KARAKTERISASI PETIS IKAN DARI LIMBAH CAIR HASIL PEREBUSAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis)
SITI MIRZA DANITASARI C34052100
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
1
KARAKTERISASI PETIS IKAN DARI LIMBAH CAIR HASIL PEREBUSAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis)
SITI MIRZA DANITASARI C34052100
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Petanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
2
RINGKASAN SITI MIRZA DANITASARI. Karakterisasi Petis Ikan dari Limbah Cair Hasil Perebusan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis). Dibimbing oleh DJOKO POERNOMO dan KOMARIAH TAMPUBOLON. Ikan pindang merupakan salah satu olahan tradisional yang sangat populer. Daerah pengolahan pindang di Jawa Barat banyak terdapat di Palabuhan Ratu dengan jumlah produksi pindang Tongkol tahun 2008 mencapai 897,4 ton. Industri pemindangan ini menghasilkan limbah cair dalam jumlah besar yang masih mengandung sejumlah zat gizi dan komponen cita rasa yang terlarut selama perebusan ikan, seperti protein dan mineral. Limbah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku petis. Petis adalah produk sampingan pemindangan yang dipanasi hingga cairan kuah menjadi kental seperti saus yang lebih padat. Petis ikan yang diperoleh dari air rebusan ikan Tongkol berbau amis dan rasa asin kuat sehingga perlu ditambahkan gula, asam organik dan bumbu-bumbu. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik petis ikan yang dihasilkan dengan penentuan jenis dan konsentrasi dari asam organik, gula serta bumbu-bumbu yang ditambahkan. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu penelitian pra-pendahuluan untuk mengetahui karakteristik limbah cair pindang Tongkol yang akan digunakan sebagai bahan baku petis dan jenis bumbu, penelitian pendahuluan untuk mencari konsentrasi asam jeruk limau terbaik untuk menghilangkan bau amis petis ikan dan penelitian utama yaitu mencari perlakuan terbaik dari penambahan gula merah, gula putih, dan kombinasi keduanya. Penentuan petis ikan Tongkol terpilih dilakukan dengan penilaian sensori. Air rebusan ikan Tongkol berwarna coklat keruh dan agak kental dengan bau amis ikan Tongkol yang sangat kuat, dan rasa asin yang tajam, mempunyai kadar air 64,96%, kadar abu 17,40%, kadar protein 14,30%, kadar lemak 0,95%, kadar karbohidrat 2,19%, pH 5,25, angka lempeng total 1,3 x 102 CFU/ml, logam berat Hg dan Pb tidak terdeteksi sedangkan Fe 24,62 ppm, kadar garam 19,37%, kadar histamin 43,91 ppm. Formula optimal per 100 ml air rebusan ikan Tongkol dengan penambahan bawang putih goreng 5%, cabe rawit 2,5%, lada 0,5%, asam jeruk limau 2%, dan gula merah 100% dan gula putih 100%. Perlakuan gula terbaik berpengaruh nyata terhadap parameter penampakan dan rasa, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap aroma dan tekstur. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata sensori tertinggi penampakan 7,8 dan rasa 7. Petis ikan Tongkol dengan penambahan gula merah dan gula putih masing-masing 100% per 100 ml air rebusan ikan Tongkol mempunyai kadar air 12,5%, kadar abu 7,69%, kadar protein 6,705%, kadar lemak 0,2%, kadar karbohidrat 72,9%, derajat keasaman (pH) 5,32, aktivitas air (aw) 0,62, viskositas 150.000 cp, mikrobiologi 1,2 x 101 CFU/ml, logam berat Hg dan Pb tidak terdeteksi sedangkan Fe sebesar 39,52 ppm, kadar garam 9,44 %, serta kadar histamin 11,88 ppm.
3
Judul
: Karakterisasi Petis Ikan dari Limbah Cair Hasil Perebusan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)
Nama
: Siti Mirza Danitasari
NRP
: C34052100
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
(Ir. Djoko Poernomo,B.Sc) NIP. 19580419183031001
(Ir. Komariah Tampubolon,MS) NIP. 194511101971042001
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
(Dr.Ir. Ruddy Suwandi, MS.Mphil) NIP. 195805111985031002
Tanggal lulus: ..............................
4
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Karakterisasi Petis Ikan dari Limbah Cair Hasil Perebusan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)” adalah benar karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Januari 2010
Siti Mirza Danitasari C34052100
5
RIWAYAT HIDUP Penulis mempunyai nama lengkap Siti Mirza Danitasari dan dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 28 November 1987. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Romdony Marzuki dan Ibu Linda Rizkiatin. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SDIT Iqro’, Bekasi dan dinyatakan lulus pada tahun 1999. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di Mts. Darunnajah, Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan MA. Darunnajah, Jakarta dan lulus pada tahun 2005. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) dari Departemen Agama RI, di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif sebagai Asisten mata kuliah Teknologi Produk Tradisional Hasil Perairan (2008-2009), dan aktif dalam kepengurusan HIMASILKAN (Himpunan Mahasiswa Hasil Perikanan) 2007-2008 dan berbagai kepanitiaan acara yang diadakan oleh HIMASILKAN. Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1) pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan
judul
“Karakterisasi
Hasil Perebusan Ikan
Petis
Ikan
dari
Limbah
Cair
Tongkol (Euthynnus affinis)” dibawah bimbingan
Ir. Djoko Poernomo, B.Sc dan Ibu Ir. Komariah Tampubolon, MS.
6
KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Karakterisasi Petis Ikan dari Limbah Cair Hasil Perebusan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)” yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis
mengucapkan
terima
kasih
kepada
semua
pihak
yang
telah membantu dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada: 1. Bapak Ir. Djoko Poernomo dan Ibu Ir. Komariah Tampubolon, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, semangat, kasih sayang, kesabaran dan perhatian dalam penulisan skripsi ini. 2. Ibu Ir. Wini Tri Laksani, M.Sc dan Ibu Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga penulisan skripsi ini menjadi lebih baik. 3. Seluruh staf dosen, tata usaha, dan laboran THP terima kasih atas bantuan yang telah diberikan. 4. Bapak
Hendar,
Pengusaha
industri
pengolahan
pindang
Tongkol
Palabuhan Ratu, Jawa Barat atas bantuan dan informasi yang diberikan. 5. Ibu Rubiah beserta staf laboran PAU, Teknologi Pangan IPB atas bantuan dan kerja sama yang telah diberikan. 6. Bapak Ir. H. Una Rusmana, MM selaku Kepala Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan DKI Jakarta beserta laboran yang telah membantu penulis melakukan pengujian histamin pada petis ikan. 7. Orang tua tercinta, Romdony Marzuki dan Linda Rizkiatin beserta kakak dan adikku yang senantiasa memberikan dorongan dan doa, kasih sayang, dukungan materiil, kesabaran, ketekunan, dan kegigihan dalam menuntut ilmu dan menjalani hidup ini. 8. Teman-teman THP 42 terima kasih atas suka dan duka yang dilalui bersama penulis selama menjalani perkuliahan. 9. Yugha Subagja, kakak kelasku yang setia menemani, memberikan semangat, kasih sayang, pengertian serta kesabaran kepada penulis.
7
10. Semua
pihak
yang
tidak
dapat
disebutkan
satu
per
satu,
yang
selalu memberikan doa dan perhatian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Januari 2010
Penulis
8
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xiv
1. PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2. Tujuan ............................................................................................
2
2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
3
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) ..........
3
2.2 Pindang Tongkol ............................................................................ 2.2.1 Pengolahan pindang Tongkol ................................................ 2.2.2 Karakteristik limbah cair pindang Tongkol ...........................
4 5 6
2.3 Petis ................................................................................................ 2.3.1 Petis ikan ............................................................................... 2.3.2 Bahan baku petis ................................................................... 2.3.3 Bahan-bahan tambahan petis ............................................... 2.3.3.1 Gula (Saccharum oficinarum).................................. 2.3.3.2 Bawang putih (Allium sativum) ............................... 2.3.3.3 Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) ...................... 2.3.3.4 Lada (Piper nigrum L.) ............................................ 2.3.3.5 Jeruk limau (Citrus hystrix) ..................................... 2.3.4 Proses pembuatan petis ikan ................................................. 2.3.5 Komposisi zat gizi petis ........................................................
6 7 8 8 8 9 10 11 11 12 13
2.4 Pengaruh Pengolahan dengan Panas Terhadap Nilai Gizi ..............
14
2.5 Penyimpanan ...................................................................................
15
2.6 Pengemasan .....................................................................................
15
2.7 Syarat Mutu Petis ............................................................................
16
3. METODOLOGI ..................................................................................
17
3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................
17
3.2 Alat dan Bahan .............................................................................
17
3.3 Metode Penelitian .......................................................................... 3.3.1 Penelitian pra-pendahuluan .................................................. 3.3.2 Penelitian pendahuluan......................................................... 3.3.3 Penelitian utama ...................................................................
17 18 18 19
3.4 Pengujian dan Analisis ..................................................................
22
9
3.4.1 Uji sensori ......................................................................... 3.4.2 Analisis kimia .................................................................... 3.3.4.1 Kadar air .............................................................. 3.3.4.2 Kadar abu............................................................. 3.3.4.3 Kadar lemak......................................................... 3.3.4.4 Kadar protein ....................................................... 3.3.4.5 Kadar karbohidrat ................................................ 3.3.4.6 Derajat keasaman (pH) ........................................ 3.3.4.7 Kadar garam ........................................................ 3.3.4.8 Aktivitas air (aw).................................................. 3.3.4.9 Kadar histamin..................................................... 3.3.4.10 Cemaran logam (Pb, Hg, Fe) .............................. 3.3.4.11 Viskositas ........................................................... 3.4.3 Pengujian Mikrobiologi .....................................................
22 23 23 23 24 24 25 25 25 26 26 27 28 29
Analisis Data ................................................................................
29
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................
32
4.1 Penelitian Pra-Pendahuluan ..........................................................
32
4.2 Penelitian Pendahuluan ................................................................ 4.2.1 Penampakan ......................................................................... 4.22 Aroma ................................................................................... 4.2.3 Rasa ...................................................................................... 4.2.2 Tekstur .................................................................................
33 34 35 36 37
4.3 Penelitian Utama ........................................................................... 4.2.1 Penampakan ......................................................................... 4.2.2 Aroma .................................................................................. 4.2.3 Rasa ...................................................................................... 4.2.2 Tekstur .................................................................................
38 39 41 42 43
4.4 Karakteristik Fisika-Kimia Petis Ikan Tongkol dan Air Rebusan Ikan Tongkol ................................................................................. 4.4.1 Kadar air .............................................................................. 4.4.2 Kadar abu ........................................................................... 4.4.3 Kadar lemak ....................................................................... 4.4.4 Kadar protein ...................................................................... 4.4.5 Kadar karbohidrat ............................................................... 4.4.6 Derajat keasaman (pH) ....................................................... 4.4.7 Kadar garam ....................................................................... 4.4.8 Aktivitas air (aw) ................................................................ 4.4.9 Viskositas ........................................................................... 4.4.10 Kadar histamin ................................................................... 4.4.11 Cemaran logam (Pb, Hg, Fe) ..............................................
44 45 46 47 48 49 50 50 51 52 53 54
4.5 Jumlah Mikroba (Angka Lempeng Total) ....................................
55
5. KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................
57
5.1 Kesimpulan ....................................................................................
57
3.5
10
5.2 Saran ..............................................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
59
LAMPIRAN ...............................................................................................
64
11
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Kandungan gizi ikan Tongkol dan pindang..........................................
4
2.
Komposisi khas gula putih dan gula merah..........................................
9
3.
Komposisi bawang putih per 100 gram umbi.......................................
10
4.
Komposisi kimia petis udang dan petis ikan ........................................
13
5.
Syarat mutu petis udang (SNI 01-2346-2006) ....................................
16
6.
Formulasi bahan tambahan pembuatan petis ikan Tongkol dengan perlakuan asam jeruk limau ..................................................................
18
Perlakuan jenis dan jumlah konsentrasi gula yang digunakan dalam pembuatan petis ikan Tongkol .............................................................
19
8. Hasil analisis fisika-kimia air rebusan ikan Tongkol dan petis ikan Tongkol terbaik .....................................................................
32
7.
12
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) ..........................................................
4
2. Proses pengolahan dan pengemasan pindang Tongkol di Palabuhan Ratu .......................................................................................................
6
3. Diagram alir pembuatan petis ikan Tongkol dengan penambahan asam jeruk limau....................................................................................
20
4. Diagram alir pembuatan petis ikan Tongkol dengan penambahan jenis dan jumlah konsentrasi gula berbeda ............................................
21
5. Air rebusan ikan Tongkol (Euthynnus affinis) ......................................
32
6. Petis ikan Tongkol dengan penambahan asam jeruk limau ..................
34
7. Diagram batang nilai rata-rata sensori penampakan petis ikan Tongkol dengan penambahan asam jeruk limau. ..................................
34
8. Diagram batang nilai rata-rata sensori aroma petis ikan Tongkol dengan penambahan asam jeruk limau ...................................
35
9. Diagram batang nilai rata-rata sensori rasa petis ikan Tongkol dengan penambahan asam jeruk limau ...................................
36
10. Diagram batang nilai rata-rata sensori tekstur petis ikan Tongkol dengan penambahan asam jeruk imau ....................................
37
11. Petis ikan Tongkol dengan perlakuan penambahan gula ......................
39
12. Diagram batang nilai rata-rata sensori penampakan petis ikan Tongkol dengan penambahan jenis dan jumlah konsentrasi gula ........
40
13. Diagram batang nilai rata-rata sensori aroma petis ikan Tongkol dengan penambahan jenis dan jumlah konsentrasi gula ........
41
14. Diagram batang nilai rata-rata sensori rasa petis ikan Tongkol dengan penambahan jenis dan jumlah konsentrasi gula .........
42
15. Diagram batang nilai rata-rata sensori tekstur petis ikan Tongkol dengan penambahan jenis dan jumlah konsentrasi gula .........
44
16. Pengaruh kadar aw dan laju reaksi non-enzymatic browning tehadap pertumbuhan kapang ................................................................
52
13
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1.
Halaman Lembar penilaian sensori petis ikan dari limbah cair perebusan ikan Tongkol .........................................................................................
64
Uji Kruskall-Wallis terhadap penampakan, tekstur, aroma dan rasa Petis ikanTongkol dengan perlakuan perbedaan konsentrasi asam jeruk limau ...........................................................................................
65
Analisis ragam penampakan, tekstur, aroma, dan rasa petis ikan dengan perlakuan konsentrasi asam jeruk limau yang berbeda...........
66
Data hasil uji sensori petis ikan dengan perlakuan perbedaan jenis dan jumlah konsentrasi gula.........................................................
67
Uji Kruskal-Wallis terhadap penampakan, aroma, rasa dan tekstur petis ikan dengan perlakuan jenis dan konsentrasi gula yang berbeda.
69
Analisis ragam penampakan, aroma, tekstur dan rasa petis ikan dengan perlakuan jenis dan konsentrasi gula yang berbeda ................
69
Uji lanjut Tukey penampakan, aroma, rasa dan tekstur petis ikan dengan jenis dan konsentrasi gula yang berbeda.................................
70
8a. Uji homogen penampakan petis ikan Tongkol....................................
70
8b. Uji homogen aroma petis ikan Tongkol ..............................................
71
8c. Uji homogen rasa petis ikan Tongkol .................................................
71
8d. Uji homogen testur petis ikan Tongkol ...............................................
71
2.
3. 4. 5. 6. 7.
9.
Hasil analisis proksimat dan pH limbah pindang Tongkol Palabuhan Ratu ....................................................................................
72
10. Hasil analisis prosimat dan pH petis ikan Tongkol .............................
73
11. Hasil analisis histamin petis ikan dan air rebusan ikan Tongkol ........
74
12. Data kadar aw (aktivitas air) ................................................................
75
13. Data kadar viskositas...........................................................................
75
14. Data angka lempeng total ....................................................................
75
15. Data kadar garam .................................................................................
75
16. Data analisa logam berat .....................................................................
75
14
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Ikan pindang merupakan salah satu olahan tradisional yang sangat populer. Pemindangan adalah salah satu cara pengawetan ikan yang merupakan kombinasi dari penggaraman dan perebusan. Di Indonesia, pemindangan tersebar hampir di seluruh wilayah. Daerah produsen terbesar yaitu Pulau Jawa dengan jumlah 68,43%, Pulau Sumatera sebesar 15,34%, Pulau Bali dan Nusa Tenggara 12,25%, Pulau Sulawesi 3,39%, dan Pulau Kalimantan 0,04% (Astawan 2004). Daerah pengolahan pindang di Jawa Barat banyak terdapat di Palabuhan Ratu yang dikenal sebagai pindang Tongkol dengan jumlah produksi pada tahun 2008 mencapai 897,4 ton (PPN Palabuhan Ratu 2008). Proses pemindangan ini menghasilkan limbah (hasil samping) dalam proses pengolahannya, yaitu berupa sisa rebusan ikan dalam bentuk cair. Sebuah industri rumah tangga mampu memproduksi pindang Tongkol 800 badeng/bulan, 1 badeng maksimal 35-40 kg, dan menghasilkan limbah cair perebusan ikan Tongkol per bulan ± 6400 liter (Hendar 1 April 2009, komunikasi pribadi). Hal ini menunjukkan besarnya limbah cair yang dihasilkan. Limbah perikanan, khususnya limbah cair, biasanya langsung dibuang ke lingkungan dan dapat menyebabkan pencemaran serta menimbulkan bau yang mengganggu estetika lingkungan (Wijatmoko 2004). Limbah cair sisa pemindangan ikan masih mengandung sejumlah zat gizi dan komponen cita rasa yang terlarut selama perebusan ikan, seperti protein dan asam amino, serta mineral. Limbah tersebut dapat dimanfaatkan kembali untuk diolah sebagai bahan baku petis ikan (Astawan 2004). Petis adalah produk sampingan hasil perebusan (ikan, kupang, dan udang) yang dikentalkan seperti saus. Petis memiliki tekstur
semi-padat dan diberi
penambahan bumbu-bumbu dan gula, sehingga warnanya menjadi coklat pekat dan rasanya manis. Hingga saat ini dikenal tiga jenis petis, yaitu petis udang (umumnya berwarna coklat kehitaman), petis ikan (berwarna hitam), dan petis daging (berwarna coklat muda). Petis ikan populer di daerah Jawa Timur, khususnya di Pulau Madura. Petis ikan kurang diminati oleh masyarakat Jawa
15
Tengah dan Jawa Barat karena rasanya yang kurang lezat dan bau amis yang menyengat (Wijatmoko 2004). Salah satu sentra produksi petis ikan di Madura memanfaatkan air hasil pengolahan pindang yang dikirim dari berbagai daerah. Produsen petis ikan di Madura dapat menghasilkan petis ikan 1 ton per hari dengan menggunakan alat modern dan mampu menjual sebanyak 2 kuintal setiap hari (Anonima 2009). Mutu petis udang atau ikan di pasaran umumnya sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh cara pengolahan, jenis, jumlah, kualitas dari bahan mentah dan bahan pembantu yang digunakan. Komposisi gizi pada petis yang ada di pasaran sangat bervariasi tergantung dari bahan baku yang digunakan dan cara pembuatannya. Kandungan unsur gizi dalam petis udang dan petis ikan yaitu energi 151,0 kkal, air 56,0%, protein 20%, lemak 0,2%, karbohidrat 24%, kalsium 37(mg), fosfor 36(mg), besi 2,8(mg) (Direktorat Gizi 1996 dalam Astawan 2004). Pemanfaatan hasil rebusan ikan Tongkol yang digunakan sebagai bahan baku petis memiliki karakteristik rasa ikan yang tajam dan asin sehingga petis yang dihasilkan bau amis dan asin. Penelitian ini mempelajari karakteristik petis ikan yang dihasilkan dari limbah cair perebusan ikan Tongkol (Euthynnus affinis) dengan penambahan jenis gula, asam organik dan bumbu-bumbu untuk mereduksi bau amis ikan dan menetralisir rasa asin, sehingga hasil yang diharapkan adalah petis ikan Tongkol yang layak untuk dikonsumsi. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah sebagai upaya pemanfaatan limbah industri usaha pindang Tongkol di Palabuhan Ratu, Jawa Barat untuk dijadikan produk bernilai tambah tinggi berupa petis ikan. Sedangkan tujuan khususnya adalah: a. Mempelajari karakteristik air rebusan ikan Tongkol yang digunakan sebagai bahan baku petis ikan. b. Mempelajari karakteristik petis ikan yang dihasilkan dari limbah cair perebusan ikan Tongkol (Euthynnus affinis) dengan penambahan bumbubumbu. c. Menentukan formula terbaik terhadap bumbu-bumbu, asam organik dan gula yang digunakan dalam pembuatan petis ikan Tongkol (Euthynnus affinis).
16
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Ikan Tongkol mempunyai bentuk tubuh seperti cerutu, memanjang dan penampang lintangnya membundar dengan kulit licin dan tergolong tuna kecil. Sirip dada pendek terdiri dari 23 jari-jari lemah dan sirip dubur mempunyai 14 jari-jari lemah dengan dibelakangnya terdapat deretan finlet sebanyak 7 lembar. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 10, yang kedua berjari-jari lemah 11, diikuti 8-10 jari-jari tambahan atau finlet. Sirip dubur berjari-jari lemah 14 diikuti 6-8 jari-jari tambahan (finlet). Ikan Tongkol termasuk ikan buas, predator dan karnivor. Pada umumnya ikan ini mempunyai panjang 50-60 cm dan hidup bergerombol. Warna tubuh bagian atas biru kehitaman dan bagian bawah putih keperakan (Rahardjo dan Murniarti 1984). Klasifikasi ikan Tongkol menurut Collete dan Nauen (1983) adalah sebagai berikut: Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Teleostei
Subkelas
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
Subordo
: Scombridei
Famili
: Scombridae
Subfamili
: Scombrinae
Jenis
: Euthynnus
Spesies
: Euthynnus affinis Ikan Tongkol merupakan jenis ikan dengan kandungan gizi yang tinggi
dimana nilai proteinnya mencapai 26%, kadar lemak rendah yaitu 2% dan kandungan garam-garam mineral penting yang tinggi. Secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45-50% (Suzuki 1981).
17
Gambar 1. Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Sumber : http://www.fao.org/fishery/species/3294/en
Distribusi ikan Tongkol terdapat di Perairan Indo-Pasifik Barat yaitu, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian barat. Tongkol termasuk epipelagis, neuritik, dan oseanik pada perairan yang hangat dengan iklim tropis, dan biasanya bergerombol (Collete dan Nauen 1983). Di perairan Indonesia terdapat beberapa propinsi yang menjadi tempat pendaratan hasil tangkapan ikan Tongkol seperti Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Jawa Timur, Palabuhan Ratu dan DKI Jakarta (DKP 2001). 2.2 Pindang Tongkol Pemindangan
adalah
pengolahan
ikan
yang
dilakukan
dengan
cara merebus ikan dalam susana bergaram selama waktu tertentu. Jenis ikan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pemindangan adalah ikan air laut seperti Tongkol (Euthynus sp.), Tenggiri (Scomberomorus sp.), Kembung (Scomber sp.), Layang (Decapterus sp.), dan ikan air tawar, misalnya Mas (Cyprinus carpio) dan Nila (Tilapia nilatica) serta ikan air payau, misalnya Bandeng (Chanos chanos). Adapun kandungan gizi pada ikan Tongkol dan ikan pindang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan gizi ikan Tongkol dan ikan pindang Jenis Protein (%) Lemak (%) Air (%) Abu (%)
Tongkol 28,7 30,0 20,0 25,10 70,83 76,09 1,45 3,40
Pindang 30,66 32,71 0,84 2,88 54,72 65,10 2,94 6,36
Sumber : Burhanuddin et al (1987)
18
2.2.1
Pengolahan pindang Tongkol Pindang ikan adalah produk olahan setengah jadi berbahan baku berbagai
jenis ikan laut, seperti Tongkol, Lemuru, Kembung, Putihan, Bandeng. Namun, hanya Tongkol yang ideal dijadikan pindang. Hal ini disebabkan tekstur daging ikan Tongkol yang empuk tapi tidak mudah hancur saat dimasak. Proses pembuatan pindang yang dilakukan oleh pengrajin penganan laut di Jawa Timur cukup sederhana. Mula-mula, penyortiran tongkol-tongkol segar. Kemudian, ikan pilihan ini direbus dalam tempayan khusus hingga bumbunya meresap. Selesai perebusan, ikan dijemur untuk menghilangkan kandungan uap. Uap air tersebut masih bermanfaat untuk bahan baku petis. Daya awet pindang Tongkol ini hingga dua minggu (Sentot dan Raharjo 2001). Pada industri ikan pindang yang dilakukan di Palabuhan Ratu, bahan baku utama menggunakan ikan Tongkol dari hasil rumpon. Hal ini disebabkan ikan hasil rumpon memiliki daging yang putih, bertekstur kenyal dan tubuh ikan bulat utuh. Pengolahan pindang Tongkol yang dilakukan di Palabuhan Ratu, Jawa Barat adalah sebagai berikut: penyiapan wadah berupa badeng (ember terbuat dari logam) dengan bagian dasar dialasi kayu dan anyaman bambu. Kemudian ikan Tongkol yang sudah dicuci tanpa disiangi dimasukkan dengan cara disusun dalam badeng secara berlapis dan searah dimana tiap lapisan ikan dilumuri garam, setelah itu ditambahkan air hingga ikan terendam dalam badeng dan dilakukan perebusan (Hendar 1 April 2009, komunikasi pribadi). Proses perebusan dilakukan dua tahap, perebusan tahap pertama dilakukan selama 4 jam. Selesai perebusan pertama dilakukan penotosan yaitu pengeluaran air rebusan ikan untuk mengurangi jumlah air dan disisakan sedikit untuk perebusan kedua. Perebusan tahap kedua yaitu 2-3 jam hingga diperoleh pindang tongkol matang secara merata dan kering. Setelah pindang matang, air sisa rebusan pertama dikumpulkan untuk kemudian disalurkan kembali kepada pengolah kerupuk ataupun petis. Proses distribusi pindang Tongkol dilakukan dengan cara badeng yang berisi produk matang dikemas menggunakan kertas perkamen (kertas pembungkus semen) dan direkatkan menggunakan tali rafia untuk selanjutnya dikirim ke daerah pemasaran (Hendar 1 April 2009, komunikasi pribadi).
19
Proses pengolahan dan pengemasan pindang Tongkol di Palabuhan Ratu, Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Proses Pengolahan dan Pengemasan Pindang Tongkol di Palabuhan Ratu 2.2.2
Karakteristik limbah cair pindang Tongkol Limbah cair pindang Tongkol merupakan limbah yang diperoleh dari
pengolahan pindang Tongkol berupa cairan berwarna kecoklatan yang mengandung endapan keruh, memiliki aroma khas pindang Tongkol, dengan rasa asin sangat kuat. Limbah cair hasil proses pemindangan dapat dimanfaatkan menjadi petis atau tepung. Jika tidak, limbah cair perlu ditampung terlebih dahulu sebelum dibuang. Limbah diendapkan dan perlu diberi beberapa perlakuan khusus, misalnya untuk membuang bau busuk limbah tersebut. Endapan dapat diambil untuk pupuk atau tepung dan limbah cair yang sudah bersih serta tidak berbahaya dibuang (Wibowo 2000). Pengolah pindang menampung air sisa rebusan ikan untuk dijual kembali agar diolah menjadi produk petis ikan ataupun kerupuk ikan. 2.3 Petis Petis adalah produk sampingan hasil perebusan (ikan, kupang, dan udang) yang dikentalkan seperti saus tetapi lebih padat. Dalam pengolahan selanjutnya, petis diberi bahan tambahan seperti gula merah yang menyebabkan warnanya menjadi coklat pekat dan rasanya manis (Saputra 2008). Petis berbentuk pasta, merupakan olahan dari ikan atau udang ditambah bumbu, tepung beras, atau kanji. Dalam perdagangan internasional petis dikenal dengan nama gravy. Gravy merupakan saus yang diperoleh dari hasil perebusan daging atau sayuran. Di beberapa negara Asia seperti India, Malaysia dan Singapura istilah gravy
20
digunakan untuk hidangan masakan yang terbuat dari cairan yang dikentalkan, sebagai contoh cairan bumbu kari yang dikentalkan. Proses pengolahan gravy dilakukan dengan cara penambahan garam dan karamel sehingga terjadi pencoklatan, kemudian dikentalkan dengan penambahan pati seperti tepung terigu dan tepung jagung. Kaldu yang terlarut selama perebusan daging atau sayuran dicampurkan dengan bahan-bahan tersebut dan diaduk terus menerus hingga merata dan mengental. Penambahan bahan pengental juga dapat menggunakan karagenan dan glukosa (Crandall et al 1993). Petis dikategorikan sebagai makanan semi basah yang memiliki kadar air sekitar 10-40%, nilai aw (aktivitas air) 0,65-0,90 dan mempunyai tekstur plastis. Sesuai dengan teksturnya yang setengah padat, petis umumnya diperdagangkan dalam kemasan stoples, gelas jar, atau botol plastik berukuran kecil (Astawan 2004). Pangan olahan semi basah yang disebut juga intermediate moisture food (IMF), memiliki kadar air 20-35% dengan kandungan protein 15-35% dan nilai aw 0,6-0,85. Produk yang termasuk dalam kategori pangan semi basah memiliki ketahanan terhadap proses pembusukan dan memiliki daya simpan yang tinggi selama penyimpanan suhu ruang (Harold 1977). Petis biasa dipakai sebagai penyedap (seasoning) pada beberapa makanan seperti rujak (cingur, tahu, gobet, manis), kupang lontong (Sidoarjo), semanggi (Surabaya), lontong balap (Wonokromo), tahu campur (Lamongan), tahu tek (Lamongan), atau campor (Madura) (Anonim 2002). Kandungan unsur gizi dalam petis udang dan petis ikan yaitu energi 151,0 kkal, air 56,0%, protein 20%, lemak 0,2%, karbohidrat 24%, kalsium 37(mg), fosfor 36(mg), besi 2,8(mg) (Direktorat Gizi 1996 dalam Astawan 2004). 2.3.1 Petis ikan Petis adalah suatu produk olahan hasil perikanan, yang dibuat dari hasil ekstrak ikan melalui proses perebusan dan selanjutnya dipekatkan atau dikentalkan dengan penambahan bahan pembantu dan bahan penyedap. Petis ikan yang terdapat di Indonesia merupakan hasil penyaringan dari proses perebusan (pemindangan) ikan, atau limbah hasil perebusan (pemindangan) dari ikan yang tidak dipergunakan lagi namun mengandung zat gizi yang cukup tinggi.
21
Sebagai hasil ikutan, petis ikan yang dikumpulkan dari cairan hasil pemindangan diuapkan lebih lanjut dengan perebusan lanjutan, sambil ditambahkan gula sebagai bahan pengawet (Soeseno 1984). Petis ikan yang terbuat dari air limbah ikan pindang rasanya lebih tajam dan asin dibandingkan dengan petis udang yang terbuat dari air limbah udang (Anonima 2008). Adapun kegunaan petis adalah sebagai penyedap atau penambah rasa enak pada masakan atau sambal yang dipersiapkan. Petis ikan yang terdapat di Indonesia terkenal di daerah Jawa Timur, khususnya di Pulau Madura, namun petis ikan tidak begitu terkenal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat karena rasanya yang kurang lezat dan bau amis yang menyengat (Wijatmoko 2004). 2.3.2 Bahan baku petis Berdasarkan empat
kategori
cara
mutu,
pembuatannya, yaitu
petis
petis
kualitas
dapat
digolongkan
istimewa,
kualitas
atas ekstra,
petis nomor satu, dan petis nomor dua. Petis istimewa menggunakan bahan baku udang Werus (Metapenaeus monoceros), sedangkan bahan baku untuk petis kualitas nomor satu dan nomor dua adalah ampas dari petis kualitas ekstra. Petis yang bermutu rendah umumnya dibuat dari bahan baku kepala udang atau udang kecil-kecil (Saputra 2008). Bahan baku utama pembuatan petis udang adalah daging atau limbah udang dan gula merah. Bahan mentah petis dapat digunakan ikan utuh, sisa bagian ikan dari pabrik pengolahan ikan atau udang (pembekuan dan pengalengan),
maupun
sisa
air
rebusan
dari
pengolahan
ebi
atau
pengolahan pindang. Bahan baku tambahannya berupa bawang putih, cabai, lada, gula pasir, tepung beras, tepung tapioka, tepung kanji, tepung arang kayu, garam, dan air (Astawan 2004). 2.3.3
Bahan-bahan tambahan petis Bahan baku tambahan yang digunakan pada pembuatan petis ikan adalah :
2.3.3.1 Gula (Saccharum oficinarum) Bahan baku utama gula di Indonesia adalah tebu (Saccharum oficinarum) yang termasuk keluarga Graminaea (Moerdokusumo 1993). Gula adalah suatu istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat yang digunakan
22
sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan yang dimaksud dengan gula adalah sukrosa, yaitu gula yang diperoleh dari bit atau tebu. Bermacam-macam jenis gula yang ada mempunyai partikel maupun kemurnian yang beragam. Kristal gula yang mempunyai tingkat kemurnian tinggi terdapat dalam ukuran kristal normal, sedangkan ukuran menengah atau gula halus biasanya mengandung bahan seperti pati. Sedangkan bentuk gula yang tidak murni antara lain gula merah yang mempunyai warna gelap dan kadar zat bukan sukrosa tinggi. Istilah gula merah diasosiasikan dengan segala jenis gula yang dibuat dari nira, yaitu cairan yang dikeluarkan dari bunga pohon dari keluarga palma, seperti kelapa, aren, dan siwalan. Gula digunakan dalam pengawetan bahan pangan karena dengan daya larut yang tinggi akan mampu mengurangi keseimbangan kelembaban relatif dan mengikat air (Buckle et al 2007). Gula yang digunakan dalam proses pembuatan petis ini adalah gula pasir dan gula merah (gula kelapa). Menurut Sudarmadji (1982), tujuan penambahan gula adalah untuk memperbaiki rasa, bau, memperbaiki tekstur, menambah cita rasa sehingga meningkatkan sifat kunyah bahan makanan dan memberikan warna. Apabila gula yang diberikan dalam bahan makanan dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari 40% padatan terlarut, sebagian air yang ada menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme dan aw pada bahan berkurang (Buckle et al 2007). Komposisi khas gula putih dan gula merah dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi khas gula putih dan gula merah Komposisi Kemurnian (Sukrosa) Kadar Air Gula pereduksi, sebagai gula invert Abu Pencemar
Gula Putih (%) 99,8 0,1
Gula Merah (%) 92,0 3,5
0,05
0,5
0,02 0,005
0,5 0,01
Sumber : Buckle et al (2007)
2.3.3.2 Bawang putih (Allium sativum) Bawang putih adalah tanaman umum dengan akar berwarna putih berbentuk umbi lapis, serupa dengan bawang merah. Nama ilmiah adalah Allium sativum, dan tanaman ini adalah bagian dari familia Liliaceae (Lili).
23
Bawang putih dipakai baik untuk masakan maupun sebagai tanaman obat.
Saat
bawang putih segar dihancurkan atau dicincang, enzim dalam umbinya dilepas dan sebuah senyawa yang mengandung sulfur (belerang) bernama allicin terbentuk. Senyawa yang mengandung sulfur ini dapat digunakan sebagai antibiotik yang efektif (Anonim 2005). Bawang putih mengandung sulfur, asam amino, zat mineral termasuk germanium, selenium, dan zinc, serta vitamin A, B, dan C. Allicin dipercaya sebagai zat kandungan bawang putih yang paling banyak memberikan manfaat, selain menghasilkan bau yang menyengat. Bawang putih umum digunakan sebagai bahan masakan daripada sebagai sayuran karena rasanya yang sangat kuat (Saparinto dan Hidayati 2006). Bawang putih adalah umbi tanaman yang terdiri dari siung-siung bernas, kompak, dan masih terbungkus oleh kulit luar, bersih dan tidak berjamur. Bawang putih tersusun atas beberapa senyawa kimia dimana air adalah komponen dengan jumlah terbesar (SNI 01-3190-1992 dalam Yohana 2007). Komposisi kimia bawang putih selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi bawang putih per 100 g umbi Parameter Protein Lemak Karbohidrat Vitamin B1 Vitamin C Kalori Fosfor Kalsium Besi Air
Nilai 4,5 g 0,20 g 23,10 g 0,22 mg 15 mg 95 kal 134 mg 42 mg 1 mg 71 g
Sumber : Anonim (2005)
2.3.3.3 Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) Cabai rawit atau cabe rawit (Capsicum frutescens L.), adalah buah dan tumbuhan anggota genus Capsicum. Selain di Indonesia, cabai rawit juga tumbuh dan populer sebagai bumbu masakan di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Di Malaysia dan Singapura dinamakan cili padi, di Filipina siling labuyo, dan di Thailand phrik khi nu. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Thai pepper
24
atau bird's eye chili pepper. Buah cabai rawit berubah warnanya dari hijau menjadi merah saat matang. Meskipun ukurannya lebih kecil daripada varietas cabai lainnya, cabai rawit dianggap cukup pedas karena kepedasannya mencapai 50.000 – 100.000 pada skala Scoville (Saparinto dan Hidayati 2006). 2.3.3.4 Lada (Piper nigrum L.) Lada atau merica (Piper nigrum L.) adalah tumbuhan penghasil rempah-rempah yang berasal dari bijinya. Lada sangat penting dalam komponen masakan dunia. Buah lada berbentuk bulat seperti bola dengan diameter 4-6 mm, menempel pada tangkai yang panjangnya mencapai 5-15 cm. Setiap tangkai mampu menghasilkan 50-60 buah lada yang tersusun rapat. Buah lada yang belum masak berwarna hijau kemudian berubah menjadi merah setelah masak. Bobot per 100 biji buah lada antara 3-8 gram dengan rata-rata 4,5 gram. Buah lada mengandung beberapa komponen kimia, yaitu : minyak atsiri, lemak, alkaloid penyebab rasa pedas, resin, protein, selulosa, pentosan, pati, dan lain-lain (Purseglove et al 1981). 2.3.3.5 Jeruk Limau (Citrus hystrix) Jeruk limau atau limo, purut, jeruk sambal, atau jeruk pecel (Citrus hystrix) merupakan tumbuhan perdu yang dimanfaatkan terutama buah dan
daunnya
sebagai
bumbu
penyedap
masakan.
Dalam
perdagangan
internasional dikenal sebagai kaffir lime, sementara nama lainnya ma kruut (Thailand), krauch soeuch (Kamboja), 'khi 'hout (Laos), shouk-pote (Burma), kabuyau, kulubut, kolobot (Filipina), dan truc (Vietnam) (Sarwono 1994). Jeruk rempah ini termasuk ke dalam subgenus Papeda, berbeda dengan jenis jeruk lainnya. Tumbuhannya berbentuk pohon kecil (perdu). Rantingnya berduri. Daun berbentuk khas, seperti dua helai yang tersusun vertikal akibat pelekukan tepinya yang tajam; tebal dan permukaannya licin, agak berlapis malam. Daun muda dapat berwarna ungu yang kuat. Buahnya kecil, biasanya tidak pernah berdiameter lebih daripada 2 cm, membulat dengan tonjolan-tonjolan dan permukaan kulitnya kasar; kulit buah tebal. Perbanyakan dilakukan dengan biji atau dengan pencangkokan (Sarwono 1994).
25
Dalam dunia boga Asia Tenggara penggunaannya cukup sering dan rasa sari buahnya yang masam biasanya digunakan sebagai penetral bau amis daging atau ikan untuk mencegah rasa mual, seperti pada siomay. Ikan yang sudah dibersihkan biasanya ditetesi perasan buahnya untuk mengurangi bau amis (Sarwono 1994). 2.3.4 Proses pembuatan petis ikan Pada prinsipnya pembuatan petis merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi penyiapan bahan baku, perebusan, dan pengentalan. Selengkapnya proses pembuatan petis adalah sebagai berikut (Anonim 2002) : a) Mula-mula kepala udang harus dicuci bersih karena merupakan sumber bakteri dan terdapatnya sistem pencernaan di kepala. b) Setelah kepala udang dicuci, diberi air dengan perbandingan tertentu. Kemudian dimasak atau direbus, biasanya selama 3 sampai 6 jam. Selanjutnya dilakukan pemerasan dan ampasnya dibuang. Perebusan ini dilakukan untuk mengambil sari dari kepala udang tersebut. Pembuatan petis juga dapat dilakukan dari ekstrak ikan atau udang hasil samping pembuatan pindang atau ebi (udang kering). c) Sari udang atau ikan tersebut dimasukkan ke dalam belanga kemudian dimasak, sambil diaduk-aduk sampai agak kental. Setelah itu dilakukan penambahan garam dan gula sedikit demi sedikit ataupun penambahan bumbu-bumbu seperti bawang putih, cabai rawit, dan merica. d) Selain itu, di beberapa daerah juga ada yang menambahkan tepung tapioka dan tepung arang kayu atau arang jerami dalam pembuatan petis atau dengan menambahkan tepung terigu. e) Perebusan dilakukan sampai adonan mengental, yang ditandai dengan pengadukan
yang
terasa
berat
atau
apabila
dijatuhkan
dari
sendok pengaduk, cairan tidak meluncur tetapi menetes (tetes demi tetes). f) Petis yang dikemas
merupakan produk saus kental yang elastis, sangat cocok dengan
botol
atau
stoples
yang
bermulut
lebar.
Sebelum digunakan, botol-botol pengemas tersebut harus disterilisasi terlebih dahulu. Petis juga dapat dikemas dalam botol plastik.
26
2.3.5
Komposisi zat gizi petis Limbah yang berasal dari air perebusan ikan Tongkol yang umumnya
dibuang setelah ikan pindang matang digunakan sebagai bahan baku petis. Cairan tersebut berasa asin dan mengandung sejumlah zat gizi dan komponen cita rasa yang terlarut selama perebusan ikan, seperti protein, asam amino, vitamin, dan mineral. Cita rasa gurih pada petis berasal dari dua komponen utama, yaitu peptida dan asam amino yang terdapat pada ekstrak ikan atau udang serta dari komponen bumbu yang digunakan. Asam amino glutamat pada ekstrak ikan merupakan asam amino yang paling dominan menentukan rasa gurih. Sifat asam glutamat yang ada pada esktrak ikan, udang, atau daging sama dengan asam glutamat yang terdapat pada monosodium glutamat (MSG) yang berbentuk bubuk penyedap rasa (Astawan 2004). Petis yang diolah dari cairan hasil proses pemindangan kaya akan zat gizi dan nitrogen terlarut, hal ini dapat dilihat pada komposisi kimia (protein, lemak, karbohidrat, dan air) petis udang dan petis ikan pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi kimia petis udang dan petis ikan Komposisi Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Air (%) Sumber : Anonim (1989)
Petis Ikan 20,00 0,20 24,00 56,00
Petis Udang 15,00 0,10 40,00 39,00
Komposisi gizi pada petis yang ada di pasaran sangat bervariasi sekali, tergantung pada bahan baku yang digunakan dan cara pembuatannya. Penambahan gula dan tepung dalam proses pembuatannya menyebabkan cukup tingginya kadar karbohidrat pada petis, yaitu sekitar 20-40 g per 100 g. Kandungan mineral yang cukup tinggi pada petis adalah kalsium, fosfor, dan zat besi, masing-masing sebanyak 37, 36, dan 3 mg per 100 gram. Walaupun kandungan protein petis cukup tinggi (15-20 g/100 g), petis tidak dapat dijadikan sebagai sumber protein karena pemakaiannya dilakukan dalam jumlah sangat sedikit. Petis hanya dikonsumsi sebatas sebagai pembangkit cita rasa (Anonim 2002).
27
2.4 Pengaruh Pengolahan dengan Panas Terhadap Nilai Gizi Pengolahan petis ikan yang dilakukan dengan proses pemanasan dilakukan untuk mendapatkan bahan pangan yang aman untuk dikonsumsi sehingga nilai gizi yang dikandung dapat dimanfaatkan secara maksimal dan petis ikan tersebut dapat diterima, khususnya diterima secara sensori, yang meliputi penampakan (aroma, rasa, mouthfeel, aftertaste) dan tekstur (kelembutan, konsistensi, kekenyalan). Selain itu, pengolahan juga dapat menimbulkan hal yang sebaliknya yaitu kehilangan zat-zat gizi dan perubahan sifat sensori ke arah yang kurang disukai dan kurang diterima seperti perubahan warna, tekstur, bau dan rasa yang kurang atau tidak disukai (Apriyantono 2002). Pemanasan merupakan proses yang paling banyak diterapkan dan dipelajari. Proses pengolahan bahan baku ikan menggunakan panas (perebusan) memiliki pengaruh yang paling kecil terhadap kadar air dan kandungan protein dibandingkan proses pengolahan lainnya seperti penggorengan, pemanggangan dan lainnya. Proses perebusan juga menyebabkan kehilangan beberapa mineral penting seperti Na, K, P, Mg, Zn and Mn (Gokoglu et al 2004). Selama proses pengolahan bahan pangan termasuk petis dapat mengalami kerusakan protein karena adanya reaksi antara protein dengan gula pereduksi yang disebut reaksi Maillard. Reaksi Maillard yang terjadi pada suatu bahan pangan dapat menyebabkan penurunan nilai gizi. Hal ini dapat terjadi karena asam amino bebas esensial dan residu asam amino, khususnya lisin, berpartisipasi dalam reaksi Maillard tersebut (Eskin et al 1971). Lea dan Hannan (1950) dalam Eskin et al (1971) melaporkan bahwa kadar air optimal untuk casein-glucose system dan terjadinya kehilangan asam amino bebas dalam jumlah besar berlangsung pada level air sebesar 13%. Hal ini menerangkan terjadinya reaksi Maillard berkaitan erat pada bahan pangan yang memiliki kadar air rendah dengan nilai kisaran aw sebesar 0,6-0,7.Hubungan antara pengaruh kadar aw dengan laju reaksi non-enzymatic browning terhadap pertumbuhan kapang, dapat dilihat pada Gambar 3.
28
Gambar 16. Pengaruh kadar aw dan laju reaksi non-enzymatic browning tehadap pertumbuhan kapang (FAO 2001) Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu yang moderat (60-90)oC selama satu jam atau kurang (Muchtadi 1989). Denaturasi adalah perubahan struktur protein dimana pada keadaan terdenaturasi penuh, hanya struktur primer protein saja yang tersisa, protein tidak lagi memiliki struktur sekunder, tersier dan quarterner. Akan tetapi, belum terjadi pemutusan ikatan peptida pada kondisi terdenaturasi penuh ini. Denaturasi protein yang berlebihan dapat menyebabkan insolubilisasi yang dapat mempengaruhi sifat-sifat fungsional protein yang tergantung pada kelarutannya. Oleh karena itu pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak dikontrol dengan baik dapat menurunkan nilai gizi proteinnya (Muchtadi 1984). 2.5 Penyimpanan Petis ikan yang merupakan hasil samping dari proses pemindangan dengan air garam mengakibatkan petis ikan memiliki daya awet yang cukup tinggi, dimana garam dengan konsentrasi cukup tinggi berfungsi sebagai pengawet atau penghambat pertumbuhan mikroba serta meningkatkan tekanan osmotik medium (Winarno 1982). Petis merupakan bahan pangan semi basah (Intermediate Moisture Food) yang memiliki kisaran nilai aw 0,65-0,90, merupakan kondisi yang dapat mencegah pertumbuhan mikroba. Proses penyimpanan dapat dilakukan dengan mudah, efesien, dan relatif murah. Bahan pangan semi basah seperti petis dapat disimpan dalam suhu ruang, dan tidak mudah mengalami
29
kerusakan disebabkan rendahnya nilai aw. Hal ini merupakan nilai tambah bagi negara berkembang seperti Indonesia yang berada di iklim tropis (FAO 2001). Kerusakan pada petis dapat diketahui dengan adanya pertumbuhan kapang pada permukaan petis. Hal ini terjadi pada petis yang memiliki kadar air cukup tinggi. Timbulnya rasa dan bau asam serta alkohol adalah akibat dari fermentasi glukosa yang berasal dari tepung ataupun gula karena adanya kapang atau jamur. Untuk mencegah kerusakan tersebut, perlu dilakukan penurunan kadar air dan penggunaan bahan pengemas yang baik. Agar dapat disimpan lama, petis yang kemasannya telah dibuka sebaiknya disimpan di dalam lemari pendingin (Anonim 2002). 2.6 Pengemasan Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan, dan
merupakan
salah
satu
cara
pengawetan
bahan
hasil
pertanian,
karena pengemasan dapat memperpanjang umur simpan bahan. Pengemasan adalah wadah atau pembungkus yang dapat membantu mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan pada bahan yang dikemas atau dibungkusnya. Fungsi paling mendasar dari kemasan adalah untuk mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan-kerusakan, sehingga lebih mudah disimpan, diangkut dan dipasarkan (Julianti dan Nurminah 2006). Beberapa jenis bahan pengemas yang biasa digunakan untuk petis adalah botol atau stoples yang bermulut lebar dari gelas ataupun plastik. Wadah gelas terbuat dari CaO, pasir, soda abu, (Na2O) dan alumina (Al2O3) yang memiliki sifat barrier terhadap benda padat, cair dan gas sehingga baik sebagai pelindung terhadap kontaminasi bau dan cita rasa (Julianti dan Nurminah 2006). Bahan
plastik
yang
digunakan
dalam
kemasan
plastik
kaku
adalah
polyvinylchlorida, polypropylena, dan polyesetal. Keuntungan menggunakan plastik kaku adalah biaya relatif murah dan mudah dibuat (Erliza et al 1987). 2.7 Syarat Mutu Petis Mutu produk petis sangat dipengaruhi oleh mutu bahan mentah, cara pengolahannya dan nilai gizi yang dikandungnya. Syarat mutu petis yang digunakan sebagai acuan syarat kelayakan pada petis dapat dilihat pada Tabel 5.
30
Tabel 5. Syarat mutu petis udang (SNI 01-2346-2006) Parameter Air (%) Abu (%) Protein (%) Karbohidrat (%) Lemak (%) Viskositas (cp) Aktivitas air (aw) Derajat asam (pH) Angka Lempeng Total (CFU/ml) Cemaran Logam - Logam Hg (ppm) - Logam Pb (ppm) Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2006)
Persyaratan Mutu 20-30 Maks 8,0 Min 10 Maks 40 5400 Maks 5x102 Maks 0,05 Maks 2
Hal-hal yang perlu diperhatikan selama pengolahan petis yaitu peralatan yang digunakan harus selalu dalam keadaan bersih, mutu kesegaran bahan mentah ikan yang digunakan dalam pengolahan petis, serta kemurnian garam dan gula yang digunakan juga sangat menentukan mutu olahan petis yang dihasilkan (Anonim 1992).
31
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-September 2009 bertempat di Laboratorium Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Sensori Hasil Perairan, Laboratorium Seafast Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Kimia Pangan Departemen Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan DKI Jakarta, Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah hasil perebusan ikan Tongkol (Euthynnus affinis) yang berasal dari Palabuhan Ratu-Sukabumi sebagai bahan baku pembuatan petis ikan dan bahan-bahan lainnya terdiri dari gula putih, gula merah, bawang putih, cabai rawit, lada, serta jeruk limau. Adapun bahan untuk analisis kimia fisika terdiri dari akuades, akuatrides, methanol, resin penukar ion, HCl 1 N, HCl 0,1 N, NaOH, OPT, H3PO43 5,7 N, larutan potasium kromat 5%, larutan perak nitrat 0,1 M, K2SO4, NaCl, H2SO4, NaOH 40%, pelarut heksana, H3BO3, dan metil merah. Peralatan yang digunakan adalah gelas ukur, timbangan, panci, kompor, pengaduk kayu, baskom, dan peralatan yang dipakai untuk pengujian mutu produk adalah labu ekstruksi, Erlenmeyer, soxhlet, kapas, selongsongan, oven, cawan porselin, desikator, Bunsen, tanur listrik, labu destilasi, kertas saring,
aw-meter (Shibaura wa-360), viscometer (Brookfield LV), homogenizer, waterbath, labu ukur, glass wool, kolom, pH meter, dan spectrofluorometry. 3.3 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental. Metode eksperimental merupakan salah satu metode yang paling tepat untuk menyelidiki hubungan sebab akibat variabel yang digunakan.
32
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu penelitian pra-pendahuluan, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. 3.3.1 Penelitian pra-pendahuluan Penelitian pra-pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik limbah cair hasil perebusan ikan Tongkol yang akan digunakan dengan pengujian secara subyektif yaitu dengan uji sensori berupa pengamatan warna, penampakan, aroma, tekstur dan rasa, dan pengujian secara obyektif berupa analisis kimia dan mikrobiologi yang meliputi analisis proksimat (kadar protein kasar, lemak, karbohidrat, abu, air), pH, kadar histamin, cemaran logam (Pb, Hg, Fe) serta kadar garam. Selain itu pada penelitian pra-pendahuluan dilakukan uji coba untuk menentukan jenis dan konsentrasi bahan-bahan tambahan yang digunakan. 3.3.2 Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mencari penggunaan konsentrasi asam jeruk limau terbaik yang digunakan untuk menghilangkan aroma amis petis yang dihasilkan. Pembuatan petis pada penelitian pendahuluan berdasarkan formulasi hasil ujicoba pada penelitian pra-pendahuluan, adapun jenis dan konsentrasi bahan tambahan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Formulasi bahan tambahan pembuatan petis ikan Tongkol dengan perlakuan asam jeruk limau
Bahan Air rebusan ikan Tongkol Gula merah Gula putih Bawang putih goreng Cabai rawit Lada Asam jeruk limau
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Jumlah Perlakuan 3
Perlakuan 4
Perlakuan 5
100 ml
100 ml
100 ml
100 ml
100 ml
100 g 100 g
100 g 100 g
100 g 100 g
100 g 100 g
100 g 100 g
5g
5g
5g
5g
5g
2,5 g 0,5 g
2,5 g 0,5 g
2,5 g 0,5 g
2,5 g 0,5 g
2,5 g 0,5 g
0 ml
2 ml
4 ml
6 ml
8 ml
33
Proses pembuatan petis ikan diawali dengan penyaringan cairan hasil perebusan ikan Tongkol agar bersih dari kotoran yang mungkin masih ada. Selanjutnya cairan dipanaskan dengan penambahan gula merah dan gula pasir sedikit demi sedikit dalam perbandingan 1:1:1 dan diaduk hingga rata. Selanjutnya dilakukan penambahan bumbu berupa bawang putih goreng, cabai rawit, dan lada yang diperoleh dengan cara dihaluskan. Kemudian ditambahkan perasan asam jeruk limau yang telah disaring. Larutan tersebut diaduk hingga bumbu merata dan membentuk pasta pada suhu (40-60)0C selama ± 10 menit. Setelah itu, petis ikan diangkat dan disaring untuk memisahkan kotoran-kotoran yang dihasilkan dari penambahan bahan, kemudian didinginkan. Adapun prosedur pembuatan petis ikan dapat dilihat pada Gambar 3. Penelitian pendahuluan ini dianalisis secara subjektif yaitu menggunakan uji sensori yang meliputi penampakan, tekstur, aroma, dan rasa. Penilaian sensori dapat digunakan sebagai parameter untuk menentukan penerimaan terhadap petis ikan hasil penelitian ini. Untuk mengetahui konsentrasi penambahan asam jeruk limau terbaik dilakukan uji Kruskal-Wallis dan jika analisis ragam berbeda nyata, maka dilakukan dengan uji lanjut Multiple Comparison. 3.3.3 Penelitian utama Hasil penelitian pendahuluan dilanjutkan dengan penelitian utama, yaitu mencari jenis konsentrasi terbaik dari penambahan gula yang digunakan dari gula merah, gula putih, dan kombinasi keduanya dengan konsentrasi yang berbeda-beda pada pembuatan petis yang ditunjukkan pada Gambar 4. Perlakuan konsentrasi jenis gula yang akan digunakan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perlakuan jenis dan jumlah konsentrasi gula yang digunakan dalam pembuatan petis ikan Tongkol Komposisi Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Air rebusan ikan Tongkol 100 ml 100 ml 100 ml Gula merah 200 g 100 g Gula putih 200 g 100 g Bawang putih goreng 5g 5g 5g Lada 0,5 g 0,5 g 0,5 g Cabai rawit 2,5 g 2,5 g 2,5 g Asam jeruk limau 2 ml 2 ml 2 ml
34
Cairan hasil perebusan ikan Tongkol 100 ml
Pemanasan pada suhu 400C
Penambahan gula merah dan gula putih sedikit demi sedikit {perbandingan 1:1:1 (cairan pindang Tongkol:gula merah:gula putih)}
Pengadukan hingga adonan menjadi rata (suhu (40-50)0C, selama ± 5-7 menit)
Penambahan bumbu-bumbu (bawang putih goreng 5%, cabai rawit 2,5%, dan merica 0,5% dari 100 ml air rebusan tongkol) Penambahan asam jeruk limau (konsentrasi 0%, 2%, 4%, 6%, 8% dari 100 ml air rebusan Tongkol)
Pengadukan hingga menjadi rata dan mengental (suhu (40-55)0C, selama ±10 menit) Penyaringan
Pengangkatan dan pendinginan
Petis ikan
Uji Sensori
Gambar 4. Diagram alir pembuatan petis ikan Tongkol dengan penambahan asam jeruk limau
35
Cairan hasil perebusan ikan Tongkol 100 ml Gula putih 200 g Pemanasan pada suhu 400C
Penambahan gula
Gula merah 200 g Gula merah 100 g dan gula putih 100 g
Pengadukan hingga adonan menjadi rata (suhu (40-50)0C, selama ± 5-7 menit)
Penambahan bumbu-bumbu (bawang putih goreng 5%, cabai rawit 2,5%, dan merica 0,5% dari 100 ml air rebusan tongkol) Penambahan asam jeruk limau konsentrasi terbaik Pengadukan hingga menjadi rata dan mengental (suhu (40-55)0C, selama ±10 menit) Penyaringan
Pengangkatan dan pendinginan
Petis ikan -
Analisis proksimat
-
Uji derajat keasaman
-
Uji aktifitas air
-
Uji kadar garam
-
Uji logam berat
Uji Sensori
Petis ikan terpilih
Gambar 5. Diagram alir pembuatan petis ikan Tongkol dengan penambahan jenis dan jumlah konsentrasi gula berbeda
36
Pada Gambar 5, proses pembuatan petis ikan menggunakan jenis dan konsentrasi gula yang berbeda yaitu terdiri dari gula merah 200%, gula putih 200% dan kombinasi gula merah dengan gula putih masing-masing 100% dari 100 ml air rebusan Tongkol. Selanjutnya ditambahkan bumbu-bumbu dan diberi asam jeruk limau konsentrasi terbaik, diaduk hingga mengental selama ± 10 menit pada suhu (40-60)0C. Petis ikan yang sudah terbentuk diangkat kemudian disaring dan didinginkan. Petis ikan yang diperoleh dianalisis secara subjektif yaitu menggunakan uji sensori yang meliputi parameter penampakan, tekstur, aroma, dan rasa. Untuk mengetahui hasil perlakuan penambahan gula terbaik dilakukan uji KruskalWallis dan jika analisis ragam berbeda nyata, maka dilakukan dengan uji lanjut Multiple Comparison. Hasil pengujian yang paling disukai yaitu petis ikan terpilih dianalisis secara kimia berupa uji proksimat (kadar karbohidrat, kadar lemak, kadar protein, kadar air, kadar abu), derajat keasaman (pH), aktivitas air (aw), kadar garam, logam berat (Pb, Hg, Fe), kadar histamin, viskositas dan analisis mikrobiologi yaitu uji angka lempeng total (Total Plate Count). 3.4 Pengujian Teknik pengujian ada dua cara, yaitu secara subyektif dan secara obyektif. Analisis secara obyektif yaitu analisis kimia yang meliputi uji proksimat (kadar karbohidrat, kadar lemak, kadar protein, kadar air, kadar abu), derajat keasaman (pH), aktivitas air (aw), viskositas, cemaran logam, kadar histamin, dan kadar garam, dengan analisis mikrobiologi yaitu uji angka lempeng total (Total Plate Count). Sedangkan analisis secara subyektif yaitu uji sensori dengan parameter penampakan, aroma, tekstur, dan rasa. Data yang diproleh dianalisis menggunakan metode statistika non-parametrik berupa uji Kruskal-Wallis kemudian dilanjutkan dengan perhitungan menggunakan metode Multiple Comparison (Gaten 2000). 3.4.1 Uji sensori Uji sensori yang dilakukan terhadap petis ikan adalah uji penilaian sensori dengan skala 1, 3, 5, 7, dan 9 yang bertujuan untuk mengetahui tanggapan panelis terhadap produk yang dihasilkan berdasarkan SNI 01-2346-2006. Pelaksanaan
37
uji sensori adalah dengan menyajikan petis ikan yang telah diberi kode (menggunakan huruf alfabet acak) dan panelis diminta untuk memberikan penilaian pada score sheet yang telah disediakan. Untuk melakukan pengujian menggunakan 30 panelis semi terlatih. Parameter sensori yang diuji meliputi penampakan, aroma, tekstur dan rasa. Lembar uji sensori dapat dilihat pada Lampiran 1. 3.4.2
Analisis kimia Analisis kimia yang digunakan terdiri dari proksimat (kadar air, lemak,
protein, karbohidrat, dan mineral), derajat keasaman, kadar garam, cemaran logam (Pb, Hg, Fe), kadar histamin, aktivitas air, viskositas serta pengujian mikrobiologi (angka lempeng total). 3.4.2.1 Kadar air (AOAC 2007) Prosedur penentuan kadar air yaitu, sebanyak 2 gram sampel segar dalam botol timbangan dimasukkan kedalam oven pada suhu 1050C selama 8 jam, lalu ditimbang. Kadar air dapat dihitung dengan rumus : Kadar air = Bobot sampel (segar – kering) x 100% Bobot sampel segar 3.4.2.2 Kadar abu (AOAC 2007) Kadar abu ditentukan dengan prosedur yaitu, sebanyak 4 gram sampel basah ditempatkan dalam wadah porselin dimasukkan dalam oven dengan suhu 600C sampai 1050C selama 8 jam. Kemudian sampel yang sudah kering dibakar menggunakan hotplate sampai tidak berasap selama ± 20 menit. Kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 6000C selama 3 jam lalu ditimbang. Rumus Kadar Abu : Kadar Abu Total =
berat abu x 100% berat sampel kering
3.4.2.3 Kadar lemak (AOAC 2007)
38
Kadar lemak ditentukan dengan menggunakan metode ekstraksi Soxhlet, dengan cara sebanyak 2 gram sampel kering disebar diatas kapas yang beralas kertas saring dan digulung membentuk thimble, lalu dimasukkan dalam labu soxhlet. Kemudian dilakukan ekstraksi selama 6 jam dengan menggunakan pelarut lemak berupa heksana sebanyak 150 ml. Lemak yang terekstrak kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 1000C selama 1 jam. Perhitungan : % Lemak = bobot lemak terekstrak (g) x 100% bobot sampel kering (g) 3.4.2.4 Kadar protein (AOAC 2007) Penentuan kadar protein ini dilakukan dengan metode Kjeldahl-mikro dengan cara, sebanyak 0,25 gram sampel kering ditempatkan dalam labu Kjeldahl 100 ml dan ditambahkan 0,25 gram Selenium dan 3 ml H2SO4 pekat. Kemudian dilakukan destruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) selama 1 jam sampai larutan jernih. Setelah dingin ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40% lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu erlenmeyer yang berisi campuran H3BO3 2% dan 2 tetes indikator merah metil berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan destilasi dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga terhadap blanko. Perhitungan: % N = (S-B) x N HCl x 14 x 100% W x 1000
% Protein = % N x 6,25
Keterangan : S : volume titran sampel (ml) B : volume titran blanko (ml) w : bobot sampel kering (mg)
39
3.4.2.5 Kadar karbohidrat Analisis kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu dengan menggunakan rumus : K. karbohidrat = 100% - (K. Lemak – K. Protein – K. Air – K. Abu)
3.4.2.6 Derajat keasaman (pH) (Apriyantono et al 1989) Sampel dalam wadah diukur pH-nya menggunakan pH meter dengan cara mula-mula pH meter dinyalakan lalu dikalibrasi dengan larutan buffer pH 4 dan kemudian buffer pH 7. Kemudian sampel ditimbang sebanyak 5,0 gram dan diencerkan dengan perbandingan petis ikan : air aquades (1:5) dan dihomogenkan menggunakan mixer. Sampel yang telah homogen diukur menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi. Nilai yang diperoleh dari hasil pembacaan pada pH meter selama satu menit atau sampai angka digital yang menunjukkan nilai pH tidak berubah (konstan). 3.4.2.7 Kadar Garam (Apriyantono et al 1989) Pengukuran
kandungan
garam
menggunakan
analisa
cepat
metode Modifikasi Mohr dengan cara kerja yaitu, sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan diabukan seperti pada cara penetapan abu. Abu yang diperoleh dicuci dengan akuades sedikit mungkin dan dipindahkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 1 ml larutan potasium kromat 5% dan dititrasi dengan larutan perak nitrat 0,1 M dan titik akhir titrasi tercapai apabila timbul warna oranye/jingga yang pertama. Perhitungan : % Garam (NaCl) = T x M x 5,84 W Keterangan : T = titer M = Molaritas perak nitrat W = Berat sampel
40
3.4.2.8 Aktivitas air (aw) (Faridah et al 2006) Pengukuran aw dilakukan dengan Shibaura aw meter WA-360. Kalibrasi menggunakan kalium sulfat (K2SO4) aw 0,970 dan NaCl aw 0,750. Sampel dimasukkan ke dalam tempat sampel kemudian dimasukkan ke dalam chamber sensor aw. Nilai aw diperoleh dengan membaca skala saat angka digital menunjukkan nilai aw konstan. 3.4.2.9 Kadar Histamin (AOAC 2007) •
Tahap ekstraksi Sampel sebanyak 10 gram lalu ditambahkan methanol 50 ml dan
dihomogenkan dengan homogenizer (blender). Setelah homogen maka sampel tersebut dipanaskan dalam water bath pada suhu 600C selama 15 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang. Sampel yang sudah dalam keadaan suhu ruang dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan methanol sampai tanda tera dan dihomogenkan. Larutan sampel kemudian disaring dengan kertas saring dan dimasukkan dalam erlenmeyer. •
Tahap clean up Pertama-tama disiapkan kolom, kemudian ke dalam kolom tersebut
dimasukkan glass wool secukupnya (tingginya 1 cm), setelah itu dimasukkan resin penukar ion ke dalam kolom sampai tingginya kurang lebih 8 cm. Langkah terakhir adalah melewatkan sampel ke dalam kolom sebanyak 1 ml dan ditampung hasilnya dalam labu ukur 50 ml yang telah diberi 5 ml HCl 1 N. •
Tahap pembentukan Masing-masing tabung reaksi dimasukkan 10 ml HCl 0.1 N kemudian
ditambahkan 5 ml sampel, 5 ml standar histamin (untuk larutan sekunder) dan 5 ml HCl 0,1 (untuk blanko). Ditambahkan 3 ml NaOH, setelah itu dihomogenkan dan dibiarkan selama 5 menit, kemudian ditambahkan sebanyak 1 ml ortoftalatdikarboksialdehid (OPT), lalu dihomogenkan dan didiamkan selama 4 menit. Sampel kemudian ditambahkan 3 ml H3PO43 5,7 N dan dihomogenkan, setelah selesai sampel siap untuk dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 450 nm.
41
3.4.2.10 Cemaran Logam (AOAC 2007) Penentuan kandungan logam berat terbagi atas beberapa tahap, yaitu tahap destruksi, pembacaan absorban contoh, dan perhitungan kandungan
logam
berat. a. Tahap destruksi Ke dalam labu alas bulat 250 ml dimasukkan 5 gram sampel, berturut-turut ditambahkan 20 ml HCl 37% dan 10 ml HNO3 65%. Kemudian dipanaskan dengan api spiritus selama 20 menit. Setelah 20 menit api spiritus segera dimatikan, kemudian ditambahkan H2O2 30% dan dipanaskan lagi selama 10 menit atau sampai larutan menjadi jernih. Setelah dingin larutan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml kemudian ditambahkan akuades sampai tanda tera. a. Pembacaan absorbans Pembacaan
absorbans
logam
berat
merkuri
dilakukan
dengan
spektrofotometer penyerapan atom tanpa nyala, sedangkan timbal dilakukan dengan nyala asetilen. Absorbans Untuk Logam Berat Merkuri (Hg) Mercury Hydride System (MHS-10) dirangkai dengan alat AAS. Kemudian AAS diaktifkan dan ditunggu selama 15 menit, kondisi optimum AAS dicari dengan mengatur posisi Hg, kedudukan sel absorbans, panjang gelombang, dan mengalirkan gas nitrogen (N2) ke dalam sistem. • Pembacaan Absorbans Larutan Standar Merkuri Ke dalam tabung A dimasukkan 10 ml larutan standar. Tabung B diisi dengan reduktor standar. Tabung C ditekan untuk memompa reduktor sehingga mengalir ke tabung A dan mereduksi larutan standar agar terbentuk kabut uap merkuri yang selanjutnya kabut uap tersebut didorong oleh gas N2 menuju sel absorbans. Didalam sel absorbans uap Hg menyerap sinar dari lampu Hg pada panjang gelombang 253,7 nm. Nilai absorbans langsung dapat dibaca (pada digital display). Dibuat kurva absorbans vs konsentrasi sehingga didapat garis standar dengan persamaan garis Y = a + bx (linier), dimana a adalah intersept yaitu jarak antara titik potong garis pada sumbu Y dengan titik pusat
42
(0,0) dan b adalah kemiringan garis (slope). • Pembacaan Absorbans Contoh Dengan cara yang sama seperti absorbans standar, dilakukan pembacaan
absorbans
contoh
dengan
memasukkan
contoh
ke dalam tabung A dan reduktor contoh (daging) ke dalam tabung B. Absorbans Untuk Logam Berat Timbal (Pb) Pembacaan absorbans larutan standar dan absorbans contoh pada logam berat Pb pada prinsipnya sama dengan pembacaan absorbans pada analisis merkuri. Pada pembacaan absorbans logam berat Pb menggunakan panjang gelombang 228,8 nm dan 283,3 nm. Untuk menghasilkan nyala api digunakan gas asitilen. b. Perhitungan Kadar logam berat sampel dihitung dengan memasukkan harga absorbans ke dalam persamaan garis standar. Y = a + bx Dimana nilai absorbans sebagai Y sedangkan a dan b dari persamaan garis standar, maka diperoleh harga x yang merupakan konsentrasi contoh. Hasil perhitungan dinyatakan dengan ppm. ppm =
(Ac – Ab) – a x 100 b x berat contoh (gr) x 100
dimana : Ac = absorbans contoh Ab = absorbans blanko a = intersept dari persamaan regresi standar b
= slop dari persamaan regresi standar
3.4.2.11 Viskositas (Marine Colloids FMC.Corp 1977 dalam Mukti 1987) Larutan sampel dipanaskan dalam water bath sambil diaduk secara teratur sampai mencapai suhu lebih kurang 750C. Spindel terlebih dahulu dipanaskan pada suhu 750C kemudian dipasangkan pada alat ukur viscosimeter brookfield. Posisi spindel dalam larutan panas diatur sampai tepat, viscosimeter dihidupkan dan suhu larutan diukur. Ketika suhu larutan mencapai 750C, termometer
43
dikeluarkan dan nilai viskositas diketahui dengan pembacaan viscosimeter pada skala 1 sampai 100. Pembacaan dilakukan setelah satu menit putaran penuh. Hasil bacaan digandakan sesuai dengan spindel yang digunakan dengan kecepatan 3 rpm. 3.5 Pengujian Mikrobiologi (Total Plate Count. Fardiaz 1992) Pengukuran total mikroba dilakukan dengan uji mikroba secara aseptis, pada produk petis ikan ini dilakukan pengukuran angka lempeng total mikroba. Prosedur pengukuran total mikroba sebagai berikut : sample diambil sebanyak 10 ml, kemudian sampel dimasukkan kedalam labu erlenmeyer yang telah berisi larutan NaCl fisiologis sebanyak 90 ml dan diaduk sampai homogen (larutan dengan pengenceran 101). Kemudian dilakukan pengenceran bertingkat 102 dan 103 kemudian masing-masing dituang sebanyak 1 ml kedalam cawan petri dan dilakukan secara duplo. Setelah itu ditambahkan PCA dan dibiarkan hingga agar memadat dan diinkubasi selama 2 hari. Perhitungan : Koloni per ml atau per gram = Jumlah koloni per cawan x
1 Faktor pengencer
3.6 Analisis Data Pengujian sensori dilaksanakan dengan melibatkan 30 orang panelis secara deskriptif dengan menggunakan score sheet (Lampiran 1). Analisis data sensori menggunakan statistik non-parametrik dengan metode Kruskal-Wallis, jika terdapat perlakuan yang memberikan hasil berbeda nyata maka untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda dketahui dengan uji lanjut Multiple Comparison (Gaten 2000). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Statistical Package For Social Science (SPSS) pada komputer. Model rancangan:
Yij = µ + Ai + εij
Keterangan Yij
: Respon pengaruh faktor A taraf ke-i pada ulangan ke-k
µ
: Nilai tengah umum /rataan
Ai
: Pengaruh faktor A pada taraf ke-i
εijk
: Pengaruh galat percobaan
44
Hipotesis yang digunakan : Ho
:
= µj
H1
:
≠ µj
Apabila Fhit > Ftab maka tolak H0 artinya tidak terdapat perlakuan yang berbeda nyata pengaruhnya terhadap petis ikan Tongkol yang dihasilkan. Apabila Fhit < Ftab maka gagal tolak H0 artinya terdapat perlakuan yang berbeda nyata pengaruhnya terhadap petis ikan Tongkol yang dihasilkan. Pengaruh penambahan konsentrasi asam jeruk limau terhadap petis ikan Tongkol: H0
:
Penambahan asam jeruk limau berpengaruh nyata terhadap karakteristik petis ikan Tongkol yang dihasilkan
H1 :
Penambahan asam jeruk limau tidak berpengaruh nyata terhadap karakteristik petis ikan Tongkol yang dihasilkan
Pengaruh penambahan jenis dan konsentrasi gula yang berbeda terhadap petis ikan: H0 :
Penambahan gula berpengaruh nyata terhadap karakteristik petis ikan Tongkol yang dihasilkan
H1 :
Penambahan gula tidak berpengaruh nyata terhadap karakteristik petis ikan Tongkol yang dihasilkan
Data hasil uji sensori disusun dalam score sheet kemudian dihitung dengan statistik non parametrik, metode Kruskal-Wallis dengan rumus sebagai berikut : 2
12 Ri H= − 3(n + 1) ∑ n(n + 1) ni
Pembagi = 1-
H’ =
H pembagi
∑T (n − 1)n(n + 1)
Keterangan: ni
: banyaknya pengamatan
n
: total data
Ri
: jumlah pangkat bebas dalam contoh ke i
t
: banyaknya pengamatan yang seri dalam kelompok
H’
: H terkoreksi
45
Perhitungan uji lanjut Multiple Comparison, sebagai berikut : R i − R j 〉〈 2 ∝
2p
( n + 1) k
6
Keterangan: Ri
: rata-rata rangking perlakuan ke i
Rj
: rata-rata nilai rangking perlakuan ke j
k
: banyaknya ulangan
N
: jumlah total data
46
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pra-Pendahuluan
Air rebusan ikan Tongkol sebagai bahan baku pembuatan petis ikan yang dianalisis secara subyektif untuk mengetahui organoleptik limbah cair tersebut dan secara obyektif untuk mengetahui komposisi kimianya. Pengamatan secara subyektif dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 6. Air rebusan ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Karakteristik air rebusan ikan Tongkol yang diamati secara visual yaitu berupa cairan kental bercampur padatan, warna coklat pekat, bau amis ikan Tongkol dan rasa sangat asin. Adapun komposisi kimia air rebusan ikan Tongkol (Euthynnus affinis) dan petis ikan Tongkol dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil analisis fisika-kimia air rebusan ikan Tongkol (Euthynnus affinis) dan petis ikan Tongkol terbaik Parameter Air rebusan ikan Tongkol Petis ikan Tongkol Kadar air (%) 64,96 12,5 Kadar abu (%) 17,40 7,69 14,30 6,70 Kadar Protein (%) 0,95 0,2 Kadar lemak (%) 2,19 Kadar Karbohidrat (%) 72,9 Derajat keasaman (pH) 5,25 5,32 0,62 Aktivitas air (aw) 2 1,3 x 10 1,2 x 101 Mikrobiologi (CFU/ml) Cemaran logam : Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi - Hg (ppb) Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi - Pb (ppb) 24,62 39,52 - Fe (ppm) 19,37 9,44 Kadar garam (%) 43,91 11,88 Kadar Histamin (ppm) 150.000 Viskositas (cp)
47
Komposisi kimia air rebusan ikan Tongkol mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kompisisi kimia ikan Tongkol segar. Ikan Tongkol segar memiliki komposisi kimia antara lain kadar air 70,83-76,09%, kadar abu 1,45-3,40%, kadar protein 28,7-30,0%, kadar lemak 20,0-25,10% (Burhanuddin et al 1987). Parameter yang mengalami penurunan yaitu kadar air, protein dan lemak disebabkan waktu pemasakan yang tinggi yaitu 4-6 jam selama pemindangan ikan Tongkol tetapi lamanya pemasakan dapat meningkatkan kadar abu. Adanya karbohidrat pada air rebusan ikan Tongkol sedangkan ikan Tongkol segar tidak mengandung karbohidrat, diduga karena penggunaan batang kayu dan anyaman bambu sebagai alas wadah badeng. Sedangkan tingginya kadar histamin pada air rebusan ikan Tongkol menunjukkan banyaknya jumlah histidin yang mengalami
dekarboksilasi
oleh bakteri-bakteri penghasil enzim histidin
dekarboksilase. Menurut Buckle et al (2007), histamin hanya akan terbentuk bila asam amino histidin telah bebas. Asam amino ini tidak akan terbebaskan manakala ikan dalam keadaan segar, atau belum mengalami proses pembusukan. Cara penanganan ikan yang cepat, tepat dan higiene juga dapat mencegah pembentukan histamin pada ikan setelah mati. 4.2 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mencari penggunaan konsentrasi jeruk
limau
terbaik
yang digunakan
untuk
menghilangkan
bau
amis
petis ikan Tongkol yang dihasilkan. Pembuatan petis pada penelitian pendahuluan berdasarkan
formulasi
hasil
ujicoba
dengan
perbandingan
air
rebusan
ikan Tongkol, gula pasir, gula merah, yaitu 1:1:1 dan penambahan bawang putih 5%, cabai rawit 2,5%, merica 0,5% serta penambahan asam jeruk limau pada konsentrasi 0%, 2%, 4%, 6%, dan 8%. Penilaian sensori yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji penilaian sensori petis ikan berdasarkan SNI 01-2346-2006 mengenai petis udang dengan kriteria penilaian dapat dilihat pada Lampiran 1. Petis ikan dengan perlakuan penambahan asam jeruk limau dengan konsentrasi berbeda dapat dilihat pada Gambar 7.
48
A B C D E Gambar 7. Petis ikan Tongkol (Euthynnus affinis) dengan perlakuan penambahan asam dari jeruk limau; A= asam jeruk limau 0%, B= asam jeruk limau 2%, C= asam jeruk limau 4%, D= asam jeruk limau 6%, E= asam jeruk limau 8% 4.2.1 Penampakan
Penampakan yang meliputi warna merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan penerimaan panelis untuk memberikan penilaian secara subjektif melalui panca indera (penglihatan), dan sangat menentukan penilaian pada suatu bahan secara visual. Petis ikan yang bermutu tinggi memiliki warna coklat kehitaman dengan penampakan mengkilat dan tidak ada bahan pengotor. Adapun hasil uji sensori terhadap parameter penampakan petis ikan Tongkol dengan penambahan berbagai konsentrasi asam jeruk limau ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Diagram batang nilai rata-rata sensori penampakan petis ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap parameter penampakan petis ikan Tongkol berkisar antara 5,9 – 7 dengan nilai rata-rata tertinggi dicapai dengan penambahan asam jeruk limau 2% (7) sedangkan nilai terendah dicapai
dengan
penambahan
asam
jeruk
limau
4%
(5,9).
Berdasarkan
hasil
uji Kruskal-Wallis dapat diketahui bahwa penambahan asam jeruk limau dengan
49
konsentrasi 0%, 2%, 4%, 6% dan 8% tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada penampakan petis ikan Tongkol. 4.2.2 Aroma
Aroma dari petis ikan pada umumnya berbau sangat amis. Bau amis pada petis ikan Tongkol karena kandungan Trimethilamine oxide (TMAO) di dalam daging ikan laut. Pada fase post rigor TMAO akan berubah menjadi Trimethylamine (TMA) yang dikatakan sebagai sumber amis ikan. Pada penelitian pendahuluan ini penambahan asam jeruk limau digunakan untuk mengurangi bau amis ikan. Adapun hasil uji sensori terhadap parameter aroma petis ikan Tongkol dengan perlakuan berbagai konsentrasi asam dari jeruk limau yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9. Diagram batang nilai rata-rata sensori aroma petis ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Pada Diagram batang diatas terlihat bahwa nilai rata-rata sensori aroma petis ikan Tongkol secara umum berkisar antara 6 – 6,6 . Berdasarkan uji KruskalWallis pada selang kepercayaan 95% untuk penilaian pada aroma menunjukkan bahwa penambahan asam jeruk limau dengan konsentrasi 0%, 2%, 4%, 6%, dan 8% tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis. Nilai rata-rata tertinggi dicapai dengan penambahan asam jeruk limau 0% (6,6) sedangkan nilai terendah dicapai dengan penambahan asam jeruk limau 8% (6). Aroma petis ikan yang diacu dalam SNI 01-2346-2006 yaitu harum, aroma pindang Tongkol kuat, tanpa bau tambahan, dan enak. Bau amis pada petis ikan disebabkan adanya senyawa-senyawa amina pada daging ikan yang dapat
50
terbentuk secara alami. Amina bersifat basa, yang hanya dapat dinetralkan menggunakan asam salah satunya asam jeruk limau (Anonimb 2009). Daging buah jeruk limau banyak mengandung asam sitrat yang memberikan rasa masam yang tajam tetapi segar. Penggunaan asam jeruk limau yang mengandung asam sitrat dan asam askorbat digunakan untuk mereduksi bau amis pada olahan ikan. Jeruk limau memiliki kandungan asam askorbat yang dapat bereaksi dengan Trimethylamine (TMA) dan membentuk trimethyl amonium (Sarwono 1994). Perubahan Trimethylamine (TMA) menjadi trimethyl amonium menyebabkan kandungan TMA pada ikan berkurang sehingga bau amis pada petis dapat direduksi (Taylor 1998 dalam Poernomo et al 2004). 4.2.3 Rasa
Rasa merupakan faktor yang sangat menentukan pada keputusan akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Walaupun parameter penilaian lainnya lebih baik, tetapi jika rasanya tidak disukai maka produk akan ditolak. Adapun hasil uji sensori terhadap parameter rasa petis ikan Tongkol pada penelitian pendahuluan ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Diagram batang nilai rata-rata sensori rasa petis ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap parameter rasa petis ikan Tongkol berkisar antara 5,9 – 6,9 dengan nilai rata-rata tertinggi dicapai dengan penambahan asam jeruk limau 2% (6,9) sedangkan nilai terendah dicapai dengan penambahan asam jeruk limau 8% (5,9). Berdasarkan hasil uji Kruskal-wallis dapat diketahui bahwa penambahan asam jeruk limau dengan konsentrasi 0%, 2%,
51
4%, 6% dan 8% tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan. Jeruk limau sering digunakan dalam masakan olahan ikan. Sifat dan khasiat jeruk limau sebagai stimulan rasa dan penyegar. Kandungan buah berbau khas aromatik, rasanya asam agak asin dan pahit. Kandungan buah jeruk limau mengandung saponin, tanin 1%, steroid triterpenoid dan minyak atsiri yang mengandung asam sitrat 2 – 2,5 % v/b (Sarwono 1994). Petis ikan Tongkol dengan penambahan asam jeruk limau 2% memiliki nilai rata-rata sensori tertinggi yang paling disukai panelis karena memiliki rasa petis ikan yang cukup enak, rasa pindang Tongkol sedang, tidak amis, rasa manis dan asin cukup, sedangkan pada petis dengan penambahan asam jeruk limau 8% memiliki rasa petis yang cukup enak dan tidak amis tetapi rasa pindang Tongkol tidak terasa karena tingginya konsentrasi asam jeruk limau yang digunakan. Oleh karena itu penambahan asam jeruk limau sebesar 2% ditetapkan sebagai konsentrasi yang paling sesuai agar petis ikan Tongkol disukai oleh panelis. 4.2.4 Tekstur
Tekstur
adalah
sekelompok
sifat
fisik
yang
ditimbulkan
oleh
elemen struktural bahan pangan yang dapat dirasa oleh perabaan, terkait dengan deformasi, disintegrasi dan aliran dari bahan pangan dibawah tekanan yang diukur secara obyektif oleh fungsi massa, waktu, dan jarak (Purnomo 1995 dalam Fakhruddin 2009). Hasil uji sensori terhadap parameter tekstur petis ikan Tongkol ditunjukkan pada Gambar 11.
Gambar 11. Diagram batang nilai rata-rata sensori tekstur petis ikan Tongkol (Euthynnus affinis)
52
Berdasarkan gambar diatas hasil penilaian rata-rata sensori tekstur petis ikan berkisar antara 6,6 – 7,3 dengan nilai tertinggi dicapai dari penambahan asam jeruk limau 2% (7,3) dan nilai rata-rata terendah dari penambahan asam jeruk limau 6%. Berdasarkan hasil uji Kruskal-wallis dapat diketahui bahwa penambahan ekstrak jeruk limau dengan konsentrasi 0%, 2%, 4%, 6% dan 8% tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan. Tekstur petis yang baik pada umumnya memiliki tekstur yang kental, homogen dan lembut (SNI 01-2346-2006). Petis ikan Tongkol dengan penambahan asam jeruk limau 2% memiliki tekstur yang kental, homogen dan lembut dengan tekstur padat yang disukai oleh panelis dibandingkan dengan petis ikan Tongkol menggunakan asam jeruk limau 6% yang memiliki tekstur kental tetapi tidak terlalu padat. Penambahan asam organik dari asam jeruk limau dengan konsentrasi yang lebih besar dapat mengurangi tekstur kental sehingga petis yang terbentuk lebih berair. Penambahan gula dengan konsentrasi tinggi membentuk ikatan antara air dan gula karena sifat gula yang dapat mengikat air, tetapi ketika ekstrak air jeruk limau ditambahkan maka ikatan antara gula dan air dipecah oleh asam jeruk limau yang melepaskan air (Anonimb 2009). Asam organik seperti asam jeruk limau merupakan asam lemah yang memiliki ionisasi tidak sempurna, suatu waktu sebagian besar dari asam yang berada di larutan sebagai molekul yang tidak terionisasi dan memiliki sifat mudah melepas ion hidrogen ke molekul air saat terlarut dalam molekul air (Anonimb 2009). Oleh karena itu, semakin besar konsentrasi asam jeruk limau yang ditambahkan maka semakin banyak ion hidrogen yang terlepas dan kekentalan petis ikan semakin berkurang. 4.3 Penelitian Utama
Hasil penerimaan panelis pada penelitian pendahuluan dengan perlakuan penambahan berbagai konsentrasi asam jeruk limau petis ikan Tongkol tidak berbeda nyata. Namun demikian dari perlakuan penambahan konsentrasi asam jeruk limau tersebut terdapat kecenderungan nilai yang lebih tinggi pada konsentrasi asam jeruk limau 2 % dari parameter-parameter sensori yang ada. Oleh sebab itu konsentrasi asam jeruk limau 2 % dipilih untuk penelitian utama.
53
Penelitian utama, mencari jenis perlakuan terbaik pada penambahan konsentrasi gula yang digunakan dari gula merah, gula putih, dan kombinasi keduanya pada pembuatan petis ikan Tongkol. Perlakuan penambahan konsentrasi dan jenis gula terbaik yang akan digunakan, yaitu gula merah 200%, gula putih 200%, dan campuran gula putih 100% dengan gula merah 100%. Penelitian utama ini dianalisis secara subjektif yaitu menggunakan uji sensori yang meliputi penampakan, tekstur, aroma, dan rasa serta secara obyektif untuk mengetahui karakter fisik dan kimia petis ikan Tongkol terbaik yang paling disukai. Penilaian sensori dengan uji sensori dapat digunakan sebagai parameter untuk menentukan penerimaan terhadap petis ikan Tongkol hasil penelitian ini. Perlakuan
penambahan
gula
berbagai
konsentrasi
yang
berbeda
pada
petis ikan Tongkol dapat dilihat pada Gambar 12.
A B C Gambar 12. Petis ikan Tongkol (Euthynnus affinis) dengan perlakuan penambahan gula; A = gula putih 200%, B = gula merah 200%, C = gula putih 100% dengan gula merah 100% 4.3.1 Penampakan
Berdasarkan
hasil
uji
sensori,
nilai
rata-rata
penampakan
petis ikan Tongkol yang terpilih dengan penambahan gula merah 100% dengan gula putih 100%. Petis ikan Tongkol terpilih memiliki penampakan mengkilat berwarna coklat kehitaman dan tanpa bahan pengotor. Diagram batang nilai rata-rata penampakan petis ikan Tongkol dengan penambahan konsentrasi berbagai jenis gula yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 13.
54
Gambar 13. Diagram batang nilai rata-rata sensori penampakan petis ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Berdasarkan
hasil
analisis
Kruskal-Wallis
menunjukkan
bahwa
penambahan jenis dan jumlah gula yang berbeda berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap warna petis ikan Tongkol. Berdasarkan hasil penelitian ini, petis ikan Tongkol yang menggunakan gula putih memiliki penampakan lebih terang dengan warna coklat muda, dibandingkan dengan petis ikan Tongkol yang menggunakan gula merah memiliki penampakan lebih gelap berwarna hitam kecoklatan. Pada petis ikan Tongkol menggunakan campuran gula merah dengan gula putih memiliki penampakan cemerlang (mengkilap) berwarna coklat kehitaman. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons, dapat diketahui bahwa petis ikan Tongkol dengan penambahan gula merah dengan gula putih berbeda nyata dengan petis ikan yang menggunakan gula putih saja. Petis ikan Tongkol dengan penambahan gula merah tidak berbeda nyata dengan petis ikan Tongkol menggunakan kombinasi gula putih dengan gula merah. Perlakuan penambahan gula merah dan gula putih pada petis ikan dilakukan karena masing-masing bahan memiliki komposisi dan karakteristik yang berbeda. Bermacam-macam jenis gula yang ada mempunyai partikel maupun
kemurnian
yang
beragam.
Kristal
gula
yang
mempunyai
tingkat kemurnian tinggi terdapat dalam ukuran kristal normal, sedangkan ukuran menengah atau gula halus seperti gula putih biasanya mengandung bahan seperti pati. Sedangkan bentuk gula yang tidak murni antara lain gula merah yang mempunyai warna gelap dan kadar zat bukan sukrosa tinggi (Buckle et al 2007). Penampakan atau warna dipengaruhi oleh karakteristik gula yang ditambahkan, yakni gula yang dicairkan bila dipanaskan bersama protein akan
55
bereaksi
membentuk
gumpalan-gumpalan
berwarna
gelap
yang
disebut
melanoidin (Eskin 1990 dalam Fakhruddin 2009). Bahan makanan yang mengandung karbohidrat (gula) dan protein (air rebusan ikan Tongkol) akan mengalami pencoklatan non-enzimatis, apabila bahan tersebut dipanaskan yang disebut dengan reaksi Maillard (Chellan dan Nagaraj 1999). Senyawa yang terbentuk akibat Reaksi Maillard berupa pyruvaldehide yang menghasilkan pigmen warna coklat. Perubahan warna yang terjadi merupakan sensori mutu warna
yang
diinginkan
yang
dapat
mempengaruhi
selera
konsumen
(Chen et al 2005). 4.3.2 Aroma
Cita rasa suatu makanan terdiri atas tiga komponen yaitu bau, rasa dan ransangan mulut, yang dapat diamati (Anonimb 2008). Penilaian panelis terhadap aroma petis ikan Tongkol yang paling disukai yaitu harum aroma ikannya bercampur dengan bahan-bahan tambahan dan tidak amis. Hasil uji sensori terhadap parameter aroma petis ikan Tongkol dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Diagram batang nilai rata-rata sensori aroma petis ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Berdasarkan hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa formulasi jumlah dan konsentrasi gula yang dibuat tidak berbeda nyata pada aroma petis ikan Tongkol. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan jenis dan jumlah konsentrasi gula yang berbeda, petis ikan Tongkol yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Aroma petis ikan Tongkol lebih dipengaruhi dengan adanya bahan-bahan tambahan seperti bawang putih, lada, cabai rawit dan asam jeruk
56
limau dengan formulasi yang sama pada tiap perlakuan. Penambahan masing-masing bahan memiliki komponen volatil yang khas seperti gula yang di panaskan mempunyai aroma karamel dengan terbentuknya furanon yaitu senyawa 4-hidroksi,3dimetil-3-dihidroksifuranon (Anonimb 2008), bawang putih dengan komponen sulfurnya yang muncul bila sel pecah sehingga terjadi reaksi antara enzim liase dan komponen flavor seperti metil dan turunan propil (Lewis 1984 dalam Fakhruddin 2009). Lada mengandung beberapa komponen kimia, yaitu : minyak atsiri, lemak, alkaloid penyebab rasa pedas, resin, protein, selulosa, pentosan, pati, dan lain-lain (Purseglove et al 1981). Sedangkan pada jeruk limau istimewa karena kandungan asam sitrat
yang
memiliki aroma segar (Sarwono 1994). 4.3.3 Rasa
Berdasarkan hasil uji sensori nilai rata-rata rasa petis ikan Tongkol, diketahui penambahan campuran gula merah dan gula putih masing-masing 100% dipilih sebagai perlakuan terbaik. Petis ikan Tongkol terpilih memiliki rasa ikan Tongkol tidak terlalu amis, segar, rasa manis dan asin cukup. Adapun petis ikan Tongkol dengan penambahan gula putih 200% memiliki rasa pindang tongkol kuat dan sangat asin, sedangkan petis ikan Tongkol penambahan gula merah 200% memiliki rasa manis terlalu kuat dan gurih. Hasil uji sensori terhadap parameter rasa petis ikan Tongkol dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Diagram batang nilai rata-rata sensori rasa petis ikan Tongkol (Euthynnus affinis)
57
Hasil analisis Kruskal-wallis menunjukkan bahwa penambahan jenis dan jumlah konsentrasi gula yang berbeda berpengaruh nyata terhadap rasa petis ikan Tongkol. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons, dapat diketahui bahwa petis ikan Tongkol dengan penambahan gula putih dan gula merah masing-masing 100% berbeda nyata dengan petis ikan yang ditambahkan gula putih 200%. Petis ikan Tongkol dengan penambahan gula merah 200% tidak berbeda nyata dengan perlakuan penambahan gula putih 200% dan petis ikan Tongkol dengan penambahan gula merah dan gula putih masing-masing 100%. Hal ini diduga karena kombinasi dari gula merah dan gula putih pada pengolahan petis ikan Tongkol dapat mengimbangi rasa asin air rebusan ikan Tongkol serta menghasilkan cita rasa yang khas dibandingkan dengan hanya menggunakan gula merah atau gula putih saja. Menurut Sudarmadji (1982), tujuan penambahan gula adalah untuk memperbaiki rasa, bau, memperbaiki tekstur, menambah cita rasa sehingga meningkatkan sifat kunyah bahan makanan dan memberikan warna. Reaksi yang terjadi selama pengolahan petis ikan Tongkol berupa reaksi Maillard antara karbohidrat dan protein yang dipanaskan yang dapat menghasilkan rasa enak. Pembentukan rasa enak adalah hasil degradasi dari asam amino alfa diubah menjadi aldehid dengan atom karbon yang berkurang satu. Rasa manis pada gula akan bertambah apabila konsentrasi gula yang digunakan semakin tinggi, tetapi sampai pada konsentrasi tertentu rasa enak yang timbul akan berkurang. Akibat yang ditimbulkan mungkin meningkatkan intensitas rasa atau penurunan intensitas rasa. Rasa manis ditimbulkan oleh senyawa organik alifatik yang mengandung gugus OH seperti alkohol, beberapa asam amino, aldehida dan gliserol. Sumber rasa manis terutama berasal dari gula atau sukrosa (Anonimb 2008). 4.3.4 Tekstur
Berdasarkan uji sensori nilai rata-rata tekstur petis ikan Tongkol, tertinggi adalah 6,6 yaitu petis ikan Tongkol dengan penambahan gula merah dengan gula putih masing-masing 100%. Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan jenis dan jumlah konsentrasi gula yang berbeda tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada tekstur petis ikan Tongkol. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan jenis dan jumlah konsentrasi gula yang
58
berbeda, tekstur petis ikan Tongkol yang dihasilkan relatif sama. Hasil uji sensori terhadap parameter tekstur petis ikan Tongkol dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Diagram batang nilai rata-rata sensori tekstur petis ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Tekstur petis ikan Tongkol yang disukai adalah petis dengan kekentalan yang homogen, lembut dan tidak ada bahan pengotor. Tekstur petis ikan Tongkol yang dihasilkan lebih dipengaruhi oleh faktor suhu dan lama pemanasan. Proses pemanasan yang terjadi dengan memekatkan gula pada air rebusan ikan Tongkol mengkibatkan terjadinya proses penguapan. Pada waktu air menguap kemudian larutan menjadi lebih pekat dan akan meningkatkan viskositas larutan dengan tajam. Jika lama pemanasan berlebih dan peningkatan viskositas terlalu tinggi, cairan menjadi terlalu liat dan lebih sulit dipanaskan, mengakibatkan sebaran suhu yang tidak seragam dalam bahan pangan. Bercak panas dan hangus pada bahan pangan dapat terjadi dan mengakibatkan penurunan mutu yang menyolok (Harris dan Karmas 1975). 4.4 Karakteristik Fisika-Kimia Petis Ikan Tongkol dan Air Rebusan Ikan Tongkol
Hasil uji sensori pada penelitian utama menunjukkan bahwa penampakan, aroma, rasa dan tekstur petis ikan Tongkol dengan perlakuan penambahan kombinasi gula merah 100% dengan gula putih 100% memberikan nilai rata-rata tertinggi yaitu penampakan 7,8, aroma 6,8, rasa 7, dan tekstur 6,6 , sehingga petis ikan Tongkol dengan perlakuan ini yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut. Analisis kimia yang dilakukan meliputi uji proksimat (kadar air, abu,
59
lemak, protein, dan karbohidrat), pH, kadar garam, aktivitas air (aw), kadar histamin, cemaran logam (Hg, Pb, dan Fe), viskositas, dan analisis mikrobiologi berupa uji Angka Lempeng Total (TPC). Analisis ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik petis ikan Tongkol yang dihasilkan dari pemanfaatan air rebusan ikan Tongkol dengan penambahan gula merah 100% dengan gula putih 100% (perlakuan penambahan gula terbaik), bawang putih goreng 5%, cabai rawit 2,5%, merica 0,5% dan penambahan asam jeruk limau 2% (perlakuan konsentrasi asam jeruk limau terbaik). 4.4.1 Kadar air
Komponen kimia terbesar yang terdapat dalam bahan makanan adalah air, oleh karena itu air merupakan komponen terpenting dari bahan makanan dan kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan makanan terhadap serangan mikroba (Winarno 1997). Petis dikategorikan sebagai makanan semi basah yang memiliki kadar air sekitar 10-40%, nilai aw (aktivitas air) 0,65-0,90, dan mempunyai tekstur plastis (Anonim 2002). Kadar air yang terkandung dalam petis ikan Tongkol dibandingkan dengan bahan bakunya (air rebusan ikan Tongkol) akibat proses pengolahan menunjukkan air rebusan ikan Tongkol memiliki kadar air sebesar 64,96% dan petis ikan sebesar 12,5%. Penurunan kadar air yang terjadi diakibatkan adanya proses penguapan air (pemekatan) pada air rebusan ikan Tongkol. Menurut Harris dan Karmas (1975), penguapan adalah metode paling umum untuk memekatkan bahan pangan cair (air rebusan ikan Tongkol) karena air dapat lepas secara optimal dan menguap selama pemasakan. Proses yang dilakukan dengan pendidihan secara sederhana pada suhu tertentu akan mempengaruhi produk akhir yang dihasilkan. Proses perebusan yang disertai dengan pengadukan secara terus menerus memudahkan kelarutan gula dan bumbu-bumbu yang digunakan. Pemberian bahan-bahan tambahan sebagai pemberi cita rasa dengan penggunaan gula konsentrasi tinggi juga menyebabkan terjadinya penurunan kadar air. Penambahan gula merupakan salah satu upaya pengawetan pangan yang efektif karena sifatnya yang dapat mengikat air. Kadar air petis ikan sebesar 12,5% merupakan kadar air optimum
60
terjadinya reaksi Maillard selama proses pengolahan petis ikan Tongkol. Reaksi ini terdapat pada fase larutan cair dan berakhir setelah proses dehidrasi berlangsung sempurna. Lea dan Hannan (1950) dalam Eskin et al (1971), melaporkan bahwa kadar air optimal untuk casein-glucose system dan terjadinya kehilangan asam amino bebas dalam jumlah besar berlangsung pada level air sebesar 13%. Hal ini menerangkan terjadinya reaksi Maillard berkaitan erat pada bahan pangan yang memiliki kadar air rendah. Menurut Schinckels et al (1976), reaksi Maillard yang terjadi antara gula pereduksi dan asam amino essensial khususnya lisin pada bahan pangan semi basah (intermediate moisture food) memiliki laju reaksi yang lebih besar dibandingkan bahan pangan yang dikeringkan. 4.4.1
Kadar abu
Abu merupakan residu anorganik dari pembakaran bahan organik, sehingga jumlah abu dalam bahan makanan mencerminkan jumlah bahan organik yang terkandung di dalam bahan makanan dan sebagian besar komponen kimia pada bahan makanan terdiri dari abu dan air. Abu terdiri dari berbagai komponen mineral seperti K, P, Na, Mg, Ca, Fe, Mn dan Cu (Winarno 1997). Kadar abu yang terkandung dalam air rebusan ikan Tongkol sebesar 17,4% dan petis ikan Tongkol terbaik sebesar 7,695%. Kadar abu petis ikan yang diperoleh dari penelitian telah memenuhi standar SNI mutu petis (1992) yang menyebutkan bahwa kadar abu maksimal sebesar 8%. Kadar abu (mineral) tinggi yang terdapat pada air rebusan ikan Tongkol akibat proses perebusan dan penggaraman ikan menjadi pindang Tongkol dengan pemanasan selama 4-6 jam. Menurut Gokoglu et al (2004), proses pemanasan dengan air (perebusan) dapat meningkatkan kadar abu pada ikan yang direbus dibandingkan jumlah kadar abu pada ikan segar secara signifikan. Tingginya kandungan NaCl (garam) pada air rebusan ikan Tongkol juga menyebabkan kadar abu yang terukur dalam jumlah besar. Komponen Na diketahui merupakan salah satu unsur mineral penting. Adapun pada petis ikan Tongkol kadar abu mengalami penurunan karena penggunaan air rebusan ikan Tongkol sebagai bahan baku petis dengan jumlah yang lebih kecil kemudian dilakukan penambahan gula dengan perbandingan gula dan air rebusan ikan Tongkol dengan perbandingan 2:1.
61
Sehingga kadar abu pada petis ikan Tongkol lebih rendah. 4.4.2
Kadar lemak
Lemak merupakan salah satu unsur kimia yang terdapat pada bahan makanan, dan sebagai sumber energi selain dari protein dan karbohidrat. Lemak adalah campuran trigliserida dalam bentuk padat dan terdiri dari suatu fase padat dan fase cair (Buckle et al 2007). Kadar lemak air rebusan ikan Tongkol sebesar 0,95% dan kemudian diolah menjadi petis ikan kadar lemaknya menurun menjadi 0,2%. Berdasarkan Burhanuddin et al (1987), kadar lemak pada ikan Tongkol segar yaitu 20-25,10% dan menurun setelah ikan menjadi pindang Tongkol sebesar 0,84-2,88%. Air rebusan ikan Tongkol yang merupakan limbah cair pengolahan pindang inilah yang digunakan sebagai bahan baku petis ikan. Menurut Hadiwiyoto et al (1990) menyatakan bahwa cairan daging yang keluar akibat pemanasan adalah akibat adanya denaturasi protein daging dan keluarnya cairan ini juga akan melarutkan sebagian lemak, terutama bila suhu pemanasan diatas titik leleh lemak (53o C). Trenggono et al (1989) melaporkan bahwa lemak mulai meleleh pada suhu 53o C dan selanjutnya akan mengalami kerusakan apabila suhu telah mencapai 200o C. Proses pemasakan ikan Tongkol menjadi produk pindang dengan suhu mencapai 120oC selama ±4-6 jam diduga dapat merusak kadar lemak yang terkandung dalam daging dan air rebusan ikan Tongkol. Penurunan kadar lemak pada petis ikan Tongkol dapat disebabkan berbagai faktor seperti pengaruh pengolahan dengan panas (perebusan), penambahan asam organik dan bumbu-bumbu lainnya. Pengolahan kembali menjadi petis ikan melalui proses pemanasan juga dapat meningkatkan kerusakan lemak yang terlarut. Adapun akibat penambahan asam jeruk limau, menurut Nurhayati (1996) dalam Wijatmoko (2004) menyatakan bahwa perlakuan kimiawi dalam hal ini adalah penambahan asam organik yang terdapat dalam ekstrak jeruk limau dapat menurunkan kadar lemak. 4.4.3
Kadar protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh.
62
Fungsi protein bagi tubuh selain sebagai bahan bakar juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno 1997). Analisis protein yang terkandung dalam bahan pangan, umumnya lebih ditujukan pada kadar total protein daripada terhadap adanya protein spesifik dalam bahan pangan tersebut. Jumlah gram protein dalam bahan pangan biasanya dihitung sebagai hasil perkalian jumlah gram nitrogen dengan faktor 6,25, dan kadar protein yang dihitung dilaporkan sebagai kadar protein kasar (crude protein). Air rebusan ikan Tongkol yang diperoleh dari Palabuhan Ratu-Jawa Barat memiliki kadar protein sebesar 14,3%. Jumlah kadar protein tersebut cukup rendah jika dibandingkan dengan kadar protein pindang Tongkol yang dilaporkan sebesar 30,66-32,71% (Burhanuddin et al 1987). Hal ini dapat disebabkan tingginya kadar garam pada air rebusan ikan Tongkol sehingga jumlah protein terkandung hanya berupa protein yang larut garam. Menurut Nurjanah et al (2004), protein larut garam pada ikan merupakan protein myofibril. Kadar myofibril dalam daging ikan berkisar antara 65-75% yang terdiri dari myosin, aktin, dan komponen minor lainnya. Kadar protein petis ikan Tongkol memiliki nilai yang rendah yaitu 6,70%. Jumlah kadar protein yang terdapat pada petis ikan Tongkol ini di bawah standar SNI mutu petis yang mencantumkan bahwa kadar protein minimal 10%. Hal ini dikarenakan petis ikan Tongkol yang diperoleh adalah cairan pindang yang dipanaskan kembali, dimana kadar protein dipengaruhi oleh lama pemasakan. Menurut Schnickels et al (1976), selama proses pengolahan bahan pangan termasuk petis dapat mengalami kerusakan protein karena adanya reaksi antara protein dengan gula pereduksi yang disebut reaksi Maillard. Reaksi Maillard yang terjadi pada suatu bahan pangan dapat menyebabkan penurunan nilai gizi. Hal ini dapat terjadi karena asam amino bebas esensial dan residu asam amino, khususnya lisin, berpartisipasi dalam reaksi Maillard tersebut. Air rebusan ikan Tongkol juga telah mengalami penambahan bahan-bahan tambahan seperti gula merah, gula putih, bawang putih, cabai rawit, lada dan asam jeruk limau yang jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan jumlah cairan pindang yang digunakan sebagai bahan baku petis ikan, sehingga petis ikan Tongkol tidak lagi hanya mengandung protein tapi juga kandungan zat kimia
63
lainnya dan kandungan karbohidrat tinggi yang melebihi jumlah protein. Oleh karena itu, semakin banyak jumlah gula yang ditambahkan, kadar protein petis ikan Tongkol semakin menurun. Berdasarkan cara pembuatannya Saputra (2008), petis dapat digolongkan atas empat kategori mutu, yaitu petis kualitas istimewa, kualitas ekstra, petis nomor satu, dan petis nomor dua. Petis istimewa menggunakan bahan baku udang Werus (Metapenaeus monoceros) dengan kadar protein tinggi yaitu 15-20%, sedangkan bahan baku untuk petis kualitas nomor satu dan nomor dua adalah ampas dari petis kualitas ekstra ataupun dari hasil pemindangan ikan dengan kadar protein sedang yaitu 5-15%. Petis yang bermutu rendah umumnya dibuat dari bahan baku kepala udang atau udang kecil-kecil dengan kadar protein < 5%. Sedangkan petis ikan Tongkol yang diperoleh pada penelitian ini termasuk dalam kategori petis ikan kualitas nomor dua dengan kadar protein sebesar 6,70%. 4.4.4
Kadar karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi kalori utama bagi tubuh manusia, karbohidrat dalam tubuh berguna untuk mencegah timbulnya pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein, karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan seperti rasa, warna, tekstur dan lain-lain (Winarno 1997). Berdasarkan hasil analisis kimia, kadar karbohidrat pada bahan baku petis ikan (air rebusan ikan Tongkol) sebesar 2,19% dan petis ikan Tongkol terbaik sebesar 72,9%. Menurut Burhanuddin et al (1987), ikan Tongkol dan pindang Tongkol tidak memiliki kandungan karbohidrat. Adanya karbohidrat pada air rebusan ikan Tongkol diduga disebabkan penggunaan kayu dan anyaman bambu sebagai alas badeng selama perebusan ikan 4-6 jam, seperti diketahui kayu dan anyaman bambu mengandung selulosa yang juga merupakan bagian dari karbohidrat dan terbawa dalam air sisa perebusan ikan Tongkol. Sedangkan tingginya karbohidrat pada petis ikan Tongkol disebabkan penggunaan bahan tambahan gula merah dan gula putih dalam jumlah yang besar. Menurut Buckle et al (2007), gula adalah suatu istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis, dan dalam industri pangan yang dimaksud dengan gula adalah
64
sukrosa, yaitu gula yang diperoleh dari bit atau tebu. Berdasarkan sifat hidrolisisnya, sukrosa yang jika dihidrolisis kemudian menghasilkan glukosa dan fruktosa termasuk dalam kelompok monosakarida. Monosakarida dikenal sebagai bentuk paling sederhana dari karbohidrat dan umumnya memiliki rasa manis, maka senyawa ini disebut juga sebagai “gula sederhana”. Oleh karena itu diketahui dengan adanya penambahan gula selama pengolahan petis ikan Tongkol dapat meningkatkan kandungan karbohidrat dalam petis tersebut. 4.4.5
Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH adalah suatu nilai yang memberikan informasi tentang tingkat keasaman atau kebasaan suatu produk. Derajat atau tingkat keasaman larutan tergantung
pada
konsentrasi
ion
H+
dalam
larutan
(Anonim
1998).
Nilai rata-rata pH pada air rebusan ikan Tongkol sebesar 5,25 dan pada petis ikan Tongkol sebesar 5,32. Petis termasuk pangan berasam rendah yaitu pangan dengan nilai pH 4,6 atau lebih (Anonim 1998). Air rebusan ikan Tongkol memiliki pH asam akibat pengaruh fisiologis daging ikan Tongkol yang digunakan dalam proses pemindangan. Penambahan asam jeruk limau dapat menurunkan pH petis ikan Tongkol, (Mancini et al 2007) semakin besar konsentrasi asam jeruk limau yang ditambahkan dengan kandungan asam sitratnya maka semakin rendah pH. Akan tetapi dengan banyaknya jumlah gula yang ditambahkan dimana gula bersifat basa dapat meningkatkan kembali pH petis ikan Tongkol. Sehingga perubahan nilai pH yang terjadi dalam jumlah yang kecil, dan produk termasuk dalam golongan pangan berasam rendah. 4.4.6
Kadar garam
Garam (sodium klorida) secara luas telah digunakan dalam proses preparasi hasil perikanan dan pengolahannya yang bertujuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba, pemberi rasa asin yang meningkatkan atribut sensori suatu bahan pangan, dan memiliki peranan spesifik pada produksi pengolahan produk perikanan (Kilcast dan Angus 2007), seperti halnya pada pengolahan pindang Tongkol. Penggunaan garam sebagai upaya pengawetan produk pindang Tongkol menyebabkan tingginya kadar garam yang terlarut dalam air rebusan ikan Tongkol bersama zat-zat kimia lainnya. Konsentrasi garam yang digunakan
65
selama pemindangan yaitu 13,75% dimana dalam satu badeng berisi 35-40 kg ikan dengan penambahan garam 5,5 kg per badeng. Kandungan garam pada air rebusan ikan Tongkol sebesar 19,37%, lebih besar dibandingkan kadar garam pada petis ikan Tongkol sebesar 9,44%. Air rebusan ikan Tongkol memiliki kadar garam yang tinggi dipengaruhi oleh lama pemasakan selama pemindangan yaitu 4-6 jam. Selama proses pembuatan petis ikan, air rebusan ikan Tongkol digunakan dalam jumlah yang sedikit kemudian ditambahkan gula merah dan gula putih dengan perbandingan air rebusan ikan Tongkol dan gula dengan perbandingan sebesar 1:2, tingginya kadar gula yang digunakan menyebabkan menurunnya kadar garam pada petis ikan Tongkol. Konsumsi garam (sodium klorida) dalam jumlah yang melebihi kebutuhan tubuh dapat menimbulkan gejala hypertensi (tekanan darah tinggi). Menurut IOM (Institute of Medicine 2004) dalam Kilcast dan Angus (2007), menganjurkan asupan sodium klorida per hari maksimum sebesar 2400 mg. Ikan Tongkol yang termasuk dalam golongan tuna kecil memiliki kandungan garam 42 mg per 85 g daging ikan jika diolah dengan cara pemasakan biasa, apabila dikonsumsi maka asupan sodium klorida per hari sebesar 2%. Oleh karena tingginya kadar garam yang masih terkandung pada petis ikan Tongkol, penggunaan produk ini sebaiknya hanya digunakan sebagai bahan pelengkap (penyedap) dalam masakan. 4.4.7 Aktivitas air (aw)
Aktivitas air (aw) menunjukkan jumlah air bebas di dalam pangan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Mikroba mempunyai kebutuhan aw minimal yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya (Anonim 1998). Rendahnya nilai aktivitas air (aw) pada suatu bahan pangan diharapkan dapat menghambat pertumbuhan mikroba sehingga dapat memperpanjang masa simpannya (Winarno 1997). Petis dikategorikan sebagai makanan semi basah yang memiliki kadar air sekitar 10-40 %, nilai aw (aktivitas air) 0,65-0,90, dan mempunyai tekstur plastis (Anonim 2002). Nilai aktivitas air (aw) petis ikan terbaik yaitu 0,62 dan nilai aw petis ikan komersial (Fakhruddin 2009) sebesar 0,75. Nilai aktivitas air (aw) pada petis ikan komersial lebih besar dibandingkan pada petis ikan Tongkol terbaik yang
66
diperoleh. Hal ini disebabkan penggunaan bahan tambahan berupa gula dengan konsentrasi besar pada pembuatan petis ikan Tongkol terbaik. Gula merupakan bahan yang efektif untuk pengawetan pangan karena sifatnya yang dapat menarik air dari bahan pangan yang diolah dan memberikan rasa manis yang diinginkan pada produk. Petis ikan Tongkol terbaik dengan nilai aw sebesar 0,62 merupakan kondisi optimal bagi kapang xerofilik yang dapat tumbuh pada aw 0,65. Aspergillus merupakan jenis kapang xerofilik yang berpotensi menghasilkan mikotoksin yang berbahaya bagi kesehatan (Rukmi 2009). 4.4.8
Viskositas
Viskositas merupakan karakteristik terpenting pada makanan olahan semi padat dan cair. Viskositas berbagai macam cairan berubah selama proses pemanasan, pendinginan, pemekatan dan berbagai proses lainnya (Fellows 2000). Viskositas petis ikan Tongkol terbaik dan berdasarkan SNI berturut-turut sebesar 150.000 cp dan 5.400 cp. Viskositas petis ikan Tongkol sebesar 150.000 cp, yaitu 150.000 kali lebih pekat dibandingkan air (Saravacos 1970 dalam Harris dan Karmas 1975). Nilai viskositas petis ikan Tongkol terbaik hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan petis ikan yang diacu SNI, hal ini disebabkan pada petis ikan Tongkol terbaik menggunakan kadar gula yang tinggi sehingga kekentalan produk meningkat. Menurut Asano dan Sotoyama (1999), kemampuan gula mengikat air bebas, dan lamanya pemasakan serta suhu yang digunakan selama proses pengolahan bahan pangan mempengaruhi viskositas dan tekstur produk yang dihasilkan. Viskositas adalah faktor penting yang mempengaruhi kemudahan pemindahan kalor ke cairan yang mendidih. Jika viskositas meningkat, cairan menjadi lebih sulit dipanaskan dan mengakibatkan sebaran suhu yang tak seragam dalam bahan pangan cair (Harris dan Karmas 1975). Oleh karena itu selama pemberian panas pada air rebusan ikan Tongkol, api dijaga sekecil mungkin dengan lama pemanasan yang cukup agar tidak terjadi karamelisasi ataupun hangus yang dapat mempengaruhi retensi gizi dan penurunan mutu yang menyolok.
67
4.4.9
Kadar histamin
Ikan Tongkol merupakan salah satu bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat dan jika dibiarkan pada suhu kamar, maka terjadi proses penurunan mutu menjadi busuk. Ikan yang sudah mengalami proses pembusukan, bila dikonsumsi dapat menimbulkan keracunan (Histamine fish poisoning) (Pandit et al 2007). Histamin pada ikan terbentuk melalui proses dekarboksilasi histidin menjadi histamin oleh bakteri-bakteri penghasil enzim histidin dekarboksilase Ada dua macam histidin dalam daging ikan yaitu, histidin bebas dan histidin terikat dalam protein. Hanya histidin sebagai asam amino bebas yang dapat mengalami dekarboksilasi menjadi histamin, sedangkan ikan Scombroid seperti ikan Tuna, Cakalang, Kembung dan Tongkol merupakan ikan-ikan yang mengandung histidin bebas dalam jumlah tinggi yang mengakibatkan terjadinya keracunan histamin apabila tidak ditangani dan diolah dengan baik (Taylor 1986 dalam Tsai et al 2006). Kandungan histamin pada air rebusan ikan Tongkol dan petis ikan Tongkol masing-masing sebesar 43,91 ppm dan 11,8 ppm. Kandungan histamin pada petis ikan Tongkol lebih rendah dibandingkan dengan air rebusan ikan Tongkol. Hal ini disebabkan jumlah air rebusan ikan Tongkol sebagai bahan baku pembuatan petis digunakan dalam jumlah sedikit kemudian mengalami proses pemekatan dengan penambahan bahan-bahan tambahan lainnya, sehingga kadar histamin yang terukur lebih kecil. Penurunan kadar histamin juga terjadi akibat proses pemanasan selama pengolahan air rebusan ikan Tongkol menjadi petis ikan yang dapat membunuh bakteri penghasil enzim dekarboksilase histidin. Menurut Kimata (1961) dalam BPPMHP (2003), perlakuan pemanasan 600C rupanya dapat membunuh bakteri penghasil histamin sehingga hal ini berguna untuk mencegah pembentukan histamin. Hal ini disebabkan pembentukan histamin secara dekarboksilasi bakteri dapat dikontrol dan dikendalikan dengan cara pendinginan, penggaraman, pengeringan, pengasapan dan dengan pemasakan pada suhu tertentu (Ilyas 1983). Berdasarkan SNI 01-4104-1996, jumlah batas histamin yang diperbolehkan yaitu <15 ppm (15 mg/ 100g). Menurut FDA, keracunan histamin pada ikan jika dikonsumsi 50 mg/100g daging ikan. Jika dikonsumsi berlebih (70-1000 mg) maka tubuh akan mengalami
68
gejala muntah, tenggorokan terbakar, bibir bengkak, sakit kepala, kejang, mual, muka dan leher kemerahan, gatal-gatal serta lemas (Mah et al 2002). Oleh karena itu petis ikan Tongkol yang dihasilkan dari air rebusan ikan Tongkol pada penelitian ini masih aman untuk dikonsumsi. 4.4.10 Cemaran Logam (Pb, Hg, Fe)
Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai daya ikat yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari periode 4 sampai 7 (Miettinen 1977 dalam Marganof 2003). Sebagian logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang berbahaya. Menurut Darmono (1995) dalam Marganof (2003), daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke paling rendah terhadap manusia yang mengkomsumsi ikan adalah sebagai berikut Hg2+ > Cd2+ > Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ > Sn2+ > Zn2+. Sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok, yaitu bersifat toksik tinggi yang terdiri dari atas unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co, sedangkan bersifat tosik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe. Logam berat tersebut dapat terakumulasi oleh pengaruh pencemaran zat berbahaya ke laut ataupun akibat proses pengolahan yang menggunakan peralatan logam serta cara-cara yang digunakan. Akumulasi logam berat pada air rebusan ikan Tongkol dan petis ikan Tongkol tidak mengandung adanya merkuri (Hg) dan timbal (Pb) tetapi mengandung besi (Fe). Hal ini sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh SNI 01-2346-1992 yang menyebutkan kandungan Hg maksimal 0,05 ppm dan Pb maksimal 2 ppm. Kandungan Fe pada air rebusan ikan Tongkol sebesar 24,62 ppm dan petis ikan Tongkol terbaik sebesar 39,52 ppm. Adanya Fe pada air rebusan Tongkol disebabkan penggunaan badeng yang terbuat dari besi pada proses pemindangan. Lamanya proses pemasakan tersebut bersamaan dengan suhu yang tinggi menyebabkan besi pada badeng terakumulasi dalam air rebusan ikan Tongkol. Pengolahan air rebusan ikan Tongkol menjadi petis menunjukkan terjadinya peningkatan kadar Fe setelah diolah menjadi petis ikan Tongkol. Hal ini diduga karena penggunaan wajan teflon yang telah digunakan berkali-kali
69
dimana lapisan teflon tersebut sudah mengelupas yang dapat meningkatkan akumulasi Fe pada petis ikan selama proses pemanasan dan dipicu oleh adanya komponen asam organik berupa asam sitrat yang dapat mengikat logam. Menurut Mancini et al (2007) asam sitrat dapat mengikat logam dan membentuk ikatan kompleks ketika berinteraksi dengan logam. Oleh karena itu penggunaan wadah pemasakan yang baik harus lebih diperhatikan agar tidak menimbulkan tingginya kadar Fe dalam bahan pangan (petis ikan). 4.5 Jumlah Mikroba (Angka Lempeng Total)
Mikroba merupakan mikroorganisme jasad renik yang mempunyai ukuran sel sangat kecil dimana setiap selnya hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop. Jumlah mikroba yang tumbuh dalam bahan makanan menentukan mutu dari suatu bahan makanan tersebut. Nilai angka lempeng total air rebusan ikan Tongkol sebesar 1,3x102 CFU/ml dan petis ikan Tongkol terbaik sebesar 1,2x101 CFU/ml. Karakteristik air rebusan ikan Tongkol yang memiliki kadar garam sebesar 19,37 % telah mengeliminir jenis bakteri yang hanya dapat bertahan hidup. Menurut Fardiaz (1989), bakteri halofilik dan halotoleran sering ditemukan pada makanan berkadar garam tinggi atau di dalam larutan garam. Bakteri halofilik membutuhan konsentrasi NaCl minimal tertentu untuk pertumbuhannya. Kebutuhan garam untuk pertumbuhan optimum bervariasi, yaitu 5-20% untuk bakteri halofilik sedang. Bakteri tersebut diduga tergolong dalam jenis
Halobacterium,
Halococcus,
Sarcina,
Micrococcus,
Pseudomonas,
Pediococcus, dan Alcaligenes. Pada petis ikan Tongkol jumlah mikroba yang terukur mengalami penurunan dibandingkan pada air rebusan ikan Tongkol. Hal ini terjadi karena proses pemanasan yang diberikan disertai dengan penambahan gula dalam jumlah yang besar. Penambahan gula pada bahan pangan merupakan upaya pengawetan pangan yang efektif karena sifat gula yang dapat menarik air dari dalam sel mikroba sehingga sel menjadi kering karena proses yang disebut osmosis (Anonim 1998). Selain itu dengan adanya penambahan asam sitrat dan pH yang berkisar antara 5-6 dapat menginaktivasi beberapa jenis bakteri patogen (Buchanan dan Golden 1994).
70
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN
Pemanfaatan air rebusan ikan Tongkol sebagai bahan baku petis ikan memiliki karakteristik rasa asin dan bau amis tetapi masih memiliki nilai gizi protein yang cukup. Penambahan asam jeruk limau 2% dipilih sebagai penghilang bau amis ikan dengan penambahan kombinasi gula merah 100% dan gula putih 100% untuk rasa manis pada petis. Perlakuan tersebut menghasilkan petis ikan Tongkol dengan citarasa pindang Tongkol yang khas, segar, rasa asin dan manis cukup, adanya bau tambahan, berwarna coklat kehitaman dengan tekstur yang homogen dan agak lembut. Uji fisika-kimia air rebusan ikan Tongkol mempunyai kadar air 64,96%, kadar abu 17,40%, kadar protein 14,30%, kadar lemak 0,95%, kadar karbohidrat 2,19%, derajat keasaman (pH) 5,25 , mikrobiologi 1,3 x 102 CFU/ml, logam berat Hg dan Pb tidak terdeteksi sedangkan Fe sebesar 24,62 ppm, kadar garam 19,37%, serta kadar histamin 43,91 ppm. Petis ikan Tongkol terbaik mempunyai kadar air 12,5%, kadar abu 7,69%, kadar protein 6,70%, kadar lemak 0,2%, kadar karbohidrat 72,9%, derajat keasaman (pH) 5,32 , aktivitas air (aw) 0,62 , viskositas 150.000 cp, mikrobiologi 1,2 x 101 CFU/ml, logam berat Hg dan Pb tidak terdeteksi sedangkan Fe sebesar 39,52 ppm, kadar garam 9,44%, serta kadar histamin 11,88 ppm. 5.2 SARAN
Petis ikan Tongkol yang diperoleh dari hasil penelitian ini memiliki beberapa kelemahan yaitu rendahnya kadar protein yang terkandung, adanya kadar histamin yang mendekati batas maksimal pada bahan pangan, serta tingginya kadar Fe (cemaran logam) yang dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah kesehatan. Oleh karena itu, saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah : a. Perlu dilakukan penambahan sumber protein lainnya dalam pembuatan petis ikan Tongkol untuk meningkatkan kadar protein yang terkandung, sebagai contoh konsentrat protein ikan (KPI).
71
b. Perlu dilakukan penanganan ikan Tongkol secara cepat, tepat dan higiene serta hati-hati segera setelah ikan ditangkap, agar kadar histamin yang terbentuk dapat direduksi. c. Perlu dilakukan penelitian mengenai akumulai Fe yang tinggi akibat penggunaan peralatan yang terbuat dari besi sehingga mencegah terbentuknya akumulasi Fe, dan sebaiknya menggunakan badeng yang terbuat dari tanah liat.
72
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bharata Karya Aksara. Anonim. 1992. Petunjuk Praktik Penanganan dan Pengolahan: Ikan. Pemeliharaan Buku Perpustakaan. Bogor: Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas, IPB. Anonim. 1998. Prinsip Pengawetan Pangan. Dalam Program Keamanan Makanan, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Anonim. 2002. Komposisi Gizi Petis Sangat Bervariasi. http://www2.kompas.com/kesehatan/news/senior/gizi/0407/09/gizi.html. [3 Feb 2009] Anonim. 2005. Tanaman Obat Indonesia. www.iptek.net.id [29 Mei 2009] Anonima. 2008. Petis. [3 Feb 2009]
http://kamusdapurku.com/2008_03_01_archive.html.
Anonimb. 2008. Sifat-sifat Organoleptik. http://teknologi-hasilpertanian.com/2008/08/sifat-sifat-organoleptik_8614.html [28 Nop 2009] Anonima. 2009. Sentra Produksi Petis Madura Kecamatan Kota Sampang www.jawapos.com [29 Sep 2009] Anonimb. 2009. Jeruk Limau. www.chem-is-try.com [29 Nop 2009] [AOAC] Association of Official Agricultural Chemist. 2007. Official Methods of Analysis of AOAC International. Revisi ke-2, Edisi ke-18. Editor: Horwitz W dan Latimer GW,Jr. USA: AOAC International. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, dan Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Penelaah: Deddy Muchtadi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi IPB. Apriyantono A. 2002. Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi dan KeamananPangan. Jakarta: Kharisma Women and Education. Asano Y dan Sotoyama K. 1999. Viscosity change in oil/water food emulsions prepared using a membran emulsification system. J Food Chem 66: 327-331. Astawan M. 2004. Petis si Hitam Lezat Bergizi. http://cybertravel.cbn.net.id/cbprtl/cybertravel/main.aspx. [3 Feb 2009]
73
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI-01-2346-2006. Produk Petis Udang. Jakarta: Dewan Standarisasi Indonesia. [BPPMHP] Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 2003. Laporan Tahunan 2002 BPPMHP. Jakarta: BPPMHP. Buchanan RL dan Golden MH. 1994. Interaction of citric acid concentration and pH on the kinetics of Lysteria monocytogenes inactivation. J Food Protection 57: 567-570. Buckle KA, RA Edwards, GH Fleet, dan M Wooton. 2007. Ilmu Pangan. Penerjemah: Purnomo dan Adiono. Jakarta: Universitas Indonesia. Burhanuddin, R Moelyanto , S Martosewojo, dan A Djamali. 1987. Suku Scomberidae: Tinjauan Mengenai Ikan Tuna, Cakalang, Tongkol. Jakarta: LON-LIPI. Crandall AD, Winkowski K, dan Montville TJ. 1993. Inability of Pediococcus pentosaceus to inhibit Clostridium botulinum in saus vide beef with gravy at 4 and 100C. J Food Protection 57: 104-107. Chellan P dan Nagaraj RH. 1999. Protein crosslinking by the maillard reaction: Dicarbonyl-derived imidazolium crosslinks in aging and diabetes. J Biochemistry and Biophysics 368: 94-104. Chen SL, Jin SY, dan Chen CS. 2005. Relative reactivities of glucose and galactose in browning and pyruvaldehyde formation in sugar/glycine model systems. J Food Chem 92: 597–605 Collete dan Nauen. 1983. Euthynnus affinis Kawakawa. http://www.fishbase.com [3 Feb 2009] [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 1999. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Erliza, M Nabil, MZ Nasution, dan Sutedja. 1987. Pengantar Pengemasan. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Eskin NAM, Henderson HM, dan Townsend RJ. 1971. Biochemistry of Foods. London: Academic Press. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. Handling and Preservation of Fruits and Vegetables by Combine Methods of Rural Areas. FAO Agriculture Service Bulletin 149: 1554-1010-1365. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
74
Faridah DN, Kusumaningrum HD, Wulandari N, dan Indrasti D. 2006. Modul Praktikum Analisis Pangan. Bogor: IPB Press. Fakhruddin A. 2009. Pemanfaatan air rebusan Kupang Putih (Corbula faba Hinds) untuk pengolahan petis dengan penambahan berbagai pati-patian. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Fellows PJ. 2000. Food Processing Technology Principle and Practise. New York: CRC Press. Gaten T. 2000. Multiple comparison test. Departement of Biology, University of Leicester.
[email protected]. [28 Jan 2010] Gokoglu N, Yelirkaya P, dan Cengiz E. 2004. Effects of cooking methods on the proximate composition and mineral contents of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). J Food Chem 84: 19–22. Hadiwiyoto S, Budiharto, dan Susanto. 1990. Ilmu Kimia dan Teknologi Daging. Yogyakarta: PAU Pangan Gizi. Harold Z. 1977. Intermediate moisture food product and method of preparing the same. United States Patent 4022915. Chicago: National Can Corporation. http://www.freepatentsonline.[28 Jan 2010]. Harris RS dan Karmas E. 1975. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Bandung: ITB. Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jakarta: CV. Paripurna. Julianti E dan Nurminah M. 2006. Teknologi Pengemasan. Medan: Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Kilcast D dan Angus F. 2007. Reducing Salt in Food. New York: CRC Press. Mah JH, Han HK, Oh YJ, Kim MG, dan Hwang HJ. 2002. Biogenic amines in Jeotkals, Korean salted and fermented fish products. J Food Chem 79: 239-243. Mancini RA, Hunt MC, Seyfert M, Kroph DH, Hachmeister KA, Herald TJ, dan Johnsons DE. 2007. Effect of ascorbic and citric acid on beef lumbar vertebrae marrow colour. J Meat Sci 76: 568-573. Marganof. 2003. Potensi limbah udang sebagai penyerap logam berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. Dalam makalah Pengantar Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Moerdokusumo A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. Bandung : Institut Teknologi Bandung.
75
Muchtadi D. 1984. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Penelaah: Dedi Fardiaz. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Nurjanah, Trilaksani W, dan Kustiariyah. 2004. Teknologi Preparasi Hasil Perikanan. Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Pandit IGS, Suryadhi NT, Arka IB dan Adiputra N. 2007. Pengaruh penyiangan dan suhu penyimpanan terhadap mutu kimiawi, mikrobiologis dan organoleptik ikan Tongkol (Auxis thazard, Lac). Bali : Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa dan Program Pascasarjana Universitas Udayana. Poernomo D, Suseno SH, dan Wijatmoko A. 2004. Pemanfaatan asam cuka, jeruk nipis (Citrus aurantifolia) dan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) untuk mengurangi bau amis petis ikan Layang (Decapterus spp.). Buletin Teknologi Hasil Perikanan Vol.VII 2:11-17. Purseglove JW, EG Brown, CL Green, dan SRJ Robins. 1981. Spices Vol:2. NewYork: Longman Inc. Rahardjo MF dan Murniarti. 1984. Anatomi Beberapa Jenis Ikan Ekonomis Penting di Indonesia. Bogor: Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, IPB. Rodriguez-Jerez JJ, Mora-Ventura MT, Lopez-Sabater EI, dan Hernandez-Herrero M. 1994. Hystidine, lysine and ornithin decarboxylase bacteria in spanish salted preserved in Anchovies. J Food Protection 57: 784-787,791. Rukmi I. 2009. Keanekaragaman Aspergillus pada berbagai simplisia jamu tradisional. J Sains Mat 2: 82-89. Saparinto C dan Hidayati D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Saputra Y. 2008. Petis dari Hidrolisat Beberapa http://digilib.unej.ac.id/go.php. [ 26 Februari 2009]
Ikan
Inferior.
Sarwono B. 1994. Jeruk dan Kerabatnya. Jakarta: Penebar Swadaya. Schnickels RA, Warmbier HC, dan Labuza TP. 1976. Effect of protein substitution on nonenzymatic browning in an intermediate moisture food system. J Agric Food Chem 24: 901-903. Sentot A dan Raharjo C. 2001. Pindang Tongkol Panarukan Menembus Jepang. http://www.liputan6.com/sosbud/?id=12685. [ 6 Februari 2009]
76
Sudarmadji S. 1982. Bahan-bahan Pemanis. Fakultas Teknologi Pertanian. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Sudarmaji, Bambang Haryono, dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein. Processing Technology. England. Tranggono, Setiaji B, Suhardi, Soedarmanto, Marsono Y, Murdiati A, Utami IS dan Soeparmo. 1990. Biokimia Pangan. Yogyakarta : PAU Pangan dan Gizi. Tsai YH, Lin CY, Chien LT, Lee TM, Wei CI, dan Hwang DF. 2006. Histamine contents of fermented fish products in Taiwan and isolation of histamineforming bacteria. J Food Chem 98: 64–70. Wibowo S. 2000. Industri Pemindangan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya. Wijatmoko A. 2004. Pemanfaatan asam-asam organik (asam cuka, jeruk nipis (Citrus aurantifolia) dan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi)) untuk mengurangi bau amis petis ikan layang (Decapterus spp.). [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Winarno, Fardiaz S, dan Fardiaz D. 1982. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia. Winarno. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia. Yohana E. 2007. Aplikasi ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn.) sebagai pengawet mie basah. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
77
LAMPIRAN
78
Lampiran 1. Lembar Penilaian Sensori Petis Ikan dari Limbah Cair Perebusan Ikan Tongkol Nama Panelis : ................................................................. Tanggal : ................................................................. • Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian • Berikan tanda √ pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji Spesifikasi 1 • • • • • 2 •
Penampakan Coklat tua, cemerlang, tidak ada kotoran Coklat agak kehitaman, menarik, sedikit kotoran Coklat agak kehitaman, kusam, sedikit kotoran Coklat kehitaman, kusam, banyak kotoran Hitam, tidak menarik, banyak kotoran Bau Harum, aroma pindang tongkol kuat, tanpa bau tambahan, enak • Harum, aroma pindang tongkol sedang, tanpa bau tambahan, enak • Harum, ada aroma pindang tongkol, bau tambahan agak keras, enak • Tidak ada aroma pindang tongkol, bau tambahan keras, enak • Tidak ada aroma pindang tongkol, bau tambahan keras, agak enak 3 Rasa • Enak, rasa pindang tongkol kuat, tidak amis, rasa manis dan asin cukup, segar • Cukup enak, rasa pindang tongkol sedang, tidak amis, rasa manis cukup, rasa asin kuat • Agak enak, ada rasa pindang tongkol, amis, rasa manis kurang, rasa asin kuat • Kurang enak, rasa pindang tongkol sedikit, rasa manis dan rasa asin kurang • Tidak enak, tidak ada rasa pindang tongkol, rasa amis kuat, tidak ada rasa manis, rasa asin kuat 4 Tekstur • Kental, homogen, lembut • Kental, homogen, sedikit lembut • Agak kental, kurang homogen, agak kasar • Agak kental, kurang homogen, kasar • Agak kental, tidak homogen, kasar
Nilai
A11
A12
Kode Contoh B11 B12 C11
9 7 5 3 1 9 7 5 3 1 9 7 5 3 1 9 7 5 3 1
79
C12
Lampiran 2. Uji Kruskall-Wallis terhadap penampakan, tekstur, aroma dan rasa petis ikan Tongkol dengan perlakuan perbedaan konsentrasi asam jeruk limau
Perlakuan penampakan
bau
rasa
tekstur
kode A11 A12 B11 B12 C11 Total A11 A12 B11 B12 C11 Total A11 A12 B11 B12 C11 Total A11 A12 B11 B12 C11 Total
N 30 30 30 30 30 150 30 30 30 30 30 150 30 30 30 30 30 150 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 71,83 85,53 65,63 81,87 72,63 79,55 80,12 74,78 76,88 66,17 69,38 88,22 84,77 67,62 67,52 74,22 83,92 79,27 65,63 74,47
Keterangan : A11 = tanpa asam jeruk limau (0%) A12 = asam jeruk limau konsentrasi 2% B11 = asam jeruk limau konsentrasi 4% B12 = asam jeruk limau konsentrasi 6% C11 = asam jeruk limau konsentrasi 8%
80
Lampiran 3. Analisis ragam penampakan, tekstur, aroma, dan rasa petis ikan dengan perlakuan konsentrasi asam jeruk limau yang berbeda
ANOVA
penampakan
bau
rasa
tekstur
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 21,973 471,467 493,440 7,040 445,333 452,373 27,040 563,600 590,640 10,507 429,067 439,573
df 4 145 149 4 145 149 4 145 149 4 145 149
Mean Square 5,493 3,251
F 1,689
Sig. ,156
1,760 3,071
,573
,683
6,760 3,887
1,739
,145
2,627 2,959
,888
,473
Ho : Faktor perlakuan konsentrasi asam jeruk limau tidak memberikan pengaruh terhadap kesukaan panelis H1 : Faktor perlakuan bahan pengisi memberikan pengaruh terhadap kesukaan panelis
81
Lampiran 4. Data hasil uji sensori petis ikan Tongkol dengan perlakuan perbedaan jenis dan konsentrasi gula Perlakuan ke- penampakan bau rasa tekstur 1 7 5 7 5 2 5 7 7 7 3 5 7 7 7 1 7 5 7 5 2 7 5 7 7 3 5 5 9 5 1 9 7 7 5 2 5 7 7 5 3 9 7 5 7 1 5 5 5 7 2 5 7 5 5 3 7 5 7 5 1 7 7 3 7 2 3 5 3 7 3 9 7 7 7 1 3 3 5 5 2 9 9 7 5 3 9 7 7 5 1 5 7 7 7 2 9 3 3 5 3 5 7 9 7 1 7 5 5 7 2 5 7 5 7 3 9 7 9 7 1 5 7 7 7 2 7 7 5 7 3 7 3 7 7 1 7 7 9 5 2 5 7 5 5 3 9 7 5 5 1 9 9 5 5 2 5 7 3 7 3 9 7 7 7 1 7 7 7 7 2 9 9 5 5 3 7 7 7 7 1 7 7 3 3 2 9 7 3 5 3 5 7 5 7 1 9 7 9 5 2 7 5 7 7 3 9 7 7 7 1 9 7 7 5 2 9 7 5 7
82
3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
9 7 5 9 3 9 9 9 9 9 7 5 9 7 9 9 7 9 9 5 7 9 5 5 9 5 7 5 9 5 7 9 7 7 9 9 5 7 5 9 5 5 7 7 5 9
5 5 7 7 7 5 7 5 9 7 7 5 7 7 7 7 7 3 7 5 3 7 7 3 7 5 5 9 7 7 7 7 7 7 7 5 7 5 7 9 7 3 9 7 9 7
7 5 3 7 7 5 7 5 7 7 5 5 7 7 7 5 9 7 7 7 5 5 7 7 7 9 7 7 7 7 7 7 7 9 9 9 9 7 9 9 7 3 5 7 7 7
3 7 7 5 7 7 7 5 5 5 7 5 7 7 9 7 5 5 7 5 3 7 9 7 7 5 5 9 7 9 9 7 5 7 7 9 7 7 7 5 9 9 9 7 7 7
83
Lampiran 5. Uji Kruskal-Wallis terhadap penampakan, aroma, rasa dan tekstur petis ikan Tongkol dengan perlakuan jenis dan konsentrasi gula yang berbeda
penampaka n bau
rasa
tekstur
kode EGP PSG MDS Total EGP PSG MDS Total EGP PSG MDS Total EGP PSG MDS Total
Mean Rank 41,52 39,78 55,20
N 30 30 30 90 30 30 30 90 30 30 30 90 30 30 30 90
42,63 41,60 52,27 47,65 35,75 53,10 42,40 44,27 49,83
Lampiran 6. Analisis ragam penampakan, aroma, tekstur dan rasa petis ikan Tongkol dengan perlakuan jenis dan konsentrasi gula yang berbeda ANOVA
Sum of Squares penampakan Between Groups Within Groups Total bau Between Groups Within Groups Total rasa Between Groups Within Groups Total tekstur Between Groups Within Groups Total
23,022
df 2
272,267 87 295,289 89 8,622
2
183,600 87 192,222 89 25,156
2
215,067 87 240,222 89 2,489
Mean Square
F
Sig.
11,511 3,678 ,029 3,130 4,311 2,043 ,136 2,110 12,578 5,088 ,008 2,472
2
1,244
170,667 87 173,156 89
1,962
,634 ,533
84
Lampiran 7. Uji lanjut Tukey penampakan, aroma, rasa dan tekstur petis ikan dengan jenis dan konsentrasi gula yang berbeda Multiple Comparisons
Tukey HSD Mean (J) Difference (I- Std. kode J) Error PSG ,133 ,457 MDS -1,000 ,457 PSG EGP -,133 ,457 MDS -1,133(*) ,457 MDS EGP 1,000 ,457 PSG 1,133(*) ,457 bau EGP PSG ,200 ,375 MDS -,533 ,375 PSG EGP -,200 ,375 MDS -,733 ,375 MDS EGP ,533 ,375 PSG ,733 ,375 rasa EGP PSG ,867 ,406 MDS -,400 ,406 PSG EGP -,867 ,406 MDS -1,267(*) ,406 MDS EGP ,400 ,406 PSG 1,267(*) ,406 tekstur EGP PSG -,133 ,362 MDS -,400 ,362 PSG EGP ,133 ,362 MDS -,267 ,362 MDS EGP ,400 ,362 PSG ,267 ,362 * The mean difference is significant at the .05 level. Dependent Variable penampakan
(I) kode EGP
Sig. ,954 ,079 ,954 ,039 ,079 ,039 ,855 ,334 ,855 ,130 ,334 ,130 ,089 ,588 ,089 ,007 ,588 ,007 ,928 ,513 ,928 ,742 ,513 ,742
95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound -,96 1,22 -2,09 ,09 -1,22 ,96 -2,22 -,04 -,09 2,09 ,04 2,22 -,69 1,09 -1,43 ,36 -1,09 ,69 -1,63 ,16 -,36 1,43 -,16 1,63 -,10 1,83 -1,37 ,57 -1,83 ,10 -2,23 -,30 -,57 1,37 ,30 2,23 -1,00 ,73 -1,26 ,46 -,73 1,00 -1,13 ,60 -,46 1,26 -,60 1,13
Lampiran 8a. Uji homogen penampakan petis ikan Tongkol Tukey HSD Subset for alpha = .05 kode N 1 2 PSG 30 6,67 EGP 30 6,80 6,80 MDS 30 7,80 Sig. ,954 ,079 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
85
Lampiran 8b. Uji homogen aroma petis ikan Tongkol bau
Tukey HSD Subset for alpha = .05 kode N 1 PSG 30 6,13 EGP 30 6,33 MDS 30 6,87 Sig. ,130 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. Lampiran 8c. Uji homogen rasa petis ikan Tongkol rasa Tukey HSD Subset for alpha = .05 kode N 1 2 PSG 30 5,73 EGP 30 6,60 6,60 MDS 30 7,00 Sig. ,089 ,588 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. Lampiran 8d. Uji homogen tekstur petis ikan Tongkol tekstur Tukey HSD Subset for alpha = .05
kode N 1 EGP 30 6,20 PSG 30 6,33 MDS 30 6,60 Sig. ,513 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
86
Lampiran 12. Data kadar aw (aktivitas air)
Ulangan 1 2 Rata-rata
Petis ikan terbaik
Lampiran 13. Data kadar viskositas Spindel Speed Faktor Sampel no. (rpm) konversi Petis 4 3 2000 ikan
Nilai 0,621 0,620 0.6205
Skala pembacaan
Nilai (cp)
75
150000
Lampiran 14. Data angka lempeng total Pengenceran Sampel 100 101 102
Petis ikan Air rebusan tongkol
103 146
13 11 28 15
103
3 3 3 6
Hasil ratarata per gram
0 0
1,2 x 101 2,1 x 102
Lampiran 15. Data kadar garam Sampel Kadar garam (%) 9,4369 Petis ikan 9,4422 19,3823 Air rebusan ikan tongkol 19,3641
Rata-rata 9,44 19,37
Lampiran 16. Data analisa logam berat
Analisa Pb Sampel Air rebusan tongkol Petis ikan
Berat sampel (g) 4,1530 4,3185 1,7761 2,5083
Pembacaan AAS -0,1040 -0,1547 -0,1281 -0,0932
Pb (ppm) Ttd Ttd Ttd Ttd
87
Analisa Hg Berat sampel (g) 4,1530 Air rebusan tongkol 4,3185 1,7761 Petis ikan 2,5083 Ket : ttd = tidak terdeteksi Sampel
Pembacaan AAS -0,0351 -0,0396 -0,0451 -0,0390
Hg (ppm) Ttd Ttd Ttd Ttd
Analisa Fe Sampel Air rebusan tongkol Petis ikan
Berat sampel (g) 4,1530 4,3185 1,7761 2,5083
Volume larutan abu (ml) 100 100 100 100
pembacaan
Fe (ppm)
1,1322 0,9492 0,7156 0,9719
27,2662 21,9799 40,2905 38,7474
Rata-rata Fe (ppm) 24,6231 39,5190
Foto-foto penelitian :
Proses pemindangan dan penggaraman ikan tongkol dalam badeng
Industri kecil pemindangan tongkol di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat
88
Pemanasan air rebusan tongkol dengan bahan-bahan tambahan
Jeruk limau
Bawang putih goreng
Sterilisasi wadah petis ikan menggunakan autoclave dan oven
89