IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Eksplorasi Kegiatan Pemijahan Ikan Terumbu 4.1.1. Lokasi Potensial Pemijahan Ikan Terumbu Penentuan lokasi potensial pemijahan ikan terumbu di Kepulauan Seribu didasarkan pada hasil wawancara nelayan sekitar. Informasi tersebut menyatakan terdapat 7 area potensial pemijahan, yaitu Pulau Panggang, APL Pulau Panggang, Pulau Pramuka, Pulau Air, Karang Lebar, Karang Congkak, dan Pulau Payung. Area Pulau Panggang memiliki tiga lokasi pengamatan, yaitu di bagian barat (BPG), timur (TPG), serta selatan (SPG) (Gambar 6). Secara geografis area Pulau Panggang memiliki beting terumbu yang cukup luas, serta terdapat goba dan hamparan lamun yang mengelilinginya rataan terumbu di dalamnya.
Gambar 6. Area potensial pemijahan ikan terumbu di Pulau Panggang
26
27
Ketiga lokasi pengamatan terletak di tempat yang memungkinkan adanya aliran arus yang cukup kuat, yaitu terletak di tanjungan, chanel/celah pertukaran air, dan menghadap ke laut lepas. BPG yang berada di bagian barat terletak di ujung tanjung gosong karang Pulau Panggang. TPG yang berada di bagian timur merupakan saluran pertukaran air ke arah goba dan sebaliknya, begitu juga SPG di bagian selatan. Pertukaran air pada area tersebut biasanya terjadi pada saat pasang maupun surut. APL Pulau Panggang merupakan gosong karang yang terletak di tengahtengah Pulau Pramuka, Pulau Panggang, dan Pulau Karya. Kawasan ini merupakan area yang dilindungi. Menurut informasi yang didapatkan dari nelayan setempat, kawasan ini merupakan lokasi penangkapan ikan yang baik sebelum menjadi area perlindungan. Gambar 7 menunjukkan satu lokasi potensial yang terdapat di area tersebut.
Gambar 7. Area potensial pemijahan ikan terumbu APL Pulau Panggang
28
APL memiliki satu lokasi pengamatan, yang terletak di bagian tanjung dekat dengan gosong Pulau Karya (Gambar 7). Lokasi potensial APL merupakan daerah tanjungan yang menghadap ke laut lepas, selain itu di bagian timur gosong APL terdapat padang lamun yang cukup luas. Pulau Pramuka merupakan salah satu pulau berpenghuni, dan merupakan pusat pemerintahan dan administrasi Kepulauan Seribu. Gambar 8 menunjukkan bahwa Pulau Pramuka dikelilingi oleh beting terumbu yang cukup luas dan tidak memiliki goba seperti di Pulau Panggang. Hamparan lamun dapat dijumpai di bagian utara, timur, selatan, dan di beberapa titik di bagian barat.
Gambar 8. Area potensial pemijahan ikan terumbu Pulau Pramuka Melihat geomorfologi kawasannya, ditetapkan ada satu area potensial pemijahan di Pulau Pramuka, yaitu UPR (Gambar 8). Lokasi pengamatan ini terletak di ujung utara yang merupakan daerah tanjungan dan berdekatan dengan kanal yang berbatasan dengan Gosong Pramuka di utara dan dengan perairan Laut Jawa di timur, sehingga diperkirakan akan ada aliran arus yang kuat di sana.
29
Kondisi geografis Pulau Air tampak dalam Gambar 9. Area ini memiliki kemiripan dengan Pulau Panggang, yaitu memiliki goba di tengah-tengah gosong karang, selain itu Pulau Air juga memiliki hamparan lamun yang cukup luas di sekeliling gosongnya. Pulau Air memiliki terusan buatan yang membentang dari utara hingga selatan yang membagi pulau tersebut menjadi beberapa pulau kecil.
Gambar 9. Area potensial pemijahan ikan terumbu Pulau Air Lokasi pengamatan di area Pulau Air terdapat di bagian utara (AIR) (Gambar 9), di sekitar pintu terusan buatan. Terusan ini menjadi salah satu saluran air dari arah utara ke selatan maupun sebaliknya. Kondisi tersebut membuat arus di lokasi ini tergolong cukup kuat. Karang Lebar merupakan area yang memiliki gosong karang paling luas di antara area potensial pemijahan yang lain. Area ini juga memiliki goba yang besar di tengah-tengah gosong karangnya. Hamparan lamun yang luas juga ditemukan di area Karang Lebar. Menurut informasi dari nelayan sekitar, jaman dahulu lokasi ini merupakan feeding ground bagi Dugong. Lokasi potensial
30
pemijahan ikan terumbu di area Karang Lebar tersaji dalam Gambar 10, yaitu KBL (Karang Balik Layar), yang berada di bagian barat, dan TJP (Tanjung Penyu), di bagian selatan.
Gambar 10. Area potensial pemijahan ikan terumbu Karang Lebar Lokasi TJP terletak di chanel aliran air, sedangkan KBL berada di sekitar Gosong Semak Daun. KBL berada pada bagian ujung timur, yang merupakan tanjungan Gosong Balik Layar. Berdasarkan kondisi geografis tersebut kedua lokasi potensial di area Karang Lebar tergolong memiliki kondisi arus yang cukup kuat. Gosong Karang Congkak berada di sebelah utara Karang Lebar (Gambar 11). Area ini merupakan daerah paling utara dari wilayah penelitian. Kondisi geografis Gosong Karang Congkakditandaidengan goba yang berada di tengahtengah gosong karang tersebut, selain itu juga terdapat hamparan lamun yang cukup luas di sekelilingnya.
31
Gambar 11. Area potensial pemijahan ikan terumbu Karang Congkak Lokasi pengamatan (KCK) berada pada bagian ujung selatan (Gambar 11). Seperti halnya pada beberapa lokasi lain, titik pengamatan ini berada di tanjungan yang terletak di bagian selatan. Kondisi morfologi yang ada di KCK mengakibatkan lokasi pengamatan tersebut memiliki arus yang cukup kuat. Wilayah penelitian paling selatan adalah area potensial pemijahan Pulau Payung (Gambar 12). Area Pulau Payung terdiri dari dua gosong, yakni gosong Pulau Payung Besar dan Pulau Payung Kecil. Area ini merupakan area yang paling terbuka dibandingkan dengan area potensial yang lain. Hamparan lamun di ditemukan di sekeliling Pulau Payung Besar dan Pulau Payung Kecil. Pengamatan di lakukan di gosong Pulau Payung Kecil (gambar 12). Lokasi potensial PAY berada pada bagian ujung timur gosong, serta berada pada celah di antara gosong luar dan gosong dalam. Berdasarkan kondisi geografis yang telah disebutkan, menunjukkan lokasi pengamatan PAY memiliki kondisi arus yang cukup kuat.
32
Gambar 12. Area potensial pemijahan ikan terumbu Pulau Payung Pengamatan kondisi geografis dan morfologis yang dilakukan menunjukkan adanya kemiripan dari kesepuluh lokasi potensial pemijahan ikan terumbu Kepulauan Seribu. Kesepuluh lokasi potensial yang ditemukan berada di kawasan yang memiliki arus kuat (daerah tanjung dan saluran air/chanel), menghadap atau dekat dengan laut lepas, dan terdapat hamparan lamun yang cukup luas disekitarnya. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat 3 lokasi (TPG, SPG, dan TJP) yang terletak di chanel/saluran air menuju ke dalam goba, 5 lokasi yang terletak di tanjungan (BPG, UPR, KBL, KCK, dan PAY), serta 2 lokasi (AIR dan APL) terletak di daerah pergerakan air dari laut lepas dan sebaliknya. Ciri geomorfologis yang ditemukan sesuai literatur yang ada. Menurut Domeier et al. (2002), hasil penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa terdapat 21% kegiatan pemijahan yang ditemukan pada daerahtanjung, 54% ditemukan di tepi bagian luar terumbu karang (menghadap ke laut), dan 47% di
33
kanal antar dua pulau (channel). Ciri tersebut erat hubungannya dengan kondisi arus yang ada di lokasi potensial pemijahan. Hubungan kecepatan dan arah arus dengan kegiatan pemijahan menurut Heyman et al. (2004), adalah arus yang kencang memungkinkan larva lansung terbawa ke laut terbuka maupun ke lokasi berlindung (daerah lamun). Hal ini mengakibatkan telur yang telah dibuahi terhindar dari predator sehingga tingkat bertahan hidupnya meningkat. Ciri berikutnya yang dijumpai di setiap lokasi pengamatan yaitu ketersediaan hamparan lamun yang cukup luas. Padang lamun yang terdapat di sekitar lokasi potensial pemijahan penting perannya dalam mendukung tingkat hidup dari larva serta juvenil ikan yang baru. Hamparan lamun tersebut merupakan tempat menempel telur-telur ikan yang telah dibuahi, selain sebagai nursery dan feeding ground bagi larva dan juvenil ikan sebelum mereka kembali lagi ke wilayah terumbu karang. 4.1.2. Tanda Pemijahan yang Ditemukan Pengamatan tanda pemijahan dilakukan di sepuluh lokasi yang berada pada tujuh area potensial, dengan mengikuti penanggalan berdasarkan fase bulan. Tabel 4 menunjukkan hasil pengamatan yang diperoleh dari tiap lokasi. Pada Tabel 4 tampak bahwa terdapat tujuh tanda pemijahan yang ditemukan di lima lokasi, yaitu BPG, TPG, SPG, APL, dan PAY, selain itu juga disajikan famili ikan terumbu yang dijumpai memiliki tanda pemijahan. Pengamatan yang dilakukan menemukan sebelas famili ikan terumbu yang memiliki tanda pemijahan.
34
Tabel 4. Famili ikan terumbu yang ditemukan memiliki tanda pemijahan TANDA PEMIJAHAN Gravid
Spawning
Pomacentridae Serranidae
Lutjanidae Serranidae Caesionidae Siganidae
Zanclidae Chaetodontidae Syngnathidae
Serranidae
Caesionidae
Lutjanidae Serranidae Caesionidae
Scorpaenidae Chaetodontidae Centriscidae
Serranidae
Caesionidae
Lutjanidae
UPR
TJP
- tidak ditemukan tanda pemijahan-
KBL
- tidak ditemukan tanda pemijahan-
KCK
- tidak ditemukan tanda pemijahanScorpaenidae
-tidak ditemukan tanda pemijahan-
Labridae
AIR
PAY
Agresif
Centriscidae Caesionidae Scaridae
Centriscidae
Centriscidae
TPG
APL
Luka Tubuh
Centriscidae
BPG
SPG
Courtship
Syngnathidae
Perubahan Warna
Keterangan: SPG= Selatan Panggang; TJP= Tanjung Penyu; BPG= Barat Panggang; UPR= Utara Pramuka; TPG=Timur Panggang; AIR= Pulau Air; APL= Area Perlindungan Laut Kelurahan Pulau Panggang; KCK= Karang Congkak; KBL= Karang Balik Layar; PAY= Pulau Payung
Perilaku jantan yang agresif dan luka pada tubuh ditemukan di dua lokasi, yaitu, TPG dan SPG. Kondisi tersebut dijumpai pada famili Caesionidae dan Serranidae. Pada saat pengamatan, jantan dari famili Caesionidae berkumpul
Labridae
Agregasi
Centriscidae
Stasiun Penelitian
35
dan berenang mengitari liang yang menjadi tempat persembunyian para betina, sedangkan jantan famili Serranidae ditemukan dalam kondisi terluka. Pertarungan antar jantan lebih banyak dijumpai pada famili ikan yang melakukan courtship. Courtship dilakukan oleh famili ikan yang tidak melakukan pemijahan agregasi (Claydon, 2004). Pemijahan pada ikan tersebut dilakukan antar pasangan (satu jantan dan satu betina). Courtship behavior ditemukan di empat lokasi, yaitu BPG, TPG, SPG, dan PAY. Selama pengamatan dijumpai lima famili ikan terumbu yang melakukan courtship, yaitu Centriscidae, Zanclidae, Chaetodontidae, Syngnathidae, dan Scorpaenidae. Perubahan warna tubuh merupakan salah satu cara yang dilakukan ikan jantan dalam menarik perhatian betina (Muljadi et al., 2001). Bagian tubuh dari ikan jantan pada beberapa famili biasanya akan berubah warna menjadi lebih terang atau mencolok selama musim memijah. Pada penelitian ini dijumpai tiga famili ikan dengan perubahan warna pada bagian tubuhnya, yaitu Centriscidae, Serranidae, dan Pomacentridae. Famili ikan tersebut ditemukan di dua lokasi yaitu TPG dan APL. Perubahan warna tubuh tidak hanya dijumpai pada ikan jantan. Perubahan warna yang terjadi pada ikan betina biasanya terdapat pada bagian perut (dari pactoral sampai anal). Perubahan warna perut pada ikan betina terjadi karena kondisi gravid. Gravid merupakan tanda bahwa betina telah siap memijah (Colin et al., 2003). Hal tersebut ditunjukkan dengan bagian perut yang membengkak karena adanya telur yang telah matang dan siap dibuahi. Gravid dijumpai di TPG, dan SPG pada famili Lutjanidae, Serranidae, Caesionidae, dan Siganidae.
36
Beberapa famili ikan melakukan agregasi sebelum proses pemijahan berlangsung. Kondisi ini dilakukan untuk meningkatkan tingkat hidup dari larva serta ikan dewasa yang melakukan pemijahan. Menurut Claydon (2004), salah satu bentuk adaptasi dalam meningkatkan tingkat hidup dari larva serta indukan pada proses pemijahan adalah dengan melakukan agregasi. Agregasi ditemukan di SPG, APL, dan PAY. Famili ikan yang melakukan agregasi adalah Centriscidae dan Labridae. Spawning atau pemijahan dilakukan dengan cara menyemprotkan sel telur dan sel sperma bersamaan. Menurut Claydon (2004), proses ini dilakukan dengan gerakan berenang ke atas menjauhi terumbu karang/substrat. Gerakan tersebut dilakukan agar sel telur yang telah dibuahi dapat langsung tersapu oleh arus perairan. Hasil ekslporasi kegiatan pemijahan yang disajikan pada subbab ini menunjukkan bahwa sebagian besar tanda pemijahan ditemukan di daerah tanjungan dan saluran air. Kobara (2009) menyebutkan bahwa daerah tanjung merupakan lokasi vital bagi ikan terumbu yang melakukan tipe pemijahan sementara/transient. Selama masa pengamatan ditemukan dua kegiatan pemijahan. Kedua kegiatan pemijahan yang ditemukan memiliki perbedaan proses. Pada famili Labridae, proses pemijahan dilakukan seperti proses yang telah dijelaskan, namun pada famili Syngnathidae induk jantan ditemukan sedang meletakkan telur yang telah dibuahi pada celah-celah karang. Hal ini disebabkan karena perbedaan tipe perkembangbiakan, famili Syngnathidae termasuk dalam famili yang melakukan parental care.
37
4.2. Kondisi Habitat Dasar Terumbu Karang 4.2.1. Penutupan Bentik Terumbu Karang Menilik hasil eksplorasi kegiatan pemijahan ikan terumbu di sepuluh lokasi potensial pemijahan dalam kawasan Kepulauan Seribu, dilakukan pengambilan data kondisi habitat atau substrat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik habitat pemijahan yang terdapat di kawasan Kepulauan Seribu. Pengambilan data komunitas bentik terumbu dilakukan pada kedalaman 3 dan 8 meter dengan menggunakan metode transek garis menyinggung (Line Intercept Transect). Kesepuluh lokasi potensial pemijahan ikan terumbu tersebut adalah bagian selatan, barat, dan timur Pulau Panggang (SPG, BPG, TPG), Area Perlindungan Laut Kelurahan Pulau Panggang (APL), Karang Balik Layar (KBL), Tanjung Penyu (TJP), Utara Pulau Pramuka (UPR), Pulau Air (AIR), Karang Congkak (KCK), serta Pulau Payung (PAY). Penilaian kondisi habitat didasari oleh penutupan kategori bentik terumbu yang disarikan dalam empat kelompok, yaitu HC (hard corals atau karang keras), Biotik, Abiotik, dan DC (dead corals). Kategori HC terdiri atas kelompok karang keras yang masih hidup, contohnya karang Acropora dengan bentuk pertumbuhan menjari (Acropora Digitate atau ACD), karang kompak (Coral Massive atau CM), dan kategori karang lain mengacu pada English et al. (1997) sebagaimana tersaji pada Tabel 2. Kategori Biotik ditujukan untuk seluruh biota bentik selain karang keras yang menghuni atau menyusun habitat dasar terumbu, seperti karang keras, alga, gorgonian, dan sebagainya. Dua kategori lain, adalah DC, yang merujuk pada karang mati baik yang sudah ditutupi alga maupun belum, serta Abiotik yang meliputi seluruh penutupan kategori bentik
38
selain karang keras, biotik, dan karang mati (misalnya pasir dan rubble/patahan karang). Hasil penilaian kondisi bentik terumbu untuk kedalaman 3 meter disajikan pada Gambar 13. Dari sepuluh stasiun penelitian, hanya satu yang memiliki kondisi terumbu karang baik berdasarkan penutupan karang keras hidup, yaitu Barat Pulau Panggang atau BPG (52,68%). Bentuk pertumbuhan karang keras yang umum dijumpai di BPG adalah CS (15,88%), ACT (9,44%), dan CE (8,20%) (Lampiran 1). Kondisi yang tergolong buruk ada di TPG, UPR, APL, dan AIR. Penutupan karang keras terendah dijumpai di TPG (18,04%), dengan
Penutupan Substrat (%)
penutupan bentik tertinggi ada pada kategori CM (12%). 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
SPG
BPG
TPG
APL
KBL
TJP
UPR
AIR
KCK
PAY
HC
49.80% 52.68% 18.04% 19.40% 41.76% 47.84% 18.60% 22.16% 37.16% 37.60%
BIOTIK
9.28% 3.60% 18.56% 12.12% 11.80% 4.64% 0.00% 0.00% 3.12% 2.84%
ABIOTIK 0.72% 5.68% 28.16% 49.32% 2.32% 14.52% 54.88% 30.88% 33.36% 51.36% DCA
40.20% 38.04% 35.24% 19.16% 44.12% 33.00% 26.52% 46.96% 26.36% 8.20%
Keterangan: SPG= Selatan Panggang; TJP= Tanjung Penyu; BPG= Barat Panggang; UPR= Utara Pramuka; TPG=Timur Panggang; AIR= Pulau Air; APL= Area Perlindungan Laut Kelurahan Pulau Panggang; KCK= Karang Congkak; KBL= Karang Balik Layar; PAY= Pulau Payung
Gambar 13. Histogram penutupan bentik terumbu pada kedalaman 3 meter Tujuh stasiun penelitian, yaitu SPG, BPG, TPG, APL, UPR, KBL dan TJP terletak dalam satu kawasan di sekitar Pulau Panggang dan Pulau Pramuka, yang menjadi pusat kegiatan manusia dan administrasi wilayah Kabupaten dan
39
Taman Nasional. Kisaran penutupan karang hidup di kawasan ini adalah 18,0452,68%, yang tergolong kondisi buruk sampai baik. Stasiun penelitian lain, yaitu KCK, terletak di bagian utara, sedangkan AIR dan PAY berada di bagian selatan. KCK memiliki penutupan HC sebesar 37,16% dan tergolong dalam kondisi sedang, dengan bentuk penutupan karang keras yang umum dijumpai adalah CM (20,88%). Penutupan substrat oleh karang keras di AIR dan PAY sebesar 22,16% dan 37,60%. Berdasarkan data penutupan karang hidup tersebut, AIR tergolong dalam kondisi buruk, sedangkan PAY tergolong dalam kondisi sedang. Kategori non karang yang mendominasi penutupan di stasiun penelitian adalah DCA. Penutupan substrat oleh DCA berkisar antara 8,20-46,96%, dengan penutupan terendah dijumpai di PAY serta tertinggi di AIR. Tingginya penutupan substrat oleh DCA dapat disebabkan oleh berbagai hal. Aktifitas manusia dan perubahan kondisi lingkungan merupakan faktor penyebab yang cukup dominan di wilayah manapun (Hughes et al., 2003). Tingginya aktifitas manusia pada beberapa lokasi di sekitar stasiun pengamatan sangat mempengaruhi kondisi ekosistem di kawasan tersebut. Kategori Biotik memiliki penutupan paling tinggi di bagian TPG (18,56%). Pada lokasi tersebut seluruh kategori Biotik yang ditemui tergolong dalam kategori OT (others, seperti Diadema sp.). UPR didominasi oleh kategori Abiotik dengan persen penutupan sebesar 54,88%. Karang mati ditemukan hampir merata di seluruh lokasi penelitian, namun lokasi penelitian di PAY memiliki penutupan karang mati paling kecil (8,20%). Gambar 14 menunjukkan kondisi bentik terumbu kedalaman 8 meter. Berdasarkan penutupan substrat oleh karang hidup, kedalaman 8 meter tergolong dalam kondisi buruk sampai sedang. Penutupan kategori HC yang dijumpai di
40
stasiun penelitian berkisar antara 4,28-37,60%. Penutupan HC tertinggi terdapat di PAY dan terendah di UPR. Bentuk pertumbuhan karang hidup yang paling dominan di PAY adalah ACT dengan nilai penutupan 13,50%. Pada lokasi penelitian UPR bentuk pertumbuhan karang hidup yang paling dominan adalah
Penutupan Substrat (%)
CS (2,24%). 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% HC
SPG
BPG
TPG
APL
KBL
TJP
UPR
AIR
KCK
PAY
14.28% 17.52% 17.72% 3.32% 24.44% 29.72% 4.28% 16.28% 19.76% 37.60%
BIOTIK 32.88% 3.44% 2.40% 17.12% 12.04% 8.80% 0.00% 24.28% 0.68% 2.84% ABIOTIK 22.08% 33.88% 45.60% 70.24% 34.20% 9.16% 95.72% 53.56% 44.84% 51.36% DCA
30.76% 45.16% 34.28% 9.32% 29.32% 52.32% 0.00% 5.88% 34.72% 8.20%
Keterangan: SPG= Selatan Panggang; TJP= Tanjung Penyu; BPG= Barat Panggang; UPR= Utara Pramuka; TPG=Timur Panggang; AIR= Pulau Air; APL= Area Perlindungan Laut Kelurahan Pulau Panggang; KCK= Karang Congkak; KBL= Karang Balik Layar; PAY= Pulau Payung
Gambar 14. Histogram penutupan bentik terumbu pada kedalaman 8 meter Penutupan substrat pada kedalaman 8 meter yang paling dominan ditemukan adalah kategori Abiotik dengan kisaran 9,16-95,72%. Penutupan substrat oleh kategori Abiotik tertinggi dijumpai di lokasi penenlitian UPR. Penutupan substrat oleh kategori DCA tertinggi ditemukan di TJP dengan nilai penutupan 52,32%. Lokasi penelitian SPG memiliki penutupan kategori Biotik tertinggi (32,88%), yang didominasi oleh karang lunak (soft corals) yaitu sebesar 22,08%.
41
Melihat Gambar 13 dan 14, dapat diketahui bahwa pada kedalaman 3 meter, penutupan substrat di dominasi oleh kategori HC dan Abiotik, sedangkan pada kedalaman 8 meter didominasi oleh kategori Abiotik. Hal ini menunjukkan bahwa kedalaman 8 meter mengalami tekanan ekologis yang lebih tinggi daripada kedalaman 3 meter. Tekanan ekologis dapat berasal dari perbuatan manusia maupun dari faktor pembatas alami kehidupan terumbu karang (Hughes et al., 2003). Kerusakan akibat perbuatan manusia dapat berasal dari kegiatan perikanan tangkap seperti nelayan muroami. Ikan dengan ukuran yang lebih besar cenderung berada di kedalaman yang lebih dalam, terutama ikan-ikan yang tergolong dalam kelompok ikan target. Kondisi tersebut menyebabkan kegiatan penangkapan menggunakan metode muroami lebih sering berada pada kedalaman yang lebih dalam (Chabanet et al., 2005). Faktor pembatas alami seperti intensitas cahaya, arus dan salinitas juga sangat mempengaruhi kondisi terumbu karang. Kedalaman yang lebih dalam cenderung mendapat intensitas cahaya yang semakin kecil dibandingkan dengan kedalaman yang lebih dangkal. Menurut Veron (2010), keanekaragaman hayati terumbu karang dipengaruhi oleh kondisi habitat dan lingkungannya. Kondisi lingkungan yang mengatur keanakaragaman hayati terumbu karang adalah suhu perairan, salinitas, pergerakan gelombang, arus, dan sedimentasi (Veron, 2000). Kondisi lingkungan tersebut biasanya dipengaruhi oleh jarak dengan masukan air tawar ataupun mulut sungai terdekat. 4.2.2. Indeks Mortalitas Karang dan Indeks Rugositas Kondisi habitat pada lokasi penelitian dijelaskan juga melalui indeks mortalitas/kematian karang. Indeks ini menunjukkan seberapa besar perubahan
42
yang terjadi pada karang hidup. Semakin tinggi nilai indeks mortalitas pada suatu lokasi dapat diartikan semakin tingginya kematian karang pada lokasi tersebut, selain itu juga berarti tekanan ekologis yang terjadi di lokasi itu sangat tinggi sehingga menimbulkan kematian karang. Indeks Rugositas digunakan untuk mengetahui pola kontur dasar yang ada pada suatu lokasi. Semakin tinggi nilai rugositas (nilai rugositas mendekati 1), maka kontur kawasan terumbu tergolong datar atau rata. Bila dasar terumbu bersifat datar, maka hanya sedikit ditemukan celah yang menjadi tempat berlindung ikan yang menunggu masa pemijahan berlangsung. Hal ini berpotensi mengurangi populasi dan jumlah jenis ikan, maupun biota makrobenthos lain di suatu ekosistem terumbu karang. Secara lebih spesifik, celah, liang, dan gua yang terbentuk di dasar terumbu seringkali dimanfaatkan oleh ikan terumbu betina sebagai tempat berlindung dari predator sebelum pemijahan berlangsung. Gambar 15 menunjukkan indeks kematian karang dan rugositas pada kedalaman 3 meter. Berdasarkan grafik tersebut diketahui bahwa kontur substrat terumbu di seluruh lokasi penelitian cenderung datar (nilai indeks rugositas mendekati 1) yang berarti tak banyak ditemui celah atau liang yang biasa dimanfaatkan ikan terumbu sebagai tempat perlindungan. Gambar 15 juga menjelaskan bahwa di lokasi penelitian PAY tidak terdapat perubahan yang signifikan untuk tingkat kematian karang, sedangkan di AIR dan KCK kematian karang yang terjadi paling tinggi dibandingkan dengan lokasi yang lain.
43
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
SPG
BPG
TPG
APL
KBL
TJP
UPR
AIR
KCK
PAY
rugositas 0.75
0.71
0.78
0.79
0.83
0.77
0.75
0.84
0.85
0.68
imk
0.45
0.77
0.78
0.53
0.48
0.81
0.78
0.62
0.39
0.45
Keterangan: SPG= Selatan Panggang; TJP= Tanjung Penyu; BPG= Barat Panggang; UPR= Utara Pramuka; TPG=Timur Panggang; AIR= Pulau Air; APL= Area Perlindungan Laut Kelurahan Pulau Panggang; KCK= Karang Congkak; KBL= Karang Balik Layar; PAY= Pulau Payung
Gambar 15. Indeks mortalitas karang dan rugositas pada kedalaman 3 meter Tingkat kematian karang pada kedalaman 8 meter yang tergambar dalam Gambar 16 menunjukkan tingkat yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kedalaman 3 meter. Pada kedalaman 8 meter indeks kematian karang paling tinggi terdapat di lokasi penelitian APL dan UPR dengan nilai indeks mortalitas karang sebesar 0,96. Nilai tersebut bila dibandingkan dengan lokasi yang sama pada kedalaman 3 meter tampak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan pada lokasi ini tingkat kematian karang keras pada kedalaman 8 meter lebih tinggi dari pada kedalaman 3 meter. Lain halnya dengan lokasi penelitian di kawasan AIR, pada lokasi ini kematian karang yang lebih tinggi terjadi pada kedalaman 3 meter.
44
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
SPG
BPG
TPG
APL
KBL
TJP
UPR
AIR
KCK
PAY
rugositas 0.79
0.61
0.65
0.56
0.49
0.8
0.88
0.76
0.68
0.68
imk
0.78
0.75
0.96
0.65
0.66
0.96
0.78
0.80
0.39
0.69
Keterangan: SPG= Selatan Panggang; TJP= Tanjung Penyu; BPG= Barat Panggang; UPR= Utara Pramuka; TPG=Timur Panggang; AIR= Pulau Air; APL= Area Perlindungan Laut Kelurahan Pulau Panggang; KCK= Karang Congkak; KBL= Karang Balik Layar; PAY= Pulau Payung
Gambar 16. Indeks mortalitas karang dan rugositas pada kedalaman 8 meter Nilai rugositas pada kedalaman 3 meter, secara umum menunjukkan kondisi topografi yang cenderung lebih landai dibandingkan dengan kedalaman 8 meter. Gambar 16 menunjukkan bahwa habitat yang lebih memungkinkan sebagai tempat pemijahan terletak di lokasi penelitian APL dan KBL. Nilai rugositas pada kedua lokasi tersebut menunjukkan bahwa di tempat tersebut paling banyak ditemukan celah-celah dan gua-gua yang menjadi tempat perlindungan bagi ikan. Habitat pesisir khususnya yang telah diekspose dan dieksploitasi, rentan terhadap berbagai gangguan dari alam dan manusia. Gangguan dari alam yaitu, badai tropis dan gelombang yang besar, paparan pasang surut, fluktuasi suhu, masukan air dari darat, serta berbagai macam penyakit yang bervariasi intensitas dan frekuensiny (Connel et al., 1997). Manusia menyebabkan gangguan fisik yang cukup banyak. Beberapa contohya adalah eksploitasi berlebih biota-biota
45
yang berada dalam terumbu karang, penambangan batu karang dan pengerukan, kegiatan penangkapan ikan yang merusak (Chabanet et al., 2005), serta kegiatan pariwisata (Zakai dan Chadwick-Furman, 2002; Chabanet et al., 2005; Fox dan Caldwell, 2006). Kedua gangguan tersebut menghasilkan efek yang sama pada ekosistem terumbu karang (Fox dan Caldwell, 2006). Pengamatan yang dilakukan pada 10 lokasi potensial pemijahan menemukan bahwa seluruh lokasi pengamatan merupakan lokasi yang telah diekspose dan dieksploitasi, baik sebagai titik tujuan penyelaman utama bagi turis yang menginap di kawasan Pulau Pramuka, dan juga sebagai lokasi penangkapan ikan penting bagi nelayan sekitar. Terdapat 3 lokasi yang menjadi titik penyelaman favorit bagi para wisatawan, yaitu area Pulau Air, Pulau Panggang bagian barat dan selatan, serta kawasan APL. Area potensial pemijahan ikan terumbu di Pulau Panggang, Karang Lebar, dan APL (zona pemanfaatan) merupakan wilayah penangkapan ikan yang produktif menurut nelayan setempat. Banyak ditemukan keramba di area-area tersebut juga menguatkan bahwa lokasilokasi potensial pemijahan ikan terumbu yang diamati merupakan area yang telah terekspose dan tereksploitasi. Hasil pengamatan kondisi substrat yang disajikan dalam subbab ini menunjukkan hanya terdapat satu lokasi (BPG) yang memiliki kondisi karang baik menurut klasifikasi Gomez dan Yap (1988). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat gangguan/tekanan di area-area tersebut sehingga tidak dapat mencapat kondisi yang optimum atau memiliki penutupan karang yang tergolong baik. Gangguan/tekanan ekologis yang terjadi dapat bersifat akut atau kronis (Connell, 1997). Gangguan akut adalah gangguan tunggal yang secara langsung
46
mempengaruhi lingkungan dengan sifat sementara, sedangkan gangguan kronis adalah gangguan jangka panjang. Jika serangkaian gangguan akut pada suatu lingkungan terjadi begitu sering dan hanya terdapat waktu yang singkat untuk pulih, maka akan dinggolongkan sebagai suatu gangguan kronis. Penangkapan berlebih dan kegiatan pariwisata yang merusak merupakan cotoh dari gangguan yang telah bersifat kronis. Hal ini dapat disimpulkan dari jumlah penduduk Kepulauan Seribu yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan dengan titik penangkapan ikan yang sama, serta dari tingginya jumlah wisatawan yang datang tiap minggu. Distribusi dan kelimpahan ikan memiliki korelasi positif dengan distribusi dan kelimpahan karang hidup. Kesehatan hewan karang akan berkurang bila terjadi peningkatan tekanan ekologis pada kawasan hidupnya (Fuad, 2010). Hal tersebut dikarenakan hewan karang merupakan biota yang tidak bergerak (sessile), sehingga tidak dapat menghindari perubahan kondisi lingkungan yang terjadi dalam jangka waktu yang lama. Berbeda halnya dengan biota lain yang dapat bergerak seperti ikan yang dapat berpindah mencari lokasi yang lebih baik. Choat dan Bellwood (1991) mengatakan terdapat ada tiga bentuk umum interaksi yang terjadi antara ikan terumbu dan terumbu karang, yaitu : 1. Interaksi langsung, yakni sebagai tempat predator atau pemangsa, terutama bagi ikan-ikan muda 2. Interaksi dalam mencari makan, mencakup hubungan antara ikan terumbu dan biota yang hidup pada karang termasuk alga 3. Interaksi tidak langsung sebagai akibat dari struktur dan kondisi hidrologi dan sedimen.
47
Kerapatan penutupan karang keras akan berdampak pada makin banyak polip karang yang hidup (Fuad, 2010). Hal ini berpengaruh pada densitas ikan yang ada di kawasan tersebut terutama ikan-ikan herbivor. Semakin banyak jumlah ikan herbivor yang ada juga akan berpengaruh pada densitas ikan karnivora yang ada di kawasan tersebut, maka dari itu interaksi ikan terumbu dan terumbu karang dapat dikatakan cukup erat (Mumby, 2006).
4.3. Ekotipologi Habitat Pemijahan Dalam penelitian ini dilakukan analisis pengelompokkan untuk mengetahui karakteristik habitat dasar terumbu yang menjadi ciri habitat pemijahan ikan terumbu. Pengelompokan dilakukan dengan berdasarkan data eksplorasi kegiatan pemijahan dan data kondisi habitat potensial pemijahan. Dari data awal yang diperoleh telah menemukan satu lokasi habitat pemijahan ikan terumbu yaitu di area Pulau Payung. Ekotipologi/pengelompokkan habitat dilakukan untuk mengetahui lokasi potensial lainnya yang bisa menjadi atau memiliki kemungkinan paling besar merupakan habitat pemijahan. Pengelompokan habitat dilakukan pada dua strata kedalaman, yaitu 3 meter dan 8 meter. Parameter yang digunakan dalam pengelompokkan adalah penutupan seluruh kateogri bentik terumbu, indeks mortalitas karang, dan topografi dasar (Indeks Kemajemukan Habitat). Kobara (2009) mengatakan bahwa karakteristik geomorfologi substrat dasar merupakan variabel yang paling penting dibandingkan variabel yang lain.
48
0.5 0.45 0.4
0,37
Dissimilarity
0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
P A Y
S P G
T P G
A P L
B P G
K B L
T J P
K C K
U P R
A I R
Keterangan: SPG= Selatan Panggang; TJP= Tanjung Penyu; BPG= Barat Panggang; UPR= Utara Pramuka; TPG=Timur Panggang; AIR= Pulau Air; APL= Area Perlindungan Laut Kelurahan Pulau Panggang; KCK= Karang Congkak; KBL= Karang Balik Layar; PAY= Pulau Payung
Gambar 17. Dendrogram kelompok habitat dasar terumbu kedalaman 3 meter Pada Gambar 17, tampak bahwa kedalaman 3 meter terbagi menjadi 4 kelompok habitat pada tingkat kesamaan 0,63. Hal ini berarti dari masing-masing anggota kelompok habitat memiliki setidaknya 63% kesamaan ciri. Kelompok habitat pertama (KH1) memiliki 6 anggota yaitu, Pulau Air (AIR), Utara Pulau Pramuka (UPR), Karang Congkak (KCK), Tanjung Penyu (TJP), Karang Balik Layar (KBL), dan Barat Pulau Panggang (BPG). Kelompok habitat pertama dicirikan dengan nilai rugositas yang tinggi (mendekati 1), yaitu 0,71-0,85. Nilai tersebut menunjukkan kondisi dasar perairan yang landai sehingga dapat dipastikan ketersediaan tempat berlindung berupa cekungan atau goa yang digunakan oleh ikan selama proses pemijahan kurang. Kelompok habitat ini memiliki 5 kesamaan kategori penutup bentik terumbu yaitu, CB, CE, CM, Rb, dan DCA. Data eksplorasi tanda pemijahan juga memperkuat pengelompokkan
49
keenam lokasi tersebut dalam satu kelompok habitat. Hasil eksplorasi menunjukkan bahwa pada lokasi-lokasi tersebut jarang dan bahkan tidak ditemukan adanya kegiatan maupun tanda pemijahan ikan terumbu. Kelompok habitat kedua (KH2) beranggotakan satu anggota yaitu APL. Lokasi ini memiliki penutupan substrat oleh CF (11,64%) dan ACD (0,52%) tertinggi dibandingkan lokasi yang lain. Pengamatan pemijahan di APL menemukan dua tanda pemijahan, yaitu agregasi serta perubahan morfologi pada tubuh ikan. Ikan terumbu yang teramati dengan tanda pemijahan di APL adalah Centriscidae atau ikan piso-piso (Aeoliscus strigatus). SPG dan TPG masuk dalam kelompok habitat ketiga (KH3). KH3 memiliki karakteristik yang cukup unik, yaitu kedua lokasi yang tergolong di dalamnya memiliki 7 kesamaan kategori penutup bentik terumbu (ACB, CF, CSM, CM, OT, Rb, dan DCA. Kelompok habitat tiga ditandai dengan penutupan subtrat dasar oleh kategori DCA sebesar 35,24%-40,20%. Hasil eksplorasi kegiatan pemijahan ikan menunjukkan bahwa KH3 adalah lokasi yang memiliki tanda pemijahan paling banyak ditemukan. Hal tersebut menandakan bahwa secara naluriah nelayan telah menggunakan wilayah terumbu karang yang menjadi habitat pemijahan sebagai fishing ground karena dari 10 famili ikan yang dijumpai menunjukkan tanda pemijahan di dua stasiun penelitian tersebut. Di KH3 dijumpai 5 famili merupakan ikan target tangkapan nelayan yaitu Serranidae, Caesionidae, Lutjanidae, Siganidae, dan Caesionidae; selain dijumpai 6 tanda pemijahan dari tujuh tanda yang dieksplorasi. Pulau Payung (PAY) merupakan anggota tunggal Kelompok Habitat ke-4 (KH4). Hal ini di sebabkan oleh keunikan profil habitat dasar Pulau Payung yang
50
tidak dijumpai di kelompok habitat atau stasiun penelitian yang lain. KH4 dicirikan dengan penutupan kategori DCA terendah sebesar 8,20%, selain itu penutupan substrat oleh ACT 13,50%, dan CB 12,40% merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan kelompok habitat yang lain. Kategori bentik terumbu tersebut memungkinkan terciptanya liang atau celah terumbu, serta memperumit kompleksitas habitat dasar terumbu karang sebagaimana ditunjukkan oleh nilai indeks kemajemukan habitat. Selain berdasarkan penutupan kategori bentik tertentu, KH4 juga dicirikan oleh rendahnya nilai IMK dan IKH, yaitu 0,18 dan 0,68. Hal ini didukung pula oleh tanda pemijahan yang ditemukan di lokasi penelitian tersebut, yakni ditemukannya peristiwa pemijahan Thalassoma lunare. 0.5 0.45 0.4
0,37
Dissimilarity
0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
P A Y
A P L
U P R
B P G
K B L
T J P
A I R
K C K
S P G
T P G
Keterangan: SPG= Selatan Panggang; TJP= Tanjung Penyu; BPG= Barat Panggang; UPR= Utara Pramuka; TPG=Timur Panggang; AIR= Pulau Air; APL= Area Perlindungan Laut Kelurahan Pulau Panggang; KCK= Karang Congkak; KBL= Karang Balik Layar; PAY= Pulau Payung
Gambar 18. Dendrogram kelompok habitat dasar terumbu kedalaman 8 meter Pengelompokkan habitat untuk kedalaman 8 meter ditunjukkan pada Gambar 18. Dendrogram tersebut menunjukkan bahwa ada 4 kelompok habitat
51
pada tingkat kesamaan 0,63. Kelompok habitat pertama adalah bagian Timur Pulau Panggang (TPG). KH1 dicirikan dengan penutupan pasir (S) sebesar 25,88%. Kelompok habitat kedua adalah Selatan Pulau Panggang (SPG). Kelompok habitat kedua memiliki penutupan substrat oleh kategori biotik paling tinggi (32,88%). Kategori biotik yang paling mendominasi pada lokasi ini adalah soft corals (22,08%). Penutupan substrat oleh soft corals pada KH2 merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan kelompok habitat yang lain. Kelompok habitat ketiga memiliki 7 anggota, yaitu KCK, AIR, TJP, KBL, BPG, UPR, dan APL. Berdasarkan data bentik terumbu yang diperoleh, ketujuh lokasi ini tergolong dalam kondisi buruk dengan nilai penutupan sebesar 4,28%-29,72%. Pulau Payung (PAY) tergolong dalam kelompok keempat. KH4 pada kedalaman 8 meter ditandai dengan nilai penutupan substrat oleh karang hidup tertinggi (37,60%), yang didominasi oleh Acropora meja (ACT – Acropora tabulate) sebesar 13,5% dan karang bercabang (CB) sebesar 12,4%. Berdasarkan data-data yang diperoleh dan hasil pengolahan yang telah dilakukan, dapat diketahui karakteristik habitat potensial pemijahan ikan terumbu di Kepulauan Seribu. Kesepuluh lokasi potensial pemijahan ikan terumbu yang diidentifikasi memiliki kesamaan karakteristik. Domeier et al. (2002) pada penelitiannya, menyebutkan bahwa kegiatan pemijahan yang ditemukan berada di daerah tanjung, di tepi bagian luar terumbu karang (menghadap ke laut), dan di chanel/saluran air. Kondisi tersebut sama seperti yang ditemukan di area potensial pemijahan Kepulauan Seribu, baik pada kedalaman 3 meter maupun kedalaman 8 meter. Karakteristik tersebut memungkinkan adanya arus yang kencang. Selain itu ketersediaan hamparan lamun pada lokasi ini juga merupakan
52
syarat penting menjadi habitat pemijahan. Kombinasi antara arus yang lebih kuat saat kondisi bulan gelap/terang dengan keberadaan lamun sebagai habitat pemeliharaan, dapat mempertinggi probabilitas survival larva ikan yang terbentuk setelah kegiatan pemijahan berlangsung. Beberapa informasi tambahan yang didapatkan dari nelayan menyatakan bahwa lokasi gosong karang yang memiliki goba merupakan lokasi yang sangat potensial. Hal ini berdasarkan dari hasil tangkapan nelayan di sekitar saluransaluran air yang terbentuk di sekeliling goba. Fase bulan gelap dan terang merupakan waktu biasanya ikan-ikan target melakukan agregasi untuk memijah, baik di sekitar lokasi tersebut, maupun masuk menuju goba. Kondisi ini dimungkinkan terjadi karena wilayah goba dikelilingi oleh hamparan lamun yang cukup luas, sehingga dapat menjadi tempat menempel telur-telur yang telah dibuahi. Bentuk topografi substrat menunjukkan bahwa Pulau Payung memiliki kontur dasar perairan yang kasar, yang membuktikan bahwa lokasi tersebut memiliki cukup banyak celah, cekungan, ataupun goa yang dimanfaatkan ikan sebagai tempat persembunyian sebelum dan sesudah melakukan pemijahan. Hasil dendrogram yang dihasilkan dalam penelitian ini belum dapat menunjukkan dengan pasti klasifikasi habitat pemijahan di Kepulauan Seribu. Hal ini disebabkan karena masih ada aspek habitat yang belum diikutsertakan dalam pembentukan kelompok habitat, seperti suhu perairan, kecepatan dan arah arus, elevasi pasut, dan lain-lain. Keterbatasnya sumberdaya yang tersedia serta keterbatasan informasi yang didapatkan dilapangan merupakan faktor yang mempengaruhi hasil analisis yang dilakukan.
53
Kekurangan parameter yang diambil juga merupakan salah satu penyebab, namun perubahan bentuk habitat baik akibat kejadian alam maupun ulah manusia tidak dapat dipungkiri berpengaruh pada perbedaan hasil yang diperoleh. Setiap makhluk hidup melakukan adaptasi agar dapat terus melanjutkan hidupnya, selama ikan-ikan tersebut masih bisa beradaptasi atau menemukan lokasi lain yang memiliki kesamaan yang hampir mirip dengan lokasi pemijahan sebelumnya, proses pemijahan masih dapat dilakukan. Lokasi-lokasi yang memiliki kesamaan dengan lokasi pemijahan yang telah ditemukan dapat diusulkan untuk direhabilitasi agar memiliki karakteristik yang sama dengan lokasi yang secara fungsional masih berperan sebagai lokasi pemijahan. Hal ini bertujuan menjaga keberlanjutan stok ikan terumbu yang ada di perairan Kepulauan Seribu.