POTENSI SUMBER DAYA IKAN SELAR KUNING, TEMBANG, DAN TONGKOL DI SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN
SISKA AGUSTINA
MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Potensi Sumber Daya Ikan Selar Kuning, Tembang, dan Tongkol di Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten adalah benar merupakan hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, April 2014 Siska Agustina NIM C24100013
ABSTRAK SISKA AGUSTINA. Potensi Sumber Daya Ikan Selar Kuning, Tembang, dan Tongkol di Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER dan NURLISA A BUTET. Potensi perikanan pelagis di Selat Sunda merupakan yang tertinggi dibandingkan perikanan lainnya. Ikan pelagis yang dominan tertangkap adalah ikan selar kuning, tembang, dan tongkol. Ikan pelagis memiliki nilai ekonomis yang tinggi sehingga mengalami penangkapan yang meningkat setiap tahun dan dikhawatirkan mengalami tangkap lebih. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kondisi pemanfaatan ikan pelagis di Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Banten dari aspek biologi dan ekonomi. Metode yang digunakan untuk menentukan potensi adalah melalui pemilihan model produksi surplus yang tepat. Maximum sustainable yield (MSY) dan maximum economic yield (MEY) masingmasing adalah 1875.02 ton/tahun dan 1874.71 ton/tahun untuk ikan selar kuning, 3311 ton/tahun dan 3303 ton/tahun untuk ikan tembang, serta 1721.17 ton/tahun dan 1710.64 ton/tahun untuk ikan tongkol. Upaya tangkap aktual ikan selar kuning, tembang, dan tongkol telah melebihi upaya optimum, sehingga diindikasikan telah terjadi tangkap lebih secara biologi sekaligus ekonomi. Rente ekonomi pada kondisi aktual ketiga jenis ikan lebih rendah dibandingkan rente ekonomi kondisi MSY dan MEY. Kondisi ini dapat disebabkan oleh laju eksploitasi pada ketiga jenis ikan melebihi eksploitasi optimum (>0.5) sehingga mengalami overexploited. Rente ekonomi yang kecil pada kondisi aktual dapat disebabkan oleh degradasi sumber daya ikan tersebut yang mengalami kenaikan setiap tahunnya. Pemanfaatan lebih baik pada kondisi MEY karena kondisi ini mendapatkan keuntungan yang maksimal. Rencana pengelolaan ikan pelagis di PPP Labuan adalah pengurangan upaya penangkapan, selektivitas alat tangkap, dan pengaturan ukuran ikan boleh ditangkap. Kata kunci: ikan pelagis, laju eskploitasi, laju degradasi, overexploited, Selat Sunda.
ABSTRACT SISKA AGUSTINA. The Potential Resource of Yellowstripe scad, Fringescale sardinella, and Thonine orientale in Sunda Strait which landed in PPP Labuan, Banten. Supervised by MENNOFATRIA BOER and NURLISA A. BUTET. Pelagic fishery potential in the Sunda Strait is the highest compared to other fisheries. The dominant pelagic fish caught were yellowstripe scad, fringescale sardinella, and thonine orientale. Pelagic fish is a economic important, that facing arrest are increasing every year and it is feared to overfishing. The aims this study are to assess the utilization condition of pelagic fish in PPP Labuan, Banten especially about biological and economic aspects. The method used to determine potential is through the selection correctly of surplus production. Maximum sustainable yield (MSY) and maximum economic yield (MEY) are 1875.02 ton/year dan 1874.71 ton/year for yellowstripe scad, 3311 ton/year dan 3303
ton/year for fringescale sardinella, also 1721.17 ton/year and 1710.64 ton/year for thonine orientale. Actual catche efforts of yellowstripe scad, fringescale sardinella, and thonine orientale has greater than optimum efforts, so that indicated has been biological and economic overfishing. Economic rent on the actual condition of the third kind of fish is lower than the economic rent of MSY and MEY conditions. This condition can be caused by the rate exploitation of the three kinds of fish exceeding the optimum exploitation (> 0.5) so it had overexploited. Economic rent on the actual condition is lowest because degradation of the fish resources has increased every year. The better utilization is MEY condition because these have maximum benefit. Management plan of pelagic fish in PPP Labuan are reduction fishing effort, selectivity of fishing gear, and setting size of the fish can be caught. Keywords : degradation rate, exploitation rate, overexploited, pelagic fish, Sunda Strait.
POTENSI SUMBER DAYA IKAN SELAR KUNING, TEMBANG, DAN TONGKOL DI SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN
SISKA AGUSTINA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan
MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi Nama NIM
: Potensi Sumber Daya Ikan Selar Kuning, Tembang, dan Tongkol di Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten : Siska Agustina : C24100013
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA Pembimbing I
Dr Ir Nurlisa A Butet, M Sc Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir M Mukhlis Kamal, M Sc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi Nama NIM
Potensi Sumber Daya Ikan Selar Kuning, Tembang, dan Tongkol di Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten Siska Agustina C241 00013
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA Pembimbing I
Dr Ir Nurlisa A Butet, M Sc Pembimbing II
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
2 8 0 4·2 0 1 4
PRAKATA Puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, serta inayah yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang dipilih adalah stok sumber daya ikan, dengan judul Potensi Sumber Daya Ikan Selar Kuning, Tembang, dan Tongkol di Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten. Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk studi. 2. Beasiswa BIDIK MISI yang telah memberikan dana pendidikan selama perkuliahan. 3. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), DIPA IPB Tahun Ajaran 2013, kode Mak : 2013. 089. 521219, Penelitian Dasar untuk Bagian, Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitan dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB dengan judul “Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Sumberdaya Ikan Ekologis dan Ekonomis Penting di Perairan Selat Sunda, Provinsi Banten” yang dilaksanakan oleh Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA (sebagai ketua peneliti) dan Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi (sebagai anggota peneliti). 4. Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Nurlisa A Butet, MSc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberi arahan dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini. 5. Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi selaku penguji tamu dan Dr Ir Niken Tunjung Murti Pratiwi, MSi selaku komisi pendidikan Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan atas saran dan masukan yang sangat berarti. 6. Dr Ir Ferdinan Yulianda, MSc sebagai dosen pembimbing akademik. 7. Keluarga: Bapak (Ruhiat), Mamah (Kokon), Aa (Agus), Teteh (Wina dan Ira), Ade (Rivan) dan Chandra Syayid Bani atas kasih sayang, doa, dan dukungan baik moril ataupun materil. 8. Teman-teman penelitian Labuan Banten: Kak Pia, Kak Arni, Laras, Nurul Mega, Nursifa, Anandinta, Rivany, Rezaninda, Widyanti, Raisha, Nurul Hikmah, Irza, Wisnu Aji, Dwiyanti, Rosillia, Kak Viska, Kak Vina, dan Kak Salma. 9. Teman-teman MSP angkatan 47 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala bentuk bantuan yang telah diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2014 Siska Agustina
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Metode Pengumpulan Data Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan SIMPULAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vii vii vii 1 1 2 2 2 3 3 8 15 18 18 18 21 28
vi
DAFTAR TABEL 1 Analisis bioekonomi dengan model Gordon-Schaefer 2 Analisis bioekonomi dengan model Gomperts-Fox 3 Parameter pertumbuhan ikan selar kuning, tembang, dan tongkol di Selat Sunda 4 Nilai Z, M, dan E ikan pelagis selar kuning, tembang, dan tongkol di Selat Sunda 5 Hasil tangkapan dan upaya standar ikan selar kuning, tembang, dan tongkol 6 Parameter q, K, r, R2 ikan selar kuning, tembang, dan tongkol di Selat Sunda dengan model Fox dan Schaefer 7 Analisis bioekonomi sumber daya ikan ikan selar kuning, tembang, dan tongkol
6 7 9 11 12 12 13
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Diagram perumusan masalah Lokasi pengambilan contoh ikan Komposisi hasil tangkapan nelayan di PPP Labuan tahun 2013 Komposisi hasil tangkapan ikan pelagis di PPP Labuan 2013 Gerombol berdasarkan jenis makanan ikan selar kuning, tembang, tongkol 6 Tangkapan per satuan upaya ikan selar kuning, tembang, dan tongkol 7 Kurva model bioekonomi ikan selar kuning, tembang, dan tongkol 8 Laju degradasi sumber daya ikan ikan selar kuning, tembang, dan tongkol
2 3 8 9 10 12 14 13
DAFTAR LAMPIRAN 1 Jenis makanan ikan selar kuning, tembang, dan tongkol 2 Upaya tangkap dan alat tangkap yang sudah dibakukan 3 Harga dan biaya penangkapan berdasarkan proporsi hasil tangkapan ikan selar kuning, tembang, dan tongkol 4 Model Analisis Bioekonomi Gomperts-Fox 5 Perbandingan produksi lestari dan produksi aktual 6 Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang dilinerakan berdasarkan data panjang
vii
21 21 23 24 25 26
PENDAHULUAN Latar Belakang Dugaan potensi sumber daya perikanan di Selat Sunda pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPRI) 572 adalah 565.30 ribu ton/thn dan pada tahun 2011 penangkapan sudah mencapai 558.60 ribu ton/tahun. Potensi perikanan paling tinggi di WPPRI-572 adalah ikan pelagis yaitu sekitar 480 ribu ton/tahun (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap/ DJPT 2011). Total produksi perikanan di Provinsi Banten sebesar 30% berasal dari Selat Sunda (Boer dan Aziz 2007). Pendaratan ikan paling tinggi di Provinsi Banten adalah di Kabupaten Pandeglang yaitu sekitar 30 ribu ton (20%) atau 117 milyar rupiah pada tahun 2003 (BRKP 2003). Kabupaten Pandeglang terdapat 12 tempat pelelangan ikan (TPI), salah satunya adalah Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan yang merupakan tempat pendaratan ikan pelagis yang hasil tangkapannya tertinggi diantara TPI lainnya. Menurut Sumirat (2011) kondisi perairan wilayah Banten (Labuan) sudah mengalami degradasi yang cukup tinggi, sehingga keberadaan ikan diwilayah perairan sejauh 0-7 mil cukup sulit didapatkan. Berdasarkan Statistik Perikanan Kementrian Kelautan dan Perikanan (2011) kondisi sumber daya ikan pelagis di Selat Sunda telah mengalami tangkap lebih. Menurut Atmaja et al. (2003) sumber daya ikan pelagis di Laut Jawa dan Selat Sunda terdiri dari komunitas ikan pelagis pantai (Sardinella spp., Rastrelliger brachysoma, Dusumieria acuta, Selar spp., dan lain-lain) yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Untuk menjamin kelestarian sumber daya ikan pelagis tersebut, perlu dilakukan suatu upaya pengelolaan. Salah satu informasi yang diperlukan dalam pengelolaan sumber daya perikanan adalah nilai potensi, laju eksploitas, laju degradasi, dan analisis bioekonomi sumber daya perikanan. Ikan pelagis kecil yang dominan didaratkan di PPP Labuan adalah selar kuning (Selaroides leptolepis), tembang (Sardinella fimbriata), dan tongkol (Euthynnus affinis). Spesies-spesies tersebut berdasarkan DJPT (2012) pada statistik perikanan provinsi Banten tahun 2011 menyumbang sebesar 21.56% dari total hasil tangkapan di Provinsi Banten Perumusan Masalah Sektor perikanan di Provinsi Banten merupakan penyumbang pendapatan daerah kedua setelah perkebunan. Produksi perikanan di Provinsi Banten terus meningkat untuk setiap tahunnya, yang dikhawatirkan akan mengalami tangkap lebih apabila dibiarkan terus terjadi (Sumirat 2011). Menurut Sumirat (2011) perairan Indonesia akan mengalami ancaman penurunan hasil tangkapan akibat krisis ganda, degradasi ekosistem, serta penangkapan berlebih, salah satunya di perairan Selat Sunda. Berdasarkan KEPMEN No. 45 tahun 2011 kondisi sumber daya ikan pelagis di Selat Sunda telah mengalami tangkap lebih. Tingginya aktivitas manusia seperti transportasi dan kegiatan di perairan lainnya membuat kondisi secara ekologis Selat Sunda sudah menurun. Kondisi ini juga dapat menjadi salah satu faktor penurunan stok perikanan di Selat Sunda.
2
Gambar 1 Diagram perumusan masalah Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi perikanan pelagis melalui laju eksploitasi, potensi lestari, analisis bioekonomi, dan laju degradasi sumber daya ikan pelagis kecil khususnya ikan selar kuning, tembang, dan tongkol di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan Banten untuk menentukan strategi pengelolaan perikanan pelagis yang berkelanjutan. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat (nelayan dan masyarakat umum), peneliti/ahli, dan akademisi mengenai kondisi perikanan pelagis di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, melalui potensi pengembangan sumber daya ikan pelagis kecil khususnya ikan selar kuning, tembang, dan tongkol di perairan Selat Sunda.
METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan mulai tanggal 18 Juni sampai 13 Oktober 2013 di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Banten. Jenis ikan yang dikaji dalam penelitian ini adalah ikan pelagis kecil yaitu selar kuning (Selaroides leptolepis), tembang (Sardinella fimbriata), dan tongkol (Euthynnus affinis). Ikan contoh diperoleh dari nelayan yang menangkap ikan di perairan Selat Sunda (Gambar 2). Ikan-ikan tersebut didaratkan di PPP Labuan yaitu di tempat pelelangan ikan
3 (TPI) 2 dan TPI 3, Kecamatan Labuan, Provinsi Banten. Lingkup wilayah kajian mencakup WPPRI-572 khususnya pada perairan Selat Sunda. Pengambilan contoh ikan dilakukan dengan interval setiap 20 hari. Pengambilan data sekunder dilakukan di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pandeglang, Banten.
Gambar 2 Lokasi pengambilan contoh ikan Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan mencakup data panjang, bobot, jenis kelamin, dan jenis makanan ikan selar kuning (Selaroides leptolepis), tembang (Sardinella fimbriata), dan tongkol (Euthynnus affinis) dengan menggunakan metode penarikan contoh acak sederhana (PCAS). Setiap pengambilan contoh terdapat 75-100 ekor ikan dari masing-masing spesies yang dianalisis. Ikan contoh digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan melalui metode pemisahan sebaran normal (NORMSEP) dengan software Fish Stock Assesment Tools (FISAT) II, dan menduga penggerombolan jenis makanannya. Data sekunder yang dikumpulkan adalah data hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan selar kuning, tembang, dan tongkol di PPP Labuan tahun 20032013 yang tersedia di DKP Kabupaten Pandeglang, Banten. Data ini digunakan untuk menduga potensi masing-masing sumber daya ikan. Analisis Data Sidik Gerombol Sidik gerombol merupakan teknik peubah ganda yang mempunyai tujuan utama untuk mengelompokkan objek-objek berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Gerombol yang terbentuk memiliki homogenitas internal yang tinggi dan heterogenitas eksternal yang tinggi. Metode pengelompokan yang digunakan
4 adalah metode hirarkie atau metode aglomeratif yang kemudian digambarkan dalam dendrogram (Sutanto 2009). Data yang digunakan berupa data jumlah dan jenis makanan berdasarkan keberadaannya pada usus contoh ikan yang diambil. Jarak yang digunakan adalah jarak Euclidean yaitu: dij= √∑pk=1 (Xik -Xjk )
2
(1)
dij adalah jarak pengambilan contoh ke-i dan ke-j, Xik adalah jumlah jenis makanan-k pada pengambilan contoh ke-i, dan Xjk adalah jumlah jenis makanan-k pada pengambilan contoh ke-j. Analisis Parameter Pertumbuhan Koefisien pertumbuhan yang digunakan mengikuti model von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999) yang dirumuskan sebagai: (-K(t-t0))
Lt = L∞ [1-e
]
(2)
Lt adalah ukuran ikan pada umur t (cm), L∞ adalah panjang asimptotik (cm), K adalah koefisien pertumbuhan (tahun-1), dan t0 adalah umur hipotesis ikan pada panjang nol (tahun). Koefisien pertumbuhan K dan L∞ pada (2) diduga dengan menggunakan metode Ford Walford yang diturunkan berdasarkan pertumbuhan von Bertalanffy untu Lt pada saat t + ∆t dan t sedemikian sehingga: Lt+∆t =L∞ (1-e(-K∆t) +e-K∆t Lt)
(3)
Persamaan (3) diduga melalui persamaan regresi linear y=b0 +b1 x , dengan Lt sebagai absis (x), Lt+∆t sebagai ordinat (y), b0= L∞ (1-b), dan b1= exp (-K∆t). Nilai K dan L∞ diduga dengan rumus: 1
K=- (∆t) ln b
(4)
dan 𝑏
L∞ = 1-𝑏0
1
(5)
Pendugaan umur teoritis dihitung melalui persamaan empiris Pauly (1984), yaitu: Log (-t0 ) = -0.3922-0.2752 Log L∞ -1.0380 Log K
(6)
Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Menurut Sparre dan Venema 1999 parameter mortalitas meliputi mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), dan mortalitas total (Z). Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data panjang sedemikian sehingga diperoleh hubungan:
5 C (LI+L2)
L1+L2)
ln ∆t (L1,L2) = h – Z t(
2
)
(7)
Persamaan (7) diduga melalui persamaan regresi linear sederhana y=b0+b1x, C (LI+L2) L1+L2) dengan y= ln ∆t (L1,L2) sebagai ordinat, x = ( 2 ) sebagai absis, dan Z =-b1 (Lampiran 6). Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut: M = 0.8 exp (-0.0152 – 0.279 ln L∞ + 0.6543 ln K + 0.463 ln T)
(8)
M adalah mortalitas alami (per tahun), dan T adalah suhu rata-rata peraira (0C). Setelah laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M) diketahui maka laju mortalitas penangkapan dapat ditentukan melalui hubungan: F=Z–M
(9)
Selanjutnya Pauly (1984) menyatakan laju eksploitasi dapat ditentukan dengan membandingkan F dengan Z ssebagai berikut: F
E= Z
(10)
F adalah laju mortalitas penangkapan (per tahun), Z adalah laju mortalitas total (per tahun), dan E adalah tingkat eksploitasi. Standarisasi Upaya Penangkapan Standarisasi dilakukan karena alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap sumber daya ikan target perikanan beragam, sehingga dimungkinkan satu spesies ikan tertangkap oleh dua atau lebih alat tangkap yang memiliki produktivitas tinggi (dominan) atau alat tangkap yang menangkap lebih dari satu spesies ikan. Alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standar mempunyai faktor daya tangkap atau fishing power index (FPI) sama dengan satu (Tinungki 2005). Standarisasi alat tangkap adalah dengan menghitung upaya dan hasil tangkapan masing-masing hingga tahun ke-i. Upaya setiap jenis ikan dihitung berdasarkan proporsi dari upaya total alat tangkap tersebut melalui hubungan:
fik =
Yik Yk
x fk
(11)
fik adalah upaya jenis ikan ke-i alat tangkap-k, Yik adalah hasil tangkapan jenis ikan ke-i alat tangkap-k, Yk adalah hasil tangkapan total alat tangkap-k, fk adalah upaya tangkapan total alat tangkap-k. Apabila upaya yang diperoleh terbesar misalnya alat tangkap payang, maka FPI payang adalah 1 dan FPI alat tangkap pukat cincin dapat dihitung dengan rumus: TPSUb
FPI= TPSUa
(12)
6 (f )×(FPI
)
= (fia)×(FPIa )
Upaya standar
ib
(13)
b
TPSU adalah tangkapan per satuan upaya (CPUE), a dalah alat tangkap payang, b adalah alat tangkap pukat cincin, fia adalah upaya payang pada tahun ke-i, fib adalah upaya pukat cincin tahun ke-i. Model Produksi Surplus Model produksi surplus yang digunakan adalah model fox dan Schaefer. Model yang memiliki koefisien determinasi tertinggi (R2) digunakan untuk menghitung potensi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan maximum sustainable yield (MSY), maximum economic yield (MEY), dan open acces (OA). Menurut Sparre dan Venema (1999) model Schaefer memiliki persaman: Yi fi
= TPSUi = b0 + b1 fi
TPSUi =qK+
q2 K r
(14)
ft
(15)
MSY dan upaya optimumnya diduga dengan rumus: MSY=-
(Kq)2
(16)
q2 K ) r
4(
dan qK
fmsy =- (2q2 K)
(17)
K adalah daya dukung (ton/tahun), q = koefisien ketertangkapan (ton/trip), r adalah laju pertumbuhan intrinsik (%/tahun), dan fmsy adalah upaya pada kondisi MSY. Potensi lestari dengan model Gordon-Schaefer berdasarkan rezim pengelolaan MSY, MEY, dan OA (Fauzi dan Anna 2005) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Analisis potensi dan bioekonomi dengan model Gordon-Schaefer Variabel Rezim Pengelolaan MEY MSY OA Hasil Tangkapan (Y) Tingkat Upaya (f) Rente Sumberdaya (π)
rK c c (1+ ) (1) 4 pqK pqK r c (1) 2q pqK
rK 4 r 2q
rc c (1) pq pqK r c (1) q pqK
pYMEY-cfMEY
pYMSY-cfMSY
PYOA-cfOA
Menurut FAO/Danida (1984) in Tinungki (2005) model Fox (1970) Y menghasilkan garis lengkung apabila f i secara langsung diplot terhadap upaya ft akan tetapi apabila
Yi fi
i
diplot dalam bentuk logaritma terhadap upaya, maka akan
menghasilkan garis lurus dengan persamaan sebagai berikut:
7 ln
Yi fi
= b0 + b1 fi Yi
TPSU =
fi
(18)
= exp (b0 + b1 fi)
(19)
MSY dan upaya optimumnya (fmsy) diduga dengan rumus: 1
MSY=- b eb0 -1
(20)
1
dan 1
fmsy =- b
(21)
1
Model Fox diduga melalui persamaan regresi linear y=b0 +b1 x, dengan ln TPSUi sebagai absis (x), fi sebagai ordinat (y). Perhitungan potensi dapat diperoleh dengan rumus menurut Thanh (2011) pada Tabel 2. Tabel 2 Analisis potensi dan bioekonomi dengan model Gomperts-Fox Variabel Rezim Pengelolaan MEY MSY c -exp-1+a+w p
Hasil Tangkapan (Y)
b1 -1 x w b1
Tingkat Upaya (f) Rente Sumberdaya (π)
-
-
pYMEY-cfMEY
Dengan rumus untuk mencari w adalah wew =
1 b0-1 e b1 1 b1
pYMSY-cfMSY cea p
OA
c( ln c- ln p-b0) pb1 ln c- ln p -b0 b1
PYOA-cfOA
. Perhitungan MEY model Fox
digunakan metode grafis-simulasi karena sulit mencari nilai w (lampiran 5). b0 adalah intersep, b1 adalah slope, Yi adalah hasil tangkapan tahun ke-i, fi adalah upaya penangkapan tahun ke-i, TPSUi hasil tangkapan per satuan upaya tahun ke-i, c adalah biaya operasi penangkapan, p adalah harga ikan. Koefisien Degradasi Penentuan tingkat degradasi untuk sumber daya ikan dilakukan setelah mengetahui estimasi stok dan tingkat panen lestari (sustainable yield). Kemudian bandingkan produksi aktual dengan produk lestari menggunakan analisis tren dan contras (Fauzi dan Anna 2005) dengan persamaan: hat =qKf exp
-qf r
( )
(22)
hat adalah produk lestari, K adalah daya dukung (ton/tahun), q adalah koefisien penangkapan (ton/trip), r adalah laju pertumbuhan intrinsik (%/tahun), f adalah upaya penangkapan, dan ∅ adalah koefisien degradasi. ∅=
1 [1+exp(
hat )] produk aktual
(23)
8
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Hasil tangkapan (ton)
Kondisi Hasil Tangkapan Ikan Pelagis di PPP Labuan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan merupakan salah satu pelabuhan yang memiliki hasil tangkapan tertinggi di Kabupaten Pandeglang Banten. Pelabuhan ini memiliki tiga tempat pelelangan ikan (TPI) yang aktif yaitu TPI I untuk pendaratan ikan demersal, TPI II dan TPI III untuk pendaratan ikan pelagis. Gambar 3 menyajikan komposisi ikan yang didaratkan di PPP Labuan pada tahun 2013. Berdasarkan Gambar 3 ikan yang dominan didaratkan adalah ikan pelagis sebesar 57% dari total tangkapan pada tahun 2013. 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Demersal
Pelagis Ikan karang Kerang Udang Cumi-cumi I
II
III Triwulan
IV
Ikan lainnya
Gambar 3 Komposisi hasil tangkapan nelayan di PPP Labuan, Banten pada tahun 2013 (Data statistik DKP Kabupaten Pandeglang 2013) Gambar 4 menunjukkan komposisi hasil tangkapan ikan pelagis di PPP Labuan Banten. Ikan yang dominan didaratkan adalah ikan tembang, ikan tongkol, dan ikan selar kuning dan total ketiga spesies ikan mencapai 43% dari total tangkapan ikan pelagis tahun 2013. Ikan-ikan tersebut ditangkap dengan alat tangkap payang, pukat pantai, pukat cincin (purse seine), jaring insang hanyut, jaring insang tetap, bagan perahu, bagan tancap, dan sebagian menjadi by catch dari alat tangkap dogol. Ikan-ikan ini termasuk ikan ekonomis penting karena memiliki nilai produksi dan harga yang tinggi.
Hasil tangkapan (ton)
9 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Demersal Pelagis Ikan karang Kerang Udang Cumi-cumi I
II
III Triwulan
IV
Ikan lainnya
Gambar 4 Komposisi hasil tangkapan ikan pelagis di PPP Labuan, Banten pada tahun 2013 (Data statistik DKP Kabupaten Pandeglang 2013) Penggerombolan Jenis Makanan Penggerombolan dimaksudkan untuk menggabungkan peubah yang memiliki karakteristik yang sama. Sidik gerombol pada penelitian ini berdasarkan peubah makanan yang terdapat dalam usus ikan (Lampiran 3). Gambar 5 menyajikan hasil penggerombolan jenis makanan untuk setiap pengambilan contoh. Berdasarkan Gambar 5 hasil penggerombolan jenis makanan untuk ikan selar kuning, yang memiliki indeks kesamaan 100% adalah pengambilan contoh 1 dan 2. Ikan tembang memiliki jenis makanan yang beragam dan membentuk 5 gerombol dengan indeks kesamaan antara 14.79-100%. Sedangkan ikan tongkol pada pengambilan contoh ke 1, 3, 5, dan 6 serta 2 dan 4 memiliki indeks kesamaan sebesar 100%.
Parameter Pertumbuhan Parameter pertumbuhan yang dianalisis meliputi K, L∞, dan t0. Parameter pertumbuhan pada ikan selar kuning, tembang, dan tongkol disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Parameter pertumbuhan ikan selar kuning, tembang, dan tongkol di perairan Selat Sunda K (bulan-1)
Jenis ikan Selar kuning
Tembang
Tongkol
Jantan Betina Total Jantan Betina Total Jantan Betina Total
0.3600 0.4200 0.2700 0.2412 0.1833 0.0595 0.0967 0.0993 0.0960
L∞(cm) 19.2060 19.0210 19.3060 17.5110 20.7320 23.9228 54.1558 53.6682 54.5772
t0 (bulan) -0.2800 -0.2400 -0.3700 -0.4228 -0.5435 -1.6792 -0.0915 -0.1025 -0.0892
Sumber Suciati (2014)
Fauziyah (2014)
Kusumawardhani (2014)
10
Similarity
0.00
33.33
66.67
100.00
1
2 Pengambilan contoh
3
(a)
Similarity
14.79
43.20
71.60
100.00
1
2
4 6 Pengambilan contoh
3
5
2
4
(b)
Similarity
0.00
33.33
66.67
100.00
1
3
5 6 Pengambilan contoh
(c) Gambar 5 Gerombol berdasarkan jenis makanan ikan selar kuning (a), tembang (b), dan tongkol (c)
11 Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas alami (M) dan mortalitas tangkapan (F) pada ikan selar kuning, tembang, dan tongkol diduga dengan menggunakan metode kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data panjang. Nilai M, F, dan E pada ketiga jenis ikan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Nilai Z, M, dan E ikan selar kuning, tembang, dan tongkol di Selat Sunda Jenis ikan Selar kuning
Tembang
Tongkol
Jantan Betina Total Jantan Betina Total Jantan Betina Total
Z (tahun-1)
M (tahun-1)
F (tahun-1)
E (tahun-1)
1.64 1.47 1.74 0.56 0.51 0.56 1.12 1.03 2.67
0.53 0.59 0.44 0.18 0.19 0.13 0.14 0.14 0.41
1.11 0.88 1.30 0.39 0.32 0.43 0.97 0.89 2.26
0.68 0.60 0.75 0.68 0.62 0.77 0.87 0.85 0.84
Sumber Suciati (2014)
Fauziyah (2014)
Kusumawardhani (2014)
Laju eksploitasi sumber daya ikan dapat diduga dengan melalui hubungan M dan F pada Tabel 4. Nilai mortalitas tangkapan (F) untuk ketiga jenis ikan lebih besar dibandingkan mortalitas alaminya (M), yang menandakan ikan tersebut lebih banyak mati akibat kegiatan penangkapan. Laju eksploitasi ketiga jenis ikan melebihi eksploitasi optimum (>0.5). Potensi Lestari Ketiga jenis ikan yang diteliti ditangkap dengan menggunakan beberapa alat tangkap, sehingga perlu dilakukan pembakuan upaya penangkapan (Lampiran 4). Alat tangkap yang dijadikan standar adalah alat tangkap yang paling produktif, yang memiliki tangkapan per satuan upaya (TPSU) tertinggi dengan nilai fishing power index (FPI) sama dengan 1. Hasil tangkapan dan upaya standar masingmasing jenis ikan disajikan pada Tabel 5. Peningkatan upaya berdampak pada peningkatan hasil tangkapan selama masih dibawah upaya optimumnya, namun akan menurun ketika peningkatannya sudah sangat tinggi. Berikut adalah grafik yang menunjukan hasil tangkapan per satuan upaya (TPSU) pada ikan selar kuning, tembang, dan tongkol (Gambar 6). TPSU ikan selar kuning dan tembang mengalami fluktuasi sampai tahun 2010 dan cenderung naik pada tahun 2010-2013, sedangkan TPSU ikan tongkol mengalami penurunan mulai tahun 2006 sampai 2013. Berdasarkan data hasil dan upaya penangkapan pada Tabel 5 dapat diestimasi parameter biologi yaitu koefisien penangkapan (q), daya dukung lingkungan (K), pertumbuhan intrinsik (r), dan koefisien determinasi (R2) masingmasing ikan. Hasil perhitungan parameter biologi dari setiap jenis ikan disajikan pada Tabel 6.
12 Tabel 5 Hasil tangkapan dan upaya standar ikan selar kuning, ikan tembang, dan ikan tongkol di perairan Selat Sunda yang didarakan di PPP Labuan Hasil tangkapan standar/ Y (ton)
Tahun
Selar kuning 1069.56 1160.70 1101.50 1637.80 1523.20 1828.20 1844.21 1594.40 1492.46 1499.23 1452.37
TPSU (ton/trip)
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tembang
2548.60 2807.76 2534.97 2409.34 2447.91 2248.55
Tongkol 1548.50 1783.60 1446.30 1825.60 1787.00 1829.20 1744.08 1753.27 1652.26 1710.84 1698.37
Upaya standar/ f (trip) Selar kuning 3570.00 4782.00 3124.00 2823.00 2426.00 2431.00 2563.00 3311.00 803.00 612.00 772.00
Tembang
3602.00 3992.00 6250.00 1114.00 846.00 1065.00
Tongkol 9123.00 9299.00 6810.00 8581.00 8057.00 8293.00 8679.00 9958.00 9372.00 10115.00 9979.00
3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun Selar kuning Gambar 6
Tembang
Tongkol
Tangkapan per satuan upaya (TPSU) ikan selar kuning, ikan tembang, dan ikan tongkol.
Tabel 6 Parameter q, K, r, R2 ikan selar kuning, tembang, dan tongkol di Selat Sunda dengan model Fox dan Schaefer Jenis ikan Selar kuning Tembang Tongkol
q ton/trip
K (ton/thn)
r (%/thn)
R2 (%)
0.0000265 0.0000139 0.000000002
40931.6500 84355.8200 2167972800
0.0495 0.0454 0.0003
95.2 96.0 67.5
Model Fox Fox Schaefer
Berdasarkan data hasil tangkapan (Tabel 5) dan parameter biologi (Tabel 6) dapat diduga potensi ketiga spesies ikan. Parameter biaya penangkapan (p) dan harga ikan (c) terdapat pada Lampiran 4. Analisis ini menggunakan pendekatan model spesies tunggal pada kondisi open acces (OA), maximum sustainable yield (MSY), maximum economic yield (MEY), dan aktual. Tabel 7 merupakan hasil analisis potensi ikan selar kuning, tembang, dan tongkol.
13 Tabel 7 Analisis bioekonomi sumber daya ikan pelagis Jenis ikan Selar kuning
Tembang
Tongkol
Aktivitas OA MSY MEY Aktual OA MSY MEY Aktual OA MSY MEY Aktual
f (trip) 8629 1721 1690 2472 12115 2783 2600 2811 15056 8809 7528 9979
Y (ton) 169.92 1875.02 1874.71 1473.06 503.73 3311.00 3303.56 2499.52 771.69 1552.19 1519.36 1500.00
TR (Milyar rupiah) 2.70 29.84 29.83 23.44 1.83 12.02 11.99 9.07 7.78 15.6 15.32 15.13
TC (Milyar rupiah) 2.70 0.54 0.53 0.78 1.83 0.42 0.39 0.42 7.78 4.55 3.89 5.15
Rente ekonomi (Milyar rupiah) 0.00 29.30 29.33 22.66 0.00 11.60 11.80 8.65 0.00 11.10 11.43 9.97
Berdasarkan Tabel 7 pada ketiga jenis ikan hasil tangkapan MEY lebih kecil dibandingkan pada kondisi MSY, namun menghasilkan rente ekonomi (π) atau keuntungan yang lebih besar. Kondisi aktual adalah hasil tangkapan dan upaya rata-rata selama 11 tahun (2003-2013). Gambar 7 menyajikan kurva bioekonomi untuk ketiga jenis ikan. Upaya aktual pada Gambar 7 telah melebihi upaya optimum pada kondisi MSY dan MEY. Kondisi ini mengindikasikan terjadinya tangkap lebih secara biologi sekaligus ekonomi.
Laju degradasi
Laju Degradasi Laju degradasi merupakan laju penurunan kualitas atau kuantitas suatu sumber daya perikanan berdasarkan produksi aktual dan produksi lestari (Lampiran 5). Produksi lestari dihitung dengan menggunakan informasi parameter biologi setiap jenis ikan pada Tabel 6. Gambar 8 adalah grafik Laju degradasi ikan selar kuning, tembang, dan tongkol. Laju degradasi bernilai lebih dari nol dan kurang dari satu. Berdasarkan gambar 8 laju degradasi pada ketiga jenis ikan semakin meningkat mulai dari tahun 2003. Laju degradasi tertinggi adalah ikan tongkol pada tahun 2013 yaitu sebesar 0.55 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun Selar kuning
Tembang
Tongkol
Gambar 8 Laju degradasi sumber daya ikan selar kuning, tembang, dan tongkol.
TR dan TC (Juta Rupiah)
14 35000000000 30000000000 25000000000 20000000000 15000000000 10000000000 5000000000 0 0
1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 Upaya/f (trip)
TC
TR
MSY
MEY
OAE
Aktual
TR dan TC (Rupiah)
(a) 14000000000 12000000000 10000000000 8000000000 6000000000 4000000000 2000000000 0 0
TC
2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 Upaya/ f (trip) TR
MSY
MEY
OAE
Aktual
TR dan TC (Juta Rupiah)
(b) 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 0
TR
5000
TC
MSY
10000 Upaya/ f (trip) MEY
15000
OA
20000
Aktual
(c) Gambar 7 Kurva model bioekonomi ikan (a) selar kuning, (b) ikan tembang, dan (c) ikan tongkol
15 Pembahasan Komposisi Hasil Tangkapan Ikan pelagis yang dominan didaratkan di PPP Labuan adalah ikan selar kuning, tembang, dan tongkol dengan persentase 43% dari total tangkapan ikan pelagis pada tahun 2013. Alat tangkap yang produktif menangkap ikan selar kuning dan tembang adalah pukat cincin, sedangkan ikan tongkol adalah payang. Atmaja et al. (2003) mengatakan bahwa eksploitasi ikan pelagis kecil di Selat Sunda hingga Selat Makasar didominasi oleh pukat cincin. Musim penangkapan ikan pelagis adalah musim timur yang menurut Amri (2002) pada musim ini kecepatan arus di Laut Jawa berkurang menuju arah barat laut (Selat Karimata) dan curah hujan yang relatif rendah, sehingga kecepatan arus yang memasuki Selat Sunda berkurang dan nelayan banyak melakukan penangkapan. Musim paceklik untuk penangkapan ikan pelagis adalah musim barat sekitar bulan November sampai Januari. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi oseanografi Selat Sunda pada musim barat yang memiliki kekuatan gelombang dan arus yang tinggi sehingga nelayan tidak melakukan penangkapan. Penggerombolan Jenis Makanan Interpretasi data hasil dan upaya tangkapan untuk menduga potensi sumber daya ikan harus berasal dari satu unit stok (Widodo dan Suadi 2006). Menurut Sparre dan Venema (1999) stok diartikan sebagai suatu sub gugus dari satu spesies yang menghuni wilayah penangkapan yang sama, sehingga untuk menduga potensi sumber daya ikan harus berasal dari wilayah penangkapan yang sama. Salah satu cara untuk mengetahui hal tersebut adalah dengan metode sidik gerombol berdasarkan jenis makanan menggunakan metode aglomeratif. Gambar 5 menunjukkan hasil penggerombolan jenis makanan, untuk ikan selar kuning pengambilan contoh yang indeks kesamaannya 100% pada pengambilan contoh 1 dan 2, ikan tembang memiliki jenis makanan yang beragam dan membentuk 5 gerombol dengan indeks kesamaan antara 14.79-100%, dan ikan tongkol pada pengambilan contoh ke 1, 3, 5, dan 6 serta 2 dan 4 memiliki indeks kesamaan 100%. Tingkat kesamaan makanan yang tinggi menunjukan asal habitat sumber daya ikan yang relatif sama. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan selar kuning, tembang, dan tongkol yang diambil sebagai contoh selama penelitian berasal dari wilayah penangkapan yang relatif sama untuk setiap pengambilan contoh. Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Laju eksploitasi untuk ketiga jenis ikan yang diteliti telah melebihi eksploitasi optimum, menurut Gulland in Pauly (1984) suatu sumber daya dengan nilai E> 0.5 telah mengalami tangkap lebih. Tingginya mortalitas penangkapan dipengaruhi upaya tangkap yang dilakukan untuk menangkap sumber daya ikan tersebut. Ikan tembang, selar kuning, dan tongkol betina memiliki nilai mortalitas alami (M) yang lebih tinggi dibandingkan jantannya, menurut Bintoro (2005) hal ini dipengaruhi oleh lebih besarnya panjang maksimum (L∞) dan laju pertumbuhan (K) pada ikan betina. Menurut Pauly (1984) in Sparre & Venema (1999), yang mempengaruhi nilai M adalah faktor L∞, K, dan faktor lingkungan (suhu). Selain itu menurut Marasebessy et al. (1990) perubahan salinitas juga
16 dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan di suatu perairan sehingga dapat mempengaruhi mortalitasnya. Potensi Lestari Kondisi perikanan selar kuning, tembang, dan tongkol telah mengalami tangkap lebih (Tabel 4). Jika mengacu pada kondisi tersebut, maka analisis potensi penting dilakukan untuk mengetahui kondisi pemanfaatan aktual sumber daya ikan. Menurut Tinungki (2005) perhitugan potensi diperlukan sebagai gambaran tingkat dan batas maksimal dalam pemanfaatan sumber daya perikanan di suatu wilayah. Perhitungan potensi sumber daya ikan menggunakan pendekatan maximum sustainable yield (MSY), maximum economic yield (MEY), dan open acces (OA). Konsep MSY didasarkan pada gambaran sederhana dan mudah dimengerti, namun bersifat tidak stabil yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam estimasi status pemanfaatan dan tidak memperhitungkan nilai ekonomisnya, sehingga diperlukan suatu pendekatan lain yaitu pendekatan secara ekonomi (MEY) (Widodo dan Suadi 2006). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan spesies tunggal. Menurut Zulbainarni (2012) pendekatan spesies tunggal lebih banyak digunakan karena saran pengelolaan perikanan lebih banyak dibuat berdasarkan basis spesies tunggal. Berdasarkan hasil perhitungan tingkat pemanfaatan pada kondisi MSY dan MEY, upaya tangkapan aktual melebihi upaya kondisi MSY dan MEY sehingga diindikasikan telah terjadi tangkap lebih secara biologi dan ekonomi. Menurut Dayton et al. (2002) in Prasetya (2010) kondisi ini menunjukkan laju eksploitasi telah menurunkan kapasitas populasi untuk mencapai MSY dalam jangka panjang. Menurut Widodo dan Suadi (2006) tangkap lebih merupakan suatu upaya penangkapan yang berlebihan terhadap suatu stok ikan. Tangkap lebih (Overfishing) secara biologi terdiri dari growth overfishing yaitu kondisi tangkap lebih pada ukuran pertumbuhan, dan recruitment overfishing yaitu tangkap lebih pada ikan dewasa atau matang gonad (Dayton et al. 2002 in Prasetya 2010). Menurut Suciati (2014) ikan selar kuning di Selat Sunda mengalami growth overfishing, ikan tembang menurut Fauziyah (2014) mengalami growth overfishing, dan ikan tongkol menurut Kusumawardhani (2014) juga mengalami growth overfishing. Tangkap lebih secara ekonomi menunjukan keuntungan yang diperoleh pada kondisi aktual untuk ketiga jenis ikan lebih kecil dibandingkan keuntungan kondisi MEY (Tabel 7). Kondisi MEY memiliki total pengeluaran dan upaya yang efisien sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. MEY akan diperoleh jika perikanan dikendalikan dengan kepemilikan yang jelas. Zulbainarni (2012) menjelaskan pengusahaan sumber daya yang dibatasi pada kondisi MEY atau terkendali (sole owner) akan memberikan keuntungan yang maksimum karena produksi dan upaya sudah dilakukan secara efisien. Rente ekonomi akan terus berkurang seiring bertambahnya upaya sampai keuntungan normal (0) pada keseimbangan OA. Keuntungan perikanan pelagis paling tinggi ditunjukkan oleh ikan selar kuning dengan keuntungan aktual Rp. 22.66 M, ikan tembang Rp. 8.65 M, dan ikan tongkol Rp. 14.78 M. Hal ini disebabkan oleh tingkat ekonomis sumber daya ikan tersebut yang berbeda. Ikan Selar kuning dan ikan tongkol merupakan spesies target utama penangkapan dengan harga jual yang tinggi, sehingga meskipun hasil tangkapannya sedikit menghasilkan
17 keuntungan yang lebih besar, sedangkan ikan tembang adalah ikan tangkapan sampingan dengan harga yang lebih murah sehingga keuntungan yang dihasilkan lebih rendah. Laju Degradasi Faktor lain yang mempengaruhi tingkat pemanfaatan sumber daya ikan direpresentasikan oleh laju degradasi atau laju penurunan kualitas atau kuantitas sumber daya ikan. Sektor perikanan merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar di kabupaten Pandeglang, namun belum memberikan dampak signifikan terhadap kondisi perekonomian nelayan kabupaten tersebut (Sumirat 2011). Fauzi dan Anna (2005) menyebutkan alasannya adalah sumber daya terbarukan seperti perikanan, apabila dilakukan pemanfaatan terus menerus akan mengalami degradasi dan faktor ini penting dimasukkan dalam pengukuran PDB suatu daerah untuk mengetahui nilai pendapatan yang sebenarnya setelah dikurangi laju degradasinya. Laju degradasi ketiga ikan mengalami peningkatan setiap tahunnya yang menunjukkan terjadinya peningkatan penangkapan ikan oleh nelayan (Fauzi dan Anna 2005). Hal ini apabila terjadi terus menerus akan membahayakan keberlanjutan sumber daya ikan. Menurut BRKP (2009) tingginya laju degradasi disebabkan oleh tingginya eksploitasi dan pencemaran perairan. Selat Sunda merupakan perairan dengan aktivitas manusia yang tinggi seperti industri dan pelayaran menjadi salah satu faktor penting dalam peningkatan laju degradasi. Strategi Pengelolaan Perikanan Kondisi tangkap lebih dan peningkatan laju degradasi sumber daya ikan pada perikanan selar kuning, tembang, dan tongkol apabila terus berlangsung tanpa adanya pengelolaan dan regulasi, maka perikanan akan mengalami kepunahan. Berdasarkan hasil perhitungan analisis bioekonomi kerugian ekonomi dalam usaha perikanan terjadi pada saat kondisi open acces (OA) yang artinya tidak didapatkannya keuntungan dalam usaha perikanan, sehingga perlu dilakukan pengelolaan untuk menjaga kelestarian dan menghindari kerugian. Menurut Cochrane (2002) pengelolaan sumber daya perikanan didefinisikan sebagai proses yang terpadu untuk mengatur aktivitas perikanan agar dapat menjamin keberlanjutan produktivitas sumber daya dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Pengelolaan yang dilakukan untuk ikan pelagis meliputi strategi input dan output (Hoggart et al. 2006). Strategi input dilakukan melalui pengurangan trip penangkapan untuk mengurangi laju mortalitas tangkapan (Post et al. 2003; Hoggart et al. 2006 in Prasetya 2006), melindungi juvenil dan ikan-ikan dewasa. Pengurangan upaya penangkapan sampai pada upaya MEY untuk setiap alat tangkap yaitu ikan selar kuning 1690 trip/tahun meliputi alat tangkap pukat cincin 199 trip/tahun, bagan 1047 trip/tahun, jaring insang 258 trip/tahun, payang 159 trip/tahun, dan dogol 26 trip/tahun. Ikan tembang 2600 trip/tahun meliputi alat tangkap payang 360 trip/tahun, jaring insang 205 trip/tahun, bagan 1634 trip/tahun, pukat 324 trip/tahun, dan dogol 76.8 trip/tahun. Ikan tongkol 7528 trip/tahun meliputi alat tangkap payang 1798 trip/tahun, jaring insang 2548 trip/tahun, jaring rampus 556 trip/tahun, dan pancing 2626 trip/tahun. Strategi pengelolaan output dilakukan dengan menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 72% dari MSY (Gulland 1983), dan
18 pengaturan ukuran ikan boleh ditangkap sebagai proteksi terhadap reproduksi ikan. Penurunan upaya penangkapan akan sulit dilakukan karena sebagian besar penduduk di PPP Labuan adalah nelayan sebagai pekerjaan utamanya. Hal yang harus dilakukan adalah pendekatan secara personal dari pemerintah melalui penyampaian informasi kondisi pemanfaatan aktual sumber daya ikan dan konsekuensinya apabila penangkapan dilakukan tanpa adanya pengelolaan. Pendekatan ini bisa dilakukan melalui simulasi operasi penangkapan ikan dan penyuluhan di wilayah pesisir kabupaten Pandeglang, Banten.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian kondisi aktual ikan selar kuning, tembang, dan tongkol telah mengalami tangkap lebih secara biologi dan ekonomi. Apabila regulasi dan pengelolaan tidak dilakukan pengusahaan perikanan akan mengalami kerugian pada saat kondisi open acces (OA). Secara ekonomi keuntungan tertinggi terdapat pada kondisi maximum economic yield (MEY) dengan upaya penangkapan yang dilakukan secara efisien. Rezime pengelolaan MEY dapat menjaga keberlanjutan sumber daya ikan secara biologi dan ekonomi. Pengelolaan yang dapat dilakukan adalah pengurangan upaya penangkapan sampai pada upaya MEY, penetapan JTB, dan pengaturan ukuran ikan boleh ditangkap agar sumber daya ikan tetap terjaga kelestariannya dan nelayan tetap mendapatkan keuntungan yang maksimal. Saran Perlu dilakukan perhitungan mengenai keterkaitan laju degradasi sumber daya ikan dengan PDB (produk domestik bruto) wilayah Kabupaten Pandeglang melalui laju depresiasi sumber daya ikan, mengingat sektor perikanan merupakan penyumbang PDB terbesar di kabupaten tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Amri K. 2002. Hubungan kondisi oseanografi (suhu permukaan laut, klorofil-a, dan arus) dengan hasil tangkapan ikan pelagis kecil di perairan Selat Sunda [tesis]. Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Atmaja SB, John H, dan Akhmad F. 2003. Pendugaan Pertumbuhan Bersih Stok Ikan Pelagis di Laut Jawa dan Sekitarnya. Buletin PSP. Vol XII, No. 2 ISSN 0251-286X.
19 Bintoro F. 2005. Pemanfaatan berkelanjutan sumber daya ikan tembang (Sardinella fimbriata Valenciennes, 1847) di Selat Madura Jawa Timur [desertasi]. Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Boer M, Aziz KA. 2007. Gejala tangkap lebih perikanan pelagis kecil di perairan Selat Sunda. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 14 (2): 167-172. Cochrane JH. 2002. Stocks as money: convenience yield and the tech-stock bubble. NBER Working Paper. No. 8987. BRKP (Badan Riset Kelautan dan Perikanan). 2003. Daya Dukung Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta ISBN 979-97572-8-2. BRKP (Badan Riset Kelautan dan Perikanan). 2009. Dinamika pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Jakarta ISBN 978-979-3893-12-9. DJPT (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap). 2011. Peta Keragaan Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI). Kementrian Kelautan dan Perikanan RI.[diunduh 21 Januari 2014]. Tersedia pada: http//kkp.go.id. DJPT (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap). 2012. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2011. Kementrian Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta ISSN: 1858-0505. DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang). 2013. Statistik perikanan tangkap tahun 2003-2013. Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. (Draft tahun 2013) Fauzi A, dan Anna S. 2005. Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Fauziyah N. 2014. Kajian stok ikan tembang (Sardinella fimbriata) di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. (Belum dipublikasikan) Gulland JA. 1983. Fish stock assasment: a manual of basic methods. Chichester, U.K., Wiley Interscience, FAO/ Wiley series on food and agriculture, Vol 1: 223 pp. Hogart JM. 2006. Financial education and economic development. Improving Financial Literacy International Conference hosted by the Russian G8 Presidency in Cooperation with the OECD. 29-30 November 2006. Jennings S, John KP, Nicholas VCP, dan Karema JW. 2001. Impacts of trawling disturbance on the trophic structure of benthic invertebrate communities. Marine Ecology Progress Series. Vol. 213: 127–142. Kusumawardhani NM. 2014. Kajian stok sumber daya ikan tongkol (Euthynnus affinis) di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. (Belum dipubliksikan) Marasebessy MD. 1990. Pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan dan reproduksi ikan seribu (Poecilia reticulata, 1860), p 71-78. In Balai Litbang Sumber daya Laut, Puslitbang Oseanologi, LIPI, Ambon. Pauly D. 1984. Fish Population Dynamic in Tropical waters: a manual for use with progfammable calculators. ICLARS Stud, Rev.8: 325 p. Post JR, Mushens C, Paul A, dan Sullivani M. 2003. Assessment of alternative harvest regulations for sustaining recreational fisheries: model development and application to bull trout. North America Journal of Fisheries Management. 23: 22-34.
20 Prasetya, R. 2010. Potensi dan laju eksploitasi sumber daya ikan kerapu di perairan Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi tenggara [tesis]. Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Priyono BE dan B Sumiono. 1997. The marine fisheries of Indonesia, with emphasis on the coastal demersal stocks of the Sunda shelf, p. 38-46. In G. Silvestre and D. Pauly (eds.) Status and management of tropical coastal fisheries in Asia. ICLARM Conf. Proc. 53, 208 p. Roy BJ., Nripendra KS, SM Hasan A Md, Gaziur R Md, dan Fokhrul A. 2013. Month wise catch per unit effort of sardine species Sardinella fimbriata and Dussumieria acuta in Artisanal and Industrial fishing sector. Basic Research Journal of Agricultural Science and Review. ISSN 2315-6880 Vol. 2(8) pp. 173-179 August 2013. Sparre P, dan Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis, Buku I: Manual. Widodo J, Meta IGS, Nurhakim S, Baharudin M, Penerjemah. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari Introduction to Tropical Fish Stock Assassment. Part I: Manual. Suciati L. 2014. Kajian stok ikan Selar kuning Selaroides leptolespis (Cuvier 1833) di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. (Belum dipublikasikan) Sumirat E. 2011. Dampak kebijakan perikanan terhadap pemberdayaan masyarakat nelayan (studi kasus wilayah Provinsi Banten) [tesis]. Jakarta (ID): Pascasarjana Universitas Indonesia. Sutanto HT. 2009. Cluster analysis. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika [prosiding] 5 Desember 2009. ISBN: 978-979-163533-2 Thanh NV. 2011. Sustainable management of shrimp trawl in Tonkin Gulf, Vietnam. Applied Economic Journal. 18 (2): 65-81. Tinungki GM. 2005. Evaluasi model produksi surplus dalam menduga hasil tangkapan maksimum lestari untuk menunjang kebijakan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali [desertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Widodo J, Suadi. 2006. Pengelolaan Sumber daya Perikanan Laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Zulbainarni N. 2012. Teori dan Praktik Permodelan Bioekonomi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap. Bogor: IPB Press.
21
LAMPIRAN Lampiran 1 Jenis makanan ikan Selar kuning, tembang, dan tongkol Jenis ikan Selar kuning Tembang
Tongkol
Jenis makanan Ikan kecil
2
3
4
5
6
7
*
*
4
3
6
*
Crustacea Bactriastrum Coscinodicus
* 1 10
* 8 11
2 11 40
2 10 5
5 116 59
* 9 23
Guinardia
12
15
15
3
1
20
Hemialus
5
2
9
1
4
1
Nitzchia
23
5
12
1
1
1
Tidak teridentifikasi
32
19
34
8
55
3
Ikan kecil
3
2
3
2
3
3
Udang
1
1
1
1
1
1
Keterangan: *tidak terdapat makanan (tercerna)
Lampiran 2 Upaya penangkapan ikan berdasarkan alat tangkap dan upaya yang sudah dibakukan a. Ikan Selar kuning Hasil dan upaya tangkapan berdasarkan alat tangkap mulai tahun 2003-2013. Alat tangkap
Y (ton)
Payang
1199.12
3571.56
0.34
0.38
490.57 570.90
1047.12 2706.24
0.47 0.21
0.53 0.24
Pukat cincin Jaring insang hanyut
4543.20 468.40
5147.09 834.53
0.88 0.56
1.00 0.64
Jaring insang tetap
1730.74
9387.72
0.18
0.21
Bagan perahu
3386.30
18570.31
0.18
0.21
Bagan tancap
3397.69
22887.49
0.15
0.17
Pukat lainnya
361.21
1523.42
0.24
0.27
55.50
1207.19
0.05
0.05
Dogol Pukat pantai
Serok
F (trip)
CPUE
FPI
22 Lampiran 2 Upaya penangkapan ikan berdasarkan alat tangkap dan upaya yang sudah dibakukan (lanjutan) Upaya yang sudah distandardisasikan Tahun
Y (ton)
F (trip)
2003
1069.56
3569.68
2004 2005
1160.70 1101.50
4781.75 3123.82
2006 2007
1637.80 1523.20
2823.08 2425.60
2008
1828.20
2430.65
2009
1844.21
2562.63
2010
1594.40
3310.61
2011
1492.46
803.25
2012
1499.23
611.89
2013
1452.37
771.72
b. Ikan tembang Hasil dan upaya tangkapan berdasarkan alat tangkap mulai tahun 2003-2013 Alat tangkap
Y (ton)
F (trip)
CPUE
FPI
Payang
3251.06
10366.43
0.31
0.35
Dogol
470.57
1022.49
0.46
0.52
Pukat pantai
1041.29
2035.26
0.51
0.58
Pukat cincin
3526.60
3966.76
0.89
1.00
184.42
217.66
0.85
0.95
Jaring insang tetap
1969.67
4585.38
0.43
0.48
Bagan perahu
2419.30
10800.43
0.22
0.25
Bagan tancap
1928.84
11183.16
0.17
0.19
Pukat lainnya
205.38
659.41
0.31
0.35
Jaring insang hanyut
Upaya yang sudah distandardisasikan Tahun
Y (ton)
F (trip)
2008
2549
3601.78
2009
2808
3992.31
2010
2535
6249.72
2011
2409
1114.05
2012
2448
845.78
2013
2249
1065.32
23 Lampiran 2 Upaya penangkapan ikan berdasarkan alat tangkap dan upaya yang sudah dibakukan (lanjutan) c. Ikan tongkol Hasil dan upaya tangkapan berdasarkan alat tangkap mulai tahun 2003-2013 Alat tangkap
Y (ton)
Jaring insang hanyut Payang Jaring rampus Pancing
F (trip)
CPUE
FPI
8174.92
42777.22
0.19
0.19
30336.50 1658.84
30184.90 5952.40
1.01 0.28
1.00 0.28
3912.07
44097.99
0.09
0.09
Upaya yang sudah distandardisasikan Tahun
C (ton)
F (trip)
2003
1549
4341
2004
1784
4264
2005
1446
3080
2006
1826
3601
2007
1787
3387
2008
1829
3471
2009
1744
4041
2010
1753
4676
2011
1652
4396
2012
1711
4821
2013
1698
4722
Lampiran 3 Harga dan biaya penangkapan berdasarkan proporsi hasil tangkapan ikan selar kuning, tembang, dan tongkol a. Biaya penangkapan (cost) Biaya penangkapan
Jumlah
Solar
600 liter
Es
Nilai (Juta rupiah) 3.3 0.5
Pangan
1 karung
0.5
Rokok
50 bks
0.7
Total biaya /trip
5.0
b. Biaya operasi setiap jenis ikan berdasarkan proporsi hasil tangkapan Jenis ikan
Proporsi hasil tangkapan
biaya (rupiah)
Selar
0.062667
313337.4799
Tembang
0.003186
159301.8743
Tongkol
0.103407
517034.6531
24 Lampiran 3 Harga dan biaya penangkapan berdasarkan proporsi hasil tangkapan ikan selar kuning, tembang, dan tongkol (Lanjutan) c. Harga rata-rata setiap jenis ikan mulai triwulan I-IV tahun 2013 Harga (rupiah)
Triwulan Selar
Tembang
Tongkol
I
5779
6312
9429
II
18332
2167
10255
III
14530
2584
12068
IV
18282
3989
10550
Rata-rata
15912
3629
10088
Lampiran 4 Model Analisis bioekonomi Gomperts Fox a. Selar kuning
0.00
0.00
TR (Milyar rupiah) 0.00
0.00
0.00
60.00
171.58
2.73
0.02
2.71
100.00
279.39
4.45
0.03
4.41
1690.00 1700.00
1874.71 1874.88
29.80 29.83
0.53 0.53
29.30 29.30
TME/ MEY
1721.00 1800.00
1875.02 1873.12
29.80 29.81
0.54 0.56
29.30 29.24
TML/ MSY
2472.00
1473.06
23.44
0.78
22.66
Aktual
8629.07 9000.00
169.92 142.87
2.70 2.27
2.70 2.82
0.00 -0.55
Open acces
20000.00
0.53
0.01
6.27
-6.26
f(trip)
Y (ton)
TC (Milyar rupiah)
Keuntungan (Milyar rupiah)
Keterangan
b. Tembang 0.00
0.00
TR (Milyar rupiah) 0.00
100.00
312.05
1.13
0.02
1.12
1721.00
2999.08
10.89
0.26
10.63
2600.00
3303.56
12.00
0.39
11.60
TME/ MEY
2782.44 2800.00
3311.00 3310.93
12.00 12.02
0.42 0.42
11.60 11.60
TML/ MSY
2811.00
2499.52
9.07
0.42
8.65
Aktual
12114.96
503.73
1.83
1.83
0.00
Open acces
13000.00
393.26
1.43
1.96
-0.53
18000.00
90.28
0.33
2.72
-2.39
f(trip)
Y (ton)
TC (Milyar rupiah) 0.00
Keuntungan (Milyar rupiah) 0.00
Keterangan
25 Lampiran 5 Perbandingan produksi aktual dan produksi lestari a. Selar kuning Tahun
Prod lestari
Prod aktual
Koef degradasi
2003
572.723
1069560
0.4999
2004
0.000
1160700
0.5000
2005
3388.568
1101500
0.4992
2006
3062.076
1637800
0.4995
2007
2631.455
1523200
0.4996
2008
2636.878
1828200
0.4996
2009
2780.057
1844210
0.4996
2010
3591.404
1594400
0.4994
2011
871.005
1492460
0.4999
2012
663.829
1499230
0.4999
2013
837.380
1452370
0.4999
b. Tembang Tahun
Prod lestari
Prod aktual
Koef degradasi
2008
1401.9325
2548.6000
0.3658
2009
1378.8495
2807.7600
0.3796
2010
1081.3525
2534.9700
0.3949
2011
928.7312
2409.3400
0.4048
2012
765.6147
2447.9100
0.4224
2013
901.3009
2248.5500
0.4011
c. Tongkol Tahun
Prod lestari
Prod aktual
Koef degradasi
2003
0.0202
1548.5000
0.5000
2004
0.0238
1783.6000
0.5211
2005
0.2721
1446.3000
0.5211
2006
0.0943
1825.6000
0.5327
2007
0.1462
1787.0000
0.5353
2008
0.1231
1829.2000
0.5380
2009
0.0379
1744.0790
0.5407
2010
0.0100
1753.2700
0.5433
2011
0.0180
1652.2600
0.5460
2012
0.0073
1710.8400
0.5486
2013
0.0090
1698.3700
0.5513
26 Lampiran 6
Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang dilinerakan berdasarkan data panjang
Berdasarkan persamaan tangkap atau persamaan Baranov (Baranov 1918 in Sparre dan Venema 1992), tangkapan antara waktu t1 dan t2 sama dengan: C (t1 ,t2 )=
F Z
(N(t1 )-N(t2 ))
(6. 1)
N(t1) adalah banyaknya ikan pada saat t1, N(t2) adalah banyaknya ikan pada saat t2, F adalah mortalitas penangkapan, dan Z adalah mortalitas total. Fraksi ikan yang F mati akibat penangkapan, Z disebut laju eksploitasi. Oleh karena: N(t2 )=N(t1 )e(-Z(t1 - t2
))
(6. 2)
persamaan Beranov di atas dapat ditulis menjadi C (t1 ,t2 )=N(t1 )
F Z
(1-e-Z(t1 - t2) )
N(t1 )=N(Tr)e(-Z(t1-Tr)) sehingga
(6. 3) (6. 4)
F
C (t1 ,t2 )=N(Tr)e(-Z(t1 -Tr)) Z (1-e-Z(t1 - t2) )
(6. 5)
N (Tr) adalah rekrutmen. Selanjutnya dengan menggunakan logaritma di kiri dan kanan persamaan 5 diperoleh ln C(t1 ,t2 )= d - Zt1 + ln(1-e-Z(t1 - t2 ) )
(6. 6)
F
d = N(Tr)+ZTr+ln Z jika t1 - t2 = t2 - t3 =.....= suatu konstanta dengan satuan waktu diperoleh konstanta baru: g =d+ln 1-e-Z(t1 - t2 ) (6. 7) sehingga persamaan (6) dapat ditulis menjadi ln C(t1 ,t2 )= d - Zt1 Atau ln C(t,t+∆𝑡) = g - Zt
(6. 8) (6. 9)
menurut Van Sickle (1977) in Sparre dan Venema (1992 ) cara lain dapat ditempuh untuk menyelesaikan (6) melalui 𝑋
ln (1-e-x) ≈ ln (X) - 2
(6. 10)
27 Lampiran 6
Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang dilinerakan berdasarkan data panjang (Lanjutan)
untuk X yang bernilai kecil (X<1,0), sehingga ln (1-e-Z(t1- t2 ) ) =ln Z(t1 − t2 ) –
Z (t2-t1)
(6. 11)
2
dan persamaan (6) dapat ditulis ln
C(t1,t2) t2-t1
1
= h - Z t1 -
2
Z (t1 − t2 )
(6. 12)
atau C(t,t+∆t) 1 ln ∆t = h – Z (t+ 2 ∆𝑡)
(6. 13)
selanjutnya, bentuk konversi data panjang menjadi data umur dengan menggunakan persamaan Von Bertalanffy 1
L
t(L)=t0 - (K ln (1- L ))
(6. 14)
∞
Notasi tangkapan C(t1 ,t2 ) dapat diubah menjadi C(L1,L2) C(t,t+∆t) = C (L1,L2) dan
(6. 15)
1
L -L
∆t=t(L2 ) - t(L1 )= (K ln (L∞ -L1 )) ∞
(6. 16)
2
1
Bagian (t+ 2 ∆𝑡) pada persamaan (13) dapat dikonversi kedalam notasi L1 dan L2 sehingga 1
L1 +L2
t(L1)+ 2 ∆𝑡) ≈ t(
2
1
) =t0 - (K ln (1-
L1 +L2 2L∞
))
(6. 17)
sehingga C(L +L )
(L1 +L2 )
1
2
ln ∆t(L1 ,L2) =h-Zt ( 2
)
(6. 18) C(L +L )
yang membentuk persamaan linear dengan y= ln ∆t(L1 ,L2) sebagai ordinat dan x = 𝐿1+𝐿2)
(
2
1
2
) sebagai absis, dengan koefisien kemiringan persamaan (18) yaitu Z..
28
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Siska Agustina, lahir di Tasikmalaya 03 September 1992, merupakan anak keempat dari lima bersaudara dari ibu bernama Kokon dan ayah Ruhiat. Penulis mulai mengikuti pendidikan di TK Al-Istiqomah dan lulus tahun 1998 dilanjutkan sekolah dasar di SD Sundawenang lulus pada tahun 2004. Melanjutkan di SMP N 1 Salawu lulus pada tahun 2007 dan dilanjutkan sekolah di SMA N 1 Singaparna lulus pada tahun 2010. Penulis lulus menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2010 sebagai mahasiswa Departemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Kegiatan diluar akademik, penulis aktif dalam organisasi BEM FPIK IPB tahun 2011-2012 sebagai anggota Departemen Pengembangan Bakat, Olahraga, dan Seni, Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumber Daya Perairan (HIMASPER) tahun 2012-2013 sebagai anggota divisi SPARTA. Kegiatan akademik diluar perkuliahan penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Metode Statistika, koordinator asisten Metode Kuantitatif Sumber Daya Perairan pada tahun 2012-2013 dan 2013-2014, mata kuliah Ekologi Perairan, Ekologi Perairan Pesisir dan Laut Tropik tahun 2012-2013, mata kuliah Iktiologi dan Dasar-dasar Biologi Populasi tahun 2013-2014, dan asisten kepala Bagian Manajemen Sumber Daya Perikanan tahun 2013-2014.