ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah)
MA’SITASARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul : ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah) adalah karya saya sendiri di bawah komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditujukan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis dari perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2009
Ma’sitasari C251050121
ABSTRACT MA’SITASARI. Ecological Space Analysis of Small Islands Utilization for Seaweed Culture (Case Study of Salbangka Islands, Morowali Regency, Central Sulawesi Province). Supervised by LUKY ADRIANTO and AGUSTINUS M. SAMOSIR. The Salabangka Islands as on of the coastal zone that consist of small islands that lays in the Morowali Regency, Central Sulawesi Provice, have potential in nature resouces that can be use on supporting the development in this regency. It is a culture of seaweed. The aim of this research to identify suitable coastal of Salabangka Islands for culture of seaweed dan estimate carring capacity coastal of Salabangka Islands for develompment of seaweed culture by use of ecological footprint approach. The result of identify coastal showed that a spasial of ecology Salabangka Islands suitable to culture of seaweed, while estimate carring capacity of coastal that the ecological footprint (EF) of seaweed smaller than biocapacity (BC). Thus, the carring capacity of seaweed culture development bases ecological footprint are 1,08 ha/kapita. Key words
: ecological footprint, biocapacity, small islands, suitable space, seaweed culture, salabangka islands.
RINGKASAN MA’SITASARI, Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Untuk Budidaya Rumput (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan AGUSTINUS M. SAMOSIR. Gugus Pulau Salabangka sebagai salah satu wilayah pesisir terdiri dari pulau-pulau kecil, berada di Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah, memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan dalam menunjang pembangunan wilayah Kabupaten Morowali. Penelitian ini dimaksudkan sebagai kajian pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil untuk budidaya rumput laut yang berkelanjutan sesuai dengan potensi dan daya dukung lingkungan dengan menggunakan pendekatan ecological footprint. Adapun tujuan yang ingin dicapai meliputi mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan Gugus Pulau Salabangka untuk budidaya rumput laut dan mengestimasi daya dukung ruang ekologi perairan Gugus Pulau Salabangka untuk pengembangan budidaya rumput laut. Waktu pelaksanaan penelitian ini yaitu pada bulan Maret – Mei 2007. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, dimana data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi pengambilan data biofisik dilakukan pada 15 stasiun pengamatan dan data sosialekonomi dilakukan berdasarkan batas administrasi desa. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan dari dinas atau instansi terkait. Dalam mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan untuk budidaya rumput laut dilakukan berdasarkan perhitungan kebutuhan ruang (ecological footprint/EF) dan ketersediaan ruang (biocapacity/BC). Sedangkan estimasi daya dukung ruang ekologi untuk pengembangan budidaya rumput laut didasarkan pada perbedaan tingkat konsumsi ruang ekologis (EF) terhadap ketersediaan ruang (BC) yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Hasil identifikasi kesesuaian ruang menunjukkan secara ekologi ruang perairan sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut. Sedangkan estimasi daya dukung ruang ekologi berdasarkan tingkat kebutuhan ruang menunjukkan bahwa ruang perairan memiliki kelebihan ruang untuk pengembangan budidaya rumput laut dimana EF < BC disebut ekologi surplus. Agar pengembangan budidaya rumput laut dapat optimal dan berkelanjutan dilakukan berdasarkan biocapacity dengan tingkat kebutuhan ruang adalah 1,08 ha per kapita Kata Kunci
: ecological footprint, biocapacity, gugus pulau kecil, kesesuaian ruang, budidaya rumput laut, gugus pulau salabangka.
@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah)
MA’SITASARI
Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc
Judul Tesis
: Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya PulauPulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah)
Nama
: Ma’sitasari
NRP
: C251050121
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Ketua
Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 05 Januari 2009
Tanggal Lulus : 26 Februari 2009
Dan DiaDia-lah lah, Allah yang menundukkan lautan (untumu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karuniakarunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (Q.S 16 : 14).
Karya ini ku persembahkan kepada kedua orang tuaku atas kesabaran dan berkat doa, bimbingan dan semangat kepada ku dalam menghadapi tantangan selama melakukan kegiatan ini. Untuk adikku Farida atas bantuannya dalam penyelesaian tesisku Untuk adiku Abdullah dan kakakku Nur Afraeni serta kedua keponakan ku Nur Swentiana dan Muhammad Farid Khairul Ikhwan Hidayatullah yang membuat ku tetap bersemangat. Kalian semua adalah motivator ku.
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan keridhoan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Untuk Budidaya Rumput Laut (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah). Tesis ini berisikan kajian dalam pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil untuk budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukkan bagi pemerintah daerah dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya berdasarkan potensi dan daya dukung lingkungan. Dari awal hingga akhir penulisan ini tidak lepas dari bantuan, dorongan, dukungan dan kerjasama berbagai pihak. Untuk itu, terima kasih dan penghargaan tinggi penulis ucapkan kepada : 1. Dosen Pembimbing Dr. Luky Adrianto, M.Sc dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil dalam membimbing penulisan tesis ini. 2. Dr. Ir. M Mukhlis Kamal, M.Sc sebagai penguji luar komisi dalam ujian akhir dan atas saran perbaikannya. 3. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Morowali, dan para staf pemerintah daerah, dan semua pihak di Gugus Pulau Salabangka yang terkait dengan penyusunan tesisi ini. 4. Program Mitra Bagari-Coral reef Management Program II (PMB-CORMAP II) Tahun 2008 atas beasiswa bantuan penulisan tesis Tahun 2008. 5. Rekan-rekan SPL (angkatan 11-12) dan IKL, personil NYPAH, Baharuddin, Bapak Makmur Sek, Bapak Alimuddin Sek, Keluarga Lagalanti atas masukan dan bantuannya dalam penyelesaian tesis ini. Rekan-rekan di twinhouse atas kebersamaannya. Dan semua rekan-rekan yang tidak tersebutkan namannya. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat. Bogor,
Februari 2009
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 03 November 1981 dari ayah H. Idin Lagalanti dan ibu Rabea Kasim, sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak pada tahun 1988 di TK Pertiwi Luwuk, dilanjutkan dengan pendidikan dasar ke SD 4 Impres Luwuk yang diselesaikan pada tahun 1993, pendidikan menengah di SLTP Negeri 2 Luwuk diselesaikan pada tahun 1996, kemudian menyelesaikan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri 1 Luwuk pada tahun 1999. Tahun 2003 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Strata Satu pada Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar. Selama pendidikan Strata Satu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah ekologi laut, telemetri dan eksplorasi sumberdaya hayati laut periode Tahun 2002 - 2003. Tahun 2005 penulis melanjutkan studi Strata Dua pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
xii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
......................................................................................
DAFTAR GAMBAR
xiv
.................................................................................
xv
.............................................................................
xvii
I
PENDAHULUAN ............................................................................ 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................................ 1.3 Tujuan dan Manfaata Penelitian .............................................. 1.4 Kerangka Pemikiran ................................................................
1 1 3 5 5
II
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 2.1 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil ................................................ 2.2 Pendekatan Ruang Ekologis (Ecological Footprint) .............. 2.3 Budidaya Rumput Laut ............................................................ 2.4 Sistem Informasi Geografis (GIS) ...........................................
7 7 10 13 18
III
METODOLOGI ............................................................................... 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................. 3.2 Metode Penelitian ................................................................... 3.3 Metode Pengumpulan Data ..................................................... 3.3.1 Jenis Data ....................................................................... 3.3.2 Metode Pengambilan Data ............................................. 3.4 Analisis Data ........................................................................... 3.4.1 Analisis Kebutuhan Ruang ............................................ 3.4.2 Analisis Ketersediaan Ruang .........................................
20 20 22 22 22 22 25 25 26
IV
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ........................... 4.1 Kondisi Umum Daerah ............................................................ 4.1.1 Geografis dan Topografi ................................................ 4.1.2 Sosial Budaya Masyarakat ............................................ 4.2 Keadaan Umum Iklim dan Cuaca ........................................... 4.3 Kondisi Oseanografi Perairaan ................................................. 4.3.1 Gelombang .................................................................... 4.3.2 Pasang Surut .................................................................. 4.3.3 Kecepatan Arus ............................................................. 4.3.4 Kecerahan dan Kedalaman ............................................ 4.3.5 Keterlindungan .............................................................. 4.3.6 Suhu ............................................................................... 4.3.7 Salinitas ......................................................................... 4.3.8 Derajat Keasaman/pH .................................................... 4.3.9 Oksigen Terlarut ........................................................... 4.3.10 Nutrient ......................................................................... 4.3.11 Kondisi Ekosistem Pesisir dan Laut .............................. 4.4 Pemanfaatan Lingkungan dan Sumberdaya Gugus Pulau Salabangka .............................................................................
29 29 29 31 32 33 33 34 34 37 41 43 45 47 49 51 54
DAFTAR LAMPIRAN
56
xiii
4.4.1 4.4.2
Perikanan ....................................................................... Budidaya Rumpu Laut ..................................................
58 59
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 5.1 Identifikasi Kesesuaian Ruang Perairan untuk Budidaya Rumput Laut ........................................................................... 5.1.1 Kebutuhan Ruang Perairan ............................................ 5.1.2 Ketersedian Ruang Perairan .......................................... 5.2 Daya Dukung Ruang Ekologi untuk Pengembangan Rumput Laut ..........................................................................................
61 61 61 67
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 6.1 Kesimpulan ............................................................................. 6.2 Saran .........................................................................................
74 74 74
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
75
LAMPIRAN
80
V
VI
...............................................................................................
70
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1
Jenis Data dan Parameter yang diukur .................................................
23
2
Matriks Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut
.............
28
3
Pulau-Pulau di Gugus Pulau Salabangka
…........................................
30
4
Jenis Lapangan Kerja Kecamatan Bungku Selatan ..............................
31
5
Tingkat Konsumsi Budidaya Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka
62
6
Produktivitas Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka
63
7
Estimasi Kebutuhan Ruang Budidaya Gugus Pulau Salabangka
.......
66
8
Kesesuaian Perairan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ...........................................................................................
69
.......................
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bagan Alir Kerangka Pemikiran ..........................................................
6
2
Interaksi antara Komponen PPK
9
3
Komponen Penelitian Ecological Footprint
4
Alur Kerangka Analisis
5
......................................................... .......................................
12
.......................................................................
21
Lokasi Penelitian Analisis Ruang Ekologi Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah ...........
24
6
Peta Sebaran Kecepatan Arus
.............................................................
36
7
Peta Sebaran Kecerahan
.....................................................................
38
8
Peta Sebaran Substrat
..........................................................................
39
9
Peta Sebaran Kedalaman
....................................................................
10 Peta Sebaran Keterlindungan
40
.............................................................
42
11 Peta Sebaran Suhu ................................................................................
44
12 Peta Sebaran Salinitas ..........................................................................
46
13 Peta Sebaran pH
..................................................................................
48
14 Peta Sebaran Oksigen Terlarut (DO) ...................................................
50
15 Peta Sebaran NO3
...............................................................................
52
16 Peta Sebaran PO4
................................................................................
53
17 Peta Sebaran Ekosistem Pesisir Gugus Pulau Salabangka
..................
18 Peta Pemanfaatan Ruang Perairan di Gugus Pulau Salabangka 19 Produksi Hasil Laut Kecamatan Bungku Selatan
55
.........
57
..............................
58
20 Alur Penjualan Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka
................
60
...................
65
22 Estimasi Kebutuhan Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ..........................................................................................
66
23 Peta Kesesuaian Perairan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ...........................................................................................
68
24 Estimasi Ketersedian Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ..........................................................................................
69
25 Perbandingan Ecological Footprint dan Biocapacity Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ………………………………………
72
21 Impor – Ekspor Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka
xvi
26 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Pemanfaatan Ruang untuk Halaman Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka …………………. 71 26 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Pemanfaatan Ruang untuk 27 Budidaya Daya Dukung Ruang Ekologi Tingkat Kebutuhan Ruang Rumput Laut Gugusterhadap Pulau Salabangka ………………….. 71 Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ………………… 72 27 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Tingkat Kebutuhan Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka …………………. 72
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Metode Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia ……………………
80
2
Peta Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL Jakarta tahun 1987
………...
83
3
Peta Sebaran Arus di Perairan Laut Banda
........................................
84
4
Hasil Pengukuran Rata-Rata Parameter Lingkungan untuk Budidaya Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka ……………………….......
88
5
Keanekaragaman Ikan Karang Kabupaten Morowali
.........................
89
6
Data Luas Lahan dan Produksi Rumput Laut
......................................
90
I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan
bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi,
sehingga
diperlukannya
rencana
pengelolaan
dengan
mempertimbangkan berbagai proses dinamis yang terjadi. Selain itu, karateristik sumberdaya baik lokal dan regional mempersulit kebijakan yang terkoordinasi antar berbagai sektor pembangunan. Untuk itu pengelolaan pesisir yang terintegrasi menjadi sangat penting. Demikian pula untuk wilayah pulau-pulau kecil (PPK). Berdasarkan Undang-Undang No 27 Tahun 2007 menyebutkan pengelolaan wilayah pesisir dan PPK merupakan suatu proses, perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan PPK baik antar sektor, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, maupun antara ilmu pengetahuan dan manajemen dimana bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat PKK. Yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 yang terintegrasi dari beberapa komponen antara lain manusia, lingkungan perairan (biotik dan abiotik) dan lingkungan daratan, memiliki karateristik yang khas dimana masing-masing komponen secara fungsional saling mempengaruhi berserta kesatuan ekosistemnya (Adrioanto 2004a; Bengen dan Retraubun 2006; UU No.27 2007). Wilayah Gugus Pulau Salabangka terdiri dari PPK dengan luas 2.352,17 km2 Pada umumnya, PPK memiliki sumberdaya yang beragam dan memiliki keterbatasan baik secara fisik, ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan keterbatasan sumberdaya PPK, kecenderungan pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan masyarakat bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup (DKP 2003; Adrianto 2004a) melalui aktivitas yang tidak ramah lingkungan, hal tersebut dapat menyebabkan kelangkaan sumberdaya di pulau-pulau kecil.
2
Beberapa kegiatan pemanfataan wilayah pesisir pulau-pulau kecil terbatas pada kegiatan konservasi sumberdaya alam, budidaya kelautan, perikanan tangkap, dan pariwisata bahari (DKP 2000 in Adrianto 2004a ). Namun beberapa kegiatan pemanfaatan tersebut sangat selektif sesuai dengan karateristik wilayah dan membutuhkan kapitalisasi yang besar. Secara umum, pemanfaatan potensi perairan berdasarkan Ditjen Perikanan (1999) diperuntukan untuk budidaya kelautan seluas 2.003.680 ha antara lain untuk budidaya kakap dengan luas 598.120 ha (29,85 %), budidaya kerapu seluas 461.600 ha (23,04 %), luas 591.800 ha (29,54 %) untuk budidaya kerang dan tiram, budidaya teripang seluas 66.660 ha (3,33 %), kerang mutiara dan abalon seluas 62.040 ha (3,10 %) dan rumput laut seluas 222.460 ha (11,10 %). Secara khusus, sesuai dengan KepPres No. 23 Tahun 1982, salah satu kegiatan budidaya laut yang dapat dikembangkan adalah budidaya rumput laut, dengan pertimbangan antara lain ketersediaan potensi sumberdaya rumput laut cukup besar, dapat dilakukan dengan teknologi budidaya yang sederhana, penggunaan modal relatif lebih kecil, lamanya waktu pemeliharaan lebih singkat dan menyerap tenaga kerja. Propinsi Sulawesi Tengah merupakan propinsi urutan ketiga penghasil rumput laut di Indonesia setelah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat, dan pemanfaatan luas perairan untuk budidaya rumput laut baru mencapai 39,61 persen. Kabupaten Morowali merupakan salah satu kabupaten sebagai sentra produksi rumput laut (Diskanlut Provinsi Sulawesi Tengah 2008). Luas wilayah Kabupaten Morowali adalah 45.453,60 km2
meliputi luas daratan sebesar
15.490,8 km2 (34,08 %) dan wilayah perairan seluas 29.962,8 km2 (65,92 %). Berdasarkan Diskanlut Kabupaten Morowali (2008) menyebutkan potensi luas areal untuk budidaya rumput laut (Eucheuma cottono) 2.070,24 ha dengan areal terkelola baru mencapai 18,14 % atau 820,00 ha dan produksi rumput laut Kabupaten Morowali tahun 2007 mencapai 52.813 ton (kering) terdiri atas jenis Euchema cottoni 37.545 ton dan jenis gracilaria sp.15.268 ton. Wilayah Kecamatan Bungku Selatan merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah terletak di Teluk Tolo terdiri dari pulau-pulau kecil. Daerah ini memiliki potensi pengembangan budidaya rumput
3
laut. Tahun 2003 pemanfaatan wilayah pesisir untuk kegiatan budidaya perikanan di Kecamatan Bungku Selatan adalah seluas 1.433,22 ha (1,33 % dari total luas perairan laut Kabupaten Morowali), yang terbagi atas 1.430,17 ha untuk budidaya rumput laut dan 3,05 ha untuk usaha perikanan budidaya lainnya (pemeliharaan ikan dalam keramba dan budidaya teripang). Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Morowali Tahun 2002 – 2007 dengan misi pembangunan yaitu “memberdayakan pemerintah, masyarakat, wilayah agar mampu memanfaatkan seluruh sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta tata ruang wilayah dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
tepat
guna,
seefektif
dan
seoptimal
mungkin
melaksanakan
pembangunan yang merata, menyentuh seluruh wilayah dan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sesuai dengan misi pembangunan tersebut maka pendekatan penilaian daya dukung lingkungan menjadi sangat penting terkait dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam penelitian ini kegiatan pemanfaatan sumberdaya khususnya PPK dibatasai pada pemanfatan perairan untuk budidaya rumput laut melalui analisis ruang dengan pendekatan ecological footprint. Pendekatan ini didasarkan pada tingkat permintaan terhadap suatu sumberdaya (rumput laut) dan luas perairan yang tersedia (biocapacity). Dengan pendekatan ini dapat diketahui berapa maksimal pemanfaatan sumberdaya dengan luas perairan yang tersedia sehingga keberadaan ekosistem tetap lestari (Adrianto 2006c). 1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan potensi perairan (2.996.280 ha) dan area lahan yang dikelola
untuk budidaya rumput laut di Kabupaten Morowali saat ini, maka pemanfaatan potensi perairan laut dan rata-rata produktivitas masih rendah. Secara umum usaha budidaya rumput laut terkonsentrasi pada beberapa kecamatan (hanya 3 kecamatan dari 7 kecamatan di Kab Morowali), terluas pengusahaannya di Kecamatan Bungku Selatan dan Menui Kepulauan. Berdasarkan kondisi geografis dan ekologis perairan, wilayah perairan laut Kabupaten
Morowali
terutama
di
kecamatan
Bungku
Selatan
sangat
memungkinkan untuk pengembangan rumput laut yang lebih intensif. Wilayah ini
4
merupakan gugusan pulau-pulau kecil di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Teluk Tolo dengan jarak dari wilayah daratan utama (mainland) lebih kurang 5 kilometer sehingga perubahan-perubahan yang terjadi di daratan utama sangat kecil pengaruhnya terhadap kegiatan perikanan laut dan perikanan budidaya di Gugus Pulau Salabangka. Namun demikian, dengan bertambahnya jumlah penduduk di daerah pulau menyebabkan peningkatan pencemaran laut akibat pembuangan limbah rumah tangga. Kondisi ini menyebabkan terganggunya kualitas perairan laut yang secara langsung dapat mengganggu pertumbuhan biota laut terutama rumput laut. Selain itu, di beberapa tempat dalam wilayah kepulauan Salabangka masih terjadi kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (pengeboman), pembiusan ikan dan pengambilan karang atau sejenisnya. Secara histories, kegiatan ini mulai berlangsung sejak tahun 1980-1990an dalam intensitas yang tinggi sehingga menyebabkan penurunan kualitas perairan dan hancurnya biota laut termasuk terganggunya kegiatan pembudidayaan rumput laut yang dimulai tahun 1991. Namun sejak Kabupaten Morowali berdiri sebagai salah satu kabupaten otonom di Provinsi Sulawesi Tengah dan penegakan hukum lebih intensif, lambat laun kegiatan yang bersifat destruktif tersebut mulai menurun dan usaha budidaya rumput laut mulai menunjukkan hasil yang lebih baik. Berdasarkan aspek sosial budaya, pada awalnya kegiatan budidaya rumput laut masih bersifat usaha sampingan, sementara usaha penangkapan ikan (nelayan) merupakan mata pencaharian utama masyarakat. Namun dengan berkembangnya pasar dan meningkatnya harga rumput laut, maka lambat laun di beberapa desa kegiatan budidaya rumput laut dijadikan sebagai matapencaharian utama. Pergeseran jenis matapencaharian ini menyebabkan pula terjadinya perubahan kegiatan pemanfaatan di wilayah pesisir kepulauan Salabangka. Daerah operasi penangkapan ikan dijadikan sebagai kawasan budidaya rumput laut. Umumnya daerah yang dijadikan sebagai lokasi kegiatan budidaya adalah daerah bekas pemboman ikan yang sudah tidak dimanfaatkan selama beberapa tahun oleh nelayan karena berkurangnya ikan. Sisi positif dari pemanfaatan perairan ini adalah optimasi pemanfaatan ruang untuk kegiatan lain selain perikanan tangkap, semakin membaiknya kualitas perairan, dan semakin meningkatnya jumlah ikan
5
di kawasan tersebut. Sisi negatifnya, kondisi ini menyebabkan peningkatan luas areal budidaya rumput laut yang tidak tertata dengan baik sehingga mengganggu jalur transportasi, perikanan budidaya dan kembalinya kegiatan perikanan tangkap. Jika kondisi ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan tidak diikuti dengan penataan ruang kawasan pesisir dan pulau bagi seluruh kegiatan pemanfaatan akan melebihi daya dukungnya serta menyebabkan terjadinya konflik antar kegiatan pemanfaatan. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka perlu dilakukan pengkajian pemanfaatan ruang PPK bagi kegiatan budidaya rumput laut yang optimal dan sesuai dengan potensi serta daya dukung wilayah perairan kepulauan Salabangka. 1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan Gugus Pulau Salabangka untuk budidaya rumput laut. 2. Mengestimasi daya dukung ruang ekologi perairan Gugus Pulau Salabangka untuk pengembangan budidaya rumput laut. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembudidaya rumput laut dalam pemanfaatan lahan perairan untuk budidaya, para pengusaha, pemilik modal dan para pengambil kebijakan dalam usaha pengembangan budidaya rumput laut sesuai dengan ruang ekologis Gugus Pulau Salabangka. 1.4
Kerangka Pemikiran Ruang perairan pulau-pulau kecil memiliki berbagai keterbatasan dan
bersifat dinamis serta sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, sehingga diperlukan adanya upaya pengelolaan pemafaaatan sumberdaya pulau-pulau kecil agar menunjang kegiatan pemanfaatan yang berkelanjutan dan sesuai dengan daya dukung lingkungan.
6
Pemanfaatan
ruang
perairan
di
Gugus
Pulau
Salabangka
untuk
pengembangan budidaya rumput laut didasarkan pada permintaan (demand) dan kapasitas lahan (biocapacity). Permintaan adalah kebutuhan pembudidaya terhadap perairan untuk budidaya rumput laut. Kapasitas lahan adalah wilayah perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Selanjutnya, dilakukan analisis ruang ekologis terhadap dua komponen yang digunakan yaitu permintaan dan kapasitas lahan untuk mengestimasi daya dukung lingkungan terhadap pengembangan budidaya rumput laut dalam konteks pemanfaatan sumberdaya yang berwawasan lingkungan. Alur pendekatan studi yang digunakan sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Dengan demikian, analisis ruang ekologis merupakan salah satu cara dalam upaya pengelolaan budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah. Ruang Perairan Pulau-Pulau Kecil Gugus Pulau Salabangka
Pemanfaat Pesisir Kapasitas Lahan (Biocapacity)
Permintaan (Demand)
Budidaya Rumput Laut
Analisis Ruang Ekologis Budidaya Rumput Laut
Keberlanjutan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka
Gambar 1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Secara umum, pulau-pulau kecil (PPK) memiliki karateristik tersendiri
meliputi sumberdaya hayati, sumberdaya non hayati dan jasa lingkungan. Sumberdaya hayati di PPK antara lain terumbu karang, padang lamun, rumput laut mangrove, ikan dan biota laut lainnya. Di samping itu, berbagai keterbatasan di PPK baik dari segi fisik (ukuran), ekologi (sumberdaya), ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, upaya pengelolaan PPK menjadi sangat penting. Menurut Adrianto (2005) bahwa dalam pengembangan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut PPK, perlu dipertimbangkan berbagai faktor berdasarkan karateristik yang dimiliki sebuah pulau atau gugusan pulau dan diperlukan pendekatan yang lebih sistemik serta lebih spesifik berdasarkan lokasi. Selain itu, persoalan lingkungan merupakan salah satu problem dalam pengelolaan PPK. Permasalahan lingkungan PPK dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yakni (1) permasalahan lingkungan secara umum (common environmental problems), seperti limbah lokal, persoalan perikanan, kehutanan, penggunaan lahan dan persoalan hak ulayat pulau, dan (2) persoalan lingkungan lokal (local environmental problems) antara lain kekurangan air tawar, hilangnya tanah baik secara fisik maupun kualitas, limbah padat dan bahan kimia beracun dan problem spesies langka (Hall 1999 in Adrianto 2004a). Terkait dengan kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan merupakan indikasi umum terjadinya penurunan kualitas sumberdaya perikanan dan lingkungan laut di PPK. Terjadi berbagai kerusakan ekosistem PPK seperti terumbu karang rusak karena penambangan karang untuk bahan bangunan atau karena aktifitas penangkapan ikan seperti penggunaan bom dan racun. Selain itu, kegiatan pemanfaatan lahan di PPK memerlukan pengaturan lahan secara komprehensif dan tepat sesuai dengan peruntukannya serta tidak melebihi daya dukung lingkungannya (Adrianto 2005). Wilayah PPK juga memiliki tingkat ketergantungan tinggi pada bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat, menyebabkan diperlukan subsidi yang tepat sasaran dalam upaya pengelolaan ekonomi PPK (Adrianto 2004a). Beberapa hal
8
yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi wilayah PPK terkait dengan ukuran fisik (smallness) antara lain keterbatasan sumberdaya alam, ketergantungan terhadap komponen impor, terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau, kecilnya pasar domestik, ketergantungan terhadap ekspor untuk menggerakkan ekonomi pulau, ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi, terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal, keterbatasan kemampuan untuk menentukan skala ekonomi, keterbatasan kompetisi lokal dan persoalan yang terkait dengan administrasi publik (Adrianto 2005). Karateristik penting lain dari PPK yang terkait dengan pengembangan ekonomi wilayah adalah tingkat insularitas atau terpencil jauh dari daratan induknya (mainland). Persoalan ekonomi PPK yang terkait dengan insularitas, terutama berhubungan dengan persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistik, melimpahnya sumberdaya alam kelautan dan dominasi sektor jasa. Awal pengelolaan PPK di Indonesia dilakukan sejak berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan. Setiap pulau memiliki format pengelolaan yang berbeda disesuaikan dengan latar geografisnya, karakteristik ekosistem, dan sosial budaya masyarakat setempat. Dalam arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat, terdapat beberapa pendekatan yang dikombinasikan yaitu : (1) hak, (2) ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugusan pulau, dan (3) sesuai kondisi sosial budaya setempat (Dahuri 2003). Mengingat rentannya ekosistem pulau dan gugusan pulau kecil, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang cenderung menimbulkan dampak negatif yang sangat luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengijinkan pemanfaatan antara lain untuk konservasi, budidaya laut, kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi non ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengelolaan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan (Bengen 2003).
9
Dalam arah pola pembangunan wilayah pesisir dan laut, terjadi perubahan paradigma dari pembangunan konvensional yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata menjadi pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan kondisi ekologi dan sosial sebagai dasar dalam mencapai peningkatan ekonomi. Dalam United Nations Environment Programme (UNEP) dan Convention Biological Diversity (CBD) (2004) menyebutkan bahwa keberlanjutan merupakan suatu usaha rekonsiliasi terhadap tiga komponen dasar utama pembangunan yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi, dimana ekosistem dan keragaman hayati sebagai inti dalam pengelolaan terpadu wilayah pesisir dengan mempertimbangkan tekanan aktivitas manusia, tanpa memperkecil pengembangan sosio-ekonomi. Menurut Cicin Sain (1993) in Adrianto (2004a) bahwa keseluruhan komponen kegiatan di PPK terkait satu sama lain (inextricably linked) dan interaksi serta hasil dari seluruh kegiatan di PPK dapat menciptakan reaksi berganda sekaligus berantai (multiple chain reactions) dari persoalan dan tekanan terhadap ekosistem dan komunitas di PPK. Cambers (1992) in Adrianto 2004a menyebutkan bahwa strategi pengelolaan PPK harus dapat mengaitkan seluruh kegiatan dan stakeholders yang ada di PPK, dengan menggunakan pendekatan yang terkoordinasi. Interaksi antar komponen dalam sistem PPK dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Interaksi antar komponen PPK (Debance 1999 in Adrianto 2004a)
Dari gambar di atas dapat diidentifikasi bahwa dalam sistem PPK, terdapat paling sedikit 5 (lima) proses yaitu proses alam, proses sosial, proses ekonomi, perubahan iklim dan proses pertemuan antara daratan dan lautan (Debance 1999),
10
yang masing-masing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari 3 komponen PPK yaitu sistem lingkungan daratan, sistem lingkungan laut dan sistem aktivitas manusia. Secara umum, berdasarkan pengalaman-pengalaman dari berbagai negara dalam memanfaatkan sumberdaya alam bagi pertumbuhan ekonominya, kegagalan dalam mengatasi masalah pengelolaan memberikan implikasi antara lain percepatan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya (Anwar dan Rustiadi 2000). Selanjutnya dinyatakan bahwa penyebab utama terjadinya kegagalan tersebut antara lain : (1) perbedaan hak-hak (entelimen) yang sangat mencolok antara berbagai lapisan masyarakat, (2) sumberdaya alamnya mengalami semacam akses terbuka (aquasi-open-access resources) yang semua pihak cenderung memaksimumkan keuntungan dalam pemanfaatannya, dan (3) kekurangan dalam sistem penilaian (undervaluation) terhadap sumberdaya alam dalam sistem ekonomi pasar yang terjadi, yang kesemuanya sangat erat kaitannya dengan aspek teknis-finansial dan aspek sosial-ekonomi budaya masyarakat setempat. 2.2
Pendekatan Ruang Ekologis (Ecological Footprint Analysis) Dalam memenuhi kebutuhan hidup kita menggunakan sumberdaya alam,
kergantungan kita terhadap alam menimbulkan pertanyaan berapa kemampuan alam untuk memenuhi semua kebutuhan kita sampai masa yang akan datang. Secara perspektif ekologi, salah satu stategi yang dilakukan untuk tujuan keberlanjutan pemanfaatan melalui penilaian terhadap sumberdaya alam. Pendekatan yang digunakan dalam penilaian sumberdaya melalui analisis Ecological Footprint (EF). Dasar pemikiran analisis pendekatan ini berasal dari konsep daya dukung (carrying capacity) kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia. Selain itu, pendekatan EF membantu dalam pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan (Wackernagel dan Rees 1996). Penilaian EF dan BC disebut pendekatan ruang ekologis/jejak kaki ekologis diperkenalkan Wackernagel dan Rees tahun 1995 dimana tingkat kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam diterjemahkan kedalam luasan area yang
11
produktif sebagai penyedia sumberdaya dan sebagai tempat mengasimilasi sisa buangan akibat pemanfaatan sumberdaya. Menurut Ferguson (1999) in Venetoulis dan Talberth (2008) bahwa EF salah satu analisis yang telah digunakan dalam penilaian keberlanjutan dengan membandingkan permintaan sumberdaya suatu populasi dengan produktivitas secara global. Sedangkan Wakernagel dan Loh (2002) in Venetoulis dan Talberth (2008) menggunakan EF untuk menilai berapa banyak areal produktif (daratan dan perairan) yang diperlukan oleh perorangan, sebuah kota, satu negara atau suatu masyarakat untuk mengkonsumsi sumberdaya alam. Sebagaimana disebutkan Wilson dan Anielski (2005) bahwa setiap orang akan memanfaatan ruang/suatu wilayah dalam memenuhi kebutuhan hidup melalui pemanfaatan sumberdaya alam, dengan pendekatan ini digunakan untuk menilai hubungan permintaan (demand) terhadap sumberdaya dan ketersediaan (supply) sumberdaya yang dikonversi menjadi luas area, sehingga dapat menggambarkan tingkat pemanfaatan sumberdaya telah melebihi atau belum optimal. Yang dimaksud ruang ekologi dalam penelitian ini adalah ruang perairan yang digunakan untuk budidaya rumput laut dan ketersediaan ruang yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Kecenderungan pemanfaatan ruang akan meningkat disebabkan perubahan pemanfaatan sumberdaya dimana sebelumnya masyakarat bermatapencaharian sebagai nelayan beralih menjadi pembudidaya rumput laut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa responden yang melakukan budidaya rumput laut sebagai kegiatan utama sebesar 79,45 % (201 orang) dan 20,55 % (52 orang) sebagai kegiatan sampingan. Dalam perhitungan daya dukung ruang ekologis terhadap pengembangan rumput laut di bagi kedalam dua bagian yaitu (i) permintaan terhadap ruang ekologi berdasarkan biomassa yang dihasilkan (EF) dan (ii) ketersediaan ruang perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut (BC). Sebagaimana disebutkan
Schaefer et.al (2006) perhitungan ruang ekologi dibagi kedalam dua bagian yaitu permintaan terhadap sumberdaya (EF) dan ketersediaan sumberdaya (biocapacity/BC). Ini merupakan gambaran penilaian terhadap periode waktu terpilih (misalnya dalam setahun).
12
Lebih lanjut, penilaian EF dalam pengembangan budidaya rumput laut merujuk pada konsumsi sumberdaya (ruang perairan). Perhitungan konsumsi ini didasarkan
pada
tiga
komponen
meliputi tingkat
konsumsi
(Domestic
Extraction/DE), produktivitas baik lokal maupun regional (Yield/Y) dan kegiatan impor (IM) – ekspor (EX). Tingkat konsumsi diperoleh dari jumlah produksi rumput laut (kering) per orang dalam setahun. Nilai produktivitas berasal dari perbandingan jumlah produksi rumput laut dengan luas perairan yang digunakan. Sedangkan impor – ekspor berasal dari perdagangan rumput laut antar pulau di Gugus Pulau Salabangka. Komponen dalam penilaian EF di Gugus Pulau Salabangka dapat dilihat pada Gambar 3. Gugus Pulau Salabangka Yregional DE Ylokal
P5
Koperasi
IM
P6 DE Ylokal
EX
DE Ylokal P4
EX
Keterangan : P : Jumlah pembudidaya DE : Tingkat Konsumsi (Domestic Exctraction) Y : Produktivitas IM : Impor EX : Ekspor
P3 DE Ylokal
IM
Ylokal P2 DE
P1
Pasar
Ylokal DE
Gambar 3 Komponen Penilaian Ecological Footprint EF per kapita merupakan rata-rata ruang perairan yang digunakan per orang untuk budidaya rumput laut, sehingga total ruang ekologi (hektar) merupakan total luasan perairan diperlukan untuk memproduksi rumput laut berdasarkan jumlah pembudidaya rumput laut (Wang dan Bian 2007). Menurut Venetoulis et.al (2004) jika total nilai EF bernilai positif atau negatif mengindikasikan bahwa adanya kelebihan atau kekurangan luasan yang diperlukan untuk memproduksi sumberdaya.
13
Sedangkan pernilaian BC didasarkan pada ruang perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Total BC (hektar) menunjukkan total ruang perairan yang secara ekologi sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut. BC per kapita menggambarkan ketersediaan ruang perairan budidaya rumput laut per orang (Wang dan Bian 2007). Hasil analisis melalui pendekatan ruang ekologi dapat menggambarkan pemanfaatan terhadap sumberdaya belum optimal atau telah melebihi daya dukung ekologi. Meskipun suatu wilayah memiliki ketersediaan sumberdaya alam, tetapi secara lokal dapat mengalami defisit (Schaefer et.al 2006). Menurut Chambers et.al (2001) defisit ekologi suatu wilayah dimana tingkat kebutuhan terhadap sumberdaya melebihi kemampuan ekologis wilayah tersebut. Dengan kata lain, jika hasil penilaian EF lebih besar dibandingkan BC, maka kondisi ini disebut defisit. 2.3
Budidaya Rumput Laut Salah satu jenis kegiatan pemanfaatan sumberdaya PPK adalah budidaya
perikanan. Jenis budidaya yang dikembangkan pada setiap pulau akan berbeda satu dengan yang lain tergantung dari kondisi biofisik pulau tersebut. Salah satu jenis budidaya yang mulai dikembangkan di Gugus Pulau Salabangka adalah budidaya rumput laut. Rumput laut (sea weed) merupakan alga makro bentik yang hidup di laut dan termasuk kedalam tumbuhan tingkat rendah (phylum thallophta), yang tidak dapat dibedakan antara akar, batang dan daun atau dengan bagian tumbuhan secara keseluruhan merupakan “batang” yang disebut thallus. Kelompok tumbuhan ini memiliki bentuk beraneka ragam mulai dari bulat, silindris, pipih atau lembaran, filamen seperti rambut dan bersifat keras karena substansi mengandung zat kapur, lunak seperti tulang rawan, kenyal seperti gel atau fleksibel seperti bunga karang, serta mempunyai fungsi yang berbeda-beda sepeti perekat pada substrat, sebagai batang dan sebagai daun (Atmadja et.al in Sulistijo dan Atmadja 1996).
14
Rumput laut terdiri dari satu atau banyak sel, berbentuk koloni, hidupnya bersifat bentik di daerah perairan dangkal, berpasir, lumpur berpasir dan berlumpur, daerah pasut, jernih dan biasanya menempel pada karang mati, potongan kerang dan substrat yang keras lainnya, baik terbentuk secara alamiah atau buatan. Alga bersifat autotrop, yaitu dapat hidup sendiri tanpa tergantung makhluk lain. Proses pertumbuhan rumput laut sangat bergantung pada sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis. Jenis rumput laut yang dibudidayakan di wilayah kajian adalah Eucheuma sp. Pada umumnya, rumput laut hidup berasosiasi dengan hewan karang, sehingga habitat rumput laut senantiasa berada disekitar terumbu karang. Menurut Kadi dan Atmadja (1988) in Iksan (2005) menyebutkan bahwa rumput laut jenis Eucheuma sp. memiliki thallus berbentuk bulat silindris dengan permukaan licin, berwarna merah/merah-cokelat atau hijau, memiliki percabangan tidak teratur, mempunyai benjolan-benjolan (blunt nodule) atau duri (spine) pada thallus, subtansi thallus gelatinus dan atau kartilagenus. Lebih lanjut disebutkan bahwa spesies ini lebih banyak terdapat di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam oleh air (subtidal) dengan melekat pada substrat dasar perairan yang berupa batu, karang mati, karang hidup, batu gamping atau cangkang moluska. Pertumbuhan jenis Eucheuma sp. di wilayah pesisir dipengaruhi oleh faktor oseanografi meliputi parameter fisika, kimia dan biologi (Puslitbangkan 1991). Untuk Eucheuma alvarezii berwarna coklat memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan Eucheuma alvarezii berwarna hijau (Kadi 2004). Terkait dengan kondisi lingkungan fisika untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya dan rumput laut dari pengaruh angin topan dan pergerakan air atau gelombang yang besar, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari hempasan ombak seperti perairan teluk atau perairan terbuka tetapi terlindung oleh karang penghalang atau pulau didepannya (Puslitbangkan 1991). Umumnya pertumbuhan Eucheuma sp. lebih baik pada dasar perairan yang stabil terdiri dari pecahan karang/potongan karang mati dan pasir kasar serta bebas dari lumpur. Kondisi dasar perairan yang demikian menunjukkan daerah tersebut selalu dilalui oleh arus yang cukup. Mempunyai gerakan air (arus) yang cukup berkisar 20 – 40 cm/dtk.
15
Dengan menggunakan metode rawai (longline) dan sistem jalur kedalaman perairan yang mendukung pertumbuhan Eucheuma sp. adalah > 5 m pada saat surut terendah. Hal ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan karena terkena sinar matahari secara langsung pada saat surut terendah dan memperoleh (mengoptimalkan) penetrasi sinar matahari secara langsung pada saat air pasang (Anonim 2004c). Kenaikan temperatur yang tinggi akan mengakibatkan thallus rumput laut menjadi pucat kekuning-kuningan sehingga rumput laut tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, suhu perairan yang baik untuk budidaya rumput laut adalah 20 – 28 oC dengan fluktuasi harian maksimum 4 oC (Puslitbangkan 1991). Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut. Hal ini dimaksudkan agar cahaya matahari dapat masuk kedalam perairan. Intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi tidak kurang dari 5 m cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut (Puslitbangkan 1991). Kondisi kimia perairan juga sangat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Pertumbuhan rumput laut tidak dapat mentolerir salinitas dibawah 25 ppt. Beberapa penyebab penurunan salinitas antara lain adanya air tawar yang masuk ke perairan melalui aliran sungai dan adanya hujan, hal tersebut dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal. Selain itu faktor nutrient atau unsur hara dalam perairan sangat dibutuhkan oleh tumbuhan. Nutrient yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut meliputi kandungan nitrat dan fosfat. Menurut Sulistijo dan Atmadja (1996) menyebutkan bahwa kisaran fosfat optimal untuk pertumbuhan rumput laut antara 0,02 ppm sampai 0,1 ppm, sedangkan kadar nitrat yang baik mendukung kehidupan alga 0,001 – 5 mg/l (Luning 1990). Faktor lainnya yang menjadi indikator kualitas perairan yang baik adalah perairan bebas dari bahan pencemar yang bersumber dari limbah rumah tangga, industri maupun limbah kapal. Hal tersebut dikarenakan bahan cemaran dapat menghambat pertumbuhan rumput laut (Anonim 2004c).
16
Indikator biologi juga merupakan salah satu faktor dalam penentuan lokasi budidaya rumput laut, dimana perairan secara alami ditumbuhi oleh kominitas dari berbagai makro alga seperti Ulva sp., Caulerpa sp., Padina sp., Hypnea sp. dan lain-lain. Selanjutnya perairan lokasi budidaya harus bebas dari hewan air lainnya yang bersifat herbivora terutama ikan baronang/lingkis (Sigarus sp.), penyu laut (Chelonia mydas) dan bulu babi yang dapat memakan rumput laut (Puslitbangkan 1991). Menurut Indriani dan Sumarsih (1999) bahwa beberapa persyaratan yang perlu dipertimbangan dalam menentukan lokasi budidaya antara lain : (1) harus bebas dari pengaruh angin topan, (2) tidak mengalami fluktuasi salinitas yang besar, (3) areal disekitarnya terdapat makanan untuk tumbuh rumput laut, (4) perairan harus berkondisi mudah menerapkan budidaya, (5) mudah terjangkau sehingga meminimalkan biaya transportasi, (6) dekat dengan sumber tenaga kerja. Penerapan metode budidaya yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan kondisi perairan. Beberapa metode yang digunakan dalam budidaya rumput laut meliputi (1) metode lepas dasar, yang dilakukan pada dasar perairan yang berpasir atau berlumpur pasir untuk memudahkan penancapan patok/pancang; (2) metode rakit apung, dimana cara pembudidayaan dengan menggunakan rakit yang terbuat dari bambu/kayu; (3) metode longline, dimana menggunakan tali panjang yang dibentangkan; (4) metode jalur merupakan kombinasi dari metode rakit dan metode longline; (5) metode keranjang (kantung) dimana rumput laut diletakkan dalam kantung dan metode ini tergolong baru (DKP 2003). Dari kelima metode tersebut, metode long line sampai saat ini yang dipilih petani di wilayah Gugus Pulau Salabangka, karena metode ini mempunyai beberapa keunggulan antara lain biaya yang dikeluarkan lebih murah dan masih terjangkau oleh pembudidaya, dan kemudahan dalam penanam, pemelihara serta panen. Lebih lanjut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga P2O-LIPI di Pulau Pari (Kepulauan Seribu) dan Pulau Samaringa (Sulawesi Tengah) bahwa jenis Eucheuma spinosum menunjukkan laju pertumbuhan yang lebih baik dengan menggunakan metode apung dibandingkan dengan metode sistem lepas dasar (Iksan 2005).
17
Berdasarkan penerapan tingkat teknologi, budidaya rumput laut dapat dilakukan dengan menggunakan sistem teknologi sederhana yaitu dengan mengikatkan rumpun bibit rumput laut pada kerangka tali nilon atau dapat juga menggunakan sistem lepas dasar (patok dan tali), rakit (bambu dan tali) atau rawai (monoline dengan pelampung botol plastik) (Kadi 2004). Selanjutnya dalam penggunaan bibit, kebutuhan bibit dalam setiap musim tanam tergantung dari luas areal budidaya dan jarak tanam antar bibit pada setiap liris. Setiap 1 hektar luas areal budidaya dengan jarak tanam sekitar 20 cm, berat sekitar 100 – 150 gr per liris akan memerlukan bibit sekitar 1200 kg. Sedangkan menurut Kadi (2004) dengan menggunakan metode rawai, dengan panjang tali 50 – 100 m, jarak tanam 50 cm dan berat bibit per ikatan 200 – 300 gr akan memerlukan bibit sekitar 20 – 60 kg. Untuk masa pemeliharaan rumput laut sampai saat panen dengan metode lepas dasar umumnya berkisar antara 1,5 – 2 bulan (Kolang et al. 1996 in Syahputra 2005). Hasil produksi untuk jenis Euceheuma cottonii dengan berat awal + 125 gram menggunakan metode apung dapat mencapai sekitar 500 – 600 gram atau dengan tingkat pertumbuhan per hari 2 – 3 %, sehingga dalam setahun dengan 6 kali penanaman untuk luasan 1 hektar dapat dihasilkan 144 ton rumput laut basah atau kurang lebih 11 ton rumput laut kering (Aslan 1998). Menurut Hidayat (1994) hasil produksi dalam ton per hektar dengan metode apung adalah sebesar 504 ton berat basah atau 67,2 ton berat kering atau dengan perbandingan 13 : 1. Sedangkan menurut Indriani dan Sumarsih (1999) perbandingan antara berat basah dengan berat kering apabila di panen pada usia dua bulan adalah 6 : 1 dan jika dipanen pada usia 1 bulan perbandingannya 8 : 1. 2.4
Sistem Informasi Geografis (Geografis Information System-GIS) Menurut Zetka (1985) in Amarullah (2007) menyebutkan bahwa ekosistem
pesisir merupakan area yang luas meliputi daratan pesisir, estuaria dan perairan pesisir, sehingga sumber data yang dibutuhkan sangat bervariasi. Melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) dan citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial dan spektral yang tinggi dapat diperoleh pemetaan wilayah pesisir.
18
Menurut Rice20; Gistut94 in Prahasta (2002) definisi SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan (capturing), menyimpan, memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan data-data yang berhubungan dengan posisi-posisi permukaan bumi dan merupakan sistem yang dapat mendukung pengambilan keputusan spasial serta mampu
mengintegrasikan
deskripsi-deskripsi
lokasi
dengan
karateristik-
karateristik fenomena yang ditemukan di suatu lokasi. Pemanfaatan SIG merupakan salah satu pilihan untuk menjawab permasalahan perencanaan terkait pemanfaatan ruang perairan untuk budidaya perikanan. SIG juga bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karateristik dan potensi suatu wilayah dapat digambarkan dengan baik, karena mampu mengintegrasikan beberapa data peta dan mempunyai kemampuan sebagai pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikian rupa, sehingga data terserbut dapat dipilih dan dipergunakan bagi berbagai kepentingan dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan (Soebagio 2005). Berbagai penelitian terkait dengan pemanfaatan SIG antara lain Radiarta et.al (2003) mengaplikasikan SIG untuk penentuan lokasi pengembangan budidaya laut di Teluk Ekas Nusa Tenggara Barat; Winarso et.al (1999) in Trisakti et.al (2004) melakukan analisis geomorfologi untuk studi kesesuaian lahan tambak udang di Ketapang, Sulawesi Selatan; Bambang et.al (2003) in Trisakti et.al (2004) memanfaatkan data penginderaan jauh dan SIG untuk analisis kesesuaian kegiatan budidaya laut dan pariwisata bahari untuk propinsi Nusa Tenggara Barat. Dalam penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan dan pariwisata, penggunaan teknologi penginderaan jauh dan SIG memiliki beberapa macam kelebihan dibandingkan dengan penentuan kesesuaian lahan secara manual (survei langsung ke lapangan) yang membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Dengan menggunakan penginderaan jauh dan SIG, objek yang diamati (lahan pesisir) di permukaan bumi dapat dilakukan dengan cepat, akurat dan dalam cakupan yang luas (Trisakti et.al 2004).
19
Dalam penelitian ini, SIG digunakan untuk mengidentifikasi kesesuaian lahan perairan untuk budidaya rumput laut, dengan tujuan optimalisasi lahan perairan dalam budidaya rumput laut. Beberapa hasil penggunaan SIG dalam penelitian ini antara lain peta sebaran ekosistem pesisir, peta kontur kedalaman, peta-peta tematik untuk parameter fisika kimia yang mempengaruhi budidaya rumput laut dan luas area pemanfaatan perairan saat ini.
III METODOLOGI Penelitian ini dimasudkan sebagai kajian pemanfaatan ruang PPK untuk budidaya rumput laut yang berkelanjutan sesuai potensi dan daya dukung lingkungan dengan pendekatan ecological footprint. Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu pertama mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan untuk budidaya rumput laut dilakukan dengan cara menentukan kesesuaian perairan untuk budidaya berdasarkan perhitungan kebutuhan ruang (ecological footprint rumput laut) dan ketersediaan ruang (biocapacity). Untuk menghitung kebutuhan ruang didasarkan pada tiga komponen meliputi tingkat konsumi, produktivitas dan kegiatan impor – ekspor. Hasil yang diperoleh berupa besaran ha/kapita, yang berarti setiap orang membutuhkan area perairan untuk budidaya rumput laut didasarkan pada pemanfaatan saat ini. Sedangkan perhitungan ketersediaan ruang perairan didasarkan pada metode skoring dan tumpang susun (overlay) terhadap parameter yang mendukung untuk budidaya rumput laut. Kemudian hasil yang diperoleh berupa besaran ha. Adapun masing-masing nilai EF dan BC dinormalisasikan dengan equivalence factor (EqF). Nilai EqF adalah 0,06 merupakan nilai EqF berdasarkan tipe ekosistem laut (Warren-Rhodes dan Koenig 2001) Selanjutnya kedua mengestimasi daya dukung ruang ekologi perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut didasarkan pada perbedaan tingkat kebutuhan ruang (EF) terhadap ketersediaan ruang (BC) yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Jika nilai EF > BC maka disebut overshoot dimana tingkat kebutuhan ruang telah melebihi kemampuan ruang untuk mendukung budidaya rumput laut, demikian pula sebaliknya jika nilai EF < BC maka disebut undershoot (Schaefer et.al 2006). Alur kerangka analisis disajikan pada Gambar 4. 3.1
Waktu dan Lokasi Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dimulai bulan Maret – Mei 2007, di Gugus Pulau
Salabangka, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5.
21
Ruang Ekologi Pulau-Pulau Kecil (Gugus Pulau Salabangka)
Analisis Kebutuhan Rumput Laut (Ecological Footprint/EF Rumput Laut)
Data Footprint Rumput Laut : - Data Tingkat Konsumsi (Domestic Extraction/DE) - Data Produktivitas (Y) - Data Impor (IM) – Ekspor (EX)
Identifikasi Pemanfaatan Perairan untuk Budidaya Rumput Laut
Oseanografi : - Kecepatan arus - Kecerahan - Kedalaman - Keterlindungan - Dasar perairan - Salinitas - Suhu - pH - Oksigen Terlarut - Nutrient
Analisis Ketersediaan Ruang (Biocapacity/BC Budidaya Rumput Laut)
Data Primer
Data Digital
Data Sekunder
Interpolasi Data
Peta Tematik -i
Peta Tematik -ii
Peta Tematik -n
Basis Data
Kriteria Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut
Analisis Data
Analisis Spasial
Peta Kesesuaian Peraian untuk Budidaya Rumput Laut
Kebutuhan Rumput Laut (Ecological Footprint/EF Rumput Laut)
Ketersediaan Ruang (Biocapacity/BC Budidaya Rumput Laut)
Analisis Ruang Ekologi Budidaya Rumput Laut EF > BC (Overshoot) atau EF < BC (Undershoot)
Keberlanjutan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka
Gambar 4 Alur Kerangka Analisis
22
3.2
Metode Penelitian Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan mempertimbangkan kondisi
wilayah penelitian, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dalam pemanfaatan sumberdaya PPK khususnya untuk budidaya rumput di Gugus Pulau Salabangka. 3.3
Metode Pengumpulan Data
3.3.1 Jenis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Untuk data primer diperoleh langsung pada lokasi penelitian melalui wawancara, pengamatan langsung dan observasi terencana (menggunakan kuisioner). Sedangkan data sekunder dilakukan melalui penelusuran kepustakaan dari jurnal dan laporan, baik yang berasal dari instansi terkait (seperti BPS, Dinas Kelautan dan Perikanan) maupun lembaga pendidikan. Jenis data dalam penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Kelompok data primer terdiri dari data oseanografi (parameter fisika- kimia) dan data sosial ekonomi, yang meliputi tempat tinggal, jenis kelamin, umur, sumber pendapatan, pengalaman dan pengeluaran, kedua data tersebut bertujuan dalam identifikasi kesesuaian ruang budidaya rumput laut,. Sedangkan data sekunder mencakup data monografi, dan laporan hasil penelitian. 3.3.2 Metode Pengambilan Data Metode pengukuran parameter fisika-kimia (Lampiran 1) perairan dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan tempat budidaya rumput laut dengan jumlah stasiun pengamatan adalah 15 buah (Gambar 4). Dalam metode ini, parameter yang dilakukan pengukuran meliputi parameter kecepatan arus, kecerahan dan kedalaman, dasar perairan/substrat, suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut (DO) dengan menggunakan pengukuran in situ. Sedangkan parameter nitrat dan fosfat dilakukan pengukuran di laboratorium. Dalam pengambilan data sosial ekonomi, responden yang menjadi contoh dalam penelitian ini adalah pembudidaya dan pengumpul rumput laut di Gugus Pulau Salabangka yaitu pembudidaya 253 orang, dan pengumpul rumput laut sejumlah 38 orang, serta
23
didasarkan pada batas administrasi desa (Gambar 5). Dengan pertimbangan kondisi pengambilan sampel bersifat homogen, maka teknik pengambilan responden menggunakan teknik acak sederhana. Tabel 1 Jenis Data dan Parameter yang diukur No 1.
Jenis Data
Parameter
Data Fisika
Data Kimia
2.
Budidaya rumput laut
-
Kedalaman (m) Kecepatan arus (cm/detik) Keterlindungan Dasar perairan Kecerahan (%) Suhu (oC) Salinitas (ppt) Derajat keasaman/pH Oksigen terlarut (mg/l) Nitrat (mg/l) Fosfat (mg/l)
-
Jumlah petani rumput laut Tenaga kerja Jenis bibit rumput laut Hasil panen (ton) dalam bentuk basah dan kering Keuntungan (Rp/orang) Luas lahan budidaya (ha) Harga jual per kg (basah dan kering) Produksi rumput laut (ton) Luas lahan (ha) Jumlah Pembudidaya (kapita) Permintaan (ton) Tempat tinggal Umur Sumber pendapatan Pengalaman Pengeluaran pembudiaya
3.
Kebutuhan Ruang Ekologis (Ecological Footprint)
4.
Sosial Ekonomi
-
–
-
Alat/Metode -
Batu Duga dan Data Sekunder Layang-layang arus (drift float), stop watch dan kompas geologi Data Sekunder Visual Secchi Disk Termometer Salinometer pH meter Titrasi Spektrofotometer (Laboratorium) Spektrofotometer (Laboratorium)
Kuisioner
12 2 °1 9 '3 0 "
12 2 °2 1 '4 0 "
12 2 °2 3 '5 0 "
12 2 °2 6 '0 0 "
G U G U S P U L A U S A B A L AN G K A K AB U P A T E N M O R O W AL I S U L AW E S I TE N G A H 2°59'20"
2°59'20" 1
0
1
2 km
S k a l a 1 : 80 . 0 0 0 Tg . L a bo P . P ad op ad o
c
Ko l o n o
D o ng k a l a
Pe t a I n d e k s 11 9
12 3
12 4
12 5
-1
b
b
Bo e t a l is e
b
b
W a ru w a ru
P . W a ru w ar u
c
-2
-2 PR OV. S UL A WE S I B AR AT
-3 -4
Ke p. S al ab an gk a
-3 LA U T BA N D A
PR OV. S ULA WE S I SE L AT AN
-4
PR OV. S UL A WE S I T ENGGA R A
TE LU K B O N E
-5
Ba k a la
-5
-6
Bu a j a n gk a
b
Pa k u Po
b
c
P. P ak u
La k o m b u lo
b
b
l Se
bc
-7
LA U T FL O RE S
11 9
12 0
12 1
12 2
12 3
12 4
12 5
12 2 ° 0 0 '
12 2 ° 2 0 '
L e g e n d a Pe t a
c
Bu n g i n ke l a
c
S ta s iu n P ar a m e t e r B io fi sik
b
S ta s iu n S o s e k G a r is pa n tai J a la n la in
Bu to n
P. K a le ro an g
b
J a la n s e t a p a k
Ja w i ja w i
3°3'40"
ka ng ba la a tS a
Ka l e ro a n g
B el uk a r D ar a t S u la w e s i Hu t an La ut P as i r /Ke r a ka l P em u k im a n
P. K a ra ntu
c
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Ko b u ru
c
Ke p. Sa l aba ng k
P ROV. SUL A WES I T E NGAH
Le m o
c
0 3°00'
LA U T M AL U K U
3°20'
b
Pa d a b a le
c
12 2 ° 2 0 '
1 PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
P . T a di n an g
P . P ad ab al e
12 2 ° 0 0 ' 2
PR OV. S UL A WE S I U TAR A
PR OV. GO R ONT ALO
3°1'30"
3°1'30"
12 2
LA U T SU LA W E SI
0 -1
Tg . K e e s a ha
c
3°3'40"
12 1
1
c
c
P . B ap a
12 0
2
Tg . L o tor e n de
3°00'
b
Tg . K a da ng a
3°20'
b
Pa d o p a d o Ka m p u h b a u
S EL A T MAK A SSA R
c
c
Te ga l/L a d a n g Su m b e r : 1. P e ta R u p a B u m i I nd o n e s i a , l e m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a le ro a n g , B A K O S U R T A N AL , ta h un 1 9 9 2 2. S u r v ey l a p a n g a n t a hu n 2 0 0 6
c
Si ng ka t an
3°5'50"
3°5'50"
P : P u la u T g : T a n ju ng
K A B U P A TE N M O R O W A L I
LA U T B A ND A
M A ' SIT A S A R I C 2 5 1 0 5 0 12 1
12 2 °1 9 '3 0 " U
PE T A LO KA S I P EN E LIT IA N
12 2 °2 1 '4 0 "
12 2 °2 3 '5 0 "
12 2 °2 6 '0 0 "
Pr o g r a m S tu d i Pe n g e l o la a n S u m b er d a y a Pe s is i r d an L a u ta n Se k o la h P ar c a s a rj a na In s titut Pe r ta n ia n B og o r B o g or 20 0 7
24
Gambar 5 Lokasi Penelitian Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-pulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah
25
3.4
Analisis Data Menurut Wilson dan Anielski (2005), ruang ekologis merupakan dampak
yang ditimbulkan dari setiap kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dalam memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur
tingkat
kemajuan
terhadap
keberlanjutan
masyarakat
dalam
pemanfaatan sumberdaya alam dengan pendekatan ecological footprint. Keberlanjutan dalam konteks ini, berarti untuk mencapai hidup yang memuaskan tanpa melampaui kapasitas regeneratif suatu lingkungan. Lebih lanjut Wackernagel menggunakan konsep ecological footprint untuk menghitung tingkat konsumsi terhadap sumberdaya, dan didasarkan pada pemikiran bahwa ketersediaan sumberdaya alam hayati (ruang) dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia, dihasilkan oleh suatu luasan bumi yang produktif secara biologis (Ludvianto 2001). Selanjutnya Adrianto (2006a) menyebutkan bahwa pendekatan ecological footprint
merupakan
suatu
konsep
daya
dukung
lingkungan
dengan
memperhatikan tingkat konsumsi populasi, dimana perbedaan kebutuhan area dengan ketersedian ecological capacity dapat menunjukkan overshoot atau undershoot terhadap pemanfaatan sumberdaya. Analisis daya dukung ruang dalam penelitian ini menggunakan pendekatan ecological footprint berdasarkan kebutuhan ruang ekologi untuk pengembangan rumput laut dimana perhitungan ecological footprint didasarkan tingkat kebutuhan rumput laut terhadap biocapacity yang didasarkan pada ketersediaan ruang yang secara ekologi mendukung budidaya rumput laut (Adrianto 2006a). 3.4.1 Analisis Kebutuhan Ruang Perairan Analisis kebutuhan ruang ini didasarkan pada tingkat kebutuhan rumput laut untuk menunjukkan area perairan dalam kegiatan budidaya (rumput laut) yang digunakan per kapita dari perhitungan terhadap populasi (pembudidaya) suatu wilayah. Model Haberl’s digunakan sebagai model dasar perhitungan ecological footprint rumput laut (Haberl et al. 2001 in Ditya 2007 ), yaitu sebagai berikut :
26
EFi =
DEi IM i EX i + − Ylok i Yreg i Ylok i
dimana EFlok =
∑ EF EqF i
Dimana : EFi EFlok DEi IMi EXi Ylok i Yreg i EqF
: Ecological Footprint rumput laut pulau ke-i (Ha/kapita) : Total Ecological Footprint (lokal) (Ha/kapita) : Tingkat Konsumsi rumput laut pulau ke-i (Ton/kapita) : Produksi rumput laut yang ”di impor” dari pulau lain (Ton/Ha) : Produksi rumput laut yang ”di ekspor” ke pulau lain (Ton/Ha) : Produktivitas rumput laut di pulau ke-i(Ton/Ha) : Produktivitas di gugus ke-i (Ton/Ha) : Equivalence Factor
3.4.2 Analisis Ketersediaan Ruang Analisis ketersedian ruang (biocapacity) ini didasarkan pada kesesuaian perairan yang mendukung budidaya rumput laut. Kesesuaian ruang perairan untuk budidaya rumput laut secara spasial menggunakan konsep evaluasi lahan. Konsep ini didasarkan pada parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang secara ekologi merupakan prasyarat kelayakan dalam budidaya rumput laut. Untuk itu digunakan teknik Sistem Informasi Geografis (SIG), guna melihat luas perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka. Dalam menentukan tingkat kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ditentukan dengan metode skoring dengan mengambil beberapa parameter dan menggunakan
teknik
tumpang
susun
(overlay)
bertingkat.
Selanjutnya
menentukan tingkat kelayakan dengan memberikan bobot pada setiap parameter yang terukur berdasarkan hasil studi pustaka dan informasi dari para pakar. Matriks kesesuaian perairan dapat dilihat pada Tabel 2. Bobot terbesar sampai terkecil diberikan berdasarkan besarnya pengaruh parameter terhadap kegiatan budidaya rumput laut. Nilai skor diperoleh dari hasil perkalian batasan nilai (setiap kategori) dan bobot, sehingga nilai skor yang diperoleh merupakan hasil kelayakan lokasi tersebut. Dalam penelitian ini kelas kesesuaian lahan/perairan dibedakan pada tiga tingkatan (FAO 1976 yang diacu oleh Hardjowigeno et.al 2001) dan didefinisikan sebagai berikut :
27
Kelas S1 :
sangat sesuai, yaitu perairan tidak mempunyai faktor pembatas yang berat atau hanya mempunyai faktor pembatas yang kurang berarti (minor) dan secara nyata tidak akan menurunkan produktivitas perairan untuk budidaya rumput laut. Nilai scoring untuk kelas S1 sebesar 3.
Kelas S2 :
sesuai, yaitu perairan mempunyai faktor pembatas yang agak berat dan akan mempengaruhi produktivitas perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut. Untuk itu, dalam pengelolaannya diperlukan tambahan masukan (input) teknologi dan tingkat perlakuan. Nilai scoring untuk kelas S2 sebesar 2.
Kelas N :
tidak sesuai, yaitu perairan mempunyai faktor pembatas yang sifatnya permanen, sehingga tidak sesuai untuk budidaya rumput laut. Nilai scoring untuk kelas N sebesar 1.
Nilai kesesuaian perairan yang diperoleh berkisar antara 0 – 300. Selanjutnya kisaran nilai ini di bagi ke dalam 3 kelas, sehingga diperoleh kisaran nilai kesesuaian sebagai berikut : •
Nilai 251 – 300 (S1) = sangat sesuai
•
Nilai 151 – 250 (S2) = sesui
•
Nilai 0 – 150
(N) = tidak sesuai
Kategori kelas kesesuaian yang digunakan untuk menghitung biocapacity meliputi kelas sangat sesuai dan kelas sesuai, dengan menggunakan rumus :
BC k = Ak EqF Keterangan :
dimana
BC lok =
∑ BC
k
Ak = Luas perairan budidaya rumput laut kategori ke - k(Ha) EqF = Equivalence Factor
28
Tabel 2 Matriks Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut No 1. 2.
Parameter Kecepatan arus (cm/detik) Terlindung dari pengaruh angin dan gelombang
Kategori dan Skor S2 Skor
Bobot (%)
S1
Skor
15
20-30
3
11-19 atau 31-45
11
Sangat terlindung
3
Terlindung
N
Skor
2
< 11 atau > 45
1
2
Tidak terlindung
1
2
< 0,1 atau > 3,5
1
2
< 0,1 atau > 3,5
1
3.
Nitrat (ppm)
5
0,9-3
3
4.
Phosphat (ppm)
5
0,02-1,0
3
5.
Kecerahan (%)
11
80 - 100
3
0,1-< 0,9 atau 3-3,5 0,01-<0,02 atau 1,02,0 60 - 79
6.
Salinitas (ppt)
8
32 – 34
3
25 – 31
2
7.
Dasar perairan
11
Karang Berpasir
3
Pasir – pasir berlumpur
8.
Derajat Keasaman/pH
5
7.5 – 8,5
3
9.
Suhu (oC)
9
29 – 31
10
DO (mg/L) Kedalaman air (m) Jumlah
5 15
11.
2
< 60 < 25 atau > 35
1
2
Lumpur
1
7,5 – 6,8
2
< 6,8
1
3
25 – 28
2
>4
3
2
3 – 30
3
2–4 1 – 3 atau 31 – 40
2
< 25 atau > 32 <2 <0,5 atau >40
100
Sumber :Sulistijo (2002), Amarullah (2007), Besweni (2002), FAO (1989) (diolah kembali).
1
1 1 1
IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1
Keadaan Umum Daerah
4.1.1 Geografis dan Topografi Wilayah Kecamatan Bungku Selatan dengan ibukota Kaleroang, terletak di Pulau Kaleroang merupakan gugusan pulau yang dikenal dengan nama kepulauan Salabangka. Berdasarkan Peta Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL Jakarta (1987) (Lampiran 2), Kepulauan Salabangka (Tabel 3) terdiri dari pulau-pulau Salabangka, pulau-pulau Umbele, dan pulau-pulau Sainoa. Wilayah penelitian dibatasi pada daerah Gugus Pulau Salabangka. Secara geografis, Kecamatan Bungku Selatan terletak pada lintang 122o18’00” BT – 122o37’00” BT dan 02o53’00” LS – 03o11’00” LS, terdiri dari 33 desa diantaranya 21 desa tersebar di kepulauan dan sisanya terletak di wilayah daratan induk. Secara administratif, Kecamatan Bungku
Selatan termasuk dalam
pemerintahan Kabupaten Morowali dengan batas-batas wilayah, sebagai berikut : 1. Sebelah Utara dengan wilayah Kecamatan Bahodopi dan Perairan Teluk Tolo 2. Sebelah Selatan dengan wilayah Kecamatan Menui Kepulauan 3. Sebelah Timur dengan Laut Banda 4. Sebelah Barat dengan wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara Kecamatan Bungku Selatan merupakan daerah dengan luas wilayah pesisir terbesar ke dua seluas 235.217 ha di Kabupaten Morowali. Dengan luas wilayah daratan adalah 81,17 % (103.178 ha) daratan induk dan 18,83 % (23.941 ha) daratan pulau-pulau kecil. Kecamatan ini mempunyai panjang garis pantai pesisir 111,90 km dan panjang garis pantai lingkar pulau 56,30 km (Anonim 2004b). Sebagian besar wilayah pesisir daratan terdiri dari pegunungan dan perbukitan yang disusun oleh batuan beku dan batu gamping kristalin, dengan ketinggian dari permukaan laut antara 4 – 9 meter. Gunung tertinggi terletak di Desa Sambalagi dengan ketinggian 700 meter. Wilayah Kecamatan Bungku Selatan memiliki tiga sungai yaitu Sungai Mata Uso terletak di Desa Buleleng dengan panjang 17 km, Sungai Torete di Torete sepanjang 18 km, dan Sungai
30
Bahonimpa di Pungkeu dengan panjang 9 km. Pada musim penghujan Sungai Mata Uso mengalirkan lumpur dan sedimen ke laut, dan ini berdampak pada perairan di sekitar Pulau Bapa menjadi keruh (BPS 2003). Bentuk pantai di daratan Kecamatan Bungku Selatan relatif lebih terjal dan sebagian wilayah terdiri dari hutan mangrove. Gugus Pulau Salabangka memiliki bentuk pantai relatif lebih datar, terbentuk dari terumbu karang dengan ketinggian rata-rata dari permukaan laut berkisar 1 – 2 meter. Tabel 3 Pulau-Pulau di Gugus Pulau Salabangka No 1.
Nama Gugus
Nama Pulau
Pulau Salabangka
Paku* Waru-waru* Pado-pado* Pulau bapa* Padabale* Tadingan Kaleroang* Karantu Manuk Jumlah
2
Pulau Umbele
Pulau Dua* Pulau Umbele* Pulau Raja Gunung Pulau Buaya Pulau Panimbawang 1* Pulau Panimbawang 2* Pulau Tukoh Bonte Pulau Boe Kocci Pulau Tukoh Kocci Pulau Tukoh Mangki Pulau Tukoh Sipegang Pulau Tokkajang Pulau Lakatamba* Jumlah
3
Pulau Sainoa
Pulau Tukoh Poadar Pulau Tukoh Dilama Pulau Tukoh Matingga Pulau Sainoa Darat* Pulau Sainoa Mandilao* Pulau Tukoh Besar Pulau Bungitende* Pulau Stagal Jumlah
Keterangan : * pulau berpenghuni (inhabits island); - tidak ada data
Luas (Ha) 10.019 1.819 1.383 780 1.572 13,67 740 118 16.445 124 3.316 181 1.948 394 5.963 522 440 126 1.088
31
4.1.2 Sosial Budaya Masyarakat Pada umumnya, masyarakat di Kecamatan Bungku Selatan berasal dari suku Bungku, Buton, Bajo dan Bugis. Kehidupan masyarakat, baik secara ekonomi dan sosial cukup baik, mereka hidup bersama-sama dan saling bekerja sama. Secara umum, mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Bungku Selatan sebagai nelayan. Berdasarkan Data BPS 2003, penduduk yang bekerja sesuai jenis lapangan kerja yang tersedia di Kecamatan Bungku Selatan meliputi nelayan, petani, pegawai, pedagang, industri, jasa, angkutan dan lain-lain, seperti di tunjukkan pada pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis Lapangan Kerja Kecamatan Bungku Selatan No
Jenis Lapangan Kerja
1 2 3 4 5 6 7 8
Nelayan Petani Pegawai Pedagang Industri Jasa Angkutan Lain-lain Jumlah
Jumlah (jiwa) 1.967 1.084 181 226 124 249 20 306 4.157
Persentase (%) 47,32 26,08 4,35 5,44 2,98 5,99 0,48 7,36 100
Sumber : Kecamatan Bungku Selatan dalam Angka 2003 (Diolah)
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Kecamatan Bungku Selatan bermata pencaharian sebagai nelayan, terutama masyarakat yang bermukim pada pulau-pulau dimana sebagian besar aktivitasnya berhubungan dengan lingkungan perairan seperti penangkapan ikan, budidaya rumput laut/ikan/teripang, transportasi dan lain-lain. Sebagian besar masyarakat di Gugus Pulau Salabangka (sekitar 98 %) adalah nelayan, baik nelayan penangkap ikan maupun nelayan pengumpul, dengan alat tangkap yang digunakan adalah pancing, pukat, alat tangkap bubu, dan sero. Adapun kegiatan ekonomi lain yang dilakukan selain menangkap ikan adalah budidaya rumput laut. Pada umumnya, masyarakat bekerja sebagai petani, pedagang, bergerak dalam bidang jasa dan angkutan laut memiliki pekerjaan sampingan sebagai nelayan atau sebagai pembudidaya rumput laut. Terdapat 28 % memiliki pekerjaan utama sebagai pembudidaya rumput laut, dan 26 % sebagai pekerjaan
32
sampingan (budidaya rumput laut). Masyarakat menyadari bahwa budidaya rumput laut dapat menjadi mata pencaharian alternatif dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup. Dengan adanya pengembangan budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka, masyarakat mulai menyadari pentingnya menjaga keberadaan ekosistem, hal ini dapat dilihat semakin rendahnya penggunaan bom dan pembiusan dalam penangkapan ikan karang. 4.2
Keadaan Umum Iklim dan Cuaca Secara umum, Kabupaten Morowali memiliki dua musim dan dipengaruhi
oleh angin monsoon, terdiri dari angin musim Utara (Oktober – April), dan angin musim Selatan (Mei – September). Kecepatan angin berkisar antara 1 – 2 knot per jam dan kecepatan maksimum per tahun antara 15 – 17 knot per jam. Temperatur udara rata-rata adalah 27,50 oC dengan variasi 25,80 oC pada bulan Agustus dan 28,40 oC pada bulan April. Kelembaban udara rata-rata per tahun sebesar 86,6 % dimana kelembaban udara setiap bulan berkisar antara 82,14 oC sampai dengan 90,37 oC. Dalam setahun, lamanya penyinaran matahari rata-rata adalah 44,80 % dengan nilai maksimum mencapai 70% dan nilai minimum sebesar 13,50%. Karena letaknya berdekatan dengan daratan induk, maka pola musim kepulauan Salabangka hampir mengikuti pola musim daratan induk (Anonim 2001). Kabupaten Morowali memiliki dua musim tetap yaitu musim panas terjadi pada bulan April – September dan musim hujan terjadi pada bulan Oktober – Maret. Curah hujan rata-rata berkisar 130 mm dengan variasi antara 50 mm sampai dengan 1.000 mm. Demikian pula dengan Kepulauan Salabangka, tetapi pada musim panas kadang-kadang juga terdapat hujan dengan jumlah hari hujan antara 2 – 7 hari per bulan. Sedangkan musim hujan terjadi antara bulan Oktober – Februari dengan hari hujan antara 12 – 21 hari per bulan. Dalam peralihan dari musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya, kondisi ini sering disebut dengan musim pancaroba. Musim pancaroba terjadi pada bulan Maret – Mei (akhir musim hujan memasuki musim panas) dan bulan September – November (akhir musim panas memasuki musim hujan), pada musim ini kondisi iklim dan
33
kondisi perairan tidak stabil. Pada bulan Maret sampai Mei intensitas curah hujan sangat sedikit dan biasanya terjadi pada siang hari, sedangkan bulan September sampai November intensitas curah hujan sedikit terjadi pada malam hari (Anonim 2001). Berdasarkan hasil wawancara dan pola sebaran arus perairan Laut Banda (Lampiran 3) menggambarkan bahwa kegiatan budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka dilakukan pada bulan Maret sampai bulan November. Pada musim pancaroba bulan Maret – bulan Mei, umumnya wilayah perairan untuk budidaya rumput laut terletak pada bagian utara Gugus Pulau Salabangka, dan pada beberapa tempat di bagian Selatan (perairan Pulau Bapa, perairan Pulau Waru-waru dan Perairan Karantu). Pada bulan Juni sampai bulan Oktober sebagian besar wilayah perairan dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut. Sedangkan pada bulan November – Februari, kondisi perairan kurang mendukung untuk budidaya rumput laut seperti adanya bercak-bercak putih atau sering disebut penyakit ice-ice pada rumput laut dan hanyutnya tanaman rumput laut akibat gelombang, khususnya pada wilayah bagian utara Pulau Paku. 4.3
Kondisi Oseanografi Perairan
4.3.1 Gelombang Gelombang laut di perairan Kepulauan Salabangka dipengaruhi oleh musim. Pada musim barat gelombang cenderung lebih besar, sedangkan gelombang cenderung lebih kecil pada musim timur. Periode ombak berkisar antara 0,20-0,73 detik dengan panjang gelombang berisar antara 0,0451 – 0,831 m dan arah ombak berkisar antara 55o – 320o atau miring terhadap garis normal pantai (Anonim 2001). Gelombang merupakan salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap transportasi nutrien, pertukaran gas dan pengadukan air. Pada umumnya gelombang atau ombak terjadi karena adanya dorongan angin di atas permukaan laut dan terjadinya tekanan antara udara dan partikel air. Berdasarkan data Potensi Kelautan Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah menyebutkan bahwa tinggi ombak perairan Gugus Pulau Salabangka berkisar antara 5 – 15 cm. Nilai gelombang yang terukur lebih rendah dibandingkan gelombang yang terukur di
34
Biak Numfor Papua dengan kisaran 1,12 -1,21 m (Soselisa 2006 in Amarullah 2007) dan gelombang yang terukur di Teluk Tamiang dengan kisaran 15 – 40 cm (Amarullah 2007). Menurut Wahyunigrum (2001) in Amarullah (2007) menyebutkan bahwa ketinggian gelombang hingga mencapai 1 meter masih baik untuk budidaya rumput laut terutama dengan metode apung, selain itu ketinggian gelombang akan mempengaruhi pertambahan tali pelampung dan kekuatan konstruksi budidaya. 4.3.2 Pasang Surut Berdasarkan data Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL Jakarta untuk wilayah perairan Kabupaten Morowali diperoleh kisaran rata-rata pasang surut 144 cm, dimana nilai surut terendah sebesar 68 cm dan pasang tertinggi sebesar 212 cm Berdasarkan pengamatan fluaktuasi pasang surut pantai Kabupaten Morowali dan data dari DISHIDROS-AL menunjukkan bahwa tipe pasang surut perairan Kabupaten Morowali cenderung bertipe campuran condong ke harian ganda (Anonim 2001). Menurut Aslan (1998) in Amarullah (2007) menyebutkan bahwa kedalaman perairan tidak boleh kurang dari 60 cm pada saat surut terendah sebab bila tidak demikian tanaman akan kekeringan pada saat air surut terendah dan akan mempersulit baik saat penanaman, pemeliharaan maupun pemanenan hasil. 4.3.3 Kecepatan Arus Kecepatan arus merupakan salah satu faktor penting mempengaruhi pertumbuhan rumput laut, secara tidak langsung mencegah peningkatan pH yang signifikan dan kenaikan temperatur serta berperan dalam pertukaran gas pada kolom air. Kecepatan arus di lokasi penelitian rata-rata berkisar antara 6,80 cm/dtk – 17,71 cm/dtk dan arah arus berkisar antara nilai 15o – 350o, kecepatan arus tertinggi 17,71 cm/dtk berada pada bagian timur-selatan Gugus Pulau Salabangka dan terendah 6,80 cm/dtk di daerah selatan-barat gugus. Peta sebaran kecepatan arus dapat dilihat pada Gambar 6.
35
Secara umum, kecepatan arus Gugus Pulau Salabangka terkategorikan sesuai untuk budidaya rumput laut, bila mengacu kepada Apriyana (2006) in Kamlasi (2008) kecepatan arus untuk budidaya Eucheuma spinosum di perairan Kecamatan Bluto adalah 13-39 cm/det. Kadi dan Atmadja (1988); Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2004) menyebutkan bahwa kecepatan arus yang baik untuk budidaya Eucheuma adalah 20-40 cm/detik. Menurut Mubarak (1981) menyatakan bahwa adanya arus air yang baik dapat menjamin tersedianya makanan yang tetap bagi rumput laut. Meskipun demikian, berdasarkan FAO (1989) bahwa suatu lokasi budidaya rumput laut dapat memiliki kecepatan arus/gerakan air lebih rendah 10 cm/detik dan memiliki nutrient yang tinggi (Lampiran 3 dan 4). Karena lokasi budidaya rumput laut dengan kekurangan nutrient akan membutuhkan arus yang lebih cepat, dimana kecepatan arus yang mendukung untuk pertumbuhan rumput laut tidak melebihi 30 cm/detik.
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0" GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H
2°59'20"
2°59'20"
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000 Tg . L a bo P. P ad op ad o
Ko l o n o
Peta I n d eks 11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1 PR O V . SU L A WE SI T EN G A H LA U T MAL U K U
-1
Pa d a b a le
-1
S EL AT MAKA SSA R
-4
Ke p. S al ab an gk a
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
-6
Pa k u Po
W a ru w a ru
LA U T FL O RE S
11 9
P. P aku
La k o m b u lo
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
Bu a j a n gk a -7 12 0
12 1
12 2
12 3
-7 12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u
5
Ko b u ru
-
G aris pa n tai
10
Jala n lain Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
tS la Se
Se b a r a n A ru s ( cm /s ) 5 - 10 10 - 1 5
Ka l e ro a n g Bu to n
P. K a lero an g
Bel uk ar
3°3'40"
a ab al
Ja w i ja w i
Dar at S u law e si Hu t an La ut P em u kim an
-
a
10
k ng
3°3'40"
-3 LA U T BA N D A
-5
Bo e ta l is e
Ke p. Sa l aba ng ka
-2 P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
Ba k a la Le m o
0
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
3°20'
3°1'30"
3°1'30"
P. T a din an g
3°00'
P. B ap a
P. P ad ab ale
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA P ROV. GO RONT ALO
0
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 ' 2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
5 1 P. K a ra ntu
15 - 2 0 20 - 2 5 25 - 3 0 30 - 3 5
Te ga l/L ad an g
Su m b e r : 1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2 2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
5
P : P u la u Tg : T a n ju ng
15
-
2
25
0
-
3
20
0
-
2
LA U T B A N D A
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
M A'S I TA S AR I C 2 510 501 21
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
U
P E TA S E B A R A N K E C E P A TA N A RU S
36
Gambar 6 Peta Sebaran Kecepatan Arus
P ro gr a m S t ud i P en g elo laa n S u mb e rda ya P esis ir d an L au t an S eko la h P asc asa rjan a Ins ti tu t P ert an ian B o g or Bo g or 2007
37
4.3.4 Kecerahan dan Kedalaman Perairan Kecerahan air merupakan ukuran kejernihan suatu perairan. Kecerahan perairan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya yang masuk kedalam kolom air. Kecerahan perairan yang ideal untuk kegiatan budidaya rumput laut adalah lebih dari 1 m. Semakin tinggi nilai kecerahan maka semakin dalam penetrasi cahaya matahari yang memasuki perairan dan dapat membantu dalam proses fotosintesis. Kecerahan perairan pada lokasi penelitian adalah 100%. Peta sebaran kecerahan dapat dilihat pada Gambar 7, memperlihatkan bahwa perairan Gugus Pulau Salabangka memiliki tingkat kecerahan yang sesuai untuk budidaya rumput laut dengan nilai kedalaman optimum 15 m dan memiliki dasar perairan dengan substrat berpasir/kerakal (Gambar 8). Menurut Sulistijo dan Atmadja (1996) bahwa kecerahan yang baik untuk kegiatan budidaya rumput laut berkisar 0,60 m – 5 m atau dapat lebih. Kedalaman perairan mempunyai hubungan yang erat terhadap penetrasi cahaya, stratifikasi suhu vertikal, densitas dan kandungan oksigen serta zat-zat hara. Semakin bertambah kedalaman maka penetrasi cahaya akan semakin berkurang. Dalam kegiatan budidaya rumput laut, pengukuran kedalaman dilakukan pada saat surut terendah. Kisaran nilai kedalaman rata-rata pada lokasi penelitian antara 2,47 m – 14,20 m (Gambar 9). Variasi kedalaman dipengaruhi topografi pantai, hal tersebut berhubungan dengan metode yang digunakan dalam budidaya rumput laut. Kedalaman terendah pada Gugus Pulau Salabangka antara 0 – 5 m dan perairan yang sering digunakan untuk budidaya adalah gobah. Secara umum, perairan Gugus Pulau Salabangka memiliki kedalaman yang sesuai dalam budidaya rumput laut dengan menggunakan metode rawai. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2004) bahwa kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Euceheuma spp adalah 5 – 20 m dengan menggunakan metode rawai (long line). Hal ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari.
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
<
2°59'20"
10
2°59'20"
0
10
0
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000 Tg . L a bo P. P ad op ad o
10
0
P eta I n d e ks 11 9
12 0
12 1
2
Pa d o p a d o
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1 PR O V . SU L A WE SI T EN G A H LA U T MAL U K U
-4
Ke p. S al ab an gk a
-3 LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
-5
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
Ba k a la
P. P ad ab ale
Le m o
Bo e ta l is e
-6
Bu a j a n gk a
Po
W a ru w a ru
-6
-7
Pa k u
LA U T FL O RE S
11 9
P. P aku
La k o m b u lo
12 0
12 1
12 2
12 3
-7 12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u Ko b u ru
G aris pa n tai Jala n lain
Bu n g i n ke l a
Se a gk an ab al tS la
Se b a r a n K e c er a h a n (% )
Jala n set ap ak
10 0
Bel uk ar Dar at S u law e si Hu t an
< 10 0
Ka l e ro a n g Bu to n
P. K a lero an g Ja w i ja w i
3°3'40"
3°3'40"
Ke p. Sa l aba ng ka
-2 P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
S EL AT MAKA SSAR
3°1'30"
-1 PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
3°20'
3°1'30"
P. T a din an g
0 3°00'
-1
P. B ap a
Pa d a b a le
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA P ROV. GO RONT ALO
0
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 ' 2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Ko l o n o
3°20'
D o ng k a l a
La ut P em u kim an
100
P. K a ra ntu
Te ga l/L ad an g
Su m b e r : 1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2 2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6 Sin g ka t an
3°5'50"
3°5'50"
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
U
PET A S EB AR A N K EC E R AH AN
Pr o g r a m S tu d i Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n Se k o la h P as c a s a rja n a In s titu t Pe r ta n ia n B o g or B o g or 20 0 7
38
Gambar 7 Peta Sebaran Kecerahan
122 °2 6'0 0"
12 2 °19 '3 0 "
12 2 °21 '4 0 "
122 °2 3'5 0"
12 2 °2 6'0 0"
G U GU S P U L A U SA B A L AN G K A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H 2°59'2 0"
2°59'20" 1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000 Tg . L a bo P. P ad op ad o
Ko l o n o
P eta I n d e ks 11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1 PR O V . SU L A WE SI T EN G A H LA U T MAL U K U
-1
-1
Ke p. Sa l aba ng ka
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2 P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3 -4
Ke p. S al ab an gk a
-3 LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
-5
3°20'
Pa d a b a le
-2 S EL AT MAKA SSAR
P. T a din an g
3°1'30"
3°1'30"
0 3°00'
P. B ap a
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
Ba k a la
P. P ad ab ale
Bo e ta l is e
Le m o
-6
Bu a j a n gk a
-6
-7
LA U T FL O RE S
11 9
Pa k u Po
W a ru w a ru
12 0
12 1
12 2
12 3
-7 12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P. P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u
G aris pa n tai Jala n lain
Ko b u ru Bu n g i n ke l a
a gk an ab al tS la Se
Jala n set ap ak
Ka l e ro a n g
Bel uk ar Dar at S u law e si Hu t an
Bu to n
P. K a lero an g Ja w i ja w i
3°3'40"
3°3'40"
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA P ROV. GO RONT ALO
0
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 ' 2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
Se b a r a n Su b s tr a t Pa s ir d an Pe c a h a n K ar a ng La ut
La ut P asi r/Ke raka l P em u kim an
P. K a ra ntu
Te ga l/L ad an g
Su m b e r : 1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2 2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6 Sin g ka t an P : P u la u Tg : T a n ju ng
3°5'50"
3°5'50"
K A B U P A TE N M O R O W A L I
L A U T B A ND A
MA ' SIT A S A R I C 2 5 1 0 5 0 12 1
12 2 °19 '3 0 "
12 2 °21 '4 0 "
122 °2 3'5 0"
U
P E T A S E B A R A N S U B S TR A T
Pr o g r a m S tu d i Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n Se k o la h P as c a s a rja n a In s titu t Pe r ta n ia n B o g or B o g or 20 0 7
39
Gambar 8 Peta Sebaran Substrat
12 2 °2 6'0 0"
122 °1 9'3 0"
122 °2 6'0 0"
20 - 5 0
>
5 - 10
1
0
10 -
20
- 10 0
> 100
> 10 0
50
2°59'20"
10 5 -
5 - 10
2°59'20"
122 °2 3'5 0"
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H 10 0
50 02
122 °2 1'4 0"
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
Tg . L a bo P. P ad op ad o
P eta I n d e ks
20 10 -
Ko l o n o
11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1 PR O V . SU L A WE SI T EN G A H LA U T MAL U K U
10 - 20
Ba k a la
P. P ad ab ale
Le m o
Bo e ta l is e
-4
Ke p. S al ab an gk a
-3 LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
-6
Bu a j a n gk a
20
Pa k u
P. P aku
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
-5 0
Ke p. Sa l aba ng ka
-2 S EL AT MAKA SSA R
> 100
3°1'30"
-1
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
-5
Pa d a b a le -1 0
0
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
3°20'
3°1'30"
P. T a din an g
3°00'
-1
5
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA P ROV. GO RONT ALO
0
P. B ap a Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 ' 2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
LA U T FL O RE S
11 9
12 0
12 1
12 2
12 3
-7 12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
5 -1 0
W a ru w a ru
La k o m b u lo
510
P. W a ru w ar u
Le ge n da P eta Ko b u ru
50 - 10 0
> 10 0
G aris pa n tai
10 - 20
Po
Bu n g i n ke l a
Se
Jala n lain Jala n set ap ak
10 - 2 0 20 - 5 0
Hu t an La ut P em u kim an
P. K a ra ntu
50 - 1 0 0 > 10 0
Te ga l/L ad an g
Su m b e r : 1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2 2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
10 - 20
5-
Dar at S u law e si
3°3'40"
Ja w i ja w i
a gk
3°3'40"
an ab al tS la
Bel uk ar
Bu to n
P. K a lero an g
0
1- 5 5 - 10
Ka l e ro a n g
0 -1 50
K ed ala m a n P e r air a n (m )
10
-5
3°5'50"
5 - 10
1
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u Tg : T a n ju ng
10 -2
MA ' SIT A S A R I C 2 5 1 0 5 0 12 1
0
1 - 5
122 °1 9'3 0"
50 - 10 0
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
U
PET A S EB AR A N K ED A LAM AN
Pr o g r a m S tu d i Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n Se k o la h P as c a s a rja n a In s titu t Pe r ta n ia n B o g or B o g or 20 0 7
40
Gambar 9 Peta Sebaran Kedalaman
122 °2 6'0 0"
41
4.3.5 Keterlindungan Dalam pemilihan lokasi budidaya rumput laut, faktor keterlindungan perlu pertimbangan. Hal ini untuk menghindari kerusakan sarana budidaya dan tumbuhan rumput laut dari pengaruh angin dan gelombang yang besar. Gugus Pulau Salabangka merupakan daerah terbuka dan terlindung dari pengaruh gelombang dan arus, serta pengaruh angin (Gambar 10). Daerah terbuka terdapat pada bagian utara hingga tenggara gugus ini, sedangkan bagian selatan hingga barat terkategorikan agak terlindung sampai terlindung. Pada daerah terbuka kecepatan arus permukaan cenderung lebih besar disebabkan oleh angin dan gelombang dari Laut Banda, selain itu daerah ini memiliki tumbuhan karang keras yang mengindikasikan wilayah ini mendapat pengaruh gelombang yang lebih besar, sehingga cenderung mengakibatkan rusaknya unit-unit rumput laut. Sedangkan pada daerah agak terlindung dan daerah terlindung dicirikan dengan dasar perairan berpasir kasar hingga berpasir halus. Daerah agak terlindung hingga
terlindung
disebabkan
adanya
pulau-pulau
Salabangka
sebagai
penghalang. Berdasarkan musim keterlindungan wilayah perairan sedikit berbeda dimana pada musim barat arus Laut Banda dari arah utara timur laut memasuki perairan Gugus Pulau Salabangka dengan kecepatan berkisar antara 12 – 25 cm/dtk, pada musim ini wilayah perairan terlindung dari pengaruh arus yang besar atau mendukung untuk budidaya rumput laut. Sedangkan pada musim timur, arus dari Laut Banda cenderung lebih besar diatas 25 cm/dtk, sehingga bagian utara Gugus Pulau Salabangka cenderung agak terlindung hingga terbuka dari pengaruh arus, sebaliknya pada daerah bagian selatan (Lampiran 3). Pada musim timur wilayah perairan bagian timur cukup sesuai untuk budidaya rumput laut, bila dibandingkan wilayah perairan bagian selatan (sesuai untuk budidaya rumput laut) (Wyritki 1961). Menurut Sulistijo (2002) bahwa lokasi budidaya harus terlindung dari hempasan ombak yang keras dan angin yang kuat, biasanya dibagian depan dari rataan lokasi budidaya mempunyai karang penghalang ataupun gosong yang dapat meredam kekuatan ombak.
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0" GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H
2°59'20"
2°59'20"
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000 Tg . L a bo P. P ad op ad o
P eta I n d e ks
Ko l o n o
11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1 PR O V . SU L A WE SI T EN G A H LA U T MAL U K U
Ba k a la Le m o
Bo e ta l is e
S EL AT MAKA SSA R
-4
Ke p. S al ab an gk a
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
LA U T FL O RE S
11 9
W a ru w a ru
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u Po
12 0
12 1
12 2
12 3
-7 12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P. P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u Ko b u ru
G aris pa n tai Jala n lain Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
Se an ab al tS la
K et e rlind u ng a n T e rb u k a Aga k T e r lind u n g
Ka l e ro a n g
Bel uk ar
Bu to n
P. K a lero an g
Dar at S u law e si
3°3'40"
Ja w i ja w i
a gk
3°3'40"
-3 LA U T BA N D A
-6
Bu a j a n gk a
Ke p. Sa l aba ng ka
-2 P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
3°20'
3°1'30"
3°1'30"
-1 PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
-5
Pa d a b a le
0 3°00'
-1
P. T a din an g
P. P ad ab ale
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA P ROV. GO RONT ALO
0
P. B ap a Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 ' 2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
T e rlind u ng
Hu t an La ut P em u kim an
P. K a ra ntu
Te ga l/L ad an g
Su m b e r : 1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2 2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
U
P E T A D A E R A H K E T E R L IN D U N G A N
42
Gambar 10 Peta Sebaran Keterlindungan
Pr o g r a m S tu d i Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n Se k o la h P as c a s a rja n a In s titu t Pe r ta n ia n B o g or B o g or 20 0 7
43
4.3.6 Suhu Kisaran suhu sangat spesifik dalam pertumbuhan rumput laut, disebabkan adanya enzim pada rumput laut yang tidak berfungsi pada suhu yang terlalu dingin maupun terlalu panas (Dawes 1981 in Amiluddin 2007). Suhu perairan yang tinggi dapat menyebabkan kematian pada rumput laut seperti dalam proses fotosintesis, kerusakan enzim dan membran sel yang bersifat labil. Sedangkan pada suhu rendah, membran protein dan lemak dapat mengalami kerusakan sebagai akibat terbentuknya kristal di dalam sel, sehingga mempengaruhi kehidupan rumput laut (Luning 1990). Gugus Pulau Salabangka memiliki kisaran suhu rata-rata antara 29,33 – 30,67 oC. Dari peta sebaran suhu (Gambar 11) menggambarkan bahwa daerah dekat pantai memiliki suhu lebih tinggi dan semakin dekat daerah daratan induk suhu semakin rendah, utamanya bagian selatan selatan Gugus Pulau Salabangka. Fluktuasi suhu terjadi pada musim pancaroba diakibatkan kondisi cuaca terhadap perairan. Dengan demikian, kegiatan budidaya rumput laut dapat berlangsung pada wilayah Gugus Pulau Salabangka. Kisaran suhu untuk pertumbuhan rumput laut antara 20 – 30 oC, dimana daerah tersebut dibatasi antara satu kisaran pasang surut yang rendah dan dikelilingi terumbu karang atau daerah tersebut tidak mengalami kekeringan saat pasang surut ekstrim yang terjadi penuh atau pada bulan baru (FAO 1989).
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
2°59'20"
2°59'20"
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H
30 . 0 - 3 0 .5
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
31 .0
- 3 1. 5
Tg . L a bo P. P ad op ad o
Peta I n d e ks
Ko l o n o
11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1 PR O V . SU L A WE SI T EN G A H LA U T MAL U K U
-4
Ke p. S al ab an gk a
Ba k a la Bo e ta l is e
Le m o
-5
W a ru w a ru
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
LA U T FL O RE S
11 9
12 0
12 1
12 2
12 3
-7 12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P. P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u Ko b u ru
G aris pa n tai Jala n lain Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
t la Se
Se ba r a n Su hu ( 0 C ) 32 .5 - 3 3 .0 32 - 3 2 .5
Ka l e ro a n g
Bel uk ar Dar at S u law e si
Bu to n
P. K a lero an g
3°3'40"
Ja w i ja w i
Hu t an
31 .0 - 3 1 .5
La ut P em u kim an
30 .5 - 3 1 .0
Te ga l/L ad an g
29 .5 - 3 0 .0
30 .0 - 3 0 .5
5
LA U T B A N D A
- 32 .5
Sin g ka t an
32
KA B U P AT E N M O R O W AL I
31 .5 - 3 2 .0
Su m b e r : 1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2 2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
3°5'50"
31. 5 -3 2.0
3 0.5
- 31 .0
.0 30
P. K a ra ntu
3 1. 0 -3 1.
a
.5 29
k ng ba la Sa
3°3'40"
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-6
Bu a j a n gk a Pa k u
Po
3°5'50"
-3 LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-5
Pa d a b a le
Ke p. Sa l aba ng ka
-2 P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
S EL AT MAKA SSAR
3°1'30"
-1 PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
3°20'
3°1'30"
30 . 5 - 3 1 .0
0 3°00'
-1
P. T a din an g
P. P ad ab ale
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA
P ROV. GO RONT ALO
0
P. B ap a Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 ' 2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
P : P u la u Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
U
P E T A S E B A R A N S U H U P E R A IR A N
Pr o g r a m S tu d i Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n Se k o la h P as c a s a rja n a In s titu t Pe r ta n ia n B o g or B o g or 20 0 7
44
Gambar 11 Peta Sebaran Suhu
122 °2 6'0 0"
45
4.3.7 Salinitas Nilai kisaran salinitas rata-rata pada lokasi studi antara 28,67 – 31,00 ppt, kisaran ini tergolong normal untuk perairan di Indonesia yang mendukung kehidupan biota perairan dan masih memenuhi syarat untuk pertumbuhan rumput laut. Nilai terendah (28,67 ppt) yang terdapat pada lokasi studi disebabkan daerah tersebut
merupakan
jalur transportasi
sehingga
adanya
pergerakan
air
menghambat peningkatan suhu permukaan air yang dapat mempengaruhi nilai salinitas, dan adanya pengaruh aliran sungai terutama lokasi budidaya yang letaknya berhadapan dengan daratan induk (bagian barat daya Gugus Pulau Salabangka meliputi Pulau Pado-pado dan Pulau Bapa) atau terletak pada perairan Selat Salabangka, serta variasi intensitas curah hujan baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Peta sebaran salinitas disajikan pada Gambar 12. Menurut Sulistijo (2002) bahwa batas nilai salinitas terendah yang masih dapat ditolerir untuk kehidupan rumput laut jenis Eucheuma sp. pada salinitas 28 o
/oo. Eucheuma sp. merupakan rumput laut yang bersifat stenohalin dimana jenis
ini tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi dan kisaran salinitas yang mendukung pertumbuhan rumput laut 28 – 35 ppt. Doty (1987) menyebutkan salinitas yang mendukung petumbuhan Eucheuma alvarezzi berkisar antara 29 – 34 ppt, sedangkan menurut Kadi dan Atmadja (1988) bahwa kisaran salinitas yang dihendaki jenis ini 34 – 37 ppt. Penelitian yang dilakukan oleh Iksan (2005) di Maluku Utara menunjukkan kisaran salinitas 31 – 35 ppt. Berdasarkan hal tersebut, maka salinitas perairan Gugus Pulau Salabangka dapat dikatakan berada dalam batas yang layak untuk pertumbuhan rumput laut. Hal ini didukung oleh Wyrtki (1961) menyebutkan bahwa variasi kisaran salinitas perairan Laut Banda antara lebih kecil atau lebih besar 1,4 o/oo dimana pada musim barat rata-rata salinits permukaan ~ 33,7 o/oo, sedangkan pada musim timur 34 o/oo. Menurut Wyrtki (1961) in Bengen dan Retraubun (2006) menyebutkan fluaktuasi salinitas dipengaruhi angin muson dan masukan dari sungai. Nilai salinitas tinggi terjadi pada saat musim kemarau, sedangkan pada musim hujan nilai salinitas lebih rendah. Sedangkan fluktuasi nilai salinitas pada musim pancaroba bervariasi dipengaruhi oleh tinggi rendah curah hujan yang terjadi.
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0" GU GU S P U L A U S A B A L AN GK A K AB U PA T E N M O R O W AL I S U L AW E S I TE N G A H
-2 9
- 28
30 - 31
28
27
2°59'20"
2°59'20"
29
- 30
31
- 32
122 °1 9'3 0"
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
Tg . L a bo
Ko l o n o
P eta I n d e ks 11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
12 2
12 3
12 4
12 5
1 PR O V . SU L A WE SI T EN G A H LA U T MAL U K U
Ba k a la Bo e ta l is e
Le m o
S EL AT MAKA SSAR
-4
Ke p. S al ab an gk a
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
LA U T FL O RE S
11 9
Po
W a ru w a ru
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u
12 0
12 1
12 2
12 3
-7 12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P . P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P . W a ru w ar u Ko b u ru
G aris pa n tai Jala n lain Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
Se tS la
Ka l e ro a n g
Bel uk ar Dar at S u law e si
Bu to n
P . K a lero an g
gk an ab al
3°3'40"
Ja w i ja w i
Hu t an La ut P em u kim an
a
3°3'40"
-3 LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-6
Bu a j a n gk a
Ke p. Sa l aba ng ka
-2 P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
3°20'
3°1'30"
3°1'30"
-1 PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
-5
Pa d a b a le
0 3°00'
-1
P . T a din an g
P . P ad ab ale
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA P ROV. GO RONT ALO
0
P . B ap a Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 ' 2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o Ka m p u h b a u
3°20'
D o ng k a l a
32 - 33
P. P ad op ad o
P . K a ra ntu
Te ga l/L ad an g
Se b a r a n Sa lin it as ( p p m ) 33 - 3 4 32 - 3 3 31 - 3 2 30 - 3 1 29 - 3 0 28 - 2 9 27 - 2 8
Su m b e r : 1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2 2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
K A B U P A T E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
U
P E T A S E B A R A N S A L IN IT A S
Pr o g r a m S tu d i Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n Se k o la h P as c a s a rja n a In s titu t Pe r ta n ia n B o g or B o g or 20 0 7
46
Gambar 12 Peta Sebaran Salinitas
122 °2 6'0 0"
47
4.3.8 Derajat Keasaman/pH Salah satu faktor penting dalam kehidupan rumput laut, selain faktor-faktor lingkungan lainnya adalah pH. Pada setiap organisme laut akan mempunyai toleransi yang berbeda terhadap pH, demikian halnya dengan rumput laut. Kisaran rata-rata nilai pH pada lokasi studi antara 7,97 – 8,30 (Gambar 13). Nilai tersebut masih normal untuk mendukung kehidupan rumput laut. Menurut Chapman (1962) in Amiluddin (2007) hampir semua alga dapat hidup pada kisaran pH 6,8 – 9,6, sehingga pH tidak menjadi masalah bagi pertumbuhannya . Pada lokasi penelitian perubahan nilai pH relatif stabil dan berada pada kisaran yang mampu ditolerir oleh rumput laut. Hal ini disebabkan antara lain bahwa sumber bahan pencemar relatif lebih sedikit (berasal dari limbah domestik), tidak ada industiri sebagai penyumbang terbesar terhadap perubahan pH, dan adanya sirkulasi/pergerakan air yang baik. Menurut Kadi dan Atmadja (1988) in Sirajuddin (2009) nilai pH yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp. berkisar antara 7 – 9 dengan kisaran optimun 7,9 – 8,3. Lebih lanjut Luning (1990) menyebutkan bahwa peningkatan nilai pH akan mempengaruhi kehidupan rumput laut dan kecenderungan perairan memiliki tingkat keasaman yang tinggi disebabkan masuknya limbah organik dalam jumlah besar.
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
05 8.
05
.2 - 8
0
7.
90
-
8.
2°59'20"
2°59'20"
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000 Tg . L a bo P. P ad op ad o
P eta I n d e ks
Ko l o n o
11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
12 5
LA U T MAL U K U
-1
-4
Ke p. S al ab an gk a
-3 LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
-5
LA U T FL O RE S
11 9
W a ru w a ru
P. P aku
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u
PPo o
3°20'
TE LU K B O N E
-6
Bu a j a n gk a
Ke p. Sa l aba ng ka
-2 P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
-5
Ba k a la Bo e ta l is e
Le m o
0
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2 S EL A T MAK ASSA R
P. T a din an g
Pa d a b a le
12 2 °2 0 '
1
-1
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 ' 2
3°00'
7.7 5 -7 .90
12 4
PROV. S ULA WE S I U T ARA
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
3°1'30"
3°1'30"
12 3
P ROV. GO RONT ALO
0
P. B ap a
P. P ad ab ale
12 0
12 1
12 2
12 3
-7 12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
8. 2 0 - 8 .3 5
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u Ko b u ru
G aris pa n tai Jala n lain Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
a gk an ab al tS la Se
Se ba r a n p H 8.2 0 - 8 .3 5 8.0 5 - 8 .2 0
Ka l e ro a n g
Bel uk ar
Bu to n
P. K a lero an g
Dar at S u law e si Hu t an
3°3'40"
3°3'40"
12 2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o Ka m p u h b a u
3°20'
D o ng k a l a
Ja w i ja w i
7.9 0 - 8 .0 5 7.7 5 - 7 .9 0
La ut P em u kim an Te ga l/L ad an g
P. K a ra ntu
Su m b e r : 1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2 2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
U
PET A S EB AR A N pH
Pr o g r a m S tu d i Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n Se k o la h P as c a s a rja n a In s titu t Pe r ta n ia n B o g or B o g or 20 0 7
48
Gambar 13 Peta Sebaran pH
122 °2 6'0 0"
49
4.3.9 Oksigen Terlarut (DO) Oksigen merupakan bagian penting dalam proses reaksi kimia dan biologi terutama pada lingkungan perairan. Senyawa ini dihasilkan oleh tumbuhan air sangat diperlukan untuk kelanjutan kehidupan biota perairan karena sangat diperlukan baik hewan dan tanaman air termasuk bakteri untuk respirasi. Nilai rata-rata kisaran oksigen terlarut pada lokasi studi antara 4,83 – 6,35 mg/l. Nilai tesebut dapat dikatakan sesuai untuk pertumbuhan rumput laut. Peta sebaran DO dapat dilihat pada Gambar 14, karena Gugus Pulau Salabangka mendapat pengaruh gelombang dan arus yang berasal dari Laut Banda, sehingga penurunan kandungan oksigen dibawah normal jarang terjadi pada daerah ini. Menurut Mubarak et al. (1990) bahwa sebagai tumbuhan, dalam jaringan rumput laut terjadi proses fotosintesis dan respirasi yang masing-masing memerlukan oksigen dan karbondioksida, kedua unsur tersebut jarang menjadi faktor pembatas karena jumlahnya berlimpah di air laut. Oksigen berasal dari atmosfir dan terdifusi karena angin, ombak dan arus. Sedangkan karbondioksida merupakan gas terlarut yang berkeseimbangan dengan senyawa karbonat.
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
6. 5 0
2°59'20"
2°59'20"
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H
- 6 .2 5
6.
00
.2 - 6
5
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
5. 7 5 - 6 .0 0 Tg . L a bo P. P ad op ad o
P eta I n d e ks
5. 5 0 - 5 .7 5
11 9
12 0
12 1
2
Pa d o p a d o
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1 PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
- 5 .5 0
Ba k a la
P. P ad ab ale
Le m o
Bo e ta l is e
-4
Ke p. S al ab an gk a
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
LA U T FL O RE S
11 9
W a ru w a ru
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u Po
12 0
12 1
12 2
12 3
-7 12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P. P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u Ko b u ru
G aris pa n tai Jala n lain Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
Se
5. 2 5 - 5 .5 0
an ab al tS la
6.5 0 - 6 .2 5
Bel uk ar
Bu to n
P. K a lero an g
Se b a r a n Ok s ig e n T e r la ru t (m g /l)
6.0 0 - 6 .2 5
Ka l e ro a n g
3°3'40"
Ja w i ja w i
a gk
3°3'40"
-3 LA U T BA N D A
-6
Bu a j a n gk a
Ke p. Sa l aba ng ka
-2 S EL AT MAKA SSA R
3°1'30"
-1
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
-5
Pa d a b a le
5. 25
0
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
3°20'
3°1'30"
P. T a din an g
3°00'
-1
Tg . K ees a ha
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA P ROV. GO RONT ALO
0 LA U T MAL U K U
P. B ap a 5. 00 5 .2 5
12 2 °0 0 ' 2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Ko l o n o
3°20'
D o ng k a l a
P. K a ra ntu
Dar at S u law e si
5.7 5 - 6 .0 0
Hu t an
5.5 0 - 5 .7 5
La ut P em u kim an
5.2 5 - 5 .5 0
Te ga l/L ad an g
5.0 0 - 5 .2 5 4.7 5 - 5 .0 0
4 .7
55
.0
Su m b e r : 1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2 2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
0
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
U
P E T A S E B A R A N O K S IG E N T E R L A R U T (D O )
50
Gambar 14 Peta Sebaran Oksigen Terlarut (DO)
Pr o g r a m S tu d i Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n Se k o la h P as c a s a rja n a In s titu t Pe r ta n ia n B o g or B o g or 20 0 7
51
4.3.10 Nutrient Kesuburan dan kelimpahan stadia reproduksi alga dapat dipengaruhi oleh kondisi kandungan nitrat (N) dan fosfat (P). Kedua unsur tersebut diperlukan untuk pertumbuhan, reproduksi dan pembentukan cadangan makanan. Umumnya fosfat dapat diserap rumput laut dalam bentuk orto-fosfat sedangkan nitrogen di perairan diserap dalam bentuk nitrat. Kisaran nitrat yang mendukung kehidupan organisme laut adalah 0,001 – 5 mg/l (Luning 1990). Kisaran rata-rata kandungan nitrat pada lokasi penelitian antara 0,23 – 0,52 mg/l. Nilai nitrat terendah (0,23 mg/l) terdapat pada bagian utara timur laut Pulau Paku dimana daerah ini berhadapan langsung dengan Laut Banda dan kandungan nitrat dianggap bukan merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan rumput laut khususnya pada Gugus Pulau Salabangka. Sedangkan nilai tertinggi terletak pada sebelah barat daya Gugus Pulau Salabangka. Menurut Anggoro (1983) in Kamlasi (2008), nitrat dapat menjadi faktor pembatas jika kosentarasi < 0,1 ppm dan > 4,5 ppm. Adapun peta sebaran nitrat dapat dilihat pada Gambar 15. Fosfat merupakan unsur penting dalam aspek kehidupan tumbuhan air seperti algae, kandungan fosfat pada lokasi penelitian rata-rata berkisar antara 0,36 – 0,75 mg/l. Nilai fosfat tertinggi terletak pada barat daya gugus pulau Salabangka sedangkan nilai fosfat terendah terletak pada bagian utara timut laut Pulau Paku. Sebaran kandungan fosfat disajikan pada Gambar 16. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari aliran Sungai Mata Uso sebagai sumber fosfat dari daratan. Kadar fosfat pada lokasi penelitian dapat dikatakan masih sesuai untuk petumbuhan rumput laut. Menurut Wardoyo (1978) in Fatmawati (1998) bahwa kandungan fospat dalam perairan lebih besar dari 0,2 mg/l adalah perairan dengan kesuburan sangat subur. Menurut Fritz (1986) in Iksan (2005) menyebutkan bahwa perairan memiliki kandungan nutrient dalam bentuk ortofosfat yang melimpah, tetapi karena senyawa ini dimafaatkan langsung oleh tanaman akuatik sehingga kecenderungan keberadaan ortofosfat di perairan cepat habis. Kondisi perairan kekurangan
ortofosfat
berdampak
dibandingkan dengan kekurangan nitrat.
terhadap
tanaman
akuatik,
apabila
0
0.
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H
0
0. 40
.5 - 0
.4 - 0 35
122 °2 6'0 0"
1
0
0.5-
0.55
2°59'20"
45
122 °2 3'5 0"
2°59'20"
0.
122 °2 1'4 0"
-0 .4 5
122 °1 9'3 0"
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
Tg . L a bo P. P ad op ad o
P eta I n d e ks
Ko l o n o
11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1 PR O V . SU L A WE SI T EN G A H LA U T MAL U K U
-4
S EL AT MAKA SSA R
35 0. 30 0. Ba k a la Bo e ta l is e
Le m o
Ke p. S al ab an gk a
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
LA U T FL O RE S
11 9
0.3 5 -0 .40
W a ru w a ru
P. W a ru w ar u
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u Po
12 0
12 1
12 2
12 3
-7 12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P. P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta Ko b u ru
G aris pa n tai
Bu n g i n ke l a
Se an ab al tS la
Ka l e ro a n g Bu to n
P. K a lero an g
Se ba r a n N O 3 (m g/l)
Jala n lain Jala n set ap ak
0.5 5 - 0 .6 0
Bel uk ar
0.5 - 0 .5 5
Dar at S u law e si
3°3'40"
Ja w i ja w i
a gk
3°3'40"
-3 LA U T BA N D A
-6
Bu a j a n gk a
Ke p. Sa l aba ng ka
-2 P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
3°20'
3°1'30"
3°1'30"
-1 PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
-5
Pa d a b a le
0 3°00'
-1
P. T a din an g
P. P ad ab ale
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA P ROV. GO RONT ALO
0
P. B ap a Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 ' 2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
0.4 5 - 0 .5 0
Hu t an La ut P em u kim an
P. K a ra ntu
Te ga l/L ad an g
0.4 0 - 0 .4 5 0.3 5 - 0 .4 0 0.3 0 - 0 .3 5 0.2 0 - 0 .2 5
Su m b e r : 1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2 2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
U
PET A S EB AR A N N O 3
Pr o g r a m S tu d i Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n Se k o la h P as c a s a rja n a In s titu t Pe r ta n ia n B o g or B o g or 20 0 7
52
Gambar 15 Peta Sebaran NO3
122 °2 6'0 0"
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
-0 .7
2°59'20"
2°59'20"
0 .7
- 0.8
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H
0 .6
0. 5 - 0 .6
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000 Tg . L a bo P. P ad op ad o
P eta I n d e ks
Ko l o n o
11 9
0. 4
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
- 0 .5
12 0
12 1
2
12 2
12 3
12 4
12 5
1 PR O V . SU L A WE SI T EN G A H LA U T MAL U K U
Ba k a la Bo e ta l is e
Le m o
S EL AT MAKA SSAR
-4
Ke p. S al ab an gk a
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
LA U T FL O RE S
11 9
Po
W a ru w a ru
12 0
12 1
12 2
12 3
-7 12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P. P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u Ko b u ru
G aris pa n tai Jala n lain
Bu n g i n ke l a
Se ba r a n PO 4 (m g /l)
0.
Ja w i ja w i
a
3 0.
3°3'40"
k ng ba la Sa
Bel uk ar Dar at S u law e si Hu t an
5
Bu to n
P. K a lero an g
0.7 - 0 .8 0.6 - 0 .7
-0 .6
t la Se
Jala n set ap ak
Ka l e ro a n g
La ut P em u kim an
.4 -0
P. K a ra ntu
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u
3°3'40"
-3 LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-6
Bu a j a n gk a
Ke p. Sa l aba ng ka
-2 P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
3°20'
3°1'30"
3°1'30"
-1 PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
-5
Pa d a b a le
0 3°00'
-1
P. T a din an g
P. P ad ab ale
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA P ROV. GO RONT ALO
0
P. B ap a Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 ' 2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
0.5 - 0 .6 0.4 - 0 .5 0.3 - 0 .4
Te ga l/L ad an g
Su m b e r : 1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2 2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
U
PET A S EB AR A N P O 4
Pr o g r a m S tu d i Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n Se k o la h P as c a s a rja n a In s titu t Pe r ta n ia n B o g or B o g or 20 0 7
53
Gambar 16 Peta Sebaran PO4
122 °2 6'0 0"
54
4.3.11 Kondisi Ekosistem Pesisir dan Laut Secara umum, ekosistem pesisir dan laut di Gugus Pulau Salabangka meliputi hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang (Gambar 17). Terumbu karang dan padang lamun merupakan ekosistem yang lebih mendominasi wilayah ini. Keberadaaan mangrove pada Gugus Pulau Salabangka dalam kondisi relatif baik, dengan luas sekitar 148,929 ha dapat dijumpai pada daerah yang terlindung dari hempasan ombak, terdapat pada substrat berpasir dan lebih didominasi oleh jenis Avecenia, serta memiliki tingkat kerusakan rendah karena tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Berbeda dengan mangrove, luasan padang lamun pada daerah ini sekitar 999,838 ha. Keberadaan lamun lebih banyak dijumpai pada substat berpasir dan kondisi yang cukup baik. Jenis lamun yang dijumpai di perairan ini adalah jenis Enhalus. Terumbu karang pada wilayah ini memiliki luas 807,529 ha, pada beberapa lokasi terumbu karang banyak mengalami kerusakan karena aktivitas manusia seperti pemboman, peracunan, penambangan karang dan lain-lain. Akan tetapi beberapa lokasi masih dalam kondisi baik. Dengan profil kawasan yang relatif lebih dangkal dan kegiatan pemanfaatan relatif lebih tinggi, serta kondisi lingkungan yang fluktuatif, sehingga kondisi karang banyak mengalami kerusakan. Tutupan karang mati berkisar antara 5 – 40 %, sedangkan tutupan rubble (pecahan karang) berkisar antara (5 – 55 %) dan pasir (5 – 30 %). Karang keras dapat dijumpai pada Gugus Pulau Salabangka bagian utara dengan tutupan sekitar 15 %, berupa spot-spot diantara hamparan pasir dan pecahan karang, utamanya pada kedalaman 5 – 10 m. Bentuk pertumbuhan dari karang keras didominasi oleh bentuk Acropora Tabulate, Acropora Branching dan massive coral (Anonim 2001).
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0" GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H
2°59'20"
2°59'20"
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000 Tg . L a bo P. P ad op ad o
D o ng k a l a
Ko l o n o
P eta I n d e ks 11 9
12 0
12 1
2
Pa d o p a d o
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor e n de
PROV. S ULA WE S I U T ARA
1 P ROV. GO RONT ALO
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H LA U T MAL U K U
-4
Ke p. S al ab an gk a
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
Le m o
Bo e ta l is e
-5
-6
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
Bu a j a n gk a -7
Pa k u Po
W a ru w a ru
LA U T FL O RE S
11 9
P. P aku
La k o m b u lo
12 0
12 1
12 2
12 3
-7 12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u Ko b u ru
G aris pa n tai Jala n lain Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
t la Se
Ka l e ro a n g Bu to n
P. K a lero an g
Bel uk ar
3°3'40"
k ng ba la Sa
Ja w i ja w i
Dar at S u law e si Hu t an
Se ba r a n Ek o sis te m P e s isir Ma n g ro ve La m un K ar a ng
La ut P asi r/Ke ral
a
3°3'40"
-3 LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
Ba k a la
P. P ad ab ale
Ke p. Sa l aba ng ka
-2 P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
3°20'
Pa d a b a le
-1 PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
3°20'
P. T a din an g
S EL A T MAK ASSA R
3°1'30"
3°1'30"
-1
Tg . K ees a ha
3°00'
P. B ap a
0 3°00'
0
P. K a ra ntu
P em u kim an Te ga l/L ad an g
Su m b e r : 1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2 2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u Tg : T a n ju ng
M A'S I TA S AR I C 2 510 501 21
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
U
P E T A S E B A R A N E K O S IS T E M P E S IS IR
55
Gambar 17 Peta Sebaran Ekosistem Pesisir Gugus Pulau Salabangka
P ro gr a m S t ud i P en g elo laa n S u mb e rda ya P esis ir d an L au t an S eko la h P asc asa rjan a Ins ti tu t P ert an ian B o g or Bo g or 2007
56
Tutupan karang hidup dengan persentase sekitar 65 % terdapat diantara bagian barat Gugus Pulau Umbele dan Gugus Pulau Salabangka bagian timur, pada kedalaman kurang dari 4 m. Kepadatan karang terjadi hanya pada bagian tepian terumbu saja dan pada kedalaman lebih dari 4 m banyak ditemui karang yang mengalami kematian. Bentuk pertumbuhan pada daerah tersebut didominasi oleh Acropora Tabulate, Acropora Branching, dan Acropora Foliose (Anonim 2001). Gugus Pulau Salabangka bagian utara sampai timur banyak ditemui karang yang hancur/rusak. Hal ini disebabkan oleh pengeboman dan pembiusan dalam penangkapan ikan karang. Keanekaragaman ikan karang juga banyak dijumpai, terdiri 34 jenis dari 15 famili (Lampiran 5). Kelompok biota lain yang dapat ditemukan pada wilayah ini antara lain teripang, bintang laut, kima, dan berbagai organisme moluska lainnya. 4.4
Pemanfaatan Lingkungan dan Sumberdaya Gugus Pulau Salabangka Perkembangan sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Morowali masih
terbatas. Kabupaten ini memiliki potensi sumberdaya hayati dan belum termanfaatkan secara optimal tersebar pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Usaha perikanan beroperasi dalam usaha perikanan budidaya laut, perikanan tangkap dan perikanan air payau. Potensi perikanan berada pada wilayah pesisir dan laut, meliputi Kecamatan Bungku Tengah, Bungku Selatan, Bungku Utara, Menui Kepulauan dan Petasia, dengan total panjang garis pantai 350 km. Terdapat 2 kecamatan yakni Kecamatan Bungku Selatan dan Menui Kepulauan memiliki karateristik perikanan yang beragam dibandingkan kecamatan lainnya, dengan potensi pengembangan meliputi potensi perikanan tangkap (pelagis, demersal dan ikan karang) dan budidaya (laut dan payau). Secara spasial, pemanfaatan ruang perairan di Gugus Pulau Salabangka disajikan pada Gambar 18.
12 2 °19 '3 0 "
12 2 °21 '4 0 "
122 °2 3'5 0"
12 2 °2 6'0 0"
GU G U S P U L A U SA L A B AN GK A K A B U P AT E N M O R O W A L I SU L A W ES I T EN GA H 2°59'2 0"
2°59'20" 1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000 Tg . L a bo P. P ad op ad o
Ko l o n o
P eta I n d e ks 11 9
12 0
12 1
2
Pa d o p a d o
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
PROV. S ULA WE S I U T ARA
1 P ROV. GO RONT ALO
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
0 LA U T MAL U K U
-1
Ke p. Sa l aba ng ka
3°00'
-1
P. B ap a
0 3°00'
D o ng k a l a
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
-2 P ROV. SUL A WES I B ARAT
-4
Ke p. S al ab an gk a
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
Ba k a la Le m o
Bo e ta l is e
-5
-6
Bu a j a n gk a
LA U T FL O RE S
11 9
Po
W a ru w a ru
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u
3°20'
TE LU K B O N E
-5
Pa d a b a le
P. P ad ab ale
12 0
12 1
12 2
12 3
-7 12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P. P aku
Le ge n da P eta
La k o m b u lo
P. W a ru w ar u
G aris pa n tai Jala n lain Jala n set ap ak
Ko b u ru Bu n g i n ke l a
a gk an ab al tS la Se
Dar at S u law e si Hu t an
Ka l e ro a n g Bu to n
P. K a lero an g Ja w i ja w i
Pe m a nf at a n Pe r a ira n B ud ida y a R um pu t La u t (8 6 5,4 9 ha ) Pe m e liha r aa n T er ip a ng (3 ,03 h a ) Pe m e liha r aa n Ik a n (3 ,48 h a )
La ut P em u kim an Te ga l/L ad an g
3°3'40"
3°3'40"
-3 LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
3°20'
-3
S EL AT MAKA SSAR
3°1'30"
P. T a din an g
3°1'30"
Tg . K ees a ha
P asi r/Ke raka l P. K a ra ntu
Su m b e r : 1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2 2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
P : P u la u Tg : T a n ju ng
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA BU P ATE N M O R O W A L I
L A U T B A ND A
MA ' SIT A S A R I C 2 5 1 0 5 0 12 1
12 2 °19 '3 0 "
12 2 °21 '4 0 "
122 °2 3'5 0"
12 2 °2 6'0 0"
U
P E T A P E M A N F A TA N R U A N G P E R A IR A N
57
Gambar 18 Peta Pemanfaatan Ruang Perairan di Gugus Pulau Salabangka
Pr o g r a m S tu d i Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n Se k o la h P as c a s a rja n a In s titu t Pe r ta n ia n B o g or B o g or 20 0 7
58
4.4.1 Perikanan Produksi perikanan Kabupaten Morowali terdiri dari perikanan laut dan perikanan darat. Tercatat pada tahun 1999, produksi perikanan laut terbesar dihasilkan dari Kecamatan Bungku Selatan dengan total produksi 1.452.000 ton. Meskipun demikian, ketersedian sarana produksi perikanan tangkap pada wilayah ini masih terbatas meliputi kapal motor, perahu motor, dan perahu tak bermotor, berjumlah 1.326 buah. Alat tangkap yang digunakan masih sederhana berupa alat pancing (pukat, pancing gurita, lobster, udang tombak, pancing tuna), jaring insang dan jaring angkat serta bubu (Anonim 2004a; Anonim 2004b). Berdasarkan data BPS 2003, hasil produksi perikanan Kecamatan Bungku Selatan mengalami peningkatan, terutama pada hasil laut jenis ikan jika dibandingkan dengan jenis hasil laut lainnya seperti rumput laut, teripang dan lainnya (Gambar 19). Dengan demikian, peningkatan jenis hasil perikanan laut selain ikan, masih dapat dikembangkan dan dapat menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat dan pemasukan bagi pemerintah daerah. 3000
Hasil Produksi (Ton)
2500
2000
1500
1000
500
0 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun Ikan
Rumput Laut
Teripang
Lainnya
Gambar 19 Produksi Hasil Laut Kecamatan Bungku Selatan
59
Pada Gambar 19 menunjukkan bahwa produksi hasil laut lebih didominasi oleh ikan (1527-2675 ton), kemudian rumput laut (27-70 ton) dan teripang (11-50 ton), dan lainnya (21-26 ton). Saat ini pengembangan pemeliharaan ikan dalam keramba mulai dikembangkan secara tradisional. Sebelumnya penangkapan ikan menggunakan bom dan racun telah mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang, hingga saat ini aktivitas penangkapan ikan dengan cara tidak ramah lingkungan mengalami penurunan dimana masyarakat dengan kegiatan ekonomi utama mencari ikan mulai melakukan aktvitas lain seperti budidaya rumput laut, pemeliharaan ikan dalam keramba dan budidaya teripang 4.4.2 Budidaya Rumput Laut Salah satu kegiatan pemanfaatan sumberdaya pada pulau kecil adalah budidaya rumput laut. Pada lokasi studi, kegiatan ini telah berlangsung lama (sejak tahun 1980), tetapi sebelum tahun 1995 kegiatan ini hanya dilakukan oleh sebagian masyarakat terutama masyarakat nelayan yang memiliki modal yang cukup besar. Peran pemerintah yang tidak sepenuhnya memperhatikan kegiatan tersebut, berakibat pada semakin sedikitnya masyarakat yang melakukan kegiatan penanaman rumput laut, selain itu sarana transportasi yang kurang memadai sehingga kegiatan ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat nelayan dan tidak menjadi sumber pendapatan yang utama. Setelah tahun 1995, pihak pemerintah mulai memberikan respon yang cukup baik bagi masyarakat setempat dalam kegiatan penanaman rumput. Meskipun demikian, semakin panjangnya rente ekonomi dalam usaha budidaya rumput laut, berakibat pada semakin sulitnya para petani rumput laut dalam memperoleh harga yang pantas terhadap hasil rumput laut. Dari 253 reponden yang melakukan kegiatan penanaman rumput laut kurang lebih 64 persen menjual hasil panen mereka ke penampung/pengumpul, 18% ke pedagang, 8% di koperasi, sedangkan yang menjual hasi panen ke tengkulak dan lainnya masing-masing sebesar 5 persen. Kisaran harga rumput laut kering antara Rp.4.000 – Rp.4.700 per kg pada tingkat lokal, sedangkan pada tingkat pengusaha harga komoditi ini sebesar Rp.5000. Alur penjualan rumput laut dapat dilihat pada Gambar 20.
60
Kegiatan penanaman rumput laut didasarkan pada pengetahuan masyarakat dari generasi sebelumnya. Sebelumnya, penanaman rumput laut menggunakan metode rakit apung dari bambu karana keterbatasan modal dalam penyediaan bahan tersebut, sehingga metode penanaman rumput laut di Gugus Pulau Salabangka mengalami perubahan yaitu menggunakan metode longline, dengan pertimbangan biaya yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan dengan metode rakit apung. Sebagian besar hasil panen di jual dalam bentuk kering, kemungkinan hal ini merupakan salah satu penyebab rendahnya harga rumput dan juga tidak di dukung dengan sarana perhubungan laut. R p .4 .7 0 0 P e ta n i R u m p u t L a u t R p.4 .0 0 0 - R p.4 .2 0 0 P e n g u m p u l K e c il (d e sa )
K o p e ra si N e la y a n
R p .4 .5 0 0 P e n g u m p u l B e sa r (a n ta r d e sa ) R p .5 .0 0 0 P e n g u sa h a d i K e n d a ri
Gambar 20 Alur Penjualan Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka Adanya indikasi meningkatnya pemanfaatan perairan untuk budidaya rumput laut dimana tidak adanya penetapan aturan terhadap besarnya luas lahan yang dimanfaatkan, penetapan luas perairan budidaya lebih didasarkan besarnya jumlah modal pembudidaya. Hasil survei menunjukkan bahwa 98 persen luas perairan budidaya yang dimiliki berdasarkan besarnya jumlah modal, dan berdasarkan lainnya 2 %.
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Identifikasi Kesesuian Ruang Perairan untuk Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka merupakan daerah pesisir terdiri dari pulau-pulau
kecil, memiliki bentuk pulau yang relatif lebih kecil (< 2.000 ha) dan terbentuk dari pengangkatan terumbu karang, kurangnya ketersediaan air tawar, memiliki ekosistem (terumbu karang, padang lamun dan mangrove), dan memiliki ketersediaan sumberdaya perikanan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat, serta wilayah ini juga memiliki kepadatan penduduk yang rendah dengan pemukiman berada pada daerah pantai. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya khususnya sektor perikanan meliputi perikanan tangkap, budidaya rumput laut, pemeliharaan teripang, dan keramba jaring apung. Untuk budidaya rumput laut merupakan salah satu alternatif sumber mata pencaharian masyarakat dengan pemanfaatan secara tradisional. Upaya peningkatan kesejehteraan masyarakat oleh pemerintah daerah mulai dilakukan melalui pemberian bantuan dalam kegiatan di sektor perikanan seperti penyediaan modal untuk budidaya rumput laut, akan tetapi belum adanya pengelolaan dalan kegiatan ini, dapat berakibat pada pemanfaatan lahan perairan untuk budidaya rumput laut yang melebihi kapasitas ruang ekologi Gugus Pulau Salabangka. Dalam identifikasi ruang perairan melalui pendekatan Ecological Footprint (EF) didasarkan pada kebutuhan (demand) dan ketersediaan (supply) ruang perairan. Sebagaimana disebutkan oleh Schaefer et.al (2006) perhitungan ruang ekologi dibagi kedalam dua bagian yaitu permintaan terhadap sumberdaya (EF demand) dan ketersediaan sumberdaya (biocapacity/BC ). 5.1.1 Kebutuhan Ruang Perairan Dalam pendekatan EF, kebutuhan ruang perairan merupakan ruang perairan yang dibutuhkan untuk budidaya rumput laut, dimana dapat dilihat berdasarkan tiga komponen yaitu tingkat konsumsi, produktivitas, dan impor-ekspor. Sebagaimana disebutkan oleh Haberl et.al (2001) in Adrianto (2004b)
62
bahwa terdapat tiga komponen digunakan dalam perhitungan EF yang meliputi komponen populasi, produktivitas (yield) baik lokal maupun regional dan komponen ruang ekologi (Impor-Ekspor) a. Tingkat Konsumsi Tingkat konsumsi (Domestic Extraction/DE) merupakan salah satu komponen dalam perhitungan EF. DE menunjukkan bahwa suatu populasi akan memanfaatkan sumberdaya (rumput laut) untuk menghasilkan barang yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Secara spesifik pemafaatan ruang di Gugus Pulau Salabangka untuk budidaya rumput laut. Sebagaimana disebutkan Chambers et.al (2001) bahwa berbagai aspek yang mendukung kehidupan merupakan fungsi dari konsumsi. Dalam perhitungan ini, DE rumput laut didasarkan pada hasil produksi pemanfaatan perairan saat ini (Lampiran 6). Tingkat Konsumsi rumput laut Gugus Pulau Salabangka disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Tingkat Konsumsi Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka No 1 2 3 4 5 6
Nama Pulau
Pembudidaya (Kapita)
Produksi (Ton/Tahun)
Tingkat Konsumsi (DE) (Ton/Kapita)
Paku Waru-waru Kaleroang Padabale Pado-pado Pulau Bapa Jumlah
255 182 29 62 60 69 657
49,82 73,13 10,40 3,99 19,46 14,28 171,09
0,20 0,40 0,36 0,06 0,32 0,21 1,55
Sumber : Hasil Analisis (2007)
Tabel 5 menunjukkan bahwa produksi rumput laut di Gugus Pulau Salabangka sangat bervariasi, dengan jumlah total sebesar 171,09 ton/tahun dan total pembudidaya adalah 657 kapita. Produksi rumput laut tertinggi terdapat Pulau Waru-waru sebesar 73,13 ton per tahun dan jumlah pembudidaya 182 kapita, sedangkan produksi terendah di Pulau Padabale 3,99 ton per tahun dengan jumlah pembudidaya sebesar 62 kapita.
63
Berdasarkan jumlah produksi saat ini, konsumsi rumput laut berkisar antara 0,06 – 0,40 ton/kapita, dengan total konsumsi rumput laut Gugus Pulau Salabangka adalah 1,55 ton per kapita atau sebesar 1.019,41 ton se tahun. Penyebab rendahnya konsumsi rumput laut disebabkan bentuk permintaan rumput laut terkatogorikan dalam bentuk bahan baku yaitu rumput laut bentuk kering. b. Produktivitas Dapat dikatakan bahwa produktivitas rumput laut di Gugus Pulau Salabangka lebih dipengaruhi oleh faktor kondisi perairan untuk pertumbuhan rumput laut dan topografi pantai. Selain itu, budidaya rumput laut dilakukan di Gugus Pulau Salabangka didasarkan pada pengalaman masyarakat, sehingga untuk meningkatkan hasil produksi dilakukan melalui menambah luas perairan sesuai dengan jumlah modal yang dimiliki. Berdasarkan data BPS (2003) nilai produksi komoditas perikanan, terutama rumput laut di Kecamatan Bungku Selatan berkisar antara 70 ton (2,48 %) dari total komiditas perikanan (2820 ton se tahun). Nilai produksi rumput laut Gugus Pulau Salabangka dalam satu tahun terakhir (2007) sebesar 171,09 ton dibandingkan tahun 2003. Adapun tingkat produktivitas rumput laut Gugus Pulau Salabangka disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Produktivitas Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka No Nama Pulau 1 2 3 4 5 6
Paku Waru-waru Kaleroang Padabale Pado-pado Pulau Bapa Jumlah
Luas Perairan (Ha)
Produksi (Ton/Tahun)
Produktivitas (Ton/Ha)
14,85 10,00 1,64 2,85 3,03 4,83 37,18
49,82 73,13 10,40 3,99 19,46 14,28 171,09
3,35 7,32 6,36 1,40 6,43 2,96 27,82
Sumber : Hasil Analisis (2007)
Tabel 6 memperlihatkan bahwa produktivitas lokal rumput laut terendah terdapat di Pulau Padabale 1,40 ton/ha dan tertinggi di Pulau Waru-waru sebesar 7,32 ton/ha. Sedangkan produktivitas regional Gugus Pulau Salabangka adalah 4,60 ton/ha. Rendahnya produktivitas Pulau Padabale dikarenakan beberapa faktor selain topografi areal budidaya rumput laut relatif lebih datar dengan kisaran kedalaman 1 – 5 meter, juga terletak pada daerah agak terlindung dari aktivitas
64
gelombang dan arus. Sedangkan tingginya produktivitas di Pulau Waru-waru disebabkan wilayah perairan mendukung untuk pertumbuhan rumput laut, letaknya lebih terlindung dari gelombang dan arus sehingga penanaman dapat dilakukan sepanjang tahun. Secara umum, produktivitas regional rumput laut di Gugus Pulau Salabangka sangat rendah. Beberapa faktor penyebab rendahnya produktivitas antara lain daerah lokasi budidaya merupakan lokasi daerah penangkapan ikan (menggunakan potas, racun dan bom), kondisi perairan dipengaruhi oleh musim yang berpengaruh terhadap pola tanam rumput laut dan topografi pantai yang relatif lebih datar dengan kedalaman 1-5 meter serta kondisi substrat menentukan metode budidaya yang digunakan. Lebih lanjut menurut Hidayat (1994) dalam luasan 1 hektar budidaya rumput laut dengan mengunakan metode apung produksi rumput laut yang dihasilkan 504 ton berat basah atau 67,2 ton berat kering. c. Impor-Ekspor Dalam kegiatan ekonomi, PPK memiliki karatersitik tersendiri dimana adanya saling ketergantungan antara satu pulau dengan pulau yang lain dalam memenuhi kebutuhan suatu komiditas dan memiliki ketergantungan terhadap subsidi dari luar. Demikian halnya Gugus Pulau Salabangka, terjadi interaksi baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi antara satu pulau dengan pulau yang lain. Diantaranya terdapat kegiatan pemafaatan sumberdaya perikanan berupa pemasaran hasil-hasil perikanan seperti ikan, rumput laut dan teripang. Khusus rumput laut hasil pemanfaatan hanya terbatas pada bahan mentah berupa rumput laut yang telah dikeringkan. Adrianto (2005) menjelaskan bahwa upaya peningkatan ketahanan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan daya dukung antar pulau. Dalam pendekatan EF, yang dimaksud komponen ruang ekologi adalah kegiatan impor – ekspor suatu komoditas. Lebih jelasnya kegiatan impor – ekspor rumput laut di Gugus Pulau Salabangka disajikan pada Gambar 21. Gambar 21 menunjukkan bahwa adanya kegiatan impor – ekspor rumput laut di Gugus Pulau Salabangka sebesar 5,15 ton/ha. Pada gugus ini, terdapat tiga pulau pengekspor rumput laut antara lain Pulau Padabale (3,51 ton/ha) dengan tujuan Pulau Waru-waru, Pulau Bapa (1,24 ton/ha) dengan tujuan ekspor Pulau
65
Paku dan Pulau Waru-waru (0,40 ton/ha) dengan tujuan Pulau Paku. Sedangkan Pulau paku, Waru-waru dan Pado-pado termasuk pulau pengimpor rumput laut (penerima ekspor). 4,50 4,00 3,50
Ton/Ha
3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 Paku
Waru-waru
Kaleroang
Padabale
Pado-pado
Pulau Bapa
Pulau Impor
Ekspor
Gambar 21 Impor-Ekspor Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Kegiatan impor-ekspor menunjukkan bahwa adanya ketergantungan kegiatan ekonomi antara pulau dalam Gugus Pulau Salabangka, sehingga perlu adanya kerjasama dan keterpaduan terkait dengan pengelolaan ruang, khususnya dalam pengembangan budidaya rumput laut secara berkelanjutan sesuai dengan daya dukung lingkungan. Dari hasil perhitungan tiga komponen EF diperoleh bahwa secara lokal kebutuhan ruang ekologi mengalami kekurangan dan kelebihan. Lebih jelasnya estimasi kebutuhan ruang untuk budidaya rumput laut disajikan pada Gambar 22. Gambar 22 menunjukkan adanya pulau yang mengalami kekurangan ruang perairan dalam pemanfaatan sumberdaya (Padabale dan Pulau Bapa), dimana nilai EF bernilai negatif dan ada pula yang mengalami kelebihan (Paku, Waru-waru, Kaleroang dan Pado-pado) dimana EF bernilai positif. Hal ini sesuai dengan pendapat Wackernagel dan Ress (1996) bahwa indikasi ruang ekologis mengalami kekurangan atau kelebihan, ditunjukkan dengan nilai negatif atau positif total ruang ekologis. Dengan jumlah pembudidaya saat ini (657 orang). Estimasi kebutuhan ruang ekologis disajikan pada Tabel 7.
66
1,00 0,50
EF (ha/kapita)
0,00 -0,50
Paku
Waru-waru
Kaleroang
Padabale
Pado-pado
Pulau Bapa
-1,00 -1,50 -2,00 -2,50 -3,00
Pulau
Gambar 22 Estimasi Kebutuhan Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Tabel 7 Estimasi Kebutuhan Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka No
Nama Pulau
1 2 3 4 5 6
Paku Waru-waru Kaleroang Padabale Pado-pado Pulau Bapa Jumlah
Ecological Footprint Rumput Laut (Ha/Kapita)
EF Rumput Laut (Ha)
0,37 0,76 0,06 -2,46 0,09 -0,35 4,10
1.044,78 745,69 118,82 254,03 245,83 282,71 2.691,85
Sumber : Hasil Analisis (2007)
Tabel 7 menunjukkan bahwa total ruang ekologi untuk budidaya rumput laut adalah 2.691,85 ha (4,10 ha/kapita), dimana kebutuhan ruang perairan untuk budidaya bervariasi antara pulau. Kebutuhan ruang perairan tertinggi adalah pulau Paku (38,81 %) dengan pembudidaya 255 orang, sedangkan yang terendah adalah Pulau Kaleroang (4,41%) dengan pembudidaya 29 orang. Dengan demikian, kebutuhan rumput laut di Gugus Pulau Salabangka dibandingkan rata-rata produksitivitas dunia adalah 161,51 ha.
67
5.1.2 Ketersediaan Ruang Perairan Secara geografis ruang perairan Gugus Pulau Salabangka memiliki luas 23.510,09 ha. Ketersediaan ruang perairan untuk budidaya rumput laut diperoleh dari hasil analisis kesesuaian perairan menggunakan SIG (Tabel 8). Analisis kesesuaian ini didasarkan pada kriteria umum secara ekologi mendukung pertumbuhan rumput laut dari hasil tumpang susun parameter fisika kimia, selanjutnya hasil analisis berupa ruang perairan yang sesuai berdasarkan prasyarat ekologi menentukan ketersediaan ruang (biocapacity) untuk budidaya rumput laut. Secara spasial, perairan Gugus Pulau Salabangka untuk pengembangan rumput laut dikelompok dalam tiga kategori yaitu kelas sangat sesuai (S1), kelas sesuai (S2) dan kelas tidak sesuai (N) sebagaimana disajikan pada Gambar 23.
1 2 2 °1 9 '3 0 "
1 2 2 °2 1 '4 0 "
1 2 2 °2 3 '5 0 "
1 2 2 °2 6 '0 0 " GU GU S P U L A U S A B A L AN GK A K AB U PA T E N M O R O W AL I S U L AW E S I TE N G A H
2°59'20"
2°59'20"
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000 Tg . L a bo P. P ad op ad o
P eta I n d e ks
Ko l o n o
11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1 PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
0
-4
Ke p. S al ab an gk a
Ba k a la Le m o
Bo e ta l is e
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
-6
Bu a j a n gk a
LA U T FL O RE S
11 9
W a ru w a ru
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u Po
12 0
12 1
12 2
12 3
-7 12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P . P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P . W a ru w ar u Ko b u ru
G aris pa n tai Jala n lain Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
t la Se
K es e s ua i a n L a h a n Sa n g a t Se s u a i Se s u a i
Ka l e ro a n g
Bel uk ar
Bu to n
P . K a lero an g
Dar at S u law e si Hu t an
3°3'40"
ka ng ba la Sa
3°3'40"
-3 LA U T BA N D A
-5
Pa d a b a le
Ke p. Sa l aba ng ka
-2 P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
S EL AT MAKASSA R
3°1'30"
-1 PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
3°20'
3°1'30"
P . T a din an g
0 3°00'
-1
P . B ap a
P . P ad ab al e
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA P ROV. GO RONT ALO
LA U T MAL U K U
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 ' 2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o t or en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
Ja w i ja w i
Ti d a k S e s u a i
La ut P em u kim an Te ga l/L ad an g
P . K a ra ntu
Su m b e r : 1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4 K a l e ro a n g, B A K O S U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2 2. S u r v ey l a p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
1
3°5'50"
-5
3°5'50"
Si n g ka t an
K A B U P A T E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u Tg : T a n ju ng
10 -2 0
MA ' SIT A S A R I C 2 5 1 0 5 0 12 1
1 2 2 °1 9 '3 0 "
1 2 2 °2 1 '4 0 "
U
P E T A K E S E S U A IA N L A H A N B U D ID A Y A R U M P U T L A U T
1 2 2 °2 3 '5 0 "
1 2 2 °2 6 '0 0 "
Pr o g r a m S tu d i Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n Se k o la h P as c a s a rja n a In s titu t Pe r ta n ia n B o g or B o g or 20 0 7
68
Gambar 23 Peta Kesesuaian Perairan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka
69
Tabel 8 Kesesuian Perairan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka No 1 2 3
Kesesuaian Perairan Sangat Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Jumlah
Luas (Ha) 2.854,16 8.969,50 11.686,43 23.510,09
Sumber : hasil analisis spasial
Tabel 8 menunjukkan bahwa kesesuaian perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut meliputi dua kategori yaitu (i) kelas sangat sesuai (12,14 %) dan kelas sesuai (38,15 %). Total ketersediaan ruang untuk budidaya rumput laut 11.823,66 ha, dengan membandingkan terhadap rata-rata produksi dunia maka luas pemanfaatan budidaya setiap kategori kesesuaian adalah 171,25 ha dan 538,17 ha. Dengan demikian, total ketersediaan ruang budidaya adalah 709,42 ha. Estimasi ketersediaan ruang perairan untuk budidaya rumput laut pada wilayah ini, disajikan pada Gambar 24. 14000 12000
Luas (Ha)
10000 8000 6000 4000 2000 0 Biocapacity
Kesesuaian Perairan
Gambar 24 Estimasi Ketersediaan Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Gambar 24 menunjukkan areal optimum untuk budidaya rumput laut (709,42 ha) atau sesuai dengan biocapacity (BC), dengan asumsi pembudidaya tetap, maka ketersediaan ruang budidaya rumput laut per kapita adalah 1,08 ha. Berdasarkan identifikasi kesesuaian ruang perairan Gugus Pulau Salabangka (Gambar 25) untuk budidaya rumput laut menunjukkan bahwa secara ekologis ruang perairan wilayah ini mengalami surplus, dengan kata lain bahwa kebutuhan ruang lebih kecil terhadap ketersediaan ruang perairan untuk budidaya rumput laut
70
(161,51 ha < 709,42 ha). Sebagaimana disebutkan dalam WWF (2005) bahwa suplus ekologi menunjukkan terdapat sisa ruang ekologi terhadap tingkat permintaan sumberdaya dalam suatu waktu tertentu atau disebut undershoot dimana tingkat konsumsi terhadap sumberdaya dibawah dari kemampuan ruang dalam menghasilkan sumberdaya.
800 700
Luas (Ha)
600 500 400 300 200 100 0 Ecological Footprint
Biocapacity
Gambar 25 Perbandingan Ecological Footprint dan Biocapacity Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka 5.2
Daya Dukung Ruang Ekologi untuk Pengembangan Rumput Laut Secara umum, Gugus Pulau Salabangka memiliki potensi sumberdaya
khususnya perikanan. Beberapa kegiatan pemanfaatan sumberdaya didaerah ini antara lain budidaya rumput laut, teripang, perikanan tangkap dan keramba jaring apung. Hal ini di dukung dengan kondisi perairan yang cukup baik dan ketersediaan yang cukup besar, namun saat ini pemanfaatan sumberdaya belum optimal. Imlikasinya terlihat dengan tingkat pendapatan yang masih rendah. Berdasarkan hasil analisis ruang ekologis dengan pendekatan EF, diperoleh bahwa daya dukung ruang ekologis untuk pengembangan budidaya rumput laut berdasarkan tingkat kebutuhan ruang ekologi belum optimal dan memiliki tingkat keberlanjutan. Belum optimalnya tingkat pemanfaatan sumberdaya PPK untuk budidaya rumput laut ditunjukkan dengan ketersediaan ruang perairan lebih besar dibandingkan tingkat pemanfaatan saat ini (1,08 ha /kapita > 0,06 ha/kapita), sebagaimana disajikan pada Gambar 26.
71
1,20 Biocapacity
Ha/Kapita
1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 Existing
0,00 0
100
200
300
400
500
600
700
800
Luasan (Ha)
Gambar 26 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Pemanfaatan Ruang untuk Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Beberapa penyebab belum optimalnya pemanfaatan ruang untuk budidaya rumput laut antara lain kondisi lingkungan perairan yang dipengaruhi oleh musim, keterbatasan modal, dan rendahnya harga rumput laut. Terkait kondisi lingkungan dimana perairan Gugus Pulau Salabangka dipengaruhi oleh musim (musim barat dan musim timur) dengan bentuk topografi pantai relatif lebih datar sehingga berpengaruh terhadap pola tanam, selain itu pemanfaatan perairan yang tidak ramah lingkungan (penangkapan ikan menggunakan racun dan bom; pengambilan karang) berakibat menurunnya kualitan peraian yang mempengaruhi pertumbuhan biota (rumput laut). Secara sosial, budidaya rumput laut telah dilakukan sejak lama dimana kegiatan ini dilakukan hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan rendahnya dukungan pemerintah terhadap kegiatan tersebut menyebabkan usaha ini dilakukan berdasarkan kemampuan (modal) pembudidaya. Berdasarkan hasil wawancara menyebutkan sumber modal untuk usaha budidaya rumput laut berasal dari modal sendiri (71,15 persen), pinjaman ke pengumpul (19,16 %), koperasi (2,77) dan lainnya (6,32 %). Sebagimana disebutkan bahwa budidaya rumput laut, baik dalam bentuk usaha rumah tangga maupun badan usaha, memerlukan modal antara lain untuk pengadaan bahan dan bibit yang jumlahnya ditentukan oleh metode, luas area budidaya dan target produksi serta upah tenaga kerja (Anonim 1990).
72
Secara ekonomi rendahnya harga rumput laut berkisar antara Rp.3.800 – Rp.4.700 di tingkat pembudidaya menyebabkan kegiatan ini bersifat usaha sampingan. Namun, adanya permintaan pasar untuk budidaya rumput laut, banyak masyarakat mulai melakukan budidaya rumput laut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa bahwa 79,45 persen pembudidaya melakukan budidaya rumput laut sebagai pekerjaan utama dan 20,55 % sebagai pekerjaan sampingan. Adapun bentuk permintaan rumput laut terkatogorikan dalam bentuk bahan baku yaitu rumput laut bentuk kering. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa perairan Gugus Pulau Salabangka mengalami surplus dan memiliki tingkat keberlanjutan untuk pengembangan budidaya rumput laut berdasarkan tingkat kebutuhan rumput laut lebih kecil dibandingkan daya dukung ruang untuk budidaya rumput laut (0,25 ha/kapita < 1,08 ha/kapita) (Gambar 27). 1,20 Biocapacity
Ha/Kapita
1,00 0,80 0,60 0,40 Ecological Footprint
0,20 0,00 0
100
200
300
400
500
600
700
800
Luasan (Ha)
Gambar 27 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Tingkat Kebutuhan Ruang untuk Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Beberapa faktor menunjukkan keberlanjutan budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka antara lain adanya upaya pemerintah daerah terhadap kegiatan budidaya rumput laut antara lain peran pemerintah dalam penegakkan hukum terkait dengan pemanfaatan ruang perairan yang tidak ramah lingkungan, bantuan pemerintah berupa modal pada kelompok-kelompok pembudidaya berdasarkan batas administasi desa, lingkungan perairan yang mendukung untuk budidaya dimana tidak adanya industri sebagai sumber pencemaran, dan berdasarkan
73
Undang – Undang No.27 tahun 2007 bahwa pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam luasan dan waktu tertentu dengan mempertimbangkan kepentingan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, maka pengembangan budidaya rumput laut dapat diterapkan sesuai dengan biocapacity perairan Gugus Pulau Salabangka.
VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan Berdasarkan analisis ruang ekologis pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk
budidaya rumput di Gugus Pulau Salabangka, dapat disimpulkan : 1. Identifikasi kesesuaian ruang perairan menunjukkan ruang perairan Gugus Pulau Salabangka sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut. 2. Estimasi daya dukung ruang perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka menunjukkan ruang perairan Gugus Pulau Salabangka mengalami surplus dan memiliki tingkat keberlanjutan dimana tingkat kebutuhan ruang lebih kecil dibandingkan ketersediaan ruang perairan untuk budidaya rumput laut. 6.2
Saran
1. Berdasarkan analisis ruang ekologis seyogyanya kebutuhan ruang Gugus Pulau Salabangka untuk budidaya rumput laut adalah 1,08 ha/kapita untuk pemanfaatan ruang yang optimal dan dapat berkelanjutan sesuai dengan kapasitas/ketersediaan ruang perairan. 2. Perlu penataan ruang laut dan gugus pulau kecil di Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.
DAFTAR PUSTAKA Adrianto L. 2004a. Pembangunan dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan (Sustainable Small Islands Develompment and Management). Working Paper, PKSPL-IPB. Adrianto L. 2004b. Fisheries Resources Appropriation as Sustainability Indicator : An Ecological Footprint Approach. Working Paper, PKSPL-IPB. Adrianto L. 2005. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. Working Paper, PKSPL-IPB. Adrianto L. 2006a. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan : Tantangan Riset dan Akademik. Mukernas Himpunan Mahasiswa Teknologi Kelautan Indonesia, Bogor 16 Januari 2006. PKSPL-IPB Adrianto L. 2006b. Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut (Sinopsis). PKSPL-IPB Adrianto L. 2006c. Model Ekonomi Ekologi Pulau-Pulau Kecil. Bahan Kuliah Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Amarullah. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Perairan Teluk Tamiang Kabupaten Kota Baru Untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cotonii). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Amiluddin, NM. 2007. Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyakit Ice-Ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Anonim. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumpu Laut. Kerjasama Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan pengembangan Perikanan dengan Internasional Develompment Reasearch Centre. . 2001. Laporan Akhir Penelitian Potensi Kelautan Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah dengan Laboratorium Geomorfologi dan Managemen Pantai (LGMP) Universitas Hasanuddin Makassar. . 2004a. Kajian Daerah Kabupaten Morowali. . 2004b. Profil Pulau-Pulau Kecil di Morowali Sulawesi Tengah. Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin. Makassar
76
. 2004c. Petunjuk Teknis Budidaya Laut : Rumput Laut Eucheuma Spp. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Pembudidaya. 8 – 12 hal. Anwar E, Rustiadi E. 2000. Masalah Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Kebijakan Ekonomi Bagi Pengendalian Terhadap Kerusakannya. Makalah yang disajikan pada Lokakarya Nasional Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pengelolaan Sumberdaya Alam. Jakarta. Aslan IM. 1998. Budidaya Rumput Laut Indoensia. Penerbit : Kanisius Yogyakarta. 144 hal. Bengen DG. 2003. Definisi, Batasan dan Realitas Pulau-pulau Keci. Makalah disampaikan dalam seminar sehari ”Validasi Jumlah Pulau-pulau dan Panjang Garis Pantai di Indonesia”. Jakarta. Bengen DG, Retraubun ASW. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Besweni. 2002. Kajian Ekologi Ekonimi Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Kepulauan Seribu (Studi Kasus di Gugusan Pulau Pari). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Kecamatan Bungku Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Morowali. Chamber N, Simmons C, Warckernagel M. 2001. Sharing Nature’s Interest Ecological Footprint as an Indicator of Sustainability. Earthscan Publications Ltd, UK. [DisKanLut] Dinas Perikanan Kelautan Kabupaten Morowali. 2008. Profil Perikanan Kabupaten Morowali. Dinas Perikanan Kelautan Kabupaten Morowali, Bungku. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap bidang pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Modul Sosialisasi Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, edisi 2003. Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ditjenkan. 2004. Petunjuk Teknis Budidaya Laut : Rumput Laut Eucheuma Cottonii Spp. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen
77
Cottonii Spp. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Ditya YC. 2007. Analisis Ekologi-Ekonomi untuk Perencanaan Pembangunan Perikanan Budidaya Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi Banten. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 30-31 hal. Doty MS. 1987. The Production and Use of Eucheuma In Case Studies of Seven Commercial Seaweed Resources. Editor MS Doty, JF Caddy. B Sante Lices. FAO Technical Paper No 281 FAO Roma. P 123 – 161. [FAO] Food Agriculture Organization. 1989. Site Selection for Eucheuma spp. Farming. http://www.fao.org/ Fatmawati. 1998. Studi Kesesuaian Budidaya Rumput Laut (Eucheuma) di Wilayah Perairan Laut Kab. Kota Baru Kalimantan Selatan. [Tesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Hardjowigeno S, Widiatmaka AS, Yogaswara. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hutagalung HP, Setiapermana D, Riyono SH. 1994. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Jakarta: P3-O LIPI. Indriani H, Sumarsih E. 1999. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut. Jakarta: Penerbit Swadaya. Iksan KH. 2005. Kajian Pertumbuhan Reproduksi Rumput Laut (Eucheuma cottonii), dan Kandungan Keraginan pada Berbagai Bobot dan Asal Thallus di Perairan Desa Guruaping Oba Maluku Utara. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jawatan Hidro-Oseanogravi TNI AL. 2007. Daftar Pasang Surut (Tide Tables) Kepulauan Indonesia (Indonesian Archipelago) Tahun 2007. Jakarta. Kadi A, Atmadja WS. 1988. Rumput Laut (Algae). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kadi A. 2004. Rumput Laut Nilai Ekonomis dan Budidayanya. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kamlasi Y. 2008. Kajian Ekologi dan Biologi untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggra Timur. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Luning K. 1990. Sea Weeds Their Environment, Biogeography,and Ecophysiology. A Wiley Interscience Publication, John Wiley and Sons, Inc.
78
Ludvianto B. 2001. Ragam Mengurangi Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati dengan Konsep “Tapak Ekologi”. Ragam Warta Kehati. Mubarak H. 1981. Kemungkinan-Kemungkinan Budidaya Rumput Laut di Kepulauan Aru, Maluku. Preparatory Assistance Seafarming – Indonesia (UNDP/FAO – INS/80/005). Training Workshop on Seafarming. Mubarak H et al. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Pertanian,. Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali. 2004. Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Morowali Tahun 2002 – 2007. Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali. Prahasta E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Penerbit Informatika Bandung. Purwandani A. 2001. Peta Benua Maritim Indonesia. Puslitbangkan. 1991. Budidaya Rumput Laut (Eucheuma sp) dengan Rakit dan Lepas Dasar. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian Pengembangan Pertanian. Radiarta IY, Wardoyo SK, Priono B, Praseni O. 2003. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut di Teluk Ekas, Nusa Tenggara Barat. J Penelitian Perikanan Indonesia Vol 9: 68. Schaefer F, Luksch U, Steinbach JC, Hanauer J. 2006. Ecological Footprint and Biocapacity The World’s Ability to Regenerate Resource and Absorb Waste in a Limited Time Periode. Working Paper and Studies. European Communities. P 5 – 7. Sirajuddin M. 2009. Analisa Ruang Ekologi untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Teluk Waworanda Kabupaten Bima. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soebagio. 2005. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Kepulauan Seribu dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat melalui Kegiatan Budidaya Perikanan dan Pariwisata. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sulawesi – Pantai Timur. 1987. Peta Kedalaman Tanjung Dongkala hingga Labengke Skala 1:200.000. Jakarta: Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Laut Dinas Hidro-Oseanografi. Sulistijo, Atmadja WS. 1996. Perkembangan Budidaya Rumput Laut di Indonesia. Jakarta: Puslitbang-Oseanografi LIPI.
79
Sulistijo. 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae Makro/Seaweed) di Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Akuakultur pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Syahputra Y. 2005. Pertumbuhan dan Kandungan Keraginan Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii pada Kondisi Lingkungan yang Berbeda dan Perlakuakn Jarak Tanam di Teluk Lhok Seudu. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Trisakti B, Sucipto UH, Sari J. 2004. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Sebagai Tahap Awal Pengembangan Budidaya Laut dan Wisata Bahari di Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian LAPAN. Jakarta. UNEP, CBD. 2004. Integrated Marine and Coastal Area Management (IMCAM) Approaches for Implementing The Convention on Biological Diversity. CBD Technical Series No.14. Secretariat of the Convention Biological Diversity Venetoulis J, Chazan D, Gaudet C. 2004. Ecological Footprint of Nationas. Sustainability Indicators Program. www.RedefiningProgress.org. P 7. Venetoulis J, Talbert J. 2008. Refining The Ecological Footprint. J. Environ Dev Sustain 10: 441. http://www.springer.com. [15 Desember 2008]. Wackernagel M, Rees W. 1996. Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth. New Society Publishers, Philadelphia, PA. Wardoyo STH. 1975. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. PSLH-IPB. Bogor. Warren-Rhodes K, Koenig A. 2001. Analysis Ecosystem Appropriation by Hong Kong and its Implications for Sustainable Development. J. Ecological Economics 39: 350. Elsevier Science B.V. Wang S, Bian X. 2007. Synthesis Evaluation with Entri-Array-Polygon Method to Ecological Economic System of Funing County in Jiangsu Provice. Environ Monit Assess 127. P 539. http://www.springer.com. [15 Desember 2008] Wilson J, Anielski M. 2005. Ecological Footprint of Canadian Municipalities and Regions. The Canadian Federation of Canadian Municipalities. Canada. P 8. WWF. 2005. Europe 2005 The Ecological Footprint. World Wide Fund for Living Planet (WWF) European Policy Office, Brussels Belgium. P 20 – 21. Wyritki K. 1961. Physichal Oceanography of Southest Asian Waters. Naga Report, Vol 2. La Jolla, California.
Lampiran
80
Lampiran 1
Metode Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia
Metode Pengukuran Kecepatan Arus (cm/dtk) Pengukuran kecepatan arus permukaan dilakukan dengan layang-layang arus (drift float) (lihat Gambar ) dan stop watch, sedangkan arah arus diperoleh dengan menggunakan kompas geologi. Kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan
VVVV =
dimana
ssss tttt
persamaan Kreyzig, (1993, dalam Rasyid, 2000) :
V = Kecepatan arus (m/det) s = jarak/panjang tali (meter) t = Waktu yang ditempuh tali (detik)
Pengukuran Kecepatan Arus Metode Pengukuran Kecerahan dan Kedalaman (m) Pengukuran kecerahan dilakukan dengan menggunakan secchi disk yang diikatkan pada tali kemudian diturunkan perlahan-lahan kedalam perairan hingga tidak telihat lagi, selanjutnya lakukan hal serupa sampai kedalam perairan saat secchi disk terlihat. Kedua nilai kedalaman saat secchi disk tidak terlihat dan saat secchi disk terlihat ditambahkan kemudian dibagi 2 (dua) merupakan tingkat kecerahan perairan . Nilai kecerahan dalam skala cm dikonversikan kedalam nilai persen dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
81
Kecerahan Perairan (%) =
Nilai Kecerahan (cm) x100% Kedalaman (cm)
Karena nilai kedalaman perairan untuk budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka dapat terlihat atau tampak dasar perairan sehingga pengukuran kedalaman diperoleh dari pengukuran kecerahan.
Metode Pengukuran Suhu Perairan (oC) Suhu permukaan perairan diukur dengan menggunakan termometer batang. Sampel air laut dimasukkan ke dalam gelas piala, selanjutnya termometer batang dimasukkan kedalam sampel air. Air raksa dalam termometer batang menunjukkan nilai suhu permukaan perairan dalam satuan oC
Metode Pengukuran Salinitas (ppt) Pengukuran salinitas permukaan menggunakan salinometer. Sampel air laut dimasukkan kedalam gelas ukur berskala, kemudian termometer dimasukkan kedalam gelas ukur hingga tenggelam. Salinometer akan tenggelam sampai batas tertentu. Nilai skala salinometer pada batas permukaan sampel air menunjukkan nilai salinitas permukaan perairan dalam satuan ppt.
Pengukuran Salinitas
Metode Pengukuran pH Paramater derajat keasaman/pH air laut diukur dengan menggunakan pH meter. Alat ini memiliki sensor, dimana sensor dimasukkan kedalam wadah berisi sampel air laut. Selanjutnya pembacaan nilai pH yang terdapat pada layar.
Metode Pengukuran Oksigen Terlarut (mg/l) Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan metode titrasi jodometri yang pertama kali diperkenalkan oleh Winkeler (1888) in Hutagalung
82
et.al (1997). Sampel air laut dimasukkan kedalam botol terang (Gambar 27 (a)) telah diikat dengan larutan MnSO4 sebanyak 2 ml, selanjutnya ditambahkan 2 ml NaOH + KI agar membentuk endapan kuning dan 8 ml H2SO4 untuk melarutkan endapan yang terbentuk. Setelah itu, larutan dalam botol terang dimasukkan kedalam elenmeyer sebanyak 100 ml (Gambar 27 (b)) kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 5 H2O 0,025 N (Gambar 27 (c)) sampai larutan kuning kecoklatan berubah menjadi kuning muda. Kemudian ditambahan 2 – 3 tetes indikator amilum sampai warna kuning muda menjadi biru. Larutan kembali dititrasi dengan Na2S2O3 5 H2O 0,025 N sampai warna biru menjadi bening, jumlah Na2S2O3 5 H2O 0,025 N terpakai merupakan nilai yang digunakan dalam perhitungan DO dengan rumus sebagai berikut :
DO =
ml Na 2 SO4 × 0,16 × 1000 1000
(a)
(b)
(c)
Pengukuran Oksigen Terlarut
Metode Pengukuran Nitrat dan Fosfat Sampel air untuk analisis kadar Nitrat dan Fosfat diambil pada kedalaman dekat permukaan. Sampel air kemudian dimasukkan kedalam botol sampel untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium. Penentuan kadar fosfat dan nitrat menggunakan metode APHA (1989)
83
Lampiran 2
Peta Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL Jakarta tahun 1987
Lampiran 3 -1
Peta Sebaran Arus di Perairan Laut Banda 121
122
12 3
124
-1
-1
m /s
1 21
12 2
123
124
-1
-1
m /s
121
122
123
124
-1
0
0
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
5
0
0
1
1
2
2
3
0
0
1
121
122
12 3
124
1 21
12 2
123
124
121
122
123
m/s
124
P eta Sebaran A rus D i Perairan Laut B a nda
P eta Sebaran A rus D i Perairan Laut B a nda
P eta Sebaran A rus Di Perairan Laut B a nda
K eterangan :
Keterangan :
Keterangan :
,
B ula n : D esem b er
Su m ber : P eta B enua M aritim Indonesia (P ur w andani 2001 )
,
B ulan : J anuari
S um ber : P eta B enua M aritim Indonesia (P ur wandani 2001 )
,
Bulan : Februari
Sum ber : P eta Benua Maritim Indonesia (Pur wandani 2001 )
Musim Hujan : DesemberDesember-JanuariJanuari-Februari 84
Lampiran 3 (Lanjutan) -1
121
122
123
124
-1
0
0
1
-1
m/s
121
122
123
124
-1
0
0
1
1
2
2
3
-1
m/s
121
122
123
124
-1
0
0
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
5
121
122
123
124
121
122
123
124
121
122
123
m/s
124
Peta Sebaran A rus Di P erairan Laut B a nda
Peta Sebaran A rus Di P erairan Laut B a nda
Peta Sebaran A rus Di P erairan Laut B a nda
Keterangan :
Keterangan :
Keterangan :
,
Bulan : M aret
Sum ber : Peta Benua M aritim Indonesia (Pur wandani 2001 )
,
Bulan : April
Sum ber : Peta Benua M aritim Indonesia (Pur wandani 2001 )
,
Bulan : M ei
Sum ber : Peta Benua M aritim Indonesia (Pur wandani 2001 )
Musim Pancaroba : MaretMaret-AprilApril-Mei
85
Lampiran 3 (Lanjutan) -1
121
122
123
124
-1
-1
m/s
121
122
123
124
-1
0
0
1
1
2
2
3
0
0
1
-1
m/s
121
122
123
124
-1
0
0
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
5
121
122
123
124
121
122
123
124
121
122
123
m/s
124
Peta Sebaran A rus Di P erairan Laut B a nda
Peta Sebaran A rus Di P erairan Laut B a nda
Peta Sebaran A rus Di P erairan Laut B a nda
Keterangan :
Keterangan :
Keterangan :
,
Bulan : Juni
,
B ulan : J uli Sum ber : Peta Benua M aritim Indonesia (Pur wandani 2001 )
Sum ber : P eta B enua M aritim Indones ia (P ur wandani 2001 )
,
B ulan : A gustu s
Sum ber : P eta B enua M aritim Indones ia (P ur wandani 2001 )
Musim Panas : JuniJuni-JuliJuli-Agustus
86
Lampiran 3 (Lanjutan) -1
121
122
123
124
-1
-1
0
0
1
m/s
121
122
123
124
-1
121
-1
m/s
122
123
124
-1
0
0
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
5
0
0
1
1
2
2
3
121
122
123
124
121
122
123
121
124
122
123
m/s
124
Peta Sebaran A rus Di P erairan Laut B a nda
Peta Sebaran A rus Di Perairan Laut Ba B a nda
Peta Sebaran A rus Di Perairan Laut Ba B a nda
Keterangan :
Keterangan :
Keterangan :
,
B ulan : S eptem ber
Sum ber : Peta Benua M aritim Indonesia (Pur wandani 2001 )
,
Bulan : O ktober
Sumber : Peta Benua M aritim Indonesia (Purw (Purw andani 2001 )
,
Bulan : November
Sumber : Peta Benua M aritim Indonesia (Purw (Purw andani 2001 )
Musim Pancaroba : SeptemberSeptember-OktoberOktober-November
87
Lampiran 4 Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Hasil Pengukuran Rata-Rata Parameter Lingkungan Untuk Budidaya Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka Kecerahan (m) 3,83 14,20 2,97 5,70 2,47 3,30 2,97 2,50 6,97 2,83 2,67 2,75 3,00 7,00 7,17
Kedalaman (m) 3,83 14,20 2,97 5,70 2,47 3,30 2,97 2,50 6,97 2,83 2,67 2,75 3,00 7,00 7,17
Kecepatan Arus (cm/dtk) 11,75 7,39 13,27 12,61 6,91 6,80 6,90 7,24 12,50 17,71 17,32 17,16 17,39 12,33 12,12
Salinitas (ppt) 30,67 31,00 28,00 28,33 28,33 28,67 29,67 29,67 30,67 30,33 29,67 29,33 28,67 29,33 29,33
Suhu (oC)
pH
DO (mg/l)
30,67 30,33 30,00 30,67 30,00 29,67 29,67 30,00 30,67 30,00 29,67 29,33 29,67 30,00 30,67
8,23 8,28 8,30 8,02 8,15 8,12 8,10 8,15 8,15 8,00 8,13 7,97 8,12 8,15 8,12
5,13 5,49 6,35 6,12 5,20 5,22 5,33 5,83 5,40 4,83 4,83 5,37 6,12 4,92 4,83
Nitrat (ppm) 0.33 0,33 0,37 0,53 0,33 0,34 0,33 0,23 0,33 0,34 0,33 0,33 0,37 0,37 0,37
Phospat (ppm) 0,43 0,54 0,56 0,75 0,56 0,45 0,45 0,45 0,43 0,45 0,36 0,36 0,36 0,45 0,46
88
89
Lampiran 5
Keanekaragaman Ikan Karang Kabupaten Morowali
No 1.
Family Holocentridae (Kelompok Ikan Taget)
2.
Serranidae (Kelompok Ikan Target dan Major)
3. 4.
Apogonidae (Kelompok Ikan Target) Lutjanidae (Kelompok Ikan Target)
5.
Haemulidae(Kelompok Ikan Target)
6. 7. 8.
Mullidae (Kelompok Ikan Target) Ephippidae (Kelompok Ikan Target dan Indikator) Chaetodontidae (Kelompok Ikan Indikator)
9. 10.
Pomacanthidae (Kelompok Ikan Indikator) Pomacentridae (Kelompok Ikan Indikator)
11.
Labridae (Kelompok Ikan Major dan Target)
12. 13. 14.
Scaridae (Kelompok Ikan Target dan Indikator) Zamclidae (Kelompok Ikan Major ) Acanthuridae (Kelompok Ikan Target)
15. 16.
Siganidae (Kelompok Ikan Target) Balistidae (Kelompok Ikan Target)
Species Myripristis berndti M. adusta M. vittata Sargocentron caudimaculatum S. spiniferum Pseudanthis hypselosoma P. pleurotaenia P. dispar P. squamipinnis P. tuka Cephalopholis miniata Cephalopholis sp. Epinephelus caeruleopunctatus Epinephelus sp. Gracilla albomarginata Apogon nigrofasciatus Lutjanus fulvus L. gibbus L. fulviflamma Macolor niger Pterocaesio tile Plectorhinchus lineatus P. orientalis Parupeneus bifasciatus Platax teira Chaetodon auriga C. klenii Forcipiger flavissimus Hemitaurichthys polylepis Heniocho\us pleurotaenia Pygoplites diacanthus Abudefduf sp. Chromis margaritifer Prennas biaculeatus Amphiprion peridereion Chrysiptera para sema Dascyllus spp. Pamacentrus nigromanus P. moluccensis Neoglyphidodon nigrosis Labroides dimidiatus Caranx spp. Scarus schlegeli Ctenochaetus striatus Zebrasoma scopas Zanclus cornutfus Siganus corallinus Odonus niger
90
Lampiran 6 Data Luas Lahan dan Produksi Rumput Laut No Nama Desa Responden Luas Lahan (m2) Produksi (Kg/Tahun) 1
Kaleroang
2
Paku
3
Buajangka
4
Lakombulo
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8
1.125 675 1.125 1.013 375 150 150 105 360 900 225 300 375 188 750 375 750 325 250 375 3.900 450 248 1.590 2.400 318 6.000 600 2.160 600 300 150 375 188 281 563 263 150 188 300 1.125 675 750 188 150 150 700 500 750 150 450 675 900
700,00 400,00 666,67 600,00 333,33 100,00 100,00 93,33 320,00 533,33 100,00 133,33 55,56 27,78 111,11 55,56 111,11 216,67 166,67 83,33 1.300,00 266,67 146,67 530,00 800,00 141,33 2.200,00 266,67 720,00 266,67 88,89 66,67 122,22 55,56 125,00 166,67 97,22 44,44 83,33 133,33 333,33 200,00 111,11 55,56 44,44 100,00 233,33 333,33 500,00 100,00 100,00 150,00 200,00
91
Lampiran 6 (Lanjutan)
No
Nama Desa
5
Bungingkela
6
Jawi-jawi
Responden
Luas Lahan (m2)
Produksi (Kg/Tahun)
R9 R10 R11 R12 R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23
1.350 450 450 500 600 450 875 600 375 1.050 600 1.050 900 1.050 875 750 875 600 600 375 600 450 400 750 875 450 250 600 450 300 225 225 225 180 450 675 675 675 675 675 450 720 135 225 120 450 450 450 450 270 450 450 675
400,00 100,00 100,00 666,67 100,00 75,00 145,83 100,00 62,50 175,00 100,00 262,50 150,00 175,00 145,83 125,00 145,83 100,00 100,00 62,50 100,00 75,00 66,67 125,00 145,83 60,00 41,67 100,00 75,00 50,00 66,67 66,67 50,00 40,00 133,33 150,00 200,00 200,00 200,00 200,00 133,33 160,00 30,00 50,00 17,78 133,33 133,33 133,33 133,33 80,00 133,33 100,00 200,00
92
Lampiran 6 (Lanjutan)
No
Nama Desa
7
Koburu
8
Waru-waru
9
Po
Responden
Luas Lahan (m2)
Produksi (Kg/Tahun)
R24 R25 R26 R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R1 R2
450 135 270 263 225 360 360 105 315 270 270 360 225 250 375 300 180 180 540 828 345 938 440 600 990 225 240 225 600 420 570 450 420 450 450 450 750 480 540 360 450 420 360 450 450 450 600 420 450 300 600 550 1.250
133,33 30,00 80,00 466,67 300,00 240,00 240,00 70,00 210,00 180,00 180,00 240,00 150,00 166,67 250,00 200,00 120,00 60,00 180,00 368,00 204,44 555,56 195,56 266,67 440,00 100,00 80,00 400,00 200,00 130,67 532,00 420,00 392,00 420,00 420,00 435,00 233,33 480,00 504,00 336,00 420,00 392,00 360,00 420,00 420,00 420,00 560,00 336,00 420,00 280,00 560,00 366,67 833,33
93
Lampiran 6 (Lanjutan)
No
Nama Desa
10
Waru
11
Padabale
Responden
Luas Lahan (m2)
Produksi (Kg/Tahun)
R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20
750 1.000 900 450 400 700 1.000 750 500 500 1.000 750 600 350 150 800 300 450 600 315 750 450 600 900 400 180 225 750 225 250 375 1.000 850 400 280 120 550 320 150 1.800 400 1.000 400 300 440 300 400 272 400 240 1.200 240 400
500,00 666,67 600,00 300,00 266,67 466,67 666,67 500,00 333,33 333,33 666,67 500,00 400,00 233,33 100,00 533,33 200,00 300,00 400,00 210,00 500,00 300,00 400,00 600,00 266,67 120,00 150,00 500,00 150,00 166,67 250,00 666,67 566,67 700,00 400,00 666,67 600,00 333,33 100,00 100,00 93,33 320,00 533,33 100,00 47,62 33,33 15,00 122,22 53,33 20,00 144,00 66,67 100,00
94
Lampiran 6 (Lanjutan)
No
Nama Desa
12
Pado-pado
13
Pulau bapa
Jumlah
Responden
Luas Lahan (m2)
Produksi (Kg/Tahun)
R21 R22 R23 R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 253
240 520 200 750 750 750 400 500 500 500 750 500 150 650 240 850 225 750 180 180 600 360 500 648 90 540 540 960 1.260 1.500 1.013 563 1.125 225 300 405 1.120 225 1.500 280 300 142.972
20,00 86,67 29,17 500,00 500,00 500,00 266,67 333,33 333,33 333,33 500,00 333,33 100,00 433,33 160,00 566,67 100,00 500,00 120,00 120,00 400,00 53,33 333,33 144,00 30,00 120,00 90,00 160,00 210,00 888,89 450,00 333,33 500,00 133,33 50,00 90,00 149,33 100,00 200,00 46,67 30,00 62.768,12