TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Jenis
Fragraea fragrans Roxb (tembesu) merupakan salah satu jenis dari famili Loganiaceae, dari seksi Cyrtophyllum yang terpenting dan menarik di Kalimantan Barat khususnya di kawasan TNDS Kapuas Hulu (Giesen, 1987; Luttrel, 1994; Peter, 1995). Menurut Soerianegara & Lemmens (1994) dijelaskan bahwa F. fragrans mempunyai beberapa nama lain dari seperti F. wallichiana Benth. (1985), F. cochinchinensis A. Chev. (1919), F. sororia J. J. Smith. (1923), dan F. gigantea Ridley. (1927). Di Indonesia, tembesu mempunyai nama-nama daerah yang berbeda seperti tembesu (Jawa), tembesu paya, tembesu tanah, tembesu rawang, tembesu talang, tamosu, tammusu (Sumatra); tembesu, ambinaton (Kalimantan); ki badak (Sunda); anrali, kolaki, kulaki, nosu (Sulawesi) (Heyne, 1987). Jenis tembesu dapat dijumpai di beberapa negara, dengan nama-nama daerah seperti di Malaysia : tembusu hutan, tembusu madang, tembusu tembaga (Peninsular). Philippina : urung, dolo (Tagbanua), susulin (Tagalog). Thailand : kankrao, man pla, tamazo. Vietnam : trai. Burma (Myanmar) : anan, ahnyim. Cambodia : tatraou. Laos : man pa (Soerianegara & Lemmens, 1994).
Klasifikasi Tembesu
Pengklasifikasian
tembesu
(Heyne,
taksonominya yaitu : divisi
: Spermatophyta
kelas
: Angiospermae
ordo
: Gentianales
famili
: Loganiaceae
genus
: Fragraea
spesies : Fragraea fragrans Roxb
1987)
berdasarkan
tingkatan
7
Sifat Botanis Tembesu
Morfologi Pohon tembesu umumya mempunyai kulit batang yang bergelombang lemah dan mahkota berbentuk kerucut, berwarna hijau muda, namun kulitnya tebal cukup keras (Heyne, 1987). Menurut Soerianegara & Lemmens (1994) pohon ini berlekah yaitu apabila kulit bagian luar seakan-akan membentuk alur (beralur) dan ada pula yang membentuk huruf V. Model arsitektur tembesu seperti Aubreville’s model (Halle, Oldeman & Tomlinson, 1978) dan perkembangan cabang Plagiotropik (horizontal). Batang monopodial dengan pertumbuhan tahap demi tahap bersamaan dengan pertumbuhan cabang-cabang yang ritmik. Model arsitektur ini dikenal pula dengan nama model Pagoda. Tinggi pohon tembesu mencapai 40 m, dengan panjang batang bebas cabang sampai 25 m, diameter 80 cm atau dapat mencapai 100 cm, batang tegak, tidak berbanir (Heyne, 1987). Sedangkan menurut Whitmore, et al (1975) tinggi pohon tembesu mencapai 25(-55) m, dan diameter mencapai 135(-250) cm. Ciri umum kayu tembesu adalah kayu teras berwarna coklat sampai kuning muda dan kayu gubal umumnya berwarna lebih muda. Tekstur kayu halus sampai agak halus. Permukaan kayu agak mengkilap. Tanaman tembesu dapat dipanen setelah berumur 50 tahun atau lebih dengan diameter 50-80 cm (Heyne, 1987).
Sumber : Doc Pribadi TNDS
Gambar 2. Morfologi Pohon Tembesu
8
Batang Kayu berbau keasam-asaman, agak lurus, kayunya keras berwarna kuning emas atau coklat jingga, dan termasuk ke dalam kelas awet satu, kulit luar berwarna coklat sampai hitam, beralur dangkal dan sedikit mengelupas, kulit tebalnya 10 mm dengan perakaran berbentuk heart root yaitu akar primer dan sekunder menyebar secara vertikal dan horizontal (Heyne, 1987).
Daun Tembesu memiliki daun tunggal berwarna hijau dengan posisi daun berhadapan silang. Memiliki stipula berbentuk cawan kecil pada sumbu daun. Helaian daun berbentuk lonjong ± 4-15 cm dengan lebar 1,5-6 cm dan mempunyai titik puncak yang lancip, tepi daun rata dan seluruhnya berlekatan 4-9 pasang bergabung di dekat pangkalnya (Soerianegara & Lemmens, 1994).
Bunga Bunga bisexual dengan lebar 20-25 cm, warna putih krem dan berubah menjadi kuning dengan aroma yang khas. Susunan bunga tembesu dalam bentuk malai, dan panjang tabung tajuk bunga 1-2,5 cm. Sedangkan tabung mahkota bunga sedikit mencorong, dengan panjang 0.7-2.3 cm (Soerianegara & Lemmens, 1994).
Buah Pohon tembesu berbunga dan berbuah setiap tahun dalam bulan MeiAgustus dan bulan November-Januari. Tembesu berbuah 7.5 bulan setelah penyerbukan. Benih sebagian besar disebar oleh burung-burung, kelelawar, dan juga oleh semut. Pohon tembesu mempunyai buah yang banyak sekali dan mengandung biji sangat kecil. Buah berwarna oranye hingga merah dengan lebar 8 mm berbentuk bulat dengan ujung yang kecil. Tanaman muda biasa dimakan kijang, sedangkan pohon yang besar dapat diserang jamur upas. Pemberantasannya dapat dilakukan dengan menyemprot fungisida (Heyne, 1987).
9
Ranting dengan bunga dan buah
Pohon tembesu
Bunga
Sumber : Soerianegara & Lemmens (1994)
Gambar 3. Morfologi Tembesu
Kegunaan Kayu Tembesu
Sumber utama dari kayu tembesu selain penampakan fisik kayunya bagus (bertekstur halus mengkilap), juga karena ketahanan kayunya terutama untuk konstruksi bangunan berat (Whitmore, et al ,1975). Tembesu diklasifikasikan dalam kayu klas kuat dan klas awet I. Tembesu mudah dikerjakan, tidak mudah retak, kuat dan tahan lama. Berat jenis kayu antara 0,72-0,93 g/cm³ dengan kisaran rata-rata 0,81 g/cm³ (Kartasujana & Martawijaya, 1973). Kayu tembesu dapat bertahan 10-15 tahun tergenang air, dan juga tahan terhadap serangan rayap dan kumbang (Kochummen, 1972). Secara umum kegunaan lain kayu tembesu selain kayu bulatnya untuk tiang rumah, lantai, balok, jembatan, kapal, gerbong rel kereta api, tempat memasang listrik dan telepon, tong, barang bubutan/pahatan, mebel, lemari kerja, juga untuk pintu dan jendela. Selain itu, kayu tembesu mempunyai kualitas yang sangat tinggi untuk dihasilkan sebagai bahan bakar dan arang kayu. Tembesu dapat
10
ditanam sebagai pohon peneduh di tepi jalan, dan digunakan untuk reboisasi. Jamu-jamuan yang direbus dari ranting-ranting dan daun digunakan untuk menghilangkan sakit disentry (Soerianegara & Lemmens, 1994). Namun kulit kayu tembesu dapat menyebabkan dermatitis/infeksi kulit (Schmidt, 1979).
Daerah Penyebaran dan Tempat Tumbuh Tembesu Menurut Soerianegara & Lemmens (1994), jenis tembesu berasal dari Srilanka, India (Bengal), Burma (Myanmar), Andaman Islands, Indo-China, Thailand, Peninsular Malaysia, Singapura, Borneo, Philippina. Di Indonesia daerah penyebaran F. fragrans yaitu di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat, Maluku, Palembang dan Irian Jaya. Tembesu tumbuh menyebar secara alami sebagai pioner pada areal bekas kebakaran dan padang rumput ilalang (Imperata cylindrica), umumnya di sepanjang tepi-tepi sungai dan berasosiasi dengan Melaleuca spp. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dengan tipe curah hujan A sampai B, pada ketinggian 0-500 m dpl. Tembesu merupakan jenis intoleran (tidak perlu naungan), karena untuk pertumbuhan optimal tembesu hanya perlu cahaya 1030%. Tembesu tumbuh dalam variasi yang luas di hutan rawa pada tanah datar dan sarang atau di tempat yang tidak terlalu lama digenangi air, pada tanah berpasir dangkal. Tembesu di hutan rawa mampu beradaptasi terhadap daerahdaerah anaerob dan tergenang air (Giesen, 2002). Menurut Coster (1937) transpirasi tembesu penguapannya rendah (dibawah 1000 mm/tahun). Besarnya transpirasi tergantung pada keadaan tempat tumbuh, terutama iklim, kesuburan tegakan, dan kedudukan tembesu dalam komunitasnya.
Potensi Tembesu
Setelah reformasi (1997-1998), penebangan kayu menjadi salah satu sumber pendapatan tunai, baik bagi suku Melayu dan Iban. Sejak tahun 2000 hampir seluruh kampung di dalam TNDS terlibat penebangan kayu sehingga kerusakan lingkungan cukup terasa (Anshari, 2006). Illegal logging yang melibatkan investor utama dari Malaysia telah menyebabkan laju deforestasi hutan yang
11
sangat tinggi di TNDS. Di akhir 2004, kayu hasil illegal logging (termasuk kayu tembesu) yang dibawa ke Malaysia mencapai 300 truk per hari (Indriatmoko, Yuliani & Heri, 2006). Dari tiga jenis kayu yang biasanya dimanfaatkan (kawi, kelansau, tembesu) dari hutan terutama di TNDS, tembesu merupakan jenis yang sering di ambil. Pemanfaatan dan penebangan tembesu terus menerus akan menurunkan potensi tembesu dan habitatnya.
Hutan Rawa Air Tawar
Hutan rawa air tawar adalah kawasan hutan dengan tanah mineral aluvial yang tergenang secara musiman. Hutan rawa air tawar biasanya terdapat di daerah peralihan antara hutan rawa gambut dengan hutan dataran rendah. Hutan rawa memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Gerakan air biasanya terbatas dan bersifat musiman. Memiliki permukaan tanah yang kaya akan mineral. Biasanya ditumbuhi hutan lebat. Akar-akar pohon di hutan rawa selalu atau secara periodik di dalam air. Hutan rawa secara umum mempunyai peran dan manfaat yaitu sebagai sumber cadangan air, dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering, mencegah terjadinya banjir, mencegah intrusi air laut ke dalam air tanah dan sungai, sumber energi, sumber makanan nabati maupun hewani. Vegetasi hutan rawa pada umumnya merupakan vegetasi campuran dengan bentuk tajuk yang berlapis dan memiliki juga jenis-jenis merambat dan sistem perakarannya mendatar, berbentuk akar papan (banir) yang besar, bahkan dapat mencapai tinggi lebih dari 1 m (Samingan, 1971; Whitmore, 1975). Tipe ekosistem hutan rawa terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, misalnya di Sumatra bagian Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Irian Jaya bagian Selatan. Ekosistem rawa TNDS memiliki formasi vegetasi rawa yang khas. Berdasarkan karakteristik vegetasi dan kondisi habitatnya, dapat dilihat pada Tabel 1.
12
Tabel 1. Karakteristik Hutan-hutan Rawa di dalam TNDS Formasi Vegetasi
Hutan Rawa Gambut Tinggi
Periode Kedalaman Tergenang Rata-rata (bulan) Muka Air (m) 2-3
0,5-4
5-7
1,5-4
Hutan Rawa Kerdil
9-11
5-6
Hutan Tepian
5-6
2-6
Hutan Rawa Pendek
Jenis Tanah
Histosols (gambut)
Entisols (liat berpasir) Entisols (liat berpasir) Entisols (liat berpasir)
Tinggi Rata-rata Kanopi (m) 15-30
8-22
5-8
15-20
Beberapa Genus yang Umum Dijumpai Dryobalanops,Hopea,Crudia Tristaniopsis, Gonystylus, Shorea, Calophyllum Diospyros,Vatica, Mesua, Garcinia,Homalium,Mallotus, Tristania, Shorea Barringtonia, dan Timonius
F. fragrans, Gluta, Mesua, Diospyros, Vatica,Eugenia, Dillenia, Baccaurea
Sumber Giesen (1987; 1996) dalam Anshari, 2006.
Di TNDS hutan rawa air tawar berasosiasi dengan rawa danau-danau di pedalaman, dan di daerah aliran sungai yang sangat luas dan rendah letaknya, misalnya daerah aliran sungai kapuas, dengan pH 6 atau lebih yang permukaan airnya berfluktuasi sehingga permukaan tanah mengalami periode kering secara berkala (Whitten, et al, 1978 a & 1987 b). Hutan rawa air tawar primer ditumbuhi pohon-pohon dengan tinggi rata-rata 35 m, sejumlah liana dan banyak epifit. Komposisi jenisnya merupakan campuran. Di habitat yang tergenang air ini respirasi sukar, sehingga sistem perakaran terletak dekat permukaan dan beberapa tumbuhan. Hasil penelitian tahun 1993 di Sungai Leboyan menurut Giesen (2002) bahwa data di hutan rawa primer kerapatan tembesu cukup tinggi, sekitar 35 pohon/ha (diameter
40 cm dbh) pada transek 10 x 200 m. Hampir tanpa
regenerasi tembesu di bawah kondisi hutan rapat dalam transek tersebut. Ini menunjukkan bahwa pada kondisi-kondisi yang sesuai, tembesu dapat membentuk kepadatan yang sangat tinggi.
13
Komposisi dan Struktur Vegetasi TNDS
Menurut Haeruman (1980), hutan di Kalimantan mempunyai lebih dari 40.000 spesies tumbuhan, dan merupakan hutan yang paling kaya spesiesnya di dunia. Di antara 40.000 spesies tumbuhan tersebut, terdapat lebih dari 4.000 spesies tumbuhan yang termasuk golongan pepohonan besar dan penting. TNDS memiliki tumbuhan khas dan asli seperti tembesu (Fragraea fragrans Roxb.) dan tengkawang (Shorea beccariana). Selain itu juga terdapat tumbuhan hutan dataran rendah seperti jelutung (Dyera costulata), ramin (Gonystylus bancanus), meranti (Shorea sp.), keruing (Dipterocarpus sp.), dan kayu ulin (Eusideroxylon zwageri).
Stratifikasi
Stratifikasi merupakan salah satu metode deskripsi dan analisis yang digunakan untuk ekosistem hutan di daerah tropis (Michon, 1993). Soerianegara & Indrawan (1998) menyatakan bahwa stratifikasi terjadi akibat persaingan dalam waktu yang relatif lama setelah melalui proses adaptasi dan stabilisasi. Jenis-jenis tertentu akan lebih dominan daripada jenis-jenis yang lain. Pohon-pohon yang tinggi dari stratum teratas mengalahkan pohon-pohon yang lebih rendah . Menurut Soerianegara & Indrawan (1998) dalam hutan hujan tropika terdapat lima lapisan tajuk, yaitu lapisan A, B, C, D dan E, dengan ciri-ciri : a. Lapisan A Pohon tingginya > 30 m, tajuknya diskontinue, batang pohon tinggi dan lurus, batang bebas cabang tinggi. b. Lapisan B Pohon setinggi 20-30 m, tajuk umumnya kontinue, batang biasanya banyak bercabang, batang bebas cabang tidak begitu tinggi. c. Lapisan C Pohon setinggi 4-20 m, tajuk kontinue, rendah, kecil dan bercabang banyak. d. Lapisan D Terdiri dari perdu dan semak, tingginya 1 - 4 m.
14
e. Lapisan E Terdiri dari tumbuhan penutup tanah, tingginya 0 - 1 m.
Penyebaran dan Tempat Tumbuh
Penyebaran permudaan baik pada tingkat semai, pancang, maupun tingkat tiang dan pohon dari berbagai jenis pohon tergantung pada jenis individu pada fase pohon tersebut beradaptasi dengan lingkungannya. Penyebaran jenis individu dalam suatu populasi akan menyebar menurut tiga pola, yaitu : acak (random), teratur (uniform), dan mengelompok (clumped). Penyebaran mengelompok paling umum terjadi di alam (Kershaw, 1973). Penyebaran dalam komposisi jenis berhubungan dengan derajat kestabilan komunitas. Komposisi vegetasi dengan penyebaran jenis yang lebih besar memiliki jaringan kerja yang lebih kompleks dari pada komunitas dengan penyebaran jenis yang rendah (Cox,1972).
Hubungan Antara Vegetasi dengan Keadaan Tanah
Tanah dan vegetasi merupakan faktor yang saling berinteraksi satu sama lainnya. Perkembangan vegetasi berhubungan erat dengan proses pembentukan tanah. Dalam kondisi iklim yang sama, kehadiran komunitas tumbuhan ditentukan oleh keadaan topografi dan kesuburan tanah. Tanah penting bagi tanaman karena merupakan tempat tumbuh, sumber air dan unsur-unsur hara. Perbedaan jenis tanah, sifat-sifat serta keadaannya seringkali mempengaruhi penyebaran tumbuh-tumbuhan, menyebabkan terbentuknya tipe-tipe vegetasi berlainan, serta mempengaruhi kesuburan dan produktivitas lahan (Soerianegara & Indrawan, 1978). Menurut Suhartati (2007) salah satu faktor lingkungan yang sangat berperan dalam proses pertumbuhan tanaman adalah karakteristik tanah terutama status haranya. Faktor karakteristik tanah akan memberikan kontribusi dalam pertimbangan penetapan umur optimal daur suatu jenis tanaman, besarnya input yang diperlukan, teknik regenerasi, dan teknik pemeliharaan.
15
Sifat fisik tanah diyakini oleh para ahli lebih penting pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produktivitas tegakan hutan dibanding sifat kimia dan biologisnya (Soedomo, 1984). Namun demikian, sifat kimia tanah bukan faktor yang dapat diabaikan dalam menduga korelasi antara tempat tumbuh dengan pertumbuhan dan produksi pohon. Beberapa sifat-sifat kimia tanah yang telah dikaji dan menunjukkan korelasi yang tinggi terhadap pertumbuhan pohon antara lain kandungan Corganik, kandungan N total, Kapasitas Tukar Kation, kandungan kalsium, kandungan Ca tersedia, kandungan magnesium, kandungan liat pada horizon A dan subsoil, kandungan pasir dan debu pada horizon A dan subsoil, serta reaksi tanah atau pH (Suhendang, 1990).