5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sumberdaya Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Klasifikasi ikan kembung lelaki menurut Cuvier (1817) dalam buku
identifikasi Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Sub ordo
: Scombridae
Famili
: Scombridae
Genus
: Rastrelliger
Spesies
: Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817
Nama umum : Indian mackerel (Inggris) dan kembung lelaki (Indonesia). Nama Lokal
: Kembung banyar (Makasar)
Gambar 2. Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta)
Secara umum ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) memiliki tubuh seperti cerutu dan ditutupi oleh sisik yang berukuran kecil dan tidak lepas. Bentuk tubuh pipih dengan bagian dada lebih besar daripada bagian tubuh yang lain. Ikan kembung lelaki tidak punya gigi pada bagian tulang langit-langit. Ikan kembung lelaki memiliki dua buah sirip punggung. Sirip punggung kedua dan sirip dubur terdapat 5-6 sirip tambahan yang disebut finlet. Sirip ekor bercagak dalam, sirip dada lebar, dan meruncing sedangkan sirip perut terdiri dari 1 jari-jari lemah. Ikan kembung lelaki memiliki warna keperakan dan titik gelap sepanjang punggung.
6
Warna punggung biru kehijau-hijauan. Sirip dorsal berwarna kekuning-kuningan dengan ujung berwarna hitam (Sujastani 1972). Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) memiliki satu noda hitam di belakang sirip dada. Ikan kembung lelaki memilki 2 baris bulatan hitam di bawah sirip punggung dan garis hitam membujur sepanjang badan. Panjang tubuh mencapai 35 cm (Saanin 1984). Ikan kembung lelaki biasanya ditemukan di perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 320/00 (Nontji 1993 in Syahrir 2011). Penyebaran utama ikan kembung di perairan barat, timur, dan selatan Kalimantan serta Selat Malaka (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992).
2.1.1. Biologi ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) Ikan kembung merupakan ikan pelagis yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai. Ikan kembung hidup bergerombol dan masuk ke perairan estuari untuk mencari makan berupa plankton, copepoda, dan crustaceae (Moazzam 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Luther 1973 in Burhanuddin et al., (1984), ikan kembung lelaki pemakan plankton seperti detritus dan filamenteus algae. Ukuran ikan kembung lelaki berkisar antara 184 mm-300 mm dan pada ikan kembung lelaki memiliki tapis insang yang lebih besar karena plankton yang dimakannya memiliki ukuran yang besar (Nontji 2005 in Astuti 2007). Menurut Wyrtki (1961) salinitas untuk pemijahan ikan kembung lelaki berkisar antara 320/00 – 340/00. Suhu permukaan laut untuk pemijahan ikan kembung lelaki berkisar antara 280C-29,390C (Dhebataron & Chotiyapatt 1974).
2.1.2. Distribusi, migrasi, dan musim pemijahan Ikan kembung penyebarannya dibagi menjadi dua bagian yaitu penyebaran secara vertikal dan horizontal. Ikan kembung lelaki di Laut Jawa mempunyai dua kali musim pemijahan yaitu pada musim barat dari bulan Oktober sampai Februari dan pada musim timur dari bulan Juni sampai September (Burhanuddin et al., 1984). Menurut Hardenberg (1938) in Sinaga (2010) ikan kembung di Laut Jawa dipengaruhi oleh oleh angin musim. Musim angin timur yaitu pada bulan Desember sampai Februari sekelompok ikan kembung bergerak dari arah Laut Jawa menuju
7
arah barat. Kelompok ikan kembung ini perlahan-lahan menghilang dari Laut Jawa kemudian selang beberapa minggu, ikan kembung yang baru, memasuki Laut Jawa dari arah timur. Musim barat yaitu pada bulan Juni sampai September, dinamika stok ikan kembung yang masuk ke Laut Jawa berasal dari Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia melalui Selat Sunda.
2.2.
Alat Tangkap Ikan Kembung Lelaki
2.2.1. Purse Seine Ikan kembung lelaki ditangkap menggunakan purse seine. Purse seine dioperasikan secara aktif dengan cara mengejar dan melingkarkan jaring pada suatu gerombolan ikan. Penangkapan dilakukan dengan merentangkan jaring panjang berbentuk dinding melingkari gerombolan ikan dan bagian atas dari jaring berada dipermukaan laut. Purse seine terdiri dari kantong (bag, bunt), badan jaring, tepi jaring, pelampung (float, corck), tali pelampung (corck line, float line), sayap (wing), pemberat (singker, lead), tali penarik (purse line), tali cincin (purse ring) dan silvege. Fungsi mata jaring (mesh size) dan jaring yaitu sebagai dinding penghadang dan bukan sebagai penjerat ikan, sehingga perlu ditentukan besarnya ukuran mata jaring (mesh size) dan ukuran benang jaring (twine) yang sesuai untuk setiap ikan yang menjadi tujuan penangkapannya (Ayodhyoa 1981). Teknik pengoperasian purse seine dibagi menjadi 4 tahap yaitu tahap persiapan, penentuan daerah penangkapan, tahap pengoperasian (setting), dan penarikan (hauling). Tahap persiapan merupakan tahap pemeriksaan mesin dan semua alat yang dibutuhkan seperti penyiapan bahan bakar 300 liter untuk 2 hari berlayar, es balok, dan bahan untuk perbekalan para ABK. Tahap kedua yaitu tahap penentuan daerah penangkapan, kapal purse seine umumnya berangkat sekitar pukul 1 siang dan membutuhkan waktu sekitar 5 jam perjalanan untuk sampai pada daerah penangkapan yang berada disekitar pulau Rakata. Pengoperasian purse seine dilakukan pada malam hari dengan satu kali operasi membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Penangkapan ikan kembung lelaki menggunakan lampu sebagai alat bantu penerangan yang diletakkan di atas bambu yang sudah dirakit yang disebut dengan bangkrak. Kapal penangkap segera melingkari gerombolan ikan sambil menurunkan jaring dan peralatan menuju tali kolor yang telah dilemparkan pada permulaan
8
operasi penangkapan. Jaring berbentuk satu lingkaran penuh, tali kolor segera ditarik dan terakhir ialah penarikan alat (hauling) dilakukan setelah semua tali kolor tertarik sedikit demi sedikit bagian jaring ditarik. Penarikan purse seine selesai hingga tersisa bagian kantong dan ikan yang terkurung diambil dengan menggunakan serok (Ayodhyoa 1981).
Gambar 3. Unit penangkapan purse seine Sumber : www.europacifictuna.com
2.2.2. Jaring insang dasar (bottom gillnet) Jaring insang dasar atau jaring rampus berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata jaring sama termasuk dalam klasifikasi jaring insang (gillnet). Menurut Martasuganda (2008), bagian-bagian bottom gillnet yaitu pelampung (float), berfungsi untuk mengapungkan alat tangkap. Tali pelampung (float line), adalah tali yang berfungsi untuk menyambungkan antar pelampung. Tali ris atas dan bawah dipakai untuk memasangkan atau menggantungkan badan jaring. Tali penggantung badan jaring bagian atas dan bawah (upper bolch line and under bolch line) adalah tali yang berfungsi untuk menyambungkan atau menggantungkan badan jaring pada tali ris. Srampad atas dan bawah (upper selvedge and under selvedge) adalah susunan mata jaring yang ditambahkan pada badan jaring bagian atas dan bagian bawah. Badan jaring atau jaring utama (main net) adalah bagian dari jaring yang digunakan untuk menangkap ikan. Tali pemberat (sinker line) adalah tali yang berfungsi untuk memasang pemberat yang bahannya terbuat dari bahan sintetis seperti haizek, vinylon, polyvinyl chloride, saran atau bahan lainnya yang bisa dijadikan untuk tali pemberat. Pemberat (sinker) berfungsi untuk menghasilkan gaya berat pada bottom gillnet.
9
2.3.
Pola Musim Penangkapan Ikan Pola musim penangkapan ikan dipengaruhi oleh arus dan perubahan arah
angin. Arus permukaan Indonesia akan selalu berubah setiap tahun akibat adanya arah angin disetiap musimnya (angin muson). Pola angin ini bertiup kearah tertentu pada suatu periode dan periode lainnya bertiup kearah yang berlainan pula sehingga dikenal dengan musim barat, musim timur, musim peralihan 1, dan musim peralihan 2. Musim angin barat di Indonesia biasanya terjadi pada bulan Desember, Januari, dan Februari karena pada bulan tersebut terjadi musim angin dibelahan bumi bagian utara dan musim panas dibelahan bumi bagian selatan. Angin yang berhembus dari Asia memiliki tekanan tinggi, menuju Australia yang memiliki tekanan rendah. Angin musim timur di Indonesia terjadi pada bulan Juli sampai Agustus karena pusat tekanan tinggi berada di benua Australia dan pusat tekanan rendahnya berada di benua Asia (Nontji 2007).
2.4.
Model Surplus Produksi Model surplus produksi merupakan model yang digunakan dalam pendugaan
stok ikan. Model ini menggunakan data hasil tangkapan dalam kg/tahun sebagai peubah tak bebas, dan effort dalam trip/tahun sebagai peubah bebas. Tiga parameter dalam menduga model surplus produksi ialah pertumbuhan alami r, daya dukung lingkungan K, dan koefisien kemampuan alat tangkap q. Syarat yang harus dipenuhi dalam menganalisis model produksi surplus adalah ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap relatif, distribusi ikan menyebar rata, dan masing-masing alat tangkap memilki kemampuan menangkap yang seragam (Gulland1983). Hilborn & Walters (1992) menyatakan bahwa situasi surplus produksi dapat diintegrasikan sebagai stok ikan yang meningkat pada saat taraf konstan. Model surplus produksi memiliki kelebihan dan kelemahan tergantung pada penerapannya. Model ini tergantung pada empat macam besaran diantaranya biomassa populasi pada waktu tertentu, tangkapan untuk waktu tertentu, upaya tangkap pada waktu tertentu, dan laju pertambahan natural yang konstan.
10
2.5.
Bioekonomi Perikanan Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan
(renewable resources) namun memiliki keterbatasan. Pemanfaatan yang melebihi kemampuan daya pulih sumberdaya (regenerasi stok) akan berakibat pada penurunan sumberdaya menuju kepunahan. Pendekatan Maximum Suistainable Yield (MSY) atau potensi lestari perlu dikembangkan. MSY merupakan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya atau jumlah ikan yang ditangkap masih berada pada batasan surplus produksi (Sari et al., 2009). Pendekatan bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Permasalahan perikanan selama ini hanya terfokus pada maksimalisasi penangkapan dengan mengabaikan faktor produksi seperti biaya operasional penangkapan. Konsep MSY didasarkan atas suatu model yang sederhana dari suatu populasi ikan yang dianggap sebagai unit tunggal. Konsep ini dikembangkan dari kurva biologi yang menggambarkan yield sebagai fungsi dari effort dengan suatu nilai maksimum yang jelas (Widodo & Suadi 2006). Konsep MSY ini memiliki beberapa keuntungan diantaranya dapat ditentukan dengan ukuran fisik yang sederhana yaitu berat atau jumah ikan yang tertangkap (Widodo & Suadi 2006). Konsep MSY juga memilki beberapa kelemahan yaitu banyak stok ikan yang dinamikanya tidak dapat dilukiskan hanya dengan gambaran yang sederhana. Konsep ini juga tidak dapat menampung berbagai interaksi populasi dengan populasi lainnya, adanya struktur umur dalam populasi, dan adanya recruitment (Widodo & Suadi 2006). Menurut Conrad & Clark (1987) in Fauzi 2010 kelemahan pendekatan MSY antara lain : (1) bersifat tidak stabil karena perkiraan stok yang meleset dapat mengakibatkan pada pengurasan stok; (2) hanya didasarkan pada kondisi steady state (keseimbangan); (3) tidak dapat diterapkan pada perikanan yang multispesies; dan (4) tidak memperhitungkan nilai ekonomis jika stok ikan tidak dipanen; Kondisi perikanan yang terbuka, rente ekonomi yang positif akan menimbulkan daya tarik dari armada lain untuk ikut berpartisipasi dalam perikanan. Partisipasi tersebut berupa penambahan input seperti peningkatan ukuran kapal dan penambahan tenaga kerja. Effort akan bertambah dan akan terus berlangsung sampai rente ekonomi terkuras. Tingkat input yang dibutuhkan pada kondisi open access
11
dengan rente ekonomi yang nol jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan pada keuntungan yang maksimum. Gordon menyebutkan bahwa keseimbangan open access tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Pengelolaan yang optimal dan efisien secara sosial pada kondisi MEY (Maximum Economic Yield). MEY ini bisa diperoleh jika perikanan dikendalikan dengan kepemilikan yang jelas atau disebut dengan istilah “sole owner” (Fauzi 2010). Menurut Anderson (1986) bahwa Maxsimum Ekonomic Yield (MEY) dapat dicapai apabila kurva penerimaan marginal memotong kurva biaya marginal. Produksi open access terjadi bila penerimaan total seimbang dengan biaya total sehingga laba upaya penangkapan sama dengan nol. Keuntungan secara fisik (biologi) dan ekonomis dalam usaha perikanan yang ideal berada pada konsep MEY (Fauzi 2010).
2.6.
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries resource management) tidak
hanya sekedar proses mengelola sumberdaya ikan tetapi sesungguhnya adalah proses mengelola manusia sebagai pengguna, pemanfaat, dan pengelola sumberdaya ikan (Nikijuluw 2005). Permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan ialah seberapa banyak ikan dapat diambil tanpa mengganggu stok yang ada di alam itu sendiri (Sari et al., 2009). Prinsip pengelolaan perikanan terdiri dari sistem manajemen perikanan, pemantauan, pengendalian, dan pengawasan serta sistem perikanan berbasis peradilan. Tiga prinsip pengelolaan perikanan ini satu sama lain saling tergantung untuk kesuksesan. Ketiganya merupakan mata rantai yang jika salah satu dari prinsip ini tidak terlaksana dengan baik akan mengakibatkan kegagalan dalam pengelolaan terhadap sumberdaya perikanan secara keseluruhan (Puthy & Kristofersson 2007). Pengelolaan perikanan tidak hanya sebatas menyediakan sumber daya secara berkelanjutan tetapi juga mencapai manfaat ekonomi secara efisien (Strydom & Nieuwoudt1 1998). Menurut Water (1991) in Strydom & Nieuwoudt (1998) ada beberapa peraturan yang membatasi tingkat input dalam sistem pengelolaan perikananan. Peraturan tersebut diantaranya pembatasan penangkapan, penutupan daerah penangkapan dan musim penangkapan, pembatasan beberapa tipe alat tangkap, dan pembatasan effort penangkapan.
12
Usaha pengelolaan sumberdaya secara lestari ditempuh dengan jalan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas ini adalah segenap komponen terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam pemanfaatan dan pengeloaan sumberdaya pesisir dan lautan. Komponen yang telibat diantaranya adalah masyarakat lokal, LSM, swasta, perguruan tinggi, dan kalangan peneliti lainnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas diartikan sebagai strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan yaitu aspek ekonomi dan ekologi. Pelaksanaannya merupakan tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah maupun masyarakat (Dahuri et al., 2001). Pengelolaan sumberdaya perikanan terdapat dua model yaitu model yang didasarkan pada tingkat pengendalian stakeholder dan model yang didasarkan pada rights yaitu berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya. Model pertama, Jentoft (1989) in Satria (2002), mengklasifikasikannya menjadi tiga, yakni pemerintah (command and control), community-based management (CBM), dan comanagement. Model kedua terdapat dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu open access dan controlled access regulation. Regulasi pertama mengartikan bahwa nelayan dapat menangkap ikan kapan saja, di mana saja, dan dengan alat tangkap apa saja berapa pun jumlahnya. Regulasi ini menyebabkan kerusakan sumberdaya perikanan. Regulasi kedua yaitu controlled access karena gagalnya regulasi pada model pertama. Menurut Anderson (1995) in Satria (2002), ada dua kategori yang melandasi model ini yaitu berdasarkan pembatasan input dan pembatasan output. Pembatasan input meliputi pembatasan jumlah dan jenis kapal, jenis alat tangkap, dan berdasarkan jumah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota Individual Quota (IQ), Individual Transferable Quota (ITQ) (Satria 2002). Penerapan Individual Transferable Quota (ITQ) prinsip pelaksanaanya dengan memberikan pre-rasionalisasi dengan menetapkan hak kepemilikan dan hak kepentingan umum menjadi hak kepemilikan sebagian atau partial property right (Fauzi 2005). Pengelolaan perikanan saat ini harus diperhatikan karena semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan (Widodo & Suadi
13
2006). Menurut Charles (2001) konsep pengelolaan perikanan secara berkelanjutan mengandung beberapa aspek antara lain : a. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi) yang dapat meningkatkan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama. b. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi) yang dapat mempertahankan serta mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat. c. Community sustainability mengandung arti bahwa kesejahteraan dari sisi komunitas harus menjadi perhatian utama dalam pembangunan perikanan berkelanjutan. d. Institusional sustainability (keberlanjutan kelembagaan) menyangkut perihal pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat ketiga pembangunan berkelanjutan di atas.