II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1. Klasifikasi dan Morfologi Udang Penaeus monodon atau udang windu termasuk ke dalam golongan crustaceae (udang-udangan) atau udang penaide. Udang windu secara internasional dikenal sebagai black tiger, tiger shrimp atau tiger prawn. Istilah tiger ini muncul karena corak tubuhnya berupa garis-garis loreng mirip harimau, tetapi warnanya hijau kebiruan. (Suyanto dan Mujiman, 1994). Klasifikasi udang windu adalah sebagai berikut (Agung, 2007):
Phylum
: Arthropoda
Sub phylum
: Mandibulata
Class
: Crustaceae
Sub class
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Sub ordo
: Matantia
Famili
: Penaidae
Genus
: Penaeus
Species
: Penaeus monodon
Gambar 1. Udang Windu
10
Udang windu memiliki kulit tubuh yang keras dari bahan khitin. Tubuh udang windu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala dan bagian badan. Bagian kepala menyatu dengan bagian dada disebut cephalothorax yang terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas di bagian kepala dan 8 ruas di bagian dada. Cephalothorax dilindungi oleh khitin yang tebal atau disebut karapas. Bagian badan dan abdomen terdiri dari 6 ruas, tiap-tiap ruas (segmen) mempunyai sepasang anggota badan (kaki renang) yang beruas-ruas pula. Pada ujung ruas keenam terdapat ekor kipas 4 lembar dan satu telson yang berbentuk runcing (Agung, 2007).
2.2. Pemanfaatan Limbah Udang sebagai Pakan Limbah udang dapat diperoleh dari industri pengolahan udang beku dan industri kerupuk udang. Limbah udang tersebut pada umumnya terdiri dari bagian kepala, kulit ekor, dan udang kecil-kecil di samping sedikit daging udang. Berat limbah udang ini mencapai 30-40% berat udang atau dapat mencapai 30-70 persen (Raharjo, 1985). Pemanfaatan limbah udang sebagai pakan ternak berdasarkan pada dua hal, yaitu jumlah dan mutunya. Seiring dengan maraknya ekspor udang beku ke beberapa negara, seperti Jepang, Taiwan, dan Amerika Serikat maka limbah yang dihasilkan akan bertambah pula. Limbah udang yang terdiri dari kepala dan kulit masih mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi, yaitu 25 – 40% protein, 45 – 50% kalsium karbonat. Selain itu mengandung karotinoid berupa axtasantin (Altschul, 1976). Pemanfaatan limbah udang sebagai salah satu bahan pakan penyusun ransum ternak unggas dapat dilakukan, disebabkan limbah tersebut mempunyai
11
kandungan zat-zat makanan yang cukup tinggi, terutama kandungan proteinnya. Kandungan protein limbah udang yang cukup tinggi merupakan potensi yang perlu dimanfaatkan. Di samping itu, limbah udang juga mengandung serat kasar yang tinggi, yaitu berupa khitin. Limbah udang terdiri dari 30% khitin dari bahan keringnya. Adanya khitin ini mengakibatkan adanya keterbatasan atau faktor pembatas dalam penggunaan limbah udang untuk dijadikan bahan penyusun ransum ternak unggas (Purwaningsih, 2000). Terbatasnya penggunaan limbah udang sebagai pakan ternak oleh adanya khitin ini menyebabkan limbah udang sulit dicerna oleh ternak apabila limbah udang diberikan secara langsung. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan melakukan pengolahan limbah udang baik secara kimiawi maupun biologis (Hartadi dkk., 1997).
2.3. Khitin Khitin merupakan polisakarida linear yang mengandung N-asetil-Dglukosamina yang terikat pada ikatan β dan secara hidrolisis akan menghasilkan 2-amino-2-deoksi-D-glukosa. Rumus umumnya adalah (C8H13O5N)n atau (203)n. Secara kimiawi, khitin merupakan polimer (1-4)-2-asetamido-2-deoksi-β-Dglukosamin (Walton dan Blackwell, 1973). Khitin merupakan polisakarida yang paling berlimpah ketersediannya di alam setelah selulosa. Khitin merupakan salah satu material penyusun eksoskeleton dari serangga dan golongan crustacea yang dapat diuraikan dengan enzim khitinase. Pada kulit udang khitin terdapat dalam bentuk senyawa komplek berikatan bersama protein, garam-garam anorganik, kalsium karbonat, dan lipid serta pigmen-pigmen (Austin, 1988). Khitin merupakan suatu polisakarida struktural yang mengandung nitrogen dan bergabung dengan protein dan kalsium
12
sebagai bahan dasar pembentuk kerangka luar (eksoskeleton) hewan invertebrata seperti udang (Walton dan Blackwell, 1973). Protein yang terdapat dalam limbah udang sebagian nitrogennya adalah dari nitrogen khitin, yaitu senyawa N-asetil-DGlukosamin polisakarida yang berikatan erat dengan khitin dan kalsium karbonat pada kulitnya. Eratnya ikatan tersebut menyebabkan daya cernanya menjadi rendah (Parakkasi, 1983; Raharjo, 1985). Tetapi khitin ini tidak bersifat toksik atau racun (Muzzarelli, 1986). Tingginya kandungan serat kasar yang berasal dari khitin dan mineral terutama kalsium yang berikatan erat dalam bentuk ikatan khitin-protein-kalsium karbonat merupakan kendala dalam pemanfaatan limbah udang ini. Kandungan protein yang terikat dalam khitin tersebut bisa mencapai 50-95% dan kalsium karbonatnya sampai dengan 15-30% (Foster dan Webber, 1960; Walton dan Blackwell, 1973). Adanya ikatan khitin protein-kalsium karbonat yang kuat akan menurunkan daya cerna protein limbah udang ini sehingga pemanfaatannya belum optimal dibanding dengan potensi nilai gizinya.
2.4. Limbah Udang Fermentasi Fermentasi adalah segala macam proses metabolik dengan bantuan enzim dari mikroba (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan reaksi kimia lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu dan menyebabkan terjadinya perubahan sifat bahan tersebut. Fermentasi dapat dilakukan dengan cara menambahkan bahan mengandung mikroba proteolitik, lignolitik, selulolitik, lipolitik, dan bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik (Winarno dan Fardiaz, 1980).
13
Pengolahan limbah udang sebagai pakan ternak dapat dilakukan dengan cara fisik, kimia, dan biologis. Pengolahan dengan cara biologis adalah pengolahan dengan cara memanfaatkan mikroorganisme, seperti bakteri, jamur, dan ragi. Pemilihan mikroorganisme yang digunakan sangat menentukan produk yang dihasilkan. Mikroorganisme yang digunakan dalam bioproses limbah udang harus memiliki sifat proteolitik dan dapat menciptakan suasana asam agar protein dan mineral dapat dipisahkan dari khitin (Abun, 2007). Limbah udang yang telah difermentasi dapat meningkatkan kandungan nutrien dari limbah udang tersebut. Kandungan nutrien dari limbah udang yaitu 41,56% protein kasar, 13,32% serat kasar, dan 14,08% lemak kasar, sedangkan setelah diproses melalui fermentasi kandungan nutrien limbah udang terfermentasi menjadi 44,31% protein kasar, 10,75% serat kasar, 14,82% lemak kasar (Rosyidi dkk., 2009). Pengolahan limbah udang secara fermentasi dapat menggunakan bakteri Bacillus licheniformis, Lactobacillus sp., dan ragi berupa Saccharomyces cereviseae (Palupi dkk., 2008). Bakteri Bacillus licheniformis menghasilkan enzim khitinase dan enzim protease dengan sifat deproteinasi dan enzim tersebut mendegradasi ikatan β (1,4) glikosidik pada khitin dan akan membebaskan sebagian protein dalam bentuk monomer N-Asetil-D-glukosamina serta asetil amino sehingga protein terlepas dari ikatan khitin dan terlepasnya protein dalam bentuk asam amino tersebut meningkatkan kandungan protein dan asam amino pada limbah udang (Rahayu dkk., 2004). Lactobacilus sp. berfungsi untuk mengurai glukosa, sukrosa, maltosa, dan laktosa menjadi asam laktat sehingga terjadi endapan mineral (Lee dan Tan, 2002). Saccharomyces cereviseae ialah ragi yang memproduksi enzim amilase, lipase, protease, dan enzim lain yang dapat membantu proses pencernaan zat
14
makanan dalam organ pencernaan (Wagstaff, 1989). Semakin tingginya kandungan khitin pada ransum menyebabkan ransum bersifat bulky, yang akan menurunkan konsumsi pada ayam (Mirzah, 2007). Berdasarkan beberapa penelitian, penggunaan berbagai tingkat limbah udang fermentasi dalam ransum menghasilkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap konsumsi ransum pada ayam (Islam dkk., 1994; Rosenfeld dkk., 1997). Performan ayam akan terganggu apabila kadar khitin dalam ransum melebihi batas toleransinya yakni jika berada pada tingkat 2,67-3% (Reddy dan Quddratullah, 1996). Berdasarkan penelitian, penggunaan tepung limbah udang windu produk fermentasi dalam ransum sampai dengan tingkat 20% memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan ransum kontrol terhadap nilai kecernaan protein kasar (Abun, 2007). Bahan pakan yang difermentasi dapat meningkatkan palatabilitas dalam ransum dan disukai ternak (Rasyaf, 1990).
2.5. Ayam Kampung Ayam kampung merupakan salah satu ayam lokal di Indonesia dan dulu dikenal juga sebagai ayam buras (bukan ras). Ayam kampung banyak dipelihara karena memiliki adaptasi yang baik, tidak memerlukan modal besar serta berperan dalam memanfaatkan sisa-sisa buangan dapur maupun sisa-sisa hasil pertanian (Sumanto dkk., 1990). Pemeliharaan oleh masyarakat Indonesia sebagian besar dilakukan secara ekstensif. Peternak mengembangkan ayam kampung secara tradisional dan turun temurun karena sistem pemeliharaan yang sederhana dan modal yang sangat rendah (Nataamijaya, 2000). Jenis ayam kampung cukup beragam, tetapi pada umumnya memiliki sifat yang relatif sama yaitu lebih kebal atau tahan terhadap penyakit dibandingkan
15
dengan ayam ras. Ayam kampung juga lebih tahan terhadap gejala stres dan itulah salah-satu keunggulan ayam kampung, di samping masih banyak lagi keunggulankeunggulan ayam kampung dibandingkan dengan ayam ras (Yaman, 2010). Taksonomi ayam kampung menurut Sarwono (2003) yaitu: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Subkelas
: Neonithes
Ordo
: Galiformers
Famili
: Phasianidae
Genus
: Gallus
Spesies
: Gallus domesticus
2.6. Kebutuhan Protein pada Ayam Kampung Protein merupakan komponen terpenting penyusun jaringan sekaligus nutrisi terbanyak yang terkandung dalam jaringan otot ternak (Church dan Pond, 1979). Definisi lain, protein adalah struktur penyusun jaringan tubuh terbesar setelah air. Dinyatakan lebih lanjut bahwa protein merupakan senyawa organik yang mengandung atom karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen, setiap protein mengandung 16% nitrogen (Murray dan Pizzorno, 2003). Protein merupakan salah satu nutrien yang perlu diperhatikan baik dalam menyusun ransum maupun dalam penilaian kualitas suatu bahan. Protein dibutuhkan oleh ayam yang sedang tumbuh untuk hidup pokok, pertumbuhan bulu, dan pertumbuhan jaringan (Scott dkk., 1982). Untuk memenuhi kebutuhan
16
protein sesempurna mungkin, maka asam asam amino essensial harus disediakan dalam jumlah yang tepat dan keseimbangannya yang cukup sehingga dapat menghasilkan pertambahan bobot badan yang optimal (Anggorodi, 1990). Sumber protein pakan yang baik adalah yang mampu memasok asam amino sesuai dengan kebutuhan asam amino ternak tersebut dalam jumlah dan keseimbangan yang cukup sehingga dapat menghasilkan pertambahan bobot badan yang optimal pada ternak. Kebutuhan nutrisi untuk ayam kampung fase pertumbuhan ialah 15-21% protein kasar dan energi metabolisme sebesar 2750-2900 kkal/kg (Murtidjo, 1994).
2.7. Nitrogen yang Disimpan dalam Tubuh Kebutuhan protein per hari dan yang disimpan di dalam tubuh ayam dapat dibagi menjadi 3 bagian: (1) Protein yang diperlukan untuk pertumbuhan jaringan, (2) protein untuk hidup pokok, dan (3) protein untuk pertumbuhan bulu (Wahju, 2015). 1. Protein untuk pertumbuhan jaringan atau karkas. Disebabkan karena karkas ayam itu terdiri dari kira-kira 18% protein, maka kebutuhan protein untuk pertumbuhan jaringan dapat dihitung dengan mengalikan antara pertambahan berat badan per hari (dalam gram) dengan 0,18% (18% protein jaringan) dan dibagi dengan 0,61% (61% efisiensi penggunaan protein atau retensi nitrogen) (Wahju, 2015). 2. Hidup pokok. Kehilangan nitrogen endogen pada ayam telah ditetapkan kira-kira 250 mg nitrogen per kilogram berat badan. Bila nitrogen itu dikalikan dengan 6,25 maka 1600 mg protein per kilogram berat badan hilang. Kebutuhan protein per hari dapat dihitung dengan mengalikan berat
17
badan dalam gram dengan 0,0016 dan membaginya lagi dengan 0,61 (Wahju, 2015). 3. Pertumbuhan bulu. Pada umur 3 minggu bulu itu merupakan 4% dari berat badan. Persentase ini akan meningkat menjadi 7% pada umur 4 minggu, dan sesudah itu secara relatif akan tetap. Kandungan protein dari bulu kira-kira 82%, dengan demikian pertumbuhan bulu dapat ditetapkan dengan mengalikan persentase bulu (0,04 atau 0,07) dengan pertambahan berat badan dalam gram, dan mengalikan lagi dengan 0,82 (persentase protein dalam bulu) dan dibagi 0,61 (Wahju, 2015). Kebutuhan protein dan yang disimpan di dalam tubuh ayam dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: (1) Nitrogen yang diabsorbsi, (2) Besar dan bangsa ayam, (2) Temperatur lingkungan, (3) Tahap produksi, (4) Perkandangan, (5) Ruang tempat makan per ekor, (6) Dalamnya tempat makan, (7) Luas ruang untuk ayam, (8) Air minum, dingin dan bersih, (9) Tingkat penyakit dalam kandang, dan (10) Kandungan energi dalam ransum (Wahju, 2015). 2.7.1. Imbangan Kalsium dan Fosfor Selain asam amino, kalsium dan fosfor dibicarakan bersama karena kedua unsur ini sangat erat hubungannya dengan proses metabolisme, terutama dalam pembentukan tulang. Pada anak ayam yang sedang bertumbuh sebagian besar dari kalsium dalam ransum dipergunakan untuk pembentukan tulang, sedangkan pada ayam dewasa dipergunakan untuk kulit telur. Kalsium juga penting untuk pertumbuhan badan, pembekuan darah, dibutuhkan bersama-sama dengan natrium dan kalium untuk denyutan jantung yang normal, dan juga untuk memelihara keseimbangan asam-basa (Wahju, 2015).
18
Sebagai tambahan kepada peranannya dalam pembentukan tulang, fosfor mempunyai fungsi yang penting dalam bagian dari otot; metabolisme dari energi, metabolisme karbohidrat, metabolisme asam amino dan lemak, pertumbuhan kerangka, dan transportasi asam-asam lemak dari lipida-lipida lain (Wahju, 2015). Ransum bukan saja harus mengandung kalsium dan fosfor dalam tingkat minimum akan tetapi dalam keseimbangan yang optimum. Kebutuhan fosfor tersedia dengan tingkat minimum adalah kira-kira 0,5%. Keseimbangan kalsium dan fosfor yang diperlukan untuk pertumbuhan anak ayam yang normal bervariasi antara 1:1 dan 2,2:1. Keseimbangan 2,5:1 adalah tepat pada batas, sedangkan pada imbangan 3,3:1 didapatkan membahayakan terutama menimbulkan ricketsia dan keadaan abnormal pada kaki (Wilgus, 1931). Imbangan kalsium dan fosfor dalam ransum ayam bervariasi dalam jarak yang cukup luas tanpa mengakibatkan kerugian. Meskipun demikian, jika salah satu dari unsur tersebut sangat berlebihan dapat mengganggu absorbsi dari saluran pencernaan. Untuk anak ayam yang sedang tumbuh imbangan yang paling baik dari kalsium dan fosfor adalah antara 1,5:1 dan 2:1 (Wahju, 2015).
2.8. Nitrogen yang Diabsorbsi Nitrogen yang diabsorbsi ialah banyaknya nitrogen dalam ransum yang dapat dicerna sekaligus yang dapat diserap oleh tubuh ayam sehingga mempunyai hubungan dengan nilai kecernaan protein pada ayam. Nitrogen yang terabsorbsi ini dapat diperoleh dengan mengalikan banyaknya konsumsi nitrogen dengan persentase kecernaan nitrogen pada ayam. Konsumsi nitrogen merupakan hasil konversi dari nilai konsumsi protein dibagi dengan 6,25 (Church dan Pond, 1979).
19
Kecernaan merupakan banyaknya atau jumlah proporsional zat-zat makanan yang ditahan atau diserap oleh tubuh. Zat makanan yang terdapat di dalam feses dianggap zat makanan yang tidak tercerna dan tidak diperlukan kembali (Cullison, 1978). Kecernaan dapat dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan, spesies hewan, kandungan lignin bahan pakan, defisiensi zat makanan, pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan pakan, dan gangguan saluran pencernaan (Church dan Pond, 1979). Faktor-faktor mempengaruhi daya cerna adalah suhu, laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya. Jenis kelamin, umur, dan strain mempunyai pengaruh terhadap daya cerna protein dan asam-asam amino, tetapi pengaruhnya tidak konsisten (Anggorodi, 1990). Persentase kecernaan protein pada unggas berkisar antara 70-85% (Wahju, 2015). Sedangkan untuk kisaran kecernaan protein pada ayam kampung yakni sebesar 80% (Prawitasari dkk., 2012; Setyanto dkk., 2012). Konsumsi nitrogen merupakan jumlah nitrogen yang dikonsumsi oleh ayam diperoleh dengan mengalikan konsumsi ransum dengan persentase kandungan nitrogen pada ransum ayam atau merupakan hasil konversi dari konsumsi protein (konsumsi ransum dikalikan dengan persentase kandungan protein kasar ransum) yang dibagi dengan 6,25 (Tillman dkk., 1998).
2.9. Biological Value Nilai biologis (Biological Value, BV) merupakan indeks kualitas protein yang mencerminkan persentase nitrogen yang diabsorbsi dari protein asal makanan yang pada akhirnya digunakan atau tinggal dalam tubuh dan yang diukur pada kondisi tersebut (standar). Biological value dapat didefinisikan sebagai
20
persentase protein terabsorbsi yang diubah menjadi protein tubuh. Biological value dipengaruhi oleh nitrogen yang diabsorbsi dan nitrogen yang disimpan dalam tubuh (Wiranda dan Djojosoebagjo, 2006). Semakin besar perbandingan nitrogen yang tinggal dalam tubuh, semakin besar nilai biologis atau kualitas protein pada ransum tersebut. Protein dalam ransum yang mengandung jumlah dan perbandingan optimal dari semua asam amino esensial dan yang mengandung jumlah cukup akan asam-asam amino nonesensial akan mempunyai nilai biologis tertinggi (Wiranda dan Djojosoebagjo, 2006). Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Ransum yang mengandung protein dengan nilai biologis tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan. Beberapa jenis protein mengandung semua macam asam amino esensial, namun masing-masing dalam jumlah terbatas namun cukup untuk perbaikan jaringan tubuh akan tetapi tidak cukup untuk pertumbuhan (Almatsier, 2008).