PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN TEPAT GUNA UNTUK SUMBERDAYA IKAN PELAGIS DI KOTA SORONG
BEKTI GIRI WAHYUNI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan Tepat Guna Untuk Sumberdaya Ikan Pelagis di Kota Sorong adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Januari 2008
Bekti Giri Wahyuni C 551054064
RINGKASAN
BEKTI GIRI WAHYUNI. Pengembangan teknologi penangkapan ikan tepat guna untuk sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong. Dibimbing oleh MULYONO S. BASKORO dan SUGENG HARI WISUDO. Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong dilakukan oleh nelayan tradisional dengan beberapa alat tangkap seperti jaring insang (gillnet), bagan perahu (boat liftnet), pancing tonda (trolling lines) dan pancing tuna (tuna handlines). Beragamnya alat tangkap mengakibatkan produktivitas belum optimal, pemanfaatan sumberdaya ikan tidak terkendali dan timbulnya konflik antar nelayan. Oleh karena itu perlu adanya informasi tentang teknologi tepat guna untuk pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis dan strategi pengembanganya. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi perkembangan perikanan pelagis, (2) menentukan jenis teknologi penangkapan ikan tepat guna untuk sumberdaya ikan pelagis (3) mengidentifikasi faktor-faktor produksi yang berpengaruh pada unit penangkapan ikan pelagis yang terpilih dan (4) memformulasikan strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis. Penelitian ini menetapkan survei dan observasi untuk pengumpulan data. Perkembangan perikanan pelagis dianalisis secara deskriptif. Pemilihan teknologi penangkapan ikan tepat guna menerapkan analisis skoring dengan comparative performance index (CPI) dengan mempertimbangkan aspek biologi, teknik, ekonomi dan sosial. Faktor produksi dianalisis dengan analisis regresi linier berganda sedangkan penentuan strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis ditentukan dengan analytical hierarchy process (AHP). Penelitian ini menunjukkan nilai CPUE perikanan pelagis cenderung meningkat sehingga masih ada peluang pengembangan. Teknologi penangkapan ikan pelagis yang cocok dikembangkan di Kota Sorong adalah bagan perahu, pancing tonda dan pancing tuna. Faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi bagan perahu diperoleh jumlah jam operasi, jumlah lampu dan jumlah tenaga kerja. Faktor yang berpengaruh terhadap produksi pancing tonda adalah jumlah mata pancing dan jumlah pancing, sedangkan faktor yang berpengaruh pada pancing tuna adalah jumlah tenaga kerja dan pengalaman nelayan. Kebijakan perikanan pelagis diusulkan untuk diprioritaskan pada perbaikan penanganan hasil tangkapan, pengembangan alat tangkap berkelanjutan, peningkatan kualitas sumberdaya nelayan dan aparat, peningkatan kelembagaan dan permodalan, peningkatan sarana dan prasarana penangkapan dan peningkatan jumlah hasil tangkapan. Kata kunci : Teknologi penangkapan ikan tepat guna, sumberdaya ikan pelagis, kebijakan pengembangan.
ABSTRACT BEKTI GIRI WAHYUNI. Development of an appropriate fishing technology in the pelagic resources in the municipal of Sorong. Undersupervision of MULYONO S. BASKORO and SUGENG HARI WISUDO. Fishermen from Sorong traditionally operate gillnets, boat liftnets, trolling lines and tuna handlines for capture pelagic fishes. Present status of various of fishing units has caused not optimal productivity and uncontrolled exploitation as well as conflicts among fishermen. Therefore, information regarding an appropriate technology for such exploitation and development were important. The objectives of this study were 1) to identify the development of pelagic fishery in Sorong, 2) to determine appropriate technology for pelagic fishes 3) to identify the production factors that affect on the selected units of pelagic fishing, and 4) to formulate strategic policies for the development of pelagic fishery. The data collection were carried out through a survey and observation activity. Descriptive analysis was applied to describe the development pelagic fisheries at Sorong. Selection of technology was carried out by applying scoring analysis using comparative performance index (CPI) considering biological, technical, economical and social aspects, while analysis of production function with multi linier regression and analytical hierarchy process (AHP) were applied to determine factors affecting productivity and pelagic fisheries strategies, respectively. The result analysis showed that catch per unit effort (CPUE) pelagic fisheries value tend to increase, therefore fisheries development is possible. The selected fishing technologies were boat lifnets, trolling lines and tuna handlines. The factors affecting production on boat liftnets were number of operation time, number of lamp and number of fishermen. The factors on trolling lines were number of hooks and number of lines unit. The factors on tuna handlines were number of fishermen and fishermen’s experience. The strategies of pelagic fishery development in Sorong that should be applied from the highest to the lowest are improvement in fish handling, development of sustainable fishing units, improvement of human resources (fishermen and government’s officials), institutional and capital improvement, improvement of fishing facilities and infrastructure, and increased fish production. Key words : appropriate fishing policies.
technology, pelagic resources, development
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan , penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN TEPAT GUNA UNTUK SUMBERDAYA IKAN PELAGIS DI KOTA SORONG
BEKTI GIRI WAHYUNI
TESIS Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis
: Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan Tepat Guna untuk Sumberdaya Ikan Pelagis di Kota Sorong.
Nama Mahasiswa
: Bekti Giri Wahyuni
Nomor Pokok
: C551054064
Program Studi
: Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing :
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M. Sc.
Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si
Ketua
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan,
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M. Sc.
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Khairil A, Notodiputro, MS
.
Tanggal Ujian : 06 Pebruari 2008
Tanggal Lulus : 25 Pebruarib2008
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purwokerto, Jawa Tengah pada tanggal 02 Oktober 1965, sebagai anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Sukin Suhartono (almarhum) dan Rochmah Priniyati (almarhum). Penulis telah menikah dengan Ir. Mohammad Said Noer M.Si. Pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas ditempuh di Kota Sorong Propinsi Papua Barat. Gelar Sarjana diraih pada tahun 1989 di Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Seusai menempuh pendidikan S-1 penulis diangkat menjadi pegawai Negeri Sipil pada Dinas Perikanan Kabupaten Sorong pada tahun 1990. Pada tahun 2006 penulis mendapat izin melanjutkan program Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan (TKL), Sub Program Studi Perencanaan dan Pembangunan Kelautan dan Perikanan (PPKP) Institut Pertanian Bogor dengan biaya sendiri.
PRAKATA Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan ridha-Nya, penulis dapat menyusun tesis dengan judul “ Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan Tepat Guna untuk Sumberdaya Ikan Pelagis di Kota Sorong”. Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya kepada : (1) Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. Selaku ketua komisi pembimbing yang banyak memberikan bimbingan, wawasan dan saran yang positif. (2) Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingannya. (3) Prof. Dr. Ir. John Haluan MSc selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan. (4) Dekan Sekolah Pascasarjana dan staf pengajar Program Studi Teknologi Kelautan atas bekal ilmu pengetahuan dan wawasan yang diberikan kepada penulis. (5) Pemerintah Daerah Kota Sorong atas izin penelitian. (6) Kepala Kantor Perikanan Kota Sorong dan staf atas bantuan penelitian. (7) Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong atas izin pendidikan. (8) Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong dan staf atas bantuan penelitian. (9) Terkhusus suami tercinta Ir. Mohammad Said Noer M.Si dan anak-anak Rizky, Rofiq dan Fadlan atas segala kasih sayang, dukungan dan doa yang diberikan selama pendidikan. (10)Semua pihak yang telah memberikan dukungan dan sumbangsih pemikiran dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritikan yang konstruktif penulis harapkan sebagai penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat. Bogor,
Januari 2008 Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................ ........
Halaman xii
DAFTAR GAMBAR............................................................................. ...
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... ...
xvi
1 PENDAHULUAN.............................................................................. ...
1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 1.5 Kerangka Pemikiran..........................................................................
1 4 5 5 5
2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
8
2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis .................................................................. 2.2 Usaha Perikanan Tangkap................................................................. 2.3 Teknologi Penangkapan Ikan Pelagis ............................................... 2.4 Pengembangan Perikanan Tangkap .................................................. 2.5 Aplikasi Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) .................... 2.6 Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan Tepat Guna.................. ..... 2.7 Analisis Fungsi Produksi ........................................................... ......
8 17 18 21 23 25 28
3 METODOLOGI ...................................................................................
29
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 3.2 Metode Pengumpulan Data ............................................................... 3.3 Asumsi-asumsi .................................................................................. 3.4 Metode Analisis Data........................................................................ 3.4.1 Analisis deskriptif dan tabulatif ............................................... 3.4.2 Analytical hierarchy process (AHP) ........................................ 3.4.3 Analisis kelayakan usaha ......................................................... 3.4.4 Metode skoring dengan comparative performance index ........................................................................................ 3.4.5 Analisis fungsi produksi ..........................................................
29 29 36 36 36 37 43 44 46
4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN....................................
50
4.1 Letak Geografis................................................................................. 4.2 Klimatologi ....................................................................................... 4.3 Topografi dan Ketinggian ................................................................. 4.4 Kondisi Sosial Penduduk .................................................................. 4.5 Kondisi Perikanan Tangkap .............................................................. 4.5.1 Produksi perikanan pelagis ......................................................
50 50 51 52 52 52
4.5.2 Alat tangkap ............................................................................. 4.5.3 Armada .................................................................................... 4.5.4 Nelayan dan rumah tangga perikanan (RTP) ...........................
53 54 56
5 HASIL PENELITIAN .........................................................................
58
5.1 Keragaan Unit Penangkapan Ikan Pelagis ........................................ 5.1.1 Armada penangkapan............................................................... 5.1.2 Alat tangkap ............................................................................. 5.1.2.1 Jaring insang (gillnet)................................................... 5.1.2.2 Bagan perahu (boat liftnet) .......................................... 5.1.2.3 Pancing tonda (trolling lines)....................................... 5.1.2.4 Pancing tuna (handlines).............................................. 5.1.3 Daerah dan musim penangkapan ............................................ 5.2 Perkembangan Perikanan Pelagis di Kota Sorong ............................ 5.3 Analisis AHP Penentuan Prioritas..................................................... 5.3.1 Aktor atau pelaku perikanan pelagis ........................................ 5.3.2 Kriteria yang dipertimbangkan dalam pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong ............................................ 5.3.3 Alternatif strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong ........................................................... .. 5.4 Pemilihan Teknologi Tepat Guna untuk Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Pelagis di Kota Sorong......................................... 5.4.1 Analisis aspek biologi .............................................................. 5.4.2 Analisis aspek teknis ................................................................ 5.4.3 Analisis aspek sosial ................................................................ 5.4.4 Analisis aspek ekonomi ........................................................... 5.4.5 Analisis aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi.................. 5.5 Analisis Fungsi Produksi ................................................................. 5.5.1 Bagan perahu (boat liftnet)....................................................... 5.5.2 Pancing tonda( trolling lines)................................................... 5.5.3 Pancing tuna (handlines)..........................................................
58 58 58 58 61 63 65 67 68 73 74
6 PEMBAHASAN ....................................................................................
91
6.1 Kondisi dan Peluang Pengembangan Perikanan Pelagis di Kota Sorong ............................................................................................... 6.2 Strategi Kebijakan Pengembangan Perikanan Pelagis di Kota Sorong .................................................................................. 6.2.1 Peningkatan penanganan hasil tangkapan................................ 6.2.2 Pengembangan alat tangkap berkelanjutan .............................. 6.2.3 Peningkatan kualitas sumberdaya nelayan dan aparat ............. 6.2.4 Peningkatan kelembagaan dan permodalan ............................. 6.2.5 Peningkatan sarana dan prasarana penangkapan...................... 6.2.6 Peningkatan jumlah hasil tangkapan........................................ 6.3 Pengembangan alat tangkap berkelanjutan ....................................... 6.4 Faktor-faktor Teknis Produksi .......................................................... 6.4.1 Bagan perahu (boat liftnet).......................................................
74 75 77 78 80 81 82 83 84 85 87 88
91 92 93 93 94 95 96 97 97 100 100
6.4.2 Pancing tonda (trolling lines)................................................... 6.4.3 Pancing tuna (handlines)..........................................................
101 103
7 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
106
7.1 Kesimpulan ....................................................................................... 7.2 Saran..................................................................................................
106 107
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
108
LAMPIRAN..............................................................................................
113
DAFTAR TABEL Halaman 1 Skala banding secara berpasang..................................................................
24
2 Nilai random consistency index (RI) untuk jumlah elemen (n) 1 sampai dengan 10 ..................................................................................................
25
3 Nilai skor untuk aspek selektivitas alat tangkap dengan parameter mata jaring untuk jenis alat penangkapan ikan yang diteliti...............................
26
4 Data parameter biologi yang dikumpulkan ...............................................
30
5 Kriteria untuk parameter ukuran mata jaring terhadap jenis alat penangkapan ikan yang diteliti ..................................................................
30
6 Kriteria untuk parameter jumlah ukuran ikan layak tangkap yang tertangkap...........................................................................................
30
7 Kriteria untuk parameter jumlah komposisi hasil tangkapan.....................
31
8 Kriteria untuk parameter cara pengoperasian alat penangkapan ikan........
31
9 Beberapa data parameter teknis yang dikumpulkan...................................
32
10 Data parameter sosial yang dikumpulkan...................................................
33
11 Kriteria untuk parameter tingkat penguasaan teknologi.............................
33
12 Data parameter ekonomi yang dikumpulkan..............................................
34
13 Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian..........................................
36
14 Matriks banding berpasang (pairwise comparison).............. .....................
39
15 Tabel anova.................................................................................................
49
16 Data curah hujan dan banyaknya hari hujan di Kota Sorong tahun 2006...
51
17 Penduduk Kota Sorong dan kepadatannya menurut Distrik tahun 2005....
52
18 Produksi sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong tahun 2006................
53
19 Jumlah alat tangkap perikanan pelagis di Kota Sorong tahun 2006...........
54
20 Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kota Sorong tahun 2002-2006.........................................................................................
55
21 Jumlah rumah tangga perikanan (RTP) dan nelayan di Kota Sorong dan perkembangannya dari tahun 2002 – 2006.................................................
57
22 Spesifikasi unit penangkapan ikan pelagis yang diteliti di Kota Sorong.....
59
23 Total produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit penangkapan ikan pelagis..........................................................................................................
68
24 Hasil analisis finansial dari unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong...........................................................................................................
72
25 Penilaian aspek biologi terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong........................................................................................................
78
26 Matriks hasil transformasi melalui teknik perbandingan indeks kinerja untuk aspek biologi.....................................................................................
79
27 Penilaian aspek teknis terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong..........................................................................................................
80
28 Matriks hasil transformasi melalui perbandingan indeks kinerja untuk aspek teknis ...............................................................................................
80
29 Penilaian aspek sosial terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong..........................................................................................................
81
30 Matriks hasil transformasi melalui perbandingan indeks kinerja untuk aspek sosial ................................................................................................
82
31 Penilaian aspek ekonomi terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong.............................................................................................
82
32 Matriks hasil transformasi melalui perbandingan indeks kinerja untuk aspek ekonomi ...........................................................................................
83
33 Penilaian aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong...........................................
84
34 Matriks hasil transformasi melalui teknik perbandingan indeks kinerja untuk aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi ........................................
84
35 Analisis varian untuk fungsi produksi bagan perahu di Kota Sorong..........
86
36 Analisis varian untuk fungsi produksi pancing tonda di Kota Sorong.........
87
37 Analisis varian untuk fungsi produksi pancing tuna di Kota Sorong...........
89
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Wilayah pengelolaan perikanan (WPP) di Indonesia.............................
3
2
Diagram alir kerangka pemikiran...........................................................
7
3
Morfologi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)....................................
10
4
Morfologi ikan tenggiri (Scomberomorus commerson).........................
11
5 Morfologi ikan tongkol (Euthynnus affinis)...........................................
13
6
14
Morfologi ikan kembung (Rastrelliger kanagurta)...............................
7 Morfologi ikan layang (Decapterus russeli)...........................................
15
8
Morfologi ikan selar (Selar crumenophthalmus)....................................
16
9
Morfologi ikan teri (Stelophorus spp).....................................................
17
10 Alat tangkap jaring insang menetap permukaan ....................................
19
11 Alat tangkap pancing tonda (trolling lines).............................................
20
12 Alat tangkap bagan perahu (boat liftnet)................................................
21
13 Diagram hirarki strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong .......................................................................................
38
14 Dagram alir penyusunan strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong.............................................................................
42
15 Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kota Sorong tahun 2002 – 2006.....................................................................................
55
16 Komposisi jenis armada penangkapan ikan di Kota Sorong tahun 2006.
56
17 Perkembangan jumlah RTP dan nelayan di Kota Sorong tahun 2002 – 2006.....................................................................................
57
18 Konstruksi jaring insang menetap permukaan (set surface gillnet) yang digunakan nelayan di Kota Sorong...................................................
59
19 Armada penangkapan jaring insang di Kota Sorong.................................
60
20 Ilustrasi pengoperasian jaring insang di Kota Sorong...............................
61
21 Bagan perahu yang digunakan oleh nelayan di Kota Sorong....................
62
22 Proses pengangkatan jaring (hauling) pada bagan perahu di Kota Sorong...........................................................................................
63
23 Unit alat tangkap pancing tonda di Kota Sorong.......................................
64
24 Unit armada penangkapan pancing tonda di Kota Sorong........................
65
25 Nelayan pancing tonda yang sedang beroperasi di perairan sekitar Kota Sorong..................................................................................
65
26 Unit alat tangkap pancing tuna yang digunakan nelayan di Kota Sorong............................................................................
66
27 Armada penangkapan pancing tuna di Kota Sorong................................
67
28 Daerah penangkapan ikan pelagis di sekitar Kota Sorong.......................
69
29 Perkembangan produksi perikanan pelagis di Kota Sorong.....................
70
30 Perkembangan upaya penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong..........................................................................................
70
31 Perkembangan CPUE perikanan pelagis di Kota Sorong.........................
71
32 Grafik hubungan CPUE dengan effort perikanan pelagis di Kota Sorong..........................................................................................
71
33 Aktor dan nilai prioritas pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong. 74 34 Kriteria dan nilai prioritas pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong…………………………………......................................
75
35 Nilai prioritas alternatif kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong..........................................................................................
76
36 Nilai hasil analisis AHP pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong..........................................................................................
77
37 Distribusi normal residual persamaan regresi bagan perahu.....................
85
38 Hubungan jumlah jam operasi, jumlah lampu dan jumlah tenaga kerja terhadap produksi bagan perahu yang dioperasikan di Kota Sorong
86
39 Distribusi normal residual persamaan regresi pancing tonda....................
87
40 Hubungan jumlah mata pancing dan jumlah pancing terhadap produksi pancing tonda yang dioperasikan di Kota Sorong.....................
88
41 Distribusi normal residual persamaan regresi pancing tuna.....................
89
42 Hubungan jumlah tenaga kerja dan pengalaman nelayan terhadap produksi pancing tuna yang dioperasikan di Kota Sorong........................
90
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta lokasi penelitian .........................................................................
113
2
Data perkembangan produksi perikanan pelagis di Kota Sorong selama kurun waktu 2002-2006 (ton).................................................
114
Data perkembangan jumlah armada perikanan dan alat tangkap di Kota Sorong tahun 2002-2006.......................................................
115
4
Hasil analisis analytical hirarchy process (AHP) …………………
117
5
Deskripsi dan analisis biaya unit penangkapan perikanan pelagis di Kota Sorong...................................................................................
120
6
Hasil analisis finansial usaha perikanan pelagis di Kota Sorong......
125
7
Data produksi dan faktor yang berpengaruh pada usaha perikanan pelagis di Kota Sorong.......................................................................
131
Hasil perhitungan regresi dengan program Minitab 14......................
134
3
8
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdapat dalam sektor
perikanan dan kelautan yang meliputi beberapa elemen sebagai subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya, antara lain prasarana dan sarana produksi, usaha penangkapan, pemasaran dan pembinaan. Dalam usaha perikanan tangkap, faktor biologi, lingkungan perairan dan sosial ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap kegiatan produksi. Sumberdaya ikan pelagis adalah merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang potensial karena jumlahnya yang cukup berlimpah dan mempunyai nilai ekonomis penting, oleh karenanya paling banyak ditangkap baik untuk konsumsi masyarakat, kebutuhan pasar regional bahkan ekspor. Menurut Uktolseja et al., (1998), di perairan Indonesia, sumberdaya ikan pelagis besar banyak dijumpai di perairan Samudra Pasifik yaitu perairan Sulawesi dan perairan sebelah Utara Papua serta Samudra Hindia, sedangkan untuk jenis ikan pelagis kecil umumnya penyebarannya merata di perairan dekat pantai (neritik) di seluruh perairan Indonesia. Kota Sorong merupakan bagian dari Propinsi Papua Barat yang terletak di kepala burung dari pulau Papua. Posisi tersebut sangat strategis sehingga menjadikan Kota Sorong sebagai pintu gerbang Papua. Berdasarkan wilayah pengelolaan perikanan, maka wilayah perairan di sekitar Kota Sorong termasuk dalam WPP VI yang meliputi Laut Seram dan Teluk Tomini (Gambar1). Total potensi sumberdaya ikan di WPP VI adalah sebesar 590.620 ton/tahun yang terdiri dari ikan pelagis, ikan demersal dan udang. Produksi perikanan pada tahun 2004 di WPP VI adalah sebesar 361.121 ton/tahun (DKP, 2005). Sebagian besar usaha perikanan yang berkembang di Kota Sorong masih tergolong perikanan pantai dimana kegiatan perikanan masih dilakukan oleh perikanan rakyat dengan menggunakan teknologi penangkapan yang relatif sederhana. Potensi sumberdaya ikan pelagis di perairan sekitar Kota Sorong masih tersedia, yang dibuktikan dengan mudahnya nelayan menangkap ikan dengan
2
menggunakan alat tangkap yang beragam. Alat tangkap yang umumnya digunakan oleh nelayan di Kota Sorong untuk penangkapan ikan pelagis adalah jaring insang (gill net), pancing tonda (trolling lines), bagan perahu (boat liftnet) dan pancing tuna (handlines). Jenis ikan pelagis yang dominan tertangkap oleh nelayan di Kota Sorong antara lain untuk jenis ikan pelagis besar seperti : tuna (Thunnus albacares), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus affinis, Auxis thazard) dan tenggiri (Scomberomorus communis), sedangkan untuk ikan pelagis kecil seperti : kembung (Rastrelliger spp), selar (Selaroides leptolesis), layang (Decapterus spp), simbulah (Amblygaster sirm) dan teri (Stolephorus spp). Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong, dihadapkan pada kenyataan bahwa usaha perikanan yang dilakukan masih dalam skala usaha perikanan rakyat dengan beragamnya alat penangkapan ikan yang digunakan. Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan nelayan serta sarana prasarana penangkapan masih terbatas, sehingga mempengaruhi produksi dan produktivitas nelayan. Sumberdaya ikan pelagis merupakan salah satu komoditas yang cukup besar memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kota Sorong. Oleh karenanya sumberdaya ikan pelagis harus tetap dikelola secara baik dan arif yang didukung oleh sumberdaya manusia yang diandalkan untuk mengelola potensi tersebut secara profesional dan berkelanjutan. Upaya pengembangan keunggulan kompetitif sudah menjadi prioritas dalam pengembangan sektor perikanan dan kelautan, mengingat sumberdaya ikan di daerah ini mampu memberikan kontribusi yang lebih optimal dalam pembangunan daerah. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan pelagis di Kota Sorong, antara lain tentang sumberdaya perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) (Sala, 1999) dan (Simbolon, 2003) sedangkan penelitian tentang sumberdaya udang Cherax lorentzi (Tapilatu, 2000) telah dilakukan di perairan Sorong. Namun penelitian tentang pengembangan teknologi penangkapan tepat guna untuk sumberdaya perikanan pelagis di Kota Sorong belum pernah dilakukan. Oleh karena itu penelitian yang berkaitan dengan teknologi penangkapan ikan tepat guna untuk sumberdaya perikanan pelagis perlu dilakukan.
3
Gambar 1 Wilayah pengelolaan perikanan (WPP) di Indonesia (DKP, 2005).
4
1.2 Perumusan Masalah Usaha perikanan tangkap untuk sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong sangat potensial. Dalam upaya pengembangan pemanfaatan sumberdaya secara optimal
untuk
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat,
tantangan
untuk
memelihara sumberdaya secara berkelanjutan merupakan langkah nyata yang harus diakomodir dalam kebijakan pembangunan perikanan.
Pemanfaatan
sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong relatif masih belum optimal, disebabkan karena beberapa faktor antara lain minimnya informasi tentang sumberdaya ikan pelagis, beragamnya alat penangkapan ikan yang digunakan nelayan, sarana dan prasarana usaha perikanan tangkap yang ada masih terbatas, alat tangkap dan armada yang digunakan masih tergolong sederhana, minimnya pengetahuan dan keterampilan nelayan, keterbatasan modal usaha, rantai pemasaran yang belum tertata dengan baik dan kemampuan manajemen yang lemah. Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis diharapkan dapat memenuhi kontinuitas permintaan pasar saat ini dan yang akan datang, sehingga peningkatan kesejahteraan nelayan dapat optimal dan berkelanjutan. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan ditentukan oleh pilihan teknologi tepat guna yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan. Berkaitan dengan
hal
tersebut,
maka
sangat
diperlukan
kajian
tentang
strategi
pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong, teknologi penangkapan ikan tepat guna dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi ikan pelagis. Peningkatan
pemanfaatan
sumberdaya
ikan
pelagis
dengan
tetap
berpedoman pada prinsip kehati-hatian diharapkan akan meningkatkan produksi dan produktivitas. Peningkatan produktivitas nelayan yang diiringi dengan peningkatan kualitas hasil tangkapan dan manajemen pemasaran akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan. Berdasarkan pada kondisi tersebut diatas, garis besar permasalahan yang dapat dikemukan dalam pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong adalah : (1) belum diketahuinya kondisi sumberdaya perikanan pelagis saat ini, (2) belum tersusunnya strategi kebijakan untuk pengembangan perikanan pelagis secara berkelanjutan, (3) belum diketahuinya teknologi penangkapan ikan tepat guna untuk sumberdaya ikan pelagis, serta (4) belum diketahuinya faktor-faktor
5
produksi yang berpengaruh terhadap produksi, sehingga diduga penggunaannya belum optimal. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Mengidentifikasi perkembangan perikanan pelagis di Kota Sorong. (2) Memformulasikan strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong. (3) Menentukan jenis teknologi penangkapan ikan tepat guna untuk sumberdaya ikan pelagis. (4) Menentukan faktor-faktor produksi yang berpengaruh pada unit penangkapan ikan pelagis terpilih. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : (1) Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kota Sorong dalam menentukan kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong. (2) Sebagai bahan informasi bagi nelayan dalam pengembangan usaha penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong. (3) Memberikan informasi tentang teknologi penangkapan ikan dan sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong. 1.5 Kerangka Pemikiran Kontribusi sektor perikanan pelagis di Kota Sorong sangat berperan selain bagi peningkatan pendapatan asli daerah, ekspor juga kebutuhan demand lokal dalam rangka pemenuhan pangan dan gizi masyarakat. Namun demikian kegiatan usaha perikanan pelagis di Kota Sorong belum optimal. Belum optimalnya pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
pelagis
adalah
dihadapkan
pada
permasalahan yang bersifat kompleks antara lain : (1) belum stabilnya produktivitas nelayan, (2) sarana dan prasarana penangkapan masih terbatas, (3) pengetahuan dan keterampilan nelayan relatif masih terbatas, (4) kemampuan modal usaha masih terbatas dan (5) kemampuan manajemen usaha yang masih lemah. Alternatif strategi kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan pelagis,
6
dilakukan dengan pendekatan sistem. Identifikasi dan analisa kebutuhan untuk masing-masing aktor yang berperan terhadap pengembangan sumberdaya perikanan pelagis di Kota Sorong dilakukan sebagai langkah awal dalam memformulasikan alternatif kebijakan. Pemilihan teknologi penangkapan ikan tepat guna untuk sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong sangat penting dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan pemanfaatan sumberdaya perikanan pelagis secara optimal dan berkelanjutan. Upaya untuk meningkatkan produktivitas dengan penggunaan faktor-faktor produksi secara efisien perlu dilakukan dengan pengkajian tentang faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi hasil tangkapan. Sehingga faktorfaktor yang berperan merupakan faktor-faktor yang perlu dioptimalkan penggunaannya. Pengkajian tentang pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong belum banyak dilakukan. Oleh karena itu dalam upaya pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis secara optimal dan berkelanjutan, perlu dilakukan kajian strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis, pengembangan teknologi penangkapan ikan tepat guna dan faktor – faktor yang berpengaruh terhadap produksi hasil tangkapan ikan pelagis. Rangkaian kerangka pemikiran kajian pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong tersebut dapat dikemukakan secara skematis seperti tersaji pada Gambar 2.
7
Kondisi terkini perikanan pelagis di Kota Sorong
Analisis perkembangan perikanan pelagis di Kota Sorong
Strategi pengembangan perikanan pelagis
Pemilihan teknologi penangkapan ikan pelagis tepat guna
Menentukan faktorfaktor produksi sumberdaya ikan pelagis tepat guna
Pengembangan sumberdaya perikanan pelagis di Kota Sorong Yang optimal berkelanjutan
Gambar 2 Diagram alir kerangka pemikiran.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis Ditinjau dari pembagian wilayah pengelolaan perikanan (WPP) di Indonesia, wilayah perairan Kota Sorong termasuk dalam wilayah pengelolaan perikanan (WPP) VI yang meliputi perairan laut Seram dan teluk Tomini. Potensi sumberdaya ikan di WPP tersebut adalah sebesar 590.620 ton/tahun, sedangkan total produksi pada tahun 2004 adalah sebesar 361.121 ton/tahun (DKP, 2005). Kawasan pelagis terbagi secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dibagi atas dua zona, yaitu : zona neritik, mencakup massa air yang terletak di atas paparan benua dan zona aceanik, yang meliputi seluruh perairan terbuka lainnya. Secara vertikal terdiri atas zona epipelagik yang mempunyai kedalaman 100-150 m atau lebih umum disebut zona tembus cahaya. Zona ini merupakan kawasan terjadinya produktivitas primer yang penting bagi kelangsungan kehidupan dalam laut. Kemudian zona di sebelah bawah epipelagik sampai pada kedalaman sekitar 700 m disebut zona mesopelagik. Pada kawasan zona ini penetrasi cahaya kurang atau bahkan berada dalam keadaan gelap (Nybakken, 1992). Selanjutnya menurut Nybakken (1992), organisma pelagis adalah organisma yang hidup di kolom air jauh dari dasar perairan. Organisma pelagis adalah organisma yang hidup di laut terbuka lepas dari dasar laut dan menghuni seluruh daerah di perairan lepas yang dikenal dengan kawasan pelagis. Menurut Uktolseja et al., (1998), sumberdaya ikan pelagis dibagi berdasarkan ukuran, yaitu ikan pelagis besar seperti kelompok tuna (Thunidae) dan cakalang (Katsuwonus pelamis), kelompok marlin (Makaira sp), kelompok tongkol (Euthynnus spp) dan tenggiri (Scomberomorus spp), selar (Selaroides leptolepis) dan sunglir (Elagastis bipinnulatus), sedangkan sumberdaya ikan pelagis kecil dikelompokkan antara lain : kluped seperti teri (Stolephorus indicus), japuh (Dussumieria spp), lemuru (Sardinella longiceps) dan siro (Amblygaster sirm), dan kelompok scrombroid seperti kembung (Rastrellinger spp). Jenis ikan pelagis besar, kecuali jenis tongkol biasanya berada pada perairan dengan salinitas yang lebih tinggi dan lebih dalam.
9
Jenis-jenis ikan pelagis yang dominan tertangkap dan bernilai ekonomis penting di Kota Sorong adalah : 2.1.1 Tuna (Thunnus albacares) Klasifikasi ikan tuna menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Subkelas : Teleostei Ordo
: Percomorphi
Famili : Scombridae Sub Famili : Thunnidae Genus : Thunnus Species : Thunnus albacares Tubuh madidihang (Thunnus albacares) berbentuk torpedo (fusiform), memiliki tapis insang (gill raker) 27-23 buah. Terdapat 2 sirip punggung yang terpisah. Pada madidihang dewasa, siri punggung kedua sangat panjang dan hampir mencapai sirip ekor. Sirip punggung kedua, sirip ekor dan finlet berwarna cerah dan pinggiran finlet berwarna hitam. 2.1.2 Cakalang (Katsuwonus pelamis) Klasifikasi ikan cakalang menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Subkelas : Teleostei Ordo
: Percomorphi
Famili : Scombridae Sub Famili : Thunninae Genus : Katsuwonus Species : Katsuwonus pelamis Ikan cakalang memiliki tubuh yang membulat/memanjang dan garis lateral. Ciri khas ikan cakalang adalah terdapatnya 4-6 garis berwarna hitam yang
10
memanjang disamping bagian badan. Umumnya ikan cakalang memiliki panjang antara 30-80 cm dengan berat sekitar 0,5 – 11,5 kg. Ukuran fork length ikan cakalang maksimum dapat mencapai ukuran 108 cm dengan berat 32,5 – 34,5 kg sedangkan ukuran yang umum tertangkap adalah 40 – 80 cm (Collette and Nauen, 1983). Ukuran ikan cakalang matang gonad pada fork length sekitar 42 – 44 cm. Bentuk ikan cakalang secara morfologi dapat di lihat pada Gambar 3. Sebaran geografis ikan cakalang terutama pada perairan tropis dan perairan panas di daerah lintang sedang. Potensi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Indonesia sebagian besar terdapat di perairan kawasan Timur Indonesia antara lain perairan Sulawesi Utara, Halmahera, Maluku dan Irian Jaya serta sebagian kecil di bagian Barat yaitu di perairan Selatan Jawa Barat, Sumatra Barat dan Aceh (Burhanuddin et al., 1984).
Gambar 3 Morfologi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) (www.fishbase.org). 2.1.3 Tenggiri (Scomberomorus spp) Menurut Saanin (1984), taksonomi tenggiri adalah sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Subkelas : Teleostei Ordo
: Percomorphi
Famili : Scombridae Genus : Scomberomorus Species : Scomberomorus commerson
11
Tenggiri (S. commerson) adalah jenis ikan yang tergolong ekonomis penting. Ikan tenggiri umumnya hidup di sekitar perairan pantai dan sering pula ditemukan di dekat perairan karang. Penyebaran spesies ini cukup luas mencakup seluruh wilayah Indo-pasifik Barat dari Afrika Utara dan laut Merah sampai ke perairan Indonesia, Australia dan Fiji ke Utara sampai perairan China dan Jepang. Di Indonesia, spesies ini dapat dijumpai di hampir seluruh wilayah perairan termasuk perairan Maluku dan Irian Jaya yaitu sebagian pantai Barat Halmahera, perairan Selatan pulau Seram dan hampir seluruh perairan pantai Barat Irian Jaya sampai sekitar kepala burung (Uktolseja et al., 1998). Ciri-ciri tenggiri (S. commerson) adalah mempunyai tubuh yang panjang, berbentuk torpedo dan merupakan perenang cepat. Tenggiri (S. commerson) mempunyai mulut lebar dengan ujung runcing, gigi pada rahang gepeng dan tajam. Pada bagian punggung ikan terdapat dua sirip. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 15-18 buah, sedangkan sirip punggung kedua berjari-jari lemah 15-20 buah yang diikuti 8-10 buah sirip tambahan (finlet). Sirip dubur pada tenggiri (S. commerson) biasanya berjumlah 18-19 buah dan sifatnya berjari-jari lemah. Pada bagian dubur dapat ditemukan sirip tambahan sebanyak 9-10 buah. Adapun pada bagian dada dapat ditemukan sirip dada yang berjari-jari lemah sebanyak 21-24 buah. Bagian punggung tenggiri (S. commerson) berwarna biru gelap atau biru kehijauan. Pada individu dewasa terdapat garis berwarna abu-abu pada bagian perut sebanyak 40-50. Bagian rahang ke bawah berwarna putih keperakan, sirip punggung pertama berwarna biru terang sampai biru gelap dan sirip dada berwarna abu-abu keperakan sampai biru gelap. Bentuk morfologi ikan tenggiri disajikan pada Gambar 4. Potensi ikan tenggiri di Indonesia hampir menyebar merata di seluruh perairan Indonesia. Kecuali jenis Scomberomorus lineolatus hanya terdapat di perairan Indonesia Barat.
12
Gambar 4 Morfologi ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) (Gloerfelt, T and Kailola, P.j ,1982). 2.1.4 Tongkol (Euthynnus spp, Auxis thazard) Secara umum tongkol diklasifikasikan sebagai berikut (Collete and Nauen, 1983) : Phylum
: Chordata
Subphylum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo
: Percomorphi
Famili : Scombridae Suku : Thunnini Genus : Auxis, Euthynnus Species : Euthynnus affinis, Ciri-ciri morfologi tongkol adalah mempunyai bentuk badan fusiform dan memanjang. Panjang badan kurang lebih 3,4-3,6 kali panjang kepala dan 3,5-4 kali tinggi badannya. Panjang kepala kurang lebih 5,7-6 kali diameter mata. Kedua rahang mempunyai satu seri gigi berbentuk kerucut. Sisik hanya terdapat pada bagian korselet, garis rusuk (linea lateralis) hampir lurus dan lengkap. Sirip dada pendek, kurang lebih hampir sama panjang dengan bagian kepala di belakang mata. Jari-jari keras pada sirip punggung pertama kurang lebih sama panjang dengan bagian kepala di belakang mata, kemudian diikuti dengan jari-jari keras sebanyak 15 buah. Sirip punggung kedua lebih kecil dan lebih pendek dari sirip punggung pertama. Permulaan sirip dubur terletak hampir di akhir sirip punggung kedua dan bentuknya sama dengan sirip punggung pertama. Sirip punggung pendek dan panjangnya kurang lebih sama dengan panjang antara hidung dan mata. Bagian punggung berwarna kelam, sedangkan bagian sisi dan
13
perut berwarna keperak-perakan. Di bagian punggung terdapat garis-garis miring ke belakang yang berwarna ke hitam-hitaman. Perbedaan yang dominan antara Euthynnus dan Auxis terletak pada jarak antara sirip punggung pertama dan kedua, serta keberadaan bintik hitam di bawah korselet. Sirip punggung pertama dan kedua pada Euthynnus saling berdekatan, kurang lebih sama dengan diameter mata dan pada bagian bawah korselet terdapat bintik hitam berjumlah dua atau lebih. Auxis mempunyai sirip punggung pertama dan kedua terpisah jauh, kurang lebih sepanjang dasar sirip punggung pertama serta tidak terdapat bintik hitam di bawah korselet (Collete and Nauen, 1983). Secara morfologi bentuk ikan tongkol disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Morfologi ikan tongkol (Euthynnus affinis) (www.fishbase.org). Tongkol termasuk jenis epipelagis, neuritik dan aseanik pada perairan yang hangat dan biasanya bergerombol. Stadium larva dari Auxis mempunyai kemampuan toleran terhadap kisaran suhu yang luas yaitu 21,6o-30,5o. Ikan dewasa hidup pada kisaran suhu untuk habitat Euthynnus affinis antara 18o-29oC dan biasanya bergerombol sesuai dengan ukuran, misalnya Thunnus albacares muda, cakalang, Auxis. Densitas gerombolan berkisar antara 100 sampai lebih dari 5.000 ekor ikan (Collete and Nauen, 1983). Penyebaran genus Auxis sangat luas, meliputi perairan tropis dan subtropis, termasuk Samudra Pasifik, Hindia dan Atlantik, Laut Mediterania dan laut Hitam. Euthynnus affinis berpopulasi di perairan pantai dan dapat ditemukan di perairan tropis dan subtropis di lautan Hindia dan juga di sepanjang negara-negara pantai dari Afrika Selatan sampai ke Indonesia. (Collette and Nauen, 1983). Jenis ikan pelagis kecil, umumnya mempunyai ukuran 5-50 cm, terdiri dari 16 kelompok dimana produksinya didominasi oleh 6 kelompok besar yang
14
masing-masing mencapai lebih dari 100.000 ton. Kelompok ikan tersebut adalah kembung (Rastrelliger spp), layang (Decapterus spp), selar (Selaroides spp), lemuru (Sardinella spp) dan teri (Stelophorus spp). Ikan pelagis kecil adalah ikan yang hidup di lapisan permukaan sampai kedalaman 30-60 m. Biasanya hidup bergerombol (schooling) dan hidup di perairan neritik. Di daerah-daerah dimana terjadi proses penaikan air (upwelling), sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar (Csirke, 1988 dalam Merta et al., 1997). 2.1.5 Kembung (Rastrelliger spp) Secara umum ikan kembung (Rastrelliger spp) berbentuk cerutu. Tubuh dan pipinya ditutupi oleh sisik-sisik kecil, bagian dada agak lebih besar dari bagian lainnya. Mata mempunyai kelopak yang berlemak. Gigi yang kecil terletak di tulang rahang. Mempunyai 2 buah sirip punggung (dorsal fin), sirip punggung pertama terdiri dari atas jari-jari lemah. Sirip dubur tidak mempunyai jari-jari keras. Lima sampai enam sirip tambahan (finlet) terdapat di belakang sirip dubur dan sirip punggung kedua. Bentuk sirip ekor (caudal) bercagak dalam. Sirip dada (pectoral) dengan dasar agak melebar dan sirip perut terdiri atas satu jari-jari keras dan jari-jari lemah. Klasifikasi ikan kembung menurut Saanin (1984) sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Subphylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Subkelas : Teleostei Ordo
: Percomorphi Famili : Scombridae Genus : Rastrelliger Species : Rastrelliger brachysoma (Bleeker) Rastrelliger kanagurta (Cuvier)
15
Gambar 6 Morfologi ikan kembung (Rastrelliger kanagurta) (Gloerfelt, T and Kailola, P.j, 1982). 2.1.6 Layang (Decapterus spp) Jenis ikan ini memiliki bentuk seperti cerutu dan sisiknya sangat halus. Dengan kondisi tubuh yang demikian, layang (Decapterus spp) mampu berenang dengan kecepatan tinggi. Decapterus ruselli mempunyai bentuk tubuh yang memanjang dan agak pipih, sedang Decapterus macrosoma mempunyai bentuk tubuh yang menyerupai cerutu. Keduanya mempunyai bintik hitam pada bagian tepi insangnya dan masing-masing terdapat sebuah sirip tambahan (finlet) pada belakang sirip punggung dan sirip dubur. Pada bagian belakang garis sisik (lateral line) terdapat sisik yang berlingir (lateral scute) (Saanin, 1984). Decapterus russeli mempunyai daerah penyebaran yang luas di Indonesia mulai dari Kepulauan seribu hingga pulau Bawean dan Pulau Masalembo. Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1984), adalah sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Subphylum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo
: Percomorphi
Famili : Carangidae Genus : Decapterus Species : Decapterus russelli (Rupped) Decapterus macrosoma (Bleeker)
16
Gambar 7 Morfologi Ikan layang (Decapterus russeli) (Gloerfelt, T and Kailola, P.j, 1982). 2.1.7 Selar (Selaroides spp) Jenis-jenis ikan selar (Selaroides spp) yang tertangkap di perairan Indonesia yaitu selar bentong (Selar crumenopthalmus) dan selar kuning (Selaroides leptolepsis). Klasifikasi selar menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Subphylum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo
: Percomorphi
Famili : Carangidae Genus : Caranx, selar Species : Selar crumenophthalmus Selar kuning memiliki bentuk tubuh lonjong, pipih dengan sirip punggung pertama berjari-jari keras 8 buah, sedangkan keduanya berjari-jari keras 1 buah dengan jari-jari lemah 15 buah (Gambar 8). Sirip dubur terdiri dari 2 jari-jari keras yang terpisah dan 1 jari-jari keras yang bersambung dengan 20 jari-jari lemah. Garis rusuk membujur, memiliki 25-34 sisik duri (scute). Ikan selar termasuk dalam kelompok ikan buas. Jenis ikan ini memakan ikan-ikan kecil dan udang kecil. Hidup secara bergerombol dan umumnya di sekitar pantai dangkal.
17
Gambar 8 Morfologi Ikan selar (Selar crumenophthalmus) (www.fishbase.org). 2.1.8 Teri (Stolephorus spp) Teri (Stolephorus spp) terdapat di seluruh perairan pantai Indonesia dengan nama yang berbeda-beda seperti : teri (Jawa), bilis (Sumatra dan Kalimantan) dan puri (Ambon). Ikan teri berukuran 6-9 cm, seperti Stolephorus heterolobus, S. Insularis dan S. buccaneezi. Tetapi ada pula yang berukuran besar seperti Stelophorus commersonii dan S. indicus yang dikenal sebagai teri kasar atau teri gelagah yang ukuran tubuhnya dapat mencapai 17,5 cm. Ciri morfologi teri (Stolephorus spp) adalah bentuk badan bulat memanjang (fusiform) hampir silindris, perut bulat dengan 3-4 sisik duri seperti jarum (sisik abdominal), yang terdapat diantara sirip dada (pectoral) dan sirip perut (ventral) (Gambar 9). Sirip ekor (caudal) bercagak dan tidak bergabung dengan sirip dubur (anal). Tapis insang pada busur insang pertama bagian bawah berjumlah 21. Sisiknya kecil, tipis dan sangat mudah terkelupas. Wilayah penyebaran jenis ikan teri di Indonesia meliputi perairan Barat Sumatra, Selat Malaka, Selatan dan Utara Sulawesi, Timur Sumatra juga menyebar ke Bali, Maluku dan Irian Jaya serta perairan Utara dan Selatan Jawa. Klasifikasi teri menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Subphylum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo
: Malacopterygii Famili : Clupeidae Genus : Stelophorus Species : Stelophorus spp
18
Gambar 9 Morfologi Ikan teri (Stolephorus spp) (Gloerfelt, T and Kailola, P.j ,1982). 2.2 Usaha Perikanan Tangkap Perikanan tangkap adalah suatu kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum. Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial atau mendapatkan laba dari kegiatan yang dilakukan (Syafrin, 1993 diacu dalam Ihsan, 2000). Menurut Monintja (1994), bahwa usaha perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan meliputi pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Definisi tersebut secara jelas menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan baik secara finansial maupun untuk memperoleh nilai tambah lainnya seperti penyerapan tenaga kerja, pemenuhan terhadap protein hewani, devisa serta pendapatan negara. Charles (2000) mengklasifikasikan perikanan di dunia ini menjadi 2 (dua) kelas, yaitu skala kecil atau perikanan tradisional dan perikanan skala besar atau perikanan industri. Dikemukakan pula bahwa sebenarnya tidak ada defenisi yang standard atas perikanan skala kecil dan skala besar. Pengklasifikasian di beberapa negara sangat beragam, namun demikian Charles (2000) mengemukakan bahwa pembandingan antara perikanan skala kecil dan skala besar dapat dilakukan dengan melihat teknologi yang digunakan, tingkat modal, tenaga kerja yang digunakan dan kepemilikan. Usaha perikanan dapat dibagi ke dalam perikanan industri, artisanal dan subsisten. Perikanan industri dan artisanal telah berorientasi komersial, sedangkan
19
perikanan subsisten hanya untuk konsumsi sendiri atau kadang-kadang menukarkan ikan dengan keperluan lain secara barter (Kesteven, 1973 yang diacu Haluan, 1996). 2.3 Teknologi Penangkapan Ikan Pelagis Usaha penangkapan ikan pelagis di sekitar perairan pantai Sorong, sebagian besar dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan alat penangkapan yang masih tradisional antara lain jaring insang (gillnet),
pancing tonda (trolling lines),
bagan perahu (boat lift net) dan pancing tuna (handlines). 2.3.1 Jaring insang (gillnet) Jaring insang (gillnet) adalah jaring insang yang badan jaringnya terdiri dari satu lembar jaring dari bahan monofilamen atau multifilamen, berbentuk empat persegi panjang dengan bagian panjangnya jauh lebih panjang dari pada ukuran lebarnya. Pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats) dan pada bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat (sinkers) sehingga dengan adanya dua gaya yang berlawanan memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan tegak menghadang biota perairan. Jumlah mata jaring ke arah horizontal atau ke arah mesh length (ML) jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah mata jaring ke arah vertikal atau ke arah mesh depth (MD). Jaring insang menetap permukaan (surface set gillnet) adalah jaring insang yang cara pengoperasiannya diset atau dipasang secara menetap di permukaan di daerah penangkapan. Cara pemasangannya adalah dengan cara salah satu atau kedua ujungnya disambungkan melalui tali penghubung pada jangkar atau pada pemberat utama agar kedudukan jaring tidak berpindah tempat selama alat dioperasikan (Martasuganda, 2005). Secara umum jaring insang (gillnet) dapat disajikan pada Gambar 10.
20
Gambar 10 Alat tangkap jaring insang menetap permukaan (Martasuganda, 2005). 2.3.2 Pancing tonda (trolling lines) Pancing tonda adalah alat tangkap yang pengoperasiannya dengan cara ditarik oleh perahu atau kapal, kapal bergerak di depan gerombolan ikan sasaran. Berdasarkan standar klasifikasi Indonesia, alat ini termasuk dalam kelompok pancing (Subani dan Barus, 1989). Sedangkan menurut klasifikasi von Brandt (1984) mengklasifikasikan alat ini dalam kelompok lines atau troll lines. Trolling lines umumnya menggunakan umpan buatan (artificial bait) tetapi ada juga yang mengggunakan umpan asli (natural bait). Umpan buatan bisa terbuat dari bulu ayam, bulu domba, kain berwarna menarik ataupun dari plastik atau karet. Berbentuk miniatur menyerupai aslinya. Misalnya cumi-cumi atau ikan hingga menarik ikan pemangsa untuk menyambarnya. (von Brandt, 1984) Penangkapan dengan pancing tonda dapat dilakukan pada siang hari dan kegiatan penangkapan dapat menggunakan perahu atau kapal motor. Biasanya tiap perahu membawa lebih dari 2 buah pancing yang ditonda sekaligus. Penondaan dilakukan dengan mengulur ± dua per tiga dari seluruh panjang tali pancing yang disediakan. Hasil tangkapan pancing tonda adalah jenis ikan pelagis besar seperti tongkol, cakalang, tenggiri, madidihang, sunglir dan kwee (Subani dan Barus, 1989). Secara umum alat tangkap pancing tonda (trolling lines) dapat disajikan pada Gambar 11.
21
Gambar 11 Alat tangkap pancing tonda (trolling lines) (Subani dan Barus, 1989). 2.3.3 Bagan (lift net) Bagan merupakan alat penangkapan ikan yang diklasifikasikan ke dalam jaring angkat (lift net). Dalam pengoperasiannya jaring diturunkan secara vertikal ke dalam perairan. Penangkapan ikan dengan bagan umumnya dilakukan pada malam hari (light fishing) terutama pada hari bulan gelap dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan. Bagan digunanakan oleh nelayan di tanah air untuk menangkap ikan pelagis kecil, pertama kali diperkenalkan oleh nelayan Bugis-Makassar sekitar tahun 1950-an. Selanjutnya dalam waktu yang relatif singkat sudah dikenal hampir oleh nelayan di seluruh Indonesia. Berdasarkan cara pengoperasiannya bagan dikelompokkan ke dalam jaring angkat namun karena menggunakakn lampu untuk mengumpulkan ikan, maka disebut light fishing (Subani dan Barus, 1989). Bagan terdiri dari komponen-komponen penting yaitu jaring bagan, rumah bagan (anjang-anjang), serok dan lampu. Di pelataran bagan terdapat alat penggulung (roller) yang terbuat dari kayu yang berfungsi untuk menurunkan atau mengangkat jaring bagan saat dioperasikan (Subani dan Barus, 1989).
22
Gambar 12 Alat tangkap bagan perahu (boat liftnet) (Subani dan Barus,1989). 2.4 Pengembangan Perikanan Tangkap Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu perubahan yang dilakukan dengan tujuan hasil yang lebih baik. Pengertian pengembangan dalam bidang perikanan yaitu keberlanjutan melalui suatu peningkatan produksi yang didasari suatu kebijakan akan meningkatkan produksi berikutnya. Inti dari pengembangan perikanan yaitu suatu perubahan yang ingin dicapai berdasarkan suatu tujuan atau perubahan yang kurang baik menjadi lebih baik. Tujuan suatu pengembangan yaitu untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran (Sandy, 1997 diacu dalam Priadi, 2006). Menurut Bahari (1989) bahwa pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Haluan dan Nurani (1988) mengungkapkan hal yang berkaitan dengan seleksi teknologi, yaitu bahwa perkembangan perikanan dapat dilakukan melalui pengkajian aspek-aspek biologi-teknik-sosial-ekonomi. Selanjutnya dikatakan bahwa aspek-aspek tersebut penting untuk diperhatikan dalam pengembangan perikanan. Upaya pengembangan perikanan laut dan pengelolaan di masa datang akan lebih mudah dirasakan jika pengembangan perikanan dan pengelolaannya disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
23
Menurut DKP (2005), bahwa pengembangan sumberdaya perikanan di masa mendatang perlu persiapan lebih matang, untuk itu diperlukan langkah-langkah sebagai berikut : 1) perlu pengembangan prasarana perikanan, 2) pengembangan agroindustri, pemasaran dan permodalan, 3) pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan serta 4) pengembangan sistem informasi manajemen yang tepat. Rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) sektor kelautan dan perikanan mengacu pada 3 (tiga) pilar utama pembangunan nasional yaitu : 1) pro poor, 2) pro job dan 3) pro growth. Sehingga tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah : 1) meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan serta masyarakat kelautan dan perikanan lainnya melalui peningkatan kesempatan kerja dan produktivitas, 2) meningkatkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan dalam perekonomian nasional seiring dengan pengurangan tingkat kemiskinan dan 3) mewujudkan kondisi lingkungan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkualitas menuju pembangunan yang berkelanjutan (DKP, 2005). Monintja (1994), menyatakan bahwa perlu adanya pertimbangan suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan didalam pengembangan perikanan. Pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam pemilihan teknologi dapat dikelompokkan menjadi 3(tiga) kelompok yaitu teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, teknologi penangkapan ikan yang secara teknis, ekonomis, mutu dan pemasaran menguntungkan dan berkelanjutan. Kriteria untuk teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yaitu; 1) selektivitas tinggi, 2) tidak destruktif terhadap habitat, 3) tidak membahayakan nelayan, 4) menghasilkan ikan bermutu baik, 5) produk tidak membahayakan kesehatan konsumen, 6) minimum hasil tangkapan yang terbuang, 7) dampak minimum terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati, 8) tidak menangkap species yang dilindungi dan 9) diterima secara sosial. 2.5 Aplikasi Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical hierarchy process (AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L.Saaty, seorang ahli matematik dari universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Analytical hierarchy process (AHP) pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan
24
sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Analytical hierarchy process (AHP) merupakan proses berpikir yang terorganisir untuk permasalahan yang kompleks, rumit dan tidak terstruktur, yang memungkinkan adanya interaksi antar faktor, namun tetap memungkinkan untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana.
AHP merupakan metoda analisis
pengambilan keputusan yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas di dalam ancangannya terhadap suatu masalah. AHP merupakan model bekerjanya pikiran yang teratur untuk menghadapi kompleksitas. Metoda ini menstruktur masalah dalam bentuk hirarki dan memasukkan pertimbanganpertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif. Metode ini merefleksikan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam ini menjadi satu hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang kita buat. Proses ini membantu untuk memecahkan permasalahan yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan berbagai prioritas. (Saaty, 1991). Menurut Nurani (2003) AHP merupakan metode yang applicable untuk digunakan di bidang perikanan dan kelautan. Kerumitan permasalahan di bidang perikanan dan kelautan serta keterbatasan data-data numerik sering menjadi faktor kendala yang menyulitkan dalam pengambilan keputusan. Dengan PHA, kompleksitas masalah dapat disederhanakan dengan pembuatan struktur hirarki, memungkinkan bagi penentu kebijakan untuk membuat struktur hirarki yang disesuaikan dengan pokok permasalahan. Prinsip-prinsip dasar yang harus dipahami dalam menyelesaikan persoalan dengan menggunakan AHP yaitu: (1) menyusun hirarki, (2) menetapkan prioritas dan (3) konsistensi logis. Langkah pertama dalam menetapkan prioritas dari elemen-elemen dalam suatu persoalan keputusan adalah membuat matriks banding berpasang (pairwise comparison). Matriks banding berpasang diisi dengan suatu bilangan yang menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen atas
25
elemen lainnya, berkenaan dengan sifat yang dibandingkan. Bilangan yang digunakan adalah suatu skala nilai dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Skala banding secara berpasang (Saaty, 1991) Tingkat kepentingan 1
Defenisi
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan
3
Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan penilaian sedikit penting dari elemen yang lain mendukung satu elemen dibanding elemen yang lain
5
Elemen yang satu lebih penting Pengalaman dan penilaian sangat dari elemen yang lain kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya
7
Satu elemen jelas lebih penting Satu elemen dengan kuat disokong, dari elemen yang lainnya dan dominannya telah terlihat dalam praktek Satu elemen mutlak lebih Bukti yang mendung elemen yang penting dari elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan lainnya tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai-nilai antara dua nilai Nilai ini diberikan bila ada dua pertimbangan yang berdekatan kompromi diantara dua pilihan
9
2,4,6,8 Kebalikan
Jika untuk elemen i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan elemen j, maka elemen j mempunyai nilai kebalikan bila dibandingkan dengan elemen i
Konsistensi sangat penting dalam pengambilan keputusan. Konsistensi memiliki dua makna yaitu: pertama, obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keragaman dan relevansinya, kedua, konsistensi terkait dengan tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui rasio konsistensi (Consistency Ratio :CR). Nilai rasio konsistensi harus 10% atau kurang. Jika rasio konsistensi lebih dari 10%, pertimbangan tersebut mungin acak dan perlu diperbaiki. Nilai Indeks acak (RI) dari matriks berordo 1 sampai dengan
26
10,yang digunakan untuk menentukan Rasio konsistensi (CR) tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai random consistency index (RI) untuk jumlah elemen (n) 1 sampai dengan 10 (Saaty, 1991) N
RI
N
RI
1
0,00
6
1,24
2
0,00
7
1,32
3
0,58
8
1,41
4
0,90
9
1,45
5
1,12
10
1,49
2.6 Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan Tepat Guna Tujuan pemilihan teknologi penangkapan ikan tepat guna adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi, sehingga merupakan alat tangkap yang cocok untuk dikembangkan. Haluan dan Nurani (1988) mengemukakan bahwa untuk menentukan unit usaha perikanan tangkap pilihan digunakan metoda skoring. Penilaian metoda skoring mencakup analisis terhadap aspek-aspek sebagai berikut : (a) Aspek biologi mencakup : ukuran mesh size jaring yang digunakan untuk menganalisa selektivitas alat tangkap, jumlah ikan layak tangkap, jumlah komposisi hasil tangkapan dan cara pengoperasian alat tangkap. (b) Aspek teknis mencakup : produksi per trip, produksi per tenaga kerja dan produksi per tahun. (c) Aspek sosial meliputi : jumlah tenaga kerja per unit penangkapan, tingkat penguasaan teknologi dan kemungkinan kepemilikan unit penangkapan ikan oleh nelayan yang diperoleh dari pendapatan nelayan per tahun dibagi investasi dari unit penangkapan. (d) Aspek ekonomi mencakup : analisis aspek ekonomi dan finansial yaitu meliputi penerimaan bersih per tahun dan penerimaan per tenaga kerja per tahun. Sedangkan untuk analisis finansial meliputi penilaian dengan Net
27
Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate of Return (IRR). Prinsip dasar untuk penentuan berdasarkan cara skoring terhadap unit perikanan tangkap adalah untuk penilaian pada kriteria yang mempunyai satuan berbeda dan penilaiannya dilakukan secara subjektif. Penilaian terhadap semua kriteria secara terpadu dan dilakukan standarisasi nilai dari kriteria masing-masing unit penangkapan ikan. Kemudian skor tersebut dijumlahkan, makin besar jumlah skor berarti lebih baik atau efisien dan sebaliknya (Mangkusubroto dan Trisnadi, 1985 diacu Purbayanto, 1991). Menurut Haluan dan Nurani (1988) dan Purbayanto (1991) aplikasi metoda skoring untuk pemilihan teknologi alat tangkap untuk aspek selektivitas alat tangkap dilakukan dengan parameter ukuran mata jaring seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai skor untuk aspek selektivitas alat tangkap dengan parameter mata jaring untuk jenis alat penangkapan ikan yang diteliti Mesh size
Selektivitas
Skor
< 1,2 cm
Tidak selektif
1
1,2 – 2 cm
Kurang selektif
3
2,1 – 2,5 cm
Cukup selektif
5
2,6 – 4 cm
Selektif
7
> 4 cm
Sangat selektif
9
Analisa ekonomi merupakan salah satu aspek dalam evaluasi investasi. Dalam analisa ini, proyek/usaha dilihat dari sudut perekonomian dan biasanya yang diperhatikan adalah hasil total atau produktivitas atau keuntungan yang diperoleh dari semua sumber yang dipakai dalam proyek/usaha untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, tanpa melihat pihak mana yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan pihak mana dalam masyarakat yang menerima hasil (Kadariah, 1988). Selanjutnya menurut Kadariah (1988) bagi para pengambil keputusan, yang penting adalah mengarahkan penggunaan sumber-sumber langka kepada proyek/usaha yang memberikan hasil yang paling banyak untuk perekonomian
28
secara keseluruhan yaitu yang menghasilkan social return atau economic returns yang paling tinggi. Dalam analisa proyek ada beberapa kriteria yang sering digunakan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu usulan proyek. Dalam semua kriteria itu baik manfaat (benefit) maupun biaya dinyatakan dalam nilai sekarangnya (present value). Beberapa kriteria tersebut adalah : 1) Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) Yang dimaksud dengan Net B/C Ratio adalah perbandingan antara Present Value dari net benefit yang positif dengan Present Value dari net benefit yang negatif (net cost). Metode ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Jika net B/C ratio > 1, maka proyek dianggap layak untuk dilanjutkan. Jika net B/C ratio < 1, maka proyek dianggap tidak layak untuk dilanjutkan. 2) Net Present Value (NPV) Net Present Value adalah merupakan selisih antara present value dari benefit dan present value dari cost. Dimana nilai B dan C adalah B dan C yang telah didiscount. Untuk menentukan ratio-ratio atau net present value tersebut diatas harus ditetapkan lebih dahulu discount rate yang akan digunakan untuk menghitung present value baik dari benefit maupun dari biaya. Jika B/C ratio <1, maka hal ini berarti bahwa dengan discount rate yang dipakai, present value dari benefit < present value biaya dan hal ini berarti bahwa proyek tersebut tidak menguntungkan atau Net Present Value lebih besar dari 0 (positif). 3) Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return adalah merupakan discount rate yang dapat membuat NPV proyek sama dengan nol (0), atau yang dapat membuat B/C ratio sama dengan 1. Dalam perhitungan IRR ini diasumsikan bahwa setiap benefit neto tahunan secara otomatis ditanam kembali dalam tahun berikutnya dan memperoleh rate of return yang sama dengan investasi sebelumnya (Kadariah, 1988). Selain kriteria tersebut diatas, terdapat kriteria tambahan untuk mengukur kelayakan investasi yaitu break even point digunakan untuk menentukan usaha tersebut mengalami untung atau rugi.
29
2.7
Analisis Fungsi Produksi Menurut Soekartawi (1990) bahwa hubungan teknis antara faktor produksi
yang dihasilkan persatuan waktu dengan jumlah faktor-faktor produksi yang digunakan, tanpa memperhatikan harga-harga baik harga-harga faktor produksi maupun produksi itu sendiri disebut fungsi produksi. Secara matematis fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai berikut : Y = f
(X1,X2,X3,………..,Xn), sedangkan (X1,X2,X3,………….,Xn) adalah
merupakan faktor produksi yang dipakai untuk menghasikan produksi (Y). Fungsi diatas menerangkan produksi yang dihasilkan tergantung dari faktor-faktor produksi, tapi belum memberikan keuntungan kuantitatif antara faktor-faktor produksi dengan produksi. Hubungan tersebut dinyatakan dalam bentuk yang khas yaitu fungsi produksi dengan fungsi linier atau kuadratik dan analisis regresi. Apabila dalam persamaan garis regresi tercakup dua jenis variabel yaitu variabel tak bebas (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable), maka yang umum digunakan adalah fungsi linier dan analisis regresi. Oleh karenanya, regresi ini dinamakan regresi linier berganda tergantung pada dua atau lebih variabel bebas. Persamaan garis tersebut dapat ditulis sebagai berikut : Y = bo + b1X1 + b2X2 +b3X3 +………………….bnXn Keterangan : Y adalah variabel tak bebas X adalah variabel bebas yang nilainya diketahui.
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan yang meliputi studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data, analisis data dan penyusunan laporan. Penelitian lapangan dilakukan pada bulan Mei 2007 hingga Oktober 2007. Lokasi penelitian di Kota Sorong Propinsi Papua Barat, disajikan pada Lampiran1. 3.2 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan pada perikanan tradisional dengan menggunakan metoda survey dan observasi di lapangan. Data dan informasi tentang perikanan tangkap untuk sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong adalah berasal dari responden dengan melakukan wawancara, diskusi dan pengisian kuisioner dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Data yang dikumpulkan diklasifikasikan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh melalui wawancara berdasarkan daftar pertanyaan dan kuisioner yang disusun sesuai dengan keperluan analisis dan tujuan penelitian yaitu : (1) Data yang dikumpulkan untuk analisis skoring untuk menentukan teknologi penangkapan tepat guna dilakukan berdasarkan masing-masing aspek kajian (aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi) adalah sebagai berikut (Haluan dan Nurani, 1988): 1) Aspek biologi Parameter biologi yang menjadi kajian terhadap potensi sumberdaya ikan adalah ukuran mata jaring, jumlah ikan layak tangkap yang tertangkap, komposisi hasil tangkapan dan cara pengoperasian alat tangkap. Beberapa parameter biologi yang dikumpulkan disajikan dalam Tabel 4.
31
Tabel 4 Data parameter biologi yang dikumpulkan No 1. 2. 3. 4.
Parameter
Uraian
Ukuran mata jaring
Ukuran mata jaring dari alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Jumlah ikan layak tangkap Persentase ukuran ikan layak tangkap yang yang tertangkap tertangkap dalam setiap operasi penangkapan. Jumlah komposisi hasil Jumlah species ikan yang tertangkap tangkapan masing-masing alat tangkap dalam setiap operasi penangkapan. Cara pengoperasian alat Cara pengoperasian alat tangkap kaitannya tangkap dengan alat tangkap yang ramah lingkungan Penilaian ukuran mata jaring (mesh size) dilakukan dengan membuat selang
skor seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Kriteria untuk parameter ukuran mata jaring terhadap jenis alat penangkapan ikan yang diteliti (Purbayanto, 1991). Mesh size <1,2 cm 1,2-2 cm 2,1-2,5 cm 2,6-4 cm > 4 cm
Selektivitas Tidak selektif Kurang selektif Cukup selektif Selektif Sangat selektif
Skor 1 3 5 7 9
Sedangkan penilaian terhadap kriteria jumlah ukuran ikan layak tangkap yang tertangkap, penilaiannnya dilakukan dengan membuat skor seperti disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kriteria untuk parameter jumlah ukuran ikan layak tangkap yang tertangkap Prosentase ukuran ikan layak tangkap
Kelestarian SDI
Skor
< 25% 26 - 50% 51-75% >75%
Tidak baik Kurang baik Cukup baik Baik
1 3 5 7
32
Kriteria aspek biologi yang lain adalah jumlah komposisi hasil tangkapan, dilakukan dengan membuat skor seperti disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kriteria untuk parameter jumlah komposisi hasil tangkapan Komposisi hasil tangkapan (jenis) >4 3-4 2 1
Selektivitas
Skor
Tidak selektif Kurang selektif Cukup selektif Selektif
1 3 5 7
Kriteria yang terakhir untuk aspek biologi adalah cara pengoperasian alat tangkap yang dilakukan dengan melakukan penilaian seperti disajikan pada Tabel 8. Pembobotan terhadap masing-masing kriteria dilakukan secara seragam yaitu sebesar 25%. Pembobotan dilakukan seragam adalah berdasarkan pertimbangan pengaruh biologi yang ditimbulkan karena teknologi alat tangkap yang digunakan terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan dan lingkungan. Kriteria ukuran mata jaring dan ukuran ikan yang layak tangkap digunakan untuk tujuan meloloskan ikan-ikan yang berukuran kecil dan belum dewasa, sedangkan kriteria jumlah komposisi hasil tangkapan adalah ditujukan untuk menekan jumlah ikan yang tidak diinginkan yang tertangkap. Kriteria cara pengoperasian alat tangkap adalah berkaitan dengan kerusakan sumberdaya ikan dan lingkungan yang ditimbulkan oleh penggunaan alat tangkap. Keempat kriteria tersebut diasumsikan mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap keberlanjutan potensi sumberdaya ikan dan lingkungan. Tabel 8. Kriteria untuk parameter cara pengoperasian alat penangkapan ikan Cara pengoperasian alat tangkap
Skor
Mengganggu habitat
1
Cukup mengganggu habitat
3
Tidak mengganggu habitat
5
33
2) Aspek teknis Parameter teknis penting untuk diketahui karena menyangkut masalah produksi unit penangkapan ikan yang dioperasikan. Parameter teknis yang dikumpulkan antara lain : produksi hasil tangkap per tahun, produksi per trip dan produksi per tenaga kerja. Beberapa parameter teknis yang dikumpulkan pada penelitian dapat disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Beberapa data parameter teknis yang dikumpulkan No
Parameter
Uraian
1
Produksi per trip
Jumlah hasil tangkapan yang dihasilkan setiap unit penangkapan dalam 1 (satu) trip. Satu trip yaitu satu kali armada terhitung sejak armada meninggalkan fishingbase menuju daerah penangkapan dan kembali ke fishing base semula atau lainnya untuk mendaratkan hasil tangkapan yang diukur dalam satuan kg/trip.
2
Produksi per tenaga kerja
Rata-rata jumlah hasil tangkapan yang diperoleh masing-masing nelayan dalam setiap trip penangkapan yang diukur dalam satuan kg/trip/tenaga kerja.
3
Produksi per tahun
Jumlah hasil tangkapan yang dihasilkan setiap unit penangkapan selama 1 tahun
Pembobotan dilakukan berbeda terhadap masing-masing kriteria. Bobot yang diberikan pada kriteria produksi per tenaga kerja adalah sebesar 50% lebih besar dibandingkan dengan dua kriteria lainnya yaitu produksi per tahun 30% dan produksi per trip 20%. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan produksi tenaga kerja adalah produksi yang dihasilkan untuk tiap-tiap nelayan, sehingga secara langsung dapat diketahui besar pendapatan tiap-tiap nelayan. Produksi per tahun adalah produksi total yang dihasilkan pada unit penangkapan, sehingga penghasilan untuk tiap nelayan tidak diketahui. Bobot produksi per tahun diberikan lebih besar dari produksi per trip, karena dapat diketahui produksi bulanan serta informasi tentang musim ikan.
34
3) Aspek sosial Pengukuran parameter sosial dalam penelitian ini berhubungan dengan jumlah nelayan pada setiap unit penangkapan, tingkat penguasaan teknologi nelayan
terhadap
masing-masing
alat
penangkapan,
dan
kemungkinan
kepemilikan. Beberapa parameter sosial yang dikumpulkan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 10. Kriteria yang digunakan untuk menilai tingkat penguasaan teknologi, dilakukan dengan memberikan skor seperti pada Tabel 11. Tabel 10. Data parameter sosial yang dikumpulkan No Parameter Uraian 1 Jumlah nelayan yang terserap Banyaknya nelayan yang bekerja setiap unit penangkapan pada setiap unit penangkapan dengan pendapatan yang sesuai 2 3
Tingkat penguasaan teknologi
Kemampuan nelayan menggunakan teknologi Kemungkinan kepemilikan unit Pembagian antar pendapatan penangkapan nelayan per tahun dengan investasi dari setiap unit penangkapan
Tabel 11. Kriteria untuk parameter tingkat penguasaan teknologi Tingkat penguasaan teknologi Sulit Sedikit sulit Mudah
Skor 1 3 5
Pembobotan terhadap masing-masing kriteria berbeda, untuk kriteria jumlah nelayan yang terserap oleh setiap unit penangkapan diberikan bobot sebesar 40% sedangkan untuk kriteria tingkat penguasaan teknologi dan kemungkinan kepemilikan unit penangkapan diberikan bobot masing-masing 30%. Bobot yang diberikan pada kriteria jumlah nelayan yang terserap lebih besar dibandingkan dengan dua kriteria lainnya adalah berdasarkan pertimbangan penyerapan tenaga kerja yang besar pada unit penangkapan, akan mengurangi angka pengangguran. Pengangguran merupakan permasalahan yang sangat besar dampaknya terhadap kehidupan sosial di Kota Sorong.
35
4) Aspek ekonomi Pengukuran parameter ekonomi dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui manfaat ekonomi atau kelayakan usaha dari suatu usaha penangkapan ikan. Penilaian dilakukan secara objektif melalui hasil perhitungan kelayakan usaha dari masing-masing alat tangkap. Kriteria yang dinilai adalah net present value (NPV), benefit cost ratio (Net B/C), internal rate of return (IRR). Parameter ekonomi yang dikumpulkan dalam penelitian ini seperti biaya investasi, biaya operasional, biaya perawatan nilai produksi dan keuntungan kotor. Beberapa parameter ekonomi yang dikumpulkan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Data parameter ekonomi yang dikumpulkan 1
Biaya investasi
2
Biaya operasional
3
Biaya perawatan
4
Biaya penyusutan
5
Nilai produksi
6. Keuntungan kotor
Biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan kapal/perahu, alat tangkap, mesin dan perlengkapan lain Biaya yang dikeluarkan saat kegiatan operasional spt bbm, perbekalan, es Biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan perahu, alat, mesin dll Biaya yang keluar karena menyusutnya nilai investasi barang spt, perahu, alat tangkap, mesin Berat produksi dikalikan harga persatuan berat pada tingkat harga produsen dinyatakan dalam rupiah. Nilai produksi dikurangi dengan biaya-biaya tidak tetap
Pembobotan terhadap kriteria-kriteria pada aspek ekonomi yang terdiri dari kelayakan finansial antara lain nilai NPV, B/C ratio dan IRR diberikan bobot yang sama yaitu sebesar 15% karena ketiga kriteria tersebut memberikan penilaian terhadap tingkat keuntungan atau kelayakan usaha penangkapan sedangkan untuk kriteria kelayakan ekonomi antara lain pendapatan bersih per tahun dan pendapatan rata-rata pertenaga kerja per tahun diberikan bobot yang berbeda yaitu sebesar 25% dan 30%. Kriteria pendapatan rata-rata per tenaga kerja per tahun diberikan bobot lebih besar, karena dampaknya langsung dapat dirasakan oleh setiap nelayan, sedangkan pendapatan bersih per tahun adalah hanya keuntungan
36
usaha secara keseluruhan tanpa memperhitungkan jumlah nelayan yang terdapat pada unit penangkapan. (2) Data yang dikumpulkan untuk kebutuhan analisis Fungsi Produksi adalah : Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap peningkatan produksi pada unit penangkapan untuk sumberdaya perikanan pelagis seperti ; produksi hasil tangkapan, ukuran kapal/perahu, jumlah nelayan/abk, pengalaman nelayan, dimensi alat tangkap dan jumlah jam operasi. (3) Data yang dikumpulkan untuk menentukan strategi kebijakan perikanan pelagis melalui analisa analitycal hirarchy proces (AHP) adalah pendapat para pakar tentang prioritas strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong yang akan dilakukan. Data sekunder adalah berupa produksi hasil tangkapan tahunan, jumlah dan nama nelayan, jumlah alat tangkap, sarana dan prasarana, harga ikan dan informasi lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian yang diperoleh dari laporan tahunan Kantor perikanan Kota Sorong. Berbagai tulisan melalui penelusuran pustaka (studi pustaka), lembaga-lembaga pemerintahan dan instansi yang berkaitan dengan penelitian. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu dengan cara memastikan diperolehnya sejumlah sample yang mewakili populasi yang akan diteliti. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 120 orang dari 4 Distrik (Distrik Sorong Barat, Distrik Sorong Timur, Distrik Sorong Kepulauan dan Distrik Sorong). Jumlah sampel untuk setiap Distrik ditentukan berdasarkan
jumlah nelayan dan alat
tangkap yang terdapat di Distrik tersebut. Sampel untuk nelayan yang menggunakan alat penangkapan pancing tonda adalah sebanyak 40 orang, 20 orang untuk alat penangkapan dengan bagan perahu, 30 orang untuk nelayan yang menggunakan alat penangkapan jaring insang (gillnet) dan untuk nelayan yang menggunakan alat penangkapan pancing tuna sebanyak 30 orang. Jenis seluruh data primer dan sekunder yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini seperti tertera pada Tabel 13.
37
Tabel 13. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian No 1
2 3 4
Jenis data
Sumber
Spesifikasi teknis unit penangkapan, Nelayan, pengusaha perikanan, musim, daerah penangkapan, produksi, koperasi perikanan pendapatan, biaya operasional, biaya tetap, lama trip. Potensi perikanan dan kelautan, data Kantor perikanan dan BPS Kota statistik dan sarana penunjang Sorong Pilihan pengembangan pelagis Kebijakan pemerintah, data administrasi dan geografi
perikanan Stakeholders Bappeda, Kantor perikanan Kota Sorong
3.3 Asumsi-asumsi Asumsi yang digunakan dalam pengambilan data adalah : 1. Armada penangkapan ikan pelagis yang yang diteliti, dapat mewakili armada penangkapan di Kota Sorong. 2. Penangkapan ikan pelagis dominan dilakukan dengan upaya penangkapan yang menyebar normal. 3. Setiap jenis unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong, hanya mengoperasikan satu jenis alat tangkap. 3.4 Metode Analisis Data Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka metoda analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) analisis deskriptif dan tabulatif 2) analitycal hierarchy process (AHP) untuk menentukan strategi pengembangan perikanan pelagis 3) metoda skoring dengan comparative performance index (CPI), dan 4) analisis fungsi produksi dengan regresi berganda. 3.4.1 Analisis deskriptif dan tabulatif Identifikasi perkembangan perikanan pelagis di Kota Sorong, dilakukan dengan analisis deskriptif dan tabulatif berdasarkan data time series selama 5 tahun dan data-data penunjang lainnya yang diperoleh dari kantor perikanan Kota Sorong dan instansi terkait lainnya.
38
3.4.2 Analitycal hierarchy process (AHP) Penentuan alternatif kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong, dilakukan dengan pendekatan analitycal hierarchi process (AHP) dari Saaty (1991). Alasan digunakan metode AHP adalah dapat menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didisain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah : (1) Model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur. (2) Memudahkan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan yang kompleks. (3) Dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pikiran linier. (4) Mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilih elemen sistem dalam berbagai tingkatan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat. (5) Memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas. (6) Melacak konsistensi logis dari pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan prioritas. (7) Menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang perbaikan setiap alternatif. (8) Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan mereka. (9) Tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda. Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP ada beberapa prinsip yang harus dipahami, diantaranya adalah : (1) Decomposition Setelah persoalan didefenisikan, maka perlu dilakukan dekomposisi yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsur. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak
39
mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga diperoleh beberapa tingkatan dari persoalan tadi. Tingkatan tersebut disebut hirarki. Penyusunan hirarki dilakukan untuk dapat memahami persoalan dan menstrukturnya kedalam bagian-bagian yang menjadi elemen pokoknya secara rinci untuk pengambilan keputusan yang logis. dengan Penerapan AHP ini menetapkan 4 tingkat, yaitu tingkat 1 dijadikan fokus terhadap pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong, tingkat 2 adalah aktor sebagai pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengembangan perikanan pelagis, tingkat 3 adalah kriteria dan tingkat 4 adalah alternatif strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis. Susunan tingkatan dalam hirarki dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram disajikan pada Gambar 13. Strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong
Fokus
Aktor Nelayan
PEMDA dan Akademisi
Pengusaha
Kriteria Produksi
Mutu
pasar
Pendapatan
Potensi sumberdaya ikan
Alternatif Peningkatan penanganan hasil tangkapan
Pengembangan alat tangkap berkelanjutan
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia
Peningkatan kelembagaan dan permodalan
Peningkatan sarana dan prasarana penangkapan
Gambar 13 Diagram hirarki strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong.
Peningkatan jumlah hasil tangkapan
40
(2) Comparative judgement Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu kaitannya dengan tingkat diatasnya. Penilaian ini akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil penilaian ini disajikan dalam bentuk matriks yang disebut matriks banding berpasang (pairwise comparison) seperti disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Matriks banding berpasang (pairwise comparison) C
A1
A2
A3
A4
.............
An
A1
1
a12
a13
a14
.............
a1n
A2
1/a12
1
a23
a24
.............
a2n
A3
1/a13
1/a23
1
a34
.............
a3n
A4
1/a14
1/a24
1/a34
1
.............
a4n
1/a1n
1/a2n
1/13n
1/a4n
............
1
. An
Matriks
banding
berpasang
diisi
dengan
suatu
bilangan
yang
menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen atas elemen lainnya, berkenaan dengan sifat yang dibandingkan. Bilangan yang digunakan adalah suatu skala nilai dari 1 sampai 9 menggunakan skala banding berpasang Saaty (1991). (3) Synthesis of priority Dari setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari eigen vektor untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis diantara local priority. Prosedur melakukan sisntesis berbeda dengan bentuk hirarki. Pengurutan elemenelemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting. Formulasi untuk menentukan vektor prioritas dari elemen-elemen pada setiap matriks dengan menggunakan rata-rata aritmetik sebagai berikut : 1) Menjumlahkan nilai-nilai dalam setiap kolom (Nkj) Nkj =
n
∑ aij (k )
kj = 1
41
Keterangan : Nkj : Nilai kolom ke j aij
: Nilai setiap entri dalam matriks pada baris ke i
dan
kolok ke j n
: Jumlah elemen
2) Membagi setiap entri dalam setiap kolom dengan jumlah pada kolom. Untuk memperoleh matriks yang dinormalisasikan (Ndij), maka digunakan rumus sebagai berikut : aij Nkj
Ndij =
Keterangan : Ndij : Nilai setiap entri dalam matriks yang dinormalisasikan pada baris i dan kolom j. Aij : Nilai setiap entri dalam matriks pada baris i dan kolom j Nkj
: Nilai kolom ke j
3) Vektor prioritas dari setiap elemen, diperoleh dengan merata-ratakan nilai sepanjang baris (Vpi). Vpi =
n
∑
j =1
Ndij n
Keterangan : Vpi : Vektor prioritas dari elemen i Ndij : Nilai setiap entri dalam matriks yang dinormalisasi pada baris i dan kolom j. 4) Jika pengambilan keputusan melibatkan banyak orang, dapat dibuat matriks gabungan dengan menggunakan rumus geometrik sebagai berikut : gij =
m
πa km= 1ij (k )
Keterangan : M : Jumlah responden aij : Pendapat individu (4) Logical consistency Dalam persoalan pengambilan keputusan, konsistensi sangat penting diperhatikan. Diharapkan suatu keputusan didasarkan pada pertimbangan yang memiliki konsistensi tinggi. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui ratio consistensi (CR). Nilai CR tidak boleh lebih dari 10%. Jika nilai CR > 10%, pertimbangan tersebut mungkin acak dan perlu diperbaiki.
42
Ratio consistensi (CR) dihitung dengan rumus sebagai berikut :
CI RI
CR =
Keterangan : CI : (Concistensy Index) RI : Nilai indeks acak
CI =
λmaks − n n −1 n
λ max = VB =
∑ VB i =1
n
VA VP
Keterangan : VA : Vektor antara VP : Vektor prioritas VB : Nilai eigen Tahapan dalam menentukan alternatif strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis dengan menggunakan AHP dapat disajikan pada Gambar 14.
43
Mulai
Analisa data pendahuluan
Pembentukan hirarki awal
Survey lapang/pengambilan data
Pengolahan data
Uji Konsistensi dengan CR
Tidak
Ya Cetak strategi kebijakan pengembangan
Selesai
Gambar 14 Diagram alir penyusunan strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong.
44
3.4.3 Analisis kelayakan usaha
Kriteria-kriteria yang sering digunakan untuk menilai kelayakan finansial suatu usaha dalam analisis biaya manfaat (cost-benefit analysis) adalah sebagai berikut (Kadariah, 1988) : (1) Net benefit-cost ratio (Net B/C) Bt − Ct ( Bt − C t ) > 0 (1 − i ) t Bt − Ct ∑ ( Bt − C t ) < 0 (1 − i ) t
∑ =
Net B-C ratio
Dimana : B= Benefit; C = Cost; i = discount; t = periode (2) Break even point (BEP) Analisis BEP atas dasar produksi : Biaya tetap x produksi Hasil penjualan − Biaya var iable
BEP (kg) =
Analisis BEP atas dasar harga jual :
Biaya tetap Biaya variable 1Hasil penjualan
BEP (Rp) =
(3) Net present value (NPV) n
NPV =
∑ t =1
Bt - C t (1 + i)
Dimana : B = Benefit; C = Cost; i = discaunt rate; dan t = periode (4) Internal rate of return (IRR) ⎛ NPV+ IRR = i NPV+ + (i NPV+ - i NPV-) ⎜⎜ ⎝ NPV+ − NPV−
⎞ ⎟⎟ ⎠
Dimana : iNPV+
= discount rate dimana NPV positif
iNPV-
= discount rate dimana NPV negatif
45
3.4.4 Metode skoring dengan comparative performance index (CPI)
Metode skoring digunakan untuk menentukan jenis teknologi penangkapan ikan pelagis tepat guna berdasarkan analisis kelayakan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Masing-masing kriteria
akan memperoleh nilai dengan
satuan yang berbeda. Metode skoring dengan CPI dapat
menyelesaikannya
dengan terlebih dahulu melakukan standarisasi agar seluruh nilai pada masingmasing kriteria dapat memiliki nilai yang standar (Marimin, 2004). Penilaian dari aspek-aspek tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa (1) ditinjau dari segi biologis, teknologi penangkapan yang tepat guna adalah tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya perikanan, (2) secara teknis, efektif untuk dikembangkan, (3) dari segi sosial, dapat diterima masyarakat nelayan dan (4) secara ekonomis, teknologi bersifat menguntungkan. Dari masing-masing aspek tersebut ditentukan suatu kriteria penilaian. Kriteria untuk aspek biologis adalah melalui ukuran mata jaring, ukuran ikan layak tangkap yang tertangkap, jumlah komposisi hasil tangkapan dan cara pengoperasian alat tangkap. Kriteria untuk aspek teknis adalah produksi per tahun, produksi per trip dan produksi per tenaga kerja. Kriteria untuk aspek sosial adalah melalui jumlah nelayan yang terserap setiap unit penangkapan, tingkat penguasaan teknologi dan kemungkinan kepemilikan unit penangkapan. Sedangkan kriteria aspek ekonomi adalah meliputi keuntungan bersih masingmasing alat tangkap dan pendapatan nelayan. Sedangkan kelayakan finansial dihitung berdasarkan atas kriteria nilai net present value (NPV), benefit cost ratio (B/C), internal rate of return (IRR). Tahapan analisis metode skoring adalah sebagai berikut : (1) Menetapkan jenis unit penangkapan ikan pelagis yang terdapat di lokasi penelitian. (2) Menentukan jumlah sampel untuk tiap –tiap jenis alat tangkap sesuai dengan jumlah alat tangkap yang ada. (3) Pengumpulan data melalui wawancara dan questioner berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. (4) Analisa data dengan melakukan skoring/penilaian terhadap tiap-tiap kriteria untuk masing-masing jenis alat tangkap.
46
(5) Untuk aspek biologi, penilaian dilakukan secara subjektif sedangkan untuk aspek teknik, sosial dan ekonomi, penilaian diberikan berdasarkan nilai tertinggi sampai yang terrendah secara objektif sesuai dengan nilai yang diperoleh. (6) Untuk menyeragamkan nilai-nilai yang berbeda, maka dilakukan standarisasi dengan menggunakan comparative performance index (CPI). Caranya adalah dengan menentukan nilai minimum pada setiap lajur (setiap status situasi), dan menetapkan nilai minimum tersebut = 100. Menurut Marimin (2004), metode comparative performance index (CPI) dirumuskan sebagai berikut : Aij
= {Xij (min) x100}/ Xij (min)
Iij
= Aij x Pj
Ij
= ∑ ( Iij )
A( i +1. j ) = {X i +1. j ) x100 }/ Xij (min) n
j =1
Keterangan : Aij
= Nilai alternatif ke-i pada kriteria ke-j
Xij(min) = Nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j A(i+1.j)
= Nilai alternatif ke-i+1 pada kriteria ke-j
X(i+1.j)
= Nilai alternatif ke-i+1 pada kriteria awal ke-j
Pj
= Bobot kepentingan kriteria ke-j
Iij
= Indeks alternatif ke-i
Ii
= Indeks gabungan kriteria pada alternatif ke-i
i
= 1,2,3,........,n
j
= 1,2,3,........,m
Berdasarkan standarisasi terhadap kriteria biologi, teknis, sosial dan ekonomi pada teknologi alat tangkap yang diteliti, maka akan diperoleh nilainilai dari yang tertinggi sampai yang terendah. Jenis alat tangkap yang memiliki nilai yang tertinggi adalah yang paling tepat guna dan pengembangannya perlu dilakukan
dalam rangka
berkelanjutan.
pemanfaatan
sumberdaya
secara
optimal
dan
47
3.4.5 Analisis fungsi produksi
Untuk menganalisis fungsi produksi perikanan pelagis di Kota Sorong digunakan pendekatan model fungsi produksi dengan regresi berganda (Soekartawi, 1990). Analisis regresi berganda menggunakan Software Minitab 14. Fungsi produksi adalah hubungan fisik antara masukan produksi (input) dan produksi (output). Tujuan dari analisis fungsi produksi adalah menginginkan informasi sumberdaya yang terbatas seperti investasi, tenaga kerja dan lain-lain dapat dikelola dengan baik, agar produksi maksimum dapat diperoleh. Fungsi produksi adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut dengan variabel dependen yang dijelaskan oleh (Y) dan yang lain disebut variabel independen yang menjelaskan (X). Penyelesaian hubungan antara Y dan X adalah dengan cara regresi yaitu variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Analisis fungsi produksi menggunakan persamaan regresi linier berganda yang dituliskan secara matematis sebagai berikut (Walpole, 1992) : Y = a + b1X1 + b2X2 + …….. bnXn Keterangan : Y = Nilai variable tak bebas a = intersept b = koefisien regresi X = Variable bebas n = Jumlah variable Variabel-variabel yang ditentukan dan diukur di lapangan adalah : (1)Variabel tak bebas yaitu hasil tangkapan (Y). Hasil tangkapan yang dimaksud adalah jumlah hasil tangkapan yang diperoleh dalam satu tahun. Satuan ukuran yang digunakan untuk keperluan analisis adalah kg. (2)Variabel bebas yang diambil sebagai faktor-faktor teknis produksi dalam penelitian
ini
yang
dianggap
sebagai
parameter
penentu
didalam
pengoperasian unit penangkapan ikan pelagis adalah sebagai berikut : 1) Ukuran kapal/gross ton (X1) Ukuran perahu dinyatakan dalam gross tonnage (GT), semakin besar GT maka semakin besar kapasitas muat perahu tersebut. Besarnya GT perahu akan
48
menentukan jarak operasi penangkapan ikan, karena dengan memperbesar GT memungkinkan perahu beroperasi lebih jauh dari pantai. Untuk mendapatkan GT perahu digunakan rumus berikut (Nomura and Yamazaki, 1977) : GT = L x B x D x C x 0,353. Keterangan L = Panjang perahu (m) B = Lebar perahu (m) D = dalam perahu (m) C = konstanta bahan perahu (fiber = 0,55). 2) Dimensi alat tangkap (X2) Dimensi alat tangkap yang diduga berpengaruh terhadap produksi adalah Panjang badan jaring (untuk alat tangkap jenis jaring) yang diukur adalah jumlah piece yang digunakan. Jumlah piece yang digunakan akan mempengaruhi besar kecil biaya investasi dan besar kecilnya hasil tangkapan yang diperoleh (Ayodhyoa, 1981). Jumlah mata pancing diduga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi perikanan pelagis dengan alat tangkap pancing tonda (trolling lines). 3) Jumlah jam operasi (X3) Jumlah jam operasi yang dimaksud untuk jenis alat penangkapan dengan jaring merupakan perkalian antara lamanya perendaman jaring (towing) dalam air dengan jumlah setting yang dilakukan dalam satu kali trip penangkapan. Dengan asumsi bahwa semakin lama jaring terendam dalam air (towing), maka hasil tangkapan semakin banyak pula. Setting yang dimaksud adalah penebaran jaring dalam satu operasi penangkapan. Penentuan setting dengan menghitung berapa kali setting dilakukan selama satu trip operasi penangkapan. Sedangkan untuk alat penangkapan dengan pancing, jumlah jam operasi adalah jumlah hari operasi dalam satu trip. 4) Tenaga kerja nelayan (X4) Tenaga kerja adalah setiap nelayan yang terlibat langsung di dalam usaha penangkapan ikan termasuk juru mudi. Tahapan
analisis
untuk
menentukan
faktor-faktor
berpengaruh terhadap peningkatan produksi ikan pelagis adalah :
produksi
yang
49
(1) Menentukan model persamaan fungsi produksi, dengan menggunakan software Minitab 14. (2) Menentukan korelasi antar variabel. Analisis korelasi adalah Alat statistik yang sering digunakan untuk mengukur sampai seberapa besar keeratan hubungan antara dua variabel. Besar kecilnya atau kuat tidaknya hubungan dua variabel tersebut dinyatakan dengan koefesien korelasi (r). Sebelum analisa regresi dilakukan, maka perlu diuji korelasional antara variabel X dan Y. Untuk uji korelasional dapat digunakan rumus korelasi dari Pearson (product moment correlation). Persyaratan dari uji korelasi dengan Pearson adalah antara lain : 1) Pengambilan sampel dari populasi harus random 2) Data yang dicari korelasinya harus berskala interval atau ratio 3) Variasi skor kedua variabel yang akan dicari korelasinya harus sama 4) Distribusi skor variabel yang dicari korelasinya hendaknya merupakan distribusi unimodal 5) Hubungan antara variabel X dan Y adalah linier. Korelasi Pearson (product moment correlation) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
r =
∑ {(X − X )(Y − Y )} ∑ (X − X ) ∑ (Y − Y ) 2
2
Rumus tersebut memerlukan suatu perhitungan rata-rata dari masing-masing kelompok yang selanjutnya perlu suatu perhitungan selisih masing-masing skor dengan rata-ratanya, serta kuadrat simpangan skor dengan rata-ratanya, maupun hasil kali simpangan masing-masing kelompok. (3) Menentukan multikolinieritas antar variabel independen Multikolinieritas
adalah
situasi,
dimana
nilai-nilai
pengamatan
dari
X1,X2..........Xn adalah mempunyai hubungan yang kuat sehingga variabel X tertentu tidak begitu mempengaruhi Y, tetapi justru variabel X tersebut dipengaruhi oleh variabel X lainnya.
50
(4) Menghitung koefisien regresi berganda fungsi produksi. (5) Pengujian terhadap faktor-faktor produksi (Xi) secara bersama-sama terhadap hasil tangkapan (Y) dilakukan dengan uji F. Tujuannya adalah untuk melihat signifikan dari faktor-faktor produksi terhadap produksi hasil tangkapan dengan menggunakan tabel anova. Tabel anova disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Tabel anova Sumber
Derajat
Jumlah Kuadrat (JK)
Bebas (db) Regresi
p-1
Galat
P(n-1)
Total
n-1
Kuadrat
Tengah F- Hitung
(KT) JkA=
∑ n(Yi − Yj)
2
JKS=JKT-JKA JKT=
∑ (Yij − Y )
KTA= JKA/p-1
KTA/KTS
KTS = JKS/p(n-1) 2
(1) Ho : bi = 0 (untuk i = 1,2,......n) berarti antara Y dengan Xi tidak ada hubungan H1: minimal salah satu bi ≠ 0 (untuk i = 1,2,3.....n) berarti Y tergantung terhadap Xi secara bersama-sama. Jika F hitung > F tabel F hitung < F tabel
Ho ditolak Hi diterima
(2) Pengujian masing-masing faktor (Xi) terhadap produksi hasil tangkapan (Y) dilakukan dengan uji t-student.
4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1
Letak Geografis Secara geografis, wilayah administratif Kota Sorong merupakan bagian dari
Propinsi Papua Barat yang terletak pada kepala burung dari pulau Papua. Posisi yang strategis ini menjadikan Kota Sorong sebagai pintu gerbang Papua. Kota Sorong terletak pada posisi di bawah garis katulistiwa yaitu antara 131o15’ BT dan 0o54’LS (Lampiran 1). Batas-batas geografis Kota Sorong adalah sebagai berikut : (1) Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Dampir. (2) Sebelah Utara berbatasan dengan Distrik Makbon dan Selat Dampir. (3) Sebelah Timur berbatasan dengan Distrik Makbon, Kabupaten Sorong. (4) Sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik Aimas dan Distrik Salawati, Kabupaten Raja Ampat. Luas wilayah Kota Sorong mencapai 1.105 km2, terbagi menjadi 5 (lima) wilayah Distrik yaitu wilayah Distrik Sorong Barat, Sorong Timur, Sorong, Sorong Utara dan Sorong kepulauan serta 20 kelurahan. Wilayah Kota Sorong terdiri atas daratan, lautan dan pulau-pulau yang dapat dikategorikan sebagai wilayah Sorong daratan dan wilayah Sorong lautan. 4.2
Klimatologi Posisi Kota Sorong berada di bawah garis katulistiwa, sehingga suhu
sepanjang tahun 2006 tidak banyak bervariasi. Berdasarkan catatan badan meteorologi dan geofisika di stasiun Jefman, pada ketinggian 3 meter di atas permukaan laut, suhu udara minimum di Kota Sorong sekitar 25,3o Celcius dan suhu udara maksimum sekitar 31,2o Celcius. Tingkat curah hujan tercatat 2.171 milimeter. Curah hujan agak berfluktuatif sepanjang tahun 2006. Namun tidak terdapat hari tanpa hujan. Banyaknya hari hujan setiap bulan berkisar antara 4 – 27 hari (Tabel 16). Kelembaban udara ratarata tercatat 84 %.
52
Tabel 16. Data curah hujan dan banyaknya hari hujan di Kota Sorong tahun 2006 (BMG Stasiun Meteorologi Jefman Sorong, 2007) Bulan
Curah hujan
Hari hujan
Januari
254
27
Pebruari
156
14
Maret
317
16
April
190
16
Mei
80
5
Juni
125
12
Juli
201
15
Agustus
224
5
September
393
19
7
4
Nopember
165
12
Desember
59
11
Oktober
4.3 Topografi dan Ketinggian
Kondisi topografi di Kota Sorong sangat beragam, dari datar sampai yang kelerengannya curam. Secara garis besar, topografi wilayah Kota Sorong dapat dibagi menjadi 5 zona antara lain ; (1) zona dengan kelerengan 0 – 2 % yaitu tersebar merata di sepanjang garis pantai Barat dan Selatan yang meliputi 33,73% dari wilayah darat; (2) zona dengan kelerengan 2-15% berada di bagian tengah wilayah kota meliputi 19,17 % dari wilayah Kota Sorong; (3) zona dengan kelerengan 15-25%, berada di sebelah Tenggara yang merupakan daerah perbatasan meliputi 10,68% dari wilayah Kota Sorong; (4) zona dengan kelerengan 25-40%, berada di sebelah tengah bagian Utara Kota Sorong meliputi 14,13% dari wilayah darat; (5) zona dengan kelerengan >40% berada di sepanjang pantai Utara Kota Sorong dan juga di sebelah Tenggara (daerah perbatasan) meliputi 22,29% dari wilayah Kota.
53
4.4
Kondisi Sosial Penduduk
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS Kota Sorong (2005), jumlah penduduk Kota Sorong pada tahun 2005 tercatat 151.533 jiwa. Sekitar 53% dari total penduduk adalah laki-laki dan sisanya 47% adalah perempuan. Ditinjau dari struktur penduduk maka diperoleh nilai rata-rata sex ratio untuk Kota Sorong sebesar 112,97 artinya setiap 113 laki-laki terdapat 100 perempuan. Rasio jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan terbesar dijumpai di Distrik Sorong Timur sebesar 113,27. Dilihat dari struktur umurnya, komposisi penduduk Kota Sorong tergolong penduduk muda. Pada kelompok umur 0-4 tahun tercatat 12,5% penduduk sedangkan pada kelompok umur 75 tahun atau lebih tercatat 0,31%. Tabel 17. Penduduk Kota Sorong dan kepadatannya menurut Distrik tahun 2005 (BPS Kota Sorong, 2005) Luas daerah
Penduduk
Kepadatan per km2
Sorong Barat
254,15
28.976
114,01
Sorong Timur
250,29
62.811
250,95
Sorong
200,32
51.958
259,375
Sorong kepulauan
200,10
7.786
38,91
Sorong Utara
200,14
Jumlah / total
1.105
Distrik
Data masih tergabung 151.533
137,13
4.5 Kondisi Perikanan Tangkap 4.5.1 Produksi perikanan pelagis
Perkembangan produksi perikanan pelagis di Kota Sorong selama kurun waktu 5 (lima) tahun sejak tahun 2002 sampai dengan 2006 menunjukkan peningkatan yang cukup baik (Lampiran 2). Produksi perikanan pelagis rata-rata selama 5 tahun didominasi oleh ikan teri sebesar 26.42%, lemuru/simbulah sebesar
19.95%,
kembung
sebesar
16.15%,
tenggiri
sebesar
10.34%,
cakalang/tuna sebesar 9.14%, selar kuning sebesar 7.73%, jenis lainnya sebesar
54
7.48% dan layang sebesar 2.80%. Produksi sumberdaya ikan pelagis tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Produksi sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong tahun 2006 (Kantor Perikanan Kota Sorong, 2007) No
Jenis ikan
Produksi (ton)
1
Teri
215,23
2
Layang
20,81
3
Selar kuning
68,13
4
Lemuru/simbulah
165,11
5
Kembung/lema
138,11
6
Tenggiri
74,18
7
Cakalang/tuna
66,04
8
Lainnya
56,08
Total
803,58
4.5.2 Alat tangkap
Secara umum alat penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan di Kota Sorong sangat beragam. Perkembangan jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kota Sorong selama kurun waktu 5 tahun sejak tahun 2002 – 2006 disajikan pada Lampiran 3. Khususnya perikanan tradisional untuk sumberdaya ikan pelagis, alat penangkapan ikan yang digunakan antara lain; jaring insang (gillnet), pancing tonda (trolling lines), bagan perahu (boat liftnet) dan pancing tuna (handlines). Penggunaan alat penangkapan ikan pelagis tersebut didominasi oleh pancing (handlines) sebesar 42.23% diikuti oleh pancing tonda (trolling
lines) sebesar 28,53%, jaring insang (gillnet) sebesar 27.16% dan bagan perahu (boat lifnet) sebesar 2.08%. Jumlah alat tangkap untuk sumberdaya ikan pelagis tahun 2006 disajikan pada Tabel 19. Sedangkan perkembangan jumlah armada dan alat tangkap selama 5 tahun dalam kurun waktu 2002-2006 disajikan pada Lampiran 3.
55
Tabel 19. Jumlah alat tangkap perikanan pelagis di Kota Sorong tahun 2006 (Kantor Perikanan Kota Sorong, 2007)
No 1
Alat tangkap Pancing
Distrik Sorong
Sorong
Barat
Timur
Sorong
Sorong
Sorong
kepulauan
Utara
Jumlah
324
97
198
213
-
832
211
126
138
87
-
562
284
161
90
-
-
535
18
16
7
-
-
41
tuna 2
Pancing tonda
4
Jaring insang
5
Bagan perahu
4.5.3 Armada
Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kota Sorong selama kurun waktu 2002 - 2006 menunjukkan adanya fluktuasi (Gambar 15). Pada tahun 2004 jumlah armada penangkapan ikan menurun sebesar 17.38%. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2004 data perikanan masih belum akurat sehubungan dengan masih dilakukan pembenahan data karena adanya pemekaran wilayah Kota dan Kabupaten Sorong. Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan dalam kurun waktu 2002 2006 dapat dilihat pada Tabel 20.
56
Tabel 20. Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kota Sorong tahun 2002 – 2006 (Kantor Perikanan Kota Sorong, 2007)
No
Uraian
Tahun 2002
2003
2004
2005
2006
1
Perahu tanpa motor
681
692
564
763
763
2
Perahu motor tempel
221
219
180
305
312
3
Perahu motor dalam
28
28
28
28
47
4
Kapal motor
24
22
22
27
31
954
961
794
1123
1153
0.73
-17.38
41.44
2.67
Jumlah Perkembangan
Jumlah perahu
1000 800 600 400 200 0 2002
2003
2004
2005
2006
Tahun Perahu tanpa motor Perahu motor dalam
Perahu motor tempel Kapal motor
Gambar 15 Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kota Sorong tahun 2002 – 2006.
Sampai dengan tahun 2006, armada penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan masih didominasi oleh perahu tanpa motor sebesar 69.47%. Sedangkan perahu motor tempel tercatat hanya 24.81% serta jumlah yang paling sedikit adalah 3.19% untuk perahu motor dalam dan 2.53% untuk kapal motor. Komposisi jenis armada penangkapan ikan di Kota Sorong dapat dijelaskan pada Gambar 16.
57
3.19 2.53 24.81
69.47 Perahu tanpa motor
Perahu motor tempel
Perahu motor dalam
Kapal motor
Gambar 16 Komposisi jenis armada penangkapan ikan di Kota Sorong tahun 2006.
Kondisi tersebut dapat memberikan informasi bahwa sebagian besar yaitu 94.3 % dari jumlah armada di Kota Sorong adalah armada yang digunakan oleh nelayan dengan alat penangkapan ikan yang masih sederhana dan daerah penangkapan paling jauh sekitar 20 mil laut. Jenis armada perahu tanpa motor dan perahu motor tempel digunakan oleh nelayan-nelayan lokal maupun nelayan pendatang. Sedangkan jenis armada yang lebih besar seperti motor dalam dan kapal motor dimiliki oleh nelayan-nelayan pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan. 4.5.4 Nelayan dan rumah tangga perikanan (RTP)
Sesuai dengan kondisi geografis wilayah Kota Sorong yang dikelilingi oleh laut dan pulau-pulau didukung dengan tersedianya sumberdaya perikanan, maka penduduk yang mendiami di sekitar wilayah pesisir dan kepulauan melakukan usaha perikanan sebagai matapencaharian pokok. Usaha yang dilakukan oleh nelayan bervariasi, namun sebagian besar skala usaha masih terbatas hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Perkembangan jumlah RTP dan nelayan lebih jelasnya dapat disajikan dalam bentuk diagram batang seperti pada Gambar 17.
58
Jumlah (RTP, orang)
3000 2500 2000 1500 1000 500 0 2002
2003
2004
2005
2006
Tahun Rumah Tangga Perikanan
Nelayan
Gambar 17 Perkembangan jumlah RTP dan nelayan di Kota Sorong tahun 2002 – 2006.
Jumlah nelayan dan rumah tangga perikanan (RTP) di Kota Sorong dari tahun ke tahun dalam kurun waktu 2002-2006 menunjukkan peningkatan. Perkembangan jumlah nelayan selama tahun 2002-2006 adalah rata-rata 15,06% per tahun sedangkan jumlah RTP rata-rata 47,53% per tahun. Data jumlah nelayan dan RTP Kota Sorong disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Jumlah rumah tangga perikanan (RTP) dan nelayan di Kota Sorong dan perkembangannya dari tahun 2002 – 2006 (Kantor Perikanan Kota Sorong, 2007) Uraian 2002 Rumah Tangga Perikanan Nelayan Perkembangan RTP Nelayan
380 1410
2003
Tahun 2004
2005
2006
624 1872
788 2252
808 2347
814 2416
64.21 32.77
26.28 20.29
25.38 4.22
74.25 2.94
5 HASIL PENELITIAN 5.1
Keragaan Unit Penangkapan Ikan Pelagis
5.1.1 Armada penangkapan Hasil survey menunjukkan bahwa armada penangkapan untuk sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong umumnya masih berskala kecil dan menggunakan teknologi penangkapan yang masih sederhana. Jenis teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan di Kota Sorong yaitu jaring insang, bagan perahu, pancing tonda dan pancing tuna. Armada penangkapan ikan di Kota Sorong sampai saat ini masih didominasi perahu tanpa motor yaitu sekitar 69%. Akan tetapi untuk penangkapan ikan pelagis, sebagian besar sudah menggunakan perahu motor. Pada umumnya perahu/kapal yang digunakan untuk pengoperasian penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong terbuat dari bahan kayu dengan ukuran yang bervariasi. Khusus untuk perahu penangkapan tuna, bahan yang digunakan adalah triplex marine. Jenis dan merk mesin yang digunakan juga bervariasi tergantung ukuran perahu/kapal yang digunakan. Spesifikasi jenis unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong dapat dilihat pada Tabel 22. 5.1.2
Alat tangkap
5.1.2.1 Jaring insang (gillnet) Jaring insang (gillnet) merupakan alat tangkap berupa lembar dinding jaring berbentuk empat persegi panjang. Jaring insang yang digunakan nelayan di Kota Sorong untuk penangkapan ikan pelagis, dioperasikan secara menetap di permukaan (set surface gillnet). Pada kedua ujung jaring diikatkan tali jangkar, sehingga letak(posisi) jaring menjadi menetap. Float line ( tali ris atas dan tali pelampung) akan berada di permukaan air (sea surface). Konstruksi jaring insang permukaan (set surface gillnet) yang digunakan nelayan di Kota Sorong dapat dilihat pada Gambar 18. Sedangkan armada penangkapan jaring insang dapat dilihat pada Gambar 19.
60
Tabel 22. Spesifikasi unit penangkapan ikan pelagis yang diteliti di Kota Sorong Unit perikanan tangkap
Spesifikasi alat tangkap
Klasifikasi armada penangkapan Pjg Lbr Tgg (m) (m) (m) 4.0- 0.4- 0.49.0 1.0 0.9
Merk mesin dan kekuatan (PK)
Jumlah Nelayan (Orang)
Daerah penangkapan
Jenis tangkapan utama
Yamaha 15-40 Daeho 5.5
1-2
Makbon Urbinasopen Raam Sausapor Mega
Cakalang Tuna Tenggiri
Msz (cm) -
Pjg (m) 200 500
Tgg (m) -
Jaring insang (gill net)
6-8
100 400
2-6
412
0.51.0
0.40.8
Yamaha 15-40
2-4
Batanta P. Senapan P. Raam
Tongkol Kembung Tenggiri Selar
Bagan perahu (boat liftnet)
1-2
1221
1221
1221
0.9 01.2 0
0.7 02.6 0
Yamaha 40
4-5
Arar P. Soop Jefman Kalobo Samate
Teri Sibula Tembang Layang
-
100 200
-
4.8 0-8
0.5 00.9 0
0.4 00.6 0
Yamaha 15 Mitsubishi 6 Honda 3.5-13
1-2
Makbon
Tuna
Pancing tonda (trolling lines)
Pancing Tuna (handline)
Keterangan : 1 = Pelampung berat 2,5 gr 2 = Tali ris atas pelampung 6,8 mm 3 = Tali ris atas jaring 6,8 mm 4 = Badan jaring bahan benang 5 mm 5 = Tali ris bawah dilapisi cairan timah 6 mm 6 = Jangkar (5 kg)
6
Gambar 18 Konstruksi jaring insang menetap permukaan (set surface gillnet) yang digunakan nelayan di Kota Sorong.
61
Gambar 19 Armada penangkapan jaring insang di Kota Sorong.
Jaring insang yang dioperasikan oleh nelayan di Kota Sorong berukuran panjang 50 m untuk setiap pis jaring dan tinggi 4 m. Jumlah pis jaring yang dirangkaikan pada waktu pengoperasian rata-rata berjumlah 2-8 pis tergantung pada daerah penangkapan. Bahan jaring terbuat dari nylon monofilament dengan ukuran mata jaring (mesh size) 6-8 cm. Dalam pengoperasiannya setelah jaring diturunkan (setting), kemudian setelah 3-6 jam jaring diangkat (hauling). Jenis ikan hasil tangkapan yang bernilai ekonomis adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), ikan tongkol (Euthynnus
affinis), ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) dan ikan kembung (Rastrelliger spp). Ilustrasi pengoperasian jaring insang yang dilakukan oleh nelayan di Kota Sorong dapat dilihat pada Gambar 20. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan jaring insang dilakukan selama 2-3 hari untuk satu trip penangkapan. Pada umumnya pendaratan ikan dilakukan pada pagi hari atau sore hari disesuaikan dengan waktu ramainya pengunjung di pasar. Setiap kali operasi penangkapan, dilakukan 2-3 kali setting. Kegiatan operasi penangkapan dengan jaring insang, biasanya dilakukan selama 22 hari dalam 1 (satu) bulan.
62
Jumlah nelayan dalam setiap operasi penangkapan biasanya berjumlah 2-4 orang yang terdiri dari 1 orang nelayan pemilik serta 2-3 orang nelayan pengikut. Rata-rata pendapatan bersih nelayan jaring insang dalam 1 (satu) bulan berkisar dari Rp 627.275,- - Rp 940.913,-. Berdasarkan pengamatan data hasil tangkapan jaring insang dalam satu bulan, diperoleh ukuran ikan layak tangkap yang dihasilkan adalah rata-rata sebesar 62% dari hasil tangkapan.
Gambar 20 Ilustrasi pengoperasian jaring insang di Kota Sorong. 5.1.2.2 Bagan perahu (boat liftnet)
Alat penangkapan dengan bagan perahu yang digunakan di Kota Sorong umumnya menggunakan 1 (satu) buah perahu dengan jaring yang berbentuk persegi panjang. Rata-rata ukuran panjang dan lebar jaring sama dengan ukuran panjang perahu dan lebar
semang perahu. Rata-rata jaring yang digunakan
berukuran panjang 12 – 23 m dengan ukuran mata jaring 1-2 cm. Untuk menarik jaring pada waktu pengoperasian bagan, digunakan katrol sebagai alat penggulung tali (line hauler) yang terbuat dari kayu dan terletak pada bagian sisi depan kerangka bagan. Pada bagian tengah bangunan bagan terdapat rumah yang berfungsi sebagai tempat istirahat dan bahan bakar serta perlengkapan lainnya. Dalam
pengoperasiannya,
bagan
dilengkapi
dengan
perahu
motor
berkekuatan 15 PK atau 40 PK yang berfungsi untuk menarik bagan menuju
63
daerah penangkapan juga untuk mengangkut hasil tangkapan dari fishing ground ke fishing base. Untuk mengumpulkan ikan, nelayan bagan perahu menggunakan perlengkapan tambahan berupa lampu petromax yang jumlahnya bervariasi antara 6-15 unit. Waktu pengoperasian bagan perahu dilakukan pada malam hari selama sepanjang tahun. Umumnya nelayan bagan perahu melakukan operasi penangkapan selama 9-10 jam per trip. Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan segera dipasarkan untuk menghindari menurunnya kualitas ikan. Hasil tangkapan bagan perahu yang dominan dan cukup bernilai ekonomis adalah teri (Stolephorus sp), ikan simbulah (Amblygaster sirm) dan ikan peperak (Selaroides
leptolesis). Unit penangkapan bagan perahu yang digunakakan oleh nelayan di Kota Sorong dapat dilihat pada Gambar 21 serta proses pengangkatan jaring (hauling) pada bagan perahu dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 21 Bagan perahu yang digunakan oleh nelayan di Kota Sorong.
Jumlah nelayan dalam setiap operasi penangkapan bagan perahu berjumlah rata-rata 4-5 orang. Pendapatan bersih usaha penangkapan bagan perahu dalam satu tahun adalah Rp 166.675.000,-. Sehingga pendapatan bersih pemilik dalam satu bulan adalah Rp 7.576.136,-, sedangkan pendapatan nelayan pengikut selama satu bulan adalah berkisar Rp 1.515.227,- - Rp 1.894.034,-. Ukuran ikan hasil
64
tangkapan yang layak tangkap pada bagan perahu adalah rata-rata 45% dari jumlah hasil tangkapan setiap trip.
Gambar 22 Proses pengangkatan jaring (hauling) pada bagan perahu di Kota Sorong. 5.1.2.3 Pancing tonda (trolling lines)
Umumnya pancing tonda (trolling lines) yang digunakan oleh nelayan di Kota Sorong, menggunakan unit pancing rata-rata 6-7 unit untuk tiap perahu dengan jenis umpan buatan yang terbuat dari tali rafia (Gambar 23). Bahan tali pancing terdiri dari nilon ukuran nomor 90-100 dengan panjang tali bervariasi berkisar antara 200m-500m. Daerah penangkapan dipusatkan di rumpon yang disediakan oleh perusahaan perikanan maupun Dinas perikanan. Penangkapan dilakukan pada kedalaman 30 m untuk pagi hari, sedangkan siang hari pada kedalaman 70-80 m. Kegiatan penangkapan dengan pancing tonda dilakukan nelayan dimulai pada pagi hari sekitar jam 04.00 hingga sore hari jam 17.00 WIT. Ukuran mata pancing yang digunakan bervariasi, umumnya menggunakan pancing nomor 5-8. Jenis hasil tangkapan pancing tonda adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tenggiri (Scomberomorus commerson) serta tuna (Thunnus albacares) berukuran muda (1-5 kg). Jumlah nelayan setiap armada
penangkapan pancing tonda adalah
berjumlah 1-2 orang. Pendapatan usaha penangkapan dengan pancing tonda dalam
65
setahun adalah sebesar Rp 103.817.112,-. Pendapatan pemilik dalam satu bulan adalah sebesar Rp 4.718.960,-, sedangkan penghasilan nelayan pengikut dalam satu bulan adalah berkisar Rp 1.572.987,- - Rp 2.359.480,-. Berdasarkan pengamatan terhadap ukuran ikan layak tangkap pada hasil tangkapan pancing tonda selama satu bulan, menunjukkan prosentase rata-rata sebesar 84% dari hasil tangkapan. Kualitas ikan hasil tangkapan dengan pancing tonda nampak lebih baik dibandingkan dengan jaring insang. Hal ini disebabkan karena proses penanganan hasil tangkapan yang berbeda. Pada pancing tonda, hasil tangkapan biasanya dalam keadaan hidup dan segera ditempatkan pada coldbox yang dibawa diatas perahu. Sedangkan pada jaring insang, ikan yang tertangkap biasanya dalam keadaan mati bahkan ada juga yang rusak karena terlalu lama dalam jaring. Jenis unit armada penangkapan dengan pancing tonda yang digunakan oleh nelayan di Kota Sorong dapat dilihat pada Gambar 24 dan 25. Pegangan
Tali utama
Swivel
Tali cabang
Rumbai-rumbai
Mata pancing
Gambar 23 Unit alat tangkap pancing tonda di Kota Sorong.
66
Gambar 24 Unit armada penangkapan pancing tonda di Kota Sorong
Gambar 25 Nelayan pancing tonda yang sedang beroperasi di perairan sekitar Kota Sorong. 5.1.2.4 Pancing tuna (handlines)
Kegiatan penangkapan ikan tuna yang dilakukan oleh nelayan di Kota Sorong adalah dengan menggunakan pancing tuna (handlines). Jumlah mata
67
pancing yang digunakan berkisar 1-2 unit untuk setiap unit pancing ulur. Ukuran mata pancing yang digunaka pada umumnya nomor 7-9. Panjang tali pancing juga bervariasi yaitu berkisar antara 100-200m. Tali pancing berupa tali nilon berukuran 120-140 untuk tali utama, sedangkan tali cabang berukuran 80. Umpan yang digunakan adalah umpan hidup berupa potongan ikan komo dengan berat rata-rata 0,25 kg. Konstruksi unit alat tangkap pancing tuna dan armada penangkapannya dapat dilihat pada Gambar 26 dan 27. Pegangan Tali utama
Swivel
Tali cabang
Pemberat
Mata pancing
Gambar 26 Unit alat tangkap pancing tuna yang digunakan nelayan di Kota Sorong.
Waktu pengoperasian pancing tuna dilakukan sepanjang tahun dan kegiatan penangkapannya umumnya dimulai pada pagi hari jam 10.00 hingga sore hari jam 18.00 WIT. Dalam satu bulan nelayan melakukan penangkapan selama 25 hari. Rata-rata produksi pancing tuna adalah sebesar 53,64 kg/trip dengan rata-rata berat ikan yang tertangkap adalah 30-50 kg/ekor. Jumlah nelayan dalam setiap armada penangkapan berjumlah 1-2 orang. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap hasil tangkapan ikan tuna selama 1 (satu) bulan, persentase jumlah ikan yang layak tangkap adalah rata-rata sebesar 87% dari hasil tangkapan setiap trip. Pendapatan usaha pancing tuna dalam setahun mencapai Rp 61.088.200,-. Sedangkan pendapatan pemilik dalam setahun adalah sebesar Rp 30.544.100,-, sehingga pendapatan pemilik dalam satu bulan
68
adalah sebesar Rp 2.776.736,-, sementara penghasilan nelayan pengikut dalam satu bulan adalah sebesar Rp 1.388.368,-
Gambar 27 Armada penangkapan pancing tuna di Kota Sorong.
Usaha penangkapan ikan tuna di Kota Sorong, umumnya bermitra dengan pengusaha pengolahan tuna fillet. Hasil olahan tuna fillet selanjutnya dipasarkan ke Ujung Pandang untuk di ekspor. Oleh karenanya kualitas hasil tangkapan nelayan sangat menentukan harga jual. Rata-rata harga tuna hasil tangkapan nelayan yang dibeli oleh perusahaan berkisar Rp 4500-8500 per kg tergantung ukuran dan kualitas ikan hasil tangkapan. Hasil tangkapan oleh nelayan ditampung oleh kapal penampung yang berada di sekitar rumpon. Sehingga mengurangi biaya bahan bakar para nelayan untuk membawa hasil tangkapan. 5.1.3
Daerah dan musim penangkapan
Daerah penangkapan (fishing ground) tuna dan cakalang adalah di rumponrumpon yang diletakkan di perairan lepas pantai sekitar perairan Makbon. Jarak dari fishingbase ke daerah penangkapan kurang lebih 16-20 mil ke arah laut dan membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam tergantung dari mesin yang digunakan. Daerah penangkapan untuk jaring insang lebih dekat ke arah pantai yaitu sekitar perairan Pulau Batanta, Pulau Senapan, pulau Raam, kurang lebih 2-3 mil
69
jaraknya dari fishingbase dan membutuhkan waktu 1-2 jam. Daerah penangkapan bagan perahu berada di teluk-teluk sekitar perairan Arar, Pulau Jefman dan Kalobo. Jarak yang ditempuh dari fishingbase 1-2 mil dan membutuhkan waktu 1,5 jam. Daerah penangkapan ikan - ikan pelagis di perairan sekitar Kota Sorong dapat dilihat pada Gambar 28. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan di Kota Sorong, musim puncak ikan cakalang, tongkol dan tuna berlangsung selama 3 bulan yaitu Januari, Pebruari dan Maret. Musim sedang berlangsung pada musim peralihan dari utara ke Selatan selama 3 bulan yaitu April, Mei dan Juni, sedangkan bulan Juli, Agustus, September terjadi musim paceklik yaitu hasil tangkapan paling rendah. Musim peralihan dari selatan ke Utara yaitu bulan Oktober, Nopember dan Desember, hasil tangkapan nelayan tidak tetap. Untuk jenis ikan pelagis kecil yang ditangkap dengan menggunakan bagan perahu, musim puncak berlangsung selama 5 bulan yaitu bulan Agustus sampai dengan Desember. Musim biasa pada bulan Januari, Pebruari, Maret dan musim paceklik pada bulan April, Mei dan Juni. 5.2
Perkembangan Perikanan Pelagis di Kota Sorong
5.2.1 Produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit penangkapan
Hasil tangkapan ikan pelagis dari Kota Sorong dalam lima tahun terakhir (2002-2006) mengalami peningkatan produksi. Perkembangan produksi rata-rata sebesar 65,3% per tahun (Gambar 29). Total produksi, upaya penangkapan dan
CPUE unit penangkapan dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Total produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit penangkapan ikan pelagis Tahun 2002 2003 2004 2005 2006
Total produksi (ton) 154.62 208.44 264.57 787.00 803.69
Upaya (unit) 892 1094 1431 1721 1568
CPUE (ton/unit) 0.173 0.191 0.185 0.457 0.513
69
Gambar 28 Daerah penangkapan ikan pelagis di sekitar Kota Sorong.
70
Pada kurun waktu 2002-2006 terjadi peningkatan produksi diiringi dengan peningkatan upaya penangkapan. Sedangkan upaya penangkapan menurun sebanyak 153 unit, namun masih terjadi peningkatan produksi sebesar 16,69 ton pada tahun 2005-2006.
Catch (Ton)
900.00 800.00 700.00 600.00 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 29 Perkembangan produksi perikanan pelagis di Kota Sorong.
Upaya penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong dalam kurun waktu 20022006 cenderung terjadi peningkatan (Gambar 30). Walaupun terjadi penurunan pada tahun 2006 sebanyak 153 unit, namun secara keseluruhan terjadi kecenderungan meningkat dengan perkembangan rata-rata per tahun sebesar
Effort (Unit)
16,2%. 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 30 Perkembangan upaya penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong.
Pendekatan yang digunakan untuk menduga kelimpahan hasil tangkapan adalah dengan membandingkan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan atau
catch perunit effort (CPUE). Nilai rata-rata periode tahun 2002-2006 adalah
71
sebesar 0,304 ton perunit alat tangkap. Nilai CPUE tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 0,513 ton perunit dan terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar 0,173 ton perunit. Kecenderungan nilai CPUE secara keseluruhan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 19,08% pertahun (Gambar 31). Hubungan CPUE dengan effort perikanan pelagis di Kota Sorong menunjukkan kecenderungan meningkat (Gambar 32).
3.500 CPUE (ton/unit)
3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 0.500 0.000 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 31 Perkembangan CPUE perikanan pelagis di Kota Sorong.
3.000 CPUE (ton/unit)
2.500 2.000 1.500 1.000 0.500 0.000 0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
Effort (unit)
Gambar 32 Grafik hubungan CPUE dengan effort perikanan pelagis di Kota Sorong. 5.2.2
Kelayakan usaha
Analisis kelayakan usaha dilakukan untuk melihat apakah pengembangan penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong layak dilakukan secara finansial. Analisa
kelayakan
usaha
yang
dilakukan
dalam pengembangan
usaha
72
penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong meliputi penghitungan biaya investasi, biaya operasional penangkapan, biaya total, pendapatan dan keuntungan yang dihitung berdasarkan kriteria investasi seperti net benefit cost ratio (Net B/C, net
present value (NPV), internal rate of return (IRR) dan break even point (BEP) terhadap 4 (empat) jenis alat tangkap yaitu jaring insang, bagan perahu, pancing tonda dan pancing tuna. Berdasarkan Hasil analisis aspek finansial dari keempat alat penangkapan tersebut, diperoleh bahwa
keempat alat penangkapan ikan
pelagis di Kota Sorong layak dikembangkan. Hasil analisis finansial berdasarkan kriteria-kriteria kelayakan usaha tersebut diatas disajikan pada Tabel 24. Perhitungan secara detail dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 24. Hasil analisis finansial dari unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong Kriteria kelayakan No usaha 1 NPV 2 Net B/C 3 IRR
jaring insang
Alat tangkap bagan pancing perahu tonda
pancing tuna
4.025.924 64.408.164,9 25.331.388,7 64.416.010 1,05 1,22 1,12 1,80 23,91% 42,31% 48,53% 44,47%
Keputu san Layak Layak Layak
5.2.2.1 Net present value (NPV)
Dari hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NPV dari keempat unit alat penangkapan yang dianalisa berdasarkan tahun perhitungan discount rate sebesar 18% menghasilkan jenis alat penangkapan pancing tuna adalah paling layak dikembangkan dengan nilai NPV sebesar Rp. 64.416.010,- diikuti oleh bagan perahu dengan nilai NPV sebesar Rp. 64.408.164,9,- dan pancing tonda dengan nilai sebesar Rp. 25.331.388,7,- , sedangkan yang terendah nilai NPV sebesar Rp. 4.025.924,- dari jaring insang (gillnet). Berdasarkan nilai NPV dari keempat unit alat penangkapan ikan pelagis yang dianalisa, menunjukkan keuntungan yang diperoleh selama umur ekonomis usaha penangkapan dengan pancing tuna lebih menguntungkan dibandingkan dengan unit alat penangkapan yang lain, sedangkan bagan perahu lebih menguntungkan dibandingkan dengan alat penangkapan pancing tonda dan jaring
73
insang. Namun demikian pancing tonda lebih menguntungkan dibandingkan dengan jaring insang.
5.2.2.2 Net benefit cost ratio (Net B/C)
Hasil perhitungan Net B/C adalah menunjukkan gambaran berapa kali lipat benefit akan diperoleh dari cost yang dikeluarkan. Berdasarkakn analisis Net B/C yang dilakukan terhadap keempat unit alat penangkapan pelagis di Kota Sorong, diperoleh bahwa keempat jenis alat penangkapan yakni jaring insang , bagan perahu, pancing tonda dan pancing tuna memiliki nilai B/C lebih besar dari 1. Dari hasil analisis Net B/C tersebut nampak bahwa pancing tuna memiliki nilai B/C terbesar yaitu sebesar 1,80 diikuti oleh bagan perahu sebesar 1,22, pancing tonda sebesar 1,12 dan yang terendah adalah jaring insang sebesar 1,05. 5.2.2.3 Internal rate of return (IRR)
Internal rate of return (IRR) adalah merupakan discount rate yang dapat membuat NPV proyek atau usaha sama dengan nol (0), atau yang dapat membuat
B/C ratio sama dengan 1. Perhitungan IRR bertujuan untuk mengetahui keuntungan dari suatu usaha setiap tahun dan merupakan alat ukur bagi kemampuan usaha dalam mengembalikan bunga pinjaman. IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu usaha. Berdasarkan hasil analisis IRR terhadap keempat unit alat penangkapan pelagis di Kota Sorong menunjukkan keempat unit alat tangkap tersebut layak dikembangkan karena memiliki nilai IRR diatas discount rate yang digunakan yaitu 18%. Nilai IRR tertinggi sebesar 48,53% diperoleh dari pancing tonda, 44,47% dari pancing tuna, 42,31% dari bagan perahu dan 23,91% dari jaring insang. 5.3
Analisis AHP Penentuan Prioritas
Berdasarkan persepsi atau “judgement” berbagai pihak yang telah diwawancarai tentang alternatif pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong, kemudian persepsi dari para responden di kuantifikasikan kedalam angka Saaty
74
(1991) dan diolah dengan menggunakan program komputer Excel. Hasil olahan data primer dari persepsi responden adalah sebagai berikut : 5.3.1
Aktor atau pelaku perikanan pelagis
Aktor yang berperan dan sangat menentukan keberhasilan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong adalah nelayan, pengusaha serta Pemerintah daerah dan akademisi. Dari hasil analisis yang dilakukan (Lampiran 4), nelayan mendapat prioritas tertinggi dengan nilai 0,602. Prioritas kedua adalah pengusaha dengan nilai 0,271 dan prioritas ketiga adalah Pemerintah daerah dan akademisi dengan nilai 0,127. Lebih jelasnya nilai prioritas aktor dapat dilihat pada Gambar 33. 0.700
0.602
0.600 0.500 VP
0.400 0.271
0.300 0.200
0.127
0.100 0.000 Nelayan
Pengusaha
Pemda dan akademisi
Aktor
Gambar 33 Aktor dan nilai prioritas pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong. 5.3.2
Kriteria yang dipertimbangkan dalam pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong.
Kriteria-kriteria yang efektif untuk dipertimbangkan dalam menentukan alternatif kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong antara lain : produksi hasil tangkapan, mutu hasil tangkapan, ketersediaan pasar, pendapatan usaha dan potensi sumberdaya ikan. Dari hasil analisis, diperoleh bobot prioritas tertinggi sebesar 0,388 yaitu pada kriteria produksi hasil tangkapan, diikuti oleh prioritas kedua sebesar 0,249 untuk kriteria mutu hasil tangkapan, prioritas ketiga sebesar 0,182 untuk kriteria ketersediaan pasar, prioritas keempat sebesar 0,121 untuk kriteria pendapatan dan
75
prioritas kelima yaitu kriteria potensi sumberdaya ikan sebesar 0,059 (Gambar 34).
0.450 0.400 0.350
0.388
0.300
0.249
0.250 0.200
0.182 0.121
0.150 0.100 0.050
0.059
0.000 Produksi
Mutu
Pasar
Pendapatan
Potensi SDI
Gambar 34 Kriteria dan nilai prioritas pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong. 5.3.3
Alternatif strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong
Alternatif strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong adalah peningkatan penanganan hasil tangkapan, pengembangan alat tangkap berkelanjutan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, peningkatan kelembagaan dan permodalan dan peningkatan sarana dan prasarana penangkapan serta peningkatan jumlah hasil tangkapan. Hasil analisis menunjukkan dari kelima alternatif kebijakan tersebut diatas, peningkatan penanganan hasil perikanan adalah prioritas tertinggi dengan nilai 0,3450, menyusul prioritas kedua yaitu pengembangan alat tangkap berkelanjutan dengan nilai 0,2385, peningkatan kualitas sumberdaya nelayan dengan nilai 0,1422, peningkatan kelembagaan dan permodalan dengan nilai 0,1113, peningkatan sarana dan prasarana perikanan dengan nilai 0,0927 dan prioritas terakhir adalah peningkatan jumlah hasil perikanan dengan nilai 0,0703. Nilai prioritas alternatif kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong dapat dilihat pada Gambar 35.
76
0.0703
Alternatif strategi
Peningkatan jumlah hasil tangkapan
0.0927
Peningkatan fasilitas (sarana dan prasarana) penangkapan ikan
0.1113
Peningkatan kelembagaan dan permodalan
0.1422
Peningkatan kualitas SD nelayan dan aparat
0.2385
Pengembangan alat tangkap berkelanjutan
0.345
Peningkatan penanganan hasil tangkapan 0
0.1
0.2
0.3
0.4
VP
Gambar 35 Nilai prioritas alternatif kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong.
Penilaian secara keseluruhan dari hasil AHP ditunjukkan pada Gambar 36.
77
Strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong
Fokus
Aktor
Nelayan
Pengusaha
PEMDA dan akademisi
0,602
0,271
0,127
Kriteria Produksi
Mutu
pasar
Pendapatan
Potensi sumberdaya ikan
0,388
0,249
0,182
0,121
0,059
Alternatif Peningkatan penanganan hasil tangkapan
Pengembangan alat tangkap berkelanjutan
0,3450
0,2385
Peningkatan kualitas sumberdaya nelayan dan aparat 0,1422
Peningkatan kelembagaan dan permodalan
Peningkatan sarana dan prasarana penangkapan
Peningkatan jumlah hasil tangkapan
0,1113
0,0927
0,0703
Gambar 36 Nilai hasil analisis AHP pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong.
5.4 Pemilihan Teknologi Tepat Guna untuk Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Pelagis di Kota Sorong.
Berdasarkan hasil analisis strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong dengan menggunakan AHP, maka
alternatif strategi
pengembangan alat tangkap berkelanjutan menjadi pilihan untuk dilakukan kajian selanjutnya. Pemilihan teknologi tepat guna
untuk pemanfaatan sumberdaya
pelagis di Kota Sorong dilakukan terhadap 4 (empat) jenis alat tangkap yaitu
78
jaring insang, bagan perahu, pancing tonda dan pancing tuna. Keempat alat tersebut dianalisis berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi untuk menentukan urutan prioritas alat tangkap yang tepat guna dan layak dikembangkan dalam usaha penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong. 5.4.1 Analisis aspek biologi
Analisis aspek biologi meliputi ukuran mata jaring, prersentase ukuran ikan layak tangkap, komposisi jumlah hasil tangkapan dan cara pengoperasian alat tangkap dari setiap unit alat tangkap yang diteliti, pengecualian untuk jenis alat tangkap pancing diberikan kriteria sangat selektif untuk jenis kriteria ukuran mata jaring. Hal ini mengacu pada pendapat Monintja (1987) menyatakan
bahwa
pancing dasar, pancing tonda adalah sangat baik untuk dikembangkan karena memiliki selektivitas yang tinggi. Hasil yang diperoleh terhadap ukuran mata jaring dari masing-masing unit alat tangkap yang diseleksi adalah jaring insang 5-8 cm, bagan perahu 1-2 cm sedangkan alat tangkap pancing seperti pancing tonda dan pancing tuna termasuk dalam jenis alat tangkap yang sangat selektif. Untuk lebih jelasnya penilaian aspek biologi dengan kriteria ukuran mata jaring, komposisi jenis hasil tangkapan, persentase ukuran ikan layak tangkap dan cara pengoperasian alat tangkap dapat dilihat pada Tabel 25. Selanjutnya dilakukan standarisasi terhadap aspek biologi secara keseluruhan dengan comparative performance index (CPI) seperti tertera pada Tabel 26. Tabel 25. Penilaian aspek biologi terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong Alternatif
X1 3 9 9 9 0.25
1. Bagan perahu 2. Jaring insang 3. Pancing tonda 4. Pancing tuna Bobot kriteria Keterangan : X1 = Ukuran mata jaring (cm). X2 = Persentase ukuran ikan layak tangkap. X3 = Jumlah komposisi hasil tangkapan. X4 = Cara pengoperasian alat tangkap.
X2 3 5 5 7 0.25
Kriteria X3 3 3 5 7 0.25
X4 3 3 5 5 0.25
79
Tabel 26. Matriks hasil transformasi melalui teknik perbandingan indeks kinerja untuk aspek biologi Alternatif
X1
Kriteria X2 X3
X4
Nilai Peringkat Alternatif
1. Bagan perahu
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
4
2. Jaring insang
300.00
166.70
100.00
100.00
166.68
3
3. Pancing tonda
300.00
166.67
166.67
166.67
200.00
2
4. Pancing tuna
300.00
233.30
233.33
166.67
233.33
1
0.25
0.25
0.25
0.25
Bobot kriteria
Keterangan : Skor keunggulan adalah 1 dan terburuk adalah 4 Skor terendah dijadikan skor standar bernilai 100. Hasil transformasi melalui teknik perbandingan indeks kinerja menghasilkan untuk kriteria ukuran mata jaring (mesh size) terbaik diperoleh nilai yang sama pada unit penangkapan jaring insang, pancing tonda dan pancing tuna sedangkan yang terburuk adalah unit penangkapan bagan perahu. Kriteria ukuran ikan layak tangkap yang tertangkap adalah dikaitkan dengan persentase hasil tangkapan yang berukuran diatas ukuran ikan pertama kali matang gonad (firts maturity). Hasil penilaian terbaik terhadap kriteria persentase ukuran ikan layak tangkap yang tertangkap didapatkan pada unit penangkapan pancing tonda dan pancing tuna yaitu lebih dari 80% ikan yang tertangkap adalah berukuran diatas ukuran ikan pertama kali matang gonad (first maturity). Untuk jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) berukuran fork lenght (FL) 43 cm, ikan tongkol (Euthinnus
affinis) berukuran fork lenght 40 cm, ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) berukuran FL 65 cm dan ikan tuna (Thunnus albacares) berukuran FL 95 cm (Collette and Nauen, 1983). Diikuti oleh jaring insang permukaan yaitu sebanyak 62% dari jumlah ikan yang tertangkap adalah berukuran diatas ukuran ikan pertama kali matang gonad. Ukuran ikan pertama kali matang gonad untuk jenis ikan kembung (Rastrelliger kanagurta) TL 23 cm. Ikan kembung (Rastrelliger
brachysoma) TL 17 cm (Collette and Nauen, 1983), sedangkan yang terburuk adalah unit penangkapan bagan perahu yaitu sebesar 45% rata-rata hasil tangkapan utama berukuran diatas ukuran ikan pertama kali matang gonad. Untuk jenis ikan yang tertangkap oleh bagan perahu seperti ikan teri (Stolephorus
80
indicus) adalah TL 12 cm, ikan simbulah (Amblygaster sirm) TL 13 cm, ikan peperak (Selaroides leptolesis) TL 10,10 cm (Collette and Nauen, 1983). Kriteria komposisi jenis hasil tangkapan yang terbaik diperoleh pada unit penangkapan pancing tuna diikuti oleh pancing tonda dan yang terburuk adalah bagan perahu dan jaring insang. Sedangkan untuk kriteria cara pengoperasian alat tangkap yang terbaik diperoleh pada unit penangkapan pancing tonda dan pancing tuna diikuti oleh bagan perahu dan jaring insang. 5.4.2 Analisis Aspek Teknis
Analisis aspek teknis meliputi penilaian terhadap kriteria produksi per trip, produksi per tenaga kerja dan produksi per tahun. Penilaian terhadap kriteria tersebut disajikan pada Tabel 27. Selanjutnya dilakukan standarisasi terhadap aspek teknis secara keseluruhan dengan comparative performant index (CPI) seperti disajikan pada Tabel 28. Tabel 27. Penilaian aspek teknis terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong Jenis alat tangkap Bagan perahu Jaring insang Pancing tonda Pancing Tuna Bobot kriteria Keterangan : X5 = Produksi per trip X6 = Produksi per tenaga kerja X7 = Produksi per tahun
X5 268.89 80.10 218.17 49.52 0.20
Kriteria X6 53.78 26.70 109.08 49.50 0.50
X7 76903.30 640.82 57596.90 14163.40 0.30
Tabel 28. Matriks hasil transformasi melalui perbandingan indeks kinerja untuk aspek teknis. Alternatif 1. Bagan perahu 2. Jaring insang 3. Pancing tonda 4. Pancing tuna Bobot kriteria
X5 542.99 161.75 440.57 100.00 0.20
Kriteria X6 201.42 100.00 408.54 185.39 0.50
X7 12000.80 100.00 8987.99 2210.19 0.30
Nilai alternatif 3600.23 112.35 2988.78 775.75
Peringkat 1 4 2 3
81
Keterangan : Skor keuggulan adalah 1 dan terburuk adalah 4. Skor terendah dijadikan skor standar bernilai 100. Berdasarkan hasil transformasi melalui comparative performance index
(CPI), maka diperoleh produksi hasil tangkapan terbaik adalah penangkapan dengan menggunakan bagan perahu, diikuti oleh pancing tonda, pancing tuna dan yang terburuk adalah jaring insang. 5.4.3
Analisis Aspek Sosial
Kriteria yang digunakan dalam penilaian aspek sosial adalah penyerapan jumlah tenaga kerja tiap unit penangkapan, tingkat penguasaan teknologi terhadap alat penangkapan yang digunakan dan kemungkinan pemilikan unit alat penangkapan. Penilaian aspek sosial terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Penilaian aspek sosial terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong Alternatif 1. Bagan perahu 2. Jaring insang 3. Pancing tonda 4. Pancing tuna Bobot kriteria
X8 5 3 3 1 0.40
Kriteria X9 3 5 5 3 0.30
X10 0.36 1.09 3.99 3.49 0.30
Keterangan : X8 = Jumlah nelayan yang terserap setiap unit penangkapan X9 = Tingkat penguasaan teknologi X10 = Kemungkinan kepemilikan unit penangkapan Hasil standarisasi nilai dari aspek sosial dengan menggunakan comparative
performance index (CPI) disajikan pada Tabel 30. Berdasarkan transformasi nilai untuk kriteria aspek sosial pada Tabel 30, menghasilkan alat penangkapan terbaik adalah pancing tonda diikuti oleh pancing tuna, jaring insang dan yang terburuk adalah bagan perahu.
82
Tabel 30. Matriks hasil transformasi melalui perbandingan indeks kinerja untuk aspek sosial Alternatif 1. Bagan perahu 2. Jaring insang 3. Pancing tonda 4. Pancing tuna Bobot kriteria 5.4.4
X8 500 300 300 100 0.40
kriteria Nilai Peringkat X9 X10 Alternatif 100 100 260 4 166.67 302.78 260.80 3 166.67 1108.33 502.50 1 100 969.44 360.80 2 0.30 0.30
Analisis aspek ekonomi
Aspek ekonomi yang dinilai adalah efisiensi usaha penangkapan dengan kriteria kelayakan usaha yaitu net present value (NPV), benefit cost ratio (net
B/C), internal rate of return (IRR) dan pendapatan nelayan. Penilaian aspek ekonomi dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Penilaian aspek ekonomi terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong
Alternatif 1. Bagan perahu 2. Jaring insang 3. Pancing tonda 4. Pancing tuna Bobot kriteria
X11 64408164.9 4025924 25331388.7 64416010 0.15
X12 1.22 1.05 1.12 1.8 0.15
Kriteria X13 X14 42.31 165049445 23.91 40960160 48.53 102607112 44.47 59768200 0.15 0.25
X15 18750936 10350043 21628569 237914254 0.3
Keterangan : X11 = Nilai net present value (NPV) X12 = Nilai B/C ratio X13 = Nilai internal rate of return (IRR) X14 = Pendapatan bersih per tahun X15 = Pendapatan rata-rata per tenaga kerja per tahun Selanjutnya dilakukan transformasi melalui perbandingan indeks kinerja. Hasil transformasi aspek ekonomi untuk penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong disajikan pada Tabel 32.
83
Tabel 32. Matriks hasil transformasi melalui perbandingan indeks kinerja untuk aspek ekonomi Alternatif X11 Bagan perahu Jaring insang Pancing tonda Pancing tuna Bobot kriteria
X12
Kriteria X13
X14
X15
Nilai Peringkat Alternatif
1599.84 116.19 176.96 402.95
181.17
439.04
2
100.00 100.00 100.00 100.00
100.00
100.00
4
629.21 106.67 202.97 250.50
208.97
266.14
3
1600.03 171.43 185.99 145.92 2298.68
1019.70
1
0.15
0.15
0.15
0.25
0.30
Dari Tabel 32 diatas terlihat bahwa penilaian aspek ekonomi yang ditinjau dari kelayakan usaha, menghasilkan unit penangkapan bagan perahu menunjukkan nilai tertinggi diikuti oleh unit penangkapan pancing tuna, pancing tonda dan nilai terendah adalah jaring insang. 5.4.5
Analisis aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi.
Untuk mendapatkan alat tangkap terpilih atau teknologi yang tepat guna yang menjadi prioritas untuk dikembangkan, dilakukan penggabungan nilai dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Jumlah nilai gabungan tertinggi merupakan urutan prioritas yang paling layak dikembangkan. Nilai gabungan unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi dapat dilihat pada Tabel 33. Selanjutnya berdasarkan hasil perhitungan seperti pada Tabel 33 dilakukan transformasi melalui perbandingan indeks kinerja untuk unit penangkapan ikan pelagis. Transformasi melalui perbandingan indeks kinerja dapat dilihat pada Tabel 34.
84
Tabel 33. Penilaian aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong Kriteria Alat tangkap Bagan perahu Jaring insang Pancing tonda Pancing tuna Bobot kriteria
X16 100.00 166.68 216.66 233.33 0.30
X17 3600.23 112.35 2988.78 775.75 0.20
X18 260.00 260.80 502.50 360.80 0.20
X19 439.04 100.00 266.14 1019.70 0.30
Keterangan : X16 = Aspek Biologi X17 = Aspek Teknis X18 = Aspek Sosial X19 = Aspek Ekonomi Tabel 34. Matriks hasil transformasi melalui teknik perbandingan indeks kinerja untuk aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi Alternatif Bagan perahu Jaring insang Pancing tonda Pancing tuna Bobot kriteria
X16 100.00 166.68 216.66 233.33 0.30
Kriteria X17 X18 3204.48 100.00 100.00 100.31 2660.24 193.27 690.48 138.77 0.20 0.20
X19 439.04 100.00 266.14 1019.70 0.30
Nilai Peringkat Alternatif 822.61 1 120.07 4 715.54 2 541.76 3
Berdasarkan hasil transformasi, maka secara keseluruhan hasil nilai gabungan dari keempat aspek diperoleh jumlah skor bagan perahu merupakan skor tertinggi, diikuti oleh pancing tonda, pancing tuna dan skor terendah adalah jaring insang. 5.5 Analisis Fungsi Produksi
Aspek teknis produksi merupakan aspek yang bertujuan untuk mengetahui
input (faktor teknis produksi) penangkapan ikan pelagis dengan menggunakan unit penangkapan ikan yang tepat guna berdasarkan hasil determinasi terhadap unit penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong yaitu bagan perahu, pancing tonda
85
dan pancing tuna yang diduga berpengaruh terhadap out put (hasil tangkapan yang diperoleh dari kegiatan produksi). Analisis fungsi produksi perikanan pelagis di Kota Sorong, dibutuhkan beberapa variabel produksi (X) yang diduga berpengaruh terhadap produksi atau hasil tangkapan. 5.5.1 Bagan perahu (boat liftnet)
Faktor-faktor teknis produksi dari bagan perahu yang diduga berperan dalam usaha perikanan pelagis di Kota Sorong, antara lain : ukuran perahu (X1) dengan satuan Gross Tonage (GT), luas jaring (X2) dengan satuan m2, jumlah jam operasi (X3) dengan satuan jam, jumlah lampu (X4) dengan satuan unit, jumlah tenaga kerja (X5) dengan satuan orang dan pengalaman (X6) dengan satuan tahun. Penyelesaian analisis fungsi produksi digunakan analisis regresi linier berganda.. Untuk menghindari model yang jauh menyimpang, maka tahap awal analisis regresi adalah dilakukan prediksi model dengan melihat model regresi dengan menggunakan program Minitab 14. Model persamaan regresi untuk bagan perahu yang dihasilkan adalah : Y = - 15778 + 125 X1 + 2.8 X2 + 54.9 X3 + 1044 X4 + 2649 X5 + 3 X6, dengan
nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 98,9%. Hasil pengujian asumsi kenormalan residual data disajikan pada Gambar 37. Hasil pengujian terhadap pengaruh variabel independen secara bersama-sama dapat dilihat pada Tabel 35.
Probability Plot of RESI1 Normal 99
95 90
Mean StDev N KS P-Value
-3.10862E-15 0.01760 20 0.084 >0.150
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
-0.05 -0.04 -0.03 -0.02 -0.01 0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 RESI1
Gambar 37 Distribusi normal residual persamaan regresi bagan perahu.
86
Tabel 35. Analisis varian untuk fungsi produksi bagan perahu di Kota Sorong
Source
DF
Regression Residual Error Total
6 13 19
SS
MS
16106664715 2684444119 121211099 9323931 16227875814
F 287.91
P 0.000
Nilai F hit adalah 287.91 > F tabel(0.05) sebesar 2.92 artinya seluruh faktor produksi dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi. Berdasarkan uji korelasi antara ketujuh faktor produksi yang dianalisis dengan menggunakan korelasi matriks pearson menunjukkan terdapat multikolinieritas antar faktor-faktor tersebut. Untuk mengatasi multikolinieritas antar variabel independent diatas, sehingga menghasilkan permodelan yang tepat, maka dilakukan regresi stepwise dengan menggunakan program Minitab 14. Hasil perlakuan regressi Stepwise terhadap variabel-variabel independent, diperoleh jumlah jam operasi, jumlah petromaks dan jumlah tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi pada taraf 0.05 dengan R2 = 98,99% (Lampiran 8). Hubungan jumlah jam operasi, jumlah lampu dan jumlah tenaga kerja terhadap produksi hasil tangkapan disajikan pada Gambar 38. Matrix Plot of Produksi vs Jumlah jam o, Jumlah lampu, Jumlah tenag 8
12
16
150000
Produksi
125000
100000
75000
50000 800 1600 2400 Jumlah jam operasi
4 Jumlah lampu
5 6 Jumlah tenaga kerja
Gambar 38 Hubungan jumlah jam operasi, jumlah lampu dan jumlah tenaga kerja terhadap produksi bagan perahu yang dioperasikan di Kota Sorong.
87
5.5.2 Pancing tonda (trolling lines)
Faktor teknis atau variabel independen pancing tonda yang diduga berpengaruh terhadap produksi (hasil tangkap) antara lain ukuran perahu (X1), jumlah mata pancing (X2), jumlah jam operasi (X3), jumlah tenaga kerja (X4), pengalaman nelayan (X5) dan jumlah unit pancing (X6). Hasil analisis regresi berganda dengan program Minitab 14 pada Lampiran 8, diperoleh hubungan antara faktor-faktor teknis dengan hasil tangkapan pancing tonda (trolling lines) dengan persamaan sebagai berikut : Y = - 14460 - 592 X1 + 2420 X2 + 2.02 X3 + 1440 X4 + 15 X5 + 3585 X6, dengan
nilai R2 = 80,7%. Hasil pengujian asumsi kenormalan residual data dapat dilihat pada Gambar 39. Hasil pengujian terhadap pengaruh variabel independen secara bersama-sama (uji F) dapat dilihat pada Tabel 36. Probability Plot of RESI1 Normal 99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
-1.00205E-15 0.1393 39 0.097 >0.150
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0 RESI1
0.1
0.2
0.3
0.4
Gambar 39 Distribusi normal residual persamaan regresi pancing tonda.
Tabel 36. Analisis varian untuk fungsi produksi pancing tonda di Kota Sorong Source
DF
Regression Residual Error Total
6 32 38
SS 2441039300 472370032 2913409332
MS 406839883 14761564
F
P
27.56
0.000
Nilai F hit adalah 27,26 > F tabel(0.05) sebesar 2.42 artinya seluruh faktor produksi dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi.
88
Berdasarkan analisis korelasi antara variabel independen menunjukkan terdapat hubungan yang erat antar variabel independen tersebut. Sehingga untuk mendapatkan model yang tepat, dilakukan analisis regresi stepwise. Hasil yang diperoleh dari analisis regresi stepwise menunjukkan jumlah mata pancing dan jumlah unit pancing berpengaruh nyata terhadap produksi pada taraf 0.05 dengan R2 = 77,03%. Hubungan jumlah mata pancing dan jumlah pancing terhadap produksi pancing tonda dapat dilihat pada Gambar 40.
Matrix Plot of Produksi vs Jumlah mata pancing, Jumlah unit pancing 4
6
8
10
12
50000
Produksi
40000
30000
20000
10000
0 1.0
1.5 2.0 2.5 Jumlah mata pancing
3.0 Jumlah unit pancing
Gambar 40 Hubungan jumlah mata pancing dan jumlah pancing terhadap produksi pancing tonda yang dioperasikan di Kota Sorong. 5.5.3
Pancing tuna (handlines)
Faktor teknis atau variabel independen pancing tuna yang diduga berpengaruh terhadap produksi (hasil tangkap) antara lain : ukuran perahu (X1), jumlah mata pancing (X2), jumlah jam operasi (X3), jumlah tenaga kerja (X4) dan pengalaman nelayan (X5). Hasil analisis regresi berganda dengan program Minitab 14 pada Lampiran 8, diperoleh hubungan antara faktor-faktor teknis dengan hasil tangkapan pancing tonda (trolling lines) dengan persamaan sebagai berikut : Y = - 47811 - 2055 X1 - 143 X2 + 0.3 X3 + 9172 X4 + 6513 X5 dengan nilai
koefisien determinasi (R2 ) = 53,9%. Hasil pengujian asumsi kenormalan residual
89
data dapat dilihat pada Gambar 41. Hasil pengujian terhadap pengaruh variabel independen secara bersama-sama (uji F) dapat dilihat pada Tabel 37. Probability Plot of RESI1 Normal 99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
-1.33227E-15 0.2259 30 0.160 0.049
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
-0.50
-0.25
0.00 0.25 RESI1
0.50
0.75
Gambar 41 Distribusi normal residual persamaan regresi pancing tuna.
Tabel 37. Analisis varian untuk fungsi produksi pancing tuna di Kota Sorong Source Regression
DF 5
SS 8427522771
MS 1685504554
Residual Error
24
7215805986
300658583
Total
29
15643328757
F 5.61
P 0.001
Nilai F hit adalah 5,61 > F tabel (0.05) sebesar 2.62. Seluruh faktor produksi dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi. Berdasarkan analisis korelasi antara variabel independen menunjukkan terdapat hubungan yang erat antar variabel independen tersebut. Sehingga untuk mendapatkan model yang tepat, dilakukan analisis regresi stepwise. Hasil yang diperoleh dari analisis regresi stepwise menunjukkan jumlah tenaga kerja dan pengalaman nelayan berpengaruh nyata terhadap produksi pada taraf 0.05 dengan R2 = 53,7%. Hubungan jumlah tenaga kerja dan pengalaman nelayan terhadap produksi pancing tuna dapat dilihat pada Gambar 42.
90
Matrix Plot of Produksi vs Jumlah tenaga kerja, Pengalaman nelayan 5
10
15
140000 120000
Produksi
100000 80000 60000 40000 20000 0 1
2 3 Jumlah tenaga kerja
4 Pengalaman nelayan
Gambar 42 Hubungan jumlah tenaga kerja dan pengalaman nelayan terhadap produksi pancing tuna yang dioperasikan di Kota Sorong.
6 PEMBAHASAN 6.1 Kondisi dan Peluang Pengembangan Perikanan Pelagis di Kota Sorong Produksi dipengaruhi oleh besarnya tingkat upaya pemanfaatan. Semakin besar target produksi, maka tingkat upaya terhadap target tersebut juga diintensifkan. Dalam perikanan, hal semacam ini tidak selalu memberikan hasil positif karena banyaknya faktor yang mempengaruhinya terutama keberadaan sumberdaya perikanan itu sendiri, kemampuan armada penangkapan dan kondisi oceanografis. Perkembangan produksi, effort dan CPUE perikanan pelagis di Kota Sorong dalam kurun waktu 2002-2006 cenderung meningkat seperti terlihat pada Gambar 30,31 dan 32. Penurunan effort terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 153 unit. Hal ini diduga berkaitan dengan terjadinya kenaikan harga BBM, sehingga unit penangkapan ikan pelagis sebagian dijual kepada nelayan lain yang berasal dari luar Kota Sorong. Terdapat juga beberapa unit penangkapan yang telah mengalami kerusakan sehingga tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Menurunnya effort
tersebut tidak berpengaruh
terhadap
produksi.
Bahkan
produksi
menunjukkan peningkatan. Berdasarkan hal ini dapat digambarkan bahwa dengan menurunnya effort, produksi tetap akan meningkat. Hal ini menjadi salah satu indikasi bahwa kondisi perikanan pelagis di Kota Sorong masih dapat dikembangkan dengan tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian untuk menjaga keberlanjutan potensi sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong. Hasil tangkapan per upaya penangkapan atau catch per unit effort (CPUE) sepanjang tahun 2002-2006 menunjukkan grafik dengan kecenderungan menaik. Nilai CPUE dipergunakan untuk mengetahui kecenderungan produktivitas alat tangkap ikan pelagis dalam kurun waktu tertentu. Kecenderungan nilai CPUE yang menunjukkan peningkatan disebabkan oleh meningkatnya unit alat tangkap ratarata 19,08% per tahun dan adanya perkembangan teknologi penangkapan ikan dengan program motorisasi yang dilakukan oleh Pemerintah daerah Kota Sorong, sehingga jangkauan fishing ground nelayan semakin jauh. Korelasi antara CPUE dengan effort menunjukkan hubungan yang menaik (Gambar 32). Hal ini mengindikasikan bahwa dengan bertambahnya effort, maka
92
produktivitas alat tangkap juga akan meningkat. Setiap penambahan effort akan meningkatkan produktivitas. 6.2 Strategi Kebijakan Pengembangan Perikanan Pelagis di Kota Sorong.
Strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong disusun dengan menjaring kebutuhan dari para pelaku usaha perikanan (aktor). Pelaku usaha (aktor) yang cukup berperan dalam kegiatan pengembangan perikanan pelagis di Kota
Sorong yaitu nelayan, pengusaha, Pemerintah daerah dan
akademisi. Dari hasil analisis di tingkat aktor, nelayan merupakan prioritas utama yang perlu diperhatikan dalam pengembangan perikanan pelagis. Sehingga strategi kebijakan yang dilaksanakan 60.2% lebih diarahkan untuk nelayan, 27.1% untuk pengusaha dan 12.7% bagi Pemerintah daerah dan akademisi. Dari beberapa kriteria, Kriteria produksi merupakan prioritas utama atau sebesar
38.8%
dipertimbangkan
dalam
menentukan
strategi
kebijakan
pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong. Selanjutnya diikuti dengan kriteria mutu sebesar 24.9%, pasar 18.2%, pendapatan 12.1% dan potensi Sumberdaya 5.9%. Beberapa alternatif strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong adalah peningkatan penanganan hasil tangkapan, pengembangan alat tangkap berkelanjutan, peningkatan kualitas sumberdaya nelayan dan aparat, peningkatan kelembagaan dan permodalan, peningkatan sarana dan prasarana penangkapan dan peningkatan jumlah hasil tangkapan. Hasil analisis dari beberapa
persepsi
stakeholder
terhadap
strategi
tersebut,
menunjukkan
peningkatan penanganan hasil tangkapan merupakan prioritas utama yang dilakukan guna pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong. Selanjutnya diikuti oleh strategi kebijakan pengembangan alat tangkap berkelanjutan, peningkatan kualitas sumberdaya nelayan dan aparat, peningkatan kelembagaan dan permodalan, peningkatan sarana dan prasarana penangkapan serta peningkatan jumlah hasil tangkapan. Strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong dan program-program yang perlu dilakukan berkaitan dengan pengembangan penangkapan ikan pelagis adalah sebagai berikut.
93
6.2.1 Peningkatan penanganan hasil tangkapan
Kegiatan usaha penangkapan ikan pelagis baik besar maupun kecil di Kota Sorong cukup berkembang. Permintaan pasar akan komoditi tersebut terus meningkat baik pasar lokal, domestik maupun ekspor. Ikan merupakan jenis komoditi yang bersifat sangat mudah rusak (highly perishable), sehingga perlu ditangani segera dan tepat agar dapat sampai kepada konsumen dalam kondisi baik dan aman dikonsumsi. Aktivitas pasca panen yaitu proses yang dilakukan sejak hasil tangkapan diangkat dari habitatnya hingga menjadi produk, sangat penting karena kualitas produk yang baik sangat ditentukan oleh kualitas bahan baku. Aktivitas kegiatan penangkapan ikan pelagis dengan bagan perahu, pancing tonda dan pancing tuna di Kota Sorong, sebagian besar termasuk usaha yang berskala kecil. Sarana dan prasarana yang digunakan masih tergolong sederhana, sehingga penanganan hasil tangkapan belum optimal. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka program-program yang perlu dilakukan oleh Pemerintah daerah antara lain : (1) Pengadaan sarana preservasi ikan hasil tangkapan (coldbox, cold storage) bagi nelayan. (2) Pembinaan secara kontinyu kepada nelayan tentang penanganan hasil tangkapan yang baik sesuai standar mutu. (3) Monitoring,Controlling dan Surveillance (MCS) kegiatan penanganan hasil tangkapan nelayan. 6.2.2 Pengembangan alat tangkap berkelanjutan
Pengembangan alat tangkap berkelanjutan adalah pengembangan alat tangkap yang ramah lingkungan. Kriteria alat tangkap ramah lingkungan menurut Monintja (1994) adalah alat tangkap yang dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut : (1) Selektivitas tinggi, artinya teknologi yang digunakan mampu meminimalkan hasil tangkapan yang bukan merupakan target. (2) Tidak destruktif terhadap habitat yang akan membahayakan kelestarian produksi ikan.
94
(3) Tidak membahayakan nelayan yang mengoperasikan /menggunakan teknologi tersebut. (4) Menghasilkan ikan bermutu baik dan tidak membahayakan kesehatan konsumen. (5) Hasil tangkapan yang terbuang (discards) sangat minim. (6) Berdampak minimum terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati, tidak menangkap species yang dilindungi atau terancam punah. (7) Diterima secara sosial, artinya di masyarakat nelayan tidak menimbulkan konflik. Selain alat tangkap yang sudah ada untuk penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong, perlu dilakukan program-program untuk mempercepat pengembangan penangkapan ikan pelagis. Program-program yang perlu dilakukan adalah antara lain : 1) Introduksi alat tangkap baru yang lebih produktif melalui penelitian-penelitian teknologi penangkapan ikan pelagis yang ramah lingkungan dan sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat nelayan di Kota Sorong. 2) Untuk mengatasi permasalahan kegiatan penangkapan ikan
dengan
menggunakan bahan peledak, yang umumnya dilakukan untuk menangkap jenis ikan pelagis kecil seperti, kembung (Rastrelliger spp), selar (Selar spp) dan tembang (Sardinella spp), perlu dilakukan pembinaan kepada masyarakat dan alternatif pengganti alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Pengembangan alat tangkap yang berkelanjutan tidak hanya dilakukan dengan mengintroduksi alat tangkap baru dengan inovasi teknologi yang baru, namun dapat dilakukan melalui pemilihan teknologi tepat guna pada teknologi penangkapan ikan yang saat ini digunakan oleh nelayan. 6.2.3 Peningkatan kualitas sumberdaya nelayan dan aparat.
Status sosial yang relatif rendah bagi masyarakat nelayan di Kota Sorong adalah berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia yang relatif terbatas menyebabkan terbatasnya kemampuan dan keahlian. Sehingga profesi sebagai nelayan selain karena turun temurun juga karena tidak ada pilihan yang lain dengan segala keterbatasan yang dimiliki.
95
Program-program
Pemerintah
yang
berkaitan
dengan
peningkatan
sumberdaya manusia nelayan telah cukup banyak bahkan setiap tahun dilaksanakan. Program-program peningkatan sumberdaya nelayan di Kota Sorong yang perlu dilakukan antara lain : (1) Penyelenggaraan pendidikan dan latihan serta sekolah lapang bagi nelayan di Kota Sorong dalam rangka peningkatan pengetahuan dan keterampilan di bidang penangkapan ikan pelagis khusus bagan perahu, pancing tonda dan pancing tuna, sehingga produktivitas nelayan meningkat. (2) Penyelenggaraan pendidikan dan latihan kepada nelayan tentang agribisnis perikanan. (3) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis penangkapan ikan dan agribisnis perikanan kepada petugas teknis dan penyuluh lapangan. (4) Pendampingan dan pembinaan secara kontinyu terhadap usaha penangkapan ikan kepada kelompok-kelompok nelayan di Kota Sorong. 6.2.4 Peningkatan kelembagaan dan permodalan
Usaha penangkapan ikan pelagis yang dilakukan oleh nelayan di Kota Sorong, belum dapat berkembang baik karena beberapa kendala diantaranya adalah selain keterbatasan kemampuan dalam manajemen usaha juga keterbatasan modal usaha. Kondisi demikian menyebabkan sebagian besar nelayan masih terjerat dalam lingkaran tengkulak. Kesulitan memperoleh bantuan dana modal usaha nelayan, merupakan kendala yang perlu dicari solusinya. Lembaga-lembaga perbankan yang ada, tidak dapat mengakomodir kebutuhan nelayan yang ada di Kota Sorong. Hal ini disebabkan karena sebagaimana diketahui bahwa usaha perikanan merupakan usaha yang high risk, invisible dan highly perishable serta sulit diprediksi sehingga pihak perbankan tidak dapat memberikan akses permodalan kepada nelayan. Lembaga keuangan lainnya seperti Koperasi yang ada di Kota Sorong belum berkembang baik. Jalinan kemitraan yang saling menguntungkan antara nelayan dan perusahaan perikanan atau pengusaha perorangan di Kota Sorong untuk
96
pengembangan perikanan pelagis seperti cakalang, tuna dan tenggiri sudah tercipta cukup baik namun belum tersentuh bagi seluruh nelayan. Program-program dalam rangka peningkatan kelembagaan dan permodalan yang perlu dilakukan antara lain : (1) Melakukan pembinaan kepada nelayan dalam pembentukan kelompokkelompok usaha nelayan. Sehingga mempermudah akses kepada lembaga keuangan seperti koperasi atau perusahaan perikanan. (2) Menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka pengaturan sistem kemitraan antara nelayan dan perusahaan perikanan atau pengusaha perorangan. (3) Mendorong tumbuhnya koperasi perikanan yang dapat memberikan akses bagi kebutuhan usaha nelayan. (4) Program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan, melalui pemberian bantuan modal kepada nelayan dengan dana bergulir serta pendampingan oleh tenaga yang profesional sesuai karakteristik daerah. (5) Program pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil melalui penguatan manajemen dan kelembagaan usaha. 6.2.5 Peningkatan sarana dan prasarana penangkapan
Masih terbatasnya sarana dan prasarana perikananan di Kota Sorong, menyebabkan belum optimalnya pengembangan kegiatan perikanan tangkap. Salah satu prasarana yang sangat krusial untuk berkembangnya kegiatan perikanan tangkap adalah adanya tempat pelelangan ikan (TPI). Tempat pelelangan ikan yang sudah ada di Kota Sorong belum berfungsi sebagaimana mestinya, dikarenakan kurang memadai dan juga belum tersedianya fasilitasfasilitas pendukung. Prasarana yang lain yang juga sangat penting adalah tersedianya pabrik es dan coldstorage. Sarana penangkapan yang masih tradisional seperti perahu semang dengan menggunakan motor katinting masih cukup banyak digunakan oleh nelayan di Kota Sorong. Motorisasi sarana penangkapan nelayan diharapkan dapat meningkatkan hasil tangkapan baik dari segi jumlah maupun mutu.
97
Program-program yang perlu dilakukan dalam rangka peningkatan sarana dan prasarana penangkapan adalah : (1) Pembangunan tempat pelelangan ikan (TPI) lengkap dengan fasilitas-fasilitas pendukung. (2) Pembangunan dermaga perikanan rakyat. (3) Pembangunan pabrik es dan coldstorage. (4) Motorisasi unit penangkapan ikan bagi nelayan. 6.2.6 Peningkatan jumlah hasil tangkapan
Menurut nelayan, pengusaha dan Pemerintah bahwa kriteria produksi merupakan prioritas utama yang perlu di pertimbangkan dalam menentukan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong. Produksi hasil tangkapan adalah faktor yang paling menentukan dalam keberlanjutan usaha. Dalam rangka meningkatkan pendapatan nelayan, maka salah satu upaya dalam pengembangan perikanan pelagis adalah meningkatkan jumlah hasil tangkapan dengan juga memperhatikan kualitas mutu ikan. Jumlah hasil tangkapan meningkat disertai dengan kualitas mutu yang baik akan meningkatkan pendapatan usaha dan pendapatan nelayan. Jenis ikan pelagis merupakan komoditi hasil perikanan yang bernilai ekonomis tinggi. Pemasaran jenis ikan pelagis cukup luas bail lokal, domestik maupun ekspor. Sehingga komoditi jenis ini sangat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pendapatan daerah. Strategi meningkatkan jumlah hasil tangkapan perikanan pelagis diarahkan pada pencapaian pemanfaatan sumberdaya secara rasional. Untuk meningkatkan produktivitas usaha nelayan, peningkatan jumlah hasil tangkapan diarahkan untuk lebih mengintensifkan upaya penangkapan yang ada. 6.3 Pengembangan alat tangkap berkelanjutan
Pengembangan alat tangkap berkelanjutan adalah salah satu alternatif strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kota Sorong berdasarkan analisis AHP yang dipilih untuk selanjutnya dikaji pengembangannya. Berdasarkan hasil pemilihan teknologi penangkapan ikan tepat guna untuk pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong secara berkelanjutan,
98
menempatkan berturut-turut dari yang tertinggi sampai terendah yaitu bagan perahu, pancing tonda dan pancing tuna sebagai alat penangkapan yang memiliki
performance yang baik ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi sehingga merupakan alat tangkap yang cocok untuk dikembangkan bagi pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis secara berkelanjutan di Kota Sorong. Berdasarkan penilaian aspek biologi,
pancing tuna menempati urutan
pertama diikuti oleh pancing tonda dan jaring insang. Sedangkan bagan perahu menempati urutan ke empat. Namun demikian bagan perahu cukup selektif ditinjau dari cara pengoperasian alat tangkap. Cara pengoperasian bagan perahu dinilai ramah lingkungan karena tidak merusak sumberdaya ikan dan lingkungan. pancing tuna (handlines) dan pancing tonda (trolling lines) merupakan alat tangkap yang sangat selektif baik dari sisi komposisi dan ukuran ikan yang tertangkap maupun cara pengoperasian alat tangkap. Hal tersebut disebabkan karena ukuran mata pancing yang digunakan dalam penangkapan tuna dan cakalang sangat menentukan ukuran ikan yang tertangkap. Penggunaan nomor mata pancing yang seragam memungkinkan jenis ikan yang tertangkap hanya satu jenis dengan ukuran yang relatif seragam. Pengaruh eksploitasinya terhadap kelestarian sumberdaya tidak membahayakan dan juga waktu musim ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan cukup lama. Menurut Monintja (1987) bahwa alat tangkap yang tergolong dalam pancing yaitu rawai, tonda, huhate dan pancing dasar merupakan alat tangkap yang terbaik. Menurut Purbayanto (1991), bahwa pancing tonda merupakan alat tangkap yang baik untuk dikembangkan di Pantai Timur Kabupaten Donggala karena memiliki selektivitas yang tinggi. Dari aspek teknis alat tangkap, menunjukkan bagan perahu adalah urutan prioritas pertama diikuti oleh pancing tonda dan pancing tuna. Sesuai dengan kriteria yang digunakan maka bagan perahu adalah alat tangkap yang paling produktif untuk penangkapan ikan pelagis di Kota Sorong. Berdasarkan prinsip pengoperasian dengan bantuan lampu untuk mengumpulkan ikan, ikan-ikan jenis pelagis kecil akan mudah terkumpul. Ikan-ikan yang sudah terkumpul akan dengan mudah ditangkap dengan menarik jaring keatas, sehingga ikan tidak akan lolos dari jaring. Tertariknya ikan pada cahaya karena sifat phototaksis positif pada ikan. Cahaya merangsang dan menarik ikan untuk berkumpul pada sumber
99
cahaya atau karena rangsangan cahaya (stimulus) sehingga ikan akan memberikan responnya untuk mendekati sumber cahaya (Ayodhyoa, 1981). Keunggulan berdasarkan aspek ekonomi, menunjukkan bahwa pancing tuna adalah urutan prioritas pertama diikuti oleh bagan perahu dan pancing tonda. Kriteria pada aspek ekonomi yang dipertimbangkan adalah dari sisi kelayakan usaha secara finansial dan sisi ekonominya adalah pendapatan hasil usaha. Unggul secara finansial adalah kelayakan usaha yang ditinjau dari nilai net present value,
net B/C dan internal rate return (IRR) dari masing - masing alat penangkapan. Pancing tuna unggul dari nilai NPV dan pendapatan per tenaga kerja per tahun. Hal ini disebabkan karena adanya sistem kerja sama dengan pengusaha. Sehingga dapat memperpendek rantai pemasaran dan menekan biaya operasional dengan adanya rumpon-rumpon dan armada pengangkut hasil tangkapan. Keunggulan berdasarkan aspek sosial dengan standarisasi comparative
performance index (CPI), menunjukkan pancing tonda adalah alat tangkap unggulan pada urutan prioritas pertama. Pancing tonda termasuk alat tangkap yang memiliki investasi dan biaya operasional yang rendah dibandingkan ketiga alat tangkap lainnya, sehingga dapat dilakukan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat nelayan di Kota Sorong
memiliki
kemampuan ekonomi yang relatif rendah, sehingga dalam proses produksi nelayan akan menggunakan alat produksi dalam hal ini alat tangkap yang investasinya relatif rendah dibandingkan alat tangkap lainnya. Dilihat dari tingkat penguasaan teknologi alat tangkap pancing tonda, juga relatif lebih mudah dilakukan oleh nelayan jika dibandingkan dengan alat tangkap yang lain. Berdasarkan hasil analisa gabungan matriks indeks kinerja dengan CPI terhadap aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi, menghasilkan bagan perahu menempati urutan prioritas pertama kemudian diikuti oleh pancing tonda dan pancing tuna. Dari kriteria penyerapan tenaga kerja pada aspek sosial, bagan perahu lebih unggul dibandingkan dengan alat penangkapan yang lain. Begitu juga dari aspek teknis, bagan perahu unggul karena memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menangkap ikan pelagis dibandingkan dengan alat tangkap yang lain. Walaupun hasil tangkapan bagan perahu adalah jenis ikan pelagis kecil yang memiliki nilai jual yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis ikan pelagis
100
besar, namun produksinya yang tinggi menyebabkan pendapatan juga lebih besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Subani dan Barus (1989) bahwa pada perikanan tradisional bagan perahu termasuk jenis alat tangkap yang produktif dan cocok dikembangkan. Namun demikian pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis dengan teknologi bagan perahu, pancing tonda dan pancing tuna dilakukan dengan prinsip kehati-hatian yaitu memperhatikan ketersediaan dan daya dukung sumberdaya ikan dan sebagai dasar pengembangannya harus tetap ditunjang informasi tentang potensi sumberdaya ikan pelagis serta upaya optimum yang diizinkan. 6.4 Faktor-faktor Teknis Produksi 6.4.1 Bagan perahu (boat liftnet)
Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, maka model pendugaan fungsi produksi bagan perahu di Kota Sorong dapat dirumuskan sebagai berikut : Y = - 15778 + 125 X1 + 2.8 X2 + 54.9 X3 + 1044 X4 + 2649 X5 + 3 X6. Nilai
intersep yang diperoleh negatif menunjukkan bahwa titik potong garis regresi terletak pada sumbu y negatif. Nilai koefisien untuk ukuran perahu, jumlah jam operasi, jumlah lampu, jumlah tenaga kerja dan pengalaman nelayan adalah positif. Hal ini dapat diartikan bahwa penambahan seluruh faktor input tersebut akan meningkatkan produksi bagan perahu. Demikian pula sebaliknya apabila dilakukan pengurangan terhadap faktor input ini akan menurunkan hasil tangkapan. Nilai koefisien determinasi (R2 ) yang diperoleh dari hasil analisis adalah 98,9%. Hal ini menandakan adanya hubungan sempurna langsung antara faktor-faktor produksi dengan hasil tangkapan bagan perahu. Meningkat atau menurunnya produksi hasil tangkapan dipengaruhi oleh faktor-faktor input yang terdapat dalam model sebesar 98,9%, sedangkan sisanya 11% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak masuk dalam model. Dari hasil uji korelasi variabel-variabel independen, diperoleh adanya
multikolinieritas antar variabel independen. Sehingga untuk mendapatkan model regresi yang tepat dilakukan dengan analisis regresi stepwise. Hasil analisis regresi stepwise menghasilkan model persamaan fungsi produksi sebagai berikut : Y = -17803 + 56,2X3 + 1115 X4 + 31,79 X5. Secara parsial jumlah jam operasi,
jumlah lampu dan jumlah tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap hasil
101
tangkapan pancing tonda pada taraf 0.05 dengan R2 = 98,99%. P value dari masing-masing variabel menunjukkan nilai < dari nilai tingkat kepercayaan yang digunakan yakni 0.05. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari variabel jumlah jam operasi, jumlah lampu dan jumlah tenaga kerja terhadap hasil tangkapan bagan perahu. Jumlah jam operasi adalah lama waktu perendaman jaring dikali dengan frekuensi setting jaring. Waktu perendaman jaring atau frekuensi setting akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan, karena semakin lama waktu perendaman dan semakin tinggi frekuensi setting akan memberikan peluang yang lebih besar untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak. Sedangkan jumlah lampu yang digunakan sebagai alat pengumpul ikan yang digunakan pada bagan perahu juga berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Sulthan (1985) dalam Sudirman (2003) menyatakan bahwa intensitas cahaya (jumlah lampu) yang digunakan pada bagan tancap berpengaruh terhadap hasil tangkapan pada bulan gelap, makin tinggi intensitas cahaya yang digunakan, maka semakin banyak jumlah hasil tangkapan. Nicol (1963) telah melakukan telaah mengenai penglihatan dan penerimaan cahaya oleh ikan dan menyimpulkan bahwa mayoritas mata ikan laut sangat tinggi sensitivitasnya terhadap cahaya. Walaupun batas absolut sensitivitas ikan terhadap cahaya belum diketahui namun sensitivitas mata ikan terhadap cahaya sangat tinggi. Jumlah tenaga kerja pada bagan perahu berpengaruh pada hasil tangkapan. Hal ini berkaitan dengan penarikan jaring yang masih menggunakan tenaga manusia. Hubungan antara faktor-faktor input yang berpengaruh seperti tercermin pada Gambar 38, terlihat bahwa dengan penambahan jumlah jam operasi, jumlah lampu dan jumlah tenaga kerja maka produksi juga akan meningkat dengan faktor lain ceteris paribus. Sehingga dapat diasumsikan bahwa tingkat optimum untuk jumlah jam operasi adalah 2420 jam/tahun, jumlah lampu 15 unit dan jumlah tenaga kerja sebanyak 6 orang. 6.4.2 Pancing tonda (trolling lines)
Hasil analisis regresi berganda, menunjukkan model pendugaan fungsi produksi pancing tonda di Kota Sorong dapat dirumuskan sebagai berikut :
102
Y = - 14460 - 592 X1 + 2420 X2 + 2.02 X3 + 1440 X4 + 15 X5 + 3585 X6. Nilai
intersep yang diperoleh negatif yang menunjukkan bahwa titik potong garis regresi terletak pada sumbu y negatif. Nilai koefisien untuk jumlah mata pancing, jumlah jam operasi, jumlah tenaga kerja, pengalaman nelayan dan jumlah panncing adalah positif. Hal ini dapat diartikan bahwa penambahan seluruh faktor input tersebut akan meningkatkan produksi pancing tonda. Demikian pula sebaliknya apabila dilakukan pengurangan terhadap faktor input ini akan menurunkan hasil tangkapan. Khusus untuk ukuran perahu, koefisien yang diperoleh bernilai negatif, artinya bahwa penambahan ukuran perahu akan menurunkan produksi dan sebaliknya jika dilakukan pengurangan ukuran perahu akan meningkatkan produksi. Nilai koefisien determinasi (R2 ) yang diperoleh dari hasil analisis adalah 80,7%. Hal ini menandakan adanya hubungan sempurna langsung antara faktorfaktor produksi dengan hasil tangkapan pancing tonda. Meningkat atau menurunnya produksi hasil tangkapan dipengaruhi oleh faktor-faktor input yang terdapat dalam model sebesar 80,7%, sedangkan sisanya 19,3% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak masuk dalam model. Dari hasil uji korelasi variabel-variabel independen, diperoleh adanya
multikolinieritas antar variabel independen. Sehingga untuk mendapatkan model regresi yang tepat dilakukan dengan analisis regresi stepwise. Hasil analisis regresi stepwise menghasilkan model persamaan fungsi produksi sebagai berikut : Y = -7198 + 2870X2 + 3767 X6. Secara parsial jumlah mata pancing dan jumlah
pancing berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan pancing tonda pada taraf 0.05 dengan R2 = 81,3%. P value dari masing-masing variabel menunjukkan nilai < dari nilai tingkat kepercayaan yang digunakan yakni 0.05. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari variabel jumlah mata pancing dan jumlah pancing terhadap hasil tangkapan pancing tonda. Jumlah pancing berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Semakin banyak pancing yang digunakan, semakin tinggi hasil tangkapan. Jumlah pancing yang lebih banyak akan memberikan peluang yang lebih besar untuk tertangkapnya ikan. Jumlah mata pancing pada setiap unit pancing, berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Semakin banyak mata pancing yang digunakan, semakin besar peluang ikan tertangkap oleh pancing.
103
Sesuai dengan pendapat Widodo (2001) bahwa dalam sebagian besar perikanan rawai dasar dan rawai apung, kekuatan menangkap ditentukan oleh jumlah pancing yang dioperasikan selama suatu operasi penangkapan. Selanjutnya dikemukakan bahwa untuk pancing tonda, upaya penangkapan sebaiknya diukur dengan salah satunya adalah jumlah pancing. Koefisien regresi faktor teknis jumlah mata pancing (X2) sebesar 2870 berarti searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan. Setiap penambahan satu mata pancing akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar satu satuan 2870 dalam keadaan cateris peribus. Koefisien regresi faktor teknis jumlah pancing (X6) sebesar 3767 berarti searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan. Setiap penambahan 1 (satu) unit pancing akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar satu satuan 3767 dalam keadaan cateris peribus. Hubungan antara faktor-faktor input yang berpengaruh seperti tercermin pada Gambar 40, terlihat bahwa dengan penambahan jumlah mata pancing dan jumlah pancing maka produksi juga akan meningkat dengan faktor lain ceteris
paribus. Sehingga dapat diasumsikan bahwa tingkat optimum untuk jumlah mata pancing adalah 3 unit dan jumlah pancing sebanyak 11 unit. 6.4.3 Pancing tuna (handlines)
Berdasarkan analisis regresi linier berganda (Lampiran 8), menunjukkan model persamaan pendugaan fungsi produksi pancing tuna di Kota Sorong adalah sebagai berikut : Y = - 47811 - 2055 X1 - 143 X2 + 0.3 X3 + 9172 X4 + 6513 X5 dengan nilai koefisien determinasi (R2 ) = 53,9%. Nilai koefisien determinasi tersebut berarti model penduga yang diperoleh dapat menjelaskan model sesungguhnya sebesar 53,9%, sedangkan sisanya 46,1% dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Nilai intersep yang diperoleh negatif yang menunjukkan bahwa titik potong garis regresi terletak pada sumbu y negatif. Nilai koefisien untuk jumlah jam operasi, jumlah tenaga kerja dan pengalaman nelayan adalah positif. Hal ini dapat diartikan bahwa penambahan seluruh faktor input tersebut akan meningkatkan produksi pancing tuna. Demikian pula sebaliknya apabila dilakukan pengurangan terhadap faktor input ini akan menurunkan hasil tangkapan. Khusus untuk ukuran
104
perahu dan jumlah mata pancing, koefisien yang diperoleh bernilai negatif, artinya bahwa penambahan ukuran perahu dan jumlah mata pancing akan menurunkan produksi dan sebaliknya jika dilakukan pengurangan ukuran perahu dan jumlah mata pancing akan meningkatkan produksi. Dari hasil uji korelasi variabel-variabel independen, diperoleh adanya
multikolinieritas antar variabel independen. Sehingga untuk mendapatkan model regresi yang tepat dilakukan dengan analisis regresi stepwise. Hasil analisis regresi stepwise menghasilkan model persamaan fungsi produksi sebagai berikut : Y = -49078 + 8800X4 + 6456 X5. Secara parsial jumlah tenaga kerja dan
pengalaman nelayan berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan pancing tuna pada taraf 0.05 dengan R2 = 53,7%.
P value dari masing-masing variabel
menunjukkan nilai < dari nilai tingkat kepercayaan yang digunakan yakni 0.05. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari variabel jumlah tenaga kerja dan pengalaman nelayan terhadap hasil tangkapan pancing tuna. Sesuai dengan pendapat Ayodhyoa (1981) bahwa pada perikanan pancing, jumlah nelayan dan keahlian perseorangan sangat menentukan hasil tangkapan. Hubungan antara faktor-faktor input yang berpengaruh seperti tercermin pada Gambar 42, terlihat bahwa dengan penambahan jumlah nelayan dan pengalaman maka produksi juga akan meningkat dengan faktor lain ceteris
paribus. Sehingga dapat diasumsikan bahwa tingkat optimum untuk jumlah nelayan pada pancing tuna adalah sebanyak 4 orang dan pengalaman nelayan adalah 17 tahun. Koefisien regresi faktor teknis jumlah tenaga kerja (X4) sebesar 8800 berarti searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan. Setiap penambahan satu orang tenaga kerja akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar satu satuan 8800 dalam keadaan cateris peribus. Rata-rata jumlah tenaga kerja pada unit armada penangkapan Tuna dengan pancing tuna (handlines) di Kota Sorong adalah 1(satu) orang. Proses penangkapan tuna sangat dibutuhkan hasil tangkapan yang berkualitas segar karena akan diproses menjadi produk fillet. Ukuran dan kesegaran daging tuna sangat menentukan harga jual. Oleh karenanya tenaga kerja yang hanya berjumlah 1 (satu) orang akan mengurangi kecepatan proses
105
penangkapan yang tentunya akan berpengaruh pula terhadap jumlah dan kualitas ikan hasil tangkapan. Koefisien regresi faktor teknis pengalaman nelayan (X5) sebesar 6456 berarti searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan. Setiap penambahan 1 (satu) tahun pengalaman nelayan akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar satu satuan 6456 dalam keadaan cateris peribus. Faktor teknis pengalaman nelayan (X5) berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan tuna dengan pancing tuna (handlines) di Kota Sorong karena ukuran dan kesegaran ikan hasil tangkapan menjadi hal yang penting bagi penangkapan tuna di Kota Sorong. Hal ini berkaitan dengan pemasaran hasil tangkapan tuna dalam bentuk produk olahan
fillet. Oleh karenanya pengalaman nelayan dalam melakukan operasi penangkapan menjadi penting.
7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Hasil penelitian pengembangan teknologi penangkapan ikan tepat guna untuk sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong dapat disimpulkan sebagai berikut (1) Teknologi penangkapan sumberdaya ikan pelagis yang terdapat di Kota Sorong adalah jaring insang (gillnet), bagan perahu (boat liftnet), pancing tonda (trolling lines) dan pancing tuna (handlines). (2) Strategi pengembangan teknologi penangkapan ikan tepat guna untuk sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong lebih diprioritaskan pada : 1) Peningkatan kualitas penanganan hasil tangkapan. 2) Pengembangan alat tangkap berkelanjutan. 3) Peningkatan kualitas sumberdaya nelayan dan aparat. 4) Peningkatan kelembagaan dan permodalan. 5) Peningkatan sarana dan prasarana penangkapan. 6) Peningkatan jumlah hasil tangkapan. (3) Berdasarkan pendekatan biologi, teknik, sosial dan ekonomi, diperoleh teknologi penangkapan ikan pelagis tepat guna adalah bagan perahu (boat liftnet) menempati prioritas pertama, selanjutnya pancing tonda (trolling lines) dan pancing tuna (handlines). (4) Faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap peningkatan produksi teknologi bagan perahu adalah jumlah jam operasi, jumlah petromaks, dan jumlah tenaga kerja, sedangkan pada pancing tonda adalah
jumlah mata
pancing dan jumlah unit pancing. Sementara pada pancing tuna adalah jumlah tenaga kerja dan pengalaman nelayan. 7.2 Saran (1) Perlu dilakukan pengadaan sarana preservasi ikan hasil tangkapan (coldbox, cold storage) bagi nelayan dan pembinaan secara kontinyu kepada nelayan tentang penanganan hasil tangkapan yang baik sesuai standar mutu. (2) Perlu penelitian lanjutan mengimplementasikan teknologi penangkapan ikan tepat guna di Kota Sorong.
107
(3) Peningkatan produktivitas nelayan dengan teknologi penangkapan bagan perahu perlu dilakukan dengan penambahan jumlah lampu, jumlah jam operasi dan jumlah tenaga kerja.
108
DAFTAR PUSTAKA
Ayodhyoa, A.U. 1981. Metode penangkapan ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Halaman 14–31. Bahari, R. 1989. Peranan koperasi perikanan dalam pengembangan perikanan rakyat. Prosiding temu karya ilmiah perikanan rakyat. Jakarta, 18-19 Desember 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Jakarta. Halaman 165-180. [Bappeda] Badan perencanaan pembangunan daerah. 2007. Rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) Kota Sorong. Sorong. 84 halaman. Baruadi, A.S.R. 2004. Model pengembangan kegiatan perikanan tangkap ikan pelagis di Provinsi Gorontalo. Tesis (tidak dipublikasikan) . Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. 175 halaman. Baskoro, M. S dan Effendy, A. 2005. Tingkah laku ikan. Hubungannya dengan metode pengoperasian alat tangkap ikan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 131 halaman. [BMG] Badan meteorologi dan geofisika, Stasiun meteorologi Jefman Sorong. 2007. Data hujan dan angin tahun 2006. Tanggal 6 Juli 2007. Sorong. 1 halaman. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Sorong. 2005. Kota Sorong dalam angka 2005. Sorong. 252 halaman. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Sorong. 2005. Produk domestik regional bruto Kota Sorong. Sorong. 93 halaman. Brandt, A. von. 1984. Fish Catching Methods of the World. England : Fishing news book. 418 p. Burhanuddin, Moeljanto. R, Martosewojo, S dan Djamali. A. 1984. Suku Scombridae. Tinjauan mengenai ikan tuna, cakalang dan tongkol. LONLIPI. Jakarta. Halaman 8-28. Charles, A.T. 2000. Suatainable Fishery Sistems. Saint Mary’s University. Halifax, Canada. 369 p. Collette, B.B and Nauen, C. E. 1983. An Annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known to date. FAO Fisheries Synopsis No. 125. Volume 2. Rome. 137 p.
109
Csirke, J. 1988. Small Shoalding Fish Stocks. In J.A Gulland,ed. Fish Population Dynamics. 2nd ed John Wiley and Sons, Chichseter : 271-302. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2005. DKP dalam angka 2005. Jakarta. 314 halaman. Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2005. Revitalisasi perikanan. SBP. Jakarta. 80 halaman. Eriyatno dan Sofyar, F. 2007. Riset kebijakan. Metode penelitian untuk Pasca sarjana. IPB Press. Bogor. 79 halaman. Gloerfelt. T and Kailola. P.J. 1982. Trawled Fishes of Southern Indonesia and Northwestern Australia. Australian Development Assistance Bureau (ADAB), Directorate General of Fisheries (DGF), Indonesia and German Agency for Technical Cooperation (GTZ). Tien Wan. Singapore. 406 p.. Haluan, J. 1996. Studi pemanfaatan dan potensi sumberdaya perikanan di perairan Bengkulu, Barat Sumatra. Bulletin PSP. Vol V. No. 1. Fakultas Perikanan. IPB. Halaman 51-61. Haluan, J dan Nurani, T.W. 1988. Penerapan metoda skoring dalam penelitian teknologi penangkapan ikan yang sesuai untuk dikembangkan di suatu wilayah perairan. Bulletin PSP. Vol II No. 1. Fakultas Perikanan. IPB. Halaman 3-16. Ihsan. 2000. Kajian model pengembangan usaha perikanan tangkap dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan laut secara optimal di daerah Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. Tesis (tidak dipublikasikan). IPB Bogor. Program Pascasarjana. IPB. 319 halaman. Irnawati, R, Boesono, H dan Khuliah, A. 2006. Kajian pengembangan perikanan tuna di Cilacap. Prosiding seminar nasional perikanan tangkap. IPB. Bogor. Halaman 229-236. Kadariah. 1988. Evaluasi proyek. Analisa ekonomi. Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta. 255 halaman. Kantor Perikanan Kota Sorong. 2007. Laporan tahunan 2006. Kota Sorong. 51 halaman. Kesteven, G.L. 1973. Manual of Fisheries Science. Part 1. an Introduction to Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper No. 118. FAO. Rome. 43 P. Mangkusubroto, K dan Trisnadi. 1985. Analisis keputusan pendekatan sistem dalam manajemen usaha dan proyek. Ganeca Exact. Bandung. 271 halaman.
110
Marimin. 2004. Pengambilan keputusan untuk kriteria majemuk. Grasindo. Jakarta. 197 halaman. Martasuganda, S. 2005. Jaring insang (Gillnet). Departemen pemanfaatan sumberdaya perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 135 halaman. Merta. I.G.S, Nurhakim. S dan Widodo. J. 1997. Sumberdaya perikanan pelagis kecil. Potensi dan penyebaran Sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia. Balai Penelitian Perikanan Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Halaman 89 – 106. Monintja, D.R. 1987. Beberapa teknologi pilihan untuk pemanfaatan sumberdaya hayati laut di Indonesia. Buletin jurusan pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Volume 1 No. 1 Fakultas Perikanan IPB. Halaman 14-25. Monintja, D.R. 1994. Pengembangan perikanan tangkap berwawasan lingkungan. Makalah disampaikan pada seminar pengembangan agribisnis perikanan berwawasan lingkungan pada Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Agustus 1994. Jakarta. 12 halaman. Nicol, J.A.C. 1963. Some aspect of photoreception and vision in fishes. Mar.Biol. Adv I : 171-208. Nomura, M dan Yamazaki, T. 1977. Fishing Technique 1. Tokyo. Japan International Cooperation Agency. 206 p. Nurani, T.W. 2003. Proses hirarki analitik: Suatu metode pendekatan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan kompleks di bidang Perikanan dan Kelautan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. IPB. Bogor. Halaman 73-98. Nybakken, J . W. 1992. Biologi Laut. Suatu pendekatan ekologis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 459 halaman. Priadi, K. 2006. Analisis strategi pengembangan usaha perikanan cakalang di kota Bau-bau, provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis. ( tidak dipublikasikan). IPB Bogor. Program Pascasarjana IPB. 101 halaman. Purbayanto, A. 1991. Jenis teknologi penangkapan ikan yang sesuai untuk dikembangkan di pantai timur Kabupaten Donggala, Sulawesi tengah. Bulletin PSP. Vol III No. 1. Fakultas Perikanan. IPB. 15 halaman. Saanin, H. 1984. Taksonomi dan kunci identifikasi ikan. Vol I dan II. Binacipta. Bandung. 508 halaman.
111
Saaty, T.L. 1991. Decision Making for Leader : The Analytical Hierarchy Process for Decision Complex Word Edisi Bahasa Indonesia ( Terjemahan oleh Ir. Liana S), PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta, 270 halaman. Simbolon, D. 2003. Pengembangan perikanan pole and line yang berkelanjutan di perairan Sorong : suatu pendekatan sistem. Disertasi (tidak dipublikasikan). IPB. Bogor. Program Pascasarjana IPB. 153 halaman Simbolon, D. 2004. Suatu studi tentang potensi pengembangan sumberdaya ikan cakalang dan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan. Bulletin PSP. Vol XIII No 1. Fakultas Perikanan IPB. Halaman 48-67. Sala, R. 1999. Kemungkinan pengembangan perikanan cakalang di Sorong Irian Jaya. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana IPB, Bogor. 131 halaman. Sandy, LM., 1997. Pembangunan wilayah. Direktorat tata guna tanah. Departemen dalam negeri. Jakarta. 295 halaman. Soekartawi. 1990. Teori ekonomi produksi. Dengan pokok bahasan analisis fungsi Cobb-Douglas. CV. Rajawali. Jakarta. 257 halaman. Subani, W dan H.R. Barus. 1989. Alat penangkapan ikan dan udang laut di Indonesia. Jurnal penelitian perikanan laut Edisi khusus No: 50 tahun 1989. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 212 halaman. Sudirman, H dan Mallawa, A. 2004. Teknik penangkapan ikan. PT. Asdi Mahasatya. Jakarta. 168 halaman. Sudirman. 2003. Analisis tingkah laku ikan untuk mewujudkan teknologi ramah lingkungan dalam proses penangkapan pada bagan rambo. Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 307 halaman. Sulthan, M.1985. Pengaruh intensitas cahaya terhadap hasil tangkapan pada bagan tancap. Tesis (tidak dipublikasikan). Jurusan perikanan. Fakultas peternakan Unhas. 49 halaman. Syafrin, N. 1993. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha penangkapan ikan. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana IPB, Bogor. 115 halaman. Tapilatu, R.F. 1996. Hubungan beberapa aspek biologi Cherax lorentzi (Crustacea : Parastacidae) dengan karakteristik habitatnya di daerah aliran sungai Klasafet Sorong, Irian Jaya. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana IPB. Bogor. 125 halaman.
112
Uktolseja, J.C.B., Purwasasmita, R., Susanto, K., dan Sulistiadji, A.B.1998. Sumberdaya ikan pelagis besar. Potensi dan penyebaran sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia. Balai penelitian perikanan laut, Pusat penelitian dan pengembangan perikanan. Jakarta. Halaman 40-88. Walpole, R.E. 1992. Pengantar statistik. Edisi ke 3. PT. Gramedia pustaka utama. Jakarta. 515 halaman. Widodo, J dan Suadi. 2006. Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Gajahmada University Press. Yogyakarta. 252 halaman. Widodo, J. 2001. Upaya penangkapan dan hasil tangkapan per unit upaya (Fishing effort and catch per unit effort). Penuntun, pengkajian stok sumberdaya ikan perairan Indonesia. Balai Penelitian Perikanan Laut, Pusat Riset Perikanan Tangkap, DKP dan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta. Halaman 61-71. www.fishbase.org
113
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian.
114
Lampiran 2 Data perkembangan produksi perikanan pelagis di Kota Sorong selama kurun waktu 2002-2006 (ton)
Jenis ikan
2002
2003
Tahun 2004
Teri 43.20 41.68 72.03 Layang 5.48 6.25 7.24 Selar kuning 14,03 16.68 19.41 Lemuru/simbulah 34.51 37.51 42.16 Kembung/lema 21.65 33.34 38.09 Tenggiri 18.56 31.26 33.14 Cakalang/Tuna 16.64 22.96 31.82 Lainnya 14.58 18.76 20.68 Jumlah 154.62 208.44 264.57 Sumber : Diolah dari Kantor perikanan Kota Sorong (2007)
2005
2006
214.00 22.33 67.22 163.19 127.03 72.21 65.23 55.79 787.00
215.23 20.81 68.13 165.11 138.11 74.18 66.04 56.08 803.69
Jumlah
Rata-
total
Rata-
586.14 62.11 171.44 442.48 358.22 229.35 202.69 165.89 2218.32
117.23 12.42 42.86 88.50 71.64 45.87 40.54 33.18 443.66
(%)
26.42 2.80 7.73 19.95 16.15 10.34 9.14 7.48 100
115
Lampiran 3 Data perkembangan jumlah armada perikanan dan alat tangkap di Kota Sorong tahun 2002-2006 1. Perkembangan jumlah armada perikanan di Kota Sorong N0
Uraian
2002
Tahun 2004 2005
2003
2006
Jumlah
Rata-
total
Rata-
%
1
Perahu tanpa motor
681
692
564
763
763
3463
692.60
69.47
2
Perahu motor tempel
221
219
180
305
312
1237
247.40
24.81
3
Perahu motor dalam
28
28
28
28
47
159
31.80
3.19
4
Kapal motor
24
22
22
27
31
126
25.20
2.53
954 961 794 Sumber : Diolah dari Kantor perikanan Kota Sorong (2007)
1123
1153
4985
997
100
Jumlah
116
Lampiran 3 (lanjutan) 2. Perkembangan jumlah alat tangkap perikanan pelagis di Kota Sorong
N0
Jenis alat tangkap
2002
Tahun 2004
2003
2005
Jumlah total
2006
Rata-
%
Rata-
1
Pancing ulur
940
1253
670
996
832
4691
938.20
53.48
2
Pancing tonda
321
482
382
536
562
2283
456.60
26.03
3
Bagan perahu
8
11
27
33
41
120
24.00
1.37
4
Jaring insang
23
31
504
585
535
1678
335.60
19.13
1292 1777 1583 Jumlah Sumber : Diolah dari Kantor perikanan Kota Sorong (2007)
2150
1970
8772
1754.40
100
117
Lampiran 4 Hasil analisis analytical hirarchy process (AHP) 1. Nilai gabungan aktor dan kriteria pada pengembangan teknologi penangkapan tepat guna untuk sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong VP KRITERIA Kriteria
Nelayan
Produksi Mutu Pasar Pendapatan Potensi SDI
Pengusaha
0.407 0.229 0.183 0.122 0.059
0.344 0.283 0.183 0.128 0.062
VP Pemda dan Akademisi 0.394 0.273 0.177 0.100 0.057
KRITERIAAKTOR 0.388 0.249 0.182 0.121 0.059
2. Nilai prioritas alternatif strategi dari perspektif nelayan Alternatif strategi A B C D E F
Produksi 0.350 0.157 0.131 0.167 0.101 0.095
Mutu 0.378 0.256 0.158 0.089 0.078 0.041
NELAYAN Pasar Pendapatan 0.358 0.369 0.276 0.246 0.136 0.137 0.071 0.097 0.093 0.095 0.066 0.056
PRIORITAS VERSI NELAYAN 0.3557 0.2197 0.1373 0.1217 0.0936 0.0718
Keterangan : A B C D E F
= = = = = =
Peningkatan penanganan hasil tangkapan Pengembangan alat tangkap berkelanjutan Peningkatan kualitassumberdaya nelayan dan aparat Peningkatan kelembagaan dan permodalan Peningkatan sarana prasarana penangkapan Peningkatan jumlah hasil tangkapan
Potensi SDI 0.268 0.248 0.099 0.171 0.114 0.100
118
Lampiran 4 (Lanjutan) 3. Nilai prioritas alternatif strategi dari perspektif pengusaha Alternatif strategi A B C D E F
Produksi 0.305 0.312 0.164 0.111 0.071 0.038
Mutu 0.282 0.282 0.166 0.080 0.133 0.057
PENGUSAHA Pasar Pendapatan 0.400 0.397 0.135 0.217 0.165 0.162 0.115 0.098 0.108 0.070 0.077 0.057
Potensi SDI 0.300 0.334 0.094 0.105 0.103 0.063
PRIORITAS VERSI PENGUSAHA 0.3275 0.2619 0.1602 0.1021 0.0947 0.0535
4. Nilai prioritas alternatif strategi dari perspektif PEMDA dan akademisi Alternatif strategi A B C D E F
Produksi 0.320 0.232 0.118 0.122 0.108 0.101
PRIORITAS VERSI PEMDA DAN AKADEMISI 0.3517 0.2338 0.1291 0.1102 0.0897 0.0855
PEMDA DAN AKADEMISI Mutu Pasar Pendapatan 0.392 0.365 0.323 0.238 0.227 0.287 0.116 0.161 0.153 0.108 0.093 0.093 0.074 0.084 0.067 0.073 0.070 0.076
Potensi SDI 0.412 0.143 0.114 0.127 0.101 0.104
119
Lampiran 4 (Lanjutan) 5. Prioritas strategi kebijakan pengembangan teknologi penangkapan tepat guna untuk sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong
PRIORITAS RATA-RATA
URUTAN
0.3450
1
A Peningkatan penanganan hasil tangkapan
0.2385
2
B
Pengembangan alat tangkap berkelanjutan
0.1422
3
C
Peningkatan kualitas SD nelayan dan aparat
0.1113
4
0.0927
5
0.0703
6
D Peningkatan kelembagaan dan permodalan Peningkatan fasilitas (sarana dan prasarana) E penangkapan ikan F Peningkatan jumlah hasil tangkapan
PILIHAN KEBIJAKAN
120
Lampiran 5 Deskripsi dan analisis biaya unit penangkapan perikanan pelagis di Kota Sorong. 1. Jaring insang (gillnet)
1.1 Keadaan unit penangkapan - Ukuran kapal - Ukuran alat tangkap - Jumlah nelayan - Jumlah jam operasi per trip - Jumlah trip per bulan - Jumlah bulan operasi per tahun - Jumlah trip pertahun - Daya tahan kapal - Daya tahan mesin penggerak - Daya tahan alat tangkap 1.2 Hasil dan penerimaan - Hasil tangkapan rata-rata per trip - Harga jual ikan rata-rata per kg - Penerimaan per tahun 1.3 Biaya 1.3.1 Biaya investasi - Harga kapal - Harga mesin penggerak - Harga alat tangkap Total biaya investasi 1.3.2 Biaya Produksi 1.3.2.1 Biaya tetap per tahun - Perawatan kapal - Perawatan mesin penggerak - Perawatan alat tangkap - Penyusutan kapal - Penyusutan mesin penggerak - Penyusutan alat tangkap Total biaya tetap
: 8x0.8x0.7 : 250x4m : 3 orang : 18 jam : 8 trip : 11 bulan : 88 trip = 1584 jam : 8 tahun : 6 tahun : 4 tahun : 103,69 kg : Rp. 7.000 : Rp. 63.872.160( 103,69kgx 88 tripxRp 7.000) : Rp. 4.000.000,: Rp. 13.000.000,: Rp. 300.000,: Rp. 17.300.000,-
: Rp. 400.000,: Rp. 750.000,: Rp. 150.000,: Rp. 500.000,: Rp. 1.300.000,: Rp. 75.000,: Rp. 3.175.000,-
121
Lampiran 5 (Lanjutan) 1.3.2.2 Biaya tidak tetap per tahun 1) Biaya operasional - Bensin (20 lt x 88 trip x Rp. 5.500) - Minyak tanah (10 lt x 88 trip x Rp. 2.700) - Oli (2 lt x 88 trip x Rp. 16.000) - Es ( 50 blk x 88 trip x Rp. 1.000) - Bahan makanan ( 88 trip x Rp. 150.000) Total biaya tidak tetap
: Rp. : Rp. : Rp. : Rp. : Rp. : Rp.
Total biaya produksi
: Rp. 25.647.000,-
9.680.000,2.376.000,2.816.000,4.400.000,13.200.000,22.472.000,-
2. Bagan perahu (boat liftnet)
2.1 Keadaan unit penangkapan - Ukuran kapal - Ukuran alat tangkap - Jumlah nelayan - Jumlah jam operasi per trip - Jumlah trip per bulan - Jumlah bulan operasi per tahun - Jumlah trip pertahun - Daya tahan kapal - Daya tahan mesin penggerak - Daya tahan alat tangkap
: 16x1x1.65 m : 16.5 x16.5 m : 5 orang : 12 jam : 25 trip : 11 bulan : 275 trip = 3300 jam : 8 tahun : 6 tahun : 3 tahun
2.2 Hasil dan penerimaan - Hasil tangkapan rata-rata per trip - Harga jual ikan rata-rata per kg - Penerimaan per tahun
: 224.27 kg : Rp. 4.000.: Rp. 246.700.000,( 224.27kgx275tripxRp. 4.000)
2.3 Biaya 2.3.1 Biaya investasi - Harga kapal - Harga mesin penggerak - Harga alat tangkap
: Rp. 45.000.000,: Rp. 13.000.000,: Rp. 6.000.000,-
Total biaya investasi
: Rp. 64.000.000,-
2.3.2 Biaya Produksi 2.3.2.1 Biaya tetap per tahun - Perawatan kapal - Perawatan mesin penggerak - Perawatan alat tangkap
: Rp. 1.500.000,: Rp. 1.000.000,: Rp. 300.000,-
122
Lampiran 5 (lanjutan) - Penyusutan kapal - Penyusutan mesin penggerak - Penyusutan alat tangkap Total biaya tetap
: Rp. 3.750.000,: Rp. 2.166.667,: Rp. 2.000.000,: Rp. 10.716.667,-
2.3.2.2 Biaya tidak tetap per tahun 1) Biaya operasional - Bensin (10 lt x 275 trip x Rp. 5.500) - Minyak tanah (60 lt x 275 trip x Rp. 2.700) - Oli (1.5 lt x 275 trip x Rp. 16.000) - Bahan makanan ( 275 trip x Rp. 50.000)
: Rp. : Rp. : Rp. : Rp.
15.125.000,44.550.000,6.600.000,13.750.000,-
Total biaya tidak tetap
: Rp. 80.025.000,-
Total biaya produksi
: Rp. 90.741.667,-
3. Pancing tonda (trolling lines)
3.1 Keadaan unit penangkapan - Ukuran kapal - Ukuran alat tangkap - Jumlah nelayan - Jumlah jam operasi per trip - Jumlah trip per bulan - Jumlah bulan operasi per tahun - Jumlah trip pertahun - Daya tahan kapal - Daya tahan mesin penggerak - Daya tahan alat tangkap 3.2 Hasil dan penerimaan - Hasil tangkapan rata-rata per trip - Harga jual ikan rata-rata per kg - Penerimaan per tahun 3.3 Biaya 3.3.1 Biaya investasi - Harga kapal - Harga mesin penggerak - Harga alat tangkap Total biaya investasi
: 7x0.7x0.7 m : 350 m : 1-3 orang : 15 jam : 22 trip : 11 bulan : 242 trip = 3360 jam : 5 tahun : 6 tahun : 2 tahun : 120 kg : Rp. 6.000 : Rp. 174.240.000,( 120 kgx242tripxRp. 6.000) : Rp. 5.500.000,: Rp. 13.700.000,: Rp. 485.000,: Rp. 19.685.000,-
123
Lampiran 5 (lanjutan) 3.3.2 Biaya Produksi 3.3.2.1 Biaya tetap per tahun - Perawatan kapal - Perawatan mesin penggerak - Perawatan alat tangkap - Penyusutan kapal - Penyusutan mesin penggerak - Penyusutan alat tangkap Total biaya tetap
: Rp. 300.000,: Rp. 1.750.000,: Rp. 250.000,: Rp. 1.100.000,: Rp. 2.283.333,: Rp. 242.500,: Rp. 5.625.833,-
3.3.2.2 Biaya tidak tetap per tahun 1) Biaya operasional - Bensin (10 lt x 242 trip x Rp. 5.500) - Minyak tanah (60 lt x 242 trip x Rp. 2.700) - Oli (1.5 lt x242 trip x Rp. 16.000) - Bahan makanan ( 242 trip x Rp 50.000)
: Rp. : Rp. : Rp. : Rp.
13.310.000,39.204.000,5.808.000,12.100.000,-
Total biaya tidak tetap
: Rp. 70.422.888,-
Total biaya produksi
: Rp. 76.048.721,-
3.4 Bagi hasil : Total Pendapatan : Rp.174.240.000,- - Rp. 70.422.888,- - Rp. 1.210.000,- = Rp. 102.607.112,Pemilik 50% x Rp. 102.607.112,-
: Rp. 151.303.556,-
Nelayan 50% x Rp. 102.607.112,-
: Rp. 151.303.556,-
4. Pancing tuna (handlines)
4.1 Keadaan unit penangkapan - Ukuran kapal - Ukuran alat tangkap - Jumlah nelayan - Jumlah jam operasi per trip - Jumlah trip per bulan - Jumlah bulan operasi per tahun - Jumlah trip pertahun - Daya tahan kapal - Daya tahan mesin penggerak - Daya tahan alat tangkap
: 6.4x0.7x0.5 m : 150 m : 1 orang : 10 jam : 24 trip : 11 bulan : 264 trip = 2640 jam : 8 tahun : 5 tahun : 2 tahun
124
Lampiran 5 (lanjutan) 4.2 Hasil dan penerimaan - Hasil tangkapan rata-rata per trip - Harga jual ikan rata-rata per kg - Penerimaan per tahun 4.3 Biaya 4.3.1 Biaya investasi - Harga kapal - Harga mesin penggerak - Harga alat tangkap
: 53.64 kg : Rp. 6.000 : Rp. 84.980.200,( 53.64kgx264tripxRp. 6.000) : Rp. 3.200.000,: Rp. 5.600.000,: Rp. 380.000,-
Total biaya investasi
: Rp. 9.180.000,-
4.3.2 Biaya Produksi 4.3.2.1 Biaya tetap per tahun - Perawatan kapal - Perawatan mesin penggerak - Perawatan alat tangkap - Penyusutan kapal - Penyusutan mesin penggerak - Penyusutan alat tangkap
: Rp. 500.000,: Rp. 1.000.000,: Rp. 300.000,: Rp. 400.000,: Rp. 1.120.000,: Rp. 190.000,-
Total biaya tetap
: Rp. 3.510.000,-
4.3.2.2 Biaya tidak tetap per tahun 1) Biaya operasional - Bensin (3 lt x 264 trip x Rp. 5.500) - Oli (1.5 lt x264 trip x Rp. 16.000) - Bahan makanan ( 264 trip x Rp.50.000)
: Rp. 4.356.000,: Rp. 6.336.000,: Rp.13.200.000,-
Total biaya tidak tetap
: Rp. 23.892.000,-
Total biaya produksi
: Rp. 27.402.000
125
Lampiran 6 Hasil analisis finansial usaha perikanan pelagis Kota Sorong 1. Jaring insang (gillnet)
1.1 Break Even Point :
BEP (Rp)
:
Biaya tetap biaya tidak tetap 1hasil penjualan 3.175.000 22.472.000 1− 63.872.160 3.175.000 = 0,6482
=
= Rp. 4.898.389,5,-
BEP (kg)
:
Biaya tetap x produksi Hasil penjualan - biaya tidak tetap =
3.175.000 x 9.124,59 63.872.160 - 22.472.000
=
28.970.586.857 41.400.160
= 699,77 Kg. 1.2 Net Present Value (NPV) untuk 5 tahun usaha
Tahun
Pendapatan kotor
Biaya total
0 1 2 3 4 5
0 63872160 63872160 63872160 63872160 63872160
17300000 25647000 25647000 25647000 25647000 25647000 Jumlah
Profit 17300000 38225160 38225160 38225160 38225160 38225160
DF 18%
Discounted benefit
Discounted cost
NPV DF 18%
0.847 0.718 0.609 0.516 0.437 0.37
-14653100 27445664.88 23279122.44 19724182.56 16704394.92 14143309.2 86643574
14653100 18414546 15619023 13233852 11207739 9489390 82617650
-29306200 9031118.88 7660099.44 6490330.56 5496655.92 4653919.2 4025924
126
Lampiran 6 (lanjutan) n
∑
Net Present Value (NPV) =
t =1
Bt - C t (1 + i)
=
86.643.574 – 82.617.650
=
Rp. 4.025.924,-
=
Bt − Ct ( Bt − C t ) > 0 (1 − i ) t Bt − Ct ∑ ( Bt − C t ) < 0 (1 − i ) t
=
86.643.574 82.617.650
=
1,05
∑ 1.3 Net B-C ratio
⎛ NPV+ 1.4 IRR = i NPV+ + (i NPV+ - i NPV-) ⎜⎜ ⎝ NPV+ − NPV− 1.148.942 = 22% + 2%( 1.148.942 − (−52.131,92) = 22% + 2% (0,96) = 22% + 1,91% = 23,91%
2. Bagan perahu (boat liftnet)
2.1 Break Even Point : BEP (Rp)
:
Biaya tetap biaya tidak tetap 1hasil penjualan =
=
10.716.667 80.025.000 1− 246.700.000
10.716.667 0,6756
= Rp. 15.862.070,-
⎞ ⎟⎟ ⎠
127
Lampiran 6 (Lanjutan) BEP (kg)
:
Biaya tetap x produksi Hasil penjualan - biaya tidak tetap =
10.716.667 x 61.674,25 246.700.000 - 80.025.000
=
660.942.399.725 166.674.445
= 3.965,47 Kg. 2.2 Net Present Value (NPV) untuk 5 tahun usaha
Tahun 1 2 3 4 5 6
Pendapatan kotor 0 246700000 246700000 246700000 246700000 246700000
Biaya total 64000000 90741667 90741667 90741667 90741667 90741667 Jumlah
Profit -64000000 155958333 155958333 155958333 155958333 155958333
DF 18% 0.847 0.718 0.609 0.516 0.437 0.37
Discounted benefit -54208000 111978083.1 94978624.8 80474499.83 68153791.52 57704583.21 359081582.5
Bt − Ct ( Bt − C t ) > 0 (1 − i ) t Bt − Ct ∑ ( Bt − C t ) < 0 (1 − i ) t
∑ 2.3 Net B-C ratio
=
=
359.081.582,5 294.673.417,6
=
1,2186
⎛ NPV+ 2.4 IRR = i NPV+ + (i NPV+ - i NPV-) ⎜⎜ ⎝ NPV+ − NPV− 3.367.815,7 = 40% + 5%( 3.367.815,7 − (−3.929.634) = 40% + 5% (0,4615) = 40% + 2,3075% = 42,31%
⎞ ⎟⎟ ⎠
Discounted cost 54208000 65152516.91 55261675.2 46822700.17 39654108.48 33574416.79 294673417.6
NPV DF 18% -108416000 46825566.2 39716949.6 33651799.7 28499683 24130166.4 64408164.9
128
Lampiran 6 (Lanjutan) 3. Pancing tonda (trolling lines)
3.1 Break Even Point : BEP (Rp)
:
Biaya tetap biaya tidak tetap 1hasil penjualan =
=
5.625.833 70.422.888 1− 174.240.000
5.625.833 0,5958
= Rp. 9.442.038.2,-
BEP (kg)
:
Biaya tetap x produksi Hasil penjualan - biaya tidak tetap =
5.625.833 x 57.596 345.576.000 - 70.422.888
=
324.025.477.468 275.153.112
= 1.177,62 Kg. 3.2 Net Present Value (NPV) untuk 5 tahun usaha
1
Pendapatan kotor 0
2 3 4 5 6
174240000 174240000 174240000 174240000 174240000
Tahun
Biaya total
Profit
19685000 76048721 76048721 76048721 76048721 76048721 Jumlah
-19685000
DF 18% 0.847
Discounted benefit -16673195
Discounted cost 16673195
NPV DF 18% -33346390
98191279 98191279 98191279 98191279 98191279
0.718 0.609 0.516 0.437 0.37
69427526.24 58887692.87 49894991 42256029.2 35777416.03 243533694.4
54602981.68 46313671.09 39241140.04 33233291.08 28138026.77 218202305.7
14824544.6 12574021.8 10653851 9022738.13 7639389.26 25331388.7
129
Lampiran 6 (Lanjutan) Bt − Ct ( Bt − C t ) > 0 (1 − i ) t Bt − Ct ∑ ( Bt − C t ) < 0 (1 − i ) t
∑ 3.3 Net B-C ratio
=
=
243.533.694,4 218.202.305,7
=
1,12
⎛ ⎞ NPV+ ⎟⎟ 3.4 IRR = i NPV+ + (i NPV+ - i NPV-) ⎜⎜ ⎝ NPV+ − NPV− ⎠ 1.487.170,052 ) = 45% + 5%( 1.487.170,052 − (−618.707,836) = 45% + 5% (0,7062) = 45% + 3,53% = 48,53%
4. Pancing tuna (handlines)
4.1 Break Even Point : BEP (Rp)
:
Biaya tetap biaya tidak tetap 1hasil penjualan =
=
3.510.000 23.892.000 1− 84.980.200
3.510.000 0,7189
= Rp. 4.882.784,-
130
Lampiran 6 (Lanjutan) BEP (kg)
:
Biaya tetap x produksi Hasil penjualan - biaya tidak tetap =
3.510.000 x 13896,96 84.980.200 - 23.892.000
=
48.778.329.600 610.088.200
= 798,49 Kg. 4.2 Net Present Value (NPV) untuk usaha 5 tahun
Tahun 0 1 2 3 4 5
Pendapatan kotor 0 84980200 84980200 84980200 84980200 84980200
Biaya total 9180000 27402000 27402000 27402000 27402000 27402000 Jumlah
Profit -9180000 57578200 57578200 57578200 57578200 57578200
DF 18% 0.847 0.718 0.609 0.516 0.437 0.37
Discounted benefit -7775460 41341147.6 35065123.8 29710351.2 25161673.4 21303934 144806770
Bt − Ct ( Bt − C t ) > 0 (1 − i ) t Bt − Ct ∑ ( Bt − C t ) < 0 (1 − i ) t
∑ 4.3 Net B-C ratio
=
=
144.806.770 80.390.760
=
1,80
⎛ ⎞ NPV+ ⎟⎟ 4.4 IRR = i NPV+ + (i NPV+ - i NPV-) ⎜⎜ − NPV NPV + − ⎠ ⎝ 30.736.979 ) = 40% + 5%( 30.736.979 − (−3.668.103,2) = 40% + 5% (0,893) = 40% + 4,47% = 44,47%
Discounted cost 7775460 19674636 16687818 14139432 11974674 10138740 80390760
NPV DF 18% -15550920 21666511.6 18377305.8 15570919.2 13186999.4 11165194 64416010
131
Lampiran 7 Data produksi dan faktor yang berpengaruh pada usaha perikanan pelagis di Kota Sorong 1. Bagan perahu (boat liftnet)
No
Produksi (kg)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
45000 57600 140245 46000 42500 48540 45600 52000 53400 51840 50600 46240 43860 47900 46990 58400 46900 48750 49800 145650
ukuran perahu (X1) GT 9.658 19.062 22.239 2.669 1.359 4.289 2.965 32.476 8.472 7.201 18.356 7.907 12.708 3.558 14.826 13.502 11.12 6.531 16.944 29.652
Luas jaring (X2) M 144 306 506 156 132 225 148 289 300 272 266 230 169 224 220 320 200 225 256 529
Jumlah jam operasi (X3) Jam 750 850 2420 698 795 760 690 787 890 785 720 726 665 726 780 880 698 739 760 2200
Jumlah lampu (X4) Unit
8 10 8 8 7 14 8 9 9 9 8 8 7 8 8 11 8 9 9 15
Jumlah tenaga kerja (X5) Orang
4 5 5 4 4 4 4 4 4 5 5 4 5 5 4 5 5 4 6 6
Pengalaman (X6) Thn 8 7 15 6 6 9 5 6 7 9 10 6 5 7 7 8 7 6 8 18
132
Lampiran 7 (Lanjutan) 2. Pancing tonda (trolling lines) No Produksi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
(Y) Kg 9860 7824 12800 33900 25775 5760 26350 25400 26460 28750 45300 36540 26740 34600 29040 28755 27800 35400 25640 36750 25870 26400 34320 38280 31800 47190 24600 34250 38740 29800 36745 28640 34500 27640 24325 32100 28700 34210 28750
ukuran
Jumlah mata
Jumlah jam
perahu
pancing
operasi
(X1) GT 2.859 2.415 0.692 1.112 1.108 1.094 0.847 1.384 1.384 8.472 1.903 3.812 0.9 0.635 0.53 0.847 1.112 0.593 1.112 1.334 0.988 1.112 1.384 1.581 1.779 1.112 1.779 2.287 2.033 2.859 2.287 1.581 1.68 1.186 1.038 1.186 0.865 1.271 1.13
(X2) unit 1 1 1 3 1 1 1 2 2 2 2 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 2 3 2 2 2 1 2 2 2 1 1 2 2 1 1 1 1
(X3) jam 3450 3220 3460 3960 3940 2575 3120 2870 3400 2940 3856 3630 3350 3900 3420 2860 3015 2496 2860 3785 3020 3280 3445 3800 2865 3550 3065 3783 3550 2975 3425 3760 3365 3300 3600 3668 3450 3200 3850
Jumlah tenaga kerja (X5) Orang 2 2 2 4 3 2 2 2 2 5 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 3 3 2 4 2 2 3 2 3 3 3 2 2 3 3 2 3
Pengalaman (X6) Thn 11 8 10 15 12 8 20 9 5 6 20 18 16 14 5 8 10 12 11 10 10 12 10 11 10 15 8 7 11 12 11 10 9 12 10 12 13 14 13
Jumlah Unit pancing (X7) Unit 4 3 5 10 8 4 9 8 9 9 12 11 9 10 9 8 7 11 8 11 8 8 9 8 8 10 8 9 9 10 9 9 11 8 7 9 8 10 9
133
Lampiran 7 (Lanjutan) 3. Pancing tuna (handlines) NO Produksi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Jumlah mata
Jumlah
Jumlah
Pengalaman
(Y)
ukuran perahu (X1)
pancing
jam operasi
(X5)
(Kg)
GT
(X2) unit
tenaga kerja (X4) orang
5688 7824 5748 6430 6276 5875 6750 38514 26460 51840 124000 8800 5830 13607 6721 6745 6281 5890 5115 4290 5610 6425 8250 9493 11550 9240 8415 5214 6780 5240
0.407 0.407 0.407 0.424 0.407 0.407 0.424 1.384 1.384 1.557 1.356 1.525 1.779 1.557 1.779 2.033 1.581 1.186 1.334 1.557 1.779 1.581 2.002 1.356 1.186 1.384 1.557 1.557 1.112 1.218
1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2 1 1 1 2 1 1 1 1 2
(X3) jam 1320 1430 2002 2288 2200 1760 2112 1120 1936 1694 2400 1430 1716 1650 2200 1936 2288 2464 1760 1848 2002 2288 2400 2100 1925 2200 2288 1925 2200 2288
Thn 1 1 1 1 1 1 1 2 4 4 1 1 1 1 2 1 1 1 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1
5 6 6 9 9 8 7 9 10 6 17 10 8 9 6 6 8 5 7 6 7 8 9 9 12 10 9 6 5 6
134
Lampiran 8 Hasil perhitungan regresi dengan program Minitab 14 1. Bagan perahu (boat liftnet) Regression Analysis: Y versus X1, X2, X3, X4, X5, X6 The regression equation is Y = - 15778 + 125 X1 + 2.8 X2 + 54.9 X3 + 1044 X4 + 2649 X5 + 3 X6
Predictor Constant X1 X2 X3 X4 X5 X6
Coef -15778 124.7 2.80 54.879 1043.9 2649 2.8
S = 3053.51
SE Coef 6092 119.5 20.22 3.298 417.5 1271 221.9
R-Sq = 99.3%
T -2.59 1.04 0.14 16.64 2.50 2.08 0.01
P 0.022 0.316 0.892 0.000 0.027 0.057 0.990
VIF 2.2 9.3 5.1 1.6 1.5 1.0
R-Sq(adj) = 98.9%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 6 13 19
SS 16106664715 121211099 16227875814
MS 2684444119 9323931
F 287.91
Correlations: Y, X1, X2, X3, X4, X5, X6 Y 0.589 0.006
X1
X2
0.908 0.000
0.710 0.000
X3
0.990 0.000
0.542 0.013
0.880 0.000
X4
0.469 0.037
0.321 0.168
0.547 0.013
0.396 0.084
X5
0.496 0.026
0.473 0.035
0.558 0.011
0.429 0.059
0.311 0.182
X6
-0.159 0.502
-0.083 0.727
-0.147 0.536
-0.159 0.504
-0.016 0.948
X1
X2
X3
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
X4
X5
-0.168 0.480
P 0.000
135
Lampiran 8 (Lanjutan) Stepwise Regression: Y versus X1, X2, X3, X4, X5, X6 Alpha-to-Enter: 0.05
Alpha-to-Remove: 0.05
Response is Y on 6 predictors, with N = 20
Step Constant X3 T-Value P-Value
1 3394
2 -6239
3 -17803
60.0 29.71 0.000
57.8 31.87 0.000
56.2 34.60 0.000
1288 3.08 0.007
1115 3.13 0.006
X4 T-Value P-Value X5 T-Value P-Value S R-Sq R-Sq(adj) Mallows C-p
3179 2.86 0.011 4245 98.00 97.89 18.8
3500 98.72 98.57 8.3
2935 99.15 98.99 2.8
2. Pancing tonda (trolling lines) Regression Analysis: Y versus X1, X2, X3, X4, X5, X6 The regression equation is Y = - 14460 - 592 X1 + 2420 X2 + 2.02 X3 + 1440 X4 + 15 X5 + 3585 X6 Predictor Coef Constant -14460 X1 -592.5 X2 2420 X3 2.022 X4 1440 X5 15.2 X6 3585.3 S = 3842.08
SE Coef T 5794 -2.50 564.4 -1.05 1138 2.13 1.812 1.12 1069 1.35 202.9 0.08 370.8 9.67
R-Sq = 83.8%
P 0.018 0.302 0.041 0.273 0.187 0.941 0.000
R-Sq(adj) = 80.7%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 6 2441039300 Residual Error 32 472370032 Total 38 2913409332 Source DF Seq SS X1 1 417885 X2 1 493651914 X3 1 300349537 X4 1 51571840 X5 1 215010513 1 1380037611 X6
MS 406839883 14761564
F 27.56
P 0.000
136
Lampiran 8 (Lanjutan) Stepwise Regression: Y versus X1, X2, X3, X4, X5, X6 Alpha-to-Enter: 0.05
Alpha-to-Remove: 0.05
Response is Y on 6 predictors, with N = 39
Step Constant
1 -4869
2 -7198
X6 T-Value P-Value
3995 11.33 0.000
3767 11.14 0.000
X2 T-Value P-Value S R-Sq R-Sq(adj) Mallows C-p
2870 2.64 0.012 4197 77.63 77.03 9.1
3894 81.27 80.23 4.0
Correlations: Y, X1, X2, X3, X4, X5, X6 Y 0.012 0.942
X1
X2
0.409 0.010
0.145 0.379
X3
0.365 -0.090 0.022 0.587
0.103 0.532
X4
0.319 0.048
0.482 0.002
0.362 0.024
0.264 0.104
X5
0.377 -0.168 0.018 0.307
0.045 0.784
0.293 0.070
0.053 0.747
X6
0.881 0.000
0.255 0.117
0.273 0.092
0.196 0.232
X1
0.034 0.837
X2
X3
X4
X5
0.400 0.012
3. Pancing tuna (handlines) Regression Analysis: Y versus X1, X2, X3, X4, X5 The regression equation is Y = - 47811 - 2055 X1 - 143 Predictor Coef SE Coef Constant -47811 23973 X1 -2055 6704 X2 -143 7419 X3 0.27 10.08 X4 9172 4348 X5 6513 1396 S = 17339.5 R-Sq = 53.9%
X2 + 0.3 X3 + 9172 X4 + 6513 X5 T P -1.99 0.058 -0.31 0.762 -0.02 0.985 0.03 0.979 2.11 0.046 4.67 0.000 R-Sq(adj) = 44.3%
137
Lampiran 8 (Lanjutan) Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source X1 X2 X3 X4 X5
DF 5 24 29
SS 8427522771 7215805986 15643328757
MS 1685504554 300658583
F 5.61
DF Seq SS 1 170066201 1 903308676 1 83185970 1 726271867 1 6544690057
Correlations: Y, X1, X2, X3, X4, X5 Y 0.104 0.583
X1
X2
0.259 0.167
0.256 0.171
X3
0.035 0.854
0.133 -0.165 0.485 0.385
X4
0.256 0.172
0.235 0.211
0.258 -0.232 0.169 0.218
X5
0.666 0.000
0.109 0.568
0.277 0.139
X1
X2
X3
X4
0.159 -0.073 0.400 0.700
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Stepwise Regression: Y versus X1, X2, X3, X4, X5 Alpha-to-Enter: 0.05
Alpha-to-Remove: 0.05
Response is Y on 5 predictors, with N = 30 Step 1 2 Constant -35378 -49078 X5 T-Value P-Value
6245 4.72 0.000
X4 T-Value P-Value S R-Sq R-Sq(adj) Mallows C-p
6456 5.24 0.000 8800 2.33 0.027
17634 44.34 42.35 3.0
16383 53.68 50.24 0.1
P 0.001