23
HASIL DAN PEMBAHASAN Habitat Ikan T. antoniae Habitat ikan T. antoniae yang diamati pada sembilan stasiun penelitian menunjukkan bahwa ikan ini menempati kolom air dekat dasar perairan di daerah litoral, dan umumnya di daerah terbuka pada perairan yang jernih. Habitat ikan ini juga memiliki substrat dasar yang beragam mulai dari substrat berpasir, kerikil sampai dengan batuan besar yang permukaannya diselimuti oleh alga (Lampiran 2). Selain itu ikan ini juga menempati habitat dasar yang tidak memiliki vegetasi sampai dengan yang bervegetasi jarang, tetapi lebih umum di habitat yang tidak bervegetasi. Penelitian ini juga menemukan bahwa ikan ini tidak melakukan aktivitas di habitat yang berlumpur dan perairan yang memiliki kecerahan rendah, serta perairan yang berarus seperti aliran-aliran sungai atau pada daerah-daerah inlet dan outlet danau. Berdasarkan pengamatan bawah air diketahui bahwa ikan ini di habitatnya hampir sepanjang hari melakukan aktivitas kawin. Jadi daerah litoral adalah habitat utama untuk pemijahan. Ikan T.antoniae di habitat litoral berasosiasi dengan ikan-ikan endemik lain dan juga dengan ikan-ikan bukan asli yang saat ini telah berkembang di danau. Ikan-ikan endemik yang tampak berasosiasi dengan T. antoniae di daerah litoral adalah T. sarasinorum, T. albolabiosus, T. abendanoni, T. opudi, T. obscura, T. prognatha, T. bonti, T. wahjui, Oryzias matanensis, Glossogobius matanensis, G. intermedius, Mugilogobius adeia, M. latifrons dan Dermogenys weberi. Sementara ikan-ikan bukan asli antara lain Channa striata, Oreochromis niloticus, O. mossambicus, Anabas testudineus,
Trichogaster pectoralis, Cyprinus carpio, Osphronemus
goramy, Lyposarcus pardalis, Monopterus albus, Serrasalmus sp. dan Amphilophus trimaculatus. Semua ikan endemik di Danau Matano memanfaatkan daerah litoral sebagai habitat mereka. Pengamatan bawah air memperlihatkan bahwa ikan ini paling sering terlihat berada bersama-sama dengan T. sarasinorum. Interaksi kedua spesies ini ditunjukkan oleh sifat T. sarasinorum yang diluar aktivitas memijahnya selalu
24
membuntuti pasangan T. antoniae yang sedang memijah untuk tujuan memakan telurtelur T. antoniae yang baru dilepaskan. Selain T. sarasinorum, G. matanensis juga terlihat melakukan predator telur pada T. antoniae. Sementara itu ikan-ikan bukan asli umumnya
menempati
daerah-daerah
dekat
permukiman
dan
daerah-daerah
bervegetasi. Tetapi jenis O. niloticus, O. mossambicus, C. carpio dan A. trimaculatus tersebar luas di daerah litoral. Beberapa jenis makro fauna dasar yang juga berasosiasi di habitat T. antoniae yaitu kelompok ketam Nautilothelphusa zimmeri, Parathelphusa pantherina, Syntripsa matannensis, udang-udang dari jenis Caridina sp., kerang-kerangan Tilomelania sp., dan Corbicula matanensis. Vegetasi yang berada di dasar perairan yaitu Ottelia mesenterium dan Ceratophylum demersum. Sementara vegetasi tepian danau didominasi oleh tumbuhan tambeua (Mirtacea sp) dan pandan air (Pandanus sp). Deskripsi karakter habitat T. antoniae dan komunitas ikan yang berada di Danau Matano disajikan pada Lampiran 3.
Hidrologi dan Lingkungan Fisik Kimiawi Perairan Curah hujan dan tinggi muka air danau Keadaan curah hujan dan tinggi muka air danau selama periode sampling disampaikan dalam Lampiran 4. Pola fluktuasi curah hujan harian dan keadaan muka air selama periode penelitian ditampilkan dalam bentuk grafik (Gambar 3). Nilai ratarata curah hujan harian sepanjang periode September 2010 – Agustus 2011 tertinggi terjadi pada bulan Maret 2011 (13,66 mm) dan terendah bulan Agustus 2010 (3,34 mm). Sementara itu nilai rata-rata fluktuasi tinggi muka air danau berkisar antara 319,00 dan 319,55 m dpl. Keadaan muka air terendah terjadi pada bulan Februari 2011 (319,00 m dpl) dan tertinggi pada bulan November 2010 (319,55). Jadi selisih tinggi muka air danau selama periode penelitian hanya 0,55 m. Pola curah hujan pada Gambar 3 menunjukkan dua puncak curah hujan harian wilayah selama periode sampling yaitu pada bulan Oktober – November 2010 dan Maret – April 2011. Curah
25
hujan rendah terjadi pada bulan Desember 2010 – Januari 2011 dan Juni – Agustus 2010. Selisih nilai rata-rata curah hujan harian wilayah 11,32 mm. Curah hujan dan tinggi muka air danau yang tampak pada Gambar 3 menunjukkan irama yang tidak harmoni terutama yang terjadi bulan April – Agustus 2011. Fluktuasi muka air danau yang tidak seiring dengan keadaan curah hujan ini menunjukkan bahwa fluktuasi muka air danau tidak dalam kondisi alami. Karena jika mengikuti kondisi alamiah seharusnya fluktuasi curah hujan dan kedudukan muka air
18.0 16.0 14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
Curah hujan
Tinggi muka air
319.60 319.50 319.40 319.30 319.20 319.10 319.00 318.90 318.80 318.70
Tinggi muka air (m dpl)
Curah hujan harian (mm)
danau memiliki bentuk yang relatif sama.
Bulan
Gambar 3 Keadaan curah hujan harian dan fluktuasi muka air Danau Matano periode September 2010-Agustus 2011. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa keadaan tinggi muka air di Danau Matano sengaja dipertahankan pada tinggi tertentu melalui pengaturan buka tutup pintu air dam dengan tujuan untuk menyimpan massa air. Pengaturan buka tutup pintu air dilakukan oleh pengelola dam yaitu PT. Inco. Massa air yang tersimpan di Danau Matano merupakan cadangan air untuk kebutuhan pembangkit listrik yang terdapat di outlet Danau Towuti. Pelepasan massa air yang tersimpan di Danau Matano dilakukan pada periode curah hujan rendah dan volume air di Danau Towuti berkurang.
26
Pengaturan muka air danau untuk pembangkit listrik dan atau untuk mengontrol banjir dikategorikan sebagai gangguan antropogenik utama dalam ekosistem akuatik danau (Richter et al. 1997; Coops et al. 2003). Penyebab terjadinya fluktuasi muka air bisa beragam; ada yang dipicu oleh dinamika hidrologi yang berhubungan dengan perubahan iklim, perubahan sistem tekanan atmosfir yang besar, atau yang paling sering terjadi adalah variasi musiman kondisi meteorologis (Hofmann et. al. 2008). Fluktuasi muka air juga merupakan hasil dari pemanfaatan sumber-sumber air oleh aktivitas antropogenik (Usmanova 2003). Sementara fluktuasi muka air yang dirangsang secara hidrologis adalah hasil dari perubahan simpanan air yang bergantung pada jumlah presipitasi dan evaporasi, ukuran dan karakteristik daerah tangkapan air, dan keseimbangan pada kondisi aliran masuk dan aliran keluar dari danau.
Keadaan lingkungan fisik kimiawi perairan Hasil pengukuran parameter kualitas perairan Danau Matano selama periode sampling menunjukkan dinamika dengan fluktuasi yang relatif sempit baik secara spasial maupun temporal. Secara umum kisaran nilai hasil pengukuran parameter lingkungan fisik kimiawi perairan Danau Matano adalah sebagai berikut: suhu 27,20 – 30,30 ˚C; oksigen terlarut 5,02 – 7,45 mg l-1; pH 8,32 – 8,8; padatan tersuspensi total 0,3 – 3,6 mg l-1; padatan terlarut total 80 – 145 mg l-1; dan transparansi 13 - 23 m. Nilai rata-rata hasil pengukuran disajikan pada Tabel 1. Sementara itu dinamika keadaan fisik kimiawi perairan secara spasial (antar stasiun sampling) dan temporal (antar waktu sampling) disajikan dalam Lampiran 5. Uji statistik menggunakan One-way Anova pada selang kepercayaan 95% dengan perangkat lunak MINITAB 14 menunjukkan bahwa nilai rata-rata parameter kualitas air memperlihatkan dinamika sebagai berikut: suhu perairan secara spasial maupun temporal menunjukkan adanya beda nyata antar stasiun sampling (P=0,000 < 0,05). Suhu terendah terdapat di stasiun Sungai Lawa (rata-rata 28,22 ˚C), dan tertinggi di stasiun Sungai Petea (rata-rata 29,83˚C). Nilai suhu ini lebih tinggi ± 0,7˚C jika dibandingkan dengan hasil pengukuran Haffner et al. (2001). Suhu
27
permukaan Danau Matano pada pagi hari (jam 09.00) berkisar antara 27,53˚C sampai 27,56˚C pada kedalaman 40 m, dan 26,61˚C di dasar perairan pada kedalaman 560 m. Suhu pada sore hari (pukul 15.00) adalah 29,06˚C di permukaan dan 27,59 ˚C pada kedalaman 20 m (Haffner et al. 2001). Berdasarkan data dalam penelitian ini, secara temporal suhu tertinggi terjadi pada bulan Juli 2011 (rata-rata 29,71˚C) dan terendah pada bulan September (rata-rata 28,50˚C). Secara spasial terjadi peningkatan suhu perairan pada periode curah hujan rendah (Desember 2010 –Januari 2011 dan JuniAgustus 2011). Hal ini menunjukkan bahwa periode musim berpengaruh terhadap fluktuasi suhu perairan.
Tabel 1 Parameter fisik kimiawi perairan Danau Matano Parameter Suhu (⁰C) Oksigen (mg l-1) pH Padatan tersuspensi total (mg l-1) Padatan terlarut total (mg l-1) Transparansi (m)
Rata-rata 29,12 6,18 8,52 1,11 111,94 18,49
Min 27,2 5,02 8,32 0,3 80,00 13,00
Maks 30,3 7,45 8,8 3,6 145,00 23,00
S.B 0,686 0,572 0,097 0,651 17,235 2,413
Oksigen terlarut secara spasial menunjukkan beda nyata yang kecil antar stasiun penelitian (P= 0,017 < 0,05). Rata-rata oksigen terlarut tinggi di stasiun S. Soluro (6,51 mg l-1) dan terendah di Stasiun Bubble Beach (5,82 mg l-1). Secara temporal rata-rata oksigen terlarut tidak berbeda nyata (P= 0,433 > 0,05), rata-rata oksigen terlarut paling rendah terjadi pada bulan Januari 2010 (5,78 mg l-1). Menurut Haffner et al. (2001), oksigen terlarut di permukaan hasil pengukuran di perairan tahun 1993 dan 1995 berkisar 6 – 8 mg l-1, sedangkan di dasar perairan pada kedalaman 560 m kandungan oksigen terlarut adalah 2,3 mg l-1. Derajat keasaman (pH) perairan secara spasial tidak berbeda nyata (P= 0,135 > 0,05). Nilai pH rata-rata antar stasiun penelitian berkisar antara pH 8,46 – 8,56. Tetapi secara temporal berbeda nyata (P= 0,019 < 0,05). Nilai rata-rata pH tertinggi 8,58 di bulan Januari 2011 dan nilai rata-rata pH terendah 8,44 di bulan April 2011.
28
Nilai rata-rata padatan tersuspensi total secara spasial tidak berbeda nyata (P = 0,175 > 0,05), nilai padatan tersuspensi total tertinggi di stasiun Salonsa (1,60 mg l-1), dan terendah di stasiun Tanah Merah (0,85 mg l-1). Selain itu secara temporal terdapat perbedaan kecil (P= 0,004 < 0,005), nilai padatan tersuspensi total tertinggi terjadi pada bulan September 2010 (1,57 mg l-1) dan terendah pada bulan Juni 2011 (0,75 mg l-1). Rata-rata total padatan terlarut secara spasial berbeda nyata (P= 0,01 < 0,05), nilai rata-rata padatan terlarut tertinggi 126,00 mg l-1 terdapat di stasiun Sungai Soluro dan terendah 100,33 di stasiun Bubble Beach. Secara temporal, rata-rata padatan terlarut total tidak berbeda nyata (P= 0,292 > 0,05), nilai tertinggi 120,11 mg l-1 terjadi pada bulan Agustus 2011, dan terendah 102,00 mg l-1 pada bulan Februari 2011. Nilai rata-rata transparansi perairan secara spasial maupun temporal menunjukkan beda nyata (P= 0,000 < 0,05). Secara spasial, transparansi perairan yang mengekspresikan jarak pandang pengamat di dalam air terhadap obyek berwarna putih rata-rata memiliki nilai jarak pandang terjauh 20,08 m berada di stasiun Otuno, sedangkan jarak pandang terendah 15,67 m di stasiun Sungai Petea. Secara temporal rata-rata jarak pandang terjauh 20,56 m terjadi pada bulan Desember 2010 dan terendah 16,11 m terjadi pada bulan Mei 2011. Kondisi padatan terlarut yang tinggi di stasiun sungai Soluro diduga sebagai penyebab rendahnya jumlah ikan yang tertangkap di stasiun tersebut. Berg & Northcote (1985) menyatakan bahwa perairan yang memiliki konsentrasi TSS tinggi mempunyai jumlah ikan sedikit. Selain itu keadaan sedimen yang tinggi di perairan akan mengurangi cahaya masuk dan membatasi produksi primer perairan, mengurangi pemangsaan, menghambat ruaya, dan menyebabkan ikan menghindari masuk ke dalam perairan yang keruh. Analisis kelompok berdasarkan tingkat kesamaan parameter fisik kimiawi dan jumlah ikan pada tingkat kesamaan 95,00% menunjukkan bahwa tidak terdapat pengelompokkan dari stasiun-stasiun yang diteliti. Ini berarti bahwa Danau Matano memiliki karakter fisik kimiawi perairan yang relatif sama (Lampiran 5). Bubble
29
Beach dan Otuno memiliki tingkat transparansi yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Tingginya nilai transparansi perairan di kedua stasiun ini disebabkan letak kedua stasiun ini di daerah teluk yang relatif terlindung. Selain itu di pinggiran tepian danau terdapat tumbuhan tambeua (Mirtacea sp) dan pandan air (Pandanus sp) yang padat. Tumbuhan ini mempunyai struktur perakaran seperti mangrove di daerah pantai, sehingga keberadaan vegetasi ini secara alamiah berfungsi sebagai benteng di perairan tepian danau untuk penyaring bahan masukan yang datang dari daratan serta melindungi tepian danau dari abrasi. Dendrogram
Tingkat kesamaan (%)
Single Linkage; Correlation Coefficient Distance
99,85
99,90
99,95
100,00 aw .S L
a
Pa
li a h o h ea ns ra ac Pa lur et o e e l o u P b S M ot Sa S. S. ble W ah ai t b n . P an Ta Bu
ku
P
O
no tu
Stasiun penelitian
Gambar 4 Dendrogram pengelompokan stasiun penelitian berdasarkan parameter fisik kimiawi perairan
Distribusi dan Kelas Ukuran Ikan T. antoniae Distribusi spasial Ikan T. antoniae terdistribusi luas di daerah litoral Danau Matano. Hasil sampling yang dilakukan di sembilan stasiun penelitian menunjukkan bahwa ikan ini terdapat pada semua stasiun dengan kelimpahan berbeda. Selama periode sampling
30
September 2010 – Agustus 2011 berhasil dikoleksi 2707 ekor ikan yang terdiri dari 1437 ekor (53,08%) ikan jantan dan 1270 ekor (46,92%) ikan betina. Secara spasial jumlah ikan mulai dari stasiun dengan jumlah koleksi tertinggi sampai dengan jumlah terendah adalah sebagai berikut: stasiun Otuno 438 ekor (16,18%), Bubble Beach 380 ekor (14,04%), Paku 335 ekor (12,38%), Pantai Salonsa 314 ekor (11,60%), Pulau Wotu Pali 277 ekor (10,23%), Tanah Merah 265 ekor (9,79%), S. Lawa 246 ekor
Jumlah ikan (ekor)
(9,09%), S. Soluro 242 ekor (8,94%), dan S. Petea 210 (7,76%) (Gambar 5).
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
N = 2707
Stasiun penelitian
Gambar 5
Histogran distribusi spasial ikan T. antoniae menurut stasiun penelitian.
Uji perbandingan rata-rata kelimpahan antar stasiun penelitian meggunakan perangkat lunak Minitab 14 menunjukkan beda nyata rata-rata kelimpahan antar stasiun pelitian (P < 0,05) (Tabel 2). Hasil sampling juga menemukan ukuran ikan yang tertangkap berkisar antara 32,76 mm – 85,67 mm dan jumlahnya bervariasi menurut jenis kelamin maupun kelas ukuran (Gambar 6). Ikan jantan umumnya didominasi oleh ukuran 41,58 mm – 54,80 mm (78,98%), sementara ikan betina didominasi oleh ukuran 37,17 mm – 54,80 mm (87,80%).
31
Tabel 2 Nilai rata-rata dan simpangan baku jumlah ikan menurut stasiun penelitian Stasiun Sungai Lawa Paku Pulau Wotu Pali Bubble Beach Pantai Salonsa Tanah Merah Otuno Sungai Petea Sungai Soluro
Rata-rata a 20,500 bc 27,197 ac 23,083 b 31,667 a 26,167 a 22,083 d 36,500 a 17,500 a 20,167
SB 4,661 3,260 3,260 3,473 3,563 4,166 3,451 3,119 3,099
Catatan: huruf-huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% (P < 0,05). SB= Simpangan baku
Ikan-ikan berukuran kurang dari 32,76 mm tidak ditemukan dalam sampel hasil tangkapan. Hal ini diduga karena ikan-ikan ukuran kecil tersebut memiliki habitat spesifik yaitu di perairan yang bervegetasi padat dan ternaungi sehingga sulit tertangkap. Demikian juga dengan ikan-ikan yang berukuran diatas 54,80 mm secara alami terdapat dalam jumlah sedikit di habitat, dan mereka mendiami tempat yang
Jumlah ikan (%)
relatif lebih dalam. 0.45 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00
Jantan Betina
Kelas ukuran panjang baku (mm)
Gambar 6 Sebaran kelas ukuran panjang baku T. antoniae jantan dan betina
32
Distribusi ukuran panjang baku secara spasial bervariasi menurut jumlah baik pada ikan jantan maupun ikan betina. Ditemukan bahwa ikan jantan di stasiun penelitian Otuno, Bubble Beach dan Pantai Salonsa memiliki kisaran ukuran panjang baku yang lebar (Gambar 7). Sementara kisaran ukuran PB yang lebar untuk ikan betina terdapat di Stasiun Bubble Beach dan Pantai Salonsa (Gambar 8). Penelitian ini juga menemukan bahwa PB rata-rata ikan jantan lebih panjang dari pada ikan betina pada semua stasiun penelitian. Gambar ini menunjukkan bahwa PB rata-rata tertinggi ikan jantan berada di Otuno (50,18 mm), dan terendah di Pulau Wotu Pali (46,62 mm). Sementara PB rata-rata tertinggi ikan betina berada di Pantai Salonsa (49,12 mm) dan terendah di Sungai Petea (43,84 mm). Melalui uji perbandingan rata-rata PB ditemukan beda nyata antar stasiun penelitian (P < 0,05), baik pada ikan jantan maupun ikan betina (Lampiran 6). Perbedaan rata-rata PB ini terjadi pada stasiun-stasiun penelitian tertentu. Misalnya ikan jantan pada stasiun Pulau Wotu Pali, Tanah Merah dan Otuno secara statistik menunjukkan beda nyata antar lokasi. Sementara PB rata-rata di stasiun Sungai Lawa, Paku, Bubble Beach, Pantai Salonsa, Tanah Merah dan Sungai Soluro tidak berbeda nyata. Hasil analisis statistik untuk ikan betina di stasiun Sungai Lawa, Paku, Pulau Wotu Pali, Bubble Beach dan Sungai Soluro menunjukkan adanya beda rata-rata PB. Tetapi stasiun Pantai Salonsa, Tanah Merah dan Sungai Petea menunjukkan beda nyata antar lokasi. Jumlah ikan yang tertangkap di stasiun Otuno dan Buble Beach yang relatif tinggi daripada stasiun lainnya diduga berkaitan dengan kejernihan air di kedua stasiun ini yang tinggi dan substrat dasar yang bervegetasi. Kejernihan air yang tinggi di kedua stasiun ini diduga karena lokasi ini berbentuk teluk sehingga perairannya relatif tenang dibandingkan dengan stasiun lainnya. Selain itu peran vegetasi di tepian danau seperti tambeua (Mirtacea sp.) dan pandan air (Pandanus sp.) yang padat membentuk habitat perairan yang tenang. Tumbuhan tambeua dan pandan air ini memiliki struktur perakaran seperti vegetasi mangrove di perairan pantai. Gabungan antara substrat dasar perairan yang bervegetasi dan perairan tepian yang ditumbuhi oleh vegetasi tambeua dan pandan air ini diduga sebagai tempat yang nyaman untuk pengasuhan anak-anak ikan.
33
Gambar 7 Distribusi spasial T. antoniae jantan berdasarkan stasiun penelitian dan kelas ukuran di Danau Matano
34
Gambar 8 Distribusi spasial T. antoniae betina berdasarkan stasiun penelitian dan kelas ukuran di Danau Matano.
35
Keberadaan vegetasi tambeua dan pandan air selain sebagai tempat berlindung anak-anak ikan, juga berperan sebagai penyedia makanan bagi anak-anak ikan. Grenouillet et al. (2002)
menyatakan bahwa vegetasi di tepian perairan
berfungsi sebagai tempat penyedia makanan dan perlindungan terhadap predasi. Berkaitan dengan temuan ukuran PB rata-rata ikan jantan yang lebih besar daripada PB rata-rata ikan betina ini mempertegas bahwa ikan ini memiliki dimorfisme seksual. Beberapa ikan yang dilaporkan memiliki perbedaan ukuran tubuh secara seksual antara lain seperti yang ditemukan pada ikan rainbow Sulawesi T. celebensis dan ikan bonti-bonti Paratherina striata Aurich yang hidup di danau Towuti (Nasution 2004; Nasution 2008) serta ikan pelangi Arfak Melanotaenia arfakensis Allen dari Manokwari (Manangkalangi 2009) dan ikan pelangi merah (Glossolepis incisus) dari danau Sentani (Siby 2009).
Distribusi temporal Secara temporal jumlah ikan T. antoniae tertinggi terjadi pada bulan November dan Juli, dan terendah terjadi pada bulan Oktober dan Desember (Gambar 9 dan 10). Merujuk pada Gambar 8 dan 9 terlihat bahwa jumlah ikan secara temporal berfluktuasi sempit dan tampak terdistribusi merata pada semua periode bulan. Berdasarkan jenis kelamin tampak bahwa jumlah ikan jantan selalu dominan daripada ikan betina. Hasil uji rata-rata jumlah ikan antar waktu sampling menunjukkan tidak terdapat perbedaan jumlah ikan antar waktu sampling (P > 0,05) Secara temporal ukuran PB rata-rata ikan jantan berbeda nyata menurut waktu sampling (P=0,024 < 0,05). Sementara PB rata-rata ikan betina tidak berbeda nyata (P=0,38 > 0,05). Ikan jantan yang dikoleksi pada bulan Desember 2010 dan Mei 2011 memiliki ukuran PB rata-rata yang lebih besar daripada PB rata-rata ikan yang dikoleksi pada bulan Juni 2011 (Lampiran 7). Fenomena ini diduga berkaitan dengan tingkah laku pergerakan ikan
dewasa yang berukuran besar lebih
terkonsentrasi di dekat tepian danau pada saat curah hujan dan muka air danau rendah. Pada kondisi ini luasan daerah litoral menjadi sempit, sehingga ikan-ikan besar lebih mudah tertangkap. Sebaliknya saat curah hujan tinggi dan muka air danau juga tinggi, pelataran litoral menjadi lebih luas dan ikan-ikan lebih menyebar.
36
Gambar 9 Distribusi temporal T. antoniae jantan berdasarkan kelas ukuran dan waktu sampling di Danau Matano
37
Gambar 10 Distribusi temporal T. antoniae betina berdasarkan kelas ukuran dan waktu sampling di Danau Matano
38
Akibatnya ikan-ikan yang berukuran lebih besar menjadi lebih sulit tertangkap. Sehubungan dengan fenomena hasil tangkapan di atas, Munira et al. (2010) menyatakan bahwa ikan dewasa (berukuran besar) memiliki ruaya yang luas akan lebih sulit tertangkap dibandingkan dengan ikan-ikan kecil yang memiliki luas wilayah ruaya sempit. Hasil studi ini juga memperlihatkan bahwa ikan jantan pada semua waktu sampling memiliki ukuran PB rata-rata lebih besar daripada ikan betina. Kisaran ukuran ikan jantan yang adalah 32,76-85,58 mm, sedangkan ikan betina 36,17-83,25 mm. Selain itu, ditemukan pula bahwa ikan yang dikoleksi dalam penelitian ini memiliki selang kelas ukuran yang lebih lebar daripada studi-studi sebelumnya. Misalnya, kisaran panjang baku T. antoniae jantan 47,79 - 50,47 mm (McKinnon et al. 2000); kisaran panjang total jantan 64 – 120 mm (panjang baku ≈ 48 – 90 mm) dan betina 64 – 106 (panjang baku ≈ 48 – 87 mm) (Sumassetiyadi 2003); panjang baku jantan 42,60 - 61,86 mm dan betina 37,63 – 61,28 mm (Nilawati & Tantu 2007). Berdasarkan data di atas tampak bahwa ikan T. antoniae yang berukuran lebih kecil sudah memasuki daerah pemijahan; dengan perkataan lain ikan ini lebih cepat matang kelamin. Hal ini didukung oleh pengamatan bawah air yang menunjukkan bahwa ikan-ikan kecil tersebut juga melakukan aktivitas kawin.
Hubungan Panjang-Berat dan Pertumbuhan T. antoniae Hubungan Panjang-Berat Analisis hubungan panjang-berat ikan T. antoniae dilakukan secara terpisah antara individu jantan dan betina. Pemisahan dilakukan karena ikan ini telah diketahui memiliki dimorfisme seksual. Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang-berat secara umum diperoleh model hubungan sebagai berikut: Jantan W = 0,000008 L 3,210, dan Betina W = 0,00003 L 2,915 Nilai eksponen b untuk panjang dan berat pada individu jantan didapatkan nilai 3,210 dan untuk betina 2,915. Uji-t terhadap nilai b dengan konstanta 3 didapatkan
39
pola pertumbuhan dari kedua jenis kelamin bersifat allometrik, atau pertambahan panjang tidak seimbang. Nilai b < 3 berarti pertambahan berat tidak secepat pertambahan panjang, sedangkan nilai b > 3 berarti pertambahan panjang tidak secepat pertambahan berat. Nilai b yang lebih besar pada ikan jantan menunjukkan bahwa T. antoniae lebih montok dari ikan betina. Secara spasial model hubungan panjang-berat dan pola pertumbuhan T. antoniae bervariasi, baik menurut jenis kelamin yang sama maupun jenis kelamin berbeda sebagaimana disajikan pada Lampiran 8. Selanjutnya dari tabel ini terlihat hasil analisis menunjukkan nilai eksponen b yang berkisar antara 2,713 – 3,335, dan nilai koefisien r berkisar antara 0,941 – 0,989. Gambar regresi dari model hubungan panjang-berat dari masing-masing jenis kelamin disajikan dalam Gambar 11. Uji-t terhadap nilai b dengan konstanta 3 menunjukkan pola pertumbuhan ikan jantan di setiap stasiun penelitian umumnya allometrik, kecuali di stasiun Paku (pola pertumbuhan isometrik). Pola pertumbuhan ikan betina di enam stasiun penelitian (S. Lawa, Paku, Bubble Beach, Pantai Salonsa dan S. Petea) adalah isometrik, sedangkan di tiga stasiun lainnya (P. Wotu Pali, Tanah Merah dan Otuno) adalah allometrik.
Gambar 11 Hubungan panjang-berat T antoniae di Danau Matano: (a) jantan dan (b) betina
40
Nilai b dari model hubungan panjang berat ikan jantan T. antoniae selalu lebih besar daripada nilai b ikan betina (Lampiran 8). Pola yang sama juga dilaporkan oleh Siby (2009) untuk ikan pelangi merah (Glossolepis incisus).
Faktor kondisi Hasil analisis faktor kondisi relatif (FK) ikan T. antoniae jantan dan betina didapatkan nilai rata-rata FK masing-masing 1,032 (SE=0,109, N=1437) dan 1,006 (SE=0,212, N=1270). Nilai FK ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata FK individu betina jauh lebih besar daripada individu jantan. Dimorfisme pada T. antoniae, dimana ikan betina memiliki ukuran kecil diduga sebagai penyebab tingginya nilai FK betina daripada FK ikan jantan. Effendie (2002) menyatakan bahwa ikan yang berukuran kecil mempunya FK yang tinggi, kemudian akan menurun ketika ikan bertambah besar. Peningkatan nilai FK terjadi pada waktu terjadi perkembangan gonad. Tingginaya nilai FK pada T. antoniae ini berkaitan dengan status gonad ikan betina yang didominasi oleh TKG IV pada semua stasiun penelitian. Sementara itu secara spasial nilai rata-rata FK untuk individu jantan dengan nilai FK tertinggi ditemukan di stasiun Bubble Beach 1,044 (SE=0,107, N=204), dan nilai terendah terdapat di stasiun Sungai Lawa 1,012 (SE=0,095, N=135). Individu betina dengan nilai FK tertinggi ditemukan di stasiun Salonsa 1,022 (SE=0,212, N=147), dan terendah di stasiun Sungai Lawa 0,955 (SE=0,232, N=111) (Gambar 12). Hasil uji statistik One-way ANOVA terhadap nilai FK menunjukkan bahwa tidak terdapat beda nyata rata-rata FK menurut stasiun sampling baik pada individu jantan maupun betina (P>0,05). Tampak pula adanya pola fluktuasi yang sinkron antara nilai-nilai FK jantan dan betina menurut lokasi, dan juga adanya kecenderungan peningkatan dan penurunan yang sama. Pola ini diduga berkaitan dengan waktu pemijahan. Secara keseluruhan nilai FK ikan betina memiliki kisaran yang lebih lebar daripada ikan jantan. Data menunjukkan kisaran nilai FK betina 0,820 -1,481, dan jantan 0,944 – 1,117. Sementara Sumassetyadi (2003) menemukan kisaran FK ikan
41
betina yang lebih relatif lebih sempit yaitu 0,90 – 1,20 daripada ikan jantan 0,85 – 1,19). Perbedaan lebih disebabkan adanya perbedaan ukuran sampel yang tertangkap akibat penggunaan alat tangkap yang berbeda selektivitasnya.
Gambar 12
Nilai rata-rata faktor kondisi relatif (FK) ikan T. antoniae jantan dan betina menurut stasiun sampling
Temuan ini berbeda dengan hasil temuan Sumassetyadi (2003) yaitu kisaran FK ikan betina lebih besar (0,90 – 1,20) daripada ikan jantan 0,85 – 1,19). Perbedaan lebih disebabkan adanya perbedaan ukuran sampel yang tertangkap akibat penggunaan alat tangkap yang berbeda selektivitasnya.
Nasution (2004) yang
mempelajari ikan rainbow celebensis T. celebensis dari Danau Towuti melaporkan bahwa FK ikan jantan lebih kecil daripada FK ikan betina. Hal yang sama juga ditemukan pada ikan pelangi arfak dari Manokwari (Manangkalangi 2009) dan ikan pelangi merah dari Danau Sentani (Siby 2009).
42
Secara temporal terdapat perbedaan nyata nilai rata-rata FK antar waktu sampling menurut jenis kelamin (P<0,05). Nilai FK individu jantan berfluktuasi menurut bulan dengan nilai FK tertinggi terjadi pada bulan Maret 2011, sedangkan nilai FK terendah terjadi pada bulan Desember 2010 dan Agustus 2011. Individu betina mempunyai nilai FK yang bervariasi menurut bulan dengan fluktuasi lebih lebar daripada individu jantan. FK ikan betina tertinggi terjadi pada bulan April dan terendah Mei (Gambar 13). Tingginya FK pada bulan Maret sampai dengan April ini tampaknya berkaitan dengan periode musim hujan; bulan Maret dan April adalah puncak curah hujan tinggi di wilayah Danau Matano. Saat curah hujan tinggi ini diduga ketersediaan makanan di habitat tinggi, dan ikan-ikan mengumpulkan energi untuk membangun biomassa untuk kesiapan bereproduksi maupun menghadapi kondisi perubahan lingkungan pada memasuki musim panas. Sementara nilai FK terendah yang terjadi pada bulan Agustus, Desember dan Mei adalah periode ketika curah hujan rendah. Keadaan ini diduga berkaitan dengan rendahnya ketersediaan makanan di habitat. Ikan T. celebensis dari Danau Towuti mencapai FK tertinggi pada bulan November (Nasution 2004); ikan pelangi merah pada bulan Desember (Siby 2009); ikan pelangi Arfak pada bulan Juni-Agustus dan Juli-September (Manangkalangi, 2009). Ketiga hasil penelitian ini mengaitkan peningkatan FK dengan pemijahan. Le Cren (1951) menyatakan bahwa FK menentukan periode ikan membangun lebih banyak biomassa didalam tubuhnya dan memungkinkan menentukan perubahan musiman kondisi fisiologis sehubungan dengan umur, jenis kelamin, dan habitat berbeda. Menurut Ricker (1975), kondisi dalam istilah energetika bisa didefinisikan sebagai banyaknya energi yang tersedia bagi individu yang mungkin dialokasikan untuk berbagai fungsi hidup termasuk reproduksi, mencari makan dan pertahanan musim dingin. Schmitt & Dethloff (2000) menyatakan bahwa faktor kondisi adalah respon tingkat organisme, dengan faktor-faktor seperti status nutrisi, pengaruh patogen dan paparan bahan kimia toksik yang menyebabkan berat ikan bertambah atau berkurang dari kondisi normal. Selain itu, faktor kondisi mencerminkan status fisiologi ikan dalam hubungannya dengan kesejahteraannya (Lizama & Ambrosio.
43
2002), dan mencerminkan kandungan lemak atau jumlah energi yang dimiliki oleh individu (Bolger & Connolly 1989).
Gambar 13 Nilai rata-rata faktor kondisi relatif (FK) ikan T. antoniae jantan dan betina menurut bulan sampling Faktor kondisi bisa bervariasi baik dalam arah di luar kisaran normal sebagai respon terhadap paparan bahan kimia. Penelitian lain menunjukkan bahwa faktor kondisi meningkat pada Catostomus commersoni dan Lepomis auritus di lokasilokasi yang tercemar oleh limbah bubur kertas (Adams et al. 1993). Nutrisi, penyakit dan kontaminan sangat konsisten berpengaruh terhadap kondisi ikan. Misalnya nutrisi yang tidak cukup bisa menyebabkan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan
44
dengan demikian mengubah faktor kondisi. Dengan demikian kejadian penyakit atau rendahnya sumber daya makanan bisa tampak pada rendahnya faktor kondisi.
Pertumbuhan ikan T. antoniae Analisis pertumbuhan dan umur ikan T. antoniae didasarkan pada kelompok ukuran panjang baku (PB). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan jantan yang dikoleksi pada setiap bulan umumnya memiliki lebih dari satu kelompok umur (kohort), kecuali ikan-ikan yang tertangkap pada bulan Maret, Juni dan Agustus hanya memiliki satu kelompok umur (Tabel 3). Pergeseran kelompok ukuran pada bulan-bulan sampling yang berdekatan dari kelompok ukuran kecil menjadi kelompok ukuran yang lebih besar pada bulan berikutnya, serta munculnya kelompok ukuran baru, menunjukkan adanya generasi yang berbeda yaitu kelompok ikan muda dan dewasa. Perbedaan ukuran ini menunjukkan terjadinya pertumbuhan dan adanya penambahan baru. Dalam analisis pertumbuhan ini dipisahkan antara antara ikan jantan dan betina. Hasil analisis pertumbuhan pada ikan jantan menunjukkan terdapat dua kelompok umur ikan pada bulan September yaitu kelompok umur 1 dengan rata-rata PB 46,18 mm dan umur 2 dengan rata-rata PB 60,23 mm. Kedua kelompok umur ini diduga terus tumbuh hingga bulan Januari 2011. Dugaan ini didasarkan pada hasil analisis yang menunjukkan adanya peningkatan ukuran PB rata-rata dari bulan-bulan sebelumnya ke bulan-bulan berikutnya. Selain itu munculnya kelompok ukuran kecil yang baru menunjukkan terjadinya penambahan baru kedalam populasi. Pola ini menunjukkan bahwa ikan ini memijah sepanjang tahun. Secara umum terdapat pola munculnya kelompok umur ikan muda yang terekspresi pada bulan November, Februari, April dan Juni yang diduga sebagai kelompok ikan yang berasal dari pemijahan dua atau tiga bulan sebelumnya.
45
Tabel 3
Bulan sampling Sep ‟10 Okt ‟10 Nov ‟10 Des ‟10 Jan ‟11 Feb ‟11 Mar ‟11 Apr ‟11 Mei ‟11 Jun ‟11 Jul ‟11 Agu ‟11
Kelompok umur, rata-rata ukuran PB, simpangan baku, populasi dan indeks pemisah (SI) dari individu T. antoniae jantan berdasarkan bulan sampling Kelompok umur 1 2 1 2 1 2 3 1 2 1 2 3 1 2 1 1 2 1 2 1 1 2 1
Rata-rata PB (mm) 46,18 60,23 47,20 69,55 45,87 58,92 78,35 47,49 68,50 47,14 64,75 79,05 46,46 71,49 48,84 45,47 52,02 47,05 72,70 46,47 48,65 69,22 48,54
SB 4,460 10,340 4,720 5,100 3,840 5490 3,030 4,090 9,410 4,640 2,21 3,620 4,590 5,90 6,720 3,210 12,250 5,740 7,660 4,750 4,210 8,560 6,970
Jumlah populasi 91 16 103 9 127 7 6 98 11 117 3 3 108 5 122 80 39 104 14 113 131 3 127
Indeks pemisah (SI) na 1,900 na 4,550 na 2,800 4,560 na 3,110 na 5,140 49,10 na 4,780 na na 0,850 na 3,830 na na 3,220 na
Keterangan: SB= Simpangan baku; na= tidak dianalisis Pola yang sama juga terjadi pada pada ikan T. antoniae betina (Tabel 4 dan Lampiran 10) yang dapat dilihat dari adanya pergeseran ukuran rata-rata PB dari bulan sebelumnya ke bulan berikutnya, seperti pola yang ditunjukkan pada periode bulan September - Oktober 2010 (kelompok umur dengan rata-rata ukuran PB 44,98 mm bergeser menjadi 46,98 mm). Pola pergeseran ini terjadi pada periode bulanbulan berikutnya.
46
Tabel 4 Kelompok umur , rata-rata ukuran PB, simpangan baku, populasi dan indeks pemisah (SI) dari individu T. antoniae betina berdasarkan bulan sampling Bulan sampling Sep ‟10 Okt ‟10 Nov ‟10 Des ‟10 Jan ‟11 Feb ‟11 Mar ‟11 Apr ‟11 Mei ‟11 Jun ‟11 Jul ‟11 Agu ‟11
Kelompok umur 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1
Rata-rata PB (mm) 44,98 46,98 45,07 46,11 46,35 41,60 50,68 46,40 46,42 45,88 45,75 46,56 45,37
SB 5,790 5,810 4,740 5,710 5,520 2,400 6,550 6,920 6,550 6,150 5,290 6,100 5,330
Jumlah populasi 97 99 116 96 109 51 54 105 109 109 99 118 108
Indeks pemisah (SI) n.a n.a n.a n.a n.a n.a 2,030 n.a n.a n.a n.a n.a n.a
Keterangan: SB= Simpangan baku; n.a= tidak dianalisis Pada bulan Februari terdapat dua kelompok umur yaitu kelompok umur 1 dengan rata-rata PB 41,60 mm (diduga sebagai generasi baru) dan kelompok umur 2 dengan rata-rata PB 50,68 kelompok umur yang berkembang dari bulan-bulan sebelumnya. Fenomena munculnya kelompok umur dengan ukuran rata-rata lebih kecil dari bulan-bulan sebelumnya diduga sebagai indikasi masuknya kelompok generasi baru ke dalam arena pemijahan di daerah litoral. Parameter pertumbuhan ikan T. antoniae dianalisis menggunakan metode ELEFAN I yang tersedia dalam perangkat lunak FiSAT II. Analisis pertumbuhan berdasarkan jenis kelamin yang diekspresikan dalam bentuk kurva pertumbuhan. Gambar 14 menunjukkan bahwa kelompok umur baru dari populasi T. antoniae jantan maupun betina terjadi antara Maret-April. Jika dilihat dari periode musim maka tampak bahwa periode tersebut adalah periode puncak curah hujan. Analisis parameter pertumbuhan menurut jenis kelamin didapatkan perkiraan T. antoniae jantan mencapai panjang infinity (L∞) 87,64 mm pada tahun ke-8. Masa pertumbuhan yang signifikan terjadi pada tahun pertama hingga tahun ke-3, kemudian melambat hingga mencapai infinity. Hasil analisis ini juga mendapatkan nilai koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,36 dan to = -0,11; sedangkan pada ikan
47
betina didapatkan nilai panjang infinity (L∞) 85,43 mm yang dicapai pada tahun keenam dan nilai koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,54 dan to = -0,08.
Gambar 14 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan T. antoniae jantan dan betina berdasarkan data frekuensi panjang Nilai koefisien pertumbuhan betina yang lebih besar daripada ikan jantan menunjukkan bahwa ikan betina akan mencapai panjang maksimum dalam waktu yang lebih cepat daripada ikan jantan (Gambar 14). Panjang baku (PB) maksimum hasil pengukuran untuk ikan jantan dan betina masing-masing 85,58 mm dan 83,25 mm. Nilai ini masih berada di bawah nilai panjang infinity. Berdasarkan parameter pertumbuhan yang telah didapatkan ini dapat dibangun bentuk persamaan pertumbuhan menurut jenis kelamin ikan T. antoniae yaitu Lt = 87,64 (1-e-0,36(t-0,11)) untuk ikan jantan dan Lt = 85,43(1-e-0,54(t-0,08)) untuk ikan betina.
48
Nasution (2007) menemukan bahwa ikan rainbow selebensis dari Danau Towuti mempunyai panjang infinity (L∞) 11,90 cm, sementara panjang maksimal ikan jantan dan betina yang ditemukan masing-masing 10,32 mm dan 9,46 mm. Nasution (2008) juga menemukan ikan bonti-bonti (Paratherina striata Aurich) jantan memiliki panjang infinity (L∞) 20,05 cm, sementara panjang maksimum yang ditemukan 19,78 cm. Ikan betina bonti-bonti infinity (L∞) 20,45 cm, sementara panjang maksimum 18,33 cm. Kedua jenis ikan tersebut juga mempunyai ikan betina yang relatif lebih kecil dari ikan jantan.
Reproduksi Nisbah kelamin Selama periode September 2010 sampai dengan Agustus 2011, jumlah individu jantan yang dikoleksi 1437 ekor (53,08%), dan individu betina 1270 ekor (46,92%). Pendekatan uji perbandingan kelamin menggunakan „Chi-square test‟ pada taraf nyata 0,05, menunjukkan komposisi nisbah (jantan:betina) yang tidak seimbang 1 : 1,131 (χ²
table
< χ²
hitung).
Secara spasial umumnya nisbah kelamin menunjukkan
keadaan seimbang 1 : 1 pada hampir semua stasiun penelitian, kecuali di stasiun Otuno (hasil uji menunjukkan keadaan tidak seimbang 1,258:1 (χ²
table
< χ²= 5,708)
(Tabel 5). Tabel 5 Variasi spasial nisbah kelamin T. antoniae di Danau Matano Jumlah ikan
Stasiun sampling S. Lawa Paku P. Wotu Pali Bubble Beach Pantai Salonsa Tanah Merah Otuno S. Petea S. Soluro
Jantan (ekor) 135 172 144 204 167 134 244 111 126
(%) 54,88 51,34 51,99 53,68 53,18 50,57 55,71 52,86 52,07
Betina (ekor) (%) 111 45,12 163 48,66 133 48,01 176 46,32 147 46,82 131 49,43 194 44,29 99 47,14 116 47,93
Nisbah
χ² hitung
kelamin 1,216 : 1,00 1,055 : 1,00 1,083 : 1,00 1,159 : 1,00 1,136 : 1,00 1,023 : 1,00 1,258 : 1,00 1,121 : 1,00 1,086 : 1,00
2,341 0,242 0,437 2,063 1,274 0,034 5,708 * 0,686 0,413
Ket: χ² tabel (0,05, 1) = 3,841; χ² tabel ≥ χ² hitung perbandingan jantan dan betina = 1 : 1 (*) perbandingan jantan dan betina ≠ 1: 1
49
Nisbah tidak seimbang yang didominasi oleh ikan jantan di stasiun Otuno diduga karena lokasi ini merupakan tempat yang ideal bagi ikan jantan mencari makan dalam rangka persiapan energi untuk reproduksi. Beberapa ikan pelangi yang juga memiliki nisbah kelamin 1:1 misalnya T. celebensis dari Danau Towuti (Nasution 2004), G. incisus dari Danau Sentani (Siby 2009), dan M. arfakensis dari Manokwari (Manangkalangi 2009). Sementara itu T. ladigesi dari sungai Maros memiliki nisbah (1,5:1,0). Secara temporal dari populasi T. antoniae yang tertangkap terungkap bahwa jumlah ikan jantan lebih banyak daripada betina disemua waktu sampling. Tetapi hasil uji „Chi-square test” terhadap nisbah kelamin menunjukkan bahwa proporsi individu jantan dan betina pada semua waktu sampling berada dalam proporsi keseimbangan 1 : 1 (Tabel 6). Tabel 6 Variasi temporal nisbah kelamin T antoniae di Danau Matano Waktu sampling Sep ‟10 Okt ‟10 Nop ‟10 Des ‟10 Jan ‟11 Feb ‟11 Mar ‟11 Apr ‟11 Mei ‟11 Jun ‟11 Jul ‟11 Agu ‟11
Jumlah ikan Jantan (ekor) (%) 107 52,45 112 53,08 140 54,69 109 53,17 123 53,02 113 51,83 122 53,74 119 52,19 118 51,98 113 53,30 134 53,17 127 54,04
Betina (ekor) (%) 97 47,55 99 46,92 116 45,31 96 46,83 109 46,98 105 48,17 105 46,26 109 47,81 109 48,02 99 46,70 118 46,83 108 45,96
kelamin
χ² hitung
1,103 : 1,00 1,131: 1,00 1,207 : 1,00 1,135 : 1,00 1,128 : 1,00 1,076 : 1,00 1,162 : 1,00 1,092 : 1,00 1,083 : 1,00 1,141 : 1,00 1,136 : 1,00 1,176 : 1,00
0,490 0,801 2,250 0,824 0,845 0,294 1,273 0,439 0,357 0,072 1,016 1,536
Nisbah
Ket: χ² tabel (0,05, 1) = 3,841; χ² tabel ≥ χ² hitung perbandingan jantan dan betina = 1 : 1 Data ini menunjukkan bahwa perubahan temporal tidak memengaruhi nisbah jantan dan betina pada ikan T. antoniae. Nisbah yang sama juga terjadi pada G. incisus (Siby 2009) dan M. Arfakensis (Manangkalangi 2009). Tetapi keadaan ini tidak terjadi pada T. ladigesi (Andriani 2000). Nisbah kelamin pada ikan belanak Mugil dussumeiri di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur adalah tidak seimbang
50
(Sulistiono et al. 2001a). Sementara studi yang dilakukan pada tiga jenis ikan buntal Tetraodon lunaris, T. reticulata dan T. fluviatilis menunjukkan bahwa dua jenis ikan buntal yang disebut pertama memiliki nisbah seimbang (1:1) sedangkan yang disebutkan terakhir memiliki nisbah yang tidak seimbang (Sulistiono et al. 2001b). Informasi ini menunjukkan bahwa nisbah kelamin sangat bergantung kepada sifat dan tingkah laku pemijahan ikan. Menurut kelas ukuran nisbah antara individu jantan dan betina umumnya terdapat ketidakseimbangan (χ² tabel < χ² hitung ), kecuali pada kelas ukuran 32,76 mm – 37,16 mm dan 54,81 – 59,21 mm (nisbah 1 : 1). Berdasarkan kelas ukuran, ditemukan bahwa pada kisaran kelas ukuran 32,76 – 45,98 mm jumlah ikan betina mendominasi jumlah ikan jantan. Sementara pada kelas ukuran yang lebih besar umumnya jumlah ikan jantan lebih besar daripada ikan betina. Pada kelas ukuran ikan 59,22 – 68,03 mm tampak terjadi bias karena pada kelas ini tidak ditemukan ikan betina (Tabel 7). Tabel 7 Variasi nisbah kelamin T. antoniae menurut kelas ukuran Kelas ukuran (mm)
Jumlah ikan Jantan (ekor) (%)
Betina (ekor) (%)
Nisbah kelamin
χ² hitung
32,76 - 37,16
37
0,43
49
0,57
0,755 : 1,00
1,674
37,17 - 41,57 41,58 -45,98 45,99 -50,39 50,40 - 54,80 54,81 -59,21 59,22 -63,62 63,63 - 68,03 68,04 -72,44 72,45 -76,85 76,86 -81,26
110 375 548 212 71 14 28 2 20 11
0,32 0,45 0,66 0,62 0,43 1,00 1,00 0,18 0,91 0,92
238 461 285 131 93 0 0 9 2 1
0,68 0,55 0,34 0,38 0,57 0,00 0,00 0,82 0,09 0,08
0,462 : 1,00 0,813 : 1,00 1,923 : 1,00 1,618 : 1,00 0,763 : 1,00 * * 0,222 : 1,00 10,000 : 1,00 11,000 : 1,00
47,080 8,847 83,036 19,128 2,951 14,000 28,000 4,455 14,727 8,333
81,27 - 85,67
9
0,90
1
0,10
9,000 : 1,00
6,400
Ket: χ² tabel (0,05, 1) = 3,841; χ² tabel ≥ χ² hitung perbandingan jantan dan betina = 1 : 1 *=tidak ada betina Data ini menunjukkan bahwa secara umum ikan-ikan jantan berukuran besar selalu berpasangan dengan ikan betina yang berukuran kecil; hal ini didukung oleh
51
pengamatan bawah air. Berdasarkan hasil penelitian ini diduga bahwa ikan jantan besar ini memiliki umur yang lebih tua daripada ikan betina; dengan kata lain ikan jantan menyukai memijah dengan ikan betina yang lebih muda. Nisbah kelamin dan struktur ukuran adalah informasi penting untuk menilai potensi reproduksi dan pendugaan ukuran stok populasi (Vazzoler 1996). Sementara itu faktor lain yang dapat memengaruhi nisbah kelamin adalah ketersediaan makanan. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa di lingkungan yang makanannya terbatas jika makanan berlimpah, maka betina dominan; situasi sebaliknya terjadi di wilayah yang makanannya terbatas. Munro (1976) menjelaskan bahwa simpangan yang diamati dalam proporsi 1:1, sering kali merupakan konsekuensi dari perbedaan laju pertumbuhan yang diamati pada jantan dan betina, yang bisa menyebabkan tangkapan preferensial terhadap skala besar atau kecil spesimen dari satu jenis kelamin. Nisbah yang seimbang antara jantan dan betina pada T. antoniae merupakan bagian dari tingkah laku reproduksi yang memijah secara berpasangan. Proporsi seimbang juga mengindikasikan bahwa ikan tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan pasangan memijah. Pengamatan bawah air terhadap tingkah laku memijah T. antoniae memperlihatkan ikan-ikan selalu berada dalam pasangan. Walaupun di perairan sering terlihat adanya kejadian perkelahian jantan-jantan untuk mendapatkan pasangan memijah, namun ini tidak berarti bahwa ikan jantan sulit mendapatkan pasangan. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa perbedaan laju pertumbuhan antar jenis kelamin bisa menyebabkan nisbah tidak seimbang. Jenis kelamin yang mempunyai laju pertumbuhan yang cepat akan mengalami fase rentan yang singkat, oleh karena itu akan memperkecil pemangsaan. Sebaliknya jenis kelamin dengan laju pertumbuhan yang lambat akan memiliki peluang mengalami pemangsaan. Komposisi warna jantan T. antoniae adalah salah satu ikan yang memiliki dua bentuk warna (dikromatisme) pada jantan yaitu jantan warna biru dan jantan warna kuning, sedangkan ikan betina berwarna abu-abu pasir. Terdapat 918 ekor individu jantan
52
dengan warna biru (64%) dan 519 ekor individu jantan warna kuning (36%) dari total 1437 ekor ikan jantan yang dikoleksi (Tabel 8). Tabel 8 Ukuran rata-rata PB T. antoniae jantan berdasarkan warna N Jantan Jantan warna biru Jantan warna kuning
1437 918 519
Rata-rata PB (mm) 48,31 47,89 49,07
Min 32,76 32,76 39,60
Maks 85,58 85,58 85,45
St.Dev 7,512 8,131 4,244
Selanjutnya dari data ini ditemukan pula bahwa pada semua stasiun penelitian dan periode sampling jumlah individu jantan warna biru lebih banyak daripada jantan warna kuning, dengan komposisi berbeda pada setiap lokasi dan waktu (Gambar 15).
Gambar 15 Histogram komposisi warna T. antoniae jantan warna biru dan jantan warna kuning (a) menurut stasiun sampling dan (b) menurut waktu sampling
53
Jumlah ikan warna biru yang lebih banyak daripada ikan warna kuning mungkin merupakan strategi penyamaran dari predator; ikan warna biru tidak tampak jelas di habitat yang terbuka di batuan dan di pasir dibandingkan dengan ikan warna kuning. Uji rata-rata PB terhadap warna jantan menunjukkan terdapat perbedaan (P < 0,05): 47,89 (SE=8,13; N=918) untuk warna biru dan 49,07 (SE=6,21; N=519) untuk warna kuning. Dikromatisme jantan ini diduga merupakan salah satu strategi jantan untuk menarik betina agar menjadi pasangan memijah. Pengamatan bawah air menunjukkan bahwa kedua warna ini dapat kawin dengan satu betina yang sama.
Tingkat kematangan gonad Penilaian perkembangan gonad T. antoniaea dilakukan melalui pendekatan penilaian terhadap tahapan perkembangan gonad secara morfologis dan histologis. Sementara untuk mengetahui kondisi reproduksi dilakukan penelaahan perubahan ukuran berat gonad relatif yang diekspresikan dengan indeks kematangan gonad (IKG). Hasil penilaian tahap-tahap perkembangan gonad T. antoniae jantan dan betina dalam deskripsi ini dibagi ke dalam lima tahap perkembangan sebagaimana disajikan dalam Lampiran 11 dan 12. Sementara struktur histologis untuk jantan dan betina berdasarkan telaahan tahapan perkembangan gonad menurut jenis kelamin masing-masing disajikan pada Gambar 16 dan 17. Pemeriksaan makroskopis gonad T.antoniae, menunjukkan bahwa gonad jantan berukuran kecil yang belum matang memiliki berbentuk seperti benang yang sangat halus dan berwarna putih susu. Testis yang matang tampak berwarna putih susu, pejal, melebar, menebal, dan semakin memanjang bergelombang seperti lipatanlipatan dan mengisi 1/3 rongga perut. Pada tahap ini dengan hanya sedikit tekanan pada abdomen testis siap mengeluarkan cairan berwarna putih susu. Jantan pascapemijahan memiliki testis kecil yang tampak kosong, lembek berkerut, menipis, kurang pejal, warna putih susu, dan berdarah. Ikan betina yang belum matang memiliki ovari berbentuk seperti benang dengan permukaan berwarna gelap dan terdapat butiran sangat kecil berwarna putih susu. Ikan betina yang berada pada tingkat perkembangan (tingkat II) memiliki ovari
54
berwarna gelap kehitaman dengan butiran-butiran oosit yang semakin besar dan jaringan ikat berwarna putih susu. Ikan betina yang berada pada tahap kematangan (tingkat III) memiliki ovari berwarna gelap kehitaman pada bagian anterior dan agak kekuningan cenderung transparan di bagian anterior, butiran oosit pada bagian posterior berwarna kuning pucat. Ukuran butiran oosit tampak berdegradasi dengan ukuran besar di bagian posterior dan makin kecil pada bagian anterior. Betina matang dan mijah (tahap IV) memiliki ovari yang besar dan padat mengencang, warna hitam dan agak gelap pada bagian anterior, dan warna kekuningan transparan ke arah posterior sehingga butiran oosit terlihat jelas. Ukuran diameter telur di bagian posterior terlihat lebih besar dan berisi, dan berwarna kekuningan; ovari mengisi 2/3 rongga perut. Ikan betina pascapemijahan (tahap V) memiliki ovari yang mengerut dengan butiran telur yang didominasi ukuran kecil, tetapi masih tampak beberapa butiran yang berukuran besar di daerah posterior. Pemeriksaan secara histologis dibuat untuk jaringan testicular dan ovari dari gonad yang berkembang dan matang untuk melihat perkembangan struktur histology:
Jantan Testis dalam tahap belum berkembang (tingkat I), dikenali dengan tidak adanya aktivitas spermatogenik pada germinal epithelium dan spermatogonia (Sg), dan banyak spermatosit (Sc) (Gambar 16 A). Pada tahap perkembangan awal (tingkat II) tidak ada spermatozoa yang hadir di dalam tubule, germinal epithelium tipis dan ada sel-sel yang belum matang, terdapat spermatosit (Sc) sampai spermatid (Spt), dan
55
Gambar 16 Struktur histologis gonad T. antoniae jantan. Ket.: A= TKG I, B= TKG II, C= TKG III, D= TKG IV, E= TKG V, Sg= spermatogonia, Sc= spermatosit, Spt= spermatid, dan Sz= spermatozoa. juga terdapat beberapa spermatozoa (Sz) (Gambar 16 B). Pada tahap kematangan (tingkat III) spermatogenesis pertengahan dicirikan oleh germinal epithelium yang cukup tebal, dan proliferasi dan kematangan sperma bisa diamati; spermatosit (Sc), spermatid (Spt) dan spermatozoa (Sz) terdapat dalam proporsi yang kira-kira seimbang (Gambar 16 C). Tahap 1 - 3 adalah karakteristik ikan yang matang kelamin, dengan paling sedikit aktivitas yang terjadi (tingkat I) dan aktivitas terbesar terjadi sesaat menjelang dan selama pemijahan (tingkat IV) (Gambar 16 D). Pada tahap pascapemijahan (tingkat III) testis mengerut, terdapat spermatogonia (Sg) dan spermatozoa (Sz), dan terdapat ruang-ruang kosong (Gambar16 E).
56
Betina Irisan ovari yang diambil dari ikan pada tingkat perkembangan awal (tingkat II) menunjukkan adanya oosit dalam tingkat perinukleosis dan pravitellogenis. Oosit perinukleosis berukuran kecil dan nukleus kira-kira 60% dari diameter oosit dengan satu atau dua nukleoli dan sitoplasma basofil yang kuat. Pada oosit pravitellogenis (Os) nukleus mengisi 2/3 sel dan berisi banyak nukleoli yang tersusun dalam membran nukleus (Gambar 17 A dan B). Ovari pada tahap kematangan ( Tingkat III) berisi ootid (Ot) dan oosit (Os) (Gambar 17 C). Ovari tahap matang dan mijah (tingkat IV) dibungkus kuat dengan oosit vitellogenis dan telur dengan kuning telur (Kt). Oosit (Os) membulat bulat dan nukleus tidak tampak karena akumulasi kuning telur yang banyak (Gambar 17 D). Ovari pascapemijahan (tingkat V) terdapat sedikit oosit (Os) kecil yang tampak dan ditandai dengan adanya oosit atresia (Oa) dari perkembangan telur yang tersisa setelah pemijahan. Oosit atresia (Oa) ditandai oleh pecahnya zona radiata dengan ruang-ruang kosong di dalam ovari (Gambar 17 E).
Gambar 17 Struktur histologis gonad T. antoniae betina. Ket: OG= oogonium, Os= oosit, Ot= ootid, Yk= butir kuning telur, O= butiran minyak, Oa= oosit atresia
57
Walaupun tahap III adalah khas pada ikan yang mendekati pemijahan, tetapi tahap I sampai III semuanya adalah representasi ikan betina matang kelamin. Hasil penelitian pada T. antoniae ini menemukan bahwa betina yang matang secara simultan berisi oosit dengan berbagai ukuran dalam setiap tingkat perkembangan; ini adalah tipe dari ikan pemijah berulang (multiple spawner). Menurut Chellappa et al. (2010), pemijah bertahap ditandai oleh pola temporal tingkat-tingkat ovari makroskopis, kejadian teratur ovari yang dilepaskan sebagian, dan pola perkembangan oosit, dengan lepasnya oosit matang secara berkelompok. Hasil pemeriksaan kondisi gonad yang diekspresikan dengan tingkat kematangan gonad (TKG) dari populasi ikan bervariasi baik secara spasial maupun temporal. Tetapi secara umum ditemukan bahwa sebagian besar ikan berada dalam kondisi matang dan memijah (TKG IV). Sebanyak 58% ikan jantan dan 87% ikan betina berada dalam kondisi matang dan memijah (TKG IV). Ikan jantan yang berada dalam tahap kematangan (TKG III) jumlahnya relatif besar (24,57%) dibandingkan dengan tahap-tahap perkembangan gonad individu jantan lainnya; misalnya jantan yang berada dalam tahap perkembangan gonad belum berkembang TKG I (1,04%), tahap perkembangan awal TKG II (6,26%) dan tahap pascapemijahan TKG V (9,67%). Ikan yang berada dalam TKG I, II, III dan V jumlahnya sedikit (Tabel 9). Berdasarkan data ini diduga bahwa ikan-ikan yang tertangkap umumnya ikan-ikan dalam proses pemijahan, dan ikan yang berada di pelataran litoral adalah ikan-ikan dewasa kelamin. Tabel 9 Jumlah individu T. antoniae jantan dan betina menurut kondisi TKG TKG Jantan
I 15 (1,04%)
II 90(6,26%)
III 353(24,57%)
IV 840(58,46%)
V 139(9,67%)
Total 1437
Betina
1 (0,08%)
15(1,18%)
74(5,83%)
1107(87,17%)
73(5,75%)
1270
Secara spasial persentase frekuensi individu jantan matang dan mijah (TKG IV) dan pascapemijahan (TKG V) ditemukan dalam jumlah tertinggi di stasiun Salonsa dan terendah di stasiun Otuno. Individu betina yang berada dalam kondisi TKG IV
58
dan V tertinggi jumlahnya di stasiun Paku dan terendah di stasiun Sungai Soluro (Gambar 18).
Gambar 18 Persentase jumlah ikan T. antoniae pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) berdasarkan stasiun penelitian Hasil uji perbandingan rata-rata TKG pada individu jantan menunjukkan bahwa stasiun Salonsa memiliki nilai perbandingan rata-rata TKG berbeda nyata dengan stasiun S. Lawa, Paku, Otuno dan S. Petea, tetapi tidak berbeda nyata dengan stasiun P. Wotu Pali, Bubble beach, Tanah Merah, dan S.Soluro. Pada individu betina nilai rata-rata TKG di delapan stasiun penelitian (S. Lawa, Paku, P. Wotu Pali, Bubble Beach, Salonsa, Tanah Merah, Otuno dan S. Soluro) tidak berbeda nyata, tetapi dengan stasiun S. Petea menunjukkan beda nyata (P< 0,05). Secara temporal persentase tingkat kematangan gonad individu jantan bervariasi dengan kisaran yang relatif lebar, sedangkan ikan betina bervariasi relatif sempit (Gambar 19). Persentase individu jantan dan betina yang berada dalam TKG IV dan V tertinggi ditemukan pada bulan Juli 2011 dan terendah pada bulan April 2011. Hasil uji perbandingan rata-rata antar waktu penelitian menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antar waktu penelitian baik pada individu jantan maupun pada individu betina (P<0,05).
59
Gambar 19 Persentase jumlah ikan T. antoniae pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) berdasarkan waktu penelitian
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa lebih dari 60% individu jantan dan betina berada dalam kondisi matang-mijah dan pascapemijahan (TKG IV dan V) (Gambar 20) dan kondisi ini terjadi pada hampir semua kelas ukuran, kecuali pada individu jantan dengan kelas ukuran 32,76 – 37,16 mm, 73,00% yang berada dalam TKG II, 5,40% berada dalam TKG III, serta 22,60% berada dalam TKG IV. Ikan jantan terkecil yang ditemukan matang gonad berukuran 45,42 mm, sedangkan betina 36,17 mm. Individu jantan dan betina yang berada dalam TKG I jumlahnya sangat sedikit; hanya 15 individu jantan dan tersebar di semua stasiun penelitian. Sementara individu betina hanya ditemukan satu saja yang berasal dari stasiun Bubble Beach. Menurut waktu sampling, individu jantan yang berada dalam TKG I ditemukan pada hampir semua waktu sampling kecuali pada bulan Januari 2011 dan Juni 2011. Sementara individu betina hanya ditemukan pada bulan Mei 2011. Menurut kelas ukuran ikanikan yang berada dalam TKG I untuk jantan mulai muncul pada kelas ukuran 37,17 – 41,57 mm. Sementara betina pada kelas ukuran 40,10 - 44,02 mm. Sementara itu ikan-ikan yang berada dalam TKG II dan III umumnya ditemukan di hampir semua lokasi dan waktu sampling. Hasil ini menunjukkan bahwa T. antoniae memanfaatkan habitat berbeda dalam sejarah hidupnya.
60
Gambar 20 Persentase jumlah ikan T. antoniae pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) berdasarkan sebaran ukuran panjang Menurut Villacorta-Correa & Saint-Paul (1999), IKG dapat menjelaskan kondisi reproduksi spesies, melalui perubahan ukuran gonad relatif dihubungkan dengan waktu. IKG dan histopatologi gonad merupakan kategori indikator-indikator yang memberikan informasi struktural, tentang kesehatan gonad dan tahap kematangan (Schmitt & Dethloff 2000). Penghitungan berat gonad sebagai persentase berat tubuh telah secara rutin digunakan untuk menentukan kematangan reproduksi, dan menilai perubahan gonad sebagai respon terhadap dinamika lingkungan (misalnya perubahan musiman) atau tekanan-tekanan eksogen (misalnya paparan terhadap kontaminan) (Schmitt & Dethloff 2000). Indeks kematangan gonad Hasil perhitungan indeks kematangan gonad (IKG) T. antoniae didapatkan nilai rata-rata IKG individu jantan lebih kecil daripada IKG individu betina. Secara umum kisaran nilai rata-rata untuk individu jantan 0,595 (SE±0,268; N=1437) dan individu betina 4,245 (SE=1,641); N=1270). Telaahan secara spasial terhadap nilai rata-rata.
61
Gambar 21 Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan T. antoniae menurut stasiun sampling IKG menggunakan One-way ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata IKG antar stasiun penelitian (P> 0,05). Sementara untuk ikan betina terdapat perbedaan IKG rata-rata yang nyata antar lokasi (P<0,05) (Gambar 21). Stasiun penelitian yang memiliki nilai rata-rata tertinggi untuk betina adalah Pulau Wotu Pali 4,960 (SE=1,691, N=133), dan terendah adalah Sungai Soluro 3,655 (SE=1,288, N=116). Secara temporal nilai rata-rata IKG untuk individu jantan terdapat beda nyata antara stasiun penelitian (P<0,05); hanya ada satu bulan sampling yang memiliki nilai rata-rata yang beda nyata yaitu Maret 2011, sedangkan bulan lainnya tidak berbeda nyata. Nilai IKG rata-rata jantan tertinggi terjadi pada bulan Desember 2010 (0,648; SE=0,392; N=109) dan nilai terendah bulan Maret 2011 (0,475; SE=0,174; N=122). Hasil uji statistik pada individu betina menunjukkan terdapat beda nyata rata-rata nilai IKG yang kecil antar waktu sampling (P=0,049<0,05); hanya terdapat beda nyata yang kecil antar waktu sampling bulan Oktober dan November, sementara untuk bulan lainnya tidak berbeda nyata (Gambar 22).
62
Gambar 22 Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan T. antoniae jantan dan betina menurut waktu sampling Sebaran diameter telur Diameter telur ikan T. antoniae bervariasi antara 0,33 – 1,23 mm (Gambar 23). Ditemukan bahwa pada setiap tingkat kematangan gonad frekuensi kelas ukuran diameter tidak merata. Pada TKG III kisaran ukuran 0,33 – 1,12 mm, TKG IV kisaran ukuran 1,33 – 1,23 dan pada TKG V kisaran ukuran 0,33 – 0,95 mm. Perbedaan sebaran ukuran diamer telur pada tiap tingkat kematangan menunjukkan bahwa kematangan gonad terjadi secara bertahap (partial spauner). Pengamatan terhadap telur-telur yang terdapat dalam ovari tampak bahwa ukuran diameter telur berdegradasi dari anterior dengan telur-telur berukuran kecil, bagian tengah makin besar dan pada posterior adalah telur berukuran besar. Informasi ini menunjukkan bahwa dalam proses pemijahan telur-telur berukuran besar di posterior adalah telur-telur matang yang siap dipijahkan. Selain itu dari data ini menunjukkan bahwa ikan ini merupakan ikan yang memijah sepanjang tahun. Pola pemijahan seperti ini juga ditemukan pada ikan T. ladigesi (Andriani 2000), T.
63
celebensis (Nasution 2004), G. incisus (Siby 2009), M. Arfakensis (Manangkalangi 2009), dan M. dussumieri (Sulistiono 2001).
Gambar 23 Sebaran diameter telur T. antoniae pada TKG I - V
Fekunditas Fekunditas adalah jumlah telur yang ada di dalam ovari sebelum pemijahan, Berdasarkan definisi ini dalam penelitian ini fekunditas ikan T.antoniae diperiksa dari 120 ekor ikan betina yang berada dalam kondisi TKG IV. Rata-rata fekunditas dari
ikan yang diperiksa memiliki 152 butir per ovari dengan kisaran 46 – 339 butir per ovari.
64
400
Fekunditas (butir)
350 300
F = 0,167PB1,739 r = 0,60 N = 120
250 200 150 100 50 0 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 Panjang baku (mm)
Gambar 24 Hubungan antara fekunditas dengan panjang baku (PB) Ikan ukuran terkecil yang ditemukan berada dalam TKG IV berukuran PB 36,21 mm memiliki fekunditas 94 butir, sedangkan ukuran terbesar 73,40 mm dengan fekunditas 316 butir. Persamaan regresi antara fekunditas dengan panjang baku ikan pada TKG IV adalah F = 0,167PB1,739 (r=0,60) (Gambar 19). Nilai r yang diperoleh menunjukkan korelasi yang lemah antara fekunditas dengan panjang total, sehingga panjang total dari ikan T. antoniae ini tidak dapat dijadikan penduga fekunditas ikan ini. Korelasi yang lemah juga ditemukan pada ikan T. celebensis (Nasution 2004), dan G. incisus (Siby 2009).
Musim pemijahan dan strategi reproduksi Dengan mempertimbangkan perkembangan tingkat kematangan gonad perbulan ditemukan bahwa 87,17% ikan betina berada pada TKG IV; 5,75% pada TKG V;
5,38% pada TKG III;
1,18% pada TKG II dan 0,8% pada TKG I.
Sementara pada ikan jantan 58,46% berada pada TKG IV; 24,57% pada TKG III; 9,67% pada TKG V; 6,26% pada TKG II dan 1,04% pada TKG I. Melihat komposisi TKG ikan jantan dan betina yang sebagian besar berada pada TKG IV ini
65
menunjukkan bahwa ikan-ikan yang berada di daerah litoral ini adalah ikan-ikan yang sedang memijah. Terdapat empat bulan dalam periode sampling yang menunjukkan persentase jumlah ikan yang berada pada TKG IV dan V yang besar yaitu Desember, Januari, Juli dan Agustus.
Jika periode bulan tersebut dihubungkan dengan dinamika
hidrologis maka terlihat bahwa pada periode bulan Desember, Januari, Juli dan Agustus adalah periode curah hujan dan muka air rendah. Diduga ini adalah strategi T. antoniae
memilih puncak pemijahan di musim kering dengan harapan telur-
telurnya akan menetas menjelang awal musim hujan. Pada periode puncak pemijahan ini suhu air rata-rata lebih hangat dari periode bulan lainnya. Suhu air yang hangat ini akan membantu metabolisme dan pertumbuhan larva lebih cepat.
Sifat dan tingkah laku reproduksi T. antoniae di perairan Ikan T. antoniae hidup di daerah litoral; daerah ini dijadikan sebagai habitat pemijahan (Kottelat 1991; Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007). Mengenali spesies ini secara langsung di alam dan membedakannya dengan spesies kerabat Telmatherina lainnya dapat didekati dengan mengamati karakter tingkah laku yang ditampilkan. Di alam T. antoniae dewasa hampir selalu berada dalam pasangan jantan dan betina, walaupun kadang tampak ada yang berenang tanpa pasangan. Dari hasil pengamatan bawah air ikan-ikan jantan yang tampak sedang berenang sendiri atau tanpa pasangan adalah ikan jantan yang sedang mencari pasangan betina. Ikan jantan agresif mencari pasangan sedangkan ikan betina tampak bersifat pasif menunggu untuk dipilih oleh jantan. Sifat tingkah laku berpasangan pada T. antoniae ini memudahkan kita mengenali mereka. Pasangan-pasangan jantan-betina tampak melakukan aktivitas kawin sepanjang waktu. Beberapa sifat tingkah laku berpasangan yang selalu ditampilkan oleh individu jantan dan betina adalah berenang berpasangan di dekat dasar perairan, walaupun kadang-kadang terlihat ada pasangan yang berenang di tengah kolom air, tetapi itu
66
adalah taktik menghindari gangguan dari jantan lain atau dalam proses mencari tempat memijah yang nyaman. Dalam proses pemijahan ikan jantan dan betina berenang berpasangan bersamasama dan kadang memperlihatkan gerakan mendekatkan abdomennya pada substrat. Gerakan ini diduga sebagai gerakan melepaskan telur oleh betina pada substrat dan pelepasan sperma oleh jantan. Adalah sulit untuk dapat melihat dengan mata telanjang telur-telur dan sperma yang dilepaskan. Gerakan lain yang sering ditunjukkan oleh T. antoniae adalah perkelahian antara jantan-jantan, baik antara warna jantan yang sama maupun dengan warna jantan yang berbeda. Kejadian perkelahian pada jantan-jantan adalah untuk alasan memperebutkan betina yang menjadi pasangan memijah. Akhir dari perkelahian antar jantan-jantan yaitu ikan jantan yang menang akan segera mengambil betina menjadi pasangan memijah sedangkan jantan yang kalah dalam perkelahian akan segera pergi mencari betina lain. Tetapi kadang-kadang kedua individu jantan yang terlibat dalam perkelahian kehilangan betina calon pasangannya. Pada perkelahian jantan-jantan yang seru terlihat satu sama lain berusaha saling menyerang dengan menggigit tubuh lawan, sehingga keduanya membentuk gerakan berputar dengan cepat di dalam kolom air mulai dari dasar perairan sampai ke permukaan. Adanya interaksi antara kedua bentuk warna individu jantan dalam memperebutkan betina yang sama menunjukkan bahwa kedua bentuk warna ini berasal dari spesies yang sama (Kottelat 1991; McKinnon et. al. 2000). Pemijahan dilakukan di substrat berpasir, bebatuan dan kadang-kadang di atas batu-batu besar dan vegetasi. Telur-telurnya di dasar perairan (Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007), diantara batuan, kerikil atau pasir yang tidak memiliki tanaman air (Soeroto et al. 2004; Nilawati & Tantu 2007), serta di habitat bervegetasi (Sumassetiyadi 2003). Ikan ini dapat memijah di perairan yang dangkal pada kedalaman kurang lebih 0,5 m (Soeroto et al. 2004; Nilawati & Tantu 2007), sampai dengan 10 m (Gray & McKinnon 2006). Dalam pengamatan bawah air kadang-kadang ditemukan ikan-ikan jantan T. antoniae yang mempunyai kelas ukuran kecil dengan tinggi tubuh relatif pendek
67
(ini kelas ukuran yang umum ditemukan) dan jantan yang mempunyai kelas ukuran tubuh yang lebih tinggi (sedikit jumlahnya). Gray & McKinnon (2006) mendapatkan kelas ukuran kecil dengan kisaran panjang baku 39 mm – 56 mm, sedangkan kelas ukuran besar memiliki panjang baku yang bisa mencapai 80 mm (Kottelat 1991). Kedua kelas ukuran ini adalah jenis yang sama karena kedua kelas ukuran ini mempunyai tingkah laku kawin yang sama (Kottelat 1991; Gray & McKinnon 2006). Dalam beberapa pengamatan bawah air kelas ukuran yang besar ini juga mengawini betina yang sama dengan yang dikawini oleh jantan kelas ukuran kecil. Melalui pengamatan bawah air sifat atau karakter tingkah laku, kehadiran dan aktivitas umum T. antoniae di pelataran daerah litoral sepanjang hari menunjukkan bahwa ikan-ikan ini mulai beraktivitas saat matahari terbit yang ditandai dengan mulai adanya individu-individu yang berenang mencari pasangan, kemudian berpasangan, dan kawin di daerah litoral. Jumlah individu yang memijah di pelataran litoral secara bertahap meningkat seiring dengan waktu menjelang siang hari, kemudian jumlah pasangan-pasangan memijah menurun jumlahnya menjelang sore hari. Sedangkan pada malam hari ikan-ikan ini tampak tidak melakukan aktivitas pemijahan; mereka berdiam di dasar perairan di antara batuan atau di dekat dinding tubir. Fenomena ini mungkin berkaitan dengan menurunnya cahaya di perairan dan atau sebagai antisipasi menghadapi kondisi perairan yang tidak menguntungkan akibat pengadukan oleh gelombang yang terjadi pada hampir setiap menjelang sore dan malam hari. Diamati bahwa pada setiap terjadi pengadukan perairan akibat gelombang, perairan menjadi keruh dan jumlah ikan di pelataran litoral segera menurun sehingga aktivitas perkawinan menurun. Dalam kejadian seperti ini ikanikan tampak pergi ke tempat yang lebih terlindung dan perairan yang jernih di dekat bibir tubir.
Pengelolaan dan Konservasi Pemanfaatan lahan sekitar Danau Matano dalam 10 tahun terakhir ini berlansung intensif. Secara nyata dapat dilihat dari terus terjadinya perubahan lahan di sekitar danau seperti; pembangunan permukiman kota yang dirancang berada dekat
68
dengan tepian danau, misalnya permukiman yang dibangun di bagian timur Desa Old Camp, pembanguanan konstruksi jalan lingkar danau yang menyebabkan hilangnya hutan yang menjadi pelindung perairan danau dari erosi, pembukaan lahan-lahan perkebunan di daerah tangkapan air dan daerah aliran sungai, dan perluasan lahan tambang yang mendekati perairan danau. Penggunaan lahan yang tidak terkendali di sekeliling danau dapat menyebabkan meningkatnya muatan nutrien ke dalam danau, terjadinya akumulasi sedimen, perubahan suhu air, dan meningkatnya pencemaran. Akibat dari aktivitas penggunaan lahan ini akan berdampak pada biota perairan. Misalnya studi yang dilakukan oleh Roth et al. (1996) yang mempelajari sungai-sungai di Michigan Amerika Serikat menemukan bahwa kualitas habitat dan populasi ikan menurun dengan meningkatnya penggunaan lahan untuk pertanian di bagian hulu. Walaupun hasil penelitian ini belum dapat menyimpulkan terjadinya perubahan habitat yang signifikan tetapi indikasi kualitatif seperti terjadinya penutupan daerah litoral oleh lumpur yang semakin meluas dan kejernihan perairan yang rendah di dekat kawasan permukiman memberikan indikasi adanya penurunan kualitas habitat. Pengelolaan
dan
konservasi
ikan
T.
antoniae
di
Danau
Matano
harus
mempertimbangkan potensi dari keunikan warna dan tingkah laku dari ikan ini, selain itu perlu memerhatikan keadaan habitat pemijahan, seperti substrat dasar perairan, kondisi temporal hidrologi, dan periode reproduksi. Sifat dan tingkah laku ikan ini yang memanfaatkan daerah litoral sebagai daerah pemijahan menjadi rawan jika daerah litoral mendapat tekanan antropogenik, seperti kerusakan hutan, pemanfaatan lahan untuk permukiman, pertambangan dan perkebunan yang kegiatannya relatif dekat dengan danau. Aktivitas antropogenik seperti ini dapat menyebabkan hilangnya habitat pemijahan di daerah litoral danau. Selain itu kondisi temporal hidrologis (tinggi muka air yang tidak alami) akan mengganggu siklus hidup T. antoniae dan ikan endemik lain yang memanfaatkan daerah litoral sebagai daerah pemijahan, misalnya penurunan muka air yang cepat akibat pengaturan muka air akan mengakibatkan keringnya daerah pemijahan sehingga telur-telur yang diletakkan pada substrat akan mati.
69
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan T. antoniae umumnya memijah di habitat litoral pada kedalaman 0,5 – 3,0 m di perairan yang jenih, pada substrat pasir, kerikil dan batuan besar, dan tidak pada substrat berlumpur. Berdasarkan penelitian ini diduga jika daerah litoral mendapatkan tekanan dari aktivitas antropogenik seperti yang disebutkan di atas maka ikan T. antoniae akan kehilangan habitat pemijahannya. Secara spasial hasil tangkapan ikan di stasiun penelitian Otuno yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya diduga berkaitan dengan kedaaan lokasi yang berbentuk teluk dan adanya vegetasi Pandanus sp. yang lebat. Vegetasi ini memiliki struktur perakaran yang membentuk ruang perlindungan di dalam perairan, baik perlindungan bagi ikan maupun perlindungan habitat dari material yang berasal dari daratan. Sistem perakaran Pandanus sp. berfungsi sebagai penyaring yang baik dan dedaunannya menjadi naungan yang melindungi anak-anak ikan. Peran vegetasi Pandanus sp. diduga menjadi penyebab stasiun ini memiliki kejernihan air yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Sebagai ikan yang dikenal memiliki keindahan warna dan tingkah laku pemijahan yang atraktif dan mudah dinikmati keindahannya dari permukaan perairan maupun dari bawah air (snorkling) ikan ini memiliki potensi untuk dikelola menjadi maskot objek wisata alam (ekowisata) guna mendukung fungsi kawasan konservasi taman wisata alam Danau Matano. Oleh karena itu strategi konservasi yang harus dibangun adalah dengan mengefektifkan status danau sebagai kawasan konservasi taman wisata alam sehingga pemanfaatan lahan-lahan sekitar danau yang berpotensi merusak ekosistem danau dapat dikurangi. Selain itu keunikan dari biota endemik yang ada di perairan Danau Matano dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata yang memiliki muatan ilmiah dan sekaligus objek konservasi yang berbasis partisipatif masyarakat. Keunikan yang dapat dijadikan objek wisata alam dan memiliki muatan ilmiah, misalnya pada ikan T. antoniae di litoral sering mempertontonkan keindahan warna dan gerakan tarian alamnya saat memijah, ada juga perkelahian jantan yang seru memperlihatkan gerakan berputar dua ikan jantan yang saling menyerang yang
70
gerakannya sangat indah. Mereka berputar secara vertikal dari dasar perairan sampai kepermukaan. Tarian alam dari dalam perairan Danau Matano ini dapat disaksikan dari permukaan air dan atau melalui aktivitas pengamatan bawah air di daerah litoral. Konservasi secara in situ untuk ikan T. antoniae harus terintegrasi dengan konservasi habitat sekitar danau dan spesies lain yang menghuni danau. Karena tidak mungkin menerapkan konservasi secara parsial dengan hanya memfokuskan pada satu spesies saja di danau yang memiliki endemisitas tinggi. Di alam spesies-spesies endemik tersebut berinteraksi satu sama lain dan juga dengan lingkungannya. Konservasi secara ex situ perlu di upayakan yaitu dengan pembudidayaan ikan ini untuk kepentingan konservasi dan pemanfaatan sebagai ikan hias. Dalam kerangka pengelolaan dan konservasi ikan endemik di Danau Matano melalui peran partisipatif masyarakat, langkah awal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai keragaman biota endemik yang menghuni perairan Danau Matano, keunikan-keunikan yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan, dan fungsi habitat bagi kelestarian ikan endemik. dengan memahami hal ini diharapkan masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam pengelolaan dan konservasi ikan di sekitar danau tersebut.