DIFERENSIASI GENETIK POPULASI UDANG JERBUNG (Fenneropenaeus merguiensis De Man) DARI BANTEN, JAWA TENGAH, BENGKULU, KALIMANTAN BARAT, DAN NUSA TENGGARA BARAT
Oleh:
Eni Kusrini
PROGRAM STUDI ILMU PERAIRAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
DIFERENSIASI GENETIK POPULASI UDANG JERBUNG (Fenneropenaeus merguiensis De Man) DARI BANTEN, JAWA TENGAH, BENGKULU, KALIMANTAN BARAT, DAN NUSA TENGGARA BARAT
Oleh:
Eni Kusrini
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU PERAIRAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN
Dengan Ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Diferensiasi Genetik Populasi Udang Jerbung (Fenneropenaeus merguiensis De Man) dari Banten, Jawa Tengah, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2008
Eni Kusrini
ABSTRACT Eni Kusrini. Genetic Differentiations of banana prawn (Fenneropenaeus merguiensis) population from Banten, Central Java, Bengkulu, West Kalimantan, and West Nusa Tenggara. Under guidance Komar Sumantadinata, Wartono Hadie, and Alimuddin Genetic differentiation (phenotype and genotype) of population is need as base information for banana prawn breeding program. Information of genetic differentiation banana prawn in Indonesia is few, so this study was purposed for determine morphologycally and molecular different banana prawn (Fenneropenaeus merguiensis) from Banten, Central Java, Bengkulu, West Kalimantan, and West Nusa Tenggara. Morphologycally measurement with morphometric method was applied for determine phenotype, and mitochondrial DNA 16S ribosomal RNA analysis with sequencing method for determine genotype different. Results of analysis showed that there were morphometrically genetic variations among banana prawn population studied. Banana prawn from West Kalimantan had highest variation of morphology and Bengkulu lowest variation. Results of Cluster analysis indicated that two main clusters were found, i.e. banana prawn from West Kalimantan, West Nusa Tenggara and Bengkulu as the first cluster, Central Java and Banten as the second cluster. PCR amplification and sequencing of 16S-rRNA mitochondrial DNA region were performed using 5’-CGCCTGTTTAAC-AAAAACAT-3’ and 5’-CCGGTCTGAACTCAGATCATGT3’. Analysis of homology sequences of 16S-rRNA mtDNA show that banana prawn used in this study was Fenneropenaeus merguiensis. Result of family relationship analysis indicated that 5 population of banana prawn can divided into 2 groups, i.e. West Kalimantan and group of Bengkulu-Banten-Central Java-NTB. Banana prawn from West Kalimantan and Bengkulu has specific sequences at 5’ terminal, ACTGACT and C-GAC, respectively. Those sequences may be able to be use as a marker in the breeding program of banana prawn in Indonesia.
RINGKASAN Eni Kusrini. Diferensiasi Genetik Populasi Udang Jerbung (Fenneropenaeus merguiensis De Man) dari Banten, Jawa Tengah, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Di bawah bimbingan Komar Sumantadinata, Wartono Hadie, dan Alimuddin Diferensiasi genetik (fenotipe dan genotipe) populasi merupakan informasi dasar yang sangat diperlukan untuk pelaksanaan program pemuliaan udang jerbung. Informasi diferensiasi genetik udang jerbung di Indonesia masih sangat sedikit diperoleh, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mencari perbedaan secara morfologi dan molekuler udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis) dari Banten, Jawa Tengah, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Pengukuran morfologi dengan metode morfometrik dilakukan untuk mengetahui diferensiasi secara fenotipe, dan analisis DNA mitokondria pada daerah 16S rRNA dengan teknik sekuensing digunakan untuk mengetahui diferensiasi secara genotipe. Pengukuran morfometrik meliputi panjang karapas parsial (PKP), kedalaman karapas (DKP), lebar karapas (LKP), panjang ruas pertama (PRP), panjang ruas kedua (PRD), panjang ruas ketiga (PRT), panjang ruas keempat (PRE), panjang ruas kelima (PRL), panjang ruas keenam (PRN), panjang total (PTO), panjang standar (PBD), panjang rostrum (RST), lingkar abdomen anterior (LAA), lingkar abdomen posterior (LAP), kedalaman ruas keenam (DRN), panjang prosertema (PST), exopod (EXP), endopod (END), telson (TLS), bobot total (BTO), dan bobot tanpa kepala (BTK). Sedangkan pengukuran secara molekuler dilakukan beberapa tahap yaitu mulai dari ekstraksi untuk mendapatkan genom dilakukan berdasarkan modifikasi metode Ovenden (2000), purifikasi genom udang menggunakan kit QIAGEN QIAquick Purification, Amplifikasi dilakukan menggunakan kit Ready-to-Go PCR Beads, Primer yang digunakan untuk amplifikasi sekuens mitokondria adalah 16S rRNA (F): 5’-CGC CTG TTT AAC AAA AAC AT-3’ (20 mer) dan 16S rRNA (R): 5’-CCG GTC TGA ACT CAG ATC ATG T-3’ (22 mer). PCR untuk sekuensing menggunakan primer 16S rRNA dan reagent khusus untuk sekuens DNA; Big Dye (ABI Prism, Foster City, USA). Proses PCR seperti pada amplifikasi biasa, hanya menggunakan satu primer setiap reaksi ditambahkan pewarnaan Big Dye. Hasil penelitian memperlihatkan adanya perbedaan genetik secara morfometrik antar 5 populasi. Ada 13 karakter yang mempunyai pengaruh sangat nyata untuk masing-masing populasi. Udang jerbung dari populasi Kalimantan Barat mempunyai keragaman morfologi yang paling tinggi sedangkan untuk keragaman terendah dimiliki oleh populasi Bengkulu. Hasil dari analisis kluster diperoleh dua kelompok utama yaitu kelompok pertama terdiri atas populasi Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Bengkulu, sedangkan kelompok yang kedua adalah populasi Banten dan Jawa Tengah. Jarak genetik yang terjauh dimiliki oleh populasi Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat dan terdekat dimiliki populasi Banten dan jawa Tengah. Fragmen 16S rRNA mtDNA yang diisolasi dari udang jerbung melalui teknik PCR diperlihatkan pada posisi sekitar 537 bp. Panjang sekuens yang
terbaca dari hasil sekuensing adalah 480 nukleotida, kemudian dilakukan pensejajaran berganda (multiple alignment) dengan data sekuens 16S rRNA mtDNA udang-udang Penaeid lainnya yang tersedia di Bank Gen. Perbedaan sekuens ditemukan pada populasi Pontianak seperti ditunjukkan pada Gambar 8 sebanyak 6 nukleotida (5’-.....ACTGAT.....-3’) untuk sekuens ke-1 sampai ke-6 dan pada populasi Bengkulu sebanyak 4 nukleotida (5’-.....C-GAC.....-3’) di sekuens ke-19, 21, 22, dan 23. Nukleotida yang khusus dimiliki oleh F. merguiensis adalah pada sekuens ke-398 terdapat basa A, sedangkan untuk udang Penaeid yang lain tidak ditemukan. Sekuens tersebut mungkin dapat digunakan sebagai penanda dalam program breeding udang jerbung Indonesia. Homologi hasil analisis blastN untuk susunan basa nukleotida udang jerbung hasil penelitian dengan F. merguiensis yang tersedia di Bank Gen adalah sebesar 98%-100%. Hasil analisis kekerabatan menunjukkan bahwa 5 populasi udang jerbung uji dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu kelompok Kalimantan Barat dan kelompok Bengkulu-Banten-Jawa Tengah-NTB. Perlu penelitian lebih lanjut dengan melakukan pensejajaran nukleotida di bagian 16S RNA utuh dan bagian mitokondria lainnya untuk lebih memantapkan hubungan kekerabatan dan jarak genetik antar populasi udang jerbung. Populasi udang jerbung dari Kalimantan Barat dapat digunakan sebagai bahan untuk selective breeding. KATA KUNCI:
diferensiasi, morfometrik, 16S rRNA mtDNA, Fenneropenaeus merguiensis
LEMBAR PENGESAHAN Nama Lengkap
:
Eni Kusrini
Nomor Pokok
:
C151060291
Program Studi
:
Ilmu Perairan
Judul Tesis
:
Diferensiasi Genetik Populasi Udang Jerbung (Fenneropenaeus merguiensis De Man) dari Banten, Jawa Tengah, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat Menyetujui, Komisi Pembimbing, Ketua
Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc. Anggota
Anggota
Dr. Wartono Hadie, M.Si.
Dr. Alimuddin Mengetahui,
Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Perairan
Prof.Dr.Ir. Enang Harris, M.S. M.S.
Dekan Sekolah
Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,
PRAKATA Puji syukur Alhamdulillahirobil’alamin penulis panjatkan kehadlirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini. Tema yang penulis pilih untuk penelitian adalah Diferensiasi Genetik Populasi Udang Jerbung (Fenneropenaeus merguiensis De Man) dari Populasi Banten, Jawa Tengah, Bengkulu, Kalimantan Barat, Dan Nusa Tenggara Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar dalam program pemuliaan udang jerbung di Indonesia. Atas selesainya penelitian dan penulisan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Komar Sumantadinata, Dr. Wartono Hadie, dan Dr. Alimuddin selaku komisi pembimbing, Kepala Pusat Riset Perikanan Budidaya yang telah memberikan kesempatan beasiswa melalui biaya pengembangan pegawai Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Prof. Ris. Dr. Achmad Sudradjat yang telah memberikan fasilitas penuh beserta pembiayaan selama penelitian, Dr. Haryanti, APU dan Ir. Andi Parenrengi, M.Sc. yang telah banyak membantu dalam proses penelitian dan penyusunan tesis.
Semoga hasil penelitian ini
bermanfaat. Amin.
Bogor, Agustus 2008 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis adalah putri kedua dari lima bersaudara dari pasangan Soepardjo Al Riyo Sudibyo dan Sumiyati yang dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 13 September.
Pendidikan sarjana ditempuh pada Fakultas Biologi,
program studi Iktiologi, Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto dan diterima sebagai CPNS di Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Departemen Pertanian 31 Maret 2000 dan sejak berdirnya Depatemen Kelautan dan Perikanan menjadi Pusat Riset Perikanan Budidaya sampai sekarang. Kesempatan untuk melanjutkan ke Sekolah Pascasarjana program studi Ilmu Perairan di Institut Pertanian Bogor diperoleh dari pengembangan pegawai Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. ii DAFTAR GAMBAR......................................................................................... iii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... iv I.
PENDAHULUAN..................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2. Perumusan dan Pendekatan Masalah ................................................ 2 1.3. Tujuan ............................................................................................... 3 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................ 3
II.
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4 2.1 Sistematika dan Biologi Udang Jerbung ........................................... 4 2.2 Morfometrik Udang .......................................................................... 7 2.3 Keragaman Genetik........................................................................... 9 2.4 DNA Mitokondria ............................................................................. 12 2.5 Hubungan Kekerabatan dan Jarak Genetik ....................................... 13
III. BAHAN DAN METODE......................................................................... 14 3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................ 14 3.2 Lokasi Pengambilan dan Penanganan sampel................................... 14 3.3 Metode Penelitian ............................................................................. 14 3.3.1. Pengukuranmorfometrik ....................................................... 15 3.3.2. Ekstraksi dan purifikasi genom............................................. 16 3.3.3. Amplifikasi PCR DNA mitokondria..................................... 17 3.3.4. Sekuensin .............................................................................. 18 3.4. Analisis Data ..................................................................................... 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 20 4.1. Hasil .................................................................................................. 20 4.1.1. Diferensiasi Morfometrik...................................................... 20 4.1.2. Diferensiasi Molekuler.......................................................... 23 3.2. Pembahasan....................................................................................... 27 V.
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 35 5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 35 5.2. Saran.................................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 36
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Ringkasan karakter morfometrik udang yang diukur untuk pembandingan keragaman fenotipe modifikasi dari Dall (1957) dan Lester (1983) ........................................................................................ 16 Tabel 2. Jenis dan jumlah bahan untuk amplifikasi PCR................................... 17 Tabel 3. Karakter morfometrik udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis) dengan analisis Canonical Discriminant Univariate Statistics............ 20 Tabel 4. Nilai percampuran fenotipe dalam dan antar populasi (%) udang jerbung yang menunjukkan sharing component antar populasi........... 21 Tabel 5. Nilai matrik jarak genetik antar populasi udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis) dari Banten, Jawa tengah, Bengkulu, Kalbar, dan NTB .................................................................................. 22
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Morfologi secara umum udang jerbung, Fenneropenaeus merguiensis .................................................................................... 5
Gambar 2.
Lokasi pengambilan sampel........................................................... 14
Gambar 3.
Variabel-variabel morfometrik udang (Lester, 1983) .................... 15
Gambar 4.
Penyebaran karakter morfologi udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis) dari Banten, Jawa tengah, Bengkulu, Kalbar, dan NTB ............................................................................ 22
Gambar 5.
Dendrogram jarak genetik udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis) dari Banten, Jawa tengah, Bengkulu, Kalbar, dan NTB ............................................................................ 23
Gambar 6.
Fragmen tunggal daerah 16S rRNA mtDNA, yang diamplifikasi dari mtDNA udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis). M = penanda100 bp (QIAGEN) 1-16 = mt DNA udang jerbung................................................................................. 23
Gambar 7.
Kromatografi (atas) dan pembacaan sekuens fragmen 16S rRNA mtDNA (bawah) udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis) ...................................................... 24
Gambar 8.
Multiple alignment 480 bp sekuens fragmen dari 16S rRNA mtDNA udang jerbung hasil penelitian dengan Feneropenaeus merguiensis dan udang Penaeid yang lain di Bank Gen. Titik-titik menandakan nukleotida tersebut identik dengan sekuen di atasnya ........................................................................... 26
Gambar 9.
Dendrogram UPGMA berdasarkan nukleotida daerah 16S rRNA mtDNA udang jerbung (Feneropenaeus merguiensis) berukuran 480 bp dari Bengkulu, Jawa Tengah, Banten, NTB, dan Kalimantan Barat..................................................................... 26
Gambar 10. Dendrogram udang jerbung hasil penelitian dengan Fenneropenaeus merguiensis populasi lain dari Bank Gen berdasarkan sekuens nukleotida 16S rRNA mtDNA dengan panjang 480 bp .................................................................. 32 Gambar 11. Dendrogram udang jerbung hasil penelitian dengan udang-udang Penaeid dari populasi lain dari Bank Gen berdasarkan sekuens nukleotida 16S rRNA mtDNA dengan panjang 480 bp ................ 33 Gambar 12. Dendrogram udang jerbung hasil penelitian dengan beberapa kelas Crustacea yang lain, berdasarkan sekuens nukleotida 16S rRNA mtDNA dengan panjang 480 bp (Bank Gen)................................. 44
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Hasil pembacaan kromatografi selengkapnya............................. 40
Lampiran 2.
Hasil perunutan sebagian 16S rRNA mtDNA Fenneropenaeus merguiensis asal Thailand ........................................................... 45
Lampiran 3.
Homologi udang jerbung hasil penelitian dengan Fenneropenaeus merguiensis dan udang-udang Penaeid di Bank Gen berdasarkan analisis Blast ............................................................................... 46
RINGKASAN Eni Kusrini. Diferensiasi Genetik Populasi Udang Jerbung (Fenneropenaeus merguiensis De Man) dari Banten, Jawa Tengah, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Di bawah bimbingan Komar Sumantadinata, Wartono Hadie, dan Alimuddin Diferensiasi genetik (fenotipe dan genotipe) populasi merupakan informasi dasar yang sangat diperlukan untuk pelaksanaan program pemuliaan udang jerbung. Informasi diferensiasi genetik udang jerbung di Indonesia masih sangat sedikit diperoleh, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mencari perbedaan secara morfologi dan molekuler udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis) dari Banten, Jawa Tengah, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Pengukuran morfologi dengan metode morfometrik dilakukan untuk mengetahui diferensiasi secara fenotipe, dan analisis DNA mitokondria pada daerah 16S rRNA dengan teknik sekuensing digunakan untuk mengetahui diferensiasi secara genotipe. Pengukuran morfometrik meliputi panjang karapas parsial (PKP), kedalaman karapas (DKP), lebar karapas (LKP), panjang ruas pertama (PRP), panjang ruas kedua (PRD), panjang ruas ketiga (PRT), panjang ruas keempat (PRE), panjang ruas kelima (PRL), panjang ruas keenam (PRN), panjang total (PTO), panjang standar (PBD), panjang rostrum (RST), lingkar abdomen anterior (LAA), lingkar abdomen posterior (LAP), kedalaman ruas keenam (DRN), panjang prosertema (PST), exopod (EXP), endopod (END), telson (TLS), bobot total (BTO), dan bobot tanpa kepala (BTK). Sedangkan pengukuran secara molekuler dilakukan beberapa tahap yaitu mulai dari ekstraksi untuk mendapatkan genom dilakukan berdasarkan modifikasi metode Ovenden (2000), purifikasi genom udang menggunakan kit QIAGEN QIAquick Purification, Amplifikasi dilakukan menggunakan kit Ready-to-Go PCR Beads, Primer yang digunakan untuk amplifikasi sekuens mitokondria adalah 16S rRNA (F): 5’-CGC CTG TTT AAC AAA AAC AT-3’ (20 mer) dan 16S rRNA (R): 5’-CCG GTC TGA ACT CAG ATC ATG T-3’ (22 mer). PCR untuk sekuensing menggunakan primer 16S rRNA dan reagent khusus untuk sekuens DNA; Big Dye (ABI Prism, Foster City, USA). Proses PCR seperti pada amplifikasi biasa, hanya menggunakan satu primer setiap reaksi ditambahkan pewarnaan Big Dye. Hasil penelitian memperlihatkan adanya perbedaan genetik secara morfometrik antar 5 populasi. Ada 13 karakter yang mempunyai pengaruh sangat nyata untuk masing-masing populasi. Udang jerbung dari populasi Kalimantan Barat mempunyai keragaman morfologi yang paling tinggi sedangkan untuk keragaman terendah dimiliki oleh populasi Bengkulu. Hasil dari analisis kluster diperoleh dua kelompok utama yaitu kelompok pertama terdiri atas populasi Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Bengkulu, sedangkan kelompok yang kedua adalah populasi Banten dan Jawa Tengah. Jarak genetik yang terjauh dimiliki oleh populasi Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat dan terdekat dimiliki populasi Banten dan jawa Tengah. Fragmen 16S rRNA mtDNA yang diisolasi dari udang jerbung melalui teknik PCR diperlihatkan pada posisi sekitar 537 bp. Panjang sekuens yang
terbaca dari hasil sekuensing adalah 480 nukleotida, kemudian dilakukan pensejajaran berganda (multiple alignment) dengan data sekuens 16S rRNA mtDNA udang-udang Penaeid lainnya yang tersedia di Bank Gen. Perbedaan sekuens ditemukan pada populasi Pontianak seperti ditunjukkan pada Gambar 8 sebanyak 6 nukleotida (5’-.....ACTGAT.....-3’) untuk sekuens ke-1 sampai ke-6 dan pada populasi Bengkulu sebanyak 4 nukleotida (5’-.....C-GAC.....-3’) di sekuens ke-19, 21, 22, dan 23. Nukleotida yang khusus dimiliki oleh F. merguiensis adalah pada sekuens ke-398 terdapat basa A, sedangkan untuk udang Penaeid yang lain tidak ditemukan. Sekuens tersebut mungkin dapat digunakan sebagai penanda dalam program breeding udang jerbung Indonesia. Homologi hasil analisis blastN untuk susunan basa nukleotida udang jerbung hasil penelitian dengan F. merguiensis yang tersedia di Bank Gen adalah sebesar 98%-100%. Hasil analisis kekerabatan menunjukkan bahwa 5 populasi udang jerbung uji dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu kelompok Kalimantan Barat dan kelompok Bengkulu-Banten-Jawa Tengah-NTB. Perlu penelitian lebih lanjut dengan melakukan pensejajaran nukleotida di bagian 16S RNA utuh dan bagian mitokondria lainnya untuk lebih memantapkan hubungan kekerabatan dan jarak genetik antar populasi udang jerbung. Populasi udang jerbung dari Kalimantan Barat dapat digunakan sebagai bahan untuk selective breeding. KATA KUNCI: diferensiasi, morfometrik, Fenneropenaeus merguiensis
16S
rRNA
mtDNA,
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis de Man) merupakan salah satu jenis udang penaeid yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sebagian besar produksi udang tersebut diperoleh dari hasil tangkapan di alam (Adi, 2007). Pada saat ini usaha pembenihan udang jerbung masih menggunakan induk yang berasal dari laut. Pengambilan induk secara terus-menerus dalam jumlah besar akan berakibat suatu saat stok di alam akan menurun drastis. Pernyataan ini sesuai dengan data statistik yang diperoleh di Kabupaten Cilacap bahwa terjadi penurunan produksi udang jerbung dari 885 ton pada tahun 1991 menjadi 734,4 ton pada tahun 2000 (Anonim, 2004 dalam Adi, 2007).
Oleh karena itu,
penyediaan induk dari budidaya udang jerbung hendaknya segera dikembangkan. Hal ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk mencegah eksploitasi yang berlebihan.
Selanjutnya keberhasilan domestikasi jenis udang tersebut akan
mendukung keberhasilan budidaya melalui penyediaan benur yang bermutu. Menurut Hoang (2001) jika dibudidayakan udang jerbung mempunyai keunggulan-keunggulan antara lain adalah udang tersebut dapat matang gonad dan memijah dari induk hasil budidaya tambak. Pemeliharaan larva relatif mudah dengan laju pertumbuhan yang cepat, toleran pada kisaran salinitas serta temperatur yang lebar, tingkat variabilitas ukuran rendah, dan kebutuhan pasar stabil. Oleh karena itu kegiatan pembenihan udang jerbung harus digalakkan sehingga kegiatan budidayanya maju. Hal ini sesuai dengan pernyataan Haryanti et al. (2005) bahwa teknik pembenihan udang jerbung perlu segera direalisasikan mengingat udang tersebut mempunyai kesempatan untuk dibenihkan secara independen tanpa bergantung pada induk alam. Udang jerbung dapat menjadi kandidat untuk program domestikasi atau selektif breeding untuk produksi induk yang memiliki pertumbuhan cepat dan tahan penyakit serta peningkatan biodiversitas spesies budidaya sehingga lebih memantapkan produksi udang secara industrial. Kondisi populasi yang terdapat di alam sebagai populasi liar perlu diketahui sebagai informasi penting dalam kegiatan domestikasi. Salah satu pengukuran kondisi populasi alamiah adalah mengenai diferensiasi genetik.
Pengukuran
diferensiasi genetik udang dapat dilakukan berdasarkan karakter fenotipe dan genotipenya.
Studi diferensiasi genetik berdasarkan karakter fenotipe di
antaranya dapat dilakukan dengan mengukur morfologi. Walaupun teknik pengukuran diferensiasi genetik sekarang ini telah maju, namun metode pengukuran morfologi tetap dibutuhkan karena sifat-sifatnya dapat langsung dilihat, mudah dilakukan, tanpa fasilitas yang rumit, serta lebih murah biayanya (Widiyati, 2003). Metode pengukuran diferensiasi genetik berdasarkan genotipe dapat dilakukan dengan analisis DNA mitokondria (mtDNA). Analisis mtDNA juga dapat digunakan untuk mengukur kekerabatan antar spesies, populasi, studi taksonomi, dan genetika populasi (Ryman & Utter, 1987).
Metode tersebut
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode sebelumnya antara lain adalah tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor pertumbuhan, lebih sensitif, dan hasilnya lebih akurat karena mitokondria hanya diturunkan dari induk betina, sehingga setiap gamet gugus genetik akan diwariskan pada keturunannya, dengan demikian tidak terjadi perubahan pada setiap generasi yang berasal dari induk betina tersebut.
Analisis DNA dapat dilakukan dengan
beberapa metode seperti RAPD, RFLP, AFLP, DNA mikrosatelit, DNA fingerprinting, sekuensing mtDNA.
Teknik sekuensing mtDNA telah banyak
diterapkan untuk penelitian beberapa jenis udang di antaranya Penaeus monodon untuk mencari hubungan kekerabatannya (Wilson et al., 2006), udang fairy dari Australia untuk mencari sistematika filogenetiknya (Remigio et al., 2003), populasi pink shrimp (Farfantepenaeus duorarum) untuk mencari keragaman genetik dan struktur populasinya (Jackson & Bert, 2004), palaemonid shrimp untuk menentukan taksonomi dan filogenetiknya (Murphy & Austin, 2003), udang vaname untuk mencari jarak genetik induk asal alam (Francisco & Junior, 2005), P. japonicus, P. penicillatus, P. chinensis, P. vannamei, P. canaliculatus, Metapenaeus affinis, Metapenaeus ensis, Metapenaeus barbata, Parapenaeus fissuroides,
dan
Parapenaeopsis
hardiwickii,
Tachypenaeus
curvirostris,
Solanocera crassicornis, Portunus trituberculatus untuk mencari hubungan kekerabatan antara 12 udang laut tersebut (Quan et al., 2004). 1.2. Perumusan dan Pendekatan Masalah
Pengumpulan informasi atau data dasar genetik dari suatu spesies adalah suatu syarat awal yang diperlukan untuk menentukan perbedaan genetik atau kekerabatan yang dimilikinya.
Data hubungan kekerabatan atau perbedaan
genetik masing-masing spesies akan sangat membantu dalam perumusan kebijakan pengelolaan budidaya maupun konservasi sumber daya genetik di alam. Pemanfaatan udang jerbung sudah berada pada tingkat mengkhawatirkan yang ditandai dengan menurunnya populasi di alam.
Dengan demikian pendataan
kegiatan pelestarian plasma nutfah udang jerbung di alam harus segera dilakukan. Diferensiasi genetik udang dapat diukur secara morfologi dan molekuler. Pengukuran secara morfologi untuk penampilan fenotipe dapat dilakukan dengan morfometrik, dan karakter genotipe dapat diamati dengan sekuensing mtDNA. Penelitian mengenai diferensiasi genetik udang jerbung merupakan tahap awal program pemuliaan yang diharapkan dapat menentukan potensi genetik yang unggul. Informasi genetik udang jerbung di Indonesia masih sangat terbatas. Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan, sebagaimana telah diterapkan terhadap udang penaeid lainnya yaitu dengan studi morfometrik dan analisis mtDNA. 1.3.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui diferensiasi genetik serta
hubungan
kekerabatan
antar
populasi
udang
jerbung
(Fenneropenaeus
merguiensis De Man) yang berasal dari Bengkulu (laut lepas), Banten (Selat Sunda, Panimbang), Jawa Tengah (Pantai Cilacap), Kalimantan Barat (Pontianak), dan Nusa Tenggara Barat (Selat Lombok-NTB) melalui analisis variabel morfometrik dan sekuens mtDNA. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai diferensiasi genetik baik secara fenotipe (morfometrik) maupun genotipe (mtDNA) udang jerbung dari beberapa lokasi, yaitu Bengkulu, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan NTB. Data tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan strategi program pemuliaan, penentuan konservasi keragaman hayati, dan pelestarian plasma nutfah udang jerbung di Indonesia.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistematika dan Biologi Udang Jerbung Udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis de Man) sebelumnya memiliki nama ilmiah Penaeus merguiensis de Man (Farfante & Kansley, 1997). Dalam dunia perdagangan udang jerbung mempunyai banyak nama dagang misalnya di Hongkong dinamakan white prawn, di Australia banana prawn atau white shrimp, di Malaysia udang kaki merah, dan di Indonesia dikenal dengan nama udang putih, menjangan, udang perempuan, udang popet, udang kelong, udang peci, udang pate, udang cucuk, pelak, kebo, angin, haku, wangkang, pesayan, besar, manis, kertas, dan udang tajam (Martosubroto, 1977). Jenis udang jerbung terdiri atas 3 kelompok yang secara visual sulit untuk dibedakan, yaitu F. indicus, F. chinensis, F. orientalis, dan F. merguiensis. Taksonomi udang jerbung adalah sebagai berikut: Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustacea
Subkelas
: Malacostraca
Seri
: Eumalacostraca
Superordo
: Eucarida
Ordo
: Decapoda
Subordo
: Natantia
Seksi
: Penaeidae
Famili
: Penaeinae
Genus
: Fenneropenaeus, Fabricius 1878
Spesies
: Fenneropenaeus merguiensis de Man (1888) Secara umum morfologi udang jerbung (Gambar 1) tidak berbeda dengan
udang yang lain. Tanda-tanda khusus yang membedakannya antara lain warna badan yang putih kekuning-kuningan dengan bintik coklat dan hijau. Ujung ekor dan kakinya berwarna merah, antennula bergaris-garis merah tua, dan antena berwarna merah. Gigi rostrum bagian atas 5 – 8 dan bagian bawah 2 – 5, ada juga yang mempunyai gigi rostrum atas 6 – 7 dan bawah 4 – 5. Pada karapas gastro orbital carinanya tidak ada atau tidak jelas. Pada periopoda pertama mempunyai duri isshial dan pada eksopoda terdapat pada periopoda kelima. Pada abdomen,
somit kelima mempunyai satu cicatrice, dan yang keenam mempunyai tiga cicatrace. Telson pada udang ini tidak berduri. 3-4 cm 70-80 mm
Gambar 1.
Karapas halus
Rostrum atas 5-8 gigi, bawah 2-5
Morfologi secara umum udang jerbung, Fenneropenaeus merguiensis
Habitat udang jerbung tersebar di seluruh perairan Indonesia mulai dari Aceh sampai Irian dan merupakan udang yang umumnya tertangkap dalam kumpulan yang cukup besar. Udang ini bersifat bentik; hidup pada permukaan dasar laut. Udang jerbung mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap semua tipe dasar perairan, namun lebih suka untuk menghuni perairan yang lempung lumpur dan berpasir. Perairan yang berbentuk teluk dengan aliran sungai besar merupakan daerah yang baik untuk udang jerbung.
Udang dewasa banyak
ditemukan di perairan selasar (shelf), terutama perairan yang dekat dengan muara sungai, kadang-kadang dapat mencapai 60 – 80 mil dari pantai pada kedalaman 8 – 40 m (Naamin, 1975). Dalam daur hidupnya, udang jerbung menempati dua daerah, yaitu di laut dan di air payau. Pemijahan terjadi di laut sepanjang tahun dengan puncaknya pada bulan Maret dan Desember.
Induk udang yang matang telur biasanya
memijah pada malam hari dan telur diletakkan di dasar laut. Kira-kira 12 jam
setelah dikeluarkan, telur menetas menjadi larva pada stadia pertama yang disebut nauplius. Setelah mengalami pergantian kulit beberapa kali, nauplius berubah menjadi stadia zoea atau protozoea. Pada stadia ini, larva mulai mengambil makanan dari sekitarnya, dan selanjutnya bentuk zoea berubah menjadi mysis. Dari stadia mysis, larva bermetamorfosis menjadi stadia pasca larva yang bermigrasi ke perairan estuarin. Di perairan ini udang membenamkan diri pada siang hari di dasar yang lembek untuk menghindari gangguan predator sampai menjadi yuwana. Setelah berumur 3 – 6 bulan di daerah estuarin, yuwana turun kembali ke laut, tumbuh dan berkembang sampai matang gonad di perairan laut dalam. Di sini udang muda mencapai tingkat kematangan dan bertelur. Beberapa spesies kadang-kadang hanya mencapai umur 12 – 14 bulan dan udang dewasa mati setelah kembali ke perairan dalam dan bertelur (Gulland, 1971 dalam Koswara, 1985). Menurut Naamin (1975) udang jerbung yang normal dapat hidup selama 12 bulan dan kadang-kadang dapat mencapai 2 tahun. Alat reproduksi udang jerbung bersifat heteroseksual. Jenis kelamin baru dapat dibedakan setelah tingkat post larva terakhir selesai. Petasma sebagai alat kelamin jantan terletak antara pasangan pertama kaki renang kelima, sedangkan telikum sebagai alat kelamin betina terletak antara pasangan kaki jalan keempat dan kelima. Udang dewasa memperlihatkan perbedaan ukuran yang jelas, karena udang betina lebih besar dari udang jantan pada umur yang sama (Kirkegaard et al., 1970 dalam Koswara, 1985). Menurut Tuma (1967) dalam Naamin (1984) udang jerbung tidak mempunyai pasangan seks tertentu (promiscuous). Perkembangan telur dibagi menjadi
lima
tingkatan
yaitu
dara
(quiscent/undeveloped),
berkembang
(developing), hampir matang (early maturity/nearly ripe), matang (ripe), dan salin (spent). Pada tingkat dara dan berkembang ovari bening (translucent). Warna berubah menjadi kuning pada tingkat hampir matang, berwarna hijau gelap selama tingkat matang, dan hijau keabu-abuan selama tingkat salin. Sedangkan udang yang matang kelamin berada pada tingkat antara nearly ripe dan ripe. Pada tahap ini udang siap untuk bertelur. Pertumbuhan udang jerbung secara umum sama dengan krustase yang lain, yaitu mulai dari ganti kulit. Prosesnya meliputi melepaskan dirinya dari kulit luar
(eksoskeleton), air diserap, ukuran udang menjadi bertambah besar, kulit luar yang baru terbentuk dan air dalam jaringan secara bertahap diganti oleh jaringan yang baru. Nauplius mempunyai panjang sekitar 1 mm, terdapat di atas dasar laut terbuka dengan salinitas 35 ppt selama 36 – 48 jam, kemudian berubah menjadi protozoea dengan panjang total sekitar 3 mm. Stadium protozoea selama 7 hari bersifat planktonik bergerak menuju permukaan laut dan terbawa arus ke arah pantai. Protozoea berubah menjadi mysis berukuran panjang 4 – 10 mm dan bersifat planktonik selama 7 hari.
Pasca larva adalah perubahan dari mysis
dengan panjang 1 – 2 cm, setelah berumur 1 bulan berubah menjadi yuwana dengan panjang 2 – 10 cm dan merupakan fase muara sungai selama 3 – 4 bulan. Udang dewasa merupakan fase lautan dengan panjang 10 – 24 cm umur sampai 8 bulan (Munro, 1968 dan Walker, 1974 dalam Naamin, 1984). 2.2. Morfometrik Udang Menurut Suwardi (2007) pada umumnya struktur populasi suatu spesies ditentukan oleh stok yang berbeda (distinct), yang dicirikan oleh perbedaan morfologi, habitat, dan daru hidupnya. Organisme akuatik seperti ikan, moluska, dan crustacea memiliki variabilitas yang tinggi, baik inter maupun intra populasi. Koefisien perbedaan yang tinggi dari karakter morfometrik menunjukkan variasi antar individu dalam populasi yang sama. Yatim (1986) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk mengetahui keragaman genetik adalah dengan mempelajari perbedaan fenotipenya. Fenotipe ialah bentuk luar atau bagaimana kenyataannya karakter yang dikandung oleh suatu individu. Karakter merupakan sifat fisik bagian-bagian tubuh atau jaringan. Karakter bisa diatur oleh banyak macam gen atau hanya satu gen saja. Sehubungan dengan banyaknya gen yang memunculkan karakter, maka dibuat dua kelompok karakter yaitu karakter kualitatif dan karakter kuantitatif. Karakter kualitatif adalah karakter yang dapat dilihat ada atau tidaknya suatu karakter. Karakter kualitatif pada udang merupakan salah satu keragaman individu yang kebanyakan digambarkan oleh bentuk tubuh, warna, dan jenis kelamin yang disebabkan oleh aksi beberapa pasangan gen. Pada karakter kualitatif tidak dapat dibuat gradasi atau diskontinyu. Karakter kuantitatif merupakan fenotipe dengan satu kategori yang dapat diukur berdasarkan distribusi secara berkelanjutan dalam
bentuk kurva dari panjang tubuh, bobot tubuh dalam perbedaan usia, jumlah telur per kilogram bobot induk betina dan konversi pakan atau efisiensi pemberian pakan yang disebabkan oleh adanya segresi individual yang dikontrol oleh lebih banyak gen dan keragaman lingkungan (Tave, 1995). Pada karakter kuantitatif ada urutan gradasi dari yang rendah sampai yang tinggi (kontinyu). Identifikasi udang dapat dilakukan dengan mengetahui karakteristik morfometrik dan meristik udang. Ciri morfometrik adalah ciri yang berkaitan dengan ukuran atau bagian tubuh yang diperoleh dari pengukuran dimensi fisik, misalnya panjang total, panjang karapas dan sebagainya. Sedangkan ciri meristik adalah ciri yang berkaitan dengan jumlah bagian tubuh udang yaitu penghitungan jumlah dimensi fisik, misalnya jumlah duri rostrum (Sirajudin, 1997). Menurut Imron (1998) perbedaan morfologis antar populasi atau spesies digambarkan sebagai kontras dalam bentuk tubuh secara keseluruhan atau dengan ciri-ciri anatomis tertentu. Jika suatu spesies mempunyai bentuk tubuh lebih sempit dan lebih dalam daripada spesies lainnnya atau memiliki mata yang relatif lebih besar ukurannya merupakan deskripsi kualitatif.
Deskripsi kualitatif
dianggap belum memadai, sehingga seringkali diperlukan ekspresi kuantitatif dengan mengambil berbagai ukuran dari individu-individu dan dinyatakan dengan nilai statistik seperti rata-rata, kisaran, ragam dan korelasi. Strauss & Bond (1990) mengemukakan bahwa sifat morfometrik dan meristik berbeda, dimana ciri-ciri meristik lebih stabil jumlahnya selama masa pertumbuhan sampai ukuran tubuh mantap tercapai.
Karakter morfometrik
(panjang badan dan bobot badan) berubah secara kontinyu seiring dengan ukuran dan umur. Studi morfometrik secara kuantitatif memiliki tiga manfaat yaitu : 1. Dapat membedakan individu antar jenis kelamin atau spesiesnya, 2. Menggambarkan pola-pola keragaman morfometrik antar populasi maupun spesies, 3. Dapat mengklarifikasi hubungan filogenik. Analisis morfometrik dapat juga digunakan untuk mengukur efek dari sejumlah besar gen. Namun biasanya tidak diketahui berapa banyak gen yang terlibat untuk satu karakter morfologis yang terukur. Problem lain adalah bahwa teknik ini juga mengukur keragaman non-genetik. Namun dengan pengujian yang
seksama, karakter-karakter yang dipengaruhi oleh faktor non-genetik ini kadangkadang dapat diidentifikasi dan dihilangkan dari analisis. Shaklee & Tamaru (1981) dalam Hadie (1997) mengatakan variasi morfologi dapat dipertimbangkan sebagai indikator perbedaan genetik antar spesies, strain, jenis kelamin, atau populasi. menyesuaikan dengan kondisi perairan.
Bentuk tubuh udang berbeda
Selanjutnya dikatakan pula, ikan
mempunyai variasi karakter morfologi pada letak geografi yang berbeda. Perbedaan sering ditandai dengan adaptasi lingkungan dan variabel biologi yang menandai masing-masing lokasi. Karakterisasi morfometrik dari spesies yang sama mencakup penentuan perbedaan yang kecil dalam variasi bentuk dan ukuran. Kebiasaan pengukuran secara tradisional (panjang standar, panjang total, panjang karapas, bobot total, panjang karapas, panjang rostrum, dan lain-lain) cenderung mendapatkan ukuran yang tertumpu pada satu daerah tertentu. 2.3. Keragaman Genetik Diferensiasi genetik merupakan tingkatan yang paling rendah dalam tingkatan keragaman hayati. Keragaman hayati mencakup segala aspek yang meliputi keragaman habitat, komunitas, populasi, dan jenis. Perbedaan genetik ini dianggap penting dibanding jenis dan ekosistem.
Hal ini disebabkan karena
sumber daya genetik merupakan kunci penting bagi suatu jenis untuk bertahan hidup sampai generasi berikutnya. Krisis biodiversitas atau keragaman hayati dimulai dari semakin menurunnya tingkat keragaman genetik dari suatu jenis. Menurut Sumantadinata (1980) keragaman genetik antar populasi merupakan hasil interpretasi dari isolasi secara fisik maupun terhalang secara ekologis, terpisah jauh secara geografis atau pengaruh tingkah laku seperti migrasi dan waktu memijah. Keragaman genetik suatu populasi memiliki arti penting, karena faktor yang mempengaruhi respon suatu populasi terhadap seleksi alam maupun buatan yang dilakukan oleh manusia untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati tersebut sesuai kebutuhannya. Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi memiliki peluang hidup yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena setiap gen memiliki respon yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan, sehingga dengan dimilikinya berbagai macam gen dari individu-individu di dalam populasi
maka berbagai perubahan lingkungan yang ada akan dapat direspons lebih baik. Beberapa studi menunjukkan bahwa karakteristik genetik suatu populasi ikan di alam pada umumnya menunjukkan adanya heterogenitas spasial, bahkan pada jarak yang sangat dekat (Ryman & Utter, 1987). Keragaman genetik juga dipengaruhi oleh perpindahan materi genetik antar dua populasi yang berbeda tempat (Soelistyawati, 1996).
Keragaman
genetik mempunyai arti penting dalam stabilitas dan ketahanan populasi seperti pencegahan terhadap kehilangan fitness individu yang disebabkan oleh inbreeding yang dapat mengakibatkan kepunahan karena sifat yang seragam (Ferguson et al., 1995). Leary et al. (1985) memaparkan bahwa keragaman genetik yang rendah akan berakibat negatif terhadap sifat penting dalam makhluk hidup seperti kecilnya sintasan suatu organisme, berkurangnya pertumbuhan, dan keragaman ukuran, serta turunnya kemampuan adaptasi. Leary et al. (1985) mengungkapkan bahwa rendahnya keragaman genetik berhubungan dengan terjadinya silang dalam populasi yang meningkat sehingga akan
terjadi
perubahan
morfologi
pada
individu
akibat
meningkatnya
homozigositas. Homozigositas ini akan menyebabkan berkurangnya kemampuan individu untuk berkembang secara normal. Menurut Frankham (1999) kehilangan keragaman genetik akan mengurangi kemampuan spesies tersebut untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Individu dengan keragaman genetik yang tinggi akan mempunyai komponen fitness yang besar yang meliputi laju pertumbuhan, fekunditas, viabilitas, dan daya tahan terhadap perubahan lingkungan dan stress. Ada beberapa metode untuk mengukur keragaman genetik di dalam atau antar populasi. Menurut Chambers & Bayless (1983) dalam Imron (1998), ada tujuh cara untuk mengetahui keragaman genetik yaitu pengukuran asam inti, sekuensing protein, elektroforesis, imunologi, kromosom, hubungan antar lokus, morfometrik, dan studi breeding. Dengan istilah yang berbeda, Allendroff & Phelp (1981) dalam Imron (1998) mengajukan cara untuk menduga keragaman genetik populasi dengan metode biometrik yaitu keragaman karakter fisiologis atau morfologis yang terukur seperti bobot, panjang, umur kematangan, ketahanan terhadap penyakit, toleransi salinitas, metode studi kromosom, dan marka genetik
biokimia. Sedangkan Powers (1991) mengajukan cara protein pengkode lokus (elektroforesis) dan pendeteksian keragaman genetik melalui metode asam inti. Metode-metode yang dimaksud adalah DNA mitokondria, DNA fingerprinting, amplifikasi DNA dengan polymerase chain reaction (PCR), sekuensing, dan DNA mikrosatelit. Metode untuk mengukur keragaman genotipe yang sekarang ini banyak digunakan oleh para ahli genetika salah satunya adalah DNA mitokondria. Pengukuran tingkat DNA ini mempunyai hasil yang lebih akurat (Ryman & Utter, 1987).
DNA tersusun dari rangkaian linier nukleotida.
Masing-masing
nukleotida mengandung basa organik yaitu gula, pentosa, dan fosfat. Di samping itu terdapat pula empat basa nitrogen yang berbeda yaitu adenin, timin, sitosin, dan guanin. Keragaman genetik dapat dideteksi dengan bantuan enzim yang dapat mengenali rangkaian nukleotida yang spesifik 4 – 6 pasangan basa dari DNA (Watson & Crick, 1953 dalam Warwick et al., 1995). Menurut Ryman & Utter (1987) untuk mengetahui genom suatu hewan yang bertujuan untuk kepentingan studi populasi dan evolusi adalah dengan menggunakan DNA mitokondria yang merupakan genom mitokondria yang berbentuk lingkaran ganda terdiri atas 5 – 10 untai setiap organel. Dua sifat penting yang dimiliki oleh DNA mitokondria dalam studi dinamika populasi yaitu memiliki kecepatan evolusi yang sangat tinggi, sekitar 1% per satu juta tahunnya. Selain itu, bersifat haploid atau hanya mewarisi sifat dari ibunya saja sehingga sel telur yang menyumbangkan DNA mitokondria. Dengan demikian kemungkinan tidak terjadi perbedaan DNA mitokondria pada keturunan yang berasal dari induk betina yang sama. Mitokondria sangat potensial digunakan sebagai sistem pengamatan hubungan genetik antar spesies maupun di dalam spesies.
Peranannya dalam studi
keragaman genetik cukup besar, karena mempunyai derajat polimorfisme yang tinggi serta hubungan yang jelas antara polimorfisme dengan subsitusi basa-basa penyusun genomnya. Penelitian mengenai keragaman genetik pertumbuhan udang telah banyak dilakukan.
Moria et al. (2002) menganalisis keragaman pertumbuhan udang
windu dari sumber induk Sumbawa, Aceh, dan Jawa Timur dengan mtDNARFLP. Hasil yang didapat dengan perhitungan frekuensi alel dan heterosigositas
dari lokus yang polimorfik melalui pemotongan DNA udang windu kecil, sedang dan besar. Hasilnya menunjukkan bahwa udang yang mempunyai ukuran besar tidak selalu mempunyai pertumbuhan yang cepat. Heterozigositas udang tambak yang berasal dari Aceh lebih tinggi dibandingkan dengan Sumbawa dan Jawa Timur. Sementara itu penelitian keragaman genetik udang windu di beberapa lokasi di Indonesia yang dilakukan oleh Moria et al. (2002) dengan menggunakan metode RAPD memberikan hasil bahwa keragaman induk asal Aceh jauh lebih tinggi dibandingkan induk dari daerah lain. Hal ini sesuai pula dengan penelitian Sugama et al. (1996) dengan teknik isozyme terhadap udang windu. Dikatakan lebih lanjut metode marka RAPD juga sangat potensial untuk digunakan pada udang penaeid. Lester (1983) menganalisis keragaman genetik beberapa spesies udang di Teluk Meksiko dengan metode allozyme diantaranya adalah Penaeus aztecus, P. seiferus, dan P. duororum. Diantara ketiga spesies yang diuji tidak ditemukan perbedaan genetik antara populasi tersebut. Sunden & Davis (1991) mengevaluasi keragaman Penaeus monodon populasi alam dari Meksiko, Panama, dan Ekuador dibandingkan dengan populasi budidaya yang tertutup sejak tahun 1983. Populasi-populasi tersebut dianalisis pada 26 lokus. Hasil analisa menunjukkan bahwa tingkat keragaman dan heterozigositas pada populasi budidaya dan alam sangat rendah, dengan heterozigositas rata-rata hanya 0,017.
Perbandingan
frekuensi alel di antara populasi alam menunjukkan tingkat yang sangat rendah, dan analisis struktur populasi menunjukkan rendahnya subdivisi populasi. Populasi budidaya menunjukkan tingkat heterozigositas yang sedikit lebih rendah dan mempunyai lebih sedikit alel daripada populasi di alam, tetapi tidak terbukti adanya silang dalam atau penurunan dalam ukuran populasi breeding efektif (Ne). Benzie et al. (1992) juga telah melakukan penelitian keragaman genetik populasi Penaeus monodon di Australia dan ditemukan adanya perbedaan genetik yang nyata antar populasi yang tersebar luas, yaitu di pantai barat, utara, dan timur Australia. Sedangkan beberapa lokus yang menyumbangkan perbedaan genetik yang nyata antar populasi adalah Gpi, Pgm, dan Mpi.
2.4. DNA Mitokondria Mitokondria merupakan organel berupa kantung yang diselaputi oleh dua membran yaitu membran luar dan dalam, sehingga memiliki dua kompartemen yaitu matriks mitokondria yang diselimuti langsung oleh membran dalam dan ruang antar membran.
Matriks mitokondria berupa cairan kental serupa gel,
dengan campuran ratusan jenis enzim dengan konsentrasi yang sangat tinggi, untuk proses oksidasi piruvat, oksidasi asam lemak, dan untuk menjalankan siklus asam trikarboksilat. Matriks mitokondria juga mengandung salinan identik DNA genom mitokondria, ribosom mitokondria, tRNA, dan berbagai jenis enzim yang diperlukan untuk ekspresi gen mitokondria (Artika, 2003). Molekul DNA mitokondria mempunyai banyak kelebihan sebagai penanda molekuler dalam mempelajari hubungan evolusi hewan pada berbagai tingkat. Hal ini disebabkan ukurannya relatif kecil, mengandung 13 gen penyandi protein, 22 gen penyandi tRNA, 2 penyandi rRNA, dan satu ruas DNA berukuran besar yang tidak menyandi protein.
Pola pewarisan melalui garis ibu yang
menyebabkan tidak ada rekombinan dan laju mutasi tinggi, sehingga mempunyai keunggulan tersendiri sebagai penanda molekuler (Avise, 1994).
Genom
mitokondria mempunyai variasi sekuens DNA yang beberapa kali lebih tinggi dibandingkan dengan DNA inti dan kecepatan evolusi 5 – 10 kali lebih cepat. 2.5. Hubungan Kekerabatan dan Jarak Genetik Filogenetik
merupakan
studi
tentang
hubungan
antar
organisme
berdasarkan penanda genetik. Di antaranya menguraikan hubungan secara evolusi antara organisme atau molekul, karena semua organisme antara satu dan lainnya ada hubungan keturunan. Pada periode sebelumya, hubungan kekerabatan diduga berdasarkan karakter morfologi organisme hidup atau dari fosil (Hall dalam Nuryanto, 2007). Walaupun demikian pada saat ini data molekuler, khususnya data sekuens DNA lebih banyak diminati untuk mengetahui studi filogenetik karena lebih akurat. Selain itu, dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan antara organisme.
Ditambahkan, data molekuler lebih mudah
digunakan sebagai pengukuran kuantitatif daripada karakter morfologi.
Menurut Li, 1997 dalam Nuryanto, 2007, hubungan evolusi antar organisme digambarkan dengan pohon filogenetik.
Pada filogeni molekuler,
pohon filogenetik dibuat berdasarkan perbedaan sekuens DNA antar individu atau sekuens alel dari gen individu tersebut. Ada 4 macam metode untuk membentuk pohon filogeni dari protein maupun data sekuens DNA. Metode tersebut adalah neighbour joining (NJ), maximum parsimony (MP), maximum likehood (ML), dan Bayesian (BAY). Beberapa penelitian tentang hubungan kekerabatan krustase khususnya udang telah bayak dilakukan, meskipun masing-masing penelitian menggunakan bagian DNA mitokondria yang berbeda. Sebagai contoh, Remigio et al. (2003) menganalisis hubungan kekerabatan fairy shrimp dari genus Branchinella berdasarkan 16S RNA, beberapa spesies Cherax dengan keragaman nukleotida berdasarkan 16S RNA, 12S RNA, COI, dan Cyt b (Munasinghe et al., 2003). Selanjutnya, Wilson et al. (2006) meneliti hubungan kekerabatan udang windu berdasarkan sekuens genom mitokondria.
Hubungan kekerabatan Penaeus
chinensis, P. japonicus, P. Penicillatus, P. vannamei, P. canaliculatus berdasarkan COI dan 16S rRNA DNA mitokondria (Quan et al., 2004).
III.
BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – Juni 2008. Pengamatan morfometrik udang jerbung dilakukan di Laboratorium Genetika, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor, sedangkan untuk analisis molekuler dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Balai Besar Riset Budidaya Laut Gondol dan Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Perikanan Air Tawar Sukamandi.
Selanjutnya sekuensing mtDNA dilaksanakan di Laboratorium
Teknologi Gen, Balai Penelitian Bioteknologi, Puspiptek Serpong. 3.2. Lokasi Pengambilan dan Penanganan Sampel Pengambilan sampel udang dilakukan pada lima lokasi yaitu lepas pantai Bengkulu; Selat Sunda, Panimbang, (Banten); lepas pantai Cilacap, Jawa Tengah; Pontianak, Kalimantan Barat; dan Selat Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pengambilan sampel pada masing-masing lokasi sebanyak 50 ekor. Pengambilan sampel dengan bantuan nelayan setempat menggunakan trammel net. Selanjutnya dari lokasi pengambilan, sampel diawetkan dalam larutan alkohol 70% sebelum dilakukan analisis lebih lanjut.
Penentuan lokasi pengambilan sampel
berdasarkan lokasi geografi yang berbeda (Gambar 2).
Gambar 2.
Lokasi pengambilan sampel udang jerbung, F. merguiensis
3.3.
Metode Penelitian
3.3.1. Pengukuran morfometrik Pengukuran morfologi menggunakan kaliper dengan ketelitian 0,01 mm, sementara untuk bobot menggunakan timbangan O-Hous dengan ketelitian 0,01 g. Pengukuran morfometrik (Gambar 3) merupakan modifikasi teknik pengukuran yang dilakukan oleh Dall (1957) dan Lester (1983). Pengukuran morfometrik meliputi panjang karapas parsial (PKP), kedalaman karapas (DKP), lebar karapas (LKP), panjang ruas pertama (PRP), panjang ruas kedua (PRD), panjang ruas ketiga (PRT), panjang ruas keempat (PRE), panjang ruas kelima (PRL), panjang ruas keenam (PRN), panjang total (PTO), panjang standar (PBD), panjang rostrum (RST), lingkar abdomen anterior (LAA), lingkar abdomen posterior (LAP), kedalaman ruas keenam (DRN), panjang prosertema (PST), exopod (EXP), endopod (END), telson (TLS), bobot total (BTO), dan bobot tanpa kepala (BTK). Ringkasan karakter morfometrik yang diukur dapat dilihat pada Tabel 1. PTO RST
PBD
DKP
PKP PRP PRD PST
PRL PRT PRE
DRN
PRN
TLS
END
Gambar 3.
EXP
Variabel-variabel morfometrik udang (Lester, 1983)
Tabel 1. Ringkasan karakter morfometrik udang yang diukur untuk pembandingan keragaman fenotipe modifikasi dari Dall (1957) dan Lester (1983) No
Karakter
1 2 3 4
PKP DKP LKP PRP
5
PRD
6
PRT
7
PRE
8
PRL
9
PRN
10
PTO
11
PBD
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
RST LAA LAP DRN PST EXP END TLS BTO BTK
Definisi Jarak dari ujung orbital ke sisi posterior karapas Jarak tertinggi antara bagian atas dan bawah karapas Jarak terlebar pada titik gigi rostral terakhir Jarak antara batas karapas posterior dan batas posterior dari segmen pertama Jarak antara batas karapas posterior ruas pertama hingga ke batas posterior kedua Jarak antara batas karapas posterior ruas kedua hingga ke batas posterior ketiga Jarak antara batas karapas posterior ruas ketiga hingga ke batas posterior keempat Jarak antara batas karapas posterior ruas keempat hingga ke batas posterior kelima Jarak antara batas karapas posterior ruas kelima hingga ke batas posterior keenam Jarak dari ujung rostrum hingga ke ujung telson dengan abodemen diluruskan Jarak panjang dari pangkal karapas pertama sampai karapas keenam dengan abodemen diluruskan Jarak dari batas posterior median hingga ke ujung rostrum Lingkar batas segmen kedua dan ketiga Lingkar batas segmen kelima dan keenam Kedalaman pada titik tengah ruas keenam Jarak dari pangkal sampai ke ujung prosertema Jarak dari pangkal hingga ke ujung exopod Jarak dari pangkal hingga ke ujung endopod Jarak dari pangkal hingga ke ujung telson Bobot total seluruh tubuh Bobot abdomen sepanjang bagian belakang karapas
3.3.2. Ekstraksi dan purifikasi Genom Ekstraksi untuk mendapatkan genom dilakukan berdasarkan modifikasi metode Ovenden (2000). Kaki renang diambil 0,5 mg, dihancurkan dalam tabung Eppendorf yang telah diisi larutan 10% chelex-100 sebanyak 250 µL. Sebelum diinkubasi dalam termoblock selama 3 - 4 jam dengan suhu 55oC ditambahkan 5 µL proteinase-K (10 mg/mL). Inkubasi dilanjutkan selama 8 menit pada suhu 89oC, didinginkan pada suhu kamar, dan ditambahan 55 µL TE (Tris-EDTA) buffer dengan pH 8,0 serta disetrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 13.000
rpm. Lapisan paling atas diambil dan dipindahkan pada tabung baru dan disimpan dalam suhu -20oC sebelum dilakukan proses lebih lanjut. Purifikasi Purification.
genom
udang
menggunakan
kit
QIAGEN
QIAquick
Genom sebanyak 100 µL dipindahkan ke tabung baru dan
ditambahkan binding buffer 5 kali genom, diflushing dengan minisentrifus dan dipindahkan ke dalam kolom filter (spin column) dan disentrifugasi selama 1 menit dengan kecepatan 13.000 rpm. Binding buffer dibuang, wash buffer 740 µL ditambahkan. Sebelum dan sesudah wash buffer dibuang, disentrifugasi selama 1 menit kecepatan 13.000 rpm. Penambahan EB elution 30 µL setelah dianginanginkan selama 2 menit dan disentrifugasi selama 1 menit 13.000 rpm. Tahap terakhir purifikasi, column spin dibuang, yang tertinggal berupa genom DNA murni. 3.3.3. Amplifikasi PCR DNA mitokondria Primer yang digunakan untuk amplifikasi sekuens mitokondria adalah 16S rRNA (F): 5’-CGC CTG TTT AAC AAA AAC AT-3’ (20 mer) dan 16S rRNA (R): 5’-CCG GTC TGA ACT CAG ATC ATG T-3’ (22 mer).
Amplifikasi
dilakukan menggunakan kit Ready-to-Go PCR Beads dengan komposisi masingmasing reaksi dalam tabung tersaji pada Tabel 2. Tabel 2.
Jenis dan jumlah bahan untuk amplifikasi PCR
Bahan
Jumlah (µL)
puReTaq Ready-To-Go PCR Beads • Pure Taq DNA polymerase • Tris HCl • KCl • MgCl2 • dNTP mix ddH2O
• 2,5 unit • 10 mM • 50 mM • 1,5 mM • 200 µM 21,75 µL
DNA
2,5 µL
Primer: Forward Reverse
0,625 µL 0,625 µL
Tabung yang berisi contoh dimasukkan ke dalam mesin PCR yang telah diprogram untuk tahap pertama yaitu proses denaturasi awal pada suhu 93oC
selama 2 menit. Tahap kedua sebanyak 30 siklus mulai dari proses denaturasi 93 o
C selama 0,5 menit. Proses annealing (penempelan primer) pada suhu 50oC
selama 0,5 menit. Proses ekstensi awal (elongasi) pada suhu 72oC selama 45 detik, selanjutnya proses ekstensi akhir pada suhu 72oC selama 5 menit dan 4oC selama 59 detik. Hasil PCR dianalisis dengan elektroforesis untuk mengetahui pola pita tunggal yang dihasilkan dari amplifikasi mtDNA. Bahan-bahan yang digunakan dalam proses elektroforesis adalah bubuk agarose 0,5 g, tris borate EDTA (TBE) 30 mL, dipanaskan hingga berwarna bening, dituang ke dalam cetakan gel dengan ketebalan 3 – 5 mm dan sisir dipasang untuk membentuk lubang (well).
Gel yang telah membeku dapat
langsung digunakan untuk elektroforesis direndam dalam larutan TBE. Tahap berikutnya contoh DNA dicampur dengan gel loading buffer dan dimasukkan ke dalam well-well yang terdapat dalam gel dengan menggunakan mikropipet termasuk marka molekuler DNA ladder 100 bp. Bak elektroforesis ditutup dan listrik dialirkan dengan tegangan 250 volt dan kuat arus 100 mA selama 30 menit. Sebagai pewarnaan digunakan etidium bromida dengan cara perendaman selama 10 menit dan pencucian air juga selama 10 menit.
Gel
diangkat dan dilepaskan dari cetakan, keberadaan DNA dilihat dengan UV iluminator dan didokumentasikan dengan kamera. 3.3.4. Sekuensing PCR untuk sekuensing menggunakan primer 16S rRNA dan reagent khusus untuk sekuens DNA; Big Dye (ABI Prism, Foster City, USA). Proses PCR seperti pada amplifikasi biasa, hanya menggunakan satu primer setiap reaksi ditambahkan pewarnaan Big Dye. Volume PCR 10 µL terdiri atas 1-1,5 DNA, 2 µL Big Dye, 6 µL H2O, dan 1 µL primer. Siklus PCR terdiri atas 3 tahap yaitu 95oC selama 15 menit, 43 oC selama 15 menit, dan 60 oC selama 4 menit. Sebelum dilakukan sekuensing dengan alat otomatis ABI Prism versi 3103 – Avant Genetic Analyzer (USA) hasil PCR dipurifikasi dengan prosedur Big Dye. Hasil sekuensing dapat dilihat secara manual dengan program sequence navigator (Applied Biosystem).
3.4.
Analisis Data Analisis data dibagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok data
morfometrik dan kelompok data molekuler.
Analisis diskriminan digunakan
untuk melihat perbedaan yang signifikan antar kelompok yang ditentukan oleh karakter morfologi yang diamati. Hasil pengukuran direlatifkan dengan panjang standar untuk menghindari keragaman ukuran dan kemungkinan umur yang berbeda.
Selanjutnya akan dikelompokkan karakter morfologi yang paling
mencirikan perbedaan tersebut. Komponen ini juga digunakan untuk melihat pengaruh yang paling kuat terhadap pembentukan populasi.
Analisis ini
menggunakan program SAS 1997 dengan prosedur PROC.PRINCOM dan program SPSS versi 15 yang berdasarkan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA). Analisis komponen utama merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menginterpretasikan sebagian besar informasi yang terdapat dalam suatu matriks data ke dalam bentuk grafik dan untuk mendapatkan peta penyebaran populasi serta nilai kesamaan di dalam maupun di luar kelompok. Hasil yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk gambar dendrogram. Data sekuensing nukleotida parsial sekuens 16S rRNA mtDNA diedit dengan bantuan software BIO dan dilakukan multiple alignment (pensejajaran berganda) dengan penelitian sekuensing sebelumnya yang tersedia pada Bank Gen dengan
NCBI
BLASTN
pada
level
nukleotida
http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/blast.cgi. Pensejajaran berganda dilakukan dengan bantuan Clustal W. Sedangkan analisis filogenetik dilakukan dengan bantuan software GENETYX versi 7 dengan metode UPGMA dan program MEGA versi 4,0 dengan metode Neighbour joining.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil 4.1.1. Diferensiasi Morfometrik Hasil analisis kanonikal terhadap 21 karakter morfometrik udang jerbung ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Karakter morfometrik udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis) dengan analisis Canonical Discriminant Univariate Statistics No.
Karakter morfometrik
Total STD
Pooled STD
Between STD
R2
F
Pr > F
1 Panjang karapas parsial (PKP)
0.0281
0.0269
0.0101 0.104372 3.9622
0.0045 **
2 Lebar karapas parsial (LKP)
0.0258
0.025
0.00857 0.088696 3.3092
0.0127 *
3 Kedalaman karapas parsial (DKP)
0.0291
0.0294 0.002573 0.006316 0.2161
0.9291
4 Panjang ruas pertama (PRP)
0.0252
0.0244 0.008399 0.089429 3.3392
0.0121 *
5 Panjang ruas kedua (PRD)
0.0208
0.0189
0.0101 0.190984 8.0264
0.0001 **
6 Panjang ruas ketiga (PRT)
0.0249
0.0229
0.0116 0.175905 7.2574
0.0001 **
7 Panjang ruas keempat (PRE)
0.0271
0.0253
0.0118 0.152203 6.1039
0.0002 **
8 Lingkar abdomen anterior (LAA)
0.0234
9 Kedalaman ruas kedua (DRD)
0.0384
0.0376
10 Panjang ruas kelima (PRL)
0.0216
0.0215 0.004841 0.040428 1.4325
0.022 0.009758 0.140155 0.0113
0.06992
5.542
0.0004 **
2.556
0.0416 * 0.2266
11 Panjang ruas keenam (PRN)
0.0218
0.0216 0.005167 0.045262 1.6119
0.1748
12 Lingkar abdomen posterior (LAP)
0.0375
0.0372 0.008346 0.039989 1.4163
0.2319
13 Kedalaman ruas keenam (DRN)
0.0233
0.0233 0.006184 0.056692 2.0434
0.0918
14 Panjang total (PTO)
0.1377
0.0991
0.1082 0.496981 33.592
0.0001 **
15 Rostrum (RST)
0.0659
0.0449
0.0544 0.548406 41.289
0.0001 **
16 Prosertema (PST)
0.0312
0.029
0.0141 0.163847 6.6624
0.0001 **
17 Exopod (EXP)
0.0237
0.0214
0.012 0.206437 8.8448
0.0001 **
18 Endopod (END)
0.0285
0.0269
0.0115 0.131941 5.1679
0.0007 **
19 Telson (TLS)
0.023
0.0219
20 Bobot tanpa kepala (BTK)
0.067 0.1018
21 Bobot total (BTO) * **
0.11206 4.2909
0.0027 **
0.0519
0.0482 0.417177 24.337
0.0001 **
0.0757
0.0772 0.463252 29.344
0.0001 **
0.00856
Berbeda nyata (P<0,05) Berbeda sangat nyata (P<0,01)
Tabel 3 menunjukkan bahwa diantara 21 karakter morfometrik udang jerbung yang diukur, 4 karakter tidak berbeda nyata (P>0,05), 3 karakter berbeda nyata (P<0,05), dan 13 karakter berbeda sangat nyata (P<0,01). Karakter yang tidak berbeda nyata meliputi kedalaman karapas parsial, panjang ruas kelima, panjang ruas keenam, kedalaman ruas keenam, dan lingkar abdomen posterior. Karakter yang berbeda nyata adalah lebar karapas parsial, panjang ruas pertama,
dan kedalaman ruas kedua, dan karakter yang berbeda sangat nyata adalah panjang karapas parsial kedua, ketiga dan keempat, lingkar abdomen anterior, panjang total, rostrum, prosertema, telson, endopod, exopod, dan bobot. Keeratan semua karakter morfologi antar populasi yang diteliti akan lebih nyata dengan menggunakan sharing component morfometrik antar daerah sampel. Pendugaan sharing component atau nilai kesamaan (Index of similarity) antar populasi dilakukan dengan menggunakan hasil analisis diskriminan berdasarkan kesamaan ukuran tubuh tertentu (Tabel 4). Tabel 4.
Nilai percampuran fenotipe dalam dan antar populasi (%) udang jerbung yang menunjukkan sharing component antar populasi
LOKASI Selat Sunda, Banten Pontianak, Kalbar Selat Lombok, NTB Bengkulu Cilacap, Jawa Tengah
Selat Sunda, Pontianak, Banten Kalbar 67,65 21,43 7,14 9,09 3,45
20,59 57,14 10,71 0,00 6,90
Selat Lombok, NTB 0,00 14,29 75,00 0,00 17,24
Bengkulu 0,00 3,57 0,00 86,36 0,00
Cilacap, Jawa Tengah 11,76 3,57 7,14 4,55 72,41
Total (%) 100 100 100 100 100
Keragaman internal pada populasi Selat Sunda adalah 67,65%, sharing dengan populasi Pontianak 20,50% dan Cilacap 11,76%. Keragaman internal populasi Pontianak 57,14% sharing dengan Selat Sunda 21,43%, dengan Selat Lombok 14,29%, dengan Bengkulu dan Cilacap 3,57%. Populasi Selat Lombok memiliki keragaman internal 75,00%, sedangkan bentuk 7,14% dimiliki oleh populasi Selat Sunda dan Cilacap, dan 10,71 dimiliki oleh Pontianak. Demikian juga dengan populasi Bengkulu dengan keragaman internal 86,36%, sharing dengan populasi Selat Sunda 9,09%, dan 4,55% dimiliki oleh populasi Cilacap. Sedangkan populasi Cilacap memiliki keragaman internal sebesar 72,41% dan membagi keragaman dengan populasi Selat Lombok sebesar 17,24% diikuti Pontianak 6,90%, dan Selat Sunda 3,45%. Hasil analisis penyebaran karakter morfologi memperlihatkan bahwa karakter morfologi udang dari Selat Sunda dan Cilacap mengumpul dan saling bersinggungan dengan populasi lainnya pada daerah nol garis axis X dan Y. Populasi Bengkulu sedikit bersinggungan dengan populasi Pontianak, sedangkan populasi Selat Lombok tidak bersinggungan dengan populasi Bengkulu. Group centroids dari kelima populasi tersebut berada di area sekitar garis nol dari axis X
dan Y (Gambar 4). 6
4 2
5 LOKASI LKS
1
2
5 4
Group GroupCentroids centroids
1
4
5Pontianak, Kalbar (5)
2
0
4Bengkulu (4) 3
3Selat Lombok, NTB (3)
-2 3
2Cilacap, Jawa Tengah (2) 1Selat Sunda, Banten (1)
-4 -6
-4
Gambar 4.
-2
0
2
4
6
Penyebaran karakter morfologi udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis) dari Banten, Jawa tengah, Bengkulu, Kalbar, dan NTB
Hasil analisis PCA karakter morfologi udang jerbung dengan pendekatan mahalonobis diperoleh nilai matrik jarak genetik (Tabel 4). Kekerabatan terjauh adalah populasi Jawa Tengah dengan NTB yaitu 32,46603, diikuti dengan populasi Cilacap dengan Pontianak sebesar 23,76638, Cilacap dengan Bengkulu 20,79215, Selat Lombok dengan Selat Sunda 17,99525, Pontianak dengan Selat Sunda 14,57902, Bengkulu dengan Selat Sunda 13,61027, Bengkulu dengan Selat Lombok 12,21179, Selat Lombok dengan Pontianak 6,76915, sedangkan yang terdekat adalah Cilacap dengan Banten yaitu 5,33364. Tabel 5. Nilai matrik jarak genetik antar populasi udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis) dari Banten, Jawa tengah, Bengkulu, Kalbar, dan NTB Populasi Banten Kalimantan Barat NTB Bengkulu Jawa Tengah
Banten
Kalimantan Barat
NTB
Bengkulu
Jawa Tengah
0 14,57902 17,99525 13,61027 5,33364
0 6,76915 10,27115 23,76638
0 12,21179 32,46603
0 20,79215
0
0
5
10
15
20
25 Pontianak, Kalbar
Selat Lombok, NTB Bengkulu Selat Sunda, Banten
Cilacap, Jawa Tengah
Gambar 5. Dendrogram jarak genetik udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis) dari Banten, Jawa tengah, Bengkulu, Kalbar, dan NTB Dalam bentuk dendrogram, kekerabatan kelima populasi alam udang jerbung tersebut digambarkan dalam dua kluster utama. Udang jerbung Banten dan Jawa Tengah menjadi satu kelompok, sedang kelompok lainnya udang jerbung kelompok Kalimatan Barat, NTB, dan Bengkulu (Gambar 5). 4.1.2. Diferensiasi Molekuler Fragmen 16S rRNA mtDNA yang diisolasi dari udang jerbung melalui teknik PCR diperlihatkan pada posisi sekitar 537 bp (Gambar 6).
537 bp
Gambar 6.
Fragmen tunggal daerah 16S rRNA mtDNA, yang diamplifikasi dari mtDNA udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis). M = penanda 100 bp (QIAGEN) 1-16 = mt DNA udang jerbung
Dengan menggunakan primer yang sama, fragmen 16S rRNA mtDNA tersebut disekuensing dan salah satu contoh hasil kromatografi fragmen 16S rRNA mtDNA berserta hasil pembacaannya ditampilkan pada Gambar 7. Hasil pembacaan selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.
Panjang sekuens yang
terbaca dari hasil sekuensing adalah 480 nukleotida, kemudian dilakukan pensejajaran berganda (multiple alignment) dengan data sekuens 16S rRNA mtDNA udang-udang Penaeid lainnya yang tersedia di Bank Gen (Gambar 8).
GGGTAACGTCTAGCCTGCCCACTGATTTAGTTTAAAGGGCCGCGGTATATTGACCGTGCGAAGGT AGCATAATCATTAGTCTTTTAATTGAAGGCTTGTATGAATGGTTGGACAAAAAGTAAGCTGTCTC AATTATAATAATTGAATTTAACTTTTAAGTGAAAAGGCTTAAATAAATTAAGGGGACGATAAGAC CCTATAAAGCTTGACAATAATTTAATTATACTATCAATTGTTAGTGTAACTTGGTTTTAATTAAA ATTTGTTGCGTTGGGGCGACGAGAATATAATAGGTAACTGTTCTTAAATATTTAATAACAAATAT AATTGAAAATTAGTGTGATCCTCTATTAGCGATTAAAAGATTAAGTTACTTTAGGGATAACAGCG TAATCTTCTTTGAGAGTCCACATCGACAAGAAGGTTTGCGACCTCGATGTTGAATTAAGGTATCC TTATGATGCAGCAGTTATAAAGGAAGGTCTGTTCGACCTTTAAATCCTTACATGATCTGGTTCCC AACCAGAAGTTTTTTGTTAGTCTTATACAGTTTTTTGTGCAAACCAAGCGGCGGTTTAAATTAAT AGTGTGGTGAGGTTGTGGTCAAGCGGCGGGGGGGTCTTGGCGTGAGCTTGATTTATAGTAGAGTT T
Gambar 7.
Kromatografi (atas) dan pembacaan sekuens fragmen 16S rRNA mtDNA (bawah) udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis)
Jumlah nukleotida yang disejajarkan antara udang jerbung penelitian dengan F. merguiensis dari Bank Gen (AF335280.1; Rungsithum et al., 2001) (Lampiran 2) sebagai pembanding sama, yaitu berukuran 480 nukleotida. Perbedaan sekuens ditemukan pada populasi Pontianak seperti ditunjukkan pada Gambar 8 sebanyak 6 nukleotida (5’-.....ACTGAT.....-3’) untuk sekuens ke-1 sampai ke-6 dan pada populasi Bengkulu sebanyak 4 nukleotida (5’-.....CGAC.....-3’) di sekuens ke-19, 21, 22, dan 23. Nukleotida yang khusus dimiliki oleh F. merguiensis adalah pada sekuens ke-398 terdapat basa A, sedangkan untuk udang Penaeid yang lain tidak ditemukan. Homologi hasil analisis blastN untuk susunan basa nukleotida udang jerbung hasil penelitian dengan F. merguiensis yang tersedia di Bank Gen adalah sebesar 98%-100% (Lampiran 3).
Fenneropenaeus merguiensis_AF335280.1 Fenneropenaeus silasi_AF401305.1 Fenneropenaeus indicus_AF335279.1 Fenneropenaeus indicus_DQ149968.1 Fenneropenaeus penicillatus_AY264912.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143982.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143981.1 Fenneropenaeus merguiensis NTB Fenneropenaeus merguiensis Jawa Tengah Fenneropenaeus merguiensis Kalbar Fenneropenaeus merguiensis Bengkulu Fenneropenaeus merguiensis Banten
CTGCCCACTGATTTAGTTTAAAGGGCCGCGGTATATTGACCGTGCGAAGGTAGCATAATC . ... . .. . . . . .. .. .. . .. . . . . .. . . . . . .. . .. . .. . .. .. . .. . . .. . .. . . . .. . . ... . .. . . . . .. .. .. . .. . . . . .. . . . . . .. . .. . .. . .. .. . .. . . .. . .. . . . .. . . ... . .. . . . . .. .. .. . .. . . . . .. . . . . . .. . .. . .. . .. .. . .. . . .. . .. . . . .. . . ... . .. . . . . .. .. .. . .. . . . . .. . . . . . .. . .. . .. . .. .. . .. . . .. . .. . . . .. . . ... . .. . . . . .. .. .. . .. . . . . .. . . . . . .. . .. . .. . .. .. . .. . . .. . .. . . . .. . . ... . .. . . . . .. .. .. . .. . . . . .. . . . . . .. . .. . .. . .. .. . .. . . .. . .. . . . .. . . ... . .. . . . . .. .. .. . .. . . . . .. . . . . . .. . .. . .. . .. .. . .. . . .. . .. . . . .. . . ... . .. . . . . .. .. .. . .. . . . . .. . . . . . .. . .. . .. . .. .. . .. . . .. . .. . . . .. . ACTGAT. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . C. GAC . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ... . .. . . . . .. .. .. . .. . . . . .. . . . . . .. . .. . .. . .. .. . .. . . .. . .. . . . .. .
60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60
Fenneropenaeus merguiensis_AF335280.1 Fenneropenaeus silasi_AF401305.1 Fenneropenaeus indicus_AF335279.1 Fenneropenaeus indicus_DQ149968.1 Fenneropenaeus penicillatus_AY264912.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143982.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143981.1 Fenneropenaeus merguiensis NTB Fenneropenaeus merguiensis Jawa Tengah Fenneropenaeus merguiensis Kalbar Fenneropenaeus merguiensis Bengkulu Fenneropenaeus merguiensis Banten
ATTAGTCTTTTAATTGAAGGCTTGTATGAATGGTTGGACAAAAAGTAAGCTGTCTCAATT .. . . .. . ... .. . .. . .. . . . .. . . .. . . .. . .. . . .. . . . . . .. . . . . ... . .. . . . .. .. . . .. . ... .. . .. . .. . . . .. . . .. . . .. . .. . . .. . . . . . .. . . . . ... . .. . . . .. .. . . .. . ... .. . .. . .. . . . .. . . .. . . .. . .. . . .. . . . . . .. . . . . ... . .. . . . .. .. . . .. . ... .. . .. . .. . . . .. . . .. . . .. . .. . . .. . . . . . .. . . . . ... . .. . . . .. .. . . .. . ... .. . .. . .. . . . .. . . .. . . .. . .. . . .. . . . . . .. . . . . ... . .. . . . .. .. . . .. . ... .. . .. . .. . . . .. . . .. . . .. . .. . . .. . . . . . .. . . . . ... . .. . . . .. .. . . .. . ... .. . .. . .. . . . .. . . .. . . .. . .. . . .. . . . . . .. . . . . ... . .. . . . .. .. . . .. . ... .. . .. . .. . . . .. . . .. . . .. . .. . . .. . . . . . .. . . . . ... . .. . . . .. .. . . .. . ... .. . .. . .. . . . .. . . .. . . .. . .. . . .. . . . . . .. . . . . ... . .. . . . .. .. . . .. . ... .. . .. . .. . . . .. . . .. . . .. . .. . . .. . . . . . .. . . . . ... . .. . . . .. .. . . .. . ... .. . .. . .. . . . .. . . .. . . .. . .. . . .. . . . . . .. . . . . ... . .. . . . ..
120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120
Fenneropenaeus merguiensis_AF335280.1 Fenneropenaeus silasi_AF401305.1 Fenneropenaeus indicus_AF335279.1 Fenneropenaeus indicus_DQ149968.1 Fenneropenaeus penicillatus_AY264912.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143982.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143981.1 Fenneropenaeus merguiensis NTB Fenneropenaeus merguiensis Jawa Tengah Fenneropenaeus merguiensis Kalbar Fenneropenaeus merguiensis Bengkulu Fenneropenaeus merguiensis Banten
ATAATAATTGAATTTAACTTTTAAGTGAAAAGGCTTAAATAAATTAAGGGGACGATAAGA .. . . . . .. . . .. .. .. . .. .. . . . .. . . . . ... .. . . . . . . . ... . . . . ... . . . . . . .. .. . . . . .. . . .. .. .. . .. .. . . . .. . . . . ... .. . . . . . . . ... . . . . ... . . . . . . .. .. . . . . .. . . .. .. .. . .. .. . . . .. . . . . ... .. . . . . . . . ... . . . . ... . . . . . . .. .. . . . . .. . . .. .. .. . .. .. . . . .. . . . . ... .. . . . . . . . ... . . . . ... . . . . . . .. .. . . . . .. . . .. .. .. . .. .. . . . .. . . . . ... .. . . . . . . . ... . . . . ... . . . . . . .. .. . . . . .. . . .. .. .. . .. .. . . . .. . . . . ... .. . . . . . . . ... . . . . ... . . . . . . .. .. . . . . .. . . .. .. .. . .. .. . . . .. . . . . ... .. . . . . . . . ... . . . . ... . . . . . . .. .. . . . . .. . . .. .. .. . .. .. . . . .. . . . . ... .. . . . . . . . ... . . . . ... . . . . . . .. .. . . . . .. . . .. .. .. . .. .. . . . .. . . . . ... .. . . . . . . . ... . . . . ... . . . . . . .. .. . . . . .. . . .. .. .. . .. .. . . . .. . . . . ... .. . . . . . . . ... . . . . ... . . . . . . .. .. . . . . .. . . .. .. .. . .. .. . . . .. . . . . ... .. . . . . . . . ... . . . . ... . . . . . . ..
180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180
Fenneropenaeus merguiensis_AF335280.1 Fenneropenaeus silasi_AF401305.1 Fenneropenaeus indicus_AF335279.1 Fenneropenaeus indicus_DQ149968.1 Fenneropenaeus penicillatus_AY264912.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143982.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143981.1 Fenneropenaeus merguiensis NTB Fenneropenaeus merguiensis Jawa Tengah Fenneropenaeus merguiensis Kalbar Fenneropenaeus merguiensis Bengkulu Fenneropenaeus merguiensis Banten
CCCTATAAAGCTTGACAATAATTTAATTATACTATCAATTGTTAGTGTAACTTGGTTTTA . .. .. . . . . .. .. . . .. . . . ... . .. . .. . . .. . .. . . .. . .. .. . .. . . .. . ... . .. . . .. .. . . . . .. .. . . .. . . . ... . .. . .. . . .. . .. . . .. . .. .. . .. . . .. . ... . .. . . .. .. . . . . .. .. . . .. . . . ... . .. . .. . . .. . .. . . .. . .. .. . .. . . .. . ... . .. . . .. .. . . . . .. .. . . .. . . . ... . .. . .. . . .. . .. . . .. . .. .. . .. . . .. . ... . .. . . .. .. . . . . .. .. . . .. . . . ... . .. . .. . . .. . .. . . .. . .. .. . .. . . .. . ... . .. . . .. .. . . . . .. .. . . .. . . . ... . .. . .. . . .. . .. . . .. . .. .. . .. . . .. . ... . .. . . .. .. . . . . .. .. . . .. . . . ... . .. . .. . . .. . .. . . .. . .. .. . .. . . .. . ... . .. . . .. .. . . . . .. .. . . .. . . . ... . .. . .. . . .. . .. . . .. . .. .. . .. . . .. . ... . .. . . .. .. . . . . .. .. . . .. . . . ... . .. . .. . . .. . .. . . .. . .. .. . .. . . .. . ... . .. . . .. .. . . . . .. .. . . .. . . . ... . .. . .. . . .. . .. . . .. . .. .. . .. . . .. . ... . .. . . .. .. . . . . .. .. . . .. . . . ... . .. . .. . . .. . .. . . .. . .. .. . .. . . .. . ... . .. .
240 240 240 240 240 240 240 240 240 240 240 240
Fenneropenaeus merguiensis_AF335280.1 Fenneropenaeus silasi_AF401305.1 Fenneropenaeus indicus_AF335279.1 Fenneropenaeus indicus_DQ149968.1 Fenneropenaeus penicillatus_AY264912.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143982.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143981.1 Fenneropenaeus merguiensis NTB Fenneropenaeus merguiensis Jawa Tengah Fenneropenaeus merguiensis Kalbar Fenneropenaeus merguiensis Bengkulu Fenneropenaeus merguiensis Banten
ATTAAAATTTGTTGCGTTGGGGCGACGAGAATATAATAGGTAACTGTTCTTAAATATTTA .. . . . .. . ... . . .. .. . . .. .. . . . . . . . . .. . . .. . . . .. . .. .. . . ... . . . .. ... .. . . . .. . ... . . .. .. . . .. .. . . . . . . . . .. . . .. . . . .. . .. .. . . ... . . . .. ... .. . . . .. . ... . . .. .. . . .. .. . . . . . . . . .. . . .. . . . .. . .. .. . . ... . . . .. ... .. . . . .. . ... . . .. .. . . .. .. . . . . . . . . .. . . .. . . . .. . .. .. . . ... . . . .. ... .. . . . .. . ... . . .. .. . . .. .. . . . . . . . . .. . . .. . . . .. . .. .. . . ... . . . .. ... .. . . . .. . ... . . .. .. . . .. .. . . . . . . . . .. . . .. . . . .. . .. .. . . ... . . . .. ... .. . . . .. . ... . . .. .. . . .. .. . . . . . . . . .. . . .. . . . .. . .. .. . . ... . . . .. ... .. . . . .. . ... . . .. .. . . .. .. . . . . . . . . .. . . .. . . . .. . .. .. . . ... . . . .. ... .. . . . .. . ... . . .. .. . . .. .. . . . . . . . . .. . . .. . . . .. . .. .. . . ... . . . .. ... .. . . . .. . ... . . .. .. . . .. .. . . . . . . . . .. . . .. . . . .. . .. .. . . ... . . . .. ... .. . . . .. . ... . . .. .. . . .. .. . . . . . . . . .. . . .. . . . .. . .. .. . . ... . . . .. ...
300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300
Fenneropenaeus merguiensis_AF335280.1 Fenneropenaeus silasi_AF401305.1 Fenneropenaeus indicus_AF335279.1 Fenneropenaeus indicus_DQ149968.1 Fenneropenaeus penicillatus_AY264912.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143982.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143981.1 Fenneropenaeus merguiensis NTB Fenneropenaeus merguiensis Jawa Tengah Fenneropenaeus merguiensis Kalbar Fenneropenaeus merguiensis Bengkulu Fenneropenaeus merguiensis Banten
ATAACAAATATAATTGAAAATTAGTGTGATCCTCTATTAGCGATTAAAAGATTAAGTTAC .. . . . . . .. . ... . . . .. . . . . ... . . . .. . .. .. .. . . . ... . . .. . . . . .. . . .. ... .. . . . . . .. . ... . . . .. . . . . ... . . . .. . .. .. .. . . . ... . . .. . . . . .. . . .. ... .. . . . . . .. . ... . . . .. . . . . ... . . . .. . .. .. .. . . . ... . . .. . . . . .. . . .. ... .. . . . . . .. . ... . . . .. . . . . ... . . . .. . .. .. .. . . . ... . . .. . . . . .. . . .. ... .. . . . . . .. . ... . . . .. . . . . ... . . . .. . .. .. .. . . . ... . . .. . . . . .. . . .. ... .. . . . . . .. . ... . . . .. . . . . ... . . . .. . .. .. .. . . . ... . . .. . . . . .. . . .. ... .. . . . . . .. . ... . . . .. . . . . ... . . . .. . .. .. .. . . . ... . . .. . . . . .. . . .. ... .. . . . . . .. . ... . . . .. . . . . ... . . . .. . .. .. .. . . . ... . . .. . . . . .. . . .. ... .. . . . . . .. . ... . . . .. . . . . ... . . . .. . .. .. .. . . . ... . . .. . . . . .. . . .. ... .. . . . . . .. . ... . . . .. . . . . ... . . . .. . .. .. .. . . . ... . . .. . . . . .. . . .. ... .. . . . . . .. . ... . . . .. . . . . ... . . . .. . .. .. .. . . . ... . . .. . . . . .. . . .. ...
360 360 360 360 360 360 360 360 360 360 360 360
Fenneropenaeus merguiensis_AF335280.1 Fenneropenaeus silasi_AF401305.1 Fenneropenaeus indicus_AF335279.1 Fenneropenaeus indicus_DQ149968.1 Fenneropenaeus penicillatus_AY264912.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143982.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143981.1 Fenneropenaeus merguiensis NTB Fenneropenaeus merguiensis Jawa Tengah Fenneropenaeus merguiensis Kalbar Fenneropenaeus merguiensis Bengkulu Fenneropenaeus merguiensis Banten
TTTAGGGATAACAGCGTAATCTTCTTTGAGAGTCCACATCGACAAGAAGGTTTGCGACCT .. . . .. .. . . . . . . .. . .. . .. ... . .. . . . .. . . . ._. .. . . . .. . . .. .. . . .. . ... .. . . .. .. . . . . . . .. . .. . .. ... . .. . . . .. . . . ._. .. . . . .. . . .. .. . . .. . ... .. . . .. .. . . . . . . .. . .. . .. ... . .. . . . .. . . . ._. .. . . . .. . . .. .. . . .. . ... .. . . .. .. . . . . . . .. . .. . .. ... . .. . . . .. . . . ._. .. . . . .. . . .. .. . . .. . ... .. . . .. .. . . . . . . .. . .. . .. ... . .. . . . .. . . . . A. .. . . . .. . . .. .. . . .. . ... .. . . .. .. . . . . . . .. . .. . .. ... . .. . . . .. . . . . A. .. . . . .. . . .. .. . . .. . ... .. . . .. .. . . . . . . .. . .. . .. ... . .. . . . .. . . . . A. .. . . . .. . . .. .. . . .. . ... .. . . .. .. . . . . . . .. . .. . .. ... . .. . . . .. . . . . A. .. . . . .. . . .. .. . . .. . ... .. . . .. .. . . . . . . .. . .. . .. ... . .. . . . .. . . . . A. .. . . . .. . . .. .. . . .. . ... .. . . .. .. . . . . . . .. . .. . .. ... . .. . . . .. . . . . A. .. . . . .. . . .. .. . . .. . ... .. . . .. .. . . . . . . .. . .. . .. ... . .. . . . .. . . . . A. .. . . . .. . . .. .. . . .. . ...
420 419 419 419 419 420 420 420 420 420 420 420
Fenneropenaeus merguiensis_AF335280.1 Fenneropenaeus silasi_AF401305.1 Fenneropenaeus indicus_AF335279.1 Fenneropenaeus indicus_DQ149968.1 Fenneropenaeus penicillatus_AY264912.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143982.1 Fenneropenaeus merguiensis_AY143981.1 Fenneropenaeus merguiensis NTB Fenneropenaeus merguiensis Jawa Tengah Fenneropenaeus merguiensis Kalbar Fenneropenaeus merguiensis Bengkulu Fenneropenaeus merguiensis Banten
CGATGTTGAATTAAGGTATCCTTATGATGCAGCAGTTATAAAGGAAGGTCTGTTCGACCT TCGATG . TG .ATT . A . GTAT . C. TATGATGCAGCAG .TAT . . A . G . A . GTCTG. TCGA .C TCGATG . TG .ATT . A . GTAT . C. TATGATGCAGCAG .TAT . . A . G . A . GTCTG. TCGA .C TCGATG . TG .ATT . A . GTAT . C. TATGATGCAGCAG .TAT . . A . G . A . GTCTG. TCGA .C TCGATG . TG .ATT . A . GTAT . C. TATGATGCAGCAG .TAT . . A . G . A . GTCTG. TCGA .C .. . . .. . . . ... . . . . . . . . .. . . . ... . . .. .. . . . . ... . . .. . .. . . .. . . . ... . . . . . . . . .. . . . ... . . .. .. . . . . ... . . .. . .. . . .. . . . ... . . . . . . . . .. . . . ... . . .. .. . . . . ... . . .. . . .. . . .. . .. . . .. .. . . .. . . . ... . . . . . . . . .. . . . ... . . .. .. . . . . ... . . .. . . .. . . .. . .. . . .. .. . . .. . . . ... . . . . . . . . .. . . . ... . . .. .. . . . . ... . . .. . . .. . . .. . .. . . .. .. . . .. . . . ... . . . . . . . . .. . . . ... . . .. .. . . . . ... . . .. . . .. . . .. . .. . . .. .. . . .. . . . ... . . . . . . . . .. . . . ... . . .. .. . . . . ... . . .. . . .. . . .. . .. . . ..
480 479 479 479 479 466 466 480 480 480 480 480
Gambar 8. Multiple alignment 480 bp sekuens fragmen dari 16S rRNA mtDNA udang jerbung hasil penelitian dengan Feneropenaeus merguiensis dan udang Penaeid yang lain di Bank Gen. Titik-titik menandakan nukleotida tersebut identik dengan sekuen di atasnya Perbedaan genetik antar populasi udang jerbung dapat dilihat dengan menggunakan
dendrogram.
menunjukkan bahwa
Hasil
analisis
kekerabatan
antar
populasi
populasi udang jerbung yang diteliti terbagi menjadi 2
kelompok (kluster) utama yaitu kluster pertama yang terdiri atas NTB, Jawa Tengah, Banten, dan Bengkulu, sedangkan untuk Kalimantan Barat membentuk kluster tersendiri (Gambar 9).
0,0116
0,0715 0,0116 0,3741 0,0354 0,1069 0,4810
Gambar 9.
Bengkulu
Cilacap, Jawa Tengah Selat Sunda, Banten Selat Lombok, NTB Pontianak, Kalbar
Dendrogram UPGMA berdasarkan nukleotida daerah 16S rRNA mtDNA udang jerbung (Feneropenaeus merguiensis) berukuran 480 bp dari Bengkulu, Jawa Tengah, Banten, NTB, dan Kalimantan Barat
4.2. Pembahasan Udang jerbung memiliki karakter fenotipe (ukuran-ukuran karapas, bobot tubuh, panjang tubuh, dan panjang ruas) beragam.
Tabel 3 menunjukkan
koefisien keragaman yang bervariasi pada semua populasi yang berbeda. Beberapa komponen terlihat tidak berbeda nyata (P>0,05) antar populasi dianggap gen yang dikonservasi oleh semua populasi. Dengan kata lain, karakter tersebut dipertahankan oleh semua populasi walaupun habitatnya berbeda. Komponenkomponen tersebut di antaranya adalah kedalaman karapas parsial, panjang segmen kelima, panjang segmen keenam, lingkar abdomen posterior, dan kedalaman segmen keenam. Sementara itu banyak komponen yang mempunyai pertumbuhan spesifik pada masing-masing populasi sehingga menjadikan pembeda dalam morfometrik, yang ditunjukkan dengan perbedaan yang nyata (P<0,05) maupun sangat nyata (P<0,01). Karakter panjang karapas, panjang ruas, panjang total, telson, endopod, exopod, dan bobot menunjukkan koefisien keragaman yang cukup tinggi (P<0,01). Karakter-karakter tersebut, khususnya yang berhubungan dengan produksi perikanan budidaya seperti bobot dan porsi edibel dapat digunakan untuk seleksi. Kesamaan morfologi seperti yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan adanya percampuran (sharing component) yang terukur antara populasi satu dengan yang lainnya. Persamaan ukuran variabel merupakan gejala percampuran antar masing-masing daerah melalui percampuran gen di masa lalu.
Nilai
kesamaan ukuran tubuh memberikan penjelasan adanya komponen yang merupakan sifat yang dipertahankan atau dibagikan sewaktu terjadi aliran gen (gene flow). Kesamaan ukuran tubuh dalam kelompok yang paling besar dalam populasi adalah pada populasi Bengkulu (86,36%). Dengan demikian populasi Bengkulu memiliki keragaman internal rendah dan sedikit dimiliki oleh populasi lainnya. Populasi Pontianak mempunyai nilai sharing component internal kecil dibandingkan populasi lainnya, dengan kata lain populasi internal Pontianak lebih beragam. Dengan demikian, populasi Pontianak bisa dijadikan sebagai sumber induk dalam program seleksi. Pengelompokan komponen tersebut masih terbatas pada sifat yang diamati. Semakin banyak sifat yang diamati kemungkinan akan diperoleh gambaran yang lebih bagus.
Dengan demikian perlu melengkapi
dengan karakter lain yang lebih banyak untuk mendukung kesempurnaan posisi masing-masing populasi di dalam persilangannya.
Hasil penelitian terhadap
udang galah dari tiga populasi alam didapatkan nilai percampuran fenotipe dalam populasi berkisar 68,33%-90,00% sedang antar populasi 5,00%-26,67% (Hadie et al., 2002).
Nilai percampuran fenotipe udang windu dalam populasi 40,9%-
82,2% dan antar populasi 0,0%-27,4% (Sulaeman et al., 2002 diacu dalam Parenrengi et al., 2007). Sedangkan pada udang pama (Penaeus semisulcatus) nilai percampuran fenotipe dalam populasi berkisar 67,8%-93,1% dan antar populasi 0,0%-30,5% (Parenrengi et al., 2007). Penyebaran karakter udang jerbung pada Gambar 4 menunjukkan bahwa populasi Bengkulu terpisah dengan populasi Selat Lombok. Populasi yang paling luas penyebaran karakter morfologinya adalah Pontianak dan Selat Lombok, sedangkan populasi Bengkulu, Selat Sunda, dan Cilacap karakter-karakter morfologi yang diamati cenderung mengumpul.
Hal tersebut sesuai dengan
sharing component yang dimilikinya, dimana Pontianak mempunyai keragaman antar populasi terbesar. Menurut Hadie (1997) penyebaran udang biasanya dibagi ke dalam beberapa populasi dan dengan berjalannya waktu, populasi jadi terpecah oleh beberapa faktor geografi ke dalam populasi yang terisolasi dan setiap populasi mungkin membentuk karakter yang berbeda, yang akhirnya dapat membedakan populasi satu dengan yang lainnya. Penelitian dengan pengamatan karakter morfologi seperti morfometrik udang jerbung dapat digunakan sebagai pembeda. Menurut Suparyanto et al. (1999) kedekatan kelompok ditunjukkan dengan singgungan antar sampel. Pada gambar penyebaran tersebut populasi Cilacap dan Banten dekat dengan semua populasi. Hubungan kedekatan populasi Pontianak dan Bengkulu lebih kecil dibandingkan Bengkulu-Banten-Cilacap. Sementara itu untuk populasi Bengkulu dan NTB tidak bersinggungan, sehingga dikatakan kedua populasi tersebut jauh hubungan keeratannya. Dengan demikian keberadaan populasi Banten dan Cilacap menyatukan populasi Bengkulu dan NTB tersebut. Matriks jarak genetik antar populasi dalam Tabel 5 merupakan dasar pengelompokan dalam penggambaran dendrogramnya. Nilai jarak genetik terjauh dimiliki populasi Cilacap-Pontianak, sedangkan yang terkecil populasi Cilacap-
Selat Sunda.
Nilai jarak genetik dapat digunakan sebagai acuan dalam
persilangan antar populasi.
Jika perkawinan dilakukan yang hubungan
kekerabatannya jauh diduga akan dapat meningkatkan keragaan secara nyata dibandingkan dengan yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat. Hal tersebut dikarenakan heterosisnya hanya berasal dari kelompoknya saja, sedangkan untuk kekerabatan yang jauh dapat diperoleh keragaman dari keduanya (Suparyanto et al., 1999).
Implikasi dari nilai tersebut, adalah persilangan antara populasi
Pontianak X Cilacap atau Cilacap X Lombok atau Cilacap X Bengkulu, diduga dapat meningkatkan keragaan secara nyata dibanding dengan Cilacap X Banten atau Lombok X Pontianak. Dendrogram hasil analisis morfometrik memperlihatkan 2 kelompok (cluster) utama yaitu kelompok Banten dan Jawa Tengah, dan kelompok Kalimatan Barat, NTB, dan Bengkulu.
Terjadinya pengelompokan ini
kemungkinan disebabkan oleh persamaan lokasi geografi.
Sesuai dengan
pendapat (Tave, 1995) penampilan fenotipe sangat dipengaruhi oleh habitatnya. Dimana fenotipe suatu individu merupakan ekspresi dari genotipe dan lingkungan. Dengan lokasi geografi yang sama diduga kondisi kualitas air juga relatif sama. Berdasarkan Gambar 4 tersebut, masing-masing populasi mempunyai karakter dan ukuran tubuh yang hampir sama. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hadie et al. (2002) terhadap udang galah beberapa bagian tubuh yang karena stres lingkungan dapat mempengaruhi perkembangannya.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa faktor lingkungan dapat mempengaruhi laju pertumbuhan organ.ertentu. Prosedur teknik pengukuran morfometrik memperlihatkan bentuk tunggal untuk deskriptif selanjutnya dengan rata-rata ukuran dalam sampel dan variasi bentuk. Studi ini merupakan cara estimasi morfologi tubuh yang penting untuk membedakan populasi udang jerbung di Indonesia.
Perbedaan populasi ini
mungkin terjadi sebagai adaptasi lokal, respon terhadap proses seleksi, isolasi jarak, dan genetic drift, ataupun faktor sejarah (Hartl & Clark, 1989). Hal ini sesuai pula dengan pernyataan Cataudella et al. (1987) diacu dalam Hadie (1997) bahwa ikan mas mempunyai variasi eko-fenotipik yang luas, sehingga seleksi buatan dapat memungkinkan terjadinya variasi di beberapa regional (negara).
Variasi geografik pada karakter spesies adalah suatu fungsi dari keragaman genetik
yang
mencakup
populasi
lokal,
perbedaan
lingkungan,
dan
pengalamannya dalam ruang dan waktu. Hartl & Clark (1989) menguji keragaman sehubungan dengan jarak geografis organisme air menyatakan bahwa jarak populasi yang jauh, besar kemungkinan untuk berbeda, bermutasi, dan terseleksi. Seleksi dan pemutusan aliran gen (dalam batas waktu) sama pentingnya dengan memacu perbedaan morfologi dalam populasi yang terisolasi. Suatu dugaan dari teori ini bahwa seleksi dapat membuat isolasi populasi yang berbeda mempunyai perbedaan karakter gen berbeda, sebagai hasil pilihan atau kejadian historis. Beberapa pendapat mengakui bahwa bagian tubuh yang berbeda tumbuh dengan kecepatan yang berbeda, dengan demikian bagian tubuh tidak tetap pada proporsinya selama pertumbuhannya (McGlade & Boulding, 1985 dalam Hadie, 1997). Oleh karena itu perlu untuk menguji perbedaan ukuran dari suatu populasi untuk mengetahui perubahan bentuk yang terjadi dalam populasi dengan menganalisis ukuran yang berbeda tersebut. Hasil analisis morfometrik memberikan hasil relatif berbeda dengan analisis sekuensing nukleotida daerah 16S rRNA mtDNA udang jerbung. Populasi udang yang mempunyai hubungan kekerabatan terdekat adalah Cilacap dan Bengkulu.
Kekerabatan yang paling jauh adalah Pontianak-Cilacap dan
Pontianak-Bengkulu, disusul Pontianak-Selat Sunda, dan Pontianak-Selat Lombok. Secara genotipe memiliki hubungan kekerabatan yang dekat seperti udang jerbung asal Bengkulu dan Cilacap, tetapi secara fenotipe jauh. Ditinjau dari lingkungannya kedua lokasi tersebut sangat berbeda. Populasi Pontianak secara genotipe dan fenotipe memiliki hubungan kekerabatan yang sangat jauh dengan Bengkulu dan Cilacap. Pendugaan juga disebabkan kondisi lingkungan Pontianak dengan Cilacap masih relatif sama. Hal tersebut sesuai dengan teori yang diungkapkan Tave (1995) bahwa fenotipe suatu individu ditentukan oleh genetik dan lingkungannya dimana individu tersebut hidup dan berkembang biak. Selanjutnya Suzuki et al. (1989) mengatakan, penampakan keragaman fenotipe pada beberapa sifat kuantitatif sebagian besar dipengaruhi oleh adaptasi lingkungan, bukan semata-mata oleh komponen genetik.
Multiple alignment (Gambar 8) menunjukkan keunikan yang dimiliki oleh udang jerbung dari populasi Pontianak, yaitu adanya perbedaan 6 nukleotida (5’.....ACTGAT.....-3’) untuk sekuens ke-1 sampai ke-6.
Adanya perbedaan
nukleotida tersebut kemungkinan yang menyebabkan jarak genetik populasi Pontianak tersebut jauh dengan populasi lain. Keunikan lain juga dimiliki oleh populasi Bengkulu dengan 4 perbedaan nukleotida (5’-.....C-GAC.....-3’) pada sekuens ke-19, 21, 22, dan 23. Hal ini juga dapat diduga populasi Bengkulu membentuk subpopulasi tersendiri sehingga dekat kekerabatannya dengan populasi Cilacap. Sementara untuk populasi Selat Sunda, Selat Lombok, dan Cilacap dari sekuens ke-60 sampai ke-480 bp tidak ada perbedaan susunan nukleotida terhadap F. merguiensis Bank Gen. Perbedaan nukleotida 480 bp F. merguiensis terhadap udang-udang penaeid yang lain adalah adanya nukleotida A (adenin) pada sekuens ke 398 sedangkan untuk udang Penaeid yang lain tidak diketemukan. Adanya perbedaan nukleotida tersebut, diduga sebagai karakter spesifik spesies F. merguiensis. Pada Penaeid yang lain kemungkinan disebabkan adanya delesi (deletion) satu nukleotida tersebut, sehingga untuk udang Penaeid lain multiple alignment hanya berjumlah 479 bp dari 480. Homologi yang dilakukan dengan analisis blastN, udang jerbung hasil penelitian dengan F. merguiensis yang ada di Bank Gen menghasilkan 98% untuk populasi Kalimantan Barat, 99% untuk populasi Bengkulu dan 100% untuk populasi Banten, Cilacap, dan NTB, sehingga hubungan kekerabatan yang dimiliki dengan F. merguiensis yang ada di Bank Gen sangat dekat. Berdasarkan hasil tersebut juga mengindikasikan bahwa sebagian besar materi genetik udang jerbung hasil penelitian mengandung materi genetik udang-udang putih lain yang dibandingkan. DNA mitokondria adalah penanda berdasarkan silsilah maternal (haploid) pada semua individu. Udang-udang yang terkait dengan maternal akan memiliki urutan sekuens yang serupa, sementara yang tidak terkait hubungan maternal akan berbeda. Adanya perbedaan susunan dan komposisi basa-basa nukleotida antara udang-udang Fenneropenaeus maupun udang-udang Penaeid yang lain dianalisis berdasarkan sekuens 16S rRNA mtDNA (480 bp) menunjukkan ada perbedaan
materi genetik antar udang tersebut. Demikian juga apabila dibandingkan antar populasi, walaupun demikian dibandingkan dengan data Bank Gen mempunyai keeratan, maka jelas terdapat hubungan kekerabatan yang tinggi (Gambar 10 dan Gambar 11).
Proses kehidupan udang dan berbagai pengaruh mutasi dan
lingkungannya,
udang
mengalami
perbedaan
masing-masing.
Apabila
dibandingkan udang jerbung hasil penelitian dengan Bank Gen terlihat jelas bahwa adanya perbedaan susunan basa-basa nukleotida (insersi, delesi, mutasi). Hal ini karena ada beberapa delesi dan insersi nukleotida pada udang tersebut. Apabila ada satu saja situs yang mengalami delesi atau insersi dari hasil perbandingan tersebut, maka dianggap udang tersebut sudah memiliki delesi atau insersi. Jumlah delesi atau insersi bervariasi antar individu. Fenneropenaeus merguiensis China Fenneropenaeus merguiensis Singapura Fenneropenaeus merguiensis Australia Fenneropenaeus merguiensis Thailand Fenneropenaeus merguiensis Banten Fenneropenaeus merguiensis Jateng Fenneropenaeus merguiensis Bengkulu Fenneropenaeus merguiensis NTB Fenneropenaeus merguiensis Kalbar
Gambar 10.
Dendrogram udang jerbung hasil penelitian dengan Fenneropenaeus merguiensis populasi lain dari Bank Gen berdasarkan sekuens nukleotida 16S rRNA mtDNA dengan panjang 480 bp
Berdasarkan Gambar 10, terlihat bahwa populasi Bengkulu, NTB, Kalbar, dan membentuk satu kelompok, sedangkan populasi Banten dan Jawa Tengah membentuk satu kelompok dengan populasi Thailand, Australia, Singapura, dan China walaupun mempunyai jarak yang jauh. Hal ini diduga kemungkinan karena udang sampel yang digunakan untuk analisis ini hanya satu sebagai wakil dari masing-masing populasi.
Selain itu, data sekuens untuk udang Thailand,
Singapura, Australia, dan China tidak diketahui apakah dari populasi alam atau budidaya, mengingat udang ini di negara-negara tersebut sudah dibudidaya secara baik. Untuk mengetahui lebih jauh hubungan kekerabatan udang jerbung hasil penelitian dengan udang-udang Penaeid yang lain, juga dilakukan analisis sekuens 16S rRNA mtDNA 480 bp terhadap beberapa udang yang tersedia di Bank Gen (Gambar 11). Berdasarkan multiple alignment dari Fenneropenaeus merguiensis dengan F. Silasi, F. Indicus, dan F. Penicilatus didapatkan banyak perbedaan susunan nukleotida pada sekuens ke-421 sampai 480. Hal tersebut kemungkinan salah satu yang dapat membedakan keempat spesies tersebut. Fenneropenaeus silasi Fenneropenaeus penicillatus Fenneropenaeus merguiensis Pontianak, Kalbar Fenneropenaeus merguiensis Cilacap, Jawa Tengah Fenneropenaeus merguiensis Selat Sunda, Banten Penaeus semisulcatus Fenneropenaeus chinensis Litopenaeus vannamei Penaeus monodon Marsupenaeus japonicus
Gambar 11.
Dendrogram udang jerbung hasil penelitian dengan udang-udang Penaeid dari populasi lain dari Bank Gen berdasarkan sekuens nukleotida 16S rRNA mtDNA dengan panjang 480 bp
Pada Gambar 11 tersebut udang jerbung hasil penelitian lebih berdekatan dengan Fenneropenaeus yang lain, sedangkan dengan paling jauh kekerabatannya dengan Mersupenaeus japonicus disusul Litopenaeus vannamei dan Penaeus monodon. Hal tersebut dimungkinkan adanya mutasi terhadap udang Penaeid tersebut yang diduga juga masih dalam satu keturunan. Penerapan studi genetik dalam permasalahan pemuliaan dan konservasi didasari oleh teori genetika populasi, yang mempelajari faktor-faktor yang menentukan komposisi genetik suatu populasi dan bagaimana faktor-faktor tersebut berperan dalam proses evolusi (Halliburton, 2004 diacu dalam Suzzana,
2007). Terdapatnya beberapa faktor yang sangat berperan dalam kejadian evolusi pada suatu populasi yaitu mutasi, rekombinasi, seleksi alam, genetic drift, gene flow, dan perkawinan yang tidak acak. Faktor-faktor tersebut akan memunculkan keragaman genetik pada suatu populasi, dan hal ini merupakan informasi yang paling berguna untuk memahami kekuatan-kekuatan yang menyebabkan evolusi (Cavalli-sforza, 1998). Keragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu populasi beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya (Halliburton, 2004 diacu dalam Suzzana, 2007). Informasi dasar yang dibutuhkan dalam upaya pemuliaan dan pelestarian biodiversity adalah penyebaran dan stok populasi di alam. Beberapa ahli genetik menyarankan bahwa usaha untuk menyelamatkan individu cukup efektif hanya untuk mempertahankan keragaman genetik (Lande, 1988 diacu dalam Suzzana, 2007). Dalam hal ini data dasar mengenai keragaman genetik mutlak diperlukan untuk memulai pemuliaan dan domestikasi suatu individu. Penelitian ini akan memberikan informasi yang berguna bagi program pemliaan udang jerbung di masa mendatang. Lebih lanjut sebagai informasi pendukung, untuk mengetahui sudah sejauh mana hubungan kekerabatan udang jerbung dengan beberapa kelas Crustacea yang lain, juga dilakukan analisis berdasarkan sekuens yang sama yaitu 16S rRNA mtDNA dari masing-masing individu yang diambil dari Bank Gen. Pada Gambar 12 adalah dendrogram hasil analisis hubungan kekerabatan tersebut. Berdasarkan Gambar 11 dapat diketahui F. merguiensis
dari NTB
mempunyai hubungan kekerabatan yang paling dekat dengan F. merguiensis (Bank Gen) disusul dengan F. indicus dan F. chinensis. Penaeus monodon dan Litopenaeus vannamei membentuk subkelompok tersendiri, demikian juga untuk cherax, rajungan, dan kepiting. Sedangkan untuk lobster dan Daphnia memiliki kekerabatan yang lebih jauh.
F enneropenaeus m erguiensis G en B ank
F enneropen aeus m erguiensis N T B F enneropenaeus indicus F enneropenaeus chinensis P enaeus m onodon Litopenaeus vannam ei C herax quadricarinatus P ortunus pelagicus (rajungan) Scylla serrata (kepaiting ) P anilurus inflatus (lobster) D aphnia sp
Gambar 12.
Dendrogram udang jerbung hasil penelitian dengan beberapa kelas Crustacea yang lain, berdasarkan sekuens nukleotida 16S rRNA mtDNA dengan panjang 480 bp (Bank Gen)
V. 4.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Diferensiasi morfologi yang terekspresi dari perbedaan karakter ukuran tubuh, membentuk 2 kelompok utama yaitu Bengkulu, Kalimantan Barat, NTB dan Banten, Jawa Tengah 2. Populasi Kalimantan Barat mempunyai keragaman morfologi paling besar antar populasi. Nilai jarak genetik morfologi udang jerbung dari populasi terjauh adalah Jawa Tengah dengan NTB dan jarak terdekat adalah udang jerbung dari populasi Jawa Tengah dengan Banten 3. Analisis sekuens nukleotida daerah 16S rRNA mtDNA udang jerbung dari 5 populasi didapatkan dendrogram dengan 2 kelompok utama yaitu kelompok Kalimantan Barat dan kelompok NTB, Banten, Bengkulu, Jawa Tengah. 4. Sekuens 16S rRNA mtDNA dapat digunakan sebagai penanda untuk membedakan dan mengelompokkan udang jerbung di Indonesia baik intra dan inter spesies 5. Udang jerbung dari populasi yang diteliti memiliki homologi 16S rRNA mtDNA yang tinggi (98%-100%) dengan Fenneropenaeus merguiensis.
5.2.
Saran 1. Perlu penelitian lebih lanjut dengan melakukan pensejajaran nukleotida di bagian 16S RNA utuh dan bagian mitokondria lainnya untuk lebih memantapkan hubungan kekerabatan dan jarak genetik antar populasi udang jerbung 2. Populasi udang jerbung dari Kalimantan Barat dapat digunakan sebagai bahan untuk selective breeding
DAFTAR PUSTAKA Adi, C.P. 2007. Optimasi Penangkapan Udang Jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di Lepas Pantai Cilacap. Tesis. Sekolah Pascasarjana, IPB. 47 pp. Artika, IM. 2003. Struktur, fungsi, dan biogenesis mitokondria dalam Mitochondrial Medicine. Eijkman Lecture Series 1. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta. Avise, J.C. 1994. Moleculer Markers, Natural History, and Evolution. Champman and Hall, New York, 511pp. Benzie, J.A.H., S. Frusher, and E. Ballment. 1992. Geographycal variation in allozyme frequencies of population Penaeus Monodon (crustacea: decapoda) in Australia. Aust. J. Mar. Freshwater Res., 43:715-725. Cavalli-Sforza, L.L. 1998. The DNA revolution in population genetic. TIG, 14(2):60-65. Dall W. 1957. The revision of the Australia species of Penaeinae (Crustacea decapoda: Penaeidae). Aust. J. Mar. Freshwater Res., 8: 136-231. Farfante, P.I. and B. Kensley. 1997. Penaeoid and sergestoid shrimps and prawns of the world. Keys and diagnoses for the families and genera. Mémoires du Musée nationale de I’Histoiré naturelle, Paris 175: 1-233. Ferguson, A.J.B. Taggart, P. A Prodohl, O. Mc Meel, C.Thompson, C.Stone, Mc. Ginnity and R.A Hynes. 1995. The Application markers to the study & conservation of fish population with special referens to salmon. J. Fish Biol., 47:103-126. Francisco, A.K. and P.M.G. Junior. 2005. Genetic distance between broodstocks of the marine shrimp Litopenaeus vannamei (Decapoda, Penaeidae) by mtDNA analyses. Genetics and Moleculer Biology, 28(2): 258-261. Frankham, R. 1999. Quantitative genetic in conservation biology. Genet. Res. Com., 74: 237-244. Hadie, W. 1997. Studi Morfometrik dan Keragaman Genetika pada Populasi Ikan Lele (Clarias batrachus) di Sungai Musi dan Bengawan Solo. Tesis. Program Studi Biologi, Universitas Indonesia, 34 pp. Hadie, W., K. Sumantadinata, O. Carman, dan L.E. Hadie. 2002. Pendugaan jarak genetik populasi udang galah (Macrobrachium rosenbergii) dari Sungai Musi, Sungai Kapuas, dan Sungai Citanduy dengan Truss morphometric untuk mendukung program pemuliaan. J. Pen. Per. Indonesia, 8: 1-7.
Harlt, D.L. and A.G. Clark. 1989. Principle of Population Genetics. Second edition. 682 pp. Haryanti, S.B. Moria, G.N. Permana, K. Wardana, dan A. Mozaki. 2005. Pembenihan Penaeus semisulcatus/Penaeus merguiensis serta pemantapan teknik pembenihan Litopenaeus vannamei melalui kontrol biologi. Laporan Proyek Penelitian. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol. 17 pp. Hoang, T. 2001. The Banana prawn-the right species for shrimp farming. J. World Aquaculture Soc., 32(4): 40-43. Imron. 1998. Keragaman Morfologis dan Biokomia beberapa Stok Keturunan Induk Udang Windu (Penaeus monodon) Asal Laut yang Dibudidayakan di Tambak. Tesis. Program Pascasarjana Institut pertanian Bogor. 69 pp. Jackson, A.L.M. and T.M. Bert. 2004. Genetic diversity in the mtDNA control region and population structure in the pink shrimp Farfantepenaeus duorarum. Journal of Crustacean Biology, 24(1): 101-109. Koswara, B. 1985. Stok Udang Jebung (Penaeus merguiensis De Man) di Perairan Cirebon dan Alternatif Pengelolaannya. Tesis. Program Pascasarjana. IPB, 74 pp. Leary, R.F., F.W. Allendorf, and K.L. Knudsen. 1985. Development instability and high meristic counts in interspesific hybrid of salmonid fishes. Evolution, 39: 1.318-1.326. Lester, L.J. 1983. Developing selective breeding program for penaeid shrimp mariculture. Aquaculture, 33 : 41-50. Martosubroto, P. 1977. Musim pemijahan dan pertumbuhan udang jerbung, Penaeus merguiensis de Man dan udang dogol, Metapenaeus ensis de Haan di perairan Tanjung Karawang. Prosiding seminar ke II Perikanan Udang, 15-18 Maret 1977, Jakarta, p. 7-20. Moria, S.B., Haryanti, IG.N. Permana, K. Sugama. 2002. Marka genetik untuk variabilitas pertumbuhan udang windu, Penaeus monodon dari sumber induk berbeda melalui analisis mt-DNA-RFLP. J. Pen. Per. Indonesia, 8: 1-9. Moria, S.B., Haryanti, K. Sugama, dan IG.N. Permana. 2002. Variasi genetik induk udang windu, Penaeus monodon melalui analisa RAPD (Random aplification polymorphism DNA). J. Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 9: 29-33. Murphy, N.P. and C.M. Austin. 2003. Moleculer taxonomy and phylogenetics of some species of Australian palaemonid shrimps. J. Crust. Biol, 23(1): 169177.
Naamin, N. 1975. Synopsis Biologi Udang Penaeid (Penaeus merguiensis de Man), Penaeus monodon Fabricus. Bahan pendidikan. Jakarta: Departemen Pertanian, Balai penelitian dan Pengembangan Perikanan, Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Naamin, N. 1984. Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguensis de Man) di Perairan Arafura dan Alternatif Pengelolaannya. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 185 pp. Nuryanto, A. 2007. Phylogenetic Relationships and Genetic Population Structure of Giant Clams (Tridacna crocea and Tridacna maxima) in Indonesia. Disertasi. Program Studi Biologi, IPB 115 pp. Ovenden, J.R. 2000. Development of Restriction Enzyme Markers for Red Snapper (Lutjanus erythropterus and Lutjanus malabaricus) Stock Discrimination using Genetic Variation in Mitochondrial DNA. Molecular Fisheries Laboratory, Shouthern Fisheries Center, 18 pp. Parenrengi, A., Sulaeman, W. Hadie, dan A. Tenriulo. 2007. Keragaman morfologi udang pama (Penaeus semisulcaatus) dari perairan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. J. Ris. Akuakultur, 2(1): 27-32. Powers, D.A. 1991. Evaluating genetics of fish. Advances Genetics, 29: 119-228. Quan, J., Z. Zhuang,J. Denga, J. Dai, and Y. Zhang. 2004. Phylogenetic relationships of 12 Penaeidae shrimp species deduced from mitochondrial DNA sequences. Biochemical Genetics, 42(9-10):331-345 Remigio, E.A., B.V. Timus, and P.D.N. Hebert. 2003. Phylogenetic systematics of the Australian fairy shrimp genus Brachinella based on mitochondrial DNA sequences. Journal of Crustacean Biology, 23(2): 436-442. Rungsithum, J., W. Chotigeat, A. Chunumpai, and A. Phongdara. 2001. Molecular Phylogenetic Analysis of Penaeus merguiensis and Penaeus indicus. http://www.NCBI.nlm.gov/Bank Gen. Ryman, N. and F. Utter. 1987. Population Genetics and Fishery Management. Washington Sea Grant Program, London, 420 pp. Sirajudin. 1997. Morfometrik dan Meristik Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.) Asal Cilacap, dan Keberadaan Virus MBV (Monodon baculovirus). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Soelistyawati, D.T. 1996. Genetika Populasi. Jurusan Budidaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor, 55 pp.
Soewardi, K. 2007. Pengelolaan Keragaman Genetik Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor, 153 pp. Strauss, R. E. and C. E. Bond. 1990. Taxonomic Methods: Morphology. In Methods for Fish Biology: C. B. Shreck & P. B Moyle (Eds.). Am. Fish. Soc. Bethesda, Maryland, USA, p. 281-283. Sumantadinata, K. 1980. Comparison of electrophoretic alelle frequences and genetic variability of common carp stocks from Indonesia and Japan. Aquaculture, 88: 263-271. Sunden, S.L.F. dan S.K. Davis. 1991. Evolution of genetics variation in a domestic population of P.enaeus. monodon (Boone): a comparison with three natural population. Aquaculture, 97: 131-142. Suparyanto, A., T. Purwadaria, dan Subandriyo. 1999. Pendugaan jarak genetik dan faktor peubah pembeda bangsa dan kelompok domba di Indonesia melalui pendekatan analisis morfologi. J. Ilmu Ternak dan Veteriner, 4: 8087. Suzzana, E. 2007. Analisis Hubungan Kekerabatan Berdasarkan Morfologi, Aktivitas Harian, Gambaran Darah, dan Karakter DNA Mitokondrion beberapa Subspesies Burung Beo (Gracula religiosa Linnaeus 1758). Disertasi. Institut Pertanian Bogor. 157 pp. Suzuki, D.T., A.J.F. Grifitths, J.H. Miller, and R.C. Lewontin. 1989. An Introduction to Genetic Analysis 4th. Ed. W.H. Freeman & Co, New York, 767 pp. Tave, D. 1995. Selective breeding programme for medium-sized fish farms. FAO Fish. Tech. Paper. No. 352. Rome, Italy. 122 pp. Warwick, E.J., Astuti, J.M., dan Hardjosubroto, W. 1995. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press, 479 pp. Widiyati, A. 2003. Keragaman Fenotipe dan Genotipe Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dari Danau Tempe (Sulawesi Selatan) dan beberapa Sentra Produksi di Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana, IPB. 41 pp. Wilson, K., V. Cahill, E. Ballment, and J. Benzie. 2006. The complete sequence of the mitochondrial genome of tha Crustacean Penaeus monodon: Are Malacostacean Crustacean more closely related to Insects than to Brachiopods? Australian Institute of Marine Science, Townsville, Australia. 12 pp. Yatim, W. 1986. Genetika. Edisi ke-5. Tasrito, Bandung, 379 pp.