TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Crustacea termasuk ke dalam filum Arthoropoda berasal dari bahasa (Yunani = sendi ; pous = kaki). Namanya berasal kakinya yang bersendi. Tubuhnya terbagi dalam kepala (cephalin), dada (thorax) dan abdomen. Kepala dan dada bergabung membentuk kepala- dada (cephalothorax). Menurut PPSDAHP (1987/1988) dalam Pratiwi (1989) , B.latro adalah salah satu kelompok Decapoda yang banyak menghabiskan waktunya didaratan. Ketam kelapa ini adalah krustase yang paling besar dibandingkan dengan jenis-jenis krustase lainnya, sehingga dikenal dengan arthropoda daratan yang terbesar di dunia. Hewan ini berperan dalam perputaran bahan organik dalam tanah. Lemak perutnya dapat berkhasiat sebagai aphrodisiac (perangsang gairah seksual). Berdasarkan cara makan dan jenis pakan yang dimakannya, ketam ini termasuk ketam hama bagi pertanian dan perkebunan karena sering memakan buah dan merusak pohon kelapa, kenari, dan pepaya. Menurut Abele dan Bowman (1982) dalam Rafiani (2005) Ketam kelapa (B.latro) memiliki susunan klasifikasi sebagai berikut : Phylum
: Arthopoda
Superkelas
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Subkelas
: Eumalacostraca
Superordo
: Eucarida
Ordo
: Decapoda
Subordo
: Pleocyemata
Infraordo
: Anomura
Superfamili
: Coenabitidea
Famili
: Coenabitidae
Genus
: Birgus
Spesies
: Birgus latro (L.)
Ketam kelapa atau ketam kenari (Birgus latro L.), mempunyai karakteristik yang khas yakni secara morfologis mereka berada diantara seksi Branchyura (dikenal dengan ketam sejati) dan Macrura (dikenal sebagai udangudangan) (Nontji, 1987). Tubuh terdiri dari bagian kepala (cephalon), dada
(toraks), perut (abdomen), ekor (telson yang diselimuti oleh rangka luar (eksoskeleton) yang merupakan sifat morfologi krustasea (Barnes, 1974 dalam Sahami, 1994). Disamping itu terdapat pula anggota tubuh yang lainnya yakni pereopod, pleopod, antena dan mata. Ketam kelapa mempunyai abdomen yang pendek dan terlindung kulit yang keras serta memiliki bagian yang eksternal yang simetris dan ujung abdomennya dapat berfungsi sebagai pemberat bila berada dalam liangnya, yang berada dibawah akar pohon maupun pada pohon yang roboh. Karapas merupakan bagian tubuh yang sangat keras karena mengandung zat kapur yang lebih tinggi jika dibandingkan jenis kepiting lainnya, sedangkan bagian branchial bergembung dengan
pembuluh-pembuluh
kapiler
yang
tebal(Wikipedia,
2008
http://id.wikipedia.org/wiki/ketam). Tubuh ketam kelapa terdiri dari tiga bagian utama yaitu bagian depan (kelapa = cephalon), bagian tengah (dada = toraks) dan bagian belakang (perut = abdomen). Pembagian daerah kepala dan dada sangat jelas. Rostrum kecil dan pendek. Dibalik karapas pada bagian toraks kiri dan kanan terdapat insang. Tubuh beruas-ruas yang jumlahnya 14 ruas. Bagian kepala dan dada berjumlah delapan ruas, bagian perut dimulai dari ruas kesembilan sampai ruas teakhir (Limbong, 1983) dalam Sahami (1994). Ukuran tubuh ketam betina lebih kecil dari jantan dengan panjang maksimum toraks kira-kira 55 mm (Whitten, et al., 1987 dalam Sahami 1994). Betina mempunyai pleopod pada sebelah kiri yang digunakan membawa telur sedangkan jantan tidak memilikinya. Ketam dewasa memiliki panjang karapas kurang lebih 25-47 cm, lebar 5176 cm dan berat badan berkisar antara 2-4 kg. Capit sebelah kiri biasanya mempunyai ukuran lebih besar dari capit yang sebelah kanan. Ketam
ini
dilengkapi dengan lima pasang kaki jalan, yang terdiri atas empat pasang kaki jalan yang jelas terlihat berbentuk keras dan kuat dan satu pasang kaki jalan terakhir berukuran kecil dan bersembunyi di bawah karapas. Semua kaki jalan ditutupi oleh duri serta rambut-rambut halus. Ketam ini memiliki bagian bawah (abdomen) yang lunak yang pada waktu kecil terlindung dari rumah siput, tetapi rumah siput ini akan ditinggalkan ketika menginjak dewasa. Ketam ini tumbuh
dengan cara berganti kulit, dimana ia harus keluar dari rumah siputnya lalu mencari tempat yang terlindung dari pemangsanya dan berganti kulit disana (Motoh, 1980 dalam Pratiwi, 1989)
Gambar 1 Morfologi ketam kelapa Kemampuan hewan ini untuk hidup dibantu oleh organ insang (alat pernapasan yang telah dimodifikasi), modifikasi ini dikelilingi oleh jaringan seperti spon yang selalu dalam keadaan basah (lembab). Ia akan mencelupkan ke air dan mengambil air dari atas insang. Ketam kelapa memerlukan minum air laut dari waktu ke waktu untuk menjaga keseimbangan garam (salinitas) dalam tubuhnya. Menurut Cameron dan Meckklenburg (1973), hewan ini mengambil O2 dengan cara membenamkan kepalanya kedalam air dalam selang waktu yang cukup lama. Hal ini dapat berlangsung karena insang marga B. latro telah teradaptasi dengan ruangan insang yang sudah terbagi oleh membran, sehingga membantu proses pertukaran gas. Dengan adanya fungsi dari insang tersebut, menyebabkan ketam ini mampu bertahan cukup lama di daratan. Harris dan Kormanik (1981) dalam Brown dan Fielder (1991) menyatakan bahwa abdomen yang besar merupakan tempat penyimpanan air bagi ketam Birgus yang dipergunakan ketika kondisi tubuhnya kekurangan air dan lingkungan sangat kering. Morris et al. 2000) dalam Brown dan Fielder (1991), melaporkan bahwa ketam di Pulau Christmas memiliki akses rutin terhadap air tawar dan dengan demikian dapat mengurangi kehilangan ion dalam tubuhnya.
Distribusi dan Habitat Ketam kelapa (Birgus latro) tersebar di Indo – Pasifik (Brown dan Fielder (1991)). Whitten et al., (1987) dalam Sahami (1994), melaporkan bahwa hewan ini dulu tersebar luas diseluruh pasifik barat hingga Samudera Hindia bagian timur, tetapi sekarang terbatas pada pulau-pulau kecil. Di Aldabra dilaporkan masih terdapat ketam ini di Kepulauan Seychelles diperkirakan sudah punah. B. latro juga tersebar di pulau-pulau kecil di wilayah pantai Tanzania dan Sentinal selatan (Andaman dan Nikobar), kepulauan Keeling dan Mauritius. Di Filipina sekarang dilaporkan hanya terdapat di pulau Ilongo dan sebagian di pulau Cebu. Di kawasan Pasifik ketam ini dapat dijumpai di Timor, kemudian menyebar ke belahan bumi utara sampai Ryukus, Fiji dan kepulauan Marshall kecuali kepulauan Hawaii, Wake dan Midway. Di Papua Nugini dapat ditemukan di Propinsi Manus, yakni di Rantan, Sae dan Los Negros (PPSDAHP, 1987/1988) dalam Pratiwi (1989).
Gambar 2 Distribusi ketam kelapa dunia (Brown et al. 1991). Di Indonesia B. latro hanya tersebar di kawasan Indonesia timur yaitu di pulau-pulau Sulawesi, Nusa tenggara, Maluku, Papua. Di Sulawesi, ketam kelapa terdapat di wilayah Kepulauan Kawio, Talaud, Sangihe, Sulawesi Utara, Pulau Siompu, Tongali, Kaimbulawa dan Liwutongkidi , Sulawesi Tenggara (Ramli, 1997) sedangkan di Nusa Tenggara terdapat di pantai berbatu Pulau Yamdena (Monk, et al. 2000), dan Kalimantan terdapat di Pulau Derawan.
Ketam kelapa (Birgus latro L.), mendiami lubang-lubang pesisir yang masih ditumbuhi vegetasi (Rondo dan Limbong, 1990 dalam Sahami 1994). Mereka aktif pada malam hari (nokturnal) (Boneka, (1990) dalam Sahami (1994). Tetapi jika keadaan lingkungan aman mereka juga dapat terlihat pada siang hari dan cenderung bersifat kanibal, namun seringkali mereka membentuk grup terdiri dari beberapa individu dalam suatu lubang. Ketam kelapa tergolong ketam semi daratan (semiterestrial), namun mereka mengawali hidupnya dilaut. Mereka bermigrasi dari laut (selama fase postlarva glaocothoe) dengan menampilkan tingkah laku kehidupan seperti hermit crab yakni menempati cangkang gastropoda yang kosong (Reese, 1968 dalam Pratiwi, 1989). Cangkang tersebut akan dilepaskan kembali setelah ia tumbuh menjadi lebih besar dan kemudian mereka tidak membutuhkan cangkang lagi. Habitat yang disukai ketam kelapa dicirikan dengan kondisi vegetasi semak, kelapa, pisang dan berbagai tanaman pantai yang cukup lebat (Rafiani, 2005). Pada wilayah yang dekat pemukiman jumlah populasi berkurang dibandingkan dengan yang jauh dari pemukiman. Ketam kelapa hidup dibawah tanah atau celah-celah bebatuan, tergantung daerah setempat. Mereka menggali tempat bersembunyi di pasir atau tanah gembur. Di siang hari, ketam kelapa bersembunyi, untuk berlindung dan mengurangi hilangnya air karena panas. Di tempat persembunyiannya terdapat serat sabut kelapa yang dipakainya sebagai alas. Menurut Streets (1877), saat beristirahat di liangnya, ketam kelapa menutup jalan masuk dengan salah satu capitnya untuk menjaga kelembaban untuk pernafasannya. Di area dengan banyak ketam kelapa, beberapa ketam juga keluar waktu siang hari, untuk mencari makan. Ketam kelapa juga kadang-kadang keluar waktu siang jika keadaan lembab atau hujan, karena keadaan ini memudahkan mereka untuk bernafas. Mereka hanya ditemukan di darat dan beberapa dapat ditemui sejauh 6 km dari lautan.
Reproduksi McLaughlin (1983) dalam Rafiani (2005), menyatakan bahwa Sistem reproduksi Ordo Malacostraca secara anatomi terpusat pada cephalothorax. Untuk suku Caenobitidae dan Paguraidae khususnya, memiliki sepasang testis dan sepasang ovarium berada pada abdomennya. Menurut Whitten et al., (1987) menyatakan bahwa kematangan gonad ketam kelapa (Birgus latro) pada umumnya mencapai panjang karapas kurang lebih 5 cm. Perkawinan hewan ini berlangsung di darat. Telur yang telah dibuahi terletak pada bagian bawah perut atau menempel pada pleopod. Limbong (1983) mencatat bahwa telur yang dimiliki oleh seekor induk berjumlah ribuan. Hampir semua ketam kelapa harus mencari air untuk perkembangan larvanya. Ketam betina melepaskan telurnya ke laut pada saat pasang tertinggi dan selanjutnya telur menetas. Ketam kelapa melakukan aktivitas reproduksinya yang ditandai oleh adanya ovigerous pada tubuh. Secara geografis seluruh area tampaknya terjadi musiman, berlangsung pada musim panas baik di belahan bumi utara maupun selatan. Menurut Brown dan Fielder ,1991 menyatakan bahwa pada musim panas biasanya ketam kelapa betina hanya satu kali dalam setahun meletakkan telurnya di negara belahan bumi utara dan selatan. Reese (1965 dan 1967) dalam Brown dan Fielder (1991) mengamati betina ovigerous di kepulauan Eniwetok terjadi pada bulan april (pertengahan musim semi) sampai dengan Agustus (akhir musim panas). Di daerah sub trofik di belahan bumi selatan ketam kelapa betina paling sedikit aktif bereproduksi selama lebih kurang 9 bulan, setiap tahun adalah dari akhir September atau awal Oktober sampai dengan awal Juni pada tahun berikutnya. Sebaliknya di daerah tropik belahan bumi utara dan selatan aktifitasnya tidak bergantung musim, tetapi terjadi sepanjang tahun berdasarkan data yang didapat dari kepulauan Christmas dan Vanuatu (Brown dan Fielder ,1991). Ketam betina apabila menetaskan telurnya akan bermigrasi dari daratan ke tepi laut, untuk melepaskan telur-telurnya tanpa ketam jantan. Hal ini berbeda dengan ketam darat lainnya, seperti Gecarcoidea natalis yang bila migrasi selalu diikuti oleh ketam jantan (Gray, 1981 dalam Brown dan Fielder,1991). Hanya
betina Birgus yang berpartisipasi dalam reproduksi migrasi (Borradaile, 1900; Chapman 1948; Gibson-Hill, 1949 dalam Brown dan Fielder, 1991). Di Vanuatu ketam akan berada di daerah pantai selama 5-6 minggu (1 bulan) dan biasanya akan kembali ke daratan 4 -10 hari setelah melepaskan telur-telurnya. Ketam
ini biasanya berkumpul dalam kelompok di sepanjang
pantai dan kembali ke darat juga dalam kelompoknya yang kemudian akan berpisah (menyebar) setelah sampai di darat. Migrasi ketam menuju ke laut dan kembali ke daratan terjadi berdasarkan ritmik dari gelombang dan periodisitas yang sama dari proses penetasan dan pelepasan telur (Brown dan Fielder ,1991). Menurut Helfman (1977) telah melakukan pengamatan terhadap dua ketam kelapa melakukan kopulasi di darat. Tidak seperti coenabitidae yang lain, kopulasi pada ketam kelapa berlangsung singkat (sekitar 3 menit) dengan sedikit aktifitas tingkah laku pre dan pasca kopulasi. Ketam jantan akan memegang cheliped betina dengan capitnya dan berjalan ke depan sampai punggung ketam betina berada dibawah, kaki-kaki mereka bersilang dan abdomen memanjang ke balik badan mereka dengan abdomen betina memutar diatas abdomen jantan. Ketam jantan menggunakan coxea yang dimodifikasi dari pasangan kaki kelima pereiopoda untuk mentransfer masa spermatofora ke dan sekitar oviduct betina yang terbuka pada bagian dasar pasangan kaki ketiga pereopoda. Menurut Brown dan Fielder (1991) menyatakan bahwa untuk inkubasi telur, pada bagian luar di bawah abdomen betina memiliki membran seperti spon yang memberikan perlindungan dari lingkungan yang rentan terhadap penggenangan air baik tawar atau asin. Telur yang sedang berkembang ini terlindung dari perubahan jangka pendek akibat pengaruh eksternal ion-ion inorganik dan air akibat dari paparnya telur dengan air tawar atau laut. Ketika telur semakin matang, membran yang melindungi telur mulai memecah, membuat telur rentan terhadap tekanan osmotik dan ionik jika terpapar dengan air tawar. Pada telur yang telah matang sebagian besar membran telur telah pecah telur bertindak sebagai osmometer akan segera menetas kontak dengan air tawar ataupun air laut.
Gambar 3 Ketam kelapa mengeluarkan telur dari tubuh (Taku Sato dan Kenzo Yoseda, http://www.mba.ac.uk/jmba/pdf/6370.pdf, 2009). Proses vitelogenesis, inkubasi dan pengeluaran telur membutuhkan jalan masuknya air dan ion inorganik. krustase teresterial, seperti B. latro dan Gecarcoidea natalis, tidak mudah mendatangi air asin dari habitat normal mereka, harus bermigrasi ke daerah pantai untuk mendapatkan air asin sebelum melepaskan telurnya. Jejak ketam didaerah pantai dapat ditemukan selama masa inkubasi sampai menemukan daerah yang cocok untuk tempat tinggalnya. Untuk memperkecil dehidrasi dari massa telur, betina ovigerous memerlukan perlindungan terhadap kelembaban tinggi, minimal terbuka untuk dikeringkan dengan angin dan batasi cahaya matahari. Ini kontras dengan kepiting darat lainnya Cardisoma guanhumi, dengan bermigrai ke pantai hanya melepaskan telurnya, setelah itu segera kembali ke darat. Air dibutuhkan selama vitelogenesis dan inkubasi telur, tersedia dari habitat “normal” ketam, dan kalau perlu membangun tempat berlindung sementara waktu dilingkungan pantai. Siklus Hidup Ketam Kelapa Ketam kelapa selama hidupnya memiliki dua habitat yaitu laut
dan
daratan. Proses inkubasi dan matang telur berada di daratan, masa penetasan telur berada di daerah pantai kemudian burayak sebagai larva planktonik yang hidup bebas di laut, dan tahap dewasa kembali kedaratan. Ketam kelapa yang sudah dewasa melakukan perkawinan di darat, kemudian ketam betina akan mengerami telur. Ketika telur telah siap menetas, ketam betina berjalan menuju laut untuk melepaskan telur dengan berjalan diatas
batu-batuan pada perbatasan daerah pasang surut, sehingga ombak yang datang memecah akan membasahi bagian atas tubuhnya secara teratur. Pada saat telurtelur tersebut kontak dengan air laut, setelah menetas zoea dilepaskan ke dalam laut (Brown dan Fielder, 1991).
Gambar 4 Siklus hidup Ketam Kelapa (B. Latro) (Fletcher dan Amost,1993) Telur-telur yang menetas pada tahap zoea pertama lamanya 4-9 hari, biasanya 5-6 hari, pergantian ke tahap zoea kedua dimulai pada hari ke empat dari kehidupan larva dan mencapai puncaknya pada hari kelima dan hari keenam. Tahap zoea berlangsung 3 – 15 hari dari kehidupan larva dan sebagian selesai dalam waktu 10 hari. Lamanya tahap zoea ke tiga 3 -18 hari, tetapi biasanya 8-9 hari. Pergantian pada tahap zoea ke empat dimulai tepat pada hari ke 15 dari kehidupan larva dan dilanjutkan kira-kira hari ke 24. Burayak yang mengalami pergantian kulit pada hari ke 18 -20, biasanya pada hari ke 18 lah pergantian kulit berlangsung sangat aktif. Sedangkan lamanya tahap zoea keempat dan penyempurnaan atau tahap metazoa adalah 6 -12 hari dan akhirnya ketika usia larva 20 -30 hari ketam berada dalam tahap terakhir pergantian zoea untuk berubah ke tahap post larva “ glaucothoe”. Sedangkan Shokita et al.,1991) dalam Sahami (1994) membagi tahap perkembangan zoea mulai dari tahap zoea I hingga
zoea V. Pada tahap-tahap ini bentuk tubuh ketam kelapa menyerupai udang. Sesudah tahap zoea V tubuh berubah bentuk menjadi glaucothoe (megalopa). Glaucothoe
akan mencari cangkang gastropoda yang kosong sebagai tempat
berlindung dan kemudian hidup di perairan dangkal. Ketam kelapa berada dalam cangkang selama kurang lebih 6 bulan (Morton (1991) dalam Sahami (1994). Ketam kelapa bermigrasi dan memulai hidupnya di darat setelah menjadi juvenil (Shokita et al., (1991) dalam Sahami (1994).
Gambar 5 Juvenil ketam kelapa (a) dan Juvenil dengan cangkang gastropoda (b) http://www.iucnredlist.org/details/2811. (2009). Kadang-kadang tahap zoea ke lima ini terjadi, tetapi sedikit sekali pengetahuan tentang lamanya zoea ke lima. Biasanya tahap zoea ke lima ini sama seperti tahap zoea ke empat yaitu kurang dari enam hari. Tahap ini penting karena memperhatikan campuran antara karakteristik zoea dan “glaucothoe” jika diperhatikan pada umbai dada yang berhubungan dengan lipatan tertutup sefalothoraks dan banyaknya setae pada pleopod dan abdomen. Ciri lainnya adalah bentuk telson dan perlindungan terhadap segmen abdomialnya. Fase post larva “glaucothoe” merupakan tahapan yang terpenting dalam pertumbuhan Perkembangan
B. latro. pada tahapan ini terjadi perubahan seperti amphibi. selanjutnya
telah
dapat
berenang
dengan
menggunakan
pleopodanya atau bergerak perlahan-lahan di daratan. Pada tingkatan ini ketam tersebut mulai menggunakan cangkang.
Biasanya “glaucothoe” memilih
cangkang gastropoda yang kecil dan bermigrasi dari lautan ke daratan. Seperti
halnya tingkah laku yang khas sebagai anggota infra ordo Anomura (kelomang). Setelah itu bergerak perlahan-lahan menuju daratan, “glaucothoe” berjalan dengan kulitnya yang sangat kecil dan bila sudah dewasa (“glaucothoe” dewasa) akan mengubur dirinya dalam rangka mempersiapkan diri untuk berganti kulit. Setelah tahap ini ketam tersebut menggali lubang dan terjadi pergantian kulit pada hari ke 28, ketam ini muncul sebagai ketam mudah pada hari ke 36. Setelah perubahan bentuk mereka memakan kerangka luarnya yang lebih tua (Pratiwi, 1989). Kecuali sebagai larva, ketam kelapa tidak berenang bahkan spesimen kecil akan tenggelam dalam air. Mereka menggunakan organ khusus yang disebut paruparu branchiostegal untuk bernafas. Organ ini dapat ditafsirkan sebagai tingkat perkembangan antara insang dan paru-paru, dan merupakan salah satu adaptasi paling signifikan dari ketam kelapa terhadap habitatnya. Ruangan dari organ pernafasan ini terletak bagian belakang sefalotoraks. Di organ ini terdapat jaringan yang sama seperti pada insang, namun cocok untuk penyerapan oksigen dari udara, bukannya di air. Mereka memakai kaki terakhir yang paling kecil untuk membersihkan organ nafas ini, dan untuk membasahinya dengan air laut. Organ itu memerlukan air agar berfungsi, dan ketam ini memenuhi hal ini dengan menekan kaki yang dibasahi pada jaringan spons didekatnya. Ketam kelapa juga bisa meminum air laut, menggunakan cara yang sama untuk mengambil air ke mulutnya. Selain organ pernafasan ini, ketam kelapa mempunyai kumpulan insang rudimenter tambahan. Namun sewaktu insang ini kemungkinan digunakan untuk bernafas dalam air pada sejarah evolusi jenis ini, mereka tidak lagi menyediakan cukup oksigen, dan ketam yang terbenam di air akan tenggelam dalam waktu beberapa menit (laporan beragam, mungkin tergantung tingkat stres dan latihan serta
konsumsi
oksigen
yang
dihasilkan)
(Wikipedia,
http://id.wikipedia.org/wiki/ketam 2008). Menurut Reese, 1968 dalam Pratiwi (1989) penggunaan cangkang gastropoda yang kosong pada fase “glaucothoe” dan ketam mudah merupakan adaptasi tingkah laku yang berhubungan dengan keberhasilan emigrasi ketam kelapa dari lingkungan perairan laut ke daratan. Tingkah laku ini dilakukan sebagai cara untuk melindungi diri dari kekeringan dan berbagai ancaman yang terjadi dalam fase yang rentan dalam siklus hidup hewan ini.
Biasanya setiap kali berganti kulit ketam kelapa juga akan mengganti rumah keongnya. Penggantian rumah tersebut disesuaikan dengan pertambahan ukuran tubuh. Tingkah laku yang demikian menjadikan ketam ini sebagai hewan pembawa cangkang dan dapat berlangsung selama dua setengah tahun. Namun demikian di Enowetok ditemukan ketam kelapa terkecil yang berukuran karapas 22 mm dan di Guam sekitar 8,4 mm keduanya tanpa rumah cangkang. Hill (1947) dalam Pratiwi (1989) melaporkan bahwa di pulau Christmas, ketam kelapa mempergunakan cangkang Trochus sp. hingga berumur 9 bulan. pada ketam berukuran lebih kecil yang tidak menemukan cangkang untuk tinggal, akan berlindung didalam hutan hingga berumur 12 bulan. Menurut Reag dan Haig (1990); Tapilatu (1991) dalam Ramli (1997), ketam
kelapa pada fase kelomang atau hidup dengan cangkang gastropoda,
bersifat semi-teresterial dan karakteristik hidup pada mintakat supra litoral yang berpasir dan pada siang hari dapat ditemukan berkumpul di bawah semak-semak dan diantara reruntuhan pohon yang mati dan kayu. Ketam kelapa mempunyai tingkah laku yang menarik, pada fase kelomang hidup di mintakat litoral hingga supralitoral dan jarang ditemukan pada daerah diatas mintakat supralitoral. Ketam kelapa dewasa ditemukan diatas mintakat supralitoral yaitu pada celah atau lubang karang atau pohon. Liangnya ditemukan berkisar antara 100 – 200 meter dari garis pantai, walaupun pada daerah yang jauh dari pantai sekalipun dapat ditemukan, diduga hal ini berhubungan dengan sifat reproduksinya yaitu pada masa bertelur, ketam kelapa betina akan kembali ke laut untuk melepaskan telur. Menurut Brown dan Fielder (1991) menyatakan bahwa ketam kelapa akan mencapai matang gonad ketika mencapai umur 3,5 dan 5 tahun. Pada umur tersebut ketam kelapa akan kembali melakukan aktifitas perkawinan dan memulai siklus hidupnya dengan melepaskan telurnya ke laut. Sedangkan Pratiwi (1989) menyatakan bahwa telur-telur ketam kelapa yang telah matang berwarna abu-abu kekuning-kuningan dengan titik mata yang terlihat jelas.