PERBAIKAN CARA PENGOLAHAN IKAN PINDANG (INNOVATION PROCESS OF BOILED FISH) I Gde Suranaya Pandit *) Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa, Denpasar*)
ABSTRACT Nowdays, fish has widely consumed as foodstuff, in other hand, fish become spoiled in fast time (perishable food), its caused by some factors like high proteins, and environmental that appropriate for spoiler microorganism to grow. This research is belong to experimental factor that use clustered random sampling by factorial. Factor A is the way of processing (boiling and steaming). Factor B is storage time 0 day, 1 day, 2 days. The raw materials is frigate mackerel which caught by traditional fisherman. The experiment process is first, each five frigate mackerel on a basket. Fishes is scattered by coarse salt and other by refined salt, and dip on the aluminium container with boiled water. Boiling process for 30 minutes, and steaming process for 60 minuts until the frigate mackerel is cooked. Statistical analysis result of safety quality of fish showed significant, whereas the safety quality of frigate mackerel fish by steaming process is better than boiling process, but both are safe for consumption. For the boiling process, it’s still safe to be consumed only in day 1. Steamed Fish has longer storage time than boiled fish, steamed fish can be consumed until day 2. Keywords : boiling and steaming method, processing fish boiled.
PENDAHULUAN Pindang ikan tongkol merupakan produk olahan tradisional dengan sarana dan prasarana sangat sederhana, seperti penyimpanan ikan tongkol segar, proses penggaraman ditambahkan garam rakyat, peralatan untuk merebus serta penggunaan air perebus dari air sumur, sehingga dihasilkan pindang yang memiliki mutu rendah. Proses perebusan dilakukan secara berulang-ulang hingga beberapa kali, sampai ikan tongkol habis (bahan baku habis). Keadaan ini akan berpengaruh terhadap mutu dan keamanan pindang ikan tongkol yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena untuk menunggu proses perebusan berikutnya ikan tongkol dibiarkan pada suhu kamar, sehingga akan berlangsung proses pembusukan, disamping air perebus yang sudah berulang kali digunakan. Salah satu produk proses pembusukan ikan tongkol adalah histamin sebagai penyebab keracunan (histamine fish poisoning). Menurut McLauchlin et al, (2005) dan Jiang et al, (2007) ikan famili scombroid banyak mengandung asam animo histidin bebas didalam daging ikan maupun isi perut yang dapat diubah menjadi histamin melalui dekarboksilasi oleh aktivitas bakteri pembentuk histamin. Selanjutnya hasil penelitian Dissaraphong et al, (2006) menyatakan bahwa keberadaan histamin dalam jumlah besar dapat menyebabkan keracunan bahkan kematian. Secara organoleptik juga dapat diamati dengan jelas pindang yang bermutu tinggi dengan pindang yang sudah menurun mutunya. Pada akhirnya mutu bahan baku menjadi rendah dan masa simpan pindang ikan tongkol menjadi pendek. Pemindangan adalah suatu teknik pengolahan dan pengawetan dengan cara merebus/mengukus ikan dalam suasana bergaram selama jangka waktu tertentu didalam suatu wadah dan selanjutnya terjadi proses pengurangan kadar air sampai batas tertentu (Pandit, 2004). Menurut Ilyas (1980) prinsip dasar pemindangan adalah: 1. membunuh atau mengurangi bakteri melalui pemanasan, 2. Penambahan garam dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri yang tersisa pada ikan, 3. Terjadinya pengurangan kadar air pada daging ikan. Keberhasilan proses pemindangan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesegaran ikan sebagai bahan baku, mutu garam dan kondisi lingkungan (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Mekanisme pengawetan dengan garam (NaCl) menurut Winarno dan Betty (1983) yaitu garam yang mempunyai tekanan osmotik tinggi dapat mengakibatkan plasmolisis dari sel mikroba dan dapat menyerap air dari bahan makanan dan lingkungannya, sehingga aktivitas air dari bahan makanan akan rendah dan pertumbuhan mikroba dapat dihambat hal ini disebabkan karena garam mempunyai sifat hygroskopis. Penambahan garam ke dalam bahan pangan akan menambah citarasa produk, terutama memberi rasa asin (Winarno, 1989). Makanan tanpa garam meskipun diberi bumbu banyak akan terasa hambar. Meskipun garam tidak dapat membunuh semua jenis mikroba, tetapi pada umumnya mikroba yang menyebabkan pembusukan dapat dihambat pertumbuhannya. Pada konsentrasi garam 10-15% sudah cukup untuk membunuh sebagian besar jenis bakteri, kecuali jenis bakteri halofilik yaitu jenis bakteri yang tahan terhadap konsentrasi yang tinggi antara lain Pseudomonas dan Sarcina yang dapat menyebabkan warna merah dan bau kurang enak pada ikan asin (Saripah dan Setiasih, 1980). Menurut Suparno (1993), kadar garam yang masih bisa ditahan oleh lidah maksimal 20% dari bobot ikan seluruhnya, bila lebih tinggi akan menghasilkan ikan yang rasanya pahit. Anon (1978), mengatakan penggunaan garam sebesar 15% dari berat ikan sudah cukup efektif untuk mengawetkan ikan pindang sedangkan menurut Nitibaskara (1980) bahwa dalam pemindangan kadar garam yang optimal adalah 15% dan pindang yang paling disukai adalah dengan kadar garam 10%. Untuk memperpanjang daya awet pindang ikan kembung dapat menggunakan ganggang laut (Sargassum sp) dengan lama penyimpanan 3 minggu (Hidayat et al, 1996), begitu pula pengawetan pindang ikan layang menggunakan kitosan mampu mempertahankan mutu sampai 3 hari (Ariyani dan Yennie, 2008). Kajian masa simpan pindang botol ikan mas (Cyprinus carpio) ditinjau dari lama waktu pengukusan yang berbeda diperoleh bahwa pengukusan selama 3 jam menghasilkan mutu yang lebih baik (Aryani dan Rario, 2006). Sedangkan pembuatan ikan pindang dengan waktu perebusan 60 menit pada ikan motan dihasilkan mutu terbaik (Riyanto et al, 2010)
dan untuk pembuatan pindang ikan kembung dengan lamanya proses perebusan 2,5 jam menghasilkan mutu gizi terbaik (Hidayat dan Ibrahim, 1996). Pemindangan adalah salah satu cara pengawetan ikan yang merupakan kombinasi dari penggaraman dan perebusan. Di Indonesia, pemindangan akan menghasilkan produk khusus yang langsung diperdagangkan dan dikonsumsi oleh konsumen (Moeljanto, 1982). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mutu keamanan dan umur simpan pindang ikan tongkol (Auxis tharzard, Lac) yang diproses dengan cara perebusan dan cara pengukusan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan rancangan acak kelompok (RAK) pola faktorial, 2 faktor. Faktor A adalah perbaikan cara pengolahan yang terdiri dari 2 taraf yaitu alat yang digunakan yaitu seperangkat alat pengolahan pindang ikan secara tradisional berupa panci perebusan dari alumunium sebagai wadah perebus, tungku pemanas dari batako dan sumber api dari kayu bakar. dan seperangkat alat pengolahan pindang ikan yang merupakan inovasi perlakuan yaitu panci pengukusan alumunium dengan sekat berlobang untuk proses pengukusan, kompor gas serta gas elpigi sebagai sumber pemanas. Faktor B adalah umur penyimpanan yang terdiri dari 3 taraf yaitu 0 hari, 1 hari dan 2 hari.
Gambar 1. Bahan baku, dan proses penggaraman ikan tongkol. Adapun prosedur penelitian sebagai berikut : populasi ikan tongkol (Auxis thazard, Lac) segar dengan panjang total ± 25 cm dan berat ± 200 g yang diperoleh dari hasil tangkapan nelayan tradisional di perairan Amed Desa Purwokerti Kabupaten Karangasem Bali, diambil masing-masing sebanyak 5 ekor (S) disusun pada keranjang bambu dan kemudian ditaburi garam rakyat yang dibuat secara tradisional dengan butiran besar, berwarna merah kecoklatan sebanyak 9 keranjang dan 9 keranjang lagi ditambahkan garam industri yang sudah diproses skala industri dan sudah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI), sebanyak 10% dari berat ikan. Cara perebusan dan cara pengukusan (Gambar 2) dilaksanakan setelah air sumur milik pengolah ikan dalam panci mendidih, ikan tongkol pada keranjang bambu dimasukkan ke dalam air mendidih sampai seluruh ikan tongkol terrendam pada air mendidih, panci ditutup rapat; begitu juga air sumur yang sudah diproses melalui pengendapan 1 hari sebelum digunakan pada panci aluminium bersekat mendidih, ikan tongkol dimasukkan, panci bersekat ditutup rapat. Proses pemindangan selesai setelah pindang ikan tongkol matang yang ditandai dengan meletusnya mata ikan atau daging bagian ekor retak-retak. Proses perebusan kurang lebih 30 menit, sedangkan proses pengukusan berlangsung selama 60 menit. Untuk memantau temperatur perebusan dan pengukusan dipasang termometer.
Gambar 2. Cara perebusan dan pengukusan Pindang ikan tongkol di angkat untuk selanjutnya ditiriskan selama 30 menit. Analisis keamanan pindang ikan tongkol cara perebusan dan pengukusan dilakukan analisis mutu kimiawi, meliputi kadar garam dengan metode Volhard (Anon, 1994), kadar air dengan metode oven (Anon, 1994), dan kadar histamin dengan alat Microstrip Reader type P300 Series (HISTAQUANT TEST) yang sudah direkomendasi oleh FDA (Biomedix, 2003). Analisis mutu mikrobiologis meliputi jumlah bakteri dengan metode plate count (Anon, 1994), jumlah coliform dengan uji kualitatif coliform meliputi uji penduga dan uji penguat (Anon, 1994) dilanjutkan uji kuantitatif coliform dengan media selektif EMBA (Fardiaz, 1989) dan jumlah E. coli. dengan analisis kuantitatif E. coli yang positif faecal untuk dipupuk pada permukaan media LEMBA (Anon, 1994). Analisis mutu organoleptik meliputi kenampakan, bau dan rasa dengan metode scoring 1-9 (Soekarto 1985), pada penyimpanan hari ke 0; ke 1; dan ke 2 pada suhu kamar. Data yang diperoleh diolah dengan statistical product and service solution (SPSS) 11.05 for windows, yaitu uji Anova faktorial univariate untuk melihat perbedaan perlakuan, dan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Mutu keamanan kimia pindang yang diolah dengan cara perebusan dan cara pengukusan Mutu keamanan kimia pindang ikan tongkol yang diolah dengan cara perebusan dan cara pengukusan selama penyimpanan pada suhu kamar hari ke 0, hari ke 1 dan hari ke 2, meliputi kadar garam, kadar air dan kadar histamin seperti tertuang pada Tabel 1. Tabel 1. Mutu keamanan kimia pindang yang diolah dengan cara perebusan dan cara pengukusan serta umur penyimpanannya. Faktor B Umur penyimpanan (hari)
Ke 0 B0 Ke 1 B1 Ke 2 B2
Faktor A Faktor A Kadar garam (%) Kadar air (%) Faktor cara pengolahan Faktor cara pengolahan Perebusan Pengukusan Perebusan Pengukusan A0 A1 A0 A1 1.91a 1.88 a 66.06 d 64.87 c ± 0.08 ± 0.01 ± 0.22 ± 0.22 c b b 2.36 2.19 63.83 66.05 d ± 0.04 ± 0.10 ± 0.57 ± 0.31 2.48 d ± 0.03
2.36 c ± 0.03
62.71 a ± 0.50
67.06 e ± 0.13
Faktor A Kadar histamin (mg/100 g)
Faktor cara pengolahan Perebusan Pengukusan A0 A1 43.33 c 20.60 a ± 1.17 ± 0.40 e 58.33 28.93 b ± 0.76 ± 0.06 98.20 f ± 0.17
48.63 d ± 0.55
Keterangan : - hasil rata-rata ± SD, n = 3 - notasi huruf supercript yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) (uji anova, dilanjutkan lanjut Duncan).
dengan uji
Kadar garam Mutu keamanan kimia yaitu kadar garam dengan nilairata-rata kadar garam pindang ikan tongkol yang diproses dengan cara perebusan pada hari ke 0 yaitu sebesar 1.91% lebih tinggi dari pada yang diproses dengan cara pengukusan yaitu sebesar 1.88%. Hal ini disebabkan karena pada proses pengolahan pindang dengan cara perebusan, dimana garam larut dalam air perebus sehingga proses penetrasi garam ke dalam daging ikan menjadi lebih cepat dibandingkan dengan cara pengukusan, dimana kristal garam lebih lambat menjadi cair, sehingga penetrasi menjadi lebih lambat. Selanjutnya dilakukan penyimpanan pada suhu kamar sampai hari ke 1 diperoleh kadar garam semakin meningkat, baik dengan cara perebusan maupun cara pengukusan yaitu mulai dari hari ke 1 sebesar 2.36% (A0B1), selanjutnya menjadi sebesar 2.48% penyimpanan hari 2 untuk pindang ikan tongkol yang diproses dengan cara perebusan, karena setelah proses perebusan masih kristal garam yang belum terlarut ada dipermukaan tubuh ikan. Hal ini lebih kelihatan pada proses pengolahan cara pengukusan, dimana kristal garam belum seluruhnya larut, sehingga selama penyimpanan hari ke 1 sebesar 2.19% (A1B1) dan hari ke 2 sebesar 2.36% (A1B2) masih terjadi penetrasi garam (Tabel 1). Berdasarkan analisa varian terjadi interaksi perbedaan nyata (P<0.05) antara faktor pengolahan dengan umur penyimpanan terhadap kadar garam. Hal ini disebabkan karena garam kering yang ditambahkan belum terserap semuanya selama proses pengolahan, baik cara perebusan maupun cara pengukusan, dan masih tersisa sampai saat penyimpanan hari ke 1 dan hari ke 2. Penggaraman merupakan suatu cara pengawetan yang dilakukan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan sampai titik tertentu sehingga bakteri tidak dapat hidup dan berkembang lagi (Hadiwiyoto, 1993). Garam (garam dapur) memiliki daya pengawet yang tinggi, antara lain dapat mengurangi kadar air yang terkandung dalam daging ikan sehingga aktivitas bakteri dalam tubuh ikan menjadi terhambat; dapat
menjadikan protein daging dan protein mikrobia menjadi lisis karena perubahan tekanan osmosa dan ion klorida yang terdapat dalam garam dapur yang memiliki daya toksisitas tinggi pada mikrobia serta dapat memblokir sistem respirasinya (Tranggono, 1990/1991). Selanjutnya Fatluk (2008), Garam yang digunakan dalam proses pemindangan berfungsi untuk memberikan rasa gurih pada ikan, menurunkan kadar air di dalam tubuh ikan dan mencegah atau menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk maupun organisme lain. Kadar air Kadar air pindang ikan tongkol yang diproses cara perebusan mulai 66.06% menjadi 62.71% umur penyimpanan hari ke 2, sedangkan yang diproses cara pengukusan terjadi peningkatan kadar air dari 64.87% umur penyimpanan hari ke 0 menjadi 67.06% hari ke 2. Perbedaan kadar air ini diakibatkan oleh lamanya waktu dengan cara perebusan dan cara pengukusan. Penelitian Ersoy dan Ozeren (2009) tentang efek metode pemasakan terhadap kadar air ikan lele dihasilkan yang dibakar kadar air 69,4%, dipanggang 72,7%, dioven microwaved 72,7% dan digoreng 70,7%. Terjadi penurunan kadar air pada ikan mackerel segar yang difillet dengan kadar air 62.9 % menjadi 56.0% setelah perebusan dan 47.8% setelah pengukusan pada suhu 75oC hingga matang (Bognar, 1998). Hal ini disebabkan proses pemindangan dengan cara perebusan, kristal garam yang ditambahkan akan mencair lebih cepat dibandingkan dengan cara pengukusan, tapi waktu perebusan lebih singkat hanya 30 menit sehingga kadar air lebih tinggi, dibandingkan yang pengukusan dengan waktu 60 menit, sehingga kadar air lebih rendah. Penurunan kadar air pada cara perebusan selama penyimpanan pada suhu kamar disebabkan karena masih adanya kristal garam yang terserap, sehingga kadar air menurun sampai hari ke 2, sedangkan untuk cara pengukusan selama penyimpanan terjadi peningkatan kadar air pada suhu kamar, karena terjadi penyerapan uap air pada kondisi penyimpanan. Berdasarkan hasil penelitian Devi dan Sarojnalini (2012) terjadi perbedaan kadar air akibat perbedaan metode pemasakan pada ikan amblypharyngodon mola yaitu segar 74.72%, di goreng kering 22.50%, pengukusan 72.95% dan perebusan dengan garam 55.78%. Begitu juga penelitian Unusan (2007) pada kandungan air ikan Oncorhynchus mykiss setelah pemasakan dengan oven pemanas sebesar 62.22% sedangkan dengan oven microwave sebesar 58.92%. Masih tingginya kadar air ± 70% pada ikan pindang sangat memungkinkan kegiatan mikrobiologis dan enzimatis berlangsung (Suryanto dan Sukandar, 2009). Hal ini sesuai dengan prinsip pemindangan adalah suatu teknik pengolahan dan pengawetan dengan cara merebus/memasak ikan dalam suasana bergaram selama jangka waktu tertentu didalam suatu wadah dan selanjutnya terjadi proses pengurangan kadar air sampai batas tertentu (Pandit, 2004). Menurut Ilyas (1980) prinsip dasar pemindangan adalah: 1. Membunuh atau mengurangi bakteri melalui pemanasan, 2. Penambahan garam dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri yang tersisa pada ikan, 3. Terjadinya pengurangan kadar air pada daging ikan. Keberhasilan proses pemindangan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesegaran ikan sebagai bahan baku, mutu garam dan kondisi lingkungan (Afrianto dan Liviawaty,1989). Selama penyimpanan pada suhu kamar terjadi peningkatan kadar air pindang ikan tongkol yang diolah cara pengukusan. Berdasarkan analisa varian terjadi interaksi perbedaan nyata (P<0.05) antara faktor pengolahan dengan umur penyimpanan terhadap kadar air. Hal ini disebabkan karena terjadi proses penyerapan uap air di udara karena pindang ikan tongkol disimpan pada suhu kamar yang memiliki kelembaban di udara relatif lebih tinggi. Keadaan ini sesuai hasil penelitian Hadiwiyoto (1996), mengatakan bahwa penyimpanan pada suhu dan kelembaban kamar hanya dapat mempertahankan kualitas pindang tidak lebih dari 2 hari.
Kadar histamin Hasil analisis rata-rata kadar histamin pindang ikan tongkol cara perebusan dan cara pengukusan terdapat perbedaan yaitu 43.33 mg/100 g dengan 20.60 mg/100 g (Tabel 1) (Gambar 3). Tingginya kadar
histamin setelah selesai perebusan dan pengukusan karena bahan baku ikan tongkol sudah terjadi proses pembusukan bakteri pembentuk histamin. Kondisi yang sama juga terjadi pada penelitian Purwaningsih, et al, (2013) menghasilkan kadar histamin sebesar 19.38 mg/100 g pada ikan cakalang sebagai bahan baku pembuatan bakasang. Menurut penelitian Gonzaga et al, (2009) racun histamin yang sudah terbentuk tidak dapat dikurangi karena histamin merupakan senyawa yang stabil dalam temperatur tinggi oleh karena itu penanganan ikan yang baik merupakan kunci utama untuk menekan pembentukan histamin. Untuk itu perlu penyimpanan bahan baku pada suhu 4.4oC selama penyimpanan. Setelah proses pemindangan ikan tongkol yang menggunakan garam rakyat tidak mampu untuk membunuh bakteri pembentuk histamin, dibandingkan dengan pindang yang menggunakan garam industri, mampu menekan pertumbuhan bakteri pembentuk histamin. Disamping peralatan yang digunakan kotor menyebabkan kontaminasi ke bahan baku yaitu ikan tongkol pada cara perebusan menyebabkan bakteri pembentuk histamin mampu menghasilkan histamin. Chamberlain (2001), mengatakan pembentukan histamin dari histidin yang merupakan racun scombroid berkisar pada temperatur 20-30°C dan bersifat stabil, kemudian tidak akan berpengaruh atau tahan terhadap pendinginan, pembekuan, pemasakan, pengasapan atau pengalengan. Setelah dilakukan penyimpanan pada suhu kamar antara yang cara perebusan dan cara pengukusan terjadi peningkatan kadar histamin. Pada umur penyimpanan hari ke 2 pindang ikan tongkol perebusan sudah melewati 50 mg/100 g, sedangkan yang cara pengukusan masih aman sampai umur penyimpanan hari ke 3. Hal ini disebabkan karena cara pengukusan dengan menggunakan uap panas selama 60 menit, mampu memperlambat pertumbuhan bakteri pembentuk histamin. Daya awet ikan pindang relatif rendah, terutama bila dibandingkan dengan produk ikan asin, karena kadar cairan di dalam tubuh ikan pindang masih terlalu tinggi, sehingga bakteri pembusuk dan mikroorganisme lain masih dapat tumbuh dengan baik (Fatfluk, 2008).
2.5
2, 2, 2.48 2.36
2
cara perebusan (0.05)
1.5 1 0.5 0 0
1
2
Umur Penyimpanan (hari)
Cara Pengukusan (0.04)
Kadar Histamin (mg/100g)
Kadar Garam(%)
3
120 100 80 60 40 20 0
98.2 58.33
48.63
43.33 28.93
20.6 0
1
2
Cara Perebusan (0.70) Cara Pengukusan (0.33)
Umur Penyimpanan (hari)
Gambar 3. Perubahan kadar garam, kadar histamin (mg/100 g) pindang yang diolah dengan cara perebusan dengan cara pengukusan serta umur penyimpanannya. Kadar histamin pindang ikan tongkol cara pengukusan masih aman untuk dikonsumsi karena masih < 50 mg/100 g daging ikan. Sedangkan selama umur penyimpanan hari ke 2 pindang ikan tongkol cara pengukusan masih aman dikonsumsi. Berdasarkan analisa varian terjadi interaksi perbedaan nyata (P<0.05) antara faktor pengolahan dengan umur penyimpanan terhadap kadar histamin. Menurut Fatfluk (2008) dalam pembuatan ikan pindang kurang memperhatikan faktor sanitasi maupun higienis, sehingga mutu dan daya awet ikan pindang yang dihasilkan akan terpengaruh. Menurut Zaman et al, (2009) keracunan histamin akibat mengkonsumsi ikan famili scombroid seperti jenis tuna, tenggiri dan mackerel
yang kaya akan asam amino histidin , serta dipengaruhi oleh penanganan yang tidak baik, sehingga bakteri penghasil histamin akan tumbuh dan berkembang menghasilkan histamin dalam jumlah yang tinggi. Selama penyimpanan menurut Borade et al, (2007) sejumlah bakteri akan mengubah asam amino histidin dengan dikatalis oleh enzim akan menghasilkan sejumlah histamin pada ikan famili scombroidae dan ikan non scombroid seperti ikan mahi-mahi, ikan teri dan sardines. Di Indonesia yang sudah memiliki SNI (Standar Nasional Indonesia) belum ada pembatasan tegas terhadap kadar histamin. Dalam jumlah rendah yaitu kandungan histamin < 5 mg/100 mg daging ikan merupakan keadaan yang normal dan aman untuk dikonsumsi, kandungan histamin 5 – 20 mg/100 g pada daging ikan kemungkinan keracunan, 20-100 mg/100 g pada daging ikan berpeluang terjadi keracunan dan kandungan histamin > 100 mg/100 g akan terjadi keracunan serta tidak aman untuk dikonsumsi (Joyce, 1998; FAO, 2003). FDA telah merekomendasikan batas maximal kandungan histamin 50 mg/100 g daging ikan, sedangkan kandungan histamin 20 mg/100 g merupakan indikasi dari penanganan yang tidak higienis (Lehane and Olley, 2000). Mutu keamanan mikrobiologi pindang yang diolah dengan cara perebusan dan cara pengukusan Mutu keamanan kimia pindang ikan tongkol yang diolah dengan cara perebusan dan cara pengukusan selama penyimpanan pada suhu kamar hari ke 0, hari ke 1 dan hari ke 2, meliputi kadar garam, kadar air dan kadar histamin seperti tertuang pada Tabel 2. Tabel 2. Mutu keamanan mikrobiologi pindang yang diolah dengan cara perebusan dan cara pengukusan serta umur penyimpanannya. Faktor B Umur penyimpanan (hari)
Ke 0 B0 Ke 1 B1 Ke 2 B2
Faktor A Faktor A Jumlah coliform (koloni/g) Jumlah bakteri (koloni/g) Faktor cara pengolahan Faktor cara pengolahan Perebusan Pengukusan Perebusan Pengukusan A0 A1 A0 A1 1 a 1a 0 0 3.0x10 3.0x10
± 1.9x101 6.0x105 a ± 0.2x105 3.3x106 b ± 1.1x106
± 1.9x101 9.1x104 a ± 0.4x104 2.0x105 a ± 0.3x105
6.0x10² ±1.6x10² 5.2x10³ ±0.6x10³
3.2x10¹ ±0.2x10¹ 4.8x10² ±0.3x10²
Keterangan : - hasil rata-rata ± SD, n = 3 - notasi huruf supercript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) (uji anova, dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan).
Jumlah bakteri Jumlah bakteri rata-rata pada pindang ikan tongkol yang diolah cara perebusan hari ke 0 dengan jumlah bakteri yaitu dari 3.0x101 koloni/g meningkat pada umur penyimpanan hari ke 2 pada suhu kamar menjadi 3.3x106 koloni/g, jauh lebih baik pindang ikan tongkol yang diolah cara pengukusan dari 3.0x10 1 koloni/g menjadi 2.0x105 koloni/g (Tabel 2). Hal ini disebabkan oleh selama menunggu proses perebusan ikan tongkol telah dibalur dengan garam sebanyak 10 %, sehingga banyak bakteri yang mati akibat garam. Selanjutnya dilakukan perebusan dalam air mendidih selama ± 30 menit menyebabkan banyak bakteri pembusuk yang mati. Hal yang sama terjadi pada cara pengukusan dengan waktu pengukusan 60 menit
menyebabkan banyak bakteri pembusuk yang tidak tahan terhadap panas ± 1000C. Menurut Hadiwiyoto, 1996, teknik pemindangan adalah suatu proses penerapan panas atau perebusan pada suasana bergaram, untuk mendapatkan produk yang sudah masak (rebus) dan bergaram (asin). Perebusan adalah proses penggunaan panas basah yang dilakukan dengan cara terlebih dahulu merebus suatu cairan dalam nampan sampai mendidih sebelum bahan yang akan direbus dimasukkan. Dalam proses pemasakan dan penggaraman terjadi perubahan biokimia yaitu pendenaturasian protein daging ikan, perubahan kadar garam, kadar air dalam daging ikan yang diikuti dengan perubahan organoleptik serta perubahan kadar bakterial. Hal ini dapat terjadi ketika kondisi suhu perebusan berada pada suhu 1000C dengan lama perebusan 30 menit, Selama penyimpanan sampai hari ke 2 terjadi peningkatan jumlah bakteri menjadi sebesar 3.3x106 koloni/g untuk pindang cara perebusan, tapi lebih rendah dibandingkan dengan pindang cara pengukusan yaitu 2.0x105 koloni/g. Total plate count sebesar 1.2x105 koloni/g diperoleh pindang tongkol presto selama 60 menit (Tapotubun et al, 2008). Berdasarkan analisa varian terjadi interaksi perbedaan nyata (P<0.05) antara faktor pengolahan dengan umur penyimpanan terhadap jumlah bakteri. Peningkatan jumlah bakteri ini menyebabkan aktivitas mikroorgaisme juga meningkat untuk menghasilkan produk berbau busuk. Menurut Kung et al, (2005) selama penyimpanan protein ikan akan terurai oleh aktivitas mikroorganisme menghasilkan basa volatil dengan berat molekul rendah. Beberapa mikroorganisme di atas menurut Tsal et al, (2007) adalah golongan Enterobacteriacea seperti Klebsiella pneumonia, Proteus morganii, Corynebacterium dan micrococcus. Kandungan garam pada masing-masing perlakukan relatif sangat kecil untuk mampu mencegah serangan mikroorganisme. Oleh karena itu produk pemindangan merupakan teknik pengawetan pangan jangka pendek (termasuk perebusan ikan) (Winarno et al, 1984). Jumlah Coliform Berdasarkan hasil penelitian pindang ikan tongkol yang diolah cara perebusan dengan yang diolah cara pengukusan pada hari ke 0 tidak didapatkan bakteri coliform yang tumbuh pada medium LEMBA. Hal ini disebabkan karena ikan tongkol sebagai bahan baku sudah ditambahkan dengan garam rakyat maupun garam industri sebanyak 10 % yang cukup untuk membunuh bakteri coliform serta adanya perebusan dalam air mendidih (100oC) selama ± 30 menit serta pengukusan dengan uap air pada suhu 100 oC menyebabkan bakteri coliform mati. Selama penyimpanan pada suhu kamar pada hari ke 1 dengan cara perebusan dan cara pengukusan terjadi pertumbuhan bakteri coliform sebesar rata-rata 6.0 x 10² koloni/g (A0B1) dan 5.2x10³ koloni/g pada hari ke 2. Pertumbuhan yang lebih rendah pada perlakukan cara pengukusan pada hari ke 1 sebesar 3.2x10¹ koloni/g menjadi 4.8x10² koloni/g penyimpanan hari ke 2 (A1B2) (Tabel 2). Pertumbuhan bakteri coliform terjadi karena kontaminasi produk pindang dengan udara, wadah atau peralatan yang kotor. Kelompok Coliform merupakan bakteri heterogen, berbentuk batang, gram negatif dan bersifat anaerobik fakultatif, atau aerobik, memfermentasi laktosa, membentuk asam dan gas dalam waktu 24 jam pada temperatur 370C (Supardi dan Sukamto, 1999). Menurut Zaman et al, (2009) beberapa bakteri pembentuk histamin yaitu Morganella morganii, Hafnia alvei, photobacterium phosphoreum dan enteric bacteria merupakan bakteri yang dominan pada ikan scombroid. Kelompok bakteri ini tergolong famili Enterobacteriaceae seperti Escherichia, Edwardsiella, Citrobacter, Salmonella, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Hafnia, Serratia, Proteus, Yersinia dan Erwinia (Fardiaz, 1989). Jumlah E. coli Ternyata berdasarkan hasil penelitian pindang ikan tongkol yang diolah cara perebusan dan cara pengukusan tidak didapatkan bakteri E.coli pada medium EC. Hal ini disebabkan karena ikan tongkol sebagai bahan baku sudah diproses dengan garam rakyat dan garam industri yang cukup untuk membunuh bakteri E.coli serta adanya perebusan dalam air mendidih dan pengukusan pada suhu (100 oC) selama ± 30 menit dan 60 menit menyebabkan bakteri E.coli mati. Begitu juga selama penyimpanan pada
suhu kamar tidak terjadi kontaminasi dari bakteri E.coli yang merupakan bakteri yang hidup pada peralatan yang kotor. Berdasarkan penelitian Ariesyaddy (2001), terdapat korelasi yang positif antara aspek sanitasi makanan seperti proses pengolahan, tempat penyimpanan, alat pengolah, tenaga pengolah terhadap cemaran bakteri E. coli untuk itu disarankan agar memasak makanan dengan sempurna, karena bakteri E. coli merupakan bakteri yang tidak tahan terhadap panas dan musnah pada pemanasan 60 oC selama 10 menit (Triatmodjo, 2000). Menurut Desmarchelier dan Grau, (1997) berdasarkan hasil studinya bahwa E. coli mempunyai suhu pertumbuhan minimal 7-8oC atau dibawahnya dengan jumlah peningkatan yang bervariasi, sedangkan suhu pertumbuhan maximum mencapai 46 oC yang ditandai dengan pembentukan gas, pH pertumbuhan 4-10 optimal 7 dan minimal aw 0.95. Mutu keamanan organoleptik pindang yang diolah dengan cara perebusan dan cara pengukusan Mutu keamanan organoleptik pindang ikan tongkol yang diolah dengan cara perebusan dan cara pengukusan selama penyimpanan pada suhu kamar hari ke 0, hari ke 1 dan hari ke 2, meliputi kenampakan, bau dan rasa seperti tertuang pada Tabel 3. Tabel 3. Mutu keamanan organoleptik pindang diolah dengan cara perebusan dan cara pengukusan serta umur simpannya. Faktor B Umur penyimpanan (hari) Ke 0 B0 Ke 1 B1 Ke 2 B2
Faktor A Kenampakan Faktor cara pengolahan
Faktor A Bau Faktor cara pengolahan
Faktor A Rasa Faktor cara pengolahan
Perebusan A0
Pengukusan A1
Perebusan A0
Pengukusan A1
Perebusan A0
Pengukusan A1
7.32 cd ± 0.33 5.67 c ± 1.08 2.42 a ± 0.21
9.00 e ± 0.00 6.53 c ± 0.40 4.77 b ± 1.08
7.32 d ± 0.34 5.11 b ± 0.51 2.42 a ± 0.21
8.43 e ± 0.51 6.20 c ± 0.17 4.43 b ± 0.51
7.32 cd ± 0.34 5.67 c ± 0.00 2.42 a ± 0.21
9.00 e ± 0.00 6.53 c ± 0.40 4.77 b ± 1.08
Keterangan : - hasil rata-rata ± SD, n = 3 - notasi huruf supercript yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) (uji anova, dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan).
Nilai kenampakan Nilai kenampakan rata-rata penilaian oleh panelis pada produk pindang ikan tongkol yang diolah dengan cara perebusan pada umur penyimpanan hari ke 0 yaitu 7.32 (utuh, bersih, rapi, menarik) lebih baik yang diolah dengan cara pengukusan hari ke 0 yaitu 9.00 (utuh, bersih, rapi, sangat menarik). Selama penyimpanan pada suhu kamar ± 30oC selama 3 hari terjadi penurunan menjadi 2.42 untuk cara perebusan dan cara pengukusan menjadi 4.77 yang artinya kedua produk sudah ditolak oleh panelis (Tabel 3). Hal ini disebabkan pada hari ke 0 ke 2 produk pindang ikan tongkol yang dihasilkan masih bersih, tapi pada hari ke 3 kenampakan sudah berlendir yang dihasilkan oleh bakteri, sehingga panelis sudah menolak kenampakan. Hal ini sesuai hasil penelitian Indriati et al, (2008) bahwa hari ke 3 permukaan pindang sudah lembek dan lengket oleh lendir. Pemindangan cara perebusan dengan garam rakyat terlihat ada kotoran yang dibawa oleh garam rakyat yang mempunyai ukuran kristal yang besar dan
berwarna merah kecoklatan. Namun nilai kenampakan oleh panelis untuk produk pindang cara pengukusan masih lebih tinggi. Setelah disimpan pada suhu kamar selama 2 hari, maka terjadi penurunan nilai kenampakan yang paling rendah adalah 5.67 (utuh, bersih, kurang rapi, agak menarik) lebih tinggi yang cara pengukusan yaitu 6.53 (utuh, bersih, kurang rapi, agak menarik). Hasil penelitian Jenie et al, (2001) tentang mutu pindang ikan kembung dengan pengemasan vakum selama penyimpanan 6 hari terjadi penurunan kenampakan pindang ikan kembung dari nilai rata-rata kenampakan 7,1 menjadi 5,6 hari ke 6. Berdasarkan analisa varian terjadi interaksi perbedaan nyata (P<0.05) antara faktor pengolahan dengan umur penyimpanan terhadap nilai kenampakan. Hal ini disebabkan karena telah terjadinya proses penurunan mutu yaitu pembusukan oleh bakteri, dimana suhu penyimpanan yaitu suhu kamar yang sangat sesuai untuk tumbuh dan berkembangannya bakteri pembusuk. Nilai bau Nilai bau rata-rata yang diberikan oleh panelis terhadap produk pindang ikan tongkol yang diolah cara perebusan dengan cara pengukusan pada umur penyimpanan hari ke 0 adalah 7.32 (hampir netral) lebih baik yang cara pengukusan yaitu 8.43 (sangat enak, segar, harum) bau harum spesifik ikan rebus ini menurun setelah penyimpanan pada suhu kamar selama hari ke 3 menjadi 2.42 (tengik, agak busuk) dan yang cara pengukusan menjadi 4.43 (agak tengik, basi) (Tabel 3). Penyimpanan selama 2 hari telah terjadi pertumbuhan bakteri yang cukup tinggi, sesuai dengan suhu penyimpanan yaitu suhu kamar (± 30oC) merupakan suhu yang baik untuk berkembangan bakteri pembusuk. Laju perkembangan bakteri pembusuk sangat dipengaruhi oleh kadar garam masing-masing perlakuan. Peningkatan jumlah bakteri ini menyebabkan aktivitas mikroorgaisme juga meningkat untuk menghasilkan produk berbau busuk. Menurut Kung et al, (2005) selama penyimpanan protein ikan akan terurai oleh aktivitas mikroorganisme menghasilkan basa volatil dengan berat molekul rendah. Berdasarkan analisa varian terjadi interaksi perbedaan nyata (P<0.05) antara faktor pengolahan dengan umur penyimpanan terhadap nilai bau. Nilai rasa Nilai rasa rata-rata pindang ikan tongkol yang diolah cara perebusan pada hari ke 0 yaitu sebesar 7.32 dengan kriteria enak dan gurih serta meningkat lebih tinggi untuk rasa ikan pindang tongkol yang diolah cara pengukusan yaitu sebesar 9.00 dengan kriteria sangat enak sekali dan gurih spesifik jenis. Setelah disimpan selama 2 hari, maka terjadi penurunan nilai rasa pindang ikan tongkol cara perebusan menjadi 2.42 (rasa basi), sedangkan yang diolah cara pengukusan lebih baik yaitu 4.77 (netral, kurang gurih)(Tabel 3). Berdasarkan analisa varian terjadi interaksi perbedaan nyata (P<0.05) antara faktor pengolahan dengan umur penyimpanan terhadap nilai rasa. Penambahan garam ke dalam bahan pangan akan menambah citarasa produk, terutama memberi rasa asin (Winarno, 1993). Makanan tanpa garam meskipun diberi bumbu banyak akan terasa hambar, sehingga untuk perlakuan proses pengolahan cara perebusan dan cara pengukusan dengan kadar garam sebesar 1.91 % sampai kadar garam 1.88% terasa sangat enak dan gurih. Hal ini disebabkan karena dengan cara pengukusan selama 60 menit terjadi penetrasi garam lebih lama dibandingkan dengan cara perebusan yaitu 30 menit. Hal yang sama terjadi pada hasil penelitian Djumarti et al, (2004) proses pembuatan ikan pindang siap saji dengan metode basah dan metode kering dengan waktu yang sama 60 menit menghasilkan kadar garam yang berbeda. Setelah penyimpanan terjadinya proses penurunan mutu, berupa peningkatan jumlah bakteri yang menandakan terjadinya perombakan bahan organik menjadi bahan sederhana yang berbau sehingga rasa gurih menjadi hilang, bahkan timbul rasa basi pada produk yang kadar garamnya lebih rendah. Menurut Suparno (1993), kadar garam yang masih bisa ditahan oleh lidah maksimal 20% dari bobot ikan seluruhnya, bila lebih tinggi akan menghasilkan ikan yang rasanya pahit.
10
10
Bau
8 6
6.2 5.11
4
4.43 2.42
2 0 0
1
2
Cara Perebusan (0.35)
9 7.32
8 Rasa
8.43 7.32
Cara Pengukusan (0.39)
6
6.53 5.67
4 2 0
Umur Penyimpanan (hari)
0
1
Cara 4.77 Perebusan (0.18) 2.42 Cara Pengukusan (0.49) 2
Umur Penyimpanan (hari)
Gambar 4. Perubahan bau, rasa pindang yang diolah dengan cara perebusan dengan cara pengukusan serta umur penyimpanannya.
KESIMPULAN Mutu keamanan pindang ikan tongkol yang diolah dengan cara perebusan dan cara pengukusan masih layak untuk dikonsumsi ditinjau dari mutu keamanan kimia, mikrobiologi dan organoleptik. Mutunya lebih baik yang diolah cara pengukusan dibanding cara perebusan. Umur penyimpanan pindang ikan tongkol yang diolah dengan cara perebusan sampai hari ke 1, sedangkan diolah cara pengukusan sampai hari ke 2 masih aman untuk dikonsumsi. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini dibiayai oleh : Kopertis Wilayah VIII Bali Nusra, sesuai dengan Surat Penjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian Nomor 0635/K8/KL/2012, tanggal 3 Mei 2013. Untuk itu tim peneliti Universitas Warmadewa Denpasar mengucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA Afrianto E dan Liviawaty E . 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta. Anon. 1978. Pemindangan ikan. Penerbit Yasaguna. Jakarta. Anon. 1994. Standar Nasional Indonesia. Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. Dirjen Perikanan dan Kelautan. Jakarta. Ariesyaddy HD. 2001. Studi evaluasi higiene dan sanitasi pengolah makanan pada restoran asing dan lokal di Kotamadya Bandung. Research Report. JBPTTTBPP.P : 01-23. http://Print-GDL4-0.htm. Diakses 23 Juli 2007. Ariyani F, dan Yennie Y. 2008. Pengawetan pindang ikan layang (Decapterus russelli) menggunakan kitosan. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Vol 3. No. 2: 139-146.
Aryani dan Rario. 2006. Kajian masa simpan pindang botol ikan mas (Cyprinus carpio) ditinjau dari lama waktu pengukusan yang berbeda. J of Trop Fish Vol. 1: 87-97. Biomedix. 2003. Users Manual Microstrip Reader P300 Series. Pomona Technology Centre. California State Polytechnic University. Pomona. Bognar A. 1998. Comparative study of trying to other cooking techniques influence on the nutritive value. Grasas y Aceites. Vol. 49 Fasc. 3-4, 250-260. Borade PS, Ballary CC, Lee DKC. 2007. A fishy cause of sudden near fatal hypotension. Resuscitation 72: 158-160. DOI. 10.1016/j.resuscitation.2006.05.021. Chamberlain T. 2001. Histamin levels in longlined tuna in Fiji: A Comparison of sample from two different body sites and the effect of storage at different temperatures. J.Nat. Sci. 19: 30-34. Devi WS and Sarojnalini CH. 2012. Impact of different cooking methods on proximate and mineral composition of amblypharyngodon mola of Myanipur. I.J.A.B.R, Vol. 2 (4); 641-645. Djumarti, Susijahadi dan Witono Y. 2004. Studi pembuatan ikan pindang siap saji berdaya simpan tinggi. Seminar Nasional dan Konggres Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PAPTI). Jakarta. 17-18 Desember 2004. 152-157. Dissaraphong S, Benyakul S, Vissessanguan W, Kishimura H. 2006. The influence of storage conditions of tuna viscera before fermentation on the chemical, physical and microbiological changes in fish sauce during fermentation. Bioresource Technol 97: 2032-2040. DOI: 10.1016/j.biortech.2005.10.007. Ersoy B and Ozeren A. 2009. The effect of cooking methods on mineral and vitamin contents of African catfish. J. Food Chemistry. 115: 419-422. Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Fatluk. 2008. Teknologi pengolahan hasil perikanan. Laporan Praktikum Pemindangan. http : pindang ikan/laporan-praktikum-pemindangan.htm. Diakses 2 Maret 2006. Gonzaga VE, Lescano AG, Huaman AA, Mulanovich GS, Blazes DL. 2009. Histamine levels in fish from markets in Lima, Peru. J Food Prot 72: 1112-1115. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Penerbit Liberty. Yogyakarta. Hadiwiyoto S. 1996. Hubungan keadaan kimiawi dan mikrobiologik ikan pindang naya pada penyimpanan suhu kamar dengan sifat organoleptiknya. Agritech Vol 15 No. 1: 19-23 Hidayat A, Sumaryanto H, dan Santoso J. 1996. Memperpanjang daya awet pindang dengan menggunakan ganggang laut. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Vol. II. No. 2: 11-16. Hidayat A, dan Ibrahim B. 1996. Hubungan nilai gizi protein dan lama waktu perebusan ikan pindang. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Vol II No. 2: 1-10. Indriati N, Supriadi MW dan Salasa FFA. 2008. Isolasi dan identifikasi kapang pada pindang ikan tongkol (Euthynnus affinis). J. Pascapanen dan Biotek Kelautan dan Perikanan. Vol 3 No. 1: 11-19 Jenie BSL, Nuratifa dan Suliantari. 2001. Peningkatan keamanan dan mutu simpan pindang ikan kembung (rastrelliger sp) dengan aplikasi kombinasi natrium asetat, bakteri asam laktat dan pengemasan vakum. Jurnal Teknol dan Industri Pangan, Vol XII, No 1: 21-27. Jiang JJ, Qing XZ, Zhi WZ, Li YZ. 2007. Chemical and sensory changes associated Yu-lu-atradisional chinese fish sauce. Food Chem 104: 1629-1634. DOI: 10:1016/j.foodchem.2007.03.024. Kung HF, Tsal YH, Hwang CC, Lee YH, Hwang JH, Wei Cl, Hwang DF. 2005. Hygienic quality and insidence of histamine forming Lactobacillus species in natural and processed cheese in Taiwan. J Food Drug Anal 13: 51-56. Lehane L, and Olley J. 2000. Histamine Fish Poisoning Revisited. Int. J. Food Microbiol. Vol 58; 1-37. McLauchlin J, Little CL, Grant KA, Mithani V. 2005. Scombrotoxic fish poisoning. Public Health 28: 61-62. DOI: 10.1093/pubmed/fdi063. Moeljanto R. 1982. Penggaraman dan Pengeringan Ikan. Penerbit. PT. Penerbar Swadaya. IKAPI. Jakarta.
Nitibaskara RR. 1980. Pengaruh faktor-faktor pengolahan terhadap ketahanan hasil mutu protein dari pindang. Laporan Proyek Penelitian Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. Pandit IGS. 2004.Teknologi Penanganan dan Pengolahan Ikan. Penerbit. PT. Bali Post. Denpasar. Purwaningsih S, Santoso J dan Garwan R. 2013. Perubahan fisiko-kimiawi, mikrobiologi dan histamin bakasang ikan cakalang selama fermentasi dan penyimpanan. J. Teknol. Dan Industri Pangan. Vol 24 No 2: 168-177. DOI:10.6066/jtip.2013.24.2.168. Saripah H, dan Setiasih D. 1980. Dasar-dasar pengawetan. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta. Supardi I, dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam pengolahan dan keamanan pangan. Penerbit Alumni. Bandung. Suparno. 1993. Pengolahan ikan asin. Kumpulan hasil-hasil penelitian pasca panen perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. Suryanto HAM, dan Sukandar. 2009. Peningkatan keamanan pangan pada proses pemindangan ikan melalui penerapan teknologi cooker box, trolley dan coldbox insulated di Kecamatan Nguling, Pasuruan. Laporan Penelitian. Universitas Brawijaya Malang. Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik. Untuk industri pangan dan hasil pertanian. Penerbit Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Tapotubun AM, Nanlohy EEEM, dan Louhenapessy JM. 2008. Efek waktu pemanasan terhadap mutu presto beberapa jenis ikan. Ichthyos, Vol. 7, No. 2: 65-70 Tranggono. 1990/1991. Analisis Hasil Perikanan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. UGM. Yogyakarta. Triatmojo P. 2000. Pola kuman penyebab diare akut pada neonatus dan anak. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. P: 20-23. Tsal YH, Lin CY, Chien LT, Lee TM, Wei CL, Hwang DF. 2007. Histamine contents of fermented fish products in Taiwan and isolation of histamine-forming bacteria. Food Chem 98: 64-70. DOI: 10:1016/j.foodchem.2005.04.036. Unusan N. 2007. Change in proximate, amino acid and fatty acid contents in muscle tissue of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) after cooking. International Journal of food Science and technology. 42. 1087-1093. Winarno FG, Fardiaz S, dan Fardiaz D. 1984. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta. Winarno FG, dan Betty JSL. 1983. Kerusakan Bahan Pangan dan Cara Pencegahannya. Penerbit. Ghalia Indonesia. Jakarta. Winarno FG, 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Zaman MZ, Abdulamir AS, Bakar FA, Selamat J, Bakar J. 2009. A Review: microbiological, physicochemical and health impact of high level of biogenic amines in fish sauce. Appl Sci 6: 11991211.