473
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
PENGELOLAAN SUMBER AIR UNTUK PEMELIHARAAN LARVA UDANG WINDU, Penaeus monodon Agus Nawang, Ike Trismawanti, Muhammad Hafid Masruri, dan Andi Parenrengi Balai Penelitian dan Pengembangan Budidya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Produksi larva udang windu sejauh ini belum konsisten terutama kualitas dan kelangungan hidup larva karena disebabkan serangan penyakit yang berasal dari sumber air. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengelolaan sumber air yang baik pada pemeliharaan larva udang windu terhadap kelangsungan hidupnya. Penelitian ini dilakukan di Instalasi Pembenihan Udang Windu Balai Penelitian Budidaya Air Payau. Perlakuan yang diterapkan adalah pengelolaan air yaitu A air yang disterilisasi menggunakan kaporit bahan aktif 60% dengan dosis 50 ppm, B air yang disaring menggunakan membran filter ukuran 0,01 µm dan C air yang hanya diendapkan di reservoar (kontrol), masing-masing perlakuan terdiri tiga ulangan. Wadah pemeliharaan larva menggunakan bak fiber bulat volume 2000 L. Pemeliharaan larva dimulai dari stadia naupli sampai stadia post larva (PL-12). Selama pemeliharaan larva diberikan pakan alami jenis Chaetoceros sp., Skeletonema sp dan artemia, serta pakan buatan. Pergantian air dilakukan mulai stadia mysis sampai stadia PL-12 sebanyak 10-30% perhari. Tingkat sintasan diamati pada waktu pergantian stadia hingga PL-12. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak berbeda nyata terhadap sintasan larva. Namun sintasan terbaik didapatkan pada perlakuan penggunaan membran filter sebesar 13,0% dan terendah pada kontrol tanpa sterilisasi dan filtrasi yaitu hanya 3,0%, sedangkan perlakuan penggunaan kaporit 6,1%. KATA KUNCI:
larva; udang windu; sintasan; pengelolaan air
PENDAHULUAN Dalam beberapa tahun terakhir produktivitas budidaya udang windu menunjukkan kecenderungan penurunan. Penurunan ini diakibatkan antara lain oleh serangan penyakit terutama virus WSSV (White Spot Syndrome Virus), buruknya manajemen budidaya (Haryanti et al.,1993; Haryanti et al., 2003), penurunan kualitas air (Chanratchakool, 2003; Leophairatana, 2003; Deviana, 2004) dan rendahnya keragaman genetik baik pada induk maupun pada benih udang windu yang dihasilkan (Moria et al., 2003). Penurunan mutu lingkungan dan ketersediaan benih yang tidak bermutu sering memicu munculnya penyakit udang yang menyebabkan kegagalan dalam usaha budidaya di tambak. Kasus ini tidak hanya terjadi di Indonesia (Atmomarsono, 2004), tetapi juga terjadi di negara-negara lain seperti India (Sathish et al., 2004). Virus bintik putih merupakan virus penyebab utama kematian udang yang dikenal dengan WSSV yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas (Sugama, 2002). Penyakit yang ditimbulkan oleh komponen bakteri, jamur dan parasit dapat bersumber dari air. Penyakit yang banyak menyerang larva udang windu adalah penyakit vibriosis yang disebabkan oleh bakteri Vibrio harveyi. Penyakit ini dapat menimbulkan mortalitas yang tinggi pada pembenihan udang windu (Lavilla-Pittogo et al., 1990). Kecenderungan larva udang windu diserang pada stadia zoea sampai awal pasca larva (Rukyani, 1992; Mariyono et al., 2006). Penerapan sistem filtrasi, perlakuan ozonisasi, penyinaran ultraviolet dapat menjadi komponen penunjang yang dapat menghindari wabah penyakit pada kegiatan pembenihan. Melalui pengelolaan kualitas air secara benar maka kebutuhan akan obat-obatan dan antibiotik dapat dikurangi (Kordi & Andi, 2007) Penurunan mutu kualitas air disebabkan oleh pencemaran lingkungan baik dari akibat kegiatan budidaya ataupun dari buangan limbah industri dan masyarakat yang menyebabkan tingginya kelimpahan bakteri vibrio. Jika hal ini tidak didukung manajemen budidaya yang tepat khususnya dibidang perbenihan akan bedampak pada rendahnya kualitas benih yang dihasilkan. Khususnya masalah
Pengelolaan sumber air untuk pemeliharaan larva ..... (Agus Nawang)
474
serangan penyakit baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus pada produksi benih, maka praktisi hatcheri berusaha mengatasi dengan berbagai cara yaitu melalui desinfeksi, penggunaan antibiotik, vaksinasi dan immunostimulan. Pelaku usaha perbenihan sangat tergantung pada penggunaan antibiotik. Namun penggunaan antibiotik secara terus menerus dengan dosis sub-optimal telah mengakibatkan Vibrio harveyi menjadi resisten (Karunasagar et al., 1994; Tjahjadi et al., 1994; Teo et al., 2000) dengan demikian hal tersebut sangat berbahaya jika tidak ada batasan dalam penggunaannya. Sehingga perlu adanya upaya metode lain yang diharapkan lebih efektif dan aman untuk mendapatkan produksi benih yang berkualitas tanpa penggunaan antibiotik. Salah satu metode alternatif untuk mencegah dan mengendalikan serangan penyakit adalah melalui kontrol biologi. Pemanfaatan bakteri untuk biologi kontrol dalam pemeliharaan larva udang windu meningkatkan sintasan, pertumbuhan dan vitalitas benih udang (Haryanti et al., 1998, Haryanti & Sugama, 1998; Haryanti et al., 2000). Namun kinerja probiotik belum efektif jika tidak didukung dengan kualitas air baik dan memadai untuk kegaitan pemeliharaan larva udang. Bahkan seringkali terjadi peningkatan serangan bakteri pathogen yang dominan dan sangat cepat jika diberikan probiotik. hal ini diduga disebakan karena adanya kontaminasi bakteri pathogen yang berasal dari sumber air yang digunakan. Dengan demikian Sehingga perlu dilakukan penelitian manajeman sterilasasi air yang baik untuk kegiatan pembenihan khususnya pembenihan udang windu, sehingga diharapkan dapat meningkatkan sintasan benih yang dihasilkan BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Instalasi Pemebenihan Udang Windu Balai Penelitian Budidaya Air Payau di Barru. Perlakuan yang diterapkan sebanyak tiga perlakuan masing-masing tiga ulangan yaitu perlakuan A pengelolaan air dengan cara sterilisasi menggunakan kaporit berbahan aktif 60% dengan dosis 50 ppm, perlakukan B sterilisasi sumber air menggunakan membran filter (ukuran 0,01 µm) dan perlakuan C sebagai kontrol menggunakan air laut yang hanya melalui penyaringan dengan sistem pressure tank dan pengendapan di reservoar. Penyiapan air untuk perlakuan A melalui sterilisasi dengan kaporit pada reservoar volume 30 m 3. Cara sterilisasi dengan melarutkan kaporit kedalam reservoar sesuai dosis kemudian diratakan dengan aerasi selama 5 menit dan didiamkan selama 24 jam. Sebelum digunakan ke pemeliharaan larva dilakukan netralisasi dengan menggunakan sodium thiosulfat sebanyak 25 ppm dan diaerasi selama 15 menit. Sterilisasi dengan menggunakan membran filter dilengkapi dengan dua buah tabung filter awal dengan ukuran pori 0,1 µm dan tiga buah tabung filter utama ukuran pori 0,01 µm serta dilengkapi dengan sistem lampu ultraviolet. Pemeliharaan larva digunakan wadah bak fiber bulat volume 2.000 L. Pemeliharaan larva dimulai dari stadia naupli sampai stadia post larva (PL-12). Padat penebaran naupli 150 ekor per liter. Kegiatan pemeliharaan meliputi pemberian pakan alami jenis Chaetoceros, Skeletonema dan Artemia salina, serta pakan buatan. Pergantian air dilakukan mulai stadia mysis sampai stadia PL-12 sebanyak 1030% per hari. Pengamatan sintasan tiap stadia hingga akhir stadia (PL-12) dengan metode menggunakan rumus Effendi (1979):
SR
Nt x 100% No
di mana: SR = Sintasan (%) Nt = Jumlah udang yang hidup pada akhir pemeliharaan (ekor) No = Jumlah udang pada awal pemeliharaan (ekor) Metode sampling sintasan tiap stadia dilakukan dengan menghitung jumlah larva menggunakan gelas ukur volume 1 L sebanyak lima kali pengambilan tiap ulangan. Sebagai data pendukung juga dilakukan pengamatan kualitas air meliputi oksigen terlarut, Suhu pH Salinitas,. HASIL DAN BAHASAN Sintasan yang diperoleh pada akhir pemeliharaan stadia PL-12 disajikan pada Gambar 1. Menunjukkan bahwa pemeliharaan larva dengan menggunakan air yang sudah disterilisasi dengan
475
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
chlorin dan penggunaan filtrasi sistem membran filter yang dilengkapi dengan lampu ultraviolet dapat meningkatkan sintasan larva udang windu. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat sintasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol tanpa sterilisasi dan penyaringan. Tingkat sintasan tertinggi pada perlakuan B yaitu pemeliharaan larva udang windu menggunakan air melalui filtrasi membran filter yang dilengkapi dengan sinar ultraviolet yakni 13,0%. Sedangkan tingkat sintasan terendah adalah pada perlakuan kontrol yaitu 3,0%. Sementara perlakuan sterilisasi air dengan menggunakan chlorin didapatkan tingkat sintasan 6,1%. Namun setelah diuji ternyata bahwa semua perlakuan tidak berbeda nyata terhadap tingkat sintasan larva udang windu yang dipelihara sampai PL-12. Akan tetapi jika hal ini diaplikasikan pada produksi skala besar, nilai tersebut pada setiap perlakuan sangat berpengaruh dalam jumlah produksi yang dihasilkan.
Gambar 1. Tingkat sintasan larva udang windu yang dipeliharan sampai pada stadia PL 12. Sintasan yang diperoleh masih sangat rendah dibandingkan hasil penelitian yang peroleh oleh Lante et al., (2015) yaitu 41,48% dengan perlakuan aplikasi pakan alami jenis Chaetocheros gracilis, Suriadnyani et al. (2007) yaitu 30,35%. Simon (1978) dengan mengaplikasikan pakan alami yang sama Chaetocero gracilis memperoleh sintasan Penaeus stylirostris dan Penaeus vannamei sampai stadia mysis adalah 84,8%. Hal ini karena terjadinya mortalitas yang sangat tinggi saat larva mulai memasuki stadia mysis dan PL-1. Seperti dikemukanakan Mariyono et al., (2006), bahwa larva udang windu kencenderungan diserang penyakit pada stadia zoea sampai awal pasca larva. Terutama pada perlakuan kontrol mengalami penurunan sintasan secara besar 51,2% dan 11,1% kemudian pada perlakuan filtrasi menggunakan membran 47,0% dan 21,7%. Namun pada perlakuan sterilisasi air dengan chlorin penurunan sintasan lebih kecil berangsur-angsur pada stadia mysis ke stadia PL-1 yakni 83,3% dan 44,4%. Selanjutnya dari stadia PL-1 sampai PL-12 pada kontrol terjadi penurunan yang drastis mencapai 6,1% dan 3,0%. Sedangkan pada perlakuan filtrasi air menggunakan membran filter penurunan tingkat sintasannya lebih kecil yaitu 21,7% dan 13,0%. Kondisi ini disebabkan terjadinya infeksi Vibrio harveyi diduga berasal dari adanya kontaminan melaui sumber air yang digunakan, meskipun pengelolaan air melalui sterilisasi dan filtrasi dengan membran filter sudah digunakan dan aplikasi biosekuriti relatif bersih. Kondisi ini mengakibatkan kemampuan probiotik yang diaplikasikan untuk menekan pertumbuhan vibrio belum efektif akibat terjadinya kompetisi beberapa jenis bakteri. Seperti dikemukakan Widanarni et al (2010), bahwa tidak semua bakteri probiotik yang ditambahkan ke dalam media pemeliharaan dapat dimangsa oleh larva. Selain itu, dapat diduga bahwa bakteri probiotik dalam tubuh larva mengalami penurunan kemampuan dalam mengkolonisasi bakteri patogen, dan berkompetisi dengan bakteri lainnya sehingga bakteri yang kalah berkompetisi, kemungkinan mati atau terlepas kembali kedalam media pemeliharaan. Tapi kencenderungan penurunan sintasan semua perlakuan setelah mencapai stadia PL-1 sampai PL-12 relatif lebih rendah dibandingkan dari stadia zoea, mysis sampai stadia PL-1. Hal ini disebabkan karena terjadinya peningkatan kemampuan adaptasi larva yang relatif lebih baik setelah mencapai stadia PL. Seperti dikemukanan Lante dan Herlina
Pengelolaan sumber air untuk pemeliharaan larva ..... (Agus Nawang)
476
(2015) bahwa salah satu faktor yang mendukung sintasan larva adalah kemampuan larva memanfaatkan pakan, laju konsumsi pakan alami semakin meningkat sesuai perkembangan larva udang. Disamping itu intesitas pergantian air lebih banyak dibanding pada stadia sebelumnya. Sehingga kepadatan bakteri vibrio bisa ditekan. Salah satu faktor pendukung yang dapat mempengaruhi tingkat sintasan larva udang windu adalah kualitas air. Selama penelitian dilakukan pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas air (Tabel.1). Tabel 1. Data hasil pengamatan kualitas air selama penelitian
No. 1. 2 3. 4.
Parameter kualitas air Oksigen terlarut (ppm) Suhu (°C) pH Salinitas (ppt)
Nilai 4,5 – 5,2 28 – 31 7,9 – 8,4 30 – 34
Kisaran optimun >3 (Manik dan Mintardjo, 1983) 25 – 32 (Dharmadi dan Ismail, 1993) 7,4 – 8,9 (Wyban dan sweeney, 1991) 28 – 35 (Boyd, 1991)
Parameter kualitas air yang diukur meliputi oksigen terlarut, suhu, pH dan salinitas. Berdasarkan hasil pengukuran selama penelitian kisaran oksigen terlarut berkisar antara 4,5-5,2 mg/L. Kondisi ini masih berada pada kisaran optimun untuk larva udang. Kadar oksigen terlarut merupakan parameter yang sangat mempengaruhi kehidupan larva karena dibutuhkan dalam proses respirasi dan pembakaran zat-zat makanan yang ada dalam tubuh larva udang. Disamping itu dibutuhkan oleh larva untuk menghasilkan energi dari pakan yang masuk kedalam tubuh udang. Sehingga jika oksigen terlarut dalam kodisi optimum maka proses metabolisme dalam tubuh akan optimal dan energi yang dihasilkan akan banyak untuk pertumbuhan (Widanarni et al., 2010). Kisaran suhu selama penelitian adalah 28-31°C, kisaran tersebut baik untuk menunjang sintasan dan pertumbuhan larva udang. Menurut Dharmadi dan Ismail (1993), suhu yang cocok untuk pertumbuhan larva udang antara 25-32°C. Perubahan nilai suhu akan sangat mempengaruhi tingkat metabolisme dan laju pertumbuhan larva udang. Nilai pH air media pemeliharaan larva adalah 7,98,4. Nilai pH ini berada pada kisaran yang optimum untuk pemeliharaan larva udang windu serta mendukung pertumbuhan dan sintasan larva. Nilai pH yang baik untuk budidaya udang adalah 7,48,9 (Wyban & Sweeney, 1991). Nilai pH dapat mempengaruhi laju reaksi serta tekana osmotis dalam tubuh larva udang sehingga secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan larva udang (Wardoyo & Djokosetiyanto, 1988). Pengukuran salinitas selama penelitian diperoleh hasil dengan kisaran 30-34 ppt. Kisaran tersebut masih berada pada nilai yang optimum baik untuk sintasan dan pertumbuhan larva. Seperti dikemukanan oleh Boyd (1991), bahwa larva udang sebaiknya dipelihara dalam air dengan salinitas 28-35 ppt. Pada salinitas diluar kisaran optimum larva akan lebih banyak mengeluarkan energi untuk proses osmoregulasi sehingga energi akan terpakai untuk pertumbuhan lebih sedikit. KESIMPULAN Pengelolaan air yang digunakan pada pemeliharaan larva udang windu dengan sistem sterilisasi menggunakan kaporit 50 ppm dan filtrasi menggunakan membran filter serta tanpa sterilisasi dan filtrasi membran tidak berbeda nyata terhadap sintasan larva udang windu. Sintasan yang didapatkan pada perlakuan penggunaan filtrasi membran filter sebesar 13,0%, kaporit 50 ppm sebesar 6,1% dan pada kontrol tanpa sterilisasi hanya hanya 3,0%. DAFTAR ACUAN Atmomarsono, M. (2004). Pengelolaan kesehatan udang windu, Penaeus monodon di tambak. Akuakultura Indonesiana 5(2):73-78. Boyd, C.E. (1991). Water Quality Manajemen and Aeration in Shrimp Farming. Pedoman Teknis dari Proyek Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 82p
477
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
Chanratchakool, P. (2003). Problems in shrimp culture during the Wet Season. Journal Aquaculture Asia 8 (2): 38-39 Dharmadi, & Ismail, A. (1993). Tinjauan Beberapa Faktor Penyebab Kegagalan Usaha Budidaya Udang di Tambak. Dalam Prosiding Seminar Sehari Hasil Penelitian. Sub Balai Perikanan Budidaya Pantai, Bojonegoro – Serang, Cilegon, 11 Maret 1993 Deviana, I. (2004). Laporan Tahunan 2003-Divisi Technical Service . Surabaya: PT. CP Prima, Jawa Timur. Effendi, M.I. (1997). Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Haryanti,. Ismi, S., Khalik, A., & Takano, M. (1993). Penggunaan beberapa jenis saringan air dan sinar ultraviolet ntuk pemeliharaan udang windu. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai 9 (2): 59-68. Haryanti, Moria, S.B., Mahardika, K., &. Permana, I.G.Ng. (2003). Standart Mutu Benih Udang Penaeus monodon Dan Lithopenaeus vannamei melalui Analisis Morfologi dan Rasio RNA/DNA. [Laporan Teknis]. Gondol Bali: Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut. Haryanti, Sugama, K., & Tsumura, S. (1998). Use of BY-9 as a probitic agent in the larval rearing of Penaeus monodon. p : 183-185. In T.W Flegel (ed.). Advances in shrimp biotechnology. Proseeding to the Special Seassion on Shrimp Biotechnology, 5 th Asian Fisheries Forum, 11-14 November 1998, ChiangMai, Thailand. Haryanti, & K.Sugama. (1998). Diseases problem and use of bacteria as biocontrol agent for larval rearing of Penaeus monodon in Indonesia. P: 1-9. In Huai-Shu Xu (ed.). Proceeding of the Regional Workshop on Diseases Problemms of Shrimp Cultur industry in the Asian Region and Technology of Shrimp Disease Control. Oktober 9-14, 1998 Qindao, China. Haryanti, Sugama, K., Tsumura, S., & Nishijima, T. (2000). Vibriostatic Bacterium Isolated from Seawater : potencially as Probiotic Agent in the Rearing of Penaeus monodon Larvae. Indonesian Fisheries Research Journal 6 (1) : 26-32 Karunasagar, I., Pai, R., Malthi, G.R., & Karunasagar, I. (1994). Mass Mortality of Penaeus monodon larvae due to antibiotic-resisten Vibrio harveyi infection. Aquaculture 128, 203-209. Kordi, K., & Andi, B. (2007). Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perairan . Rineka Cipta.Jakarta Lante & Herlina, J. (2015). Pengaruh Pakan Alami Chaetoceros spp. Terhadap Perkembangan dan Sintasan Larva Udang Windu. Jurnal Riset Aquaculture 10 (3): 389-396. Lavilla-Pittogo, C.R., Baticados, M.C.L., Crsuz-Lacierda, E.R., & De La Pena, L.D. (1990). Occurrence of luminous bacterial disease of Penaeus monodon larvae in the Philippines. Aquaculture 91, 1-13. Leophairatana, A. (2003). The Controversies of Thailand’s Large Shrimp Exports, February 28: 4-14. www.biotec.or.th/ shrinfo/documents/ThailandShrimp.pdf Manik, R., & Mintardjo, K. (1983). Kolam Ipukan. Dalam Pedoman Pembenihan Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta Mariyono, Wahyudi, A., & Sutomo. (2006). Teknik penanggulangan penyakit udang menyala melalui pengendalian populasi bakteri di laboratorium. Buletin Teknik Pertanian 7 (1), 25-27. Moria, S.B., Haryanti, Mahardika, K., & Permana, I.G.Ng. (2003). Selective Breeding pada Udang Lithopenaeus vannamei dan Penaeus monodon (Laporan Teknis). Gondol Bali: Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut. Rukyani, A. (1992). Penyakit kunang-kunang: dampak terhadap produksi benur udang windu dan Upaya penanggulannya. Jurnal LitbangPertanian XI (2), 32-36 Sathish, S., Selvakkumar, C., Hameed, A.S.S., & Narayanaa, R.B. (2004). 16-kd Porotein as amarkerto detectt WSSV infection in shrimp. Aquaculture 238: 39-50. Simon, C.M. (1978). The culture of diatom Chaetoceros gracilis and its use as a food for penaeid protozoa larvae. Aquaculture, 14, 105-113. Sugama, K. (2002). Status budidaya udang introduksi Litopenaeus vanammei dan Litopenaeus stilirostris serta prospek pengembangannya dalam tambak air tawar. Disampaikan dalam temu bisnis udang. Makassa 19 Oktober 2002. 7 hal.
Pengelolaan sumber air untuk pemeliharaan larva ..... (Agus Nawang)
478
Suriadnyani, N.N., Kadek, M., & Tati, A.N. (2007). Pemeliharaan Larva Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan Pemberian Fitoplankton yang berbeda. Jurnal Penelitian dan Rekayasa Perikanan. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol. Teo, J.W.P., Suwanto, A., & Poh, C.L. (2000). Novel B-lactamase genes from two environmental isolates of Vibrio harveyi. Antimicrob. Agen Chem other. 44, 1309-1314. Tjahjadi, M.R., Angka, S.L., & Suwanto, A. (1994). Isolation and evaluation of marine bacteria for biocontrol luminous bacterial diseases in tiger shrimp larvae (Penaeus monodon Farb.). Aspac. J. Mol. Biol. Biotechnol. 2, 234-352. Wardoyo, S.T.H., & Setiyanto, D. (1988). Pengelolaan Kualitas Air di Tambak Udang. Seminar Memacu Keberhasilan dan Pengembangan Usaha Pertambakan Udang Bogor, 16-17 September. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Insitut Pertanian Bogor. Widanarni, M.A., Lidaenni, Wahjuningrum D. (2010). Pengaruh pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b dengan dosis yang berbeda terhadap sintasan dan pertumbuhan larva udang windu (Penaeus monodon) Farb. Jurnal Aquculture Indonesia 9 (1), 21-29. Wyban, J.A., & Sweeney, J. (1991) Intensif Shrimp Production Tecnology. Honolulu Hawaii, USA