4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Ikan Lencam Ikan lencam (Gambar 1) merupakan salah satu jenis ikan karang yang termasuk dalam kelompok ikan target konsumsi dan memiliki nilai ekonomis penting. Menurut Weber dan Beafort (1936) in Marsoali (2001), klasifikasi ikan lencam adalah sebagai berikut : Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Teleostei
Ordo
: Percimorphi
Subordo
: Perciodea
Family
: Lethrinidae
Genus
: Lethrinus
Spesies
: Lethrinus lentjan (Lacepede, 1802)
Nama umum : Pink ear emperor Nama lokal
: Drapapa (Pulau Panggang) Butila (Halmahera) Sikuda
Gambar 1. Ikan Lencam (Lethrinus lentjan) Sumber : dokumentasi pribadi
5
2.2. Morfologi Secara umum, ciri morfologi ikan lencam (Lethrinus lentjan, Lacepede 1802) yaitu bentuk badan agak tinggi dan pipih. Lengkung kepala bagian atas sampai setelah mata hampir lurus, dari mata sampai awal dasar sirip punggungnya agak cembung dan sirip ekor berlekuk. Kepala dan badan bagian atas hijau kecokelatan, bagian bawah lebih terang. Badan dengan sirip yang mempunyai bercak putih, kuning atau merah mudah. Sirip punggung berwarna putih dengan burik garis jingga kemerahan. Sirip anal berwarna putih dengan ujung-ujung sirip berwarna putih atau jingga.
Bagian belakang operkulum dan dekat dengan sirip dada
terdapat garis merah. Mulut yang tipis memanjang dengan bibir tebal (FAO 2001) Sirip punggung yang keras sebanyak 10 dan 9 sirip yang lemah (D.X.9), sirip dubur yang keras sebanyak 3 dan 8 sirip yang lemah (A.III.8), sirip dada yang keras sebanyak 1 dan 12 sirip yang lemah (P.I.12), sirip perut yang keras sebanyak 1 dan 5 sirip yang lemah (V.I.5), dengan jumlah sisik pada guratan sisik antara 47-48 buah (L1.47-48) (FAO 2001).
2.3. Penyebaran dan Habitat Daerah penyebaran ikan lencam adalah perairan pantai seluruh Indonesia, meluas dari wilayah utara sampai ke Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang pantai Laut Cina Selatan, ke selatan sampai ke perairan tropis Australia, ke barat sampai ke Afrika Selatan, bahkan di perairan tropis Atlantik Amerika (FAO 2001). Salah satu daerah sebaran populasi ikan lencam di Indonesia adalah Kepulauan Seribu. Habitat ikan lencam umumnya di daerah terumbu karang, lamun, mangrove, di perairan pantai yang dangkal dengan dasar berpasir hingga perairan dengan kedalaman 50 meter.
Biasanya menempati daerah laguna dan dekat terumbu
karang. Juvenil dan anak-anak biasa ditemukan di padang lamun, mangrove dan gosong pasir, saat dewasa umumnya soliter dan mencari perairan yang lebih dalam (FAO 2001). Ikan lencam adalah karnivor bottom feeders. memangsa
krustasea
(kepiting,
udang),
Secara umum, ikan lencam
moluska
(gastropoda,
bivalvia,
nudribranch, cumi-cumi dan gurita kecil), echinodermata ( sea urchins, bintang dolar, bintang laut, brittlestar), polychaeta, dan ikan (Toor 1986).
6
2.4. Reproduksi dan Musim Pemijahan Ikan lencam (Famili Lethrinidae) merupakan salah satu kelompok ikan hermaprodit protogini (FAO 2001).
Menurut Effendie (2002), ikan mengalami
proses diferensiasi gonad dari fase betina ke jantan. Perubahan ini dapat dicirikan pada perubahan morfologi. Menurut Wassef (1991), perubahan ikan lencam dari fase betina ke jantan dapat dilihat dari ukuran panjang total ikan. Berdasarkan hasil penelitian di Laut Merah, ikan mengalami perubahan fase betina ke fase jantan saat panjang ikan telah mencapai 33 cm pada kelompok umur 5 tahun (Wassef 1991). Musim puncak pemijahan Lethrinus lentjan di Teluk India yaitu bulan Febuari dan bulan November (Toor 1986). Hal ini menunjukkan bahwa ikan memijah dua kali dalam setahun.
2.5. Distribusi Ukuran Panjang Data sebaran frekuensi panjang digunakan untuk mengetahui frekuensi sebaran ikan di perairan berdasarkan ukuran panjangnya.
Sebaran frekuensi
panjang yang dibuat ini selanjutnya digunakan untuk pendugaan kelompok umur ikan. Analisis data frekuensi panjang ditujukan untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu.
Analisis ini berguna dalam pemisahan
suatu sebaran frekuensi panjang yang kompleks kedalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre & Venema 1999). Menurut Busacker et al. (1990) umur ikan dapat ditentukan dari sebaran frekuensi panjang melalui analisis kelompok umur karena panjang ikan dari kelompor umur yang sama cenderung akan membentuk suatu sebaran normal. Tanda tahunan pada ikan tropis sangat sulit diamati untuk pendugaan umur karena tanda tahunan pada musim hujan tidak berbeda jelas dengan tanda tahunan pada musim kemarau.
Ikan tropis relatif mengalami pertumbuhan sepanjang
tahun. Oleh karena itu, pendugaan umur ikan tropis umumnya dilakukan dengan metode frekuensi panjang (Effendie 2002). Berbeda dengan ikan subtropis yang mengalami pertumbuhan cepat pada saat musim panas dan mengalami pertumbuhan yang lambat pada musim dingin (Sparre & Venema 1999).
7
Kisaran panjang dari Lethrinus lentjan di Teluk India ukuran panjang baku berkisar 25-331 mm (Toor 1986), sedangkan ikan Lethrinus lentjan di kawasan terumbu karang Kepulauan Gurraici, Kabupaten Halmahera Selatan pada kondisi terumbu karang yang masih baik dengan ukuran panjang baku berkisar 100-410 mm dan panjang rata-rata 230 mm serta sebaran frekuensi panjang ikan lencam yang dominan adalah 230-239 mm.
Pada kondisi karang yang rusak ukuran
panjang baku berkisar 110-330 mm dengan panjang rata-rata 230 mm dan sebaran frekuensi panjang ikan lencam yang paling dominan adalah 220-239 mm (Norau 2010).
2.6. Pertumbuhan Menurut Effendie (2002), pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu. Selain itu juga bisa didefinisikan sebagai perubahan ukuran atau jumlah material tubuh baik perubahan positif maupun negatif, temporal maupun dalam jangka waktu yang lama (Busacker et al. 1990). Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit.
Faktor luar yang utama mempengaruhi
petumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan (Effendie 2002). Pertumbuhan
Von
Bertalanffy
memberikan
representasi
terhadap
pertumbuhan populasi ikan berdasarkan konsep fisiologis sehingga dapat digunakan untuk mengetahui beberapa masalah dari variasi pertumbuhan karena ketersediaan makan (Beverton & Holt 1957). Pertumbuhan Ford Walford merupakan cara sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan L∞ dan K dari persamaan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparred & Venema 1990).
Parameter-
parameter yang diperoleh dalam menduga pertumbuhan populasi yaitu panjang infinitif (L∞) yang merupakan panjang maksimum secara teoritis, koefisien pertumbuhan (K), dan t0 yang merupakan umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol (Sparre & Venema 1999).
8
Parameter pertumbuhan L∞ dari persamaan Von Bertalanffy Lethrinus lentjan adalah 64,02 cm, koefesien pertumbuhannya (K) adalah 0,27 dan umur ikan teoritis (t0) adalah -0,306 tahun di Teluk India (Toor 1986).
2.7. Hubungan Panjang-Berat Hubungan panjang-berat adalah faktor penting dalam studi biologi ikan dan pendugaan stok. Biomassa ikan sering dihitung dari kelimpahan melalui panjang dan menggunakan hubungan panjang-berat ikan. Analisis hubungan panjang dan berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan dengan menggunakan parameter panjang dan berat ikan. Hasil analisis pertumbuhan panjang-berat akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yang akan menunjukkan laju pertumbuhan parameter panjang dan berat.
Ikan yang memiliki nilai b=3 (isometrik)
menunjukkan pertambahan panjangnya seimbang dengan pertambahan berat. Sebaliknya jika nilai b≠3 (allometrik) menunjukkan pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan beratnya.
Jika pertambahan berat lebih cepat
dibandingkan pertambahan panjang (b>3), maka disebut sebagai pertumbuhan allometrik positif.
Apabila pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan
pertambahan berat (b<3), maka disebut sebagai pertumbuhan allometrik negatif (Effendie 2002). Hubungan panjang berat dari Lethrinus lentjan di kawasan terumbu karang Kepulauan Gurraici, Kabupaten Halmahera Selatan pada kondisi perairan karang baik adalah W= -2,60 L2,0373. Sedangkan pada kondisi karang rusak adalah W= -3,48 L2,4007.
Nilai b dari hasil penelitian sebesar 2,0373 dan 2,4007 yaitu berupa
pertumbuhan allometrik negatif (Norau 2010).
2.8. Faktor Kondisi Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot. Perhitungan faktor kondisi ini untuk melihat pada panjang dan bobot berapa ikan mencapai kondisi maksimum atau minimum. Secara biologis, faktor kondisi dapat mengindikasikan musim pemijahan bagi ikan khususnya untuk ikan-ikan betina. Di dalam penggunaannya sebagai komersiil maka kondisi ini mempunyai
9
kuantitas dan kualitas daging ikan yang dapat dimakan.
Nilai faktor kondisi
dipengaruhi makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad. Selain itu faktor kondisi juga dipengaruhi oleh indeks relatif penting makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad.
Ikan yang cenderung
menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber tenaga selama proses pemijahan, akibatnya ikan akan mengalami penurunan faktor kondisi. (Effendie 2002).
2.9. Aktivitas Penangkapan dan Alat Tangkap 2.9.1. Jaring insang (Gillnets) Jaring insang (gillnets) merupakan jenis alat tangkap yang memiliki selektivitas tinggi terhadap hasil tangkapan ikan karang. Ikan yang tertangkap sesuai dengan besar dan ukuran mata jaring. Ikan karang yang berukuran lebih besar atau lebih kecil dari ukuran mata jaring akan lolos dari jeratannya. Tingkat selektivitas yang tinggi dari alat ini dapat digunakan untuk menggambarkan distribusi frekuensi ukuran ikan dengan cara menggunakan beberapa jaring insang yang mempunyai ukuran mata jaring yang berbeda (Gulland 1983).
Namun,
penggunaan alat ini cenderung merusak terumbu karang, apabila dioperasikan tidak memeperhatikan keberadaan terumbu karang (Acosta & Appeldoorn 1995 in Marsaoli 2001). Nelayan Kepulauan Seribu menggunakan jaring insang untuk menangkap ikan-ikan target.
Besarnya mata jaring (mesh size) bergantung pada jenis
tangkapan, ikan lencam biasa tertangkap menggunakan mesh size 3 inchi dengan panjang jaring ditentukan oleh operasi penangkapan. Selama penangkapan ikan lencam, nelayan biasa menggunakan 3 piece jaring atau setara dengan 360 meter. Fishing ground lencam di perairan Kepulauan Seribu diantaranya Karang Congkak yaitu pinggiran perairan goba dengan habitat karang atau lamun.
Hal ini
dipengaruhi oleh kebiasaan ikan lencam yang akan naik ke daerah yang lebih dangkal saat perairan mulai pasang dan akan kembali menuju goba (perairan yang relative dalam) ketika perairan akan mengalami surut. 2.9.2. Bubu (Portable traps) Bubu atau perangkap umumnya lebih dikenal oleh nelayan dan paling sedikit menimbulkan bias.
Bentuknya yang bervariasi dimana setiap daerah
10
perikanan memiliki model dan bentuk tersendiri. Menurut Subari dan Barus (1988), bubu umumnya terbuat dari anyaman 10elati yang terdiri atas bagian badan, mulut (funnel) atau ijeb dan pintu. Mulut bubu (funnel) berbentuk seperti corong yang merupakan pintu tempat ikan masuk tetapi tidak dapat keluar.
Pintu bubu
merupakan tempat mengeluarkan hasil tangkapan. Menurut Widodo dan Suadi (2006), alat tangkap ini beroperasi berdasarkan perilaku ikan yang dipengaruhi oleh perubahan dalam densitas, misalnya kerena berdesak-desakan atau dalam lingkungan setempat. Nelayan sekitar Kepulauan Seribu biasa menggunakan bubu yang terbuat dari anyaman 10elati dan akan di letakkan di sekitar habitat karang dan lamun di perairan yang dangkal atau yang relatif dalam (goba) (Sudirman & Mallawa 2004). 2.9.3. Pancing (Hand lines) Hand lines merupakan salah satu jenis dari line fishing yang paling sederhana dibandingkan jenis line fishing lainnya.
Terdiri dari tali pancing, pancing dan
umpan. Terkadang para nelayan menambahkan pemberat yang berfungsi sebagai alat
bantu
mempercepat
tali
pancing
turun
ke
dasar
perairan.
Pada
pengoperasiannya sangat sederhana karena bisa dilakukan oleh seorang pemancing amatiran.
Jumlah mata pancing bisa satu buah atau lebih, bisa
menggunakan umpan asli atau umpan palsu. Ukuran pancing dan besarnya tali pancing disesuaikan dengan besarnya ikan yang menjadi tujuan penangkapan (Sudirman & Mallawa 2004). Ikan lencam biasa ditangkap nelayan Kepulauan Seribu dengan pancing. Biasanya digunakan benang monofilament dengan diameter 0,5 mm- 1 mm dengan pancing nomor 11 atau 16, dan tambahan pemberat timah.
2.10. Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu Pernyataan Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982 tanggal 10 Oktober 1982, dimana Cagar Alam Laut Pulau Seribu seluas 108.000 hektar sebagai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
Wilayah Kepulauan Seribu memiliki
iklim muson laut tropis, yakni adanya pergantian arah angin setengah tahun. Musim Barat terjadi pada bulan Oktober–April, musim Timur pada bulan MeiSeptember. Suhu rata-rata berkisar 26,5–28,5 °C dengan suhu maksimum 32,5 °C
11
dan minimum 23,4 °C.
Salinitas air permukaan berfluktuasi antara 30-34‰.
Kecerahan berkisar antar 3-8 meter [www.kepulauanseribu.net]. Mata pencaharian penduduk umumnya sebagai nelayan (70,99%) perikanan tangkap atau budidaya. Kegiatan rutin masyarakat adalah melaut untuk mencari ikan. Tetapi kegiatan tersebut tidak mereka lakukan pada setiap hari Jum’at. Apabila tidak melaut, hari-hari mereka diisi dengan memperbaiki atau membuat jaring ataupun memperbaiki atau membuat kapal. [www.kepulauanseribu.net] Sistem zonasi KKP3K dan KKM (Pasal 31 Permen 17/2008) yaitu zona inti, zona pemanfaatan terbatas, dan/atau zona lainnya sesuai dengan peruntukan kawasan. Jumlah pulau yang berada di dalam kawasan TNLKpS yang berjumlah 78 pulau, diantaranya 20 pulau sebagai pulau wisata, 6 pulau sebagai hunian penduduk dan sisanya dikelola perorangan atau badan usaha. Karang Congkak adalah satu perairan dangkal yang termasuk dalam zona pemukiman kawasan pemanfaatan [www.kepulauanseribu.net]. Karang Congkak merupakan salah satu wilayah kawasan pemanfaatan kegiatan perikanan berupa penagkapan ikan dan budidaya.
Menurut Terangi
(2011) ekosistem yang terdapat di perairan dangkal Karang Congkak ini adalah hamparan terumbu karang dan padang lamun. Dimana kondisi ekosistem terumbu karang lebih mendominasi dibanding ekosistem padang lamun, sedangkan untuk tipe substrat diperairan dangkal Karang Congkak ini terdiri dari pasir, pasir berbatu dan pecahan karang mati. Penutupan karang keras di perairan Karang Congkak sebesar 48% sedangkan penutupan lamun sebesar 42% (Terangi 2011). Pada wilayah ini terdapat laguna (goba). Laguna merupakan sebuah kawasan dangkal di pesisir lautan yang terpisah dari lautan terbuka yang dibatasi oleh suatu atol atau karang, hingga kedalaman hingga 40 m (Clapham 1973 in Wijaksana 2008).
Sebaran ikan diperairan ini sangat banyak dimana persebarannya
cenderung pada tengah kolom perairan (Wijaksana 2008).
Ikan lencam juga
ditemukan pada perairan dengan kedalaman hingga 30 m (Reubens 2008).
2.11. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Menurut Widodo dan Suadi 2006, pengelolaan perikanan meliputi beberapa aspek termasuk sumberdaya ikan, habitat atau lingkungan, dan manusia serta
12
berbagai faktor eksternalnya.
Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini
menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan dan meningkatnya kesadaran dan kepedulian umum untuk memanfaatkan lingkungannya secara bijaksana, yakni dengan upaya pembangunan secara berkelanjutan.
Namun demikian, upaya
pengelolaan perikanan memiliki beberapa keterbatasan (constraint) yaitu dari sumberdaya ikan dan pemanfaatnya. Permasalahan dalam pengelolaan perikanan akan ditemui pada tiap bagian atau fungsi manajemen.
Kondisi seperti ini
membutuhkan berbagai upaya inovasi agar tujuan pengelolaan secara efektif dan efesien dapat tercapai. Secara umum tujuan utama dari pengelolaan perikanan adalah untuk menjaga kelestarian produksi terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan (enhancement) untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan serta untuk memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut (mencapai tujuan biologi, ekonomi dan sosial). Untuk mencapai tujuan pengelolaan, pihak yang berwenang mengelola (pengelola) harus mampu merancang, memberikan alasan
yang
pengendalian
kuat (secara politis), (menyelenggarakan
dan
melaksanakan
undang-undang
sekumpulan
terhadap
jenis
aktivitas
penangkapan) (Widodo & Suadi 2006). Kelimpahan dan dinamika pupulasi ikan mempunyai peranan penting dalam perikanan tetapi populasi akuatik tidak hidup dalam isolasi. Sumberdaya menjadi salah satu komponen ekosistem yang rumit, terdiri dari komponen biologi yang mungkin memamngsa dan dimangasa, atau berkompetisi dengan stok atau populasi tertentu.
Lingkungan dari ikan jarang bersifat statis dan kondisi
lingkungan akuatik dapat berubah secara nyata menurut waktu, seperti pasang surut, suhu air, dll. Perubahan lingkungan seperti itu mempengaruhi dinamika dari populasi ikan, pertumbuhan, rekruitmen, mortalitas alami atau kombinasi dari itu semua.
Perubahan dalam setiap komponen mempunyai dampak terhadap
populasi dan komunitas sumberdaya ikan. Beberapa perubahan tersebut dapat berada di luar kontrol manusia meskipun itu perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan (Widodo & Suadi 2006). Proses pertambahan dari pertumbuhan dan reproduksi secara rata-rata sama dengan proses pengurangan dari mortalitas total.
Dalam populasi yang
13
dieksploitasi, mortaslitas total terdiri dari mortalitas alami dan mortalitas penangkapan.
Mortalitas alami berupa proses pemangsaan, penyakit, dan
kematian dari perubahan lingkungan. Tugas utama dari pengelolaan perikanan adalah menjamin bahwa mortalitas penangkapan tidak melampaui kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam dan merusak kelestarian dan produktivitas ikan yang sedang dikelola (Widodo & Suadi 2006). Umumnya kegiatan pengelolaan perikanan mulai bekerja ketika isu-isu ini berkembang.
Jarang ditemui upaya pengelolaan diberlakukan sejak awal
pengembangan perikanan di suatu wilayah tertentu. Sehingga konsep overfishing sering menjadi acuan akan perlunya berbagai tindakan pengelolaan melalui pengaturan perikanan. Overfishing secara sederhana dapat kita pahami sebagai penerapan sejumlah upaya penangkapan yang berlebihan terhadap suatu stok ikan (Widodo & Suadi 2006). Beberapa ciri-ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi ini antara lain, waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya, yang kemudian diikuti produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya/trip, CPUE) yang menurun, ukuran ikan sasaran yang semakin kecil dan biaya penangkapan (operasional) yang semakin meningkat (Widodo & Suadi 2006).