4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) www.fishbase.org (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Ordo
: Percomorphi
Famili
: Nemipteridae
Genus
: Nemipterus
Spesies
: Nemipterus balinensis Bleeker, 1859
Nama Lokal
: Terisi (TPI Cilincing)
Nama Indonesia
: Kurisi
Gambar 2. Ikan terisi (Nemipterus balinensis) Sumber : Dokumentasi pribadi (2010) Ikan terisi (Nemipterus balinensis) termasuk kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis penting dan tersebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Kepala ikan terisi tidak terdapat duri, bagian depannya tidak bersisik, sirip punggung berjari-jari keras 10, dan 9 lunak. Jari-jari keras pertama dan kedua tumbuh memanjang seperti serabut (cambuk), demikian juga jari-jari teratas lembaran sirip ekornya. Sirip dubur berjari-jari keras 3, dan 7 jari-jari lunak. Warna kepala dan gigir punggung kemerahan. Satu totol kuning terdapat pada awal garis rusuk. Cambuk pada sirip punggung maupun ekornya berwarna kuning. Sirip
5
punggung abu-abu keunguan dengan warna kuning di tengah-tengahnya demikian juga sirip dubur. Sirip ekor kuning sedikit kegelapan. Sirip perut dan dada putih sedikit kecokelatan. Menurut Richardson (1846) in www.fishbase.org (2010), jumlah betina ikan terisi akan lebih besar dibanding jantan hampir setiap tahun kecuali bulan Desember dan januari. Bentuk makroskopik dari ovarium terindikasi bahwa banyak ovarium yang belum dewasa dari bulan September-Januari, dan ovarium dewasa dari bulan Februari-Juli. Pemeriksaan histologik menunjukkan bahwa oocyte dewasa tampak pada bulan Februari-Juli. Masa pemijahan ikan terisi terlihat dari bulan FebruariJuli, dengan puncaknya pada bulan April-Mei. Panjang ikan terisi ini dapat mencapai 30 cm, umumnya 15-25 cm. Ikan terisi dipasarkan dalam bentuk ikan segar dan ikan asin kering serta harganya relatif murah. Penangkapan ikan terisi dapat menggunakan alat tangkap seperti pukat tarik, payang, dogol, pukat cincin, dan jaring insang.
2.2. Sebaran Ikan Terisi Ikan terisi merupakan ikan demersal. Pada umumnya, di perairan Indonesia ikan terisi berasosiasi dengan karang dan hidup di perairan dengan kedalaman 180– 270 meter. Ikan terisi tersebar luas di Indo-Pasifik mulai dari Hawai hingga bagian utara Australia timur hingga selatan Jepang. Persebaran ikan terisi di Indonesia meliputi perairan sekitar Ambon, Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya (Pardjoko 2001 in Priyanie 2006). Peta sebaran ikan terisi dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Peta sebaran ikan terisi (Nemipterus balinensis) ( : Wilayah sebaran ikan terisi) Sumber : www.aquamaps.org (2011)
6
2.3. Alat Tangkap Ikan Terisi Ikan terisi hidup di dasar perairan dan ditangkap menggunakan alat tangkap dogol. Jaring dogol ditujukan untuk menangkap ikan demersal. Konstruksi umum jaring dogol terdiri tiga bagian yaitu sepasang sayap (wing) dibagian depan, bagian tengah (body/towing warp), dan kantong (cond end). Bagian pangkal depan (sayap) dibiarkan terbuka dan berfungsi sebagai mulut jaring. Sedangkan ujung bagian belakang (kantong) diikat sehingga saat dioperasikan ikan yang telah tertangkap tidak keluar kembali. Dalam pengoperasiannya, jaring ini dilengkapi dengan siwakan (otter board) yang berfungsi sebagai pembuka mulut (Widodo & Widodo 2003) (Gambar 4).
Gambar 4. Alat tangkap dogol Sumber: JICA 2009
2.4. Sebaran Frekuensi Panjang Pengkajian stok ikan (fish stock assessment) pada intinya memerlukan data komposisi umur. Pada perairan yang beriklim sedang, data komposisi umur biasanya dapat diperoleh melalui perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian keras ikan, yaitu sisik dan otolith. Sedangkan pada perairan beriklim tropis, dalam pengkajian stok dilakukan analisis sejumlah data frekuensi panjang yang dikonversi ke dalam kelompok umur. Analisis data frekuensi panjang bertujuan untuk menentukan kelompok umur berdasarkan kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu sebaran frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok umur (Sparre & Venema 1999).
7
Analisa frekuensi panjang digunakan untuk menentukan kelompok ukuran ikan yang didasarkan kepada anggapan bahwa frekuensi panjang individu dalam suatu spesies dengan kelompok umur yang sama akan bervariasi mengikuti sebaran normal (Effendi 2002). Ketika suatu contoh besar yang tidak bias diambil dari stok ikan, panjang masing-masing individu bisa diukur dan digambarkan sebagai diagram frekuensi panjang. Jika pemijahan terjadi sebagai suatu peristiwa diskret, hal ini akan menghasilkan kelompok umur atau kelas berbeda yang dibuktikan dengan puncak atau modus pada sebaran frekuensi panjang (King 1995).
2.5. Pertumbuhan Pertumbuhan individu adalah pertambahan ukuran panjang atau bobot. Menurut Effendie (2002), pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar yang mempengaruhi antara lain jumlah dan ukuran makanan yang tersedia serta faktor kualitas air. Sedangkan faktor dalam yang mempengaruhi antara lain sex, keturunan, umur, parasit dan penyakit. Pada umumnya faktor dalam lebih sulit dikontrol daripada faktor luar. Di daerah tropis makanan merupakan faktor yang paling penting daripada suhu perairan karena suhu di daerah tropis berada dalam batas kisaran optimum untuk pertumbuhan. Pertumbuhan untuk populasi adalah pertambahan jumlah. Berdasarkan Effendie (2002), ukuran populasi dapat dinyatakan sebagai jumlah ikan atau bobot total hasil estimasi. Peningkatan dalam jumlah ikan ditentukan oleh pertumbuhan badan individu ikan dalam populasi dan penambahan dari generasi baru ikan-ikan muda. Beberapa model telah digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan dengan menggunakan persamaan matematika yang sederhana (Allen 1971 in King 1995). Selanjutnya King (1995) menyatakan bahwa salah satu diantaranya adalah persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy yang umum digunakan dalam studi pertumbuhan. Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy memberikan representasi pertumbuhan ikan yang memuaskan. Hal ini karena persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga bisa digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan (Beverton & Holt 1957).
8
2.6. Hubungan Panjang Bobot Hubungan panjang bobot digunakan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan. Analisis pertumbuhan panjang bobot bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan bobot. Bobot dapat dianggap sebagai salah satu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari perhitungan panjang bobot digunakan untuk menduga bobot dari panjang atau sebaliknya. Selain itu juga, dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan, dan pengaruh perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie 2002). Hasil analisis hubungan panjang bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yaitu nilai pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Menurut Effendie (2002), terdapat dua pola pertumbuhan, yaitu pertumbuhan isometrik dan allometrik. Nilai b=3 menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang menyatakan bahwa pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya. Nilai b≠3 menggambarkan pertumbuhan allometrik yaitu pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobotnya. Pertumbuhan dikatakan allometrik positif (b>3) jika pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan panjang. Sedangkan allometrik negatif (b<3) jika pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot (Effendie 2002).
2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Pada suatu
lingkungan perairan
banyak
faktor
yang
menyebabkan
berkurangnya individu ikan dalam suatu perairan. Suatu stok ikan yang telah dieksploitasi perlu diketahui tingkat laju mortalitasnya. Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti penyakit, stres, pemijahan, kelaparan dan usia tua. Sedangkan mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999). Laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bartalanffy yaitu K dan L∞. Ikan yang pertumbuhannya (K) cepat memiliki nilai mortalitas (M) yang tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil (Berverton & Holt 1957).
9
Laju eksploitasi (E) didefinisikan sebagai suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Laju eksploitasi adalah jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati baik alami maupun karena faktor penangkapan. Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995).
2.8. Faktor Kondisi Faktor kondisi dapat menggambarkan kemontokan ikan. Ikan yang berukuran kecil memiliki faktor kondisi yang lebih rendah dan akan meningkat ketika ikan tersebut
bertambah
besar.
Peningkatan
faktor
kondisi
disebabkan
oleh
perkembangan gonad yang akan mencapai puncaknya sebelum pemijahan (Effendie 2002). Ketersediaan makanan akan mempengaruhi faktor kondisi. Pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan menurun (Effendie 2002).
2.9. Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pencatatan tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dengan yang tidak (Affandi et al. 2007). Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti bilamana ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Berkurangnya populasi ikan di masa mendatang dapat terjadi karena ikan yang tertangkap adalah ikan yang akan memijah atau ikan belum pernah memijah, sehingga sebagai tindakan
pencegahan
diperlukan
penggunaan
alat
tangkap
yang
selektif
(Najamuddin et al. 2004). Pendugaan puncak pemijahan dapat dilakukan berdasarkan persentase jumlah ikan yang matang gonad pada suatu waktu. Semakin tinggi TKG ikan, maka panjang dan bobot juga semakin tinggi. Hal ini disebabkan
10
oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup. Faktor-faktor yang mempengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain disebabkan oleh perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sifat-sifat fisiologis dari ikan tersebut, sedangkan faktor eksternal meliputi makanan, suhu, arus, dan adanya individu yang memiliki jenis kelamin berbeda dan tempat memijah yang sama (Tampubolon 2008). Secara alamiah TKG akan berlangsung menurut siklusnya sepanjang kondisi makanan dan faktor lingkungan tidak berubah (Handayani 2006).
2.10. Nisbah Kelamin Reproduksi merupakan mata rantai dalam siklus hidup ikan yang berhubungan dengan mata rantai lain untuk menjamin kelangsungan hidup spesies ikan (Nikolsky 1963). Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi. Untuk beberapa spesies ikan, perbedaan jenis kelamin dapat ditentukan melalui perbedaan morfologi tubuh atau perbedaan warna tubuh. Dalam kelangsungan hidup suatu populasi, kondisi nisbah kelamin yang ideal adalah 1:1 (Bal & Rao 1984 in Tampubolon 2008). Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Tetapi di alam sering terjadi penyimpangan dari kondisi ideal, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, serta perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006). Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Pada waktu melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina.
2.11. Analisis Ketidakpastian Perikanan merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan saling terkait. Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan mendefinisikan perikanan
11
sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Perikanan sebagai suatu sistem yang kompleks memiliki sifat ketidakpastian meliputi ketidakpastian produksi, harga, dan pemilihan teknologi penangkapan. Ketidakpastian dalam sektor perikanan dapat disebabkan oleh faktor-faktor alami dari sektor perikanan tersebut maupun dari berbagai pihak yang berkepentingan di dalamnya. Permasalahan dan resiko-resiko yang terjadi dalam suatu sistem perikanan akibat dari ketidakpastian dapat mempengaruhi keberlanjutan perikanan di masa yang akan datang. Apabila tidak diatasi, maka dapat mengancam sistem perikanan tersebut (Charles 2001). Oleh karena itu sangat penting untuk dilakukan suatu pengelolaan yang tepat agar perikanan tetap terjaga dan termanfaatkan secara optimum. Cakupan sumber ketidakpastian sangat luas, baik dari sisi alamiah maupun sisi manusia atau manajemennya (Tabel 1). Tabel 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam sistem perikanan Sumber yang bersifat alami
Sumber yang bersifat dari manusia
Ukuran stok dan struktur umur ikan
Harga ikan dan struktur pasar
Mortalitas alami
Biaya operasional dan biaya korbanan
Predator-prey
Perubahan tekhnologi
Heterogenitas ruang
Sasaran pengelolaan
Migrasi
Sasaran nelayan
Parameter "stock-assessment"
Respon nelayan terhadap peraturan
Hubungan "stock-recuitment"
Perbedaan persepsi terhadap stok ikan
Interaksi multispesies
Perilaku konsumen
Interaksi ikan dengan lingkungan Sumber : Charles (2001) Berikut ini beberapa tipologi ketidakpastian yang dijelaskan oleh Charles (2001), yaitu: 1. Randomness/ Process Uncertainty,
yaitu tipologi ketidakpastian yang
menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat random (acak).
12
2. Parameter and State Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian dalam konteks ketidakakuratan yang dibagi menjadi tiga macam: a. Observation Uncertainty, ketidakpastian perikanan karena keterbatasan observasi (ketidakpastian variabel perikanan yang dapat mengakibatkan terjadinya miss-management). b. Model Uncertainty, ketidakpastian dalam memprediksi model sistem perikanan. c. Estimation Uncertainty, ketidakpastian sebagai akibat dari ketidakakuratan estimasi. 3. Structural Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang muncul akibat dari proses struktural dalam pengelolaan perikanan. a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi yang muncul akibat dari proses struktural dalam pengelolaan perikanan. b. Instutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan sebagai sebuah institusi atau ketidakpastian “value system” dalam perikanan. Fluktuasi pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang ada, terutama jika nilai yang dihasilkan lebih rendah dari sebelumnya (Charles 2001). Jika nilai parameter pada model prediksi tidak diketahui, maka keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut. Pemahaman mengenai resiko dalam suatu sistem perikanan sangat dibutuhkan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dalam jangka pendek ataupun panjang serta sebagai suatu upaya untuk mengurangi dan mengatasi resiko yang telah terjadi. Secara umum terdapat dua metodologi dalam menganalisis resiko (Surya 2004) yaitu : 1. Secara kuantitatif, dimana analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi resiko kemungkinan kerusakan atau kegagalan sistem informasi dan memprediksi besarnya kerugian berdasarkan formula-formula matematis yang dihubungkan dengan nilai-nilai finansial.
13
2. Secara kualitatif, dimana merupakan suatu analisa yang menentukan resiko tantangan organisasi. Penilaian dilakukan berdasarkan instuisi, tingkat keahlian dalam menilai jumlah resiko yang mungkin terjadi dan potensi kerusakannya. Dalam pengelolaan perikanan sendiri, pemahaman mengenai resiko dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Risk Assessment (penaksiran resiko) Penaksiran resiko digunakan untuk menganalisis ketidakpastian, mengukur resiko, memprediksi hasil perikanan, serta dapat memberikan skenario pengelolaan. Tujuan dari Risk Assessment ada dua, yaitu: a. Menentukan besarnya resiko ketidakpastian yang timbul dari adanya fluktuasi acak, pendugaan pengukuran parameter yang tidak tepat dan ketidakpastian yang berkenaan dengan keadaan alam. Hal ini dapat dicapai melalui analisis statistik dengan menggunakan time-series data. b. Memprediksi resiko secara kuantitatif dari hal-hal pasti yang akan terjadi akan tetapi kejadian tersebut tidak diinginkan. Hal ini dapat dianalisis dengan pendekatan simulasi stok untuk mengestimasi implikasi jangka panjang (risks) dari sebuah skenario pengelolaan. 2. Risk Management (pengelolaan resiko) Pengelolaan resiko merupakan upaya untuk mengatur, mengurangi atau mengatasi resiko dalam sistem perikanan, melalui beberapa teknik analisis dengan
merancang
rencana
pengelolaan
yang
optimal
dalam
kondisi
ketidakpastian. Hal ini dapat dicapai dengan prinsip adaptive management yaitu menghitung resiko dengan cara memanfaatkan. Adaptive management terdiri dari tiga model, yaitu: a. Non-adaptive models; pengukuran ketidakpastian yang terlalu berlebihan. b. Passive adaptive models; memperbaharui pengukuran tanpa mempedulikan perubahan-perubahan yang terjadi di masa yang akan datang c. Active adaptive models; nilai-nilai informasi yang terdapat di masa yang akan datang dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan.
14
2.12. Pengeloalaan Sumberdaya Perikanan Menurut FAO (1997) in Widodo & Suadi (2008), pengelolaan perikanan adalah
proses
perencanaan,
yang
terintegrasi
konsultasi,
dalam
pembuatan
pengumpulan
keputusan,
alokasi
informasi,
analisis,
sumberdaya
dan
implementasi dari aturan-aturan main di bidang ikan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin produksi yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan (resource conservation), terutama melalui berbagai tindakan pengaturan (regulations) dan pengkayaan (enhancement) yang meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan sukses ekonomi bagi industri yang didasarkan pada stok ikan (Widodo 2002). Undang-undang perikanan nomor 45 tahun 2009 menyatakan pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses terintegrasi pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya, implementasi serta penegakan hukum peraturan perundangan di bidang perikanan, oleh pemerintah dan otoritas lain diarahkan mencapai kelangsungan produktifitas sumberdaya hayati dengan tujuan yang telah disepakati. Potensi sumberdaya perikanan perlu dikelola dengan baik. Menurut FAO (2002) in Widodo & Suadi (2008) Sumber ketidakpastian dalam perikanan muncul karena adanya keterbatasan, ketidaktersediaan, dan rendahnya kualitas data yang tersedia (seperti data hasil tangkapan, upaya, ekonomi, dan komunitas).