729
Uji tantang pasca larva udang windu ... (B.R. Tampangalo)
UJI TANTANG PASCA LARVA UDANG WINDU Penaeus monodon DENGAN Vibrio harveyi B.R. Tampangallo dan Nurhidayah Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg Sitakka No. 129 Maros Telp (0411 371544) E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Vibrio harveyi merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat patogen pada budidaya udang windu Penaeus monodon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan pasca larva udang windu yang telah dipelihara menggunakan beberapa isolat probiotik RICA sejak fase naupli sampai pasca larva 12 (PL-12) terhadap V. harveyi . Kegunaan penelitian ini adalah sebagai acuan untuk mengetahui kualitas larva yang dihasilkan. Penelitian dilakukan di Instalasi Perbenihan Barru, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. Hewan uji yang digunakan adalah benur udang windu PL-12 yang sebelumnya telah dipelihara dengan menggunakan probiotik. V. harveyi berpendar untuk uji tantang diisolasi dari tambak di Kabupaten Pinrang dan telah disekuensing menggunakan 16sRNA. Wadah yang digunakan adalah stoples kaca diisi air laut bebas klorin masing-masing sebanyak 2 L per stoples. Perlakuan yang diuji adalah A = PL-12 yang dipelihara dengan aplikasi probiotik BM12, B = menggunakan probiotik BM58, C = probiotik BL542, D = probiotik BT951dan E = kontrol. Kepadatan V. harveyi yang diinfeksikan adalah 106 CFU/mL (1) dan 105 CFU/mL (2). Pengamatan tingkah laku, morfologi dan mortalitas benur udang windu diamati pada 1, 3, 6, 9, 12, 24, 48, 72, 96, 120 dan 144 jam setelah infeksi (jsi). Parameter imun seperti total hemosit (THC) dan phenoloksidase (PO) diamati sebelum dan setelah uji tantang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan tertinggi diperoleh pada perlakuan D2 (77,78) disusul A2 (76,67%), D1 (75,56%), A1 (51,11%), lalu perlakuan yang lainnya sebesar 36,67% (B2, C2), 35,56% (B1), 30,0% (E2), 26,67% (C1) dan terendah 24,44% (E1). Ada kecenderungan rendahnya sintasan berkaitan erat dengan tingginya populasi bakteri yang diberikan dan kematian terbanyak terjadi pada pengamatan ke 48 jam. THC tertinggi sebelum uji tantang adalah 5,8 x 106 sel/ekor (A) dan terendah 1,8 x 106 sel/ekor (kontrol). Setelah uji tantang, THC tertinggi adalah 8,77 x 106 sel/ ekor (D2). Phenoloksidase tertinggi sebelum uji tantang adalah 0,016 (A) dan setelah uji tantang adalah 0,037 (A1). KATA KUNCI:
pasca larva, udang windu, uji tantang, Vibrio harveyi
PENDAHULUAN Upaya meningkatkan kembali produksi udang windu Penaeus monodon, yang terus mengalami penurunan telah ditempuh oleh pemerintah. Keterpurukan usaha budidaya udang windu ini diakibatkan adanya serangan penyakit seperti vibriosis, White Spot Syndrome Virus (WSSV), Yellow Head Virus (YHV), Infectious Hypodermal And Hematopoietic Necrosis Virus (IHHNV) dan penurunan mutu lingkungan budidaya. Guna menunjang upaya kebangkitan produksi udang windu, maka ketersediaan benih yang berkualitas baik dan dalam jumlah cukup sangat dibutuhkan. Dalam usaha perbenihan udang windu, juga tidaklah terlepas dari kendala. Salah satu penyakit yang paling sering menyerang panti perbenihan adalah vibriosis atau dikenal sebagai penyakit kunang-kunang. Penyakit tersebut telah dapat ditanggulangi dengan menggunakan antibiotik, akan tetapi penggunaan antibiotik secara terus menerus dapat mengakibatkan bakteri resisten. Probiotik merupakan alternatif untuk mencegah atau menanggulangi penyakit vibriosis. Probiotik adalah bakteri yang hidup di alam yang diketahui dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, memperbaiki kualitas air dan telah dapat diisolasi dan diperbanyak. Muliani et al. ( 2003) telah berhasil mengisolasi bakteri probiotik dari laut, tambak dan mangrove. Isolat-isolat kandidat bakteri probiotik ini telah diketahui dapat menghambat pertumbuhan bakteri vibrio dan memperbaiki beberapa parameter kualitas air. Penggunaan isolat probiotik di hatcheri juga sudah mulai dilakukan. Larva yang dipelihara dengan menggunakan isolat probiotik dapat memberikan sintasan hingga 35%. Untuk mengetahui kualitas dari larva yang dihasilkan maka perlu dilakukan uji tantang larva
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
730
yang dihasilkan dengan menggunakan bakteri Vibrio harveyi. Penggunaan probiotik dalam pemeliharaan larva kemungkinan juga akan meningkatkan sistem imun larva. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya tahan, total hemosit dan aktifitas phenoloksidase pasca larva udang windu yang telah dipelihara menggunakan beberapa isolat probiotik RICA sejak fase naupli sampai pasca larva 12 (PL-12) yang ditantang bakteri patogen V. harveyi. MATERI DAN METODE Penelitian telah dilakukan di laboratorium basah Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Menggunakan wadah stoples kaca yang berisi air laut bebas klorin sebanyak 2 L per stoples. Setiap stoples telah dilengkapi dengan selang dan batu aerasi sebagai suplai oksigen. Hewan uji yang digunakan adalah benur windu (PL-12) yang telah dipelihara di hatcheri dengan menggunakan beberapa jenis probiotik sejak fase naupli – PL12. Kepadatan hewan uji dalam stopless adalah sebanyak 15 ekor per Liter. Isolat bakteri V. harveyi yang digunakan adalah isolat koleksi Kadriah (2010). Sebelum digunakan stok bakteri ini diremajakan dengan menggunakan nutrien broth dan dinkubasi menggunakan shaker inkubasi selama 24 jam. Keesokan harinya, bakteri disubkultur ke nutrien broth baru lalu diinkubasi di atas shaker inkubator selama 4 jam sebelum digunakan. Uji tantang dilakukan dengan cara perendaman. Kepadatan V. harveyi dalam stoples adalah 10 6 dan 10 5 CFU/mL. Penentuan volume bakteri yang digunakan dihitung berdasarkan rumus pengenceran. Pengamatan mortalitas udang dilakukan pada jam 1, 3, 6, 9, 12, 24, 48, 72, 96, 120 dan 144 jam setelah infeksi (jsi). Pengamatan sistem imun seperti total hemosit dan phenoloksidase dilakukan di awal dan akhir pengamatan. Adapun perlakuan yang diujikan adalah : A1 = benur yang dipelihara menggunakan probiotik BM12 dan ditantang dengan V. harveyi 5 x106 CFU/mL A2 = benur yang dipelihara menggunakan probiotik BM12 dan ditantang dengan V. harveyi 5 x 105CFU/ mL B1 = benur yang dipelihara menggunakan probiotik BM58 dan ditantang dengan V. harveyi 5 x 106 CFU/mL B2 = benur yang dipelihara menggunakan probiotik BM58 dan ditantang dengan V. harveyi 5 x 105 CFU/mL C1 = benur yang dipelihara menggunakan probiotik BL542 dan ditantang dengan V. harveyi 5 x 106 CFU/mL C2 = benur yang dipelihara menggunakan probiotik BL542 dan ditantang dengan V. harveyi 5x105 CFU/mL D1 = benur yang dipelihara menggunakan probiotik BT951 dan ditantang dengan V. harveyi 5x106 CFU/mL D2 = benur yang dipelihara menggunakan probiotik BT951 dan ditantang dengan V. harveyi 5x105 CFU/mL E1 = benur yang dipelihara tanpa menggunakan probiotik dan ditantang dengan V. harveyi 5x106 CFU/mL E2 = benur yang dipelihara tanpa menggunakan probiotik dan ditantang dengan V. harveyi 5x105 CFU/mL Pengambilan sampel hemosit dilakukan dengan mengacu pada Rantetondok dkk. (2008) dengan beberapa modifikasi. Benur sebanyak 10 ekor dari setiap perlakuan digerus dalam tabung effendorf volume 1,5 mL yang berisi antikoagulan (3,8% trisodium citrate) sebanyak 0,3 mL dengan menggunakan pastel plastik. Hemolim diambil dari cairan gerusan PL12 tersebut. Perhitungan total hemosit dilakukan dengan mengambil hemolim yang telah dikoleksi diteteskan diatas haemocitometer kemudian diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x. Hemosit yang ada kemudian dihitung secara manual dan dimasukkan ke dalam rumus berikut :
731
Uji tantang pasca larva udang windu ... (B.R. Tampangalo) THC = N x 25 x 104 cell/mL (Brock & Madigan, 1991)
dimana : THC= total haemosit count N = Rata-rata haemosit yang ditemukan
Aktivitas pheloksidase diukur dengan mengambil sampel hemolim sebanyak 0,1 mL. Pengamatan dilakukan dengan melihat perekaman pembentukan dopachrome yang dihasilkan dari Ldihydroxyphenil alanine (L-DOPA) menggunakan prosedur yang dijelaskan oleh Liu & Chen (2004). Hemolim kemudian ditambahkan dengan antikoagulan 0,9 mL lalu disentrifugasi pada kecepatan 700 x g pada 4o C selama 20 menit. Cairan supernatan dibuang dan pellet dibilas dengan 1 mL cocodilate-citrate buffer. Disentrifugasi lagi pada kecepatan 700 x g pada 4 o C selama 20 menit. Selanjutnya cairan supernatan dibuang dan pellet disuspensikan kembali dengan 200 µL cacodylate buffer. Larutan kemudian dibagi dua sebanyak 100 µL diinkubasi selama 10 menit pada 25 oC dengan 50 mL trypsin sebagai elisator, kemudian ditambah 50 µL L-DOPA dan 5 menit kemudian ditambahkan 800µL cacodilate buffer. Larutan kedua sebanyak 100µL suspension sel ditambah dengan 50 µL cacodylate buffer (untuk menggantikan tripsin) dan 50 µL L-DOPA digunakan sebagai kontrol untuk background phenoloksidase aktivity pada semua kondisi uji. Kerapatan optik pada panjang gelombang 490nm diukur menggunakan spektrofotometer. Sintasan larva dihitung pada akhir penelitian dengan menghitung total larva yang hidup. Sintasan dihitung dengan menggunakan rumus Effendi (1997) :
SR
Nt x 100% No
dimana : SR = survival rate (tingkat kelangsungan hidup) Nt = jumlah udang yang hidup pada akhir penelitian No= jumlah udang yang ditebar pada awal penelitian
HASIL DAN BAHASAN Benur yang dipapar pada umumnya aktif berenang ketika diinfeksi dengan inokulum bakteri V. harveyi. Pada pengamatan satu jam pertama, umumnya benur yang diinfeksi dengan kepadatan yang lebih tinggi (5x106 CFU/mL) lebih banyak berenang di permukaan sedang yang lebih rendah (5x105 CFU/mL) lebih banyak di dasar stoples. Hal ini berlangsung hingga pengamatan 3 jsi namun setelah 6 jsi, benur telah banyak berada di dasar wadah dan sebagian besar mengalami fase ganti kulit. Proses ganti kulit ini dapat menjadi indikasi adanya stress yang dialami oleh udang. Kematian benur mulai terjadi sejak 1 jsi. Hal ini juga turut dipicu oleh karena adanya benur yang ganti kulit sehingga menjadi lemah dan menjadi sasaran benur-benur yang kuat. Kematian benur terus berlanjut dan kematian larva mulai banyak terjadi pada jam pengamatan 48 jsi. (Gambar 1.). ematian paling banyak ditemukan pada perlakuan kontrol yakni sekitar 14 ekor. Lavilla-pitogo et al. (1990) juga menemukan mortalitas larva udang windu yang tertinggi terjadi pada pengamatan 48 jam sejak uji tantang dengan perendaman strain V. harveyi dan V. splendidus. Kematian hewan uji terus terjadi hingga akhir pengamatan. Kematian hewan uji paling banyak ditemukan pada kontrol yang diinfeksi dengan V. harveyi sebanyak 5x10 6 CFU/mL. Pada umumnya benur yang lemah warnanya berubah menjadi kemerah-merahan dan beberapa saat kemudian benur mati. Pada akhir pengamatan rata-rata sintasan benur windu yang diiinfeksi bakteri V. harveyi dapat dilihat pada Gambar 2. Sintasan terendah pada benur windu yang dipelihara tanpa menggunakan probiotik dan diinfeksi dengan V. harveyi sebanyak 5x10 6 CFU/mL (24,44%) disusul perlakuan C1 (26,67%), 30% (E2), 35,56 (B1), 36,67 (B2 dan C2), 51,11% (A1), 75,56 % (D1), 76,67 (A2) dan tertinggi 77,78% (D2). Ada kecenderungan sintasan dipengaruhi oleh kepadatan bakteri yang diinfeksikan. Pada umumnya benur yang diinfeksi dengan V. harveyi sebanyak 5x106 CFU/mL lebih rendah sintasannya dibanding yang hanya 5x105 CFU/mL dan benur yang tidak dipelihara dengan menggunakan bakteri probiotik memberikan daya tahan yang lebih rendah dibanding yang diberi probiotik. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat meningkatkan daya tahan benur terhadap bakteri patogen, V. harveyi. Sukenda et al. (2005) juga melaporkan bahwa udang vaname
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
732
Gambar 1. Mortalitas benur windu P. monodon yang diinfeksi dengan Vibrio harveyi. A= kepadatan infeksi 106 CFU/mL dan B= kepadatan infeksi 105 CFU/mL.
Sintasan (%)
yang disuntik dengan bakteri probiotik sebelum diinjeksi dengan menggunakan Vibrio harveyi MR5339 sebanyak 106 CFU/mL memberikan sintasan yang lebih tinggi (100%) dibanding tanpa menggunakan probiotik (15%). Rengpipat et al. (2000) telah melakukan uji tantang V. harveyi 1526 (kepadatan ~107 CFU/mL) terhadap udang windu yang telah dipelihara dengan menggunakan bakteri probiotik Bacillus S11 selama 90 hari dan hasilnya adalah benur yang mendapat perlakuan probiotik sintasannya lebih tinggi (65%) dibanding kontrol tanpa probiotik hanya sekitar 45%. Selain kepadatan bakteri, patogenisitas V. harveyi juga ditentukan oleh stadia udang. Mariyono et al. (2002) mendapatkan bahwa larva udang windu pada stadia zoea lebih rentan dibanding mysis dan pasca larva. Hal ini disebabkan oleh karena setiap fase dari larva ini belum sepenuhnya sempurna terbentuk, apalagi jika masih fase zoea sehingga tidak bisa membentuk pertahanan tubuh dan sangat rentan terhadap patogen. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 A1
B1
C1
D1
E1
A2
B2
C2
D2
E2
Perlakuan
Gambar 2. Sintasan benur windu P. monodon yang diinfeksi V. harveyi Total hemosit merupakan salah satu indikator sistem imun krustase. Total sel hemosit benur sebelum diinfeksi V. harveyi adalah 5.8 x 104 sel/mL (A1), 5.01 x 104 sel/mL (B1), 3.50 x 104 sel/mL (D1), 3,23 x 104 sel/mL (C1) dan 1.85 x 104 sel/mL (E1). Setelah diinfeksi dengan V. harveyi sel hemosit tertinggi ditemukan pada perlakuan D2 yakni 8.77 x 104 sel/mL disusul B1 = 5.95 x 104 sel/mL, D1 = 5.74 x 104 sel/mL), A1 = 5.06 x 104 sel/mL, C1 = 4.62 x 104 sel/mL, B2 = 4.22 x 104 sel/mL, E1 = 3.96 x 104 sel/mL, E2 = 3.7 x 104 sel/mL, C2 = 3.63 x 104 sel/mL dan terendah A2 = 2.50 x 104 sel/ mL (Gambar 2.). Hemosit berperan dalam fagositosis, enkapsulasi degranulasi dan agregasi nodular terhadap patogen atau sel asing yang masuk dalam tubuh krustace. Hemosit juga bertanggung jawab dalam produksi dan pelepasan prophenoloksidase (Sahoo dkk. 2008). Hasil penelitian ini
733
Uji tantang pasca larva udang windu ... (B.R. Tampangalo)
menunjukkan pemberian probiotik pada pemeliharaan larva udang windu cenderung meningkatkan jumlah sel hemosit benur dan pada saat diinfeksi dengan bakteri patogen, V. harveyi, benur bisa meningkatkan jumlah sel hemositnya sebagai bentuk pertahanan tubuh. Seperti dikemukakan oleh Manopo (2011) bahwa penambahan nukleotida dalam pakan udang vaname juga dapat meningkatkan jumlah sel hemosit udang yang dipelihara dan sel hemosit ini bertanggung jawab dalam pertahanan tubuh pada saat diuji tantang dengan V. harveyi sehingga udang yang diberi nukleotida sebanyak 400mg/kg pakan lebih resisten dibanding kontrol.
Gambar 3. Jumlah sel hemosit benur windu (Penaeus monodon) sebelum dan sesudah diinfeksi dengan V. harveyi Phenoloksidase adalah ensim yang bertanggung jawab terhadap proses melanisasi pada krustase sebagai bentuk respon terhadap patogen atau pun benda asing yang masuk ke dalam tubuh inang (Sritunyalucksana & Soderhall, 2000). Phenoloksidase ini akan mengkatalis hidroksilasi monophenol yang selanjutnya akan menghasilkan quinone dan menghancurkan partikel asing melalui proses melanisasi pada reaksi fagositosis, enkapsulasi dan nodulasi serta peran penting lainnya sebagai antimikroba. Pada penelitian ini aktivitas phenoloksidase sebelum diinfeksi bakteri patogen paling tinggi ditemukan pada benur yang dipelihara dengan menggunakan probiotik BM12 (A) yakni 0,016 dan terendah pada kontrol 0,004. Setelah diinfeksi V. harveyi aktifitas phenoloksidase tertinggi adalah 0.037 (A1), 0,036 (C1), 0,03 (D1 dan D2), 0.025 (B2), 0.02 (C2), 0.019 (B1), 0.013 (E1), 0.004(A2 dan E2). Ada kecenderungan bahwa aktivitas phenoloksidase cenderung meningkat seiring dengan tingginya jumlah bakteri patogen yang diinfeksikan. KESIMPULAN Pemberian bakteri probiotik dalam pemeliharaan larva udang windu cenderung meningkatkan daya tahan tubuh benur terhadap bakteri patogen V. harveyi. Mortalitas benur windu, P. monodon cenderung meningkat seiring dengan peningkatan jumlah bakteri V. harveyi yang diberikan. Mortalitas terjadi sejak pengamatan pertama dan tertinggi terjadi setelah 48 jam infeksi. Rata-rata sintasan tertinggi ditemukan pada benur yang dipelihara menggunakan probiotik BT951 dan diinfeksi dengan V. harveyi kepadatan 5x105 CFU/mL yakni 77,78% dan terendah pada benur yang dipelihara tanpa menggunakan probiotik dan diinfeksi dengan V. harveyi sebanyak 5 x 106 CFU/mL yakni 24,44%. Total hemosit tertinggi ditemukan pada benur yang dipelihara dengan menggunakan probiotik BT951 yang diinfeksi dengan V. harveyi sebanyak 5x105 CFU/mL yakni 8,77 x 106 sel/mL. Demikian halnya dengan aktivitas phenoloksidase dimana nilai tertinggi ditemukan pada benur yang dipelihara dengan menggunakan probiotik BM12 yakni 0,037. DAFTAR ACUAN Effendi, I. 1997 Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
734
Lavilla-Pitogo, C.R., & L.D, De La Pena. 1998. Mortalities of Pond-Cultured Juvenile Shrimp, Penaeus monodon. Associated With Dominance of Luminescent Vibrios In The Rearing Environment. Aquaculture 164: 337-349. Liu C.H. & J.C. Chen. 2004. Effect of ammonia on the immune respons of white shrimp Litopenaeus vannamei and susceptibility to Vibrio alginolyticus. Fish and Shelfish Imunology. 16:321 – 334.Manopo, H. 2011. Peran nukleotida sebagai imunostimulan terhadap respon imun nonspesifik dan resistensi udang vaname (Litopenaeus vannamei). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 121 hal. Mariyono, A. Wahyudi, & Sutomo. 2002. Teknik penanggulangan penyakit udang menyala melalui pengendalian populasi bakteri di laboratorium. Buletin Teknik Pertanian Vol. 7(1) : 25-27 Muliani, S. Suwanto, & Y. Hala. 2003. Isolasi dan karakterisasi bakteri asal laut Sulawesi untuk biokoktrol penyakit vibriosis pada larva udang windu (Penaeus monodon Fab.). Jurn. Hayati Vol. 10 (1):6-11. Rantetondok, A., H. Anshary, & A. Galugu. 2008. Pengaruh Probiotik Bacillus Plus-1 pada dosis berbeda terhadap kualitas air, bakteri vibrio, sintasan dan total haemocyte pasca larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei). Jur. Torani : 18(4). Rengpipat, S., S. Rukpratanporn, S. Piyatiratitivorakul, P & Menasaveta. 2000. Immunity enhancement in black tiger shrimp (Penaeus monodon) by a probiont bacterium (Bacillus S11). Aquaculture (191):271-278. Sahoo, P.K., A. Das, S. Mohanty, B.K. Mohanty, B.R. Pilai, & J. Mohanty. 2008. Dietary â-1,3 glukan improve the immunity and desease resistance of freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii challenged with Aeromonas hydrophyla. Aquaculture Research 39:1574-1578. Sritunyalucksana, K. & K. Soderhall. 2000. The proPO and clotting system in crustacean. Aquac 191:53-69. Sukenda, A.J., Sihombing, N. Fitria, & Widanami. 2005. Penapisan bakteri probiotik dan peranannya terhadap infeksi buatan Vibrio harveyi pada udang vaname (Litopenaeus vannamei). J. Akuakultur Indonesia 4 (2):181-187.
735
Uji tantang pasca larva udang windu ... (B.R. Tampangalo)
DISKUSI 1. Arif
Pertanyaan: Judulnya kurang tepat isinya perlakuan probiotik tapi judulnya mengapa uji patogenitas?
Tanggapan: Penelitian ini belum selesai sebenarnya merupakan rangkaian 2. Prof. Kamiso
Pertanyaan: Lebih baik gambar grafiknya memakai SR (%), kodenya pakai keterangan Ujinya lebihbaik dengan 3 konsentrasi.
Tanggapan: Terimakasih atas sarannya akan kami amati Sarannya akan kami amati.