluruhnya digunakan bagi aktivitas perempuan dalam rumah tangga. Dua dari tiga bagian ruangan dalam rumah tradisional Aceh (rumoh Aceh) berfungsi sebagai tempat aktivitas isteri, yakni rumah tunggal yang terdiri dari ruang tidur prumoh (isteri, pemilik rumah), seurambat (tempat penyimpanan padi, yang disimpan di rumah tunggal karena padi diartikan sama dengan perempuan bagi masyarakat Aceh); dan serambi belakang yang terdiri dari ruang tamu perempuan dan kamar anak-anak
Wahyuningroem, Peran Perempuan dan Era Baru
97
‘The central importance of women’s reproductive roles in ethnic and national discourses becomes apparent when one considers that.... one usually joins the collectivity by being born into it.’
perempuan, ruang makan ibu, dan dapur (Mansur 1988). Meskipun perempuan menjadi ‘tuan’ dalam rumahnya, tetapi pada praktiknya tidaklah demikian. Laki-laki tetap memegang kekuasaan tertinggi untuk menentukan berbagai keputusan karena laki-lakilah yang keluar rumah dan mencari uang. Perempuan kehilangan posisi tawarnya karena ia dianggap tidak ambil bagian dalam proses produksi. Dalam hal sosialisasi, sejak kecil perempuan dibatasi kepada identifikasi kegiatan rumah tangga. Perempuan mengerjakan pekerjaan memasak, membersihkan dan mengurus rumah tangga, dan sebagainya. Hanya ada sedikit sekali waktu bagi mereka untuk bersosialisasi dengan teman-temannya, karena anak perempuan diwajibkan kembali ke rumah sebelum senja (maghrib). Sebaliknya, anak lakilaki lebih leluasa memanfaatkan waktunya untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Terlebih lagi, anak laki-laki pada masyarakat tradisional Aceh diharuskan tidur di meunasah (semacam mesjid), dan hanya pulang ke rumah pada waktu tertentu. Kebijakan yang serupa diterapkan dalam hal pendidikan, yaitu anak laki-laki memiliki kesempatan dan dukungan yang lebih besar untuk sekolah pada tingkat yang lebih tinggi. Hingga tahun 1998, di Aceh tercatat sebanyak 547.410 ribu anak laki-laki yang bersekolah, lebih banyak 38.954 orang dibandingkan dengan anak perempuan yang bersekolah. Padahal, dalam angka statistik di tahun yang sama, jumlah perempuan di Aceh lebih banyak daripada laki-laki, yakni 2.015348 orang perempuan dan 1.994.751 orang laki-laki. Jadi gambaran persentasenya untuk tahun 1998 adalah, laki-laki yang bersekolah di Aceh sejumlah 27,4% dari total jumlah penduduk lakilaki, dan perempuan yang bersekolah sejumlah 25,2% dari total keseluruhan penduduk perempuan. Dari jumlah tersebut, kebanyakan perempuan hanya mampu mengenyam
98
pendidikan sampai dengan Sekolah Dasar (SD) dan dengan demikian diperkirakan lebih dari 50% perempuan Aceh yang berusia 10 tahun ke atas tidak memiliki pendidikan yang memadai. Sejak masa penjajahan Belanda, pendidikan bagi anak perempuan di Aceh memang tidak pernah mendapatkan prioritas utama. Hal ini karena pertama, konflik yang berlangsung terus menerus di Aceh dianggap membahayakan perempuan untuk menghabiskan banyak waktu di luar rumah. Dengan kata lain, perempuan memiliki fungsi reproduksi yang harus dilindungi dan dijaga kemurniannya dari segala bentuk ancaman lawan. Ke dua, karena sejak dulu pendidikan yang dikembangkan dalam masyarakat Aceh adalah pendidikan Islam seperti dayah dan pesantren. Dalam sistem pendidikan demikian, perempuan tidak mendapatkan tempat khusus kecuali dalam pengajian-pengajian tertutup. Bentuk pendidikan modern baru diperkenalkan setelah tahun 1960 diresmikan Kota Pelajar/Mahasiswa Darussalam (Yakub 1980:365). Namun demikian rendahnya dukungan pemerintah terhadap komitmen peningkatan pendidikan perempuan di Aceh tidak menjadikan keberadaan institusiinstitusi pendidikan moderen berarti bagi perempuan. Pembatasan peran domestik perempuan, ditambah dengan minimnya akses perempuan Aceh dalam hal pendidikan menyebabkan perempuan sulit mendapatkan lapangan pekerjaan. Umumnya, perempuan terutama di wilayah pedesaan, lebih banyak mengerjakan pekerjaan ‘sampingan’ seperti bertani, dan berkriya. Bagi kebanyakan masyarakat pedesaan, bertani merupakan pekerjaan yang sifatnya ‘membantu’ tugas suami sebagai kepala rumah tangga dan karenanya tidak perlu dihargai dengan upah. Karena itu jumlah perempuan yang bekerja secara formal di luar rumah jumlahnya jauh lebih sedikit daripada jumlah laki-laki yang bekerja, yakni 589.213 perempuan
ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1
dibanding 1.031.588 laki-laki (data tahun 1998). Dari jumlah tersebut, jenis pekerjaan yang paling banyak dilakukan perempuan adalah tenaga usaha pertanian (63,55%), kemudian tenaga usaha penjualan (11,95%), dua bidang yang erat kaitannya dengan penyediaan kebutuhan rumah tangga, sedangkan tenaga professional atau kepemimpinan, hanya sedikit yang dilakoni perempuan (7,51% dan 0,19%). Ironisnya, dari data tahun yang sama, ternyata sejumlah 43,66% merupakan pekerja yang tidak dibayar (Biro Pusat Statistik Aceh 1998). Gambaran kondisi obyektif perempuan Aceh tersebut yang direpresentasikan oleh pemahaman masyarakat akan nilai-nilai ‘keAcehan’ sesungguhnya sangat opresif terhadap perempuan. Opresi, mengikuti definisi Iris Marion Young, adalah proses sistematis dalam struktur masyarakat yang menghalangi seseorang untuk berhubungan dengan orang lain dalam mengekspresikan perasaan dan pandangannya dalam kehidupan sosial (Young 1990) . Opresi dalam hal ini merupakan konsep struktural yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kelompok tertentu dalam bentuk norma-norma, simbol simbol, dan perlakuan lain yang diberlakukan dalam masyarakat tersebut. Opresi dengan demikian merupakan akibat dari proses seharihari masyarakat, melalui interaksi sosial, media, stereotip budaya, birokrasi, mekanisme pasar, dan sebagainya. Dalam pengertian ini, opresi umumnya tidak dapat dikenali oleh masyarakat yang melakukannya karena praktik opresi merupakan nilai-nilai yang dianut. Bagi perempuan Aceh, kondisi seperti disebut di atas merupakan pengalaman seharihari. Sulit bagi perempuan Aceh untuk mengembangkan dirinya di tengah masyarakat akibat kecilnya kesempatan yang diberikan kepadanya. Subordinasi peran perempuan menjadi semakin bertambah dengan terus berlanjutnya konflik antara kelompok separatisme
Wahyuningroem, Peran Perempuan dan Era Baru
dan pemerintah pusat Republik Indonesia. Konflik hanya membuat posisi perempuan semakin rentan sebagai target kekerasan sebagaimana yang pernah terjadi pada masa DOM. Dalam konteks inilah otonomi khusus menjadi sesuatu yang sangat signifikan untuk memperbaiki kondisi perempuan. Otonomi khusus harus dilihat sebagai kesempatan untuk meningkatkan kembali peran perempuan dalam pembentukan identitas Aceh. Ada tiga hal yang mendasari argumen ini. Pertama, perempuan memegang peranan sentral dalam hal reproduksi generasi. Ke dua, perempuan adalah bagian dari kolektivitas etnis Aceh yang memiliki jumlah mayoritas (sekitar 53% dari populasi masyarakat Nangroe Aceh Darussalam). Angka ini berarti potensi bagi pemanfaatan sumber daya manusia, kualitas maupun kuantitas. Ke tiga, sejarah membuktikan bahwa peran publik perempuan memberi pengaruh besar terhadap penciptaan identitas yang mampu mengikat masyarakat ke dalam satu kolektivitas etnis Aceh. Pembentukan identitas sendiri merupakan sebuah proses yang dinamis dan terusmenerus berkembang. Sebagaimana Sheila Alien (1988) menyebutkan: “What is clear is that identity is not simply an individual matter, but a social product located in time and space. It’s not a fixed static entity, but has to be seen as a dynamic process”.
Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana memanfaatkan otonomi khusus bagi penguatan entitas dan identitas Aceh di masa depan? Lebih rinci lagi: bagaimana otonomi khusus dapat bermanfaat bagi peningkatan kehidupan perempuan ? Jawabannya tidak lain adalah, memberikan kepada perempuan secara penuh hak-haknya sebagai warga negara dan bagian dari kolektivitas Aceh. Ini berarti, perempuan tidak lagi diposisikan sebagai warga negara kelas dua yang ditempatkan terbatas hanya di ruang
99
domestik. Perempuan harus dilibatkan dalam setiap aktivitas publik yang menentukan seluruh anggota masyarakat Nangroe Aceh Darussalam. Bentuk kebijakan yang paling kongkrit dalam hal ini adalah mengupayakan pemberian ruang bagi perempuan untuk direpresentasikan secara politik formal dan mendorong pemberdayaan perempuan dalam segala bidang. Kebutuhan akan hal ini mulai disadari oleh sebagian perempuan Aceh. Kesadaran akan posisi subordinat dan opresi di sisi lain memberikan kekuatan (empowering ) bagi perempuan Aceh untuk lebih aktif tampil dan berani terlibat dalam berbagai pengambilan keputusan. Ketika banyak kelompok-kelompok
dalam masyarakat Aceh terlibat aktif menyuarakan kepentingannya terhadap status Aceh, perempuan Aceh berkumpul dalam sebuah kongres yang disebut Duek Pakat Inong Aceh pada bulan Februari 2000. Kesepakatan yang didapat dari kongres tersebut adalah tuntutan untuk menyertakan perempuan dalam berbagai perubahan sosialpolitik maupun ekonomi. Hal ini dapat dicapai dengan menyertakan perempuan dalam berbagai proses politik dan pengambilan keputusan lewat pemberian minimal 30% suara. Inilah harapan awal yang harus dipenuhi bersama oleh masyarakat di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Referensi Allen, S. 1998 “Identity: Race, Ethnicity and Nationality”, dalam N. Charles dan H. Hintjes (peny.) Gender, Ethnicities and Ideology. New York: Routledge. Aly, T.H.A.M. 1980 “Pergerakan Wanita Aceh Masa Lampau Sampai Masa Kini”, dalam I. Suny (peny.) Bunga Rampai tentang Aceh. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Hlm.285–287. Atjeh, A. 1980 ‘Tentang Nama Aceh’, dalam I. Sunny (peny.) Bunga Rampai tentang Aceh. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Hlm. Baihaqi, A.K. 1991 ‘Ulama dan Madrasah Aceh’, dalam T. Abdullah (peny.) Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: CV Rajawali. Hlm.121–130. Biro Pusat Statistik dan Sensus Propinsi Daerah Istimewa Aceh 1998. Hasjmy, A. 1976 Peranan Islam dalamPerang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. 1976 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan Bintang. Mansur, M.Y. 1988 ‘Sistem Kekerabatan (Kinship) Masyarakat Aceh Utara dan Aceh Besar’, dalam M.Y. Mansur dkk. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta: PT Pustaka Grafika Kita.
100
ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1
Somadisastra, M. 1977 ‘Kepemimpinan dalam Masyarakat Pedesaan Montasik, Aceh Besar’, dalam Alfian (peny.) Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Jakarta: LP3ES. Syamsuddin, T. 1980 ‘Pasang-Surut Kebudayaan Aceh’, dalam I. Suny (peny.) Bunga Rampai tentang Aceh. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Hlm. Yakub, T. I. 1980 ‘Gambaran Pendidikan di Aceh Sesudah Perang Aceh-Belanda sampai Sekarang’, dalam I. Suny (peny.) Bunga Rampai tentang Aceh. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Hlm. Young, I.M. 1990 Justice and Politics of Difference. New Jersey: Princeton University Press. Yuval-Davis, N. 1997 Gender and Nation. London: Sage Publication Ltd.
Wahyuningroem, Peran Perempuan dan Era Baru
101