45
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Potensi Pengembangan Sistem Agribisnis Ikan Lele Ikan lele merupakan nama ikan air tawar yang tidak asing lagi bagi kita, karena mulai dari tempat makan pinggir jalan sampai ke restoran bergengsi
hampir semuanya menyediakan hasil olahan lele
dengan
berbagai gaya dan variasi. Sampai saat ini kita mengenal dua jenis ikan lele, yaitu lele lokal dan lele dumbo. Lele lokal merupakan ikan lele asli Indonesia yang mempunyai ciri-ciri warna tubuhnya gelap kelabu sampai warna hitam dan warna ini akan tetap (tidak berubah) walau ikan tersebut mengalami stres. Selain itu lele lokal mempunyai gerakan yang tidak terlalu agresif
namun seringkali akan membuat lubang
di pematang kolam,
sehingga seringkali merusak pematang, dan ikan ini mempunyai patil yang beracun. Sedangkan lele dumbo mempunyai warna tubuh kelabu namun tidak terlalu gelap, dan warnanya akan berubah menjadi loreng-loreng (bercak-bercak) apabila ikan ini mengalami stres. Selain itu gerakannya lebih aktif dan agresif, tidak akan membuat lubang (merusak) pematang kolam serta mempunyai patil namun tidak mengandung racun. Kelebihan lele dumbo dibanding lele lokal adalah ikan ini sangat rakus sehingga mau makan apa saja akibatnya pertumbuhannya menjadi jauh lebih cepat dari lele lokal. Ikan lele dumbo di Indonesia, mulai dikenal pada akhir tahun 1985, yang di bawa oleh perusahaan perikanan yang bergerak pada usaha ikan hias.
Ikan ini mempunyai nama latin Clarias gariepinus, dengan
klassifikasi: Kelas
: Pisces
Subkelas
: Teleostei
Ordo
: Siluroidae
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Spesies
: Clarias gariepinus
46
Ikan lele (dumbo) (Gambar 7) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah umum dibudidayakan dan mempunyai prospek yang cerah. Ikan ini juga mempunyai beberapa keunggulan yaitu mudah dibudidayakan, pertumbuhannya cepat, rasanya enak sehingga banyak diminati berbagai kalangan dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.
Gambar 7. Morfologi ikan lele dumbo
Disamping hal tersebut di atas, lele dumbo juga mempunyai keunggulan lainnya yakni ikan ini dapat dibudidayakan pada lahan yang sempit, bahkan pada lahan yang sudah termasuk kategori kritispun, ikan ini masih dapat hidup dengan baik, yakni ikan ini bisa hidup pada air genangan (kubangan), air comberan, air pembuangan atau pun pada wadah-wadah alakadarnya seperti halnya drum bekas (plastik), stirofoam bekas dan sebagainya. Selain hal tersebut di atas keunggulan lain dari ikan ini adalah air yang akan menjadi media hidupnya tidak memerlukan persyaratan khusus seperti
47
pada ikan budidaya air tawar lainnya, dalam hal ini untuk budidaya lele dumbo, kita cukup menyediakan air sumur galian atau air buangan. Selain itu jika dalam melakukan budidaya ini kita tidak menemui masalah seperti misalnya munculnya penyakit pada lele dumbo yang dibudidayakan, maka selama pemeliharaan ikan ini tidak perlu dilakukan pergantian air maupun aerasi. Budidaya ikan lele yang sangat mudah untuk dilakukan sekaligus didorong oleh adanya kebutuhan masyarakat akan proten hewani yang semakin meningkat telah mendorong seorang masyarakat yang ada di Desa Telogorejo melakukan budidaya ikan lele dumbo pada kolam alakadarnya (Gambar 8). Berhasilnya budidaya lele dumbo di desa ini pada akhirnya mendorong 15 orang masyarakat lain untuk ikut serta melakukan budidaya lele di lahan-lahan lain, dan akhirnya mereka menamakan diri Kelompok Tani Ikan Bangkit (Bangun Kelompok Tani Ikan Telogorejo).
48
Gambar 8. Kolam ikan lele di Desa Telogorejo
Keberhasilan budidaya di kelompok tani ikan tersebut telah menjalar ke para tetangga dan handai taulan untuk ikut serta meramaikan kegiatan budidaya ikan lele, sehingga pada tahun 2008 telah terdapat 99 orang petani ikan lele dengan jumlah kolam budidaya yang telah mencapai 1440 buah kolam.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa Desa Telogorejo mempunyai
potensi yang sangat baik untuk melakukan kegiatan agribisnis dengan komoditi ikan lele, mengingat masyarakat sudah tahu cara membudidayakan (pembesaran) ikan lele walau dengan teknik yang hanya alakadarnya. |selain itu di Desa ini juga terdapat lahan (pada umumnya sawah) yang mempunyai potensi untuk digunakan enjadi lahan budidaya. Kondisi ini sudah cukup untuk mengembangkan Desa Telogorojo dan sekitarnya menjadi kawasan minapolitan dengan komoditi unggulan ikan lele.
49
5.2. Nilai Indeks Status Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Minapolitan Kampung Lele Kabupaten Boyolali. Nilai indeks keberlanjutan Kawasan Minapolitan Kampung Lele Kabupaten Boyolali pada penelitian ini diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan multidimensional scaling (MDS).
Analisis ini bersifat multidimensi, karena
menggabungkan seluruh atribut yang ada pada lima dimensi yang dianalisis yakni dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 36,85 (dengan skala sustainabilitas 0 – 100) berdasarkan penilaian terhadap 44 atribut yang ada pada kelima dimensi tersebut yakni 9 atribut pada dimensi ekologi, 9 atribut pada dimensi ekonomi, 8 atribut pada dimensi sosial budaya serta 9 atribut pada dimensi hukum dan kelembagaan. Berdasarkan
hasil
analisis
yang
diilustrasikan
pada
Gambar
9
memperlihatkan bahwa pengelolaan Kawasan Minapolitan Kampung Lele, Kabupaten Boyolali yang nilai keberlanjutannya sebesar 36,85 (nilai indeks < 50) termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan (Kavanagh, 2001). Mengingat Kawasan Minapolitan Kampung Lele, Kabupaten Boyolali masih belum berkelanjutan, maka pada penelitian ini dilakukan analisis lanjutan pada setiap dimensi, dalam rangka mengetahui dimensi pembangunan apa yang masih memerlukan perbaikan. Berdasarkan analisis terhadap dimensi ekologi memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah sebesar 36,11. Seperti halnya pada nilai keberlanjutan pengelolaan Kawasan Minapolitan Kampung Lele, Kabupaten Boyolali, nilai indeks dimensi ekologi juga berada di bawah nilai indeks berkelanjutna. Oleh karena itu, maka dimensi ekologi di Kawasan Minapolitan Kampung Lele, termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan (Nilai indeks < 50) (Kavanagh, 2001). Adapun peran masing-masing aspek pada atribut ekologi ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage yang bertujuan untuk melihat atribut
yang
sensitif dalam memberikan kontribusi
terhadap keberlanjutan dimensi ekologilasnya hasil analisis leverage (Gambar 10).
50
R APFISH Or dina tion 60 UP s 40 e ru t a 20 e F g n i BAD h 0 is 0 g n tis -2 0 i D r e -4 0 th O -6 0
3 6.8 5
R eal Fi sheri es R eferen ces
GOOD 20
40
60
80
1 00
1 20
An cho rs
D OWN Fis her ies S us ta ina bility
Gambar 9. Status keberlanjutan pengelolaan Kawasan Minapolitan Kampung Lele, Kabupaten Boyolali
RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40 36.11 20 Real Fisheries 0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 10. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi di Kawasan Minapolitan Kampung Lele, Kabupaten Boyolali.
51
Gambar 11. Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS. Berdasarkan Gambar 11, semua atribut dimensi ekologi memiliki tingkat sensitivitas yang relatif sama dalam perannya terhadap nilai indeks kebelanjutan. Namun dari ketujuh atribut pada dimensi ini, atribut ketersediaan instalasi pengelolaan limbah budidaya (8,49), atribut tingkat pencemaran air (7,54), atribut Tingkat penggunaan air tanah (6,02), atribut Pemanfaatan bahan kimia dalam kegiatan budidaya ikan lele (5,78), dan atribut Ketersediaan sumberdaya air (5,02), merupakan atribut yang sangat penting dan berpengaruh terhadap nilai indeks yang dihasilkan. Berdasarkan analisis terhadap dimensi ekologi memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi kurang berlanjut (Kavanagh, 2001). Hal ini mengandung arti bahwa kegiatan budidaya pembesaran ikan lele di lokasi penelitian walaupun dapat memberikan kontribusi yang cukup baik terhadap perekonomian namun secara ekologi tetap sangat mengkhawatirkan. Kondisi ini sangat dimungkinkan, mengingat walaupun budidaya lele merupakan
52
budidaya yang sangat irit sumberdaya air, namun air yang dibuang dari kegiatan ini sangat tercemar baik yang berasal dari sisa pakan, kotoran lele itu sendiri maupun bahan-bahan kimia yang dalam keadaan tertentu digunakan pada budidaya ikan lele.
Hal ini terlihat dari warna airnya yang hitam pekat dan
baunya yang cukup menusuk, sehingga pembuangan air tanpa pengolahan terlebih dahulu akan membahayakan lingkungan. Di lain pihak di beberapa lokasi yang sulit mendapatkan air akan digunakan air tanah, sehingga dengan meningkatnya jumlah pembudidaya ikan lele, maka penggunaan air tanah untuk keperluan tersebut akan semakin melimpah. Kondisi tersebut akan menjadi ancaman bagi pembangunan kawasan minapolitan menjadi tidak berkelanjutan.
Keadaan ini pada akhirnya dapat
menimbulkan dampak, baik terhadap kegiatan ekonomi, ekologi dan sosial yang nantinya secara langsung akan dirasakan oleh masyarakat, terutama yang ada di kawasan minapolitan tersebut, namun juga akan dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas. Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan terhadap dimensi ekonomi memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 53,17 (Gambar 12).
Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi ini lebih besar
dibanding nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Selain itu besarnya nilai indeks keberlanjutan ekonomi lebih besar dari 50, hal ini menngandung arti bahwa dimensi ekonomi pada pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele masuk pada kategori cukup berkelanjutan (Kavanagh, 2001).
Kondisi ini
memperlihatkan bahwa pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele lebih memberikan manfaat secara ekonomi dibanding aspek ekologi. Namun demikian berdasarkan pengamatan penulis selama melakukan penelitian terlihat bahwa manfaat ekonomi yang diperoleh di kawasan minapolitan Kampung Lele saat ini masih bersifat jangka pendek. Hal ini disebabkan kegiatan ekonomi yang ada di kawasan minapolitan tersebut masih sangat terbatas pada budidaya pembesaran ikan lele, sedangkan bibit dan pakannya masih didatangkan dari luar. Selain hal tersebut, dalam hal hasil budidayanya, juga relatif masih menunjukkan bersifat jangka pendek karena ikan lele yang dihasilkan dari kawasan minapolitan juga masih sangat sedikit yang sudah dilakukan pengolahan
53
dalam rangka meningkatkan nilai tambahnya. Hal lain yang memperkuat bahwa masih bersifat jangka pendek terlihat dari pengolahan ikan lele hasil budidayanya masih menggunakan teknologi yang relatif sederhana, sehingga belum diperoleh nilai tambah yang memadai yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah Kabupaten Boyolali.
Berdasarkan data tersebut di atas, maka perlu
dilakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi ekonomi tersebut, sehingga nilai indeks dimensi ekonomi di kawasan minapolitan Kampung Lele pada masa yang akan datang dapat ditingkatkan kembali. Adapun peran masing-masing aspek pada atribut ekonomi ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 13.
RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40
20
53.17 Real Fisheries BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 12. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi di Kawasan Minapolitan Kampung Lele, Kabupaten Boyolali. Berdasarkan hasil analisis leverage (Gambar 13) terdapat lima atribut yang
sensitif mempengaruhi
besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi
ekonomi, yaitu: 1) Permintaan ikan lele (9,61); 2) Trend harga ikan lele (8,98); 3) kontribusi terhadap PAD (6,28); 4) Kelayakan usaha pengolahan ikan lele (9,63). Kondisi ini memperlihatkan bahwa kegiatan minapolitan di Kampung Lele, secara ekonomi menguntungkan, mengingat lele merupakan komoditi sumber protein
54
yang cukup banyak diminati oleh berbagai kalangan karena rasanya enak, dagingnya cukup banyak (durinya sedikit, sehingga relative mudah difilet dan gampang makannya), murah serta mempunyai kandungan gizi yang baik. Mengingat tingginya permintaan terhadap ikan lele, mengakibatkan harga ikan lele sangat jarang mengalami penurunan, sehingga budidaya lele yang cukup mudah
dilaksanakan
oleh
kalangan
manapun
sangat
potensial
untuk
dikembangkan di kawasan minapolitan Kampung Lele.
Gambar 13. Peran masing-masing atribut aspek ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS.
Pada penelitian ini didapatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosialbudaya sebesar 40,44. Nilai dimensi sosial budaya ini kurang dari 50, sehingga termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan (Kavanagh, 2001). Selain hal itu nilai dimensi sosial budaya ini juga berada di bawah indeks keberlanjutan dimensi ekologi maupun dimensi ekonomi. Hal ini memperlihatkan bahwa di
55
kawasan minapolitan Kampung Lele ada indikasi bahwa adanya kegiatan minapolitan relatif mengakibatkan relatif melunturnya aspek sosial budaya, yang terlihat dari adanya konflik terutama pada saat adanya bantuan modal dari pemerintah. Selain itu relatif lebih bersifat individual, sehingga perlu dilakukan berbagai hal untuk meningkatkan status nilai indeks keberlanjutan dimensi sosialbudaya ini, terutama dalam hal perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif yang akan mempengaruhi nilai indeks tersebut secara nyata.
Adapun peran
masing-masing aspek pada atribut sosial budaya ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 14.
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
40.44
Real Fisheries
BAD
0 0
GOOD 20
40
60
80
100
References 120
Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 14. Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya di Kawasan Minapolitan Kampung Lele, Kabupaten Boyolali.
56
Gambar 15. Peran masing-masing atribut aspek sosial budaya yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS.
Berdasarkan hasil analisis leverage, terdapat tiga atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya. Atribut-atribut yang sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya adalah sebagai berikut: 1) Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat pembudidaya (11,83); 2) Pemahaman, kepedulian, dan tanggung jawab masyarakat terhadap sumberdaya (11,21); dan 3) Frekuensi konflik masyarakat dalam pengelolaan lingkungan (8,68). Hal ini memperlihatkan bahwa pembudidaya yang berpendidikan akan mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial budaya mengingat sumberdaya manusia yang mempunyai pendidikan tinggi mempunyai pandangan dan pemikiran yang relatif luas sehingga lebih mudah menerima perubahan dan pengetahuan untuk diajak mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan berbagai masalah yang ditujukan untuk memperoleh keberlanjutan pada kegiatan budidaya ikan lele yang dilakukan. Oleh karena itu maka masyarakat pelaku budidaya ikan lele yang ada di kawasan minapolitan harus mendapat perhatian yang sangat serius. Selain itu juga pemahaman, kepedulian dan tanggung jawabnya terhadap
57
sumberdaya yang ada di kawasan minapolitan juga harus ditingkatkan. Namun demikian harus dicegah terjadinya konflik di kawasan minapolitan tersebut. Analisis terhadap keberlanjutan dimensi teknologi pada pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele (Gambar 16) menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi yang rendah, yakni sebesar 23,17. Nilai tersebut memperlihatkan bahwa keberlanjutan dimensi teknologi pada pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele masuk pada kategori buruk (Kavanagh, 2001).
Hal
ini sesuai dengan kenyataan yang ada di kawasan minapolitan
Kampung Lele yang memperlihatkan relatif masih rendahnya aplikasi teknologi pada budidaya ikan lele dan pada pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele. Di lain pihak, aplikasi teknologi dalam proses budidaya ikan lele sangat diperlukan, baik teknologi di bidang budidaya, bidang manajemen pemberian pakan, teknologi pengolahan hasil, teknologi pengendalian parasit dan penyakit, teknologi pengolahan hasil budidaya, dan berbagai teknologi yang diperlukan dalam rangka pengendalian dan pengamanan pada kegiatan budidaya.
Oleh
karena itu maka dalam rangka meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi, maka perlu dilakukan
perbaikan terhadap beberapa atribut yang
sensitif mempengaruhi nilai indeks teknologi pada pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele. Adapun peran masing-masing aspek pada atribut teknologi ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 16 Pada Gambar 17 terdapat
lima atribut yang perlu dikelola
dengan baik karena
memberikan pengaruh yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi, yaitu: 1) Standarisasi mutu produk (6,74); 2) Teknologi budidaya ikan lele (6,25); 3) Teknologi transportasi dan adaptasi benih (4,61); 4) Managemen pemberian pakan (5,0).
58
RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40
20 23.17
Real Fisheries
BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 16. Nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi di Kawasan Minapolitan Kampung Lele, Kabupaten Boyolali.
Gambar 18. Peran masing-masing atribut aspek teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS.
59
Hasil analisis terhadap dimensi hukum dan kelembagaan (Gambar 18) mendapatkan hasil bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan hanya sebesar 26,09.
Hampir mirip dengan dimensi teknologi,
dimensi hukum dan kelembagaan pada pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele, termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan (Kavanagh, 2001). Hal ini juga terlihat dari kondisi yang terdeteksi di lokasi penelitian yang
memperlihatkan bahwa ada indikasi masih lemahnya penegakan hukum dan masih adanya sifat egosektoral pada dinas-dinas terkait. RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20 Real Fisheries 0
GOOD
BAD 0
20
40
60
80
100
26.09
References 120
Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 18. Nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan di Kawasan Minapolitan Kampung Lele, Kabupaten Boyolali.
Seperti pada dimensi lainnya, peran masing-masing aspek pada atribut hukum dan kelembagaan ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage seperti yang terlihat pada Gambar 19. Berdasarkan Gambar 19 terdapat lima atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, yaitu: 1) Ketersediaan peraturan perundana-undangan tentang pengelolaan sumberdaya perikanan (6,10); 2) Intensitas kegiatan budidaya yang melanggar hukum (3,85); 3) Kemitraan kelompok pembudidaya (3,66) dan 4) Keberadaan aparat penegak hukum di kawasan minapolitan (3,55).
60
Gambar 19. Peran masing-masing atribut aspek hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS.
Berdasarkan uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa dari kelima dimensi yang dianalisis pada penelitian ini, yakni dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, memperlihatkan
teknologi, dari
hukum
kelima
dan
dimensi
kelembagaan tersebut,
(Gambar
dimensi
9
yang
-
19)
indeks
keberlanjutannya paling rendah adalah dimensi teknologi, yang disusul oleh dimensi hukum dan kelembagaan, sosial budaya, ekologi.
Diantara kelima
dimensi tersebut, dimensi yang mempunyai indeks keberlanjutan paling tinggi adalah dimensi ekonomi.
Oleh karena itu dengan mendasarkan indeks
keberlanjutan setiap dimensi yang dianalisis pada penelitian ini, walaupun kawasan minapolitan ini secara umum terlihat sudah baik dan berjalan cukup lancar, bahkan sudah merambah ke wilayah sekitarnya;
namun berdasarkan
analisis ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun dimensi
yang termasuk
kategori “baik” dan bahkan satu dimensi yang termasuk kategori “buruk”, yaitu dimensi teknologi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 20. Hal ini memperlihatkan
bahwa
agar
kawasan
minapolita
kampung
lele
dapat
61
berkelanjutan, harus dilakukan perbaikan pada berbagai aspek, terutama pada atribut-atribut sepesifiknya yang ada pada setiap dimensi. Secara umum dalam konsep pembangunan berkelanjutan diintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Konsep ini pada dasarnya telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya united nation conference on the human environment di Stockholm tahun 1972, dengan harapan agar dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Selanjutnya menurut Komisi Burtland, pembangunan berkelanjutan bukanlah kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu proses perubahan yang mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Kaitannya dengan nilai keberlanjutan pada setiap dimensi pada penelitian ini, bahwa semua nilai indeks keberlanjutan dari setiap dimensi tersebut tidak harus memiliki nilai yang sama besar (Gambar 20). Hal ini disebabkan dalam berbagai kondisi daerah dan kawasan minapolitan memiliki masalah yang berbeda-beda, sehingga prioritas dimensi apa yang lebih dominan untuk menjadi perhatian pun juga akan berbeda. Pada prinsipnya nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi tersebut berada pada kategori “kurang”
berlanjut, dan hanya
dimensi ekonomi yang “cukup” status keberlanjutannya.
Oleh karenanya maka
dalam rangka meningkatkan keberlanjutan pada setiap dimensi harus benar-benar memperhatikan atribut-atribut sensitive terutama pada dimensi ekologi, sosial budaya, teknologi serta hukum dan kelembagaan. Walaupun dari hasil analisis memperlihatkan bahwa dimensi ekonomi sudah cukup berlanjut, sehingga idealnya masih harus ditingkatkan status keberlanjutannya.
Dalam rangka
meningkatkan status keberlanjutannya, tetap harus memperhatikan atribut-atribut sensitif yang dapat meningkatkan status keberlanjutan dimensi ekonomi.
62
EKOLOGI
HUKUM DAN KELEMBAGAAN
26.09
100 90 80 70 60 50 36.11 40 30 20 10 0
EKONOMI
53.17
23.17 40.44
TEKNOLOGI
SOSIAL
Gambar 20. Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan pengelolaan pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele
Pada Gambar diagram layang terlihat bahwa selain dimensi ekonomi yang mempunyai kategori cukup berlanjut, dimensi lainnya masuk pada kategori kurang berlanjut. Hal ini mengandung arti bahwa kegiatan budidaya pembesaran ikan lele di lokasi penelitian sudah memberikan kontribusi yang cukup baik terhadap perekonomian baik untuk masyarakatnya maupun untuk pemda setempat, yang otomatis meningkatkan PAD Kecamatan Sawit khususnya dan Kabupaten Boyolali pada khususnya.
Hal ini cukup menggembirakan mengingat
kawasan minapolitan Kampung lele diduga akan berkembang cukup baik di masa yang akan datang. Bahkan geliat pertumbuhan ekonomi di Kampung Lele yang berlokasi di |Desa Tegalrejo ini sudah menjalar ke lokasi lain sekitar Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit, yakni telah diikuti oleh masyarakat di Desa Doplang, Kadireso.
63
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat setempat dan desa sekitarnya juga ada indikasi bahwa kawasan minapolitan dengan kegiatan utamanya budidaya ikan lele juga telah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk tidak melakukan urbanisasi.
Hal ini terlihat dari hasil wawancara dengan
masyarakat di Desa Tegalrejo yang tadinya merantau menjadi buruh pabrik, kembali ke desa untuk melakukan kegiatan budidaya pembesaran ikan lele. Bahkan bukan hanya itu, dari pengamatan di lapang dan wawancara dengan para stakeholder
juga
memperlihatkan
bahwa
kegiatan
tersebut
juga
telah
menumbuhkan jaringan usaha dengan kecamatan lain seperti Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Simo, Kecamatan Banyudono dan Kecamatan Tulung, bahkan dengan Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta sebagai pasar utama lele yang dihasilkan dari kawasan minapolitan kampung lele serta daerah-daerah lain yang ada di sekitarnya. Berdasarkan nilai status keberlanjutan pada dimensi ekonomi tersebut, yang masuk pada kategori cukup berlanjut, masih dapat dinaikkan kembali, salah satunya dengan cara memperhatikan atribut sensitif pada dimensi ekonomi yakni meningkatkan kembali kelayakan usahanya, trend harga ikan lele yang juga masih perlu ditingkatkan kembali, dengan tetap memperhatikan permintaan ikan lele yang saat ini masih tinggi namun belum dapat dipenuhi, karena dengan tidak terpenuhinya ikan lele, maka konsumen dapat beralih ke jenis ikan lain. Selain hal tersebut juga harus memperhatikan aspek teknologi, yakni dengan cara melaksanakan kegiatan dari hulu sampai hilir, seperti menyediakan bibit sendiri dan membuat pakan sendiri. Pada penelitian ini juga didapatkan parameter statistik yang digunakan untuk menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di kawasan minapolitan Kampung Lele. Parameter tersebut adalah nilai stress dan koefisien determinasi (r2) yang berperan dalam penentuan perlu tidaknya penambahan atribut, sehingga dimensi yang dikaji dapat mendekati kondisi sebenarnya. Adapun nilai stress dan r2 hasil dari analisis MDS dapat dilihat pada Tabel 8.
64
Tabel 8. Hasil analisis MDS beberapa dimensi keberlanjutan pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele
Nilai Statistik
Multi Dimensi
Ekologi
Ekonomi
SosialBudaya
Teknologi
Hukum dan Kelembagaan
Stress
0.12
0.13
0.13
0.13
0.14
0.14
0.96 0.95 0.95 R2 Jumlah 2 2 2 iterasi Sumber : Pengolahan data primer
0.95
0.95
0.95
2
2
2
Tabel 8 memperlihatkan kenyataan bahwa setiap dimensi yang terdapat pada penelitian ini memiliki nilai “stress” yang jauh lebih kecil dari ketetapan yang ada, yakni 25% (Fisheries. Com, 1999). Padahal semakin kecil nilai “stress” berarti semakin baik kualitas hasil analisis yang dilakukan. Selain nilai stress, pada kesempatan ini juga dilakukan perhitungan terhadap nilai koefisien determinasi (R2). Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa nilai R2 yang didapat 0.95 – 0.96. Berdasarkan kesepakatan terhadap nilai koefisien determinasi bahwa kualitas hasil analisis dikatakan semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar (mendekati 1). Hal ini memperlihatkan bahwa kualitas hasil analisis berdasarkan nilai R2-nya semakin baik. Dengan demikian berdasarkan dua parameter (nilai “stress” dan R2) tersebut menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan pengelolaan kawasan minapolitan di Kampung Lele Kecamatan sawit, |Kabupaten Boyolali masuk pada kategori yang relatif baik dalam menerangkan kelima dimensi pembangunan yang dianalisis. Pada penelitian ini selanjutnya dilakukan pengujian terhadap tingkat kepercayaan nilai indeks multidimensi serta pada setiap dimensi yang digunakan, dengan analisis Monte Carlo. Adapun yang dimaksud dengan analisis Monte Carlo adalah analisis berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan menggunakan teknik random number
berdasarkan teori statistika,
sehingga dari sini akan didapatkan dugaan peluang suatu solusi persamaan atau model matematis (EPA 1997).
Pada penelitian ini penggunaan analisis
Montecarlo dimaksudkan untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada
65
setiap atribut pada setiap dimensi yang digunakan pada penelitian ini, terutama untuk melihat pengaruh kesalahan yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukkan data atau ada data yang hilang (missing data), dan nilai “stress” yang terlalu tinggi. Dengan adanya analisis Montecarlo ini maka hasil akhir analisis keberlanjutan ini dapat diharapkan agar mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi (Kanvanagh, 2001 serta Fauzi dan Anna, 2002). Berdasarkan hasil analisis Monte Carlo (Tabel 9) terlihat bahwa nilai status indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele ada pada selang kepercayaan 95% dengan hasil antara analisis MDS dengan analisis Monte Carlo yang hampir mirip. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut dapat dikatakan relatif kecil; pemberian skor akibat perbedaan opini juga relatif kecil;
variasi
kondisi ini juga
memperlihatkan bahwa proses analisis yang dilakukan pada penelitian ini mempunyai ulangan yang cukup dan relatif stabil pada setiap ulangan; serta dapat dikatakan terhindar dari kesalahan pemasukan data dan data yang hilang (Kanvanagh, 2001). Tabel 9. Hasil analisis Monte Carlo pada selang kepercayaan 95%. Status Indeks
Hasil analisis MDS 36,85 36,11 53,17 40,44 23,17 dan 26,09
Multidimensi Ekologi Ekonomi Sosial-Budaya Teknologi Hukum Kelembagaan Sumber: Hasil Analisis, 2009.
Monte Carlo 36,44 36,44 52,76 41,39 24,06 27.18
Perbedaan 0,41 0,33 0,51 0,95 0,89 1,09
Perbedaan yang relatif kecil ini juga memperlihatkan bahwa hasil analisis keberlanjutan pengelolaan kawasan
minapolitan Kampung Lele dengan
menggunakan metode MDS memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi (Pitcher, 1999). Dengan demikian maka hasil analisis ini dapat direkomendasikan untuk dijadikan salah satu alat evaluasi dalam menilai secara cepat (rapid appraisal)
66
keberlanjutan
dari
sistem
pengelolaan
kawasan
minapolitan
di
suatu
wilayah/daerah. Berdasarkan hasil analisis MDS seperti tersebut di atas, diperoleh 19 faktor pengungkit pada pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele. Adapun Ke sembilan belas faktor pengungkit tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.
5.3. Faktor Kunci Pengelolaan Kawasan Minapolitan Selanjutnya pada proses pengelolaan lingkungan kawasan minapolitan Kampung Lele ini, semua faktor pengungkit ini harus diperhatikan dengan seksama dan harus dilakukan berbagai upaya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan factor pengungkit tersebut, sehingga status keberlanjutan dari setiap dimensi dapat ditingkatkan dan pengelolaan lingkungan di kawasan minapolitan Kampung Lele menjadi berkelanjutan yang secara ekonomi akan sangat menguntungkan, secara ekologi akan membuat lingkungan kawasan minapolitan menjadi lestari, namun tetap berkeadilan dan memberikan kemakmuran pada masyarakat yang ada di dalamnya, dan tujuan utama mencegah terjadinya urbanisasi dan mensejajarkan desa dengan kota dan pembangunan desa yang sesuai dengan potensi dan daya dukungnya akan tercapai dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Munasinghe (1993) bahwa dalam pembangunan berkelanjutan,
paling
tidak
harus
menjabarkan
konsep
pembangunan
berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (sustainable development triangle) yakni secara ekonomi harus menguntungkan, berkeadilan, namun tidak mengakibatkan rusaknya lingkungan.
67
Tabel 10. Faktor pengungkit setiap dimensi pengelolaan lingkungan kawasan minapolitan Kampung Lele Dimensi
Faktor pengungkit
Ekologi
1.
5.
ketersediaan instalasi pengelolaan limbah budidaya Tingkat pencemaran tanah Tingkat pencemaran air Tingkat penggunaan air tanah Pemanfaatan bahan kimia dalam kegiatan budidaya ikan lele Ketersediaan sumberdaya air
Ekonomi
6. 7. 8. 9.
Permintaan ikan lele Trend harga ikan lele kontribusi terhadap PAD Kelayakan usaha pengolahan ikan lele
Sosialbudaya
10. Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat pembudidaya 11. Pemahaman, kepedulian, dan tanggung jawab masyarakat terhadap sumberdaya 12. Frekuensi konflik masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
Teknologi
13. 14. 15. 16.
Hukum dan Kelembagaan
17. Ketersediaan peraturan perundana-undangan tentang pengelolaan sumberdaya perikanan 18. Intensitas kegiatan budidaya yang melanggar hokum 19. Keberadaan aparat penegak hukum di kawasan minapolitan
2. 3. 4.
Standarisasi mutu produk Teknologi budidaya ikan lele Teknologi transportasi dan adaptasi benih Managemen pemberian pakan
68
Secara operasional, keseluruhan faktor-faktor pengungkit ini memiliki keterkaitan dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Hal ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan minapolitan Kampung Lele secara berkelanjutan.
Namun mengingat cukup
banyak faktor pengungkit yang didapat, dan pasti ada yang lebih dominan yang akan menentukan keberlanjutan pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele, maka pada penelitian ini dilakukan analisis lanjutan dalam rangka menentukan faktor dominan penentu keberlanjutan pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele dengan menggunakan analisis prospektif. Untuk selanjutnya faktor dominan yang dihasilkan dari analisis prospektif tersebut digunakan sebagai basis dalam perumusan prioritas kebijakan dalam pengelolaan kawasan minapolitan secara berkelanjutan. Pada penelitian ini penentuan faktor dominan didasarkan pada faktor pengungkit yang mempunyai pengaruh besar, namun tingkat ketergantungannya rendah. Hasil analisis prospektif yang dilakukan pada penelitian ini, diperoleh lima faktor kunci (faktor penentu) keberhasilan pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele yaitu faktor-faktor yang mempunyai pengaruh yang besar dengan tingkat ketergantungan yang kecil (Bourgeois dan Yesus, 2004). Adapun factorfaktor kunci tersebut adalah (1) teknologi budidaya ikan lele, (2) ketersediaan instalasi pengelolaan limbah budidaya, (3) permintaan ikan lele, (4) tingkat pendidikan rata-rata masyarakat pembudidaya, dan (5) standarisasi mutu produk. Untuk lebih jelasnya hasil analisis prospektif ini dapat dilihat pada Gambar .. . Mengingat ke lima faktor tersebut di atas merupakan faktor kunci keberhasilan pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele, maka faktor-faktor tersebut perlu sangat diperhatikan dan ditindaklanjuti, seperti pada uraian di bawah ini. Teknologi budidaya ikan lele Teknologi budidaya ikan lele merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam budidaya ikan lele, karena dengan adanya teknologi yang tepat guna akan dihasilkan budidaya yang efektif, efisien dengan produktifitas yang tinggi dan dihasilkan ikan lele dengan mutu prima. Pada dasarnya ikan lele seperti ikan cat fish pada umumnya merupakan ikan yang sangat mudah dibudidaya karena
69
sifatnya yang mudah beradaptasi, dapat hidup dimanapun, bahkan dalam kondisi kualitas air yang sangat buruk sekalipun akibat tidak adanya oksigen terlarut, ikan lele masih dapat hidup dengan baik, oleh karenanya maka ikan lele bersifat kosmopolitan.
Karena sifat lele yang dapat hidup dimana-mana dengan
pemeliharaan yang sangat sederhana, mengakibatkan budidaya ikan lele yang dilakukan di kawasan minapolitan dilakukan seadanya relatif tanpa sentuhan teknologi. Padahal jika pada proses budidaya ini digunakan teknologi budidaya yang canggih akan didapat produktifitas yang tinggi
Ketersediaan instalasi pengelolaan limbah budidaya Budidaya ikan lele pada dasarnya merupakan budidaya yang tidak membutuhkan air dalam jumlah banyak. Bahkan berdasarkan hasil wawancara memperlihatkan bahwa selama melakukan budidaya pembesaran ikan lele, para pembudidaya yang ada di kawasan minapolitan Kampung Lele tidak melakukan pergantian air. Karenanya maka jika lele dipanen, maka air buangannya menjadi sangat tercemar bahan organic serta berbagai bahan lain yang mungkin masuk ke dalam kolam budidaya. Oleh karenanya maka air buangan ini tidak boleh dibuang begitu saja karena akan mengganggu ekosistem air penerimanya. Berdasarkan hal tersebut, maka keberadaan instalasi pengolah air limbah (IPAL) di kawasan minapolitan sangat diperlukan keberadaannya dalam rangka mempertahankan atau bahkan memperbaiki kualitas lingkungan ekosistem air penerima limbah cair kegiatan budidaya ikan lele.
Permintaan ikan lele Pada kegiatan agribisnis ataupun kegiatan bisnis lainnya, yang seringkali menjadi ujung tombak dari keberhasilan secara keseluruhan adalah produk yang dihasilkan dapat laku terjual. Adapun produk tersebut akan laku terjual jika ada permintaan.
Oleh karenanya maka salah satu hal sangat penting yang harus
diperhatikan pada pengelolaan minapolitan Kampung Lele adalah adanya permintaan terhadap ikan lele. Hal ini sesuai dengan pendapat (Reijntjes et al., 1999) bahwa kegiatan agribisnis akan keberlanjutan jika kualitas sumberdaya
70
alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem ditingkatkan sehingga tetap produktif untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat pembudidaya Secara umum tingkat pendidikan masyarakat pembudidaya ikan lele yang melakukan kegiatan di kawasan minapolitan Kampung Lele akan dapat berpengaruh pada pengelolaan kawasan tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan wawasan dan keterbukaan serta kreatifitas dari masyarakat yang pendidikannya lebih tinggi pada umumnya juga mempunyai wawasan dan keterbukaan serta kreatifitas lebih tinggi. Oleh karenanya maka masyarakat seperti ini akan lebih mudah menerima perubahan, termasuk perubahan untuk pengelolaan kawasan minapolitan yang akan membuat kawasan minapolitan menjadi berkelanjutan. Oleh karenanya maka dalam rangka menciptakan kawasan minapolitan Kampung Lele yang berkelanjutan, maka pendidikan masyarakat yang ada di dalamnya harus ditingkatkan. Salah satu dampak positif dari pendidikan masyarakat yang tinggi antara lain adalah akan dengan mudah akan menerima teknologi budidaya yang efektif dan efisien sehingga menurut Mosher (1981) serta FAO dan WHO (1992) dapat mempercepat pencapaian tujuan kegiatan agribisnis.
Standarisasi mutu produk Kegiatan agribisnis yang mampu menghasilkan produk dengan mutu sesuai yang diinginkan akan dapat menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi dibanding produk dengan mutu alakadarnya. Oleh karenanya maka produk yang memiliki standar sesuai dengan tuntutan pasar akan selalu laku terjual dan menguntungkan. Bahkan jika standar mutu produk tersebut merupakan standar mutu untuk keperluan ekspor, maka keuntungan yang akan di dapat akan lebih tinggi lagi. Selain hal tersebut jika kawasan minapolitan Kampung Lele mampu menghasilkan produk-produk dengan standar ekspor, maka bukan saja keuntungan ekonomi yang akan didapat, namun juga secara ekologi akan sangat menguntungkan, karena tuntutan dari negara importir terutama Negara-negara Eropa tidak hanya menuntut mutu produk, namun juga dalam pelaksanaan budidayanya harus sangat ramah lingkungan. Berdasarkan uraian tersebut maka
71
agar kawasan minapolitan Kampung Lele menjadi berkelanjutan maka standarisasi mutu produk harus benar-benar sangat diperhatikan. Selain parameter kunci, pada analisis prospektif juga diperoleh faktor penghubung yakni faktor yang mempunyai pengaruh yang besar namun juga ketergantungannya juga besar (Bourgeois dan Yesus, 2004). Adapun ke lima faktor pengungkit yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap keberhasilan pengelolaan
kawasan
minapolitan
Kampung
Lele,
namun
memiliki
ketergantungan pada faktor lainnya yang cukup besar. Mengingat kelima faktor pengungkit tersebut mempunyai pengaruh yang besar, maka jika kita menginginkan keberhasilan pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele, kelima faktor pengungkit tersebut juga harus diperhatikan dengan seksama. Adapun faktor-faktor tersebut adalah (1) tingkat pencemaran air, (2) ketersediaan sumberdaya air, (3) kelayakan usaha pengolahan ikan lele, (4) pemahaman, kepedulian, dan tanggung jawab masyarakat terhadap sumberdaya, dan (5) ketersediaan peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya perikanan (Gambar 21). Berdasarkan hasil analisis prospektif tersebut diatas, memperlihatkan bahwa hasil analisis prosfektif pada dasarnya telah sesuai dengan kondisi lapangan di lokasi tersebut, pada saat dilakukan penelitian. Ke lima faktor kunci tersebut
harus
benar-benar
diperhatikan
dalam pengembangan
kawasan
minapolitan Kampung Lele di masa mendatang. Hal ini diperlukan mengingat kondisi eksisting kawasan minapolitan Kampung Lele memperlihatkan kurang berkelanjutan, dan hanya dimensi ekonomi yang memperlihatkan status yang cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi lainnya masih ada dalam status yang kurang berkelanjutan.
Upaya-upaya untuk meningkatkan status berkelanjutan
kawasan minapolitan ini sangat perlu dilakukan mengingat kawasan minapolitan Kampung Lele dalam kondisi seperti ini saja sudah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada di dalamnya dan sudah mampu mengurangi urbanisasi dari Desa Telogorejo ”dan sekitarnya” ke kota-kota tujuan urbanisasi sepeti Jakarta, surabaya, Semarang serta berbagai kota besar yang merupakan lokasi urbanisasi.
72
14
1
6
2 13
10
5 9 11 17
8 7 34 16
15 12
19 18
Gambar 21. Pemetaan faktor pengungkit pada pengelolaan lingkungan kawasan minapolitan Kampung Lele Keterangan gambar: 1. Ketersediaan instalasi pengelolaan limbah budidaya Tingkat pencemaran tanah 2. Tingkat pencemaran air 3. Tingkat penggunaan air tanah 4. Pemanfaatan bahan kimia dalam kegiatan budidaya ikan lele 5. Ketersediaan sumberdaya air 6. 7. 8. 9.
Permintaan ikan lele Trend harga ikan lele kontribusi terhadap PAD Kelayakan usaha pengolahan ikan lele
73
10. Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat pembudidaya 11. Pemahaman, kepedulian, dan tanggung jawab masyarakat sumberdaya 12. Frekuensi konflik masyarakat dalam pengelolaan lingkungan 13. 14. 15. 16.
terhadap
Standarisasi mutu produk Teknologi budidaya ikan lele Teknologi transportasi dan adaptasi benih Managemen pemberian pakan
17. Ketersediaan peraturan perundana-undangan tentang pengelolaan sumberdaya perikanan 18. Intensitas kegiatan budidaya yang melanggar hokum 19. Keberadaan aparat penegak hukum di kawasan minapolitan
5.4. Prioritas Kebijakan Pengembangan Kawasan Minapolitan Berdasarkan hasil analisis MDS yang dilakukan pada penelitian ini diperoleh 19 buah faktor pengungkit dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknik dan hukum kelembagaan.
Ke lima belas faktor pengungkit
tersebut selanjutnya danalisis lagi dengan menggunakan analisis prospektif, sehingga diperoleh lima buah faktor kunci yang akan menentukan keberhasilan pengelolaan kawasan minapolitan ditambah dengan lima buah faktor penghubung yang juga mempunyai pengaruh yang besar. Berdasarkan faktor kunci dan faktor penghubung ini disusun prioritas kebijakan pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele Kabupaten Boyolali, yakni: 1. Dalam rangka meningkatkan produktifitas budidaya, keefisienan dan keefektipan proses budidaya, maka kegiatan budidaya di kawasan minapolitan harus mendapatkan sentuhan teknologi, terutama teknologi budidaya pembesaran ikan lele, sehingga ikan lele yang dipelihara tidak saja asal hidup dan asal ada untung, namun akan dihasilkan produktifitas yang tinggi dan ramah lingkungan. 2. Kawasan minapolitan harus membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal budidaya ikan lele untuk mengolah limbah cair yang dihasilkan dari proses budidaya dan dibuang pada saat dilakukan proses panen. Adanya pengolahan limbah cair yang dihasilkan dari budidaya
74
pembesaran ikan lele ini relatif akan menjaga kualitas air, sehingga tidak terjadi pencemaran air pada ekosistem air penerimanya 3. Pada pembangunan kawasan minapolitan harus dicari berbagai upaya agar permintaan terhadap ikan lele lele selalu tinggi. Untuk ini hal yang dapat dilakukan antara lain adalah melakukan pasar-pasar baru ikan lele baik di pasaran dalam negeri maupun pasaran luar negeri. Selain itu juga hendaknya dibuat inovasi-inovasi baru untuk meningkatkan nilai tambah ikan lele melalui produk-produk olahan dan sekaligus mencari pasar produk olahan ikan lele tersebut baik di luar maupun luar negeri, sehingga permintaan terhadap ikan lele hasil budidaya akan selalu tinggi 4. Dalam rangka mengembangkan kawasan minapolitan yang berkelanjutan, tingkat pendidikan rata-rata masyarakat pembudidaya hendaknya juga ditingkatkan, sehingga masyarakat yang ada di dalamnya akan lebih mudah diarahkan dan lebih mudah menerima teknologi baru untuk memperbaiki kondisi-kondisi (dari setiap dimensi) yang masih kurang berlanjut 5. Dalam kegiatan minapolitan, harus dibuat standar mutu produk, baik produk ikan hasil budidaya maupun standar mutu hasil olahannya, serta kalau memungkinkan juga standar dari kegiatan budidaya dan kegiatan proses pengolahan hasilnya; sehingga produk yang dihasilkan dapat bersaing baik di dalam maupun di luar negeri, dan kelayakan usahanya akan selalu masuk dalam kategori baik. 6. Masyarakat yang ada di kawasan minapolitan, hendaknya mempunyai pemahaman, kepedulian, dan tanggung jawab yang tinggi terhadap sumberdaya yang ada di kawasan minapolitan dan sekitarnya, sehingga mereka akan cebderung untuk menjaga sumberdaya dan lingkungan yang ada di kawasan minapolitan tersebut, 7. Semua pihak (pemerintah dan masyarakat) hendaknya selalu mencari atau menemukan inovasi-inovasi baru teknik budidaya ikan lele secara luas, sehingga akan didapatkan teknik budidaya ikan lele yang paling efisien dan efektif. Begitu pula halnya dalam meningkatkan nilai tambah dari ikan lele tersebut.
75
8. Di kawasan minapolitan hendaknya segera dibuat peraturan perundangundangan
tentang
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
berikut
sumberdaya lainnya yang terkait dengan kegiatan minapolitan, sehingga daya dukung lingkungan tidak terlampaui, lingkungan tetap terjaga, serta memunculkan rasa kebersamaan dan keadilan.