II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Ikan Kerapu Macan Menurut Cornish (2004), klasifikasi ikan kerapu macan adalah : Phylum
: Chordata
Sub Phylum
: Vertebrata
Super Species
: Gnathostotamata
Class
: Teleostei
Sub Class
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
Sub Ordo
: Percoide
Family
: Serranidae
Sub Family
: Epinephelinae
Genus
: Epinephelus
Spesies
: Epinephelus fuscoguttatus
Kerapu macan memiliki nama umum Brown-marbled Grouper, di Perancis dengan nama Merou marron dan di Spanyol dengan nama Mero manchado. Selanjutnya, kerapu macan memiliki nama sinonim Serranus horridus, Serranus taeniocheirus dan Serranus lutra (Heemstra dan Randall 1993). Menurut Heemstra dan Randall (1993), panjang standar ikan kerapu macan 2,6 sampai 2,9 kali lebar badannya, dan panjang kepala seperempat kali panjang standar. Sirip ekor umumnya membulat, sirip punggung memanjang di mana jarijarinya yang keras berjumlah kurang lebih sama dengan jari-jari lunaknya, jarijari sirip keras berjumlah 6 – 8 buah, sedangkan sirip dubur berjumlah 3 buah, jari-jari sirip ekor berjumlah 15 – 17 buah dan bercabang dengan jumlah 13 – 15 buah. Warna tubuhnya sawo matang, perut bawah agak keputihan dan badannya terdapat titik berwarna merah kecoklatan serta tampak pula 4 – 6 baris warna gelap yang melintang hingga ekornya. Heemstra dan Randal (1993) menerangkan bahwa habitat ikan kerapu macan adalah daerah terumbu karang yang dangkal dan perairan dengan dasar berbatu, dengan kedalaman
hingga 60 meter.
Juvenil ikan kerapu macan
ditemukan pada areal padang lamun. Dilaporkan bahwa dalam lambung ikan kerapu macan terdapat ikan, kepiting dan cephalopoda. Di alam ikan kerapu
6
hidup pada kisaran salinitas 34,259 – 34,351 g/L, suhu 27 – 29 oC, oksigen terlarut 3,95 – 4,28 ml/L, nitrat 1,00 – 6,00 µg.at/L, fosfat 0,80 – 1,40 µg.at/L (Langkosono 2006). Menurut Sutarmat et al. (2003) ikan kerapu dapat hidup dan tumbuh pada kisaran kadar garam 22-32 g/L dan suhu 26 – 31o C. Secara geografis, ikan kerapu macan terdistribusi pada wilayah Indo-Pasifik, termasuk laut merah namun tidak ditemukan di Teluk Persia, Hawaii atau Polinesia Perancis.
Ikan kerapu macan dapat ditemukan di hampir semua
kepulauan tropis lautan Indonesia dan Pasifik Barat (dari timur hingga Samoa dan Phoenix Island) sepanjang pantai timur Afrika hingga Mozambique, dan juga dilaporkan terdapat di Madagaskar, India, Thailand, Indonesia, Pantai tropis Australia, Jepang, Filipina, Papua Nugini dan Kaledonia Baru (Heemstra dan Randall 1993).
Gambar 1 Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) 2.2 Sereh Klasifikasi tanaman sereh adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Superdivision : Spermatophyta Division
: Magnoliophyta
Class
: Liliopsida
Subclass
: Commelinidae
Order
: Cyperales
Family
: Poaceae
Genus
: Cymbopogon Spreng
Species
: Cymbopogon citratus (DC. Ex Nees) Stapf. (Dimodifikasi dari USDA 2009).
7
Sereh merupakan tanaman tropis yang tumbuh dalam rumpun yang lebat dan dapat mencapai ketinggian 1,8 meter dan lebar rumpun 1,2 meter (Anonim 2009). Daun sereh menyerupai pita dengan lebar 1,3 – 2,5 cm dan panjang 0,9 meter dengan ujung daun yang melengkung ke arah tanah. Daunnya berwarna hijau kebiruan dan beraroma seperti jeruk ketika diremas. Daun tanaman sereh digunakan sebagai penyedap rasa makanan dan obat-obatan. Minyak yang berasal dari batang sereh disuling dan dimanfaatkan dalam industri parfum. Sereh (Cymbopogon sp.) merupakan salah satu tanaman dengan manfaat yang beragam. Minyak atsiri yang dikandung oleh C. olivieri dapat membunuh larva nyamuk Anopheles stepensi vector malaria (Hadjiakhoondi et al. 2003). Minyak sereh (C. citratus) berperan sebagai anti jamur dan protozoa (Mahanta et al. 2007). Komponen kimia dalam minyak sereh wangi cukup kompleks, namun komponen yang terpenting adalah sitronelal dan geraniol. Kedua komponen tersebut menentukan intensitas bau harum, serta nilai harga minyak sereh wangi. Menurut Guenther (1950), komponen utama penyusun minyak sereh wangi adalah sebagai berikut: 1. Geraniol ( C H 0 ) 10
18
Geraniol merupakan persenyawaan yang terdiri dari 2 molekul isoprene dan 1 molekul air, dengan rumus bangun adalah sebagai berikut : CH - C = CH - CH --- CH - C = CH - CH - OH 3
2
CH
2
2
CH
3
3
2. Sitronellol ( C H 0 ) 10
20
Rumus bangunnya adalah sebagai berikut: CH 3 - C = CH - CH --- CH - CH - CH - CH - OH 2
CH
3
2
CH
2
3
2
8
3. Sitronellal (C 10 H 16 O) Rumus bangunnya adalah sebagai berikut: CH 3 - C = CH – CH 2 --- CH 2 - C = CH - C - H CH
CH
3
3
Susunan kimia sereh wangi yang ditanam adalah seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Susunan kimia minyak sereh wangi No 1 2 3 4 5 6 7 8
Senyawa Penyusunan
Kadar (%)
Sitronellal Geraniol Sitronellol Geraniol Asetat Sitronellil Asetat L – Limonene Elemol & Seskwiterpene lain Elemene & Cadinene
32 – 45 12 – 18 12 – 15 3–8 2–4 2–5 2–5 2–5
Sumber : Ketaren (1985) 2.3 Transportasi Transportasi
ikan
hidup
dapat
diartikan
sebagai
suatu
tindakan
memindahkan ikan dalam keadaan hidup dengan memberikan perlakuan tertentu. Untuk menjaga agar kelangsungan hidup ikan tetap tinggi setelah sampai ditempat tujuan, maka diperlukan perlakuan-perlakuan tertentu yang diharapkan mampu mempertahankan ikan agar tetap hidup dalam jangka waktu yang lama. Menurut Jangkaru (2001), secara garis besar pengangkutan ikan hidup dibagi dalam dua sistem yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup.
Pada
pengangkutan sistem terbuka, ikan yang diangkut berhubungan langsung dengan udara bebas, sebaliknya pengangkutan sistem tertutup, ikan yang diangkut akan terlindungi dari udara bebas dan juga dari sinar matahari, sistem ini banyak dipraktekkan untuk pengangkutan jarak jauh dan lama (lebih dari 24 jam). Waktu pengangkutan sebaiknya dilakukan pada sore atau malam hari, pada suhu rendah. demikian pada waktu pembongkaran sebaiknya pada sore atau malam hari. Sebelum ditransportasikan, ikan sebaiknya dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam dengan tujuan untuk mengosongkan saluran pencernaan agar
9
metabolisme menurun. Faktor yang sangat penting dalam transportasi adalah ketersediaan oksigen terlarut yang memadai. Akan tetapi hanya dengan faktor ini saja tidak menjamin ikan berada dalam kondisi yang baik.
Kemampuan ikan
untuk mengkonsumsi oksigen juga dipengaruhi oleh toleransi ikan terhadap stres, suhu air, pH, konsentrasi CO 2 ,
akumulasi amoniak, ikan terlalu aktif, infeksi
bakteri, dan luka fisik akibat penanganan yang kasar. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam transportasi ikan hidup adalah (a) meningkatkan suplai oksigen dengan cara mengganti udara dengan oksigen murni, meningkatkan tekanan pada wadah, dan mengurangi konsumsi oksigen rata-rata (b) mengontrol metabolisme, dengan cara mengurangi laju buangan metabolisme dan menetralisasi atau menghilangkan hasil metabolisme (Nemoto 1957). Menurut Huet (1971), faktor utama yang mempengaruhi transportasi ikan hidup dengan mempertimbangkan persediaan oksigen dalam alat transportasi antara lain : (a) Spesies ikan: kebutuhan ikan terhadap oksigen bervariasi sesuai dengan spesiesnya. (b) Umur dan ukuran ikan: ikan yang lebih kecil memiliki kebutuhan oksigen lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang lebih besar. (c) Ketahanan relatif ikan: ikan yang diberi pakan alami lebih tahan dibandingkan dengan ikan yang diberi pakan buatan, serta ikan dalam kondisi yang siap memijah memiliki daya tahan yang rendah (d) Suhu air: pada suhu rendah mengakibatkan kadar oksigen di dalam air tinggi, karena kebutuhan oksigen ikan akan menurun. (e) Lama waktu angkut: makin pendek jarak angkut makin tinggi kepadatannya. (f) Cara angkut dan lama istrahat: makin cepat pengangkutan dan makin baik prasarana pengangkutan serta waktu istrahat yang pendek,
kemungkinan
keberhasilan pengangkutan makin besar. (g) Sifat alamiah alat pengangkut: pengangkutan dengan wadah kayu menyebabkan peningkatan suhu air lebih lambat dibandingkan dengan wadah logam, tetapi wadah kayu dapat mengisolasi panas dalam wadah.
10
(h) Kondisi klimatologi: hal ini dipengaruhi oleh suhu air di dalam wadah maupun kandungan oksigen terlarutnya. Liviawaty dan Afrianto (1990), menyatakan bahwa goncangan dapat berdampak positif yaitu membantu difusi oksigen ke dalam air. Selain oksigen yang cukup dalam kantong plastik, yang perlu diperhatikan ikan harus sehat, serta kualitas air dan kondisi pengangkutan yang memadai. 2.3.1 Kemasan Kemasan
yang
baik
dalam pengangkutan
sistem tertutup
adalah
menggunakan plastik polyetilen dengan ketebalan plastik 0,03 mm, karena ringan, mudah didapat dan murah, Liviawaty dan Afrianto (1990). Lebih lanjut dikatakan bahwa, penggunaan kantong plastik pada pengangkutan jarak jauh sebaiknya diletakkan di dalam kotak stirofom untuk mengurangi kontak yang terjadi antara air di dalam kantong dengan temperatur lingkungan yang relatif lebih panas. Garbrards (1965) menyatakan bahwa penggunaan wadah plastik yang diletakkan dalam stirofom meningkatkan kelangsungan hidup 99,9%. 2.3.2 Kepadatan ikan Kepadatan ikan adalah bobot ikan yang berada dalam suatu wadah dalam waktu tertentu. Kepadatan ikan yang diangkut bergantung pada volume air, berat ikan, spesies, ukuran ikan, lama pengangkutan, suplai oksigen dan suhu (Jhingran dan Pullin 1985). Kepadatan yang biasa digunakan dalam pengangkutan ikan kerapu macan adalah berkisar antara 10-12 ekor/kantong., 200kasi pribadi ) 2.4 Persyatan Media Pengangkutan Air sebagai media, baik untuk perawatan maupun pemberokan sebelum dan sesudah pengangkutan harus memenuhi persyaratan bagi kesehatan ikan, yaitu bebas dari partikel tanah, bahan organik, kontaminasi hama, parasit atau penyakit , bahan-bahan polusi yang dapat mengganggu kesehatan dan kehidupan ikan (Jhingran dan pullin 1985).
Kualitas air yang paling berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup ikan antara lain: Oksigen terlarut, suhu, salinitas, CO 2 , pH air, amoniak, alkalinitas dan kesadahan (Effendi 2003).
11
2.4.1 Oksigen Terlarut Oksigen terlarut (DO) adalah banyaknya kandungan oksigen yang terlarut di dalam suatu perairan yang dinyatakan dalam mg/L. Kelarutaan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu, salinitas, agitasi dan tekanan. Menurut Boyd (1982), kelarutan oksigen dalam air menurun dengan meningkatnya suhu dan kelarutan gas dalam air menurun dengan meningkatnya salinitas. Tekanan udara terhadap oksigen terlarut dapat mempercepat proses kelarutan dan pelepasan oksigen. Konsentrasi DO adalah salah satu parameter kualitas air yang penting. Kekurangan oksigen merupakan penyebab utama kematian ikan secara mendadak dan dalam jumlah yang besar. Mempertahankan kondisi oksigen dalam kisaran normal
akan membantu mempertahankan kondisi ikan selama penanganan.
Konsentrasi DO yang terlalu rendah menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap kesehatan ikan seperti anoreksia, stres pernapasan, hipoksia jaringan, ketidak sadaran, bahkan kematian (Wedemeyer 1996). Langkosono (2006) menyatakan bahwa DO yang baik bagi ikan kerapu adalah 3,95-4,28 ml/L, sedangkan Pescod dan Okun (1973) menyatakan bahwa kandungan O 2 terlarut yang baik untuk kehidupan ikan harus lebih dari 2 ppm. Menurut Huet (1971) kadar terendah yang dapat ditoleransi oleh ikan dalam pengangkutan adalah 2-3 mg/L. Kebutuhan ikan akan oksigen berbeda-beda, bergantung pada spesies, ukuran, aktivitas ikan, toleransi terhadap stres, suhu, pH, CO 2 dan amoniak (Boyd 1992). 2.4.2 Suhu Kelarutan gas-gas dalam air termasuk oksigen dipengaruhi oleh suhu. Jhingran dan Pullin (1985) menyatakan bahwa kriteria temperatur yang ideal untuk pengangkutan ikan tropis adalah 20-24ºC. Peningkatan suhu dapat menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut, karena akan meningkatkan laju metabolisme dan konsumsi oksigen ikan. Penurunan suhu air akan mengakibatkan respon imunitas menjadi lambat, nafsu makan dan pertumbuhan berkurang (Wedemeyer 1996). Kisaran suhu air yang optimal untuk pemeliharaan ikan kerapu macan adalah 26-31ºC (Sutarmat et al. 2003). Menurut Langkosono (2006) suhu budidaya ikan kerapu berkisar antara 27 – 29,62ºC.
12
Berka (1986) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut bukan merupakan faktor pembatas dalam transportasi ikan hidup apabila suhu air tidak banyak berubah sehingga tidak mempengaruhi aktifitas metabolisme ikan. Suhu sangat mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen, peningkatan suhu akan meningkatkan laju metabolisme dan menyebabkan konsumsi oksigen pada jaringan lebih tinggi, sehingga kandungan oksigen terlarut berkurang (Berka 1986). Menurut Wibowo et al. (1997) pada suhu 21-27 0C cenderung terjadi peningkatan metabolisme sehingga laju respirasi dan ekskresi amoniak meningkat. 2.4.3 Salinitas Salinitas perairan menggambarkan kandungan garam dalam suatu perairan. Pada umumnya salinitas disebabkan oleh 7 ion utama yaitu : natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg). Klorit (Cl), sulfat (SO 4 ) dan bikarbonat (HCO 3 ). Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg atau promil (‰) (Effendi 2003). Salinitas ikan kerapu berkisar antara 34,259 – 34,351‰ (Langkosono 2006). Sedangkan menurut Kantor Menteri Negara dan Lingkungan Hidup (1988) salinitas untuk ikan kerapu adalah berkisar antara 33 – 35 ‰. 2.4.4 Karbondioksida (CO 2 ) Karbondioksida dalam air pada umumnya merupakan hasil respirasi dari ikan dan mikroba. Kadar CO 2 lebih tinggi dari 10 mg/L diketahui bersifat racun bagi ikan. Kadar karbondioksida tinggi juga menunjukkan lingkungan air yang asam meskipun demikian karbondioksida diperlukan dalam proses pembufferan. Kadar karbondioksida lebih dapat ditoleransi oleh ikan
dibandingkan
dengan amoniak, bahkan banyak ikan yang hidup pada air dengan kadar CO 2 lebih besar dari 60 mg/L (Boyd 1992). Kadar CO 2 sebesar 50 - 100 mg/L dapat membunuh ikan dalam waktu yang relatif lama. Kadar CO 2 dalam air juga mempengaruhi nilai pH air. Apabila kandungan CO 2 dalam air tinggi maka nilai pH air rendah dan sebaliknya bila kandungan CO 2 rendah maka nilai pH tinggi (Boyd 1992). 2.4.5 pH Nilai pH merupakan suatu ekpresi dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam air. Nilai pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena ia mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain itu
13
ikan dan makhluk-makhluk akuatik lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan mereka. Besaran pH berkisar dari 0 (sangat asam) sampai dengan 14 (sangat basa/alkalin). Nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa (alkalin), sedangkan pH = 7 disebut sebagai pH netral.
Fluktuasi pH air sangat ditentukan oleh
alkalinitas air tersebut. Apabila alkalinitasnya tinggi maka air tersebut akan mudah mengembalikan pH-nya ke nilai semula dari setiap "gangguan" terhadap perubahan pH. Dengan demikian kunci dari penurunan pH terletak pada penanganan alkalinitas dan tingkat kesadahan air. 2.4.6 Alkalinitas Alkalinitas secara umum menunjukkan konsentrasi basa atau bahan yang mampu menetralisir kemasamaan dalam air. Secara khusus, alkalinitas sering disebut sebagai besaran yang menunjukkan kapasitas pembufferan dari ion bikarbonat, dan sampai tahap tertentu ion karbonat dan hidroksida dalam air. Ketiga ion tersebut di dalam air akan bereaksi dengan ion hidrogen sehingga menurunkan kemasaman dan menaikan pH. Alkalinitas biasanya dinyatakan dalam satuan ppm (mg/l) kalsium karbonat (CaCO 3 ). Air dengan kandungan kalsium karbonat lebih dari 100 ppm disebut sebagai alkalin, sedangkan air dengan kandungan kurang dari 100 ppm disebut sebagai lunak atau tingkat alkalinitas sedang (Boyd 1992). Pada umumnya lingkungan yang baik bagi kehidupan ikan adalah dengan nilai alkalinitas diatas 20 ppm. Air alami yang memiliki alkalinitas 40 mg/L atau lebih CaCO 3 akan lebih produktif daripada yang alkalinitasnya dibawah nilai tersebut (Moyle 1945; Mairs 1966 diacu dalam Boyd 1982). 2.4.7 Kesadahan Kesadahan sangat penting artinya bagi para pembudidaya karena kesadahan merupakan salah satu petunjuk kualitas air yang diperlukan bagi ikan. Tidak semua ikan dapat hidup pada nilai kesadahan yang sama. Dengan kata lain, setiap jenis ikan memerlukan prasarat nilai kesadahan pada selang tertentu untuk
14
hidupnya. Disamping itu, kesadahan juga merupakan petunjuk yang penting dalam hubungannya dengan usaha untuk memanipulasi nilai pH. Secara lebih rinci kesadahan dibagi dalam dua tipe, yaitu: (1) kesadahan umum ("general hardness" atau GH) dan (2) kesadahan karbonat ("carbonate hardness" atau KH). Kesadahan umum atau "general hardness" merupakan ukuran yang menunjukkan jumlah ion kalsium (Ca++) dan ion magnesium (Mg++) dalam air. Ion-ion lain sebenarnya ikut pula mempengaruhi nilai GH, akan tetapi pengaruhnya diketahui sangat kecil dan relatif sulit diukur sehingga diabaikan. Kesadahan karbonat atau KH merupakan besaran yang menunjukkan kandungan ion bikarbonat (HCO 3 -) dan karbonat (CO 3 --) di dalam air. Dalam akuarium air tawar, pada kisaran pH netral, ion bikarbonat lebih dominan, sedangkan pada akuarium laut, ion karbonat lebih berperan.
Disamping dua tipe kesadahan
tersebut, dikenal pula tipe kesadahan yang lain yaitu yang disebut sebagai kesadahan total. Kesadahan total merupakan penjumlahan dari kesadahan umum dan kesadahan karbonat (O-fish.com). Berikut adalah kriteria selang kesadahan yang biasa digunakan: •
0 - 70 ppm
: sangat rendah (sangat lunak)
•
70 - 140 mg/l
: rendah (lunak)
•
140 - 210 mg/l
: sedang
•
210 - 320 mg/l
: agak tinggi (agak keras)
•
320 - 530 mg/l
: tinggi (keras)
Sawyer dan McCarty 1967 diacu dalam Boyd 1992 mengklasifikasikan derajat kesadahan air sebagai berikut: •
0 - 75 mg/l
: lunak
•
75 - 100 mg/l
: sedang
•
150 - 300 mg/l
: sadah
•
>320 mg/l
: sangat sadah
2.4.8 Amoniak Amonia adalah produk sisa metabolisme yang utama dari ikan, dikeluarkan melalui insang dan urine. Sumber utama amonia di perairan berasal dari ekskresi amoniak oleh ikan atau sisa metabolisme (Boyd 1992).
15
Dalam perairan, amonia terdapat dalam dua bentuk, yakni; NH +4 (amonia terionisasi, karena memiliki ion positif) dan NH 3 (tak terionisasi, karena tidak memiliki ion), yang secara keseluruhan disebut total ammonia nitrogen (TAN), proporsinya sangat bervariasi bergantung pada pH dan suhu. Jika pH dan suhu meningkat maka jumlah NH 3 meningkat, demikian pula sebaliknya. NH 3 adalah bentuk amonia yang lebih beracun dibanding NH 4 + bagi organisme perairan (Spotte 1970). Bentuk kandungan NH 3 dan NH 4 + dalam air bergantung pada konsentrasi ion hidrogen dalam air. Air dengan pH yang rendah memiliki ion hidrogen lebih banyak sehingga bentuk NH 4 + lebih dominan, sehingga NH 4 + lebih tidak beracun dibandingkan NH 3. . Jika pH meningkat di atas 7,2 maka jumlah ion hidrogen akan berkurang dan mengakibatkan NH 3 lebih dominan. Apabila konsentrasi amoniak pada lingkungan meningkat maka ekskresi amoniak pada ikan akan menurun sehingga kadar amoniak dalam darah dan jaringan akan meningkat (Boyd 1992). ekskresi amoniak penting
diketahui
Di dalam wadah pengangkutan ikan karena jika ikan yang terus menerus
terekspos NH 3 pada konsentrasi lebih dari 0,02 mg/l dapat menurunkan pertumbuhan dan semakin rentan terhadap penyakit (Boyd 1992). Toksisitas akut amonia untuk ikan laut berkisar 0.54 mg/L NH 3 -N untuk Centropristis striata (Weirich dan Riche 2006 dalam Rodriguez et al. 2007) sampai 1.77 mg/L NH 3 -N untuk Menidia beryllina (Miller et al. 1990 dalam Rodriguez et al. 2007). 2.4.9 Nitrit Nitrit merupakan senyawa antara selama proses oksidasi amonia menjadi nitrat (NO 3 ), reaksinya berlangsung dengan cepat dan dipengaruhi oleh jumlah konsentrasi amonia yang dioksidasi sehingga memiliki orde reaksi 2 (K 2 ). Colt (2006) menyatakan nitrit yang berbahaya adalah jika nitrit bergabung dengan ion hidrogen membentuk asam nitrous (HNO 2 -N) yang berupa asam kuat dan karena tidak bermuatan listrik sehingga dengan bebas dapat berdifusi melintasi membran insang atau melalui transpor aktif. Menurut Lewis et al. (1986) toksisitas nitrit (NO 2 -N) bagi ikan nila untuk LC 50 -96 jam
pada pH 7,9 adalah 16 mg/L, 5 mg/L (Losordo et al. 1977), dan
batas aman nitrit adalah < 1 mg/L (Timmons et al. 2002). Mekanisme efek toksik nitrit adalah ketika asam nitrous berdifusi ke dalam darah melalui insang lalu
16
bereaksi dengan besi II (Fe2+) menghasilkan besi III (Fe3+).
Hal ini akan
mengurangi kemampuan sel darah merah untuk mengikat oksigen, yang mengakibatkan penyakit darah coklat (methemoglobin) yang dapat mematikan ikan karena kekurangan oksigen (hypoxia) (Wiesman et al. 2007). Almedras (1987 diacu dalam Rodriguez et al. 2007) menyatakan bahwa nitrit kurang toksik terhadap ikan laut. Toksisitas akut nitrit terhadap ikan laut antara 30 mg/L NO 2 -N untuk Paralichthys orbignyanus (Bianchini et al. 1996 diacu dalam Rodriguez et al. 2007) sampai 675 mg/L NO 2 -N untuk Chanos chanos (Almedras 1987 diacu dalam Rodriguez et al. 2007). Kurang toksiknya nitrit terhadap ikan laut disebabkan oleh adanya garam (NaCl) pada media air laut. Masser et al. (1999) menyebutkan bahwa sodium dan klorida dapat menghambat (block) nitrit berdifusi ke insang ikan selama proses osmoregulasi. Oleh karena itu, untuk menekan toksisitas nitrit pada budidaya ikan tawar biasanya diberikan garam (NaCl) 0.02-0.2 %. 2.5 Anastesi Anastesi secara umum didefinisikan sebagai suatu keadaan yang disebabkan oleh aplikasi agen eksternal yang menyebabkan hilangnya sensasi melalui depresi pada sistem syaraf. Anastesi dapat berupa anastesi lokal atau umum bergantung pada aplikasi anastesi tersebut (Ackerman et al. 2009). Anastesi berperan dalam kegiatan transportasi ikan bandeng air tawar (Hendrajat et al. 2006) dan sockeye salmon (Woody 2002), serta membantu dalam kegiatan penanganan penyakit ikan (Wildgoose 2000). Demikian pula dalam kegiatan penelitian untuk mengetahui aktivitas otak ikan Atlantik salmon yang diberi kejutan listrik (Robb et al. 2003), pertumbuhan ikan gilthead bream (Sparus auratus) yang diberi pakan beberapa jenis asam amino (Gomez-Requeni et al. 2003), gangguan perkembangan gonad ikan grass carp yang dibudidayakan di daerah tropis (Glasser et al. 2003), sampling panjang dan berat ikan Atlantic salmon (Salmo salar) (Berril et al. 2003) serta peningkatan kadar LH dan mempercepat proses ovulasi ikan karper (Cyprinus carpio L.) baik dalam skala laboratorium dan kondisi alamiah (Mikolajczyk et al. 2003). LC 50 adalah konsentrasi material (obat bius) dalam air yang diasumsikan dapat membunuh setengah dari populasi organisme uji. Nilai LC 50 dengan nilai
17
kepercayaan 95% umumnya berasal dari analisis statistik terhadap kematian organisme uji setelah dilakukan pengujian terhadap beberapa konsentrasi larutan bius dalam jangka waktu tertentu. Kisaran waktu organisme diekspos dalam larutan bius harus dituliskan secara spesifik (misalnya 96 h LC 50 ) (NIWA Ecotoxicology Laboratory 1998). Obat bius dapat disuntikkan langsung ke tubuh ikan, namun kebanyakan prosedur anastesi dilakukan dengan cara dip atau bath treatment dalam sebuah static bath atau dengan aliran air. Pada suatu kasus, obat bius dilarutkan secara langsung ke dalam air, dikasus lain, obat bius harus dilarutkan terlebih dahulu dalam pelarut organik kemudian dilarutkan ke dalam air.
Ikan kemudian
dipaparkan dalam larutan bius dengan konsentrasi obat bius yang telah ditentukan berdasarkan waktu pemaparannya. Konsentrasi obat bius umumnya dinyatakan dalam satuan ppm yang setara dengan mg/L atau gram per kubik meter air (g/m3) (Bowser 2001). Pada prinsipnya proses penenangan atau pembiusan pada ikan meliputi tiga tahap yaitu : a. Berpindahnya bahan penenang atau pembius dari lingkungan ke dalam muara pernafasan organisme. b. Difusi membran dalam tubuh yang menyebabkan terjadinya penyerapan bahan penenang ke dalam darah. c. Sirkulasi darah dan difusi jaringan menyebarkan substansi tersebut ke seluruh tubuh.
Kecepatan distribusi dan penyerapan oleh sel ini sangat beragam,
bergantung pada persediaan darah dan kandungan lemak pada setiap jaringan. Dengan sifat bahan pembius yang mudah larut dalam air dan lemak, proses difusi zat penenang dalam aliran darah melalui insang terjadi sangat cepat. Masuknya cairan penenang ke dalam sistem darah akan disebarkan ke seluruh tubuh termasuk otak dan jaringan lain. Pengaruh bobot zat penenang terhadap ikan ditentukan oleh kadar zat penenang yang terkandung dalam jaringan otak atau sarafnya (Hunn 1970 diacu dalam Pratiwi 2000). 2.5.1 Tahapan anastesi Dalam kegiatan anastesia pada ikan, ikan secara berturut-turut mengalami perlambatan pergerakan dan perlambatan reaksi terhadap stimuli yang diberikan;
18
lambatnya laju respirasi, kehilangan kontrol keseimbangan dan pada akhirnya ikan tidak dapat merespon stimuli dari luar (Davis 2000). Tabel 2 Tahapan anastesi pada ikan (Summerfelt dan Smith, 1990 diacu dalam Cooke et al. 2004) Tahapan anastesi 0
Deskripsi Normal
1
Light sedation
2
Deep sedation
3
Kehilangan keseimbangan secara parsial
4
Kehilangan keseimbangan secara total Kehilangan reaktifitas reflex
5
6
Medullary collapse
Karakteristik Reaktif terhadap stimuli eksternal, laju bukaan operkulum dan detak jantung normal Secara perlahan-lahan kehilangan reaktifitas terhadap stimuli, secara perlahan-lahan laju bukaan operkulum menurun namun keseimbangan masih terjaga Reaktivitas terhadap semua stimuli hilang secara total, namun demikian masih reaktif terhadap stimuli yang keras Elastisitas otot hilang secara sebagian, pergerakan ikan tidak teratur, peningkatan laju bukaan operkulum hanya reaktif ketika ikan disentuh dengan keras. Elastisitas otot dan keseimbangan hilang secara total, laju bukaan operkulum menjadi rendah, kehilangan refleksi spinal Reaktifitas hilang secara total, pergerakan operkulum menjadi lambat dan tidak teratur, denyut jantung menjadi lamban, kehilangan semua bentuk reflex Tidak ada pergerakan operkulum yang diikuti oleh berhentinya detak jantung.
Tabel 3 Tahapan anastesi dan pemulihan (dimodifikasi dari Summerfelt dan Smith 1990; Keene et al. 1998 diacu dalam Mylonas et al. 2005). Tahapan Deskripsi Anastesia A3 Kehilangan keseimbangan A5
Deep anastesia
Pemulihan R3 Mulai pulih R5
Pulih secara total
Tingkah laku Kehilangan keseimbangan secara total, pergerakan ikan hanya disebabkan dari sirip dada, pergerakan operkulum normal Tidak ada pergerakan, kehilangan responsitas terhadap stimuli berupa sentuhan, pergerakan operkulum lamban dan tidak teratur Keseimbangan pulih secara menyeluruh dan permanen, pergerakan operkulum normal Reponsif terhadap stimuli visual, dapat berenang untuk menghindar.
19
2.6. Stres Proses pembiusan yang dilakukan untuk menenangkan atau memingsankan ikan merupakan suatu tindakan yang menyebabkan ikan menjadi stres. Akibat yang ditimbulkan karena pengaruh stres adalah ikan memberikan respon yang dimulai dengan respon neuroendokrin.
Respon ini meliputi proses-proses
fisiologi yang melibatkan sistem saraf dan sistem hormon/endokrin yang disebut sebagai pengaruh primer. Akibat yang ditimbulkan dari pengaruh primer yaitu adanya gangguan metabolik dan osmotik secara cepat yang disebut sebagai pengaruh sekunder. Dengan kata lain ketika ikan dihadapkan pada kondisi stres maka sistem neuroendokrin akan melepaskan hormon ke dalam darah. Hal ini menyebabkan naiknya konsentrasi dari substansi ini yang kemudian mengganggu proses-proses fisiologis yang disebut dengan respon stress primer.
Pengaruh
primer dan sekunder merupakan faktor-faktor fisiologi yang dapat diukur. Hormon utama yang dihasilkan dari respon primer adalah dilepaskannya senyawa cathecholamin (adrenalin dan noradrenalin) dan corticosteroid (cortisol dan cortison). Pengaruh sekunder meliputi gangguan osmoregulasi, penurunan asam ascorbic darah, perubahan dalam ikatan oksigen dan hemoglobin, naiknya metabolisme laktat dan lipid, perubahan kimia darah dan hematologi serta turunnya daya kekebalan tubuh terhadap penyakit.
Disamping itu pengaruh
sekunder juga dapat menaikkan kadar gula darah (hiperglisemia) (Spotte 1992). 2.7 Histopatologi dan Gambaran Darah Ikan 2.7.1 Histopatologi ikan Histologi adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang jaringan. Patologi adalah kajian tentang penyakit atau kajian tentang adaptasi yang tidak cukup terhadap perubahan lingkungan eksternal dan internal (Spector 1993). Histopatologi adalah metode yang sensitif dan secara biologis dapat mengukur efek stres hewan terhadap lingkungan. Perubahan histopatologi merupakan indikator faktor stres terhadap lingkungan. 2.7.2 Gambaran Darah Ikan Sel darah tersusun atas sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit), dan kedua tipe sel ini terbentuk pada jaringan hematopoetik ginjal. Volume darah pada ikan lebih sedikit dibandingkan dengan vertebrata lainnya,
20
yaitu sekitar 3% dari berat tubuhnya. Darah mempunyai fungsi vital diantaranya adalah mengedarkan nutrien seperti ke seluruh sel-sel tubuh, membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh serta membawa hormon dan enzim ke organ yang memerlukannya, menjaga keseimbangan tubuh dan untuk mengangkut hasil buangan metabolisme seperti karbon dioksida dan asam laktat.
Darah juga
membawa materi ion anorganik Na+, Mg2+, Cl-, dan senyawa organik seperti hormon, vitamin, dan beberapa protein plasma.
Pemeriksaan darah penting
artinya untuk mendiagnosa suatu penyakit dan kondisi ikan.
Penyimpangan
fisiologi ikan menyebabkan komponen-komponen darah juga mengalami perubahan. Perubahan gambaran darah dapat menentukan kondisi atau status kesehatan ikan (Wedemeyer 1996). 2.7.2.1 Sel Darah Merah Sel darah merah terbentuk di jaringan hematopoetik ginjal dan pada ikan merupakan sel yang terbanyak. Lagler et al. (1977) membagi darah ikan berdasarkan warna dan fungsinya yaitu sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit). Sel darah merah ikan pada umumnya mempunyai inti dengan bentuk oval hingga bundar, intinya kecil dengan sitoplasma, berwarna merah kekuningan dan berukuran 10 x 11 μm sampai 12 x 13 μm dengan diameter inti 4-5 μm dan jumlah sel darah merah 1,43 x 106 sel/mm3 sampai 3,18 x 106 sel/mm3.
Pada ikan bertulang keras jumlah sel darah merah dalam keadaan
normal berkisar antara 1,05-3,00 x 106 sel/mm3.
Sel darah merah berfungsi
sebagai transport oksigen. Rendahnya jumlah eritrosit menandakan ikan menderita anemia dan kerusakan organ ginjal, sedangkan tingginya jumlah eritrosit menandakan ikan dalam keadaan stres (Wedemeyer dan Yasutake 1977; Nabib dan Pasaribu 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah sel darah merah adalah spesies, perbedaan induk (genetik), kondisi nutrisi, aktifitas fisik, dan umur (Dallman dan Brown 1989). 2.7.2.2 Sel Darah Putih Jumlah sel darah putih lebih sedikit dibandingkan dengan sel darah merah. Penyimpangan sel darah putih dari keadaan normal mempunyai arti klinis penting untuk evaluasi proses penyakit (Dallman dan Brown 1989). Sel darah putih dibedakan menjadi dua golongan berdasarkan ada tidaknya butir-butir (granula)
21
dalam sel, yaitu agranulosit dan granulosit. Agranulosit dibagi menjadi limposit, trombosit, dan monosit, sedangkan granulosit berupa netrofil. Sel darah putih berdiferensiasi pada ginjal menjadi beberapa tipe khusus seperti limposit, netrofil, dan trombosit. Netrofil berfungsi melawan penyakit bersama-sama dengan eosinofil yang disebabkan oleh organisme mikroseluler seperti bakteri dan virus. Sifat melawan penyakit ini disebut sifat fagositik yaitu memakan dan menghancurkan sel penyebab penyakit (Lagler et al. 1977). Secara normal pada individu yang sehat jumlah sel darah putih di dalam darah adalah 1% dari total jumlah darah. Sel darah putih tidak berwarna, jumlahnya setiap mm3 berkisar 20.000-150.000 butir (Affandi dan Tang 2002). Peningkatan sel darah putih dapat disebabkan oleh penyakit, infeksi, parasit, stres akibat penanganan dan pengaruh lingkungan (Guyton dan Hall, 1997). Kadar limfosit pada ikan kerapu normal adalah 72% dari total leukositnya, sedangkan yang diberi perlakuan hormon steroid LHRHa dosis 50 mg/kg bobot tubuh yaitu 54,5% (Fris et al. 2003). Limfosit merupakan jenis leukosit yang paling dominan dalam leukosit dengan kisaran 71,1-82,88% dari total leukosit (Rostagi 1997). Jumlah limfosit yang tinggi dalam sirkulasi darah akan diimbangi dengan jumlah netrofil yang rendah dan sebaliknya. Penurunan jumlah limfosit dalam darah terjadi karena sebagian besar limfosit dari sirkulasi darah berkonsentrasi dalam jaringan dimana terjadi peradangan (Jawad et al. 2004) 2.7.2.3 Hemoglobin Hemoglobin adalah protein dalam eritrosit yang tersusun atas protein globin tidak berwarna dan pigmen heme yang dihasilkan dalam eritrosit. Blaxhall (1972) menyatakan bahwa kadar hemoglobin merupakan indikator anemia, selanjutnya Anderson dan Swicki (1993) menyatakan bahwa peningkatan kadar hemoglobin menunjukkan ikan berada dalam keadaan stres. Siakpere (2005) menyatakan bahwa secara fisiologis, hemoglobin menentukan tingkat ketahanan tubuh ikan dikarenakan hubungannya yang sangat erat dengan daya ikat oksigen oleh darah. Kemampuan darah untuk mengangkut oksigen bergantung pada kadar Hb dalam darah (Lagler et al. 1977). Wells et al. (2005) menyatakan bahwa 1 gram hemoglobin dapat mengikat kira-kira 1,34 ml oksigen.
22
2.7.2.5 Glukosa Tingkat glukosa darah merupakan indikator terjadinya stres awal pada ikan karena tingkat glukosa darah sangat sensitif terhadap hormon yang mengatur stres (Mazeaud dan Mazeaud 1991). Stres dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti perubahan kualitas air atau penanganan yang salah pada waktu pengangkutan, sehingga dapat menyebabkan ikan mengalami hiperglisemia dan mempengaruhi kesehatan ikan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup (Carmichael 1984; Robertson et al. 1988; Barton dan Iwama 1991). Mekanisme terjadinya hiperglisemia (tingkat glukosa darah tinggi) akibat stres yaitu dengan pemecahan glikogen otot dan hati melalui jalur glikogenolisis yang akan menghasilkan glukosa (Mazeaud dan Mazeaud 1981). Keberadaan glukosa darah ditentukan oleh pakan, waktu akhir makan, status simpanan glikogen hati, stadia perkembangan dan musim (Mazeud dan Mazeud 1981). Apabila kadar glukosa darah mengalami penurunan dari tingkat normal, maka hormon insulin, tiroid, glukagon, epinefrin dan steroid dengan segera akan berfungsi untuk meningkatkan glukosa darah ke tingkat normal melalui pemecahan glikogen, deaminasi asam amino dan konversi dari gliserol yang merupakan bagian dari molekul lemak. Jika jumlah glukosa darah mengalami peningkatan diatas nilai normal, maka hanya hormon insulin yang dapat berperan dalam menurunkan glukosa ke level normal melalui transport aktif glukosa dalam darah untuk masuk ke dalam seluruh sel tubuh (Mazeud dan Mazeud 1981).