693
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
PERFORMA REPRODUKSI INDUK UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.) JANTAN ALAM DAN DOMESTIKASI TAMBAK Samuel Lante, Asda Laining, dan Andi Parenrengi Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Udang windu jantan yang berkualitas merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam pembenihan untuk menghasilkan telur fertil dan larva dengan sintasan yang tinggi. Dewasa ini, kualitas induk udang jantan alam mulai menurun ditandai dengan rendahnya daya tetas telur dan meningkatnya jumlah telur yang tidak fertil yang dipijahkan induk betina diduga disebabkan oleh menurunnya performa reproduksi induk jantan untuk membuahi telur. Selain itu, upaya untuk mendapatkan induk jantan hasil domestikasi tambak sebagai alternatif induk alam telah diupayakan, namun hasilnya belum memadai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa reproduksi udang windu jantan alam dari lokasi yang berbeda dan jantan hasil domestikasi tambak yang meliputi bobot spermatofor, jumlah spermatozoa, persentase spermatozoa abnormal, dan persentase spermatozoa hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa udang windu dari perairan Aceh dan Takalar memberikan bobot spermatofor yang relatif sama, namun bobot spermatofor keduanya berbeda nyata bila dibandingkan dengan bobot spermatofor udang asal Polman dan udang marker tumbuh cepat tambak (P<0,05). Selanjutnya udang dari perairan Polman memberikan bobot spermatofor yang berbeda nyata dengan bobot spermatofor udang windu marker tumbuh cepat asal tambak (P<0,05). Udang windu jantan dari perairan Aceh, Takalar, dan Polman menghasilkan jumlah spermatozoa yang tidak berbeda nyata (P>0,05), namun jumlah spermatozoa udang asal Aceh dan Takalar berbeda nyata dibandingkan dengan jumlah spermatozoa udang marker tumbuh cepat asal tambak (P<0,05). Selanjutnya, jumlah spermatozoa udang asal Polman dan marker tumbuh cepat asal tambak tidak berbeda nyata. Persentase spermatozoa hidup dan abnormal udang windu dari perairan Aceh, Takalar, Polman, dan udang marker tumbuh cepat asal tambak tidak memperlihatkan perbedaan. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa performa reproduksi udang windu jantan dari Aceh, Takalar, dan Polman ditinjau dari bobot spermatopor dan jumlah spermatozoa/induk lebih baik dari pada performa udang windu marker tumbuh cepat asal tambak. KATA KUNCI: performa reproduksi, udang windu, alam, domestikasi
PENDAHULUAN Udang windu, Penaeus monodon jantan merupakan salah satu penentu keberhasilan pembenihan untuk menghasilkan larva dengan sintasan yang tinggi. Pada umumnya induk udang windu diperoleh dari perairan Aceh (Sumatera), Sumbawa (NTB), Jawa dan Sulawesi. Moria et al. (2002) menyatakan bahwa variasi gen udang windu dari perairan Aceh dan Sumbawa lebih baik dari pada variasi gen udang asal perairan Jawa dan Sulawesi yang diindikasikan dengan tingkat heterosigositas dan jumlah alel perlokus. Nilai heterozigositas udang windu asal Aceh, Sumbawa dan Jawa Timur berturut-turut 0,150, 0,050 dan 0,105 (Moria et al., 2003). Rendahnya heterosigositas merupakan gambaran buruknya keragaman populasi terhadap perubahan lingkungan perairan dan serangan penyakit (Sugama, 1993), sedangkan nilai heterozigositas populasi udang windu asal Aceh yang tinggi menyimpan karakter ketahanan terhadap senyawa H2S. Namun ahir-akhir ini udang asal perairan Aceh dan beberapa lokasi di Indonesia kelihatan memiliki keragaan morfologi yang baik, sehat, dan tanpa cacat tetapi sering kali udang tidak memijah atau memijah namun jumlah telur sedikit bahkan telur tidak dapat berkembang sempurna (infertile) atau telur tidak menetas menjadi larva (Wardana et al., 2008). Telur yang tidak dapat berkembang baik diduga disebabkan proses pembuahan telur oleh spermatozoa tidak berlangsung secara sempurna.
Page 709 of 1000
Page 1 of 8
Performa reproduksi induk udang windu ..... (Samuel Lante)
694
Salah satu penyebab pembuahan telur tidak terjadi secara sempurna adalah kualitas spermatozoa udang windu yang mengalami penurunan. Penurunan mutu spermatozoa udang mendorong beberapa peneliti melakukan analisis mutu sperma udang windu antara lain Gomes & Primavera (1993) pada udang windu asal perairan Philipina, Pratoomchat et al. (1993) untuk udang windu asal perairan Thailand; Lante et al. (1997) untuk udang windu asal tambak; dan udang windu asal laut dan tambak (Lante & Haryanti. 2005). Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa mutu spermatozoa udang berhubungan erat dengan geografis lingkungan, kualitas air, dan jenis makanan dari perairan dimana udang hidup. Lante & Haryanti (2005) menguraikan bahwa udang windu jantan asal perairan Sumbawa (NTB) menghasilkan keragaan spermatozoa lebih baik dari pada keragaan spermatozoa udang asal perairan Banyuwangi (Jawa) dan udang asal tambak (Bali). Sedangkan data dan informasi tentang performa udang windu jantan dari perairan seperti Aceh (Sumatera) dan Sulawesi (Takalar dan Polman) yang selama ini digunakan untuk pembenihan serta udang windu marker tumbuh cepat asal tambak masih kurang dan perlu dikaji. Berdasarkan informasi tersebut maka dilakukan pengamatan kualitas udang windu jantan asal lokasi perairan Aceh (Sumatera), Takalar dan Polman (Sulawesi) serta udang windu marker tumbuh cepat asal tambak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa udang windu jantan yang berasal dari alam dan hasil domestikasi meliputi bobot spermatopor, jumlah spermatozoa, persentase sperma abnormal dan persentase sperma hidup. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat memberikan gambaran kualitas spermatozoa udang windu jantan alam Aceh, Takalar, dan Polman serta udang windu marker tumbuh cepat hasil domestikasi untuk keperluan pembenihan yang berkelanjutan dimasa yang akan datang. BAHAN DAN METODE Udang windu jantan yang dianalisa diperoleh dari empat lokasi yang berbeda, tiga dari alam yaitu perairan Aceh dengan bobot rata-rata (73,61 + 4,30 g/ekor), perairan Takalar dengan bobot rata-rata (72,31 + 16,03 g/ekor), dan perairan Polman dengan bobot rata-rata 63,01 + 8,08 g/ekor serta satu dari tambak yaitu udang windu hasil dometikasi yang telah diseleksi berdasarkan marker tumbuh cepat dengan bobot rata-rata 64,24 + 6,41 g/ekor. Jumlah udang windu setiap lokasi masingmasing sepuluh ekor. Udang dipelihara secara terpisah dalam bak volume 3,0 ton dan diadaptasikan dengan pakan segar kombinasi cacing laut dan cumi-cumi sebanyak 15% dari total bobot udang selama satu minggu dengan frekuensi pemberian pakan dua kali/hari yaitu pagi dan sore hari, di Instalasi Pembenihan Udang Windu Barru. Spermatofor udang dikeluarkan dengan cara kejutan menggunakan transformer elektrik yang dilengkapi dua elektroda. Kedua elektroda ditempelkan dekat kaki renang ke-5 udang (Gambar 1). Dengan adanya kejutan aliran listrik 15 volt/7mA selama 1-2 menit secara teratur maka udang jantan mengeluarkan spermatofor secara perlahan-lahan. Spermatofor ditimbang bobotnya kemudian dimasukkan dalam tabung homogenizer dan ditambahkan 3,0 mL larutan Ca 2+ bebas garam serta dihomogenkan. Sperma sebanyak 0,1 mL,
Gambar 1. Pengambilan spermatofor udang windu menggunakan metode kejutan listrik
Page 710 of 1000
Page 2 of 8
695
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
diteteskan pada hemacitometer untuk dilakukan pengamatan dibawah mikroskop. Parameter yang diamati meliputi: bobot spermatopor, jumlah spermatozoa/induk, jumlah spermatozoa hidup, dan jumlah spermatozoa abnormal. Bobot spermatopor ditimbang menggunakan timbangan kepekaan 0,001 g, jumlah spermatozoa dihitung menggunakan metode spermatozoa hidup dihitung dengan menggunakan metode Alfaro (1993), sedangkan spermatozoa abnormal dihitung/diamati? dengan menggunakan metode Leung-Trujillo & Lawrence (1987). Spermatozoa abnormal ditandai dengan ekor putus dan bengkok, sedangkan spermatozoa hidup memperlihatkan warna terang kebiru-biruan apabila diberi zat pewarna dan spermatozoa mati memperlihatkan warna biru kehitam-hitaman disebabkan selaput luar spermatozoa telah mati (Lante & Haryanti, 2005). Data performa udang windu jantan dari empat lokasi yang berbeda dianalisis secara statistik menggunakan metode. Uji lanjut dilakukan dengan menggunakan uji apabila. HASIL DAN BAHASAN Spermatopor udang windu jantan dari salah satu lokasi yang diperoleh melalui kejutan elektrik disajikan pada Gambar 2. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa bobot spermatofor asal lokasi perairan Aceh dan perairan Takalar tidak berbeda nyata (P>0,05). Namun bobot spermatopor kedua lokasi perairan tersebut lebih tinggi (P<0,05) bila dibandingkan dengan bobot spermatofor udang asal perairan Polman dan udang windu marker tumbuh cepat asal tambak (Tabel 1). Selanjutnya bobot spermatofor udang asal Polman berbeda nyata dengan bobot spermatofor udang windu asal tambak (P<0,05).
Gambar 2. Spermatofor udang windu (P. monodon) Hasil pengamatan ini relatif sama dengan hasil penelitian yang dilaporkan Pratoomchat et al.,(1993); Lante & Haryanti (2005) yang menyatakan bahwa bobot spermatofor udang windu asal laut berbeda nyata (P<0,05) bila dibandingkan dengan bobot spermatofor udang asal tambak. Perbedaan bobot spermatofor yang diperoleh pada pengamatan ini disebabkan karena variasi bobot udang windu asal lokasi perairan Aceh dan Takalar lebih besar dari pada variasi bobot udang asal lokasi perairan Polman dan tambak. Nampaknya, dengan bobot udang yang lebih besar, udang berpotensi menghasilkan spermatozoa yang lebih banyak (Alfaro, 1993; Lante et al., 1997). Bobot spermatofor udang windu asal lokasi perairan Aceh (0,14 g/ekor) dan asal perairan Takalar (0,15 g/ekor) pada pengamatan ini lebih besar dari pada bobot spermatofor udang windu asal lokasi perairan Sumbawa dan Banyuwangi masing-masing (0,126 g/ekor), tetapi bobot spermatofor udang windu asal lokasi perairan Polman (0,10 g/ekor) lebih kecil dari bobot spermatofor udang asal perairan Sumbawa dan Banyuwangi. Bobot spermatofor udang marker tumbuh cepat asal tambak (0,06 g/ekor) pada penelitian ini lebih kecil dari bobot spermatofor (0,09 g/ekor) udang windu asal tekstur dasar yang berbeda (Lante.1988), tetapi Alfaro (1993) mengemukakan bahwa bobot spermatofor tidak berkorelasi positif dengan jumlah sel spermatozoa dalam spermatofor. Spermatofor tidak hanya disusun oleh spematozoa tetapi juga disusun oleh jaringan lapisan luar spermatopor yaitu mukopolisakarida yang terdiri dari bahan basophilic dan eosinophilic (Subramoniam, 1990). Spermatofor memegang peranan penting
Page 711 of 1000
Page 3 of 8
Performa reproduksi induk udang windu ..... (Samuel Lante)
696
Tabel 1. Rataan bobot udang (g/ekor), panjang udang (cm), dan bobot spermatofor (g) udang windu (P. monodon Fab.) asal Aceh, Takalar, Polman, dan domestikasi tambak
Variabel Total udang windu (ekor) Panjang udang (cm/ekor) Bobot udang (g/ekor) Bobot spermatofor (g/ekor)
Udang windu asal alam Aceh Takalar Polman 10 10 10 21,30±0,6 21,08±1,5 21,94±4,3 73,61±4,30 72,31±16,03 63,01±8,08 0,14±0,02a 0,15±0,03a 0,10±0,01b
Domestikasi Tambak 10 18,95±0,8 64,24±6,4 0,06±0,02c
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05)
dalam pemindahan dan penyimpanan spermatozoa pada udang, selain itu memberikan perlindungan terhadap spermatozoa selama tersimpan pada telikum udang betina sebelum digunakan untuk pembuahan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa udang windu asal lokasi perairan Aceh menghasilkan jumlah spermatozoa tertinggi (280.125 x 103 sel), menyusul udang asal perairan Takalar (196.263 x 103 sel), dan udang windu asal perairan Polman (159.438 x 103 sel), sedangkan udang windu marker tumbuh cepat asal tambak menghasilkan jumah spermatozoa terendah (90.225 x 10 3 sel) disajikan pada Tabel 2. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa jumlah spermatozoa udang windu asal perairan Aceh tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan jumlah spermatozoa udang asal perairan Takalar dan Polman, namun jumlah spermatozoa udang windu asal perairan Aceh dan Takalar berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan jumlah spermatozoa udang windu marker tumbuh cepat asal tambak. Sedangkan jumlah spermatozoa udang asal Polman dan udang windu marker tumbuh cepat asal tambak menghasilkan jumlah spermatozoa yang tidak berbeda nyata. Tabel 2. Rataan jumlah spermatozoa (sel), persentase spermatozoa abnormal, dan persentase spermatozoa hidup udang windu (P. monodon Fab.) asal Aceh, Takalar, Polman dan domestikasi tambak Variabel Jumlahspermatozoa/ind(x10 3) Spermatozoa normal (%) Spermatozoa abnormal (%) Spermatozoa hidup (%) Spermatozoa mati (%)
Udang windu asal alam Domestikasi Aceh Takalar Polman Tambak a a ab 280,125±116,000 196,263±61,186 159,438±24,900 90,225±28,067b 87,27±5,15 85,54±6,60 83,06±5,32 82,67±6,98 12,73±5,15 a 14,46±6,60 a 16,94±5,32 a 17,33±6,98 a 93,56±2,68 a 89,35±3,16 a 92,96±2,01 a 89,31±3,81 a 6,44±2,68 10,65±3,16 6,95±2,16 13,32±1,95
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05)
Jumlah spermatozoa udang windu asal perairan Aceh satu kali lebih besar dari jumlah spermatozoa udang asal Takalar dan dua kali lebih besar dari jumlah spermatozoa udang windu asal perairan Polman, sedangkan jumlah spermatozoa udang windu asal perairan Aceh tiga kali lebih besar dari jumlah spermatozoa udang marker tumbuh cepat asal tambak. Jumlah spermatozoa udang windu marker tumbuh cepat asal tambak lebih rendah dari jumlah spermatozoa udang windu alam (Aceh, Takalar, dan Polman) disebabkan jenis makanan di tambak homogen seperti copepoda, udang-udang kecil, dan cacing sedangkan di alam lebih heterogen (beranekaragam seperti kepiting, udang kecil, moluska, ikan, cacing, dan biji-bijian). Pada penelitian lain Emmerson et al. (1983) dan Primavera et al. (1982) menyatakan bahwa adanya perbedaan antara reproduksi dengan ablasi dan tanpa ablasi induk udang putih (Penaeus indicus) asal laut diduga disebabkan oleh tingginya tingkat heterogenitas induk udang betina maupun induk jantan alam dalam hal sifat genetis dan jenis makanannya, sedangkan induk asal tambak jenis makanan lebih homogen karena lingkungan pemeliharaan, jenis makan dan umur yang relatif sama. Selama pengamatan menunjukkan bahwa udang windu marker
Page 712 of 1000
Page 4 of 8
697
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
tumbuh cepat asal tambak menghasilkan spermatopor yang kurang baik seperti adanya melanisasi, berwarna bening, lembek, dantidak keras, sedangkan spermatopor yang baik kelihatan berwarna putih susu, padat dan kenyal. Menurut Arce (2008) bahwa spermatopor yang baik tidak menunjukkan adanya melanisasi, berwarna putih, padat dan keras jika disentuh. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa jumlah spermatozoa udang asal lokasi perairan Aceh, Takalar, dan Polman lebih banyak dibandingkan dengan jumlah spermatozoa (77,53 x 10 6 sel) udang windu (bobot tubuh 68,6g/ekor) yang berasal dari perairan Philipina (Gomes & Primavera, 1993) dan jumlah spermatozoa (47.247 x 10 3 sel) udang windu (bobot tubuh berkisar 46-138 g/ekor) asal perairan Thailand, Pratoomchat et al. (1993). Jumlah spermatozoa udang windu marker tumber cepat asal tambak (90.225 x 103 sel) lebih rendah bila dibandingkan dengan udang yang berasal dari alam (Aceh, Takalar, Polman), tetapi masih tinggi dibanding jumlah spermatozoa udang windu asal tambak di Thailand (29,26 x 10 3 sel) seperti dilaporkan oleh Pratoomchat et al. (1993), namun lebih rendah bila dibandingkan jumlah spermatozoa udang asal tambak (105,8 x 10 3 sel) oleh Lante (1998). Dengan demikian kualitas udang windu jantan sangat ditentukan oleh jenis dan beranekaragam makanan yang dimakan yang ditunjang lingkungan perairan yang baik maka jumlah spematozoa yang dihasilkan semakin meningkat. Kualitas spermatozoa ditentukan oleh persentase hidup spermatozoa dan kenormalan serta pertumbuhan udang, lingkungan, dan makan selama di alam maupun tambak. Persentase hidup spermatozoa tertinggi diperoleh pada udang asal perairan Aceh sebesar 93, 56%, menyusul udang asal perairan Polman 92,96 %, kemudian udang asal perairan Takalar (89,35%), dan persentase hidup spermatozoa terendah adalah udang windu marker tumbuh cepat asal tambak (89,31%) (Tabel 1). Namun hasil análisis menunjukkan bahwa persentase hidup spermatozoa antara keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan (P>0,05). Tidak adanya perbedaan persentase hidup spermatozoa dapat dilihat dari normalitas spermatozoa relatif sama pada keempat udang windu selama pengamatan. Hasil pengamatan mikroskop menunjukkan bahwa spermatozoa hidup memperlihatkan warna terang kebiru-biruan dan memiliki susunan morfologi yang lengkap seperti kepala, leher, ekor, dan ujung ekor. sedangkan spermatozoa yang mati (abnormal) memperlihatkan warna biru kehitam-hitaman. Menurut Lante (1998) spermatozoa mati disebabkan jaringan selaput luar spermatozoa telah mati sehingga apabila diberi zat pewarna, maka zat pewarna meresap masuk kedalam sel spermatozoa. Persentase hidup spermatozoa udang sangat ditentukan oleh makanan yang dimakan, bila makanan yang dimakan lebih bervariasi akan meningkatkan persentase hidup spermatozoa. Persentase hidup spermatozoa yang diperoleh pada pengamatan ini lebih tinggi dari persentase hidup sperma udang windu alam asal perairan Sumbawa (79,80%), dan udang windu asal Banyuwangi (54,17%). Demikian pula persentase hidup spermatozoa udang windu marker tumbuh cepat pada penelitian ini lebih tinggi dari udang windu tambak Pejarakan-Bali (66,86%). Namun persentase hidup spermatozoa pada pengamatan ini masih lebih rendah dibanding dengan persentase hidup spematozoa (100%) udang windu asal perairan Philipina (Gomes & Primavera, 1993), dan persentase hidup spermatozoa (99,0%) udang Penaeus setiferus asal perairan Arkansas, Texas (Leung-Trujillo & Lawrence, 1987). Umur udang berpengaruh terhadap kualitas spermatozoa (jumlah hidup spermatozoa dan abnormalitasnya). Spermatozoa yang berkualitas dapat meningkatkan pembuahan telur dan meningkatkan daya tetas telur udang. Coman & Crocos (2003) menyatakan bahwa daya tetas telur yang baik ditentukan oleh kondisi lingkungan pemeliharaan, keberhasilan pembuahan, kualitas sperma , dan kualitas telur. Persentase spermatozoa abnormal terendah adalah udang windu asal perairan Aceh sebesar 12,73%, menyusul udang windu asal Takalar 14,46%, udang windu asal Polman 16,94%, dan persentase spermatozoa abnormal tertinggi adalah udang windu hasil domestikasi yaitu 17,33%. Hasil análisis statistik menunjukkan bahwa persentase spermatozoa abnormal udang windu dari empat lokasi yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan (P>0,05). Namun dengan persentase abnormalitas spermatozoa yang tinggi dapat diindikasikan bahwa performa spermatozoa udang windu marker tumbuh cepat asal tambak rendah, tetapi sebaliknya persentase abnormalitas spermatozoa rendah memperlihatkan performa spermatozoa udang baik. Pengamatan mikroskop memperlihatkan bahwa abnormalitas spermatozoa menunjukkan bentuk kepala cacat, ekor putus, dan bengkok, sedangkan
Page 713 of 1000
Page 5 of 8
Performa reproduksi induk udang windu ..... (Samuel Lante)
698
spermatozoa normal memperlihatkan kepala tidak cacat dan ekor utuh atau tidak putus (Alfaro, 1993 dan Alfaro & Lozano. 1993). Persentase spermatozoa abnormal udang windu asal Aceh, Takalar, dan Polman pada penelitian ini lebih rendah dari pada persentase spermatozoa abnormal udang windu asal perairan Sumbawa (25,96%) dan udang windu asal Banyuwangi (41, 51%), demikian pula persentase spermatozoa abnormal udang windu marker tumbuh cepat lebih rendah dari udang tambak asal Pajarakan Bali (34,78%) dilaporkan oleh Lante & Haryanti (2005). Udang windu marker tumbuh cepat asal tambak menghasilkan persentase spermatozoa abnormal lebih tinggi dibandingkan udang windu asal perairan alam (indu windu Aceh, Takalar, dan Polman). Tingginya abnormalitas spermatozoa udang windu marker tumbuh cepat diduga karena kualitas pakan yang diberikan selama pemeliharaan di tambak belum sesuai kebutuhan optimal udang, sehingga belum mampu meningkatkan kualitas spermatozoa dari segi normalitasnya. Nalbandov (1990) menyatakan bahwa spermatozoa abnormal mengikat zat warna dan berpengaruh buruk terhadap kemampuan fertilisasi sel normal. Hasil yang diperoleh pada pengamatan ini menunjukkan bahwa kualitas spermatozoa induk udang jantan asal perairan Aceh, Takalar, dan Polman lebih baik dibanding dengan kualitas induk udang windu marker tumbuh cepat asal tambak diukur dari bobot spermatopor dan jumlah spermatozoa/induk, sedangkan persentase spermatozoa hidup tertinggi (93,56%) adalah udang windu asal Aceh dan persentase spermatozoa hidup terendah (89,31%) adalah udang windu marker tumbuh cepat asal tambak. Demikian pula persentase spermatozoa abnormal terendah (12,73%) adalah udang windu asal Aceh dan persentase spermatozoa abnormal tertinggi (17,33%) adalah udang windu marker tumbuh cepat asal tambak. Hal ini memperlihatkan bahwa perkembangan dan kualitas reproduksi udang windu jantan tumbuh cepat asal tambak belum maksimal karena jumlah spermatozoa hidup dan normalnya masih relatif rendah dibandingkan udang windu yang bersumber dari alam (Aceh, Takalar, dan Polman). Faktor yang berpengaruh langsung pada proses perkembangan reproduksi udang windu jantan marker tumbuh cepat asal tambak seperti nutrisi dan lingkungan perlu dikaji lebih mendalam untuk mendapatkan performa induk jantan yang lebih baik untuk keperluan pembenihan yang berkelanjutan dimasa yang akan datang. KESIMPULAN Induk udang windu jantan asal perairan Aceh, Takalar, dan Polman mempunyai performa reproduksi bobot spermatofor dan jumlah spermatozoa lebih baik bila dibandingkan dengan performa reproduksi (bobot spermatopor dan jumlah spermatozoa) udang windu marker tumbuh cepat asal tambak. Induk udang windu jantan dari perairan Aceh mempunyai bobot spermatopor 0,14g, jumlah spermatozoa sebesar (280.125 x 103 sel), persentase spermatozoa hidup (93,56%), dan persentase spermatozoa abnormal sebesar (12,73%). UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada teknisi Instalasi Perbenihan Udang Windu, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau-Maros atas bantuannya selama pengamatan. DAFTAR ACUAN Alfaro, J. 1993. Reproductive quality evaluation of male, Penaeus stylirostris from grow-out pond. Journal of The World Aquaculture Society, 24(1):6-11. Alfaro, J. And X. Lozano. 1993. Development and deterioration of spermatophores in pond-reared Penaeus vannamei. Journal of The World Aquaculture Society, 24(4):522-529. Arce, 2008. Artificial insemination and spawning of pacific white shrimp litopenaeus vannamei: implications for a selective breeding program. UJNR Technical Report No. 28:5-8. Coman, G.J., Arnold, S.J.,Callaghan, T.R.& Preston, N.P. 2007. Effect of two maturation diet combinations on reproductive performance of domesticated Penaeus monodon. Aquaculture 263, 75-83. Coman. G.J dan P. J. Crocos. 2003. Effect of age on the consecutive spawning of ablated Penaeus semisulcatus broodstock. Aquaculture, 219: 445-456.
Page 714 of 1000
Page 6 of 8
699
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
Emmerson, W.D., D.P. Hayes, and M. Ngonyame. 1983. Growth and maturation of Penaeus indicus under blue and green light. S. Afr. Tijdskr. Dierk. 18:71-75. Gomes, L.A.O and J.H. Primavera. 1993. Reproductive quality of male Penaeus monodon. Aquaculture, 122:157-164. Haryanti, Fahrudin, I. K. Wardana, G.N. Permana, K. Mahardika, dan S.B. M. Sembiring. 2012. Gen penciri tumbuh cepat sebagai indikator seleksi pada benih udang windu, Penaeus monodon, J. Ris. Akuakultur, 7(2): 181-193. Haryanti, Fahrudin, I. K. Wardana, S.B. Moria, G.N. Permana, dan K. Mahardika. 2011 Profil genotif benih udang windu Penaeus monodon hasil seleksi dengan karakter toleran terhadap infeksi White Spot Syndrome Virus, J. Ris. Akuakultur, 6(3):393-405. Hoa, N.D. 2009. Domestication of black tiger shrimp (Penaeus monodon) in recirculation systems in Vietnam. PhD thesis, Ghent University, Belgium.183p. Laining, A. Usman, Muslimin, N.N Palinggi. 2013 a. Performansi Pertumbuhan dan Reproduksi Udang Windu Asal Tambak yang Diberi Kombinasi Pakan yang Berbeda. Jurnal Riset Akuakultur (In Preparation). Laining, A., Usman, dan Rachman Syah. 2013b. The use of seaworm meal in maturation diet as partial substitution of freshdiet for pond reared tiger shrimp broodstock, Penaeus monodon. Indonesian Aquaculture Journal. (In Preparation). Lante, S., Haryanti, dan S. Tsumura. 1997. Pengamatan spermatopora udang windu (Penaeus monodon Fab.) asal tambak pada ukuran yang berbeda. Prosiding symposium Perikanan Indonesia II, p.231233. Lante, S. 1998. Keragaan spermatopora udang windu Penaeus monodon Fab.) asal tambak dengan tekstur tanah dasar yang berbeda, Prosiding Seminar Teknologi Pantai” Perkembangan terakhir teknologi budidaya pantai untuk mendukung pemulihan ekonomi Nasional (hal: 104-107). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Loka Penelitian Perikanan Pantai Gondol-Bali bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency, JICA ATA-379. Lante. S dan Haryanti. 2005. Keragaan spermatozoa udang windu (Penaeus monodon Fab.) asal laut dan tambak, J. Pen. Per. Indonesia, 11(7): 13-19. Leung-Trujillo, J. R. and A.L. Lawrence. 1987. Observation on the decline in sperm quality of Penaeus setiferus under laboratory. Aquaculture, 65:363-370. Leung-Trujillo, J.R., 1990. Male reproduction in penaeid shrimp: sperm quality and spermatophore production in wild and captive populations. M.S. thesis, Dept. of Wildlife and Fisheries Sciences, Texas A&M Univ., College Station, TX. p. 91 Moria, S.B., Haryanti, K. Mahardika, dan I.G.Ng. Permana. 2003. SelectiveBreeding pada Udang Lithopenaeus vannamei dan Penaeus monodon. Laporan Teknis. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut.Gondol Bali Nalbandov, A.V. 1990. Fisiologi Reproduksi pada mamalia dan Unggas. Universitas Indonesia (UI-Press). 378 pp Pratoomchat, B.S., Piyatiratitivorakul, and P. Menasveta. 1993. Sperm quality of pond-reared and wild-caught Penaeus monodon in Thailand. Journal of The World Aquaculture Society, 24(4):530-540. Subramoniam, T. 1990. Chemical composition of spermatophores in decapod crustacean. In Crustacean Sexual Biology. Columbia Univercity Press, New York. P. 308-321. Sugama K, 1993. Penelitian tentang enzim polymorphism pada udang windu Penaeus monodon, Jurnal Penelitian Budidaya Pantai 9 (2): 147-153 Sugama, K., Haryanti., Benzie.J.A.H., and Ballment, E. 2002. Genetic variation and population of the giant tiger prawn, Penaeus monodon in Indonesia. Aquaculture, 205:37-48. Wardana, I. A., A. Muzaki, Fahrudin, G.N. Permana, dan Haryanti. 2008. Selektif breeding udang windu Penaeus monodon dengan karakter pertumbuhan dan SPF (Specific Pathogen Free), J. Ris. Akuakultur, 3(3): 301-312. Yano, I., R.A. Kanna, R.N. Oyama, and J.A. Wyban. 1988. Mating Behavior in the Penaeid Shrimp Penaeus vannamei. Marine Biology. 97:171-175.
Page 715 of 1000
Page 7 of 8
Performa reproduksi induk udang windu ..... (Samuel Lante)
700
DISKUSI
Nama Penanya: Ibnu Dwi Wibowo Pertanyaan: Analisa keragaman genetik udang dari alam apakah sudah dilakukan? Tanggapan: Sudah sebagian dilaksanakan dan akan dilakukan kegiatan analisa keragaman genetik lagi. Nama Penanya: Sari Budi Pertanyaan: Apa program selanjutnya untuk kegiatan inni, karena spermatozoanya mempunyai konsentrasi yang rendah? Tanggapan: Meningkatkan kualitas induk jantan dengan mingkatkan jumlah spermanya dan meningkatkan kualitasnya. Nama Penanya: Bejo Slamet Pertanyaan: Apakah perbedaan sperma bisa dibedakan dengan umur udang? Tanggapan: Bisa dibedakan.
Page 716 of 1000
Page 8 of 8