KAJIAN PEMBENTUKAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL DI SELAT SUNDA
DHENIS
MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kajian Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol di Selat Sunda adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 25 Februari 2010 Dhenis
ABSTRAK DHENIS. C44051986. Kajian Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol di Selat Sunda. Dibimbing oleh BUDY WIRYAWAN dan DOMU SIMBOLON. Perairan Selat Sunda merupakan salah satu daerah potensial perikanan di Indonesia. Salah satu hasil perikanan yang bernilai ekonomis penting dan memiliki produksi tertinggi di perairan ini adalah ikan tongkol. Keberadaan ikan tongkol pada suatu perairan berhubungan dengan parameter-parameter oseanografi perairan seperti suhu, salinitas, arus, dan kelimpahan fitoplankton atau sumber makanannya. Informasi mengenai parameter-parameter oseanografi sangat dibutuhkan untuk pengelolaan sumber daya ikan secara optimum dan lestari. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengkaji pembentukan daerah penangkapan ikan tongkol di perairan Selat Sunda berdasarkan karakteristik parameter oseanografi daerah penangkapan ikan tersebut dan 2) mengetahui hubungan antara parameter-parameter oseanografi daerah penangkapan ikan tongkol dengan hasil tangkapan ikan tongkol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah penangkapan ikan tongkol di perairan Selat Sunda pada Mei 2009 berada pada lokasi 05°53’-06°43’ LS dan 105°27’-105°47’ BT dan pada Juni 2009 berada pada lokasi 06°18’-06°48’ LS dan 105°11-105°44’ BT. Kondisi oseanografi perairan Selat Sunda selama Mei-Juni 2009 yaitu suhu dengan kisaran 28,25-33,54 °C; klorofil-a dengan kisaran 0,15-3,16 mg/m3; anomali tinggi permukaan laut >15 cm. Sedangkan karakteristik oseanografi daerah penangkapan ikan tongkol di perairan Selat Sunda selama Mei-Juni 2009 berturut-turut adalah SPL dengan kisaran dominan 30,2-30,4 °C, klorofil-a dengan kisaran dominan 0,4-0,7 mg/m3, dan kedalaman perairan dominan <50 m. Hubungan antara suhu, klorofil-a dan kedalaman perairan dengan hasil tangkapan bersifat lemah. Kata kunci: daerah penangkapan ikan, selat sunda, tongkol
© Hak cipta IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
KAJIAN PEMBENTUKAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL DI SELAT SUNDA
DHENIS
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi Nama
: Kajian Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol di Selat Sunda : Dhenis
NRP
: C44051986
Mayor
: Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Disetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP: 19621223 198703 1 001
Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si. NIP: 19650704 199002 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP: 19621223 198703 1 001
Tanggal Lulus: 25 Februari 2010
KATA PENGANTAR Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul yang diambil dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2009 ini adalah ”Kajian Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol di Selat Sunda”. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengkaji pembentukan daerah penangkapan ikan tongkol di perairan Selat Sunda berdasarkan karakteristik parameter oseanografi daerah penangkapan ikan tersebut dan 2) mengetahui hubungan antara parameter-parameter oseanografi daerah penangkapan ikan tongkol dengan hasil tangkapan ikan tongkol. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi tambahan bagi pihak peneliti mengenai faktor oseanografi yang mempengaruhi daerah penangkapan ikan tongkol di perairan Selat Sunda. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan penulisan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Bogor, 25 Februari 2010 Dhenis
UCAPAN TERIMA KASIH 1. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. dan Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si. selaku komisi pembimbing atas segala saran, arahan, perhatian, dan motivasi yang sungguh tidak ternilai harganya selama penelitian ini berlangsung; 2. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. selaku Ketua Departemen PSP, Vita Rumanti Kurniawati, S.Pi., M.T. selaku komisi pendidikan Departemen PSP dan Dr. Ir. Mohammad Imron, M.Si. selaku penguji tamu atas kesediaan waktu, serta saran, arahan, dan masukannya; 3. Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si., Fis Puwangka, S.Pi., M.Si., Prihatin Ika Wahyuningrum, S.Pi., M.Si. atas seluruh bantuannya; 4. Kepala Bidang Kelautan Departemen Kelautan dan Perikanan Pandeglang (Bpk. Hasyim) dan staf (Bu Mae) yang telah membantu penulis selama penelitian; 5. Bapak H. Rasbi sekeluarga atas bantuannya selama di Labuan; 6. Ayahanda dan Ibunda tercinta (Ahmad Lubis dan Sunaryah) atas semua doa dan dukungannya; 7. Winy Irhamni, S.Pi., Bang Bob, Pak Anto, Golda, Andreas, Anggie Ayuningtyas, S.Pi., Moh Nurcahyadi, Eko Sulkhani, Bramantyas F, S.Pi., Andhika Prima, S.Pi., R Nugroho BS, S.Pi., Kimursih, dan Hendro Wahyudi atas bantuan dan kerjasamanya selama ini; 8. PSP 02 Crew dan teman-teman mahasiswa Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap angkatan 42 atas kekompakkan dan kebersamaan yang indah selama ini; 9. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini.
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Serang pada tanggal 24 Desember 1986 dari pasangan Ahmad Lubis dan Sunaryah. Penulis adalah anak pertama dari lima bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 4 Bekasi pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Institut Pertanian Bogor
dengan memilih minor
supporting course. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan organisasi.
Penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Perikanan
Tangkap Indonesia (HIMPATINDO) divisi eksternal periode 2006-2008 dan organisasi
Himpunan
Mahasiswa
Pemanfaatan
Sumberdaya
Perikanan
(HIMAFARIN) Departemen Kewirausahaan periode 2008-2009. Pada tahun 2009, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Kajian Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol di Selat Sunda” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan.
Perikanan
Tangkap,
Departemen
Pemanfaatan
Sumberdaya
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xii 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Tujuan ......................................................................................................... 3 1.3 Manfaat ....................................................................................................... 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penangkapan Ikan .......................................................................... 4 2.2 Ikan Tongkol .............................................................................................. 4 2.2.1 Taksonomi dan identifikasi ikan tongkol ......................................... 4 2.2.2 Tingkah laku dan sifat ekologi ikan tongkol .................................... 7 2.2.3 Penyebaran dan kelimpahan ikan tongkol ........................................ 8 2.2.4 Musim dan daerah penangkapan ikan tongkol ................................. 9 2.3 Kondisi Umum Perairan Selat Sunda ......................................................... 10 2.4 Parameter Oseanografi ............................................................................... 12 2.4.1 Suhu permukaan laut ........................................................................ 12 2.4.2 Klorofil-a dan produktivitas primer perairan ................................... 14 2.4.3 Arus .................................................................................................. 15 2.5 Anomali Tinggi Permukaan Laut ............................................................... 16 2.6 Upwelling ................................................................................................... 17 2.7 Front ........................................................................................................... 18 2.8 Aplikasi Penginderaan Jauh Kelautan ........................................................ 19 2.8.1 Satelit Aqua MODIS ........................................................................ 22 2.8.2 Satelit TOPEX/POSEIDON ............................................................. 24 2.9 Aplikasi SeaDAS untuk Remote Sensing Kelautan .................................... 25 2.10 Keadaan Umum Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan ................... 28 2.10.1 Profil PPP labuan ........................................................................... 28 2.10.2 Keadaan umum perikanan tangkap ................................................ 29 2.10.2.1 Unit penangkapan ikan ...................................................... 29 2.10.2.2 Operasi penangkapan ikan tongkol .................................... 30 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ..................................................................................... 32 3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................... 32 3.3 Metode Pengumpulan Data ........................................................................ 33 3.4 Metode Analisis Data ................................................................................. 35 3.4.1 Analisis suhu permukaan laut dan klorofil-a.................................... 35 3.4.2 Analisis hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) .............. 35 3.4.4 Analisis korelasi ............................................................................... 37
4 HASIL 4.1 Suhu Permukaan Laut ................................................................................ 38 4.2 Klorofil-a .................................................................................................... 42 4.3 Kedalaman Perairan ................................................................................... 44 4.4 Hasil Tangkapan Ikan Tongkol .................................................................. 47 4.5 Penyebaran Daerah Penangkapan Ikan ...................................................... 48 4.6 Hubungan Kondisi Osenografi terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol di Selat Sunda ............................................................................................. 52 5 PEMBAHASAN 5.1 Penyebaran SPL Secara Temporal dan Spasial .......................................... 55 5.2 Penyebaran Klorofil-a Secara Temporal dan Spasial ................................. 57 5.3 Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan ................................................... 60 5.4 Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Tongkol dan Kaitannya dengan Parameter Osenografi ................................................................................. 62 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................................. 68 6.2 Saran ........................................................................................................... 68 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 69 LAMPIRAN ......................................................................................................... 73
DAFTAR TABEL Halaman 1
Jenis-jenis ikan tuna ........................................................................................ 5
2
Daerah penyebaran ikan tongkol di Indonesia ................................................ 9
3
Parameter kelautan yang dapat dideteksi/dipelajari dengan inderaja ............. 20
4
Spesifikasi teknis dari satelit Aqua ................................................................. 22
5 Kegunaan dan karakteristik kanal-kanal sensor MODIS ................................ 23 6 Karakteristik dari satelit TOPEX/POSEIDON………………........................25 7
Data satelit ocean color dan spesifikasinya, yang dapat diproses SeaDAS .... 27
8
Rekapitulasi jumlah kapal motor dan motor tempel Kabupaten Pandeglang tahun 2008 ....................................................................................................... 29
9
Nilai suhu permukaan laut di perairan Selat Sunda periode Mei-Juli 2009 .... 38
10 Nilai klorofil-a di perairan Selat Sunda periode Mei-Juli 2009 ......................42 11 Kelompok fungsional ekosistem di Selat Sunda ............................................. 64
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Ikan tongkol (Euthynnus affinis) .................................................................... 6
2
Ilustrasi terjadinya front ................................................................................. 17
3
Sistem penginderaan jauh satelit .................................................................... 21
4
Rancang bangun alat tangkap payang ............................................................ 31
5
Peta daerah penelitian .................................................................................... 32
6
Diagram alir penelitian................................................................................... 34
7
Diagram alir pengolahan citra MODIS .......................................................... 36
8
Nilai rata-rata SPL hasil pengolahan data MODIS di perairan Selat Sunda periode Mei-Juli 2009 .................................................................................... 38
9
Citra SPL di perairan Selat Sunda pada tanggal 1-8 Mei 2009 (a), 9-16 Mei 2009 (b), 17-24 Mei 2009 (c), dan 25 Mei-1 Juni 2009 (d) ........... 40
10 Citra SPL di perairan Selat Sunda pada tanggal 2-9 Juni 2009 (a), 10-17 Juni 2009 (b), 18-25 Juni 2009 (c), dan 26-3 Juli 2009 (d) ................ 41 11 Nilai rata-rata klorofil-a hasil pengolahan data MODIS di perairan Selat Sunda periode Mei-Juli 2009 ......................................................................... 42 12 Citra klorofil-a di perairan Selat Sunda pada tanggal 1-8 Mei 2009 (a), 9-16 Mei 2009 (b), 17-24 Mei 2009 (c), dan 25 Mei-1 Juni 2009 (d) ......... 45 13 Citra klorofil-a di perairan Selat Sunda pada tanggal 2-9 Juni 2009 (a), 10-17 Juni 2009 (b), 18-25 Juni 2009 (c), dan 26 Juni-3 Juli 2009 (d) ......... 46 14 CPUE ikan tongkol berdasarkan waktu penangkapan periode Mei-Juni 2009 ................................................................................................ 48 15 Peta kedalaman perairan Selat Sunda ............................................................ 49 16 Grafik hubungan SPL terhadap hasil tangkapan ikan tongkol ....................... 52 17 Grafik hubungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan tongkol .............. 53 18 Grafik hubungan kedalaman terhadap hasil tangkapan ikan tongkol ............ 54 19 Citra anomali tinggi permukaan laut .............................................................. 59 20 Peta daerah penangkapan ikan pada Mei 2009 .............................................. 61 21 Peta daerah penangkapan ikan pada Juni 2009 .............................................. 61 22 Citra overlay klorofil-a dan posisi penangkapan di perairan Selat Sunda pada tanggal 9-16 Mei 2009 (a), 17-24 Mei 2009 (b), 25 Mei-1 Juni 2009 (c), dan 18-25 Juni 2009 (d). ......................................................................... 66 23 Trophic level ekosistem di Selat Sunda ......................................................... 67
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Pengolahan data MODIS level 3 pada program SeaDAS 5.2 .......................... 74 2 Jumlah hasil tangkapan, CPUE dan jumlah setting kapal payang di PPP Labuan pada Mei-Juni 2009 ............................................................................. 79 3 Peta posisi penangkapan ikan kapal payang di PPP Labuan pada Mei-Juni 2009................................................................................................... 80 4 Tabel daerah penangkapan ikan, koordinat, SPL, klorofil, kedalaman dan jumlah hasil tangkapan berdasarkan tanggal penangkapan…………………...95 5 Citra anomali tinggi permukaan laut pada Mei 2009 (a) dan Juni 2009 (b)…103 6 Peta pola arus permukaan bulanan…………………………………………. 104
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia yang sebagian besar merupakan perairan, memiliki sumberdaya perikanan dan kelautan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Salah satu contoh adalah Selat Sunda yang berada diantara Pulau Sumatera dan Jawa dimana massa air Laut Jawa bercampur dengan massa air yang berasal dari Samudera Hindia. Luas perairan lebih kurang 8138 km2. Berbentuk seperti corong, dimana bagian utara lebih sempit (sekitar 24 km) dan lebih dangkal (≤ 80 m), sedangkan bagian selatan memiliki lebar sekitar 100 km dan kedalaman mencapai 1575 m (Birowo, 1983 yang dikutip oleh Amri, 2002). Kondisi alam tersebut memberikan peluang terhadap berbagai jenis usaha perikanan yang dapat dilakukan. Perbedaan kedalaman dengan sifat alamnya akan memberikan karakteristik jenis ikan yang hidup di dalamnya, selanjutnya mengarah kepada ragam jenis kapal dan alat tangkap yang dipergunakan. Usaha perikanan tangkap yang melakukan penangkapan di perairan Selat Sunda berasal dari nelayan-nelayan yang berbasis di Provinsi Lampung dan di Provinsi Banten. Armada perikanan tangkap yang berbasis di Lampung terdiri dari 3.500 buah perahu tanpa motor (hampir 50%), 1.600 perahu bermotor tempel (20%), dan 2.000 buah kapal motor (30%) (Wiryawan et al., 2002). Sedangkan dalam laporan akhir Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (SDKP) Banten (2007), kapal dan perahu penangkapan ikan dominan yang tercatat sejak tahun 1991-2005 di Provinsi Banten adalah perahu dengan motor tempel, kapal motor <5GT, jukung, kapal motor 5-10 GT, perahu papan kecil dan perahu papan sedang. Alat tangkap yang digunakan oleh kedua nelayan tersebut berbeda-beda. Alat tangkap ikan yang dominan beroperasi di perairan laut Provinsi Banten pada tahun 2005 ada 10 jenis, yaitu payang, dogol, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring klitik, jaring insang tetap, tramel net, bagan perahu rakit, dan bagan tancap. Sedangkan alat tangkap ikan yang dominan beroperasi di Perairan Selat Sunda yang hasil tangkapannya didaratkan di Provinsi Lampung pada tahun 2003 ada 10 jenis, yaitu pancing,
serok, rawai tetap, bagan tancap, jaring insang tetap, payang, rawai hanyut, bubu, bagan rakit, dan jaring insang hanyut. Selanjutnya sumberdaya ikan yang dieksploitasi oleh armada perikanan tangkap tersebar di tiga perairan terdekat yaitu pesisir Samudera Hindia, Selat Sunda, serta perairan bagian barat Laut Jawa (Wiryawan et al., 1999). Dalam laporan akhir Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (SDKP) Banten (2007), produksi total spesies ikan pelagis besar yang tercatat di Provinsi Banten pada tahun 1991-2005 dominan disumbangkan oleh Kabupaten Pandeglang dengan hasil tangkapan tertinggi yaitu tongkol.
Ikan
tongkol (Ethynnus affinis) merupakan salah satu komoditi andalan sektor kelautan yang mempunyai arti ekonomis yang cukup tinggi. Usaha penangkapan tongkol semakin berkembang karena adanya permintaan yang tinggi pada pasar dunia. Peningkatan hasil tangkapan sangat ditunjang oleh pengembangan dan penyesuaian metode dan alat tangkap yang efisien. Dalam laporan akhir Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (SDKP) Banten (2007), alat tangkap ikan yang dominan beroperasi di perairan Selat Sunda yang didaratkan hasil tangkapannya di Kabupaten Pandeglang pada tahun 2005 ada 9 jenis, yaitu payang, dogol, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring klitik, jaring insang tetap, bagan perahu rakit dan bagan tancap. menggunakan jaring payang.
Untuk menangkap ikan tongkol, nelayan
Armada alat tangkap payang di Kabupaten
Pandeglang masih terbilang sederhana karena tidak dilengkapi peta Daerah Penangkapan Ikan (DPI) dan alat penentu lokasi atau yang disebut GPS (Global Positioning System) sehingga dalam pencarian suatu DPI masih ditentukan berdasarkan
faktor
pengalaman.
Dengan
cara
ini
tentunya
tingkat
keberhasilannya rendah karena nelayan melaut bukan ‘menangkap’ ikan tetapi masih ‘mencari’ ikan. Keberadaan ikan pada suatu perairan berhubungan dengan parameterparameter oseanografi perairan seperti suhu, salinitas, arus, dan kelimpahan fitoplankton atau sumber makanannya. Informasi mengenai parameter-parameter oseanografi sangat dibutuhkan untuk pengelolaan sumber daya ikan secara optimum dan lestari.
Informasi ini dapat diperoleh dengan cara pengukuran
langsung (in-situ). Tetapi ada cara lain yang lebih efisien yaitu menggunakan metode penginderaan jauh (ex-situ), karena tidak menghabiskan biaya yang banyak dan tidak memakan waktu yang lama untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Selain itu, dengan metode penginderaan jauh dapat memberikan informasi secara time series. Penelitian ini memanfaatkan data/informasi yang dihasilkan dari teknik penginderaan jauh, serta mengkaji hubungan antara beberapa parameter oseanografi terhadap hasil tangkapan ikan tongkol (Euthynnus affinis) di perairan Selat Sunda dengan studi kasus di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan dimana produksi ikan tongkol di Kabupaten Pandeglang dominan didaratkan di tempat tersebut. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang penting mengenai karakter daerah penangkapan ikan tongkol di perairan Selat Sunda berdasarkan parameter oseanografi sehingga dapat diketahui faktor oseanografi yang mempengaruhinya. Oleh karena itu penelitian mengenai kajian pembentukan daerah penangkapan ikan tongkol di Selat Sunda perlu dilakukan.
1.2 Tujuan 1) Mengkaji pembentukan daerah penangkapan ikan tongkol di perairan Selat Sunda berdasarkan karakteristik parameter oseanografi daerah penangkapan ikan tersebut; dan 2) Mengetahui
hubungan
antara
parameter-parameter
oseanografi
daerah
penangkapan ikan tongkol dengan hasil tangkapan ikan tongkol.
1.3 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi tambahan bagi pihak peneliti mengenai faktor oseanografi yang mempengaruhi daerah penangkapan ikan tongkol di perairan Selat Sunda.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penangkapan Ikan Menurut Simbolon et al. (2009), daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan dimana alat tangkap (fishing gear) dapat dioperasikan secara sempurna untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang ada di dalamnya. Sedangkan menurut Alfian (2005), daerah penangkapan ikan adalah suatu daerah dimana daerah tersebut sesuai dengan habitat yang dikehendaki oleh ikan, dimana kondisinya dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik (seperti: suhu, arus, gelombang, dll), alat tangkap mudah dioperasikan pada daerah tersebut dan daerah tersebut harus ekonomis dan menguntungkan. Gunarso (1985) menyatakan bahwa pola kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari adanya berbagai kondisi lingkungan.
Fluktuasi keadaan lingkungan
mempunyai pengaruh besar terhadap periode, migrasi musiman serta terdapatnya ikan. Keadaan perairan serta perubahannya juga mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan ikan.
Faktor biotik, yaitu faktor flora dan fauna lainnya juga
mempengaruhi penyebaran dan tingkah laku ikan serta berbagai hewan lain yang hidup di laut, menimbulkan kompetisi untuk mencari makan, karena kehidupan serta banyaknya makanan ikan itu sendiri pun ditentukan oleh faktor lingkungan.
2.2 Ikan Tongkol 2.2.1 Taksonomi dan identifikasi ikan tongkol Taksonomi ikan tongkol menurut (Saanin, 1984) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub Phylum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Telestoi
Ordo
: Percomorphi
Sub Ordo
: Scombroidea
Family
: Scomberidae
Genus
: Euthynnus
Spesies
: Euthynnus affinis
Paryadi (1998), membagi ikan tuna berdasarkan ukuran besarnya menjadi atas tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar pada umumnya mempunyai ukuran antara 40-180 cm dengan panjang maksimum 105 cm. Ikan tongkol merupakan spesies yang digolongkan ke dalam tuna kecil bersama-sama dengan ikan cakalang dan ikan abu-abu. Tuna kecil terdiri dari 8 spesies, sedangkan golongan tuna besar sebanyak 6 spesies (Tabel 1). Kecuali Thunnus thynus dan Thunnus atlanticus, semua jenis ikan tuna terdapat di perairan Indonesia, hal ini dikarenakan jenis ikan ini umumnya merupakan penghuni jenis perairan tropis. Paryadi (1998), menyatakan bahwa ciri-ciri yang membedakan jenis ikan tongkol dengan tuna lainnya adalah: 1) Bentuk kepala tajam dan mata besar; 2) Badan padat berisi pada dada yang lonjong secara bertahap; 3) Terdapat keel atau penyangga yang kuat pada pertemuan badan dan ekor; dan 4) Adanya garis-garis hitam yang melengkung pada bagian pungung, mulai dari batas bawah bagian tengah sirip punggung pertama. Tabel 1 Jenis-jenis ikan tuna Jenis Ikan Nama Inggris Madidihang Yellowfin Tuna Tuna mata besar Bigeye Tuna Albacora Albacora Tuna sirip biru selatan Southern Bluefin Tuna Tuna sirip biru utara Atlantic Bluefin Tuna Tuna sirip hitam Blackfin Tuna Cakalang Skipjack Tuna Tongkol Eastern Litle Tuna Tongkol Black Skipjack Tongkol Little Tuna Tongkol Black Skipjack Tongkol kecil Frigate Tuna Tongkol kecil Bullet Tuna Abu-abu Longtain Tuna Sumber: Ismajaya, 2006
Nama Ilmiah Thunnus albacares T. obesus T. alalunga T. maccoyi T. thynnus T. atlanticus Katsuwonus pelamis Eusthynnus affinis E. lineatus E. alletteratus E. pelamis Auxis thazard A. rochei Thunnus tonggol
Ciri-ciri morfologis ikan tongkol (eastern little tuna) spesies Euthynnus affinis (Gambar 1) adalah badan memanjang seperti cerutu atau torpedo dan termasuk tuna kecil. Gigi kecil-kecil dan berbentuk segitiga berjumlah 25-35, pada rahang bawah terdapat gigi palatine. Tapis insang pada busur insang pertama dari jenis tongkol ini berjumlah 29-34. Tongkol ini tidak bersisik, kecuali pada korselet dan garis rusuk. Spesies ini dicirikan dengan terdapatnya lunas kuat pada batang ekor diapit dua lunas kecil pada ujung belakangnya dan memilki dua sirip punggung yang dipisahkan oleh sela yang sempit. Sirip punggung pertama tongkol ini berjari-jari keras 15, sedangkan sirip punggung kedua berjari-jari lemah 13, sirip punggung kedua diikuti oleh 8-10 finlet. Selain itu, ikan ini memiliki sirip anal berjari-jari lemah, serta 6-8 jari-jari sirip tambahan serta terdapat dua lidah atau cuping (interpelvic process) diantara sirip perutnya.
Tidak mempunyai
gelembung renang. Ukuran tubuh tongkol ini dapat mencapai panjang 100 cm, umumnya berukuran panjang 50-60 cm dengan warna tubuh bagian atas biru kehitaman, putih dan perak di bagian bawah. Ciri lain dari tongkol ini adalah terdapatnya ban-ban serong menggelembung berwarna hitam di atas garis rusuk serta noktah-noktah hitam terdapat diantara sirip dada dan perut (Ismajaya, 2006).
Sumber: Randall, 1997
Gambar 1 Ikan tongkol (Euthynnus affinis).
2.2.2 Tingkah laku dan sifat ekologi ikan tongkol Ikan tongkol adalah ikan pelagis, membentuk gerombolan, perenang cepat, dan pemakan daging (carnivor).
Sifat bergerombol ikan tongkol disebabkan
karena pada kulit ikan terdapat suatu zat yang dapat menimbulkan rangsangan dan rangsangan tersebut dapat dirasakan oleh ikan-ikan dari jenis ikan yang sama maupun yang berbeda (Paryadi, 1998). Terlihat dalam setiap gerombolan ikan adanya kecenderungan pengelompokkan menurut ukuran yang sama daripada menurut jenisnya. Ikan tongkol dan tuna biasanya membentuk schooling pada waktu ikan tersebut dalam keadaan aktif mencari makan. Bila tidak tersedia makanan, ikan tongkol memiliki kecepatan renang antara 80 cm/detik sampai 83 cm/detik. Tetapi pada keadaan tersedia makanan ikan tongkol akan lebih aktif dengan kecepatan renang sekitar 93 cm/detik sampai 108 cm/detik (Gunarso, 1985). Menurut Laevastu dan Hela (1970) faktor oseanografi yang mempengaruhi pola distribusi ikan jenis tuna dan tongkol adalah suhu, arus dan salinitas. Ikan tongkol juga melakukan migrasi untuk tiga alasan utama, yaitu: 1) Untuk mencari makan; 2) Mencari tempat memijah; dan 3) Mencari kondisi lingkungan yang sesuai dengan tubuh (suhu, arus, salinitas). Beberapa sifat dan kebiasaan hidup ikan tongkol dikemukakan Ismajaya (2006) sebagai berikut: 1) Terdapat di daerah tropis yang berkadar salinitas tinggi; 2) Bergerak dalam gerombolan besar di lautan bebas dan dapat beruaya dengan jarak sangat jauh; 3) Ruaya ikan tongkol kadang-kadang berhenti untuk beberapa saat di dekat pulau-pulau kecil untuk mencari makan; dan 4) Tongkol umumnya adalah karnivor yang rakus. Ikan tongkol sangat sensitif terhadap perubahan suhu maupun salinitas karena dapat mempengaruhi rangsangan saraf, perubahan proses metabolisme dan perubahan aktivitas tubuhnya.
Dikatakan bahwa ikan dapat mendeteksi
perubahan suhu sampai sebesar 0,03oC dan salinitas sebesar 0,02 permil (Ismajaya, 2006).
Umumnya ikan tongkol menyenangi perairan panas dan hidup di lapisan permukaan sampai kedalaman 40 meter dengan kisaran suhu optimum antara 2028oC (Paryadi, 1998). Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Ismajaya (2006) bahwa pada dasarnya ikan tongkol lebih banyak terdapat di lapisan permukaan dan ikan tuna yang berukuran lebih kecil cenderung berada pada lapisan yang lebih atas atau permukaan. Penyebaran tuna dan tongkol sering mengikuti sirkulasi arus, kepadatan populasinya pada suatu perairan sangat berhubungan dengan arah arus tersebut. Umumnya jenis-jenis tuna mempunyai penyebaran di sepanjang poros arus dalam kelimpahan yang lebih besar daripada di perairan perbatasan (Setiawan, 1999).
2.2.3 Penyebaran dan kelimpahan ikan tongkol Penyebaran ikan tongkol di Indonesia sangat luas.
Hampir tersebar di
seluruh perairan Nusantara, baik di sekitar pantai maupun lepas pantai. Hidupnya membentuk gerombolan-gerombolan yang besar (fish shoaling), jarang yang hidup sendiri-sendiri.
Spesies ini berpopulasi di perairan pantai dan dapat
ditemukan di perairan tropis dan subtropis. Ikan ini banyak dijumpai di Lautan Hindia dan juga sepanjang negara-negara pantai dari Afrika Selatan sampai Indonesia.
Selanjutnya, juga dijumpai di sekitar pulau-pulau Madagaskar,
Reunion, Mauritius, Seychelles dan Srilanka.
Spesies ini juga terdapat di
sepanjang pantai Australia Barat. Larva dan juvenil pada umumnya tertangkap di dekat pantai, tapi kadang-kadang di tempat yang jauh dari pantai (Paryadi, 1998). Beberapa petunjuk untuk menentukan daerah penyebaran jenis tuna dan tongkol (Setiawan, 1999), yaitu: 1) Tempat-tempat pertemuan arus dari perairan sempit (dangkal) dengan laut dalam, daerah karang dan tebing. Tempat-tempat yang terdapat arus yang mengalir dengan cepat di tempat yang terdapat rintangan (karang, tebing, pulau); 2) Tempat terjadinya konvergensi dan divergensi antara arus yang berdekatan; dan 3) Daerah arus Eddy dari arus balik equator (Equatorial counter current).
Daerah penyebaran ikan tongkol tersebar di seluruh perairan wilayah Indonesia, seperti tercantum dalam Tabel 2. Tabel 2 Daerah penyebaran ikan tongkol di Indonesia Daerah Perairan Penyebaran Daerah Penangkapan Utama Sumatera Seluruh Sekitar perairan Aceh Utara perairan Di perairan Sumatera Utara, Selatan Malaka dan Selatan Bintan Di perairan Sumatera Utara bagian barat, Sumatera Barat, Bengkulu dan Lampung Jawa dan Seluruh Selat Sunda bagian barat sampai Selatan Jawa Nusa perairan Perairan Selatan Cilacap, Jawa Timur dan Bali Tenggara Perairan Flores Timur dan Timor sebelah barat Kalimantan Seluruh Di luar perairan pantai Kalimantan Barat dan dan perairan sebagian Kalimantan Tengah Sulawesi Hampir semua perairan Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Timur Sekitar Teluk Palu dan pantai barat Sulawesi Selatan bagian Selatan, sebelah Timur Kendari, Teluk Tomini sampai perairan Sulawesi Utara bagian selatan dan timur Maluku dan Seluruh Sebagian pantai barat Halmahera dan Seram Irian Jaya perairan Sekitar perairan Sorong Sumber: Girsang, 2008
2.2.4 Musim dan daerah penangkapan ikan tongkol Berdasarkan daerah penangkapan dan besarnya, ikan tongkol termasuk ke dalam golongan ikan besar yang hidupnya di permukaan laut.
Musim
penangkapan ikan tongkol di Laut Jawa terjadi pada bulan Oktober sampai bulan Februari yaitu pada musim hujan. Bulan-bulan ini terdapat populasi yang besar dari ikan teri (Stolephorus sp), ikan yang disenangi ikan tongkol sebagai makanannya (Paryadi, 1998). Musim tongkol berbeda-beda untuk tempat yang berlainan, walaupun spesiesnya sama. Musim penangkapan di perairan utara dan timur Aceh banyak terjadi pada bulan April, Agustus, Desember, dan puncaknya terjadi pada bulan Juni, sedangkan penangkapan berkurang pada bulan Juli, Oktober, November dan Januari. Musim penangkapan tongkol di perairan Labuan Banten, terjadi pada bulan Juli-September. Musim penangkapan tongkol di perairan Brondong, Jawa
Timur, terjadi pada bulan Januari-Maret dan Oktober, puncak musim terjadi pada bulan Januari sedangkan pada bulan April-September dan November-Desember hasil tangkapan tongkol relatif sedikit. Musim penangkapan tongkol di perairan Utara Jawa terjadi pada bulan September-Desember dengan puncak hasil tangkapan terbesar terjadi pada bulan September (Setiawan, 1999).
2.3 Kondisi Umum Perairan Selat Sunda Perairan Selat Sunda, yaitu selat yang menghubungkan dua laut yaitu Laut Jawa di bagian utara dan Samudera Hindia di bagian selatan, dan berada di atas Paparan Sunda pada posisi 5° 25’ LS - 6° 50’ LS dan 104° 20’ BT - 106° 5’ BT. Selat Sunda yang terletak di bagian utara perairannya cukup dangkal dengan kedalaman 20-70 m, sedangkan di bagian selatan sangat dalam hingga mencapai >1500 m.
Selat Sunda bagian selatan merupakan lembah yang dalam yang
membentang dari Samudera Hindia ke Teluk Semangka dan Teluk Lampung yang berada di bagian barat.
Poros Selat Sunda dari timur laut ke barat daya
merupakan aliran utama massa air dari Laut Jawa ke Samudera Hindia, tergantung musim yang berlaku. Faktor lokal, seperti topografi dasar, konfigurasi pantai dan arah angin bisa juga memiliki kontribusi terhadap karakteristik oseanografi Selat Sunda (Supangat, 2004). Perairan Selat Sunda memiliki beberapa pulau seperti Sebesi, Sebuku, Sangiang, Sertung, Rakata dan lain-lain. Kondisi dasar perairan bagian timur pada umumnya terdiri dari substrat pasir berlumpur dengan kedalaman perairan yang relatif dangkal dengan kedalaman maksimum sekitar 50 meter. Bagian timur laut yang berbatasan dengan Laut Jawa memiliki kedalaman perairan sekitar 50-60 meter, dasar perairan yang mirip dengan di bagian timur yaitu pasir berlumpur. Di bagian barat daya perairan ini berbatasan dengan Samudera Hindia yang merupakan perairan terbuka dengan kedalaman laut mencapai 1575 meter (Birowo, 1983). Selanjutnya daerah dasar laut yang berbatasan dengan Samudera Hindia terdapat suatu isodepth dengan kedalaman 200 meter yang melintang dari utara ke selatan mulai dari luar Pulau Legundi sampai dengan bagian Barat Pulau Panaitan. Sekitar 10-20 mil ke arah barat isodepth 200 meter, terdapat juga isodepth 1000 meter yang membentang dari arah Barat Laut ke Tenggara. Bagian
tengah isodepth ini terdapat penaikkan dasar laut sekitar 950 meter (Syamsuddin, 1998). Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang unik, karena setiap saat kondisinya dipengaruhi oleh karakteristik oseanik Samudera Hindia dan sifat perairan dangkal Laut Jawa.
Kedalaman perairan Selat Sunda dapat dibagi
menjadi tiga kategori umum, yaitu: (1) perairan oseanik (oseanic waters); (2) wilayah tengah selat dan (3) perairan dengan karakteristik laut dangkal (coastal water) (Syamsuddin, 1998). Kondisi alam tersebut memberikan peluang terhadap berbagai jenis usaha perikanan yang dapat dilakukan.
Perbedaan kedalaman
dengan sifat alamnya akan memberikan akan memberikan karakteristik jenis ikan yang hidup di dalamnya, selanjutnya mengarah kepada ragam jenis kapal dan alat tangkap yang dipergunakan. Arus pantai yang terjadi di kedalaman laut, kurang dari 200 meter adalah lebih merupakan akibat angin dan arus pasang surut yang rata-rata memiliki pola relatif lemah (Effendy, 2005). Pergerakan massa air Selat Sunda merupakan kombinasi antara arus pasang surut dan arus musiman. Sepanjang tahun arah aliran arus menuju barat daya, tetapi pada bulan November arahnya berubah menjadi timur (Effendy, 2005). Syamsuddin (1998) menyatakan bahwa dalam waktu tertentu arus bergerak sangat kuat, tetapi ternyata sirkulasi air antara Laut Jawa dan Samudera Hindia lemah, kecepatan arus bervariasi antara 0,2-0,7 m/detik, dimana kecepatan maksimum terjadi pada bulan Desember dan Agustus ketika angin muson paling kuat dan kecepatan arus kembali melemah pada musim peralihan. Syamsuddin (1998), menyatakan bahwa di perairan Selat Sunda pada kedalaman 25 m, kecepatan arus yang terjadi adalah sebagai berikut: 1) Musim timur, massa air dengan kecepatan rata-rata 51 cm per detik di mulut bagian utara memasuki Selat Sunda. Sedangkan di pantai Barat Jawa Barat kecepatan rata-rata 75 cm per detik mengarah ke barat daya selanjutnya semakin meningkat di bagian tengah selat menjadi rata-rata 122 cm per detik; 2) Musim peralihan, massa air yang datang dari Laut Jawa menjadi lebih rendah pada kisaran kecepatan 16-31 cm per detik dengan kecenderungan mengarah ke selatan dibandingan musim timur. Di perairan sebelah barat selat arus lebih cepat pada kisaran 123-154 cm per detik menuju ke tenggara dengan
arah yang hampir sama di pantai barat Jawa Barat, kecepatan berkisar antara 46-73 cm per detik; dan 3) Musim barat, massa air dari Laut Jawa kecepatan rata-rata 51 cm per detik sama dengan periode musim timur dengan kecenderungan mengarah ke selatan. Kecepatan tertinggi di bagian tengah selat dekat dengan pantai barat Jawa Barat mengarah ke barat, kecepatan rata-rata 98 cm per detik.
2.4 Parameter Oseanografi 2.4.1 Suhu permukaan laut Suhu adalah besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima oleh sinar matahari (Almuthahar, 2005). Air mempunyai sifat spesifik bahang yang baik, artinya bertambah atau berkurangnya panas terjadi secara perlahan-lahan.
Permukaan laut dapat
mengabsorbsi sejumlah besar energi matahari yang masuk ke dalamnya. Ketika evaporasi, permukaan laut menjadi panas. Saat dipanaskan, air hangat tetap di permukaan sedangkan air yang dingin tenggelam atau berada di lapisan bawah. Energi yang sampai di permukaan bumi bervariasi menurut musim, lintang dan topografi (Ingmanson dan Wallace, 1973 yang dikutip oleh Almuthahar, 2005). Suhu permukaan air banyak mendapat perhatian dalam kajian kelautan karena data suhu ini dapat dimanfaatkan untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam laut seperti keberadaan thermal front, upwelling, ataupun dalam kaitannya dengan kehidupan hewan dan tumbuhan (Nontji, 2007).
Laevastu dan Hela,
1970, menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi suhu permukaan laut (SPL) adalah kondisi meteorologi, arus permukaan, ombak, upwelling, divergensi, konvergensi, dan perubahan bentuk es di daerah kutub. Faktor-faktor meteorologi yang mempunyai peranan dalam hal ini adalah curah hujan, penguapan, kelembapan udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas matahari. Dengan demikian suhu permukaan laut biasanya mengikuti pola musiman. Secara alami, lapisan air di permukaan akan lebih hangat karena menerima radiasi matahari pada siang hari. Lapisan ini memilki ketebalan tertentu sebelum
mencapai lapisan yang lebih dingin di bawahnya.
Suhu air di lapisan ini
dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari. Oleh karena itu suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman. Sebagai contoh pada musim pancaroba angin biasanya lemah dan laut sangat tenang sehingga proses pemanasan di permukaan dapat terjadi dengan lebih efektif. Akibatnya suhu lapisan permukaan mencapai maksimum pada musim pancaroba (Nontji, 2007). Suhu di permukaan laut secara umum menggambarkan distribusi suplai bahang yang berasal dari matahari. Jumlah bahang yang diterima dari matahari adalah terbesar di garis khatulistiwa dan menurun menuju kutub (King, 1966). Suhu perairan bervariasi baik secara horizontal maupun vertikal.
Secara
horizontal suhu bervariasi sesuai dengan garis lintang dan secara vertikal sesuai dengan kedalaman.
Variasi suhu secara vertikal di perairan Indonesia pada
umunya dapat dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan homogen (mixed layer) di bagian atas, lapisan termoklin di bagian tengah, dan lapisan dingin di bagian bawah. Lapisan homogen berkisar sampai kedalaman 50-70 meter, pada lapisan ini terjadi pengadukan air yang mengakibatkan suhu lapisan ini menjadi homogen (sekitar 28 oC), lapisan termoklin merupakan lapisan dimana suhu menurun cepat terhadap kedalaman, terdapat pada kedalaman 100-200 meter. Lapisan dingin biasanya kurang dari 5 oC, terdapat pada kedalaman lebih dari 200 meter (Nontji, 2007). Suhu air laut berkisar antara -2-30 oC, dimana nilai terendah disebabkan karena adanya formasi es dan nilai tertinggi disebabkan oleh proses radiasi dan perubahan atau pergantian bahang dengan atmosfir. Sedangkan di daerah tropis suhu permukaan laut berkisar antara 27o-29o C dan 15o-20o C di daerah subtropis. Suhu ini menurun secara teratur sesuai dengan kedalaman (Ingmanson dan Wallace, 1973). Perubahan suhu bisa menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi air yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap distribusi organisme perairan.
Suhu optimum berbagai jenis hewan air berbeda-beda
tergantung spesies, daerah tempat hidup yang dipengaruhi oleh faktor fisika, kimia dan biologi. Hampir semua populasi ikan di laut mempunyai suhu optimum
untuk kehidupannya. Jika suhu optimum dari suatu spesies ikan diketahui, maka kita akan dapat menduga keberadaan suatu kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan perikanan (Laevastu & Hela, 1970).
Amri, 2002
menyatakan bahwa tongkol tergolong ikan epipelagik dengan kisaran temperatur yang disenangi antara 18,0-29,0 °C.
Penyebaran ikan tongkol cenderung
membentuk kumpulan multispesies menurut ukurannya, misalnya kumpulan Thunnus albacares, Katsuwonus pelamis, Auxis sp dan Megalopsis cardyla (Carangidae)
2.4.2 Klorofil-a dan produktivitas primer perairan Klorofil-a adalah pigmen yang mampu melakukan fotosintesis dan terdapat di seluruh organisme fitoplankton (Barnes & Huges, 1988). Klorofil-a mampu mengubah sinar matahari menjadi energi kimiawi sehingga fotosintesis menghasilkan bahan organik. Sedangkan pigmen pelengkap, meskipun mampu menangkap sinar surya, namun energi tersebut harus ditransfer terlebih dahulu ke klorofil-a, dan barulah energi tersebut dirubah oleh klorofil-a menjadi energi kimiawi sehingga berguna bagi fotosintesis (Almuthahar, 2005). Fitoplankton bisa ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan laut sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis. Zona ini dikenal sebagai zona eufotik, kedalamannya bervariasi dari beberapa puluh sentimeter pada air yang keruh hingga lebih dari 150 meter pada air yang jernih. Fitoplankton yang subur umumnya terdapat di perairan sekitar muara sungai atau di perairan lepas pantai dimana terjadi upwelling. Kedua lokasi tersebut terjadi proses penyuburan karena masuknya zat hara ke dalam lingkungan tersebut.
Di depan muara sungai banyak terdapat
konsentrasi zat hara yang berasal dari daratan dan dialirkan oleh sungai ke laut, sedangkan di daerah upwelling zat hara yang kaya akan nutrien terangkat dari lapisan bawah air ke arah permukaan. Jumlah plankton yang melimpah pada kedua daerah tersebut memberikan daya dukung yang tinggi terhadap ekosistem sekitarnya untuk tumbuh. Dampak selanjutnya dapat terlihat dari melimpahnya komposisi ikan yang ada di daerah tersebut (Nontji, 2007).
Klorofil-a berkaitan erat dengan produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil.
Kadar klorofil-a sering digunakan sebagai indikator
produktivitas primer suatu perairan yang dinyatakan dalam jumlah gram karbon (C) yang terikat per satuan luas atau volume air laut per interval waktu (gC/m2/tahun).
Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen
klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis, dimana air dan karbondioksida dengan adanya sinar matahari dan garam-garam hara terlarut dapat menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat. Karena kemampuan untuk menghasilkan zat organik dari zat anorganik ini maka fitoplankton disebut sebagai produsen primer (Nontji, 2007). Pigmen yang umum didapat adalah klorofil a, b dan c. Namun yang paling dominan adalah klorofil-a. Salah satu fungsi klorofil adalah untuk menyerap energi elektromagnetik (cahaya) yang datang untuk digunakan dalam proses fotosintesa (Gaol, 2003). Proses reaksi fotosintesis dapat disingkat seperti berikut ini: 12H2O + 6CO2 + cahaya → C6H12O6 (glukosa) + 6O2 + 6H2O
2.4.3 Arus Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, atau karena perbedaan densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan gelombang panjang seperti arus pasang surut (Nontji, 2007). Kondisi arus permukaan di perairan Indonesia dipengaruhi oleh angin. Angin yang paling utama berhembus di perairan Indonesia adalah angin muson (monsoon) yang dalam setahun terjadi dua pembalikan arah yang disebut angin musim barat dan angin musim timur (Nontji, 2007).
Keadaaan ini akan
menyebabkan terjadinya arus musim permukaan sesuai dengan terjadinya angin musim yaitu arus musim barat dan timur, serta arus musim peralihan diantara keduanya. Hal ini sesuai dengan pembagian iklim musim di Indonesia oleh, yaitu: 1) Musim timur (Juni-Agustus); 2) Musim barat (Desember-Februari); dan 3) Musim peralihan (Maret-Mei dan September-November).
Saat Musim barat (Desember-Februari), pada umumnya angin bertiup sangat kencang dan curah hujan tinggi. Ketika musim pancaroba awal tahun (April-Mei) sisa arus dari musim barat mulai melemah dan bahkan mulai berbalik arah hingga di beberapa tempat terjadi arus pusaran (eddies). Bulan Juni-Agustus barulah berkembang arus musim timur dan arah arus sepenuhnya berbalik arah menuju ke barat yang akhirnya menuju Laut Cina Selatan. Ketika musim pancaroba akhir tahun, sekitar Oktober-November, pola arus berubah lagi, arah arus sering tak menentu, arah arus ke barat mengendur dan arus ke timur mulai menyerbu (Wyrtki, 1961). Arus sangat mempengaruhi penyebaran ikan, Almuthahar (2005) menyatakan bahwa penyebaran ikan oleh arus diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan pelagis dari spawning ground (daerah pemijahan) ke nursery ground (daerah pembesaran) dan ke feeding ground (tempat mencari makan); 2) Migrasi ikan-ikan dewasa dapat disebabkan oleh arus, sebagai alat orientasi ikan dan sebagai bentuk rute alami; 3) Tingkah laku diurnal ikan dapat disebabkan oleh arus, khususnya arus pasut; dan 4) Arus, khususnya secara langsung dapat mempengaruhi distribusi ikan-ikan dewasa dan secara tidak langsung mempengaruhi pengelompokkan makanan, atau faktor lain yang membatasinya (suhu).
2.5 Anomali Tinggi Permukaan Laut Anomali tinggi permukaan laut (ATPL) digunakan untuk mengetahui topografi permukaan laut, dimana nilainya dapat berupa nilai positif atau negatif. Nilai ATPL yang negatif menunjukkan bahwa permukaan air pada daerah tersebut turun. Permukaan air yang turun ini menyebabkan massa air dibawahnya akan naik mengisi kekosongan tersebut dan menyebabkan upwelling.
Begitu pula
dengan ATPL yang bernilai positif, hal ini berarti pada daerah tersebut mengalami downwelling, dimana massa air yang permukaannya yang lebih tinggi akan turun dan terdorong ke bawah (Ayuningtyas, 2007).
Menurut Gaol dan Nurjaya (2004) daerah pertemuan TPL negatif dan positif diduga sebagai lokasi front.
Lokasi ini diduga potensial sebagai daerah
penangkapan TMB (Tuna Mata Besar). Ilustrasi terjadinya front pada pertemuan TPL negatif dan positif ditunjukkan pada Gambar 2 berikut.
Sumber: Gaol dan Nurjaya, 2004
Gambar 2 Ilustrasi terjadinya front.
2.6 Upwelling Umbalan air atau upwelling adalah gerakan naiknya air dari lapisan yang lebih dalam yang membawa serta air yang suhunya dingin, salinitas tinggi dan yang tak kalah pentingnya unsur-unsur hara yang kaya fosfat dan nitrat ke permukaan.
Oleh karena itu daerah-daerah air naik selalu disertai dengan
produktivitas plankton yang tinggi (Nontji, 2007). Lokasi upwelling merupakan daerah yang subur dan ideal bagi ikan-ikan pelagis kecil untuk memperoleh makan, yang pada gilirannya akan dimangsa oleh ikan-ikan yang berukuran besar. Hubungan yang saling berkesinambungan ini menjadikan lokasi upwelling sebagai area yang sangat ideal untuk menangkap ikan (fishing ground). Meskipun daerah upwelling diakui sebagai tempat yang ideal untuk penangkapan ikan, namun daerah ini juga menjadi tempat pemijahan
ikan yang potensial untuk mendukung proses perekrutan ikan tembang, japuh, lemuru (Clupeidae), serta puri atau teri dari kelompok Engraulidae. Proses upwelling akan sangat berguna bagi perekrutan ikan apabila kecepatan angin tidak melebihi 5-6 meter per detik (Nontji, 2007). Menurut Nontji (2007) air naik (upwelling) dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yakni: 1) Jenis tetap (stationary type) yang terjadi sepanjang tahun meskipun intensitasnya bisa berubah-ubah.
Di sini akan berlangsung gerakan naik
massa air dari lapisan bawah secara mantap dan setelah mencapai permukaan, massa air terus bergerak horizontal ke luar. Contohnya adalah upwelling yang terjadi di lepas pantai Peru; 2) Jenis berkala (periodic type) yang terjadi hanya selama selama satu musim saja. Selama air naik, massa air lapisan permukaan meninggalkan lokasi air naik, dan massa air yang lebih berat dari lapisan bawah bergerak ke atas mencapai permukaan. Contoh jenis ini adalah air naik di selatan Jawa; 3) Jenis silih berganti (alternating type) yang terjadi secara bergantian dengan penenggelaman massa air (sinking).
Air ringan di lapisan permukaan
bergerak ke luar dari lokasi terjadinya air naik dan air lebih berat dari lapisan bawah bergerak ke atas terjadi dalam satu musim, sedangkan dalam musim lain air permukaan bertumpuk di lapisan atas yang kemudian tenggelam. Contoh jenis ini adalah air naik dan tenggelam di Laut Banda dan Laut Arafuru. Umbalan air di perairan Indonesia dijumpai di Laut Banda, Laut Arafuru, selatan Jawa, Selat Makassar, Selat Bali dan diduga terjadi di Maluku dan di Laut Flores dan Teluk Bone. Umbalan air di perairan Indonesia dan sekitarnya ada yang berskala besar seperti di selatan Jawa dan ada yang berskala kecil seperti di Selat Makassar dan Selat Bali (Almuthahar, 2005).
2.7 Front Front adalah daerah pertemuan dua massa air yang mempunyai karakteristik berbeda, misalnya pertemuan antara massa air dari Laut Jawa yang agak panas dengan massa air Samudera Hindia yang lebih dingin. Front merupakan salah
satu kriteria dalam menentukan daerah penangkapan ikan yang potensial. Daerah yang memiliki massa air dingin dibandingkan dengan massa air sekelilingnya mempunyai perbedaan suhu mencapai 1-2 °C, maka daerah dengan massa air berbeda ini disebut front (Adnan, 2008). Adnan (2008) menyatakan bahwa front penting dalam hal produktivitas perairan laut karena cenderung membawa massa air yang dingin dan kaya akan nutrien dibandingkan dengan perairan yang lebih hangat tetapi miskin zat hara. Kombinasi dari suhu dan peningkatan kandungan hara yang timbul dari pencampuran ini akan meningkatkan produktivitas plankton. Hal ini akan ditunjukkan dengan meningkatnya stok ikan di daerah tersebut. Selain itu front atau pertemuan dua massa air merupakan penghalang bagi migrasi ikan, karena pergerakan air yang cepat dan perbedaan suhu yang tinggi.
2.8 Aplikasi Penginderaan Jauh Kelautan Aplikasi atau penerapan penginderaan jauh (inderaja) untuk kelautan dan wilayah pesisir dapat dibedakan menjadi 3 yaitu (Susilo & Gaol, 2008): 1) Aplikasinya untuk oseanografi fisika; 2) Aplikasinya untuk sumberdaya alam laut dan wilayah pesisir; dan 3) Aplikasinya untuk pengamatan dan perlindungan wilayah pesisir. Kaitannnya dengan hal itu menjadikan inderaja digunakan untuk perubahan garis pantai, dinamika pantai, monitoring pencemaran pantai, kondisi mangrove dan ekosistem pesisir lainnya akan menjadi perhatian inderaja kelautan. Pendek kata inderaja kelautan tidak hanya mendeteksi parameter-parameter yang ada di wilayah pesisir.
Beberapa parameter penting yang dapat dideteksi dengan
inderaja kelautan dapat dilihat pada Tabel 3. Berikut ini beberapa contoh penerapan atau analisis teknologi penginderaan jauh kelautan pada berbagai tujuan pengamatan dan analisis di laut dan wilayah pesisir (Susilo & Gaol, 2008): 1) Deteksi daerah penangkapan ikan potensial; 2) Kelayakan lokasi untuk pengembangan, misalnya pariwisata dan budidaya perikanan; 3) Pemetaan daerah ekosistem sensitif;
4) Pemetaan daerah rawan bencanan tsunami; dan 5) Monitoring arah dan kecepatan topan di laut.
Tabel 3 Parameter kelautan yang dapat dideteksi/dipelajari dengan inderaja Parameter dan Turunannya Suhu permukaan laut: - front - upwelling - radiation/heat budget - arus - daerah penangkapan ikan - cuaca/iklim - dinamika karbon di laut - pencemaran minyak - pencemaran panas Batimetri (kedalaman air) Warna air laut: - klorofil (fitoplankton) - produktivitas primer - produktivitas ikan - kondisi terumbu karang - dinamika karbon di laut - pencemaran minyak - pencemaran bahan sedimen - kondisi terumbu karang Arus laut Salinitas Geoid Pasang surut Gumpalan es di kutub Kekasaran permukaan laut (sea state): - angin permukaan - gerombolan ikan pelagis Gelombang laut Tinggi permukaan laut (topografi laut) Vegetasi pantai: mangrove, lamun Garis pantai
Daerah Spektral Inframerah dan gelombang mikro
Sinar tampak Sinar tampak
Gelombang mikro Gelombang mikro Gelombang mikro Gelombang mikro dan infra merah Sinar tampak dan gelombang mikro Gelombang mikro
Gelombang mikro Gelombang mikro Sinar tampak dan infra merah Sinar tampak dan infra merah
Sumber: Susilo dan Gaol, 2008
Teknologi penginderaan jauh pada dasarnya meliputi tiga bagian utama yaitu: perolehan data, pemrosesan data dan interpretasi data.
Wahana yang
dipergunakan adalah pesawat udara atau satelit bantuan yang telah dilengkapi dengan peralatan perekam data (sensor).
Komponen dasar dari sistem
penginderaan jauh antara lain: (1) gelombang elektromagnetik sebagai sumber radiasi (sumber energi) yang digunakan; (2) atmosfer sebagai media lintasan dari gelombang elektromagnetik; (3) sensor sebagai alat yang mendeteksi gelombang elektromagnetik; (4) objek. Komponen tersebut disajikan secara skematik pada Gambar 3.
Sumber: Simbolon et al. (2009)
Gambar 3 Sistem penginderaan jauh satelit.
Untuk sampai pada hasil analisis berbagai tujuan di atas, data citra harus melalui proses analisis citra. Citra adalah data digital dan untuk mengolah data digital diperlukan perangkat komputer. Beberapa perangkat lunak pengolahan citra dan sistem informasi geografis sering menjadi kesatuan, walaupun ada beberapa perangkat lunak yang terpisah antara pengolahan citra dan sistem informasi geografis. Berikut ini beberapa contoh perangkat lunak yang sering digunakan (Susilo & Gaol, 2008): 1) Idrisi; 2) Erdas imagine; 3) Ermapper; 4) Arcview dan ArcGis; 5) SeaDAS; dan 6) Global Mapper.
2.8.1 Satelit aqua MODIS Satelit Aqua, yang dalam bahasa Latin berarti air merupakan suatu satelit ilmu pengetahuan tentang bumi kepunyaan NASA (National Aeronautics and Space Administration), yang memiliki misi untuk mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi, termasuk penguapan dari samudera, uap air di atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban tanah, es yang ada di darat, serta salju yang menutupi daratan. Variabel yang diukur oleh Aqua antara lain aerosol, tumbuhan yang menutupi daratan, fitoplankton dan bahan organik terlarut di lautan, serta suhu udara, daratan dan air (Graham, 2005).
Satelit Aqua membawa sensor
MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) yang mempunyai 36 kanal spektral dengan kisaran panjang gelombang antara 0.4 μm sampai 14,4 μm. Instrumen MODIS telah didesain dan dikembangkan sejak proyek Engineering Model (EM) selesai dilaksanakan pada pertengahan 1995 kemudian dua unit pesawat luar angkasa, Protoflight Model (PFM) (membawa satelit Terra) dan Flight Model (FM) 1 (membawa satelit Aqua) telah selesai dan diluncurkan. Sensor MODIS pertama kali diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 dibawa oleh satelit Terra yang spesifikasinya lebih ke daratan. Tanggal 4 Mei 2002 diluncurkan MODIS yang dibawa oleh satelit Aqua dan spesifikasinya ke lautan (Maccherone, 2005). Satelit Aqua MODIS mempunyai orbit polar sun-synchronus, yang artinya satelit akan melewati tempat-tempat yang terletak pada lintang yang sama dan dalam waktu lokal yang sama pula. Satelit melintasi equator pada siang hari mendekati pukul 13.30 waktu lokal. Satelit mengelilingi bumi setiap satu sampai dua hari dengan arah lintasan dari kutub selatan menuju kutub utara (ascending node) pada ketinggian 705 km (Maccherone, 2005). Spesifikasi dari satelit Aqua MODIS dan kanal-kanal pengamat satelit bumi dijabarkan dari Tabel 4 dan 5.
Tabel 4 Spesifikasi teknis dari satelit Aqua Spesifikasi Orbit
Luas Liputan
Keterangan 705 km, 1:30 p.m, ascending node (Aqua), sun-synchronous, near-polar, sirkular 2330 km (cross track) dengan lintang 10 derajat lintasan pada nadir
Tabel 4 Lanjutan Spesifikasi Ukuran Berat Power Kuantisasi Resolusi Spasial
Keterangan 1,0 x 1,6 x 1,0 m 228,7 kg 162,5 W (single orbit average) 12 bit = 4096 250 m (band 1-2) 500 m (band 3-7) 1000 m (band 8-36) Umur 6 tahun
Desain Sumber: Maccherone, 2005
Tabel 5 Kegunaan dan karakteristik kanal-kanal sensor MODIS Primary use Band Bandwidth1 Spectral radiance2 Land/Cloud/Aerosols 1 620 - 670 21.8 Boundaries 2 841 - 876 24.7 Land/Cloud/Aerosols 3 459 - 479 35.3 Properties 4 545 - 565 29.0 5 1230 - 1250 5.4 6 1628 - 1652 7.3 7 2105 - 2155 1.0 Ocean Color/ 8 405 - 420 44.9 Phytoplankton/ 9 438 - 448 41.9 Biogeochemistry 10 483 - 493 32.1 11 526 - 536 27.9 12 546 - 556 21.0 13 662 - 672 9.5 14 673 - 683 8.7 15 743 - 753 10.2 16 862 - 877 6.2 Atmospheric 17 890 - 920 10.0 Water Vapor 18 931 - 941 3.6 19 915 - 965 15.0 Primary use Band Bandwidth1 Spectral radiance2 Surface/Cloud Temperature
Atmospheric Temperature
20 21 22 23 24 25
3.660 - 3.840 3.929 - 3.989 3.929 - 3.989 4.020 - 4.080 4.433 - 4.498 4.482 - 4.549
0.45(300K) 2.38(335K) 0.67(300K) 0.79(300K) 0.17(250K) 0.59(275K)
Required SNR3 128 201 243 228 74 275 110 880 838 802 754 750 910 1087 586 516 167 57 250 Required NE[delta] T(K)4 0.05 2.00 0.07 0.07 0.25 0.25
Tabel 5 Lanjutan Primary use
Cirrus Clouds Water Vapor Cloud Properties Ozone Surface/Cloud Temperature Cloud Top Altitude
Band
Bandwidth1
Spectral radiance2
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
1.360 - 1.390 6.535 - 6.895 7.175 - 7.475 8.400 - 8.700 9.580 - 9.880 10.780 - 11.280 11.770 - 12.270 13.185 - 13.485 13.485 - 13.785 13.785 - 14.085 14.085 - 14.385
6.00 1.16(240K) 2.18(250K) 9.58(300K) 3.69(250K) 9.55(300K) 8.94(300K) 4.52(260K) 3.76(250K) 3.11(240K) 2.08(220K)
Required NE[delta] T(K)4 150(SNR) 0.25 0.25 0.05 0.25 0.05 0.05 0.25 0.25 0.25 0.35
Sumber: Maccherone, 2005
2.8.2 Satelit TOPEX/POSEIDON Satelit TOPEX/POSEIDON diluncurkan pada tanggal 10 Agustus 1992 di Kourou, Perancis. TOPEX/POSEIDON memiliki resolusi temporal 10 hari dan resolusi spasial sepanjang lintasan satelit kira-kira 7 km, jarak antar lintasan dengan lebar bujur sekitar 300 km pada ekuator dan memberikan ketelitian pengukuran mencapai 4-5 cm.
Tujuan utama dari satelit ini adalah untuk
mengamati sirkulasi lautan global dan mengamati perubahan muka air laut ratarata (Mean Sea Level). Fenomena-fenomena lautan yang diperoleh, diantaranya adalah penentuan topografi permukaan laut (TPL), penentuan karakteristik arus dan eddies, studi fenomena El-Nino, dan penentuan kecepatan angin di atas permukaan laut dalam skala waktu musiman dan antar tahunan (NASA, 2006). Satelit TOPEX/POSEIDON, selain dilengkapi dengan altimetri, satelit juga membawa sensor-sensor microwave radiometer, antena GPS, antena DORIS dan Laser Retroreflectors (LRR).
Konfigurasi satelit TOPEX/POSEIDON telah
dilakukan suatu kalibrasi penyempurnaan dalam tingkat keakuratannya. Penyempurnaan yang telah diterapkan pada satelit ini yaitu modul sensor, sistem tracking satelit dan konfigurasi orbit. Sensor utama yang dimiliki radar altimetri oleh satelit ini, beroperasi secara simultan pada dua frekuensi (dual frequency) sehingga dapat mereduksi efek dari bias ionosfer (NASA, 2006).
Teknik satelit altimetri dimungkinkan untuk memantau variasi kedudukan muka laut, dengan tingkat presisi yang tinggi, resolusi spasiotemporal yang tinggi, cakupan lautan yang luas, dan referensinya terikat dengan pusat massa bumi dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengestimasi sea level (NASA, 2006). Karakterisrik dari satelit TOPEX/ POSEIDON ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Karakteristik dari satelit TOPEX/POSEIDON Karakteristik Masa Hidup Periode Ketinggian Inklinasi Revolusi hari Frekuensi Ketelitian
Keterangan 10 Agustus 1992 – kini 120 menit 1334 km 66º 10 hari 5,3 dan 13,6 GHz 4 – 5 cm ( > 2 in.)
Sumber: Daly, 2001
2.9 Aplikasi SeaDAS untuk Remote Sensing Kelautan Sejak pertengahan tahun 2005, anjuran pemakaian perangkat lunak berbasis open source yang tidak perlu lisensi mulai digalakkan secara nasional dimulai dari Kementrian Riset danTeknologi. IGOS (Indonesia, Go Open Source) merupakan upaya nasional dalam rangka memperkuat sistem teknologi informasi nasional serta untuk memanfaatkan teknologi informasi global, melalui pengembangan dan pemanfaatan Software Open Source (SOS). Informasi mengenai IGOS dapat dilihat di http://www.igos.web.id/. Sebagai bagian dari implementasi program tersebut, Menristek menyatakan aplikasi open source yang dikembangkan Kementerian Ristek telah dipakai di Ristek, Depkominfo, Depdiknas, Men PAN, dan Kementerian Hukum dan HAM, yang merupakan lima deklarator open source. Adapun dari komunitas pengguna dan pengembang software open source untuk penginderaan jauh Indonesia diakui bahwa pemakaian SOS dalam bidang penginderaan jauh selama ini walaupun masih sangat terbatas, namun telah banyak memberikan hasil yang cukup memuaskan dalam berbagai bidang aplikasi termasuk kelautan (http://www.lapanrs.com/IGORS/).
Salah satu sofware
berbasis open source untuk aplikasi Remote sensing pesisir dan laut yang disebut dengan SeaDAS (http://www.4shared.com).
SeaDAS adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration), Amerika pada tahun 1997, merupakan paket analisis citra satelit secara komprehensif untuk memproses, menampilkan dan menganalisa semua produk dari data satelit ocean color SeaWiFS (Seaviewing Wide Field-of-view Sensor) termasuk data ancillary-nya. Selanjutnya dalam perkembangannya, software SeaDAS tersebut juga memiliki kemampuan untuk memproses data satelit ocean color lainnya seperti CZCS (Coastal Zone Color Scanner), ADEOS / OCTS (Ocean Color Thermal System), MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer), dan MOS (Modular Optoelectronic Scanner). Selain itu, dapat juga digunakan untuk menampilkan citra suhu permukaan laut dari data AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). SeaDAS ini dilengkapi juga dengan software pemrograman IDL (Interactive Data Language) yang memungkinkan pengguna mengembangkan aplikasinya. SeaDAS dalam beberapa versi dan IDL embedded termasuk prosedur instalasi dapat di-download di http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaDAS/. Versi stabil terakhir SeaDAS yang sudah di release SeaDAS 4.9 (Update 4) (http://www.4shared.com). Software SeaDAS dapat dijalankan pada platform PC (Personal Computer) dengan sistem operasi Linux, Workstations SUN UltraSPARC, Workstations SGI O2 dan Komputer Macintosh G3, G4, atau G5. Software SeaDAS dapat berjalan dengan baik di OS Linux varian Redhat yaitu: Redhat 7.3, Fedora Core 2, Fedora Core 4, Centos 4.3.
Untuk menjalankan Software SeaDAS tidak diperlukan
hardware yang begitu tinggi (http://www.4shared.com). Data merupakan komponen utama dari pengembangan dan penerapan teknologi MRS. Spesifikasi data satelit ocean color yang dapat diproses oleh software SeaDAS seperti SeaWiFS, CZCS, ADEOS/OCTS, MODIS, dan MOS; serta informasi mengenai sumber data dan produk turunannya dapat dilihat dalam Tabel 7. Satelit NIMBUS-7 yang membawa sensor CZCS merupakan satelit ocean color pertama yang dibuat untuk mendeteksi kesuburan perairan dan beroperasi pada perioda tahun 1978-1986. Setelah periode tersebut, tidak ada sensor satelit ocean color yang beroperasi hingga 10 tahun kemuadian OCTS yang dibawa oleh satelit ADEOS-I milik Jepang diluncurkan pada tahun 1996 dan
karena kendala teknis hanya beroperasi selama 8 bulan. Sejak satelit SeaStar milik Amerika yang membawa sensor SeaWiFS diluncurkan pada Agustus 1997, ada beberapa misi satelit ocean color yang beroperasi hingga kini seperti MOS IRS, MODIS Aqua, dan MERIS Envisat. Nampaknya, perkembangan teknologi MRS secara internasional akan berjalan secara sinergi dan berkelanjutan hingga dekade mendatang.
Data ocean color tersebut baik data arsip maupun yang
terbaru serta produk turunannya seperti citra klorofil dan SPL terutama untuk data level
2
dan
3
dapat
di-download
di
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/
(http://www.4shared.com).
Tabel 7 Data satelit ocean color dan spesifikasinya, yang dapat diproses SeaDAS Jenis Data SeaWiFS
CZCS
OCTS
MODIS Aqua
Spesifikasi Data
Sumber Data
- 8 bands (Visible, NIR) - Resolusi spasial: 4 km (GAC), 1 km (LAC) - Periode: 1997sekarang - 6 bands - Periode: 1978-1986
NASA (order, electronically) Data (level 1, 2): http://oceancolor.gsfc.n asa.gov/cgi/browse.pl? sen=am
- 18 bands - Resolusi spasial: 1 km - 36 bands - Resolusi spasial: 250 m (bands 1-2), 500 m (bands 3-7), 1000 m (bands 8-36) - Periode 2002sekarang
Data (level 3) images: http://oceancolor.gsfc.nasa. gov/cgi/level3.pl
http://daac.gsfc.nasa.gov/ data
LAPAN
Parameter Terukur (Produk) -Klorofil-a -Endapan terlarut (TSM) -Kekeruhan perairan -batimetri - Klorofil-a - Surface temperature - Klorofil-a
- Klorofil-a - Endapan terlarut (TSM) - Kekeruhan perairan - Suhu permukaan laut
Sumber: http://www.4shared.com
2.10 Keadaan Umum Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan 2.10.1 Profil PPP labuan PPP Labuan secara administratif terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. Desa Teluk merupakan salah satu desa dari 9 desa di Kecamatan Labuan dengan luas wilayah 0,97 km², mempunyai batas
administratif; di sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda, Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Labuan dan Desa Cigondang, sebelah utara berbatasan dengan Desa Caringin dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Banyumekar. Jarak lokasi PPP dengan ibukota provinsi sekitar 64 km, sedangkan dari ibu kota kabupaten berjarak 42 km dengan kondisi jalan yang cukup baik. PPP ini mulai dibangun sejak tahun 1995. Secara geografis lokasi PPP Labuan berada pada titik koordinat 06º 24’ 30” LS dan 105º 49’ 15” BT. Posisi PPP Labuan berada pada wilayah perairan Selat Sunda yang merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia 1 (ALKI – 1).
Berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia,
lokasi PPP Labuan berada pada wilayah WPP 3 (DKP, 2008). PPP Labuan memiliki fasilitas pokok dermaga dengan panjang 350 m, kolam pelabuhan dengan ukuran sekitar 200 m x 400 m, alur pelayaran dengan lebar sekitar 50 m, lahan pelabuhan dengan luas 74.710 m², talud yang mencapai 500 m, dan breakwater dengan panjang 213,5 m di sisi kiri dan 420 m di sisi kanan. Fasilitas fungsional PPP Labuan terdiri dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebanyak 2 unit dengan ditunjang kantor Administrasi, MCK (Mandi Cuci Kakus), area parkir dan listrik pada masing-masing TPI. Fasilitas fungsional lainnya yaitu bengkel, depot es dan tangki BBM yang dalam keadaan tidak aktif. TPI 1 berada di muara Sungai Cipenteun Agung dengan jarak 200 m dari pantai dan TPI 2 berada di tepi pantai terbuka dengan jarak 100 m dari pantai. TPI 1 memiliki luas 350 m² sedangkan TPI 2 memiliki luas 310 m². Fasilitas penunjang yang dimiliki PPP Labuan yaitu kantor kesehatan, mushola, kantor syahbandar, pos pengamat TNI AL, dan koperasi. Jarak PPP Labuan dengan jalan raya utama sangat dekat sekitar 300 m, terlebih jarak TPI 1 Labuan dengan pasar Labuan hanya terpisah oleh lebar badan sungai Cipunteun Agung. Sungai ini, dengan lebar sekitar 4 m dapat dilalui dengan perahu kecil sehingga pemasaran ikan di pasar Labuan hingga sampai ke tangan konsumen lokal relatif singkat (DKP, 2008).
2.10.2 Keadaan umum perikanan tangkap 2.10.2.1 Unit penangkapan ikan Menurut data tahun 2008, jumlah Kapal Motor (KM) dan Motor Tempel (MT) di PPP Labuan sebanyak 284 unit, yaitu 261 KM/MT berukuran 5-10 GT dan dan 23 KM/MT yang berukuran >10 GT. Jumlah unit armada penangkapan ikan di PPP Labuan adalah 14,4% dari total armada penangkapan ikan dari 11 TPI di Kabupaten Pandeglang. Jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Pandeglang pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 8. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di PPP Labuan pada tahun 2008 terdiri atas payang sebanyak 31 unit, pukat cincin 23 unit, jaring rampus 12 unit, gillnet 44 unit, pancing 8 unit, pancing rawai 2 unit, dan jaring arad 156 unit. Jumlah Rumah Tangga Perikanan yang tercatat sebanyak 276 orang (DKP, 2008).
Tabel 8 Rekapitulasi jumlah kapal motor dan motor tempel Kabupaten Pandeglang tahun 2008 No
Nama/TPI
Jumlah
Jumlah KM/MT
Jumlah
Perahu Tanpa
Jumlah
Total
(unit)
(unit)
Motor (unit)
(unit)
(unit)
149 237 47
510 GT
> 10 GT
22
124 221 40
16 7
146 237 47
189
15
204
204
3
542
406
131
537
343 183
343 84
42
343 126
46
168
85
63
148
20
60 33 9 912
60 35 9 1892
69
60 35 9 1977
2 942
38
P. PAPAN
TPI CARITA TPI I LABUAN TPI II LABUAN TPI 4. SIDAMUKTI TPI 5. PANIMBANG 6. TPI CITEUREUP 7. TPI SUMUR TPI TAMAN 8. JAYA 9. TPI CIKEUSIK 10. TPI CIGEULIS 11. TPI CILURAH Jumlah (unit) Sumber: DKP, 2008
JUKUNG
1. 2. 3.
0-5 GT
3
5
5
11
57 20
16
85
2.10.2.2 Operasi penangkapan ikan tongkol Operasi penangkapan ikan tongkol di PPP Labuan dilakukan oleh unit penangkapan payang. Kapal yang digunakan terbuat dari bahan kayu dengan dimensi bervariasi yaitu panjang LOA (Length Over All) hingga 11 m, lebar hingga 3,9 m dan tinggi hingga 1,7 m. Kapal payang bervolume 5-10 GT dan sudah dilengkapi dengan mesin dalam yang berupa mesin motor berkekuatan 1630 PK yang bertipe Donfeng atau TS dan mesin mobil berkekuatan 120 HP yang bertipe
Mitsubishi.
Semua
mesin
menggunakan
bahan
bakar
solar.
Pengoperasian kapal payang dilengkapi dengan box yang memiliki volume 5 kw, drum-drum plastik/blong berukuran 1 kw, bambu dengan panjang sekitar 1,5 m sebagai alat bantu renang dan menakuti ikan, basket, dan 1 unit alat tangkap payang. Alat tangkap payang yang digunakan berukuran panjang 160 m dan lebar 20-25 m atau 1400-1800 mata. Bahan jaring terbuat dari bahan nylon berukuran 12-14. Pelampung yang digunakan berbentuk bulat terbuat dari plastik. Pemberat yang digunakan terbuat dari batu. Rancang bangun alat tangkap payang tertera dalam Gambar 4. Pengoperasian alat tangkap payang membutuhkan jumlah nelayan yang cukup banyak.
Biasanya anak buah kapal payang berjumlah 12-18 orang
bergantung dari besarnya kapal. Setiap nelayan memiliki tugas masing-masing. Ada yang bertugas sebagai juru mudi, fishing master, nakhoda, koki, juru mesin dan sisanya ABK (Anak Buah Kapal) yang bertugas menangkap ikan. Unit penangkapan payang di PPP Labuan beroperasi setiap hari dan biasanya melakukan trip lebih dari sehari namun hal ini tergantung dari perbekalan yang dibawa.
Payang melakulan kegiatan penangkapan ikan di
perairan Selat Sunda yaitu dengan tujuan daerah Sumur, Ujung Kulon, Rakata, Sebesi hingga perairan Lampung.
Metode pengoperasiannya yaitu dengan
melingkari ikan dari sisi kiri kapal dengan cara menurunkan jaring yang diawali dengan menurunkan pelampung tanda, tali selambar, pelampung, dan pemberat. Penurunan jaring diiringi oleh ABK yang mencegah ikan keluar. Pelingkaran jaring terhadap gerombolan ikan dilakukan dengan kecepatan kapal cepat konstan. Setelah setting selesai, segera dilakukan hauling dengan cara menarik tali
selambar kiri dan kanan, pelampung dan pemberat diangkat dengan hitungan yang sama hingga bagian kantong yang berisi ikan terangkat seluruhnya. Kegiatan ini menghabiskan waktu sekitar 20 menit. Biasanya hasil tangkapan sampingan yang didapatkan antara lain teri nasi (Stelophorus waitei), teri (Stelopherus indicus), kembung (Rastrelliger sp.), layur (Trichiurus sp.), buntal (Lagocephalus sp.), tembang (Sardinella sp.), cumi (Loligo sp.), tenggiri (Scomberoides sp.), japuh (Dussumeria sp.), layang (Decapterus sp.), ubur-ubur (Obelia sp.), dan banyar (Rastrellinger sp.).
Sumber: Purwandi, 1996
Gambar 4 Rancang bangun alat tangkap payang.
3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah survei lapangan yang dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2009 di PPP Labuan Kabupaten Pandeglang, Banten (Gambar 5). Selanjutnya tahap kedua yaitu pengumpulan data parameter oseanografi dari citra satelit yang dilaksanakan pada Juli 2009 di kampus Institut Pertanian Bogor.
Gambar 5 Peta daerah penelitian.
3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 4) Alat pengukur berat; 5) Kamera; 6) Komputer; 7) GPS;
8) Life jacket; 9) Peta daerah penelitian; 10) Lembaran kuesioner; 11) Software yang digunakan diantaranya Microsoft office, SeaDAS 5.2 (menggunakan sistem operasi Ubuntu 7.1), Surfer 8, MapSource, SEAMAP WORLD; dan 12) Alat tulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Citra hasil rekaman satelit MODIS level 3 komposit 8 hari dengan resolusi spasial 4 km x 4 km yang disesuaikan dengan waktu pengambilan data lapangan dan berada pada koordinat 5° 24’-6° 48’ LS dan 105°-106° BT yang meliputi daerah penangkapan ikan tongkol dari nelayan di PPP Labuan Kabupaten Pandeglang, Banten; 2) Data jumlah hasil tangkapan dan lokasi penangkapan ikan tongkol dari nelayan payang di PPP Labuan Kabupaten Pandeglang, Banten; dan 3) Data kedalaman perairan Selat Sunda;
3.3 Metode Pengumpulan Data Data primer yang diambil pada penelitian ini adalah data kapal, alat tangkap, hasil tangkapan dan lokasi penangkapan ikan tongkol dari nelayan payang di PPP Labuan Kabupaten Pandeglang, Banten. Data ini diperoleh dari hasil survei lapangan melalui wawancara dan pengisian kuesioner oleh nelayan payang serta pengamatan langsung pada operasi penangkapan ikan tongkol dari 9 kapal payang di PPP Labuan Kabupaten Pandeglang, Banten selama bulan MeiJuni 2009. Data sekunder yang diambil dalam penelitian ini adalah data citra hasil rekaman satelit MODIS, data anomali tinggi permukaan laut, dan data kedalaman perairan Selat Sunda. Data citra MODIS perairan Selat Sunda yang digunakan dipilih yang bebas awan atau penutupan awannya sedikit dan sesuai dengan waktu pengambilan data dari operasi penangkapan ikan tongkol oleh nelayan di PPP Labuan Kabupaten Pandeglang, Banten. Data kedalaman perairan Selat Sunda berasal dari http://topex.ucsd.edu/cgi-bin/get_dat….
Data anomali tinggi
permukaan laut perairan Selat Sunda hasil satelit TOPEX/POSEIDON yang diperoleh dari http://www.ccar.colorado.edu/.
Diagram alir penelitian tertera
dalam Gambar 6.
Mulai
Penentuan Wilayah Penelitian
Peta Tinggi Permukaan Laut
Satelit Aqua MODIS
Peta Dasar
Data Hasil Tangkapan
MapSource
http://www.ccar.col orado.edu/ Citra Klorofila Level 3 Komposit 8 Hari
Citra SPL Level 3 Komposit 8 Hari
Jumlah
Posisi
Data Kedalaman
Tangkap an
Penang
http://topex.ucsd.edu/cgi -bin/get_dat…
kapan
Data ASCII Klorofil-a & SPL
Peta Distribusi Klorofil-a
Peta Distribusi SPL
Peta DPI
Analisis
Selesai
Gambar 6 Diagram alir penelitian.
Peta Kedalaman
3.4 Metode Analisis Data 3.4.1 Analisis suhu permukaan laut dan klorofil-a Data nilai SPL dan klorofil-a didapatkan dengan cara melakukan analisis terhadap citra MODIS yang telah di-download. Citra MODIS yang digunakan adalah citra level 3 yang merupakan file yang sudah terkoreksi baik koreksi radiometrik maupun geometrik dengan format HDF (Hierachical Data Format) sehingga citra yang ditampilkan sudah menjadi datar (flat). Penerapan algoritma pada level 3 ini sudah dilakukan secara otomatis. Citra tersebut diolah dengan menggunakan program SeaDAS 5.2 hingga diperoleh nilai dan gambar sebaran SPL dan klorofil-a. Metode yang dilakukan dalam pengolahan data MODIS adalah pemilihan citra, pemotongan citra (cropping), dan pengolahan data SPL dan data klorofil-a. Diagram alir pengolahan citra tertera dalam Gambar 7. Untuk melakukan cropping atau pemotongan citra pada level 3 yang sesuai dengan daerah yang diinginkan, dilakukan dengan memasukkan nilai lintang/ bujur awal dan nilai lintang/bujur akhir. Kemudian untuk pengolahan datanya dilakukan Rescale untuk mengubah warna skala citra sesuai parameternya. Selain itu agar citra ini lebih informatif maka dilakukan perbaikan tampilan citra antara lain landmask untuk mengubah warna daratan.
Tutorial analisis data Suhu
Permukaan Laut dan Klorofil-a dapat dilihat dalam Lampiran 1.
3.4.2 Analisis hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) Perhitungan CPUE bertujuan untuk mengetahui nilai laju tangkap upaya penangkapan ikan berdasarkan atas pembagian total hasil tangkapan (catch) dalam upaya penangkapan (effort). Menurut Gunawan, 2004, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: CPUEi =
Ci fi
dengan: Ci
= Hasil tangkapan ke-i (kg)
fi
= Upaya penangkapan ke-i
CPUEi
= Jumlah hasil tangkapan penangkapan ke-i (kg/trip)
Mulai
Data MODIS Level 3 Aqua MODIS
Chlorophyll Concentration
Sea Surface Temperatur (11 µ daytime)
8-Day Composit
4 km x 4 km
Citra Aqua MODIS Sea Surface Temperatur (11 µ daytime) 8Day Composit 4 km x 4 km
Citra Aqua MODIS Chlorophyll Concentration 8-Day Composit 4 km x 4 km
SeaDAS 5.2
Cropping, Rescale, Landmask, Color LUT, Coastline
Citra SPL Terkoreksi
Citra Klorofil Terkoreksi
Surfer 8
Peta Distribusi Klorofil-a
Data ASCII Klorofil-a & SPL Microsoft Excel 2007
Peta Distribusi SPL
Analisis
Selesai
Gambar 7 Diagram alir pengolahan citra MODIS.
3.4.3 Analisis korelasi Analisis korelasi digunakan untuk menggambarkan hubungan yang terjadi antara variabel X (data citra) dengan variabel Y (data in-situ). Data citra yang digunakan adalah data suhu permukaan laut, data klorofil-a, dan data kedalaman perairan, sedangkan data in-situ yang digunakan yaitu data hasil tangkapan ikan tongkol yang tertangkap oleh payang di PPP Labuan selama bulan Mei-Juni 2009. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan koefisien korelasi yang dilambangkan dengan r. Persamaan yang digunakan untuk mencari nilai koefisien korelasi adalah sebagai berikut (Wallpole, 1992): n
r= {n
Xi 2
XiYi ( (
Xi )(
Xi ) 2 }{n
Yi 2
Yi ) (
Yi ) 2 }
dengan: n
= Jumlah data
Xi
= Data Citra
Yi
= Hasil tangkapan ikan tongkol
Persamaan ini akan menghasilkan nilai koefisien korelasi: -1 ≤ r ≤ +1. Bila r mendekati +1 atau -1, hubungan antara kedua peubah itu kuat dan dapat dikatakan terdapat korelasi yang tinggi antara keduanya. Akan tetapi, bila r mendekati nol, hubungan linear antara X dan Y sangat lemah atau mungkin tidak ada sama sekali.
4 HASIL 4.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) Berdasarkan hasil pengolahan citra MODIS pada bulan Mei hingga Juli 2009 diperoleh nilai suhu permukaan laut (SPL) sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 9. Suhu tertinggi diperoleh dari citra periode 17-24 Mei 2009 sebesar 33,54 °C, dan suhu terendah pada citra periode 9-16 Mei 2009 sebesar 26,86 °C. Sebaran nilai rata-rata SPL dapat dilihat pada Gambar 8. Suhu rata-rata tertinggi terdapat pada citra periode 25 Mei-1 Juni 2009 sebesar 30,84 °C, dan suhu ratarata terendah sebesar 29,85 °C terdapat pada citra periode 1-8 Mei 2009.
31.00
30.72
30.80
30.84 30.62 30.59
30.60
Suhu (°C)
30.37 30.38
30.31
30.40
1 = 1-8 Mei 2 = 9-16 Mei 3 = 17-24 Mei 4 = 25 Mei-1 Juni 5 = 2-9 Juni 6 = 10-17 Juni 7 = 18-25 Juni 8 = 26 Juni-3 Juli
30.20 30.00
29.85
29.80 29.60 29.40 29.20 1
rata-rata
2
3
4
5
6
7
8
Akuisisi Data
Gambar 8 Nilai rata-rata SPL hasil pengolahan data MODIS di perairan Selat Sunda periode Mei-Juli 2009. Tabel 9 Nilai suhu permukaan laut di perairan Selat Sunda periode Mei-Juli 2009 Tanggal Akuisisi
Suhu (°C)
1-8 Mei 9-16 Mei 17-24 Mei 25 Mei-1 Juni 2-9 Juni 10-17 Juni 18-25 Juni 26 Juni-3 Juli
28,25 – 31,66 26,86 – 32,14 29,49 – 33,54 29,65 – 32,02 29,49 – 32,61 29,67 – 31,49 29,56 – 31,97 29,57 – 31,87
Citra tanggal 1-8 Mei 2009 (Gambar 9a) memperlihatkan sebaran SPL dengan kisaran suhu 28,25-31,66 °C dan rata-rata suhu 29,85 °C. Suhu terendah berada di sekitar Teluk Lampung dan suhu tertinggi berada di dekat Pulau Panaitan. Sebagian daerah dekat pantai dari Merak hingga daerah Ujung Kulon, terdapat citra berwarna putih yang berarti adanya tutupan awan. Citra berikutnya tanggal 9-16 Mei 2009 (Gambar 9b) memperlihatkan sebaran SPL dengan kisaran suhu 26,86-32,14 °C dan rata-rata suhu 30,31 °C. Jika dilihat secara umum, sebaran SPL pada periode ini lebih tinggi dari periode sebelumnya. Citra dengan suhu terendah hanya terdapat di sekitar Anyer, Merak dan tengah perairan dekat Pulau Sebesi dengan suhu berkisar 26,86-28,96 °C dan selebihnya citra berada di atas rata-rata. Selanjutnya citra SPL tanggal 17-24 Mei 2009 yang ditampilkan pada Gambar 9c menunjukkan pola sebaran SPL yang tinggi dengan kisaran suhu lebih besar dari 29,49 °C. Citra dengan nilai suhu tertinggi yaitu 33,54 °C berada di tengah perairan antara Anyer dengan Bakauheni. Citra periode ini juga semakin sedikit penutupan awan yang terjadi. Citra yang tertutup awan hanya berada di sekitar perairan Merak hingga Bakauheni. Citra SPL tanggal 25 Mei-1 Juni 2009 yang ditunjukkan oleh Gambar 9d memperlihatkan suhu yang sama tingginya dengan periode sebelumnya dengan kisaran suhu sebesar 29,65-32.02 °C dan rata-rata suhu 30,84 °C. Perbedaan ratarata suhu pada awal dan akhir Mei yang terjadi tidak signifikan hanya sebesar 0,99 °C. Namun citra pada periode ini memperlihatkan hampir tidak adanya penutupan awan di perairan Selat Sunda. Sebaran SPL pada bulan Juni yang terbagi atas 4 periode citra yaitu tanggal 2-9 Juni 2009 (Gambar 10a), tanggal 10-17 Juni 2009 (Gambar 10b), tanggal 1825 Juni 2009 (Gambar 10c), dan tanggal 26 Juni-3 Juli 2009 (Gambar 10d) menunjukkan kisaran suhu yang tidak jauh berbeda. Kisaran sebaran SPL pada bulan ini secara berurut yaitu 29,49-32,61 °C, 29,67-31,49 °C, 29,56-31,97 °C, dan 29,57-31,87 °C.
b)
LINTANG SELATAN
LINTANG SELATAN
a)
BUJUR TIMUR
d)
BUJUR TIMUR
LINTANG SELATAN
c)
LINTANG SELATAN
BUJUR TIMUR
BUJUR TIMUR
Gambar 9 Citra SPL di perairan Selat Sunda pada tanggal 1-8 Mei 2009 (a), 9-16 Mei 2009 (b), 17-24 Mei 2009 (c), dan 25 Mei-1 Juni 2009 (d).
b)
LINTANG SELATAN
LINTANG SELATAN
a)
BUJUR TIMUR
d)
BUJUR TIMUR
LINTANG SELATAN
c)
LINTANG SELATAN
BUJUR TIMUR
BUJUR TIMUR
Gambar 10 Citra SPL di perairan Selat Sunda pada tanggal 2-9 Juni 2009 (a), 1017 Juni 2009 (b), 18-25 Juni 2009 (c), dan 26-3 Juli 2009 (d).
4.2 Klorofil-a Berdasarkan hasil pengolahan citra MODIS pada bulan Mei hingga Juli 2009 diperoleh bahwa nilai klorofil-a tertinggi diperoleh pada citra periode 9-16 Mei 2009, yaitu sebesar 3,16 mg/m3 sedangkan nilai terendah terdapat pada periode 25 Mei-1 Juni 2009 dengan nilai sebesar 0,15 mg/m3. Nilai minimum dan maksimum klorofil-a perairan Selat Sunda selama Mei-Juli 2009 dapat dilihat pada Tabel 10. Nilai rata-rata klorofil-a di perairan Selat Sunda periode Mei-Juli 2009 berkisar antara 0,31-0,68 mg/m3 (Gambar 11). Nilai rata-rata klorofil-a tertinggi ditunjukkan pada citra satelit periode 18-25 Juni 2009 dan nilai rata-rata klorofil-a terendah pada citra satelit periode 17-24 Mei 2009.
0.80
0.68 0.67
Klorofil (mg/m3)
0.70 0.60
0.51
0.50 0.40
rata-rata
0.45 0.46
0.46
1 = 1-8 Mei 2 = 9-16 Mei 3 = 17-24 Mei 4 = 25 Mei-1 Juni 5 = 2-9 Juni 6 = 10-17 Juni 7 = 18-25 Juni 8 = 26 Juni-3 Juli
0.37 0.31
0.30 0.20 0.10 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
Akuisisi Data
Gambar 11 Nilai rata-rata klorofil-a hasil pengolahan data MODIS di perairan Selat Sunda periode Mei-Juli 2009. Tabel 10 Nilai klorofil-a di perairan Selat Sunda periode Mei-Juli 2009 Tanggal Akuisisi
Klorofil-a (mg/m3)
1-8 Mei 9-16 Mei 17-24 Mei 25 Mei-1 Juni 2-9 Juni 10-17 Juni 18-25 Juni 26 Juni-3 Juli
0,24 – 0,50 0,23 – 3,16 0,16 – 0,81 0,15 – 2,26 0,26 – 1,23 0,24 – 1,25 0,31 – 1,83 0,22 – 1,28
Citra klorofil-a tanggal 1-8 Mei 2009 (Gambar 12a) memperlihatkan sebaran klorofil-a dengan kisaran 0,24-0,50 mg/m3 dan rata-rata sebesar 0,37 mg/m3.
Sebagian besar perairan Selat Sunda tertutup oleh awan. Nilai klorofil-a
terendah ditampilkan dalam citra dengan warna ungu yang berada di dekat Pulau Panaitan dan tertinggi berwarna biru di perairan tengah antara Pulau Panaitan dengan Pulau Rakata. Citra berikutnya tanggal 9-16 Mei 2009 (Gambar 12b) tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya.
Citra ini dapat dilihat penutupan awan (warna
merah) yang cukup besar dari Merak hingga Teluk Lampung, Pulau Sebesi, dan sebagian perairan dekat Pulau Rakata. Kisaran nilai klorofil-a sebesar 0,23-3,16 mg/m3 dengan rata-rata sebesar 0,46 mg/m3. Nilai klorofil-a tertinggi ditampilkan dalam citra dengan warna terang agak kemerah-merahan yang berada di dekat pantai Maringgai Pulau Sumatera yang terlihat sebagai lubang di antara awan dan terendah berwarna ungu berada di perairan sebelah utara Pulau Panaitan.
Jika
dilihat secara keseluruhan, sebaran klorofil-a yang berdekatan dengan awan memiliki nilai klorofil-a yang tinggi dengan warna yang ditampilkan warna biru terang hingga hijau. Selanjutnya citra Klorofil-a tanggal 17-24 Mei 2009 yang ditampilkan pada Gambar 12c menunjukkan pola sebaran SPL yang berkisar antara 0,16-0,81 mg/m3 dengan nilai rata-rata sebesar 0,31 mg/m3. Citra ini perairan Selat Sunda sebagian besar berwarna biru dan ungu. Nilai klorofil-a berwarna terang berada di sekitar tutupan awan yang terdapat sepanjang perairan dekat pantai dari Merak hingga Ujung Kulon. Citra Klorofil-a tanggal 25 Mei-1 Juni 2009 yang ditunjukkan oleh Gambar 12d memperlihatkan perubahan yang signifikan dengan periode sebelumnya. Ada peningkatan nilai klorofil-a yang besar di perairan tengah selat yaitu sepanjang perairan Merak, Pulau Rakata hingga Teluk Lampung.
Nilai klorofil-a pada
periode ini berkisar 0,15-2,26 mg/m3 dengan rata-rata sebesar 0,45 mg/m3. nilai konsentrasi klorofil-a tertinggi pada citra terlihat di perairan Maringgai Pulau Sumatera yang ditampilkan dengan warna merah. Sebaran klorofil-a pada bulan Juni menunjukkan nilai yang stabil. Kisaran nilai klorofil-a pada bulan ini sebesar 0,22-1,83 mg/m3. Nilai klorofil-a pada citra
tanggal 2-9 Juni 2009 (Gambar 13a) menunjukkan kisaran klorofil-a sebesar 0,261,23 mg/m3 dengan rata-rata sebesar 0,46 mg/m3. Penutupan awan pada citra ini dapat dilihat di perairan Teluk Lampung, Teluk Semangka, dan di sepanjang perairan Anyer sampai ujung kulon.
Konsentrasi klorofil-a tinggi terlihat di
sebelah barat Pulau Sebesi. Nilai klorofil-a pada tanggal 10-17 Juni 2009 (Gambar 13b) memiliki kisaran klorofil-a sebesar 0,24-1,25 mg/m3 dengan rata-rata sebesar 0,51 mg/m3. Sebaran klorofil-a pada periode ini terlihat tidak berbeda dengan periode sebelumnya. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi terdapat di daerah tidak jauh dari Teluk Labuan. Citra tanggal 18-25 Juni 2009 (Gambar 13c), memiliki nilai rata-rata klorofil-a sebesar 0,68 mg/m3 dengan kisaran suhu 0,31-1,83 mg/m3. Citra yang ditampilkan memperlihatkan warna biru terang menyebar merata di perairan tengah selat. Periode terakhir citra bulan Juni yaitu citra tanggal 26 Juni-3 Juli 2009 (Gambar 13d), menunjukkan kisaran klorofil-a 0,22-1,28 mg/m3 dengan rata-rata sebesar 0,67 mg/m3. Citra ini juga menunjukkan kembali terjadi adanya penutupan awan yang besar yang berada di Teluk Lampung dan sepanjang perairan dekat pantai Merak sampai Ujung Kulon.
Nilai klorofil-a dengan
konsentrasi tinggi terjadi di sebagian besar perairan yang ditampilkan dengan warna biru terang dan hijau.
4.3 Kedalaman Perairan Perairan Selat Sunda memiliki kedalaman beragam mulai dari kedalaman 2 m hingga yang terdalam 1991 m. Daerah perairan yang terdalam berada pada koordinat 105,525° BT dan 6,428° LS tidak jauh dari daerah Sumur. Selama bulan Mei-Juni 2009 terdapat 17 daerah penangkapan ikan yang menghasilkan hasil tangkapan yaitu daerah Tanjung Camara, Pulau Handeuleum, Tanjung Tancangpare, Teluk Labuan, Tanjung Katapang, Tanjung Tua, Sebesi, Carita, Rakata, Tanjung Cawar, Tanjung Lesung, Sumur, Teluk Peucang, Ujung Kulon, Tanjung Alangalang, Pulau Peucang dan Teluk Paraja.
b)
LINTANG SELATAN
LINTANG SELATAN
a)
BUJUR TIMUR
d)
BUJUR TIMUR
LINTANG SELATAN
c)
LINTANG SELATAN
BUJUR TIMUR
BUJUR TIMUR
Gambar 12 Citra klorofil-a di perairan Selat Sunda pada tanggal 1-8 Mei 2009 (a), 9-16 Mei 2009 (b), 17-24 Mei 2009 (c), dan 25 Mei-1 Juni 2009 (d).
b)
LINTANG SELATAN
LINTANG SELATAN
a)
BUJUR TIMUR
d)
BUJUR TIMUR
LINTANG SELATAN
c)
LINTANG SELATAN
BUJUR TIMUR
BUJUR TIMUR
Gambar 13 Citra klorofil-a di perairan Selat Sunda pada tanggal 2-9 Juni 2009 (a), 10-17 Juni 2009 (b), 18-25 Juni 2009 (c), dan 26 Juni-3 Juli 2009 (d).
Semua daerah penangkapan ikan tersebut memiliki kedalaman yang berbeda-beda. Terdapat 6 lokasi penangkapan ikan di daerah Tanjung Camara dengan kedalaman berbeda yaitu 22, 25, 30, 31, 34 dan 36 m.
Lokasi
penangkapan ikan di daerah Pulau Handeuleum memiliki kedalaman 22 m. Kedalaman perairan daerah penangkapan lainnya yaitu Tanjung Tancangpare dengan kedalaman 20 m, Sebesi 28 m, Carita 31 m, Tanjung Cawar 26 m, Tanjung Lesung 37 m, dan Ujung Kulon 68 m.
Daerah penangkapan ikan
Tanjung Katapang memiliki kedalaman perairan 22 dan 24 m.
Daerah
penangkapan ikan Sumur dan Teluk Paraja masing-masing memiliki kedalaman 26 m, 27 m, 29 m, 34 m dan 24 m, 25 m, 26 m, 27 m. Daerah penangkapan ikan Teluk Labuan memiliki kedalaman 3 m hingga 50 m. Daerah penangkapan ikan Rakata berkisar 39-65 m dan daerah Tanjung Tua berkisar 40-52 m. Kedalaman perairan pada daerah penangkapan ikan di daerah Tanjung Alangalang, Teluk Peucang dan Pulau Peucang memiliki kedalaman perairan yang tinggi hingga ratusan meter dengan yang terdalam 190 m di daerah penangkapan ikan Pulau Peucang.
Peta kedalaman perairan Selat Sunda beserta daerah penangkapan
ikannya dapat dilihat dalam Gambar 14 berikut.
4.4 Hasil Tangkapan Ikan Tongkol Jumlah tangkapan tongkol pada bulan Mei 2009 sebanyak 1.133 kg dengan CPUE bulanan sebesar 11,2 kg/setting.
Jumlah tangkapan tongkol sebanyak
1.856,5 kg dengan CPUE 15,38 kg/setting terjadi pada bulan Juni 2009. Jumlah tangkapan terbanyak diperoleh pada tanggal 21 Juni 2009 yaitu sebanyak 366 kg, sedangkan hasil tangkapan paling sedikit diperoleh pada tanggal 25 Juni 2009 yaitu sebanyak 7 kg. Akan tetapi nilai CPUE paling tinggi diperoleh pada tanggal 13 Juni 2009, yaitu sebanyak 40 kg/setting dan CPUE paling rendah pada tanggal 6 Juni 2009 sebesar 1,4 kg/setting.
Nilai CPUE harian dapat dilihat dalam
Gambar 15. Adapun hasil tangkapan per trip bulan Juni memiliki produksi yang lebih tinggi dibandingkan hasil tangkapan per trip bulan Mei. Jumlah trip pada bulan Mei sebanyak 14 dengan 3 kali tidak mendapatkan hasil sedangkan jumlah trip pada bulan Juni sebanyak 16 dengan 2 kali tidak mendapatkan hasil. Jumlah
hasil tangkapan, CPUE dan jumlah setting kapal payang di PPP Labuan selama
45.0 40.0 38.3 40.0 34.2 33.3 35.0 29.8 30.5 30.4 30.0 26.0 22.3 25.0 18.3 16.0 20.0 10.0 15.0 9.1 9.4 8.3 9.7 7.1 8.9 10.0 5.6 4.5 2.7 2.8 1.8 2.7 5.0 1.4 0.0 8/5 9/5 12/5 13/5 14/5 19/5 23/5 24/5 25/5 26/5 28/5 6/6 7/6 10/6 11/6 13/6 14/6 18/6 19/6 21/6 22/6 23/6 25/6 26/6 27/6
CPUE (kg/setting)
Mei-Juni 2009 ditampilkan dalam Lampiran 2.
Tanggal Penangkapan
Gambar 14 CPUE ikan tongkol berdasarkan waktu penangkapan periode MeiJuni 2009. 4.5 Penyebaran Daerah Penangkapan Ikan Pengamatan langsung dengan mengikuti operasi penangkapan ikan (OPI) dimulai pada tanggal 8 Mei 2009 dengan KM Sritikah 3. OPI dilakukan selama 2 hari dengan beristirahat di daerah Sumur. Hari pertama kegiatan penangkapan ikan (setting) dilakukan sebanyak 7 kali yaitu di daerah Tanjung Camara dengan hasil tangkapan ikan tongkol sebanyak 90 kg dan di daerah Pulau Handeuleum sebanyak 38 kg. Selanjutnya kegiatan penangkapan ikan yang kedua dilakukan di daerah Tanjung Cihonje, Tanjung Tancangpare, Tanjung Camara, dan di perairan Labuan dengan hasil tangkapan total sebanyak 28 kg. Kegiatan OPI pada tanggal 10 Mei 2009 dilakukan dengan menggunakan KM Bangkit 1. OPI dilakukan selama 1 hari dengan tidak mendapatkan hasil tangkapan. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan sebanyak 4 kali yaitu di daerah Tanjung Cawar dan Tanjung Camara. Selanjutnya kegiatan OPI pada tanggal 11-12 Mei 2009 dilakukan dengan menggunakan KM Putritikah.
Kegiatan penangkapan ikan hari pertama
dilakukan di daerah Tanjung Lesung, Tanjung Cawar dan Tanjung Camara dengan tidak mendapatkan hasil tangkapan. Kemudian pada hari kedua kegiatan
Gambar 15 Peta kedalaman perairan Selat Sunda
49
penangkapan ikan dilakukan di daerah Tanjung Cihonje, Sumur, dan Tanjung Camara yang kemudian kembali ke fishing base.
Hasil tangkapan yang
didapatkan di daerah Sumur sebanyak 69 kg ikan tongkol dan di daerah Tanjung Camara sebanyak 219 kg. Kegiatan OPI dengan menggunakan KM Baruna dilakukan selama 2 hari dimulai tanggal 13 Mei 2009. Kegiatan penangkapan ikan hari pertama dilakukan di daerah perairan Labuan dan di daerah Tanjung Ketapang. Hasil tangkapan total yang didapatkan sebanyak 191 kg ikan tongkol.
Hasil tangkapan terbesar
didapatkan di daerah Tanjung Ketapang (koordinat 06˚25’18,2” LS dan 105˚42’00,6” BT) sebanyak 93 kg ikan tongkol. Tanggal 19 Mei 2009, OPI yang dilakukan oleh KM Bangkit 2 di daerah Labuan dan di daerah Tanjung Lesung hanya mendapatkan hasil tangkapan total sebesar 16 kg. Kemudian pada tanggal 20 Mei 2009, operasi penangkapan ikan selama 1 hari yang dilakukan oleh KM Srikandi di daerah yang sama, tidak mendapatkan hasil. Keadaan yang dialami oleh kedua kapal ini tidak diikuti oleh KM Sritikah 1 yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di daerah Tanjung Tua dan di daerah Pulau Sebesi pada tanggal 23-24 Mei 2009. Hasil tangkapan yang didapatkan sebesar 200 kg ikan tongkol pada hari pertama kegiatan penangkapan, dan 80 kg ikan tongkol pada hari berikutnya. OPI terlama dilakukan oleh KM Baruna yang melakukan trip ke daerah perairan dekat Pulau Sumatera.
Operasi penangkapan ikan ini berlangsung
selama 4 hari yaitu pada tanggal 25-28 Mei 2009. Kegiatan penangkapan ikan pada hari pertama dilakukan di daerah Carita dan di daerah Pulau Rakata dengan menghasilkan 100 kg ikan tongkol. Hasil tangkapan yang didapatkan pada hari kedua berkurang menjadi 62 kg. Hasil tangkapan ini didapatkan di daerah Pulau Rakata. Kegiatan penangkapan ikan tidak dapat dilakukan pada hari ketiga karena kondisi ombak laut yang besar. Tanggal 28 Mei 2009, operasi penangkapan ikan terakhir dilakukan di daerah Pulau Rakata dan Tanjung Cikoneng hanya mendapatkan hasil tangkapan sebesar 30 kg. OPI pada bulan Juni dimulai pada tanggal 6 Juni 2009. Kegiatan operasi penangkapan ikan ini dilakukan selama 2 hari oleh KM Ratu Kayla dengan hanya mendapatkan hasil sebesar 7 kg pada hari pertama dan 38,5 kg pada hari kedua.
Kegiatan penangkapan ikan dilakukan di daerah perairan Labuan dan Tanjung Cawar. OPI selanjutnya pada bulan Juni dilakukan dengan menggunakan KM Bangkit 1 pada tanggal 10-11 Juni 2009. Operasi penangkapan ikan dilakukan di daerah baru di sekitar Ujung Kulon. Hari pertama didapatkan hasil tangkapan sebesar 75 kg dengan lokasi penangkapan ikan di beberapa tempat yaitu di daerah Tanjung Lesung, Tanjung Cawar, Sumur, Teluk Paraja, dan Teluk Peucang. Operasi penangkapan ikan hari kedua dilakukan di daerah Ujung Kulon dan Tanjung Senini dengan hasil tangkapan sebesar 230 kg. Tanggal 13 Juni 2009, KM Bangkit 1 selama 2 hari kembali melakukan kegiatan penangkapan ikan ke Ujung Kulon yaitu di daerah Tanjung Alangalang, Pulau Peucang, Tanjung Layar, dan juga daerah Sumur. Hasil tangkapan total yang didapatkan adalah 180 kg yaitu 120 kg pada hari pertama dan 60 kg pada hari kedua. Kegiatan OPI pada tanggal 18-19 Juni 2009 dilakukan di daerah Teluk Paraja dan Tanjung Cihonje. Hasil tangkapan yang didapatkan oleh KM Doser pada hari pertama sebesar 29 kg dan sebesar 50 kg pada hari kedua. Kemudian selama 3 hari, mulai tanggal 20-22 Juni 2009 kegiatan operasi penangkapan ikan dilakukan dengan KM Baruna. Hari pertama tidak mendapatkan hasil tangkapan dan hanya melakukan setting sebanyak 1 kali. Kegiatan penangkapan ikan pada hari kedua dilakukan di daerah sekitar Pulau Peucang. Hasil tangkapan yang didapatkan pada hari kedua ini menghasilkan jumlah tangkapan terbesar yaitu 366 kg. Kemudian pada hari berikutnya kegiatan penangkapan ikan dilakukan di tempat yang sama dengan hasil tangkapan sebesar 304 kg. Tanggal 23-24 Juni 2009
KM Bangkit 1 melakukan kegiatan operasi
penangkapan di daerah Teluk Peucang, Tanjung Alangalang dan Tanjung Senini. Hasil tangkapan yang diperoleh sebesar 205 kg pada hari pertama. Hari kedua dilakukan setting sebanyak 10 kali di lokasi penangkapan ikan yang sama namun tidak satupun ikan yang didapatkan. OPI yang terakhir pada bulan Juni yaitu tanggal 25-27 Juni 2009 dilakukan dengan KM Ratu Kayla. Daerah yang dijadikan lokasi penangkapan ikan pada hari pertama berada di daerah perairan Labuan dan Tanjung Alangalang. Hasil yang didapatkan hanya sebesar 7 kg.
Hari kedua, hasil tangkapan yang
didapatkan sebesar 290 kg yang diperoleh di daerah Pulau Peucang. Hari terakhir, kegiatan penangkapan ikan dilakukan di dua daerah yang tidak berjauhan yaitu Pulau Peucang dan Teluk Peucang. Hasil tangkapan terakhir yang didapatkan sebesar 75 kg. Peta posisi penangkapan ikan kapal payang di PPP Labuan pada Mei-Juni 2009 dapat dilihat dalam Lampiran 3.
4.6
Hubungan Kondisi Oseanografi terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol di Selat Sunda Hubungan yang terjadi antara nilai suhu permukaan laut dengan jumlah
hasil tangkapan bersifat lemah.
Hubungan antara kedua variabel tersebut
ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yang kecil, yaitu -0,42. Antara kedua variabel tersebut terjadi hubungan korelasi negatif yang berarti semakin tinggi nilai suhu permukaan laut maka semakin sedikit pula jumlah hasil tangkapan yang didapatkan.
Berdasarkan gambar 16, dapat dilihat bahwa hasil tangkapan
didapatkan terbanyak pada nilai suhu permukaan laut sebesar 30,2-30,4 °C. Nilai R2 sebesar 0,176, maka dapat dikatakan bahwa 17,6% di antara keragaman dalam nilai-nilai Y (hasil tangkapan) dapat dijelaskan oleh hubungan linearnya dengan X (suhu).
250 200 150 100 50
Suhu (°C)
Gambar 16 Grafik hubungan SPL terhadap hasil tangkapan ikan tongkol.
31.2
31.1
30.8
30.7
30.6
30.5
30.4
30.3
30.2
30.1
30
29.9
29.8
31
R² = 0.176
0
30.9
Hasil Tangkapan (kg)
300
Gambar 17 mempresentasikan pengaruh klorofil-a terhadap jumlah hasil tangkapan. Terlihat dalam gambar bahwa sebaran titik bersifat acak yang berarti hubungan antara kedua variabel yaitu antara klorofil-a dengan jumlah hasil tangkapan yang lemah.
Hubungan antara keduanya yang ditampilkan dalam
gambar berupa korelasi negatif.
Nilai koefisien korelasi yang terjadi hanya
sebesar -0,32, sedangkan nilai koefisien determinasi contoh sebesar 0,101 yang berarti model yang digunakan hanya menjelaskan model yang sesungguhnya sebesar 10,1 % sehingga sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Secara umum terlihat bahwa jumlah hasil tangkapan dominan berada pada nilai klorofil-a sekitar 0,3-0,7
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
1.2
1.1
1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
R² = 0.101 0
Hasil Tangkapan (kg)
mg/m3.
Klorofil-a (mg/m3)
Gambar 17 Grafik hubungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan tongkol.
Hubungan antara kondisi kedalaman perairan dengan jumlah hasil tangkapan dalam gambar 18 menunjukkan hubungan korelasi positif. Jumlah hasil tangkapan terbesar didapatkan pada kedalaman yang tinggi.
Namun
demikian, secara umum sebagian besar hasil tangkapan didapatkan pada kedalaman <50 m.
Hubungan antara kedua variabel ini bersifat lemah yang
ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yang kecil yaitu sebesar 0,4. Model yang digunakan hanya menjelaskan model yang sesungguhnya sebesar 15,6 %. Nilai suhu, klorofil-a, dan kedalaman perairan berdasarkan tanggal penangkapan tertera dalam Lampiran 4.
Hasil Tangkapan (kg)
300 250 200 150 R² = 0.156
100 50 0 0
50
100
150
200
Batimetri (m)
Gambar 18 Grafik hubungan kedalaman terhadap hasil tangkapan ikan tongkol.
Berdasarkan ketiga faktor oseanografi yaitu suhu permukaan laut, klorofil-a dan kedalaman perairan yang dilakukan analisis korelasi terhadap jumlah hasil tangkapan, semuanya memiliki hubungan yang lemah terhadap jumlah hasil tangkapan.
Hal ini berarti ketiga faktor osenografi tersebut tidak memiliki
pengaruh langsung terhadap jumlah hasil tangkapan yang didapatkan. Faktorfaktor oseanografi tersebut hanya berpengaruh untuk mengetahui keberadaan ikan. Terbukti bahwa lokasi penangkapan ikan terbanyak terjadi pada daerah dekat pantai yang memiliki kedalaman rendah <50 m.
5 PEMBAHASAN 5.1 Penyebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Kondisi Suhu Permukaan Laut (SPL) secara temporal selama bulan Mei-Juli 2009 di perairan Selat Sunda mengalami fluktuasi. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan yang signifikan antara rata-rata nilai SPL bulan Mei dengan bulan Juni. Rata-rata nilai SPL bulan Mei lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nilai SPL bulan Juni. Kondisi SPL pada bulan Mei memperlihatkan kisaran SPL antara 26,86-33,54 °C sedangkan kisaran SPL pada bulan Juni antara 29,49-32,61 °C. Kondisi SPL pada bulan Mei diawali dengan suhu yang dingin dan terus meningkat pada hingga akhir Mei. Hal ini ditunjukkan dengan penaikan nilai rata-rata 8 harian SPL dari angka 29,85 °C pada periode 1-8 Mei, 30,31 °C pada periode 9-16 Mei, 30,72 °C pada periode 17-24 Mei dan 30,84 °C pada periode 25 Mei-1 Juni. SPL dengan suhu rendah pada awal Mei terjadi karena pada periode ini curah hujan masih tinggi. Hal ini dapat dilihat pada citra SPL periode 1-8 Mei dan 9-16 Mei yang terdapat banyaknya tutupan awan (warna putih). Banyaknya tutupan awan mengakibatkan intensitas matahari yang masuk menjadi berkurang sehingga SPL menjadi lebih dingin. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa kondisi meteorologi memiliki pengaruh terhadap suhu permukaan laut. Hal ini telah dikemukakan oleh Laevastu dan Hela (1970), yang menyatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi suhu permukaan laut (SPL) adalah kondisi meteorologi, arus permukaan, ombak, upwelling, divergensi, konvergensi, dan perubahan bentuk es di daerah kutub. Faktor-faktor meteorologi yang mempunyai peranan dalam hal ini adalah curah hujan, penguapan, kelembapan udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas matahari.
Dengan demikian suhu
permukaan laut biasanya mengikuti pola musiman. Periode awal Mei 2009, perairan Selat Sunda masih dipengaruhi oleh musim barat sehingga SPL relatif rendah. Banyaknya tutupan awan merupakan salah satu karakteristik kondisi cuaca pada musim barat seperti terlihat di sekitar perairan Sumur, Anyer, Merak dan Pulau Sebesi. Wyrtki (1961) menyatakan bahwa tutupan awan di atas 50% umumnya terjadi pada bulan November hingga Mei. Adanya penutupan awan yang tinggi pada musim barat berkaitan dengan
hembusan angin musim barat yang banyak membawa uap air yang menyebabkan awan menjadi tebal dan menutupi seluruh atmosfer. Namun tutupan awan tidak terjadi selama bulan Mei. Citra periode pertengahan hingga akhir Mei yaitu 17-24 Mei dan 25 Mei-1 Juni, tutupan awan hanya sedikit sehingga SPL pun menjadi lebih hangat karena intensitas matahari yang masuk lebih besar. Dengan ini berarti pengaruh musim barat di perairan Selat Sunda pada pertengahan Mei 2009 mulai melemah.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Wyrtki (1961) yang
menjelaskan musim barat terjadi sekitar bulan Desember sampai Februari, dimana umumnya angin bertiup kencang, curah hujan tinggi dan konsentrasi awan yang tebal. Musim pancaroba (peralihan) yang terjadi pada bulan April sampai Mei memiliki pengaruh musim barat yang mulai melemah. Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) secara temporal pada bulan Juni 2009 di perairan Selat Sunda mengalami kestabilan. Nilai rata-rata SPL pada bulan Juni memperlihatkan bahwa SPL perairan Selat Sunda didominasi suhu panas. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya nilai rata-rata 8 harian SPL selama bulan Juni 2009 yaitu 30,62 °C periode 2-9 Juni, 30,59 °C periode 10-17 Juni, 30,37 °C periode 18-25 Juni, dan 30,38 °C periode 26 Juni-3 Juli.
Faktor yang
menyebabkan tingginya nilai SPL tersebut diantaranya karena secara teknis satelit Aqua MODIS melintasi equator pada siang hari mendekati pukul 13.30 waktu lokal.
Faktor lainnya yaitu sudah tidak adanya pengaruh musim barat. Bulan
ini curah hujan rendah, hal ini dapat dilihat dengan sedikitnya tutupan awan pada citra MODIS SPL perairan Selat Sunda selama bulan Juni. Perubahan nilai SPL yang menjadi hangat pada bulan Juni selain dipengaruhi oleh faktor teknis dan meteorologi, juga dipengaruhi oleh faktor arus. Hal ini dijelaskan oleh Wyrtki (1961) yang menyatakan selama musim transisi dari musim barat ke timur, arus musim yang mengalir sepanjang pantai selatan Pulau Sumatera dan arus khatulistiwa selatan dari lepas pantai Samudera Hindia, membawa massa air yang relatif hangat ke perairan Selat Sunda. Berdasarkan hasil citra satelit MODIS perairan Selat Sunda selama bulan Mei-Juli 2009, dapat dilihat sebaran spasial SPL yang terbagi atas 8 periode. Berdasarkan citra periode 1-8 Mei, ada indikasi ditemukan front yang berada di sekitar teluk Lampung dengan posisi 5,66° LS dan 105,26° BT. Front adalah
daerah pertemuan dua massa air yang mempunyai karakteristik berbeda, misalnya pertemuan antara massa air dari Laut Jawa yang agak panas dengan massa air Samudera Hindia yang lebih dingin. Front merupakan salah satu kriteria dalam menentukan daerah penangkapan ikan yang potensial. Daerah yang memiliki massa air dingin dibandingkan dengan massa air sekelilingnya mempunyai perbedaan suhu mencapai 1-2 °C, maka daerah dengan massa air berbeda ini disebut front (Mann dan Lazier, 1996 yang dikutip oleh Adnan, 2008). Citra periode 9-16 Mei, ditemukan SPL yang lebih dingin dengan suhu hingga 26,86 °C di sekitar perairan Merak namun diduga itu bukan merupakan front karena letaknya yang berada diantara tutupan awan sehingga rendahnya nilainya SPL kemungkinan besar dipengaruhi oleh faktor meteorologi.
Citra periode
selanjutnya yaitu 17 Mei-3 Juli, sebaran nilai SPL yang ditampilkan bersifat homogen atau merata pada semua daerah. Secara umum, nilai kisaran SPL perairan Selat Sunda selama bulan Juni 2009 yang didapat dari pengolahan citra MODIS tidak jauh berbeda dari hasil penelitian sebelumnya. Supangat (2004) menyatakan pada bulan Juni (musim timur), sebaran temperatur permukaan berkisar antara 29,3-29,7 °C. Temperatur yang lebih hangat hampir memenuhi seluruh perairan selat, sedangkan temperatur yang lebih dingin samar-samar mulai terlihat di depan Teluk Semangka. Kedalaman perairan 5-40 m sebaran horizontal temperatur masih identik seperti yang tergambar di permukaan. Kedalaman perairan 60-150 m, sebaran horizontal temperatur yang lebih dingin yang datang dari Samudera Hindia lebih mendominasi seluruh perairan selat.
5.2 Penyebaran Klorofil-a Secara Temporal dan Spasial Konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Sunda pada bulan Juni lebih tinggi dari bulan Mei.
Hal ini menguatkan penelitian sebelumnya yang dilakukan
Ramansyah (2009) yang menyatakan konsentrasi klorofil-a di Selat Sunda dengan konsentrasi tinggi terjadi pada bulan Juni sampai Oktober (muson tenggara). Sedangkan konsentrasi klorofil-a Selat Sunda dengan konsentrasi rendah terjadi pada bulan Januari sampai Mei (muson barat laut).
Adanya pengaruh angin muson barat laut dalam penyebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Sunda membuat citra periode 1-8 Mei dan 9-16 Mei sebagian besar tertutup awan.
Hal ini mengakibatkan hanya sebagian kecil
perairan saja yang dapat diambil nilai klorofilnya sehingga diduga sebagai penyebab rendahnya nilai klorofil-a pada periode ini. Namun Monk et al. (1997) mengkaitkan hal ini dengan keberadaan fenomena upwelling dengan menyatakan laju produktivitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson. Hal ini berhubungan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh. Berdasarkan pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada muson tenggara, dimana pada saat tersebut terjadi upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur. Sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Perairan Indonesia pada saat ini tidak terjadi upwelling dalam skala besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Perbedaan konsentrasi klorofil-a pada kedua muson tersebut dikemukakan oleh beberapa peneliti yang mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3 selama musim barat, 0,21 mg/m3 selama musim timur. Berdasarkan data anomali tinggi permukaan laut bulanan yang diambil pada periode Mei-Juni 2009 (Lampiran 5), topografi permukaan laut peraian Selat Sunda menunjukkan nilai positif yang berarti pada daerah tersebut mengalami downwelling, dimana massa air yang permukaannya yang lebih tinggi akan turun dan terdorong ke bawah.
Syamsudin (1998) menyatakan bahwa kondisi
oseanografi Selat Sunda kembali normal dan mulai terbentuk upwelling (taikan air) di perairan Barat Sumatra pada bulan Juli s/d Agustus 1998. Berdasarkan data anomali tinggi permukaan laut harian yang diambil dapat diketahui bahwa upwelling terjadi pada perairan Barat Sumatera mulai terjadi pada 11 Juni 2009 (Gambar 19). Hal ini ditunjukkan dengan anomali tinggi permukaan laut pada 10 Juni yang memperlihatkan nilainya yang positif. Dengan ini dapat diketahui bahwa peningkatan tajam nilai rata-rata klorofil-a pada periode 18-25 Juni diakibatkan adanya upwelling yang terjadi pada periode sebelumnya yaitu periode
10-17 Juni. Hal ini membuktikan bahwa konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Sunda dipengaruhi oleh fenomena ini.
a)
b)
Gambar 19 Citra anomali tinggi permukaan laut. a) 10 Juni 2009 b) 11 Juni 2009 Secara umum dilihat dari penampakan seluruh citra klorofil-a yang ada, sebaran klorofil-a mulai muncul setelah pada periode sebelumnya terdapat penutupan awan yang berarti adanya curah hujan yang tinggi. Klorofil-a dengan konsentrasi tinggi terdapat pada sepanjang perairan pantai.
Diduga daerah
perairan pantai ini mendapatkan nutrien yang berasal dari daratan yang dialirkan melalui sungai setelah hujan. (Nontji, 2007) mengemukakan bahwa fitoplankton yang subur umumnya terdapat di perairan sekitar muara sungai atau di perairan lepas pantai di mana terjadi air naik (upwelling). Di kedua lokasi itu terjadi proses penyuburan karena masuknya zat hara ke dalam lingkungan tersebut. Di depan muara sungai banyak zat hara datang dari daratan dan dialirkan oleh sungai ke laut, sedangkan di daerah air naik zat hara yang kaya terangkat dari lapisan lebih dalam ke arah permukaan.
5.3 Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan Bulan Mei 2009, kegiatan penangkapan ikan tongkol dilakukan di daerah sekitar Pulau Rakata dan Sumur. Area DPI yang dihasilkan berada di sepanjang perairan Sumur, Tanjung Lesung, Teluk Labuan, sebelah timur Pulau Rakata, sebelah tenggara Pulau Sebesi, dan Tanjung Tua dengan lokasi pada 05°53’06°43’ LS dan 105°27’-105°47’ BT (Gambar 20).
Hal ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya bahwa pada musim timur (Mei-Juni-Juli 2001), sebaran kapal mini purse seine di Selat Sunda berada pada posisi sebelah timur P.Rakata (06.00-06.20° LS dan 105.40-105.60° BT) sejumlah 21-30 kapal dan sebelah tenggara P.Rakata (06.20-06.40° LS dan 105.40-105.60°); di Teluk Labuan (06.20-06.40° LS dan 105.60-105.80° BT) sampai 200 unit kapal; Tanjung Lesung (06.40-06.60 ° LS dan 105.60-105.80° BT) dengan kepadatan kapal 51-90 dan 91-200 unit; perairan Sumur/Sumuran (06.60-06.80° LS dan 105.40-105.60° BT) dengan kepadatan masing-masing sekitar 21-30 dan 91-200 unit kapal; serta Pulau Panaitan (06.40-06.60° LS dan 105.20-105.40° BT) masing-masing di sebelah utara sejumlah 31-50 unit dan sebelah timur dengan kepadatan kapal 5190 unit (Amri, 2002). Bulan Juni 2009, area DPI yang dihasilkan berbeda dengan bulan sebelumnya. Bulan ini Nelayan payang di PPP Labuan melakukan penangkapan dengan tujuan daerah Ujung Kulon sehingga area DPI berpindah di sepanjang Teluk Labuan, Tanjung Lesung, Sumur, Teluk Paraja, Tanjung Alangalang, Teluk Peucang, Pulau Peucang dan sebelah barat Ujung Kulon dengan lokasi pada 06°18’-06°48’ LS dan 105°11-105°44’ BT (Gambar 21). Hal ini terjadi diduga karena kesuburan perairan di sekitar pantai meningkat setelah berakhirnya musim barat sehingga ikan tongkol berpindah ruaya mengikuti ikan-ikan kecil.
Gambar 20 Peta daerah penangkapan ikan pada Mei 2009.
Gambar 21 Peta daerah penangkapan ikan pada Juni 2009.
5.4
Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Tongkol dan Kaitannya dengan Parameter Oseanografi Hasil tangkapan ikan tongkol yang didapatkan oleh nelayan kapal payang di
PPP Labuan selama Mei-Juni 2009 di perairan Selat Sunda tergolong rendah. Jumlah hasil tangkapan total yang didapatkan pada bulan Mei sebesar 1.133 kg dengan rata-rata CPUE bulanan 11,20 kg/setting sedangkan pada bulan Juni sebesar 1.856,5 kg dengan rata-rata CPUE bulanan 15,38 kg/setting. Hal ini dapat dilihat dari penelitian sebelumnya, rata-rata CPUE yang didapat oleh kapal payang di PPN Palabuhanratu pada Mei 2007 sebesar 401,55 kg/setting (Girsang, 2008). Perbedaan jumlah kapal sampel yang diambil dan jumlah trip/bulan yang dimasukkan dalam perhitungan kemungkinan menjadi salah satu faktor pembeda hasil yang didapatkan.
Namun jika dilihat, perbedaan yang besar dengan
pengaruh musim yang sama memberikan kesimpulan bahwa sebaran ikan tongkol selama bulan Mei-Juni 2009 di perairan Selat Sunda tergolong sedikit. Besarnya pengaruh musim barat pada bulan Mei 2009 membuat operasi penangkapan ikan menjadi tidak produktif.
Tingginya curah hujan, besarnya
ombak dan kencangnya angin mengakibatkan kegiatan operasi penangkapan ikan tidak dapat dilakukan setiap hari.
Nababan, 2008 menjelaskan hal tersebut
sebagai faktor pembatas yang menjadi tekanan lingkungan bagi ikan-ikan pelagis. Sehingga saat musim angin kencang ikan akan mencari perairan yang lebih tenang untuk menghindari tekanan tersebut. Faktor pembatas lainnya adalah kuatnya arus dan tidak jernihnya perairan yang mempengaruhi keberhasilan operasi penangkapan ikan tongkol. Besarnya arus membuat jaring payang tidak dapat melingkar sempurna sehingga kemungkinan ikan lolos menjadi lebih besar sedangkan perairan yang tidak jernih membuat nelayan sulit dalam melihat ruaya ikan.
Hal ini didukung oleh data pola arus permukaan bulanan yang ada
(Lampiran 6). Berdasarkan data pola arus permukaan yang digunakan, dapat dilihat bahwa kecepatan arus sebesar 2 m/s pada bulan Mei dan 4 m/s pada bulan Juni. Hasil tangkapan yang didapatkan pada bulan Juni 2009 lebih baik dari bulan Mei. Terbukti dengan hasil tangkapan dan CPUE tertinggi dihasilkan pada bulan ini dengan besar masing-masing 366 kg pada 21 Juni 2009 dan 40 kg/setting pada 13 Juni 2009. Secara umum dapat dilihat adanya peningkatan hasil tangkapan
pada bulan ini, tetapi hasil tangkapan dan CPUE terendah juga dihasilkan pada bulan ini, yaitu pada 6 Juni dengan besar masing-masing 7 kg dan 1,4 kg/setting. Namun demikian, faktor pengaruh musim barat yang semakin berkurang pada bulan ini membuat kegiatan operasi penangkapan ikan menjadi lebih produktif dibandingkan bulan Mei. Selanjutnya kondisi osenografi yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara parameter oseanografi dengan hasil tangkapan ikan tongkol adalah faktor suhu, klorofil-a, dan kedalaman perairan.
Ketiga faktor tersebut dilakukan
analisis korelasi untuk mengetahui tingkat pengaruhnya terhadap hasil tangkapan ikan tongkol. Hasil yang didapatkan pada faktor suhu permukaan laut (SPL) yaitu bahwa SPL tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Korelasi antara keduanya bersifat lemah dengan ditandai nilai korelasi yang hanya sebesar -0,42. Terjadi hubungan negatif antara keduanya yang berarti penurunan suhu permukaan laut terdapat hasil tangkapan yang meningkat dan sebaliknya peningkatan suhu permukaan laut menyebabkan penurunan hasil tangkapan. Hal ini berarti ikan tongkol lebih menyenangi perairan yang bersuhu dingin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Amri (2002) bahwa tongkol tergolong ikan epipelagik dengan kisaran temperatur yang disenangi antara 18,0-29,0 °C. Penyebaran ikan tongkol cenderung membentuk kumpulan multispesies menurut ukurannya, misalnya kumpulan Thunnus albacares, Katsuwonus pelamis, Auxis sp dan Megalopsis cardyla (Carangidae). Faktor yang menyebabkan lemahnya korelasi SPL terhadap hasil tangkapan ikan tongkol, bisa terjadi dikarenakan nilai SPL yang didapatkan merupakan nilai SPL perairan Selat Sunda yang terukur oleh satelit pada satu waktu tertentu saja dan nilai SPL tersebut juga merupakan nilai gabungan (komposit) selama 8 hari. Hubungan yang lemah ini telah didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa hubungan SPL dengan hasil tangkapan ikan tongkol tahun 2006/2007 di perairan Kalimantan Timur bersifat lemah dengan koefisien korelasi 0,43 (Adnan, 2008). Namun dalam penelitian lain, nilai koefisien korelasi yang diperoleh sebesar 0,7729 yang berarti hubungan antara suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan ikan tongkol adalah erat (Ismajaya, 2006).
Dengan ini
dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya SPL dengan kelimpahan dan distribusi
ikan tidak mutlak sebagai suatu hubungan linear, akan tetapi setiap ikan mempunyai batas toleransi atau kondisi optimum terhadap lingkungan yang ditempatinya. SPL perairan Selat Sunda pada Mei-Juni 2009 masih berada pada suhu optimum, sehingga SPL tidak berpengaruh nyata terhadap distribusi ikan. Hubungan antara faktor klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan tongkol bersifat lemah. Nilai koefisien korelasi sebesar -0,32 menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata klorofil-a terhadap hasil tangkapan. Hal ini berarti tidak ada keterkaitan secara langsung antara keduanya. Hal ini dapat terjadi berkaitan rantai makanan yang terjadi di perairan Selat Sunda. Berdasarkan Gambar 22 dapat dilihat bahwa ekosistem Selat Sunda terdiri dari lebih empat trophic level, dengan kelompok Shark (Hiu) berada di level predator teratas. rendah ada 10 kelompok fungsional yaitu
Untuk trophic level
fitoplankton, lamun, mangrove,
terumbu karang, zooplankton, LBS (Living Bottom Structure), udang & kepiting, molluska, cumi-cumi dan detritus dan 2 kelompok untuk intermediate trophic level yaitu pelagis kecil, pelagis sedang, serta 3 kelompok untuk trophic level tinggi yaitu ikan hiu, ikan demersal, dan burung laut. Kelompok fungsional ekosistem Selat Sunda dapat dilihat dalam tabel 11.
Tabel 11 Kelompok fungsional ekosistem di Selat Sunda No 1
Kelompok Fungsional Fitoplankton
2
Lamun
3 4 5
Mangrove Terumbu karang Zooplankton
6 7
LBS Pelagis kecil
8
Pelagis sedang
Komponen Kelompok Bacteriastrum; Ceratium; Chaetozeros; Rhizosolenia; Hemiacilus Enhalus acoroides; Cymodecea rotundata; Syringodium isoetifolium; Thallassia hemprinchii Avicennia marina Hard Coral Acropora; Hard Coral non Acopora Calamida; Bikopleura; Cycloprida; Lucifer; Chaetognatha Soft coral; Sponge; Zoanthids Rastrelliger brachysoma; Anodontostoma chacunda; Selaroides leptolepis; Dussumieria elopsoides; Alectis indicus; Trichiurus haumela; Pelate quadrilineatus; Apogon quadrifasciatus; Leiognathus equulus; Pentaprion Longimanus; Spyraena sp; Thryssa hamiltonii; Stelopherus indicus Fistularia petimba; Scomberomorus guttatus; Euthynnus sp
Tabel 11 Lanjutan No
Kelompok Fungsional Ikan demersal
9
10 11
Makrozoobenthos Udang & Kepiting Kelompok Molluska Cumi-cumi Ikan hiu Burung laut
12 13 14 15
Komponen Kelompok Trachyrampus bicoarctatus; Areichthys tomentosus; Scatophagus argus; Ephinephelus sexfasciatus; Upeneussulphureus; Psettodeserumei; Nemipterus hexodon; Nemipterus japonicas; Nemipterus nemathoporus; Sufflamenfraenatus; Leiognathuselongates; Secutorruconius; Caranx sp Crassostrea spp; Holothuroidea Portunus spp; Panaeus merguensis; Penaeid post Larvae Maretrix spp; Anadara spp Loligo spp Carcharhinidae Haliaetus leucogaster
Sumber: Supangat, 2004
Konsentrasi klorofil-a menunjukkan keberadaan fitoplankton. makanan fitoplankton dimakan oleh trophic level diatasnya.
Rantai
Ikan tongkol
(Euthynnus sp) merupakan pemakan ikan teri (Stelopherus indicus) sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya waktu (time lag) yang dibutuhkan untuk memindahkan senyawa organik dari fitoplankton ke tingkat trofik yang lebih tinggi.
Berdasarkan penelitian Fitriah (2008), adanya time lag ditunjukkan
dengan hasil tangkapan ikan tongkol dan cakalang di wilayah Selatan Jawa Bagian Barat meningkat pada bulan Juni hingga Oktober. Selang waktu tingginya konsentrasi klorofil-a dengan kenaikan hasil tangkapan yang terjadi berkisar 1-2 bulan. Selang waktu ini merupakan representasi rantai makanan yang ada di ekosistem laut, dimana tongkol dan cakalang merupakan ikan karnivor. Lemahnya hubungan antara klorofil-a dengan hasil tangkapan terjadi karena minimnya data yang digunakan dalam perhitungan.
Hal ini disebabkan
banyaknya nilai klorofil-a daerah penangkapan ikan yang tidak diketahui karena citra yang tertutup awan. Namun demikian, jika citra sebaran klorofil-a di-overlay dengan posisi penangkapan (segitiga warna merah) seperti di dalam Gambar 22, dapat dilihat bahwa posisi penangkapan berada pada citra klorofil-a yang berkonsentrasi tinggi sehingga hal ini membuktikan adanya keterkaitan antara keberadaan ikan tongkol di Selat Sunda dengan sebaran klorofil-a.
b)
LINTANG SELATAN
LINTANG SELATAN
a)
BUJUR TIMUR
d)
BUJUR TIMUR
LINTANG SELATAN
c)
LINTANG SELATAN
BUJUR TIMUR
BUJUR TIMUR
Gambar 22 Citra overlay klorofil-a dan posisi penangkapan di perairan Selat Sunda pada tanggal 9-16 Mei 2009 (a), 17-24 Mei 2009 (b), 25 Mei1 Juni 2009 (c), dan 18-25 Juni 2009 (d).
Sumber: Supangat, 2004
Gambar 23 Trophic level ekosistem di Selat Sunda.
Selanjutnya hubungan antara faktor kedalaman perairan terhadap hasil tangkapan ikan tongkol bersifat lemah dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,4. Hasil analisis memperlihatkan bahwa semakin dalam kedalaman perairan didapatkan hasil tangkapan yang tinggi, dan sebaliknya semakin rendah kedalaman perairan hasil tangkapan yang didapatkan pun rendah. Namun jika dilihat dari sebaran titik pencar dapat diambil kesimpulan bahwa hasil tangkapan terbanyak didapatkan pada kedalaman rendah yaitu <50 m. Hal ini didukung oleh (Burhanudin, 1984 yang dikutip oleh Paryadi, 1998) yang menyatakan pada umumnya ikan tongkol menyenangi perairan panas dan hidup di lapisan permukaan sampai kedalaman 40 meter dengan kisaran suhu optimum antara 2028oC. Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa lemahnya hubungan antara kedalaman perairan dengan hasil tangkapan ikan tongkol dikarenakan kedalaman perairan tidak memiliki hubungan yang linear terhadap hasil tangkapan.
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1) Daerah penangkapan ikan tongkol yang terbentuk di perairan Selat Sunda selama bulan Mei-Juni 2009 terjadi di sepanjang perairan Sumur, Tanjung Lesung, Teluk Labuan, sebelah timur Pulau Rakata, sebelah tenggara Pulau Sebesi, dan Tanjung Tua dengan lokasi pada 05°53’-06°43’ LS dan 105°27’105°47’ BT pada Mei 2009 dan di sepanjang Teluk Labuan, Tanjung Lesung, Sumur, Teluk Paraja, Tanjung Alangalang, Teluk Peucang, Pulau Peucang dan sebelah barat Ujung Kulon dengan lokasi pada 06°18’-06°48’ LS dan 105°11105°44’ BT pada Juni 2009 dengan karakteristik oseanografi sebagai berikut suhu dengan kisaran dominan 30,2-30,4 °C, klorofil-a dengan kisaran dominan 0,3-0,7 mg/m3, dan kedalaman perairan dominan <50 m; dan 2) Suhu permukaan laut, klorofil-a dan kedalaman tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan tongkol di perairan Selat Sunda pada periode Mei-Juni 2009. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yang kecil, yaitu -0,42 untuk SPL, -0,32 untuk klorofil-a, dan 0,4 untuk kedalaman.
6.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan disarankan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) Perlu dilakukan kajian daerah penangkapan ikan dengan musim yang berbeda, waktu (time series) yang relatif lama, dan parameter oseanografi yang lebih dengan disertai pengambilan data secara in-situ; 2) Perlu dicarikan alternatif lain untuk sumber data oseanografi selain MODIS misalnya Feng yun.
DAFTAR PUSTAKA Adnan. 2008. Variabilitas Hasil Tangkapan Ikan Hubungannya dengan Sebaran Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut Data Inderaja di Perairan Kalimantan Timur [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 88 hal. Alfian F. 2005. Pemanfaatan Terumbu Karang Buatan sebagai Daerah Penangkapan Ikan Alternatif di Perairan Pulau Sabesi Lampung [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 67 hal. Almuthahar A. 2005. Analisis Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-A dari Data Satelit dan Hubungannya terhadap Hasil Tangkapan Ikan Kembung (Rastrelliger Spp) di Perairan Natuna – Laut Cina Selatan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 150 hal. Anonim. 2010. Aplikasi SeaDAS untuk Remote http://www.4shared.com. [7 Februari 2010].
Sensing
Kelautan.
Amri K. 2002. Hubungan Kondisi Oseanografi (Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a, dan Arus) dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Perairan Selat Sunda [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 126 hal. Ayuningtyas A. 2007. Kajian Perubahan Konsentrasi Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut di Barat Laut Perairan Aceh Sebelum dan Sesudah Tsunami dengan Menggunakan Data Citra Satelit Aqua MODIS [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 84 hal. Barnes RSK and Hughes RN. 1988. An Introduction to Marine Ecology. 2nd edition. Oxford: Balckwell Scientific. 351 hal. Birowo S. 1983. Hydro-Oceanographic Condition of the Sunda Strait: A Review. Proceeding of Symposium on 100th Year Development of Krakatau and Its Souronding. Volume 1: Natural Science. Jakarta: LIPI. Hal 297-303. Daly JL. 2001. TOPEX-Poseidon Radar Altimetry:Averaging the Averages. http://Topex-Poseidon Radar Altimetry Averaging the Averages.htm. [7 Februari 2010]. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. 2007. Laporan Akhir Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (SDKP) Banten. http://www.dkp-banten.go.id. [25 Januari 2010].
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. 2008. Macam-macam Dok. Effendy A. 2005. Analisi Optimasi Faktor-Faktor Produksi Bagan Motor di Selat Sunda Provinsi Banten [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 135 hal. Fitriah N. 2008. Aplikasi Data Inderaan Multi Spektral untuk Estimasi Kondisi Perairan dan Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis di Selatan Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 49 hal. Gaol JL. 2003. Kajian Karakter Oseanografi Samudera Hindia Bagian Timur dengan Menggunakan Multisensory Citra Satelit dan Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) [Disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. 231 hal. Gaol JL, dan Nurjaya IW. 2004. Penerapan Teknologi Penginderaan Jauh Satelit untuk Meningkatkan Hasil Tangkapan Ikan. http://www.asosiasipoliteknik.or.id. [7 Februari 2010]. Girsang HS. 2008. Sudi Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Melalui Pemetaan Penyebaran Klorofil-a dan Hasil Tangkapan di Palabuhanratu, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 71 hal. Graham S. 2005. Aqua Project Science. http://aqua.nasa.gov. [7 Februari 2010]. Gunarso W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 hal. Gunawan A. 2004. Analisis Pola Penangkapan dan Tingkat Pemanfaatan Ikan Teri di Kabupaten Tuban, Jawa Timur [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 90 hal. Ingmanson DE, Wallace WJ. 1973. Oceanology: An Introduction. Third Edition. California:Wadsworth Publishing Company Belmont. 530 p. Ismajaya. 2006. Hubungan Suhu Permukaan Laut dengan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol pada Musim Timur di Perairan Teluk Palabuhanratu, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 57 hal. King CAM. 1966. An Introduction to Oceanography. New York: McGraw Hill Book Co. Inc. 337 p.
Laevastu T dan Hela I. 1970. Fisheries Oceanography New Ocean Environmental Services. London: Fishing News (Books) LTD. 238 p. Maccherone B. 2005. About MODIS. http://modis.gsfc.nasa.gov. [7 Februari 2010]. Monk KY, De Fretes Y, and Reksodiharjo-Lilley G. 1997. The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. The Ecology of Indonesia Series. Vo. V. Periplus Editions. Nababan B. 2008. Analisis Sebaran Konsentrasi Klorofil-a dalam Kaitannya dengan Jumlah Hasil Tangkapan Ikan Cakalang di Perairan Binuangeun Banten [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 66 hal. NASA. 2006. TOPEX/Poseidon. http://www.topex.jpl.nasa.gov.mission. [7 Februari 2010]. Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Cetakan kelima. Jakarta: Djambatan. 356 hal. Paryadi Y. 1998. Analisis Musim dan Tingkat Pemanfaatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) di Labuan Kabupaten Pandeglang Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pujiyati S. 1996. Pendugaan Nilai Target Strength Ikan dengan Menggunakan Transducer Bim Ganda di Perairan Selat Sunda [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 175 hal. Purwandani A. 2001. Peta Laut Indonesia. Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 64 hal. Purwandi S. 1996. Efisiensi Usaha dan Teknis Unit Penangkapan Payang di Kecamatan Labuan Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ramansyah F. 2009. Penentuan Pola Sebaran Konsentrasi Klorofil-a di Selat Sunda dan Perairan Sekitarnya dengan Menggunakan Data Inderaan Aqua MODIS [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 62 hal. Randall JE. 1997. Euthynnus affinis picture (Euaff_u2.jpg). http://fishbase.org. [19 Maret 2010]. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I dan II. Binacipta. Bandung. 508 hal.
Setiawan R. 1999. Analisis Potensi Tingkat Pemanfaatan dan Pola Musim Penangkapan Tongkol di Perairan Binuangeun, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Simbolon D, Irnawati R, Sitanggang LP, Ernaningsih D, Tadjuddah M, dkk. 2009. Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan. Bogor: Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 168 hal. Supangat A, Wagey T, Burhanuddin S. 2004. Daya Dukung Kelautan dan Perikanan Tim Proyek Carrying Capacity Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Susilo SB, dan Gaol JL. 2008. Dasar-dasar Penginderaan Jauh Kelautan. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Syamsuddin S. 1998. Studi Tentang Densitas Ikan Pelagis dengan Sistem Akustik Bim Terbagi dan Hubungan Kondisi Oseanografis di Selat Sunda [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 78 hal. Walpole E. 1992. Pengantar Statistika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 515 hal. Wiryawan B, Marsden B, Susanto HA, Mahi AK, Ahmad M, dkk (Editor). 2002. Edisi 2: Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung. Kerjasama PEMDA Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir (Coastal Resources Center, University of Rhode Island dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor). Bandar Lampung. Indonesia. 109 p. Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. The University of California, Scripps Institution of Oceanography. La Jolla. California: Naga Rep. Vol 2. 195 p.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Pengolahan data MODIS level 3 pada program SeaDAS 5.2 Pada terminal masukkan perintah untuk masuk ke program SeaDAS 5.2 : SeaDAS –em
Pada SeaDAS Main Menu, pilih Display dan masukkan file citra level 3 Aqua MODIS (SST dan klorofil-a). Kemudian pada Product Selection For MODIS File menu, masukkan koordinat lokasi (lintang dan bujur) yang akan diolah lalu pilih Sea Surface Temperature/Chlorophyll a Concentration dan pilih Load. Pada Band List Selection Menu, pilih Display.
Lampiran 1 Lanjutan
Pada menu Setups, pilih Landmask untuk mengubah warna tampilan daratan. Warna daratan yang dipilih adalah warna abu-abu dengan komposisi warna Red=135, Green=135, dan Blue=135. Lalu pilih Go.
Lampiran 1 Lanjutan
Pada Menu Functions, pilih Rescale untuk mengubah tampilan citra. Pada Display Scalling Setup Menu, masukkan Scale Min=20 dan Max=35 untuk SST dan Scale Min=0 dan Max=3 untuk klorofil-a. Lalu pilih Redisplay.
Lampiran 1 Lanjutan
Pada menu Functions, pilih Output lalu pilih Data ASCII untuk hasil berupa data dan pilih Image untuk hasil berupa gambar.
Lampiran 1 Lanjutan
Lampiran 2 Jumlah hasil tangkapan, CPUE dan jumlah setting kapal payang di PPP Labuan selama Mei-Juni 2009 Tanggal Nama Kapal Jumlah Hasil Jumlah CPUE Penangkapan 8 Mei 9 Mei 10 Mei 11 Mei 12 Mei 13 Mei 14 Mei 19Mei 20 Mei 23 Mei 24 Mei 25 Mei 26 Mei 28 Mei 6 Juni 7 Juni 10 Juni 11 Juni 13 Juni 14 Juni 18 Juni 19 Juni 20 Juni 21 Juni 22 Juni 23 Juni 24 Juni 25 Juni 26 Juni 27 Juni
Tangkapan (kg) KM Sritikah 3 KM Sritikah 3 KM Bangkit 1 KM Putritikah KM Putritikah KM Baruna KM Baruna KM Bangkit 2 KM Srikandi KM Sritikah 1 KM Sritikah 1 KM Baruna KM Baruna KM Baruna KM Ratu Kayla KM Ratu Kayla KM Bangkit 1 KM Bangkit 1 KM Bangkit 1 KM Bangkit 1 KM Doser KM Doser KM Baruna KM Baruna KM Baruna KM Bangkit 1 KM Bangkit 1 KM Ratu Kayla KM Ratu Kayla KM Ratu Kayla
128 28 0 0 298 182 9 16 0 200 80 100 62 30 7 38,5 75 230 120 60 29 50 0 366 304 205 0 7 290 75
Setting 7 5 4 3 10 7 2 6 7 6 5 11 7 11 5 14 9 6 3 6 3 7 1 12 10 6 10 4 13 8
(kg/setting) 18,3 5,6 0 0 29,8 26 4,5 2,67 0 33,3 16 9,1 8,9 2,7 1,4 2,8 8,3 38,3 40 10 9,7 7,1 0 30,5 30,4 34,2 0 1,8 22,3 9,4
Lampiran 3 Peta posisi penangkapan ikan kapal payang di PPP Labuan pada MeiJuni 2009
Lampiran 3 Lanjutan
Lampiran 3 Lanjutan
Lampiran 3 Lanjutan
Lampiran 3 Lanjutan
Lampiran 3 Lanjutan
Lampiran 3 Lanjutan
Lampiran 3 Lanjutan
Lampiran 3 Lanjutan
Lampiran 3 Lanjutan
Lampiran 3 Lanjutan
Lampiran 3 Lanjutan
Lampiran 3 Lanjutan
Lampiran 3 Lanjutan
Lampiran 3 Lanjutan
95
Lampiran 4 Tabel daerah penangkapan ikan, koordinat, SPL, klorofil, kedalaman dan jumlah hasil tangkapan berdasarkan tanggal penangkapan Tanggal 8-Mei-09
9-Mei-09
10-Mei-09
11-Mei-09
12-Mei-09
Daerah Penangkapan Ikan Tg Camara Tg Camara Tg Camara P Handeuleum P Handeuleum P Handeuleum P Handeuleum Tg Cihonje Tg Tancangpare Tg Camara Labuan Labuan Tg Cawar Tg Camara Tg Camara Tg Camara Tg Lesung Tg Cawar Tg Camara Tg Cihonje Sumur Sumur Sumur Tg Camara Tg Camara Tg Camara Tg Camara Tg Camara
Koordinat LS 06˚33’59,4” 06˚35’56,1” 06˚35’58,2” 06˚43’34,0” 06˚43’38,2” 06˚43’37,4” 06˚43’40,8” 06˚40’59,7” 06˚42’30,9” 06˚33’16,8” 06˚18’39,9” 06˚19’27,5” 06˚31’48,8” 06˚35’37,9” 06˚35’28,6” 06˚34’21,8” 06˚28’55,1” 06˚30’10,9” 06˚35’50,0” 06˚40’05,5” 06˚36’45,2” 06˚36’53,2” 06˚36’32,5” 06˚33’19,0” 06˚33’32,3” 06˚33’50,4” 06˚33’46,9” 06˚34’09,3”
BT 105˚36’15,6” 105˚35’22,8” 105˚35’46,3” 105˚27’53,3” 105˚27’49,5” 105˚27’57,9” 105˚28’05,5” 105˚33’13,8” 105˚31’08,9” 105˚36’47,6” 105˚41’40,4” 105˚41’39,1” 105˚37’08,4” 105˚35’01,3” 105˚34’23,8” 105˚35’33,8” 105˚36’42,3” 105˚36’29,9” 105˚34’27,2” 105˚32’37,7” 105˚34’35,0” 105˚34’25,6” 105˚34’15,1” 105˚35’39,5” 105˚35’20,1” 105˚35’30,8” 105˚35’38,4” 105˚35’14,1”
SPL (ºC) 30,66 30,60 30,62 30,62 30,62 30,59 30,62 30,31 30,31 30,31 30,31 30,62
Klorofil (mg/m3) 0,87 0,87 -
Kedalaman (m) -22,5 -25 -22 -22 -22 -22 -22 -16 -20 -24 -30 -29 -29 -28 -33 -28 -51 -44 -32 -27 -25,5 -27 -28,5 -34 -38 -36 -34 -31
Hasil Tangkapan (kg) 0 40 50 0 24 14 0 0 8 0 16 4 0 0 0 0 0 0 0 0 20 14 35 0 0 16 42 64
96
Lampiran 4 Lanjutan Tanggal 13-Mei-09
14-Mei-09 19-Mei-09
20-Mei-09
23-Mei-09
Daerah Penangkapan Ikan Tg Camara Labuan Labuan Labuan Labuan Tg Katapang Tg Katapang Tg Katapang Labuan Labuan Labuan Tg Lesung Tg Lesung Tg Lesung Labuan Labuan Labuan Labuan Labuan Tg Lesung Tg Lesung Tg Lesung Tg Lesung Tg Tua Tg Tua Tg Tua Tg Tua Tg Tua Tg Tua
Koordinat LS 06˚34’51,0” 06˚22’54,3” 06˚20’46,7” 06˚23’13,0” 06˚23’12,0” 06˚25’40,3” 06˚25’18,2” 06˚24’52,7” 06˚26’34,5” 06˚25’25,1” 06˚25’00,1” 06˚24’53,2” 06˚24’41,0” 06˚25’05,3” 06˚18’30,3” 06˚19’31,8” 06˚17’36,4” 06˚19’19,1” 06˚22’30,4” 06˚24’37,2” 06˚23’05,3” 06˚25’39,8” 06˚24’52,5” 05˚55’31,5” 05˚56’20,1” 05˚55’54,8” 05˚55’06,2” 05˚54’30,4” 05˚53’34,8”
BT 105˚35’17,9” 105˚47’56,0” 105˚47’31,9” 105˚47’41,7” 105˚47’35,8” 105˚42’05,7” 105˚42’00,6” 105˚42’31,0” 105˚44’19,0” 105˚45’03,1” 105˚44’57,6” 105˚40’05,5” 105˚40’10,5” 105˚39’30,1” 105˚44’44,8” 105˚45’47,5” 105˚43’48,1” 105˚42’27,2” 105˚41’03,9” 105˚38’24,9” 105˚38’57,2” 105˚38’29,5” 105˚38’50,8” 105˚41’10,2” 105˚41’02,4” 105˚41’08,8” 105˚41’39,5” 105˚41’13,7” 105˚40’36,0”
SPL (ºC) 30,62 30,77 30,77 30,77 30,64 30,64 30,64 30,64 30,45 30,45 30,37 30,73 30,64 30,64 30,66 -
Klorofil (mg/m3) 0,65 0,65 0,65 1,12 1,12 0,32 0,32 0,32 0,21 0,25 0,19 0,25 0,32 0,32 0,52 0,54 0,52 -
Kedalaman (m) -30 -5 -22 -4 -4 -21 -22 -24 -4 -3 -6 -46 -45 -52 -25 -27 -28 -26 -38 -59 -48 -58 -56 -41 -40 -41 -52 -46 -40
Hasil Tangkapan (kg) 97 54 0 0 0 0 93 35 0 9 0 0 0 0 16 0 0 0 0 0 0 0 0 60 0 40 50 30 20
97
Lampiran 4 Lanjutan Tanggal 24-Mei-09
25-Mei-09
26-Mei-09
28-Mei-09
Daerah Penangkapan Ikan Sebesi Sebesi Sebesi Sebesi Sebesi Carita Rakata Rakata Rakata Rakata Rakata Rakata Rakata Rakata Rakata Rakata Sebesi Sebesi Rakata Rakata Rakata Rakata Rakata Rakata Rakata Rakata Rakata Rakata Rakata
Koordinat LS 05˚56’55,6” 05˚59’47,1” 06˚01’32,3” 06˚01’28,2” 06˚01’11,3” 06˚13’58,8” 06˚09’47,0” 06˚07’27,2” 06˚07’02,5” 06˚07’02,9” 06˚06’53,4” 06˚05’03,7” 06˚04’52,9” 06˚05’01,0” 06˚04’41,8 06˚31’54,5” 06˚00’00,6” 06˚00’46,1” 06˚07’27,7” 06˚06’59,7” 06˚06’06,5” 06˚05’26,5” 06˚04’33,0” 06˚06’43,4” 06˚06’31,4” 06˚05’50,42” 06˚05’58,9” 06˚05˚29,0” 06˚04’52,0”
BT 105˚33’29,0” 105˚30’58,0” 105˚31’12,2” 105˚31’37,3” 105˚31’45,0” 105˚45’18,2” 105˚39’24,2” 105˚37’46,2” 105˚38’08,1” 105˚38’19,4” 105˚38’51,8” 105˚37’49,0” 105˚37’35,8” 105˚37’32,5” 105˚37’45,8” 105˚38’17,5” 105˚31’37,3” 105˚31’49,3” 105˚31’23,3” 105˚31’38,2” 105˚33’18,2” 105˚33’39,9” 105˚34’12,8” 105˚36’34,2” 105˚36’46,2” 105˚37’27,7” 105˚37’55,4” 105˚38’26,8” 105˚39’15,6”
SPL (ºC) 30,44 30,71 30,71 30,60 30,60 30,69 31,04 30,99 31,04 31,04 31,07 31,11 31,11 31,11 31,11 31,11 30,81 30,81 30,77 31,07 31,22 31,07 31,06 31,11 31,11 31,11 31,11 31,07 30,96
Klorofil (mg/m3) 0,54 0,34 0,26 0,26 0,26 0,76 0,67 0,64 0,71 0,71 0,71 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,52 0,52 0,51 0,56 0,56 0,56 0,56 0,64 0,64 0,64 0,64 0,64 0,71
Kedalaman (m) -3 -28 -22 -25 -29,5 -31 -53 -54,5 -46 -45 -46,5 -61 -48 -45 -58 -31 -29 -30 -54 -39 -49 -49 -41 -47 -47,5 -51 -48,5 -45 -96
Hasil Tangkapan (kg) 0 80 0 0 0 2 6 0 0 0 0 0 0 0 92 0 0 0 0 13 0 39 10 0 0 0 0 0 0
98
Lampiran 4 Lanjutan Tanggal
06-Juni-09
07-Juni-09
10-Juni-09
Daerah Penangkapan Ikan Rakata Rakata Rakata Tg Cikoneng Tg Cikoneng Labuan Tg Cawar Labuan Labuan Labuan Labuan Labuan Labuan Labuan Labuan Labuan Labuan Labuan Labuan Labuan Labuan Labuan Labuan Labuan Tg Lesung Tg Lesung Tg Lesung Tg Cawar Sumur
Koordinat LS 06˚04’38,6” 06˚04’08,9” 06˚03’54,2” 06˚06’54,5” 06˚08’09,7” 06˚25’30,5’’ 06˚33’30,0’’ 06˚24’35,2’’ 06˚24’35,4’’ 06˚24’29,0’’ 06˚24’35,4’’ 06˚25’16,8’’ 06˚24’01,9’’ 06˚23’52,4’’ 06˚23’36,3’’ 06˚19’06,9’’ 06˚19’06,9’’ 06˚18’29,6’’ 06˚18’50,8’’ 06˚18’49,1’’ 06˚18’25,0’’ 06˚20’52,6’’ 06˚20’58,2’’ 06˚21’21,2’’ 06˚25’17,8’’ 06˚25’22,5’’ 06˚25’57,3’’ 06˚31’39,0’’ 06˚39’36,1’’
BT 105˚40’40,0” 105˚42’05,0” 105˚42’42,9” 105˚45’31,0” 105˚46’11,5” 105˚42’22,5’’ 105˚36’19,0’’ 105˚42’18,5’’ 105˚42’17,2’’ 105˚42’21,2’’ 105˚43’43,2’’ 105˚43’51,0’’ 105˚44’13,6’’ 105˚44’11,0’’ 105˚43’32,6’’ 105˚36’22,2’’ 105˚36’17,1’’ 105˚36’42,8’’ 105˚36’37,7’’ 105˚36’29,1’’ 105˚36’33,2’’ 105˚40’12,0’’ 105˚39’54,4’’ 105˚41’12,8’’ 105˚41’04,4’’ 105˚40’42,1’’ 105˚40’17,1’’ 105˚37’26,3’’ 105˚30’35,2’’
SPL (ºC) 31,03 31,03 31,03 30,85 30,67 30,57 30,89 30,89 30,84 30,84 30,84 30,84 30,65 30,65 30,63 30,70 30,70 31,03 30,37
Klorofil (mg/m3) 0,71 0,68 0,68 0,76 0,84 0,77 0,77 0,53 -
Kedalaman (m) -42 -63 -65 -53 -45 -19 -26 -26 -26 -25 -14 -8 -16 -16,5 -22 -51 -51 -48 -49 -50 -50 -38 -41 -33 -29 -32 -37 -23 -34
Hasil Tangkapan (kg) 0 0 30 0 0 0 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,5 0 0 16 22 0 0 5 0 10
99
Lampiran 4 Lanjutan Tanggal
11-Juni-09
13-Juni-09
14-Juni-09
18-Juni-09
19-Juni-09
Daerah Penangkapan Ikan Teluk Paraja Teluk Paraja Teluk Peucang Teluk Peucang Ujung Kulon Ujung Kulon Ujung Kulon Ujung Kulon Ujung Kulon Tg Senini Sumur Tg alangalang P Peucang P Peucang Tg Layar Tg Layar P Peucang Sumur Sumur Teluk Paraja Teluk Paraja Teluk Paraja Teluk Paraja Teluk Paraja Teluk Paraja Teluk Paraja Teluk Paraja Teluk Paraja Tg Cihonje
Koordinat LS 06˚40’45,7’’ 06˚41’45,9’’ 06˚40’50,4’’ 06˚40’50,1’’ 06˚47’02,1’’ 06˚47’46,5’’ 06˚48’21,6’’ 06˚48’31,3’’ 06˚47’54,7’’ 06˚39’34,0’’ 06˚38’38,9’’ 06˚38’28,0’’ 06˚43’59,7’’ 06˚43’39,5’’ 06˚44’53,1’’ 06˚44’57,9’’ 06˚45’03,2’’ 06˚39’30,8’’ 06˚39’24,7’’ 06˚44’36,5’’ 06˚45’20,9’’ 06˚45’12,7’’ 06˚44’09,4’’ 06˚46’08,6’’ 06˚46’02,6’’ 06˚45’56,7’’ 06˚45’59,7’’ 06˚46’15,8’’ 06˚40˚39,3’’
BT 105˚28’43,9’’ 105˚27’30,3’’ 105˚18’42,5’’ 105˚18’41,5’’ 105˚12’48,4’’ 105˚12’06,5’’ 105˚11’21,2’’ 105˚11’11,6’’ 105˚12’23,4’’ 105˚20’19,0’’ 105˚33’30,4’’ 105˚21’36,5’’ 105˚13’22,2’’ 105˚14’08,7’’ 105˚12’32,7’’ 105˚12’31,4’’ 105˚14’04,5’’ 105˚33’50,2’’ 105˚33’54,7’’ 105˚28’15,7’’ 105˚28’18,3’’ 105˚28’00,9’’ 105˚27’36,2’’ 105˚28’38,5’’ 105˚28’30,8’’ 105˚28’25,2’’ 105˚28’23,5’’ 105˚28’23,0’’ 105˚32’37,6’’
SPL (ºC) 30,45 30,75 30,24 30,24 30,24 30,40 30,08 30,32 30,15 30,26 30,26 30,26 30,26 30,26 30,43 31,09 30,43 30,43 31,09 31,09 31,09 31,09 31,09 -
Klorofil (mg/m3) 0,46 0,46 0,46 0,46 -
Kedalaman (m) -7 -4 -76 -78 -118 -67,5 -184 -208 -25 -16 -22 -172 -120,5 -160 -138 -137 -26 -18 -18 -3 -25 -24 -3 -27 -26 -26 -26 -143 -25
Hasil Tangkapan (kg) 0 0 60 0 0 230 0 0 0 0 0 40 80 0 0 0 60 0 0 0 24 5 0 26 24 0 0 0 0
100
Lampiran 4 Lanjutan Tanggal 20-Juni-09 21-Juni-09
22-Juni-09
23-Juni-09
Daerah Penangkapan Ikan P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang Tg alangalang Tg Senini Teluk Peucang Teluk Peucang Teluk Peucang Teluk Peucang
Koordinat LS 06˚44’54,1’’ 06˚43’57,0’’ 06˚44’02,3’’ 06˚43’29,1’’ 06˚43’38,5’’ 06˚43’11,5’’ 06˚44’07,7’’ 06˚44’39,3’’ 06˚44’08,7’’ 06˚44’11,6’’ 06˚44’10,9’’ 06˚44’50,3’’ 06˚45’01,1’’ 06˚43’50,2’’ 06˚43’47,5’’ 06˚43’39,1’’ 06˚43’49,6’’ 06˚43’48,8’’ 06˚44’14,7’’ 06˚44’09,2’’ 06˚43’51,1’’ 06˚44’03,6’’ 06˚44’09,1’’ 06˚38’59,8’’ 06˚40’18,9’’ 06˚41’35,1’’ 06˚41’41,2’’ 06˚41’22,4’’ 06˚41’21,3’’
BT 105˚13’36,6’’ 105˚14’11,3’’ 105˚14’32,6’’ 105˚14’16,1’’ 105˚14’25,0’’ 105˚14’03,0’’ 105˚14’32,0 105˚14’36,1’’ 105˚14’34,3’’ 105˚14’42,4’’ 105˚13’57,9” 105˚13’59,3’’ 105˚13’43,4’’ 105˚14’32,2’’ 105˚14’20,6’’ 105˚14’28,4’’ 105˚14’29,1’’ 105˚14’22,5’’ 105˚14’41,3’’ 105˚14’11,8’’ 105˚14’13,7’’ 105˚14’15,7’’ 105˚14’12,9’’ 105˚22’43,9’’ 105˚19’15,9’’ 105˚17’26,7’’ 105˚17’21,0’’ 105˚17’36,6’’ 105˚15’59,4’’
SPL (ºC) 30,33 30,33 30,33 30,21 30,33 30,26 30,33 30,33 30,33 30,33 30,33 30,33 30,33 30,33 30,33 30,33 30,33 30,33 30,33 30,33 30,33 30,33 30,33 30,59 30,21
Klorofil (mg/m3) 0,34 -
Kedalaman (m) -194,5 -162 -182 -165 -172 -155 -182 -181 -181,5 -180 190 -189 -26 -178 -169 -175 -175 -170 -180 -190 -163 -165 -186 -26 -71 -106 -103,5 -109 -63
Hasil Tangkapan (kg) 0 120 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 240 0 0 0 0 0 0 104 0 0 200 62 0 43 0 100 0
101
Lampiran 4 Lanjutan Tanggal 24-Juni-09
25-Juni-09
26-Juni-09
Daerah Penangkapan Ikan Teluk Peucang Teluk Peucang Teluk Peucang Teluk Peucang Teluk Peucang Teluk Peucang Teluk Peucang Teluk Peucang Teluk Peucang Teluk Peucang Labuan Labuan Labuan Tg Alangalang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang
Koordinat LS 06˚43’21,5’’ 06˚43’31,6’’ 06˚43’00,7’’ 06˚42’57,7’’ 06˚42’03,1’’ 06˚41’15,3’’ 06˚41’01,4’’ 06˚41’06,8’’ 06˚40’27,9’’ 06˚40’28,4’’ 06˚24’42,2’’ 06˚24’55,7’’ 06˚26’03,2’’ 06˚39’03,3’’ 06˚44’36,6’’ 06˚44’38,6’’ 06˚44’12,8’’ 06˚44’43,5’’ 06˚43’59,6’’ 06˚44’04,7’’ 06˚44’22,0’’ 06˚44’12,1’’ 06˚43’07,1’’ 06˚44’17,0’’ 06˚44’21,4’’ 06˚44’18,9’’ 06˚44’25,3’’
BT 105˚16’47,5’’ 105˚16’53,6’’ 105˚17’19,4’’ 105˚18’00,7’’ 105˚19’11,3’’ 105˚19’02,7’’ 105˚19’04,9’’ 105˚19’02,2’’ 105˚18’55,4’’ 105˚18’50,6’’ 105˚44’23,8’’ 105˚44’40,5’’ 105˚44’34,9’’ 105˚21’39,0’’ 105˚14’20,3’’ 105˚14’15,9’’ 105˚13’52,2’’ 105˚14’38,9’’ 105˚14’10,9’’ 105˚14’18,7’’ 105˚14’30,1’’ 105˚14’39,8’’ 105˚14’05,5’’ 105˚14’35,9’’ 105˚14’42,2’’ 105˚14’39,3’’ 105˚14’09,5’’
SPL (ºC) 30,21 30,58 30,58 30,58 30,47 29,91 29,91 29,91 29,91 29,91 29,91 29,91 29,91 30,06 29,91 29,91 29,91 29,91
Klorofil (mg/m3) 1,24 1,24 1,24 0,34 -
Kedalaman (m) -258 -255 -241 -218,5 -120 -106 -105 -106 -75 -76 -9 -7 -4 -17 -185 -186 -181 -181 -161,5 -185 -182,5 -180 -157 -181 -180 -180 -187
Hasil Tangkapan (kg) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0 30 0 0 130 0 130 0 0 0 0 0
102
Lampiran 4 Lanjutan Tanggal 27-Juni-09
Daerah Penangkapan Ikan P Peucang P Peucang P Peucang P Peucang Teluk Peucang Teluk Peucang Teluk Peucang Teluk Peucang
Koordinat LS 06˚44’35,8’’ 06˚44’17,1’’ 06˚43’42,3’’ 06˚44’39,8’’ 06˚43’08,0’’ 06˚43’14,6’’ 06˚42’55,4’’ 06˚43’01,5’’
BT 105˚14’17,2’’ 105˚14’43,9’’ 105˚13’59,7’’ 105˚14’14,5’’ 105˚15’47,0’’ 105˚15’44,7’’ 105˚16’40,1’’ 105˚16’51,1’’
SPL (ºC) 29,91 29,91 29,91 29,91 29,92 29,92 -
Klorofil (mg/m3)
Kedalaman (m) -
-185 -179 -153 -186 -31 -233 -111 -121
Hasil Tangkapan (kg) 0 0 0 0 75 0 0 0
103
Lampiran 5 Citra anomali tinggi permukaan laut pada Mei 2009 (a) dan Juni 2009 (b)
a)
b)
104
Lampiran 6 Peta pola arus permukaan bulanan
Sumber: Purwandani, 2001
Sumber: Purwandani, 2001