74
OPTIMASI PENANGKAPAN UDANG JERBUNG (Penaeus Merguiensis de Man) di LEPAS PANTAI CILACAP
OLEH : CATUR PRAMONO ADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
75
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimasi Penangkapan Udang Jerbung (Penaeus Merguiensis de Man) di Lepas Pantai Cilacap : Kasus Kabupaten Cilacap adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Pebruari 2007
Catur Pramono Adi NIM. 251030341
76 ABSTRAK
CATUR PRAMONO ADI. Optimasi Penangkapan Udang Jerbung (Penaeus Merguiensis de Man) di Lepas Pantai Cilacap. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER dan SETIA HADI. Penelitian ini bertujuan menyusun pola pemanfaatan untuk mengoptimumkan pemanfaatan sumberdaya udang jerbung di lepas pantai Cilacap secara berkelanjutan. Penelitian ini dilaksanakan di perairan Cilacap pada pebruari sampai maret 2005 dan Oktober sampai November 2005. Evaluasi potensi sumberdaya udang jerbung menggunakan model surplus produksi berdasarkan pertimbangan bio-ekonomi yang dapat mempengaruhi kebijakan mengenai penggunaan sumber daya secara berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan Model Schaefer dengan persamaan regresi linear untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari penangkapan udang secara biologis dan menggunakan Model Gordon-Schaefer untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari pena ngkapan udang secara ekonomis. Hasil penelitian menunjukkan tingkat upaya penangkapan udang optimum (E msy) adalah 13.205 trip per tahun dan pemanfaatan sumberdaya tersebut secara lestari pada maksimum penangkapan (h msy) 1291,8 ton per tahun. Sedangkan secara ekonomi upaya penangkapan (E mey) udang jerbung mencapai 12.351 trip dengan produksi maksimum (h mey) 1286,4 ton. Sedangkan total penerimaan 44 milyar rupiah dan total biaya (cost) 6,5 milyar rupiah sehingga akan didapat keuntungan sebesar 37,6 milyar rupiah. Keuntungan aktual tahun 2005 mencapai 14,5 milyar rupiah. Hasil tangkapan udang jerbung tahun 2005 sebesar 1 271 ton mendekati nilai h mey sedangkan upaya penangkapan (effort) aktualnya sebesar 65.790 trip diatas nilai E mey sehingga usaha penangkapan udang jerbung dengan alat tangkap trammel net tidak efisien untuk dilakukan. Pemanfaatan sumberdaya udang jerbung berdasarkan analisis hasil udang jerbung per satuan upaya penangkapan di lepas pantai Cilacap sudah padat tangkap dan perlu dikurangi upaya penangkapan yang ada. Pemanfaatan sumberdaya udang jerbung berdasarkan analisis biologi udang yang tertangkap mendekati padat tangkap, sehingga tidak dikeluarkan ijin penangkapan baru untuk alat tangkap trammel net dan diikuti dengan pemantauan lebih intensif di lapangan. Jika hasil pemantauan tersebut sudah padat tangkap maka digunakan analisis hasi udang per satuan upaya dengan jumlah penangkapan di perairan tersebut dengan pe ngaturan pemanfaatan menggunakan batas terkecil yaitu MSY dan f optimum udang jerbung. Untuk mengendalikan pemanfaatannya dalam rangka menjaga kelestarian udang jerbung di perairan tersebut disarankan kepada PEMDA Cilacap untuk menerbitkan Surat Keputusan mengenai pengaturan jumlah upaya penangkapan, pengaturan sistem bagi hasil tangkapan dalam wadah koperasi dan kegiatan pengawasan pemanfaatan di lapangan.
77 ABSTRACK
CATUR PRAMONO ADI. Optimazion of White Shrimps (Penaeus merguiensis) Catch at Cilacap Off-Shore. Under the direction of MENNOFATRIA BOER, and SETIA HADI. The objective of the study is to know the optimize the use of white shrimps resources based on bio-economic perspective for the policyb of sustainable use of the resouces. The study use Schaefer model to find the maximum level of sustainable yield (MSY) with the linear regression and bio-economic model of Gordon-Schaefer to find the maximum level of ecconomic yield (MEY). Effort level of maximum sustainable yield of white shrimps is 13.205 trip in a year and the harvest of maximum sustainable yield 1 291,8 ton in a year. In effort level of economical yield of white shrimps exist 12,351 trip with the harvest of maximum economical yield 1286,4 ton. Demand total exist 44 billion IDR with total cost of production exist 6,5 billion IDR. Therefore the result of the provite exist 37,5 billion IDR. Total of actual approximately provite during 2005 exist 14,5 billion IDR. Based on the result data, actual approximately harvest of white shr imps 2005 exist 1271 ton, but its above the harvest of maximum economical yield . On the other hand the actual reffort exist until 65790 trip, but its also near the level of harvest of maximum economical yield , that is way using both the tramel net is not efficient. By comparing the effort of white shrimps catch along 1999 – 2000 with the effort of maximum level of sustainable yield and maximum level of ecconomic yield, it showed that the range of effort in those year has been increased based on bio economical perspective. The fishermen still get the provite from the white shrimps catch, but their value has decreased.
78
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
79 OPTIMASI PENANGKAPAN UDANG JERBUNG (Penaeus Merguiensis de Man) DI LEPAS PANTAI CILACAP
CATUR PRAMONO ADI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Managemen Sumber Daya Perairan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
80 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wonosobo pada tanggal 24 maret 1971 dari ayah SE. Pramono dan ibu Suwarti. Penulis adalah putra ke empat dari lima bersaudara. Pada Tahun 1984 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Muhammadiyah I Kabupaten Cilacap. Pendidikan lanjutan pertama dan lanjutan atas berturut-turut penulis selesaikan tahun 1987 di SMP Negeri 3 Cilacap dan tahun 1990 di SMA Negeri I Cilacap. Pendidikan Diploma tiga penulis tempuh di Jurusan Permes inan Perikanan pada Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta (1990 – 1993), kemudian penulis bertugas sebagai KKM di Kapal Timina 02 milik Singapura selama 2 tahun. Pada tahun 1996 diberi kesempatan menjadi Chief Engineer di kapal KM. Genpuku Maru no.86 milik pemerintah jepang selama 3 tahun. Kemudian pada tahun 1997 penulis mendapat kesempatan meneruskan program Strata satu pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang atas biaya dari PT. Windika Utama, tempat penulis bertugas sebagai Manager Mekanik dan Elektrik. Di saat terjadi krisis moneter penulis beralih untuk masuk sebagai pegawai negeri sipil yang di tempatkan pada Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Yogyakarta sebagai Penyuluh Perikanan. Kemudian sejak tahun 2000 penulis dialih tugaskan ke Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta sebagai Protokol Menteri Kelautan dan Perikanan. Sejak bulan Desember 2003 penulis diterima pada program Master (S2) Sekolah Pasca Sarjana IPB pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang dibiayai oleh program beasiswa Pusdiklat Aparatur Departemen Kelautan dan Perikanan untuk 2 tahun. Penulis menikah dengan Septiani Puji Rahayu pada tahun 1999 di Semarang dan dikaruniai tiga orang anak perempuan, yaitu Nadia Ainun Luthfiadi (15 Januari 2000), Nabila Azzahra Luthfiadi (21 Desember 2004) dan Zaskia Khansa Salviadi yang dilahirkan pada 25 Februari 2006.
81 PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2005 ini ialah overfishing udang jerbung, dengan judul Optimasi Penangkapan Udang Jerbung ( Penaeus Merguensis de Man) di Lepas Pantai Cilacap. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS yang telah banyak memberi saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Bupati Cilacap, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Cilacap, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Tengah, Kepala Biro Pusat Statistik Cilacap, Kepala Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri, anak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Pebruari 2007
Catur Pramono Adi
82
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ..................................................................................................
i
DAFTAR ISI ..............................................................................................
ii
DAFTAR TABEL......................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................
vii
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
Latar Belakang ....................................................................................
1
Perumusan Masalah ............................................................................
3
Tujuan Penelitian................................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................
6
Daur Hidup, Reproduksi dan Habitat Udang Jerbung ........................
6
Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Populasi Udang Jerbung .....
8
Parameter Populasi Udang Jerbung ....................................................
9
Penyebaran dan Musim Penangkapan Udang Jerbung.......................
10
Optimasi Sumberdaya Perikanan Udang Jerbung ..............................
10
Pengelo laan Sumberdaya Udang Jerbung ..........................................
14
Pembangunan Perikanan Berkelanjutan.............................................
18
METODE PENELITIAN ..........................................................................
24
Kerangka Pemikiran ...........................................................................
24
Hipotesa ..............................................................................................
25
Ruang Lingkup Penelitian...................................................................
25
Manfaat Penelitian..............................................................................
25
Keadaan Umum Lokasi dan Waktu Penelitian...................................
26
Metode Pengambilan Contoh dan Pengumpulan Data .......................
26
Standarisasi Effort ..............................................................................
27
Musim Penangkapan Udang Jerbung .................................................
28
83 Metode Analisa Degradasi..................................................................
29
Pendugaan Potensi Lestari dan Tingkat Pemanfaatan........................
30
Metode Analisis Bio-Ekonomi ..........................................................
30
Implikasi Kebijakan Ekonomi ..................................................................... 31 Diagram Alir Proses Penelitia n ..........................................................
32
HASIL.........................................................................................................
34
Keadaan Umum Daerah Penelitian ....................................................
34
Kondisi Sosial- Ekonomi Masyarakat ................................................
35
Perkembangan Rumah Tangga Perikanan/RTP .................................
35
Struktur Sosial Nelayan Tangkap di Cilacap .....................................
35
Keadaan Umum Perikanan Udang Jerbung .......................................
36
Harga dan Biaya per Unit Upaya Penangkapan Udang Jerbung .......
37
Standarisasi Alat Tangkap Udang Jerbung ........................................
38
Perkembangan Perikanan Udang Jerbung di Cilacap ........................
39
Hasil Tangkapan Per Unit Upaya Penangkapan Udang Jerbung........
41
Musim Penangkapan Udang Jerbung di Cilacap ...............................
42
Estimasi Produksi Lestari ..................................................................
43
Analisa Laju Degradasi Udang Jerbung di Cilacap ...........................
45
Pendugaan Parameter Bio-ekonomi....................................................
46
PEMBAHASAN ........................................................................................
48
Implikasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Udang Jerbung ........
56
Struktur Sosial dan Pola Hubungan Masyarakat Cilacap ..................
63
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
66
Kesimpulan.........................................................................................
66
Saran ..................................................................................................
67
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
68
84
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Perbandingan MEY dan MSY dengan Variabel E, h, ? .........................
31
2. Standarisasi Effort Alat Tangkap Udang Jerbung tahun 1991-2005 di Cilacap ............................................................................................... 3. Nilai MSY, MEY dan Aktual tahun 2005 di Cilacap.............................
39 47
85
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Kerangka Pemikiran Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Udang Jerbung yang di Daratkan di TPI Cilacap Secara Berkelanjutan..........
24
2. Diagram Alir Proses Penelitian Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Udang Jerbung .................................................................
33
3. Peta Daerah Penelitian Penangakapan Udang Jerbung di Cilacap ........
34
4. Interaksi Sosial Pada Struktur Masyarakat Nelayan di Cilacap ............
36
5. Produksi aktual udang jerbung (ton) Tramel Net Pasif Tahun 1991- 2005 di Cilacap ................................................................
40
6. Produksi Aktual Udang Jerbung (ton) Tramel Net Aktif Tahun 1991- 2005 di Cilacap ................................................................
40
7. Upaya Penangkapan (E) Udang Jerbung Dengan Alat Tangkap Tramel Net Tahun 1991-2005........................................
41
8. CPUE Udang Jerbung Periode Tahun 1991-2005 dengan Alat Tangkap Tramel Net Pasif di Lepas Pantai Cilacap..........
41
9. CPUE Udang Jerbung Periode Tahun 1991-2005 dengan Alat Tangkap Tramel Net Aktif di Lepas Pantai Cilacap ..........
42
10. Indeks Musim Penangkapan (IMP) Udang Jerbung Tahun 1991-2005 di Cilacap .................................................................
42
11. CPUE Terhadap Upaya Penangkapan (E) Udang Jerbung Tahun 1991-2005 di Cilacap ................................................................. 12. Hasil Lestari (MSY) Terhadap Upaya Penangkapan (E) Udang Jerbung Tahun 1991-2005 di Cilacap ........................................ 13. Koefisien Degradasi Sumberdaya Udang Jerbung di Cilacap...............
44 44 45
14. Analisis Perbandingan Antara Produksi Aktual dan Laju Degradasi Udang Jerbung di Cilacap ............................................
45
15. MSY, TR, TC dan ? Penangkapan Udang Jerbung Tahun 1991-2005 di Cilacap .................................................................
55
86
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Proporsi Produksi (PP) Penangkapan Udang Jerbung Terhadap Total Produksi Tramel Net Aktif dan Pasif Tahun 2005 di Cilacap..............
74
2. Jumlah Perahu/Kapal Penangkap Ikan Menurut Ukuran Tahun 2005 di Cilacap ........................................................................... 3. Jumlah Unit Alat Tangkap Ikan Tahun 1991-2005 di Cilapcap ............
75 76
4. Jumlah Kapal, Tingkat Upaya dan Produksi Udang Jerbung Tahun 1991-2005 di Cilacap .................................................................
77
5. Biaya Operasional Dengan Alat Tangkap Tramel Net Aktif Tahun 2005 di Cilacap ........................................................................... 6. Biaya Operasional Dengan Alat Tangkap Tramel Net Pasif Tahun 2005 di Cilacap ........................................................................... 7. Regresi Linier Penangkapan Udang Jerbung tahun 1991-2005 di Cilacap ............................................................................. 8. Analisis Degradasi Udang Jerbung Tahun 1991-2005 di Cilacap ......... 9. Indeks Musim Penangkapan (IMP) Udang Jerbung Tahun 1991-2005 di Cilacap ................................................................
78 79 80 81 82
87 ABSTRAK
CATUR PRAMONO ADI. Optimasi Penangkapan Udang Jerbung (Penaeus Merguiensis de Man) di Lepas Pantai Cilacap. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER dan SETIA HADI. Penelitian ini bertujuan menyusun pola pemanfaatan untuk mengoptimumkan pemanfaatan sumberdaya udang jerbung di lepas pantai Cilacap secara berkelanjutan. Penelitian ini dilaksanakan di perairan Cilacap pada pebruari sampai maret 2005 dan Oktober sampai November 2005. Evaluasi potensi sumberdaya udang jerbung menggunakan model surplus produksi berdasarkan pertimbangan bio-ekonomi yang dapat mempengaruhi kebijakan mengenai penggunaan sumber daya secara berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan Model Schaefer dengan persamaan regresi linear untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari penangkapan udang secara biologis dan menggunakan Model Gordon-Schaefer untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari penangkapan udang secara ekonomis. Hasil penelitian menunjukkan tingkat upaya penangkapan udang optimum (Emsy) adalah 13.205 trip per tahun dan pemanfaatan sumberdaya tersebut secara lestari pada maksimum penangkapan (hmsy) 1291,8 ton per tahun. Sedangkan secara ekonomi upaya penangkapan (Emey) udang jerbung mencapai 12.351 trip dengan produksi maksimum (hmey) 1286,4 ton. Sedangkan total penerimaan 44 milyar rupiah dan total biaya (cost) 6,5 milyar rupiah sehingga akan didapat keuntungan sebesar 37,6 milyar rupiah. Keuntungan aktual tahun 2005 mencapai 14,5 milyar rupiah. Hasil tangkapan udang jerbung tahun 2005 sebesar 1 271 ton mendekati nilai hmey sedangkan upaya penangkapan (effort) aktualnya sebesar 65.790 trip diatas nilai Emey sehingga usaha penangkapan udang jerbung dengan alat tangkap tramel net tidak efisien untuk dilakukan. Pemanfaatan sumberdaya udang jerbung berdasarkan analisis hasil udang jerbung per satuan upaya penangkapan di lepas pantai Cilacap sudah padat tangkap dan perlu dikurangi upaya penangkapan yang ada. Pemanfaatan sumberdaya udang jerbung berdasarkan analisis biologi udang yang tertangkap mendekati padat tangkap, sehingga tidak dikeluarkan ijin penangkapan baru untuk alat tangkap trammel net dan diikuti dengan pemantauan lebih intensif di lapangan. Jika hasil pemantauan tersebut sudah padat tangkap maka digunakan analisis hasi udang per satuan upaya dengan jumlah penangkapan di perairan tersebut dengan peengaturan pemanfaatan menggunakan batas yang kecil yaitu MSY dan f optimum udang jerbung. Untuk mengendalikan pemanfaatannya dalam rangka menjaga kelestarian udang jerbung di perairan tersebut disarankan kepada PEMDA Cilacap untuk menerbitkan Surat Keputusan mengenai pengaturan jumlah upaya penangkapan, pengaturan sistem bagi hasil tangkapan dalam wadah koperasi dan kegiatan pengawasan pemanfaatan di lapangan.
88 ABSTRACT
CATUR PRAMONO ADI. Optimazion of White Shrimps (Penaeus merguiensis) Catch at Cilacap Off-Shore. Under the direction of MENNOFATRIA BOER, and SETIA HADI. The objective of the study is to know the optimize the use of white shrimps resources based on bio-economic perspective for the policyb of sustainable use of the resouces. The study use Schaefer model to find the maximum level of sustainable yield (MSY) with the linear regression and bio-economic model of Gordon-Schaefer to find the maximum level of ecconomic yield (MEY). Effort level of maximum sustainable yield of white shrimps is 13.205 trip in a year and the harvest of maximum sustainable yield 1 291,8 ton in a year. In effort level of economical yield of white shrimps exist 12,351 trip with the harvest of maximum economical yield 1286,4 ton. Demand total exist 44 billion IDR with total cost of production exist 6,5 billion IDR. Therefore the result of the provite exist 37,5 billion IDR. Total of actual approximately provite during 2005 exist 14,5 billion IDR. Based on the result data, actual approximately harvest of white shrimps 2005 exist 1271 ton, but its above the harvest of maximum economical yield . On the other hand the actual reffort exist until 65790 trip, but its also near the level of harvest of maximum economical yield , that is way using both the tramel net is not efficient. By comparing the effort of white shrimps catch along 1999 – 2000 with the effort of maximum level of sustainable yield and maximum level of ecconomic yield, it showed that the range of effort in those year has been increased based on bio economical perspective. The fishermen still get the provite from the white shrimps catch, but their value has decreased.
89
PENDAHULUAN Latar Belakang Permintaan konsumsi bahan pangan laut dunia yang tinggi, menjadikan laut sebagai orientasi kegiatan skala besar. Perburuan pun berubah dari darat menuju laut. Pembangunan perikanan tangkap dalam skala besar terus terjadi, guna memenuhi kebutuhan konsumsi bahan pangan dunia mengakibatkan eksploitasi secara berlebihan terus terjadi. Di sisi lain rejim pemanfaatan sumberdaya laut sebagai sumberdaya yang tak bertuan, menjadi jalan terjadinya pengurasan sumberdaya. Eksploitasi yang tinggi dan tanpa batas, serta penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, memberikan tekanan yang tinggi terhadap sumberdaya dan ekosistem. Kondisi ini menjadi penyebab utama terjadinya degradasi sumberdaya. Tercatat pada tahun 2000, produksi udang dunia menurun. Selain faktor tekanan penangkapan yang tinggi, faktor pemanfaatan di daratan seperti pencemaran dan buangan limbah berbahaya lainnya ke laut, turut menjadi penyebab menurunnya kualitas sumberdaya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir serta padatnya aktivitas lalu lintas laut juga menyumbang terjadinya degradasi sumberdaya pesisir dan lautan. Penurunan hasil tangkapan udang dunia, merupakan dampak dari menurunnya stok udang. Aktivitas penangkapan di laut, daratan dan pesisir, menjadi sangat penting untuk mengelola wilayah tersebut secara baik dan tepat, mengingat sistem ekologi perairan yang sangat mendukung keberlanjutan sumberdaya tersebut. Stok udang selain dipengaruhi oleh intensitas penangkapan (fishing pressure) dan daya dukung lingkungan (carrying capacity) juga sangat bergantung pada produktivitas primer di wilayah pesisir, sebagai suatu yang penting dalam rantai makanan (food chain), seperti spawning dan nursery ground. Pengelolaan sumberdaya alam senantiasa diarahkan pada tiga dimensi utama pembangunan yakni ekologi, ekonomi dan sosial. Dari sisi ekologi sumberdaya diarahkan untuk mencapai aspek keberlanjutan (sustainable ), sementara dari sisi ekonomi diarahkan untuk mencapa i sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (welfare) dan dari sisi sosial pengelolaan sumberdaya diarahkan pada aspek pemerataan (equity). Begitu pula dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (udang jerbung) harus tetap menjaga keberlanjutan sumberdaya (ketersedia n stok), dan berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Sumberdaya perikanan (udang jerbung) diharapkan menjadi penggerak utama pembangunan nasional. Hal ini didukung oleh potensi fisik meliputi, 81.000 km2 panjang garis
pantai, kurang lebih 17.504 pulau, dengan luas laut sekitar 3,1 juta km2 (0,3 juta km2
perairan territorial; dan 2,8 juta km2 perairan nusantara). Indonesia juga diberi kewenangan memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif ( ZEE) berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention on
90 2
the Law of the See, 1982), seluas 2,7 juta km yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non-hayati, penelitian dan yurisdiksi mendirikan instalasi atau pulau buatan (Dahuri et al, 1996; Adrianto, 2006). Selain potensi fisik tersebut, didukung pula oleh potensi hayati perairan yaitu terdiri 44 jenis/kelompok ikan ekonomis penting; 7 jenis/kelompok krustase; 7 jenis/kelompok moluska; dan beberapa jenis/kelompok hewan laut lainnya. Dari potensi fisik dan hayati tersebut, Indonesia memiliki potensi lestari sebesar 65 juta ton/tahun, terdiri dari potensi perikanan budidaya sekitar 57,7 juta ton/tahun dan potensi perikanan tangkap sekitar 7,3 juta ton/tahun meliputi; ikan pelagis besar 1,65 juta ton/tahun, ikan pelagis kecil 3,6 juta ton/tahun, ikan demersal sebesar 1,36 juta ton/tahun, ikan karang sebesar 145 ribu ton/tahun, udang penaeid sebesar 94,8 ribu ton/tahun, lobster sebesar 4,8 ribu ton dan cumi-cumi sebesar 28,25 ribu ton/tahun serta 0,9 juta ton/tahun ikan air tawar (Dahuri, 2003). Kegiatan pemanfaatan potensi perikanan udang jerbung di perairan Cilacap saat ini mengalami penurunan. Dari data statistik perikanan diperoleh bahwa terjadi penurunan produksi udang jerbung di wilayah perairan Cilacap yakni dari 885 ton pada tahun 1991 menurun menjadi 734,4 ton untuk tahun 2000 (Dinas Kelautan dan Perikanan Cilacap, 2004). Terjadinya penurunan produksi udang jerbung secara umum di Cilacap, Diduga faktor penyebabnya adalah berkurangnya
luasan perairan akibat sedimentasi, kerusakan hutan mangrove, dan eksploitasi benur. Kondisi ini, lambat laut diyakini akan menyebabkan terjadinya degradasi sumberdaya yang ditandai dengan penurunan hasil tangkapan tidak terkecuali bagi sumberdaya udang jerbung.
Meningkatnya kebutuhan udang jerbung merangsang nelayan untuk eksploitasi sumberdaya tersebut. Peningkatan intensitas penangkapan cenderung akan menurunkan hasil tangkapan per satuan upaya.
Hal yang sama terjadi pada perolehan keuntungan
ekonomis per satuan upaya penangkapan, yaitu kecenderungan turunnya keuntungan ekonomis per satuan upaya dengan meningkatnya intensitas penangkapan (Purnamaji 2003). Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya udang jerbung perlu dikelola berdasarkan azas keseimbangan dan kemampuan daya dukungnya. Evaluasi tentang eksploitasi sumber daya udang jerbung di Cilacap dibutuhkan untuk bahan informasi dalam merancang strategi pengelolaan sumber daya secara optimal dan berkelanjutan di masa yang akan datang. Pada tingkat optimal diharapkan sumber daya dapat dimanfaatkan dalam waktu relatif
tak
terbatas,
mendatangkan
keuntungan
ekonomi
meningkatkan kesejahteraan nelayan yang mengusahakannya.
maksimum
dan
dapat
91 Perumusan Masalah Kegiatan pemanfaatan udang jerbung di perairan Cilacap selama ini, masih bersifat common property (milik bersama), dimana setiap nelayan berhak untuk melakukan kegiatan produksi sesuai dengan kemampuan maksimal, sehingga menyebabkan terjadinya eksploitasi produksi tak terbatas, dan akhirnya mengarah pada terkurasnya sumberdaya tersebut. Kegiatan penangkapan umumnya dilakukan dengan sistem ladang berpindah, dimana ketika fishing ground mengalami penurunan stok yang ditandai dengan menurunnya hasil tangkapan, selanjutnya nelayan akan mencari fishing ground yang baru. Perubahan fishing ground akan berdampak terhadap perubahan jarak dan waktu tempuh. Hal ini ditandai dengan perubahan trip penangkapan. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan biaya produksi, dan secara otomatis akan menurunkan tingkat keuntungan. Sebelumnya kegiatan penangkapan udang jerbung dapat dilakukan dalam sehari per trip (one-day fishing), namun akhir-akhir ini, kegiatan penangkapan harus dilakukan dalam 6-7 hari per trip. Sifat sumberdaya common property dan unlimited access akan menyebabkan terjadinya unsustainable. Terjadinya kegiatan eksploitasi sumberdaya secara tak terbatas menyebabkan terjadinya perubahan fishing ground. Hal ini merupakan tanda tidak optimalnya pengelolaan sumberdaya. Kondisi yang tidak optimal tersebut lebih disebabkan karena tidak adanya data tingkat tangkapan maksimum, dan tingkat upaya maksimum. Penggunaan effort yang melebihi kapasitas dan atau kurang dari tingkat optimal akan menyebabkan terjadinya inefisiensi dari sisi ekonomi, dan degradasi sumberdaya yang mengarah kelangkaan sumberdaya pada sisi ekologi. Di sisi lain, permintaan konsumsi udang jerbung, baik domestik maupun manca negara kian meningkat. Hal ini ditandai dengan peningkatan volume produksi udang jerbung di Cilacap dalam beberapa tahun terakhir. Pemenuhan akan permintaan pasar yang tinggi, dimulai dengan upaya peningkatan effort penangkapan. Kondisi ini akan memberikan tekanan yang lebih tinggi terhadap sumberdaya dan secara ekonomi akan menambah biaya penangkapan, meskipun dari sisi pendapatan juga dapat mengalami peningkatan. Upaya lainnya untuk peningkatan produksi yang tinggi, juga dapat ditempuh dengan penambahan unit armada tangkapan, namun hal ini akan mengarah pada kegiatan padat tangkap. Kedua upaya peningkatan produksi tersebut di atas, pada suatu kondisi akan mengarah pada pengurasan sumberdaya dan akan berakibat pada terjadinya scarcity rent. Peningkatan produksi, juga dapat memicu terjadinya kegiatan penangkapan yang merusak lingkungan (destructive fishing). sedimentasi, kerusakan hutan mangrove, dan eksploitasi benur , dengan sendirinya akan menurunkan kualitas sumberdaya dan lingkungan (degradasi). Peningkatan produksi, dapat dicapai dengan baik dan sesuai tingkat permintaan, apabila optimasi sumberdaya dapat diketahui lebih awal. Analisis pendugaan stok, sangat penting dilakukan untuk mengetahui
92 tingkat biomassa dan tangkapan maksimum lestari (MSY), sehingga upaya-upaya penangkapan dapat dikelola dengan baik dan berkelanjutan. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan pengelolaan sumberdaya ikan merah secara berkelanjutan di perairan Cilacap sebagai berikut: 1. Apakah data statistik sumberdaya udang jerbung di Cilacap, seperti jumlah biomassa, tingkat upaya dan hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) sudah ada ? 2. Apakah tingkat pemanfaatan sumberdaya udang jerbung di lepas pantai Cilacap dari sisi biologi (MSY) maupun ekonomi (MEY) sudah optimal pemanfatannya ? 3. Apakah tingkat laju degradasi penangkapan udang jerbung di Cilacap sudah diketahui ? 4. Apakah pengelolaan sumberdaya udang jerbung di lepas pantai Cilacap sudah diatur oleh PEMDA setempat ? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui : 1.Jumlah biomassa, tingkat upaya, dan hasil tangkapan per unit upaya pemanfaatan optimum sumberdaya udang jerbung di lepas pantai Cilacap. 2.Mengetahui tingkat optimum pemanfaatan sumber daya udang jerbung di Cilacap. 3.Mengetahui laju degradasi udang jerbung di lepas pantai Cilacap. 4.Merumuskan bentuk pengelolaan sumberdaya udang jerbung di Cilacap secara berkelanjutan.
93
TINJAUAN PUSTAKA
Daur Hidup, Reproduksi dan Habitat Udang Jerbung Udang jerbung termasuk jenis decapoda yang melepaskan telurnya ke laut secara demersal segera setelah dibuahi, sedangkan jenis-jenis decapoda lainnya membawa telurnya sampai menetas menjadi larva. Daur hidup udang jerbung umumnya terbagi dua fase yaitu laut dan muara sungai (air payau) terutama yang berhutan mangrove. Penaeus merguiensis memijah di laut pada kedalaman 20 – 40 m. Telur dilepaskan secara demersal dan setelah 24 jam menetas menjadi larva tingkat pertama (naupilius). Selanjutnya, setelah 3-8 kali moulting berubah menjadi protozoa, mysis dan pasca larva. Saat pasca larva merupakan tingkatan yang sudah mencapai daerah asuhan di pantai dan mulai menuju daerah perairan. Larva bergerak dari daerah pemijahan di tengah laut ke teluk-teluk dan muara sungai. Kemudian berubah menjadi yuwana, makan dan tumbuh di daerah asuhan 3 - 4 bulan menjadi udang jerbung muda, lalu beruaya ke laut menjadi udang jerbung dewasa kelamin (Tricahyo, 1995). Udang jerbung dewasa umumnya terdapat di perairan pantai yang dangkal. Bila paparan benuanya cukup landai dapat mencapai jarak 150 km dari pantai sampai kedalaman 15 – 35 meter. Laju kematian larva sangat tinggi (lebih dari 70 % per minggu) (Dall et. al. 1990). Umumnya larva bergerak secara planktonik ke arah pantai, muara sungai, teluk-teluk terutama yang mempunyai hutan mangrove sebagai daerah asuhan udang jerbung, larva berkembang di daerah ini dan hidup sebagai yuwana (juvenile) selama 2 - 3 bulan. Laju kematian pada fase yuwana sekitar 10 – 25% per minggu (Dall et al, 1990). Udang jerbung bergerak dari daerah asuhan ke arah laut yang lebih dalam, menjadi dewasa, kawin dan memijah. Waktu yang diperlukan untuk menjadi dewasa/induk sekitar 8 - 20 bulan dengan laju kematian alami rata-rata 2 – 10 % per minggu (Dall et al, 1990). Udang jerbung termasuk heteroseksual yang bisa dibedakan jenis kelaminnya. Udang jerbung jantan mempunyai alat kelamin yang disebut petasma yang terdapat di antara pasangan kaki renang (pleopoda) pertama. Udang jerbung betina mempunyai alat kelamin yang disebut thelycum terdapat di antara kaki jalan (periopoda) yang ke lima. Tingkat kematangan gonad udang jerbung betina dibedakan menjadi lima (Motoh,1981), yaitu : 1.
Belum matang (ovari tipis, bening, tidak berwarna)
2.
Kematangan awal (ovari membesar, bagian tengah dan depan berkembang)
94 3.
Kematangan lanjut (ovari berwarna hijau muda dan dapat dilihat melalui eksoskeleton, bagian depan dan tengah berkembang penuh)
4.
Matang telur/kematangan akhir (ovari berwarna hijau tua, ova lebih besar dari tingkat sebelumnya
5.
Sesudah bertelur (spent) (ovari lembek dan lebih kuat, ova sudah dilepaskan) Stadium larva yang bersifat planktonik umumnya terdapat di perairan sepanjang pantai.
Stadium post larva penaeus umumnya menyukai perairan di sekitar muara sungai atau daerah mangrove dengan substrat dasar perairan berlumpur. Stadium yuwana udang jerbung terdapat di perairan estuaria atau perairan yang masih dipengaruhi oleh pasang surut dengan substrat dasar perairan berupa lumpur (Staples et al, 1985). Udang jerbung dewasa menyukai dasar perairan lumpur berpasir berkedalaman 10 - 45 m (Staples et al, 1984). Umumnya udang jerbung berkelompok di permukaan dasar perairan dalam jumlah besar. Pemijahan udang jerbung terjadi pada malam hari (Motoh, 1981). Udang jerbung termasuk omnivora dan lebih menyukai organisme yang sedang dalam proses pembusukan, sehingga daerah yang terdapat proses pembusukan merupakan petunjuk kelimpahan udang jerbung. Udang jerbung aktif pada siang hari, sehingga penangkapan udang jerbung sebaiknya dilakukan pada siang hari (Motoh, 1981). Sifat bergerombol udang jerbung dewasa ada hubungannya dengan masa perkawinan dan pemijahan. Udang jerbung ini berkelompok pada malam dan siang hari yang terdapat di dekat dasar perairan saat air tenang (antara air surut dan air pasang) atau bila arus lemah. Tingkah laku udang jerbung termasuk golongan yang jarang membenamkan diri dalam lumpur dan selalu aktif bergerak, terutama siang hari. Udang jerbung mencari makanan di atas atau di dalam sedimen dasar perairan. Makanannya terdiri dari detritus, organisme-organisme demersal kecil dan bagian dari tumbuhan air (Martosubroto, 1978).
Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Populasi Udang Jerbung Pengelolaan kawasan pantai berupa konversi hutan mangrove menjadi tambak dan permukiman sebaiknya diperkecil mengingat daerah ini merupakan daerah asuhan megalopa dan yuwana udang jerbung (Motoh, 1981). Sebagian besar masa hidup udang jerbung pada perairan yang dipengaruhi masa air sungai daerah delta, muara sungai dan perairan estuaria dengan dasar berlumpur atau pasir bercampur lumpur serta berhutan mangrove (Garcia & Le Reste, 1981; Dall
95 et al, 1990). Umumnya, di perairan tersebut udang jerbung masih stadium post larva dan yuwana dengan Kondisi lemah dan memerlukan tempat berlindung. Perubahan lingkungan akibat aktifitas penduduk daerah hulu dan hilir sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup udang jerbung. Umumnya kedalaman perairan mempengaruhi penyebaran udang jerbung menurut daur hidupnya. Udang dewasa menyukai perairan yang lebih dalam. Post larva dan yuwana banyak tertangkap di perairan dangkal kedalaman 2 – 5 m, udang jerbung muda pada kedalaman 5 – 10 m, dan udang jerbung dewasa/induk udang jerbung pada kedalaman 10 – 40 m. Udang jerbung muda/yuwana mampu menyesuaikan diri pada salinitas 0 3 per mil, sedang udang jerbung dewasa pada salinitas 7 – 10 per mil (Dall, 1981). Secara umum, udang jerbung dewasa hidup pada salinitas 27,5 – 35 per mil (Garcia & Le Reste, 1981; Motoh, 1981). Suhu perairan yang sesuai untuk kehidupan udang jerbung umumnya 21,5 – 31o C (Garcia & Le Reste, 1981; Motoh, 1981). Hasil tangkapan udang jerbung lebih tinggi pada bulan gelap, setengah pur nama dan setelah purnama penuh (Naamin, 1992). Umumnya, waktu hujan udang jerbung berada agak ke tengah karena berubahnya salinitas sekitar pantai (Gunter & Edwards, 1969). Predator merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap mortalitas alami. Hubungan antara udang jerbung dan pemangsa sangat erat. Di daerah estuarin, ikan Scianidae dan Caranx sp merupakan predator utama udang jerbung (Minello & Zimmerman, 1983 dalam Dall et al, 1990).
Parameter Populasi Udang Jerbung Udang jerbung mempunyai koefisien laju pertumbuhan (K) yang cepat (Garcia & Le Reste, 1981; Gulland, 1983). Pendugaan umur udang jerbung dapat diperoleh melalui analisis pergeseran modus frekuensi panjang yang diperoleh secara periodik (Jones, 1981). Untuk menjamin kelestarian sumber daya udang jerbung, sebaiknya penangkapan dilakukan pada umur 4 bulan sampai 2 tahun. Bila penangkapan dilakukan pada umur kurang dari 4 bulan maka akan mempengaruhi kesinambungan daur hidupnya. Sedangkan bila lebih dari 2 tahun maka peluang untuk mati secara alamiah semakin besar. Hal ini perlu diketahui untuk menentukan ukuran mata jaring yang optimal sehingga kesinambungan stok dapat terjamin. Salah satu faktor kesinambungan populasi ditentukan oleh rekruitmen. Panjang udang jerbung pada saat pertama kali tertangkap (berhubungan dengan besarnya mata jaring) akan mempengaruhi hasil penambahan baru (Gulland, 1983). Musim penambahan baru udang jerbung jerbung di perairan Cilacap berlangsung bulan maret dan agustus (Adisusilo, 1984).
96 Menurut Adisusilo (1984), udang jerbung jerbung di Cilacap mengalami pemijahan sepanjang tahun dan mencapai puncaknya pada bulan Januari, April Agustus, dan November. Sedangkan pemijahan terendah terjadi pada bulan Februari dan Oktober. Ukuran udang jerbung pertama kali matang gonad masing -masing pada panjang kerapas 31,64 mm dan 39,57 mm, sehingga pola penambahan baru udang jerbung di Cilacap terjadi sepanjang tahun dan puncaknya pada bulan Maret dan Agustus. Laguna umumnya merupakan daerah tangkapan ukuran stadium post larva dan yuwana atau udang jerbung muda, sedangkan di lepas pantai berukuran besar atau dewasa (Garcia et al. dalam Naamin et al., 1992). Musim pemijahan udang jerbung di Cilacap berlangsung sepanjang tahun dengan puncaknya bulan Agustus, Nopember dan April (Adisusilo, 1984). Perbedaan terjadinya puncak pemijahan kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti curah hujan, salinitas dan suhu. Curah hujan yang rendah dan suhu yang tinggi akan meningkatkan perkembangan kematangan gonad. Menurut Tuma dan Motoh (1981), diduga pertumbuhan udang jerbung di Cilacap lebih cepat dibandingkan pada perairan Tanjung Karawang dan Teluk Bintuni (Papua).
Penyebaran dan Musim Penangkapan Udang Jerbung Daerah penyebaran udang jerbung terdapat di sepanjang perairan pantai yang dangkal dan terlindung berupa perairan estuaria, teluk-teluk yang biasanya terdapat hutan mangrove serta perairan yang landai seperti laut jawa. Secara ekosistem penyebaran dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah muara sungai/estuaria dan daerah lepas pantai. Udang jerbung daerah estuaria umumnya berstadium post larva dan yuwana berukuran kecil, sedangkan di lepas pantai berukuran besar/dewasa (Garcia & Le Reste, 1981). Puncak musim penangkapan udang jerbung di perairan Cilacap berlangsung bulan September sampai Pebruari (Zalinge dan Naamin, 1975). Alat tangkap udang jerbung yang bersifat aktif adalah pengoperasiannya dengan cara ditarik kapal dengan daya tertentu atau dilingkarkan di perairan yang bertekstur dasar lebih rata, terdiri dari lumpur atau lumpur berpasir yang banyak udang jerbungnya. Jenis alat tangkap yang termasuk kategori ini adalah trawl, jaring trammel net, set net dan cantrang. Pengoperasian trammel net yang ditarik perahu dengan sistem menghadang arah arus akan memperoleh hasil tangkapan udang jerbung lebih baik (Wudianto, 1985 dan Barus et al, 1986). Umumnya kedalaman perairan saat operasi sekitar 5 – 20 m. Satu trip penangkapan alat tangkap tramel net (5 –7) hari. Rata-rata pengoperasian alat 3 – 5 setting per hari. Faktor
97 keberhasilan penangkapan udang jerbung jerbung dengan trammel net adalah bahan, kontruksi dan teknologi penangkapannya (Wudianto, 1985). Optimasi Sumberdaya Perikanan Udang Jerbung Sumberdaya udang jerbung merupakan salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Namun dalam kontribusinya sebagai penyumbang devisa, ada hal yang harus kita perhatikan yakni bagaimana cara agar sumberdaya udang jerbung yang dikelola dapat meningkatkan perekonomian secara makro dan mikro, dimana bagi nelayan khususnya dapat meningkatkan pendapatan mereka, sedang bagi negara dapat meningkatkan devisa, dengan tetap memperhatikan aspek-aspek keberlanjutan sumberdaya tersebut. Secara implisit pernyataan tersebut mengandung dua makna, yakni dari sisi ekonomi dan biologi. Dengan demikian, pemanfaatan optimal sumberdaya udang jerbung, harus mengakomodasi kedua aspek tersebut. Oleh karenanya, pendekatan bioekonomi dalam pengelolaan sumberdaya udang jerbung merupakan hal yang perlu dipahami oleh setiap pelaku yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya udang jerbung. Pada awalnya, pengelolaan sumberdaya banyak didasarkan pada factor biologi semata, dengan pendekatan yang disebut maximum sustainable yield (tangkapan maksimum lestari). Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies udang jerbung memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok udang jerbung akan tetap mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Para pakar biologi udang jerbung seperti yang dilaporkan Munro (1981) mencoba menurunkan sustainable yield curve yang didasarkan pada keseimbangan populasi udang jerbung atau biomassa udang jerbung. Populasi udang jerbung diasumsikan akan tumbuh karena terdapat kelahiran dalam populasi itu (recruitment), adanya pertumbuhan udang jerbung dalam populasi (growth), kemudian populasi udang jerbung tersebut dibatasi oleh kematian alami yang disebabkan oleh predator dan keterbatasan lingkungan perairan. Menurut Zulham (2005), keterbatasan lingkungan itu terjadi karena; (1). Persediaan makanan dalam perairan. Persediaan makanan yang ada bukan hanya diperlukan oleh udang jerbung dalam perairan tetapi juga oleh organisme lain yang terdapat dalam perairan tersebut; (2).Ketersedia an oksigen. Oksigen diperlukan bukan hanya oleh udang jerbung yang ada dalam perairan tetapi berbagai organisme dalam kolom air juga memerlukan oksigen. Kolom air memerlukan 18 oksigen untuk menetralisir pencemaran yang ada dalam perairan, dalam ilmu ekologi disebut sebagai daya asimilasi; dan (3). Keterbatasan ruang karena ada kendala fisik dan kimiawi yang implisit terdapat dalam kolom air, sehingga ikut membatasi ruang hidup populasi udang jerbung. Apabila ketiga keterbatasan itu dianggap konstan, dan X didefinisikan sebagai biomassa udang jerbung, t adalah waktu dan F(X) adalah fungsi yang menggambarkan
98 pertumbuhan alami populasi udang jerbung, Bila dXt/dt (1aju pertumbuhan biomass), f (Xt) (fungsi
pertumbuhan biomass ikan), Xt (ukuran kelimpahan biomass ikan), r (laju pertumbuhan instrinsik), dan K (daya dukung alam (carrying capacity)), maka dinamika pertumbuhan populasi udang jerbung tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
Xt dXt/dt = Xt. r 1 − K Saat sumber daya udang jerbung dimanfaatkan melalui kegiatan penangkapan, terjadi pengurangan kelimpahan (biomasa) populasi ikan. Perubahan tersebut merupakan selisih laju pertumbuhan (biomasa) populasi dengan sejumlah biomasa yang ditangkap. Hubungan tersebut menurut Schaefer (1954) in Boer dan Aziz (1995), menjadi : dXt = f (Xt) - ht dt
ht = hasil tangkapan. Selanjutnya dinyatakan bahwa secara matematik hasil tangkapan dapat dituliskan sebagai : ht = q.Et.Xt dengan q sebagai koefisien ketertangkapan (cachability) dan Et menunjukan upaya penangkapan (effort). Persamaan terakhir ini dapat ditulis menjadi: ht = q Xt Et
dan menunjukan hipotesis Schaefer yang menyatakan bahwa tangkapan per unit upaya (CPUE = Catch Per Unit of Effort ) sebanding dengan kelimpahan stok Xt. Oleh karena Xt tidak dapat diamati, maka pendekatan ini sangat penting dalam pengkajian stok dengan asumsi dasar bahwa q dapat diduga serta pendekatan kesebandingan antara CPUE dan Xt hanya berupa hipotesis sehingga hasilnya dapat berbias. Tangkapan optimum dapat dihitung pada saat
dXt = 0 atau disebut juga penyelesaian dt
pada titik keseimbangan (equilibrium), yang berbentuk:
q 2 KEt ht = qK − = a − bEt Et r
99 q 2K Sedangkan a = qK dan b = . Hubungan linier ini yang digunakan secara luas untuk r
menghitung dugaan MSY melalui penentuan turunan pertama ht terhadap Et dalam rangka menemukan solusi optimal, baik untuk upaya maupun produksi tangkapan. Turunan pertama ht dan Et adalah: ht = aEt − bEt 2
Sehingga diperoleh dugaan EMSY (upaya tangkap maksimal) dan hMSY (tangkapan yang diperbolehkan) masing – masing adalah :
E
MSY
=
a r = dan 2 b 2q
h MSY =
a 2 rK = 4b 4
Nilai-nilai a dan b diduga melalui pendekatan metode kuadrat terkecil yang umum digunakan pada penentuan dugaan koefisien, persamaan regresi linier sederhana. Analisis fungsi produksi lestari perikanan tangkap yang dikembangkan oleh Schaefer hanya dapat menentukan tingkat pemanfaatan maksimum secara lestari berdasarkan aspek biologi (hMSY dan EMSY), sehingga belum mampu menetapkan tingkat pemanfaatan maksimum yang lestari secara ekonomi (hMEY dan EMEY). Untuk menjawab permasalahan tersebut, Gordon mengembangkan Model Schaefer dengan cara memasukan faktor harga per satuan hasil tangkap dan biaya per satuan upaya pada persamaan fungsinya, yang kemudian dikenal sebagai ”Model Statik Gordon – Schaefer” (Seijo et al. 1998). Dengan mengintroduksikan faktor biaya dan harga (aspek ekonomi) ke dalam Model Schaefer, maka dapat diketahui pola hubungan antara penerimaan total (TR) dengan biaya penangkapan total (TC) dari berbagai tingkat upaya yang digunakan dan berbagai tingkat hasil yang dapat diperoleh, dapat dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui tingkat effort yang dapat memberikan manfaat paling optimal tanpa mengancam kelestarian sumber dayanya. Dalam ekonomi sumber daya perikanan, rente ekonomi diartikan sebagai nilai manfaat bersih dari pemanfaatan sumber daya perikanan setelah seluruh komponen biaya diperhitungkan. Model Statik Gordon - Schaefer dirumuskan dengan pendekatan ekonomi memaksimumkan keuntungan dengan persamaan : selanjutnya dengan mensubstitusikan persamaan ( ht = aEt − bEt 2 ) kedalam persamaan (π = p.h - c.E), maka didapatkan persamaan : π = (ap-c)E – bpE2
untuk
100 berdasarkan persamaan (π
= p.h - c.E), keuntungan maksimum atau Maximum Economic
Sustainable Yield (EMEY ) dicapai pada saat
E
MEY
dπ = 0 , sehingga : dE
ap − c ap − c ap − c = dan, hMEY = a − b 2bp 2bp 2bp
2
Secara umum dapat dikatakan bahwa keseluruhan model dasar optimisasi pengelolaan sumberdaya perikanan (udang jerbung) yang dikemukakan di atas, tidak secara eksplisit membahas depresiasi sumberdaya. Model- model dasar di atas melihat bahwa depresiasi terjadi manakala input yang digunakan atau output yang dihasilkan terlalu berlebihan (model Gordon dan Copes). Pengelolaan Sumberdaya Udang Jerbung Pengelolaan sumberdaya udang jerbung dihadapkan pada tantangan yang timbul karena faktor-faktor
yang
menyangkut perkembangan penduduk, perkembangan sumberdaya dan
lingkungan, perkembangan teknologi dan ruang lingkup internasional. Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang perikanan, yang dimaksud dengan perikanan adalah “semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Pengelolaan sumberdaya udang jerbung dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus-menerus, baik melalui kegiatan penangkapan maupun budidaya”. Penangkapan udang jerbung didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh udang jerbung di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah dan mengawetkannya. Ketersediaan stok udang jerbung yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kelahiran, pertumbuhan, kematian, emigrasi dan imigrasi udang jerbung. Pertumbuhan pada tingkat individu dapat dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu periode tertentu, sedangkan pertumbuhan populasi, diartikan sebagai pertambahan jumlah. Faktorfaktor yang paling banyak mempengaruhi pertumbuhan adalah jumlah ukuran pakan yang tersedia, jumlah individu yang menggunakan pakan yang tersedia, kualitas air terutama suhu dan oksigen terlarut, umur, ukuran udang jerbung serta kematangan gonad (Effendie, 2002). Menurut Kusumastanto (2002), masalah-masalah pengelolaan udang jerbung, antara lain meliputi; masalah biologi maupun masalah ekonomi. Masalah biologi seperti ancaman berkurangnya stok, dan masalah ekonomi seperti borosnya tenaga kerja dan modal. Dalam kapasitas penangkapan yang berlebih serta
101 pendapatan yang menurun, dapat diatasi dengan sistem individual tranferable quota (ITQ), namun sistem ini, dirasakan kurang sesuai untuk diterapkan di Indonesia, sehingga disarankan kepada pemerintah, agar mempertimbangkan model territorial use right, yang dipandang lebih realistis bagi Indonesia dalam memasuki era otonomi daerah. Aturan pengelolaannya dapat dilakukan melalui pendekatan community based management, state based management dan perpadauan keduanya yakni Coo-management. Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan (udang jerbung) dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Pengembangan jenis teknologi penangkapan udang jerbung perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan pembangunan umum perikanan. Adapun syaratsyarat pengembangan teknologi penangkapan udang jerbung haruslah dapat: (1)Menyediakan kesempatan kerja yang banyak; (2) Menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan; (3) Menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk menyediakan protein; (4) Mendapatkan jenis udang jerbung komoditi ekspor atau jenis udang jerbung yang biasa di ekspor; dan (5) Tidak merusak kelestarian udang jerbung. Apabila pengembangan udang jerbung di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan udang jerbung yang relatif dapat menyerap tenaga kerja dengan pendapatan nelayan yang memadai. Selanjutnya, dalam kaitannya dengan penyediaan protein untuk masyarakat, maka dipilih unit penangkapan udang jerbung yang memiliki produktifitas unit serta produktifitas nelayan per tahun yang tinggi namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis (Monintja dan Zulkarnain, 1995). Menurut Martasuganda (2003), beberapa permasalahan yang dihadapi dalam upaya untuk terus meningkatkan hasil tangkapan (produksi) dikarenakan belum optimalnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada antara lain: 1).Pemanfaatan sumberdaya banyak yang belum menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, 2). Penentuan daerah penangkapan udang jerbung yang masih dilakukan dengan cara dikira-kira dan umumnya masih disekitar perairan pantai, 3).Pembuatan alat yang masih dilakukan secara turun - temurun tanpa memperhitungkan target tangkapan, daerah penangkapan, waktu penangkapan dan aspek lainnya yang terkait, 4). Alat tangkap dan perahu yang digunakan sebagian besar masih berskala kecil sedangkan yang berskala besar masih sangat sedikit, 5). Kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah, 6). Teknologi penanganan hasil udang jerbung yang masih rendah dan tidak ramah lingkungan, 7). Rantai pemasaran yang masih belum tertata dengan baik, 8). Kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana yang masih kurang, 9). Pengelolaan informasi data belum dilakukan secara profesional, 10).Pembinaan dan penyuluhan usaha masih kurang, 11). Minimnya permodalan yang dimiliki, 12). Penanggulangan pencurian udang
102 jerbung di wilayah ZEEI belum dilakukan secara terkoordinasi dan berkelanjutan, serta 13). Aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha udang jerbung. Optimalisasi potensi sumberdaya udang jerbung tersebut telah banyak dilakukan, dimana tingkat produksi sangat ditentukan oleh input (effort), seperti perbaikan dan peningkatan armada tangkap, jenis dan jumlah alat tangkap yang digunakan, serta tingkat keahlian yang dimiliki (using high-tech). Pada umumnya alat tangkap yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya udang jerbung di perairan Cilacap adalah Trammel Net. Kegiatan optimalisasi tersebut telah memberikan sumbangsih terhadap pendapatan daerah disatu sisi, namun disisi lain tingkat eksploitasi yang tidak terkendali (over exploitation) serta berbagai penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (nonenvironmental friendly of catch) telah menimbulkan ketidakberlanjutan sumberdaya. Menurut Fauzi (2002), penerapan kebijakan konvensional yang sering digunakan antara lain pajak, baik pajak terhadap input maupun output udang jerbung, pembatasan entry (limited entry), maupun kuota, untuk mencapai tujuan pengelolaan udang jerbung yang rasional dan bertanggung jawab, sering menemui kegagalan. User fee atau fishing fee sebagai salah satu alternatif alat pengelolaan sumberdaya udang jerbung yang didasarkan pada cost-effective management, diharapkan menjadi stimulus bagi pengelolaan sumberdaya udang jerbung yang lebih efektif, disamping tersedianya dana untuk pemeliharaan dan pengelolaan sumberdaya udang jerbung. Perairan Cilacap merupakan salah satu daerah tangkapan udang jerbung yang terindikasi gejala tangkap lebih (over exploitation). Kegiatan menangkap udang jerbung di Cilacap pada umumnya menggunakan alat tangkap trammel net. Alat tangkap tersebut merupakan alat tangkap yang dianggap paling efektif dalam kegiatan menangkap udang jerbung. Potensi sumberdaya udang jerbung yang melimpah dengan sendirinya memberikan peluang kepada para nelayan untuk mengoptimalkan potensi udang jerbung yang menyebabkan ketergantungan kepada laut sangat tinggi. Ketergantungan nelayan-nelayan tersebut pada umumnya memberikan tekanan yang tinggi pada sumberdaya udang jerbung, sehingga berbagai cara harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang melimpah tanpa mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Selain itu modernisasi perikanan udang jerbung dengan masuknya alat tangkap yang high exploitation dan berkembangnya pasar produk udang jerbung menjadi bagian yang menyebabkan tingkat eksploitasi semakin tinggi terhadap sumberdaya udang jerbung. Tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya menyebabkan tangkapan udang jerbung yang semakin tinggi pula. tingginya tangkapan udang jerbung tersebut ditandai dengan semakin banyaknya armada penangkapan serta bertambahnya jumlah nelayan yang menangkap udang jerbung di perairan Cilacap serta bertambahnya jumlah trip yang dilakukan para nelayan tersebut. Tekanan yang tinggi menimbulkan dampak terhadap sumberdaya secara langsung. Hal ini ditandai dengan semakin berkurangnya jumlah tangkapan nelayan yang diperoleh, menurunnya ukuran udang jerbung yang ditangkap, serta bertambahnya
103 waktu dan jarak yang ditempuh para nelayan dalam menangkap udang jerbung. Nelayan pada awalnya melakukan penangkapan one-day fishing sebab daerah tangkapan yang relatif dekat (fishing base-fishing ground), sehingga memungkinkan bagi nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan sehari. Gejala -gejala tersebut dapat dikatakan sebagai gejala degradasi sumberdaya udang jerbung, yang diakibatkan oleh intensitas penangkapan yang tinggi. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat degradasi sumberdaya udang jerbung tersebut maka penilaian depresiasi sumberdaya udang jerbung mutlak dilakukan. Seperti yang dilakukan oleh Tai et al, (2000) melakukan penelitian depresiasi sumberdaya ikan di Perairan Peninsular Malaysia, serta penelitian yang dilakukan oleh Fauzi dan Anna (2003) yang melakukan penilaian depresiasi sumberdaya ikan di Pantai Utara Jawa. Penilaian degradasi perlu dilakukan untuk mengetahui nilai kualitas sumberdaya di perairan tersebut. Pendekatan ini menitikberatkan pada seberapa besar penurunan kualitas sumberdaya sebagai akibat dari eksploitasi sumberdaya tersebut. Menurut Pauly (1982), bahwa sumberdaya ikan di daerah tropis dicirikan oleh sifat banyak jenis (multi spesies), sedangkan usaha perikanan dicirikan oleh keragaman alat tangkap (multi gears).
Pembangunan Perikanan Berkelanjutan Tujuan utama pengelolaan sumberdaya berkelanjutan adalah pencapaian keuntungan secara maksimum, dengan tetap menjaga keberlangsungan ketersediaan sumberdaya, sebagaimana tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987 dalam Dahuri, 2002). Selanjutnya bahwa atas dasar definisi dari tujuan tersebut, pembangunan berkelanjutan mengandung tiga unsur (dimensi) utama yang meliputi dimensi ekonomi, ekologis dan sosial (Harris et al, 2001 dalam Dahuri, 2002). Untuk memenuhi ketersediaan sumberdaya (input) secara terus menerus, maka lingkungan (environmental accounting) harus dimasukkan sebagai instrumen kebijakan. Dengan demikian maka pembangunan berkelanjutan dapat terwujud, sebagaimana yang dikatakan oleh Todaro and Smith (2003), bahwa suatu proses pembangunan baru dapat dikatakan berkesinambungan “apabila total stok modal jumlahnya tetap atau meningkat dari waktu ke waktu”. Hal penting yang terkandung secara implisit dalam pernyataan tersebut adalah kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi di masa mendatang dan kualitas kehidupan umat manusia secara keseluruhan sangat ditentukan oleh kualitas lingkungan hidup yang ada pada saat ini. Dahuri et al, (1996), mengemukakan bahwa pembangunan kawasan pesisir, pantai dan pulaupulau kecil secara berkelanjutan hanya dapat terwujud jika pengelolaan dilakukan secara terpadu (integrated).
104 Pentingnya hal keterpaduan dalam pengelolaan wilayah pesisir juga dikemukan oleh CincinSain and Knecht (1998), pada prinsipnya pengelolaan wilayah pesisir dan laut terdiri dari 5 hal yaitu (1) sustainable development; (2) integration approach; (3) responsible decentralization; (4) peoplecentered management; dan (5) global and regional cooperation regime . Selanjutnya Dahuri et al, (1996), mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir memiliki 4 dimensi, yaitu; ekologis, sosial, ekonomi, budaya, politik, hukum dan kelembagaan. Lebih jauh Adrianto dan Kusumastanto (2005), mengemukakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir pada dasarnya diarahkan untuk mencapai dua tujuan, yaitu: (1) Pendayagunaan potensi pesisir dan lautan untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku pembangunan kelautan khususnya, dan (2) untuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya kelautan khususnya sumberdaya dapat pulih dan kelestarian lingkungan. Selanjutnya dalam kerangka pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan, maka PKSPL-IPB (1998) membedakan dua kelompok sumberdaya pesisir dan lautan, yaitu kelompok pertama, terdiri dari sumberdaya ikan (udang jerbung), konservasi dan lingkungan pesisir serta pariwisata bahari; dan kelompok kedua, terdiri dari sumberdaya tidak dapat pulih, pertambangan dan energi, unsur perhubungan laut, unsur industri kelautan dan pembangunan kelautan. Menurut FAO (1995) bahwa pengelolaan udang jerbung sangat penting memperhatikan aspek-aspek ekologis (lingkungan), seperti alat tangkap ramah lingkungan (friendly fishing method) yang memperhatikan
aspek-aspek lingkungan sebagaimana yang
disyaratkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Namun menurut Adrianto (2005) bahwa adopsi CCRF bagi negara berkembang tidak dengan mudah dilakukan mengingat terdapat beberapa hal yang perlu dimodifikasi agar implementasi CCRF dapat dilaksanakan dengan baik sesuai tujuan yang diharapkan. Beberapa prinsip umum CCRF yaitu (1) Negara dan pelaku udang jerbung harus menjamin kelestarian ekosistem. Hak diberikan kepada pelaku perikanan (udang jerbung) mencakup pula kewajiban untuk melakukan aktivitas yang bertanggung jawab: (2) Pengelolaan udang jerbung harus mampu mempertahankan kualitas, keanekaragaman, dan ketersediaan sumberdaya pesisir dalam jumlah yang cukup bagi generasi sekarang maupun masa depan dalam konteks ketahanan pangan (food security ), penanggulangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan; (3) Negara harus mencegah terjadinya kapasitas udang jerbung berlebih dengan cara menerapkan kebijakan pengelolaan yang seimbang antara upaya penangkapan dan kapasitas produksi alamiah sumberdaya pesisir. Aspek-aspek keberlanjutan tersebut menjadi sangat penting terutama ketika dikaitkan dengan dampak yang ditimbulkan dari model pengelolaan unsustainable seperti tangkap lebih (overfishing), sebagai akibat dari tidak adanya regulasi penangkapan udang jerbung seperti batas jumlah tangkapan (qouta), hak kepemilikan (property rights) yang tidak jelas serta minimnya pengawasan. Metode penangkapan udang jerbung dengan
105 bom dan cyanida, adalah model-model pengelolaan yang kurang mengedepankan aspek-aspek keberlanjutan. Selain itu aktivitas ekonomi di darat (upland), pengoboran minyak dan pengerukan pasir laut serta laut menjadi jalur transportasi yang padat, akan berpotensi untuk memberikan tekanan yang semakin besar kepada laut, sehingga dampak tersebut berakibat terhadap terjadinya degradasi dan depresiasi sumberdaya alam. Pada tahun 1950-an dominasi paradigma konservasi ini mendapat tantangan dari paradigma lain yang disebut sebagai paradigma rasionalitas (razionalization paradigma ). Paradigma ini memfokuskan pada keberlanjutan perikanan (udang jerbung) yang rasional secara ekonomi (economically rational or efficient fishery) dan mendasarkan argumentasinya pada konsep pencapaian keuntungan maksimal dari sumberdaya udang jerbung sebagai pemilik sumberdaya. Charles (2001) dalam Adrianto (2005) mengkritisi secara sistematik konsep keberlanjutan udang jerbung konvensional yang selama ini hanya bergantung pada konsep keberlanjutan secara biologi-ekologi lewat ikon MSY (maximum sustainable yield) dan keberlanjutan ekonomi lewat ikon MEY (maximum economic yield). Ikon pertama pada dasarnya merupakan representasi dari paradigma konservasi dan dua ikon berikutnya mewakili paradigma rasionalitas yang telah lama mendominasi konsep keberlanjutan udang jerbung. Selanjutnya ditambahkan tentang perlunya paradigma sosial dan komunitas (community paradigma). Dalam paradigma tersebut, keberlanjutan udang jerbung dicapai melalui pendekatan “kemasyarakatan”. Artinya, keberlanjutan udang jerbung diupayakan dengan memberi perhatian utama pada aspek keberlanjutan masyarakat yang menangkap udang jerbung sebagai sebuah sistem komunitas. Konsep-konsep traditional fisheries yang terbukti mampu melakukan self -control terhadap hasil tangkap, penggunaan teknologi yang sesuai, tingkat kolektivitas yang tinggi antara anggota komunitas udang jerbung, dan adanya traditional knowledge yang mencerminkan upaya ketahanan udang jerbung dalam jangka panjang (long-term resilience) menjadi variable yang penting dalam paradigma ini. Dengan demikian, perikanan (udang jerbung) yang berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian udang jerbung itu sendiri atau keuntungan ekonomi semata (as rents) tapi lebih dari itu adalah untuk keberlanjutan institusi (institutional sustainability) yang mencakup kualitas keberlanjutan dari perangkat regulasi, kebijakan dan organisasi untuk mendukung tercapainya keberlanjutan ekologi, ekonomi dan komunitas udang jerbung. Pengaturan dalam pengelolaan sumberdaya udang jerbung perlu dilakukan, mengingat sumberdaya udang jerbung merupakan sumberdaya public goods (barang – barang publik), sehingga dalam pengelolaannya menjadi open acces dan milik bersama (common property). Pengelolaan sumberdaya yang demikian oleh Garret Hardin akan mengarah pada “the tragedy of commonds”, (tragedi milik bersama). Selain itu sifat sumberdaya udang jerbung yang meskipun dapat pulih (renewable) akan tetapi sangat bergantung pada daya dukung lingkungan (carrying capacity),
106 sehingga memerlukan ketelitian dalam pengelolaannya. Menurut H.S. Gordon (1954) dalam Fauzi (2004) bahwa sumberdaya udang jerbung pada umumnya bersifat open access. Tidak seperti sumberdaya alam lainnya, seperti pertanian dan peternakan yang sifat kepemilikannya jelas, sumberdaya udang jerbung relatif bersifat terbuka. Gordon selanjutnya menyatakan bahwa tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) akan terjadi pada perikanan (udang jerbung) yang tidak terkontrol ini. Pengalokasian sumberdaya sangat ditentukan oleh hak kepemilikan (property rights), dimana kemudian property rights menjadi salah satu instrument kebijakan dalam pembangunan berkelanjutan. Instrumen property rights dalam pengelolaan perikanan (udang jerbung) berkelanjutan sangat penting, mengingat sifat sumberdaya udang jerbung selama ini yang bebas akses, sehingga tangkap lebih dan dekstruktif fishing dapat terjadi. Pengaturan hak kepemilikan diharapkan dengan cara mengalokasikan sumberdaya yang efisien. Hal ini menjadi sangat penting, sebab sumberdaya yang tidak jelas kepemilikannya akan sangat sulit dikendalikan (tidak terkontrol), sehingga kegagalan pasar dapat terjadi kapan saja. Insentif property rights akan mengendalikan pemanfaatan sumberdaya udang jerbung, dimana konsumen dan produsen akan sangat bergantung pada property rights yang dimiliki. Seperti dalam penangkapan udang jerbung, apabila hak kepemilikan tidak jelas maka akan terjadi upaya pemanfaatan yang berlebihan (tangkap lebih), dimana setiap nelayan akan berupaya mengeskploitasi sumberdaya sebesar-besarnya (over exploitation). Secara ekologis, kondisi ini akan berpengaruh pada ketersedian udang jerbung (penurunan stok udang jerbung), sehingga upaya peningkatan effort untuk produksi berikutnya, seperti penambahan unit kapal dan biaya marginal lainnya. Konsekuensinya adalah biaya per unit produksi akan bertambah. Dalam pengertian bahwa setiap upaya meningkatkan produksi maka akan menambah biaya marginal, dengan demikian peningkatan biaya penangkapan udang jerbung karena berkurangnya stok udang jerbung di laut tidak hanya berpengaruh pada nelayan yang menangkap udang jerbung, tetapi juga bagi nelayan lain yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Kondisi ini akan mengarah pada upaya penambahan modal setiap unit effort penangkapan, sehingga akan terjadi penumpukan kapital dan mengarah pada over eksploitasi terhadap sumberdaya udang jerbung tersebut. Sehingga dampak sosial yang ditimbulkan akan semakin besar, seperti menurunnya pendapatan nelayan. Selain itu penumpukan modal tersebut juga menjadi tidak efisien (pemborosan) sehingga peluang usaha yang lebih produktif lainnya tidak dapat difungsikan. Pendekatan kelestarian ekologis dapat digunakan dalam pengelolaan perikanan (udang jerbung) dengan cara memperkuat dan mengembangkan sistem budaya lokal yang ramah lingkungan. Pada umumnya budaya tradisional memiliki pengakuan bahwa manusia bagian dari alam. Pemerintah sebagai decession maker udang jerbung perlu melibatkan masyarakat lokal dalam merumuskan kebijakan. Peran langsung masyarakat lokal dalam pengelolaan udang jerbung di
107 perkuat sesuai budaya setempat. Setiap daerah memiliki budaya yang khas. Sifat khas ini menyebabkan kebijakan pengelolaan udang jerbung tida akan bersifat global (sama untuk setiap daerah), sehingga setiap daerah dapat memiliki sistem pengelolaan yang berbeda-beda sesuai dengan budaya masing-masing daerah. Beberapa prinsip yang dapat dikembangkan dari sumber-sumber inspirasi pendekatan kelestarian ekologis antara lain: Sikap hormat terhadap alam, tanggung jawab terhadap sumberdaya alam (moral responsibility for nature), solidaritas kosmis (cosmic solidarity), kasih sayang terhadap alam (caring fornature), hidup sederhana dan selaras dengan alam, keadilan dan demokratis dalam pengelolaan
udang
jerbung.
Aspek
ekonomi
merupakan
pendekatan
pembangunan
yang
mengedepankan kriteri-kriteria ekonomi dalam pengelolaan wilayah pesisir. Seperti, sejauh mana manfaat ekonomi yang diperoleh dalam suatu pengelolaan wilayah pesisir, kemudian seberapa besar nilai ekonomi dalam pengelolaan udang jerbung tersebut dengan mengintegrasikan nilai- nilai ekonomi ke dalam pengelolaan. Aspek sosial merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya dengan nilai-nilai sosial dari pemanfaatan sumberdaya tersebut, seperti sejauh mana peran serta masyarakat dalam menjaga dan mengelola sumberdaya udang jerbung tersebut, kemudian penguatan-penguatan kelembagaan sosial masyarakat dalam menjaga dan mengelola sumberdaya, seperti sistem sasi di Maluku dan awig-awig di Lombok adalah merupakan salah satu bentuk upaya menjaga dan mengelola sumberdaya udang jerbung secara berkelanjutan. Sejalan dengan program nasional pemerintahan kabinet Indonesia Bersatu, pembangunan sektor perikanan (udang jerbung) masuk dalam pencanangan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Dalam konteks ini, khusus untuk revitalisasi udang jerbung, diarahkan pada penguatan ekonomi berbasis komoditas yakni: udang, rumput laut dan tuna. Ketiga komoditi tersebut dijadikan sebagai komoditi unggulan dalam pembangunan perikanan ke depan. Menurut Adrianto (2005) bahwa dalam konteks tujuan jangka pendek-menengah, konsep tersebut tidaklah salah, namun akselarasi dari pembangkitan ekonomi berbasis komoditas tidak akan efektif tanpa disertai strategi pembangkitan makro pengelolaan perikanan (udang jerbung) itu sendiri. Untuk itu, lebih jauh Adrianto (2005) merumuskan beberapa konsepsi kebijakan makro revitalisasi sektor perikanan (udang jerbung) yang harus ditempuh yakni: (1) penataan sistem pengelolaan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan laut, dan (2) revitalisasi tata kelola udang jerbung yang terdiri dari: Pertama, perubahan rejim perikanan (udang jerbung) dari quasi open access ke limited entry. Kedua, kebijakan total allowable effort atau pembatasan jumlah nelayan atau upaya penangkapan. Ketiga, kebijakan local fisheries management organization. Keempat, optimalisasi distant waters fishing.
108
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1. Mengetahui tingkat optimum pemanfaatan sumber daya udang jerbung di melalui perhitungan MSY dan MEY udang jerbung di Cilacap. 2. Mengetahui laju degradasi udang jerbung di lepas pantai Cilacap. 3. Merumuskan bentuk pengelolaan sumberdaya udang jerbung di Cilacap secara berkelanjutan.
Alur kerangka pemikiran untuk mengetahui tingkat optimasi pemanfaatan sumber daya udang jerbung secara skematik disajikan pada Gambar 1.
Tingkat pemanfaatan yang berlebihan (over exploitasi)
Aspek Biologi
STOCK
Analisis Bio-ekonomi Model Gordon – Schaefer
Kelebihan / pemborosan investasi
Aspek Ekonomi
• Fungsi Produk Lestari (MSY dan MEY ) • Laju degradasi udang jerbung • Merumuskan bentuk pengelolaan udang jerbung
Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Udang Jerbung
Gambar 1 Kerangka pemikiran optimasi pemanfaatan sumber daya udang jerbung yang didaratkan di TPI Cilacap secara berkelanjutan.
109 Hipotesa 1. Pemanfaatan sumberdaya udang jerbung di lepas pantai Cilacap telah mengalami overfishing dan degradasi sumberdaya. 2. Pemanfaatan sumberdaya udang jerbung di lepas pantai Cilacap telah mengalami inefisiensi dan tidak optimal.
Ruang Lingkup Penelitian 1. Penilitian difokuskan pada penilaian tingkat optimum sumberdaya udang jerbung di lepas panta i Cilacap, yang didasarkan pada pendekatan surplus produksi. 2. Penilaian tingkat overfishing dan laju degradasi sumberdaya udang jerbung di lepas pantai Cilacap. 3. Pengkajian model pengelolaan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya udang jerbung di lepas pantai Cilacap.
Manfaat Penelitian 1. Dasar kebijakan pengelolaan sumber daya udang jerbung berkelanjutan, khususnya di daerah penelitian. 2. Bahan dan informasi bagi otoritas berwenang untuk dikembangkan sebagai dasar kebijakan pengelolaan sumber daya udang jerbung. 3. Informasi bagi nelayan dalam melakukan usahanya, guna menghindari penggunaan modal berlebihan.
110 Keadaan umum Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di Perairan Cilacap yang merupakan kabupaten terluas Jawa Tengah yaitu 225.360,84 Ha atau 2.253,61 km2. Secara geografis terletak diantara 108° 4' 30" - 109° 30' 30" BT dan 7° 30' 7" - 45° 20' LS. Secara administratif terbagi menjadi 24 kecamatan 269 desa dan 15 kelurahan. Sedangkan secara topografi, berada pada ketinggian 6 – 198 meter di atas permukaan air laut. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Brebes dan Propinsi Jawa Barat, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat serta sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Kebumen. Penelitian diksanakan bulan Februari sampai dengan Maret 2005, dan bulan Oktober sampai dengan November 2005.
Metode Pengambilan Contoh dan Pengumpulan Data Pengambilan contoh dilakukan dengan metode purposive sampling yang dilakukan melalui
survei
wawancara
berstruktur,
yaitu
pelaksanaan
wawancara
dengan
menggunakan panduan wawancara. Penelitian ini juga menggunakan analisis time series dari harvest dan effort tahun 1991-2005. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer dihimpun berdasarkan wawancara berstruktur. Data primer meliputi biaya operasional penangkapan. Data analisis biaya nelayan untuk melakukan penangkapan udang jerbung yaitu, biaya pengadaan perbekalan yang meliputi biaya pembelian solar, bahan bakar, minyak pelumas, es, bahan makanan dan perbekalanperbekalan lainnya, yang diperlukan selama penangkapan di laut. Data sekunder dihimpun berdasarkan laporan, jurnal maupun hasil- hasil kajian dari berbagai instansi terkait, baik yang berdomisili di dalam maupun di luar lokasi penelitian. Data sekunder meliputi perkembangan jumlah dan nilai produksi (harvest), perkembangan jumlah armada, perkembangan jumlah nelayan, jumlah alat tangkap, jumlah trip penangkapan dan harga udang jerbung. Variabel analisis meliputi CPUE (x) dan upaya penangkapan (y). Hasil tangkapan yang dianalisis adalah udang jerbung jenis jerbung. Tingkat upaya diukur dengan jumlah trip penangkapan kapal penangkap dikalikan dengan jumlah kapal penangkap. Armada penangkap yang menjadi standar daya tangkap adalah kapal motor ukuran (5-50) GT dengan alat tangkap
111 jaring trammel net. Terdapat dua varian metode penangkapan menggunakan jaring trammel net yang akan dianalisis, yaitu trammel net aktif dan trammel net pasif. Trammel net aktif adalah metode penangkapan ikan dengan cara menebarkan jaring trammel net yang digerakkan secara memutar 360° oleh kapal. Sedangkan trammel net pasif adalah metode penangkapan ikan dengan cara menebarkan jaring trammel net dengan posisi akhir melawan arus yang dibantu oleh kapal ketika menebarkannya.
Standarisasi Effort Mengingat beragamnya alat tangkap yang beroprasi di wilayah penelitian, maka untuk mengukur dengan satuan yang setara, dilakukan standarisasi effort antar alat angkap dengan teknik standarisasi yang dikembangkan oleh King (1995) dengan rumus :
E jt = ϑ jt D jt dan : ϑ jt =
u jt u st
dimana : Ejt
= Effort dari alat tangkap j pada waktu t yang distandarisasi
Djt
= Jumlah trip dari alat tangkap j pada waktu t
ϑ jt
= Nilai fishing power dari alat tangkap j pada perode t
ujt
= CPUE dari alat tangkap j pada waktu t
ust
= CPUE dari alat tangkap yang dijadikan basis standarisasi
untuk memperoleh nilai upaya, maka seluruh unit effort distandarisasi berdasarkan alat tangkap trammel net aktif
Musim Penangkapan Udang Jerbung Informasi mengenai pola musiman penangkapan digunakan untuk menentukan waktu operasi penangkapan udang jerbung agar memperkecil resiko kerugian. Perhitungan pola musim
112 penangkapan digunakan data hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) setiap bulan. Data CPUE yang diperoleh di lapangan memiliki peluang yang tidak sama benar dengan distribusi normal, maka digunakan metode rata-rata bergerak sehingga diperoleh data yang mendekati ideal. Pola musim penangkapan dianalisa dengan menggunakan teknik analisa deret waktu terhadap hasil tangk apan per unit upaya (CPUE) bulanan ikan selama 15 tahun terakhir (19912005). Penentuannya menggunakan metode ratio rata-rata bergerak (moving average), sebagaimana diutarakan oleh Dajan (1982) sebagai berikut : 1. Menyusun data deret waktu CPUE bulanan Yi = CPUEi
i : 1, 2, 3 .................., n, Yi : CPUE ke- i
2. Menyusun rata-rata bergerak CPUE 12 bulan (RG) i +5
∑ Yi
Rgi = 1/12
i : 7, 8, ............., n-6
i =i −6
3. Menyusun rata-rata bergerak terpusat i +1
RGPi = ½
∑ RGi
i : 7, 8, ............., n-6
i =1
4. Menyusun rasio rata-rata tiap bulan (Rb) Rbi = Yi/RGPi
i : bulan 1, 2, 3 ............, 12
5. Menyusun nilai rata-rata dalam satu matrik berukuran j x i yang disusun untuk setiap bulan dimulai bulan Juni- Juli, kemudian menghitung indeks musim penangkapan sebagai berikut : (i) Rasio rata-rata untuk bulan ke- i (RRB) RRBi =
1 n
n
∑ RBij
j : 1, 2, 3 ..............., n
n j =1
(ii) Jumlah Rasio rata-rata bulanan (JRBB) : 12
JRRB =
∑ RRBi
i : 1, 2, 3 ................., 12
i =1
(iii) Indeks Musim Penangkapan (IMP) dihitung dengan persamaan : IMPi = RRBi x FK
i : 1, 2, 3, ............., 12
113 Penentuan pola musim penangkapan dengan metode rata-rata bergerak mempunyai keuntungan yaitu dapat mengisolasi fluktuasi musiman sehingga dapa t menentukan saat yang tepat untuk melakukan penangkapan udang jerbung
Metode Analisa Degradasi Penentuan tingkat degradasi untuk sumber daya udang jerbung dilakukan melalui pendataan data input atau effort dan output (hasil tangkapan) dari udang jerbung dalam bentuk data series. Dari kedua data tersebut dapat dihitung estimasti stok dan tingkat panen lestari (sustainable yield). Kemudian dengan membandingkan kondisi ekstrasi aktual dan sustainable dengan analisis trend dan contrast akan dapat diketahui laju degradasi. Fungsi dari degradasi sumber daya udang jerbung dapat dilakukan berdasarkan formula Anna (2003) yang merupakan modifikasi dari Amman dan Duraiappah (2001) sebagai berikut : φt =
1 h at
1+ e
h st
dimana φ t adalah tingkat degradasi pada periode t, sedangkan hat adalah produksi aktual pada periode t dan hst adalah produksi lestari pada periode t.
Pendugaan Potensi Lestari dan Tingkat Pemanfaatan Pendugaan potensi lestari (MSY) udang jerbung dengan menggunakan data sekunder berupa data series produksi dan upaya selama 15 tahun terakhir adalah model surplus produksi yang dikembangkan oleh Schaefer (1954). Menurut model surplus produksi schaefer hubungan antara upaya penangkapan dan hasil per upaya (CPUE) mengikuti garis linier dengan koefisien arah negatif = c f = a − bf , adapun f = upaya total dan c f = CPUE. Dalam menganalisis hasil dan upaya penangkapan, Schaefer menyatakan : • Terdapat hubungan linier antara hasil per unit upaya (CPUE) dengan jumlah upaya penangkapan (effort), yang dapat dinyatakan dengan persamaan : c f = a − bf , • Bila total hasil per tahun diplot terhadap total biaya, akan diperoleh kurva bentuk parabola dengan persamaan : c = af − bf 2
114 • Jumlah upaya yang optimal ( f opt.) adalah : f opt.= a / 2 b • Hasil yang optimal (M SY) adalah : MSY = a 2 4b , dimana, a & b Konstanta (intersep dan koefisien independent) Sementara untuk menghitung tingkat pemanfaatan adalah (tingkat pemanfaatan produksi / MSY) x 100%. Apabila pengusahaan masih sekitar 100% atau di bawahnya, maka pengusahaan tersebut masih berada dalam tahapan yang lestari
Metode Analisis Bio-Ekonomi Keseimbangan bio-ekonomi yang merupakan tingkat keseimbangan pendapatan dan biaya penangkapan dengan pendekatan dinamik adalah model biologi Schaefer (1954) dan model ekonomi dari Gordon (1957). Dalam hal ini, optimalisasi perikanan diarahkan untuk mencapai keseimbangan biologi dan ekonomi, yaitu disatu sisi terjadi kelestarian sumberdaya udang jerbung dan di sisi lain terjadi perolehan manfaat ekonomi secara berkelanjutan. Secara matematik, analisa bioekonomi dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :
E
MEY
ap − c = dan h 2bp
MEY
2 = a( EMEY ) − b( EMEY ) , dimana E
MEY
adalah jumlah upaya
penangkapan optimal secara ekonomi, sedangkan h MEY adalah Hasil tangkapan optimal secara ekonomi. Pendekatan analitik optimasi statik oleh Fauzi (2000) dijelaskan bahwa penurunan tingkat eksploitasi optimal bio-ekonomi secara analitik sebagai berikut π = p.c − cE , adapun c adalah Total biaya operasional penangkapan, sedangkan p adalah Harga udang jerbung jerbung per kg
115 Implikasi Kebijakan Ekonomi Untuk melihat pada kondisi mana perikanan yang paling efisien, terliha pada Tabel 1
Tabel 1. Perbandingan MEY dan MSY dengan variabel E, h, ? VARIABEL
MEY
MSY
ap − c Eopt = 2bp
E MSY > Eopt
h:
Optimum
Maksimum
? :
Maksimum
? MSY
Sisi Input E:
Sisi Output
< ? maks
Berdasarkan Tabel 1. Terlihat bahwa pada kondisi maksimum tangkapan secara ekonomi (MEY) yang paling menguntungkan karena memberikan profit (? ) yang terbesar dengan input yang paling sedikit. Pada kondisi maksimum tangkapan secara ekonomi (M EY) pada titik E optimal dimana rente ekonomi yang diperoleh maksimal karena terlihat jarak TR dan TC terbesar, dalam hal ini jumlah input produksi yang digunakan jauh lebih sedikit dari pada EMSY.
Diagram Alir Proses Penelitian Proses penelitian dimulai sejak penetapan judul, lokasi dan rencana pelaksanaan penelitian yang dituangkan dalam bentuk usulan penelitian. Data pendukung dihimpun sejak tahap perumusan usulan penelitian, kemudian dilengkapi dengan data hasil penelitian lapangan, baik yang bersifat data primer maupun sekunder. Analisis aspek biologi dilakukan dengan pendekatan fungsi produksi lestari Model Schafer dan analisis aspek ekonomi dilakukan dengan pendekatan Model Statik Gordon-Schaefer. Hasil analisis dituangkan dalam bentuk kesimpulan dan digunakan sebagai dasar dalam merumuskan saran-saran yang dapat mendukung kebijakan dalam rangka pemanfaatan sumber daya udang jerbung secara berkelanjutan. Diagram alir proses penelitian disajikan pada Gambar 2.
116
Mulai Penetapan Judul, Lokasi dan Penyusunan Usulan Penelitian
Kajian Pustaka
Penelitian Lapangan
Kajian Pustaka
Kajian Laporan, Jurnal dan lain-lain
Kajian Pustaka
Data Sekunder
Data Sekunder Tidak Puas
Analisis Aspek Biolog i Puas
Tidak Puas
Analisis Aspek Ekonomi Puas Kesimpulan dan Saran Selesai
Gambar 2. Diagram alir proses penelitian optimasi pemanfaatan sumber daya udang Jerbung
117
HASIL
Keadaan Umum Daerah Penelitian Bentuk topografi kawasan Cilacap umumya bertekstur kasar dan terdiri dari dataran bergelombang, perbukitan, daerah aliran sungai dan pantai. Pada bagian tengah perairan teluk penyu Cilacap merupakan lereng benua (continental shelf).
Profil topografi seperti itu
mengakibatkan adanya fenomena arus sepanjang pantai (long shore current) dibeberapa lokasi perairan tersebut. Karakteristik pasang surut (pasut) di perairan teluk penyu Cilacap merupakan perambatan dari pengaruh pasang surut yang terjadi di Samudra Hindia, yaitu merupakan pasang surut yang digerakan oleh Gaya Pembangk it Pasang (GPP). Sifat pasang surut yang teriadi di perairan tersebut merupakan campuran dominasi semi diurnal. Artinya dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan magnitude yang berbeda. Keadaan umum daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 3
Gambar 3. Peta daerah penelitian penangkapan udang jerbung di Cilacap Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat
118 Kota Cilacap, memiliki penduduk sekitar 73.158 jiwa yang tersebar pada 3 wilayah administratif, yakni Cilacap Tengah 14.055 jiwa, Cilacap Selatan 52.338 jiwa, dan Cilacap utara 7.006 jiwa (BPS Cilacap, 2004). Pada umumnya mata pencaharian utama penduduk kota Cilacap adalah nelayan penangkap ikan, baik ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, Udang dari hasi laut dan tambak. Meskipun mata pe ncaharian utama masyarakat di Kota Cilacap adalah nelayan tangkap pada umumnya, namun hal tersebut belum memberikan hasil yang signifikan terhadap taraf hidup masyarakat secara keseluruhan.
Perkembangan Rumah Tangga Perikanan/RTP Rumah Tangga Perikanan (RTP), merupakan satuan rumah tangga nelayan yang didasarkan pada satuan unit penangkapan ikan diukur dari kepemilikan armada penangkapan. Pada penelitian ini satuan unit armada sebagai acuan RTP, dibagi atas 3 kelompok besar yakni; 1) RTP dengan perahu tanpa motor, 2) RTP dengan motor tempel, dan 3) RTP dengan kapal motor.
Struktur Sosial Nelayan Tangkap di Cilacap Juragan merupakan mereka- mereka yang memiliki modal yang memungkinkannya sebagai penyedia segala macam kebutuhan nelayan dalam aktivitas penangkapan mulai dari kapal, alat tangkap dan kebutuhan operasional lainnya. Sebagai seorang juragan, dapat saja ia mengoperasikan sendiri alat tangkapnya maupun dengan menggunakan tenaga orang lain. Hubungan yang terjadi antara juragan dengan orang yang dipekerjakannya biasanya berupa transaksi kerja dalam pola-pola dengan ikatan yang lebih bersifat permanent. Tekong merupakan orang yang memiliki spesialisasi pengetahuan tentang suatu daerah penangkapan
ikan. Seorang tekong memiliki posisi tertinggi di dalam sebuah armada
penangkapan. Kesuksesan operasi penangkapan adalah kesuksesan tekong. Dalam interaksinya, tekong memiliki akses kepada juragan maupun ABK yang ada di dalam armada penangkapan yang dioperasikannya. Anak Buah Kapal (ABK) merupakan satu lapisan tersendiri dalam kelompok masyarakat nelayan. Posisi ABK dalam lapisan ini semata- mata sebagai tenaga kerja bayaran. Biasanya ABK memiliki hubungan dengan tekong lebih kompleks daripada tekong dengan juragan. Walaupun sesungguhnya tekong secara tidak langsung menjadi media komunikasi antara ABK dengan juragan. Juru Es merupakan satu elemen dalam jaringan sosial nelayan yang memiliki arti penting bagi tekong dan ABK. Peranannya hanya sebagai tukang penghancur es dan sortir hasil
119 tangkapan, namun memiliki posisi strategis bila dapat dikontrol dengan baik karena melalui tugas juru es yang bertanggung jawab terhadap kualitas produk hasil tangkapan dapat menentukan nilai tangkapan. Kebanyakan para juragan memiliki juru es tersendiri. Interaksi sosial antara Juragan, Tekong, ABK dan Juru Es seprti terlihat pada Gambar 4 berikut :
Juragan
Tekong
ABK
Juru Es
Gambar 4. Interaksi sosial pada struktur masyarakat nelayan di Cilacap
Keadaan Umum Perikanan Udang Jerbung Luas daerah penangkapannya sekitar 5.200 km2 , meliputi perairan pantai sekitar Pangandaran ( + 1 300 km2 ), Cilacap - Gombong (+ 3.100 km2 ) dan Yogyakarta - Pacitan (+ 800 km2 ). Penggunaan alat tangkap modern berupa pukat harimau baru dimulai pada pertengahan tahun 1971, perkembangan penggunaan alat ini menunjukkan peningkatan pesat sejak tahun 1972 (Zalinge dan Naamin, 1975). Walaupun pukat harimau bersifat tidak selektif karena dapat menangkap hampir seluruh jenis ikan dasar (demersal), namun keuntungan pengoperasiannya terutama tertopang pada hasil udang jerbungnya. Sebelum ada peraturan tentang daerah penangkapan, kapal- kapal penangkap udang jerbung dari Selat Malaka dan pantai utara Jawa Barat berdatangan ke Cilacap saat musim penangkapan udang jerbung, sedangkan saat tidak musim kapal- kapal tersebut kembali ke tempat asalnya. Kecenderungan penangkapan yang berlebih pada perikanan udang jerbung di lepas pantai Cilacap sebenarnya sudah mulai nampak tahun 1973. Upaya pembatasan kegiatan penangkapan dengan membatasi jumlah kapal telah mulai diterapkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah tahun 1974 (Zalinge dan Naamin, 1975). Karena pelanggaran daerah tangkapan oleh kapal pukat harimau dan konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan pukat harimau tetap berlanjut, maka pemerintah kemudian menerbitkan Keputusan Presiden nomor 39 tahun 1980 untuk melarang pengoperasian pukat harimau.
120 Setelah dihapuskannya pukat harimau, maka alat tangkap udang jerbung yang masih dioperasikan di perairan lepas pantai Cilacap adalah jaring trammel net dan trammel net pasif. Daerah operasi kapal dengan trammel net ke arah timur hingga perairan selatan Yogyakarta dan ke arah barat hingga perairan sekitar Pangandaran. Perairan yang sering menjadi daerah operasi penangkapan adalah sekitar Gombong. Kapal yang melakukan penangkapan udang jerbung di daerah tersebut sebagian besar berasal dari Cilacap dan sebagian kecil dari Ciamis.
Harga dan Biaya per Unit Upaya Udang Jerbung
Biaya merupakan faktor penting usaha perikanan tangkap, karena besarnya biaya akan mempengaruhi efisiensi usaha penangkapan udang jerbung. Biaya tersebut merupakan indikator penting bagi kapal/perahu untuk menentukan lokasi penangkapan udang jerbung. Biaya penangkapan dalam kajian bio -ekonomi Model Statik Gordon - Schaefer, didasarkan atas asumsi : hanya memperhitungkan faktor penangkapan, sehingga biaya penangkapan hanya meliputi biaya operasional, yang terdiri dari, bahan bakar, oli, es dan perbekalan. Pada penelitian ini biaya operaional kapal adalah per unit effort. Faktor harga dan biaya merupakan variabel yang diperlukan dalam analisis bio-ekonomi. Variabel harga dan biaya akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan yang diperoleh dalam kegiatan penangkapan udang jerbung. Dalam analisis bio-ekonomi, kedua variabel tersebut akan menentukan nilai rente (Phi)dari kajia n solusi bio-ekonomi udang jerbung. Variabel ekonomi tersebut terdiri dari harga riil, dan biaya riil. Harga riil dan biaya riil diperoleh berdasarkan konversi harga nominal yang disesuaikan dengan indeks harga konsumen. Berdasarkan hasil konversi dengan indeks harga konsumen diperoleh harga dan biaya riil untuk udang jerbung pada tahun 2005 sebesar
421.000 rupiah/trip, sedangkan harga per kg udang jerbung di TPI adalah 33.270 rupiah per kg.
Standarisasi Alat Tangkap Udang Jerbung Beragamnya hasil dan ukuran tangkapan memberikan kerumitan tersendiri dalam mengestimasi paramater-parameter biologi dari suatu jenis udang tertentu. Dalam penentuan
standarisasi effort dalam studi ini digunakan unit jumlah trip per tahun dari dua alat tangkap yaitu tramel net aktif dan jaring trammel net pasif. Pemilihan kedua alat tangkap ini didasarkan pada kondisi bahwa kedua alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang dominan digunakan untuk menangkap udang jerbung di lepas pantai cilacap.
121 Karena kedua alat tangkap tersebut memiliki kemampuan berbeda dalam menangkap udang jerbung, maka diperlukan standarisasi unit fishing effort. Pada Tabel 2 menunjukkan perhitungan standarisasi effort dari alat tangkap yang digunakan untuk menangkap udang jerbung di lepas pantai Cilacap. Tramel net aktif dijadikan sebagai alat tangkap standart, mengingat nilai proporsi jumlah hasil tangkapan udang jerbung lebih besar dibandingkan dengan alat tangkap jaring trammel net pasif.
Tabel 2. Standarisasi Effort alat tangkap udang jerbung tahun 1991-2005 di Cilacap Effort(trip) Tahun Tramel Trammel Net Aktif Net Pasif 1991 9246 4344 1992 9875 5592 1993 10512 12552 1994 10750 16224 1995 11370 16464 1996 12508 13848 1997 13693 13104 1998 17875 13224 1999 22836 13248 2000 22896 5592 2001 25879 22152 2002 27986 17376 2003 29896 17664 2004 29987 9624 2005 32895 15960 Sumber: Data Olah Diskanla Cilacap, 2006
Indeks 2.128453 1.765916 0.837476 0.662599 0.690598 0.903235 1.044948 1.351709 1.723732 4.094421 1.168247 1.610612 1.692482 3.115856 2.06109
Standar
Total
Effort
Effort
9246 9875 10512 10750 11370 12508 13693 17875 22836 22896 25879 27986 29896 29987 32895
18492 19750 21024 21500 22740 25016 27386 35750 45672 45792 51758 55972 59792 59974 65790
Perkembangan Perikanan Udang Jerbung di Cilacap Produksi udang jerbung dengan alat tangkap tramel net aktif periode tahun 1991 – 2005 (Gambar 6), tertinggi mencapai 1 245,14 ton yang terjadi tahun 1996 dan terendah mencapai 700,66 ton pada tahun 2000. Sedangkan produksi udang jerbung dengan alat tangkap trammel net pasif periode yang sama (Gambar 5) jumlah produksi tertinggi mencapai 43,99 ton yang terjadi tahun 2003 dan terendah mencapai 29,87 ton pada tahun 1991.
122 50 h (Ton)
40 30 20 10
20 05
20 03
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
19 91
0
Tahun
20 05
20 03
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
1400 1200 1000 800 600 400 200 0 19 91
h (Ton)
Gambar 5. Produksi aktual udang jerbung (ton) tramel net pasif tahun 1991- 2005 di Cilacap
Tahun
Gambar 6. Produksi aktual udang jerbung (ton) tramel net aktif tahun 1991- 2005 di Cilacap Pada Gambar 7 diperlihatkan grafik tingkat upaya udang jerbung setiap bulannya dengan alat tangkap tramel net aktif dan trammel net pasif . Jumlah effort tahunan udang jerbung periode tahun 1991 - 2005 dengan jaring Trammel net aktif tertinggi mencapai 22 152 trip pada tahun 2001 dan terendah mencapai 4 344 trip pada tahun 1991. Sedangkan jumlah effort periode tahun 1991 - 2005 jaring trammel net pasif tertinggi mencapai 32 895 trip pada tahun 2005 dan terendah mencapai 9 246 trip pada tahun 1991.
123 35000 30000
E (trip)
25000 20000
Aktif
15000
Pasif
10000 5000
20 05
20 03
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
19 91
0
Tahun
Gambar 7. Upaya penangkapan (E) udang jerbung dengan alat tangkap tramel net di Cilacap tahun 1991-2005 Hasil Tangkapan Per Unit Upaya Penangkapan Udang Jerbung Catch per unit effort merupakan satuan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan. Dalam penelitian ini nilai CPUE diukur berdasarkan satuan ton untuk hasil tangkapan (catch) dan satuan trip untuk upaya penangkapan (effort). Nilai tersebut diestimasi untuk setiap tahunnya dalam kurun waktu 15 tahun (1991-2005) untuk masing-masing alat tangkap (trammel net pasif dan aktif). Berdasarkan hasil analisis catch per unit effort (CPUE) untuk mas ing-masing alat tangkap udang jerbung di
20 05
20 03
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
0.0035 0.003 0.0025 0.002 0.0015 0.001 0.0005 0 19 91
CPUE
perairan Cilacap, secara grafik tampak seperti pada Gambar 8 dan 9 berikut.
Tahun
Gambar 8. CPUE udang jerbung periode tahun 1991-2005 dengan alat tangkap trammel net pasif di Cilacap
124 0.25
CPUE
0.2 0.15 0.1 0.05
20 05
20 03
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
19 91
0
Tahun
Gambar 9. CPUE udang jerbung periode tahun 1991-2005 dengan alat tangkap trammel net aktif di Cilacap Selama periode tahun 1991 – 2005 (Gambar 9), CPUE jaring Trammel Net aktif cenderung berfluktuatif, dengan nilai tertinggi terjadi pada tahun 1991 sebesar 0,197 dan terendah terjadi pada tahun 2003 mencapai 0,051. Sedangkan CPUE jaring trammel net pasif (Gambar 8), nilai tertinggi terjadi pada tahun 1991-1996 sebesar 0,003 dan terendah terjadi pada tahun 1999 - 2000 dan tahun 2003 - 2005 mencapai 0,001.
Musim Penangkapan Udang Jerbung di Cilacap Musim penangkapan udang jerbung yang didasarkan pada
nilai indeks musim
penangkapan (IMP) menunjukkan bahwa musim penangkapan terjadi sekitar bulan Agustus sampai dengan Desember dimana nilai IMP-nya berkisar di atas 100 % (Gambar 15)
Indexvalue
160.0 140.0 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 A pr il
Pe br ua ry
D ec em be r
O cto be r
Au gu st
Ju ne
0.0
Bulan
Gambar 10. Indeks musim penangkapan (IMP) udang jerbung tahun 1991-2005 di Cilacap
125 Estimasi Produksi Lestari Produksi lestari (sustainable yield) merupakan hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya penangkapan dalam bentuk kuadratik, dimana tingkat effort dan hasil tangkapan menggambarkan keberlanjutan sumberdaya. Apabila produksi lestari dipanen melampaui batas maksimum (MSY), maka diyakini bahwa sumberdaya tersebut akan punah dan tidak dapat dimanfaatkan lagi.Tingkat pemanenan terhadap suatu sumberdaya sangat ditentukan oleh upaya tangkapan (effort).
Hasil maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield) dan tingkat penangkapan optimum yang menghasilkan MSY dapat diperoleh dari hubungan parabola antara hasil ekuilibrium dan upaya penangkapan optimum. Untuk memperoleh hasil per unit upaya (Catch Per Unit Effort/CPUE) yaitu hasil dibagi upaya yang merupakan indeks kelimpahan populasi setiap tahunnya. Dengan meregresikan CPUE dan Upaya penangkapan diperoleh persamaan berikut : CPUE = 195,66 + 0.0074 E Hubungan antara CPUE dan effort dalam pemanfaatan sumber daya udang jerbung mempunyai nilai intersep (a) sebesar 195,66 dan koefisien independent (b) sebesar 0,0074. Dari nilai tersebut (a dan b) disubstitusikan akan memperoleh dugaan upaya optimum dan maximum sustainable yield (MSY). Eopt =
a 195,66 = = 13 205 trip / tahun 2b 2( 0. 0074 )
Artinya : dalam satu tahun jumlah unit upaya penangkapan tidak boleh melebihi 43 882,94 trip Produksi pada tingkat maximum sustainable yield (MSY) dihitung dengan persamaan berikut :
MSY = hMax =
a2 195,66 2 = = 4b 4(0,0074)
1 291,78 ton / tahun
Artinya : untuk dapat memanfaatkan sumber daya udang jerbung secara lestari, maka yang dapat ditangkap paling maksimal adalah 1 291,78 ton/tahun. Kurva-kurva kedua hubungan antara hasil (yield) versus upaya penangkapan E (effort) dan CPUE versus E (effort), diperlihatkan dibawah ini:
126 250 200 CPUE
y = -0.0074x + 195.66 2
150
R = 0.8612
100 50 0
5000
10000
15000
20000
25000
E (Trip)
Gambar11. CPUE terhadap upaya penangkapan (E) udang jerbung tahun 1991 -2005 di Cilacap Pada Gambar 11 terlihat tangkapan per unit upaya (CPUE) di plotkan terhadap upaya menghasilkan garis linier dengan korelasi secara negatif, untuk penangkapan udang jerbung dari tahun 1991 sampai dengan 2005. 1,400,000 1,200,000
h (Ton)
1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 -
5,000
10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 E (Trip)
Gambar 12. Hasil lestari (MSY) terhadap upaya penangkapan (E) udang jerbung tahun 1991-2005 di Cilacap .......................................................................................................................... Pada Gambar 12 terlihat bahwa produksi pemanfaatan sumber daya udang jerbung meningkat sejalan dengan kenaikan upaya penangkapan dan mencapai titik maksimum pada pada nilai MSY sebesar 1 291,78 ton, kemudian menurun setelah mencapai titik maksimum tersebut. Sedangkan pertumbuhan intrinsik (r) udang jerbung di lepas pantai Cilacap yaitu sekitar 25 726. Parameter koefisien tangkap (q), diperoleh nilai sekitar 1 sementara untuk paramater daya dukung lingkungan (K) adalah 66,5
127 Analisis Laju Degradasi Udang Jerbung di Cilacap Pengukuran besaran laju degradasi sumberdaya alam, akan sangat bermanfaat dalam pengelolaan suatu sumberdaya. Dengan mengetahui besaran laju degradasi, maka dapat dilakukan langkah-langkah pengelolaan yang lebih sustainable. Besaran laju degradasi suatu sumberdaya, dijadikan sebagai indikator pengelolaan. Seperti halnya dalam pengelolaan sumberdaya udang jerbung di lepas pantai Cilacap, diharapkan dapat lebih terarah dan terencana, dengan mengetahui laju sumberdaya tersebut. Kondisi laju degradasi sumberdaya udang jerbung di Cilacap dalam kurun waktu 15 tahun (1991-2005), lebih rinci pada Gambar 13 dan Gambar 14 berikut.
Koefisien Degradasi
0.4806800 0.4806700 0.4806600 0.4806500 0.4806400 0.4806300 2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
0.4806200
Tahun Koefisien Degradasi
Gambar 13. Koefisien Degradasi Sumberdaya Udang Jerbung tahun 1991-2005 di Cilacap
0.50
1,200 Koefisien Degradasi
Produksi Aktual (Ton)
1,400
1,000 800 600 400 200 -
0.40 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 20012002 2003 20042005
Tahun Produksi Aktual
Koefisien Degradasi
Gambar 14. Analisis Perbandingan antara Produksi Aktual dan Laju Degradasi Udang Jerbung di Cilacap Koefisien Degradasi Tahun 1991-2005 di Cilacap berdasarkan Gambar 13 dan 14, diperoleh bahwa secara total nilai koefisien degradasi berfluktuasi dengan selisih 0.00001 per tahunnya. Pada
128 tahun 2000 nilai koefisien degradasi sekitar 0,48064 dan meningkat menjadi 0,48067 pada tahun 2003. Kondisi ini, menunjukkan terjadinya peningkatan laju degradasi sumberdaya udang jerbung di Cilacap setelah tahun 2000.
Pendugaan Parameter Bio -Ekonomi Upaya pemanfaatan sumber daya udang jerbung telah mengindikasikan terjadinya inefisiensi penggunaan effort dan tingkat pemanfaatan yang berlebih (biological over fishing). Berdasarkan pertimbangan aspek biologi, tentu saja sudah dapat merekomendasikan jumlah effort yang seharusnya digunakan dan batas maksimum hasil yang diperoleh secara berkelanjutan, namun dengan mempertimbangkan bahwa upaya pemanfaatan sumber daya udang jerbung merupakan kegiatan ekonomi. Maka untuk memberi manfaat optimum, analisis upaya pemanfaatan sumber daya udang jerbung tidak cukup hanya berdasarkan aspek biologi semata, tetapi harus mempertimbangkan juga aspek ekonominya. Untuk tujuan analisis tersebut, digunakan Model Gordon - Schaefer, yaitu suatu model bio ekonomi yang dikembangkan oleh Gordon dengan cara mengintroduksikan faktor harga dan biaya ke dalam Model Biologi Schaefer. Total perolehan dari usaha penangkapan (TR) aktual 2005 diperoleh: TR = p.h TR = Rp. 33 270 x 1 271 140,2 Kg TR = Rp. 42 290 834 454 Sedangkan total biaya penangkapan (TC) adalah: TC = c.E TC = Rp. 421 000 x 65 790 Trip TC = Rp 27 697 590 000
Berdasarkan biaya total dan harga udang jerbung yang dikemukakan di atas akan menghasilkan analisa data dengan keuntungan sebagai berikut : p = TR - TC = [p.h] – [c.E] = Rp 42 290 834 454 – Rp 27 697 590 000 = Rp 14 593 244 454
129
Hasil perhitungan MSY, MEY, dan produksi Aktual 2005 dengan variable E, h, dan selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 4.
Tabel 3. Nilai MSY, MEY dan Aktual tahun 2005 di Cilacap VARIABEL
MSY
MEY
AKTUAL 2005
E (Trip)
13 205
12 .351
65 790
h (Ton)
1 292
1 287
1 271 140
37,34
37,61
14,6
?
(Milyar-Rp)
?
130
PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan asumsi parameter biologi, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi data dan standardisasi dari unit upaya (effort). Kalibrasi dilakukan mengingat data spesifik mengenai upaya yang ditujukan khusus untuk spesies target yang digunakan dalam penelitian ini tidak tersedia. Dalam perikanan yan multi – species dan multi – gear seperti di Cilacap, maka problem yang kemudian muncul adalah kesulitan untuk mendapatkan data upaya yang langsung untuk setiap species, karena satu alat tangkap dapat menangkap lebih dari satu species udang jerbung. Menurut Smith (1993) dan Fauzi (1998), agregasi upaya merupakan satu-satunya cara pengukuran upaya yang dapat diandalkan pada perikanan multi-species. Standardisasi effort pada studi ini digunakan unit jumlah trip per tahun dari dua alat tangkap yaitu tramel net aktif dan trammel net pasif. Pemilihan kedua alat tangkap ini didasarkan pada kondisi bahwa kedua alat tangkap ini dominan digunakan untuk menangkap udang jerbung di lokasi penelitian. Karena kedua alat tangkap tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangkap udng jerbung, maka diperlukan standardisasi unit fishing effort. Rata-rata produksi tertinggi dengan menggunakan jaring tramel net aktif pada bulan oktober (115,72 ton) dan produksi terendahnya pada bulan januari sebesar 68,19 ton. Sedangkan dengan alat tangkap trammel net pasif rata-rata produksi tertiggi pada bulan Desember mencapai 3,34 ton, yang terendah pada bulan Januari (2,76 ton). Produksi udang jerbung bulanan dengan ke dua alat tangkap (tramel net aktif dan trammel net pasif) pada setengah tahun pertama meningkat dengan nilai terendah pada bulan Januari. Bulan-bulan berikutnya meningkat hingga puncaknya pada bulan Oktober - Desember, kemudian menurun kembali pada bulan-bulan berikutnya. Pola yang sama juga dijumpai ketika pukat harimau masih aktif. Zalinge dan Naamin (1975) melaporkan bahwa produksi terendah terjadi pada bulan Mei, sedangkan puncak produksi dicapai pada bulan September - Februari. Dilihat dari fenomena musim penangkapan udang jerbung dari hasil penelitian ternyata udang jerbung yang ditangkap di Cilacap kebanyakan sedang mengalami puncak pemijahan. Hal ini sesuai dengan penelitian Adisusilo (1984) yang diperkuat oleh penelitian Zalingge dan Naamin (1975). Grafik tingkat upaya menggunakan alat tangkap trammel net aktif pada periode tahun 1999-2000 cenderung menurun, hal ini karena terjadi tumpahan minyak kapal tanker pertamina di pantai Cilacap sehingga nelayan enggan untuk melaut. Sebagai kompensasi kejadian tersebut, pihak pertamina memberikan dana pengganti kebutuhan pokok makanan selama beberapa bulan
131 untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari- harinya. Pergerakan grafik tahun 2000 - 2001 menunjukkan pola kenaikan yang tajam, hal ini terjadi karena kebutuhan udang jerbung di dunia meningkat, sehingga menyebabkan pergerakan harga udang jerbung naik sehingga banyak pedagang yang mencari udang jerbung. Hal ini memacu nelayan untuk berusaha mencari udang jerbung sebanyak-banyaknya. Pada tahun 2004 grafik upaya tangkap kembali turun, hal ini karena cuaca yang buruk yang ditandai dengan gelombang besar, gempa bumi dari retakan bumi di bawah laut sampai menimbulkan terjadinya tsunami di Aceh. Dengan adanya kejadian tersebut menyebabkan nelayan takut untuk melaut. Pola pergerakan grafik upaya dengan alat tangkap trammel net pasif cenderung meningkat karena dengan menggunakan perahu motor yang menangkap hasil perikanan hanya satu hari per tripnya tetap dijalankan oleh nelayan, walaupun hasil perikanan (udang jerbung) sedang langka. Terdapat kemiripan pola fluktuasi musiman antara tingkat produksi dengan tingkat upaya penangkapan dengan alat tangkap tramel net aktif maupun trammel net pasif. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan jangka pendek antara tingkat upaya penangkapan dengan produksi. Disamping itu, tingkat produksi udang jerbung nampaknya juga berhubungan dengan produktivitas alaminya yang dicerminkan oleh hasil tangkapan per unit upaya penangkapan di perairan tersebut. Pada bulan Januari, produksi udang jerbung yang rendah tidak hanya karena tingkat upaya penangkapan yang rendah tetapi juga karena rendahnya produktivitas saat itu. Pada bulan Oktober sampai Desember, produksi udang jerbung yang tinggi selain karena tingkat upaya penangkapannya tinggi juga karena tingginya produktivitas saat itu. Perbedaan produktivitas tersebut karena adanya perbedaan tingkat perkembangb iakan populasi udang jerbung. Upaya penangkapan udang jerbung di Cilacap dapat dilakukan sepanjang tahun, namun karena fenomena dan kondisi alam tertentu, maka kelimpahan hasil tangkapan antara satu musim dengan musim yang lain sangat berbeda. Pada musim angin barat cenderung bertiup angin kencang yang mengandung banyak uap air, sehingga mengakibatkan kondisi perairan bergelombang besar
disertai hujan. Umumnya pada musim ini para nelayan cenderung
mengurangi aktifitas penangkapan (musim paceklik). Sebalik nya pada saat musim timur angin bertiup relatif lemah, sehingga kondisi perairan relatif tenang, dan nelayan kembali meningkatkan aktifitas
penangkapan. Perbedaan jumlah upaya (effort) antara musim penangkapan dengan
musim paceklik memiliki pengaruh yang tidak dapat diabaikan dalam menganalisis fungsi produksi lestari dan optimasi bio-ekonomi upaya pemanfaatan sumber daya udang jerbung.
132 Hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), mencerminkan perbandingan antara hasil tangkapan dengan unit effort yang dicurahkan. Hasil tangkapan pada prinsipnya output dari kegiatan penangkapan, sedangkan effort yang diperlukan pada prinsipnya input kegiatan penangkapan tersebut. Besaran CPUE dapat digunakan sebagai indikator tingkat efisiensi teknik dari upaya pena ngkapan (effort). Dengan kata lain nilai CPUE yang lebih tinggi mencerminkan tingkat efisiensi penggunaan effort yang lebih baik (Berachi 2003). Pemakaian alat tangkap trammel net aktif lebih efisien penggunaannya untuk menangkap udang jerbung dibandingkan dengan alat tangkap trammel net pasif yang diindikasikan dengan nilai CPUE trammel net pasif lebih besar dibandingkan CPUE trammel net pasif . CPUE diplotkan terhadap upaya (Gambar 10) menghasilkan garis lurus dengan korelasi secara negatif untuk penangkapan udang jerbung dari tahun 1991 sampai dengan 2005, kurva tersebut menerangkan bahwa peningkatan jumlah upaya tangkapan dengan alat tangkap tramel net aktif dan trammel net pasif akan menyebabkan penurunan produksi. Hasil tangkap per unit upaya (CPUE) jaring tramel net aktif ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan alat tangkap trammel net pasif. Hal ini membuktikan bahwa tingkat efisiensi penggunaan effort dengan alat tangkap tramel net aktif lebih baik dibandingkan trammel net pasif, seperti yang ter lihat pada tahun 1991. Sedangkan penggunaan kedua alat tangkap yang paling efisien adalah pada tahun 1994. Berdasarkan hasil analisis dapat diperoleh bahwa rata- rata produktivitas kapal penangkap
udang
jerbung
dipengaruhi
oleh
total
upaya
penangkapan.
Tingkat
pengusahaan sumberdaya perikanan udang jerbung optimum dicapai dengan pengendalian upaya penangkapan. Tingkat upaya penangkapan udang jerbung maksimal adalah 13 205 trip/tahun dan pemanfaatan sumber daya tersebut secara lestari pada maksimum penangkapan 1 291,8 ton/tahun. Sesuai dengan Gambar 9, produksi udang jerbung meningkat sejalan dengan upaya penangkapan dengan titik maksimum (MSY) sebesar 1 291,8 ton/tahun, kemudian garis kurva akan menurun setelah mencapai titik maksimum tersebut. Apabila effort dinaikan hingga melampaui EMSY,
total penerimaannya justru akan
mengalami penurunan, sementara total biaya penangkapan semakin meningkat. Apabila tingkat effort sudah berlebihan, total penerimaan lebih kecil dari total biaya penangkapan, maka sebagian pelaku perikanan akan keluar (exit) dari kegiatan penangkapan tersebut, yang berarti menurunkan effort . Effort aktual tahun 2005 lebih tinggi dari EMSY sementara hasil aktualnya mendekati nilai
133 hMEY. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kegiatan penangkapan udang jerbung menggunakan jaring Trammel Net Aktif harus dikendalikan. Data tahun 2005 menunjukkan tingkat produksi sebesar 1 271,14 ton mendekati titik maksimum, yang berarti tidak memungkinkan untuk meningkatkan produksi. Jumlah upaya pada tahun yang sama sebesar 15 960 trip dengan alat tangkap trammel net aktif dan 32 895 trip dengan alat tangkap trammel net pasif. Dari kedua alat tangkap tersebut menunjukkan bahwa upaya tangkap secara aktual pada tahun 2005 diatas nilai effort MSY, sehingga tidak perlu menambah effort untuk memaksimalkan hasil tangkapan. Pada tahun 1999-2005 tingkat upaya (effort) penangkapan ikan dengan jaring Trammel Net Aktif maupun trammel net pasif sudah berada pada kondisi yang paling optimal, yaitu melebihi batas ambang MSY, namun jumlah produksi semakin menurun. Oleh karena itu untuk mencapai tingkat pengelolaan yang maksmal lestari pada masa yang akan datang perlu kebijakan untuk mengurangi effort sampai mencapai tingkat EMSY. Model Schaefer mempunyai beberapa keuntungan yaitu sederhana dan tidak memerlukan banyak data tetapi tetap dapat memberikan hasil pokok yang diperlukan dalam pemanfaatan sumber daya udang jerbung secara bertanggung jawab. Model ini, walaupun hasilnya agak kasar , tetapi dapat memberikan Gambaran mengenai status pengusahaan stok udang jerbung lebih awal sebelum tersedianya data biologi yang lebih terperinci. Keberatan yang diajukan oleh pakar-pakar biologi perikanan terhadap penggunaan model produksi surplus adalah terhadap asumsi keadaan keseimbangan yang dipakai. Pada kenyataannya, populasi ikan (udang jerbung) barang kali tidak pernah berada dalam keadaan “steady state”, terutama dalam era perkembangan teknologi alat penangkapan yang sangat cepat dan diikuti oleh peningkatan tekanan penangkapan. Kritik lain adalah tidak adanya interaksi dengan jenis lain baik dalam perikanannya sendiri maupun dengan lingkungannya (Pauly, 1983) Secara teoritis berdasarkan model Schaefer maka MSY = 0.25 r K. Dengan demikian MSY selain dapat diduga dari data tangkapan juga dapat diduga dari nilai tingkat pertumbuhan instrinsik biomas populasi dan nilai daya dukungnya. Nilai daya dukung perikanan tangkap merupakan nilai maksimum udang jerbung yang dapat didukung keberadaannya oleh habitat dan lingkungan yang bersangkutan. Nilai ini memang bersifat teoritis yang berarti belum tentu dapat dicapai oleh populasi udang jerbung yang hidup di habitat tersebut. Namun demikian nilai K ini dapat menjadi acuan di dalam pengelolaan perikanan tangkap sebagaimana nilai MSY yang sering digunakan dimana-mana.
134 Pertumbuhan biomass model Schaefer mengikuti model pertumbuhan logistik, dan penurunan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan (CPUE) terhadap upaya penangkapan mengikuti pola regresi linier, serta hubungan antara hasil tangkapan dan biomass berbentuk parabola yang simetris dengan titik puncaknya (maximum) pada tingkat biomass sebesar K/2. Nilai K di dalam model produksi diasumsikan konstan padahal dengan aktifitas pembangunan yang makin pesat maka daya dukung ini dapat berfluktuasi. Gunarso (1985) misalnya, mengatakan bahwa perubahan kualitas air akan mempengaruhi penyebaran serta kelimpahan suatu jenis udang jerbung pada suatu daerah penangkapan karena diduga terjadi perubahan kelimpahan makanan. Asumsi nilai K yang konstan memang mengandung kelemahan. Bahkan model produksi itu sendiri mengandung kelemahan yaitu mengasumsikan tidak terjadi perubahan biomas ikan (asumsi kondisi keseimbangan) selama periode data hasil tangkapan tercakup. Asumsi ini sifatnya sangat teoritis, oleh karena itu penggunaan MSY sebagai alat pengelolaan sering dikritik. Salah satu kelemahan MSY adalah bahwa nilai ini tidak stabil dan dalam jangka panjang sebenarnya MSY tidaklah bersifat lestari (Conrad dan Clark, 1989), namun demikian model produksi Schaefer hingga saat ini masih merupakan model produksi yang paling luas digunakan di dalam pengelolaan perikanan tangkap. Kelemahan lain yang juga telah lama didiskusikan para ahli perikanan adalah masih rendahnya tingkat kepercayaan kebenaran data statistik perikanan padahal data ini sangat vital untuk pengelolaan sumber daya perikanan tangkap. Menurut hasil penelitian Adisusilo (1984), laju pertumbuhan udang per tahun di Cilacap 0,9 (betina) dan 1,5 (jantan) dengan laju kematian alami 2 – 10 % per minggu (Dall et al, 1990). Adanya perbedaan parameter pertumbuhan udang jerbung diduga karena perbedaan kisaran ukuran udang yang dianalisis dan kelimpahan makanan. Dengan melihat nilai laju pertumbuhan lebih dari 1, berarti udang termasuk binatang yang mempunyai laju pertumbuhan cepat (Spare dan Venema, 1998). Merujuk fenomena ini, maka dalam perencanaan berapa besar jumlah upaya yang dibutuhkan untuk mengusahakan sumber daya udang secara rasional memerlukan pertimbangan. Bila jumlah upaya yang direkomendasikan terlalu rendah maka sumber daya udang yang tidak tertangkap akan terbuang percuma karena akan mati dengan sendirinya. Bila jumlah upaya terlalu tinggi, kelestarian sumber daya udang jerbung terganggu karena tidak memberikan kesempatan kepada stok udang untuk melakukan pembaharuan (recovery). . Akibat pertumbuhan udang jerbung yang relatif cepat, penundaan penangkapan beberapa bulan saja akan menghasilkan jumlah individu berlipat ganda. Selain itu kalau udang jerbung yang muda (benur) terlalu banyak ditangkap akan terjadi “kelebihan tangkap pertumbuhan”
135 (growth over-fishing). Hal ini juga menyebabkan “kelebihan tangkap penambahan baru” (recruitmen over-fishing), karena udang jerbung muda (benur) belum mencapai dewasa dan bertelur sudah tertangkap terlebih dahulu sehingga hilang kesempatannya untuk penambahan baru (recruitment). Dalam model Gordon, harga per unit out put diasumsikan konstan,sehingga pengukuran terhadap surplus konsumen tidak mungkin dilakukan. Dengan memasukkan parameter ekonomi yakni harga dari out put (harga udang jerbung per satuan berat) dan biaya dari input (cost per unit effort ), Rata-rata aktual hasil tangkapan udang jerbung tahun 2005 sebesar 1 271,2 ton mendekati nilai hMEY sedangkan upaya penangkapan (effort) aktualnya sebesar 65 790 trip lebih dari nilai EMEY sehingga usaha penangkapan udang jerbung dengan alat tangkap tramel net aktif maupun trammel net pasif harus dikurangi jumlahnya sampai batas EMEY . Membandingkan tingkat pengusahaan sumber daya udang jerbung pada tahun 1999 – 2000 dengan EMSY dan EMEY dapat dikatakan bahwa tingkat pengusahaan interval tahun tersebut secara ekonomis dan biologis sudah berlebih. Total penerimaan aktual tahun 2005 (42,3 milyar rupiah) lebih rendah bila dibandingkan dengan total penerimaan pada kondisi MEY maupun MSY, sedangkan total biaya (cost) aktual tahun 2005 (27,7 milyar rupiah) lebih tinggi dari total biaya yang dikeluarkan pada kondisi MSY maupun MEY. Dari data perhitungan data tersebut mengindikasikan bahwa upaya tangkap yang sudah berlebih akan mendapatkan produksi udang jerbung semakin menurun, sehingga biaya yang tinggi tidak diikuti oleh hasil yang telah diterima. Hal ini mengakibatkan turunnya nilai keuntungan yang diperoleh nelayan tahun 2005 (14 milyar rupiah), jauh dibawah nilai keuntungan pada kondisi MEY maupun MSY. keuntungan akutual rata-rata tahun sebesar 32,9 milyar rupiah ternyata lebih rendah dari nilai keuntungan pada saat MSY maupun MEY. Mengacu pada
penelitian yang telah dilakukan oleh Purwanto (1986) yang saat itu masih
menggunakan alat tangkap jaring klitik dan jaring kantong, pasca dilarangnya memakai alat tangkap pukat harimau (Trawl). Ternyata kebijakan PEMDA Cilacap untuk mengganti alat penangkap udang jerbung jaring klitik dan jaring kantong dengan tramel net belum bisa mengatasi permasalahan stok udang jerbung di Cilacap yang sudah overfishing. Gordon mentransformasikan kurva yield effort dari Schaefer menjadi kurva yang menggambarkan antara manfaat bersih (total cost) yang dihasilkan dari dari sumberdaya udang jerbung dengan input produksi (effort) yang digunakan sebagaimana terlihat pada Gambar 15
136
50000000000
Rupiah
40000000000
B
30000000000
TR Profit
20000000000 10000000000
TC C
0
msy
0
10000
20000
30000
E (Trip)
Gambar 15. MSY, TR, TC dan ? penangkapan udang jerbung tahun 1991-2005 di Cilacap Gambar 15 memperlihatkan bahwa terdapat dua jenis rente ekonomi sumberdaya udang jerbung setelah dikurangi seluruh biaya ekstraksi dihasilkan pada titik EMEY dan EMSY. Lebih lanjut Fauzi (2004) menyatakan bahwa keuntungan lestari yang maksimum akan diperoleh pada tingkat upaya dimana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar (garis BC). Dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering disebut sebagai maksimum economic yield (EMEY) atau produksi maksimum secara ekonomi, dan merupakan tingkat upaya yang optimal secara sosial. Tingkat upaya yang dibutuhkan untuk mencapai titik optimal secara ekonomi (EMEY) jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY (EMSY). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat upaya pada titik keseimbangan terlihat lebih bersahabat dengan lingkungan (Hanneson, 1987). Pada saat upaya penangkapan telah melampau upaya optimumnya, maka berarti telah terjadi econimic overfishing, dan ketika hasil tangkapan telah melampaui potensi lestarinya, maka berarti telah terjadi biogical overfishing. Apabila sumber daya udang jerbung dipandang sebagai sumber daya yang dapat pulih kembali ( renewable resources ), maka pemanfaatan yang berkelanjutan harus diartikan sebagai upaya pemanfaatan sumber daya yang laju ekstrasinya tidak boleh melampaui laju kemampuan daya pulihnya. Oleh karena itu rezim pemanfaatan secara terbuka, sebagaimana yang umumnya dianut di Indonesia, sudah saatnya ditinggalkan dan sudah seharusnya disusun suatu pola pemanfaatan sumber daya udang jerbung yang berkelanjutan.
137 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Udang Jerbung di Cilacap Karakteristik umum dari nelayan (fishers) yaitu pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu kelompok) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Kedua, dalam komunitas nelayan komersial, nelayan dapat bervariasi menurut ocupational commitment-nya seperti nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber pendapatan beragam dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan dapat bervariasi menurut motivasi dan perilaku dimana maximezers yaitu nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku seperti layaknya “perusahaan” dan kelompok nelayan satisficers atau nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan hasil yang cukup. Dengan mengetahui dan memahami tipologi atau karakteristik nelayan yang akan mengalami diversifikasi usaha pada subsektor perikanan lainnya, diharapkan permasalahan teknis dan sosial yang sering menjadi penghambat program relokasi dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu menurut Adrianto (2005) salah satu key factor dalam dinamika sosial ekonomi nelayan adalah informasi dan pengetahuan tentang hak (rights) karena pola relokasi nelayan tetap harus mempertimbangkan konsep perikanan berbasis hak (r ight-based fisheries) untuk menjamin keadilan dan keberlanjutan komunitas nelayan sebelum dan sesudah relokasi. Menurut Ostrom and Schlanger (1996) dalam Adrianto (2005) bahwa paling tidak ada dua tipe hak yang penting dala m konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya perikanan yaitu (1) use (operational-level) rights, dan (2) collective-choice rights. Tipe hak yang pertama mengacu pada hak yang melekat pada operasionalisasi perikanan atau dalam konteks perikanan tangkap adalah yang terkait dengan proses dan dinamika penangkapan ikan (udang jerbung). Dalam tipe beberapa hak penting antara lain adalah hak akses (access rights) yaitu hak untuk masuk (entry) kedalam wilayah perikanan tangkap baik dala m konteks daerah penangkapan (fishing ground) atau dalam salah satu struktur usaha perikanan seperti penyediaan bahan baku, pengolahan perikanan dan lain sebagainya. Sementara tipe hak yang kedua (collective-choice rights) lebih menitikberatkan pada hak pengelolaan perikanan (fisheries governance) yang biasanya diberikan kepada otoritas tertentu di luar masyarakat nelayan (supra-community). Untuk tipe hak pengelolaan secara kolektif sangat cocok untuk model pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada di pesis ir pantai. Hal ini karena pengelolaan perikanan tetap dilakukan dengan model berbasis otoritas daerah administratif, maka akan menyulitkan dalam pengaturannya, karena beberapa spesies udang memiliki ruaya yang lebih luas, serta selama ini kebanyakan nelayan dalam operasi penangkapan udang berkumpul pada suatu fishing ground dengan
138 tidak melihat latar belakang wilayah dari mana mereka berasal, dalam pengertian bahwa seperti yang terjadi pada kegiatan penangkapan udang jerbung di lepas pantai Cilacap. Model Gordon Schaefer ini menggunakan effort dan catch optimal sebagai variabel kontrol. Nilai tersebut diperoleh berdasarkan solusi keseimbangan bioekonomi. Alternatif tersebut akan memberikan kuota tangkapan optimal dan keuntungan ekonomi optimal, sehingga ke berlanjutan sumberdaya udang jerbung dapat dipertahankan. Model ini dapat dicapai apabila terjadi perubahan yang gradual khususnya untuk bentuk pengusahaan dan metode ekstraksi sumberdaya. Perubahan bentuk pengusahaan yang selama ini menganut rejim openaccess (akses terbuka) harus dialihkan pada rejim limited entry (pembatasan). Pengusahaan akses terbuka, merupakan bentuk pengelolaan yang lazim dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Seperti halnya udang jerbung di Cilacap hingga saat ini masih dalam pengelolaan akses terbuka. Kondisi ini akan sangat rawan, khususnya sumberdaya yang dapat diperbaharui, dimana pada prinsip pengelolaannya, tidak menganut satu kepemilikan, tetapi lebih kepada penguasaan bersama yang tidak memiliki aturan-aturan pemanfaatan, dalam arti yang lebih sempit, setiap individu dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut secara bebas. Menurut Clark (1990), open access adalah ketika pelaku perikananatau seseorang yang mengeksploitasi sumberdaya secara tidak terkontrol atau dengan kata lain setiap orang dapat memanen sumberdaya tersebut. Kekhawatiran terbesar yang akan terjadi adalah pengurasan sumberdaya karena hilangnya kepemilikan. Lebih jauh Charles (2001) dalam Adrianto (2005), paling tidak ada dua makna dalam rejim open access yaitu pertama, ba hwa sumberdaya perikanan yang tidak tak terbatas ini diakses oleh hampir kapal yang tidak terbatas (laissez-faire) yang diyakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi. Makna kedua adalah bahwa tidak ada kontrol terhadap akses kapal namun terdapat pengaturan terhadap hasil tangkapan. Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor dari over eksploitasi terhadap kapal yang didorong oleh pemahaman rush for the fish; siapa yang kuat dia yang menang. Kondisi ini akan mengarah pada terjadinya konflik sosial, dimana persaingan dalam mengekstraksi sumberdaya akan semakin tinggi dan berakibat pada besarnya tekanan terhadap sumberdaya yang cepat atau lambat akan berdampak pada terjadinya kelangkaan sumberdaya. Saad (2003), menyatakan bahwa salah satu implikasi akibat terjadinya kelangkaan sumberdaya, dari sisi institusi sosial adalah adanya konflik. Hal ini terkait dengan hipotesis bahwa kebutuhan manusia melampaui komunitas untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Mengingat ekses negatif yang akan munc ul baik dari sisi ekologi, ekonomi dan sosial dari rejim open access, sehingga diperlukan perubahan bentuk pengusahaan sumberdaya tersebut menjadi rejim limited entry. Adrianto (2005)menyatakan bahwa rejim limited entry menitikberatkan pada pengelolaan sumberdaya perikanan baik dari sisi input maupun output melalui mekanisme pengaturan use rights. Lebih jauh
139 Adrianto (2005) menyatakan bahwa tata pemerintahan yang baik (good governance) menjadi prasyarat dari penerapan rejim ini karena menyangkut mekanisme pemberian ijin yang adil transparan dan efisien. Sementara menurut Charles (2001) dalam Adrianto (2005) bahwa rejim limited entry tidak dapat digunakan secara sendirian, namun harus dilakukan dalam skema management portofolio dimana melibatkan tool lain seperti quantitative allocation of inputs atau allowable catches yang dipayungi oleh sebuah kerangka peraturan (legal endorsment) yang sesuai. Kebijakan rejim limited entry dapat diterapkan dengan memberikan kewenangan (autority ) kepada negara (state), individu (private), kelompok (communal) maupun pengaturan pengelolaan secara bersama seperti comanagement. Selain kebijakan perubahan rejim, kebijakan pengelolaan yang didasarkan pada tipologi sumberdaya juga sangat dilakukan mengingat keberlanjutanpemanfaatan sangat terkait dengan jenis dan karakteristik ekologi sumberdaya tersebut. Jenis alat tangkap trammel net dapat digolongkan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan. Umumnya lokasi udang jerbung dapat dijumpai pada kedalam tertentu (30-40 m), dimana uda ng jerbung menjadikan tempat tersebut daerah migrasi (ruaya). Selanjutnya dengan sifat ruaya yang tidak luas, memungkinkan udang jerbung untuk dikelola per lokasi. Model pengelolaan yang ditawarkan adalah terlebih dahulu mengetahui luas sebaran udang jerbung tersebut, kemudian menentukan suatu area sebagai kawasan pengelolaan. Setelah menentukan batas ruaya udang jerbung, selanjutnya menentukan tingkat pemanfaatan optimal secara biologi (MSY) dan ekonomi (MEY). Kebijakan pengelolaan ini didasarkan pada kawasan penangkapan udang jerbung sehingga penetapan kebijakan haruslah berbasis ekosistem. Implikasi dari kebijakan tersebut, selanjutnya adalah pengelolaan berbasis ekosistem. Sumberdaya udang jerbung yang berasosiasi secara terbuka dengan kawasan hutan mangrove memerlukan penanganan secara komprehensif. Kegiatan penangkapan udang jerbung disekitar atau dalam kawasan hutan mangrove, haruslah mengacu pada pemanfaatan yang ramah lingkungan. Kegiatan penangkapan yang selama ini dilakukan, dengan berbagai alat ta ngkap yang merusak seperti bom, cyanida dan potasium harus dihentikan dan dilarang, sehingga dengan demikian habitat utama udang jerbung yakni hutan mangrove dapat terjaga dengan baik. Implikasi lainnya adalah pemberian pengetahuan penangkapan udang yang ramah lingkungan dengan aplikasi teknologi yang efisien dan efektif.
Kondisi lebih tangkap (overfishing) mengakibatkan sebagian besar nelayan tidak melaut karena potensi udang jerbung di laut sudah hampir habis. Kalaupun dipaksakan melaut, hasil tangkapan yang diperoleh sedikit atau terkadang tidak mendapatkan hasil tangkapan. Akibatnya banyak anak nelayan yang berhenti sekolah karena orang tuanya tidak mampu lagi membayar buku-buku pelajaran dan uang bayaran sekolah. Keadaan tersebut berpotensi timbulnya
140 ketegangan antara nelayan karena sifat sumber daya udang jerbung sebagai milik bersama (commonx pool resources). Konflik nelayan juga terjadi dalam bentuk tumpang tindih diantara kelompok nelayan yang menggunakan sumber daya yang sama dengan alat tangkap yang sama atau diantara nelayan yang menggunakan peralatan berbeda tetapi menangkap jenis udang jerbung pada daerah penangkapan yang sama. Meluasnya kelangkaan sumber daya akan berkorelasi secara positif dengan peningkatan kualitas dan kuantitas ketegangan serta konflik antar kelompok nelayan, hal tersebut akan berimplikasi secara luas terhadap penurunan kualitas kehidupan nelayan Untuk menghindari konflik antar nelayan/kelompok nelayan perlu diciptakan norma pemanfaatan atau pengelolaan sumber daya udang jerb ung di perairan pesisir seperti batas-batas wilayah penangkapan udang jerbung, jarak antar perahu ketika sedang menebar jaring, jenis jaring yang boleh dioperasikan, dan posisi jaring ketika sedang ditebarkan. Hal itu untuk menjamin pemerataan perolehan ha sil tangkapan atau pendapatan dan kelestarian sumber daya udang jerbung. Dengan strategi demikian, masyarakat dituntut untuk mengelola sumber daya perikanan secara produktif, adil dan berkelanjutan, Agar kebutuhan hidup anggota masyarakat dapat terpenuhi dengan baik. Pemerintah daerah
hanya berperan sebagai fasilisator dan
pengaman kepentingan masyarakat (Kusnadi, 2002) Dari semua komponen biaya penangkapan udang jerbung yang tinggi setelah BBM adalah biaya perbekalan pada kedua armada tangkap (Tramel net aktif dan trammel net pasif). Besarnya biaya perbekalan disebabkan karena lama tiap trip penangkapan yang dilakukan yakni 8 – 10 jam per hari, dengan bekal berupa makanan pokok (nasi dan lauk pauk), rokok serta minuman (kopi dan teh). Untuk setiap tripnya nelayan dapat membawa makanan dengan porsi 2 kali makan serta rata-rata 2 bungkus rokok per orang per trip. Khusus untuk alat tangkap tramel net aktif, biaya perbekalan akan bertambah seiring semakin jauhnya fishing ground yang ditempuh, dimana dari hasil wawancara, diperoleh bahwa pada bulan-bulan tertentu dimana tangkapan udang jerbung menurun, beberapa nelayan akan berpindah daerah penangkapan ke arah yang lebih jauh dari fishing base (tempat pendaratan udang jerbung), sehingga dengan demikian akan meningkatkan biaya (cost) per unit per trip, khususnya biaya bahan bakar minyak dan biaya perbekalan. Hasil tangkapan udang jerbung di Cilacap dijual umumnya dalam satuan kilogram (kg). Harga udang jerbung dengan alat tangkap tramel net sangat bergantung pada cara penanganan udang jerbung secara fisik, dimana memerlukan teknik kehati- hatian dalam melepaskan udang jerbung dari belitan jaring sehingga tidak merusaknya, Ditinjau dari harga jual, komoditas udang jerbung menunjukan trend harga yang baik. Sebagaimana hasil wawancara dengan nelayan di
141 Cilacap, menunjukan bahwa dari tahun ke tahun harga udang jerbung semakin tinggi, sementara pasokan udang jerbung menurun. Sistem transaksi yang terjadi ditingkat pengumpul umumnya dalam bentuk tunai (cash). Nelayan mene rima uang hasil tangkapan udang jerbung setelah hasil tangkapan ditimbang dan diukur serta negosiasi harga telah diputuskan. Namun hasil yang diperoleh nelayan terlebih dulu dipotong oleh pengumpul atau eksportir sesuai dengan besarnya pinjaman dan kesepakatan yang telah mereka atur sebelumnya. Hal ini terjadi karena sistem atau pola usaha penangkapan udang jerbung di Cilacap adalah sistem Juragan – pekerja dimana para pemilik armada bertindak sebagai juragan dan nelayan bertindak sebagai pekerja. Hasil tangkapan harus disetor langsung kepada juragan dan juragan memiliki kewenangan (hak veto) untuk langsung memotong besarnya cicilan nelayan. Beberapa metoda pengelolaan untuk memanfaatan sumber daya udang jerbung secara berkelanjutan di Cilacap, ternyata metode yang layak dilaksanakan adalah penutupan musim dan daerah penangkapan, dan pembatasan upaya penangkapan. Penutupan daerah dan musim penangkapan bertujuan untuk melindungi udang jerbung muda dan juwana serta meningkatkan ukuran udang jerbung pertama kali matang kelamin dan akhirnya menngkatkan produksi. Penutupan musim dan daerah penangkapan perairan Cilacap disarankan pada bulan September setiap tahunnya dan dibatasi hanya pada kedalaman 40 m serta ke arah perairan yang lebih dalam. Waktu tersebut merupakan bulan puncak pemijahan udang jerbung di perairan Cilacap. Dengan metode ini maka waktu yang krusial udang jerbung dalam siklus hidupnya, yaitu mulai memijah, menjadi larva dan menuju daerah asuhan dalam bentuk post larva (Penn, 1984), dapat terlindungi dan dengan demikian akan terjamin kelestariannya. Diharapkan dalam pelaksanaan metode pengelolaan ini akan dapat meningkatkan produksi sekitar 9 % seperti di perairan Teluk Meksiko (Leary, 1985). Langkah pengolahan dengan metode seperti ini juga sudah lama dilakukan di perairan Iran dan Teluk Carpentaria, Australia (Boerema, 1969) Kearifan-kearifan lokal yang positif untuk mendukung pengelolaan sumber daya udang jerbung secara lestari dengan keterlibatkan secara aktif masyarakat setempat. Bentuk kegiatan tersebut adalah dibentuknya koperasi yang mengatur jadwal melaut dengan kompensasi bagi hasil untuk nelayan yang belum mendapat jadwal melaut pada saat itu Apapun pilihan yang dianggap paling cocok untuk diaplikasikan, sebaiknya jiwa tujuan pengelolaannya harus tetap dalam rangka untuk mencapai tingkat pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan, dalam arti memberikan rente ekonomi yang paling baik dengan tingkat pemanfaatan yang tidak melampaui kemampuan daya puIihnya.
142 Perubahan tingkat upaya penangkapan da pat menyebabkan perubahan tingkat produksi, karena harga lelang udang jerbung berhubungan dengan volume udang jerbung yang dilelang, maka perubahan tingkat upaya penangkapan juga dapat menyebabkan perubahan harga. Disamping itu, perubahan tingkat upaya tersebut akan menyebabkan berubahnya jumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan udang jerbung. Usaha perikanan tangkap memanfaatkan sumber daya hayati perikanan (udang jerbung) yang dapat pulih kembali. Sumber daya tersebut dapat dieksploitasi pada tingkat tertentu tanpa dampak negative terhadap stok sumber daya udang jerbung. Eksploitasi yang berlebih melalui penambahan jumlah kapal dengan alat tangkap tramel net aktif dan trammel net pasif di Cilacap tidak akan meningkatkan hasil tangkapan. secara ekonomis. Konsekuensi eksploitasi yang berlebih dapat ditunjukkan dengan mis-alokasi sumber daya kapital yang berdampak pada pemborosan kapital milik masyarakat. Dampak sosial yang timbul dari adanya tangkap lebih adalah pendapatan menurun, berkurangnya peluang penggunaan tenaga kerja dan kemungkinan terjadi penurunan suplai udang jerbung terhadap konsumen. Hasil tangkapan nelayan umumnya dipasarkan melalui sistem lelang di pangkalan pendaratan ikan, agar dapat memperoleh harga jual yang wajar. Pelelangan udang jerbung dimulai dengan harga rendah, seterusnya harga ditingkatkan hingga hanya terdapat seorang peserta lelang yang bersedia membeli pada tingkat harga yang ditawarkan. Dengan demikian, permintaan udang jerbung saat pelelanga n di pangkalan pendaratan diartikan sebagai permintaan udang jerbung di tingkat nelayan. Harga lelang yang terbentuk pada pelelangan udang jerbung merupakan tingkat keseimbangan antara harga yang diinginkan oleh penjual dan pembeli. Dari sisi penjual harga lelang tersebut dapat dilihat sebagai harga penawaran, sedangkan dari sisi pembeli harga lelang tersebut merupakan harga permintaan untuk sejumlah komoditi yang dilelang.
Struktur Sosial dan Pola hubungan Masyarakat Cilacap Dalam kehidupan sosial masyarakat, hubungan-hubungan sosial senantiasa terjadi dan membentuk pola tertentu. Apabila pola-pola ini ditata dalam pengorganisasian sosial maka dengan sendirinya akan terbentuk struktur sosial. Secara alamiah pada dasarnya sturktur sosial senantiasa ada di dalam masyarakat pesisir baik kalangan nelayan maupun petani tambak.
143 Dengan mengamati penguasaan asset produksi seperti modal, peralatan tangkap dan pasar orang akan dengan mudah mengidentifikasi adanya pelapisan sosial dalam kehidupan masyarakat. Bagi wilayah pesisir yang didominasi nelayan tangkap seperti yang ada di Cilacap, struktur sosial nampak pada tingkatan status dan peranan sosial yang terbangun antara toke-tekong-anak buah kapal (ABK)-juru es Pola hubungan yang terjadi dalam komunitas nelayan Cilacap pada umumnya dibangun atas dasar sistem kekerabatan. Namun pada kondisi tertentu pola hubungan sosial tersebut dapat berubah menjadi pola hubungan atas dasar kebutuhan. Misalnya seorang nelayan yang masih tergantung kepada toke lebih memilih menjaga stabilitas hubungannya dengan sang toke ketimbang hubungan inter personal berdasarkan kekerabatannya. Namun di samping itu pola hubungan yang yang didasarkan atas nilainilai budaya yang mengakar masih tetap ada.dalam pola hubungan ini masing- masing individu yang terlibat dalam hubungan sosial tersebut memiliki status yang berbeda-beda. Tokoh- tokoh formal dipandang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada anggota komunitas lainnya. Umumnya tokoh- tokoh formal memilki peran yang sangat berat. Selain menjalankan fungsinya dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan anggotanya, tokoh- tokoh ini juga memainkan peran utama dalam melaksanakan aktivitas sosial yang ada di komunitas nelayan tersebut. Dalam satu operasi penangkapan posisi tekong adalah posisi paling tinggi. Tekong menentukan semua gerak operasi. Sukses tidaknya suatu operasi penangkapan menjadi tanggung jawab seorang tekong. Sedangkan ABK adalah pembantu kerja tekong selama operasi penangkapan. Pada umumnya pola hubungan antara tekong dan ABK adalah hubungan yang berbasiskan keluarga. Sehingga secara simbolik akan nampak bahwa interaksi sosial yang terjadi adalah interaksi keluarga. Namun bagi tekong yang memiliki ABK dengan latar belakang yang jauh ikatan kelurganya, biasanya berlangsung sistem hubungan yang normatif, dimana tekong menjadi ”bos” sedangkan ABK menjadi bawahannya. Terbentuknya pola hubungan dalam satu unit
kerja
penangkapan ini selalu diawali dengan perekrutan ABK. Tekong biasanya mencari ABK yang
144 memiliki kriteria khusus dan biasanya sudah mendapat informasi seputar latar belakang si calon ABK. Solidaritas yang begitu kuat diantara nelayan dalam satu unit penangkapan dikarenakan para ABK memiliki rasa senasib dan sepenanggungan dan saling membutuhkan terutama dalam keadaan sulit. Sedangkan hubungan yang terjadi antara juru es dan para ABK maupun tekong agak berbeda. Hal ini disebabkan karena juru es biasanya dibawah kendali toke secara langsung. Sehingga hubungan kerja sering berjalan kurang harmonis.
145
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kondisi sumberdaya udang jerbung di Cilacap mengalami degradasi dengan koefisien ratarata 0,47963. Perbandingan rezim pengelolaan sumber daya udang jerbung pada kondisi maximum
economic yield (MEY) dan maksimum sustainable yield (MSY) untuk biomass, upaya, produksi dan rente ekonomi memperlihatkan bahwa biomass pada kondisi MSY (1 291,78 ton/tahun) lebih tinggi dibandingkan pada kondisi MEY (1 286,4 ton/tahun). Input (effort) pada kondisi MSY (13 205 trip/tahun) lebih tinggi bila dibandingkan dengan kondisi MEY (12 351 trip/tahun). Di sisi lain solusi MEY juga menghasilkan rente ekonomi (37,6 milyar) lebih tinggi dibandingkan rezim pengelolaan pada kondisi MSY (37,4 milyar). Hal ini menunjukkan bahwa usaha nelayan unt uk mencari udang jerbung dengan alat tangkap tramel net aktif maupun trammel net pasif sampai melebihi upaya maksimal yang diperbolehkan tidak akan mendapatkan hasil/produksi udang jerbung dengan keuntungan yang optimal, Data tahun 2005 menunjukkan bahwa tingkat produksi udang jerbung sebesar 1 271,2 ton/tahun sudah mendekati titik maksimum (hM E Y ), yang berarti secara ekonomi tidak memungkinkan lagi meningkatkan produksi sampai batas nilai hMEY . Jumlah upaya pada tahun yang sama sebesar 15 960 trip dengan alat tangkap tramel net aktif dan 32 895 dengan alat tangkap trammel net pasif diatas nilai effort (MEY maupun MSY), sehingga tidak perlu menambah effort untuk memaksimalkan hasil tangkapan. Bila upaya penangkapan udang jerbung di Cilacap yang sudah menunjukkan gejala overfishing tidak segera dikendalikan akan mengakibatkan kepunahan sumber daya tersebut di masa yang akan datang.
Saran Untuk mengalokasikan sumber daya udang jerbung secara efisien, disarankan adanya campur tangan pemerintah daerah melalui penetapan kebijakan pengusahaan sumber daya perikanan udang jerbung di Cilacap dan sekitarnya.
146 Salah satu kebijakan yang disarankan adalah membentuk koperasi usaha penangkapan udang jerbung. Kegiatan koperasi tersebut dengan cara mengurangi jumlah upaya penangkapan hingga tingkat produksi yang dihasilkan lebih maksimal, yaitu kurang dari 12 351 trip/tahun penangkapan. Langkah yang ditempuh untuk mengendalikan upaya tangkap dengan membuat jadwal pemberangkatan kapal (melaut) berdasarkan
kesepakatan bahwa bagi nelayan
yang tidak dijadwalkan pada hari itu akan mendapatkan prosentase bagi hasil dari keuntungan nelayan yang telah melaut pada hari itu.
147
DAFTAR PUSTAKA Adisusilo S. 1984. Studi Mengenai Laju Kematian dan Pola Penambahan Baru Udang jerbung (Penaeus Merguensis de Man) di Perairan Cilacap dan Sekitarnya. Laporan Penelitian Perikanan Laut no. 31 BPPL – BPPP. Departemen Pertanian, Jakarta. Adrianto, L. 2005. Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries dalam Perspektif Negara Berkembang. Jurnal LPHI-Universitas Indonesia. Adrianto, L. 2005. Strategi Makro Revitalisasi Perikanan. PKSPL-IPB. Adrianto, L. dan Kusumastanto, T. 2005. Konsep Pengelolaan dan Perencanaan Wilayah Pesisir dan Lautan. PKSPL-IPB.
Aksornkoe S. 1993. Ecological and Management of Mangrove. The IUCN Wetlands Programme. Bangkok. Amman HM, Duraiappah AK. 2001. Land Tenure and Conflict Resolution : A Game Theoretic Approach in The Narok District in Kenya. Working Paper No. 37. International Institut for Environ. And Development. London and Institut for Environ. Studies Amsterdam. Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan. (disertasi).Institut Pertanian Bogor.Bogor Ayodhyoa A.U. 1995. Metode Penangkapan Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Berachi, I.G. 2003. Bioeconomic Analysis of Artisanal Marine Fisheries of Tanzania, TromsoNorway Badrudim. 2004. Penelitian Sumber daya Ikan Demersal. Orasi Pengukuhan Ahli Utama Bidang Biologi Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Boer M. dan Aziz K.A. 1995. Prinsip-Prinsip Dasar Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Melalui Pendekatan Bio -Ekonomi. Jurnal Ilmu- ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, III (2) : 109 – 119 BPS
Cilacap. 2005. Profil Daerah Kabupaten Cilacap Tahun 2005. Biro Pusat Statistik Kabupaten Cilacap.
BPS Cilacap. Cilacap dalam Angka. Penerbitan tahunan. Biro Pusat Statistik Kabupaten Cilacap Cervigon et al. 1993. Field Guide to the Comecial Marine and Brackish-Water Resources of the Nortern Coast of South America. FAO United Nation. Rome. Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Balckwell Sciences. London.UK.
148 Cicin-Sain, B., and Robert, W., Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management, Concepts and Practise. Island Press. Washington DC and Covelo California. Clark, C.W. 1990. Mathematic Bioeconomics the Optimal Management of Renewble Resources 2nd ed. John Wiley & Sons, Inc. New York. Clark, C., and Munro, G. 1975. The Economics of Fishing and Modern Capital Theory. A Simplified Approach. Journal of Environmental Economics and Management 2: 92-106. Clarke, R.P., and Yoshimoto, S.S., Pooley, S.G. 1992. A Bioeconomic Analysis of The North-Western Hawaiian Island Lobster Fishery. Marine Resource Economics 7(2): 115-140.
Crosnier, A. 1984. Paneid shrimps of Indonesia: benefit and difficults of their tazonomy; first result of the CORINDON II and IV Expedition. Indonesia-French Symposium on Marine Science. BPPT, Jakarta: 8 p. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.[orasi ilmiah]. Institut Pertanian Bogor. Dahuri, R., dan Rais, J., Ginting, S.P. 1996. Pengelolaan Sumerdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri, R. 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor Perikanan dan Kelautan. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia. LISPI. Jakarta. Dajan, A. 1982. Pengantar Metode Statistik. JilidI. Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan, Ekonomi dan Sosial. Jakarta
Dall, W., B.J. Hill, P.C. Rothlisberg and D.J. Staples, 1990. The biology of the Penaeidae. In Blaxter, J.H.S. and A.J. Soutward (eds.): Marine Biology Vol. 27. Academic Press. London, San Diego, New York, Boston, Sydney, Tokyo, Jakarta 1989. Dinas Perikanan Kabupaten Cilacap. Statistik Perikanan Cilacap. Penerbitan tahunan. Dinas Perikanan Propinsi Jawa Tengah. Statistik Perikanan Jawa Tengah. Penerbitan Tahunan. Eci. 1994. Segara Anakan Conservation and Development. Project Final Report. Asian Development Bank. Jakarta. Effendie, I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. Eidman, E. 1991. Pengaruh Hukum Adat Terhadap Sistem Bagi Hasil Perikanan:Kasus di Muara Angke. [tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
149 [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nation. 1995. Living Marine Resources and Their Sustainable Development. Fisheries Technical Paper. Rome. [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nation. 1982. Models for Fish Stock Assessment. Partial Translation of the Annex to the Report of the Second FAO/CNEXO Training Center on the Methods for Fish Stock Assessment. Brest (France). Original French Edition 164 p. FAO Fish Circ.(701):122 pp.
Fauzi A, Suzy Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan.Teori dan Aplikasi PT. Gramedia Pustaka Utama. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi, A. 2001. Prinsip-Prinsip Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Fauzi, A. 1998. The Management of Competing Multi Species Fisheries; A Case of a Small Pelagic Fishery on the North Coast of Central Java [thesis].Vancouver. Canada. Simon Fraser University. Department of Economics. Fauzi, A., dan Anna, S. 2003. Model Optimasi Multiple Use. Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. Working Paper. Graduate Program in Marine Resource Economics. Bogor Agriculture University [IPB].
Garcia, S. And L. Le Reste, 1981. Life Cycles, Dynamics, Exploitation and Management of coast India. In Proceeding of Symposium in Crustacea Part 1: p. 337 – 344. Gordon, H.S. 1954. The Economic Theory of Acommon Property Resource. The Fishery. Journal of Politic al Economy 62 : 124-142.
Gulland, J.A., 1983. Fish Stock Assessment. A manual of basic methods. FAO/Wiley Series on Food and Agriculture Vo.1: 233 p. Gunter, G and J.C. Edwars. 1969. The relation of rainfall and freshwater drainage to the production of the penaeid shrimps (Penaeus fluvialitis and Peneus aztecus Ive) in Texas and Lousiana waters. Proceeding of the World Scientific Conference in the Biology and Culture of Shrimps and Prawns. FAO, Rome: p. 875 – 592. Harris, J.W., and Goodwin. 2001. A Survey of Sustainable Development: Social and Economic Dimensions. The Global Development and Environmental.Institute Tufts University. Island Press. Washington, Covelo and London.
Jones, R. 1981. The use legth composition data in fish stock assesment (with notes on VPA and Cohort Analisis). FAO Fish. Circ. (734): 55 p.
150 King M. 1995. Fisheries Biologi, Assessment and Management. Great Britain. Fishing News Book. Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan.Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. LKiS Yogyakarta Kusumastanto, T. 2002. Peluang, Tantangan dan Arahan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan di Era Desentralisasi. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Otonomi Daerah di Bidang Kelautan dan Perikanan. Bogor. April 2002.
Martosubroto P. 1978. Musim Pemijahan dan Pertumbuhan Udang jerbung (Penaeus Merguensis) dan Udang jerbung Dogol (Metapenaeus Ensis De Man) di Perairan Tanjung Karawang. Proseding Seminar II Perikanan Udang jerbung Jakarta 15-18 Maret 1977 : hal. 7 - 20. Motoh, H., 1981. Studies on the Fisheries Biology of the Giant Tiger Prawn Penaeus monodon in the Philippines. Aquaculture Department, SEAFDEC. Tigbauan. Iloilo. Philippines. Martasuganda, S. 2003. Bubu (traps): Serial Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. FPIK. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Monintja, D.R., dan Zulkarnain. 1995. Analisis Dampak Pengoperasian Rumpon Tipe Philippine di Perairan ZEE terhadap Perikanan Cakalang di Perairan Teritorial Selatan Jawa dan Utara Sulawesi. [laporan penelitian]. FPIK. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Munro, G.R. 1981. The Economics of Overcapitalization and Fishery Resource Management : A Review. Concerted Action Workshop. Portsmouth.
Munro. I.S.R., 1975. Biology of the Banana Prawn (Penaeus merguinensis) in the South-East corner of the Gulf of Carpentaria. Firsh Australian National Prawn Seminar. Maroochydore, 1973. Aust. Govt. Printing Service, Canberra: 60 – 78 Naamin et al. 1992. Pedoman Teknis Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumber Daya Udang jerbung Penaeid Bagi Pembangunan Perikanan. Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan no. PHP/KAN/PT.22/1992. BPPP DEPTAN, Jakarta. Pauly, D. 1979. Theory and Management of Tropical Multispesies Stocks: A Review with Emphasis on the Southeast Asian Demersal Fisheries.ICLARM Stud. Rev. 1:35 pp. Pauly, D., and Murphy, G.I. 1982. Theory and Management of Tropical Fisheries. Proceedings of the ICLARM/CSIRO workshop on the Theory and Management of Tropical multispecies stocks.12-21 January 1981. Cronulla,Australia. ICLARM Conf. Proc (9):300 pp.
Perda No. 3. 2000. Restribusi Pasar Grosir dan atau Pertokoan. Jawa Tengah Pranadji T. 1995. Gejala Modernisasi dan Kelembagaan Bagi Hasil. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Purnamaji S. 2003. Analisa Tingkat Eksploitasi Sumber Daya Udang jerbung di Perairan Kawasan Segara Anakan dengan Simulasi Model Dinamis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang
151 Purwanto 1986. Optimasi Ekonomi Penangkapan Udang jerbung Di Pantai Selatan Jawa Tengah. Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Racek, A.A. and W. Dall, 1965. Littoral Penaeinae (Crustacea, Decapoda) from Northern Australia, New Guinea and Adjacent Waters. N.V. Nord Hollandsche Uitgevermeartschappij. Amterdam. Saad, S. 2003. Politik Hukum Perikanan Indonesia. LSPM. Jakarta. Schaefer, M.B. 1957. Some Considerations of Population Dynamics and Economics Relation to the Management of Marine Fisheries. Canada:Journal of the Fisheries Research Board, 14: 669681.
Seijo et al. 1998. Fisheries Bioeconomic. Theory, modeling and management. FAO Fisheries Technical Paper 368. Rome Sparre P. and Venema S.C. 1998. Introduction to Tropical Fish Stock Assessment. Part 1 : Manual - FAO Fisheries Technical Paper No.306/2 Rev.2 Sparre P. and Venema S.C. 1998. Introduction to Tropical Fish Stock Assessment. Part 2 : Exercise - FAO Fisheries Technical Paper No.306/1 Rev.2 Staples, D.J., D.J. Vance and D.S. Heales, 1985. Habitat requirements of juvenile peneid praws and their relationship to offshore fhisheries. In Rotlisberg, P.C., B.J. Hill and D.J. Staples (eds.): Second Australian National Prawn Seminar. Subani W. dan Barus H.R. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang jerbung Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. BPPL – BPP, DEPTAN. Jakarta. Sumiono B. dan Suherman B.A. 1986. Telaah Hubungan Antara Parameter Biologi dengan Hasil per Penambahan Baru Udang jerbung di Perairan Selatan Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut no.36 BPPL, Jakarta Tai., and Yew, Z., Kusair i, M.N., Mustapha, R.A. 2000. Valuing Fisheries Depreciation in Natural Resource Accounting. Enironmental and resourcesEconomics. 15:227-241.
Tricahyo E. 1995. Biologi dan Cultur Udang jerbung. CV. Akademika Pressindo, Jakarta. WCED, 1987. Our Common Future. Oxford University Press. New York.
Wudianto, 1985. Percobaan cara pengoperasian jaring kantong di perairan Banten, Jurnal Penelitian Perikanan Laut No.33/1985. Balitkantut, Jakarta: Hal. 95-103. Zainollah A. et al. 2002. Mengenal Alat Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan. proyek pembangunan masyarakat pantai dan pengelolaan sumber daya perikanan BanyuwangiJawa Timur.
152 Zalinge N. P. dan Naamin. 1975. The Cilacap Based Trawl Fishery for Shrimp along the South Coast of Java. Lap. Pen. Perik. Laut. 1975 : 1-44. Zulham, A. 2005. Implikasi Kebijakan Subsidi Perikanan Pada Pengembangan Perikanan Tangkap: kasus Pantai Utara (Pantura), Jawa Tengah [disertasi].Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
153 Lampiran 1. Proporsi Produksi (PP) Penangkapan Udang Jerbung Terhadap Total Produksi Trammel Net Aktif dan Trammel Net Pasif Tahun 2005 di Cilacap Produksi Total PP Udang Profuksi (%) Jerbung TN Pasif (kg) T N Aktif (kg) 1 925 455.12 49.20 86.37 2 813 312.12 38.39 73.05 3 674 312.00 46.29 81.51 4 944 98.86 10.47 71.69 5 428 185.20 43.27 71.98 6 900 114.20 12.69 94.09 7 546 113.30 20.75 71.35 8 739 498.20 67.42 76.92 9 924 160.10 17.33 105.61 10 340 388.23 114.19 83.16 11 473 121.60 25.71 73.68 12 647 111.86 17.29 92.47 13 843 204.22 24.23 101.82 14 994 174.26 17.53 143.94 15 762 127.26 16.70 123.26 16 233 70.66 30.33 67.10 17 887 115.00 12.97 34.20 18 631 104.86 16.62 23.30 19 677 102.22 15.10 23.40 20 433 430.30 99.38 42.10 21 531 187.60 35.33 23.20 22 402 87.89 21.86 45.30 23 352 97.45 27.68 65.30 24 554 21.87 3.95 45.60 25 786 131.60 16.74 34.50 Sumber : Data olahan Diskanla Cilacap Tahun 2005 Total No Produksi T N Aktif (kg)
Produksi Udang Jerbung TN Pasif (kg) 26.87 21.55 12.55 24.03 31.88 18.61 13.09 21.51 31.17 23.76 21.52 13.00 13.99 13.90 23.88 11.36 10.33 13.37 12.37 12.02 11.04 12.04 12.03 11.02 13.69
PP (%) 31.12 29.50 15.39 33.52 44.29 19.78 18.34 27.96 29.51 28.57 29.21 14.06 13.74 9.66 19.37 16.92 30.19 57.36 52.85 28.54 47.57 26.57 18.42 24.18 39.67
154 Lampiran 2. Jumlah perahu/kapal penangkap Ikan menurut ukuran tahun 2005 di Cilacap Kapal Motor (GT) (5-10) 20-50 60-100 1 1991 214 181 8 2 1992 220 233 10 3 1993 254 522 43 4 1994 265 675 94 5 1995 358 685 93 6 1996 348 577 79 7 1997 338 546 77 8 1998 312 330 62 9 1999 420 552 113 10 2000 415 233 45 11 2001 345 922 149 12 2002 445 723 123 13 2003 445 735 133 14 2004 335 400 69 15 2005 435 664 96 Sumber : Dinas Perikanan Cilacap, 1991 - 2005 No
Tahun
(100-200)
2 1 4 5 1 5 6 21 13 13 15 15
Motor Tempel 32 42 92 102 103 76 87 32 55 23 189 100 90 50 97
155
Lampiran 3. Jumlah unit alat tangkap Ikan tahun 1991-2005 di Cilacap Tramel Jaring Trammel Net Pasif Lingkar Net Aktif 1 1991 249 629 2 1992 263 408 3 1993 276 650 4 1994 258 98 293 5 1995 359 112 889 6 1996 315 143 895 7 1997 378 98 904 8 1998 377 97 399 9 1999 349 97 399 10 2000 450 45 595 11 2001 455 46 595 12 2002 487 131 595 13 2003 490 112 610 14 2004 398 121 632 15 2005 478 116 632 Sumber : Dinas Perikanan Cilacap, 1991 - 2005
Rawai
Jaring
Rawai
Rawai
tuna
insang 667 633 445 345 333 345 794 208 325 365 497 747 875 765 743
Hanyut
tetap
No Tahun
20 24 32 62 172 115 101 109 98
65 54 53 100 97 86 65 67 112 102 89 82 88
65 45 35 57 66 61 54 34 61 47 72 65 69
156 Lampiran 4. Jumlah kapal, upaya tangkap, dan produksi udang jerbung tahun 1991 -2005 di Cilacap Kapal TN E TN Akt Pass (trip) 1991 181 214 4344 1992 233 220 5592 1993 522 254 12552 1994 675 265 16224 1995 685 358 16464 1996 577 348 13848 1997 546 338 13104 1998 330 312 13224 1999 552 420 13248 2000 233 415 5592 2001 922 345 22152 2002 723 445 17376 2003 735 445 17664 2004 400 335 9624 2005 664 435 15960 Sumber : Data olahan Diskanla Cilacap, tahun 1991-2005 Tahun
Kapal TN Akt
E TN Pass (ton) 9246 9875 10512 10750 11370 12508 13693 17875 22836 22896 25879 27986 29896 29987 32895
h (Ton) 884.9942 952.9487 1044.546 1154.893 1123.085 1283.754 1261.316 1230.257 1151.215 734.4161 1199.525 1057.858 946.2078 1218.161 1271.14
157
Lampiran 5. Biaya operasional dengan alat tangkap Tramel Net Aktif, tahun 2005 di Cilacap No. Resp 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Rata - rata
Liter 150 150 120 180 150 170 150 150 150 130 119 190 180 130 118 118 120 150 150 130 160 120 150 130 160 145
Solar Rp/Ltr Jml(Rp) 2270 340500 2270 340500 2270 272400 2270 408600 2270 340500 2270 385900 2270 340500 2270 340500 2270 340500 2270 295100 2270 270130 2270 431300 2270 408600 2270 295100 2270 267860 2270 267860 2270 272400 2270 340500 2270 340500 2270 295100 2270 363200 2270 272400 2270 340500 2270 295100 2270 363200 4300 329150
Sumber : Data Olah, tahun 2006 di Cilacap
Liter 6 8 7 6 8 9 6 6 6 7 7 7 8 8 7 6 5 7 7 5 6 8 8 8 9 7
Pelumas Es Rp/Ltr Jml(Rp) Balok Rp/Balok 15300 91800 4 8000 15300 122400 5 8000 15300 107100 5 8000 15300 91800 6 8000 15300 122400 4 8000 15300 137700 5 8000 15300 91800 4 8000 15300 91800 6 8000 15300 91800 5 8000 15300 107100 5 8000 15300 107100 5 8000 15300 107100 5 8000 15300 122400 5 8000 15300 122400 5 8000 15300 107100 5 8000 15300 91800 5 8000 15300 76500 4 8000 15300 107100 5 8000 15300 107100 6 8000 15300 76500 6 8000 15300 91800 4 8000 15300 122400 5 8000 15300 122400 6 8000 15300 122400 5 8000 15300 137700 5 8000 15000 107100 5 8000
158
Lampiran 6. Biaya operasional dengan alat tangkap Tramel Net Pasif tahun 2005 di Cilacap No. Resp 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Rata2
Liter 10 8 9 10 9 10 9 10 12 10 11 12 7 7 11 9 9 10 11 13 12 13 9 10 9 10
Solar Rp/Ltr Jml(Rp) 2270 22700 2270 18160 2270 20430 2270 22700 2270 20430 2270 22700 2270 20430 2270 22700 2270 27240 2270 22700 2270 24970 2270 27240 2270 15890 2270 15890 2270 24970 2270 20430 2270 20430 2270 22700 2270 24970 2270 29510 2270 27240 2270 29510 2270 20430 2270 22700 2270 20430 4300 22700
Sumber : Data Olah tahun 2006 di Cilacap
Liter 1 0 1 1 0 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1
Pelumas Rp/Ltr Jml(Rp) 15300 15300 15300 0 15300 15300 15300 15300 15300 0 15300 30600 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 15300 30600 15300 15300 15000 15300
Balok 1 1 2 2 1 1 1 1 2 1 1 1 0.5 0.5 0.5 1 1 1 1 0.5 1 1 0.5 0.5 1 1
Es Rp/Balok 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000
159
Lampiran 7. Regresi linier penangkapan udang jerbung tahun 1991-2005 di Cilacap b1 = (0,0008302) b0 = 66,5311 Tabel Sidik Ragam Sumber Regresi Sisa Total
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat 2861,6190 322,7770 3184,3961
1 13 14
Persamaan R^2 = R^2 =
Y = b0 - b1*X JKR/JKT 89,86
Parameter r k q c p
Hasil Estimasi 25.726,93 66.311,00 1,00 421.000,00 33.270,00
atau
Kuadrat tengah 2861,6190 24,8290
F hitung 115,2531
F tabel 4,66719
Y = 0,1942 + 0,0000075X
%
r = Pertumbuhan intersible k = Carring capacity q = Koefisien alat tangkap c = Biaya operasional(Rp) p = Harga rata-rata/kg(Rp)
Perbandingan kondisi penangkapan udang dan keluaran model bioekonomi Variabel MSY MEY Aktual(2005) E 13.205 12.351 65.790 h 1.291,8 1.286,4 1.271.140 TC 7.012.539.512,20 6.458.123.598,21 27.697.590.000 TR 44.349.115.140,44 44.071.907.183,44 42.290.834.454 Profit 37.336.575.628,24 37.613.783.585,23 14.593.244.454,00
h adalah hasil tangkapan (kg/tahun) E adalah upaya tangkap (trip/tahun) TC adalah total biaya TR adalah tatal penerimaan Profit adalah Rente ekonomi
160
Lampiran 8. Analisis Degradasi Udang Jerbung tahun 1991 -2005 di Cilacap Tahun
Et
Produksi Lestari
Produksi aktual
Lestari/Aktual
ExpD
1+expD
Koefisien Degradasi
1991
18,492.00
68.50
884.99
0.07740
1.08048
2.08048
0.48066
1992
19,750.00
73.80
952.95
0.07 744
1.08052
2.08052
0.48065
1993
21,024.00
80.90
1,044.56
0.07745
1.08053
2.08053
0.48065
1994
21,500.00
89.40
1,154.89
0.07741
1.08048
2.08048
0.48066
1995
22,740.00
86.90
1,123.09
0.07738
1.08045
2.08045
0.48067
1996
25,016.00
99.40
1,283.75
0.07743
1.08051
2.08051
0.48065
1997
27,386.00
97.60
1,261.32
0.07738
1.08045
2.08045
0.48066
1998
35,750.00
95.20
1,230.26
0.07738
1.08045
2.08045
0.48066
1999
45,672.00
89.10
1,151.22
0.07740
1.08047
2.08047
0.48066
2000
45,792.00
56.90
734.42
0.07748
1.08056
2.08056
0.48064
2001
51,758.00
92.90
1,199.53
0.07745
1.08052
2.08052
0.48065
2002
55,972.00
81.90
1,057.86
0.07742
1.08050
2.08050
0.48065
2003
59,792.00
73.20
946.21
0.07736
1.08043
2.08043
0.48067
2004
59,974.00
94.30
1,218.16
0.07741
1.08049
2.08049
0.48066
2005
65,790.00
98.40
1,271.14
0.07741
1.08049
2.08049
0.48066
Rata-2
Sumber : Data olahan tahun 1991- 2005 di Cilacap
0.47963
161
Lampiran 9. Indeks musim penangkapan (IMP) udang jerbung tahun 1991-2005 di Cilacap Bulan IMP Januari 64,2 Pebruari 72 Maret 80,4 April 76,8 Mei 72,8 Juni 107,4 Juli 85,5 Agustus 111,2 September 112,3 Oktober 118,7 November 122 Desember 139 Sumber : Data olahan tahun 1991-2005 di Cilacap