2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Udang Jerbung (Penaeus merguiensis deMan) Udang jerbung (Penaeus merguiensis deMan) merupakan salah satu jenis
udang
yang
memiliki
nilai
ekonomis
tinggi.
Udang
jerbung
memiliki habitat di kedalaman 10 m hingga 45 m, dengan substrat berlumpur (Anonim 2004). Udang jerbung memiliki klasifikasi sebagai berikut (Fabricius 1798 diacu dalam Anonim 2009): Filum
: Arthropoda
Subfilum
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Famili
: Penaeidae
Genus
: Penaeus
Jenis
: Penaeus merguiensis deMan
Udang jerbung memiliki morfologi yakni panjang total sebesar 25 cm dan memiliki rostrum sebanyak 7 hingga 8 buah. Udang jerbung berwarna putih polos atau sedikit gelap. Morfologi udang jerbung dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Udang jerbung (Penaeus merguiensis deMan) Sumber: [Image 2004]
Udang jerbung memiliki nama dagang antara lain udang putih, banana prawn, white shrimp dan indian banana. Udang adalah komoditas utama dari sektor perikanan yang umumnya diekspor dalam bentuk beku, headless dan peeled. Potensi produksi udang di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat.
Jumlah ekspor udang pada periode Januari-Maret tahun 2008 dan 2009 mengalami peningkatan sebesar 6,05% (PDSI 2009). Grafik jumlah produksi udang jerbung dapat dilihat pada Lampiran 6. 2.2. Limbah Udang Saat ini terdapat 170 perusahaan pengolahan udang di Indonesia. Kapasitas produksi pengolahan udang sekitar 500.000 ton per tahun (Prasetyo 2004). Dari proses pengolahan tersebut 75% dari berat total udang menjadi limbah, yaitu bagian kulit dan kepala (Gilberg dan Stenberg 2001 diacu dalam Kelly et al. 2005). Komposisi kimia kulit kepala dan kulit udang dapat dilihat pada Tabel 1. Limbah udang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis berdasarkan jenis pengolahannya yaitu (Suptijah et al. 1992): (1). Kepala udang yang merupakan hasil samping industri pembekuan udang tanpa kepala. (2). Kulit udang yang merupakan hasil samping industri pembekuan udang kelas mutu dua atau industri pengalengan udang. (3). Campuran antara kepala udang dan kulit udang yang berasal dari industri pengalengan udang. Tabel 1. Komposisi kimia kepala dan kulit udang Komposisi
Jumlah (%)
Air
88,7
Protein (bk)
32,5
Lemak (bk)
9,8
Abu (bk)
20
Karbohidrat (bk)
1,5
Sumber: Ravichandran et al. (2009)
Kulit udang dapat diolah lebih lanjut sebagai bahan baku kitin dan kitosan yang bernilai ekonomis tinggi. Proses pembuatan kitin dari kulit udang melalui proses deproteinasi dan demineralisasi. Kitin merupakan komponen utama penyusun cangkang pada insekta dan krustasea. Kitin memiliki ikatan kimia
berupa N-asetil-D-glukosamin yang bersifat biodegradable, sehingga kitin mudah untuk dicerna (Kristbergsson dan Arason 2007). 2.3. Demineralisasi Demineralisasi merupakan suatu proses yang bertujuan menghilangkan mineral-mineral yang terdapat pada limbah udang. Limbah udang secara umum mengandung 20-50% mineral tergantung dari spesiesnya (Ravichandran et al. 2009). Kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium fosfat (Ca3(PO4)2) merupakan komposisi
utama
pada
mineral
yang
terkandung
dalam
kulit
udang.
Proses demineralisasi dilakukan dengan penambahan HCl 1 N pada perbandingan bobot bahan dan volume pengekstrak sebanyak 1:7 dan dilakukan pemanasan selama 1 jam pada suhu 90 oC (Suptijah et al. 1992). Reaksi antara asam klorida (HCl) dengan kalsium menghasilkan kalsium klorida (CaCl2) (Angka dan Suhartono 2000). Reaksi proses demineralisasi dapat dilihat pada Gambar 2. CaCO3 + 2 HCl
CaCl2 + H2CO3
H2CO3
H2O + CO2
CaCO3 + 2 HCl
CaCl2 + H2O + CO2
Ca3(PO4)2 + 6 HCl
CaCl2 + H3PO4
Gambar 2. Reaksi proses demineralisasi (Bastaman 1989 diacu dalam Wardhani 2007). 2.4. Mineral Mineral adalah elemen anorganik yang terdapat di alam. Mineral merupakan salah satu komponen gizi yang dibutuhkan oleh makhluk hidup (Raton 1982 diacu dalam Clydesdale 1988). Mineral memiliki muatan positif, sehingga di dalam tubuh mineral berfungsi sebagai elektrolit. Pergerakan air di dalam sel akan mengarah pada larutan elektrolit yang berkonsentrasi lebih tinggi melalui membran semipermeabel. Membran semipermeabel akan meneruskan air dan menahan elektrolit, sehingga terjadi keseimbangan tekanan osmosis (Almatsier 2006). Kekurangan mineral dalam jangka waktu tertentu dapat menunjukkan tanda-tanda defisiensi. Kelebihan mineral dapat menyebabkan efek toksisitas. Sebagian besar mineral memiliki kisaran asupan aman yang luas, sehingga
untuk mencegah kemungkinan defisiensi dan efek toksisitas perlu dilakukan komsumsi makanan yang bervariasi (Underwood dan Mertz 1987 diacu dalam Fennema 1996). 2.5. Makromineral Mineral
digolongkan
kedalam
makromineral
dan
mikromineral.
Makromineral adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari (Almatsier 2006). Makromineral dibutuhkan dalam pembentukan jaringan tulang mupun sebagai ko-faktor enzim. Makromineral yang dibutuhkan dalam pembentukan jaringan kulit udang adalah kalsium, magnesium, kalium dan fosfor (Darmono 1995). Makhluk hidup pada lingkungan perairan mengatur penyerapan mineral melalui insang, kulit dan mulut (Kaushik 2001). 2.5.1. Kalsium (Ca) Kalsium merupakan kation divalen berukuran radius 0,95 x 10-12 m. Kalsium dalam sel hidup membentuk ikatan kompleks dengan protein, karbohidrat, dan lemak. Ikatan kalsium bersifat selektif dan mampu berikatan dengan oksigen netral, termasuk grup alkohol dan karbonil (Fennema 1996). Kalsium
(Ca)
merupakan
mineral
utama
yang
berperan
dalam
pembentukan dan pertumbuhan struktur tulang, menjaga keseimbangan osmotik, aktifitas otot dan transmisi rangsangan syaraf (Bronner 1997). Udang memperoleh kalsium dari habitat perairan dan pakan. Perairan mengandung kalsium sebesar 50-60% dari total kebutuhan kalsium. Pakan udang dapat menambah asupan kalsium. Kekurangan kalsium dapat menghambat pertumbuhan, pembentukan tulang serta mengakibatkan dekalsifikasi (Guillaume et al. 2001). Kalsium karbonat, kalsium fosfat dan kitin merupakan penyusun utama dari kulit udang (Gilberg dan Stenberg 2001 diacu dalam Kelly et al. 2005). Kulit udang mengandung 98,5% kalsium dari total mineral (Darmono 1991 diacu dalam Darmono 1995). Pemanfaatan kalsium karbonat antara lain meliputi suplemen kalsium, industri cat, industri kertas serta industri plastik (BCCF 2007). Kalsium karbonat menurut SNI 06-0385-1989 diklasifikasikan menjadi tiga jenis yakni jenis K, jenis C dan jenis CC. Jenis K adalah tepung kalsium
karbonat yang dhasilkan dari penggilingan batu kapur. Jenis C adalah tepung kalsium karbonat yang dihasilkan dari penggilingan batu kalsit. Jenis CC adalah tepung kalsium karbonat yang dihasilkan dari proses reaksi dan pengendapan (BSN 1989a). Kalsium karbonat (CaCO3) digunakan pada industri farmasi sebagai suplemen, industri cat untuk meningkatkan opasity dan porosity cat, industri kertas sebagai pelapis kertas serta industri plastik untuk meningkatkan moulding
characteristic
(BCCF
2007).
Pemanasan
kalsium
karbonat
menghasilkan kalsium oksida (CaO). Kalsium oksida menurut SNI 0807-1989-A digunakan pada industri kertas sebagai recovery agent untuk mengendapkan selulosa (BSN 1989b). Kalsium oksida menurut SNI 15-0714-1989 digunakan pada industri gula untuk pemurnian nira (BSN 1989c). Penambahan air dengan kalsium oksida menghasilkan kalsium hidroksida Ca(OH)2. Pemanfaatan kalsium hidroksida Ca(OH)2 menurut SNI 06-6639-2002 sebagai zat flokulan yang dapat mengendapkan logam berat pada pengolahan air limbah industri peleburan tembaga (BSN 2002). 2.5.2. Magnesium (Mg) Magnesium merupakan salah satu makromineral yang berperan dalam sistem fisiologis hewan yang berhubungan erat dengan kalsium serta fosfor. Sekitar 70% dari total Mg dalam tubuh ditemukan dalam tulang dan sebagian ditemukan dalam jaringan lunak dan cairan jaringan (Darmono 1995). Metabolisme magnesium memiliki kesamaan dengan metabolisme kalsium. Magnesium adalah ko-faktor yang merupakan faktor utama di dalam aktivitas
enzim
terutama
enzim
fosfat
transferase,
dekarboksilase
dan
asil transferase selama proses osmoregulasi, sintesis protein dan proses pertumbuhan (Guillaume et al. 2001). 2.5.3. Kalium (K) Kalium merupakan logam golongan 1A dan logam yang berada pada periode 4. Kalium memiliki sifat kimia yakni memiliki muatan monovalen (Cotton dan Wilkinson 2007). Kalium merupakan logam alkali yang memiliki
sifat pereduksi aktif, sehingga memiliki kecenderungan untuk melepas elektron saat berinteraksi dengan unsur nonlogam (Clydesdale 1988). Kalium adalah kation terpenting cairan intrasel maupun cairan ekstrasel. Kalium mempengaruhi aktivitas otot, keseimbangan asam-basa dan tekanan osmotik didalam sel (Harper et al. 1979). Kalium berinteraksi dengan natrium dan potasium dalam regulasi enzim, sedangkan interaksi kalium dengan sodium mempengaruhi keseimbangan ion pada ekstra sel (Guillaume et al. 2001). Kekurangan kalium dapat menyebabkan anoreksia, tetanus dan kematian. Hewan perairan membutuhkan kalium sebanyak 0,3 – 1,2% yang dipengaruhi oleh konsentrasi kalium pada air (Guillaume et al. 2001). 2.5.4. Fosfor (P) Fosfor merupakan salah satu mineral utama dalam tulang. Fosfor dan kalsium membentuk senyawa hidroksiapatit. Fosfor berperan dalam sistem sel sebagai fosfoprotein, asam nukleat dan fosfolipida. Pembebasan fosfor di dalam tulang dipengaruhi oleh vitamin D (Almatsier 2006). Kekurangan fosfor menyebabkan gangguan pertumbuhan tubuh dan terjadi proses demineralisasi. Udang memerlukan fosfor dalam pembentukan jaringan kutikula. Sumber utama ketersediaan fosfor berasal dari perairan yang dapat diserap secara langsung oleh udang. Udang memiliki sistem pencernaan yang sederhana, sehingga udang hanya mampu menggunakan jenis fosfor yang berikatan
dengan
sodium
atau
potasium
seperti
potasium
monofosfat
(Guillaume et al. 2001). 2.6. Mikromineral Mikromineral adalah mineral yang dibutuhkan oleh tubuh kurang dari 100 mg sehari (Almatsier 2006). Mikromineral yang berperan dalam pembentukan jaringan kulit udang antara lain mangan, tembaga, besi dan seng (Guillaume et al. 2001). Kekurangan mikromineral dapat menyebabkan pertumbuhan kulit udang menjadi tidak sempurna (Darmono 1995). Kebutuhan mikromineral dapat dipenuhi secara alami melalui sumber mineral di perairan. Mikromineral terlibat dalam menjaga kesetimbangan tekanan osmotik dan berperan sebagai ko-faktor beberapa enzim (Clydesdale 1988).
2.6.1. Mangan (Mn) Mangan merupakan salah satu mikromineral yang terdistribusi secara luas pada jaringan hewan maupun tumbuhan. Mangan berperan dalam pembentukan jaringan tulang pada hewan. Defisiensi mangan dapat menyebabkan gangguan pada pertumbuhan tulang (Leach dan Harris 1997). Kekurangan asupan Mn menyebabkan dwarfism (Guillaume et al. 2001). Dwarfism merupakan kelainan pertumbuhan sehingga proporsi tubuh menjadi tidak sempurna. Mangan (Mn) berfungsi pada proses pembentukan kutikel pada udang. Defisiensi mangan (Mn) dapat menyebabkan pembentukan cangkang menjadi tidak sempurna (Nabryzki 2007). 2.6.2. Tembaga (Cu) Logam tembaga (Cu) diketahui sebagai mineral esensial sejak tahun 1924. Tembaga berperan penting dalam pembentukan hemoglobin. Tembaga ditemukan dalam protein plasma seperti seuroplasmin yang berperan dalam pembebasan zat besi dari sel ke plasma (Darmono 1995). Tembaga berperan sebagai ko-faktor enzim cupro yang berperan dalam pembentukan pigmen pada jaringan kulit dan mempengaruhi kekuatan tulang dan jaringan darah (Harris 1997). Tembaga (Cu) berfungsi pada proses pembentukan struktur kulit udang dan berperan penting dalam mendukung penyerapan ion besi dan seng. Defisiensi tembaga dapat menyebabkan penurunan kemampuan enzim SOD (Cu-Zn-superoxide dismutase) dan katarak (Guillaume et al. 2001). 2.6.3. Besi (Fe) Besi (Fe) terdapat dalam tubuh makhluk hidup berikatan dengan protein. Ikatan terpenting antara Fe dan protein adalah hemoglobin (Hb). Kekurangan zat besi dapat menyebabkan anemia (Darmono 1995). Jenis crustacea tidak memiliki hemoglobin, sehingga kebutuhan zat besi lebih rendah dibandingkan pada ikan. Besi (Fe) berperan dalam pembentukan haemocyanin pada sistem aliran oksigen di dalam tubuh udang. Udang menyerap ion besi dari perairan melalui cangkang, dimana besi mampu berikatan dengan protein pada cangkang udang sebagai metalloprotein (Guillaume et al. 2001).
2.6.4. Seng (Zn) Seng merupakan unsur logam transisi pada golongan IIB. Seng bermuatan positif yang merupakan kation divalen (2+). Seng dapat membentuk ikatan hidroksida dengan penambahan basa pada larutan garamnya sehingga membentuk senyawa Zn(OH)2 (Cotton dan Wilkinson 2007). Seng (Zn) berperan dalam pembentukan jaringan kulit dan tulang. Defisiensi seng menyebabkan gangguan pertumbuhan dan pembentukan tulang pada unggas (Chester 1997). Jenis crustacean memerlukan seng dalam proses pembentukan kulit (Guillaume et al. 2001). 2.7. Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) Analisis
logam
terdiri
dari
analisis
kuantitatif
dan
kualitatif.
Analisis kualitatif bertujuan untuk mengetahui jenis logam yang ada. Analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui jumlah logam yang ada. Pengukuran
secara
kuantitatif
dan
kualitatif
dapat
dilakukan
dengan
alat atomic absorption spectrophotometry (AAS). Alat atomic absorption spectrophotometry (AAS) terdiri atas lampu katoda, tungku pembakar, monokromator dan photomultiplier. Prinsip metode atomic absorption spectrophotometry (AAS) berdasarkan penguapan larutan sampel. Logam yang terkandung di dalam larutan sampel diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengabsorpsi radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan lampu katoda (hollow cathode lamp) yang mengandung unsur yang akan ditentukan. Radiasi dipancarkan pada panjang gelombang tertentu menurut jenis logamnya (Darmono 1995). Lampu katoda (hollow cathode lamp) merupakan sumber radiasi yang memancarkan resonansi sinar pada panjang gelombang < 0,01 Å. Kemampuan lampu katode sebagai sumber radiasi merupakan faktor utama untuk menghasilkan kurva kalibrasi yang tepat. Lampu katoda terisi oleh gas argon atau neon. Konstruksi lampu katoda terbuat dari logam yang disesuaikan dengan jenis logam yang akan ditentukan kadarnya. Lampu katoda memiliki ruang hampa yang dialiri arus kecil sehingga menimbulkan ionisasi atom gas inert (Van Loon 1980). Alat atomic absorption spectrophotometry (AAS) dapat dilihat pada Gambar 3.
Ga
Gambar 3. Alat atomic absorption spectrophotometry (AAS) 2.8. Scanning Electron Microscopy (SEM) Mikroskop merupakan alat untuk melihat benda yang berukuran kecil (mm). Salah satu jenis mikroskop adalah SEM (scanning electron microscopy). Scanning electron microscopy (SEM) menggunakan elektron dan cahaya tampak sebagai sumber cahayanya. Elektron adalah gelombang yang lebih pendek dibandingkan cahaya foton dengan ukuran 0,1 nm dan menghasilkan gambar dengan resolusi yang lebih baik (Lee 1993). Alat scanning electron microscopy (SEM) dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Alat scanning electron microscopy (SEM) Sumber: Image (2008) Scanning electron microscopy (SEM) menghasilkan gambar dari suatu permukaan spesimen dengan kedalaman fokus 500 kali lebih besar dibandingkan mikroskop cahaya (Lee 1993). Gambar yang dihasilkan memiliki fokus yang baik pada kedalaman specimen, sehingga gambar yang dihasilkan berupa bentuk tiga dimensi spesimen. Hal ini disebabkan oleh ketajaman pancaran elektron yang
menyinari spesimen. Mikroskop SEM memiliki perbesaran hingga 50.000 kali (Fujita et al. 1971). Mikroskop SEM memiliki lensa yang berbeda dengan mikroskop cahaya. Bagian electron gun berfungsi memancarkan elektron. Condensing lenses berfungsi untuk memantulkan elektron. Lensa yang berdekatan dengan sampel adalah lensa obyek. Pancaran elektron yang mengenai permukaan sampel diteruskan oleh detektor, sehingga penampakan permukaan sampel dapat terlihat pada monitor (Chandler 1980). Elektron bermuatan negatif sehingga untuk mengamati permukaan sampel, diperlukan pelapis sampel yang bersifat konduktor. Pelapis yang umumnya digunakan antara lain platina, emas dan perak. Namun, platina relatif mahal dibandingkan dengan emas dan perak. Perak memiliki harga yang lebih murah dibandingkan dengan platina dan emas, namun memiliki daya konduktor yang kurang baik. Sehingga emas lebih banyak digunakan sebagai pelapis sampel (Akhiruddin M 4 Januari 2009, komunikasi pribadi). Gambar bagian dari lensa mikroskop SEM dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Bagian lensa mikroskop SEM Sumber: Image (2008)